BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kehamilan
2.1.1
Definisi Kehamilan Kehamilan adalah suatu proses pembuahan dalam rangka melanjutkan
keturunan yang terjadi secara alami menghasilkan janin yang tumbuh di dalam rahim ibu (Depkes RI, 1995). Kehamilan merupakan pertumbuhan dan perkembangan janin intrauterin mulai sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuaba, 1998). Masa kehamilan di mulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya kehamilan normal berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut kalender internasional terhitung mulai dari terakhir haid (Sarwono, 2010).
2.1.2
Perubahan Kulit selama Kehamilan Seiring berkembangnya janin, tubuh sang ibu juga mengalami perubahan-
perubahan yang dimaksudkan untuk keperluan tumbuh dan kembang sang bayi. Kulit merupakan salah satu bagian tubuh ibu yang mengalami perubahan. Perubahan tersebut difasilitasi oleh adanya perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron selama kehamilan. Pada trimester pertama diketahui bahwa terjadi peningkatan suatu hormon perangsang melanosit sejak akhir bulan kedua kehamilan sampai aterm yang menyebabkan timbulnya pigmentasi pada kulit. Linea nigra adalah pigmentasi berwarna hitam kecoklatan yang muncul pada garis tengah kulit abdomen. Bercak kecoklatan kadang muncul di daerah wajah dan leher membentuk kloasma atau melasma gravidarum (topeng kehamilan). Aksentuasi pigmen juga muncul pada areola dan kulit genital. Pigmentasi ini biasanya akan menghilang atau berkurang setelah melahirkan. Angioma atau spider nevi berupa bintik-bintik penonjolan kecil dan merah pada kulit wajah, leher, dada atas, dan lengan. Kondisi ini sering disebut sebagai nevus angioma atau teleangiektasis. Eritema palmaris terkadang
4
5
juga dapat ditemukan. Kedua kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh hiperestrogenemia kehamilan. Pada trimester kedua terjadi peningkatan Melanocyte Stimulating Hormone (MSH) yang menyebabkan perubahan cadangan melanin pada daerah epidermal dan dermal. Pada trimester ketiga umumnya dapat muncul garis-garis kemerahan, kusam pada kulit dinding abdomen dan kadang kadang juga muncul pada daerah payudara dan paha. Perubahan warna tersebut sering disebut sebagai striae gavidarum. Pada wanita multipara, selain striae kemerahan itu seringkali ditemukan garis garis mengkilat keperakan yang merupakan sikatrik dari striae kehamilan sebelumnya (Ardiani, 2013).
2.2
Pruritus
2.2.1
Definisi Pruritus Pruritus dapat didefinisikan sebagai sensasi tidak nyaman pada kulit yang
menimbulkan keinginan untuk menggaruk (Djajakusumah, 2011).
