5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Tentang Bunyi Bunyi dihubungkan dengan indera pendengaran, dan fisiologi otak yang menerjemahkan sensasi yang mencapai telinga. Bunyi merujuk pada sensasi fisik yang merangsang telinga yaitu gelombang longitudinal. Terdapat tiga aspek bunyi yang dapat dibedakan yaitu sumber bunyi, energi, dan alat yang mendeteksi bunyi. Sumber bunyi merupakan benda yang bergetar. Getaran dari sumber bunyi menggetarkan udara sekitarnya, dan merambat ke segala arah. Energi yang dipindahkan dari sumber bunyi dalam bentuk gelombang longitudinal. Bunyi yang merambat kemudian terdeteksi oleh telinga atau sebuah alat. Pada umumnya getaran udara memaksa gendang telinga untuk bergetar. Oleh karena itu bunyi dianggap merambat di udara. Tetapi gelombang bunyi juga dapat merambat di materi lain. Dua batu yang saling bertumbukan di bawah air dapat didengar oleh perenang di bawah permukaan karena getaran dibawa ke telinga oleh air. Bunyi tidak dapat merambat tanpa medium. Sebuah bel yang berdering di dalam botol hampa udara tidak dapat didengar karena bunyi tidak merambat (Giancoli, 1999). Ada dua aspek dari setiap bunyi yang didengar oleh pendengaran manusia yaitu aspek kenyaringan dan ketinggian. Kenyaringan berhubungan dengan energi pada gelombang bunyi sedangkan ketinggian menyatakan apakah bunyi yang didengar tinggi atau rendah. Ketika sumber bunyi bergetar, maka getaran yang terjadi setiap detik disebut frekuensi dan diukur dalam satuan Hertz (Hz). Telinga manusia umumnya dapat mendengar frekuensi dalam jangkauan 20 Hz sampai 20.000 Hz. Jangkauan ini disebut jangkauan pendengaran atau frekuensi audio. Telinga manusia sangat peka terhadap bunyi dengan frekuensi 1000 Hz sampai 5000 Hz, seperti yang muncul pada peluit atau lengkingan. Sementara itu, telinga kurang peka terhadap bunyi dengan frekuensi rendah. Gelombang bunyi yang frekuensinya di luar jangkauan pendengaran mungkin mencapai telinga tetapi tidak disadari. Frekuensi bunyi dibawah ambang batas pendengaran manusia (<20
6
Hz) disebut frekuensi infrasonik. Sedangkan frekuensi diatas ambang batas pendengaran manusia (>20 kHz) disebut frekuensi ultrasonik (Mediastika, 2009).
2.1.1 Perambatan dan Kecepatan Bunyi Rambatan gelombang bunyi disebabkan oleh lapisan perapatan dan pergangan partikel-partikel udara yang bergerak ke arah luar, yaitu karena penyimpangan tekanan. Partikel-partikel udara yang meneruskan gelombang bunyi tidak berubah posisi normalnya; mereka hanya bergetar sekitar posisi kesetimbangannya, yaitu posisi partikel bila tidak ada gelombang bunyi yang diteruskan. Penyimpangan tekanan ditambahkan pada tekanan atmosfir yang kira-kira tunak dan ditangkap oleh telinga. Kecepatan bunyi yang relatif rendah menyebabkan cacat akustik seperti gaung (pemantulan yang berkepanjangan), gema, dan dengung yang berlebihan (Doelle, 1993). Kecepatan rambat bunyi yang umum digunakan adalah 340 m/s, yaitu kecepatan rambat bunyi pada medium udara pada suhu berkisar 16o C. Kecepatan ini sangat bergantung pada jenis/susunan medium perambatan sumber bunyi serta suhu medium tersebut. Pada dasarnya bunyi merambat lebih cepat pada medium yang molekulnya lebih stabil dan pada suhu yang lebih tinggi. Kecepatan rambat bunyi merupakan hasil kali frekuensi dengan panjang gelombangnya yang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : v = f Ξ» .................................................. (2.1) dengan : v adalah kecepatan rambat bunyi (m/s) f adalah frekuensi bunyi (Hz) Ξ» adalah panjang gelombang bunyi (m) Oleh karena pada suatu daerah tertentu digunakan nilai v yang tetap, maka hal itu menunjukkan bahwa ketika suatu sumber bunyi memiliki frekuensi rendah maka panjang gelombangnya akan besar. Sebaliknya bila frekuensi tinggi, maka panjang gelombangnya menjadi kecil (Mediastika, 2009).
