BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikroba Endofit Mikroba endofit dapat ditemukan hampir di semua tumbuhan di muka bumi ini dan merupakan organisme hidup berukuran mikroskopis yang hidup di dalam jaringan tanaman selama periode tertentu dari siklus hidupnya (Tarigan & Kuswandi, 2010), yang dapat dijumpai pada bagian akar, daun serta batang tumbuhan. Mikroba endofit memiliki keanekaragaman hayati yang kaya, yang telah ditemukan di berbagai jenis tumbuhan yang telah diperiksa sampai saat ini. Perlu diketahui bahwa dari hampir 300.000 spesies tumbuhan yang ada di bumi, masing-masing individu tanaman memiliki satu atau lebih jenis mikroba endofit (Strobel & Daisy, 2003). Mikroba endofit hidup bersimbiosis dengan tanaman di dalam jaringan tanaman, apabila mikroba tersebut mampu menghasilkan suatu agen biologis yang dapat memerangi penyakit tanaman maka secara langsung tanaman tersebut akan terhindar dari serangan penyakit yang juga disebabkan oleh mikroba (Melliawati et al., 2006). Mikroba endofit dapat melindungi tumbuhan inang dari serangan patogen dengan senyawa yang dikeluarkan oleh mikroba endofit. Senyawa yang dikeluarkan mikroba endofit berupa senyawa metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioaktif dan dapat berfungsi untuk membunuh patogen. Tumbuhan inang menyediakan nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroba endofit untuk melengkapi siklus hidupnya (Prihatiningtias & Wahyuningsih, 2006). Oleh sebab itu, tanaman yang sehat secara langsung dapat bertahan terhadap adanya berbagai serangan penyakit dengan adanya mikroba endofit. Mikroba endofit spesifik yang diperoleh dari bagian dalam tanaman diharapkan mampu menghasilkan sejumlah senyawa bioaktif yang dibutuhkan tanpa harus mengekstrak dari tanamannya. Mikroba endofit tersebut dapat diisolasi dari permukaan benih, dalam jaringan akar, batang, daun, biji, dan buah yang sudah steril permukaannya. Kemampuan mikroba endofit memproduksi senyawa metabolit yang juga dikandung tanaman inangnya merupakan peluang
Universitas Sumatera Utara
yang sangat besar dan dapat diandalkan untuk memproduksi metabolit dari mikroba endofit yang diisolasi dari tanaman inangnya tersebut (Utami et al., 2008). Menurut Diniyah (2010), pemanfaatan bakteri endofit sebagai antibakteri dan antijamur pada tanaman merupakan pengendalian yang tidak menimbulkan efek negatif terhadap kehidupan manusia dan lingkungan. Dengan demikian, jika mikroba endofit dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang sama dari tanaman inangnya, hal ini tidak hanya akan mengurangi kebutuhan untuk memanen tanaman
langka
tetapi
juga
kemungkinan
melestarikan
dunia
dalam
mempertahankan keanekaragaman hayati (Strobel & Daisy, 2003).
