BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Terumbu Karang
Sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan, sehingga dengan demikian secara alamiah bangsa Indonesia merupakan bangsa bahari. Hal ini ditambah lagi dengan letak wilayah Indonesia yang strategis di wilayah tropis. Hamparan laut yang luas merupakan suatu potensi bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan sumberdaya laut yang memiliki keragaman baik sumberdaya hayati maupun sumberdaya lainnya. Terumbu karang merupakan ekosistem yang amat peka dan sensitif sekali. Jangankan dirusak, diambil sebuah saja, maka rusaklah keutuhannya. Ini dikarenakan kehidupan di terumbu karang didasari oleh hubungan saling tergantung antara ribuan makhluk. Rantai makanan adalah salah satu dari bentuk hubungan tersebut. Tidak cuma itu proses terciptanya pun tidak mudah. Terumbu karang membutuhkan waktu berjuta tahun hingga dapat tercipta secara utuh dan indah. Terumbu karang perairan Indonesia terbentuk sejak 450 tahun silam (http:id.terumbukarang.org//Pulau_Rubiah).
Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal, seperti paparan benua dan gugusan pulau-pulau di perairan tropis. Untuk mencapai pertumbuhan maksimum, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, dengan suhu perairan yang hangat, gerakan gelombang yang besar dan sirkulasi air yang lancar serta terhindar dari proses sedimentasi. Ekosistem terumbu karang memiliki kemampuan yang baik dalam memperbaiki bagian yang rusak, bila karakteristik habitat dari berbagai macam formasi terumbu karang dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya terpelihara dengan baik. Seperti ekosistem lainnya, terumbu karang tidak memerlukan campur tangan atau manipulasi langsung manusia untuk kelangsungan hidupnya (Dahuri et al, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Dalam proses saling makan, berbagai biota laut yang hidup dalam lingkungan komunitas terumbu ada yang bersimbiosis mutualisme, komensalisme, dan parasitisme. Yang berbentuk hubungan komensalisme dengan terumbu karang antara lain hewan-hewan Decapoda (Crustaceae) misalnya udang dan rajungan (Portunus spp) serta berbagai jenis ikan karang membutuhkan keberadaan terumbu karang sebagai tempat berteduh (shelter) dan tempat menyelinap (sembunyi) untuk melindungi diri dari serangan predator, serta tempat mencari makan berupa plankton dan serasah. Organisme lain yang juga bisa ditemui dilingkungan terumbu karang antara lain bulu babi (Diadema), hewan bangsa kerang-kerangan (Pelecypoda), uburubur (jellyfish), bintang mengular (Ophiuroidea), bintang laut (Asterias sp), sea anemones, cumi (loligo sp), gurita (octopus spp), dan sebagainya (Wibisono, 2005).
2.2 Ikan karang
Empat puluh persen dari jenis ikan di dunia, atau sekitar 8000 jenis, hidup di paparan benua di perairan panas yang kecerahannya kurang dari 200 m. Perairan tropik dekat atau pada terumbu karang jika dibandingkan dengan daerah beriklim sedang, dihuni lebih banyak jenis tetapi umumnya setiap jenis sedikit jumlah hewannya. Semua jenis ikan pada terumbu karang masuk kedalam jaring makanan dalam beberapa cara sehingga terdapat keseimbangan yang rumit dari hubungan mangsa dimangsa. Beberapa kelompok ikan sangat penting bagi terumbu karang. Ikan kupu-kupu, misalnya, yang memakan hanya polip karang. Ikan ini hanya hadir kalau terdapat karang hidup dan dapat digunakan sebagai indikator kesehatan dan tutupan karang dengan melihat keanekaragaman jenis dan banyaknya ikan ini. Karena ikan kakatua memakan karang dan batuan kapur, dan membuang butiran-butiran putih yang telah dikerus oleh penggiling farengialnya, mereka penyebab penting erosi terumbu dan pembentuk pasir. Seekor ikan kakatua dewasa dapat menimbun 500 kg pasir karang pertahun pada terumbu (Juwana & Romimohtarto, 2001).