7
2.1.2 Intensitas dan Energi Bunyi Menurut Sears (2003), Intensitas bunyi adalahjumlah rata-rata energi yang dibawa persatuan waktu oleh gelombang bunyi persatuan luas permukaan yang tegak lurus pada arah rambatan. Dengan kata lain, intensitas meupakan daya rata-rata persatuan luas. Intensitas bunyi dapat ditentukan dengan: πΌπΌ =
dengan:
ππ π΄π΄
................................................... (2.2)
I adalah intensitas bunyi (W/m2) W adalah daya akustik (Watt) A adalah luas area permukaan (m2) Kuat lemahnya bunyi bergantung pada amplitudo. Semakin besar amplitudo, maka akan semakin keras bunyinya. Hubungan intensitas dengan amplitudo dan tekanan dapat dilihat pada persamaan berikut : ππππ
1
dengan:
2
ππ
2
ππππππ ππππππ πΌπΌ = 2 π΅π΅π΅π΅π΅π΅π΄π΄2 = 2π΅π΅π΅π΅ = 2ππππ .............................(2.3)
Badalah modulus Bulk (Pa) ππadalah kecepatan sudut (rad/s)
A adalah amplitudo pergeseran (m) k adalah bilangan gelombang (rad/m) v adalah kecepatan rambat bunyi (m/s) ππ adalah kerapatan udara (kg/m3) P adalah amplitudo tekanan (Pa)
Dari persamaan 2.3 jelas terlihat bahwa semakin besar energi bunyi yang dibawa oleh gelombang maka akan semakin besar intensitasnya. Energi bunyi memiliki bentuk yang sama dengan energi benda bergetar. Energi bunyi sebanding dengan kuadrat frekuensi dan amplitudo sumber bunyi.
dengan :
πΈπΈ β π΄π΄ππ 2 ππ 2 ..........................................(2.4)
8
E adalah energi bunyi (J) A adalah amplitudo sumber bunyi (m) f adalah frekuensi gelombang bunyi (Hz)
2.1.3 Pemantulan dan Penyerapan Bunyi Pemantulan bunyi adalah fenomena pembalikan gelombang bunyi dari suatu permukaan yang memisahkan dua media. Pemantulan bunyi ini juga mengikuti kaidah pemantulan, dimana sudut datangnya bunyi (i) selalu sama dengan sudut pantulan bunyi (r). Pemantulan bunyi dapat digunakan untuk mendeteksi benda. Jumlah energi bunyi yang dipantulkan oleh suatu permukaan bergantung pada permukaan yang dikenainya. Dinding lantai, dan langit-langit datar dapat menjadi pemantul bunyi yang baik, sebaliknya kain, tirai dan perabotan yang berpori akan banyak menyerap bunyi (Bolemon, 1985). Bahan lembut, berpori, kain, dan manusia menyerap sebagian besar gelombang bunyi yang menumbuk mereka. Dengan kata lain, mereka adalah penyerap bunyi. Berdasarkan definisi, penyerapan bunyi adalah perubahan energi bunyi menjadi bentuk lain biasanya panas, ketika melewati suatu bahan atau ketika menumbuk suatu permukaan. Jumlah panas yang dihasilkan pada perubahan energi ini adalah sangat kecil, sedangkan kecepatan perambatan gelombang bunyi tidak dipengaruhi oleh penyerapan. Efisiensi penyerapan bunyi suatau bahan pada suatu frekuensi tertentu dinyatakan oleh koefisien penyerapan bunyi. Koefisien penyerapan bunyi suatu permukaan adalah bagian energi bunyi datang yang diserap, atau tidak dipantulkan oleh permukaan. Koefisien ini dinyatakan dalam huruf Greek Ξ±. Nilai koefisien serap bunyi berada antara 0 dan 1, misalnya pada 500 Hz bila suatu bahan akustik menyerap 65% dari energi bunyi yang datang dan memantulkan 35% darinya, maka koefisien penyerapan bunyi bahan itu adalah 0,65. Permukaan interior yang keras seperti bata, masonry, dan beton biasanya menyerap energi bunyi yang datang padanya kurang dari 5%. Dan memantulkan energi bunyi yang datang 95% atau lebih (Doelle, 1993). Meskipun karakteristik material tidak berubah, koefisien absorpsi suatu material dapat berubah sesuai dengan frekuensi bunyi yang datang. Koefisien
9
absorpsi merupakan perbandingan antara jumlah energi bunyi yang mampu diserap oleh material dengan total energi bunyi yang datang . jumlah energi yang diserap Koefisien absorpsi bunyi(Ξ±) = total energi bunyi datang ........(2.5)
Nilai maksimum koefisien absorpsi (Ξ±) adalah 1 untuk permukaan yang menyerap sempurna, dan nilai minimum koefisien absorpsi (Ξ±) adalah 0 untuk permukaan yang memantulkan sempurna (Mediastika, 2005). Dalam kepustakaan akustik arsitektur dan pada lembaran informasi yang diterbitkan oleh pabrik-pabrik dan penyalur, bahan akustik dicirikan oleh koefisien reduksi bising (noise reduction coefficient-NRC) yang merupakan ratarata dari koefisien penyerapan bunyi pada frekuensi 250, 500, 1000, dan 2000 Hz. Nilai ini berguna dalam membandingkan penyerapan bunyi bahan-bahan akustik yang digunakan untuk tujuan reduksi bising (Doelle, 1993). Hubungan koefisien serap bunyi dengan intensitas bunyi mula-mula dan intensitas bunyi setelah melewati suatu medium dapat ditulis sebagai berikut :
dengan :
πΌπΌ = πΌπΌ0 ππ βπΌπΌπΌπΌ ..............................................(2.6)
I = intensitas bunyi setelah melewati suatu medium (dB) I0 = intensitas mula-mula (dB) Ξ± = koefisien serap bunyi Ketika suatu sumber bunyi mengenai suatu medium, maka sebagian energi bunyi akan diserap oleh medium sesuai dengan daya serapnya sehingga terjadi perubahan intensitas bunyi.
