4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan
terhadap
suatu
objek,
baik
melalui
indra
penglihatan,pendengaran, penciuman, rasa, dan raba (Notoatmodjo, 2005). 2.1.2. Tingkatan Pengetahuan Dalam Domain Kognitif Pengetahuan mempunyai enam tingkatan (Notoatmodjo, 2005), yaitu : a. Tahu Suatu keadaan dimana seseorang dapat mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. b. Paham Diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang mampu menjelaskan dengan benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. c. Aplikasi Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. d. Analisis Kemampuan untuk menjabarkan suatu obyek ke dalam komponenkomponen yang masih dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain, misalnya mengelompokkan dan membedakan. e. Sintesis Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f. Evaluasi Kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Universitas Sumatera Utara
5
2.2. Sikap 2.2.1. Definisi Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulasi atau obyek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu (Notoatmodjo, 2005). 2.2.2 Komponen Sikap a. Kognitif (cognitive) Berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Sekali kepercayaan itu telah terbentuk maka ia akan menjadi dasar seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari obyek tertentu. b. Afektif (affective) Menyangkut masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap. Secara umum komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki obyek tertentu. c. Konatif (conative) Komponen kognitif atau komponen perilaku dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku dengan yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapi (Notoatmodjo, 2005). 2.2.3. Tingkatan Sikap Berbagai tingkatan menurut Notoatmodjo (2005) tediri dari: a. Menerima (Receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). b. Merespon (Responding) Memberikan
jawaban apabila ditanya,
mengerjakan
sesuatu
dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. c. Menghargai (Valuting)
Universitas Sumatera Utara
6
Mengajak orang lain untuk mengerjakan/mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap. d. Bertanggung jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi. 2.3. Perilaku Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup
mulai
tumbuh-tumbuhan,
binatang
sampai
dengan
manusia
itu
berperilaku,karena mereka mempunyai aktifitas masing-masing (Notoatmodjo, 2005).
2.4. Penyakit jantung koroner 2.4.1. Definisi Penyakit jantung koroner (PJK) ialah penyakit jantung akibat obstruktif pada pembuluh darah koroner yang menyebabkan fungsi jantung terganggu. Sebab utama dari PJK adalah proses aterosklerosis, dimana prosesnya sudah mulai sejak saat lahir dan merupakan suatu proses yang progresif dengan terbentuknya plaque pada dinding arteri dan menyebabkan sirkulasi koroner terganggu.
Gangguan
pada
aliran
darah
koroner
mengakibatkan
ketidakseimbangan antara penyediaan oksigen dalam darah dengan kebutuhan miokard, sehingga menimbulkan gejala-gejala klinik (Lilly et al, 2011). 2.4.2 Sirkulasi koroner Efisiensi jantung sebagai pompa tergantung dari nutrisi dan oksigenasi otot jantung. Sirkulasi koroner meliputi seluruh permukaan jantung, membawa oksigen dan nutrisi ke miokardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil-kecil (Snell, 2012). 1) Arteria koronaria Arteria koronaria adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik. Muara arteria koronaria ini terdapat di dalam sinus valsava dalam aorta, tepat di atas katup aorta. Sirkulasi koroner terdiri dari arteria koronaria kanan dan kiri. Arteria
Universitas Sumatera Utara
7
koronaria kiri mempunyai dua cabang besar, arteria desendens anterior kiri dan arteria sirkumfleksa kiri.
Gambar 2.1. Anatomi arteri koronaria
Setiap pembuluh utama mencabangkan pembuluh epikardial dan intramiokardial yang khas. Arteria desendens anterior kiri membentuk percabangan septum yang memasok dua pertiga bagian anterior septum, dan cabang-cabang diagonal yang berjalan di atas permukaan anterolateral dari ventrikel kiri, permukaan posterolateral dari ventrikel kiri diperdarahi oleh cabang-cabang marginal dari arteria sirkumfleksa. Jalur-jalur anatomis ini menghasilkan suatu korelasi antara arteria koronaria dan penyediaan nutrisi otot jantung. Pada dasarnya arteria koronaria dekstra memberikan darah ke atrium kanan, ventrikel kanan dan dinding inferior ventrikel kiri. Arteria sirkumfleksa sinistra memberikan darah pada atrium kiri dan dinding posterolateral ventrikel kiri. Arteria desendens anterior kiri memberikan darah ke dinding depan ventrikel kiri yang massif (Snell, 2012). 2.4.3. Faktor – faktor risiko
Universitas Sumatera Utara
8
Aterosklerosis bukan merupakan akibat proses penuaan saja. Timbulnya “bercak-barcak lemak” pada dinding arteria koronaria bahkan sejak masa kanakkanak sudah merupakan fenomena alamiah dan tidak selalu harus menjadi lesi aterosklerotik. Sekarang dianggap bahwa terdapat banyak faktor yang saling berkaitan dalam mempercepat proses aterogenik. Telah ditemukan beberapa faktor yang dikenal sebagai faktor risiko yang meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya aterosklerosis koroner pada individu tertentu (Price & Wilson, 2011).
