BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Mutu Pelayanan Kesehatan Sejalan dengan peningkatan pembangunan di segala bidang maka peradaban sistem nilai di masyarakat mulai semakin berkembang. Pengetahuan dan pendidikan yang meningkat menyebabkan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang bermutu seperti pelayanan kesehatan semakin tinggi. Nasution (2013) memaparkan bahwa Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dengan Komisi Akreditasi Rumah
Sakit
(KARS)
menyadari
bentuk
tantangan
tersebut
dengan
mempertimbangkan perkembangan masalah serta kecenderungan-kecenderungan pembangunan kesehatan ke depan. Dalam upaya meningkatkan mutu perlu dilakukan pemantauan berkala terhadap aspek-aspek yang mempengaruhi kinerja sarana kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan serta bagaimana pembinaan dilakukan oleh institusi terkait. Saat ini upaya peningkatan mutu yang dilakukan terhadap rumah sakit-rumah sakit yaitu Akreditasi Rumah Sakit. Departemen Kesehatan (2008) yang menyatakan bahwa mutu adalah kemampuan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan berdasarkan karakteristik yang dimiliki oleh suatu produk sedangkan Mutu Pelayanan Kesehatan adalah derajat kesempurnaan yang memenuhi kebutuhan masyarakat yang dilaksanakan sesuai
Universitas Sumatera Utara
dengan standar profesi dan standar pelayanan kesehatan yang menggunakan sumber daya yang tersedia, wajar, efisien dan efektif serta memberikan keamanan dan memuaskan sesuai norma, etika, hukum dan sosial budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan pemerintah dan masyarakat. Menurut Suparyanto (2011) untuk mengatasi masalah dalam perbedaan tingkat kepuasan setiap orang dalam menerima pelayanan kesehatan, maka telah disepakati bahwa pembahasan tentang kepuasan pasien yang dikaitkan dengan mutu pelayanan kesehatan mengenal paling tidak 2 (dua) pembatasan yaitu : 1. Pembatasan pada derajat kepuasan pasien Untuk menghindari adanya subjektivitas individual yang dapat mempersulit pelaksanaan program menjaga mutu, maka ditetapkan bahwa ukuran yang dipakai untuk mengukur kepuasan pasien bersifat umum yaitu sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk. 2. Pembatasan pada upaya yang dilakukan Untuk melindungi kepentingan pemakai jasa pelayanan kesehatan, yang pada umumnya
awam
terhadap
tindakan
kedokteran
ditetapkanlah
upaya
penyelenggaran pelayanan kesehatan yang bermutu harus sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar prosedur operasional yang berlaku dan etika profesi. Parasuraman et.al dalam S.Thomas Foster (2004) menyatakan bahwa ada 5 (lima) dimensi mutu pelayanan yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Tangibles (berwujud) : mencakup penampilan fisik dari fasilitas pelayanan, peralatan, personel, dan media komunikasi. 2. Reliability (keandalan) : mencakup kemampuan penyedia jasa melaksanakan jasa yang sudah dijanjikan dengan tepat dan terpercaya. 3. Responsiveness (keresponsifan) : kemauan dari penyedia jasa untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan dengan cepat dan tanggap. 4. Assurance (keyakinan) : mencakup pengetahuan dan kesopanan para karyawan serta kemampuan mereka untuk menumbuhkan rasa percaya pada pelanggan. 5. Empathy (empati) : mencakup perhatian kepada pelanggan secara individual, Azwar (1996) menyatakan bahwa syarat-syarat pokok pelayanan kesehatan menurut prioritas adalah : 1) Tersedia (available) dan berkesinambungan (continuous) Semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan mudah dicapai oleh masyarakat. 2) Dapat diterima (acceptable) dan wajar (appropriate) Pelayanan kesehatan tidak bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan, kepercayaan masyarakat dan bersifat wajar. 3) Mudah dicapai (accessible) Pengaturan sarana kesehatan dari sudut lokasi. 4) Mudah dijangkau (affordable) Pendekatan sarana pelayanan kesehatan dan biaya kesehatan diharapkan sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
5) Bermutu (quality) Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dapat memuaskan pemakai jasa pelayanan dan tata cara penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh provider sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan. Suparyanto (2011) menjelaskan bahwa ada 5 (lima) faktor pokok yang berperan penting dalam menentukan keberhasilan manajemen kesehatan, yaitu masukan (input), proses (process) atau fungsi manajemen, keluaran (output), sasaran (target) serta dampak (impact). A. Input (masukan) Adalah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan pekerjaan manajemen. Berfokus pada sistem yang dipersiapkan dalam organisasi dari komitmen manajemen dan stakeholder lainnya, prosedur serta kebijakan sarana dan prasarana fasilitas dimana pelayanan diberikan. Input ada 3 (tiga) macam, yaitu : a) Sumber (resources) Adalah segala sesuatu yang dapat dipakai untuk menghasilkan barang atau jasa. Sumber (resources) dibagi 3 (tiga) macam yaitu sumber tenaga, sumber modal dan sumber alamiah. b) Tata cara (procedures) Adalah berbagai kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang dimiliki dan yang diterapkan.
Universitas Sumatera Utara
c) Kesanggupan (capacity) Adalah keadaan fisik, mental dan biologis tenaga pelaksana. Input terdiri dari beberapa variasi yaitu Man, Capacity, Managerial dan Technology. Untuk organisasi yang tidak mencari keuntungan berupa Man, Money, Material dan Method sedangkan untuk organisasi yang mencari keuntungan berupa Man, Money, Material, Method, Machinery dan Market. B. Proses (Process) atau Fungsi Manajemen Adalah langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Fungsi manajemen mengutip pendapat Henry Fayol (1949), terdiri dari Planning, Organizing, Commanding, Coordinating dan Controlling (POCCC). C. Keluaran / Output Output adalah hasil dari suatu pekerjaan manajemen atau hasil pelaksanaan kegiatan yang dicapai dalam jangka pendek. Untuk Manajemen Kesehatan output dikenal dengan nama pelayanan kesehatan (health services) yang terdiri dari upaya kesehatan perorangan (UKP) dan upaya kesehatan masyarakat (UKM). Outcome adalah hasil yang terjadi setelah pelaksanaan kegiatan jangka pendek. D. Sasaran (Target) Sasaran (target) adalah kepada siapa output yang dihasilkan, yakni upaya kesehatan yang dilakukan untuk upaya kesehatan perorangan dan atau upaya kesehatan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Sasaran (target) terdiri dari 2 (dua) macam yaitu sasaran langsung dan sasaran tidak langsung. E. Dampak (Impact) Dampak (Impact) adalah akibat yang ditimbulkan oleh output. Untuk manajemen kesehatan dampak yang diharapkan adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan. Peningkatan derajat kesehatan dapat tercapai jika kebutuhan (needs) dan tuntutan (demands) perseorangan atau masyarakat dapat dipenuhi. Indikator penilaian mutu pelayanan kesehatan yaitu : 1. Indikator yang mengacu pada aspek medis. 2. Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi rumah sakit. 3. Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien. 4. Indikator mutu yang berkaitan dengan tingkat kepuasan pasien. Kebijakan dalam menjamin mutu pelayanan kesehatan, yaitu : 1. Peningkatan kemampuan dan mutu pelayanan kesehatan. 2. Peningkatan dan penerapan berbagai standar dan pedoman. 3. Peningkatan mutu sumber daya manusia. 4. Penyelenggaraan Quality Assurance. 5. Percepatan pelaksanaan akreditasi. 6. Peningkatan publik. 7. Peningkatan kerjasama dan koordinasi. 8. Peningkatan peran serta masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Ada 4 (empat) hal yang perlu diperhatikan dalam pendekatan untuk mencapai pelayanan prima melalui peningkatan mutu pelayanan, yaitu sebagai berikut : 1. Pelanggan dan harapannya. 2. Perbaikan kinerja. 3. Proses perbaikan. 4. Budaya yang mendukung perbaikan terus menerus. Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan mencakup : 1. Penataan organisasi. 2. Regulasi peraturan perundang-undangan. 3. Pemantapan jejaring. 4. Standarisasi. 5. Quality Assurance. 6. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 7. Peningkatan peran serta masyarakat dan organisasi profesi. 8. Peningkatan kontrol sosial. Untuk memperkuat budaya organisasi, semua kegiatan harus menuju peningkatan mutu yang terus menerus. Untuk mewujudkan peningkatan mutu pelayanan terus menerus, pilar utamanya terdiri atas hal-hal berikut : 1. Visi manajemen dan komitmen. 2. Tanggung jawab. 3. Pengukuran umpan balik 4. Pemecahan masalah dan proses perbaikan.
