4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Status Gizi 2.1.1 Pengenalan Gizi Secara klasik kata gizi hanya dihubungkan dengan kesehatan tubuh, yaitu untuk menyediakan energi, membangun, dan memelihara jarigan tubuh, serta mengatur proses-proses kehidupan dalam tubuh. Tetapi, sekarang kata gizi mempunyai pengertian lebih luas, disamping untuk kesehatan, gizi dikaitkan dengan potensi ekonomi seseorang, karena gizi berkaitan dengan perkembangan otak, kemampuan belajar, dan produktivitas kerja. Oleh karena itu, di Indonesia yang sekarang sedang membangun, faktor gizi di samping faktor-faktor lain dianggap penting untuk memacu pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia berkualitas ( Almatsier, 2010). 2.1.2 Pengertian Status Gizi Menurut Depkes (2002), status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan. 2.1.3 Status Gizi Anak di Indonesia Secara nasional prevalensi kurus (menurut IMT/U) pada anak umur 5-12 tahun adalah 11.2 persen, terdiri dari 4,0 persen sangat kurus dan 7,2 persen kurus. Prevalensi sangat kurus paling rendah di Bali (2,3%) dan paling tinggi di Nusa Tenggara Timur (7,8%). Sebanyak 16 provinsi dengan prevalensi sangat kurus diatas nasional, yaitu Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua, Papua Barat, Sulawesi Tengah, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Maluku, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Riau,
Universitas Sumatera Utara
5
Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur. Masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8 persen, terdiri dari gemuk 10,8 persen dan sangat gemuk (obesitas) 8,8 persen. Prevalensi gemuk terendah di Nusa Tenggara Timur (8,7%) dan tertinggi di DKI Jakarta (30,1%). Sebanyak 15 provinsi dengan prevalensi sangat gemuk diatas nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jambi, Papua, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung dan DKI Jakarta. Prevalensi kurus pada remaja umur 13-15 tahun adalah 11,1 persen terdiri dari 3,3 persen sangat kurus dan 7,8 persen kurus. Prevalensi sangat kurus terlihat paling rendah di Bangka Belitung (1,4 %) dan paling tinggi di Nusa Tenggara Timur (9,2%). Sebanyak 17 provinsi dengan prevalensi anak sangat kurus (IMT/U) diatas prevalensi nasional yaitu Riau, Aceh, Jawa Tengah, Lampung, Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Banten, Papua, Sumatera Selatan, Gorontalo, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Indonesia sebesar 10.8 persen, terdiri dari 8,3 persen gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk (obesitas). Sebanyak 13 provinsi dengan prevalensi gemuk diatas nasional, yaitu Jawa Timur, Kepulauan Riau, DKI, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Bali, Kalimantan Timur, Lampung, Sulawesi Utara dan Papua Prevalensi kurus pada remaja umur 16-18 tahun secara nasional sebesar 9,4 persen (1,9% sangat kurus dan 7,5% kurus). Sebanyak 11 provinsi dengan prevalensi kurus diatas nasional, yaitu Aceh, Riau, Kalimantan Selatan, Maluku Utara, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Banten, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur. Prevalensi gemuk pada remaja umur 16 – 18 tahun sebanyak 7,3 persen yang terdiri dari 5,7 persen gemuk dan 1,6 persen obesitas. Provinsi dengan prevalensi gemuk tertinggi adalah DKI Jakarta (4,2%) dan terendah adalah Sulawesi Barat (0,6%). Lima belas provinsi dengan prevalensi sangat gemuk diatas prevalensi nasional, yaitu Bangka Belitung, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Banten, Kalimantan Tengah, Papua, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Gorontalo, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan
Universitas Sumatera Utara
6
Timur, Sulawesi Utara dan DKI Jakarta (Riskesdas, 2013). 2.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Anak yang dilahirkan dengan berat badan rendah berpotensi menjadi anak dengan gizi kurang, bahkan menjadi buruk. Faktor lain yang mempengaruhi status gizi anak diantaranya adalah faktor ekonomi keluarga yang berdampak pola makan dan kecukupan gizi anak; faktor sosial-budaya yang mendudukkan kepentingan ibu hamil dan ibu menyusui setelah kepentingan bapak selaku kepala keluarga, dan anak; faktor pendidikan yang umumnya rendah sehingga berdampak pada pengetahuan ibu yang sangat terbatas mengenai pola hidup sehat dan pentingnya zat gizi bagi kesehatan dan status gizi anak. Semakin besar jumlah anggota keluarga, semakin besar persentase status gizi kurang ( Devi, 2010). 2.3 Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang tersedia. Data objektif diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium perorangan, serta sumber lain yang dapat diukur oleh anggota tim penilai. Komponen penilaian status gizi meliputi : asupan pangan, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis dan riwayat mengenai
