BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang)
2.1.1. Askariasis Askariasis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides atau yang secara umum dikenal sebagai cacing gelang (Onggowaluyo, 2002). Ascaris lumbricoides adalah salah satu spesies cacing yang termasuk ke dalam Filum Nemathelminthes, Kelas Nematoda, Ordo Rhabditia, Famili Ascarididae dan Genus Ascaris. Cacing gelang ini tergolong Nematoda intestinal berukuran terbesar pada manusia. Distribusi penyebaran cacing ini paling luas dibanding infeksi cacing lain karena kemampuan cacing betina dewasa menghasilkan telur dalam jumlah banyak dan relatif tahan terhadap kekeringan atau temperatur yang panas (Ideham dan Pusarawati, 2007).
2.1.2. Epidemiologi Ascaris lumbricoides tersebar luas di seluruh dunia (kosmopolitan), terutama di daerah tropis dan sub tropis yang kelembapan udaranya tinggi (Soedartono, 2008). Berdasarkan survei yang dilakukan dibeberapa tempat di Indonesia, prevalensi infeksi cacing gelang ini mencapai sekitar 60-90% dan merupakan prevalensi terbesar dibandingkan infeksi cacing lainnya (Ismid et al., 2008). Di dunia lebih dari 2 milyar orang terinfeksi berbagai jenis cacing. Jumlah orang yang terinfeksi Ascaris lumbricoides di Asia, Afrika dan Latin Amerika adalah 1,2 sampai 1,4 milyar dengan rata-rata 1,8 sampai 10,5 juta per hari. Angka kematian akibat cacing ini sekitar 3.000 sampai 60.000 per tahun (WHO, 2012). Hasil survei kecacingan oleh Ditjen P2PL (2009) menyebutkan bahwa 31,8%
siswa-siswi
SD
menderita kecacingan. Berdasarkan
survei Dinas
Kesehatan Tingkat 1 Sumatera Utara (2009) yang dilakukan pada siswa-siswi SD di 13 Kabupaten/kota, prevalensi Ascaris lumbricoides 39%, Hookworm 5%, dan Trichuris trichiura 24% (Daim, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang dilakukan oleh Simarmata (2010) di tiga SD di Kecamatan Kabanjahe dan Simpang Empat, Kabupaten Karo melaporkan bahwa prevalensi kecacingan didapatkan sebesar 58.7%. Prevalensi infeksi Trichuris trichiura sebesar 22.6%, infeksi Ascaris lumbricoides sebesar 6.8%, dan infeksi campuran antara Trichuris trichiura dengan Ascaris lumbricoides sebesar 70.6%. Penelitian yang dilakukan oleh Tarigan (2011) pada muruid SD Negeri 067244 Kecamatan Medan Selayang mendapat hasil bahwa dari total 23 orang anak yang terinfeksi cacing, 13 orang (56,5%) terinfeksi Trichuris trichiura, 6 orang (26,0 %) terinfeksi Ascaris lumbricoides dan 4 orang (17,5%) terinfeksi Trichuris trichiura dan Ascaris lumbricoides. Penelitian yang dilakukan oleh Ariffin (2011) pada murid SD Negeri
101837 Suka Makmur Kecamatan Sibolangit melaporkan
bahwa dari 64 sampel yang fesesnya diperiksa ditemukan 49 anak (76,6%) terinfeksi Ascaris lumbricoides.