2.1.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Bunyi Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi nilai koefisien serap bunyi antaralain : 1. Ukuran serat
10
Ukuran serat yang kecil akan lebih mudah untuk berpropagasi dibandingkan dengan serat yang lebih besar. Koefisien serap bunyi meningkat seiring dengan menurunnya diameter serat. 2. Porositas (rongga pori) Material perforasi denga pori besar memiliki koefisien serap bunyi yang baik pada frekuensi 200 Hz β 2000 Hz. Sementara material porus dengan pori kecil menyerap baik pada frekuensi lebih tinggi (Mediastika, 2009). 3. Ketebalan Menurut mediastika (2009), pada bahan berserat umumnya dibutuhkan ketebalan yang lebih besar untuk menyerap suara dengan frekuensi yang rendah. Oleh karena itu ketebalan akan mempengaruhi nilai koefisien serap bunyi. 4. Densitas Khuriati (2006) melaporkan bahwa pertambahan densitas menyebabkan koefisien serap bunyi peredam suara berbahan dasar sabut kelapa pada frekuensi rendah meningkat. Hayat (2013) melaporkan bahwa pada papan partikel berbahan serat daun nanas, semakin besar kerapatan semakin rendah nilai koefisien serapnya. 5. Resistensi aliran udara Salah satu kualitas yang sangat penting yang dapat mempengaruhi karakteristik dari material berserat adalah spesefik resistensi aliran udara per unit tebal material. Karakteristik impedansi dan propagasi konstan, yang mana menggambarkan sifat akustik material berpori.
2.1.5 Pengukuran Penyerapan Bunyi Ada beberapa cara pengukuran koefisien serap bunyi bahan-bahan akustik dalam kepustakaan akustik. Dua cara yang biasa digunakan adalah : 1. Metode tabung impedansi Metode ini digunakan untuk mengukur koefisien serap bunyi sampel bahan akustik yang kecil dan gelombang bunyi merambat tegak lurus pada permukaan sampel tersebut. Pengukuran akan menunjukkan penyerapan bunyi dalam jangkauan frekuensi 200 sampai 3000 Hz. Metode ini tidak
11
tepat untuk keseluruhan pengukuran koefisien serap bunyi karena keterbatasannya.
Metode
tabung
mengabaikan
kenyataan
bahwa
gelombang bunyi dalam ruang menumbuk bahan penyerap dari berbagai sudut dan selanjutnya ukuran dan cara pemasangan contoh percobaan tidak sama dengan kondisi pekerjaan sesungguhnya. 2. Metode ruang dengung Metode ini menggunakan ruang kosong dengan waktu dengung yang panjang. Koefisien penyerapan bunyi bahan yang diukur dalam ruang dengung tidak boleh dianggap sebagai konstanta bahan karena ia tergantung pada ukuran contoh, posisi, dan distribusi dalam ruang, cara pemasangannya, dan karakteristik fisik ruang itu sendiri (Doelle, 1993).
Asade (2013) mengemukakan salah satu metode tabung yang dapat digunakan untuk mengukur koefisien serap bunyi yaitu metode transfer fungsi (ISO 10534-2:1998). Dalam metode ini digunakan dua buah mikropon yaitu pada posisi x1 dan x2. Tekanan bunyi pada posisi ini masing-masing adalah:
ππ1 = π΄π΄1 ππ βππππ π₯π₯ 1 + π΄π΄2 ππ ππππ π₯π₯ 1 .................................... (2.7) dengan :
ππ2 = π΄π΄1 ππ βππππ π₯π₯ 2 + π΄π΄2 ππ ππππ π₯π₯ 2 .................................... (2.8)
A1 = amplitudo tegangan mic 1 (volt) A2 = amplitudo tegangan mic 2 (volt) k adalah nomor gelombang (m-1) x1 adalah jarak antara sampel dan mikropon terjauh (m) x2 adalah jarak antara sampel dan mikropon terdekat (m)
A1
A2
Gambar 2.1 Skema Tabung Impedansi untuk Pengukuran Koefisien Serap Bunyi.