kesehatan,
pemeriksaan
antropometris,
serta
data
psikososial
(Arisman, 2010). 1) Asupan Pangan Fase ini merupakan satu tahap penilaian status gizi yang paling sulit dan tidak jarang membuat penilai frustasi karena berbagai sebab. Pertama, manusia memiliki sifat lupa sehingga orang sering tidak mampu mengingat dengan pasti jenis (apalgi jumlah) makanan yang telah disantap. Kedua, manusia sering mengedepankan gengsi jika diberi tahu bahwa makanan mereka akan dinilai, pola pangan pun dipaksakan berubah. Jika misalnya menu ayam goreng tidak pernah
Universitas Sumatera Utara
7
tercantum di menu keluarga, susunan menu seperti itu tidak jarang tersaji pada saat penilaian dilaksanakan. Ketiga, sejauh ini belumlah mungkin penghitungan komposisi makanan secara akurat, kecuali kegiatan pangan dapat terawasi dengan ketat. Di samping itu masih terdapat kendala lain yang berpotensi menyendatkan langkah penilaian ini. Kendala tersebut antara lain (a) daftar komposisi makanan yang tersedia masih jauh dari sempurna bahkan lengkap saja belum, (b) penghitungan zat gizi masih belum akurat, (c) masih banyak pangan atau makanan yang baru/telah beredar belum tercantum dalam komposisi makanan atau makanan siap santap,(d) cara memasak sangat bervariasi,baik secara kedaerahan maupun perorangan dan ini sangat memengaruhi nilai gizi pangan dan (e) perbedaan tempat tumbuh satu jenis buah dan sayur akan berpengaruh pada nilai zat gizi yang terkandung (Arisman, 2010). Metode yang dapat digunakan adalah : a) Ingatan pangan 24 jam (24-hour food recall ) Mengingat kembali dan mencatat jumlah, serta jenis pangan dan minuman yang telah dikonsumsi selama 24 jam merupakan metode pengumpulan data yang paling banyak dan paling mudah digunakan. Kelebihan cara ini adalah pewawancara yang menyiapkan model makanan dan mencatatnya, responden tidak dituntut harus melek huruf. Hal yang mungkin menjadi sumber kesalahan, antara lain (1) orang tidak dapat mengingat dengan tepat, (2) makanan yang disantap kemarin mungkin bukan makanan yang biasa disantap, (3) orang sering tidak melaporkan makanan yang dapat memalukan, misalnya petai, atau alkohol, dan (4) wawasan pangan pewawancara tidak luas b) Kuisioner frekuensi pangan (Food Frequency Questionnaire / FFQ) Tujuan mengisi FFQ adalah melengkapi data yang tidak dapat diperoleh melalui ingatan 24 jam. Responden di beri tugas untuk melaporkan frekuensi makanan yang lazim dikonsumsi berdasarkan daftar makanan dalam periode waktu tertentu. Pada umumnya, FFQ digunakan untuk merangking orang
Universitas Sumatera Utara
8
berdasarkan besaran asupan zat gizi, tetapi tidak dirancang untuk memperkirakan asupan secara absolut. Meskipun demikian, cara ini lebih akurat untuk menentukan rata-rata asupan zat gizi jika menu makanan dari hari ke hari sangat bervariasi. Kelemahan cara ini antara lain (1) tidak dapat menghasilkan data kuantitatif tentang asupan pangan karena pangan yang disantap tidak diukur , (2) pengisian kuisioner hanya bermodalkan ingatan, (3) responden sering malas mengisi formulir dengan lengkap, terutama jika proses pengisian dipercayakan sepenuhnya pada mereka dan (4) tanpa bantuan komputer, proses analisis menjadi sulit dan melelahkan. Kelebihan cara ini adalah relative murah, cocok jika diterapkanpada penelitian kelompok besar yang asupan pangan setiap harinya sangat variatif, pengisian formulir dapat diserahkan pada responden dan mudah didistribusikan. c) Riwayat Pangan (Dietary history) Keterangan yang dapat dijaring melalui riwayat pangan adalah (1) keadaan ekonomi, (2) kegiatan fisik, (3) latar belakang etnis dan budaya, (4) pola makan dan kehidupan rumah tangga, (5) nafsu makan, (6) kesehatan gigi dan mulut, (7) alergi makanan, (8) keadaan saluran pencernaan, (9) penyakit menahun, (10) obat yang digunakan, (11) peubahan berat badan, serta (12) masalah pangan dan gizi. Cara ini sesungguhnya menerapkan tiga komponen anamnesis asupan pangan, yaitu ingatan pangan 24 jam, kuisioner frekuensi pangan, dan catatan pangan. Dengan ingatan pangan 24 jam diperoleh data tentang pola makan responden secara umum. Informasi ini selanjutnya dibandingkan dengan kuisioner frekuensi pangan. Akhirnya, dilakukan pencatatan makanan selama tiga hari dengan menggunakan ukuran rumah tangga. Kelebihan cara ini, antara lain, responden tidak harus melek huruf, tidak menyebabkan perubahan pola makan. Sementara kelemahannya berakar pada kebergantungannya pada daya ingat, sulit menentukan jumlah, dan membutuhkan pewawancara yang terlatih.