2.1.3. Morfologi Cacing dewasa berbentuk giling (silindris) memanjang, berwarna krem/ merah muda keputihan dan panjangnya dapat mencapai 40cm. Ukuran cacing betina
20-35cm, diameter 3-6mm dan cacing jantan 15-31cm dan diameter
2,4mm. Mulut cacing ini memiliki tiga tonjolan bibir berbentuk segitiga (satu tonjolan di bagian dorsal dan dua lainnya di ventrolateral) dan bagian tengahnya terdapat rongga mulut (buccal cavity). Cacing jantan mempunyai ujung posterior tajam agak melengkung ke ventral seperti kait, mempunyai 2 buah copulatory spicule panjangnya 2mm yang muncul dari orifisium kloaka dan di sekitar anus terdapat sejumlah papillae. Cacing betina mempunyai ujung posterior tidak melengkung ke arah ventral tetapi lurus. Cacing betina juga mempunyai vulva yang sangat kecil terletak di ventral antara pertemuan bagian
anterior
dan tengah
tubuh
dan
mempunyai
tubulus
genitalis
berpasangan terdiri dari uterus, saluran telur (oviduct) dan ovarium. Cacing dewasa memiliki jangka hidup 10-12 bulan (Ideham dan Pusarawati, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Telur dibuahi
Ascaris lumbricoides
(fertilized)
dan
ditemukan
tidak dibuahi
dalam
dua
bentuk,
yang
(unfertilized). Telur cacing ini
memerlukan waktu inkubasi sebelum menjadi infektif. Perkembangan telur menjadi infektif tergantung pada kondisi lingkungan, misalnya temperatur, sinar matahari, kelembapan, dan tanah liat. Telur akan mengalami kerusakan karena pengaruh bahan kimia, sinar matahari langsung, dan pemanasan 70oC. Telur yang dibuahi berbentuk bulat lonjong, ukuran panjang 45-75 mikron dan lebarnya 35-50 mikron. Telur yang dibuahi ini berdinding tebal terdiri dari tiga lapis, yaitu lapisan dalam dari bahan lipoid (tidak ada pada telur unfertile), lapisan tengah dari bahan glikogen, lapisan paling luar dari bahan albumin (tidak rata, bergerigi, berwarna coklat keemasan berasal dari warna pigmen empedu). Kadang-kadang telur yang dibuahi, lapisan albuminnya terkelupas dikenal sebagai decorticated eggs. Telur yang dibuahi ini mempunyai bagian dalam tidak bersegmen berisi kumpulan granula lesitin yang kasar. Telur yang tidak dibuahi mempunyai panjang 88– 94 mikron dan
lebarnya 44 mikron. Telur
unfertile dikeluarkan oleh cacing betina yang belum mengalami fertilisasi atau pada periode awal pelepasan telur oleh cacing betina fertil (Ideham dan Pusarawati, 2007).
Gambar 2.1. Cacing Dewasa Ascaris lumbricoides Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/index.html
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Telur Ascaris lumbricoides yang Tidak Dibuahi (unfertilized) Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/index.html
Gambar 2.3. Telur Ascaris lumbricoides yang Dibuahi (fertilized) Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/index.html
2.1.4. Siklus Hidup Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja penderita, di dalam tanah yang lembap dan suhu yang optimal akan berkembang menjadi telur infektif yang mengandung larva cacing. Infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang infektif ke dalam mulut melalui makanan atau minuman yang
Universitas Sumatera Utara
tercemar tanah yang mengandung tinja penderita askariasis. Dalam usus halus bagian atas, dinding telur akan pecah sehingga larva dapat keluar, untuk selanjutnya menembus dinding usus halus dan memasuki vena porta hati. Bersama aliran darah vena, larva akan beredar menuju jantung, paru-paru, lalu menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli. Masa migrasi ini berlangsung sekitar 15 hari. Dari alveoli larva cacing berpindah ke bronki, trakea dan laring, untuk selanjutnya masuk ke faring, esofagus, turun ke lambung akhirnya sampai ke usus halus. Sesudah berganti kulit, larva cacing akan tumbuh menjadi cacing dewasa. Sirkulasi dan migrasi larva cacing dalam darah tersebut disebut lung migration. Dua bulan sejak infeksi (masuknya telur infektif per oral) terjadi, seekor cacing betina mampu mulai bertelur, yang jumlah produksi telurnya dapat mencapai 200.000 butir per hari (Soedarto, 2008).