Menurut Hartati & Edrus (2005), identifikasi terjadinya perubahan dalam area perairan pantai yang direhabilitas membutuhkan indikator. Penggunaan suatu jenis biota sebagai indikator adalah diukur dari kemampuannya dalam memperlihatkan
Universitas Sumatera Utara
tanda-tanda yang diukur oleh pengamat pada waktu sedini mungkin. Karena, pemulihan terumbu karang yang rusak adalah suatu proses jangka panjang. Indikator pertama yang dapat digunakan untuk mengkaji perubahan-perubahan seiring waktu dalam tingkat populasi adalah komunitas ikan. Beberapa alasan pemilihan ikan sebagai indikator diantaranya adalah: 1)
Ikan merupakan satu kesatuan dari sistem kehidupan karang, tanggapantanggapan cukup mencerminkan adanya proses-proses yang mengancam atau mendukung sistem tersebut secara keseluruhan, dan termasuk mempengaruhi berbagai komponen lainnya.
2)
Ikan adalah organisme yang relatif kompleks, dimana banyak aspek biologi dan perilakunya dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesesuaian habitatnya, seperti ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae), predator polip karang.
3)
Ikan karang mempunyai hubungan yang erat sekali dengan karang dengan berbagai ketergantungan ini berguna untuk memantau pengaruhnya terhadap terumbu karang atau sebagai indikator yang sensitif untuk menentukan kondisi terumbu karang. Perubahan dalam distribusi dan kelimpahan ikan karang dapat menjadi suatu petunjuk bahwa komunitas karang telah mengalami gangguan dan tekanan. Selain itu, ikan tersebut dapat berguna dalam mendeteksi beberapa keadaan pada tingkat yang rendah, dengan polusi yang kronis melampaui periode waktu yang panjang atau ikan dapat berguna dalam mendeteksi keadaan-keadaan tanpa gangguan seperti hanya sekedar untuk mengetahui struktur karang.
Menurut Pratiwi (2006), ikan karang mempunyai ciri-ciri: Umumnya menetap, berukuran relatif kecil, gerakannya relatif mudah dijangkau oleh pengamat, hidup di perairan tropis, dan umumnya bersifat territorial. Jenis substrat tempat hidup ikan karang yaitu: Karang hidup, karang mati, pecahan karang, pasir dan karang lunak. Sebaran ikan karang dipengaruhi oleh beberapa hal seperti: Kebiasaan, habitat, arus dan larva. Ikan karang ditemukan pada kedalaman 0 sampai >20 meter.
Universitas Sumatera Utara
2.3
Klasifikasi Ikan Karang
Menurut Suadi & Widodo (2006), ikan dapat digolongkan kedalam 2 kelompok besar yakni: 1.
Ikan Bertulang Rawan Ikan yang termasuk dalam kelompok ini antara lain ikan hiu dan ikan pari. Kedua ikan ini dapat dijumpai di daerah terumbu karang. Beberapa jenis ikan hiu seperti black-tip ( Carcharhinus spp.) dan white-tip ( Triaenodon spp.) sering terlihat mengunjungi terumbu karang, umumnya di daerah lereng terumbu maupun di rataan terumbu.
2.
Ikan Bertulang Sejati Kelompok ikan ini yang umum kita lihat hidup di terumbu karang.
2.4 Pengelompokan Ikan Karang
Menurut Hartati & Edrus (2005), berdasarkan periode aktif mencari makan ikan dikelompokkan menjadi: 1) Ikan Nokturnal (aktif ketika malam hari), contohnya pada ikan-ikan dari famili holocetridae (Swanggi), Apogoninadae (Beseng), Hamulidae, Priacanthidae (Bigeyes), Muranidae (Eels), Seramidae (Jewfish) dan beberapa famili dari Mullidae (goatfishes) dll. 2) Ikan Diurnal (aktif ketika siang hari), contohnya pada ikan-ikan dari famili Labraidae
(wrasses),
Chaetodontidae
(Butterflyfishes)
Pomacentridae
(Damselfishes), Scaridae (Parrotfishes), Acanthuridae (Surgeonfishes), Bleniidae (Blennies),
Balistidae
(triggerfishes),
Pomaccantidae
(Angelfishes),
Monacanthidae, Ostraciontidae (Boxfishes), Etraodontidae, Canthigasteridae dan beberapa dari Mullidae (goatfishes). 3) Ikan Crepuscular (aktif diantara) contohnya pada ikan-ikan dari famili Sphyraenidae
(Baracudas),
Serranidae
(groupers),
Caramgidae
(jacks),
Scorpinadae (Lionfishes), Synodontidae (Lizardfishes), Cacharhinidae, Lamnidae, Spyrnidae (sharks) dan beberapa dari Muranidae (Eels).
