7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Preparasi biomekanis saluran akar adalah salah satu langkah penting dalam perawatan endodonti yang bertujuan untuk membentuk dan membersihkan sistem saluran akar sebelum dilakukan pengisian saluran akar. Saluran akar dapat dibentuk dengan instrumen tangan ataupun rotary instrument dan harus selalu disertai dengan tindakan irigasi saluran akar. Tindakan irigasi saluran akar sangat penting karena bertujuan untuk menghilangkan debris, smear layer beserta mikroorganisme dari saluran akar yang tidak dapat dijangkau hanya dengan menggunakan instrumen mekanis.11 Salah satunya adalah untuk mengeliminasi bakteri P.gingivalis yang sering ditemukan pada infeksi endodontik primer.3,11 Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan bahan alami sebagai alternatif bahan irigasi saluran akar, salah satunya adalah lerak. Untuk itu, ekstrak lerak diharapkan dapat dikembangkan menjadi bahan irigasi saluran akar yang dapat membunuh mikroba, bersifat biokompatibel, antiinflamasi, analgetik dan mempunyai nilai tegangan permukaan yang rendah. 2.1 Irigasi Saluran Akar Tindakan irigasi saat preparasi saluran akar merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam perawatan endodonti. Irigasi saluran akar diperlukan untuk menunjang tindakan instrumentasi mekanis selama dan sesudah pembersihan dan pembentukan saluran akar. Hal ini bertujuan untuk melarutkan dan membersihkan debris/smear layer, menginaktivasi dan melepaskan struktur biofilm yang terdapat pada saluran akar, dan berfungsi sebagai pelumas agar istrumentasi dapat berjalan dengan lancar.13 Banyak debris dan jaringan organik yang terdapat, lebih sering dihilangkan oleh tenaga pembilasan (flushing) dari larutan irigasi. Irigasi yang tidak memadai akan membuat debris dan mikroorganisme tetap tertinggal akibat bentuk
Universitas Sumatera Utara
8
saluran akar yang kompleks sehingga dapat menyebabkan kegagalan perawatan endodonti.10 2.1.1 Bahan Irigasi Saluran Akar Sejak dulu, berbagai bahan irigasi saluran akar dalam bentuk larutan telah dikembangkan untuk memaksimalkan tindakan cleaning and shaping dalam perawatan endodonti.32 Tentu saja dalam pengembangannya, suatu bahan irigasi harus memenuhi beberapa kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Bahan irigasi yang ideal harus memiliki beberapa sifat, yaitu dapat melarutkan jaringan nekrotik dan smear layer, dapat melumasi saluran akar, membunuh mikroorganisme, memiliki tegangan permukaan yang rendah, tidak toksik dan tidak mengiritasi jaringan sehat. Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah mudah diperoleh, relatif murah, mudah digunakan, mudah disimpan dan dapat disimpan cukup lama.10-12 Namun, sampai saat ini belum ada satupun larutan irigasi yang memenuhi seluruh kriteria diatas.13 Oleh sebab itu, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, telah sering digunakan kombinasi dari berbagai bahan irigasi tunggal untuk mengatasi kelemahan masing-masing.32 2.1.1.1 Sodium Hipoklorit (NaOCl) Sodium Hipoklorit (NaOCl) pertama sekali digunakan pada saat perang dunia I untuk mencuci luka.11,32 Dalam bidang kedokteran gigi, NaOCl mulai digunakan sebagai bahan irigasi saluran akar pada awal tahun 1920-an.32 Sampai saat ini, NaOCl merupakan bahan irigasi yang paling sering digunakan dalam perawatan saluran akar. Hal tersebut dikarenakan NaOCl mempunyai sifat pelarut jaringan yang baik, bakterisidal dan dapat berperan sebagai agen bleaching dan pelumas.10 Namun NaOCl memiliki beberapa kekurangan, yaitu bersifat sitotoksik pada jaringan vital, kurang efektif dalam menghilangkan komponen anorganik dari smear layer, korosif pada instrumen yang terbuat dari metal, kurang efektif pada saluran akar yang sempit, dapat menyebabkan reaksi alergi dan mempunyai bau yang kurang enak.10,14 Konsentrasi NaOCl yang digunakan dalam perawatan endodontik bervariasi antara 0,5% - 6%.10,11 Namun perlu diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi yang
Universitas Sumatera Utara
9
digunakan, maka potensi untuk mengiritasi jaringan juga semakin besar. Oleh karena itu, jarum irigasi harus ditempatkan secara longgar agar bahan irigasi NaOCl tidak melewati foramen apikal karena dapat menyebabkan iritasi yang serius pada jaringan periapikal.13 2.1.1.2 Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) Ethylenediamine Tetra-Acetic Acid (EDTA) mulai digunakan sebagai bahan irigasi sejak tahun 1957.11 Penggunaan EDTA efektif untuk mendemineralisasi permukaan dentin dan menghilangkan smear layer, namun tidak efektif untuk menghilangkan debris organik dan tidak memiliki efek antimikrobial. Oleh sebab itu, penggunaan EDTA sering dikombinasikan dengan NaOCl yang dapat melarutkan jaringan
pulpa
dengan
baik
dan memiliki