Tabel 2.1. Faktor risiko PJK Faktor risiko yang tidak Faktor risiko yang dapat Faktor lainnya yang dapat dapat
diubah
(non diubah (modifiable)
menyebabkan PJK
modifiable) Umur
Merokok
Jenis kelamin Keturunan (termasuk ras)
Tinggi kolesterol dalam darah Hipertensi
Stress Alkohol Diet dan nutrisi
Kurang aktivitas fisik Obesitas dan berat badan berlebih Diabetes
Ada empat faktor risiko biologis yang tak dapat diubah, yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Kerentanan terhadap aterosklerotik koroner meningkat dengan bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lama paparan yang lebih panjang terhadap faktor-faktor aterogenik. Wanita agaknya relative kebal terhadap penyakit ini sampai setelah menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia sebelum menopause. Peningkatan kemungkinan timbulnya aterosklerosis premature bila riwayat keluarga positif terhadap PJK yaitu, saudara atau orang tua
Universitas Sumatera Utara
9
yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun. Besarnya pengaruh genetik dan lingkungan masih belum diketahui. Komponen genetik dapat dikaitkan pada beberapa bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya, seperti pada gangguan lipid familial. Tetapi, riwayat keluarga dapat pula mencerminkan komponen lingkungan yang kuat, seperti misalnya gaya hidup yang menimbulkan stress atau obesitas. Faktor-faktor risiko tambahan lainnya masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat diubah dan memperlambat proses aterogenik (Price dan Wilson, 2011). 2.4.3.1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah (non modifiable) 1) Umur Aterosklerosis merupakan penyakit yang mengikuti pertambahan umur dan seluruh faktor- faktor yang menyertainya, umur mempunyai hubungan yang kuat. Fatty streak muncul di aorta pada akhir dekade awal umur seseorang dan terdapat progresi pengerasan dari aterosklerosis pada sebagian besar arteri dengan bertambahnya
umur.
Sehubungan
dengan
konsep
terkini
pathogenesis
aterosklerosis, terdapat respon inflamasi fibroproliferatif terhadap suatu injury dalam proses degeneratif yang berhubungan dengan usia. Jantung ketika usia tua cenderung tidak bekerja dengan baik. Dinding-dinding jantung akan menebal dan arteri dapat menjadi kaku dan mengeras, membuat jantung kurang mampu memompa darah ke otot-otot tubuh. Karena perubahan ini, risiko perkembangan penyakit kardiovaskular meningkat dengan bertambahnya usia, karena hormon seks mereka, perempuan biasanya dilindungi dari penyakit jantung sampai menopause, dan kemudian meningkatkan risiko mereka. Risiko aterosklerosis meningkat setelah usia 45 pada pria dan setelah usia 55 tahun pada wanita. Perempuan dengan umur 65 tahun atau lebih tua memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang sama dengan laki-laki dari usia yang sama (Price dan Wilson, 2011). Hubungan antara umur dan ketebalan rata-rata dari tunika intima dan media dari arteri karotis komunis meningkat 0.007mm/tahun, 0.037mm/tahun pada arteri karotis interna, faktor risiko framingham meningkat 28.6% dan 27.5% untuk arteri karotis komunis dan arteri karotis interna. Umur dan jenis kelamin
Universitas Sumatera Utara
10
berkontribusi sekitar 23.5% untuk arteri karotis komunis dan sekitar 22.5% untuk arteri karotis interna. Peningkatan tekanan darah sistolik juga meningkat sekitar 1.9% untuk arteri karotis komunis, dan kebiasaan merokok meningkatkan risiko 1.6% dalam meningkatkan ketebalan arteri karotis interna. Masing-masing ketebalan lapisan tunika intima dan median dalam setiap arteri koroner menjadi faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner (Polak et al, 2010). Selain faktor umur dan ketebalan tunika intima dan media dari arteri karotis interna terhadap kejadian penyakit jantung koroner juga mempunyai kecendrungan untuk terjadinya stroke iskemik pada pasien yang berumur dibawah 45 tahun (Fromm et al. 2014). 2) Jenis Kelamin Penyakit aterosklerotik secara umum sedikit terjadi pada perempuan, namun perbedaan tersebut menjadi sedikit menonjol pada dekade akhir terutama masa menopause. Hal ini dimungkinkan karena hormon esterogen bersifat sebagai pelindung. Terdapat beberapa teori yang menerangkan perbedaan metabolisme lemak pada laki-laki dan perempuan seperti tingginya kadar kolesterol HDL dan besarnya aktifitas lipoprotein lipase pada perempuan, namun sejauh ini belum terdapat jawaban yang pasti. Secara keseluruhan, pria memiliki risiko lebih tinggi serangan jantung dibandingkan wanita. Tetapi perbedaan menyempit setelah perempuan menopause. Setelah usia 65, risiko penyakit jantung hampir sama tiap jenis kelamin ketika memiliki faktor-faktor risiko lain yang serupa (Robbin et al. 2012). 3) Keturunan (ras) Penyakit jantung koroner banyak ditemukan disebagian besar negara maju, jauh lebih jarang di Amerika Tengah dan Selatan, Afrika, dan Asia. Angka kematian untuk PJK di Amerika Serikat termasuk yang paling tinggi di dunia dan enam kali lebih besar dari pada angka di Jepang. Yang menarik, orang Jepang yang bermigrasi ke Amerika Serikat dan mengadopsi gaya hidup baru merak mendapat predisposisi mengidap PJK yang khas untuk populasi Amerika. Predisposisi familial aterosklerosis dan PJK kemungkinan beasar bersifat poligenik. Pada
Universitas Sumatera Utara
11
