BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2. 1.
Paritas 2.1.1. Definisi Paritas Kata paritas berasal dari bahasa Latin, pario, yang berarti menghasilkan. Secara umum, paritas didefinisikan sebagai keadaan melahirkan anak baik hidup ataupun mati, tetapi bukan aborsi, tanpa melihat jumlah anaknya. Dengan demikian, kelahiran kembar hanya dihitung sebagai satu kali paritas (Stedman, 1998). Jumlah paritas merupakan salah satu komponen dari status paritas yang sering dituliskan dengan notasi G-P-Ab, dimana G menyatakan jumlah kehamilan (gestasi), P menyatakan jumlah paritas, dan Ab menyatakan jumlah abortus. Sebagai contoh, seorang wanita dengan status paritas G3P1Ab1, berarti wanita tersebut telah pernah mengandung sebanyak dua kali, dengan satu kali paritas dan satu kali abortus, dan saat ini tengah mengandung untuk yang ketiga kalinya.
2.1.2. Klasifikasi Jumlah Paritas Berdasarkan jumlahnya, maka paritas seorang wanita dapat dibedakan menjadi: a.
Nullipara Adalah wanita yang belum pernah melahirkan sama sekali
b. Primipara Adalah wanita yang telah pernah melahirkan sebanyak satu kali c.
Multipara Adalah wanita yang telah melahirkan sebanyak dua hingga empat kali
d.
Grandemultipara Adalah wanita yang telah melahirkan sebanyak lima kali atau lebih
Universitas Sumatera Utara
2. 2.
Menopause 2.2.1. Definisi Menopause Kata menopause diambil dari bahasa Yunani yaitu men yang berarti bulanan dan ausis yang artinya berhenti. Secara umum, menopause didefinisikan sebagai masa dimana terjadinya penghentian menstruasi secara permanen akibat hilangnya aktivitas ovarium (Speroff, 2005). Seorang wanita dikatakan mengalami menopause jika telah mengalami amenorrhea (tidak menstruasi) selama sekurang-kurangnya satu tahun (Sastrawinata, 2005). Menopause merupakan hal yang fisiologis bagi seorang wanita dalam perjalanan hidupnya. Kurun waktu 4 – 5 tahun sebelum menopause disebut masa premenopause, sedangkan kurun waktu 3-5 tahun setelah menopause dikenal sebagai masa pascamenopause. Masa premenopause, menopause dan pascamenopause dikenal sebagai masa klimakterium. Kata klimakterium sendiri diambil dari bahasa Yunani yang artinya tangga dan merupakan masa peralihan antara masa reproduksi dan masa senium. Di masa senium, yaitu masa sesudah pascamenopause, seorang wanita telah mencapai keseimbangan baru dalam kehidupannya sehingga tidak ada lagi gangguan vegetatif maupun psikis (Jacoeb, 2005)
2.2.2. Klasifikasi Menopause Berdasarkan proses terjadinya, menopause dibedakan menjadi menopause
alamiah
(natural)
dan
menopause
buatan (artifisial).
Menopause buatan adalah menopause yang terjadi sebagai akibat prosedur medis seperti pembedahan atau penyinaran. Menopause yang terjadi akibat oophorektomi atau pengangkatan ovarium kadang-kadang dilakukan karena penyakit ovarium, akan tetapi lebih sering dilakukan pada histerektomi yang dilakukan karena suatu sebab dan ovarium sekaligus diangkat sebagai tindakan preventif (Jacoeb, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Selain berdasarkan proses terjadinya, menopause juga dibedakan berdasarkan usia. Usia menopause didefinisikan sebagai usia saat seorang wanita memasuki masa menopausenya. Usia menopause wanita di berbagai belahan dunia cenderung berbeda-beda, karena kondisi hormonal wanita sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan ras. Rata-rata usia menopause juga cenderung berubah dari waktu ke waktu akibat berbagai faktor lain yang mempengaruhinya. Secara umum, rentang usia menopause wanita Indonesia saat ini berkisar antara 44 tahun hingga 52 tahun (Sastrawinata, 2005) Kelainan jadwal menopause dapat mencakup menopause yang terjadi terlalu dini (menopause prematur) maupun menopause yang terlambat. a.