efek antimikrobial. 15
Namun,
penggunaannya harus dilakukan secara terpisah karena EDTA sangat reaktif terhadap NaOCl.32 Efek EDTA pada dentin bergantung pada konsentrasi larutan dan lamanya waktu berkontak dengan dentin.33 EDTA efektif digunakan pada pH netral dan konsentrasi yang umum dipakai dalam bidang endodonti adalah 17%. Waktu yang direkomendasikan adalah irigasi dengan EDTA 17% selama 1 menit pada akhir prosedur preparasi untuk menghilangkan smear layer. Dentin yang terpapar EDTA selama lebih dari 10 menit dapat menyebabkan dentin peritubular dan intratubular terkikis berlebihan.10,11 2.1.1.3 Klorheksidin (CHX) Klorheksidin (CHX) pertama sekali dikembangkan oleh laboratorium penelitian Imperial Chemistry Industries Ltd pada akhir tahun 1940-an. Larutan ini bersifat basa kuat dan paling stabil dalam bentuk garam, yaitu klorheksidin diglukonat. CHX merupakan antiseptik yang potensial, sehingga CHX 0,1% - 0,2% sering digunakan untuk mengontrol pembentukan plak dalam rongga mulut.32 CHX juga direkomendasikan sebagai bahan irigasi dan medikamen saluran akar karena bersifat biokompatibel dan memiliki efek antimikrobial yang luas. 11,32 Terlebih lagi, CHX sangat efektif untuk melawan bakteri E.faecalis, yaitu salah satu bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada perawatan saluran akar yang gagal. 10 Hal
Universitas Sumatera Utara
10
ini disebabkan karena adanya perlekatan antara CHX dengan hidroksiapatit pada dentin sehingga menghasilkan efek antimikrobial yang bertahan lama.11,13 CHX bersifat bakteriostatik pada konsentrasi minimal 0,2% dan bakterisidal pada konsentrasi 2% sehingga CHX 2% lebih sering digunakan sebagai bahan irigasi saluran akar.12,32,33 Beberapa penelitian menemukan bahwa CHX 2% memiliki efek antibakterial yang sedikit lebih baik dari NaOCl 5,25%.11,33 Walaupun CHX bersifat biokompatibel dan memiliki efek antibakterial yang baik, namun CHX kurang efektif terhadap bakteri gram negatif dan tidak dapat digunakan sebagai irigan tunggal karena CHX tidak dapat melarutkan jaringan nekrotik dan debris sehingga dapat menyumbat tubulus dentin.12,13 Oleh sebab itu, penggunaan CHX biasanya dikombinasikan bersama bahan irigasi lain seperti NaOCl/EDTA dan digunakan sebagai final rinse.32 2.1.1.4 MTAD Mixture of tetracycline isomer, acid and detergent (MTAD) merupakan bahan irigasi berbasis antibiotik yang dikembangkan dari campuran tetracycline isomer, asam dan deterjen.11,15,16 Penggunaan bahan irigasi ini sebenarnya memicu kontroversial karena dikhawatirkan dapat memicu peningkatan bakteri yang resisten.11 MTAD bersifat biokompatibel dan telah dibuktikan efektif untuk mengeliminasi
mikroorganisme
berkepanjangan.15,16
dan
memiliki
aktivitas
Penelitian membuktikan bahwa
antimikroba
secara
MTAD memiliki efek
antibakterial yang lebih baik dalam mengeliminasi bakteri E.faecalis dibandingkan dengan NaOCl 2,5% dan CHX 2%.12 MTAD direkomendasikan sebagai final rinse karena mengandung asam yang dapat menghilangkan smear layer dan tetrasiklin untuk membunuh bakteri.16 Konsentrasi yang disarankan untuk digunakan sebagai bahan irigasi adalah MTAD 1,3%. Namun, karena MTAD kurang efektif dalam melarutkan jaringan organik, MTAD lebih disarankan untuk digunakan pada akhir preparasi setelah penggunaan NaOCl. Penelitian secara in vitro juga melaporkan bahwa penggunaan MTAD dalam jangka panjang dapat menyebabkan stain pada jaringan keras gigi.17 Walaupun MTAD memiliki sifat antimikrobial yang baik,
Universitas Sumatera Utara
11
namun masih sangat sedikit penelitian yang membandingkan tentang keefektifannya terhadap NaOCl dan CHX sehingga belum diketahui apakah MTAD merupakan bahan irigasi yang lebih baik dari NaOCl dan CHX.12 2.1.2 Teknik Irigasi Saluran Akar Berbagai teknik irigasi saluran akar telah dikembangkan dalam ilmu endodonti hingga saat ini. Secara garis besar, teknik irigasi saluran akar terbagi atas dua cara, yaitu secara manual dan machine assisted irrigation. Teknik irigasi saluran akar secara manual adalah teknik irigasi sederhana yang umumnya menggunakan syringe plastik dan jarum yang dibengkokkan.10,34,35 Prinsip dari teknik ini adalah menggunakan positive pressure dalam aplikasinya.34 Jarum irigasi dibengkokkan menjadi sudut tumpul agar dapat mencapai saluran, baik pada gigi posterior maupun gigi anterior.10 Posisi jarum hendaknya longgar di dalam kanal, hal ini bertujuan untuk memungkinkan pengaliran kembali larutan untuk membawa debris dan menghindari penekanan larutan ke dalam jaringan periapikal. 