12
Transfer fungsi akustik kompleks antara kedua mikropon ini yaitu:
dan faktor refleksinya:
dengan:
π»π»21 = ππ =
ππ 1 ππ 2
=
π΄π΄ 1 ππ βππππ π₯π₯ 1 +π΄π΄ 2 ππ ππππ π₯π₯ 1 π΄π΄ 1 ππ βππππ π₯π₯ 2 +π΄π΄ 2 ππ ππππ π₯π₯ 2
π»π»21 βππ βππππππ ππ ππππππ βπ»π»21
ππ 2ππππ π₯π₯ 1
........................(2.9)
................................. (2.10)
π π = π₯π₯1 β π₯π₯2 (jarak kedua mikropon) Koefisien serap bunyi dapat ditentukan melalui persamaan berikut:
dengan :
πΌπΌ = 1 β |ππ|2 ........................................ (2.11)
Ξ± = koefisien serap bunyi ; 0β€ πΌπΌ β€ 1 r = faktor refleksi
2.2 Kebisingan Semua bunyi yang mengalihkan perhatian, mengganggu, atau berbahaya bagi kegiatan sehari-hari (kerja, istirahat, hiburan, atau belajar) dianggap sebagai bising. Dengan kata lain, kebisingan merupakan semua bunyi yang tidak diinginkan oleh penerima. Secara umum, bising menimbulkan gangguan yang jauh lebih besar pada malam hari daripada siang hari. Tetesan air yang terusmenerus dari kran memang bukan bising yang kersa tetapi dapat mengganggu. Sebaliknya, bunyi dengan tingkat tinggi seperti orkestra dapat merupakan kenikmatan yang luar biasa bagi pendengarnya (Doelle, 1993). Kebisingan dapat mempengaruhi manusia secara psikologis. Kebisingan yang dapat ditolerir merupakan gangguan biasa. Tetapi kebisingan yang terlalu keras dapat menyebabkan sesorang kehilangan pendengaran. Hal ini merupakan salah satu masalah di pabrik-pabrik dan tempat industri lainnya, di mana tingkat kebisingan bisa tinggi untuk periode waktu yang lama. Kehilangan pendengaran
13
karena kebisingan terutama serius dalam jangkauan frekuensi antara 2000 sampai 5000 Hz (Giancoli, 1999). Setiap fungsi bangunan tertentu memiliki baku tingkat kebisingan yang dianut agar kenyamanan di dalam bangunan terjaga. Untuk Indonesia, baku tingkat kebisingan yang diacu masih berupa baku yang longgar dan belum ada sanksi berat bagi yang melanggar. Sementara di beberapa negara maju juga dikenal istilah noise criteria (NC) yang disarankan untuk fungsi-fungsi bangunan tertentu (Mediastika 2009).
Tabel 2.1 Pembagian Zona-zona Peruntukan (Per. Men. Kes. No 781/MenKes/Per/XI/87) Zona
A
Peruntukan
Tingkat Kebisingan (dB) Maksimum Dianjurkan
Diperbolehkan
35
45
Laboratorium, rumah sakit, panti perawatan
B
Rumah, sekolah, tempat rekreasi
45
55
C
Kantor, pertokoan
50
60
D
Industri, terminal, stasiun KA
60
70
2.2.1Jenis Kebisingan Kebisingan yang terjadi di sekitar kita dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu : 1. Kebisingan latar belakang Merupakan tingkat kebisingan yang terpapar terus-menerus pada suatu area, tanpa adanya sumber-sumber bunyi yang muncul secara signifikan misal lalu lalang kendaraan di kejauhan. 2. Kebisingan ambien Kebisingan ambien adalah total kebisingan yang terjadi pada suatu area meliputi kebisingan latar belakang dan kebisingan lain yang muncul pada suatu waktu dengan tingkat keras melebihi tingkat keras kebisingan latar belakang dan merupakan hasil kompilasi kebisingan, baik yang sumbernya dekat maupun jauh. Contoh kebisingan di tempat ramai seperti pasar yang menimbulkan bising dari lalu lalang kendaraan dan aktivitas perdagangan.
14
3. Kebisingan tetap Merupakan kebisingan yang berubah-ubah dengan fluktuasi (naik-turun) maksimun 6 dB. Kebisingan seperti ini umum terjadi di pabrik-pabrik industri (Mediastika, 2005).
2.2.2Sumber-sumber Kebisingan Sumber kebisingan utama dalam pengendalian kebisingan lingkungan dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok yaitu : 1. Sumber bising interior Berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga, atau mesin-mesin gedung. Keberadaan dinding-dinding pemisah, lantai, pintu, dan jendela harus dirancang sedemikian agar dapat mengadakan perlindungan yang cukup terhadap bising-bising ini di dalam gedung. 2. Sumber bising luar (outdoor) Berasal dari lalu lintas, transportasi, industri, alat-alat mekanis, dan berbagai kegiatan di luar gedung yang menimbulkan bising. Kebisingan yang paling mengganggu dari kategori ini dihasilkan oleh kendaraan bermotor, transportasi sel, transportasi air, dan transportasi udara serta termasuk hiruk pikuk di lingkungan industri dan perkotaan.
Berdasarkan lokasi timbulnya bunyi, sumber kebisingan dibagi menjadi: 1. Bunyi yang timbul di udara (Air Borne) Merupakan penyebab kebisingan akibat fenomena turbulen, shock dan pulsasi didalam media udara atau gas misalnya suara manusia atau bunyi musik. 2. Bunyi timbul di struktur bahan (Solid Borne / Structur Borne) Fenomena kebisingan yang terjadi pada benda solid akibat dari impak, medan magnet dan lainnya misalnya bising langkah-langkah kaki dan benturan antar beberapa benda keras (Doelle, 1993).