Universitas Sumatera Utara
9
d) Catatan Pangan Pasien diminta mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi paling sedikit tiga hari dalam seminggu, yakni 2 hari biasa dan 1 hari libur. Catatan harus rinci, termasuk bagaimana cara makanan dipersiapkan dan dimasak. Jika makanan terbuat dari berbagai bahan pangan, misalnya, gado-gado, jenis serta jumlah bahan mentahnya itu perlu ditulis, disamping resep pembuatannya. Ukuran porsi makanan sebainya dicatat dengan mengacu pada ukran rumah tangga (URT). Makanan yang telah terukur ini kemudian disalin kedalam ‘gram’. Zat gizi yang terkandung dicari pada buku “daftar komposisi makanan” yang sebelumnya harus tersedia. Jika santapan berupa makanan pabrik, carilah kandungan zat gizinya pada label (Arisman, 2010) 2. Pemeriksaan Biokimia Ada dua jenis protein, viseral dan somatic, yang layak dijadikan parameter penentu status gizi. Parameter protein viseral ialah serum albumin, prealbumin, transferrin, hitung jumlah limfosit, dan uji antigen pada kulit. Sementara cadangan protein somatik bukan hanya dinilai secara biokimia, tetapi juga dengan mengukur besarnya lingkaran pertengahan lengan atas (mid-arm circumference) (Arisman, 2010) 3.Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan fisik secara menyeluruh, termasuk riwayat kesehatan. Bagian tubuh yang harus terlebih dahulu diperhatikan dalam pemeriksaan klinis adalah kulit, gigi, bibir, lidah, mata, dan alat kelamin. Riwayat kesehatan yang perlu ditanyakan adalah kemampuan mengunyah dan menelan: Adakah gigi yang sakit? Adakah gigi yang ompong? Apakah pasien menggunakan gigi palsu (jika ya, apakah letaknya tidak mengganggu)? Apakah mulut dan tenggorokan terasa kering (salah satu tanda
Universitas Sumatera Utara
10
bahwa sekresi air ludah berkurang)? Perlu ditanyakan keadaan nafsu makan, makanan yang digemari dan dihindari, serta masalah saluran pencernaan. Masalah tersebut dapat mengganggu asupan pangan yang pada gilirannya akan memengaruhi pula status gizi (Arisman, 2010)
4. Pemeriksaan Antropometri Tujuan yang hendak dicapai dalam pemeriksaan antropometris adalah besaran komposisi tubuh yang dapat dijadikan isyarat dini perubahan status gizi. Tujuan ini dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu : (1) penapisan status gizi, (2) survei status gizi, dan (3) pemantauan status gizi. Penapisan diarahkan pada orang per orang untuk kepentingan khusus. Survei ditujukan untuk memperoleh gambaran status gizi masyarakat pada saat tertentu, serta faktor-faktor yang berkaitan dengan itu. Pemantauan bermanfaat sebagai pemberi gambaran perubahan status gizi dari waktu ke waktu. Tabel 2.1 Parameter yang dianjurkan WHO untuk diukur pada survei gizi Usia
Pengamatan di lapangan
Pengamatan Lebih Rinci
0-1 thn
Berat dan panjang badan
Panjang batang badan; lingkar kepala & dada ; diameter krista iliaka, lipat kulit dada, triseps, dan sub-skapula
1- 5 thn
Berat dan panjang badan (sampai 3 Panjang
batang
badan
(3
tahun), tinggi badan (diatas 3 tahun), tinggi duduk (di atas 3 tahun), lipat kulit biseps & triseps, tahun), lingkar kepala & dada lingkar lengan
(inspirasi setengah), diameter bikristal, lipat kulit dada & sub-skapula, rontgen
lingkar
betis
postero-anterior
Universitas Sumatera Utara
11
tangan dan kaki 5–20 thn
Berat dan tinggi badan, lipat kulit Tinggi triseps
duduk,
diameter
bikristal,diameter biakrominal, lipat kulit di tempat lain, lingkar lengan & betis, rontgen postero anterior tangan dan kaki
> 20 thn
Berat dan tinggi badan, lipat kulit Lipat kulit di tempat lain, triseps.