10,34,35 Menurut penelitian, pada penggunaan teknik irigasi manual, bahan irigasi hanya tersebar 1 mm di bawah ujung jarum. Hal ini merupakan kekurangan dari teknik manual, mengingat ujung jarum biasanya hanya terletak di 1/3 koronal sampai 1/3 tengah sehingga penetrasi bahan irigasi kurang maksimal.34 Ukuran Syringe plastik yang digunakan biasanya bervariasi antara 1-20 mL. Meskipun syringe yang berkapasitas besar dapat menghemat waktu, namun operator sering merasakan kesulitan dalam mengatur tekanan yang dikeluarkan. Oleh karena itu, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, syringe bervolume kecil (1-5 mL) lebih disarankan dalam irigasi saluran akar. Ukuran jarum yang biasanya digunakan adalah 25G, 27G dan 30G sesuai dengan ukuran Organisasi Standar Internasional. Umumnya, ukuran jarum yang lebih kecil lebih disukai karena penetrasi bahan irigasi ke bagian apeks lebih maksimal, namun penggunaannya tetap harus berhati-hati agar tidak mengakibatkan bahan irigasi melewati apikal.17 Beberapa modifikasi pada ujung jarum irigasi telah diciptakan untuk meminimalkan resiko yang mungkin terjadi dan meningkatkan efisiensinya. 17,34 Jenis jarum ini
Universitas Sumatera Utara
12
secara umum meliputi jarum dengan ujung terbuka (open end) dan ujung tertutup (closed end) (Gambar 1). Jarum open end terdiri dari flat, bevel, dan notched. Sedangkan jarum closed end terdiri dari side vented, double side vented
dan
multivented.34 Walaupun jenis jarum irigasi ini berbeda-beda, namun tujuan utama dari penggunaan jarum irigasi ini tetap sama yaitu untuk membersihkan debris, smear layer dan mengeliminasi mikroorganisme secara maksimal. 13
Gambar 1. Gambar sebenarnya (atas), gambar tiga dimensi (bawah). Jarum A-C (open end): (A) Flat, (B) Bevel, (C) Notched. Jarum D-F (closed end): (D) Side vented, (E) Double side vented, (F) Multivented.34 Flow larutan irigasi dengan menggunakan jarum open end sangat berbeda bila dibandingkan dengan jarum closed end. Jarum open end mengarahkan aliran menuju ke ujung apeks, sedangkan jarum closed end lebih mengarahkan ke dinding saluran akar. Hal ini dapat terlihat dari posisi lubang jarum open end yang berada di ujung dan closed end yang berada di lateral. Jarum open end dapat memasukkan bahan irigasi ke jarak yang lebih jauh dan menghasilkan aliran balik larutan irigasi yang lebih baik daripada jarum closed end, namun juga tekanan apikal yang lebih tinggi sehingga resiko penetrasi bahan irigasi melewati apikal juga lebih besar. Jarum closed
Universitas Sumatera Utara
13
end lebih efisien untuk melepaskan debris dan mikroorganisme yang melekat pada dinding saluran akar, namun akibat turbulensi yang dihasilkan, aliran balik menjadi kurang baik untuk pergantian larutan irigasi.34 Pada uji coba yang dilakukan pada jarum open end, tidak ditemukan adanya kelebihan dari jarum bevel dan notched bila dibandingkan dengan jarum flat. Bahkan dikhawatirkan ujung jarum bevel yang tajam dapat memperbesar resiko terlukanya pasien maupun dokter gigi. Pada jarum closed end, juga tidak ditemukan adanya kelebihan yang bermakna antara jarum side-vented, double side-vented dan multivented.34 Jarum close end, direkomendasikan sebagai jarum yang paling aman untuk menghindari terjadinya ekstrusi ke apikal (Gambar 2).10,34 Namun, akibat terbatasnya penetrasi larutan irigasi dan aliran balik yang kurang baik, maka ujung jarum ini perlu ditempatkan sedekat mungkin dengan ujung apeks. 34
Gambar 2. (a) Jarum irigasi side vented (close end). (b) Jarum irigasi side vented mencegah ekstrusi bahan irigasi ke apikal.10 Machine asissted irrigation systems merupakan teknik irigasi saluran akar dengan bantuan alat. Contoh dari teknik ini salah satunya adalah Endovac. Endovac memiliki tiga komponen utama, yaitu Master delivery tip, macrocannula dan microcannula (Gambar 3). Prinsip kerja dari Endovac adalah negative pressure dimana berbeda dengan teknik-teknik irigasi lain yang menggunakan tekanan positif. Kelebihan dari sistem negative pressure ini terdapat pada dua sistem komponen. Yang pertama adalah bahan irigasi dialirkan ke dalam kamar pulpa dalam jumlah
Universitas Sumatera Utara
14
besar dan terus-menerus oleh Master delivery tip yang diletakkan pada bagian koronal. Yang kedua adalah dengan negative pressure, bahan irigasi akan mengalir ke bawah menuju apeks dan kemudian disedot kembali dengan bantuan Macrocannula dan Microcannula.35,36
Gambar 3. (1) Master Dellivery Tip, (2) Macrocannula, (3) Microcannula36 Macrocannula digunakan untuk mengaspirasi debris kasar yang terdapat pada koronal dan setengah akar, dengan memasukkannya ke dalam saluran akar semaksimal mungkin tanpa tersangkut setelah instrumentasi. Setelah makroirigasi, microcannula dimasukkan sesuai panjang kerja untuk mengaspirasi debris halus melalui lubang-lubang kecil pada ujung cannula.36 Microcannula juga berfungsi untuk menimbulkan pola aliran bahan irigasi yang mengarah kearah apikal dan menimbulkan efek flushing pada dinding saluran akar. Microcannula dapat digunakan pada saluran akar yang diperlebar dengan file berukuran 35 atau lebih. Bahan irigasi akan dimasukkan ke saluran akar secara terus-menerus sehingga bahan irigasi yang diaspirasi oleh macrocannula dan microcannula dapat diganti dengan bahan irigasi yang baru. Penelitian membuktikan bahwa dibandingkan dengan teknik irigasi manual dengan syringe, sistem Endovac memperkecil resiko terjadinya ekstrusi bahan irigasi melewati periapikal dan juga membersihkan lebih maksimal pada daerah sepertiga apikal sehingga dapat mengeliminasi biofilm secara signifikan.17,35
