BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Cacing Tanah Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah yang tidak memiliki tulang belakang (invertebrata) dan digolongkan ke dalam ordo Oligochaeta, kelas Chaetopoda, dan filum Annelida. Penggolongan ini didasarkan pada bentuk morfologi, karena tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (annulus), setiap segmen memiliki beberapa pasang setae, yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak, tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior, pada bagian anteriornya terdapat mulut, prostomium dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelium (Edward & Lofty, 1997). Cacing tanah dalam berbagai hal mempunyai arti penting, misalnya bagi lahan pertanian. Lahan yang banyak mengandung cacing tanah akan menjadi subur, sebab kotoran cacing tanah yang bercampur dengan tanah telah siap untuk diserap akar tumbuh-tumbuhan. Cacing tanah juga dapat meningkatkan daya serap air permukaan. Lubang-lubang yang dibuat oleh cacing tanah meningkatkan konsentrasi udara dalam tanah. Disamping itu pada saat musim hujan lubang tersebut akan melipat gandakan kemampuan tanah menyerap air. Secara singkat dapat dikatakan cacing tanah berperan memperbaiki dan mempertahankan struktur tanah agar tetap gembur.
Cacing tanah umumnya memakan serasah daun dan juga materi tumbuhan lainnya, yang kemudian dicerna dan dikeluarkan berupa kotoran. Kemampuan hewan ini dalam mengkonsumsi serasah sebagai makanannya bergantung kepada ketersediaan jenis serasah yang disukainya, dan juga ditentukan oleh kandungan karbon dan nitrogen serasah. Pada umumnya cacing tanah lebih menyukai serasah daun yang lunak, yang biasanya mengandung rasio yang rendah, dan kurang
Universitas Sumatera Utara
menyenangi serasah daun yang keras yang sering mengandung C/N tinggi (Edwards & Lofty, 1997).
2.2. Ekologi Cacing Tanah
Pengelompokan makhluk hidup yang didasarkan pada karakteristik ekologinya kadang-kadang memberikan keuntungan praktis seperti kemampuan untuk menilai perbedaan lingkungan. Hasil penelitian Paoletti (1999); dan Jimenez et al. (1998) menunjukkan: a. Lahan peternakan dan padang rumput memiliki kepadatan dan biomas cacing tanah yang lebih tinggi b. Hutan berdaun gugur lebih tinggi biomas dan kepadatan cacing tanahnya dibandingkan hutan berdaun jarum c. Lahan pertanian yang diolah intensif lebih rendah populasi cacingnya dibandingkan kebun buah-buahan.
Cacing tanah secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan tempat hidupnya, kotorannya, kenampakan warna, dan makanan kesukaannya (Edwards, 1998; Paoletti, 1999) dalam Ansyori (2004) sebagai berikut: a. Epigaesis; cacing yang aktif dipermukaan, warna gelap, penyamaran efektif, tidak membuat lubang, kotoran tidak nampak jelas, pemakan serasah di permukaan tanah dan tidak mencerna tanah. Contohnya Lumbricus rubellus dan Lumbricus castaneus. b. Anazesis;
berukuran
besar,
membuat
lubang
terbuka
permanen
ke
permukaan tanah, pemakan sersah di permukaan tanah dan membawanya ke dalam tanah, mencerna sebagian tanah, kotoran di permukaan tanah atau terselip di antara tanah.
Contohnya Eophila tellinii, Lumbricus terrestris, dan
Allolobophora longa. c. Endogaesis; hidup di dalam tanah dekat permukaan tanah, sering dalam dan meluas, kotoran
di
dalam
lubang,
tidak
berwarna,
tanpa
penyamaran,
pemakan tanah dan bahan organik, serta akar-akar mati. Contohnya Allolobophora chlorotica, Allolobophora caliginosa, dan Allolobophora rosea
Universitas Sumatera Utara
d. Coprophagic; hidup pada pupuk kandang, contohnya Eisenia foetida,Dendrobaena veneta dan Metaphire schmardae. e. Arboricolous; hidup di dalam suspensi tanah pada hutan tropik basah, contohnya Androrrhinus spp.