2.2 Manfaat Mikroba Endofit Mikroba endofit memiliki banyak manfaat dalam lingkungan hidup. Seperti dalam penelitian Melliawati et al. (2006), bakteri endofit pada beberapa tanaman hutan Indonesia mempunyai prospek dalam menghasilkan senyawa aktif yang berguna untuk memproteksi serangan mikroba patogen tanaman. Isolat bakteri endofit yang diperoleh dari penelitian tersebut memiliki kemampuan dalam menghambat mikroba patogen khususnya kapang patogen dengan menghasilkan senyawa aktif antikapang patogen. Selain itu mikroba endofit juga berperan sebagai pengendali hayati. Pengendalian biologi dengan menggunakan bakteri endofit merupakan salah satu alternatif pengendalian yang diharapkan dapat mengatasi masalah dalam pertumbuhan tanaman dan mengendalikan hama tanaman. Keunggulan bakteri endofit sebagai agens pengendali hayati, selain sebagai agens biokontrol juga dapat menginduksi ketahanan tanaman yang dikenal sebagai induced systemic resistance (ISR). Mekanisme bakteri endofit dalam menginduksi ketahanan adalah dengan mengkolonisasi jaringan dalam tanaman sehingga menstimulasi tanaman untuk meningkatkan produksi senyawa metabolit yang berupa enzim peroksidase dalam berperan untuk ketahanan tanaman (Harni & Ibrahim, 2011). Dalam penelitian Khairani (2009), dapat diketahui salah satu peran mikroba endofit dari tanaman jagung dapat menghasilkan hormon IAA dalam membantu proses perkecambahan tanaman tersebut. Selain dapat menghasilkan hormon tanaman, mikroba endofit juga berperan dalam meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan
tanaman
yang
dikenal
dengan
Plant
Growth
Promoting
Rhizobacteria (PGPR) (Harni & Ibrahim, 2011) dan menghasilkan senyawa bioaktif atau metabolit sekunder. Seperti penelitian Munif & Hipi (2011), bakteri endofit berpotensi dalam meningkatkan panjang tanaman jagung yang dapat menstimulisasi pertumbuhan tanaman dengan menghasilkan hormon pemacu pertumbuhan yang dipengaruhi oleh media tanam. Menurut Harni dan Ibrahim (2011), terjadinya peningkatan pertumbuhan, seperti berat tajuk dan akar, disebabkan oleh karena bakteri endofit dapat merangsang pembentukan akar lateral dan jumlah akar sehingga dapat memperluas penyerapan unsur hara. Menurut Prihatiningtias & Wahyuningsih (2006), mikroba endofit dapat menghasilkan
senyawa-senyawa
bioaktif
yang
dapat
berperan
sebagai
antimikroba, antimalaria, antikanker, dan juga dapat digunakan dalam dunia pertanian dan industri. Mikroba endofit memiliki prospek yang baik dalam penemuan sumber-sumber senyawa bioaktif yang dalam perkembanagan lebih lanjut dapat dijadikan sebagai sumber penemuan obat untuk berbagai macam penyakit. Peran mikroba endofit yang dapat memproduksi metabolit sekunder yang sama kualitasnya dengan tanaman aslinya sangat potensial untuk terus dikembangkan guna memperoleh metabolit sekunder yang dapat digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit (Radji, 2005).
2.3 Tanaman Tapak Dara Tanaman telah lama kita ketahui merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting dalam upaya pengobatan dan upaya mempertahankan kesehatan masyarakat. Bahkan sampai saat inipun menurut perkiraan badan kesehatan dunia (WHO), 80% penduduk dunia masih menggantungkan dirinya pada pengobatan tradisional termasuk penggunaan obat yang berasal dari tanaman. Sampai saat ini seperempat dari obat-obat modern yang beredar dunia berasal dari bahan aktif yang diisolasi dan dikembangkan dari tanaman (Radji, 2005). Indonesia sebagai negara beriklim tropis, mempunyai tanaman obat yang sangat beragam, sehingga tradisi penggunaan tanaman obat sudah ada dari nenek moyang yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit, baik penyakit dalam maupun penyakit luar (Sinaga, 2008). Lebih dari 1000 spesies
Universitas Sumatera Utara
tumbuhan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat. Tumbuhan tersebut menghasilkan metabolit sekunder dengan struktur molekul dan aktivitas biologik yang beraneka ragam, memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi obat berbagai penyakit (Radji, 2005). Tapak dara (Catharanthus roseus) (Gambar 2.1) merupakan salah satu taman obat yang termasuk ke dalam famili Apocynaceae. Tanaman ini juga dikenal dengan nama lain seperti rutu-rutu, rumput jalang, kembang sari cina, kembang serdadu, kembang tembaga, tapak lima (Bali) (Agoes, 2010). Tapak dara merupakan jenis tanaman yang digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional. Tanaman tapak dara ini mengandung alkaloid vinblastine, vincristine, leurosine, catharanthine, dan lochnerine yang berkhasiat sebagai antikanker (Dinata, 2009).