Universitas Sumatera Utara
15
2.2 Porphyromonas gingivalis sebagai salah satu bakteri yang tergabung dalam biofilm pada infeksi endodontik primer Di dalam saluran akar yang terinfeksi terdapat kumpulan berbagai jenis komunitas bakteri sehingga disebut sebagai infeksi polimikrobial. Bakteri-bakteri ini ada yang berbentuk sel-sel planktonik yang tersebar bebas dalam cairan pada saluran akar dan ada juga yang beragregasi/berkoagregasi membentuk kumpulan bakteri yang melekat pada dinding saluran akar membentuk lapisan biofilm. Biofilm dapat didefinisikan sebagai sebuah lapisan tipis dari komunitas mikroorganisme multiseluler yang terkondensasi dan melekat secara kuat pada permukaan dan terperangkap dalam matriks extracellular polymeric substance (EPS) .2,3 Pembentukan biofilm ini terjadi dalam empat tahap (Gambar 4). Tahap pertama adalah adsorpsi dari molekul inorganik dan organik pada permukaan solid yang membentuk conditioning film. Tahap kedua dari pembentukan biofilm melibatkan adhesi dan kolonisasi dari sel-sel planktonik pada conditioning film. Banyak faktor yang mempengaruhi perlekatan bakteri pada substrat padat. Faktorfaktor ini meliputi pH, temperatur, energi permukaan dari substrat, kecepatan aliran dari cairan melewati permukaan, ketersediaan nutrisi, lama waktu bakteri berkontak dengan permukaan, tingkat pertumbuhan bakteri, termasuk juga isi sel permukaan dan hydrophobocity permukaan. Sifat-sifat psikokemikal seperti energi permukaan dan charge density menentukan jenis bakteri awal yang berkolonisasi. Perlekatan mikrobial pada substrat juga diperantarai oleh struktur permukaan bakteri seperti fimbriae, pili, flagela dan glycocalyx.37 Tahap ketiga melibatkan pertumbuhan dan ekspansi bakteri. Pada tahap ini, lapisan monolayer dari mikroorganisme menarik koloni sekunder untuk membentuk mikrokoloni dan kumpulan koloni-koloni ini membentuk struktur akhir dari biofilm. Formasi pertumbuhan sepanjang lateral dan vertikal dari mikroorganisme tersebut membuat mikrokoloni ini mirip dengan bentuk menara. Interaksi mikrobial yang terjadi pada tingkat selular selama pembentukan biofilm terdiri dari dua tipe. Yang pertama adalah proses pengenalan diantara sel yang tertahan dan sel yang telah melekat pada substrat yang disebut sebagai co-adhesi. Tipe interaksi kedua adalah
Universitas Sumatera Utara
16
sel-sel yang secara genetik berbeda dalam suspensi mengenali satu sama lain dan menyatu bersama yang disebut dengan co-agregasi.37 Tahap keempat terjadi pada biofilm yang telah matang yang melibatkan pelepasan mikroorganisme pada biofilm ke lingkungan sekitarnya. Pelepasan ini terdiri dari dua jenis, yaitu seeding dispersal dan clumping dispersal. Seeding dispersal melibatkan pelepasan sel-sel bakteri planktonik akibat hidrolisis dari matriks ekstraselular polisakarida dan mengkonversi subpopulasi sel-sel menjadi sel plaktonik yang motil. Clumping dispersal merupakan pelepasan dimana fragmen mikrokoloni terlepas dari biofilm dan terbawa dalam bentuk sekumpulan hingga tiba di lokasi baru dan mulai membentuk populasi baru. 37
Gambar 4. Tahapan pembentukan biofilm.37 Pembentukan biofilm pada infeksi saluran akar diawali beberapa saat setelah terjadinya invasi pada ruang pulpa oleh organisme plaktonik oral akibat kerusakan jaringan. Lesi inflamasi yang terus berkembang ini akan menyediakan cairan bagi organisme planktonik yang menginvasi sehingga mereka dapat bereplikasi dan terus melekat pada dinding saluran akar. Jaringan nekrotik pulpa menjadi lingkungan yang menguntungkan bagi proliferasi mikrobial karena adanya residu organik atau nutrisi yang berperan sebagai substrat atau medium kultur. 37
Universitas Sumatera Utara
17
Bakteri cenderung tumbuh dalam bentuk biofilm untuk dapat bertahan karena struktur biofilm dapat melindungi bakteri dari mikroorganisme lain, sistem pertahanan induk, agen antimikroba, dan pengaruh lingkungan, memberikan habitat yang lebih luas untuk berkembang, memerangkap nutrisi dan meningkatkan jumlah jenis metabolisme dan efisiensinya serta membantu pertukaran gen, dan meningkatkan patogenitas.2 Mikroorganisme dalam bentuk sel-sel planktonik dapat dengan mudah dieliminasi pada proses cleaning and shaping saat perawatan saluran akar. Namun, mikroorganisme dalam bentuk biofilm yang melekat pada dinding saluran akar, isthmus, kanal lateral dan tubulus-tubulus dentin tentu saja lebih sulit dieliminasi dan mungkin membutuhkan strategi perawatan tertentu. 2,3 (Gambar 5)