Universitas Sumatera Utara
5. Komunikasi. 6. Pengembangan staf dan pelatihan. 7. Keterlibatan tim kesehatan. 8. Penghargaan dan pengakuan. 9. Keterlibatan dan pemberdayaan staf. 10. Mengingatkan kembali dan pemberdayaan. Mekanisme peningkatan mutu pelayanan menurut Trilogi Juran (1998) adalah sebagai berikut : 1. Quality Planning, meliputi : a. Menentukan pelanggan. b. Menentukan kebutuhan pelanggan. c. Mengembangkan gambaran produk sesuai dengan kebutuhan pelanggan. d. Mengembangkan proses yang mampu menghasilkan produk sesuai dengan gambaran produk. e. Mentransfer rencana menjadi kebutuhan pelaksanaan 2. Quality Control, meliputi : a. Mengevaluasi kinerja produk saat ini. b. Membandingkan kinerja sesungguhnya dengan tujuan produk. c. Melaksanakan atau memperbaiki perbedaan. 3. Quality Improvement, meliputi : a. Mengembangkan infrastruktur. b. Mengidentifikasi proyek peningkatan mutu.
Universitas Sumatera Utara
c. Membentuk tim mutu. d. Menyiapkan tim dengan sumber daya dan pelatihan serta memotivasi untuk mendiagnosis penyebab, menstimulasi perbaikan dan mengembangkan pengawasan untuk mempertahankan peningkatan.
2.2. Pengertian Akreditasi Rumah Sakit Akreditasi rumah sakit, selanjutnya disebut akreditasi adalah pengakuan terhadap rumah sakit yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri, setelah dinilai bahwa rumah sakit itu memenuhi standar pelayanan rumah sakit yang berlaku untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit secara berkesinambungan (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 012 tahun 2012). Menurut International Society for Quality in Healthcare / ISQUA, 2001, dalam Al-Assaf (2009) yang menyatakan bahwa Accreditation is a public recognition by a national healthcare accreditation body of the achievements of its accreditation standards by a healthcare organization, demonstrated through an independent external peer assessment of that organizations level of performance in relation to the standards. Akreditasi adalah penilaian yang dilakukan oleh lembaga independen pelaksana akreditasi rumah sakit untuk mengukur pencapaian dan cara penerapan standar pelayanan. (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 417/Menkes/Per/II/2011).
Universitas Sumatera Utara
Standar adalah nilai tertentu yang telah ditetapkan berkaitan dengan sesuatu yang harus dicapai (Departemen Kesehatan, 2008). Standar adalah pernyataan yang menjelaskan mengenai harapan tentang performa oleh komponen struktur atau, proses yang harus ada pada suatu organisasi yang memberi asuhan, pengobatan dan pelayanan yang aman dan bermutu tinggi (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 659/Menkes/Per/VIII/ 2009).
2.3. Perkembangan Akreditasi A. Akreditasi Rumah Sakit di Manca Negara Perkembangan akreditasi rumah sakit di manca negara perlu diketahui berhubung program dan pelaksanaan akreditasi rumah sakit di Indonesia mengikuti perkembangan akreditasi di manca negara dan menggunakan sistem dan instrumen yang berlaku di luar negeri sebagai acuan penting dalam menetapkan program dan pelaksanaannya di Indonesia. 1. Amerika Serikat Pada tahun 1910 Dr. Codman, seorang ahli bedah, merintis dan mendorong disusunnya Hospital Standardization Program, yang kemudian diberlakukan sebagai Minimum Standard for Hospital oleh The American College of Surgeon pada tahun 1917. Pada tahun 1926 disusun Standard Manual yang pertama. Pada tahun 1951, dibentuk badan akreditasi rumah sakit dengan nama Joint Commission on Accreditation of Hospital (JCAH). Pada tahun 1987 (setelah 36 tahun) cakupan tugas
Universitas Sumatera Utara
pekerjaan badan JCAH
berkembang dan bertambah luas meliputi Rumah Sakit,
Home Care Organization, Nursing Home, Health Care Network, Mental Health Care Organization, Ambulatory Health Care Organization and Clinical Laboratory sehingga badan tersebut berubah nama menjadi Joint Commission on Accreditation of Health Care Organization (JCAHO) dengan misi untuk meningkatkan kualitas pelayanan melalui penyelenggaraan akreditasi sarana pelayanan kesehatan. Mulai tahun 1987 / 1998 akreditasi sebelumnya ditekankan pada penilaian unsur struktur dan proses, melalui program ORYX (The Next Evolution in Accreditation) mulai dikembangkan lebih mendalam dengan melakukan penilaian terhadap unsur outcome dari pelayanan. 2. Australia Pada mulanya Australia dibimbing oleh Amerika, yaitu ketika pada tahun 1958. JCAHO memaparkan sistem akreditasi yang diberlakukan di Amerika. Pada tahun 1974 Australian Medical Association dan Australian Hospital Association membentuk badan akreditasi dengan nama Australian Council on Hospital Standard yang kemudian berubah menjadi Australian Council on Health Care Standard (ACHS). Pada tahun 1978 dilaksanakan program akreditasi untuk pertama kali dan penilaian ditujukan hanya pada unsur struktur dan proses. Pada tahun 1989 program akreditasi mengalami evolusi dengan penilaian ditujukan pada outcome pelayanan.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1996 dimulai program baru yang disebut dengan EQUIP (Evaluation and Quality Improvement Program) dimasukkan dalam sistem akreditasi dengan fokus penilaian beralih pada asuhan pasien (continuum of care of patients) 3. Kanada Pada tahun 1951 Canadian Medical Association ikut berperan mendirikan JCAH di Amerika dan pada tahun 1958 Kanada dibantu oleh Amerika mendirikan The Canadian Council on Hospital Accreditation yang kemudian diubah namanya menjadi The Canadian Council on Health Services Accreditation (CCHSA). Ditahun 1995 Client – Centered Accreditation Program (CCAP) merupakan program baru yang dimasukkan ke dalam sistem akreditasi. 4. Jepang Pada tahun 1990 dibentuk JHQAS (Japan Hospital Quality Assurance Society) kemudian pada tahun 1995 namanya berubah menjadi JSQua (Japan Society for Quality in Health Care) dan selanjutnya menjadi Japan Council for Quality Health Care (JCQHC). 5. Afrika Selatan Pada tahun 1995 dibentuk Council for Health Service Accreditation of Southern Africa (COHSASA) yang bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan sarana pelayanan kesehatan melalui standard and process quality assurance. 6. Inggris Pada tahun 1990 setelah dilakukan reformasi pelayanan yang pada intinya membedakan “Purchaser dan Provider”, Departemen Kesehatan mendorong
Universitas Sumatera Utara
dikembangkannya sistem akreditasi yang independen, dijalankan oleh tiga organisasi yaitu King’s Fund Organizational Audit (KFOA) untuk Acute Hospitals, Hospital Accreditation Program (HAP) untuk Small Community Non Acute Hospitals dan Health Services Accreditation untuk sarana pelayanan kesehatan lainnya. 7. Amerika Latin Melihat keberhasilan JCAHO di Amerika Serikat, pada tahun 1990-an Pan American Health Organization Regional Office WHO menetapkan standar manual untuk pelayanan rumah sakit disertai pembentukan Badan Akreditasi di 7 (tujuh) negara anggota WHO regional office di daerah Amerika Latin. Pada tahun 1998 negara anggota WHO regional office di daerah Amerika Latin yang sudah mulai melaksanakan program akreditasinya adalah Argentina (terbatas), Brazil, Chile (pada Public Hospitals), Cuba, Dominica, Guatemala, Mexico, Nicaragua (terbatas), Peru, Uruguay (terbatas). 8. South East Asia WHO Region Pada tanggal 7 – 11 Desember 1998 di Bangkok diadakan Intercountry Meeting on Hospital Accreditation, yang disponsori oleh WHO, dihadiri oleh 9 (sembilan) negara, Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, Malaysia, dan satu tamu dari Maroko. Dari pertemuan ini diketahui hampir semua negara anggota ini masih berkonsentrasi pada pengembangan konsep dan upaya Quality Assurance / Improvement kecuali Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
