7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Genus Artocarpus Genus Artocarpus merupakan salah satu genus dari Famili Moraceae yang termasuk kepada tribe Artocarpeae. Tumbuhan genus Artocarpus terdiri dari 60 spesies dan terdistribusi mulai Srilangka, India, Pakistan, Indo China, Malaysia, hingga kepulauan Solomon (Lemmens, 1995). Famili Moraceae ini terdiri dari 60 genera yang terdiri dari 1400 spesies terdistribusi di daerah tropis dan subtropis wilayah Asia. Genus Artocarpus terutama terdiri dari pohon sukun dan nangka. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan asli dari Asia Selatan dan Asia Tenggara, New Guinea dan Pasifik Selatan. Tumbuhan ini terdapat di hutan tropis biasanya ditemukan di bawah ketinggian 1.000 m. Di Indonesia terdapat 32 spesies tumbuhan dalam genus Artocarpus ini (Heyne, 1987). Spesies Artocarpus yang terdapat di ekosistem hutan beragam pada habitat yang berbeda. Keragamannya yang ada di seluruh dunia bergantung pada cara konservasi dan keadaan dari genus Artocarpus (Jagtab and Bapat, 2010), keragaman yang paling besar adalah di Malesian. Spesies dalam genus Artocarpus terdistribusi sebagai berikut: Malaysia 16 spesies, Sumatera 17 spesies, Borneo (Kalimantan) 23 spesies, Filipina 15 spesies, Sulawesi 6 spesies, Jawa 4 spesies, Sunda 3 spesies, Maluku 8 spesies, dan New guenia 6 spesies (Lemmens, 1995).
2.2 Fitokimia pada Genus Artocarpus dan Aktivitas Biologi Berdasarkan penelusuran literatur, spesies dalam
genus Artocarpus
mengandung senyawa kelompok non fenol dan senyawa kelompok fenol. Senyawa kelompok non fenol yang umumnya terdapat pada genus Artocarpus berupa senyawa terpenoid seperti triterpen, dan senyawa steroid seperti β-sitosterol dan stigmasterol.
8
Kandungan senyawa kelompok fenol sangat beragam seperti: flavonoid, stilben, dan santon. Flavonoid ini masih terbagi lagi atas turunan flavan, flavon, flavanon, flavonol, dan lain-lain. Terpenoid Berdasarkan literatur, diketahui bahwa dari tumbuhan genus Artocarpus diperoleh senyawa triterpen tetrasiklik dan pentasiklik. Kulit batang A.chaplasha menghasilkan
tiga senyawa yaitu: lupeol asetat 1, yang merupakan senyawa
pentasiklik, selanjutnya diperoleh senyawa triterpen tetrasiklik yaitu, sikloartenil asetat, 2 dan isosikloartenol asetat, 3 (Shieh et al., 1992). Triterpen pentasiklik lainnya adalah asam betulinat 4 yang berasal dari ekstrak heksana benzene kulit batang A. heterophyllus (Venkataraman, 1972).
1
3
2
4
dan ekstrak
9
Lupeol asetat ini diperoleh pula dari kulit akar segar A.communis (Shieh et al.,
1992). Triterpen sikloartenol 5,
dan
sikloartenon 6,
diperoleh dari
A.heterophyllus, sedangkan dari A. elasticus reinw, dan A.communis diperoleh triterpen pentasiklik lupeol 7, α- amirin 8, dan β-amirin 9 (Venkataraman, 1972).
5
6
7
8
10
9
Distribusi senyawa triterpen tetrasiklik dan pentasiklik yang telah ditemukan pada genus Artocarpus ditunjukkan pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1. Distribusi senyawa triterpen yang telah ditemukan pada genus Artocarpus Nama senyawa
Lupeol
asetat,
1
Nama spesies
A.chaplasha, A. heterophyllus, A. nobilis,
Sikloartenol, 5
A. altilis, A. lakoocha
Sikloartenon, 6
A. heterophyllus, A. nobilis, A. altilis, A. lakoocha
Isosikloartenol asetat, 3
A.chaplasha
Sikloartenil asetat, 2
A.chaplasha, A. heterophyllus, A. nobilis, A. altilis, A. lakoocha
Lupeol, 7
A. communis, A. elasticus
α-amirin, 8 dan β-amirin, 9
A. communis, A. elasticus, A. heterophyllus
Asam betulinat, 4
A. heterophyllus
11
Steroid Mahato (1971), melaporkan bahwa senyawa steroid yaitu β-sitosterol, 10 telah diisolasi dari tumbuhan A. chaplasha. β-sitosterol ini diperoleh juga dari A.communis (Shieh et al., 1992).
