BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencemaran Pestisida
Pestisida
adalah
bahan
kimia
yang
digunakan
untuk
mengendalikan
perkembangan/pertumbuhan dari hama, penyakit dan gulma (Sofia, 2001). Menurut Yuantari (2009) pestisida adalah zat atau campuran yang diharapkan sebagai pencegahan, menghancurkan atau pengawasan setiap hama termasuk vektor terhadap manusia dan penyakit pada binatang, tanaman yang tidak disukai dalam proses produksi. Pestisida meliputi herbisida (untuk mengendalikan gulma), insektisida (untuk mengendalikan serangga), fungisida (untuk mengendalikan fungi), nematisida (untuk
mengendalikan
nematoda),
rodentisida
(racun
vertebrata),
mollusida
(mengontrol siput) (Hameed & Singh, 1998; Miskiyah & Munarso, 2009). Pestisida mempunyai peranan penting untuk membantu mengatasi permasalahan organisme pengganggu. Bahkan telah menjadi alat yang sangat penting didalam meningkatkan produksi pertanian (Saenong, 2007).
Pestisida tidak hanya memberikan manfaat terhadap pertanian, namun juga memberikan dampak negatif (Wahyuni, 2010). Lahan pertanian yang terkontaminasi pestisida menyebabkan terjadinya penumpukan bahan berbahaya dan beracun dalam tanah (Yuantari, 2009). Dampak negatif penggunaan pestisida telah banyak dilaporkan dalam berbagai penelitian. Dampak tersebut dapat berupa ketidak-stabilan ekosistem, adanya residu pada hasil panen dan bahan olahannya, pencemaran lingkungan dan keracunan bahkan kematian pada manusia (Wahyuni, 2010). Pestisida juga dapat menimbulkan resistensi hama, ledakan hama, timbulnya hama sekunder (Sinulingga, 2005).
Pencemaran dan keracunan pestisida umumnya terjadi akibat kelalaian manusia dalam penggunaannya yang berlebihan, kesalahan pencampuran dan penanganan yang tidak sesuai prosedur (Indraningsih & Sani, 2006). Penggunaan pestisida yang tidak terkendali akan menimbulkan bermacam-macam masalah kesehatan dan pencemaran lingkungan (Yuantari, 2009). Hal ini juga diperparah dengan perilaku petani dalam menggunakan dan penanganan pestisida yang masih belum arif dan belum ramah lingkungan (Wahyuni, 2010).
2.2 Dampak Penggunaan Insektisida terhadap Lingkungan
Para petani masih sangat mengandalkan insektisida kimia sebagai alat pengendali dengan tujuan untuk memberantas serangga
yang ada pada agroekosistem tanpa
memperdulikan dampak negatif yang ditimbulkan khususnya terbunuhnya serangga dari golongan musuh alami (Sarjan, 2004; Wudianto, 1997). Dampak penggunaan pestisida terhadap lingkungan sangat ditentukan oleh efektivitas pestisidanya. Suatu jenis pestisida dianggap efektif bila (1) cukup beracun untuk mempengaruhi seluruh kelompok biota termasuk makhluk bukan sasaran sampai batas tertentu tergantung faktor fisiologis dan ekologis dan (2) pestisida harus tahan terhadap degradasi lingkungan sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu tertentu. Sifat- sifat ini tentunya akan memberi pengaruh jangka panjang terhadap ekosistem alamiah. Pestisida yang paling banyak digunakan adalah insektisida, diikuti herbisida dan fungisida dalam jumlah yang lebih sedikit (Mukhlis et al., 2011).
Residu insektisida di lingkungan merupakan akibat dari penggunaan atau aplikasi langsung insektisida yang ditujukan pada sasaran tertentu seperti pada tanaman dan tanah, tetapi juga dapat sebagai akibat karena insektisida yang terbawa oleh gerakan air (sungai, air tanah, laut). Residu pestisida sudah berhasil dideteksi di dalam tanah, udara, air sungai, air sumur, air danau, air laut, lautan bahkan sampai di kutub utara (Untung, 2006).