2.2.2
Patofisiologi Pruritus Pada kulit, terdapat ujung saraf bebas yang merupakan reseptor nyeri
(nosiseptor). Ujung saraf bebasnya bisa mencapai bagian bawah epidermis. Ujung saraf bebas terbagi menjadi dua jenis serabut saraf. Serabut saraf A bermielin yang merupakan nosiseptor dan serabut saraf C tidak bermielin. Serabut saraf C terdiri dari 80% mekanosensitif yang merupakan polimodal nosiseptor dan 20% mekanoinsensitif. Polimodal nosiseptor merupakan serabut saraf yang merespon terhadap semua jenis stimulus mekanik dan kimiawi. Sedangkan mekanoinsensitif tidak merespon terhadap stimulus mekanik, namun memberi respon terhadap stimulus kimiawi. Sekitar 5% dari mekanoinsensitif ini merupakan pruritoseptor yaitu reseptor yang menimbulkan rasa gatal, terutama dipengaruhi oleh histamine. Serabut saraf A merupakan penghantar sinyal saraf yang cepat. Kecepatan hantarannya mencapai 30m/detik. Sedangkan serabut saraf C merupakan penghantar sinyal saraf yang lambat. Kecepatan hantarannya hanya 12m/detik,
6
terlebih lagi pada serabut saraf C mekanoinsensitif yang hanya 0,5m/detik. Hal ini menjelaskan mengapa seseorang dapat merasakan rasa gatal beberapa saat setelah stimulus terjadi. Bandingkan saat tangan kita terkena benda panas. Pruritogen menyebabkan ujung serabut saraf C pruritoseptif teraktivasi. Serabut saraf C tersebut kemudian menghantarkan impuls sepanjang serabut saraf sensoris. Terjadi input eksitasi di Lamina-1 kornu dorsalis susunan saraf tulang belakang. Hasil dari impuls tersebut adalah akson refleks mengeluarkan transmiter yang menghasilkan inflamasi neurogenik (substansi P, Calcitonin Gene-Related Peptide, neurokinin A, dan lain-lain). Setelah impuls melalui pemrosesan di korteks serebri, maka akan timbul suatu perasaan gatal dan tidak enak yang menyebabkan hasrat untuk menggaruk bagian tertentu tubuh. Gatal dapat timbul apabila pruritoseptor terangsang dan reseptor lainnya tidak terangsang. Tidak mungkin pada penghantaran sinyal, terdapat dua reseptor sekaligus yang terangsang oleh satu stimulus. Saat pruriseptor terangsang, seseorang akan mulai merasakan sensasi gatal sehingga timbul hasrat untuk menggaruk. Saat menggaruk, polimodal nosiseptor akan terangsang sehingga pruritoseptor akan berhenti terangsang. Hal ini memberikan penjelasan mengapa ketika seseorang menggaruk tubuhnya yang gatal, maka rasa gatal akan menghilang. Setelah garukan dihentikan, yang artinya polimodal nosiseptor berhenti terangsang, pruritoseptor sangat mungkin untuk kembali terangsang sehingga gatal akan timbul kembali. Polimodal nosiseptor juga dapat menimbulkan gatal, misalnya pada baju baru yang labelnya kasar akan menimbulkan sensasi gatal. Stimulus pada serabut saraf C melalui ganglion dorsal dan menyilang pada saraf tulang belakang ke sisi kontralateral dan masuk ke jalur spinotalamikus lateral menuju thalamus dan akhirnya mencapai korteks serebri sensori (Freddberg, et al. 2003).
7
2.3
Pruritus dengan Kehamilan
2.3.1
Faktor-Faktor Penyebab Pruritus pada Kehamilan
2.3.1.1 Berhubungan dengan Kehamilan a. Kelainan Kulit pada Kehamilan Akibat kehamilan akan terjadi beberapa macam kelainan kulit yaitu pemphigoid gestationis, Polimorphic Eruption of Pregnancy (PEP), Intrahepatic Cholestasis of Pregnancy (ICP) dan Atopic Eruption of Pregnancy (AEP) (Pãunescu, et al., 2008).
Gambar 2.1 Algoritma Pruritus pada Kehamilan
Dikutip dari: Rudolph, C.M., et al., 2006. J Am Acad Dermatol. Dalam: Afshar, Y. dan Esakoff, T.F. 2014. Dermatoses of Pregnancy:45.
1) Pemphigoid gestationis Pemphigoid gestationis atau yang biasa dikenal sebagai herpes gestasional merupakan suatu penyakit autoimun yang jarang. Insidennya diperkirakan 1 diantara 50.000 sampai 60.000 kehamilan dan penyakit ini berhubungan dengan haplotypes Human Leukocyte Antigen DR3 dan DR4. Faktor risiko meningkat pada penderita Grave’s disease.