Aktivitas hidup cacing tanah dalam suatu ekosistem tanah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : iklim (curah hujan, intensitas cahaya dan lain sebagainya), sifat fisik dan kimia tanah (temperatur, kelembaban, kadar air tanah, pH dan kadar organik tanah), nutrien (unsur hara) dan biota (vegetasi dasar dan fauna tanah lainnya) serta pemanfaatan dan pengolahan tanah (Hanafiah, 2005). Selanjutnya Populasi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan, dimana cacing itu beraksi cepat terhadap perubahan lingkungan, baik yang datang dari tanah, faktor iklim dan pengolahan tanah sesuai kemampuan mempertahankan dirinya (Adianto, 1993). Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap populasi cacing tanah adalah : a. Kelembaban Tanah Kelembaban tanah sangat erat hubungan dengan popul asi cacing tanah, karena tubuh hewan tanah mengandung air, oleh karena itu kondisi tanah yang kering dapat menyebabkan tubuh cacing tanah kehilangan air dan hal ini merupakan masalah yang besar bagi kelulusan hidupnya (Anas, 1990)
b. Suhu Tanah Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat erat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah dengan demikian suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara, dan suhu tanah sangat tergantung dari suhu udara, suhu tanah lapisan tanah mengalami fluktuasi dalam satu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung kondisi cuaca, topografi daerah dan keadaan tanah (Suin, 1997).
c. pH Tanah Keasaman pH tanah sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan kegiatan cacing tanah, karena cacing tanah sangat sensitif terhadap pH tanah, sehingga pH tanah
Universitas Sumatera Utara
merupakan salah satu faktor pembatas, namun demikian toleransi cacing tanah terhadap pH pada umumnya bervariasi untuk masing-masing spesies (Edward & Lofty, 1997).
d. Bahan Organik bahan organik tanah sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan populasi cacing tanah, karena bahan organik yang terdapat di tanah sangat diperlukan untuk melanjutkan kehidupannya (Buckman dan Brady, 1982). Selanjutnya dijelaskan bahwa sumber utama materi organik tanah adalah yang berasal dari serasah tumbuhan dan tubuh hewan tanah yang telah mati. Pada umumnya bahan organik ini banyak terdapat di tanah yang kelembabannya cukup tinggi, oleh sebab itu cacing tanah lebih banyak jumlahya pada tanah yang kelembaban tinggi dibandingkan dengan yang rendah
2.3 Tanaman Kelapa Sawit 2.3.1 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit diklasifikasikan oleh Jacquin (1763) sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Kelas
: Monocotyledone
Ordo
: Arecales
Famili
: Arecaceae
Genus
: Elaeis
Spesies
: Elaeis guineensis
2.3.2 Morfologi Tanaman Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit dibedakan atas 2 bagian, yakni: bagian vegetatif dan bagian generatif. Bagian vegetatif tanaman kelapa sawit terdiri dari akar berupa akar serabut, batang dan daun. Batang tidak bercabang dan tidak memiliki kambium. Pada ujung
Universitas Sumatera Utara
batang terdapat titik tumbuh yang terus berkembang membentuk daun. Batang berfungsi sebagai penyimpan dan pengangkut bahan makanan untuk tanaman serta sebagai penyangga mahkota daun. Daun kelapa sawit membentuk suatu pelepah bersirip genap dan bertulang sejajar. Panjang pelepah dapat mencapai 9 meter. Pelepah daun sejak mulai terbentuk sampai tua mencapai waktu ± 7 tahun; jumlah pelepah dalam 1 pohon dapat mencapai 60 pelepah. Jumlah anak daun tiap pelepah dapat mencapai 380 helai. Panjang anak daun dapat mencapai 120 cm (Risza, 1994).