Berdasarkan struktur kimianya insektisida dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu organoklorin, organofosfat dan karbamat. Insektisida organoklorin terdiri atas karbon, klorin, hidrogen dan kadang-kadang oksigen, organoklorin dapat menyebabkan polusi terhadap lingkungan karena sifatnya yang persisten dalam tanah. Insektisida organofosfat mengikuti perkembangan organoklorin. Organofosfat selalu mengandung fosfor dan dapat diidentifikasi oleh S-P atau O-P. Organofosfat adalah peracun syaraf yang membunuh vertebrata dan invertebrata melalui penghambatan kerja enzim kolinesterase di dalam sistem syaraf. Insektisida karbamat merupakan kelompok senyawa yang baru dan mempunyai daya kerja serupa dengan organofosfat, bertindak sebagai peracun syaraf (Triharso, 2004).
Karbosulfan merupakan insektisida sistemik yang termasuk dalam kelas karbamat seperti halnya karbofuran (EFSA, 2009). Dalam tubuh serangga, karbosulfan akan diubah menjadi karbofuran. Nama kimia karbosulfan adalah 2,3dihydro-2,2-dimethyl bensofuran-7-yl-(dibutylaminotio) metyl karbamat benzofuran7-yl- (dibutylaminotio) metylkarbamat
(Baehaki, 1993). Karbosulfan tidak stabil
dalam medium asam dan akan dikonversi ke karbofuran oleh pemutusan ikatan N-S, tetapi stabil di bawah media netral dan basa. Residu insektisida ini menyebabkan polusi udara dan air (Murthy et al., 2011). Dalam tanah pada kondisi aerob, karbosulfan dirubah menjadi karbofuran. 3-keto-karbofuran juga diproduksi dalam jumlah yang signifikan (EFSA, 2009). Struktur kimia karbosulfan dapat dilihat pada Gambar 2.1
Gambar 2.1 Struktur Kimia Karbosulfan
2.3 Bakteri Pendegradasi Pestisida
Proses degradasi adalah proses terjadinya peruraian pestisida setelah digunakan, dapat terjadi sebagai akibat adanya; mikroba, reaksi kimia, dan sinar matahari. Prosesnya dapat terjadi setiap saat dari hitungan jam, hari, sampai tahunan bergantung pada kondisi lingkungan dan sifat-sifat kimia pestisida (Manuaba, 2009). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa genus bakteri yang diisolasi dari tanah dan perairan sungai mampu mendegradasi senyawa pestisida dan menggunakannya sebagai sumber karbon dan memiliki gen metabolisme dalam plasmidnya (Sabdono, 2003). Bakteri yang tetap bertahan hidup di lingkungan yang mengandung pestisida merupakan ekspresi bakteri yang mampu hidup dan dapat mendegradasi pestisida (Rahmansyah & Sulistinah, 2009).
Secara alami, mikroba tertentu mampu menyesuaikan hidup atau sintas pada tanah mengandung pestisida. Perkembangan populasi bakteri tanah adalah ciri dinamika kehidupan di tanah. Terjadinya populasi bakteri pada tanah yang mengandung pestisida mencirikan adanya proses degradasi terhadap pestisida. Pendegradasian dapat terjadi melalui proses mineralisasi, secara utuh hasilnya dimanfaatkan langsung oleh sel-sel mikroba. Untuk mengenali alur degradasi atau biokonversi, beberapa hal seperti pengenalan karakter metabolisme mikroba, dan spesifitas enzim terhadap substrat residu pestisida dapat menjadi acuan dalam upaya menghilangkan cemaran pestisida di tanah (Rahmansyah & Sulistinah, 2009). Proses degradasi oleh mikroba ini akan mengalami peningkatan bila temperatur, pH tanah cocok untuk pertumbuhan mikroba, cukup oksigen, dan fertilitas tanahnya cukup baik (Manuaba, 2009). Asupan sarana produksi berupa pupuk kimia ke dalam tanah pertanian juga akan memberikan pola tersendiri dalam menstimulasi mikroba fungsional yang ada di dalam tanah (Rahmansyah & Sulistinah, 2009).