15
2.2.3Dampak Kebisingan Terhadap Kesehatan Sebagian orang awam berpendapat bahwa kaitan antara bunyi dengan kesehatan manusia hanya sebatas soal telinga. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa
kemunculan
bebunyian
yang terus-menerus
selain
mengganggu telinga juga dapat menimbulkan dampak psikologis seperti perasaan mudah marah dan mudah lelah. Dampak fisik yang disebabkan oleh bebunyian yang mengganggu terjadi secara langsung pada telinga. Paparan kebisingan yang terus-menerus di telinga dapat menyebabkan turunnya kemampuan mendengar bukan karena faktor usia. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat mengatur persoalan gangguan kebisingan melalui perundangan yang mengikat dengan sanksi yang dapat diberlakukan bagi yang melanggar. Sejauh ini peraturan yang dijadikan landasan masih berupa saran-saran yang kurang mengikat. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan gangguan kebisingan telah terlihat dengan munculnya keluhan-keluhan secara tertulis pada kolom opini di media massa cetak. Peningkatan ini idealnya disertai dengan meluasnya informasi-informasi mengenai bahaya kebisingan dan bagaimana seharusnya melindungi diri dari bahaya kebisingan. Bagi masyarakat yang bermukim di daerah industri yang dekat dengan pabrik tentu kebisingan merupakan masalah yang serius. Jika para pekerja pabrik dapat mengantisipasi kebisingan dengan menggunakan ear protection yang disediakan pabrik, tentu hal itu kurang sesuai bagi penduduk yang berada di sekitar pabrik dan masih terpapar oleh kebisingan yang menyusup ke dalam bangunan. Pada keadaan ini, tentulah dibutuhkan material atau alat yang memiliki fungsi sama dengan ear protection tetapi lebih relevan untuk diterapkan di permukiman. Selimut pelapis dinding bangunan dapat menjadi alternatif untuk mengatasi kebisingan yang menyusup ke dalam ruangan sehingga kebisingan dapat direduksi (Mediastika, 2009).
2.2.4Upaya Pengendalian Kebisingan Bermacam-macam cara dilakukan untuk mereduksi bising dengan efektif di dalam maupun di luar bangunan. Hal terpenting dari upaya pengendalian kebisingan adalah kerja sama semua pihak dalam perancangan untuk mencapai lingkungan yang bebas kebisingan. Selain dengan perancangan, pengendalian kebisingan
16
dapat dilakukan dengan cara modifikasi tertentu dari sumber atau jejak perambatan atau dengan pengaturan kembali seluruh daerah bising dengan sebaikbaiknya. Berikut beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan kebisingan : 1. Penekanan bising di sumbernya Upaya ini dapat dilakukan dengan cara menekan bising tepat di sumbernya dengan memilih mesin-mesin dan peralatan yang relatif tenang dan dengan memakai proses-proses pabrik atau metode kerja yang tidak menyebabkan tingkat kebisingan yang mengganggu. 2. Perencanaan lingkungan Langkah ini merupakan langkah yang tepat untuk lingkungan perkotaan karena pertumbuhan transportasi darat dan udara yang cepat di perkotaan menyebabkan kebisingan menjadi masalah serius. 3. Perencanaan tempat (site planning) Pengalaman menunjukkan bahwa sekali suatu sumber bising di luar ada di suatu daerah, maka sulit untuk menghilangkannya. Oleh karena itu sangat penting untuk meletakkan gedung-gedung yang membutuhkan lingkungan bunyi yang tenang (sekolah, rumah sakit, lembaga penelitian, dan lainlain) pada tempat tenang, jauh dari jalan raya, daerah industri, dan bandar udara. 4. Rancangan arsitektur Rancangan arsitektur yang baik dengan memperhatikan kebutuhan akan penegendalian kualitas bunyi adalah pendekatan yang paling ekonomis dalam mengendalikan kebisingan yang cukup efektif dalam bangunan. 5. Penyerapan bunyi Tingkat bising bunyi dengung dapat direduksi sampai batas tertentu dengan upaya penyerapan bunyi. Penggunaan bahan penyerap bunyi dalam suatu ruang tidak bolrh dianggap sebagai pengganti atau pengobatan insulasi bunyi yang tidak sempurna. 6. Penyelimutan (masking) bising
17
Dalam banyak situasi, masalah kebisingan dapat dipecahkan dengan menenggelamkan atau menyelimuti bising yang tidak diinginkan lewat bising latar belakang yang dibuat secara elektronik (Doelle, 1993).
2.3 Material Akustik Terdapat tiga kemungkinan yang terjadi bila suatu gelombang bunyi datang mengenai suatu material, yaitu : 1.
Dipantulkan semua
2.
Ditransmisikan semua
3.
Sebagian gelombang akan dipantulkan dan sebagian lagi akan ditransmisikan (Mediastika, 2005).
Bunyi datang
Bunyi diteruskan
Bunyi terpantul
Bunyi diserap
Gambar 2.2 Karakteristik akustik material
Menurut Lewis dan Douglas (1993) material akustik dapat dibagi menjadi tiga kelompok dasar yaitu:
material penyerap (absorbing material), material penghalang (barrier
material), material peredam (damping material).
Berdasarkan fungsinya, Doelle (1993) membedakan material akustik sebagai peredam menjadi dua bagian yaitu sound insulation dan sound absorbing. 1. Peredam insulasi bunyi (sound insulation) Sound insulation berfungsi untuk mengurangi kebocoran suara dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Peredam insulasi suara merupakan bahan yang dapat menginsulasi perpindahan suara. Menurut Mediastika (2005), material peredam insulasi bunyi umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut :
18
1. Berat Pada umumnya semakin berat material insulasi suara semakin baik nilai redamannya.
Material
berat
mampu
meredam
getaran
yang
menimpahnya berkat beratnya sendiri. 2. Tidak berpori Semakin rapat material maka semakin baik nilai redamannya. Material berpori merupakan penyerap. 3. Permukaan utuh dan seragam. Objek yang terbuat dari material utuh tanpa cacat akan memberikan tingkat insulasi yang lebih baik. 4. Elastis. Material yang memiliki elastisitas tinggi akan menjadi insulator yang lebih baik dibandingkan material yang kaku.