Menopause prematur Menopause yang terjadi sebelum usia 40 tahun disebut sebagai
menopause prematur. Diagnosis menopause prematur dibuat jika terjadi henti haid selama satu tahun disertai dengan gejala panas pada wajah (hot flush) serta meningkatnya kadar hormon gonadotrophin (GnRH) dalam darah. Apabila kedua gejala yang terakhir ini tidak dijumpai, perlu dilakukan penyelidikan terhadap sebab-sebab lain dari terganggunya fungsi ovarium. Shifren (2007) menyatakan bahwa prevalensi menopause prematur di dunia adalah sekitar 1% dan lebih lazim disebut sebagai kegagalan ovarium prematur (premature ovarian failure). Faktor-faktor
yang
dapat
menyebabkan
menopause
prematur
diantaranya herediter, gangguan gizi yang cukup berat, penyakit-penyakit autoimun dan penyakit-penyakit yang merusak jaringan kedua ovarium (Sastrawinata, 2005). b.
Menopause terlambat Batas terjadinya menopause umumnya adalah 52 tahun. Wanita yang
masih mendapatkan haid di atas umur 52 tahun dapat dikatakan mengalami menopause terlambat, dan hal ini merupakan indikasi untuk penyelidikan
Universitas Sumatera Utara
lebih lanjut. Beberapa hal yang dapat menyebabkan menopause terlambat adalah idiopatik, fibromioma uteri maupun tumor ovarium. Shifren (2007) menyatakan bahwa wanita dengan karsinoma endometrium seringkali mengalami menopause terlambat.
2.2.3. Fisiologi Menopause Selama
masa
perkembangan
intrauterin,
sel
germinativum
primordial yang belum berdifferensiasi pada ovarium janin, yakni oogonium membelah diri secara mitosis untuk menghasilkan sekitar enam sampai tujuh juta oogonium sampai bulan ke lima masa gestasi, yaitu sampai masa proliferasi mitosis akhirnya terhenti. Mulai usia kehamilan 7 minggu, beberapa diantara oogonium memulai langkah-langkah awal pembelahan meiosis pertama, tetapi tidak menyelesaikannya. Sel-sel yang terbentuk tersebut kemudian dikenal sebagai oosit primer yang ukurannya jauh lebih besar dengan 46 kromosom replikasi, yang terkumpul dalam pasangan-pasangan homolog namun belum memisah. Oosit primer akan tetap berada dalam keadaan profase meiosis yang terhenti ini selama beberapa tahun sampai mereka dipersiapkan untuk ovulasi di masa pubertas nanti (Sherwood, 2001). Pertumbuhan
ovarium
pada
masa
pranatal
ini
terutama
dikendalikan oleh hormon FSH (Follicle Stimulating Hormone) janin yang dibentuk oleh adenohipofisis janin dalam jumlah yang cukup besar antara minggu ke 16 hingga 24 kehamilan (Sherwood, 2001). Setelah usia kehamilan 17 minggu, setiap oosit primer akan mulai dikelilingi oleh sebuah lapisan sel granulosa untuk membentuk folikel primer. Oosit yang tidak membentuk folikel akan berdegenerasi dan kemudian diserap sehingga saat lahir hanya sekitar satu juta folikel saja yang tersisa, masing-masing berisi satu oosit primer yang mampu menghasilkan sebuah ovum (Jacoeb, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Dengan terhentinya pembelahan oosit primer dalam keadaan profase meiosis, maka dimulailah proses penuaan ovarium, karena sejak saat itu, jumlah folikel yang tersedia saat lahir akan terus berkurang tanpa ada pembentukan oosit atau foilkel yang baru (Jacoeb, 2005; Sherwood, 2001). Sekali berkembang, sebuah folikel akan mengalami salah satu dari dua kejadian. Folikel tersebut akan mencapai kematangan dan berovulasi, atau mengalami