sebagian kasus, predisposisi tersebut berkaitan dengan berkumpulnya sekelompok faktor risiko lain (Robbin et al. 2012). Pada sebuah studi yang dilakukan pada populasi masyarakat di Eropa di dapati beberapa faktor genetik yang dimiliki oleh orang di Eropa yaitu rs4888378 di lokus BCAR1-CFDP1-TMEM170A di kromosom 16 sebagai penentu kode gentik yang memiliki ketebalan tertentu dari lapisan tunika intima dan tunika media di pembuluh darah arteri yang berdampak sebagai faktor risiko dari penyakit jantung koroner (Gertow et al, 2012). Penelitian membuktikan bahwa terdapatnya hubungan yang erat antara penyakit ginjal kronis pada pasien diabetes melitus untuk terjadinya penyakit jantung koroner, hal ini berhubungan juga pada orang yang mempunyai gen alpha-1-kinase yang cendrung untuk terjadinya penyakit ginjal kronis pada pasien diabetes melitus. Secara tidak langsung adanya hubungan gen alpha-1-kinase sebagai faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner (Fujimaki et al, 2013). 2.4.3.2. Faktor risiko mayor dapat diubah (modifiable) 1) Merokok Merokok tembakau atau perokok pasif dlm jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko PJK dan serangan jantung. Merokok memicu pembentukan plak pada arteri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko PJK dengan cara menurunkan level kolesterol HDL. Semakin banyak merokok semakin besar risiko terkena serangan jantung. Studi menunjukkan jika berhenti merokok maka akan menurunkan setengah dari risiko serangan jantung selama setahun. Keuntungan berhenti merokok terjadi tidak peduli seberapa lama merokok atau seberapa banyak merokok (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2013). 2) Tinggi kolesterol dalam darah Hiperlipidemia adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar satu atau lebih lipid atau lipoprotein plasma. Oleh karena abnormalitas dapat juga disebabkan karena rendahnya kadar lipid tertentu, maka istilah yang dianjurkan adalah dislipidemia. Dislipidemia sendiri adalah suatu kelainan metabolisme lipid
Universitas Sumatera Utara
12
yang ditandai oleh adanya suatu kenaikan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, trigliserid, kolesterol LDL, dan penurunan kadar kolesterol HDL.Klasifikasi dislipidemia dapat berdasarkan atas primer yang tidak jelas suatu etiologinya dan sekunder yang memiliki penyakit dasar seperti pada sindroma nefrotik,diabetes melitus, hipotiroidisme.Selain itu dislipidemia dapat juga dibedakan berdasarkan profil lipid yang menonjol,seperti : hiperkolesterelomi, hipertrigliseridemia, isolated low HDL-cholesterol dan dislipidemia campuran, bentuk yang paling terakhir yang paling banyak ditemukan (Sudoyo et al, 2009). Kapan disebut lipid normal, sebenarnya sulit dipatok pada satu angka, oleh karena normal untuk seseorang belum tentu normal buat orang lain yang disertai faktor risiko koroner multiple (Sudoyo et al, 2009). National Cholesterol Education Program Adult Panel III (NCEP-ATP III) membuat batasan yang dapat digunakan secara umum tanpa melihat faktor risiko koroner seseorang (Tabel 2.2.).
Tabel 2.2. Kadar Lipid Serum Normal Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserid menurut NCEP ATP III 2001 mg/dl Kolesterol total
Keterangan
<200
Optimal
200-239
Diinginkan
≥240
Tinggi
Kolesterol LDL
Keterangan
<100
Optimal
100-129
Mendekati optimal
130-159
Diinginkan
160-189
Tinggi
≥190
Sangat tinggi
Universitas Sumatera Utara
13
Kolesterol HDL <40
Rendah
≥60
Tinggi
Trigliserid <150
Optimal
150-199
Diinginkan
200-499
Tinggi
≥500
Sangat tinggi
Asam lemak trans dihasilkan dari proses hidrogenasi lemak tak jenuh atau melalui proses biohidrogenasi di perut dari hewan ruminansia. Vanaspati ghee dan margarin memiliki kadar asam lemak trans yang tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan dari konsumsi asam lemak trans dengan peningkatan risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Peningkatan ini karena asam lemak trans meningkatkan rasio kolesterol LDL. Food and Agriculture Organization of
the United Nations dan World Health Organization
merekomendasikan untuk menurunkan konsumsi asam lemak trans dalam makanan sehari-hari sebanyak 4%. Tingginya prevalensi penyakit jantung koroner di Pakistan akibat dari tingginya konsumsi vanaspati ghee yang terdiri dari asam lemak trans sebanyak 14.2-34.3% yang bisa menjadi salah satu faktor risiko meningkatnya PJK di Pakistan. Riset lain membuktikan bahwa terjadi penurunan kejadian PJK di Asia bagian selatan dengan mengonsumsi rendah asam lemak trans. Riset di Denmark dalam periode 20 tahun terjadi penurunan insiden PJK sekitar 50% akibat mengonsumsi rendah asam lemak trans (Iqbal, 2014). Dalam studi yang dilakukan di Finlandia, fatty liver meningkatkan terjadinya penyakit jantung koroner sebagai salah satu faktor risiko yang terjadi pada usia muda, disamping terdapatnya faktor risiko lain seperti kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, tingginya kadar kolesterol LDL, indeks masa tubuh yang abnormal dan hipertensi (Pisto et al, 2014).
Universitas Sumatera Utara
14
3) Hipertensi Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial atau hipertensi primer untuk membedakan dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang diketahui. Hipertensi esensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi (Sudoyo et al, 2009). Klasifikasi hipertensi pada orang dewasa menurut The Eight report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 8) terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat 2 (Tabel 2.3.).