Gambar 2.1 Tanaman Tapak Dara (Cataranthus roseus) (Dinata, 2009) Tapak dara mengandung komponen antikanker, yaitu senyawa alkaloid seperti vinca leukoblastine, leurokristine, leurosin, vinkadiolin, leurosidin, dan katarantin. Selain itu tanaman ini juga mengandung alkaloid yang berkhasiat hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah) seperti katarantin, locherin, tetrahidroalstonin, vindolin, dan vindolinin, sedangkan akarnya mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, dan tannin. Kandungan alkaloid total di dalam daun tapak dara berkisar antara 0,70-0,82%. Seluruh bagian tanaman mengandung zat aktif antara 0,2-1% (Agoes, 2010). Menurut Dewi & Saraswati (2009), rebusan daun tapak dara yang mengandung alkaloid vincristin sering dipakai sebagai obat anti kanker sebagai zat antimitosis. Dari hal ini dapat kita ketahui bahwa tanaman tapak dara mempunyai kemampuan dalam menghambat pembelahan sel yang tak
Universitas Sumatera Utara
terkendali penyebab kanker. Beberapa senyawa utama bisa dimanfaatkan untuk pengobatan penyakit lain, misalnya leurisin dan vindolin yang dipakai sebagai bahan pengganti insulin karena berpengaruh pada kadar gula darah (hipoglikemia) penderita diabetes (Agoes, 2010). Menurut Agoes (2010), tapak dara berkhasiat mengobati beberapa jenis penyakit, bahkan di luar negeri, tapak dara ini sudah diolah menjadi obat suntik. Tapak dara digunakan untuk mengobati penyakit darah tinggi, kencing manis, leukemia limfositik akut, luka tersiram air panas, kanker payudara, hipertensi, diabetes dan batu ginjal.
2.4 Metabolit Sekunder Metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang terbentuk dalam tanaman maupun mikroba yang bersifat antimikroba. Senyawa antimikroba merupakan salah satu produk metabolit sekunder yang dihasilkan oleh mikroba yang mampu membunuh atau menghambat bakteri atau organisme lain (Dalimunthe, 2009). Pembentukan senyawa metabolit sekunder dikode oleh sejumlah gen yang terdapat pada DNA plasmid (Demain, 1998). Komponen bioaktif dapat menggangu pembentukan asam nukleat (RNA dan DNA), menyebabkan terganggunya transfer informasi genetik yang selanjutnya akan menginaktivasi atau merusak materi genetik sehingga tergangunya proses pembelahan sel untuk pembiakan. Oleh karena itu pertumbuhan mikroba menjadi terhambat akibat senyawa antimikroba (Widiana, 2012). Ada beberapa kondisi yang mempengaruhi metabolit sekunder yaitu keterbatasan nutrisi yang tersedia di lingkungan tumbuh suatu bakteri, penambahan senyawa penginduksi dan penurunan kecepatan pertumbuhan (Demain, 1998). Menurut Dalimunthe (2009), antimikroba dapat bersifat bakteriostatik dan bakterisid. Bakteriostatik yaitu menghambat atau menghentikan laju pertumbuhan bakteri, seperti kloramfenikol, sedangkan bakterisid yaitu membunuh bakteri, seperti penisilin.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Mikroba Patogen Mikroba patogen merupakan mikroba berbahaya bagi kehidupan, hal ini terlihat dari kemampuannya menginfeksi manusia, hewan, serta tanaman, yang dapat menimbulkan penyakit yang berkisar dari infeksi ringan sampai kepada kematian. Selain itu, mikroba pun dapat mencemari makanan, dengan menimbulkan perubahan-perubahan bahan kimia di dalamnya, membuat makanan tersebut tidak dapat dimakan atau bahkan beracun (Pelczar & Chan, 2005). Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh mikroba patogen seperti bakteri, jamur maupun virus yang menyerang tubuh manusia. Banyak mikroba patogen tersebut hidup di daerah tropis. Daerah yang beriklim tropis merupakan daerah yang sangat cocok bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba, baik yang bersifat patogen maupun yang memberi manfaat bagi manusia (Eddy, 2009). Beberapa mikroba yang menginfeksi manusia yaitu A. flavus, S. mutans, S. typhii dan E. coli. Salah satunya dapat menyebabkan diare akut akibat infeksi bakteri patogen dengan gejala muntah-muntah, demam, nyeri perut atau kejang perut (Zein et al., 2004).