Gambar 5. Microbial biofilm pada tubulus dentin dan dinding saluran akar.3 Salah satu bakteri yang dapat dijumpai pada biofilm yang terbentuk pada infeksi saluran akar adalah dari golongan Porphyromonas sp., yaitu Porphyromonas gingivalis. Porphyromonas gingivalis merupakan salah satu bakteri obligat anaerob gram negatif yang sering diisolasi dari infeksi endodontik primer.3,4 Berdasarkan taksonominya, bakteri P.gingivalis diklasifikasikan sebagai berikut:38
Kingdom : Eubacteria
Filum
: Bacteroidates
Universitas Sumatera Utara
18
Klas
: Bacteroides
Ordo
: Bacteroidales
Famili
: Porphyromonadaceae
Genus
: Porphyromonas
Spesies
: Porphyromonas gingivalis
P.gingivalis (Gambar 6) merupakan bakteri obligat anaerob gram negatif berpigmen hitam yang tidak berspora dan non-motile yang menginfeksi jaringan periapikal.4,7 Bakteri ini berukuran kecil, antara 0,5-2 μm dan berbentuk coccobacilli.39 Bakteri golongan Porphyromonas sp. memiliki karakteristik khusus yang memancarkan warna merah bata ketika berada di bawah sinar ultraviolet gelombang panjang dan bewarna coklat hitam ketika dikultur pada blood-containing media, sehingga bakteri ini juga dapat diidentifikasi sebagai bakteri berpigmen hitam Bacteroides.9,39
Gambar 6. Bakteri P.gingivalis39 P.gingivalis tumbuh dalam media kultur membentuk koloni berdiameter 1-2 mm, konveks, halus dan mengkilat, yang bagian tengahnya menunjukkan gambaran lebih gelap karena produsi protoheme, yaitu suatu substansi yang bertanggung jawab terhadap warna khas koloni ini. Pertumbuhannya dipengaruhi oleh adanya protein hydrolysates, seperti peptone atau yeast extract. Pertumbuhannya dapat ditingkatkan
Universitas Sumatera Utara
19
dengan adanya NaCl 0,5-0,8% dalam darah. Produk fermentasi P.gingivalis yang utama adalah n-butirat dan asam asetat.38 Bakteri P.gingivalis lebih dikenal sebagai salah satu bakteri patogen yang memegang peranan penting dalam terjadinya penyakit periodontal. Namun, bakteri ini juga sering ditemukan pada infeksi saluran akar primer dan pada berbagai abses odontogenik yang bukan berasal dari penyakit periodontal.8 Selain itu, bakteri ini memiliki aktifitas proteolitik, sehingga sering dihubungkan dengan proses terjadinya abses periapikal.1 Keberadaan P.gingivalis pada proses infeksi endodontik mungkin dulu kurang diperhitungkan untuk waktu yang cukup lama karena bakteri ini merupakan bakteri obligat anaerob yang tidak dapat tumbuh pada media padat tanpa adanya teknik spesial.6 Pada penelitian yang dilakukan dengan metode kultur pada saluran akar yang terinfeksi, bakteri P.gingivalis ditemukan hanya memiliki prevalensi sebesar 10% - 27,3%.1,6 Namun dengan adanya perkembangan teknologi, bakteri P.gingivalis sekarang dapat diisolasi dengan metode PCR dengan hasil P.gingivalis memiliki prevalensi sebesar 28% - 43,3% pada pulpa dengan infeksi endodontik primer.1,5-7 Pada infeksi endodontik kronis, bakteri P.gingivalis diketahui dapat memiliki prevalensi yang lebih tinggi lagi, serta prevalensinya lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri P.endodontalis. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Tomazinho et al (2007), di mana P.gingivalis dan P.endodontalis masing-masing secara berurutan memiliki prevalensi sebesar 27,3% dan 9,1% dengan metode kultur dan 43,3% dan 23,3% dengan metode PCR.6 Sedangkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sassone et al (2007) dengan metode checkerboard DNA–DNA hybridization, bakteri dari genus Porphyromonas yang ditemukan memiliki prevalensi paling tinggi pada infeksi endodontik primer kronis adalah bakteri P.gingivalis dengan prevalensi sebesar 67% sedangkan bakteri P.endodontalis hanya memiliki prevalensi sebesar 30%.40 Selain itu, P.gingivalis juga sering ditemukan memiliki prevalensi yang cukup tinggi pada kasus infeksi endodontik primer dengan periodontitis apikalis (Gambar 7).2
Universitas Sumatera Utara
20
P.gingivalis
Persentase
0
10
Periodontitis Apikalis Kronis
20
30
40
Periodontitis Apikalis Akut
50
60
70
Abses Apikalis Akut