Tabel 2.3. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 8 Klasifikasi tekanan darah
Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik (mmHg)
(mmHg)
Normal
<120
<80
Prehipertensi
120-139
80-90
Hipertensi derajat 1
140-159
90-99
Hipertensi derajat 2
≥160
≥100
Mekanisme kerusakan vaskular pada hipertensi. Naiknya tekanan darah, sistolik maupun diastolik, meningkatnya risiko dari berkembangnya proses aterosklerosis, penyakit jantung koroner, dan stroke. Hubungan naiknya tekanan darah dengan kejadian penyakit jantung koroner tidak berdampak langsung, namun akibat dari lamanya tekanan darah yang meninggi dari normal. Tingginya tekanan sistolik berdampak langsung dari pada tingginya tekanan diastolik, khususnya pada orang tua. Hipertensi bisa mempercepat proses ateroskeloris melalui beberapa mekanisme. Studi yang dilakukan pada hewan
Universitas Sumatera Utara
15
percobaan menunjukkan kerusakan endotelium pembuluh darah akibat naiknya tekanan
darah
dan
meningkatkan
permeabilitas
pembuluh
darah
yang
mengakibatkan lipoprotein mudah melewatinya. Selain itu, meningkatnya hemodinamik stress menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah melalui mekanisme
menambah
reseptor
scavenger
pada
makrofag,
kemudian
meningkatkan perkembangan sel busa. Ketengangan dinding pembuluh darah meningkat pada hipertensi yang berdampak pada peningkatan sel otot polos memproduksi proteoglikan dan berikatan dengan partikel LDL, meningkatkan akumulasi pada tunika intima dan perubahan proses oksidatif. Ang II sebagai mediator inflamasi bertindak tidak hanya sebagai vasokonstriktor tapi juga sebagai stimulasi terbentuknya stress oksidatif melalui mekanisme aktivasi NADPH oksidase, anion superoksida, dan sebagai sitokin proinflamasi (Lilly, 2011). 4) Aktifitas fisik Aktifitas fisik mengurangi aterogenesis melalui beberapa cara, hal ini ditandai dari keadaan lipid profil dan tekanan darah, olahraga meningkatkan sensitifitas dari insulin dan produksi NO oleh sel endotel. Sebuah studi yang dilakukan pada laki-laki dan perempuan dengan aktifitas fisik yang cukup seperti berjalan kaki minimal 30 menit per hari dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner (Lilly, 2011). Sebuah studi yang dilakukan di Denmark oleh sebuah Departemen Kardiologi Rumah Sakit Universita Bispebjerg Denmark dengan lama penelitan dari tahun 1976 sampai 2003 menunjukan bahwa aktifitas fisik selama 30 menit perhari dengan olah raga jalan kaki dan 20 menit olah raga berat menurunkan risiko terjadinya gagal jantung dan penyakit jantung koroner (Saevereid, Schnohr, & Prescott, 2014). 5) Berat badan lebih dan obesitas Berat badan lebih dan obesitas mengacu pada berat badan yang berlebihan daripada yang dinilai sehat untuk tinggi yang sesuai. Lebih dari dua per tiga orang Amerika dewasa memiliki berat badan lebih, dan hampir sepertiga tersebut obesitas. Penentuan berat badan lebih untuk anak-anak dan remaja berbeda
Universitas Sumatera Utara
16
dengan dewasa. Anak-anak masih tumbuh, dan kematangan anak laki-laki dan perempuan pada keadaan yang berbeda (Sudoyo, 2009). Obesitas adalah suatu keadaan dimana ditemukan adanya kelebihan lemak dalam tubuh. Ukuran untuk menentukan seorang obes atau berat badan lebih adalah berdasarkan berat badan dan tinggi badan yaitu indek massaa tubuh (IMT) berdasarkan berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter pangkat dua (BB kg/ TB m2 ) (Sudoyo, 2009). Tahun 2004 WHO membuat klasifikasi berat badan berdasarkan IMT yang dibagi menjadi BB kurang, normal dan lebih (tabel 4), oleh karena rata-rata BB orang Eropa / Amerika serikat lebih tinggi dibandingkan orang Asia, maka pada tahun 2000 telah disusun pula oleh WHO klasifikasi IMT yang dianggap sesuai dengan orang Asia (Tabel 2.4.). Tabel 2.4. Klasifikasi Internasional untuk dewasa berat badan kurang, berat badan lebih dan obesitas menurut IMT, WHO 2004 IMT (kg/m2) Klasifikasi cut-off points utama cut-off points tambahan Berat badan kurang
<18.50
<18.50
Sangat kurus
<16.00
<16.00
Sedang
16.00 - 16.99
16.00 - 16.99
Ringan
17.00 - 18.49
17.00 - 18.49
Normal
18.50 - 24.99
18.50 - 22.99 23.00 - 24.99
Berat Badan Lebih
≥25.00
≥25.00
Pre-obesitas
25.00 - 29.99
25.00 - 27.49 27.50 - 29.99
Obesitas
≥30.00
≥30.00
Obesitas I
30.00 - 34.99
30.00 - 32.49 32.50 - 34.99
Obesitas II
35.00 - 39.99
35.00 - 37.49
Obesitas III
≥40.00
≥40.00
Universitas Sumatera Utara
17
Tabel 2.5. Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar perut menurut kriteria Asia Pasifik menurut WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective : Redefining Obesity and its Treatment (2000) Risiko Ko-Morbiditas Klasifikasi
IMT (kg/m2)
Lingkar Perut < 90cm (Laki-laki)
≥ 90cm (Laki-laki)
<80cm(Perempuan) ≥80cm(Perempuan)
Berat Badan Kurang
Kisaran Normal
Rendah (risiko < 18,5
meningkat pada
Sedang
masalah klinis lain)
18,5 – 22, 9
Berat Badan
Sedang
Meningkat
≥ 23,0
Lebih Berisiko
23,0 – 24,9
Meningkat
Moderat
Obes I
25,0 – 29,9
Moderat
Berat
Obes II
≥ 30,0
Berat
Sangat Berat
Distribusi lemak dalam tubuh kita terdapat dua jenis penimbunan lemak yaitu: ginekoid dan android. Bentuk ginekoid adalah penimbunan lemak terutama dibagian bawah tubuh (bokong) sedangkan penimbunan lemak dibagian perut disebut bentuk android atau lebih dikenal dengan obesitas sentral/obesitas viseral. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan erat antara obesitas sentral dan faktor resiko penyakit kardiovaskuler yang tergolong dalam sindroma metabolik yaitu diabetes mellitus tipe 2, toleransi glukosa terganggu, hipertensi dan dislipidemia. Penurunan berat badan dengan diet, olahraga dan obat dapat memperbaiki profil lipid dan kendali glikemi yang lebih baik (Sudoyo, 2009).