Pestisida dikatakan persisten (persistent) jika dapat bertahan pada bidang sasaran atau pada lingkungan dalam jangka waktu yang relatif lama sesudah diaplikasikan. Dengan kata lain, pestisida yang persisten tidak mudah diuraikan oleh alam (Yuantari, 2009). Pestisida tertentu memiliki ikatan kimia yang sulit didegradasi yang disebut dengan unsur yang rekalsitran, dan ini berpotensi menjadi bahan
pencemar. Keragaman diversitas bakteri pada genera Alcaligenes, Flavobacterium, Pseudomonas dan Rhodococcus mampu mendegradasi pestisida yang terdiri dari unsur rekalsitran. Proses degradasi difasilitasi oleh adanya enzim fungsional yang dimiliki bakteri. Pestisida sebagai komponen asing di lingkungan tanah menimbulkan instabilitas terhadap aktivitas enzim. Fosfatase dan esterase sebagai enzim hidrolisa yang dihasilkan mikroba tanah dapat memutus susunan kimia pestisida yang memiliki susunan rantai labil pada karbamat (Rahmansyah & Sulistinah, 2009).
2.4 Surfaktan dan Biosurfaktan
Surfaktan (dari kata surface active agent) adalah senyawa yang dapat menurunkan tegangan permukaan air. Umumnya molekul surfaktan mengandung ujung ekor hidrofobik yang terdiri atas satu rantai hidrokarbon atau lebih (group alifatik atau aromatik) dan kepala hidrofilik (sulfonate, sulfate, amine atau polyoxyethylene). Surfaktan menurunkan tegangan permukaan air dengan cara mematahkan ikatanikatan hidrogen melalui peletakan kepala-kepala hidrofiliknya pada permukaan air sedangkan
ekor-ekor
hidrofobiknya
terentang
menjauhi
permukaan
air
(Fessenden & Fessenden 1989).
Dalam bidang pertanian, penggunaan pestisida sering juga dicampurkan dengan surfaktan, yaitu sebagai bahan perata, pembasah dan perekat. Bahan perata bertujuan untuk meningkatkan perataan penyebaran larutan semprot, memperkecil tegangan permukaan butiran cairan semprot atau memperbesar kontak antara pestisida (Wudianto, 1997). Konsumsi surfaktan sintesis (kimia) di bidang petrokimia sangat besar. Beberapa surfaktan sintesis bersifat toksik. Dibanding dengan surfaktan kimia, biosurfaktan sangat selektif, cukup diperlukan dalam jumlah kecil, efektif di bawah kisaran luas kondisi minyak dan reservoir (Kadarwati, 2006). Biosurfaktan memiliki keuntungan yang lebih dibanding surfaktan kimia dalam hal biodegradasi, ramah lingkungan, non toksik dan struktur kimianya lebih beragam (Bayoumi et al., 2011).
Biosurfaktan adalah senyawa surfaktan yang dihasilkan oleh mikroorganisme, terutama dari golongan bakteri (Aiyushirota, 2010). Dari sudut pandang ekologi, biosurfaktan banyak menguntungkan karena nontoksik dan ramah lingkungan. Biosurfaktan dan mikroba yang menghasilkannya, dapat diterapkan di berbagai sektor industri, kesehatan dan lingkungan. Sektor-sektor ini menunjukkan kondisi suhu ekstrim,
kekuatan
ion,
keasaman,
salinitas
ekstrim
dan
pelarut
organik
(Kadarwati, 2006).
Biosurfaktan ini dihasilkan pada permukaan sel mikroba atau diekskresikan ke lingkungan atau diekskresikan ke lingkungan yang dapat membantu melepaskan senyawa hidrokarbon dalam senyawa organik dan meningkatkan konsentrasi senyawa hidrokarbon dalam air melalui pelarutan ataupun emulsifikasi. Biosurfaktan mengandung gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan molekul (Nababan, 2008). Ada banyak golongan bakteri yang dapat menghasilkan biosurfaktan, namun yang terumum dan terbanyak digunakan adalah dari golongan Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. (Aiyushirota, 2010).