2. Peredam serap bunyi (sound absorbing) Sound
absorbing
berfungsi
untuk
mengurangi
pantulan
yang
menyebabkan gema pada sebuah ruangan. Bahan ini mampu menyerap energi suara.Doelle (1993) mengemukakan bahwa material peredam serap suara umumnya bersifat ringan, berpori atau berongga, memiliki permukaan lunak atau berselaput, dan tidak dapat meredam getaran.
2.3.1Jenis-jenis Material Penyerap Bunyi Bahan-bahan dan konstruksi penyerap bunyi yang digunakan dalam rancangan akustik sebagai pengendali bunyi menurut Doelle (1993) dapat diklasifikasikan menjadi bahan berpori, penyerap panel atau penyerap selaput, dan resonator rongga. 1. Material berpori Menurut Mediastika (2005), material penyerap yang paling banyak digunakan adalah soft-board, selimut akustik, dan acoustic tiles. Penyerap berpori bermanfaat untuk menyerap bunyi pada frekuensi tinggi sebab pori-porinya yang kecil sesuai dengan besaran panjang gelombang bunyi
19
yang datang. Material berpori efektif untuk menyerap bunyi berfrekuensi di atas 1000 Hz. 2. Penyerap panel Penyerap panel atau selaput yang tidak dilubangi mewakili kelompok bahan-bahan penyerap bunyi yang kedua. Panel merupakan penyerap energi bunyi berfrekuensi rendah yang efisien. Bila dipilih dengan benar, panel penyerap mengimbangi penyerapan frekuensi sedang dan tinggi oleh bahan berpori dan isi ruang. Ketika gelombang bunyi datang dan menimpa panel, panel akan ikut bergetar dan selanjutnya getaran diteruskan pada ruang berisi udara di belakangnya. 3. Resonator rongga Resonator rongga (Helmholtz) terdiri dari sejumlah udara tertutup yang dibatasi oleh dinding-dinding tegar dan dihubungkan oleh lubang/celah sempit ke ruang sekitarnya, di mana gelombang bunyi merambat. Resonator rongga memiliki daya serap maksimum pada daerah pita frekuensi rendah yang sempit dan sangat selektif (Doelle, 1993).
2.3.2 Material Berserat Material berserat merupakan salah satu alternatif bahan penyerap untuk mengendalikan kualitas bunyi. Penyerap jenis ini adalah penyerap yang paling banyak dijumpai. Sebagai contoh rockwool dan glasswool. Penyerap ini mampu menyerap bunyi dalam jangkauan frekuensi yang lebar dan lebih disukai karena tidak mudah terbakar. Namun kelemahannya terletak pada permukaannya yang berserat sehingga harus digunakan dengan hati-hati agar lapisan serat tidak rusak dan kemungkinan terlepasnya serat-serat halus ke udara yang berbahaya bagi kesehatan. Penyerap dari bahan berserat dipasarkan dalam berbagai ketebalan dan kerapatan sehingga dapat dipilih yang paling sesuai dengan frekuensi bunyi yang hendak diserap. Sebagai gambaran umum, untuk menyerap bunyi berfrekuensi rendah diperlukan penyerap berserat dengan ketebalan yang lebih bila dibandingkan dengan frekuensi yang lebih tinggi. Bila penyerap berserat yang tebal sulit diperoleh, maka sebagai gantinya dapat digunakan penyerap berserat
20
yang lebih tipis dengan pemasangan rongga yaitu dipasang tidak menempel langsung pada bidang batas (Mediastika, 2009).
2.4 Tumbuhan Rotan Tumbuhan rotan adalah sejenis palem memanjat berduri yang terdapat di daerah tropis dan subtropis. Rotan merupakan hasil hutan terpenting setelah kayu di sebagian besar Asia Tenggara. Tumbuhan ini memiliki nilai sosial yang besar sebagai sumber penghasilan bagi beberapa komunitas. Kebanyakan rotan batang yang memasuki perdagangan dunia dikumpulkan dari tanaman yang tumbuh liar. Hasil paling penting dari rotan adalah rotan batangan, yaitu batang rotan yang pelepah daunnya telah dihilangkan; rotan batang kadang dikelirukan dengan bambu dan bila diproses menjadi bilah-bilah sulit untuk dibedakan. Akan tetapi ada perbedaan yang sangat mencolok antara rotan dan bambu. Bambu hampir selalu berongga dan bahkan dalam beberapa sepesies yang tak berongga, sukar dibengkokkan. Sementara rotan selalu padat dan biasanya dapat dengan mudah dibengkokkan tanpa deformasi yang nyata (Prosea, 1996). Di Indonesia terdapat delapan marga rotan yang terdiri atas kurang lebih 306 jenis, hanya 51 jenis yang sudah dimanfaatkan. Hal ini berarti pemanfaatan jenis rotan masih rendah dan terbatas pada jenis-jenis yang sudah diketahui manfaatnya dan laku di pasaran. Diperkirakan lebih dari 516 jenis rotan terdapat di Asia Tenggara, yang berasal dari 8 genera, yaitu untuk genus Calamus 333 jenis, Daemonorops 122 jenis, Khorthalsia 30 jenis, Plectocomia 10 jenis, Plectocomiopsis 10 jenis, Calopspatha 2 jenis, Bejaudia1 jenis dan Ceratolobus 6 jenis (Jasni, 1999).