degenerasi membentuk jaringan parut, suatu proses yang dikenal sebagai atresia. Sampai masa pubertas, semua folikel yang mulai berkembang mengalami atresia pada tahap-tahap awal tanpa pernah mengalami ovulasi, sehingga menjelang masa pubertas, hanya tersisa 34.000 sampai 40.000 folikel saja. Pada umur 12 tahun, hanya akan tersisa sekitar 15.000 folikel, dan dari jumlah ini, dua pertiganya akan terus berkurang hingga umur 24 tahun. Pada usia 45 tahun, hanya akan dijumpai 1000 folikel saja dan pada masa pasca menopause, boleh dikatakan tidak dijumpai folikel lagi (Jacoeb, 2005; Sherwood, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Jumlah oosit di ovarium dalam berbagai masa kehidupan (dikutip dari Berek and Novak’s Gynecology, 14th ed, 2007)
Masa reproduksi dimulai ketika terjadinya siklus haid ovulatorik. Masa ini ditandai dengan pematangan folikel, ovulasi dan pembentukan korpus luteum. Masa ini akan berkahir dengan hilangnya fungsi generatif dari ovarium. Speroff (2005) menyatakan bahwa menopause terjadi saat jumlah folikel yang tersisa telah berada di bawah ambang kritis persediaan folikel, yaitu sekitar 1000 folikel, tanpa mempermasalahkan usia wanita tersebut. Selama masa reproduksi seorang wanita, dijumpai sekitar 400 folikel saja yang mengalami ovulasi, sedangkan selebihnya, yaitu sekitar
Universitas Sumatera Utara
99,8% dari total simpanan folikel sejak masa intrauterin akan mengalami atresia pada tahap-tahap tertentu perkembangannya (Sherwood, 2001; Speroff, 2005). Menjelang berhentinya haid pada masa menopause, telah terjadi berbagai perubahan struktural pada ovarium seorang wanita, seperti proses sklerosis pembuluh darah dan atresia aparatus folikular terutama sel granulosa
folikel.
Penurunan
fungsi
ovarium
ini
menyebabkan
berkurangnya kemampuan ovarium untuk merespon rangsangan hormon hipofisis FSH dan LH (Luteinizing Hormone). Akibatnya terjadi penurunan produksi estrogen dari ovarium akibat kegagalan fungsi korpus luteum. Terlebih lagi, karena sel granulosa folikel telah mengalami degenerasi, maka produk sekretoriknya, inhibin, juga akan menurun kadarnya dalam darah, padahal estrogen dan inhibin, keduanya memegang peranan penting dalam mekanisme umpan balik aksis hipotalamushipofisis-ovarium (HPO) pada siklus menstruasi seorang wanita (Jacoeb, 2005). Karena aksis HPO ini tetap intak selama masa transisi menopause, penurunan kadar estrogen dan inhibin menyebabkan umpan balik negatif (negative feedback) yang ditujukan dari ovarium ke hipofisis menjadi tidak adekuat. Akibatnya, kadar hormon FSH dan LH akan meningkat tinggi dalam darah. Dari kedua hormon tersebut, ternyata yang paling mencolok peningkatannya adalah FSH yang dapat meningkat hingga 20 kali lipat kadar biasanya (>20 IU/L). Hal ini dikarenakan cepatnya laju bersihan (clearence) LH dari darah, yaitu sekitar 12-15 kali lebih cepat dibandingkan FSH. Oleh karena itu, peningkatan kadar FSH merupakan petunjuk hormonal yang paling baik untuk mendiagnosis sindrom klimakterium. Kadar hormon FSH ini akan terus meninggi sampai memasuki masa senium dimana mulai terjadi atrofi dari uterus, ovarium dan organ-organ tubuh lainnya (Shifren, 2007; Speroff, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Tingginya kadar FSH dalam darah dan sedikitnya jumlah folikel yang tersisa