Universitas Sumatera Utara
18
Dalam hal ini berat badan lebih dan obesitas dapat meningkatkan risiko terjadinya PJK dan serangan jantung. Hal ini dikarenakan berat badan lebih dan obesitas dihubungkan dengan faktor risiko PJK lainnya, seperti tinggi kolesterol dalam darah, trigliserid, hipertensi, dan diabetes (Sudoyo, 2009). Sebuah studi yang dilakukan pada anak-anak Estonian didapatkan hasil bahwa terdapat hasil yang signifikan penurunan akumulasi lemak dibagian tubuh bawah dengan perbandingan umur dan berat badan yang ideal (Wallner-Liebmann et al, 2012). 6) Diabetes Mellitus DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT seringkali berhubungan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT seringkali berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) atau kadar glukosa darah puasa (GDP) dengan puasa paling sedikit 8 jam, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) stándar, setelah pembebanan glukosa 75 gr orang dewasa atau 1,75 gr/kgBB untuk anak-anak, kemudian diperiksa kadar glukosa darahnya setelah 2 jam beban glukosa (Sudoyo, 2009).
Universitas Sumatera Utara
19
Tabel 2.6. Kadar GDS dan GDP sebagai patokan penyaring dan diagnostik Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl) Bukan DM
Belum
Pasti DM
DM
Kadar GDS
Plasma vena
<100
100-199
≥200
(mg/dl)
Darah kapiler
<9
90-199
≥200
Kadar GDP
Plasma vena
<100
100-125
≥126
(mg/dl)
Darah kapiler
<90
90-99
≥100
Kriteria diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa bila kadar GDS (plasma vena)≥ 200 mg/dl atau kadar GDP ≥ 126 mg/dl atau kadar gluko sa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah minum larutan glukosa 75 gram pada TTGO. Individu dengan DM mudah terjadi penyakit yang berhubungan dengan aterosklerosis, dan diyakini bahwa lebih dari dua pertiga kematian pasien DM akibat penyakit arterial (Sudoyo, 2009). Predisposisi pasien diabetes untuk aterosklerosis berhubungan dengan proses non-enzimatik glikasi dari lipoprotein yang meningkatkan ambilan kolesterol oleh reseptor scavenger di makrofag atau kecendrungan protrombotik dan fase antifibrinolitik. Diabetes mempengaruhi fungsi dari endotel pembuluh darah dengan menurunkan bioavaibilitas NO dan meningkatkan perlengketan leukosit. Mengontrol kadar gulah darah pasien diabetes menurunkan risiko untuk komplikasi mikrovaskular seprti retinopati dan nefropati. Penelitian sebelumnya juga membuktikan bahwa menurunkan faktor risiko komplikasi makrovaskular seperti penyakit jantung koroner dan stroke. Pada pasien dengan diabetes tipe I dengan pengobatan yang intensif dan pemberian obat anti diabetes serta
Universitas Sumatera Utara
20
mengontrol hipertensi dan dislipidemia menurunkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner dan stroke (Fauci et al, 2011).
2.4.3.3. Faktor lainnya yang dapat menyebabkan PJK 1) Stress Stress dan ansietas dimungkinkan menjadi suatu sebab terjadinya PJK. Stress dan ansietas juga dapat menjadi pemicu vasokontriksi pembuluh darah arteri. Hal tersebut dapat meningkatkan tekanan darah dan risiko dari serangan jantung. Hal yang paling sering dilaporkan pemicu serangan jantung adalah kejadian menyedihkan secara emosi, khususnya pada saat marah. Stress juga secara tidak langsung meningkatkan risiko PJK jika stress tersebut mengakibatkan keinginan untuk merokok atau makan makanan yang tinggi lemak dan gula (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011). Pengaruh stress terhadap pekerjaan juga dapat sebagai faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner (Toren et al, 2013). 2) Diet dan nutrisi Diet yang tidak sehat dapat meningkatkan risiko PJK. Misalnya, makanan yang tinggi lemak jenuh, lemak trans dan kolesterol yang akan meningkatkan kolesterol LDL. Dengan demikian, maka harus membatasi makanan tersebut. Lemak jenuh ditemukan di beberapa daging, mentega, minyak kelapa, produk susu, coklat, makanan yang dipanggang, dan makanan goreng atau makanan yang diproses. Lemak trans ditemukan di beberapa makanan seperti margarin dan makanan yang digoreng dan diproses. Berbeda halnya dengan lemak tak jenuh, lemak ini justru menurunkan kadar kolesterol LDL dan meningkatkan kolesterol HDL, lemak ini dapat kita temukan diberbagai jenis makanan seperti minyak jagung dan minyak kacang kedelai. Kolesterol ditemukan pada telur, daging, produk susu, makanan yang dipanggang, dan beberapa jenis kerang. Hal ini juga penting untuk membatasi makanan yang tinggi natrium (garam) dan tambahan gula. Diet tinggi garam dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi.