Gambar 7. Prevalensi P.gingivalis pada infeksi endodontik kronis dengan berbagai bentuk periodontitis apikalis yang berbeda.2 Prevalensi P.gingivalis pada infeksi endodontik primer memang cukup besar, namun pada infeksi endodontik sekunder bakteri ini masih dapat ditemukan walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Ercan et al (2006), di mana bakteri Porphyromonas spp. ditemukan memiliki prevalensi yang lebih rendah pada saluran akar dengan infeksi endodontik sekunder dibandingkan pada infeksi endodontik primer.41 Namun pada kasus periodontitis apikalis yang persisten, P.gingivalis diketahui memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al (2010), didapatkan hasil bahwa P.gingivalis memiliki prevalensi sebesar 27% pada periodontitis apikalis yang persisten.42 Bakteri P.gingivalis merupakan spesies yang paling sering ditemukan dalam genusnya dan mungkin merupakan bakteri patogen yang paling penting dalam genusnya. Hal ini disebabkan karena bakteri P.gingivalis merupakan bakteri yang paling proteolitik dan paling patogen diantara bakteri anaerob gram negatif berpigmen hitam sehingga patogenitas bakteri ini banyak diteliti secara luas. 43
Universitas Sumatera Utara
21
P.gingivalis diketahui memiliki berbagai faktor virulensi patogenik yang berperan dalam menyebabkan penyakit. Faktor virulensi tersebut antara lain seperti fimbriae, capsule, extracellular vesicles, hemagglutinin, gingipain, hydrolytic enzymes, collagenase dan lipopolysaccharide (LPS).8 Fimbriae adalah filamen tipis, bagian dari struktur bakteri yang terdapat pada permukaan bakteri dan tersusun atas molekul protein dengan diameter 5 nm.9,39 Fimbriae pada bakteri berperan pada perlekatan bakteri dengan sel induknya dan untuk interaksi dengan bakteri lainnya.9 Fimbriae P.gingivalis memiliki perlekatan yang sangat kuat pada sel epitel dan memiliki potensi yang besar menjadi virulensi, sehingga P.gingivalis yang memiliki lebih banyak fimbriae akan lebih mudah memasuki sel dendrit pada manusia daripada yang lebih sedikit fimbriaenya.44 Fimbriae pada P.gingivalis juga dapat menstimulasi sitokin dari makrofag sehingga merangsang terjadinya proses resopsi tulang.4,39,44 Sebagian besar golongan Bacteroides termasuk P.gingivalis memiliki kapsul yang tersusun dari polisakarida dan membentuk lapisan pada bagian luar dinding sel.9,44 Kapsulnya terlibat dalam adhesi atau perlekatan, pembentukan abses dan melindungi dari poses opsonisasi dan fagositosis sel inang.39,44 Collagenase merupakan faktor virulensi Porphyromonas gingivalis yang berhubungan dengan penyakit periodontal. Penelitian menyatakan keberadaan collagenase gene (prtC) yang diperiksa pada 21 strain spesies Porphyromonas dapat diisolasi pada infeksi saluran akar. Porphyromonas gingivalis dari infeksi saluran akar memiliki prtC gen, sedangkan Porphyromonas endodontalis tidak memiliki prtC gen.44 P.gingivalis juga diketahui dapat menghasilkan enzim cysteine protease, dinamakan gingipain yang merupakan salah satu faktor virulensi penting dari bakteri tersebut. Gingipain memiliki kemampuan untuk mendegradasi protein pertahanan inang untuk menyediakan peptida dan asam amino sebagai sumber carbon dan nitrogen bagi pertumbuhan bakteri tersebut.45 Gingipain ini juga berperan dalam 85% aktivitas proteolitik yang dihasilkan oleh bakteri P.gingivalis.39 Gingipain ini sendiri terdiri atas Arg-gingipain (Rgp) dan Lys-gingipain (Kgp). 45
Universitas Sumatera Utara
22
Patogenitas yang utama dari bakteri gram negatif disebabkan oleh adanya lipopolysacharide (LPS) pada dinding selnya. LPS adalah komponen permukaan mayor dari bakteri gram negatif yang tersusun dari polysaccharide, core polysaccharide dan Lipid A.39 LPS memiliki potensi yang kuat sebagai stimulator inflamasi karena LPS mampu menembus ke dalam jaringan periradikuler dan bertindak sebagai endotoksin dalam organisme inangnya sehingga menyebabkan peradangan
dan
berlanjut
dengan
terjadinya
kerusakan
tulang.
Penelitian
menunjukkan bahwa respon radang dimulai saat LPS P.gingivalis berikatan dengan lipoliskarida binding protein (LBP) membentuk komplek molekul CD14. Komplek molekul ini akan dikenali oleh makrofag melalui reseptor TLR4 sehingga menstimulasi terbentuknya IL-1, IL-6 dan TNF-α, yaitu sitokin yang berperan dalam proses terjadinya resorpsi tulang.4 Dilihat dari patogenitasnya, keberadaan bakteri P.gingivalis juga dihubungkan dengan timbulnya rasa sakit karena sering ditemukan memiliki prevalensi yang lebih tinggi pada kasus simptomatik yang berhubungan dengan pembentukan eksudat dan rasa sakit pada palpasi. Penelitian Rocas et al. Cit Jacinto (2006) menemukan bahwa bakteri P.gingivalis memiliki prevalensi sebesar 30% pada infeksi endodontik primer yang simptomatik. Penelitian Gomes et al. Cit Jacinto (2006) juga menemukan adanya hubungan antara Porphyromonas spp. dengan rasa sensitif pada perkusi dan pembengkakkan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sundqvist et al. Cit Jacinto (2006) pada gigi dengan inflamasi periapikal, P.gingivalis ditemukan pada semua gigi dengan eksaserbasi akut tapi tidak pada gigi yang bebas dari rasa sakit.46 Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sassone et al (2008) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan jumlah bakteri pada kasus infeksi endodontik primer kronis yang simptomatik dibandingkan dengan kasus yang asimptomatik, ditemukan bahwa P.gingivalis mempunyai perbedaan mean levels yang signifikan (Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa, jumlah bakteri P.gingivalis pada kasus simptomatik jauh lebih besar dibandingkan dengan kasus yang asimptomatik sehingga bakteri P.gingivalis diyakini memiliki hubungan dengan timbulnya rasa sakit. 43