2.5.1
Aspergilus flavus
A spergillus flavus merupakan jamur patogen yang sering ditemukan sebagai kontaminan pada komiditi kacang-kacangan dan sereal. Makanan olahan berbahan baku kacang-kacangan, daging, jagung, ikan, gandum, biji-bijian, buah, dan sereal juga sangat rentan terhadap kontaminasi jamur ini. Kontaminasi dapat terjadi mulai dari penyiapan bahan baku, pengolahan, penyimpanan, pemasaran sampai kepada konsumen (Safika, 2008). Banyak kasus kontaminasi aflatosin pada produk pangan dan pakan telah dilaporkan terjadi di Indonesia, khususnya produk berbasis kacang (Aryantha & Lunggani, 2007). A. flavus merupakan jamur yang mampu memproduksi aflatoksin (Handajani & Purwoko, 2008) dan merupakan jamur patogen potensial yang dapat mengakibatkan aspergillosis (Malau, 2012). Aflatoksin yang dihasilkan oleh beberapa jenis cendawan didefinisikan sebagai senyawa organik beracun yang berasal dari sumber hayati berupa hasil metabolisme sekunder dari cendawan. Serangan cendawan A. flavus pada berbagai jenis pangan (jagung, gandum, dan
Universitas Sumatera Utara
beras) mengakibatkan berbagai kerusakan meliputi kerusakan fisik, kimia, bau, warna, tekstur, dan nilai nutrisi, serta berakibat pada kesehatan manusia dan hewan (Talanca & Mas’ud, 2009). Menurut Talanca & Mas’ud (2009), berbagai hasil penelitian mengenai efek biologik aflatoksin menunjukkan bahwa aflatoksin mempunyai kemampuan untuk menginduksi kanker pada hati ikan, burung, dan mamalia dibandingkan dengan bahan-bahan kimia yang dapat menimbulkan kanker hati. Penyakit kanker hati yang terjadi pada sebagian penduduk Indonesia diduga berhubungan erat dengan konsumsi pangan mengandung aflatoksin. Di negara tropis seperti Indonesia, kontaminasi mikotoksin sangat sulit untuk dihindari karena kondisi iklim dengan tingkat kelembaban, curah hujan dan suhu yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan kapang penghasil mikotoksin (Maryam, 2006).
a
b
Gambar 2.2 a. Penampakan makroskopis Aspergillus flavus (Hedayati et al., 2007), b. Penampakan konidia mikroskopis Aspergillus flavus perbesaran 100x (Safika, 2008) Gambar 2.2 a. secara umum, penampakan makroskopis A. flavus berwarna kuning kehijauan atau coklat cetakan dengan warna emas menjadi merah-coklat terbalik (Hedayati et al., 2007), yang tumbuh terlihat warna koloni hijau kekuningan (Safika, 2008). Pertumbuhan Aspergillus sp. optimal jika aktivitas air minimal 80%. Jika aktivitas air dibawah 80%, pertumbuhan A. flavus terhambat (Tandiabang, 2010). Pada Gambar 2.2 b. konidiofor A. flavus bervariabel panjang, kasar, seperti berduri, berupa uniseriate atau biseriate yang menutupi seluruh vesikel (Hedayati et al., 2007). Kepala konidia khas berbentuk bulat, kemudian merekah menjadi
Universitas Sumatera Utara
beberapa kolom dan berwarna hijau kekuningan (Gandjar et al, 1999). Konidiofor hialin, kasar dan dapat mencapai panjang 1,0 mm (ada yang mencapai 2,5 mm). Vesikula berbentuk bulat hingga semibulat dan berdiameter 25-45 μm. Fialed terbentuk langsung pada vesikula atau pada metula dan berukuran (6-10) x (4-5,5) μm. Konidia berbentuk bulat hingga semibulat, berdiameter 3,6 μm, hijau pucat dan berduri (Gandjar et al, 1999).