9. Taiwan Pada tahun 1978 Taiwan melakukan akreditasi pertama kali terhadap rumah sakit pendidikan dan secara bertahap terhadap rumah sakit pemerintah pada tahun 1979, 1982, 1984 dan 1986. Pada tahun 1986 diundangkan “Medical Care Law“ sehingga akreditasi untuk rumah sakit dikuatkan dengan suatu peraturan / undangundang. Pada tahun 1988 pertama kali dilakukan akreditasi rumah sakit berdasarkan undang-undang tersebut. 10. Korea Pada tahun 1961 peraturan tentang akreditasi rumah sakit telah siap namun sampai tahun 1978 belum ada kegiatan akreditasi dari pemerintah karena kendala sumber daya manusia ahli. Pada tahun 1979 pemerintah mendelegasikan wewenang untuk melakukan akreditasi rumah sakit pada “Korean Medical Association”. Oleh karena adanya perbedaan tingkat dari fasilitas rumah sakit pada tahun 1985 maka Korean Hospital Association dan Korean Medical Association yang merupakan Komite Standarisasi Rumah Sakit mengembangkan standar akreditasi yang dibutuhkan rumah sakit (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). B. Akreditasi Rumah Sakit di Indonesia Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2008) mengemukakan bahwa pada tahun 1987 Departemen Kesehatan menerima bantuan teknis dari Amerika Serikat melalui US-AID berhasil menyusun suatu sistem dan perangkat ukur obyektif yang untuk menilai kinerja manajemen rumah sakit disebut standar
Universitas Sumatera Utara
pelayanan rumah sakit dan standar pelayanan medik. Penyesuaian, pengurangan atau penambahan dari standar acuan yang berlaku di Amerika Serikat dan Australia dilakukan standar dapat diaplikasikan menurut kondisi di Indonesia. Penilaian lebih berfokus kepada struktur dan proses yang kelak sebagai landasan kuat untuk menyusun standar outcome di kemudian hari. Pada tahun 1993 standar pelayanan rumah sakit yang terdiri dari 20 kegiatan pelayanan dan standar pelayanan medik ditetapkan berlaku di seluruh rumah sakit di Indonesia melalui Keputusan Menteri Kesehatan. Setiap kegiatan pelayanan terdiri dari 7 (tujuh) standar yaitu falsafah dan tujuan, administrasi dan pengelolaan, staf dan pimpinan, fasilitas dan peralatan, kebijakan dan prosedur, pengembangan staf dan program pendidikan serta evaluasi dan pengendalian mutu. Ke-20 kegiatan pelayanan tersebut adalah administrasi dan manajemen, pelayanan medik, pelayanan gawat darurat, pelayanan perinatal risiko tinggi, pelayanan keperawatan, pelayanan anestesi, pelayanan radiologi, pelayanan farmasi, pelayanan laboratorium, pelayanan rehabilitasi medis, pelayanan gizi, rekam medik, pelayanan kesehatan, kebakaran dan kewaspadaan bencana, kamar operasi, pelayanan intensif, pengendalian infeksi di rumah sakit, pelayanan sterilisasi sentral, pemeliharaan sarana, pelayanan lain, perpustakaan. Pada tahun 1993 / 1994 dilakukan sosialisasi dan uji coba penerapan standar pelayanan rumah sakit dan standar pelayanan medik tersebut. Hasil uji coba tidak semua dari 20 kegiatan pelayanan dapat dilaksanakan dengan baik oleh rumah sakit hanya kegiatan pelayanan administrasi dan manajemen, pelayanan medik, pelayanan
Universitas Sumatera Utara
gawat darurat, pelayanan keperawatan dan rekam medik memberikan kontribusi nilai skor diatas 60% sehingga dari dasar uji coba tersebut maka pelaksanaan akreditasi pada tahap pertama adalah untuk 5 (lima) kegiatan pelayanan tersebut. Akreditasi rumah sakit mulai dilaksanakan pada tahun 1995 dengan 5 (lima) kegiatan pelayanan terhadap 10 rumah sakit yang ditunjuk oleh Departemen Kesehatan karena rumah sakit tersebut pernah menjadi nominasi pemenang penilaian kinerja rumah sakit dalam rangka Hari Kesehatan Nasional. Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta manajemen perumah-sakitan, pada tahun 1999 standar pelayanan rumah sakit dan standar pelayanan medik tersebut direvisi dengan melibatkan berbagai organisasi profesi. Kegiatan pelayanan ada yang dikurangi dan ada kegiatan pelayanan yang mengalami perubahan nama dengan alasan adanya duplikasi dari substansi yang dimuat dalam instrumen yang ada, baru dari hasil revisi. Kegiatan pelayanan saat itu berjumlah 16 (enam belas) . Standar pelayanan rumah sakit dan standar pelayanan medik hasil revisi tahun 1999 pada tahun 2007 mengalami revisi lagi dengan menambahkan Patient Safety (keselamatan pasien) yang diintegrasikan di kegiatan pelayanan administrasi manajemen dan kegiatan pelayanan medik. Sejalan dengan peningkatan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang berfokus kepada pasien dengan sistem akreditasi yang mengacu pada JCI maka pada tahun 2012 telah dilakukan perubahan paradigma akreditasi dari yang semula berfokus pada provider dengan dokumentasinya menjadi akreditasi yang berfokus kepada pasien dengan melihat implementasi atau pelaksanaan kegiatan menggunakan
Universitas Sumatera Utara
metodologi telusur. Perubahan ini merubah kompetensi dan fungsi dari seluruh staf yang terlibat dalam akreditasi yang semula hanya mampu dan berfungsi untuk mempersiapkan dokumen, tetapi sekarang dituntut harus mampu dan berfungsi sebagai assessor internal dalam mempersiapkan akreditasi rumah sakit (Sutoto, 2013).
2.4. Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 Menurut
Kementerian
Kesehatan
Republik
Indonesia
(2011)
yang
menyatakan bahwa Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 terdiri dari : a. Kelompok Standar Berfokus Kepada Pasien terdiri dari 7 bab, 161 standar, 626 elemen penilaian ; Bab I
: Akses ke Pelayanan dan Kontinuitas Pelayanan (APK)
Bab II
: Hak Pasien dan Keluarga (HPK)
Bab III
: Assessmen Pasien (AP)
Bab IV
: Pelayanan Pasien (PP)
Bab V
: Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB)
Bab VI
: Manajemen dan Penggunaan Obat (MPO)
Bab VII
: Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK)
b. Kelompok Standar Manajemen Rumah Sakit terdiri dari 6 bab, 153 standar, 568 elemen penilaian ; Bab I
: Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP)
Bab II
: Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
Universitas Sumatera Utara
c.
Bab III
: Tata Kelola, Kepemimpinan, dan Pengarahan (TKP)
Bab IV
: Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK)
Bab V
: Kualifikasi dan Pendidikan Staf ( KPS)
Bab VI
: Manajemen Komunikasi dan Informasi (MKI)
Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit terdiri 1 bab, 6 standar, 24 elemen penilaian ;
d.
Sasaran I
: Ketepatan Identifikasi Pasien.
Sasaran II
: Peningkatan Komunikasi Yang Efektif.
Sasaran III
: Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu Diwaspadai.
Sasaran IV
: Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat Pasien Operasi.
Sasaran V
: Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan.
Sasaran VI
: Pengurangan Risiko Pasien Jatuh.
Sasaran Menuju Millineum Development Goals terdiri dari 1 bab, 3 standar 19 elemen penilaian ; Sasaran I
: Penurunan Angka Kematian Bayi Dan Peningkatan Kesehatan Ibu.
Sasaran II
: Penurunan Angka Kesakitan HIV / AIDS.
Sasaran III
: Penurunan Angka Kesakitan TB
Dari 15 bab yang terdapat dalam kelompok Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 dengan total keseluruhan standar 323 dan elemen penilaian 1237, disusun kembali urutan bab berdasarkan yang utama sampai dengan terakhir, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
Bab I
: Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit (SKP) … kelompok c
Bab II
: Hak Pasien dan Keluarga (HPK) … kelompok a bab II.
Bab III
: Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK) … kelompok a bab VII.
Bab IV
: Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) … kelompok b bab I.
Bab V
: Millineum Development Goals (MDG’S) … kelompok d.
Bab VI
: Akses ke Pelayanan dan Kontinuitas Pelayanan (APK) … kelompok a bab I.
Bab VII
: Assessmen Pasien (AP) … kelompok a bab III.
Bab VIII
: Pelayanan Pasien (PP) … kelompok a bab IV.
Bab IX
: Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB) … kelompok a bab V.
Bab X
: Manajemen dan Penggunaan Obat (MPO) … kelompok a bab VI.
Bab XI
: Manajemen Komunikasi dan Informasi (MKI) … kelompok b bab VI.
Bab XII
: Kualifikasi dan Pendidikan Staf (KPS) … kelompok b bab V.
Bab XIII
: Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) … kelompok b bab II.
Bab XIV
: Tata Kelola, Kepemimpinan, dan Pengarahan (TKP) … kelompok b bab III.
Bab XV
: Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) … kelompok b bab IV.
Ketentuan Penilaian : a. Penilaian suatu bab ditentukan oleh penilaian pencapaian (semua) standar pada bab tersebut, dan menghasilkan nilai persentase bagi bab tersebut.
Universitas Sumatera Utara
b. Penilaian suatu standar dilaksanakan melalui penilaian terpenuhinya Elemen Penilaian (EP), menghasilkan nilai persentase bagi standar tersebut. c. Penilaian suatu Elemen Penilaian dinyatakan sebagai berikut : − Tercapainya Penuh (TP)
→ diberikan skor 10.
− Tercapainya Sebagian (TS) → diberikan skor 5. − Tidak Tercapainya (TT)
→ diberikan skor 0.