lingkar lengan dan betis
Sumber : Arisman (2010). Pengukuran antropometri meliputi : a) Tinggi Badan Tinggi atau panjang badan merupakan indikator umum ukuran tubuh dan panjang tulang. Namun, tinggi saja belum dapat dijadikan indikator untuk menilai status gizi, kecuali jika digabungkan dengan indikator lain, seperti usia dan berat badan. Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus, tanpa alas kaki, kedua tangan merapat ke badan, punggung dan bokong menempel pada dinding, dan pandangan diarahkan ke depan. Kedua lengan tergantung relaks di samping badan. b) Berat Badan Berat badan merupakan ukuran antropometris yang paling banyak digunakan karena parameter ini mudah dimengerti. Alat penimbang yang dipilih haruslah kuat, tidak mahal, mudah dijinjing, dan akurat hingga 100 gr. Disamping itu, timbangan harus diperiksa ulang (kalibrasi) setiap akan
Universitas Sumatera Utara
12
digunakan. Penimbangan selayaknya diselenggarakan pagi hari, setelah bangun tidur, mengenakan pakaian yang sama, sebelum makan dan setelah buang air, serta ditimbang oleh petugas yang sama pula. Jika keadaaan memungkinkan, subjek ditimbang bertelanjang atau berpakaian seminimal mungkin. c) Umur Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pegukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat (Supariasa, dkk, 2001). Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan Menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U), dan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U). Berikut diterangkan beberapa indeks antropometri tersebut : 1) Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Berat badan adalah salah satu paramaeter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunna jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Mengingat karakterisktik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saaat ini (current nutritional status). 2) Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan
Universitas Sumatera Utara
13
pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu relatif lama. Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, maka indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lalu.
3) Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) IMT merupakan rumus matematis yang berkaitan dengan lemak tubuh seseorang. IMT pada anak dan remaja berbeda dengan orang dewasa. Letak cutoff point yang digunakan berbeda antara anak remaja dan orang dewasa. Pada anak dan remaja status gizi diperoleh dari perbandingaan IMT dan umur. Indikator IMT/U merupakan indikator yang paling baik untuk mengukur keadaan status gizi yang menggambarkan keadaan status gizi masa lalu dan masa kini karena berat badan memiliki hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks ini tidak menimbulkan kesan underestimate pada anak yang overweight dan obese serta kesan berlebihan pada anak gizi kurang (WHO, 2007). Karena belum memiliki baku acuan sendiri, di samping belum mampu menyelenggarakan pengukuran dalam skala besar, Indonesia mengadopsi baku acuan Harvard dan WHO-NHCS, yang sebelumnya telah dimodifikasi. Pada prinsipnya, ada tiga cara pemaparan indikator antropometris yaitu persentase, persentil, dan z-skor. Z-skor atau simpangan baku / standar deviasi (SD), diterapkan pertamakali oleh WHO. Penilaian status gizi berdasarkan z-skor dilakukan dengan cara melihat distribusi normal nilai pertumbuhan orang yang diperiksa. Angka ini melukiskan jarak nilai baku median dalam urutan simpangan baku. Nilai z-skor diperoleh dari hasil pembagian antara antropometris orang yang diperiksa dengan nilai baku acuan.
