BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi HIV Infeksi HIV adalah suatu kondisi yang secara bertahap dapat menghancurkan sistem kekebalan tubuh yang menyulitkan tubuh untuk melawan infeksi. Virus ini bisa menyebabkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) (Hay et al.. 2003). HIV adalah suatu virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk golongan retrovirus, famili lentivirus. (Gomella et al., 1999) Inti (nukleoid) dari HIV berbentuk silindris dan eksentrik dan mengandung 2 rangkaian genom RNA diploid dengan masing-masing rangkaian memiliki enzim reverse transcriptase dan integrase. HIV membentuk struktur nukleokapsid dengan protein kaspid yang menutupi komponen nukleoid tersebut. Selain itu, bagian paling luar HIV terdiri dari lapisan membran fosfolipid yang berasal dari membrane plasma sel penjamu. Terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul glikoprotein (gp120) dengan bagian transmembran yang merupakan gp41 yang keduanya dibentuk oleh virus pada membran permukaan virion (AlergiImunologi Anak IDAI, 2010).
2.2. Etiologi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menyebabkan infeksi HIV dan AIDS. Setelah seseorang memiliki virus ini, virus ini tetap berada dalam tubuh seumur hidup (Marcdante et al.,2011). Virus HIV ini mampu menyebabkan efek sitopatik yang singkat, infeksi laten dalam jangka panjang, dan juga menyebabkan penyakit progresif termasuk wasting syndrom dan degenerasi susunan saraf pusat. HIV, merupakan virus yang mempunyai kemampuan untuk membentuk DNA dari RNA dengan adanya enzim reverse transcriptase. RNA virus digunakan sebagai template untuk membentuk DNA dengan menggunakan enzim ini dan kemudian berintegrasi ke dalam kromosom penjamu dan selanjutnya bekerja sebagai dasar untuk proses replikasi HIV (Alergi-Imunologi Anak IDAI, 2010). HIV-1 menyebabkan 99% dari semua kasus manusia, sedangkan HIV-2 yang kurang
virulen, menyebabkan 1 sampai 9 persentase dari kasus di Afrika dan jarang di United States. (Marcdante et al., 2011). Virus ini menyebar ke manusia dalam salah satu cara yang berikut : • Melalui kontak seksual – termasuk oral, vagina, dan seks anal • Melalui darah
– melalui transfusi darah atau penggunaan jarum suntik yang berulang pada pasien yang berbeda.
• Dari ibu ke anak
– Seseorang wanita hamil dapat menyebarkan virus ke janinnya melalui peredaran darah bersama
(shared)
mereka
atau
dengan
menyusui ASI (Marcdante et al., 2011).
2.3. Faktor Risiko 1) Ibu berisiko tinggi Setiap bayi yang lahir dari ibu yang berisiko tinggi, sangat berisiko. Ibu berisiko tinggi termasuk pengguna intravena narkoba, penderita hemofilia, pasangan laki-laki biseksual, dan pasangan dari penderita hemofilia. Ada beberapa mekanisme untuk transmisi virus termasuk keaadan penyakit ibu, paparan janin pada cairan tubuh ibu yang terinfeksi, respons imun ibu yang menurun, dan pemberian ASI. Risiko penularan tampaknya lebih besar jika jumlah CD4 ibu berkurang, atau ada peningkatan beban virus (p24 antigenemia), atau kultur darah HIV positif. Jumlah virus maternal dapat memprediksi transmisinya lebih baik daripada indikator klinis atau imunologi. Rute yang bakal menyebabkan infeksi termasuk, campuran darah ibu dan janin dan infeksi di seluruh plasenta ketika intergriti yang terganggu contohnya, placentitis (sifilitik) dan chorioamnionitis. Peningkatan risiko penularan vertikel telah berkorelasi dengan durasi peningkatan pecahnya ketuban sebelum melahirkan (Gomella et al.,1999).