10 Betasitosterol Nama IUPAC
: 5-Kolesten-24p-etil-3p-ol
Rumus molekul
: C29H50O
Nama lain
: (24R)-etilkolest-5-en-3-β-ol, betasitosterin, 24 -α etilkolesterol, cinchol
Betasitosterol termasuk ke dalam kelompok steroid yang jalur biosintesisnya searah dengan terpenoid. Terpenoid disebut juga isoprenoid salah satu kelompok dari molekul hasil alam (natural product). Pembentukan terpenoid secara kimia adalah dengan cara bergabungnya unit isopren dan membentuk senyawa dengan berbagai cara yang berbeda. Hampir semua struktur yang multi siklik bergabung satu dengan yang lain tidak hanya dengan gugus fungsi, tapi juga dengan rangka dasar karbon. Terpenoid yang lebih besar merupakan komponen yang penting untuk metabolisma makhluk hidup termasuk hormon adrenal seperti testosterone dan estrogen, komponen membran kolesterol, dan larutan lipid. Produk metabolit sekunder ini tidak digunakan untuk kelangsungan hidup
12
dari tumbuhan, tetapi untuk hal-hal tertentu. Metabolit sekunder ini mempunyai fungsi yang berbeda, termasuk memberi bau, rasa, mengatur pertumbuhan, penarik serbuk sari, dan komponen rosin. Bahan alam, termasuk terpenoid, dari dahulu telah dipakai di dalam bidang farmasi, pertanian, dan pemakaian komersil lain, seperti pengobatan kanker. Terpen dengan berat molekul kecil selalu digunakan untuk parfum dan pemberi rasa. Steroid dianggap berasal dari terpenoid, karena pada jalur biosintesisnya, steroid diturunkan dari squalene, yang juga merupakan senyawa pembentuk triterpene. Secara garis besar jalur biosintesisnya sebagai berikut. Senyawa precursor dimulai dari senyawa asetil ko enzim A, yang bergabung sebanyak 2 molekul, dengan beberapa jalur reaksi selanjutnya membentuk asam mevalonat. Setelah mengalami beberapa tahap reaksi akan membentuk DMAPP (dimetilallil piropospat) dan isomernya IPP (isopentenilpiropospat). Kedua senyawa ini bergabung dan membentuk monoterpen. Monoterpen selanjutnya bergabung lagi dengan unit isopren baru membentuk sesquiterpen (farnesilpiropospat). Dua molekul farnesilpiropospat membentuk skualen, selanjutnya teroksidasi menjadi 2,3-epoksiskualen, yang dalam suasana asam membentuk lanosterol (terpenoid). Lanosterol kehilangan 3 gugus metil, yaitu dua dari atom C-4 dan satu dari C-14 membentuk kolesterol (steroid). Reaksi biosintesis steroid terdapat pada pada Gambar 2.1 berikut.
13
Gambar 2. 1. Reaksi biosintesis steroid (Mannito, 1992)
14
Reaksi biosintesis terpenoid sendiri dimulai dari asetilcoenzim A, reaksinya seperti terdapat pada Gambar 2.2 berikut.
Gambar 2. 2. Reaksi biosintesis terpenoid (Mannito, 1992)
15
Hasil penelusuran literatur, suatu senyawa β-sitosterol asetat,
merupakan
senyawa β-sitosterol yang bereaksi dengan asam asetat. Gugus OH pada β-sitosterol bereaksi dengan asam asetat membentuk ester β-sitosterol asetat. Geseran kimia yang terdapat pada β-sitosterol asetat dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini (http://www.chemicalbook.com/spektrum EN).
Gambar 2.3. Struktur β-sitosterol asetat dengan geseran kimia proton
Geseran kimia pada atom H tertentu pada β-sitosterol asetat Gambar 2.3 terdapat pada Tabel 2.2 berikut ini.
Tabel 2.2. Geseran kimia pada atom H pada β-sitosterol asetat No.
No. Atom H (Simbol )
Geseran Kimia (ppm)
1.
A
5,37
2.
B
4,61
3.
C
2,32
4.
D
2,04
5.
E
2,15-0,71
6.
F
1,02
7.
G
0,60
16
Penyebaran β-sitosterol Beta-sitosterol adalah sterol yang ditemukan pada tanaman, yang merupakan subkomponen utama kelompok sterol yang dikenal sebagai pitosterol. Senyawa ini berwarna putih dan memiliki struktur kimia yang sangat mirip dengan kolesterol. Beta-sitosterol banyak ditemukan dalam dedak padi, bibit gandum, minyak jagung, dan kedelai.
Manfaat β-sitosterol a. Mengontrol Kolesterol Selama tiga dekade terakhir β-sitosterol telah diketahui dapat mengurangi kadar kolesterol.