8
Pemphigoid gestationis ditandai dengan rasa sangat gatal sebelum lesi kulit muncul. Lesi kulit berupa bulosa di daerah abdomen khususnya daerah umbilikus, tetapi bisa menyebar ke seluruh permukaan kulit (Pãunescu, et al., 2008). Setelah melahirkan, pemphigoid gestationis dapat berulang. Biasanya rekurensi dapat terjadi selama menstruasi dan penggunaan alat kontrasepsi. Bila pemphigoid gestationis berulang, gejala yang timbul akan semakin parah (Huilaja, Mäkikallio dan Tasanen, 2014).
2) Polimorphic eruption of pregnancy Polymorphic eruption of pregnancy atau biasa dikenal sebagai pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy adalah keadaan inflamasi yang dapat sembuh sendiri. Insidensinya 1:160 kehamilan dan kondisi ini biasanya dikaitkan dengan berat badan ibu yang terlalu berlebihan. Polymorphic eruption of pregnancy biasanya terdapat pada sekitar abdomen dengan gejala timbul lesi berupa urtikaria dan papula yang bergabung menjadi plak yang sangat gatal (Reamy, 2011).
3) Atopic eruption of pregancy Atopik selalu berkaitan dengan sistem imun dan lemahnya fungsi barier kulit sehingga dapat menyebabkan kulit kering dan sensitif. Insidensinya diperkirakan 1 diantara 5 sampai 20 kehamilan (Huilaja, Mäkikallio dan Tasanen, 2014). Pada atopic eruption of pregnancy rasa gatal dapat mengganggu tidur. Ada dua bentuk atopic eruption of pregnancy yaitu ekzema (biasanya pada leher, wajah, dan dada) dan prurigo (biasanya pada lengan dan tungkai) (AmbrosRudolph, 2011).
9
Tabel 2.1 Penyebab tersering pruritus pada kehamilan Itching related to pregnancy Rashes in pregnancy Polymorphic eruption of pregnancy Pemphigoid gestationalis Prurigo of pregnancy Pruritic folliculitis of pregnancy
Itching unrelated to pregnancy Rashes from skin disease Atopic eczema Eczema (other causes; e.g. contact) Psoriasis Xerosis (dry skin) Lichen planus Pityriasis rosea Urticaria
Rashes from metabolic changes of pregnancy Hyperthyroidism/ hypothyroidism Cholestasis Renal impairment Iron deficiency
Metabolic causes Hyperthyroidism/ hypothyroidism Liver disease Renal impairment Iron deficiency Other causes Scabies and infestations Tinea (fungal skin disease) HIV-related skin disease Localised itching Vulval itch
Dikutip dari Differential Diagnosis in Obstetrics and Gynaecology:An A-Z (Hollingworth, 2008) b. Kelainan Kulit akibat Perubahan metabolik pada Kehamilan Beberapa
kelainan
kulit
akibat
perubahan
metabolik
adalah
hipertiroid/hipotiroid, cholestasis, renal impairment,dan defisiensi zat besi.
1) Hipertiroid/Hipotiroid, renal impairment, defisiensi zat besi Sejalan dengan peningkatan estrogen dan progesteron pada kehamilan PBI (Protein Bound-Iodine) juga mengalami peningkatan (Moses, 2003). Baik hipertiroid maupun hipotiroid keduanya merupakan penyebab tersering pada
10
pruritus dalam kehamilan. Begitu juga pada renal impairment dan kekurangan zat besi (Hollingworth, 2008).
2) Intrahepatic cholestasis of pregnancy Intrahepatic cholestasis of pregnancy dikenal juga sebagai obstetric cholestasis yaitu suatu bentuk reversibel dari hormon yang merangsang terjadinya cholestasis. Hal ini biasa disebabkan oleh genetik dimana terdapat suatu defek pada ekskresi garam empedu menghasilkan peningkatan asam empedu di serum. Hal ini menyebabkan rasa yang sangat gatal terutama pada telapak tangan dan telapak kaki ibu (Pãunescu, et al., 2008).