2) Transfusi Darah Skrining donor darah telah berkurang tetapi belum sepenuhnya dihilangkan risiko karena orang-orang yang baru terinfeksi, viremic tapi seronegatif selama 2-4 bulan dan juga karena dari beberapa orang yang terinfeksi, sebanyak 5 sampai 15 persentase adalah seronegatif. Risiko penularan HIV saat ini per unit transfusi adalah 1 dalam 225,000 (Gomella et al., 1999). 3) Pemberian ASI ASI adalah cara penularan HIV yang utama pasca kelahiran untuk bayi. RNA dan DNA provirus HIV-1 telah terdeteksi di sel ASI. Viral load dalam kolostrum tampaknya sangat tinggi. Risiko tertinggi dari ASI adalah ketika infeksi primer ibu terjadi dalam beberapa bulan pertama setelah dilahirkan (Gomella et al., 1999). 4) Anak yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual (AlergiImunologi Anak IDAI, 2010). 5) Anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan (AlergiImunologi Anak IDAI, 2010).
2.4. Klasifikasi Tabel 2.1: Stadium klinis untuk HIV/AIDS pada anak dengan infeksi HIV menurut (WHO, 2007) Stadium 1
- Tanpa gejala (asimtomatis) - Limfadenopati generalisata persisten
Stadium 2
-
Hepatosplenomegali persisten tanpa alasan Erupsi papular pruritis Infeksi virus kutil yang luas Moluskum kontagiosum yang luas Infeksi jamur di kuku Ulkus mulut yang berulang
-
Stadium 3
- Malnutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku - Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih) - Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-menerus, lebih dari 1 bulan) - Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu) - Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut
-
Stadium 4
- Wasting yang parah, tidak bertumbuh atau malanutrisi yang parah tanpa alasan dan tidak menanggapi terapi yang baku - Pneumonia Pneumosistis (PCP) - Infeksi bakteri yang parah dan berulang (mis. empiema, piomisotis, infeksi tulang atau sendi, atau meningitis, tetapi tidak termasuk pneumonia) - Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial atau kutaneous lebih dari 1 bulan atau viskeral pada tempat apa pun) - Tuberkulosis di luar paru - Sarkoma Kaposi - Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru) - Toksoplasmosis sistem saraf pusat (setelah usia 1 bulan)
- Ensefalopati HIV - Infeksi sitomegalovirus: retinitis atau infeksi CMV yang mempengaruhi organ lain, yang mulai pada usia lebih dari 1 bulan) - Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis) - Mikosis diseminata endemis (histoplasmosis luar paru, kokidiomikosis) - Kriptosporidiosis kronis - Isosporiasis kronis - Infeksi mikobakteri non-TB diseminata - Limfoma serebral atau non-Hodgkin sel-B - Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML) - Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV
Pembesaran parotid persisten tanpa alasan Eritema lineal gingival (LGE) Herpes zoster Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media, otore, sinusitis, atau tonsilitis)
Oral hairy leukoplakia (OHL) Tuberkulosis pada kelenjar getah bening Tuberkulosis paru Pneumonia bakteri yang parah dan berulang Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis - Anemia (<8g/dl), neutropenia (<0,5 × 109/l) dan/atau trombositopenia kronis (<50 × 109/l) tanpa alasan
2.5. Patogenesis Infeksi primer terjadi apabila virion HIV dalam darah, semen atau cairan tubuh lain dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai reseptor gp120 dan gp41. Sel yang pertama terkena infeksi HIV adalah sel T CD4+ dan monosit di darah atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa, tergantung dari tempat masuknya virus. Kemudian, virus ditangkap oleh sel dendrit yang berada di epitel tempat masuknya virus dan bermigrasi ke kelenjar getah bening. Protein yang diekspresikan oleh sel dendrit berperan dalam pengikatan dengan envelope HIV dan hal ini menyebabkan penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, melalui kontak langsung antara sel, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+. Replikasi virus dalam jumlah yang banyak setelah paparan pertama dengan HIV, menyebabkan viremia disertai dengan sindroma HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik) dan dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Virus ini menginfeksi sel T subset CD4+ atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer dan menyebar ke seluruh tubuh. Setelah itu, terjadi respons imun adaptif baik humoral atau seluler terhadap antigen virus (Alergi-Imunologi Anak IDAI, 2010). Setelah infeksi akut, terjadi fase kedua atau disebut masa laten klinis, dimana kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, manifestasi klinis infeksi HIV belum muncul dan sistem imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik. Jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV pada fase ini. Dalam jaringan limfoid, penghancuran sel T CD4+ terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin kurang. Akhirnya, terjadi penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi setelah beberapa tahun karena siklus infeksi, kematian sel T dan infeksi baru yang terus berjalan (Alergi-Imunologi Anak IDAI, 2010).
