BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Remaja Masa remaja (Adolescene) diartikan sebagai periode transisi yang terjadi antara
masa anak - anak hingga dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan baik secara biologis,
kognitif,
dan
sosiodemografi.
Perubahan
yang
terjadi
diantaranya
perkembangan fungsi seksual, proses berfikir abstrak hingga kemauan untuk hidup mandiri. Di beberapa negara maju seperti Amerika, individu mulai dinyatakan menginjak usia remaja (remaja awal/ early adolescene) ketika berumur 10 sampai 13 tahun dan berakhir (remaja akhir/ late adolescene) antara usia 18 – 22 tahun. Karakteristik individu pada usia remaja akhir yang menonjol dibanding usia remaja awal, diantaranya meningkatnya minat pada karir, pacaran, dan eksplorasi identitas (Santrock, 2003). Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, usia remaja dibatasi hingga sebelum usia 21 tahun dan belum menikah. UU perburuhan membatasi remaja pada usia 16-18 tahun atau sudah menikah serta memiliki tempat tinggal sendiri. Hal ini tidak jauh berbeda dengan batasan yang ditetapkan pada Undang- Undang perkawinan No 1 tahun 1974 yang menegaskan bahwa seorang anak telah dinyatakan remaja bila telah mencapai kematangan untuk menikah, minimal berusia 16 tahun untuk perempuan dan 18 tahun untuk laki-laki (Kemenkes, 2010).
2.2
Definisi Anak Jalanan Menurut PBB, definisi dari anak jalanan mencakup setiap anak laki-laki atau
perempuan,dimana jalanan telah menjadi tempat tinggal dan/atau sumber mata 6
7
pencahariaan mereka, dan yang tidak dilindungi, diawasi atau diarahkan secara memadai oleh orang dewasa yang bertanggungjawab. Dari segi ketenagakerjaan, istilah anak jalanan digunakan untuk menerangkan istilah anak pasar (yang bekerja di jalanan dan pasar dengan menjual, mengemis, dan yang tinggal bersama keluarga mereka) maupun anak jalanan tunawisma (yang bekerja, hidup dan tidur di jalan, biasanya tidak berhubungan dengan keluarga mereka). Kelompok yang berisiko tinggi adalah kelompok yang kedua (ILO, 2008). Berbeda dengan Departemen Sosial (Depsos) RI dan UNDP pada tahun 1996 (dalam Khaizu, 2009), yang mengelompokkan anak jalanan sebagai berikut: a. Anak yang hidup/ tinggal di jalanan dan tidak ada hubungan dengan keluarganya (children of the street). Menurut UNICEF anak jalanan dalam kategori ini secara fungsional sama sekali tidak memperoleh dukungan keluarga. b. Anak yang bekerja di jalanan dan berhubungan tidak teratur dengan keluarganya yakni sebulan atau dua bulan sekali pulang ke rumahnya (children on the street). Anak jalanan dalam kategori ini kurang memadai dan/ atau hanya sporadis mendapatkan dukungan keluarga. c. Anak yang rentan menjadi anak jalanan dan masih berhubungan teratur/ tinggal dengan orangtuanya (vulnerable to be street childen). Anak jalanan dalam kategori ini adalah anak-anak yang bekerja dijalanan namun hidup dengan keluarga mereka.
2.3
HIV AIDS pada Remaja AIDS didefinisikan awal oleh CDC (sebelum diketahuinya HIV sebagai agen
etiologik) dinyatakan sebagai penyakit oportunis yang setidaknya mengisyaratkan
8
adanya cacat imunitas seluler tanpa didasari oleh gangguan kekebalan yang diketahui, misalnya imunosupresi iatrogenik atau keganasan. Pada tahun 1993, definisi kasus dikembangkan lebih lanjut dengan mencakup orang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 per mikroliter, walaupun tanpa gejala, serta individu yang terinfeksi HIV dengan tuberkulosis (TB) paru, pneumonia berulang, atau karsinoma servik invasif (Horrison, 2000). Agen etiologik AIDS adalah HIV, yang termasuk family retrivirus manusia dan subfamily lentivirus. Keempat retrovirus manusia yang telah dikenal termasuk dalam dua kelompok, yaitu virus limfotropik T manusia (HTLV-I dan II), dan virus imunodefisiensi manusia (Human Immunodeficiency Virus), HIV-1 dan 2 (Horrison, 2000). HIV merupakan jenis virus yang ditularkan melalui cairan tubuh diantaranya darah atau produk darah, dan oleh ibu yang terinfeksi kepada bayinya intrapartum, secara perinatal, atau melalui air susu ibu (Horrison, 2000). Perilaku berisiko tertular HIV-AIDS, merupakan rangkaian perilaku yang mempermudah penularan atau proses infeksi HIV dari satu individu pada individu lainnya. Metode penularan sebagian besar melalui kontak seksual dan paling sering ditemukan pada kelompok usia remaja (Setyo & Notobroto, 2013). Di negara- negara maju, kelompok homoseksual menjadi populasi yang