Universitas Sumatera Utara
23
Gambar 8. Perhitungan dari 40 spesies bakteri (x105 ± SE) pada 30 kasus simptomatik dan 30 kasus asimptomatik pada lesi kronis infeksi endodontik primer. Urutan spesies berdasarkan jumlah mean counts secara menurun dari sampel kasus simptomatik. (Mann-Whitney U test).43 Bakteri P.gingivalis tidak dapat menimbulkan infeksi pada saluran akar secara individual, namun bakteri ini mempunyai kemampuan untuk berkolonisasi dalam bentuk microbial biofilm dengan bakteri lain sehingga menimbulkan infeksi. 3,5 Oleh sebab itu, risiko terjadinya virulensi semakin tinggi bila terdapat kombinasi mikroorganisme dalam jumlah yang besar, terutama dari spesies anaerob. Hal ini dapat dilihat dari kombinasi antara P.gingivalis dengan F.Nucleatum yang menunjukkan patogenitas yang lebih tinggi karena hal tersebut meningkatkan faktor perlekatan bakteri P.gingivalis terhadap sel induknya.9 Penelitian lain juga menunjukkan bahwa infeksi silang antara P.gingivalis dengan Bacteroides forythus
Universitas Sumatera Utara
24
pada infeksi saluran akar akan meningkatkan resiko terjadinya periodontitis apikalis kronis.5 Selain itu, kombinasi dari Porphyromonas sp., Prevotella sp., dan F.nucleatum akan meningkatkan faktor resiko terjadinya flare up endodonti. Hal ini disebabkan adanya sinergi antara bakteri-bakteri tersebut, sehingga meningkatkan intensitas terjadinya inflamasi pada jaringan periapikal. 9 Oleh sebab itu, hal ini membuktikan bahwa spesies bakteri yang berbeda-beda dalam struktur biofilm pada infeksi saluran akar memiliki hubungan yang erat sehingga interaksi antar bakteri tidak dapat dihindari. Keberadaan suatu spesies bakteri pada saluran akar dapat dipengaruhi
oleh
interaksi
dengan
spesies
lainnya
dan
juga
sebaliknya,
ketidakhadiran salah satu jenis bakteri dapat mempengaruhi keberadaan bakteri lainnya termasuk P.gingivalis.2 (Gambar 9)
Gambar 9. Interaksi antar bakteri dalam infeksi saluran akar dimana perkembangan dari sebagian spesies tergantung dari produk metabolisme spesies lainnya. Kehadiran suatu jenis bakteri mempengaruhi bakteri lainnya, sehingga hubungan antar setiap jenis bakteri tidak dapat dipisahkan.2
Universitas Sumatera Utara
25
2.3 Buah Lerak (Sapindus rarak DC) Sapindus rarak merupakan jenis tumbuhan yang berasal dari Asia Tenggara yang dapat tumbuh dengan baik pada hampir semua jenis tanah dan keadaan iklim. 20 Tanaman ini lebih dikenal dengan nama lerak, namun di daerah lain lerak memiliki nama yang berbeda-beda. Masyarakat Sunda menyebutnya dengan nama Rerek, di Jawa disebut Werak/Lerak, di Jambi disebut dengan Kalikea, penduduk Minang menyebutnya Kanikia, di Sumatera Selatan disebut dengan Lamuran dan di Tapanuli Selatan dikenal dengan nama buah sabun.19 Menurut taksonominya, Sapindus rarak diklasifikasikan dalam :20
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dycotyledonae
Bangsa
: Sapindales
Suku
: Sapindaceae
Marga
: Sapindus
Spesies
: Sapindus rarak
Sapindus rarak merupakan tanaman rimba yang memiliki tinggi rata-rata 10 m, walaupun bisa mencapai tinggi 42 m dengan diameter batangnya 1 m. Tanaman ini tumbuh liar di Jawa pada ketinggian antara 450 sampai 1500 m diatas permukaan laut. Tanaman ini mempunyai batang berwarna putih kotor dan berakar tunggang. Daun tanaman ini majemuk menyirip ganjil dan anak daun berbentuk lanset. Bunga lerak berbentuk tandan (racemes), melekat di pangkal, warna kuning keputihan, dan daun mahkotanya empat. Tanaman ini mempunyai buah yang keras, bulat dengan diameter ± 2 cm dan berwarna kuning kecoklatan (Gambar 10). Permukaan buah licin atau mengkilat, bijinya bulat, keras dan bewarna hitam. 19,20 Daging buah sedikit berlendir dan aromanya wangi.20 Buah lerak terdiri dari 73% daging buah dan 27% biji. Buah lerak sering digunakan sebagai pencuci kain batik di Jawa, biasa juga digunakan untuk mencuci emas, sebagai pembersih muka guna menghilangkan jerawat dan sebagai obat penyakit kulit terutama penyakit kudis. 19
Universitas Sumatera Utara
26