Bagian generatif tanaman kelapa sawit terdiri dari bunga dan buah. Kelapa sawit mulai berbunga pada umur 12 bulan. Pembungaan kelapa sawit termasuk monoceus artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon tetapi tidak pada satu tandan yang sama. Namun terkadang dijumpai juga dalam 1 tandan terdapat bunga jantan dan bunga betina. Bunga seperti itu disebut bunga banci (hermaprodit). Buah kelapa sawit termasuk buah batu yang terdiri dari 3 bagian yakni; lapisan luar (epicarpium) yang disebut kulit luar, lapisan tengah (mesocarpium) yang disebut daging buah, mengandung minyak sawit dan lapisan dalam (endocarpium) yang disebut inti, mengandung minyak inti. Diantara inti dan daging buah terdapat lapisan tempurung (cangkang) yang keras. Biji kelapa sawit terdiri dari 3 bagian yaitu; kulit biji (spermodermis), tali pusat (funiculus) dan inti biji atau nucleus seminis (Risza, 1994).
Gambar 2.1 Morfologi Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis)
Universitas Sumatera Utara
2.4 Limbah Cair Kelapa Sawit Pamin, dkk. (1996) menjelaskan bahwa pengolahan limbah cair bertujuan untuk membuang atau mengurangi kandungan limbah serta tidak mengganggu terhadap lingkungan hidup ditempat sekitar pembuangannya, limbah cair yang mengandung bahan organik majemuk mengalami biodegradasi dalam suasana anaerobik menjadi suasana-suasana asam sederhana, terutama asam asetat dan gas-gas.
Naibaho (1996) menyatakan bahwa limbah cair yang dihasilkan pabrik pengelola kelapa sawit berasal dari air crab (Sludge water), air kondensat (sterilizer condensate), air Hydrocylone (claybath) atau bak pemisah Lumpur, air cucian pabrik dan lain sebagainya. Banyaknya jumlah air buangan ini tergantung pada sistem pengolahan, kapasitas olah dan keadaan peralatan klarifikasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa air buangan sludge separatot umumnya 60 % dari TBS yang diolah, akan tetapi keadaan ini sering dipengaruhi oleh : a. jumlah air pengencer yang digunakan pada vibrating screen atau pada screw press b. Sistem dan instalasi yang digunakan dalam stasiun klarifikasi, yaitu klarifikasi yang menggunakan decanter menghasilkan air limbah yang kecil c. Efisiensi pengutipan minyak dari air limbah yang rendah akan mempengaruhi karakteristik limbah cair yang dihasilkan
Untuk menanggulangi limbah PKS yang begitu banyak, beberapa pihak perkebunan dan pabrik kelapa sawit telah mencoba memanfaatkan limbah tersebut ke areal kebun, seperti janjang kosong, solid decanter dan abu ketel telah dimanfaatkan untuk memperbaiki struktur dan pH tanah serta mengurangi penguapan tanah. Sedangkan limbah cair yang didapatkan dari (Sistem Land Application) bertujuan untuk menambah unsur hara dalam tanah (Loebis & Tobing, 1989). Selanjutnya dijelaskan bahwa limbah cair PKS merupakan bahan organik yang mengandung unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman, seperti Nitrogen (N), Phospor (P), Calsium (Ca), dan Magnesium (Mg) pabrik terlebih dahulu diolah secara system ponding. Setelah terjadi penurunan tingkat pencemaran limbah ini dialirkan kelahan perkebunan
Universitas Sumatera Utara
2.5 Pemanfaatan limbah cair Menurut Loebis dan Tobing (1989) limbah cair pabrik pengolahan kelapa sawit mengandung unsur hara yang tinggi seperti N, P, K, Mg, dan Ca, sehingga limbah cair tersebut berpeluang untuk digunakan sebagai sumber hara bagi tanaman kelapa sawit, di samping memberikan kelembaban tanah, juga dapat meningkatkan sifat fisik–kimia tanah, serta dapat meningkatkan unsur hara tanah.