paling rentan tertular HIV (Horisson, 2000). Sementara menurut Gayle & Hill (2001) di negara berkembang seperti negara-negara pada wilayah Asia Tenggara penularan melalui perilaku heteroseksual dan IDU masih menjadi penularan tersering (Kumalasari, 2013). Hal ini didukung data CDC (Center for disease and prevention) Amerika Serikat, dari estimasi 2712 orang penderita AIDS pada kelompok usia remaja (13- 24 tahun), diketahui bahwa gambaran perilaku yang memicu resiko baik pada kelompok remaja maupun dewasa, diantaranya 10,3% penularan HIV terjadi melalui penyalahgunaan NAPZA suntik, 54,8% akibat perilaku homoseksual, 30% akibat perilaku heteroseksual berisiko, dan
9
0,5% dipengaruhi faktor lainnya (CDC, 2014). Penelitian terkait perilaku berisiko tertular HIV-AIDS pada remaja juga dilakukan di Makassar. Dari 271 responden yang diteliti, ditemukan sebanyak 100 orang (36,9%) melakukan tindakan berisiko tertular HIV-AIDS, diantaranya berhubungan seksual sebelum menikah tanpa memakai kondom (baik vaginal, oral, maupun anal) (Amirrudin & Yanti, 2012). Virus HIV juga dapat ditularkan melalui darah dan produk darah, salah satunya melalui sarana transfusi darah. Sementara penularan HIV dari ibu yang terinfeksi kepada janinnya dapat terjadi sewaktu hamil atau sewaktu persalinan. Penularan HIV ibu ke bayi pascanatal telah terbukti, dengan kolostrum dan air susu ibu (ASI) dicurigai sebagai perantara infeksi. Virus dapat ditemukan pada kedua cairan tersebut. Sehingga, pemberian ASI oleh ibu yang terinfeksi sebaiknya dihindari (Horrison, 2000). Penyalahgunaan NAPZA suntik juga menjadi salah satu alasan tingginya kasus HIV-AIDS. Penelitian yang dilakukan pada 215 remaja pengguna jarum suntik di bawah naungan Yayasan Pelita Ilmu, diperoleh fakta bahwa 55,3% responden digambarkan sebagai pengguna jarum suntik berisiko (Syarif & Tafal, 2008). Penelitian yang dilakukan Winarno, et al. (2013) menyatakan pengguna NAPZA khususnya NAPZA suntik menghadapi dua risiko untuk terkena HIV/AIDS. Pertama, melalui jarum dan alat suntik yang tercemar yang digunakan secara bersama-sama. Kedua, melalui hubungan seksual terutama bagi mereka yang melakukan dengan lebih dari satu pasangan, atau tanpa menggunakan kondom (Kumalasari, 2013). Di Amerika serikat tahun 2013, presentase penderita AIDS yang disebabkan oleh penyalahgunaan NAPZA suntik dan perilaku seksual berisiko sebesar 3,8% (CDC, 2014). Penggunaan jarum tanpa sterilisasi yang tepat juga sering ditemui pada pembuatan tato dan pemasangan tindik. Penelitian yang dilakukan Doll (2012) di Amerika melaporkan dua kasus infeksi HIV yang disebabkan oleh adanya penularan melalui tato
10
di dalam penjara. Penularan HIV pada pembuatan tato dikaitkan dengan bahan dan alat pembuat tato yang terkontaminasi dengan darah dari orang yang ditato sebelumnya (Hutami, 2014). Penelitian yang dilakukan Massahel dan Musfrove (2009) menunjukkan bahwa orang yang menggunakan jarum suntik untuk membuat tattoo memiliki risiko 5-30 % terinfeksi hepatitis B, 3-7% terinfeksi Hepatitis C dan 0,2-0,4% terinfeksi HIV (Kemper, 2011). Penggunaan tindik juga dapat mengakibatkan komplikasi baik yang non infeksius maupun infeksius. Tindik dapat melukai jaringan tubuh seperti pada penggunaan tindik di putting dan telinga. Penelitian yang dilakukan Wilcox (1981) menyebutkan tindik pada penis dapat meningkatkan trauma jaringan saat berhubungan seksual. Meskipun hingga saat ini belum tersedia secara pasti data statistik dan demografi terkait orang-orang yang mengenakan tindik terutama di area intim mereka (Tweeten, 1997). Penelitian Weber, et al, (2002) di Montreal, Kanada pada remaja wanita jalanan (14-25 tahun) menyebutkan riwayat penggunaan tato berisiko 1,8 kali dan penggunaan tindik berisiko 1,6 kali terinfeksi HIV dibandingkan yang tidak menggunakan tato dan tindik (Hutami, 2014). Pencegahan HIV mirip dengan pencegahan IMS dan ditambah aspek penggunaan narkotika dan peralatan tajam. Pencegahan ini dikenal dengan metode ABCDE. A = Abstinence, yaitu tidak melakukkan hubungan seksual di luar pernikahan. B = Be faithful, yaitu tetap setia pada satu pasangan seksual C = Condom, gunakan kondom saat melakukan hubungan seksual D= Don’t use drugs, tidak mengkonsumsi NAPZA, khususnya yang menggunakan suntikan E = Equipment, berhati – hati terhadap peralatan yang berisiko membuat luka dan digunakan secara bergantian (bersamaan), misalnya jarum suntik, pisau cukur, dll.