Struktur β-sitosterol mempunyai kemiripan dengan kolesterol,
sehingga dapat memblokir penyerapan kolesterol
dengan cara penghambatan
kompetitif. Meskipun β-sitosterol tidak diserap dengan baik oleh tubuh (5-10%), bila dikonsumsi dengan kolesterol secara efektif memblokir penyerapan kolesterol, yang mengakibatkan menurunkan kadar kolesterol serum. Beta-sitosterol juga
dapat
meningkatkan profil lipoprotein (HDL, LDL). b. Meningkatkan Kesehatan Prostat Mencegah dan mengobati masalah prostat seperti benign prostatic hyperplasia (BPH), dengan mengkonsumsi beberapa jenis herba seperti: ekstrak palmetto, Pygeum africanum, jelatang menyengat, dan biji labu, yang mengandung β-sitosterol. Mekanisma kerja β-sitosterol dalam hal meningkatkan kesehatan prostate belum diketahui,
namun dalam
suatu studi dikatakan bahwa β-sitosterol dapat
mengaktivasi siklus sphingomyelin dan menginduksi apoptosis di LNCaP sel kanker prostat manusia secara invitro. Ada juga laporan yang menunjukkan bahwa βsitosterol memiliki beberapa aktivitas anti-inflamasi di prostat.
17
c. Mempunyai Efek Anti-Kanker Beta-sitosterol bertindak
melawan kanker,
dengan cara
mengurangi
pertumbuhan prostat manusia dan sel kanker usus besar. Βetasitosterol juga dapat mencegah leukemia limfositik. d. Meningkatkan Kekebalan Beta-sitosterol dapat meningkatkan kekebalan atlet yang sering menderita tekanan kekebalan dan mengurangi respon inflamasi selama masa latihan dan kompetisi. Beta-sitosterol telah menunjukkan tidak hanya untuk meningkatkan kekebalan tubuh tetapi juga untuk meningkatkan proliferasi limfosit dan aktivitas sel. Hal ini sangat berguna untuk orang-orang yang secara fisik stres, secara medis tidak sehat atau baru sembuh dari sakit. e. Menormalkan Gula Darah Beta-sitosterol telah terbukti dapat menormalkan gula darah pada penderita diabetes tipe II dengan merangsang pelepasan insulin yaitu konsentrasi
glukosa
non-stimulasi,
dan
menghambat
dengan kehadiran glukosa-6-fosfatase.
Di dalam hati, enzim glukosa-6-fosfatase adalah jalur utama untuk konversi karbohidrat menjadi gula darah. Glukosa-6-fosfatase dephosphorylates glukosa-6fosfat menghasilkan D-glukosa bebas. D-glukosa bebas masuk ke dalam darah, sehingga meningkatkan kadar gula darah. Mengurangi kadar glukosa darah dengan down-regulasi glukosa-6-fosfatase dapat membantu memperlambat diabetes yang disebabkan oleh usia tua. Selain hal di atas β-sitosterol juga memiliki kemampuan untuk meredakan peradangan, menyembuhkan borok, meningkatkan denyut rahim dan mengurangi kram. Betasitosterol ini juga memiliki aktivitas anti-virus, anti-bakteri dan anti-jamur (Berges, 1995).
18
Kelompok Senyawa Turunan Flavonoid Penelitian terdahulu pada batang tumbuhan A.altilis (A. communis) diperoleh senyawa-senyawa flavon yaitu: isosiklomulberin 11, sikloaltilisin 12, siklomorusin 13, siklomulberin 14, (Chen, 1993)
11
12
13
14
Isolasi pada kulit akar
A.communis oleh Lin (1992), diperoleh:
piranoflavonoid yaitu siklokomunol 15, siklokomunin 16, dan dihidrosikloartomunin 17.
15
16
19
17 Shieh (1992), memperoleh senyawa flavonoid dengan rangka santon dari akar tumbuhan A. communis yaitu artomunosanton 18, artomunosantentrion 19, dan artomunosantentrion epoksida 20.
18
19 O
O
OMe
O O
OH
O
O
20
Aida (1997), memperoleh piranobenzosanton, yaitu artobilosanton 21, dan sikloartobilosanton 22, selanjutnya Aida juga memperoleh fenoldehidrobenzosanton
20
yaitu: artonol A 23, artonol B 24, artonol C 25, artonol D 26, dan artonol E 27 dari tumbuhan A. communis.
21
22
23
24
25
26
21
27 Senyawa flavon terprenilasi, yaitu senyawa sikloartokarpin 28, artokarpin 29, dan kaplasin 30, diisolasi dari ekstrak diklorometana dari akar dan batang A.communis, sedangkan morusin 31,
sikloartobilosanton 22, artonin E 32, and
artobilosantone 21 diisolasi dari akar
yang mempunyai aktivitas antituberkulose
dengan konsentrasi daya hambat minimum (MIC) antara 3,12-100 g/mL (Jagtab and Bapat, 2010).