Universitas Sumatera Utara
14
Dengan rumus ditulis : 𝑧 − 𝑠𝑘𝑜𝑟 =
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 − ( 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑒𝑑𝑖𝑢𝑚 𝑎𝑐𝑢𝑎𝑛) 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖
Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak berdasarkan Indeks Masa Tubuh menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1995/MENKES/SK/XII/2010. Tabel 2.2 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks Indeks Berat
Kategori Gizi badan
Status Ambang batas (z-skor)
menurut Gizi buruk
umur (BB/U) anak umur 0-60 bulan
Gizi kurang
-3 SD sampai dengan <-2SD
Gizi baik
- 2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi lebih
> 2 SD
Panjang badan menurut Sangat pendek umur (PB/U) atau Tinggi Badan
menurut
umur
<-3 SD
Pendek
<-3 SD -3 SD sampai dengan <-2SD
(TB/U) Anak umur 0-60 Normal Bulan Tinggi
- 2 SD sampai dengan 2 SD
Berat
<-3 SD
badan
menurut Sangat Kurus
panjang badan (BB/PB) Atau Berat menurut
badan tinggi
Kurus
badan Normal (BB/TB) Anak umur 0-60 Gemuk bulan
> 2 SD
-3 SD sampai dengan <-2SD - 2 SD sampai dengan 2 SD
Universitas Sumatera Utara
15
> 2 SD Indeks
Masa
tubuh Sangat Kurus
menurut Umur (IMT/U)
<-3 SD
Kurus
-3 SD sampai dengan <-2SD
Normal
-3 SD sampai dengan <-2SD
Gemuk
-3 SD sampai dengan <-2SD
Indeks Masa Tubuh
Gizi Buruk
<-3SD
menurut Umur ( IMT/U)
Gizi Kurang
-3SD sampai dengan <-2SD
Anak umur 5-18 Tahun
Gizi Baik
-2SD sampai dengan 1SD
Gizi Lebih
>1SD sampai dengan 2SD
Obesitas
>2SD
Anak umur 0-60 bulan
Universitas Sumatera Utara
16
BMI-for-age BOYS 5 to 19 years (z-scores) 36
3
34
34
32
32
30
2
BMI (kg/m²)
30
28
28
26
1
26
24
24
0
22
20
-1
18
-2
16
-3
22
20
18
16
14
14
12
12 3 6 9
Months
Years
36
5
3 6 9
6
3 6 9
7
3 6 9
8
3 6 9
9
3 6 9
10
3 6 9
11
3 6 9
12
3 6 9
13
3 6 9
14
3 6 9
15
3 6 9
16
3 6 9
17
3 6 9
18
19
Age (completed months and years) 2007 WHO Reference
Gambar 2.1 Grafik IMT/U pada Laki-laki usia 5-19 tahun Sumber : WHO 2007
Universitas Sumatera Utara
17
BMI-for-age GIRLS 5 to 19 years (z-scores)
3
36 34
34
32
32
BMI (kg/m²)
30
2
30
28
28
26
26
1 24
24
22
0
20
22 20
-1
18
-2
16
-3
14 12
18 16 14 12
3 6 9
Months
Years
36
5
3 6 9
6
3 6 9
7
3 6 9
8
3 6 9
9
3 6 9
10
3 6 9
11
3 6 9
12
3 6 9
13
3 6 9
14
3 6 9
15
3 6 9
16
3 6 9
17
3 6 9
18
19
Age (completed months and years) 2007 WHO Reference
Gambar 2.2 Grafik IMT/U pada Perempuan usia 5-19 tahun. Sumber : WHO 2007
Universitas Sumatera Utara
18
2.4 Tidur 2.4.1 Pengertian Tidur Tidur adalah suatu keadaan berulang, teratur, mudah reversible yang ditandai dengan relatif tidak bergerak dan tingginya peningkatan ambang respon terhadap
stimulus
eksternal
dibandingkan
dengan
keadaan
terjaga
( Kaplan & saddock, 2010).
2.4.2 Elektrofisiologi Tidur Tidur terdiri atas dua keadaan fisiologis, nonrapid eye movement (NREM) dan rapid eye movement (REM). Pada tidur NREM, yang terdiri atas tahap 1 sampai 4, sebagian besar fungsi fisiologis sangat berkurang dibandingkan dengan keadaan terjaga. Tingkat awal (tingkat 1 dan 2) adalah mudah terbangun dan bahkan tidak menyadari bila sedang tertidur dan bagian tidur NREM yang paling dalam tahap 3 dan 4 kadang-kadang disertai ciri bangkitan yang tidak biasa. Jika orang dibangunkan 30 menit hingga 1 jam setelah awitan tidur biasanya pada tidur gelombang pendek mereka akan mengalami disorientasi dan pikiran menjadi kacau. Tidur REM merupakan jenis tidur yang secara kualitatif berbeda, ditandai dengan tingginya aktivitas otak dan tingkat aktifitas fisiologis yang menyerupai aktivitas saat terjaga. Pada orang normal, tidur REM merupakan keadaan tentram dibandingkan saat terjaga. Denyut jantung secara khas melambat lima hingga sepuluh denyut per menit dibawah tingkat saat terjaga sedang istirahat dan sangat teratur denyutnya. Pernafasan juga dipengaruhi dan tekanan darah cenderung rendah, dengan beberapa variasi dari menit ke menit. Potensial otot istirahat pada otot-otot tubuh lebih rendah pada tidur REM daripada keadaan terjaga. Gerakan tubuh episodik dan involuntary terdapat pada tidur REM. Aliran darah melalui sebagian besar jaringan, termasuk aliran darah otak, sedikit berkurang.