Gambar 2.4. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides Sumber : http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/Ascariasis.html
Universitas Sumatera Utara
Keterangan gambar: Cacing dewasa
hidup di dalam lumen usus halus. Cacing betina menghasilkan
telur sampai 200.000 butir per hari yang dikeluarkan bersama tinja
. Telur yang
tidak dibuahi (unfertilized) bisa saja tertelan tetapi tidak menginfeksi. Telur yang dibuahi (fertilized) yang mengandung embrio menjadi infektif setelah 18 hari sampai beberapa minggu
, hal ini tergantung pada kondisi lingkungan (tempat
yang lembap, hangat dan teduh). Setelah telur yang berkembang menjadi infektif tertelan oleh hospes
, larva akan menetas
, menginvasi mukosa usus,
selanjutnya terbawa aliran darah portal kemudian melalui aliran darah sistemik ke paru-paru
. Larva yang matang menuju ke paru-paru (10-14 hari), penetrasi pada
dinding alveoli, ke cabang bronchi, kerongkongan, dan selanjutnya tertelan Setelah mencapai usus, berkembang menjadi cacing dewasa
.
.
2.1.5. Cara Infeksi atau Penularan Penularan umumnya dapat terjadi melalui beberapa jalan, yaitu telur infektif masuk ke dalam mulut bersama makanan dan minuman yang tercemar, melalui tangan yang kotor tercemar terutama pada anak, atau
telur infektif
terhirup melalui udara bersama debu (Soedartono, 2008). Infeksi sering terjadi pada anak daripada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena anak sering berhubungan dengan tanah yang merupakan tempat berkembangnya telur Ascaris lumbricoides. Diperoleh juga laporan bahwa dengan adanya usaha untuk meningkatkan kesuburan tanaman sayuran dengan mempergunakan feses manusia menyebabkan sayuran merupakan sumber infeksi dari cacing ini (Irianto, 2009). 2.1.6. Patofisiologi Tarigan (2011) menyebutkan bahwa gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru disertai batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut Sindroma Loeffler. Akumulasi sel darah putih
Universitas Sumatera Utara
dan epitel yang mati membuat sumbatan menyebabkan Ascaris pneumonitis. Menurut Tarigan (2011) gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi
berat,
terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan
makanan (Malabsorbtion). Keadaan yang
serius,
bila
cacing menggumpal
dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive).
2.1.7. Gejala Klinis Kurang lebih 85% kasus ascariasis tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatis), namun beberapa individu dengan keluhan rasa terganggu di abdomen bagian atas dengan intensitas bervariasi. Pada awal migrasi larva melalui paru-paru pada umumnya tidak menimbulkan gejala klinis, namun pada infeksi berat dapat menyebabkan pneumonitis. Larva askaris dapat menimbulakan reaksi hipersensitif pulmonum, reaksi inflamasi dan pada individu yang sensitif dapat menyebabakan gejala seperti asma misalnya batuk, demam, dan sesak nafas. Reaksi jaringan karena migrasi larva yakni inflamasi eosinofilik, granuloma pada jaringan paru dan hipersensitifitas lokal menyebabakan peningkatan sekresi mukus, inflamasi bronkiolar dan eksudat serosa. Pada kondisi berat
karena larva yang mati,
menimbulkan vaskulitis dengan reaksi granuloma perivaskuler. Inflamasi eosinofilik dikenal dengan sindrom loffler’s, dahak mengandung eosinofil dan larva kadang-kadang ditemukan. Gejala alergi lainnya seperti urtikaria kemerahan di kulit (skin rash), nyeri pada mata dan insomnia karena reaksi alergi terhadap ekskresi dan sekresi metabolik cacing dewasa, cacing dewasa yang mati, infeksi intestinal. Cacing dewasa menimbulkan gejala klinis ringan , kecuali pada infeksi berat. Gejala klinis yang sering timbul, gangguan abdominal, nausea, anoreksia dan diare. Komplikasi serius akibat migrasi cacing dewasa ke pencernaan lebih atas akan