28
29
30
31
22
32 Enam senyawa kimia yang diisolasi dari korteks akar Artocarpus, communis (Weng et al., 2006) adalah empat flavonoid baru, yaitu: dihidroartomunosanton 33, artomunoisosanton 34, siklokomunometanol 35, dan artomunoflavanon 36, bersamasama dengan dua senyawa yang telah
dikenal, yaitu: artohamins B 37, dan
artokommunol 38. Dihidroartomunosantone 33,
artohamins B 37, dan
artokommunol 38 yang diisolasi dari korteks akar A. communis menunjukkan efek antiplatelet pada makhluk hidup. Senyawa ini menunjukkan daya hambat yang signifikan pada agregasi sekunder yang diinduksi dengan adrenalin. Efek antiplatelet senyawa ini yang utama disebabkan daya hambat pada pembentukan tromboksan. (Weng et al., 2006.).
33
34
23
35
36
37
38
Dua prenilflavonoid baru, yaitu siklogerakomunin 39, dan artoflavon A 40, diisolasi dari korteks akar A.communis. Bersama dengan senyawa tersebut diatas diisolasi senyawa yang sudah dikenal yaitu: artomunoisosanton 34, artokomunol 38, artohamin B 37, dan dihidroartomunosanton 33, (Lin et al., 2009).
39
40
24
Lima
geranil
dihidrocalcon,
1-(2,4-dihidroksifenil)-3-{4-hidroksi-6,6,9-
trimetil-6a,7,8,10 a-tetrahidro-6H-dibenzo[b,d]piran-5-yl}-1-propanon (41),1-(2,4dihidroksifenil)-3-[3,4-dihidro-3,8-dihidroksi-2-metil-2-(4 benzopiran-5-il]-1-propanon
(42),
metil-3-pentenil)-2H-1-
1-(2,4-dihidroksifenil)-3-[8-hidroksi-2-metil-2-
(3,4-epoksi-4-metil-1-pentenil)-2H-1-benzopiran-5-il]-1-propanon
(43),
1-(2,4-
dihidroksifenil)-3-[8-hidroksi-2-metil-2-(4-hidroksi-4-metil-2
pentenil)-2H-1-
benzopiran-5-il]-1-propanon (44),and 2-[6-hidroksi 3,7-dimetilokta-2(E),7-dienil]20,3,4,40-tetrahidroksidihidrocalcon (45), yang diisolasi dari daun A. altilis (Wang et al., 2007).
41
43
42
44
25
45
Penelitian terhadap bagian tumbuhan A. communis relatif telah sempurna, senyawa kimia dari bagian tumbuhan A. communis yang telah diteliti, aktivitas biologinya dan penelitinya terdapat pada Tabel 2.3 berikut (Jones, et al., 2011).
Tabel 2.3. Senyawa kimia dari bagian tumbuhan Artocarpus communis yang telah diteliti, aktivitas biologinya dan penelitinya No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
12. 13. 14. 15.
Senyawa
Bagian Tanaman
1,2-cyclohexanediol 1-methylbuthyl acetate 1-octen-3-01 2,3-penten-3-01 2,3-butanediol 20,40,5,7-tetrahydroxy-6-(3methyl-2-butenyl)-flavone 2-butanone 2-cyclohexenol 2-cyclohexenone 2-ethenyl-2-butenal 2-geranyl2’,3’,4,4’hydoxydihydrochal cone 2-heptanol 2-heptanone 2-methyl-4-pentenal 2-methylbutyric acid
Buah (Segar dan masak ) Buah (Masak) Buah (Segar dan masak ) Buah (Segar dan masak ) Buah (Segar dan masak ) Buah (Segar dan masak )
Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al.,1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994
Buah (Segar) Buah (masak) Buah (Segar dan masak ) Buah (Masak) Empelur
Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Shimizu et al., 2000
Buah (Segar dan masak ) Buah (Segar dan masak ) Buah (Segar) Buah (Segar)
Aktivitas Biologi
5 αReductase inhibition
Peneliti (Rujukan)
Iwaoka et al. ,1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994
26
Tabel 2.3 (Sambungan) No.
Senyawa
Bagian Tanaman
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Buah (Segar) Buah (Segar) Buah (Masak) Buah (Masak) Buah (Masak) Buah (Segar dan masak ) Buah
42. 43. 44. 45.