11
Risiko penularan HIV juga dapat dicegah setelah terjadi paparan terhadap virus, misalnya ketika seseorang tanpa sengaja tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi HIV atau setelah hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi HIV. Pada ibu hamil yang terinfeksi HIV, penularan pada bayi yang dikandung dapat dicegah dengan penggunaan terapi antiretroviral (ARV) yang diberikan dalam pengawasan dokter (BKKBN, 2013).
2.4
Gambaran Perilaku Kesehatan Remaja Perilaku merupakan respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan
yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi, dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut sangat kompleks sehingga terkadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku tersebut (Depkes RI, 2009, dalam; Nahampun, 2009). Sementara menurut Notoatmodjo (1997) perilaku manusia adalah suatu keadaan seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong dan kekuatan –kekuatan penahan, dan dapat berubah apabila terjadi ketidak seimbangan antara kedua kekuatan tersebut dalam diri individu (Nahampun, 2009). Pengertian perilaku sehat menurut Soekidjo Notoatmodjo (1997) adalah suatu respon seseorang/ organisme terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan. Kesehatan menurut UU Kesehatan No. 39 tahun 2009 adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Jadin, 2012). Perubahan perilaku kesehatan seperti halnya pada kelompok remaja menurut teori dari Lawrence Green (1980) diantaranya dipengaruhi
12
oleh tingkat pengetahuan dan sikap yang dimiliki oleh individu, yang merupakan bagian dari faktor predisposisi (Marimbi, 2009) Pengetahuan kesehatan menurut Becker (1979) mencakup apa yang diketahui oleh seseorang terhadap cara-cara memelihara kesehatan, seperti pengetahuan tentang penyakit menular, pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait, dan atau mempengaruhi kesehatan, pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan, dan pengetahuan untuk menghindari kecelakaan (Jadin, 2012). Beberapa teori menerangkan bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang, maka tindakan yang dilakukan cenderung positif, begitu pula sebaliknya. Remaja yang berpendidikan rendah mempunyai kecenderungan berperilaku seks tidak aman dibandingkan remaja yang berpendidikan tinggi (Pratiwi & Basuki, 2011). Remaja yang lebih muda memiliki pengetahuan yang lebih tidak akurat mengenai berbagai topik kesehatan, termasuk mengenai penyakit menular seksual dan penyalahgunaan obat terlarang, dibandingkan remaja yang lebih tua (Santrock, 2003). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan pada remaja pasar dampingan PKBI di DKI Jakarta, yang menyatakan tidak ada hubungan antara usia dengan pengetahuan remaja pasar tentang HIV-AIDS (Solehah, 2008). Saat ini tingkat pengetahuan remaja terhadap HIV-AIDS masih sangat rendah. Hasil analisis data Riskesdas tahun 2010, presentase pengetahuan HIV-AIDS kurang pada remaja mencapai 48,9%. Pengetahuan yang benar dan tepat tentang HIV-AIDS menjadi hal penting dalam menghindari penularan HIV, walaupun pengetahuan yang baik tidak menjamin bahwa responden tidak melakukan kegiatan yang berisiko AIDS, baik itu perilaku seksual berisiko maupun perilaku penggunaan NAPZA (Sudikno, Simanungkalit & Siswanto, 2011). Pernyataan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada remaja komunitas pemulung di Kota Surabaya juga
13
menemukan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan dengan perilaku seksual berisiko (Setyo & Notobroto, 2013 ). Sikap merupakan respon tertutup yang berpengaruh terhadap tindakan nyata seseorang. Dimana semakin negatif sikap seseorang maka tindakan yang dilakukan cenderung negatif pula (Santrock, 2003). Permissivisme merupakan sikap dan pandangan yang membolehkan, menyetujui secara sosial dan mengijinkan segalagalanya tanpa adanya hukuman. Sikap permisif, bila dilihat sekilas memang menyenangkan karena sikap ini memberikan kebebasan yang seluas-luasnya pada remaja, namun akibat dari sikap yang permisif ini menjadikan remaja mengekspresikan keinginannya tanpa mempertimbangkan efek dari perilakunya (Amelia, 2013). Hasil analisis data Riskesdas MDG’s tahun 2010, menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna secara signifikan antara perilaku seksual tidak aman dengan remaja yang sikap terhadap penderita HIV-AIDS kurang (Pratiwi & Basuki, 2011). Anak jalanan yang mempunyai sikap lebih permisif terhadap seksualitas (21,1%) mempunyai presentase lebih besar dalam melakukan perilaku seks pranikah berisiko dibandingkan responden yang kurang permisif (2,3%) (Musthofa & Winarti, 2010). Kamler, et al. (1987) menyatakan remaja seperti halnya orang dewasa sering sekali menganggap remeh kerentanan mereka terhadap bahaya (Santrock, 2003). Mereka menganggap resiko yang berhubungan dengan tingkah laku tertentu akan menurun ketika mereka bertambah tua (Millstein & Irwin, 1985, dalam; Santrock, 2003).