− Tidak Dapat Diterapkan (TDD) → tidak masuk dalam proses penilaian dan perhitungan. d. Penentuan Skor 10 (Sepuluh) − Temuan tunggal negatif tidak menghalangi nilai “tercapai penuh” dari minimal 5 telusur pasien / pimpinan staf. − Nilai 80% - 100% dari temuan atau yang dicatat dalam wawancara, observasi dan dokumen (misalnya 8 dari 10) dipenuhi. − Data mundur “tercapai penuh” adalah sebagai berikut : a) Untuk survei awal : selama 4 bulan kebelakang. Artinya rumah sakit yang menjalani survei akreditasi untuk pertama kali diharuskan memiliki catatan balik ke belakang (track record) 4 (empat) bulan bukti sudah mematuhi standar.
Universitas Sumatera Utara
b) Untuk survei lanjutan : selama 12 bulan kebelakang. Artinya rumah sakit yang menjalani survei ulang diharuskan dapat menunjukkan catatan balik ke belakang (track record) selama 12 (dua belas) bulan bukti mematuhi standar. e. Penentuan Skor 5 (lima) − Jika 20% sampai 79% (misalnya 2 sampai 8 dari 10 dari temuan atau yang dicatat dalam wawancara, observasi dan dokumen). − Bukti pelaksanaan hanya dapat ditemukan di sebagian daerah atau unit kerja yang seharusnya dilaksanakan. − Regulasi tidak dilaksanakan secara penuh / lengkap. − Kebijakan / proses sudah ditetapkan dan dilaksanakan tetapi tidak dapat dipertahankan. − Data mundur sebagai berikut : a) Untuk survei awal
: 1 – 3 bulan mundur.
Artinya rumah sakit yang menjalani survei akreditasi untuk pertama kali diharuskan memiliki catatan balik ke belakang (track record) 1 - 3 bulan bukti sudah mematuhi standar. b) Untuk survei lanjutan : 5 – 11 bulan mundur. Artinya rumah sakit yang menjalani survei ulang diharuskan dapat menunjukkan catatan balik ke belakang (track record) selama 5 – 12 bulan bukti mematuhi standar.
Universitas Sumatera Utara
f. Penentuan Skor 0 (nol) − Jika ≤ 19% dari temuan atau yang dicatat dalam wawancara, observasi dan dokumen. − Bukti pelaksanaan tidak dapat ditemukan di daerah / unit kerja dimana harus dilaksanakan. − Regulasi tidak dilaksanakan. − Kebijakan / proses tidak dilaksanakan − Data mundur sebagai berikut : a) Untuk survei awal
: < 1 bulan mundur.
Artinya rumah sakit yang menjalani survei akreditasi untuk pertama kali diharuskan memiliki catatan balik ke belakang (track record) < 1 bulan bukti sudah mematuhi standar. b) Untuk survei lanjutan
: < 5 bulan mundur.
Artinya rumah sakit yang menjalani survei ulang diharuskan dapat menunjukkan catatan balik ke belakang (track record) selama < 5 bulan bukti mematuhi standar. Kelulusan : Proses akreditasi terdiri dari kegiatan survei oleh Tim Surveior dan proses pengambilan keputusan kelulusan akreditasi oleh Ketua KARS, melalui Tim Penilai Laporan Survei Akreditasi Rumah Sakit.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan hasil survei : 1. Lulus akreditasi 2. Diberikan kesempatan perbaikan / resurvey / remedial 3. Tidak lulus Tingkat kelulusan dan kriterianya adalah sebagai berikut : 1. Tingkat Dasar a. Empat bab digolongkan major, nilai minimum setiap bab harus 80 (delapan puluh) % : 1) Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit (SKP) 2) Hak Pasien dan Keluarga (HPK) 3) Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK) 4) Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) b. Sebelas bab digolongkan minor, nilai minimum setiap bab harus 20 (dua puluh) % : 1) Millineum Development Goal’s (MDG’S) 2) Akses ke Pelayanan dan Kontinuitas Pelayanan (APK) 3) Assessmen Pasien (AP) 4) Pelayanan Pasien (PP) 5) Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB) 6) Manajemen dan Penggunaan Obat (MPO) 7) Manajemen Komunikasi dan Informasi (MKI) 8) Kualifikasi dan Pendidikan Staf (KPS)
Universitas Sumatera Utara
9) Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) 10) Tata Kelola, Kepemimpinan, dan Pengarahan (TKP) 11) Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) Bila nilai dari 11 (sebelas) bab lainnya ada yang diatas 60 (enam puluh) % maka rumah sakit dapat : •
Dilakukan remedial (re –survei) 3 – 6 bulan lagi, pada 11 (sebelas) bab lainnya yang nilainya diatas 60 (enam puluh ) %.
•
Bila keberatan dilakukan remedial, maka status akreditasi tingkat dasar dapat ditetapkan.
2. Tingkat Madya a. Delapan bab digolongkan major, nilai minimum setiap bab harus 80 (delapan puluh) % : 1) Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit (SKP) 2) Hak Pasien dan Keluarga (HPK) 3) Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK) 4) Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) 5) Millineum Development Goal’s (MDG’S) 6) Akses ke Pelayanan dan Kontinuitas Pelayanan (APK) 7) Assessmen Pasien (AP) 8) Pelayanan Pasien (PP)
Universitas Sumatera Utara
b. Tujuh bab digolongkan minor, nilai minimum setiap bab harus 20 (dua puluh) % : 1) Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB) 2) Manajemen dan Penggunaan Obat (MPO) 3) Manajemen Komunikasi dan Informasi (MKI) 4) Kualifikasi dan Pendidikan Staf (KPS) 5) Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) 6) Tata Kelola, Kepemimpinan, dan Pengarahan (TKP) 7) Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) Bila nilai dari 7 (tujuh) bab lainnya ada yang diatas 60 (enam puluh) % maka rumah sakit dapat : •
Dilakukan remedial (re –survei) 3 – 6 bulan lagi, pada 7 (tujuh) bab lainnya yang nilainya diatas 60 (enam puluh ) %.
•
Bila keberatan dilakukan remedial, maka status akreditasi tingkat madya dapat ditetapkan.
3. Tingkat Utama a. Dua belas bab digolongkan major, nilai minimum setiap bab harus 80 (delapan puluh) % : 1) Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit (SKP) 2) Hak Pasien dan Keluarga (HPK) 3) Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK)
Universitas Sumatera Utara
4) Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) 5) Millineum Development Goal’s (MDG’S) 6) Akses ke Pelayanan dan Kontinuitas Pelayanan (APK) 7) Assessmen Pasien (AP) 8) Pelayanan Pasien (PP) 9) Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB) 10) Manajemen dan Penggunaan Obat (MPO) 11) Manajemen Komunikasi dan Informasi (MKI) 12) Kualifikasi dan Pendidikan Staf (KPS) b. Tiga bab digolongkan minor, nilai minimum setiap bab harus 20 (dua puluh) % : 1) Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) 2) Tata Kelola, Kepemimpinan, dan Pengarahan (TKP) 3) Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) Bila nilai bab yang lainnya diatas 60 (enam puluh) % maka rumah sakit dapat mengajukan re-survei (remedial). Bila nilai dari 3 (tiga) bab lainnya ada yang diatas 60 (enam puluh) % maka rumah sakit dapat : •
Dilakukan remedial (re –survei) 3 – 6 bulan lagi, pada 3 (tiga) bab lainnya yang nilainya diatas 60 (enam puluh ) %.
Universitas Sumatera Utara
•
Bila keberatan dilakukan remedial, maka status akreditasi tingkat utama dapat ditetapkan.
4. Tingkat Paripurna Lima belas (semua) bab digolongkan major, nilai minimum setiap bab harus 80 (delapan puluh) % : 1) Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit (SKP) 2) Hak Pasien dan Keluarga (HPK) 3) Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK) 4) Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) 5) Millineum Development Goal’s (MDG’S) 6) Akses ke Pelayanan dan Kontinuitas Pelayanan (APK) 7) Assessmen Pasien (AP) 8) Pelayanan Pasien (PP) 9) Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB) 10) Manajemen dan Penggunaan Obat (MPO) 11) Manajemen Komunikasi dan Informasi (MKI) 12) Kualifikasi dan Pendidikan Staf (KPS) 13) Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) 14) Tata Kelola, Kepemimpinan, dan Pengarahan (TKP) 15) Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK)
Universitas Sumatera Utara
Komisi Akreditasi Rumah Sakit (2013) menyatakan rumah sakit yang mendapat status akreditasi Dasar, Madya, atau Utama, pada waktu dilakukan akreditasi ulang 3 (tiga) tahun lagi, harus terjadi peningkatan status akreditasinya dari akreditasi pertama. Rumah sakit dapat mengajukan peningkatan status akreditasi sekurangkurangnya 1 (satu) tahun setelah survei dilaksanakan. Kriteria re-survei (remedial) adalah survei yang dilakukan pada rumah sakit yang nilai pada bab-babnya minimal 60 (enam puluh) %. Untuk re-survei (remedial) mempunyai tujuan dan ketentuan yaitu : a. Tujuan dari re-survei adalah untuk perbaikan hasil survei pada rumah sakit yang mendapat sertifikat akreditasi tingkat dasar, madya dan utama. b. Ketentuan re-survei (remedial) sebagai berikut : •
Diajukan oleh rumah sakit dengan biaya ditanggung oleh rumah sakit.