2.3.1.2 Tidak Berhubungan dengan Kehamilan a. Kulit kering (xerosis) Penderita kulit kering sering mengeluhkan sensasi yang sangat gatal dan mengganggu. Lokasi yang terasa gatal terutama pada daerah ekstremitas. Tidak jarang juga pada daerah punggung, abdomen dan pinggang (Pooler, 2009).
b.
Vulval itch Vulval itch dapat disebabkan oleh infeksi Candida. Perubahan hormonal
pada kehamilan menyebabkan terjadinya kolonisasi Candida. Selama kehamilan, level hormon progesteron dan estrogen mengalami kenaikan. Progesteron memiliki efek menekan neutrofil sebagai aktifitas anti-Candida, sedangkan estrogen menurunkan kemampuan sel epitel vagina untuk menghambat pertumbuhan
Candida
albican,
juga
menghambat
imunoglobin
untuk
menghasilkan sekresi vagina (Aslam, et al. 2008).
c.
Skabies Skabies adalah penyakit yang disebabkan oleh S. Scabiei. Gejala khas
pada penderita skabies adalah pruritus. Pruritus yang dirasakan biasanya semakin parah pada malam hari. Hal ini dikarenakan penimbunan telur pada epidermis kulit.
Pruritus biasanya disertai dengan lesi kecil berupa papul, eritem dan
11
ekskoriasi kulit. Gejala yang lebih spesifik adalah ditemukan terowongan sepanjang 2-15mm pada permukaan kulit yang berseberangan (Reamy, 2011).
d.
Urtikaria Urtikaria adalah reaksi vaskular lapisan dermis bagian atas yang ditandai
dengan gambaran sementara bercak yang agak menonjol dan lebih merah atau lebih pucat dari pada kulit sekitarnya dan seringkali disertai dengan rasa gatal yang hebat (Dorland, 2011). Urtikaria sering terjadi pada populasi, sekitar 25%. Histamin merupakan mediator utama penyebab terjadinya urtikaria meskipun imunohistokimia lainnya juga ikut berperan penting dalam terjadinya kasus kronis (Reamy, 2011).
e.
Psoriasis Sekitar 80% pasien psoriasis dilaporkan mengalami siklus pruritus,
dimana pruritus yang terjadi semakin parah pada malam hari sehingga mengganggu tidur. Pruritus biasanya dirasakan menyeluruh dan tidak dibatasi oleh bagian plak psoriasis (Reamy, 2011) Patogenesis terjadinya pruritus pada psoriasis masih belum diketahui. Teori yang paling sering didiskusikan adalah inervasi yang terganggu dan ketidakseimbangan neuropati pada kulit penderita psoriasis. Hal lain yang merupakan penyebab pruritus adalah peningkatan interleukin 2 atau abnormalitas vaskularisasi. Data terakhir dikatakan bahwa pruritus bisa dirangsang oleh sistem opioid, prostanoid, interleukin 31, serotonin ataupun protease (Reich dan Szepietowski, 2007).
f.
Dermatitis Kontak Dermatitis kontak adalah ruam yang disebabkan oleh sentuhan langsung
kulit pada suatu alergen atau iritan. Dermatitis kontak merupakan masalah kulit tersering pada populasi dengan prevalensi sekitar 30%. Gejala khas pada dermatitis kontak adalah rasa gatal yang sangat hebat (Reamy, 2011)
12
g.
Penyakit Ginjal Kronik dan Liver Disease Menurut data, lebih dari 50% pasien dengan penyakit ginjal kronis
mengalami pruritus. Presentase meningkat pada pasien yang mengalami dialisis sekitar 80%. Pruritus yang dirasakan biasanya menyeluruh tetapi bisa juga terlokalisasi pada bagian punggung (Reamy, 2011). Pada liver disease, pruritus disebabkan oleh sekresi garam empedu yang terganggu. Pruritus dapat dirasakan pada seluruh anggota tubuh tetapi bagian telapak tangan dan telapak kaki merupakan bagian yang paling gatal (Reamy, 2011).
h.