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan muntah (cacing keluar lewat mulut atau hidung) atau keluar lewat rectum. Migrasi larva dapat terjadi sebagai akibat rangsangan panas (38,9oC). Sejumlah cacing dapat
membentuk bolus (massa) yang dapat
menyebabkan obstruksi intestinal secara parsial atau komplet dan menimbulkan rasa sakit pada abdomen, muntah dan kadang-kadang massa dapat di raba. Migrasi cacing ke kandung empedu, menyebabkan kolik biliare dan kolangitis. Migrasi pada saluran pankreas menyebabkan pankreatitis. Apendisitis dapat disebabkan askaris yang bermigrasi ke dalam saluran apendiks. Pada anak di bawah umur 5 tahun menyebabakan gangguan nutrisi berat karena cacing dewasa dan dapat di ukur secara langsung dari peningkatan nitrogen pada tinja. Gangguan absorpsi karbohidrat dapat kembali normal setelah cacing dieleminasi. Askaris dapat menyebabkan protein energy malnutrition. Pada anakanak yang diinfeksi 13-14 cacing dewasa dapat kehilangan 4 gram protein dari diet yang mengandung 35-50 gram protein/hari (Ideham dan Pusarawati, 2007).
2.1.8. Diagnosis Selama fase intestinal diagnosis dapat ditetapkan dari penemuan cacing dewasa atau telur cacing. Cacing betina Askaris mengeluarkan telur secara konstan, telur dapat dihitung untuk memperkirakan jumlah cacing dewasa yang menginfeksi. Cacing dewasa Askaris dapat keluar melalui anus atau mulut, karena sudah tua atau karena reaksi tubuh hospes. Sedangkan telur (fertile dan
unfertile) dapat ditemukan pada pemeriksaan tinja. Telur dapat
dengan mudah ditemukan pada sediaan basah apus tinja (direct wet smear) atau sediaan basah dari sedimen pada metode konsentrasi (Ismid, 2008). Untuk mendignosis adanya larva pada paru-paru dapat dilakukan dengan melakukan rontgen pada rongga dada atau dapat ditetapkan dari penemuan larva pada sediaan sputum atau kumbah lambung (Irianto, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.1.9. Pengobatan Beberapa obat yang efektif terhadap ascariasis adalah sebagai berikut : Pirantel pamoat: dosis 10 mg/kg BB (maksimum 1 g) dapat diberikan dosis tunggal. Efek samping : gangguan gastrointestinal, sakit kepala, pusing, kemerahan pada kulit dan demam. Mebendazol : dosis 100 mg dua kali per hari selama lebih dari 3 hari. Efek samping : diare rasa sakit pada abdomen, kadang-kadang leukopenia. Mebendazol tidak di anjurkan pada wanita hamil karena dapat membahayakan janin. Piperasin sitrat : dosis 75 mg/kg BB (maksimum 3,5 g/hari), pemeberian selama dua hari. Efek samping : kadang – kadang menyebabkan urtikaria, gangguan gastrointestinal dan pusing. Albendazol
: dosis tunggal 400 mg, dengan angka kesembuhan 100% pada
infeksi cacing Ascaris (Ideham dan Pusarawati, 2007).
2.1.10. Pencegahan Penularan Askaris dapat terjadi secara oral, maka untuk pencegahannya hindari tangan dalam keadaan kotor, karena dapat menimbulkan adanya kontaminasi dari telur-telur askaris. Oleh karena itu, biasakan mencuci tangan sebelum makan. Selain hal tersebut, hindari juga mengkonsumsi sayuran mentah dan jangan membiarkan makanan terbuka begitu saja, sehingga debu-debu yang berterbangan dapat mengontaminasi makan tersebut ataupun dihinggapi serangga yang membawa telur-telur tersebut. Untuk menekan volume dan lokasi dari aliran telur-telur melalui jalan ke penduduk, maka pencegahannya dengan mengadakan penyaluran pembuangan feses yang teratur dan sesuai dengan syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan dan tidak boleh mengotori air permukaan untuk mencegah agar tanah tidak terkontaminasi telur-telur Askaris. Mengingat tingginya prevalensi terjadinya askariasis
pada anak-anak,
maka perlu diadakan pendidikan di sekolah-sekolah mengenai cacing askaris ini.