•
Re-survei (remedial) dapat diajukan pada bab yang nilainya diatas 60 (enam puluh) %.
•
Re-survei (remedial) dilakukan 3 – 6 bulan setelah survei dilakukan.
•
Surveior akan ditunjuk oleh KARS, jumlah surveior dan jumlah hari survei tergantung besar kecilnya rumah sakit dan banyaknya bab yang dilakukan resurvei.
Kriteria Tidak lulus : •
4 (empat) bab dasar dibawah 80 (delapan puluh) %
Universitas Sumatera Utara
•
Dan atau ada 11 (sebelas) bab lainnya dibawah 20 (dua puluh) %.
•
Rumah sakit dapat mengajukan akreditasi secepat-cepatnya 1 (satu) tahun, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun.
•
Rumah sakit tidak diberi kesempatan remedial.
Manfaat Akreditasi : a. Meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa rumah sakit menitik beratkan sasarannya pada keselamatan pasien dan mutu pelayanan. b. Menyediakan lingkungan kerja yang aman dan efisien sehingga staf merasa puas. c. Mendengarkan pasien dan keluarga mereka, menghormati hak-hak mereka dan melibatkan mereka sebagai mitra dalam proses pelayanan. d. Menciptakan budaya mau belajar dari laporan insiden keselamatan pasien. Membangun kepemimpinan yang mengutamakan kerjasama. Kepemimpinan ini menetapkan prioritas untuk dan demi terciptanya kepemimpinan yang berkelanjutan untuk meraih kualitas dan keselamatan pasien pada semua tingkatan (Kementerian Kesehatan, 2011). Acuan penyusunan Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011) adalah : 1. International
Principles
For
Healthcare
Standards,
A
Framework
of
requirements for standard, 3rd Edition December 2007, International Society for Quality in Health Care (ISQua).
Universitas Sumatera Utara
2. Joint Commission International Accreditation Standards for Hospitals, 4th Edition, 2011. 3. Instrumen Akreditasi Rumah Sakit, edisi 2007, Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). 4. Standar spesifik lainnya untuk rumah sakit. Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 berbeda dengan Standar Akreditasi Rumah Sakit International JCI dimana Sasaran Menuju Millineum Development Goal’s dimasukkan dalam Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 dan Academic Medical Center Hospital Standards tidak dibahas dalam Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012. Menurut Joint Commision International (2010) Standar Akreditasi Rumah Sakit International JCI yang terdiri dari : Section I
Patient Centered Standards 1. International Patient Safety Goals (IPSG) 2. Access to Care and Continuity of Care (ACC) 3. Patient and Family Rights (PFR) 4. Assessment Of Patients (AOP) 5. Care Of Patients (COP) 6. Anesthesia and Surgical Care (ASC) 7. Medication Management and Use (MMU) 8. Patient and Familly Education (PFE)
Universitas Sumatera Utara
Section II Health care Organization Management Standards 1. Quality Improvement and Patient Safety (QPS) 2. Prevention and Control of Infections (PCI) 3. Governance, Leadership, and Direction (GLD) 4. Facility Management and Safety (FMS) 5. Staff Qualifications and Education (SQE) 6. Management of Communication and Information (MCI) Section III Academic Medical Center Hospital Standards 1. Medical Profesional Education (MPE) 2. Human Subjects Research Program (HRP) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengupayakan di Indonesia agar 7 (tujuh) rumah sakit kelas A terakreditasi internasional oleh Joint Commission International (JCI) pada tahun 2012 yaitu : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo – Jakarta, Rumah Sakit Sanglah – Bali , Rumah Sakit Sardjito – Yogyakarta, Rumah Sakit Fatmawati – Jakarta, Rumah Sakit Adam Malik – Sumatera Utara, Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo – Makasar, dan RSPAD Gatot Subroto – Jakarta. Menurut Sutoto (2013) rumah sakit pemerintah yang terakreditasi JCI adalah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo – Jakarta dan Rumah Sakit Sanglah – Bali, sedangkan rumah sakit swasta adalah Rumah Sakit Siloam di Karawaci - Tangerang, Rumah Sakit Eka di Bumi Serpong Damai - Tangerang, Rumah Sakit Sentosa – Bandung, Rumah Sakit Bintaro Premier – Tangerang, Rumah Sakit Jatinegara – Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Komisi Akreditasi Rumah Sakit (2014), rumah sakit–rumah sakit yang telah terakreditasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 yaitu (1) RSUPN dr. Cipto Mangunkusomo Jakarta, (2) Rumah Sakit Premier Bintaro Tangerang, (3) Rumah Sakit Royal Progress Jakarta, (4) Rumah Sakit Premier Jatinegara Jakarta, (5) Rumah Sakit Eka Tangerang, (6) Rumah Sakit Puri Indah Pondok Indah Jakarta, (7) Rumah Sakit Santa Maria Pekan Baru, (8) Rumah Sakit Panti Nirmala Malang, (9) RSUP Fatmawati Jakarta, (10) Rumah Sakit Mata Undaan Jawa Timur Surabaya, (11) Rumah Sakit PT. Chevron Pacific Duri Riau, (12) Rumah Sakit Hermina Bekasi Jawa Barat, (13) Rumah Sakit Eka Pekan Baru, Riau, (14) Rumah Sakit RSUP. Dokter Kariadi Semarang, Jawa Tengah, (15) Rumah Sakit Omni Alam Sutera Tangerang, Banten, (16) Rumah Sakit Hermina Depok, Jawa Barat, (17) Rumah Sakit Telogorejo Semarang, Jawa Tengah, (18) Rumah Sakit Jakarta Eye Center Kedoya, Jakarta, (19) Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, (20) Rumah Sakit Ibu dan anak Hermina Podomoro, Jakarta Utara, (21) Rumah Sakit Umum Surya Husahda Denpasar,
Bali,
(22)
Rumah
Sakit
Mitra
Kemayoran
Jakarta,
Jakarta,
(23) RSUP Dokter Wahidin Sudirohusodo Makasar, Sulawesi Selatan, (24) Rumah Sakit Hermina Daan Mogot Jakarta, Jakarta, (25) RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad, Jakarta. Dalam rangka memantau kepatuhan standar akreditasi secara berkelanjutan maka satu tahun setelah survei akreditasi dilaksanakan, KARS akan menugaskan surveior verifikasi untuk melakukan verifikasi pelaksanaan perencanaan perbaikan strategis, pelaksanaan self assessment di rumah sakit dan pelaksanaan pencatatan dan
Universitas Sumatera Utara
pelaporan insiden keselamatan pasien. Bila hasil verifikasi, rumah sakit belum melaksanakan perbaikan strategis maka KARS akan melakukan evaluasi status akreditasi rumah sakit tersebut. Dua tahun setelah pelaksanaan survei akreditasi KARS kembali menugaskan surveior verifikasi untuk melakukan verifikasi perencanaan perbaikan strategis yang belum dilaksanakan dan melihat persiapan rumah sakit untuk akreditasi ulang. (Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2013).
2.5. Pengertian Rumah Sakit Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009). Rumah Sakit adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/II/2008). Hospital is an integral part of social and medical organization, the function of which is to provide for the population complete health care, both curative and preventive and whose out patient service reach out to the family and its home environment; the hospital is also a centre for the training of health workers and for biosocial research (Al-Assaf, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009).