di ovarium menyebabkan fase folikular siklus mestruasi wanita di masa klimakterium menjadi memendek sehingga seringkali pada wanita menjelang masa menopause dijumpai gangguan siklus menstruasi (Shifren, 2007). Perubahan yang paling mencolok pada masa menopause adalah perubahan kadar hormon estrogen dalam darah. Karena selama masa reproduksi seorang wanita, folikel menjadi sumber utama produksi hormon estrogen dan progesteron, maka perubahan struktural dan fungsional dari folikel-folikel yang tersisa di ovarium pada masa menopause menyebabkan kadar hormon estradiol menurun drastis. Tanpa sumber estrogen folikular ini, maka produksi estrogen pada wanita menopause hanya mengandalkan sumber estrogen yang dihasilkan oleh stroma ovarium yang distimulasi oleh FSH dan LH, menghasilkan produk estrogen berupa estrone. Sumber lain yang juga menopang produksi estrogen setelah menopause adalah produksi androstenadione dari kelenjar adrenal yang kemudian akan mengalami aromatisasi di sirkulasi perifer sehingga menghasilkan estrogen yang juga tersedia dalam bentuk estrone. Estrogen yang dihasilkan oleh sumber lain selain dari folikel ini disebut sebagai estrogen non-folikular (Curran, 2009) Proses
aromatisasi
androstenadione
menjadi
estrone
dapat
berlangsung di jaringan adiposa, otot, hepar, tulang, sumsum tulang dan sel fibroblas. Karena kebanyakan proses konversi ini berlangsung di jaringan adiposa, terdapat asumsi bahwa wanita menopause yang mengalami obesitas akan memiliki jumlah estrogen yang sedikit lebih banyak dibandingkan yang tidak obesitas, sehingga muncul anggapan bahwa gejala-gejala menopause akan lebih minim dirasakan oleh mereka yang
obesitas.
Namun
demikian,
penelitian-penelitian
saat
ini
menunjukkan hal ini tidak selamanya benar dan masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut (Curran, 2009)
Universitas Sumatera Utara
2.2.4. Gejala Menopause Kebanyakan gejala-gejala yang timbul pada masa perimenopause dapat dijelaskan patofisiologinya dengan memamahami konsep perubahan kadar hormon-hormon seks dalam tubuh wanita. Kumpulan gejala-gejala menopause yang dikenal sebagai sindrome klimakterik ini dapat berlangsung selama masa perimenopause hingga 5-10 tahun setelah menopause. Beberapa gejala-gejala menopause yang sering dijumpai pada seorang wanita diantaranya adalah gejala vasomotor. Gejala vasomotor atau yang lebih dikenal dengan hot flush adalah perasaan hangat atau panas yang dirasakan mulai dari regio umbilikus dan menyebar ke arah kranial yang diikuti oleh produksi keringat yang sangat banyak di daerah leher dan kepala. Gejala vasomotor ini merupakan keluhan yang paling sering dijumpai pada wanita menopause dan dilaporkan bahwa 75% wanita yang memasuki usia menopause pernah merasakannya (Curran, 2009). Penjelasan mengenai mekanisme terjadinya gejala vasomotor ini masih belum dapat dipahami dengan lebih spesifik. Namun, secara umum diketahui bahwa efek dari berkurangnya produksi estrogen secara mendadak (estrogen withdrawal) dapat menginduksi peningkatan aktivitas serotonin, dopamin dan norepinephrine di hipotalamus sehingga mencetuskan kenaikan set point suhu tubuh. Peningkatan suhu sentral ini akan diikuti oleh peningkatan laju metabolisme yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer sehingga menghasilkan gejala panas dan berkeringat (Shifren, 2007). Gejala vasomotor ini seringkali tidak hanya mengganggu aktivitas sehari-hari, tetapi juga dapat menimbulkan gangguan tidur seperti insomnia. Akibatnya, banyak wanita mengeluhkan emosi yang labil sebagai dampak lebih lanjut dari gejala vasomotor ini (Shifren, 2007). Selain gejala vasomotor dan insomnia, gejala-gejala lain yang sering dikeluhkan wanita pada masa perimenopause ini diantaranya sakit kepala