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain. Produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid distimulasi oleh respons imun terhadap infeksi tersebut. Stimulus seperti antigen dan sitokin yang mengaktivasi sel T dapat meningkatkan transkripsi gen HIV. Sitokin (contohnya TNF) diproduksi dari sistem imun alamiah. Perannya adalah sebagai respons terhadap infeksi mikroba dan sangat efektif untuk memacu produksi HIV (Alergi-Imunologi Anak IDAI, 2010). Penyakit HIV ini berjalan terus dimana akan terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3 dan viremia HIV meningkat drastik dan menyebabkan AIDS (Alergi-Imunologi Anak IDAI, 2010).
2.6. Manifestasi Klinis 1) Infeksi Pneumonia pneumosistis (PCP) adalah infeksi oportunistik yang paling umum pada populasi pediatrik. Puncak kejadian PCP adalah pada usia 3-6 bulan dengan angka kematian tertinggi pada anak kurang dari 1 tahun. Presentasi klinis PCP yang klasik termasuk onset akut demam, takipnea, dispnea. Pada beberapa anak, terjadinya hipoksemia bisa mendahului manifestasi klinis. Temuan yang paling umum dari X-ray dada terdiri dari infiltrat interstitial difus atau penyakit alveolar yang cepat berkembang. Lesi nodular, infiltrat bergaris atau lobar, atau efusi pleura kadang-kadang dapat terlihat. (Kliegman et al., 2007). Infeksi mikobakteri atipikal terutama Mycobacterium avium-intracellulare complex (MAC), dapat menyebabkan penularan penyakit pada anak terinfeksi HIV yang mengalami imunosupresi (Kliegman et al.,2007). MAC yang menyebabkan demam, keringat malam, penurunan berat badan, diare, kelelahan, limfadenopati, hepatomegali, anemia, dan granulositopenia terjadi pada anak-anak yang terinfeksi dan memiliki jumlah CD4 di bawah 50-100/UL (Hay et al., 2003). Kandidiasis oral merupakan infeksi jamur yang paling umum terlihat pada anak yang terinfeksi HIV. Oral thrush yang terjadi melibatkan kerongkongan
pada 20% dari anak-anak dengan penurunan CD4 yang parah dan menunjukkan gejala seperti anoreksia, disfagia, muntah, dan demam (Kliegman et al., 2007). Infeksi virus, terutama dengan Herpes Simplex Virus (HSV) menyebabkan gingivostomatitis berulang. Infeksi Varicella zoster primer (VZV) dapat menyebabkan infeksi bakteri atau penyebaran visceral termasuk pneumonitis. Infeksi Cytomegalovirus (CMV) diseminata dapat terjadi dengan penurunan CD4 yang berat (< 50 sel/mm3 CD4) dan dapat melibatkan organ tunggal atau ganda. Retinitis, pneumonitis, gastritis dengan obstruksi pylorus, hepatitis, colitis, dan esofagitis sering ditemukan tetapi komplikasi ini jarang terlihat jika ART diberikan (Kliegman et al., 2007). 2) Sistem Kardiovaskular Sebuah
studi
prospektif
telah
mengungkapkan
bahwa
dilatasi
kardiomiopati dan hipertrofi ventrikel kiri merupakan gejala yang umum pada anak-anak dengan infeksi HIV. Instabilitas hemodinamik lebih sering terjadi pada penyakit
HIV
stadium
lanjut.