2-pentanol 2-pentanone 3-cyclohexenol 3-hexene-2,5-diol 3-hexene-2,5-diol 3-hydroxy-2-butanone 3β-acetoxyolean-12-en-11one 5-ethyl 2 (5H)-furanone AC-3-1 AC-3-2 AC-3-3 AC-5-1 AC-5-2 Amylalcohol Artocarpin Artocarpindichloromethane hemisolvate Artochamin B Artochamin D Artocommunol CC Artoindonesianin B Artoindonesianin F Artomunoflavonone Artomunoisoxanthone Artomunoxanthentrione Artomunoxanthone Artomunoxanthotrione epoxide Artonin E Artonin E Artonin F Artonin V
46. 47. 48. 49. 50. 51 52 53 54 55
Artonol A Artonol B Artonol B Artonol D Artonol E Benzaldehyd Benzyl asetat Benzyl alcohol Butanol Butyric Acid
23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41
Aktivitas Biologi
Buah (Segar dan masak ) Inflorescence Inflorescence Inflorescence Inflorescence Inflorescence Buah (Masak) Kulit akar Kulit akar Kulit bakar Kulit akar Kulit akar Tidak tertentu Tidak tertentu Kulit akar Kulit akar Kulit akar Kulit akar Kulit akar Tidak tertentu Tidak tertentu Tidak tertentu Kulit batang Tidak tertentu Tidak tertentu Tidak tertentu Tidak tertentu Tidak tertentu Buah (masak) Buah (masak Buah (segar dan masak ) Buah ( segar dan masak) Buah (segar)
Antiplatelet Antiplatelet
Peneliti (Rujukan) Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Amarasinghe et al. 2008 Iwaoka et al., 1994 Nomura et al.,1994 Nomura et al.,1994 Nomura et al.,1994 Nomura et al.,1994 Nomura et al.,1994 Iwaoka et al., 1994 Hakim et al., 2006 Chatrapromma et al., 2007 Wang et al., 2006 Wang et al., 2006 Wang et al., 2006 Hakim et al., 2006 Hakim et al., 2006 Wang et al., 2006 Wang et al., 2006 Nomura et al., 1998 Nomura et al., 1998 Nomura et al., 1998 Nomura et al., 1998 Hakim et al., 2006 Nomura et al., 1998 Nomura et al.,1998 Nomura et al., 1998 Nomura et al., 1998 Hakim et al., 2006 Nomura et al., 1998 Nomura et al., 1998 Iwaoka et al. , 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al. , 1994
27
Tabel 2.3 (Sambungan) No.
Senyawa
Bagian Tanaman
Aktivitas Biologi
Peneliti (Rujukan)
56 57 58 59 60 61 62 63 64
Chaplasin Chloroform Cinnamic alcohol Cis-2-hexenal Cis-3-hexenol Cis-3-hexenyl acetate Cycloaltilisin Cycloaltilisin 6 Cycloartenyl acetate
Tidak tertentu Buah (segar dan masak ) Buah ( segar dan masak) Buah (masak) Buah (segar dan masak ) Buah ( segar dan masak) Batang Influorescen stipule Buah
65 66 67 68 69 70 71 72 73. 74 75 76 77
Cycloartobiloxanthone Cycloartocarpin Cycloartomunin Cycloartomunoxanthone Cyclocommunin Cyclocommunol Cyclocomunomethonol Cyclohexyl benzene Cyclomorucin Cyclomulberrin Cyclopentanol Cycloaltilisin 7 Diethylen glycol monoethyl ether Dihyroartomunoxanthone Dihydrocycloartomunin Dihydroisocycloartomunin Dimethylbenzenepropionic acid Engeletin Ethanol Ethyl 3-hydroxybutyrate Ethyl acetate Ethyl benzoate Ethyl butirate Ethyl palmitate Friedelan-3-ol Friedelin Frutackin
Tidak tertentu Tidak tertentu Kulit akar Kulit akar Kulit akar Kulit akar Kulit akar Buah Tidak tertentu Tidak tertentu Buah (segar dan masak ) Influorescen stipule Buah (segar dan masak )
Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al. 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Chen et al., 2003 Patil et al., 2002 Amarasinghe et al., 2008 Hakim et al., 2006 Hakim et al., 2006 Nomura et al., 1998 Nomura et al., 1998 Nomura et al.1998 Nomura et al., 1998 Wang et al., 2006 Iwaoka et al., 1994 Nomura et al., 1998 Nomura et al., 1998 Iwaoka et al., 1994 Patil et al., 2002 Iwaoka et al., 1994
Kulit akar Kulit akar Kulit akar Buah (masak)
Wang et al., 2006 Nomura et al., 1998 Nomura et al., 1998 Iwaoka et al., 1994
Tidak tertentu Buah (masak) Buah (segar dan masak) Buah (masak) Buah (masak) Buah (segar) Buah (segar) Kulit akar Kulit akar Biji
Nomura et al., 1998 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Fun et al., 2007 Fun et al., 2007
78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89. 90 91
Chitin binding, antifungal
Daun 92. 93. 94. 95
Geranyl dihydrochalcone ( 9 structure) Hexanal Hexanoic acid Hexanol
Wang et al., 2008 Buah (segar dan masak ) Buah (segar dan masak ) Buah (segar dan masak )
Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994
28
Tabel 2.3 (Sambungan) No.
Senyawa
Bagian Tanaman
Aktivitas Biologi
Peneliti (Rujukan)
96. 97 98.
Hexylacetae Isoamyl alcohol Isoartocarpesin
Buah (segar dan masak ) Buah (segar dan masak ) Buah
Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Amarasinghe et al., 2008
99. 100. 101. 102.