Universitas Sumatera Utara
Pengelompokkan ikan karang berdasarkan peranannya: 1) Ikan target Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi seperti: Serranidae, cara hidupnya soliter, biasanya bersembunyi di gua-gua bawah karang, ukuran panjang tubuh sampai 2 m dan berat sampai 200 kg, tergolong karnivora memakan ikan, Subfamili Anthidae, ukuran kecil, warna terang 2) Ikan Indikator ini merupakan ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat hubungannya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari famili Chaetodontidae (Kepe-kepe). 3) Ikan Lain Ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan banyak dijadikan ikan hias air laut (Pomcentridae, Caesionidae, Scaridae, Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae ).
2.4 Ekologi Ikan Karang
Indonesia sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia memiliki kurang lebih 85.700 km2 wilayah terumbu karang atau 14% dari luas terumbu karang di dunia (Nontji, 2002). Sejumlah besar dari area terumbu karang tersebut telah mengalami degradasi yang cukup parah. Penelitian P30 LIPI pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 72% terumbu karang Indonesia tergolong rusak dan rusak berat, dan selebihnya hanya 28% yang tergolong baik dan baik sekali. Besarnya kerusakan ekosistem terumbu karang berdampak buruk terhadap kehidupan sosial, ekonomi dari orang yang hidup secara harmonis dan bergantung pada ekosistem tersebut untuk kebutuhan material dan pendapatan (KPP-CORAMAP, 2001).
Terumbu karang berasosiasi dengan ikan karang dan organisme lainnya. Ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak dan merupakan organisme besar yang mencolok yang dapat ditemui disebuah terumbu karang, karena jumlahnya besar dan mengisi seluruh daerah di terumbu, maka dapat terlihat dengan jelas bahwa ikan merupakan penyokong hubungan yang ada didalam ekosistem terumbu. Daerah IndoPasifik bagian tengah di Kepulaun Filipina dan Indonesia, mempunyai spesies yang
Universitas Sumatera Utara
jumlahnya lebih banyak. Terumbu atlantik mempunyai spesies yang relatif sedikit. Jumlah spesies yang terdapat disebuah terumbu karang adalah sangat luar biasa, yaitu 500 untuk satu terumbu dalam sistem Great Barrier Reef (Nybakken, 1988).
Banyak ikan yang makan langsung di terumbu karang, hal ini menunjukkan tingkah laku teritorial dan jarang berkeliaran jauh dari sumber makanan dan tempat berlindungnya. Batas teritorialnya dapat didasarkan atas persediaan makanan, pola berbiak, banyaknya pemangsa, kebutuhan ruang atau lainnnya. Semua itu menambah kerumitan hubungan ikan terumbu yang satu dengan yang lain (Juwana & Romimohtarto, 2001).
Ikan karang membutuhkan habitat hidup untuk bersarang dan mencari makan. Umumnya ikan karang memiliki mobilitas yang rendah, oleh karenanya sarang sebagai tempat bertahan hidup dan berlindung sangat penting untuk keberlanjutan fungsinya di dalam area otoritas yang telah dipertahankannya. Semua kebutuhan ikan karang telah disediakan oleh terumbu karang sebagai suatu ekosistem yang secara coevolution telah berkembang bersama-sama dengan ikan karang. Asosiasi ikan karang dengan terumbu karang sangat erat, sehingga eksistensi ikan karang di suatu wilayah terumbu karang sangat rapuh ketika terjadi pengurasan habitatnya. Dengan sifatnya ini pula maka ikan karang dapat dijadikan indikator yang baik untuk mengetahui tingkat kerusakan habitat. Kerusakan terumbu karang di pulau Rakiti dan Taikabo perairan teluk Saleh merupakan contoh baik, yang menunjukkan kehilangan biodiversitas ikan karang, baik jenisnya maupun relung ekologisnya. Berbagai fungsi ekologis ikan karang di perairan tersebut tidak terpenuhi karena kehilangan pelindung (shelter), area otoritas, organisme simbion, rantai makanan, tempat memijah, dan tempat mengasuh. Oleh karenanya, tingkat keanekaragaman ikan karang menjadi rendah (Hartati & Edrus, 2005).
Akibat dari jumlah spesies yang besar dan pembagian-pembagian habitat, dapat ditemukan bahwa kebanyakan ikan-ikan terumbu, meskipun gerakan mereka jelas tetapi ternyata mereka terbatas pada daerah tertentu di terumbu dan sangat terlokalisasi. Ikan karang juga tidak berpindah, dan banyak spesies yang lebih kecil
Universitas Sumatera Utara
seperti ikan Belosoh, ikan Tembakul, dan ikan Betok yang terkenal dalam mempertahankan wilayahnya (Nybakken, 1988).