Universitas Sumatera Utara
19
Perubahan fisiologis lain yang terjadi selama tidur REM adalah paralisis hampir total pada otot rangka (postural), karena inhibisi motorik ini, gerakan tubuh tidak ada selama tidur REM. Mungkin ciri tidur REM yang paling khas adalah mimpi. Orang yang terbangun pada saat tidur REM sering (60 hingga 90 persen) melaporkan bahwa mereka mengalami mimpi. Mimpi selama tidur REM secara khas abstrak dan aneh. Mimpi dapat terjadi selama tidur NREM tetapi khasnya jelas dan bertujuan. Sifat siklik pada tidur adalah regular dan dapat dipercaya, Periode REM terjadi kira-kira setiap 90 hingga 100 menit sepanjang malam. Periode REM pertama cenderung menjadi yang paling singkat biasanya berlangsung 15 hingga 40 menit. ( Kaplan & saddock, 2010) 2.4.3 Pengaturan Tidur Sebagian besar peneliti berpikir bahwa sebenarnya tidak ada satu pusat pengendali tidur sederhana, melainkan terdapat sejumlah kecil sistem atau pusat yang terutama terletak dibatang otak dan saling mengaktifkan serta menghambat satu sama lain. Banyak studi juga menyokong peran serotonin dalam pengaturan tidur. Pencegahan sintesis serotonin atau penghancuran nukleus rafe dorsalis batang otak, yang terdiri atas hampir semua badan sel serotonergik otak, mengurangi tidur cukup lama. Sintesis dan pelepasan serotonin oleh neuron serotonergik
dipengaruhi
oleh
ketersediaan
prekursor
asam
amino
neurotransmitter ini, seperti L-triptofan. Defisiensi L-triptofan menyebabkan kurangnya waktu yang di habiskan pada tidur REM (Kaplan & saddock, 2010). 2.5 Fungsi Tidur Meskipun manusia menghabiskan sekitar sepertiga dari kehidupan mereka dengan tidur, namun mengapa tidur sangat dibutuhkan masih merupakan misteri. Salah satu hipotesis yang diterima adalah bahwa tidur memberi otak waktu “mengejar (cacth up)” guna memulihkan proses-proses biokimia atau fisiologi yang secara progresif mengalami penurunan ketika terjaga. Hipotesis lain juga
Universitas Sumatera Utara
20
menyatakan bahwa tidur gelombang lambat memberi otak waktu untuk memperbaikii kerusakan akibat radikal bebas toksik yang dihasilkan sebagai produk sampingan metabolisme selama keadaan terjaga. Teori lain yang menonjol adalah bahwa tidur, terutama tidur REM diperlukan otak untuk melaksanakan penyesuaian-penyesuaian kimiawi dan struktural jangka panjang yang diperlukan untuk belajar dan mengingat (Sherwood, 2012). 2.6 Gangguan Tidur 2.6.1 Definisi Gangguan Tidur Gangguan tidur merupakan salah satu keluhan yang paling sering ditemukan pada penderita yang berkunjung ke praktik. Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan masyarakat baik kaya, miskin, berpendidikan tinggi dan rendah maupun orang muda, serta yang paling sering ditemukan pada usia lanjut. Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur biologiknya, menurun daya tahan tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi, kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri sendiri atau orang lain. Menurut beberapa peneliti gangguan tidur yang berkepanjangan mengakibatkan 2,5 kali lebih sering mengalami kecelakaan mobil dibandingkan pada orang yang tidurnya cukup. Diperkirakan jumlah penderita akibat gangguan tidur setiap tahun semakin lama semakin meningkat sehingga menimbulkan masalah kesehatan. Di dalam praktik seharihari, kecenderungan untuk mempergunakan obat hipnotik, tanpa menentukan lebih
dahulu
penyebab
yang
mendasari
penyakitnya,
sehingga
sering
menimbulkan masalah yang baru akibat penggunaan obat yang tidak adekuat. Melihat hal di atas, jelas bahwa gangguan tidur merupakan masalah kesehatan yang akan dihadapi pada tahun-tahun yang akan datang (Japardi, 2002).