Universitas Sumatera Utara
ringan, peningkatan berat badan, palpitasi, vertigo, serta perasaan penuh pada perut (Curran, 2009) Di samping gejala-gejala tersebut, dijumpai pula perubahan morfologis dari dinding vagina. Seiring dengan penurunan kadar estrogen, dinding vagina tampak lebih merah dikarenakan penipisan epitel vagina sedemikian sehingga kapiler-kapiler kecil di permukaan vagina menjadi semakin jelas terlihat. Semakin banyak epitel vagina yang mengalami atrofi, lama kelamaan dinding vagina justru tampak semakin pucat akibat berkurangnya vaskularisasi di daerah tersebut. Dijumpai pula keadaan penurunan pH urine yang memudahkan perubahan flora normal sehingga menghasilkan gejala pruritus dan lendir yang berbau (Curran, 2009).
2.2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Usia Menopause Seiring dengan perubahan usia menopause wanita zaman sekarang yang cenderung semakin cepat, banyak penelitian yang gencar dilaksanakan guna mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi usia menopause seorang wanita. Beberapa faktor-faktor tersebut diantaranya: a.
Pengaruh ras dan genetik Sebuah studi epidemiologi yang meneliti usia menopause pada sampel
multietnik menemukan fakta bahwa usia menopause cenderung lebih cepat pada wanita keturunan Jepang dan Latin (Henderson, 2008). Studi lain menemukan adanya riwayat keluarga pada ibu seorang wanita yang mengalami menopause dini (Biela, 2002). Beberapa hasil penelitian telah berhasil mengidentifikasi gen yang turut menentukan usia menopause seorang wanita. Gen tersebut dijumpai pada kromosom 9 quantitative-trait loci. Selain itu, sebuah studi menemukan bahwa pada beberapa wanita dijumpai single nucleotide polymorphism (SNP) yang terletak pada kromosom 19 dan 20 yang telah
Universitas Sumatera Utara
terbukti berkaitan dengan usia menopause yang lebih awal (Stolk, 2009; Kok, 2005; Voorhuis, 2010).
b.
Jumlah Paritas Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara jumlah paritas dengan usia menopause seorang wanita. Keterkaitan ini akan dibahas lebih dalam pada pembahasan selanjutnya.
c. Indeks Massa Tubuh (IMT) Hasil studi menunjukkan bahwa wanita dengan nilai indeks massa tubuh yang lebih rendah cenderung mengalami menopause pada usia yang lebih cepat, dimana wanita dengan IMT yang rendah beresiko 0,6 kali lebih cepat untuk mengalami menopause. Diasumsikan bahwa jaringan adiposa yang lebih banyak pada wanita obesitas memungkinkan proses aromatisasi androgen yang lebih besar pula sehingga kadar estrogen dalam darah cenderung lebih tinggi. Namun begitu, mekanisme mengenai hubungan IMT dengan usia menopause belum dapat dijelaskan secara pasti dikarenakan hasil penelitian yang mengidentifikasi hubungan ini sering berbeda satu sama lain, karena di sisi lain, obesitas juga dapat memicu inadekuasi fungsi ovarium (Gold, 2001; Cooper, 2001).
d.