Universitas Sumatera Utara
21
Tambahan gula akan memberi kalori tambahan tanpa nutrisi seperti vitamin dan mineral. Hal ini dapat menyebabkan berat badan meningkat, yang meningkatkan risiko PJK. Tambahan gula banyak ditemukan di makanan penutup, buah-buahan kalengan yang dikemas dalam sirup, minuman buah, dan minuman soda non diet (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011). 3) Alkohol Alkohol dapat menyebabkan obesitas, trigliserida tinggi, tekanan darah tinggi, stroke dan kanker. Alkohol akan meningkatkan tekanan darah. Hal ini juga akan menambah kalori yang dapat menyebabkan kenaikan berat badan (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011). 2.4.4. Patogenesis Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri koronaria paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran darah miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan diikuti perubahan pembuluh darah yang mengurangi kemampuannya untuk melebar. Dan kebutuhan oksigen menjadi tidak stabil sehingga akan membahayakan miokardium yang terletak di sebelah distal dari daerah lesi. Aterosklerosis pada arteri besar dan kecil ditandai dengan penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit, dan makrofag di seluruh kedalaman tunika intima (lapisan sel endothel) dan akhirnya ke tunika media (lapisan otot polos) (Price dan Wilson, 2011). Pembuluh koroner pada penampang lintang akan terlihat 3 lapisan, yaitu tunika intima (lapisan dalam), tunika media (lapisan tengah), dan tunika adventitia (lapisan luar). Permukaan pembuluh darah bagian dalam dilapisi dengan lapisan sel-sel yang disebut endothelium. Tunika intima terdiri dari 2 bagian. Lapisan tipis sel-sel endotel merupakan lapisan yang memberikan permukaan licin antara darah dan dinding arteri serta lapisan subendothelium. Sel-sel endothel ini memproduksikan zat-zat seperti prostaglandin, heparin dan activator plasminogen yang membantu mencegah agregasi trombosit dan vasokonstriksi. Selain itu
Universitas Sumatera Utara
22
endotel juga mempunyai daya regenerasi cepat untuk memelihara daya anti trombogenik arteri. Jaringan ikat menunjang lapisan endotel dan memisahkannya dengan lapisan lain. Tunika media merupakan lapisan otot di bagian tengah dinding arteri yang mempunyai 3 bagian : bagian sebelah dalam disebut membran elastis internal, kemudian jaringan fibrous otot polos dan sebelah luar membrane jaringan elastis eksterna. Lapisan tebal otot polos dan jaringan kolagen, memisahkan jaringan membran elastik eksterna dan yang terakhir ini memisahkan tunika media dan adventisia. Tunika adventisia umumnya mengandung jaringan ikat dan dikelilingi oleh vasa vasorum yaitu jaringan arteriol. Lapisan endothelium bertindak sebagai saringan selektif (selective filter) untuk dinding pembuluh darah dan bertindak sebagai penghubung (interface) antara darah dan dinding pembuluh darah karena endothel adalah lapisan terdalam dari pembuluh darah, dia mengadakan kontak langsung dengan darah. (Junqueira, Carlos, Carneiro, dan Kelly, 2012). Ketidakseimbangan
antara
penyediaan
dan
kebutuhan
oksigen
menyebabkan PJK atau infark miokardium. Terdapat suatu keseimbangan kritis antara penyediaan dan kebutuhan oksigen miokardium. Berkurangnya penyediaan oksigen atau
meningkatnya kebutuhan oksigen
ini dapat
mengganggu
keseimbangan ini dan membahayakan fungsi miokardium. Bila kebutuhan oksigen meningkat maka penyediaan oksigen juga meningkat. Sehingga aliran pembuluh koroner harus ditingkatkan. Iskemia adalah kekurangan oksigen yang bersifat sementara dan reversible. Iskemia yang lama akan menyebabkan kematian otot atau nekrosis. Secara klinis, nekrosis miokardium dikenal dengan nama infark miokardium. Dalam beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian yang intensif dari proses aterosklesrosis, terutama yang berhubungan dengan pathogenesis dan epidemiologinya, serta tindakan prevensi dengan memperhatikan faktor-faktor predisposisinya. Pada proses aterosklerosis ada 3 tahap dan ketiga tahap ini dapat dijumpai pada satu penderita (gambar 2.2.) (Lilly, 2011). 1) Tahap I – Lapisan berlemak (fatty streak)
Universitas Sumatera Utara
23
Intima arteri di infiltrasi oleh lipid dan terdapat fibrosis yang minimal. Lapisan berlemak yang memanjang atau berkerut-kerut terdapat pada permukaan sel otot polos. Kelainan ini sudah dijumpai di aorta pada bayi yang baru lahir dan akan dijumpai dalam jumlah yang lebih banyak pada anak-anak berumur 8 – 10 tahun pada aterosklerosis aorta di negara-negara barat. Lapisan berlemak pada arteri koronaria mulai terlihat pada umur 15 dan jumlahnya akan bertambah sampai pada dekade ke-3 dari umur manusia. Lapisan berlemak ini berwarna agak kekuning-kuningan dan belum atau sedikit menyebabkan penyumbatan dari arteri koronaria. Sel endothelial yang dilapisi oleh fatty streak akan memberikan gambaran histologi dan fungsi yang abnormal. Fatty streak biasanya berkembang pada lokasi dimana terjadi sel endothel yang luka, sehingga menyebabkan molekul-molekul besar seperti LDL dan dapat masuk ke dalam jaringan subendothelium. Jika LDL sudah masuk ke dalam jaringan subendothelium, maka akan terjebak dan akan tetap berada di dalam jaringan subendothelium, hal ini disebabkan karena terikatnya LDL dengan glikomynoglikan. LDL yang terjebak ini lama kelamaan akan mengalami modifikasi karena adanya radikal oksigen yang bebas di sel endothelial, yang merupakan inhibisi dari aterosklerosis. Modifikasi LDL in akan mengalami 3 proses penting yaitu (a) mereka akan dimakan oleh monosit menjadi makrofag, (b) makrofag ini akan menetap pada jaringan subendothelium dan (c) modifikasi LDL ini akan membantu sel mengambil lipid dalam jumlah yang besar. 2) Tahap II – Plaque progression Lapisan berlemak menjadi satu dan membentuk lapisan yang lebih tebal, yang berkomposisi lemak atau jaringan ikat. Plak ini kemudian mengalami perkapuran. Tahap ini sering dijumpai mulai umur 25 tahun di aorta dan arteri koronaria di negara – negara dimana ada insidens yang tinggi dari aterosklerosis. Plak yang fibrous ini berwarna agak keputih-putihan. Karena plak yang fibrous ini agak tebal, ia dapat menonjol ke dalam lumen, dan menyebabkan penyumbatan parsial dari arteri koronaria. Salah satu penyebab terjadinya perubahan dari fatty streak ke lesi fibrotik adalah adanya lesi fokal yaitu hilangnya jaringan endothelial yang melapisi fatty streak. Hilangnya lapisan tersebut disebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