Universitas Sumatera Utara
21
2.6.2 Gangguan Tidur pada Anak Gangguan tidur pada anak dapat bersifat sementara, intermitten, atau bersifat kronis. Sebagian besar anak mempunyai kesukaran sekitar waktu tidur. Saat tidur malam anak dapat mengalami ketakutan terhadap pencuri, suara bising, guntur, petir, diculik dan lain- lain sehingga dapat mengganggu tidur anak. Cemas akan perpisahaan sering turut menyebabkan masalah tidur. Anak dapat secara tidak sadar menganggap tidur sebagai suatu waktu mereka terlepas dari perhatian orangtua. Jika ada konflik dalam keluarga kecemasan tersebut akan semakin buruk. Sekitar 7-15 % anak-anak mengalami masalah mimpi buruk. Mimpi karena cemas terjadi selama tidur REM, anak terbangun, menjadi cepat sadar, dan biasanya ingat isi mimpi. Mimpi buruk lebih sering terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki dan biasaya mulai sebelum usia 10 tahun. Teror malam hari biasanya mulai pada tahun-tahun pra sekolah dan terjadi saat bangun dari tidur tahap 4 (non REM), biasanya pada awal siklus tidur. Anak bingung dan disorientasi, menunjukkan tanda-tanda aktivitas autonomy yang kuat, mungkin mengeluh penampakan visual yang aneh dan tampak ketakutan. Biasanya anak tidak dapat mengatakan ulang isi mimpi yang mengakibatkan teror malam hari. Periode tidur berjalan dapat terjadi, pada masa ini anak dapat beresiko luka. Teror malam hari dapat sembuh sendiri dan mungkin terkait dengan proses perkembangan tertentu. Prevalensi anak yang mengalami sebanyak 2-5 % dan anak laki-laki lebih sering mengalami daripada anak perempuan. Anak yang mengalami gangguan tidur perlu mendapat dukungan, pemulihan keyakinan, dan pemberian semangat dari orangtua karena penting untuk meredakan gangguan tidur. Ancaman kemarahan dan cara-cara hukuman harus dihindai. Waktu tidur harus ditentukan secara teratur, pemilihan program televisi, dan membaca buku kesukaan anak mungkin membantu (Nelson, 2013)
Universitas Sumatera Utara
22
2.6.3 Skala Gangguan Tidur untuk Anak (SDSC) sebagai Instrumen Skrining Gangguan Tidur Baku
emas
alat
untuk
mendiagnosis
gangguan
tidur
adalah
polysomnography (PSG). Alat ini memiliki kekurangan karena mahal, memerlukan rawat inap, dan tenaga ahli untuk menginterpretasikan hasilnya. Alternatif alat untuk mendiagnosis gangguan tidur adalah wrist actigraphy. Alat tersebut mudah digunakan karena berbentuk seperti jam tangan dan hasil parameter tidur dianalisis menggunakan actiware software sehingga tidak memerlukan tenaga ahli. Tenaga kesehatan khususnya di daerah memiliki keterbatasan menggunakan PSG, sedangkan wrist actigraphy belum tersedia di Indonesia (Natalita dkk, 2011). Cara ketiga untuk menilai tidur adalah dengan perkiraan secara subyektif menggunakan kuesioner atau interview. Cara tersebut pada penelitian epidemilogi seringkali merupakan alternatif yang paling mungkin. Kuesioner mudah dibuat dan dianalisis, namun validitas dan reliabilitasnya amat rendah. Beberapa kuesioner yang pernah diajukan kepada orangtua dan telah divalidasi misalnya Children’s Sleep Behaviour Scale , the Children’s Sleep Disturbance scale, the Pediatric Sleep Questionnaire dan the Children’s Sleep Habit Questionnaire
(Tanjung & sekartini, 2001). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Natalita dkk pada tahun 2010 menyatakan bahwa didapatkan kesesuaian prevalensi gangguan tidur menurut skor SDSC dan menurut pemeriksaan wrist actigraphy Sensitivitas dan spesifisitas SDSC terhadap wrist actigraphy adalah 71,4% dan 54,5%. Nilai probabilitas seseorang menderita gangguan tidur dan tidak menderita gangguan tidur yang dibuktikan dengan wrist actigraphy, 75% dan 50%. Uji Mc Nemar untuk membandingkan hasil pemeriksaan SDSC dengan wrist actigraphy tidak didapatkan perbedaan (nilai p=0,832), yang berarti kedua pemeriksaan ini sama. Oleh karena itu kuisioner SDSC dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan tidur.