Universitas Sumatera Utara
Dianjurkan juga untuk membiasakan diri mencuci tangan sebelum makan, mencuci makanan dan memasaknya dengan baik, memakai alas kaki terutama diluar rumah. Ada baiknya di desa-desa diberikan pendidikan dengan cara peragaan berupa gambar atau video, sehingga dengan cara ini dapat dengan mudah dimengerti oleh mereka. Untuk melengkapi hal di atas perlu ditambah dengan penyediaan sarana air minum dan jamban
keluarga, sehingga sebagaimana telah terjadi program
nasional, rehabilitasi sarana perumahan juga merupakan salah satu perbaikan keadaan sosial-ekonomi yang menjurus kepada perbaikan kebersihan dan sanitasi. Cara- cara perbaikan tersebut adalah buang air pada jamban dan menggunakan air untuk membersihkannya, makan makanan yang sudah dicuci dan dipanaskan serta menggunakan sendok garpu dalam waktu makan dapat mencegah infeksi oleh telur cacing. Anak-anak dianjurkan tidak bermain di tanah yang lembab dan kotor, serta selalu memotong kuku secara teratur. Halaman rumah selalu dibersihkan (Irianto, 2009).
2.1.11. Prognosis Pada umumnya, askariasis memiliki
prognosis
yang baik. Kesembuhan
askariasis dengan pengobatan mencapai 70% hingga 99% (Ismid et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.2.
Indeks Massa Tubuh Indeks Massa
Tubuh
(IMT) merupakan
rumus
matematis
yang
dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam ukuran meter). IMT atau Body Mass Index (BMI) telah direkomendasikan untuk mengevaluasi kelebihan berat badan atau obesitas pada anak-anak dan remaja. IMT merupakan indikator untuk lemak yang berlebihan, tetapi pada anak yang kurus akan didapati massa yang bebas lemak. IMT mudah digunakan dalam praktik, relatif murah, tidak invasif dan tidak berbahaya. IMT memiliki sensitivitas 70%-80% dan spesifisitas 95% (Pediatrics,2009). Pada anak hasil perhitungan diletakan pada kurva CDC Body mass indexfor-age percentiles untuk menentukan peringkat persentil. Persentil yang didapat akan digunakan sebagai indikator untuk menilai ukuran dan pola pertumbuhan. Persentil menunjukan posisi angka BMI pada anak sesuai jenis kelamin dan usia. Grafik pertumbuhan menunjukan kategori status berat pada anak dan remaja (underweight, healthy weight, overweight, dan obese). IMT digunakan sebagai alat untuk mendeteksi adanya masalah berat badan pada anak (Centers for Disease Control and Prevention, 2002).
Tabel 2.1. Kategori BMI Sesuai Usia Weight Status Category Percentile Range Underweight
Less than the 5th percentile
Healthy weight
5th percentile to less than the 85th percentile
Overweight
85th to less than the 95th percentile
Obese
Equal to or greater than the 95th percentile
Universitas Sumatera Utara
Cara menghitung dan menginterpretasikan BMI secara ringkas dapat dilihat pada bagan berikut: Sebelum menghitung BMI, pastikan pengukuran tinggi badan dan berat badan secara akurat.
Hitung BMI dengan cara berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam ukuran meter).
Tentukan persentil yang dihubungkan dengan usia dan jenis kelamin pada kurva CDC Body mass index-for-age percentiles.