Liken Planus Liken planus adalah kondisi inflamasi pada mukokutaneus. Gejala khas
pada liken planus adalah 6P yaitu pruritus, poligonal, planar (flat-topped), papul berwarna ungu, dan plak. Pruritus yang dirasakan pada liken planus cukup mengganggu, biasanya pruritus dikaitkan dengan atopik dermatitis (Katta, 2000)
i.
Atopik Ekzema Atopik ekzema atau yang sering disebut dengan dermatitis atopik adalah
penyakit kronis dengan inflamasi yang disertai pruritus. Patogenesis atopik ekzema sebenarnya belum diketahui tetapi kelainan pada kulit ini adalah hasil dari defek fungsi pertahanan kulit, abnormalitas imun dan agen infeksi serta lingkungan. Defek fungsi pertahanan kulit dikaitkan dengan flaggrin gene dan defisiensi molekul lemak (ceramide). Defek ini mengakibatkan kulit kehilangan air secara transepidermal. Abnormalitas imun berkontribusi dalam peningkatan infeksi virus dan bakteri. Faktor ini menyebabkan aktifnya sel T pada kulit. Sel T yang aktif melepaskan kemokin dan sitokin proinflamasi (interleukin 4,5 dan Tumor Necrosis Factor) sehingga Ig E diproduksi. Produksi Ig E menyebabkan pruritus dan inflamasi pada kulit (Watson dan Kapur, 2011).
j.
Pitiriasis Rosea Pitiriasis rosea adalah penyakit kulit yang ditandai oleh makula
berbentuk oval, berwarna merah muda, dan bersisik, yang tersusun dengan sumbu
13
panjang sejajar dengan garis lipatan kulit (Dorland, 2011). Penyebab Pitiriasis rosea belum diketahui secara pasti. Tidak ada gejala yang spesifik tetapi salah satu gejala yang khas adalah pruritus. Pruritus yang dirasakan bisa bervariasi tetapi 25% pasien mengeluhkan pruritus ringan sampai berat (Stulberg dan Wolfrey, 2004)
k.
Hiper/hipotiroid dan Defisiensi Zat Besi Pruritus dapat terjadi pada pasien hipertiroid. Hal ini mungkin terjadi
karena sifat hangat dan lembab yang selalu menyertai kulit pasien hipertiroid. Faktanya penyebab pasti pruritus pada hipertiroid masih belum diketahui. Pruritus yang berkenaan dengan hipertiroid juga bisa dikarenakan kolestasis dan jaundice pada sebagian kasus. Pruritus juga terdapat pada pasien hipotiroid meskipun angka kejadiannya sedikit. Pada pasien hipotiroid, pruritus dihubungkan dengan kejadian xerosis (Karnath, 2005). Defisiensi zat besi juga bisa menyebabkan pruritus tetapi patogenesisnya masih belum diketahui (Yonova, 2007).
l.
Dermatofitosis Infeksi Dermatofita dapat menyebabkan pruritus lokal dan ruam yang
ditandai dengan central-healing. Tinea pedis (athlete’s foot) biasanya terjadi diantara jari-jari kaki yang kering. Infeksi Tinea juga bisa terjadi di beberapa bagian tubuh, termasuk tungkai tubuh, selangkangan dan kulit kepala (Reamy, 2011).
m. HIV yang Berhubungan dengan Kulit Pruritus merupakan salah satu gejala tersering yang berhubungan dengan pasien HIV. Tingkat pruritus pada pasien HIV sangat beragam, dimulai dari hanya menimbulkan keinginan untuk menggaruk, menggangu tidur hingga dapat menyebabkan stress psikologis. Ruam kulit biasanya merupakan pertanda awal adanya infeksi pada penderita HIV. Infeksi pada kulit dapat berupa xerosis, reaksi obat, photodermatitis, dan gangguan lainnya. Pruritus juga bisa diperoleh dari penyakit sistemik yang dialami oleh pasien HIV (Singh dan Rudikoff, 2003)