24
adanya peregangan dari sel-sel yang mengalami gangguan fungsi pada deformasi dinding arteri atau karena toksin oleh sel busa. Pada lokasi sel yang hilang ini, platelet akan melekat dan akan terjadi pengeluaran faktor-faktor yang akan menyebabkan perkembangan dari lesi. Heparinase merupakan salah satu enzim yang memecah heparin sulfat (sebuah polisakarida pada matriks ekstraselular) yang menghambat migrasi dan proliferasi dari sel otot polos. Kombinasi dari penurunan kadar heparin dan kurangnya PGI2 dan EDRF-NO karena el endothelial yang luka menyebabkan sel otot polos berubah dari sel yang dapat berkontraksi menjadi sel tidak dapat berkontraksi lagi sehingga terjadi pengeluaran sekresi enzim-enzim pada matriks ekstraselular, yang membuat mereka dapat bermigrasi ke dalam intima dan berproliferasi. Migrasi sel otot polos ke dalam intima dibantu oleh PDGF yang mengalami mitosis. 3) Tahap III – Plaque disruption Tahap ke – 3 ini terdapat dalam jumlah banyak dengan meningkatnya umur. Bagian inti dari plak yang mengalami komplikasi ini akan bertambah besar dan dapat mengalami perkapuran. Ulserasi dan perdarahan menyebabkan trombosis, pembentukan aneurisma, dan diseksi dari dinding pembuluh darah yang menimbulkan gejala penyakit. Faktor-faktor yang menyebabkan pecahnya plak adalah adanya aliran turbulensi atau mekanisme stress peregangan, perdarahan intraplak karena rupturnya vasa vasorum, peningkatan stress pada dinding sirkumferensial dinding arteri pada penutup fibrotik karena adanya penimbunan lipid, dan adanya pengeluaran enzim-enzim yang dikeluarkan oleh makrofag untuk memecah matriks. Sejalan dengan pecahnya plak maka proses lainnya seperti thrombosis, adhesi platelet, agregasi platelet dan koagulasi akan terjadi. Koagulasi akan dimulai oleh karena bercampurnya darah dengan kolagen di dalam plak dan faktor jaringan tromboplastin yang diproduksi oleh sel endothelial dan makrofag di dalam lesi fibrotik. Faktor jaringan akan membuat faktor VII mengaktifkan faktor X, yang akan mengkatalisasi konversi dari protrombin menjadi thrombin, yang akhirnya mengalami polimerasi untuk menstabilkan thrombus. Trombin akan menstimulasi terjadinya proliferasi selular
Universitas Sumatera Utara
25
pada lesi dengan mengeluarkan deposisi platelet tambahan dan pengeluaran PDGF dan menstimulasi sel-sel lain untuk mengeluarkan PDGF. Trombosis dapat terjadi karena adanya lipoprotein yang menghambat trombolisis dengan menghambat konversi dari plasminogen menjadi plasmin. Tergantung pada keseimbangan antara trombotik dan proses trombolitik, thrombus dapat mengalami beberapa kejadian yang berbeda. Trombus dapat mengalami disolusi (hilang) sehingga pasien tidak mengalami gejala atau dapat menempel pada proses aterosklerotik sehingga penyumbatan lumen arteri bertambah besar dan menyebabkan gejala klinik. Pecahnya plak juga akan menyebabkan gejala klinik, karena pecahan plak akan berjalan bersama aliran darah dan menyumbat pembuluh darah distal yang ukurannya lebih kecil. Jika pecahannya sangat besar maka akan memungkinkan untuk menyumbat pembuluh darah besar (Lilly, 2011). Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteria koronaria
yang
paling
sering
ditemukan.
Aterosklerosis
menyebabkan
penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteria koronaria, sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran darah miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan diikuti dengan perubahan vascular yang mengurangi kemampuan pembuluh untuk melebar. Dengan demikian keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen menjadi genting, membahayakan miokardium distal dari daereh lesi. Terhalang atau tersumbatnya pembuluh arteri dapat disebabkan oleh pengendapan kalsium, kolesterol lemak dan lain-lain substansi, yang dikenal sebagai plak. Dalam periode tersebut deposit ini tertimbun secara perlahan-lahan yang akhirnya diameter di arteri koroner yang masih dapat dilalui darah makin lama semakin sempit, sampai pembuluh tersebut tidak dapat dilewati darah sesuai dengan kebutuhan otot jantung (Price dan Wilson, 2011).
Universitas Sumatera Utara
26
Gambar 2.2. Patogenesis Atherosklerosis 2.4.5. Gejala Klinis Gejala umum dari PJK adalah angina. Angina adalah nyeri atau ketidaknyamanan di dada jika pada daerah otot jantung tidak mendapatkan cukup darah yang kaya oksigen. Angina mungkin terasa seperti tertekan atau seperti diremas di daerah dada. Dapat juga dirasakan di bahu, lengan, leher, rahang, atau punggung. Nyeri cenderung memburuk saat aktivitas dan hilang saat istirahat. Stress emosional juga dapat memicu rasa sakit. Gejala umum lain PJK adalah sesak napas. Gejala ini terjadi jika PJK menyebabkan gagal jantung. Bila memiliki gagal jantung, jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sehingga terbentuk cairan didalam paru-paru, yang mengakibatkan sulit untuk bernapas (Sudoyo et al, 2009). Tingkat keparahan gejala ini bervariasi. Mungkin bisa lebih parah jika penumpukan plak terus menerus yang mempersempit arteri koroner. Beberapa orang yang memiliki PJK, mereka biasanya tidak memiliki tanda-tanda atau gejala, suatu kondisi yang disebut “Silent CHD”. Penyakit ini tidak dapat didiagnosis sampai seseorang tersebut memiliki tanda-tanda atau gejala serangan jantung, gagal jantung, atau aritmia (detak jantung tidak teratur). 1) Serangan jantung Sebuah serangan jantung terjadi jika aliran darah yang kaya oksigen ke bagian otot jantung tiba-tiba menjadi tersumbat. Hal ini dapat terjadi jika daerah plak dalam arteri koroner pecah. Fragmen sel darah yang disebut platelet
Universitas Sumatera Utara
27
menempel ke lokasi cedera dan dapat mengumpul untuk membentuk bekuan darah. Jika bekuan menjadi cukup besar, maka sebagian besar atau benar-benar akan memblokir aliran darah di arteri koroner. Jika sumbatan itu tidak ditangani dengan cepat, bagian dari otot jantung yang diberi makan oleh arteri tersebut akan mulai mati. Jaringan jantung sehat digantikan dengan jaringan parut. Kerusakan jantung ini mungkin tidak jelas, atau mungkin menjadi parah atau menimbulkan masalah yang lama. (Gambar 2.3.)