2.5.2 Streptococcus mutans Streptococcus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat, nonmotil (tidak bergerak), yang mempunyai karakteristik dapat membentuk pasangan atau rantai selama pertumbuhannya. Bakteri ini tersebar di alam yang beberapa diantaranya merupakan anggota flora normal pada manusia. Karies adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya interaksi antara bakteri Streptococcus, plak dan gigi (Brooks et al., 2001). Streptococcus mutans merupakan kuman yang mampu membentuk karies pada gigi karena segera membentuk asam dari karbohidrat yang dapat diragikan. S. mutans bersifat asidogenik yaitu menghasilkan asam, asidodurik, yang mampu tinggal pada lingkungan asam, dan menghasilkan suatu polisakarida yang lengket disebut dextran. Oleh karena kemampuan ini, S. mutans bisa menyebabkan lengket dan mendukung bakteri lain menuju ke email gigi, lengket mendukung bakteri- bakteri lain, pertumbuhan bakteri asidodurik yang lainnya, dan asam melarutkan email gigi (Nugraha, 2008). Kuman tersebut memiliki kemampuan membuat polisakarida ekstraseluler. Polisakarida ekstraseluler ini terutama terdiri dari polimer glukosa (Pratiwi, 2005), yang kemudian dipecah kembali oleh mikroba tersebut. Bila karbohidrat oksigen berkurang sehingga dengan demikian menghasilkan asam terus menerus yang menyebabkan matriks plak mempunyai konsistensi seperti gelatin (Enayati, 2009), akibatnya bakteri terbantu untuk melekat pada gigi serta saling melekat satu sama lain. Plak makin lama makin tebal, sehingga akan menghambat fungsi saliva untuk melakukan aktivitas antibakterinya sehingga dapat menyebabkan gigi berlubang (Pratiwi, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Streptococcus mutans (Hidayaningtias, 2008; Nugraha, 2008) Di Indonesia penderita gigi berlubang jumlahnya tidak sedikit. Hasil Survei Kesehatan Nasional 2002 menunjukkan prevalensi gigi berlubang di Indonesia berkisar 60%, yang berarti dari sepuluh orang enam diantaranya menderita gigi berlubang. Suatu pencegahan dapat meliputi penyikatan gigi yang sering dan dengan serat halus seperti sutra. Dilakukan suatu diet yang kaya akan zat kapur dan fluoride yang di dalam air minum membuat email gigi menjadi lebih kuat dan mencegah karies gigi. Suatu diet karbohidrat yang lebih kompleks yaitu diet rendah untuk gula dan tidak terdapat sukrosa dalam makanan merupakan cara pencegahan yang efektif juga. Kemungkinan dalam penggunaan suatu vaksin yang melawan terhadap bakteri S. mutans tidak dapat dilakukan karena ditolak (Nugraha, 2008).