Cari kategori dengan BMI-for-age percentile yang ditujukan pada tabel kategori BMI sesuai usia Gambar 2.5. Skema Cara Menghitung dan Menginterpretasikan BMI
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.6. Kurva BMI for age pada Anak Perempuan Sumber : http://www.cdc.gov/growthcharts
Universitas Sumatera Utara
2.3.
Hubungan Infeksi Ascaris lumbricoides dengan Indeks Massa Tubuh pada anak Infeksi cacing dapat menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi,
kecerdasan, dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian. Cacingan menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Pada umumnya cacingan ini banyak ditemukan pada penduduk yang kurang mampu dan sanitasi yang buruk (Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2012). Secara umum infeksi cacing akan menyebabkan kurangnya nafsu makan dan penyerapan makanan, pengurangan dan deplesi mikronutrien dan anemia. Infeksi
cacing jarang disertai dengan adanya gejala. Infeksi
Ascaris
menyebabkan malabsorbsi dikarenakan cacing ini akan memblok area absorbsi di lumen usus. Hal tersebut jika berlangsung secara kronik akan menyebabkan asupan gizi anak tidak tercukupi sehingga akan terjadi kondisi malnutrisi yang ditandai dengan status underweight (Tarigan, 2011). Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorpsi), dan metabolisme makanan. Cacing Ascaris lumbricoides yang hidup dalam rongga usus manusia memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kejadian penyakit lainnya. Cacing gelang ini mengambil sumber karbohidrat dan protein diusus sebelum diserap oleh tubuh, 1 ekor cacing akan mengambil karbohidrat 0,14 gram/hari dan protein 0,035 gram/hari. Gejala-gejala kecacingan yang dapat timbul adalah
berbadan
kurus
dan pertumbuhan
terganggu (kurang gizi), kurang darah (anemia), daya tahan tubuh rendah, sering sakit, lemah dan mudah menjadi letih sehingga sering tidak hadir sekolah dan mengakibatkan nilai pelajaran turun dan drop out nya anak SD (Ali, 2008). Menurut Gusti (2004) kejadian infeksi kecacingan pada anak berhubungan negatif signifikan dengan perilaku sehat. Sementara itu kejadian infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah pada anak di Desa Tanjung Anom, Sumatera Utara menunjukkan adanya hubungan dengan status gizi anak. Anak yang tidak
Universitas Sumatera Utara
terinfeksi cacing memiliki status gizi yang relatif lebih baik dibandingkan anak yang terinfeksi cacing (Elmi, et al., 2004). Status gizi didapat dari hasil pengukuran tinggi dan berat badan kemudian disesuaikan dengan usia anak yang terdapat pada chart yang tersedia. Dari pengukuran status gizi diharapkan bahwa anak yang terinfeksi cacing mengalami underweight. Hasil penelitian yang dilakukan Tarigan (2011) melaporkan bahwa dari 53 orang siswa terdapat 23 siswa yang terinfeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dimana 17.4% yang mengalami underweight dan dari 30 siswa yang tidak terinfeksi STH terdapat 10% yang mengalami underweight. Anak sekolah merupakan aset atau modal utama pembangunan di masa depan yang perlu dijaga, ditingkatkan dan dilindungi kesehatannya. Sekolah selain berfungsi sebagai tempat pembelajaran, juga dapat menjadi ancaman penularan penyakit jika tidak dikelola dengan baik. Usia sekolah bagi anak juga merupakan masa rawan terserang berbagai penyakit. Salah satu penyakit yang banyak diderita oleh anak-anak, khususnya usia sekolah dasar adalah penyakit infeksi kecacingan, yaitu sekitar 40-60 %. Penyakit kecacingan atau biasa disebut cacingan masih dianggap sebagai hal sepele oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal
jika dilihat
dampak
jangka
panjangnya,
kecacingan menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi penderita dan keluarganya. Kecacingan dapat menyebabkan anemia, lesu, prestasi belajar menurun (Kusuma, 2011).
Universitas Sumatera Utara