Irama
gallop
dengan
takipnea
dan
hepatosplenomegali tampaknya menjadi indikator klinis terbaik dari gagal jantung kongestif pada anak yang terinfeksi HIV. Elektrokardiografi dan ekokardiografi sangat membantu dalam menilai fungsi jantung sebelum timbulnya gejala klinis (Kliegman et al., 2007). 3) Paru Pneumonitis Interstitial Limfoid (LIP) merupakan infiltrasi paru interstial yang kronik (Rudolph et al., 2006) yang terdiri dari limfosit dan sel plasma. Hal ini mungkin asimtomatik atau berhubungan dengan batuk kering, hipoksemia, dispnea atau mengi saat aktivitas, dan clubbing digit. Anak-anak sering mengalami pembesaran kelenjar parotis dan limfadenopati generalisata (Hay et al., 2003). Sebagian besar anak yang terinfeksi HIV mengalami sekurangkurangnya satu episode pneumonia selama penyakit dan sering dihubungkan dengan kegagalan pernafasan akut dan kematian. Bronkiektasis yang jarang terjadi, dapat menyebabkan infeksi sekunder berulang (Kliegman et al., 2007).
4) Hematologi Obat-obatan, infeksi, kekurangan gizi dan HIV sendiri dapat menyebabkan disfungsi sumsum tulang dan menyebabkan infeksi HIV dari spektrum ringan sampai berat. Infeksi HIV yang belum didiagnosis menunjukkan asimptomatik trombositopenia. Perdarahan jarang terjadi dalam keadaan ini, namun risiko perdarahan intrakranial berpotensi meningkat seiring dengan jumlah trombosit yang menurun di bawah 10.000/mm3 (Crain et al., 2003). 5) Genitourinari / Ginjal Anak-anak dengan penyakit lanjut berisiko tinggi terkena nefropati HIV, suatu kondisi yang ditandai dengan meningkatnya proteinuria nefrotik dan akhirnya mengakibatkan gagal ginjal. Protease inhibitor (indinavir) dapat menyebabkan nefrolitiasis yang mungkin asimptomatik atau disertai dengan nyeri pinggang, hematuria, dan kristaluria (Crain et al., 2003). 6) Neurologis Ensefalopati
mungkin
bermanifestasi
awal
dari
penyakit
HIV.
Perkembangan penyakit ditandai dengan apatis, spastisitas, hiperrefleksia, dan gangguan gaya berjalan yang mungkin terjadi serta hilangnya kemampuan berbahasa, berlisan, dan defisit motorik. Anak dewasa atau remaja mungkin menunjukkan masalah perilaku dan kesulitan belajar. Anak-anak dengan jumlah sel-T yang rendah (< 50-100/mm3) suseptibel terhadap infeksi oportunistik SSP. Limfoma SSP dapat disertai dengan onset baru temuan neurologis fokal, sakit kepala, kejang, dan perubahan status mental. Toksoplasmosis CNS sangat jarang terjadi pada bayi muda, tetapi mungkin terjadi pada saat remaja. Penemuan serum IgG antitoxoplasma pada sebagian besar kasus adalah sebagai penanda infeksi. Infeksi oportunistik lain dari SSP termasuk CMV, virus JC (PML), HSV, Cryptococcus atau coccoidioides meningitis (Crain et al., 2003). 7) Kulit Anak yang terinfeksi HIV dengan gangguan kulit umum seperti impetigo atau selulitis mungkin memiliki penyebaran infeksi yang lebih ekstensif dan cepat. Kudis juga dapat ditemukan dengan papulosquamous eruption umum (Crain et al., 2003). Dermatitis seboroik atau eksim yang parah dan tidak
responsif terhadap pengobatan mungkin merupakan tanda nonspesifik awal infeksi HIV. Episode berulang atau kronis pada HSV, Herpes Zoster (HZ), moluskum kontagiosum, kutil datar, kutil anogenital, dan infeksi kandida adalah yang umum dan mungkin sulit untuk dikontrol. Epidermal hiperkeratosis dengan dry scaling dan rambut rontok dapat terlihat pada tahap akhir dari penyakit (Kliegman et al., 2007). 8) Gastrointestinal Cryptosporidium dapat menyebabkan diare berat berair berhubungan dengan nyeri perut dan muntah. Isospora belli dapat menyebabkan sindrom yang serupa. CMV colitis juga dapat ditemukan dengan diare berdarah. Salmonella gastroenteritis menyebabkan demam, muntah, dan malaise selain diare. Ini adalah penyebab umum dari bakteremia dan dapat menyebabkan sepsis, artritis septik dan komplikasi meningitis. Semua komplikasi ini dapat berkembang dari minggu ke bulan setelah sembuh dari enteritis akut (Crain et al., 2003).