2.5.3 Salmonella typhii Salmonella adalah bakteri batang bersifat motil, mempunyai karakteristik memfermentasikan glukosa dan manosa (Brooks et al., 2001). Ciri-ciri Salmonella ialah batang anaerob fakultatif yang kecil, dianggap sebagai patogen potensial, bahkan pada orang yang kelihatannya sehat dan tersebarkan dari binatang dan produk dari binatang ke manusia (Volk & Wheeler, 1989). Istilah Salmonelosis digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh anggota Salmonella. Manusia menjadi terinfeksi melalui penelanan makanan dan minuman yang terkontaminasi, seperti air tercemar karena masuknya kotoran dari hewan yang mengekskresikan Salmonella. S. typhii menyebabkan demam tifus, dengan gejala yang meliputi sakit kepala, kehilangan nafsu makan, sakit pada
Universitas Sumatera Utara
abdomen, lemah, lemah saraf dan demam yang terus menerus (Volk & Wheeler, 1989). Ketika Salmonella mencapai usus kecil, kemudian masuk ke getah bening dan ke aliran darah, mereka dibawa oleh darah ke beberapa organ, termasuk usus. Organisme tersebut meningkat di dalam jaringan getah bening intestinal dan dikeluarkan dalam tinja (Brooks et al., 2001). Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari. Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan perbedaan peningkatan temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan defekasi normal. Pada minggu kedua terjadi splenomegali dan timbul rash. Pada minggu ketiga timbul penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia, keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare kebiru-biruan dan berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi perbaikan klinis (Zein et al., 2004).
2.5.4 Escherichia coli Escherichia coli merupakan basil pendek tanpa kapsul atau spora tetapi memiliki flagel sehingga dapat bergerak. bakteri Gram negatif, berbentuk basil anerobik (Pelczar & Chan, 2006) juga merupakan bakteri fecal dari genus Escherichia, famili Enterobacteriaceae. E. coli merupakan flora normal yang terdapat dalam usus pencernaan manusia yang umumnya menyebabkan diare di seluruh dunia bila jumlahnya melebihi normal atau terlalu banyak di dalam saluran pencernaan (Brooks et al., 2001). E. coli dalam jumlah yang banyak pada saluran pencernaan dapat membahayakan kesehatan (Sinaga, 2008). Enterophatogenic E. coli merupakan penyebab penting diare pada bayi khususnya di negara berkembang, yang awalnya dihubungkan dengan terjangkitnya diare di ruang perawatan. Akibat dari infeksi ini adalah diare yang cair, yang biasanya susah diatasi namun tidak kronis (Brooks et al., 2001). Pada tahun 1995, di Amerika dilaporkan bahwa dalam tiga tahun terakhir banyak kejadian diare berdarah yaitu hemolytic uremic syndrome (HUS) pada masyarakat yang mengkonsumsi daging sapi/burger dan susu yang tidak dipasteurisasi. Makanan tersebut telah terkontaminasi oleh E. coli O157:H7. Tertularnya manusia dapat disebabkan oleh makanan yang terinfeksi E.coli
Universitas Sumatera Utara
O157:H7 baik secara langsung maupun tidak langsung. Utamanya bersumber dari hewan sapi melalui teknologi industri yang mengolah makanan serta sumber lain yang telah tercemar oleh kuman ini, misalnya di Rumah Pemotongan Hewan, pada waktu proses pengolahan, distribusi dan penyimpanan daging karkas, pada saat persiapan di dapur dan saat penyajian makanan. Kontaminasi dapat berasal dari hewan produksi (peternakan) atau juga dari tenaga penjamah itu sendiri. Sedangkan kontaminasi silang dapat terjadi bila makanan jadi yang diproduksi berhubungan langsung dengan permukaan meja atau alat pengolah makanan selama proses persiapan yang sebelumnya telah terkontaminasi kuman patogen (Sartika et al., 2005). Penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya dapat dicegah dengan menjaga higienis pribadi yang baik. Ini termasuk sering mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga dari kotoran manusia. Makanan dan air merupakan penularan yang utama, sehingga harus diberikan perhatian khusus (Zein et al., 2004). Diare yang disebabkan oleh bakteri biasanya diobati dengan memberi bahan yang mampu dijadikan sebagai antimikroba. Zat antimikroba yang ideal memiliki toksisitas selektif lebiih bersifat relatif dan bukan absolut, artinya penggunaan dengan konsentrasi tertentu berbahaya bagi parasit tetapi tidak berbahaya bagi inangnya (Brooks et al., 2001).
Universitas Sumatera Utara