Universitas Sumatera Utara
23
Kuesioner SDSC terdiri dari 26 pertanyaan, dinilai dalam 5 poin skala intensitas atau frekuensi. Orang tua diinstruksikan untuk mengingat pola tidur anak mereka pada waktu keadaan sehat selama enam bulan terakhir. Untuk memeriksa anak dengan gangguan tidur, lebih baik menggunakan metode konsultasi dibandingkan dengan kuesioner. Penilaian SDSC ini dilakukan dengan menggunakan angka mulai dari 1 sampai dengan 5. Angka 1 untuk tidak pernah, 2 untuk jarang (1 atau 2 kali per bulan atau kurang), 3 untuk kadang-kadang (1 atau 2 kali seminggu), 4 untuk sering (3 sampai 5 kali seminggu) dan 5 untuk selalu (setiap hari). Setelah itu nilai akan dijumlahkan dan didapatkan penilaian akan adanya gangguan tidur pada anak. Sleep Disturbancess Scale for Children (SDSC) mengemukakan enam kategori gangguan tidur yaitu (1) gangguan pernapasan waktu tidur (frekuensi mengorok, apnea saat tidur, dan kesulitan bernapas); (2) gangguan memulai dan mempertahankan tidur (awitan mulai tidur yang lama, bangun malam hari, dan lain- lain); (3) gangguan kesadaran (berjalan saat tidur, mimpi buruk, dan teror tidur), (4) gangguan transisi tidur-bangun (gerakan involunter saat tidur, restless legs, gerakan menganggukkan kepala, bicara saat tidur); (5) gangguan somnolen berlebihan (mengantuk saat pagi dan tengah hari, dan lain-lain); dan (6) hiperhidrosis saat tidur (berkeringat saat tidur) (Natalita dkk, 2011). 2.7 Hubungan Status Gizi dan Gangguan Tidur 1. Salah satu faktor yang dikaitkan dengan tidur adalah faktor nutrisi. Nutrisi dan tidur memiliki hubungan yang saling mempengaruhi. Gangguan tidur dapat menyebabkan gangguan nutrisi karena berhubungan dengan fungsi endokrin, traktus gastrointestinal, dan fungsi sirkadian. ( Cheng, 2014). Beberapa nutrisi yang dikaitkan mempengaruhi tidur adalah makronutrien berupa karbohidrat dan protein. Asupan karbohidrat dan protein dihubungkan dengan kondisi status gizi yang kemudian juga banyak diduga berhubungan dengan gangguan tidur ( Zadeh, 2012).
Universitas Sumatera Utara
24
Nutrisi lain yang dihubungkan dengan tidur : Tryphtophan digunakan secata luas di Canada, Inggris dan German untuk mengobati gangguan tidur. Tryptophan berasal dari asam amino esesial yang dapat diperoleh dari telur, ikan dan kacang. Secara fisiologis, Tyrphtophan dikonversi menjadi serotonin yang bertindak sebagai prekursor melatonin di otak. Ketidakseimbangan serotonin dapat berefek kepada regulasi dari proses tidur (Markus, 2005 dalam Zadeh, 2012). Vitamin dan mineral yang dihubungkan dengan tidur : Vitamin B-komplex dinyatakan dapat meningkatkan tidur dan mencegah insomnia. Defisiensi vitamin B6 dapat menyebabkan distress psikologis dan gangguan tidur (Baldewicz,1998 dalam Zadeh, 2012). Vitamin B12 dapat memberi efek terhadap ritme biologis. Secara klinis, vitamin B12 dilaporkan dapat
memperbaiki
gejala
gangguan
siklus
tidur-bangun
( Meoli, 2005 dalam Zadeh, 2012) Defisiensi zat besi diduga menjadi penyebab restless legs syndrome (RLS), gangguan sensorimotor pada manusia yang ditandai dengan timbulnya gejala saat akan tidur, hal tersebut dapat mengganggu kemampuan untuk tidur (Mizuno,
2005
dalam
Zadeh,
2012).
RLS adalah gangguan yang ditandai dengan sensasi yang tidak normal pada kaki saat istirahat dan berhubungan dengan kesulitan untuk memindahkan kaki ( Earley, 2003 dalam Zadeh, 2012). Gejala akan memburuk pada malam hari, dan pasien mungkin akan kesulitan untuk memulai tidur (Skomro, 2001 dalam Zadeh, 2012)
Universitas Sumatera Utara
25
2. Hubungan yang penting antara nutrisi dan fungsi paru yaitu melalui efek katabolisme yaitu dengan melihat status gizi. Jika asupan kalori berkurang, maka tubuh akan memecah protein yang terdapat dalam otot termasuk otot-otot pernapasan. Hilangnya lean body mass pada setiap otot akan berdampak pada fungsi otot tersebut (Rumende, 2006). 3. Kelebihan berat badan merupakan prediktor utama untuk gangguan pernafasan tidur atau sleep disorder breathing (SDB) (Young et al., 2005). 4. Durasi tidur yang singkat meningkatkan resiko anak menjadi obesitas (Cappucio 2008, dalam Czeisler 2015). Durasi tidur yang singkat akan meningkatkankan ghrelin (Taheri et al 2004, dalam Choi et al, 2008). Ghrelin, yang disebut sebagai hormon lapar, adalah perangsang nafsu makan poten yang dihasilkan oleh lambung (Sherwood, 2012).
Universitas Sumatera Utara