2.7. Diagnosis 2.7.1. Anamnesis Hasil pemeriksaan skrining serologik terhadap Rubella, Hepatitis B, Sifilis, dan HIV pada kartu rekam medis ibu harus dilihat. Kemudian harus mencari apakah infeksi terkena pada sistem organ dengan memeriksa bayi tersebut, termasuk pemeriksaan fundoskopi (Schwartz et al., 2005).
2.7.2. Pemeriksaan Laboratorium Antibodi
HIV diukur dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
(ELISA). Sebuah tes konfirmasi, biasanya Western blot, harus dilakukan karena individu kadang-kadang memiliki reaksi menyilang antibodi, yang menghasilkan ELISA positif palsu. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV akan memiliki antibodi HIV tanpa melihat status infeksi karena melibatkan bagian transplasental antibodi maternal. Antibodi HIV maternal hilang pada semua anak dalam usia 18 bulan. Setelah usia itu, ELISA dapat digunakan untuk membuat diagnosis infeksi. Pada minggu awal setelah infeksi HIV akut diakuisisi, antibodi HIV mungkin
tidak ada. Kebanyakan daripadanya akan serokonversi dalam 6 minggu, tetapi kadang-kadang waktu serokonversi berkepanjangan sampai 3-6 bulan. Ketika infeksi HIV akut dicurigai, tes untuk sirkulasi virus harus diperoleh (Hay et al., 2003). Asam nukleat HIV, RNA (dalam plasma) atau DNA (dalam sel darah), dapat dideteksi dengan sejumlah metode, termasuk PCR, ‘branched DNA assay’ dan ‘nucleic acid sequence based amplification’. Tes ini lebih murah tapi kurang sensitif. Ukuran kuantitatif dari RNA HIV dalam plasma sangat penting dalam memprediksi perkembangan penyakit dan menjadi petanda alternatif dari respon terhadap terapi antiretroviral (Hay et al., 2003). Deteksi asam nukleat dapat digunakan pada bayi berusia 2 sampai 4 bulan yang berisiko terhadap infeksi HIV vertikel. Saat lahir, sekitar 30% bayi yang terinfeksi, terdeteksi memiliki RNA dan DNA HIV. Sisanya, memiliki hasil negatif pada deteksi RNA dan DNA HIV karena rendahnya tingkat sirkulasi virus, yang mungkin mengindikasikan bahwa infeksi tersebut didapatkan pada saat lahir. Selama 8 minggu yang pertama, hampir semua bayi terinfeksi akan memberikan hasil positif pada tes asam nukleat HIV. Bayi ditindak lanjut untuk gejala klinis dan diuji ulang pada usia 12, 15, dan 18 bulan untuk memantau pengembalian status seronegatif untuk mengkonfirmasi adanya infeksi (Hay et al., 2003). ‘Hallmark’ perkembangan penyakit HIV adalah penurunan jumlah absolut dan persentase CD4 T limfosit yang bisa memprediksi risiko anak-anak mendapat infeksi oportunistik. Hipergammaglobulinemia dari IgG, IgA, dan IgM adalah cirinya dan bisa diobservasi pada awal usia 9 bulan. Pada akhir penyakit, beberapa individu
mungkin menjadi hipogammaglobulinemik. Gangguan hematologik
mungkin terjadi akibat efek penyakit HIV atau bisa karena efek samping dari obat-obatan. (Hay et al., 2003).
2.7.3. Penunjang a)
Imaging Gambaran cerebral menunjukkan atrofi dan kalsifikasi pada basal ganglia
dan lobus frontal pada pasien ensefalopati. Rontgen dada pada anak-anak dengan limfoid interstitial pneumonitis difus menunjukkan infiltrat retikulonodular interstitial, kadang-kadang dengan adenopati hilus. Rontgen dada pada Pneumocystis jiroveci
pneumonia
menunjukkan
infiltrat
perihilar
berkembang menjadi ‘bilateral diffuse alveolar disease’ (Hay et al., 2003).
yang