Gambar 10. Buah lerak yang berasal dari Desa Maga, Kecamatan Panyabungan Tapanuli Selatan (skala = 1cm)19 Kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam buah lerak adalah saponin 28%, senyawa alkaloid, polifenol, senyawa antioksidan dan golongan flavonoid, juga tanin.19 Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kulit buah, biji, kulit batang dan daun lerak mengandung saponin dan flavanoid, sedangkan kulit buahnya juga mengandung alkaloida dan polifenol. Kulit batang dan daun tanaman lerak mengandung tanin. Dengan demikian, ekstrak buah lerak mengandung saponin, flavonoid, alkaloid dan polifenol. Masing-masing kandungan tersebut mempunyai efek antibakteri. 19,20 Senyawa saponin dapat bekerja sebagai antimikroba sebagai surfaktan atau deterjen yang diduga akan menyerang lapisan batas sel bakteri melalui ikatan gugus polar dan non polar sehingga menyebabkan terjadinya lisis pada dinding sel bakteri. Flavonoid diduga dapat merusak membran sel karena sifatnya yang lipofilik dan kemampuannya membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler. Senyawa fenol menghambat enzim penting mikroorganisme, sedangkan alkaloid sudah digunakan berabad-abad dalam bidang medis karena dapat melawan sel asing melalui ikatan dengan DNA sel sehingga mengganggu fungsi sel.47 Berbagai penelitian untuk mengembangkan lerak sebagai alternatif bahan irigasi saluran akar telah dilakukan. Dalam pengembangannya, diketahui bahwa
Universitas Sumatera Utara
27
ekstrak lerak memiliki efektivitas antibakteri dan antifungal. Penelitian membuktikan bahwa ekstrak lerak 0,01% mempunyai
efek antibakteri terhadap Streptococcus
mutans dan Candida albicans yang lebih baik dari NaOCl 5%.21,22 Pada penelitian terhadap Fusobacterium nucleatum, ekstrak lerak mempunyai efek antibakteri dengan nilai Kadar Hambat Minimum (KHM) dan nilai Kadar Bunuh Minimum (KBM) 0,25%, dan 0,01% untuk saponin buah lerak.23 Sedangkan pada penelitian terhadap Enterococcus faecalis, ekstrak lerak mempunyai efek antibakteri dengan nilai KBM 25%.24 Penelitian juga membuktikan bahwa ektrak lerak diketahui mempunyai efek analgetik pada konsentrasi 2,5%, 5%, 7,5%25 dan efek antiinflamasi pada konsentrasi 0,01%.26 Selain itu, dari penelitian terdahulu diperoleh hasil bahwa nilai LC50 ekstrak lerak berada pada konsentrasi 1,25%.27 Salah satu syarat lain agar ekstrak lerak dapat digunakan sebagai alternatif bahan irigasi saluran akar adalah memiliki tegangan permukaan yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak lerak 17,5% dan 20% memiliki tegangan permukaan yang sama dengan CHX 2% dan lebih rendah pada konsentrasi 25%,28 sedangkan bila dibandingkan dengan NaOCl 2,5% ekstrak etanol lerak memiliki tegangan permukaan yang lebih rendah pada konsentrasi 5% - 25%.29 Pada penelitian mengenai pengaruh berbagai sediaan ekstrak lerak terhadap pembentukan celah mikro pada apikal saluran akar tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna antara celah mikro yang dihasilkan ekstrak etanol lerak 0,01% dan saponin buah lerak 0,008% dengan celah mikro yang dihasilkan oleh kombinasi NaOCl 5% dan EDTA 18%. Hal tersebut menunjukkan bahwa irigasi dengan ekstrak lerak 0,01% dan irigasi dengan saponin buah lerak 0,008% dapat mengangkat smear layer sama efektifnya dengan irigasi menggunakan kombinasi NaOCl 5% dan EDTA 18%. 30 Selain itu, dari penelitian juga didapatkan bahwa irigasi menggunakan ekstrak lerak 0,01% tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap kekuatan tarik resin komposit dengan dentin dibandingkan dengan irigasi menggunakan kombinasi NaOCl 5% dan EDTA 18% yang berarti irigasi menggunakan ekstrak lerak 0,001% akan memberikan hasil kekuatan perlekatan yang sama bila dibandingkan dengan irigasi menggunakan kombinasi NaOCl 5% dan EDTA 18%.31
Universitas Sumatera Utara
28
2.4 Kerangka Teori
Preparasi Biomekanis
Shaping
Cleaning
Teknik irigasi
Bahan irigasi
Syarat bahan irigasi
Jenis bahan irigasi
Pelarut jaringan nekrotik dan smear layer
NaOCl
CHX
EDTA
MTAD
Tidak toksik Tegangan permukaannya rendah Pelumas Membunuh mikroorganisme
Ekstrak etanol lerak
? P.gingivalis
Universitas Sumatera Utara
29
2.5 Kerangka Konsep Penelitian ini dilakukan dengan menguji daya antibakteri ekstrak etanol lerak (Sapindus rarak DC) sebagai bahan alternatif medikamen saluran akar terhadap bakteri P.gingivalis dengan penentuan nilai Kadar Hambat Minimum (KHM) dan nilai Kadar Bunuh Minimum (KBM). Suhu inkubasi bakteri, waktu inkubasi bakteri, dan konsentrasi ekstrak etanol lerak yang digunakan dapat mempengaruhi penentuan KHM dan KBM. Ekstrak etanol lerak (Sapindus rarak
Pertumbuhan bakteri P.gingivalis
DC) dengan konsentrasi 100%, 50%,
pada media MHB dan MHA
25%, 12,5%, 6,25%, 3,135% dan
dengan penentuan nilai KHM dan
1,625%.
KBM.
2.6 Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah ekstrak etanol lerak (Sapindus rarak DC) mempunyai efek antibakteri terhadap P.gingivalis sehingga dapat digunakan sebagai alternatif bahan irigasi saluran akar dengan mencari nilai KHM dan KBM.
Universitas Sumatera Utara