Usia Menarche Dahulu diasumsikan bahwa wanita yang mengalami menarche lebih
awal akan mengalami menopause di usia yang lebih cepat. Namun asumsi tersebut akhir-akhir ini kembali dipertanyakan karena kebanyakan penelitian sekarang menunjukkan bahwa menarche yang lebih awal justru berkaitan dengan menopause yang lebih lambat. Sungguhpun begitu, keterkaitan antara usia menarche dengan usia menopause ini masih perlu diteliti lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
e.
Kebiasaan Merokok Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu zat aktif dalam rokok,
yaitu polycyclic aromatic hydrocarbon telah terbukti bersifat toksik terhadap folikel-folikel ovarium. Berbagai penelitian menunjukan adanya hubungan dosis-respons (dose-response relationship) dimana perokok berat mengalami usia menopause yang jauh lebih cepat dibanding perokok ringan dan wanita yang tidak merokok. Secara umum, wanita yang merokok
mengalami
menopause
sekitar
dua
tahun
lebih
awal
dibandingkan wanita yang tidak merokok (Hardy, 2000).
f.
Status Sosioekonomi dan Tingkat Pendidikan Walaupun tingkat signifikansi kedua faktor ini dalam mempengaruhi
usia menopause masih bervariasi, didapati data bahwa menopause cenderung terjadi lebih awal pada wanita dengan status sosioekonomi menengah ke bawah dan pada wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah (Hardy, 2000).
g.
Pola Makan Harian Sebuah penelitian yang dilakukan pada wanita di Shanghai
menemukan bahwa total asupan kalori, lemak dan serat memiliki hubungan dengan usia menopause seorang wanita. Ditemukan juga fakta bahwa konsumsi teh harian dapat memperpanjang durasi masa reproduksi seorang wanita (Dorjgochoo, 2008).
2.2.6. Penyakit-Penyakit yang Berkaitan dengan Menopause Seperti telah lama diketahui, hormon estrogen tidak hanya memegang peranan penting dalam siklus reproduksi seorang wanita, tetapi juga memiliki keterkaitan dengan berbagai jenis penyakit, diantaranya:
Universitas Sumatera Utara
a.
Osteoporosis Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Secara umum, osteoporosis dibedakan menjadi dua jenis, yaitu osteoporosis tipe 1 dan osteoporosis tipe 2. Osteoporosis tipe 1 disebut juga sebagai osteoporosis pascamenopause
yang
tidak
diketahui
penyebabnya,
sedangkan
osteoporosis tipe 2 disebut sebagai osteoporosis senilis, yang penyebabnya bekaitan dengan gangguan absorpsi kalsium di usus. Dalam kaitannya dengan menopause, estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang sangat penting, dimana sel-sel tulang
seperti
osteoblast,
osteoklast
dan
osteosit
sama-sama
mengekspresikan reseptor estrogen (ER). Hormon estrogen berperan dalam menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6, dan TNFα yang berperan meningkatkan kerja osteoklast. Dengan demikian, penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoklast meningkat (Curran, 2009). Selain terkait dengan aktivitas osteoklast, menopause juga akan menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Di samping itu, menopause juga menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa 1, 25 (OH)2 D yang sangat penting dalam regulasi kadar kalsium tubuh. Pada akhirnya, kesemua keadaan ini akan mengakibatkan penurunan
signifikan densitas
massa
tulang
dan
mencetuskan osteoporosis. Interpretasi lebih lanjut dari keadaan ini berarti usia menopause yang lebih cepat memungkinkan seorang wanita memiliki resiko fraktur yang jauh lebih besar pula (Setiyohadi, 2006).
Universitas Sumatera Utara
b.