2.4.1 Rotan Semambu Rotan semambu (Calamus scipionum Loureiro) merupakan salah satu jenis rotan yang tersebar luas di seluruh Birma, Vietnam, Thailand, Sumatera, Borneo, dan Palawan. Nama rotan semambu merupakan nama yang umum di seluruh kawasan dan dalam perdagangan. Rotan semambu memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Batang tanaman tumbuh membentuk rumpun memanjat sampai tinggi sekali, dengan diameter batangnya 25β 35 mm.
21
2. Batang memilki panjang ruas antara 20 β 30 cm. 3. Warna coklat kemerahan kalau kering. 4. Panjang batang sampai dengan 20 m. 5. Memiliki karakter sifat bahan kasar dan ulet. 6. Daun majemuk menyirip dengan panjang hingga 2 m, anak daun terdapat sulur panjat, pelepah dan tangkai daun berduri, duduk daun berhadapan, warna hijau tua. 7. Bunga ada 2 macam, bunga subur dan bunga mandul, bunga subur berbentuk cemeti dan berduri malai panjang. 8. Buah lonjong ukuran panjang 1,5 cm, warna coklat kemerahan, berbiji tunggal (Prosea, 1996).
2.4.2 Kandungan Kimia Tumbuhan Rotan Kandungan kimia dalam rotan sangat berpengaruh terhadap kekuatan dan keawetan rotan. Secara umum, komposisi kimia rotan terdiri dari holoselulosa (71%-76%), selulosa (39%-58%), lignin (18%-27%) dan silika (0,54%-8%). Hasil penelitian terhadap kandungan kimia beberapa jenis rotan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.2 Kandungan Kimia Beberapa Jenis Rotan Jenis rotan No
Nama daerah
Nama latin
K.junghuni Miq. P. elongata 2 Bubuay Becc. C. ornathus 3 Seuti Bl. Calamus 4 Semambu scipionum L D. heteroides 5 Tretes Bl. Sumber : Jasni (1999) 1
Sampang
Holoselulosa %
Selulosa %
Lignin %
Tanin %
Pati %
71,49
42,89
24,41
8,14
19,62
73,84
40,89
16,85
8,88
23,57
72,69
39,19
13,35
8,56
21,82
70,07
37,36
22,19
-
21,35
72,49
41,72
21,99
-
21,15
22
2.4.3Manfaat Tumbuhan Rotan Karena kekuatan, kelenturan, dan keseragamannya, batang polos rotan sering dimanfaatkan secara komersial untuk mebel dan anyaman rotan. Di daerah pedesaan, banyak spesies rotan telah digunakan selama berabad-abad untuk berbagai tujuan seperti tali temali, konstruksi, keranjang, atap, dan tikar. Rotan juga dapat digunakan untuk menghasilkan tangkai sapu, pemukul tilam, mebel, tongkat, perangkap ikan, tirai, kurungan burung, dan hampir untuk semua tujuan lain yang menuntut kekuatan dan kelenturan yang digabung dengan keringanan. Pinak-pinak daun rotan tua dianyam untuk atap, pinak daun muda digunakan sebagai kertas rokok, tunas muda atau kobis dapat dimakan sebagai lalapan. Buah rotan dapat digunakan sebagai obat. Selain itu, beberapa spesies rotan juga menghasilkan zat warna dari kulit buahnya yang dimanfaatkan sebagai pewarna, pernis, dan bahan campuran jamu lokal (Prosea, 1996).