Karang-karang bercabang menyediakan perlindungan bagi ikan-ikan kecil seperti betok dan gobi yang berenang-renang memakan plankton hewan dan kembali untuk berlindung di karang tersebut. Alga terumbu menunjang kehidupan banyak jenis ikan herbivor. Beberapa perumput terumbu yang khas dengan gigi pemotong untuk merumput alga yang menempel pada karang terdapat banyak, antaranya ikan kakatua. Perumput yang mengambil sebagian dari substrat atau sebenarnya menggigit potongan-potongan karang lepas dari
formasinya banyak jenisnya (Juwana &
Romimohtarto, 2001).
Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies di terumbu adalah karena variasi habitat terdapat di terumbu. Terumbu karang tidak hanya terdiri dari karang saja, tetapi juga daerah berpasir, berbagai teluk dan celah, daerah alga, dan juga perairan yang dangkal dan dalam zona-zona yang berbeda melintasi karang. Habitat yang beranekaragam mini dapat menerangkan peningkatan jumlah ikan-ikan itu. Akan tetapi, habitat yang banyak itu tidak cukup untuk menerangkan keragaman yang tinggi pada ikan-ikan terumbu karang, terutama pada daerah-daerah setempat. Tingginya keragaman ikan setempat mendorong untuk dilakukan sejumlah penelitian untuk menerangkan bagaimana spesies yang berjumlah besar itu dapat mempertahankan kehadirannya pada suatu daerah. Sebagai hasilnya timbul dua teori yang bertentangan mengenai keragaman ikan terumbu dan struktur komunitas. Pandangan paling klasik ialah bahwa hidup berdampingan merupakan hasil dari tingkat spesialisasi yang tinggi sehingga setiap spesies mempunyai tempat beradaptasi khusus yang didapat dari persaingan pada suatu keadaan di karang. Jadi dapat dikatakan bahwa, ikan-ikan mempunyai relung ekologi yang lebih sempit dan berarti daerah itu dapat menampung lebih banyak spesies. Pandangan lain dikemukakan, tentang hipotesis “Lottery”. Hipotesis ini menyatakan bahwa ikan tidak mempunyai sifat khusus, banyak spesies serupa yang mempunyai kebutuhan yang sama, dan terdapat persaingan yang aktif diantara spesies. Tempat yang baik dan ketekunan diakibatkan oleh kesempatan bagi spesies untuk menempati ruangan yang kosong. Kenyataannya belum dapat ditentukan pandangan mana yang benar (Nybakken, 1988).
Universitas Sumatera Utara
Komunitas ikan dan kondisi perairan pada ekosistem terumbu karang (coral reef) merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan sehingga tetap berlangsung suatu proses kehidupan. Komunitas ikan kerapu misalnya, dikenal sebagai penghuni ekosistem terumbu karang bersama dengan kondisi lingkungan perairan secara normal turut menciptakan kehidupan yang serasi bagi jenis-jenis biota air lainnya. Ikan kerapu berjumlah 110 jenis dari 10 genus, seperti Aethaloterca, Anyperodon, Chepalopolis, Cromileptes, Dermatolepis, Epinephelus, Gracila, Plectropomus, Saloptia, Triso dan Variola. Penangkapan ikan kerapu di alam sudah sangat intesif dilakukan karena bernilai ekonomis tinggi, baik dalam negeri maupun luar negeri, sedangkan kondisi lingkungan perairan pada lokasi penangkapan ikan kerapu di alam, seperti suhu berkisar antara 27.00-29.620C, salinitas berkisar antara 34.259-34.351 0/ 00, oksigen terlarut berkisar antara 3.95-4.28 mg/l, nitrat berkisar antara 1.00-6.00 μg.at/l (Langkosono & Wenno, 2003).
2.5 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan
Air laut mempunyai beberapa sifat fisik yang pengaruhnya sangat besar terhadap organisasi komunitas lautan. Sifat ini adalah kerapatan air laut yang lebih besar dari pada kerapatan udara dan kemampuannya untuk menyerap cahaya. Kerapatan air laut yang lebih besar menyebabkan organisme dan partikel yang relatif besar dapat terapung-apung didalamnya. Hal ini tak mungkin terjadi di udara. Suatu akibat penting dari keadaan ini adalah ekosistem lautan telah menciptakan suatu komunitas (Nybakken, 1988).