Isocyclomorucin Isocyclomulberin KB-2 Methyl acetate
Batang Batang Stem bark Buah (masak)
Chen et al., 1993 Chen et al., 1993 Nomura et al.,1998 Iwaoka et al., 1994
103
Moracin M
Buah
104
Morucin
Kulit batang
105
Norartocarpanone
Buah
106
Norartocarpetin
Buah
107 108
Octanoic acid Oxyresveratrol
Buah (segar dan masak) Buah
109 110
Phenylpropyl alcohol Prenylflavonoids structures) Sitosterol
111 112
(3
Sitosterol b-Dglucopyranoside 113 Toluene 114 Trans,trans-2,4-heptadienal 115 Trans-2(or4)chlorocyclohexanol 116 Trans -2-hexenal 117 Trans-2-hexenol 118 Trans -2-pentenal 119 Trans-3-hexenoic acid 120 Trans -3-hexenol 121 Vanillin 122 -hexalacton 123 -valerolactone Sumber: Jones et al., 2011
Buah (segar dan masak) Tidak tertentu Buah
Inhibit leukeumia cells Antifungal, antioksidan, cytotoxic, phytotoxic Antitumor
Antifungal, antioxidant
Amarasinghe et al. 2008
Nomura et al., 1998 Hakim et al., 2006 Amarasinghe et al., 2008 Amarasinghe et al., 2008 Iwaoka et al., 1994 Amarasinghe et al. 2008 Iwaoka et al., 1994 Lu et al., 2007
Buah (masak) Buah (segar) Buah (segar dan masak)
Amarasinghe et al., 2008 Amarasinghe et al., 2008 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994
Buah (segar) Buah (segar dan masak) Buah (segar dan masak) Buah (segar) Buah (segar dan masak) Buah (masak) Buah (masak) Buah (segar dan masak)
Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994 Iwaoka et al., 1994
Buah
29
2.3 Artocarpus camansi (Kulu) Taksonomi Tanaman Artocarpus camansi Dalam sistematika (taksonomi) tumbuh-tumbuhan, tanaman A.camansi dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Ragone, 2006): Divisi Sub divisi Kelas Ordo Famili Tribe Genus Spesies Inggris Filipina Malaya, Jawa
: : : : : : : : :
Spermatophyta Angiospermae Dicotyledoneae Rosales Moraceae Artocarpeae Artocarpus Artocarpus camansi Blanco Breadnut Kolo,pakau Kelur, kulor, kulur, kuror
:
Botani Tanaman A. camansi, breadnut Artocarpus camansi Blanco, famili Moraceae ( family Mulberry) merupakan tumbuhan dengan tinggi 10-15 m (33-50 ft) dengan cabang utama sepanjang 5 m atau lebih, bergetah berwarna putih pada setiap bagian tumbuhan. Bunga berumah 1 yaitu bunga jantan dan bunga betina pada tumbuhan yang sama pada ujung cabang, bunga jantan muncul lebih dahulu. Bunga jantan berbentuk tongkat panjang yang biasa disebut ontel. Bunga betina berbentuk bulat bertangkai pendek yang biasa disebut babal seperti pada nangka. Bunga betina ini merupakan bunga majemuk sinkarpik seperti pada nangka. Daun alternate, besar dan panjangnya 40-60 cm (12-24 in). Gambaran
pohon A.camansi dan buahnya terdapat pada
Gambar 2.4. Penelusuran literatur yang dilakukan, penelitian terhadap senyawa kimia pada tumbuhan A. camansi ini masih sangat kurang dibandingkan dengan kerabat satu spesies yang sangat mirip yaitu A.altilis atau sukun. Penelitian yang telah dilakukan umumnya terhadap biji dari buah A.camansi. Adeleke (2010), melakukan penelitian terhadap komposisi biji tumbuhan A.camansi,
30
dan memperoleh hasil bahwa biji tumbuhan ini mengandung protein 4,8%, lemak 3,48%, karbohidrat 26,11%, sedangkan debu dan seratnya adalah 3,43 dan 1,20%.
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.4. Beberapa bagian pohon Artocarpus camansi dan buahnya. (a). Pohon A.camansi (b). Bahagian dalam buah A.camansi (c). Bahagian luar buah A.camansi Biji tumbuhan ini mengandung posfor, kalium, dan natrium yang tinggi, dan mengandung asam amino yang penting (essensial) dengan kadar tinggi seperti:
31
leusine, isoleusine, lisine. Minyaknya kaya akan asam palmitat, oleat, linoleat, laktat, dan sitrat, sedangkan asam malat, asetat, dan butirat ada dalam jumlah kecil. Biji A.camansi dapat digunakan sebagai tepung, dan minyaknya sebagai sumber minyak yang baik untuk dimakan. Pemakaian sehari-hari buah A. camansi adalah untuk bahan makanan yang dapat direbus sebagai sayuran dan sebagai bahan untuk sop. Buahnya mengandung protein yang tinggi (13-20%), dan rendah lemak (6-29%). (Ragone, 1997).