Penyakit Jantung Koroner Sebelum
memasuki
usia
menopause,
resiko
seorang
wanita
mengalami penyakit jantung koroner (PJK) adalah sepuluh tahun lebih lambat dibandingkan pria. Namun, begitu memasuki masa menopause, wanita cenderung memiliki resiko PJK yang sama besar dengan pria. Akibatnya, angka kematian wanita pascamenopause yang diakibatkan oleh PJK terus meningkat seiring bertambahnya usia (Curran, 2009). Hal ini dapat dijelaskan dengan memahami kembali efek protektif yang dimiliki estrogen dalam mencegah penyakit-penyakit kardiovaskular. Estrogen telah terbukti dapat menurunkan kadar low-density lipoprotein (LDL) dan meningkatkan kadar high-density lipoprotein (HDL). Dengan demikian, penurunan kadar estrogen pada wanita menopause akan mengubah kadar kedua jenis kolesterol tersebut sehingga meningkatkan resiko terjadinya plak atherosklerosis pada tunika intima arteri yang berujung pada penyakit jantung koroner (Curran, 2009). Dengan demikian, menopause yang lebih dini pada seorang wanita akan membuat wanita tersebut beresiko jauh lebih besar untuk mengalami mortalitas akibat penyakit jantung koroner (Estiaghi, 2010).
c.
Alzheimer Alzheimer merupakan penyebab tersering dari kejadian demensia
pada usia lanjut yang ditandai dengan penurunan kemampuan memori (daya ingat) dan fungsi luhur lainnya. Sediaan histopatologis dari preparat pasien yang mengalami demensia menunjukkan adanya neurofibrilatory tangles dan akumulasi beta amyloid yang diduga mencetuskan kejadian demensia
ini.
Terkait
dengan hal
ini,
estrogen memiliki
efek
memperlambat proses degenerasi sel-sel neuron di otak dengan mengurangi radikal bebas sehingga menjadi salah satu faktor protektif terhadap Alzheimer (Curran, 2009). Dengan kata lain, percepatan usia menopause pada seorang wanita akan menjadikannya lebih rentan mengalami Alzheimer.
Universitas Sumatera Utara
d.
Kanker Payudara Telah banyak hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan
antara usia menopause dengan kejadian kanker payudara. Berbeda dengan penyakit-penyakit yang telah dipaparkan di atas, estrogen justru cenderung menjadi faktor resiko tersendiri pada penyakit kanker payudara, dimana wanita dengan menopause yang lebih lama memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami kanker payudara. Suatu hasil penelitian menunjukan bahwa wanita yang mengalami menopause di atas usia 55 tahun memiliki resiko dua kali lebih besar untuk menderita kanker payudara dibandingkan mereka yang mengalami menopause di bawah umur 45 tahun. Besarnya resiko akan semakin meningkat jika wanita tersebut menjalani terapi sulih hormon (hormone replacement therapy) setelah memasuki masa menopausenya (Curran, 2009). Mekanisme yang dapat menjelaskan keadaan ini adalah usia menarche yang lebih cepat dan usia menopause yang lebih lambat akan membuat wanita terpapar jauh lebih lama dengan kadar estrogen yang sangat tinggi yang dapat menstimulasi proliferasi jaringan payudara sehingga akhirnya mencetuskan kanker payudara. Sungguhpun demikian, perlu dipahami kembali bahwa kanker payudara adalah suatu penyakit multifaktorial yang tidak hanya ditentukan semata-mata oleh usia menopause, tetapi juga oleh banyak faktor lain seperti pengaruh genetik dan paparan dengan zat karsinogenik.
2.3.