2.5.1 Temperatur
Dibandingkan dengan udara air mempunyai kapasitas panas yang lebih tinggi. Dalam setiap penelitian pada ekosistem air pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktifitas biologis-fisiologis didalam ekosistem air sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Van’t Hoff, kenaikan temperatur sebesar 10oC (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir ) akan
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara dilain pihak dengan naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini akan menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi ( Barus, 2004 ).
2.5.2 Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan. Nilai ini sangat penting dalam kaitannya dengan laju fotosintesis. Besar nilai penetrasi cahaya ini dapat diidentikkan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis. Untuk mengukur kekeruhan digunakan alat yang dinamakan turbidimeter ( Barus, 2004).
2.5.3 Intensitas Cahaya
Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan terbentuknya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi dalam air sampai ke lapisan dasar (Barus, 2004).
Menurut Juwana & Romimohtaro (2001), banyaknya cahaya yang menembus permukaan air laut dan menerangi lapisan permukaan air laut memegang peranan penting dalam menentukan pertumbuhan fitoplankton. Bagi hewan laut, cahaya mempunyai pengaruh terbesar yaitu sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanannya.
Universitas Sumatera Utara
2.5.4 pH
Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Pada pH yang terdapat dalam air adalah 100% amonium, pada pH 7 perbandingan antara keduanya adalah 1% amonium dan 99% amonium, pada pH 8 terdapat 4% amoniak dan 96% amonium. Jika semakin tinggi nilai pH akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dengan amoniak semakin bergeser kearah amoniak artinya kenaikan pH akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang diketahui bersifat sangat toksik bagi organisme air. Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisma akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5 ( Barus, 2001).
Kehidupan organisme aquatik sangat dipengaruhi oleh fluktasi nilai dari pH. Pada umunya organisme aquatik toleran pada kisaran nilai pH yang netral menyatakan pH yang ideal bagi organisme aquatik pada umumnya terdapat diantara 7-8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi ( Odum, 1994).
Setiap spesies memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap pH yang ideal bagi kehidupan organisme aquatik termasuk mikrozoobentos pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Pada pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme aquatik dan pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Dimana kenaikan pH diatas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat toksik bagi organisme ( Nybakken, 1992).
Universitas Sumatera Utara
2.5.5 DO (Disolved Oxygen)
DO (Disolved Oxygen) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, dimana kelarutan maksimum terdapat pada suhu 00C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O 2 . Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meingkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi dari organisme akuatik (Barus, 2004).
Menurut Michael (1994), oksigen hilang dari air alam oleh adanya pernafasan biota, pengurairan bahan organik, aliran masuk air bawah tanah yang miskin oksigen dan kenaikan suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat pada suhu 00C, yaitu sebesar 14,16 mg oksigen/liter air. Sedangkan nilai oksigen terlarut di perairan sebaliknya tidak lebih kecil dari 8 mg oksigen/liter air.
2.5.6 BOD (Biological Oxygen Demand)
Kebutuhan oksigen biologis (Biological Oxygen Demand/BOD) yaitu suatu angka yang menggambarkan kebutuhan oksigen oleh mikroorganisme (jasad renik) untuk melakukan kegiatan metabolisme bahan organik terlarut dan sebagian bahan organik tersuspensi serta bahan anorganik (senyawa nitrogen, sulfid dan ferro) yang memasuki perairan marine. Bahan organik yang memasuki perairan laut dapat digolongkan menjadi 2 golongan, yakni golongan yang mudah diurai dan golongan yang sukar diurai. Limbah dari kegiatan industri, domestik, pertambangan dan pertanian yang umumnya mengandung bahan organik bila memasuki perairan marine bisa mempengaruhi oksigen dalam air (Wibiosono, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.5.7 Salinitas
Salinitas menggambarkan jumlah zat terlarut yang berada dalam air. Salinitas dapat diukur dengan beberapa metode antara lain dengan metoda argentometri. Sekarang sudah banyak alat khusus dibuat untuk pengukuran salinitas air. Alat tersebut adalah salinometer.
Menurut Nybakken (1992), salinitas pada berbagai tempat di lautan terbuka yang jauh dari daerah pantai variasinya sempit saja, biasanya antara 34-37 0/ 00 dengan rataan 35 0/ 00 . Perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan presipitasi. Salinitas lautan didaerah tropik lebih tinggi karena evaporasi lebih tinggi sedangkan pada lautan di daerah beriklim sedang salinitasnya rendah karena evaporasi lebih rendah.
Universitas Sumatera Utara