2.4 Mekanisme Regulasi Glukosa Darah Pankreas manusia memiliki 1-2 juta pulau Langerhans. Sel-sel di dalam pulau Langerhans berdasarkan morfologinya dibagi menjadi 4 sel dan masing-masing sel menghasilkan hormon, yaitu sel A (sel-α) yang menghasilkan glukagon, sel B (sel-β) menghasilkan insulin, sel D menghasilkan somatostatin serta sel F menghasilkan polipeptida pankreas. Insulin dan glukagon memiliki fungsi penting dalam pengaturan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Insulin bersifat anabolik dengan meningkatkan simpanan glukosa, asam amino dan asam lemak, sedangkan glukagon bersifat katabolik dengan memobilisasi glukosa, asam amino dan asam lemak dari penyimpanan ke dalam aliran darah (Karam, 1998). Pelepasan insulin dirangsang oleh sejumlah besar zat endogen dan eksogen. Glukosa merupakan salah satu zat eksogen yang menjadi penentu utama fungsi sel-β dalam mensintesis maupun melepaskan insulin. Glukosa yang berada di aliran darah akan memasuki sel-β melalui transpor terfasilitasi yang diperantarai oleh GLUT2. Selanjutnya glukosa mengalami proses metabolisme, diawali dengan fosforilasi glukosa oleh glukokinase menjadi G6P dan selanjutnya mengalami glikolisis dan siklus TCA, sehingga meningkatkan ATP intraselular dan menurunkan ADP. Akibat meningkatnya rasio ATP/ADP, jumlah kalium yang masuk ke dalam sel berkurang karena terjadi hambatan pada saluran kalium yang bergantung ATP. Penurunan ini mendepolarisasi membran plasma sel-β dan menyebabkan terbukanya saluran kalsium voltage-gated. Peningkatan kalsium intraselular menstimulasi eksositosis
32
granula diikuti pelepasan insulin dan komponen lainnya ke sirkulasi (Lawrence, 2005). Proses pelepasan insulin terdapat pada Gambar 2.5 berikut.
Gambar 2.5. Proses pelepasan insulin (Karam, 1998)
Insulin kemudian berikatan dengan reseptornya di permukaan sel pada jaringan target. Adapun jaringan target yang penting untuk pengaturan homeostasis glukosa adalah hati, otot dan lemak. Selain itu, insulin juga bekerja pada sel darah, sel otak dan sel gonad. Reseptor insulin merupakan glikoprotein transmembran yang terdiri atas dua subunit α dan dua subunit β yang dihubungkan oleh ikatan disulfida untuk membentuk heteroatomer β- α- α- β. Subunit α seluruhnya berada di ekstraseluler dan mengandung domain pengikat insulin, sedangkan subunit β merupakan protein transmembran yang memiliki aktifitas protein kinase, yakni tirosin. Setelah insulin diikat, reseptor membentuk agregat dan secara cepat diinternalisasi. Interaksi antara insulin dan reseptor menghasilkan sinyal yang ditransmisikan ke dalam sel untuk mengaktifasi berbagai jalur anabolik dan menghambat proses katabolik. Kerja
33
anabolik insulin ini mencakup transpor glukosa, sintesis glikogen, lipid dan protein. Transpor glukosa ke dalam sel otot rangka dan adiposa diperantarai oleh GLUT4. Insulin juga meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel hati, tetapi bukan melalui peningkatan jumlah GLUT4 di membran sel, melainkan dengan memicu glukokinase. Hal ini meningkatkan fosforilasi glukosa sehingga kadar glukosa bebas intrasel tetap rendah, mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel (Ganong, 2005). Glukosa dalam sel selanjutnya dapat dimetabolisme dengan banyak cara. Glukosa dapat dioksidasi melalui jalur Embden-Meyerhof dan daur Kreb untuk menghasilkan energi. Selain itu glukosa juga digunakan untuk memperoleh kofaktor tereduksi yang perlu untuk reaksi biosintetik. Dalam otot rangka dan hati, glukosa disimpan dalam bentuk glikogen (glikogenesis) untuk dapat dipakai kembali (glikogenolisis). Di dalam sel lemak, glukosa dimetabolisme menjadi asetil koA yang kemudian digunakan untuk mensintesis asam lemak. Pengesteran asam lemak dengan gliserol menghasilkan trigliserida yang merupakan bentuk penyimpanan energi (Foye, 1996).