Hubungan Jumlah Paritas dengan Usia Menopause Sejak kelahiran seorang wanita, folikel-folikel primordial yang
semula dorman akan terus menerus diaktivasi menjadi persediaan folikel yang akan berkembang (growing follicle pool). Proses ini dikenal sebagai initial recruitment. Saat seorang wanita memasuki masa pubertas, sejumlah folikel akan diaktivasi dari follicle pool tersebut sebagai respon terhadap kehadiran hormon FSH di tiap-tiap siklus reproduksi. Dari
Universitas Sumatera Utara
folikel-folikel tersebut, hanya satu yang akan mengalami ovulasi, sementara folikel lainnya mengalami atresia (Kevenaar, 2007). Proses initial recruitment tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah Anti-Mullerian Hormone (AMH) yang reseptornya dijumpai di sel-sel granulosa yang menyelubungi sebuah folikel. Dalam hal ini, AMH memegang peranan sebagai inhibitor proses initial recruitment, sehingga ketiadaan AMH akan membuat habisnya persediaan dalam follicle pool secara prematur dan mencetuskan menopause yang terlalu dini (Kevenaar, 2007; Hansen, 2008). Menjelang berhentinya haid pada masa menopause, telah terjadi berbagai perubahan struktural pada ovarium seorang wanita seiring dengan proses penuaan, seperti proses sklerosis pembuluh darah dan atresia aparatus folikular terutama sel granulosa folikel. Keseluruhan perubahan ini dikenal sebagai ovarian ageing. Penurunan fungsi ovarium ini menyebabkan berkurangnya kemampuan ovarium untuk merespon rangsangan hormon hipofisis FSH dan LH, padahal kedua hormon inilah yang sebenarnya menstimulasi proses ovulasi seorang wanita. Penurunan sensitivitas folikel terhadap hormon FSH dan LH ini pada akhirnya akan membuat lebih banyak lagi folikel yang mengalami atresia dengan lebih cepat sehingga mencetuskan keadaan menopause (Broekmans, 2009; Wu, 2005). Sebuah studi hewan coba menemukan bahwa AMH tidak hanya menginhibisi proses initial recruitment, tetapi juga meningkatkan sensitivitas folikel terhadap kehadiran hormon FSH di jaringan ovarium mencit. Jika diasumsikan hal yang sama juga dijumpai pada manusia, maka kehadiran hormon AMH akan memperlambat usia menopause seorang wanita. Berkaitan dengan hal tersebut, sebuah penelitian menemukan bahwa pengaruh paritas terhadap usia menopause dikendalikan oleh reseptor hormon AMH yang dikenal sebagai AMHR2 – 482 A>G polymorphism. Seiring dengan perubahan hormonal menjelang paritas,
Universitas Sumatera Utara
kadar progesterone yang sangat tinggi terbukti meningkatkan ekspresi reseptor AMH tersebut di jaringan. Terlebih lagi, tingginya kadar prolaktin juga mempotensiasi efek up regulation reseptor AMHR2 tersebut (Kevenaar, 2007). Tingginya jumlah reseptor AMH ini pada akhirnya akan memperkuat efek inhibisi proses initial recruitment dari folikel primordial sehingga memperlambat kejadian menopause. Karena paritas akan menstimulasi proses up regulation tersebut, maka peningkatan jumlah paritas juga akan memperlambat usia menopause. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan teori tersebut. Sebuah studi yang membandingkan usia menopause pada nullipara dengan multipara menemukan wanita nullipara berpotensi mengalami menopause 16 bulan lebih cepat (p < 0,10) dibandingkan dengan multipara (Bromberger, 1997). Menguatkan hasil penelitian tersebut, sebuah studi kohort menyatakan bahwa perbedaan usia menopause yang terjadi antara nullipara dengan multipara berkisar 0,4 – 4,8 tahun lebih cepat (p = 0,005) untuk wanita nullipara (Kevenaar, 2007). Dalam sebuah penelitian lintas negara, Thomas (2001) menyatakan bahwa besarnya angka korelasi antara jumlah paritas dengan usia menopause adalah 0,664 (p = 0,0054). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi ini ternyata menunjukkan hubungan yang sinergis dimana jumlah paritas yang semakin banyak berkaitan dengan usia menopause yang juga semakin lama (Gold, 2001). Sungguhpun demikian, sebuah penelitian cross sectional yang dilakukan pada wanita ras Chuvasian di Amerika Utara menemukan bahwa hubungan ini tidak cukup signifikan (Kalichman, 2007). Oleh karena itu, masih diperlukan studi lanjutan untuk menguji hubungan antara jumlah paritas dengan usia menopause.
Universitas Sumatera Utara