Limbah agroindustri dapat dimanfaatkan bagi bidang pertanian secara luas. Berbagai penelitian menunjukka n bahwa land application untuk berbagai jenis komoditas memberikan hasil yang memuaskan, seperti pada tanaman ubi kayu, padi sawah, jagung dan kedelai (Soelaeman et al., 2004). Di samping itu kerusakan dapat dihindari, karena limbah agroindustri tersebut dimanfaatkan dalam bidang pertanian. Dalam hal ini tanah berfungsi sebagai penampung limbah (landfill disposal of waste) sehingga limbah tidak terbuang langsung ke sungai.
Dari aspek kimia tanah, limbah agroindustri secara langsung dapat menyumbangkan unsur hara makro dan mikro ke dalam tanah. Secara tidak langsung bahan organik yang berasal dari limbah setelah termineralisasi juga akan menyumbangkan unsur hara ke dalam tanah. Selain itu limbah ini juga berpengaruh terhadap reaksi kimia tanah. Kondisi fisik dan kimia tersebut juga didukung oleh akibat aktivitas mikroorganisme tanah atau sebaliknya. Bahan organik dari limbah tersebut dapat dijadikan sumber energi oleh mikroorganisme (Banuwa, et al., 2001).
2.6 Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
Limbah cair pabrik kelapa sawit (PKS) dihasilkan dari 3 tahap proses yaitu: a. Proses sterilisasi (pengukusan) untuk mempermudah perontokan buah dari tandannya, mengurangi kadar air, dan untuk inaktifasi enzim lipase dan oksidase b. Proses ekstraksi minyak untuk memisahkan minyak daging buah dari bagian lainnya
Universitas Sumatera Utara
c. Proses pemurnian (klarifikasi) untuk membersihkan minyak dari kotoran lain (Anonim, 2001)
Teknik pengolahan limbah cair yang biasanya diterapkan di PKS adalah: a. Kolam pengumpul (fatfit) Kolam ini berguna untuk menampung cairan-cairan yang masih mengandung minyak yang berasal dari air kondensat dan stasiun klarifikasi b. Kemudian dimasukkan ke unit deoling pond untuk dikutip minyaknya dan diturunkan suhunya dari 70-80 C menjadi 40-45 C melalui bak pendingin c. Kolam pengasaman Pada proses ini digunakan mikroba untuk menetralisir keasaman cairan limbah. Pengasaman bertujuan agar limbah yang mengandung bahan organik lebih mudah mengalami biodegradasi dalam suasana anaerobik. Limbah cair dalam kolam ini mengalami
asidifikasi
yaitu
terjadinya
kenaikan
konsentrasi asam-
asam yang mudah menguap. Waktu penahanan hidrolisis (WPH) limbah cair dari kolam pengasaman ini. Selama 5 hari. Kemudian sebelum diolah diunit pengolaha n limbah kolam anaerobik, limbah dinetralk terlebih dahulu dengan menambahkan kapur tohor hingga mencapai pH antara 7,0-7,5 d. Kolam Anaerobik Primer Pada proses ini memanfaatkan mikroba dalam suasana anaerobik atau aerobik untuk merombak
BOD dan biodegradasi bahan organik menjadi senyawa
asam dan gas. WPH dalam kolam ini mencapai 40 hari e. Kolam Anaerobik Sekunder Adapun WPH limbah dalam kolam ini mencapai 20 hari. Kebutuhan lahan untuk kolam anaerobik primer dan sekunder mencapai 7 hektar untuk PKS dengan kapasitas 30 ton TBS/jam f. Kolam Pengendapan Kolam pengendapan ini bertujuan untuk mengendapkan Lumpur-lumpur yang terdapat dalam limbah cair. WPH limbah dalam kolam ini berkisar 2 hari
Biasanya ini merupakan pengolahan terakhir sebelum limbah dialirkan ke badan air dan diharapkan pada kolam ini limbah sudah memenuhi standar baku mutu air sungai (Pedoman Pengolahan Limbah Industri Kelapa Sawit, 2006)
Universitas Sumatera Utara