2.5 Densitas Densitas merupakan kerapatan suatu bahan atau material. Pengujian densitas dilakukan dengan menimbang massa sampel, kemudian diukur panjang, lebar dan tebal sampel,dilakukan untuk menentukan volume sampel. Rapat massa suatu bahan yang homogen didefenisikan sebagai massa persatuan volume. Rapat massa dilambangkan dengan huruf Yunani ππ (rho) dan secara matematis dapat ditulis :
dengan :
ππ =
ππ ππ
........................................................(2.12)
ππ = massa jenis (kg/m3) m = massa (kg)
V = volume (m3) Berat jenis suatu bahan ialah perbandingan antara rapat massa bahan itu terhadap rapat massa air dan sebab itu berupa bilangan semata tanpa satuan. Istilah berat jensi sebenarnya merupakan istilah keliru karena tidak ada sangkut
23
pautnya dengan gravitasi. Lebih tepat disebut rapat relatif karena lebih memperjelas konsepnya (Sears, 1982). Selain densitas dimensi, metode lain yang digunakan untuk menentukan kerapatan adalah densitas Archimedes. Metode ini pada prinsipnya menggunakan perbedaan antara masa sampel di udara dengan massa sampel di dalam air. Untuk massa di udara, sampel ditimbang secara normal menggunakan timbangan. Massa di udara merupakan massa sesungguhnya tanpa ada gaya dorong ke atas. Sedangkan massa di dalam air merupakan massa air yang dipindahkan atau tumpah. Adanya gaya dorong ke atas yang dialami oleh sampel ketika berada di dalam air menyebabkan massa sampel di air cenderung lebih kecil dibandingkan massa sampel di udara. Untuk menghitung densitas Archimedes, dapat digunakan rumus sebagai berikut :
ππ =
ππ π’π’π’π’π’π’π’π’π’π’
ππ π’π’π’π’π’π’π’π’π’π’ βππ ππππππ
ππππππππ ..................................(2.13)
dengan : Ο = densitas Archimedes sampel (g/cm3) mudara = massa sampel di udara (g) mair = massa sampel di air (g) Οair = densitas air (g/cm3)
Kawat Pengait Timbangan
Penyanggah l
p
t
air sampel
(a)
(b)
Gambar 2.3 Skema Pengujian Densitas(a) Dimensi dan (b) Archimedes
24
2.6 Perekat Polivinil Asetat (PVAc) Bahan perekat secara umum dibagi menjadi dua macam yaitu bahan perekat alami dan bahan perekat sintetis. Bahan perekat alami berasal dari hewani, tumbuhan, dan mineral. Berikut beberapa perekat alami : 1. Beberapa bahan perekat yang berasal dari hewani adalah albumen, casein, shellac, lilin lebah dan kak (Animal Glue). 2. Beberapa bahan perekat yang berasal dari tumbuhan adalah damar Alam, arabic Gum, protein, starch atau kanji, dextrin, dan karet Alam. 3. Beberapa bahan perekat yang berasal dari mineral adalah silicate, magnesia, litharge, bitemen, dan asphalt (Hartomo, 1995).
Polivinil asetat (PVAc) atau biasa disebut juga lem putih biasa digunakansebagai lem kayu dan kertas. Lem putih merupakan salah satu produk jenis polimer emulsi.Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatumonomer atau campuran monomer dipolimerisasikan di dalam air denganperubahan surfaktan untuk membentuk suatu produk polimer emulsi yang bisadisebut lateks. Polimer emulsi digunakan sebagai perekat dalam industri kayulapis dan pengerjaan furniture. Polivinil asetat adalah suatu polimerkaret sintesis. Polivinil asetat dibuat dari monomernya, vinil asetat (vinyl acetate). Sifat khusus dari kopolimer emulsi yang lengket terhadap aksi tekanan memungkinkan penggunaannya sebagai perekat.
2.7 Sifat Mekanik Material Uji mekanik dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mekanis suatu material. Sifat Mekanis yang umum diuji dalam karakterisasi bahan antaralain : 1. Kuat tarik (tensile strength) 2. Kuat lentur (flexural strength)
2.7.1 Kuat Tarik (Tensile Strength) Uji kuat tarik merupakan pengujian statis dengan cara memberi gaya tarik pada kedua ujung sampel. Pengujian bertujuan untuk mengetahui gaya tarik maksimum
25
yang mampu ditahan oleh sampel agar tidak putus. Kekuatan tarik dapat diartikan sebagai ketahanan suatu bahan terhadap gaya yang bekerja paralel pada bahan yang menyebabkan bahan tersebut putus tarik.Kuat tarik dapat dihitung dengan persamaan berikut :
dengan :
Ο=
F
Ao
...............................................(2.14)
Ο =kekuatan tarik (N/m2) F = gaya tarik (N) Ao = luas penampang awal yang tegak lurus gaya (m2) Berdasarkan ASTM D-638, panjang sampel untuk uji tarik adalah 115 mm. Panjang grips 65 mm dengan lebar 20 mm.Grip didesain khusus sebagai pegangan dengan radius tertentu agar putus tarik terjadi pada area pengujian. Untuk itu, pegangan atau grip dibuat lebih lebar. Jika putus tarik terletak pada daerah grip, maka besar gaya maksimum yang ditunjukkan tidak valid. Ukuran sampel dan skema untuk uji tarik dapat dilihat pada gambar 2.4.
AO
Gambar 2.4 Ukuran Spesimen Uji Tarik Berdasarkan ASTM D-638
26
2.7.2 Kuat Lentur(Flexural Strength) Kuat lentur (flexural strength) adalah sifat mekanis yang menunjukkan ukuran kekakuan dari suatu material. Flexural modulus dapat digantikan melalui pengukuran top load yaitu dengan menekan sampel hingga membengkok. Dengan mengukur ketahanan material terhadap pembengkokan, flexural modulus akan menjadi ukuran kekakuan material. Pada prinsipnya, semakin tinggi modulus lenturnya, maka material semakin kaku. Kuat lentur dapat dihitung dengan rumus: UFS =
3ππππ
2ππππ 2
..................................................(2.15)
dengan UFS = kuat lentur (MPa) P = beban atau gaya yang diberikan (N) L = jarak anatara kedua penumpuh (mm) b = lebar sampel (mm) d = ketebalan sampel (mm)
Pengujian kuat lentur dimaksudkan untuk mengetahui ketahanan material terhadap pembebanan pada tiga titik lentur dan untuk mengetahui keelastisitasan suatu bahan. Semakin besar kuat lentur, maka bahan akan semakin elastis. Skema pengujian kuat lentur dapat dilihat pada gambar 2.5.
Beban (P)
Sampel t b L
Gambar 2.5 Skema Pengujian Kuat Lentur