2.6. Sejarah Rumah Sakit Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia (2014), dalam sejarah kuno, kepercayaan dan pengobatan berhubungan sangat erat. Salah satu contoh institusi pengobatan tertua adalah kuil Mesir. Kuil Asclepius di Yunani juga dipercaya memberikan pengobatan kepada orang sakit, yang kemudian juga diadopsi bangsa Romawi sebagai kepercayaan. Kuil Romawi untuk Aesculapius dibangun pada tahun 291 SM di tanah Tiber, Roma dengan ritus-ritus hampir sama dengan kepercayaan Yunani. Institusi yang spesifik untuk pengobatan pertama kali, ditemukan di India. Rumah Sakit Brahmanti pertama kali didirikan di Sri Lanka pada tahun 431 SM, kemudian Raja Ashoka juga mendirikan 18 Rumah Sakit di Hindustan pada 230 SM dengan dilengkapi tenaga medis dan perawat yang dibiayai anggaran kerajaan. Rumah Sakit pertama kali yang melibatkan pula konsep pengajaran pengobatan, dengan mahasiswa yang diberikan pengajaran oleh tenaga ahli, adalah Akademi Gundishapur di Kerajaan Persia. Bangsa Romawi menciptakan valetudinaria untuk pengobatan budak, gladiator, dan prajurit sekitar 100 SM. Adopsi kepercayaan kristiani turut mempengaruhi pelayanan medik disana. Konsili Nicea I pada tahun 325
Universitas Sumatera Utara
memerintahkan pihak gereja untuk juga memberikan pelayanan kepada orang-orang miskin, sakit, janda, dan musafir. Setiap satu katedral di setiap kota harus menyediakan satu pelayanan kesehatan. Salah satu yang pertama kali mendirikan adalah Saint Sampson di Konstantinopel dan Basil, bishop of Caesarea. Bangunan ini berhubungan langsung dengan bangunan gereja, dan disediakan pula tempat terpisah untuk penderita lepra. Rumah Sakit abad pertengahan di Eropa juga mengikuti pola tersebut. Di setiap tempat peribadatan terdapat pelayanan kesehatan oleh pendeta dan suster (Frase Perancis untuk rumah sakit adalah hotel – Dieu, yang berarti “hostel of God.”). Namun beberapa di antaranya bisa pula terpisah dari tempat peribadatan. Ditemukan pula Rumah Sakit yang terspesialisasi untuk penderita lepra, kaum miskin, atau musafir. Rumah Sakit dalam sejarah Islam memperkenalkan standar pengobatan yang tinggi pada abad 8 hingga 12. Rumah Sakit pertama dibangun pada abad 9 hingga 10 mempekerjakan 25 staf pengobatan dan perlakuan pengobatan berbeda untuk penyakit yang berbeda pula. Rumah Sakit yang didanai pemerintah muncul pula dalam sejarah Tiongkok pada awal abad 10. Perubahan rumah sakit menjadi lebih sekuler di Eropa terjadi pada abad 16 hingga 17. Tetapi baru pada abad 18 rumah sakit modern pertama dibangun dengan hanya menyediakan pelayanan dan pembedahan medis. Inggris pertama kali memperkenalkan konsep ini. Guy’s Hospital didirikan di London pada 1724 atas permintaan seorang saudagar kaya Thomas Guy. Rumah Sakit yang dibiayai swasta
Universitas Sumatera Utara
seperti ini kemudian menjamur di seluruh Inggris Raya. Di koloni Inggris di Amerika kemudian berdiri Pensylvania General Hospital di Philadelphia pada tahun 1751 setelah terkumpul sumbangan £ 2,000. Di Eropa Daratan biasanya rumah sakit dibiayai dana publik. Namun secara umum pada pertengahan abad 19 hampir seluruh negara di Eropa dan Amerika Utara telah memiliki keberagaman rumah sakit.
2.7. Rumah Sakit dan Perkembangannya di Indonesia Sejarah perkembangan rumah sakit di Indonesia pertama sekali didirikan oleh VOC tahun 1626 dan kemudian juga oleh tentara Inggris pada zaman Raffles terutama ditujukan untuk melayani anggota militer beserta keluarganya secara gratis. Jika masyarakat pribumi memerlukan pertolongan, kepada mereka juga diberikan pelayanan gratis. Hal ini berlanjut dengan rumah sakit-rumah sakit yang didirikan oleh kelompok agama. Sikap karitatif ini juga diteruskan oleh rumah sakit Centrale Burgelijke Ziekenhuis di Jakarta. Rumah Sakit ini juga tidak memungut bayaran pada orang miskin dan gelandangan yang memerlukan pertolongan. Semua ini telah menanamkan kesan yang mendalam di kalangan masyarakat pribumi bahwa pelayanan penyembuhan di rumah sakit adalah gratis. Mereka tidak mengetahui bahwa sejak jaman VOC, orang Eropa yang berobat di rumah sakit VOC (kecuali tentara dan keluarganya) ditarik bayaran termasuk pegawai VOC (Wikipedia Bahasa Indonesia, 2014).
Universitas Sumatera Utara
2.8. Asas dan Tujuan Rumah Sakit Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial (Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009).
2.9. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk menjalankan tugas, Rumah Sakit mempunyai fungsi (Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009) : a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit; b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis; c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
2.10. Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, jenis pelayanan rumah sakit dibagi atas : a. Rumah Sakit Umum Memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. b. Rumah Sakit Khusus Memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. Berdasarkan pengelolaannya rumah sakit dibagi atas : a. Rumah Sakit Publik dikelola oleh pemerintah, Pemerintah Daerah dan badan hukum yang bersifat nirlaba. b. Rumah Sakit Privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanannya rumah sakit diklasifikasi atas Rumah Sakit Umum kelas A sampai dengan kelas D dan Rumah Sakit Khusus kelas A sampai dengan kelas C.
2.11. Kewajiban dan Hak Rumah Sakit Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban : a.
Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat;
Universitas Sumatera Utara
b.
Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit;
c.
Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
d.
Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
e.
Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin;
f.
Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu / miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;
g.
Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien;
h.
Menyelenggarakan rekam medik;
i.
Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia;
j.
Melaksanakan sistem rujukan;
k.
Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan;
Universitas Sumatera Utara
l.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien;
m. Menghormati dan melindungi hak-hak pasien; n.
Melaksanakan etika rumah sakit;
o.
Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana;
p.
Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional;
q.
Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktek kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya;
r.
Menyusun dan melaksanakan peratuan internal rumah sakit (hospital bylaws);
s.
Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas rumah sakit dalam melaksanakan tugas; dan
t.
Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009).
Setiap Rumah Sakit mempunyai hak : a. Menentukan jumlah, jenis dan klasifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi rumah sakit; b. Menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan pelayanan;
Universitas Sumatera Utara
d. Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; e. Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian; f. Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan; g. Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di rumah sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan h. Mendapatkan insentif pajak bagi rumah sakit publik dan rumah sakit yang ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009).
2.12. Implementasi Kebijakan Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan (Nugroho, 2012). Kebijakan rumah sakit adalah penetapan Direktur / Pimpinan rumah sakit pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang mengikat. Kebijakan bersifat garis besar maka untuk penerapan kebijakan tersebut disusun pedoman / panduan dan prosedur sehingga ada kejelasan langkah-langkah untuk melaksanakan kebijakan tersebut (Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2012). Kebijakan publik paling tidak mengandung tiga komponen dasar, yaitu : (1) tujuan yang hendak dicapai, (2) sasaran yang memenuhi specific, measurable, aggressive but attainable, result oriented dan time bound, (3) cara mencapai sasaran
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Cara mencapai sasaran inilah yang sering disebut dengan implementasi, yang biasanya diterjemahkan ke dalam program-program, ke proyek dan ke kegiatan. Aktivitas implementasi ini biasanya terkandung di dalamnya : siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan ? apa yang mereka kerjakan ? apa dampak dari isi kebijakan ? (Nugroho, 2012). Menurut Nugroho (2012), bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Dengan demikian bahwa tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah melakukan intervensi. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Paparan sekuensi implementasi kebijakan publik yaitu kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau Perda adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung operasional antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas dan lain-lain kemudian dimulai dari program, ke proyek, ke kegiatan dan dirasakan oleh pemanfaat (beneficiaries). Persentase
keberhasilan
kebijakan
terdiri
dari
20%
rencana,
60%
implementasi dan 20 % sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena masalah-masalah yang
Universitas Sumatera Utara
kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama, adalah inkonsistensi implementasi. Menurut Nugroho (2012) yang mengutip pendapat Peter Deleon dan Linda Deleon (2001), pendekatan-pendekatan dalam implementasi kebijakan publik dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi. Generasi pertama, yaitu pada tahun 1970-an, memahami implementasi kebijakan sebagai masalah yang terjadi antara kebijakan dan eksekusinya. Peneliti yang mempergunakan pendekatan ini antara lain Graham T. Allison (1971, 1999). Generasi kedua, yaitu pada tahun 1980-an adalah generasi yang mengembangkan pendekatan implementasi kebijakan yang bersifat ”dari atas ke bawah / top – downer perspective”. Peneliti yang mempergunakan pendekatan ini antara lain Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983), Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980), dan Paul Berman (1980). Disamping itu pendekatan implementasi kebijakan yang bersifat “ bottom – upper “ yang dikembangkan oleh Michael Lipsky (1971, 1980), dan Benny Hjern (1982, 1983). Generasi ketiga, yaitu pada tahun 1990an, dikembangkan oleh ilmuwan sosial Malcolm L. Goggin (1990), memperkenalkan pemikiran bahwa variabel perilaku aktor pelaksanaan implementasi kebijakan lebih menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Di samping itu pendekatan implementasi kebijakan yang bersifat kontijensi atau situsional yaitu implementasi kebijakan banyak didukung oleh adaptabilitas implementasi kebijakan tersebut. Para ilmuwan yang mengembangkan pendekatan ini antara lain Richard Matland (1995), Helen Ingram (1990), dan Denise Scheberle (1997). Menurut Deleon (2000), studi tentang implementasi kebijakan secara intelektual berada di ujung buntu (the study of
Universitas Sumatera Utara
policy implementation has reached an intellectual dead end). Nugroho (2012) menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan pada saat ini bukan berada di ujung buntu, namun pada suatu muara dimana begitu banyak cabang ilmu pengetahuan memberikan konstribusi pada studi implementasi kebijakan. Masuknya pengaruh berbagai cabang ilmu pengetahuan, memang, membawa implikasi praktikalitas. Nugroho (2012) memaparkan bahwa model-model implementasi kebijakan sangat bervariasi dan tidak ada model yang terbaik. Setiap jenis kegiatan publik memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Pilihan-pilihan model yang harus dipilih secara bijaksana sesuai dengan kebutuhan kebijakannya sendiri dan harus menampilkan keefektifan kebijakan itu sendiri berupa tepat kebijakannya, tepat pelaksananya, tepat target, tepat lingkungan dan tepat proses, yang didukung dengan dukungan politik, dukungan strategik, dan dukungan teknis. Model-model implementasi kebijakan berupa (1) model Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975) dengan implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik, (2) model Danield Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) dengan implementasi adalah upaya melaksanakan kebijakan, (3) model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978) untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan sepuluh syarat, (4) model Malcolm L. Goggin, Ann Bowman dan James Lester (1990) dengan “communication model “ untuk implementasi kebijakan, yang disebutnya sebagai “generasi ketiga model implementasi kebijakan”, (5) model Merilee S. Grindle (1980) implementasi kebijakan ditentukan oleh enam isi kebijakan dan tiga konteks implementasinya, (6) model Richard Elmore (1979),
Universitas Sumatera Utara
Michael Lipsky (1971), dan Benny Hjern dan David O’Porter (1981) dengan implementasi kebijakan yang berdasarkan jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya di tataran rendah, (7) model George Edward III (1980) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah lack of attention to implementation. Dikatakannya, without effective implementation the decision of policymakers will not be carried out successfully. Edward menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication / komunikasi, resources / sumber daya, disposition or attitudes / disposisi, dan bureaucratic structures / birokrasi. George Edward III (1980) memperkenalkan
pendekatan
masalah
implementasi
kebijakan
dengan
mempertanyakan faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat keberhasilan implementasi kebijakan. Berdasarkan pertanyaan retorika tersebut dirumuskan 4 (empat) faktor sebagai sumber masalah sekaligus prakondisi bagi keberhasilan proses implementasi, yakni : a) Komunikasi Komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi, antara lain dimensi transmisi, kejelasan, dan konsistensi. Dimensi transmisi, menghendaki agar kebijakan publik dapat ditransmisikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak lain yang terkait dengan kebijakan. Dimensi kejelasan menghendaki agar kebijakan yang ditransmisikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak lain yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan dapat diterima
Universitas Sumatera Utara
dengan jelas sehingga di antara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, dan sasaran serta substansi dari kebijakan publik tersebut. Dimensi konsistensi, menghendaki konsisten dan jelasnya kebijakan publik dalam penafsiran oleh pelaksana kebijakan. b) Sumber Daya 1) Sumber Daya Manusia Efektifitas pelaksanaan kebijakan sangat tergantung kepada sumber daya manusia (aparatur) yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan. Sumber daya manusia ini harus cukup (jumlah) dan cakap (ahli). Selain itu sumber daya manusia tersebut harus mengetahui apa yang harus dilakukan. Oleh karena itu, sumber daya manusia pelaku kebijakan tersebut juga membutuhkan informasi yang tidak saja berkaitan dengan bagaimana cara melaksanakan kebijakan, tetapi juga mengetahui arti penting (esensi) data mengenai kepatuhan pihak lain yang terlibat didalam peraturan berlaku. Tidak cukupnya sumber daya berarti peraturan (law) tidak akan bisa ditegakkan (enforced), pelayanan tidak disediakan, dan peraturan yang digunakan tidak bisa dikembangkan. 2) Sumber Daya Anggaran Sumber daya anggaran mempengaruhi efektifitas pelaksanaan kebijakan, selain sumber daya manusia adalah dana (anggaran) dan peralatan yang diperlukan untuk membiayai operasionalisasi pelaksanaan kebijakan. Terbatasnya anggaran yang tersedia menyebabkan kualitas pelayanan publik yang harus diberikan kepada masyarakat juga terbatas. Karena kurangnya insentif yang diberikan kepada
Universitas Sumatera Utara
pelaksana kebijakan dapat menyebabkan para pelaku kebijakan tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal. Terbatasnya insentif tersebut tidak akan mampu mengubah sikap dan perilaku (disposisi) para pelaku kebijakan. Oleh karena itu, agar para pelaku kebijakan memiliki disposisi (sikap dan perilaku) tinggi dalam melaksanakan kebijakan diperlukan insentif yang cukup. Besar kecilnya insentif tersebut dapat mempengaruhi sikap dan perilaku (disposisi) pelaku kebijakan. Insentif tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk rewards and punishment. 3) Sumber Daya Fasilitas Sumber
daya
fasilitas
merupakan
sarana
yang
digunakan
untuk
operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan didalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan. Terbatasnya fasilitas yang tersedia, kurang menunjang efisiensi dan tidak mendorong motivasi para pelaku dalam melaksanakan kebijakan. 4) Sumber Daya Informasi dan Kewenangan Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa sumber daya informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan. Terutama, informasi yang relevan dan cukup berkaitan dengan bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan. Kewenangan juga merupakan sumber daya lain yang mempengaruhi efektifitas pelaksanaan kebijakan. Kewenangan sangat diperlukan terutama untuk menjamin dan meyakinkan bahwa kebijakan yang akan dilaksanakan adalah sesuai dengan yang mereka kehendaki.
Universitas Sumatera Utara
c) Disposisi Keberhasilan implementasi kebijakan bukan hanya ditentukan oleh sejauh mana pelaku kebijakan mengetahui apa yang harus dilakukan dan mampu melakukannya, tetapi juga ditentukan oleh kemauan para pelaku kebijakan tadi memiliki disposisi yang kuat terhadap kebijakan yang sedang diimplementasikan. Mereka akan tahu bahwa kebijakan akan menguntungkan organisasi dan dirinya, manakala mereka cukup pengetahuan (cognitive), dan mereka sangat mendalami dan memahaminya (comprehension and understanding). Pengetahuan, pendalaman, dan pemahaman kebijakan ini akan menimbulkan sikap menerima (acceptance), acuh tak acuh (neutrality), dan menolak (rejection) terhadap kebijakan. d) Struktur Birokrasi Struktur birokrasi ini mencakup aspek-aspek seperti struktur organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit organisasi yang ada dalam organisasi bersangkutan, dan hubungan organisasi dengan organisasi luar dan sebagainya. Oleh karena itu, struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentasi dan standar prosedur operasional yang akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari para pelaksana kebijakan dalam melaksanakan apa yang menjadi bidang tugasnya. Nugroho (2012) memaparkan bahwa di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerjasama di antara lembaga-lembaga negara dan / atau pemerintahan. Ini merupakan contoh dari dimensi keempat yang disebutkan George Edward III.
Universitas Sumatera Utara
(8) Model Nakamura dan Smallwood (1980) dengan environments influencing implementation yang terdiri atas tiga elemen dan masing-masing mempunyai actors and arenas, (9) model jaringan oleh Walter Kickert, Erik Hans Klijn dan Joop Koppenjan (1997) dengan proses implementasi kebijakan adalah sebuah complex of interaction processes di antara sejumlah besar aktor yang berada dalam suatu jaringan (network) aktor-aktor yang independen. Implementasi kebijakan perlu diketahui paradigma kebijakan mana yang digunakan, kebijakan sebelum di implementasikan, harus disosialisasikan, dicoba, diperbaiki, diterapkan, dan kelak dievaluasi dalam proses yang “berwaktu” dan adanya diskresi, atau ruang gerak bagi individu pelaksana di lapangan untuk memilih tindakan sendiri yang otonom dalam batas wewenangnya apabila menghadapi situasi khusus, misalnya apabila kebijakan tidak mengatur atau mengatur berbeda dengan kondisi lapangan (Nugroho, 2012).