Gambar 2.3. Gambar A adalah gambaran dari arteri koroner jantung dan menunjukkan kerusakan (otot jantung yang mati) disebabkan oleh serangan jantung. Gambar B adalah penampang dari arteri koroner dengan penumpukan plak dan bekuan darah Gejala serangan jantung yang paling umum adalah nyeri dada atau rasa yang
tidak
nyaman.
Sebagian
besar
serangan
jantung
melibatkan
ketidaknyamanan seperti tekanan yang tidak nyaman, seperti diremas-remas, terasa penuh, atau rasa nyeri di daerah tengah atau samping kiri dada yang sering berlangsung selama lebih dari beberapa menit, dan dapat hilang dan muncul kembali. Nyeri serangan jantung kadang terasa seperti terbakar atau heartburn. Gejala-gejala angina mirip dengan gejala serangan jantung. Nyeri angina biasanya
Universitas Sumatera Utara
28
hanya berlangsung selama beberapa menit dan hilang dengan istirahat. Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman tidak hilang begitu saja atau berubah dari pola yang biasa (misalnya, terjadi lebih sering atau saat sedang istirahat) hal ini dapat menjadi tanda serangan jantung.
Tanda-tanda umum dan gejala serangan jantung lainnya mencakup: 1) Ketidaknyamanan tubuh bagian atas pada satu atau kedua lengan, punggung, leher, rahang, atau bagian atas dari lambung. 2) Sesak napas, yang mungkin terjadi dengan atau sebelum rasa tidak nyaman pada dada. 3) Mual, muntah, pusing atau pingsan, atau keluar keringat dingin. 4) Masalah tidur, kelelahan, atau kekurangan energi. 2) Gagal jantung Gagal jantung adalah suatu kondisi di mana jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Gagal jantung tidak berarti bahwa jantung telah berhenti atau akan berhenti bekerja. Tanda-tanda dan gejala paling umum gagal jantung adalah sesak napas atau kesulitan bernapas, kelelahan, dan pembengkakan di kaki, pergelangan kaki, tungkai kaki, perut, dan vena di leher. Semua gejala ini adalah hasil dari penumpukan cairan dalam tubuh. Ketika gejala dimulai, maka akan merasa lelah dan sesak napas setelah melakukan kegiatan fisik rutin, seperti menaiki tangga. 3) Aritmia Aritmia adalah sebuah masalah dengan irama detak jantung. Bila memiliki aritmia, jika diperhatikan jantung akan melewatkan ketukannya atau berdenyut terlalu cepat. Beberapa orang menggambarkan perasaan aritmia dengan pulsasi yang cepat dan terus menerus di daerah dada, perasaan ini disebut palpitasi. Beberapa aritmia dapat menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti berdetak (Sudoyo et al, 2009). 2.4.6. Diagnosis
Universitas Sumatera Utara
29
Pengumpulan keterangan dilakukan melalui anamnesa (wawancara), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ini berlaku untuk semua keadaan, termasuk PJK. Awal mula yaitu anamnesis mulai dari keluhan sampai semua hal yang berkaitan dengan PJK. Keluhan yang terpenting adalah nyeri dada. Seperti apakah nyerinya, kapan dirasakan, berapa lama, di dada sebelah mana, apakah menjalar. Nyeri dada yang dirasakan seperti ditindih beban berat, ditusuk-tusuk, diremas, rasa terbakar adalah yang paling sering dilaporkan. Walaupun bisa saja dirasakan berbeda. Biasanya nyeri dirasakan di dada kiri dan menjalar ke lengan kiri. Setelah itu mengumpulkan keterangan semua faktor risiko PJK, antara lain: apakah merokok, menderita darah tinggi atau penyakit gula (diabetes), pernahkah memeriksakan kadar kolesterol dalam darah, dan adakah keluarga yang menderita PJK dan faktor resikonya. Lalu melakukan pemeriksaan fisik, dimaksudkan untuk mengetahui kelainan jantung lain yang mungkin ada. Hal ini dilakukan terutama dengan menggunakan stetoskop. Terdapat banyak jenis penyakit jantung dan pembuluh darah. Diantara yang sering dijumpai adalah penyakit arteri koroner, gagal jantung, penyakit jantung bawaan, penyakit jantung rematik, hipertensi dan lain-lain. Untuk mengetahui penyakit tersebut maka dilakukan pemeriksaan di antaranya sebagai berikut : wawancara, pemeriksaan fisik dengan alat. Wawancara ini merupakan langkah awal atau pendahuluan. Tes-tes lebih lanjut kemudian dikerjakan untuk mempertegas
diagnosis
atau
mengevaluasi
tingkat
parahnya
penyakit.
Pemeriksaan penunjang pada PJK dibagi menjadi tes non- invasif dan invasif. Tes non-invasive yaitu melakukan tes tanpa memasukkan alat ke dalam tubuh atau melukai tubuh, seperti tes tekanan darah, mendengarkan laju, irama jantung dan suara nafas, pemeriksaan dan tes darah, EKG, Penggunaan alat Hotler, stress test dan treadmill, sinar – X dada, pemeriksaan sengan isotop radio aktif, pemeriksaan dengan kardiografi Gema-Doppler, MRI, dan PET. Berbeda dengan tes invasif yaitu dengan cara penetrasi kedalam tubuh, contohnya kateterisasi jantung (Fauci, et al, 2011).
Universitas Sumatera Utara