2.5
Gambaran Perilaku Berisiko Tertular HIV-AIDS pada Remaja Perilaku berisiko terkena HIV-AIDS merupakan orang yang mempunyai
kemungkinan terkena infeksi HIV-AIDS atau menularkan HIV-AIDS pada orang lain bila dia sendiri mengidap HIV-AIDS, karena perilakunya. Adapun penderita AIDS di
14
Indonesia sebagian besar masih tergolong ke dalam usia remaja (usia 15-29 tahun), yakni dengan persentase mencapai 60% dari 1.204 total kasus HIV-AIDS yang terdaftar oleh Ditjen PPM dan Depkes RI tahun 2007 (Solehah, 2008). Salah satu hasil dari penelitian yang dilakukan Solehah (2008) memberikan gambaran perilaku berisiko tertular HIV-AIDS pada remaja pasar di wilayah DKI Jakarta. Ternyata sebagaian besar remaja pekerja pasar pernah mengkonsumsi NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lain) yakni sebesar 61%, dimana 13% diantaranya pernah mengkonsumsi narkoba suntik. Disamping itu 35,71% dari responden menyatakan pernah melakukan hubungan seksual, dan sebesar 34,7% berperilaku seksual berisiko tinggi. Penelitian serupa lainnya yang dilakukan oleh Sedyaningsih, dkk (2005) dikalangan anak jalanan yang berada dalam binaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Jakarta menjelaskan bahwa 73,8% anak jalanan mengaku sudah pernah melakukan hubungan seks, adapun 46% diantaranya mengaku aktif secara seksual, melakukannya minimal sekali seminggu, bahkan ada yang berkali-kali per hari. Meskipun perilaku seksual anak jalanan berisiko tinggi, namun pemakaian kondom sangat rendah. Hanya 4,9% yang selalu dan 6,5% yang sesekali memakai kondom. Perilaku berisiko lain pada anak jalanan yang terlihat adalah minum alkohol sebesar 23%, merokok sebesar 64%, memakai obat terlarang 18,2%, memakai obat bius suntik sebesar 2,2%, dimana 50% diantaranya dengan berbagi jarum, sedangkan anak jalanan yang gemar menghirup lem sebesar 8,8%.
2.6
Teori Perubahan Perilaku Lawrence Green Green merupakan salah satu tokoh di bidang kesehatan yang menganalisis
perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Menurut Lawrence Green (dalam Marimbi,
15
2009), kesehatan individu maupun masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor, diantaranya faktor perilaku (behavior cause) dan faktor bukan perilaku (Non-behavior cause). Selanjutnya faktor perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu: a. Faktor – faktor predisposisi (predisposing factors) adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu, beberapa diantaranya yaitu dari segi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan lain sebagainya. Faktor predisposisi dimiliki oleh setiap individu tentunya dengan kapasitas yang berbeda-beda. b. Faktor – faktor pendukung (enabling factors), adalah faktor yang berasal dari luar individu. Ditandai dengan adanya sarana atau lingkungan fisik yang mendukung terhadap terwujudnya perubahan perilaku pada individu atau masyarakat, seperti tersedianya fasilitas – fasilitas atau sarana – sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan lain sebagainya. c. Faktor – faktor pendorong (reinforcing factors) terwujud karena adanya pengaruh dari kelompok referensi kepada individu atau masyarakat sehingga menjadi pendorong atau motivator selama proses perubahan. Salah satu contohnya adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang mempengaruhi individu atau masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perubahan perilaku pada individu atau masyarakat terjadi karena adanya pengaruh faktor predisposisi, pendukung, dan pendorong yang saling berinteraksi dan memperkuat terbentuknya perilaku baik positif maupun negatif (Marimbi, 2009).