2.13. Pengendalian Kebijakan Nugroho (2012) mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah sebuah manajemen,
mengagendakan
pemahaman
bahwa
kebijakan
publik
harus
dikendalikan. Pengendalian kebijakan terdiri atas tiga dimensi, yaitu : (1) monitoring kebijakan, atau pengawasan kebijakan, (2) evaluasi kebijakan dan (3) pengganjaran kebijakan. Monitoring kebijakan atau pengawasan kebijakan berupa pemantauan dengan penilaian untuk tujuan pengendalian pelaksanaan agar pelaksanaan sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
rencana yang telah ditetapkan. Pengawasan sering kali dipahami sebagai “on-going evaluation” atau “ formative evaluation”. Menurut Nugroho (2012) yang mengutip pendapat Kunarjo, monitoring atau pemantauan adalah usaha secara terus menerus untuk memahami perkembangan bidang-bidang tertentu dari pelaksanaan tugas atau proyek yang sedang dilaksanakan. Ada tiga tehnik monitoring yaitu on desk, on site dan gabungan dari keduanya. Tujuan Monitoring hanya dua, yaitu memastikan pelaksanaan tidak menyimpang dari perencanaan, dan membangun early warning system sebagai bagian penting untuk memastikan jika terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan. Nugroho (2012) mengatakan evaluasi kebijakan merupakan penilaian pencapaian kinerja dari implementasi. Evaluasi dilaksanakan setelah kegiatan “selesai dilaksanakan” dengan dua pengertian “selesai”, yaitu (1) pengertian waktu (mencapai / melewati “tenggat waktu”) dan (2) pengertian kerja (“pekerjaan tuntas”). Menurut Nugroho (2012) pengganjaran kebijakan termasuk didalamnya penghukuman. Pengganjaran dengan demikian bermakna pemberian insentif atau disinsentif yang ditetapkan dan diberikan sebagai hasil dari pengawasan dan penilaian yang telah dilakukan. Hal ini penting diangkat karena jika monitoring dan evaluasi tidak memberikan arti penting, tidak diberikan pengganjaran atasnya. Sebagian besar pemahaman evaluasi kebijakan publik berada pada domain evaluasi implementasi kebijakan publik. Hal ini bisa dipahami karena memang implementasi merupakan faktor penting kebijakan yang harus dilihat benar-benar. Tujuan evaluasi implementasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variasi
Universitas Sumatera Utara
dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu (1) bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik? Jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi publik (variasi dari outcome) terhadap variabel independen tertentu. (2) faktor-faktor apa saja yang menyebabkan variasi itu? Jawabannya berkenaan dengan faktor kebijakan itu sendiri, organisasi implementasi kebijakan dan lingkungan implementasi kebijakan yang mempengaruhi variasi outcome implementasi kebijakan, (3) bagaimana strategi meningkatkan kinerja implementasi kebijakan publik? Pertanyaan ini berkenaan dengan “tugas” pengevaluasi untuk memilih variabel-variabel yang dapat diubah, atau actionable variable – variabel yang bersifat natural atau variabel lain yang tidak bisa diubah tidak dapat dimasukkan sebagai variabel evaluasi.
2.14. Landasan Teori Akreditasi Rumah Sakit secara umum bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit dan secara khusus bertujuan untuk memberikan jaminan kepuasan dan perlindungan kepada masyarakat, memberikan pengakuan kepada rumah sakit yang telah menerapkan standar yang ditetapkan dan menciptakan lingkungan internal rumah sakit yang kondusif untuk penyembuhan dan pengobatan pasien sesuai standar input / struktur, proses dan hasil (outcome). (Departemen Kesehatan, 2008). Pelaksanaan akreditasi rumah sakit di Indonesia dimulai pada tahun 1995 dengan mempergunakan Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi Lama yang berfokus
Universitas Sumatera Utara
pada struktur / input berupa dokumentasi dan seiring dengan tuntutan masyarakat yang semakin selektif terhadap pelayanan kesehatan yang lebih berrmutu dan aman maka Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi Lama mengalami perubahan menjadi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 yang lebih berfokus pada proses dan hasil (outcome) menuju standar internasional yang mengacu pada sistem Joint Commision International, juga dilengkapi dengan muatan lokal berupa program prioritas nasional yang berupa program Millenium Development Goals (MDG’S) meliputi PONEK, HIV, dan TB DOTS. Adapun perubahan paradigma Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 : 1. Tujuan akreditasi adalah peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dan bukan semata-mata sertifikat kelulusan. 2. Standar akreditasi harus memenuhi kriteria-kriteria internasional dan bersifat dinamis. 3. Peran Direktur sangat sentral. 4. Pelayanan berfokus pada pasien. 5. Keselamatan pasien menjadi standar utama. 6. Kesinambungan pelayanan dilakukan, baik saat merujuk keluar maupun serah terima pasien di dalam rumah sakit (antar unit, antar shift, antar petugas). 7. Proses akreditasi tidak semata-mata meneliti secara cross sectional tapi juga longitudinal. 8. Proses akreditasi mencari bukti-bukti terhadap penerapan dan pengembangan standar mutu pelayanan dan keselamatan pasien dengan metode telusur yang
Universitas Sumatera Utara
terdiri dari telusur individual atau pasien, telusur sistem, telusur lingkungan dan telusur program spesifik. 9. Hasil survei merupakan upaya pencapaian rumah sakit terhadap skoring yang ditentukan berupa level-level pencapaian yaitu dasar, madya, utama dan paripurna yang dinyatakan oleh Sutoto (2011), dan diperkuat dengan dasar hukum : (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009, (2) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 147/Menkes/Per/I/2010, (3) Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
340/Menkes/Per/III/2010, (4) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 659/Menkes/Per/VIII/2009, (5) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 012 tahun 2012, (6) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 428/Menkes/SK/XII/2012, (7) Keputusan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Nomor HK. 02.04/I/2790/11 (Nasution, 2013). Nugroho (2012) mengemukakan kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan publik paling tidak mengandung tiga komponen dasar, yaitu (1) tujuan yang hendak dicapai, (2) sasaran yang memenuhi spesific, measurable, aggressive but attanaible, result oriented dan time bound, (3) cara mencapai sasaran tersebut. Cara mencapai sasaran inilah yang sering disebut dengan implementasi, yang biasanya diterjemahkan ke dalam program-program, ke proyek dan ke kegiatan. Aktivitas implementasi ini biasanya terkandung di
Universitas Sumatera Utara
dalamnya : siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan? apa yang mereka kerjakan? apa dampak dari isi kebijakan? Menurut Nugroho (2012), persentase keberhasilan kebijakan terdiri dari 20% rencana, 60% implementasi dan 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena masalahmasalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama, adalah inkonsistensi implementasi. Keberhasilan implementasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Nugroho (2012) yang mengutip pendapat George Edward III, menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication, resources, disposition or attitudes, dan bureaucratic structures. Keempat isu pokok tersebut tidak berdiri sendiri namun saling berkaitan dalam mempengaruhi proses implementasi yang ditinjau dari perspektif pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan dan kelompok penerima manfaat (beneficiaries). Nugroho (2012) mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah sebuah manajemen, mengagendakan pemahaman bahwa kebijakan publik harus dikendali. Pengendalian kebijakan terdiri atas tiga dimensi, yaitu (1) monitoring kebijakan, atau pengawasan kebijakan berupa pemantauan dengan penilaian untuk tujuan pengendalian pelaksanaan agar pelaksanaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, (2) evaluasi kebijakan merupakan penilaian pencapaian kinerja dari implementasi dan, (3) pengganjaran kebijakan bermakna pemberian insentif atau
Universitas Sumatera Utara
disinsentif yang ditetapkan dan diberikan sebagai hasil dari pengawasan dan penilaian yang telah dilakukan.
2.15. Kerangka Berpikir Berdasarkan landasan teori yang telah dijelaskan sebelumnya, maka kerangka berpikir untuk penelitian ini dapat ditunjukkan dalam gambar berikut :
Persiapan Penilaian Akreditasi Rumah Sakit Umum Deli
Implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012
Faktor yang Memengaruhi (Teori George Edwards III) : a. Komunikasi b. Sumber Daya c. Disposisi d. Struktur Birokrasi
Monitoring Tujuan : 1. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Deli 2. Meningkatkan keamanan dan keselamatan dalam pemberian asuhan medis Gambar 2.1. Skema Kerangka Berpikir
Universitas Sumatera Utara
2.16. Fokus Penelitian Penetapan fokus penelitian pada penelitian kualitatif bertujuan untuk membatasi studi, dalam hal ini membatasi penggunaan teori hanya pada yang sesuai dengan masalah yang diteliti dan untuk memenuhi kriteria inklusi seperti perolehan data yang baru di lapangan. Dengan adanya fokus penelitian, maka peneliti akan memiliki panduan data mana yang perlu dikumpulkan dan data mana yang tidak perlu dimasukkan. Menurut Sugiyono (2010), penetapan fokus dapat dilakukan berdasarkan permasalahan penelitian. Dengan mengacu pada permasalahan penelitian, maka peneliti mengarahkan fokus penelitian pada faktor yang mempengaruhi implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 dalam persiapan penilaian akreditasi Rumah Sakit Umum Deli : 1. Faktor Komunikasi a. Transmisi (penyaluran) informasi dalam proses implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012. b. Kejelasan informasi dalam proses implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012. c. Konsistensi informasi dalam proses implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012. 2. Faktor Sumber Daya a. Kecukupan dan keahlian sumber daya manusia dalam proses implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012.
Universitas Sumatera Utara
b. Sumber Daya Anggaran dalam proses implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012. c. Sumber Daya Fasilitas (sarana dan prasarana) dalam proses implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012. d. Sumber Daya Informasi dalam proses implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012. e. Kewenangan yang cukup dalam proses implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012. 3. Faktor Disposisi a. Respon implementor dalam proses implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012. b. Komitmen implementor dalam proses implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012. 4. Faktor Struktur Birokrasi a. Pembentukan dan dasar pemilihan implementor dalam proses implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012. b. Adanya pedoman kerja dalam proses implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012. c. Adanya pembagian tugas implementor dalam proses implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012.
Universitas Sumatera Utara