2.5 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah sekumpulan gejala akibat gangguan metabolisme lemak, karbohidrat dan protein karena defisiensi insulin, baik karena kurangnya sekresi insulin, kurangnya aktifitas insulin maupun keduanya. Akibatnya terjadi penurunan pemasukan glukosa ke dalam berbagai jaringan perifer dan peningkatan pelepasan glukosa ke dalam sirkulasi dari hati. Dengan demikian terjadi kelebihan glukosa ekstrasel dan pada banyak sel terjadi defisiensi glukosa intrasel. Hiperglikemia yang terjadi menyebabkan glikosuria dan diuresis osmotik yang menyebabkan dehidrasi. Dehidrasi menimbulkan polidipsia. Karena defisiensi glukosa intrasel,
nafsu makan meningkat, glukosa dibentuk dari protein
(glukoneogenesis), dan pasokan energi dipertahankan dengan metabolisme protein dan lemak. Akibatnya terjadi penurunan berat badan, defisiensi protein, dan penurunan fungsi mental (Triplitt, et al., 2005; Ganong, 2005).
34
Katabolisme lemak meningkat, dan sistem dibanjiri oleh trigliserida dan asam lemak bebas. Sintesis lemak terhambat, dan jalur katabolik yang kelebihan beban tidak dapat mengatasi kelebihan asetil koA yang terbentuk. Di hati, asetil koA diubah menjadi benda keton. Dua dari benda keton ini adalah asam organik, dan jika keton menumpuk dapat menimbulkan asidosis metabolik. Deplesi Na+ dan K+ terjadi pula pada asidosis karena kation plasma ini diekskresikan dengan anion organik yang tidak diganti oleh H+ dan NH4+ yang disekresi oleh ginjal. Akhirnya pasien atau hewan yang mengalami asidosis, hipovolemia, dan hipotensi menjadi komatosa karena efek toksik asidosis, dehidrasi, dan hiperosmolaritas pada sistem saraf dan dapat meninggal bila tidak diobati (Ganong, 2005). 2.5.1 Klasifikasi Diabetes Melitus American Diabetes Association (ADA) pada Tahun 1997 dan WHO pada Tahun 1999 mengklasifikasikan diabetes melitus menjadi 4 tipe berdasarkan etiologinya yaitu tipe 1, tipe 2, tipe spesifik lainnya atau akibat penyakit tertentu, serta diabetes melitus gestasional. Diabetes melitus tipe 1 terjadi pada 10% dari semua kasus diabetes. Ditandai oleh adanya lesi yang menyebabkan kerusakan sel β-pankreas baik akibat mekanisme autoimmun (90%) atau penyebab yang belum diketahui (idiopatik) sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. Destruksi autoimun sel β pankreas disebabkan oleh beberapa hal,yaitu terbentuknya antibodi sel pulau, antibodi terhadap asam glutamat dekarboksilase serta antibodi insulin. Diabetes melitus tipe 2 terjadi pada 90% dari semua kasus diabetes dan ditandai penurunan sekresi insulin relatif dan penurunan sensitifitas insulin (resistensi insulin), walaupun tidak selalu. Diabetes melitus tipe 2 lebih disebabkan pola hidup kurang gerak dan obesitas dibandingkan pengaruh genetika. Diabetes tipe spesifik lainnya terjadi pada 1-2% dari semua kasus diabetes. Terdiri dari dua sub golongan, yaitu sub golongan A dimana terjadi mutasi spesifik yang telah dapat diidentifikasi sebagai penyebab kelemahan genetika, sedangkan sub
35
golongan B adalah diabetes yang berhubungan dengan kondisi patologis lainnya atau suatu penyakit. Sub golongan A diakibatkan oleh abnormalitas genetika fungsi sel βpankreas dan abnormalitas genetika aktifitas insulin. Sub golongan B diakibatkan oleh penyakit pankreas eksokrin, penyakit endokrin, akibat induksi obat-obatan atau bahan kimia, infeksi, penyakit hati, diabetes karena faktor imun yang tidak umum, serta beberapa sindroma genetika lainnya yang sering berhubungan dengan diabetes. Diabetes gestasional didefinisikan terjadinya intoleransi glukosa selama kehamilan atau terdeteksi pertama sekali pada saat kehamilan. Terjadi pada sekitar 7% dari seluruh kehamilan (The Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus, 1997; World Health Organization, 1999; The Committee of the Japan Diabetes Society on the diagnostic criteria of diabetes mellitus, 2002; Triplitt, et al., 2005).
2.5.2 Diagnosis diabetes Kriteria yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus adalah dari gejala yang timbul dan glukosa plasma. Adapun gejala diabetes ditandai dengan poliuria, polidipsia serta penurunan berat badan walaupun terjadi polifagia (peningkatan nafsu makan). Gejala lainnya adalah glikosuria, ketosis, asidosis dan koma. Untuk parameter glukosa plasma, American Diabetes Association (ADA) merekomendasi parameter glukosa puasa sebagai acuan utama untuk mendiagnosis diabetes melitus pada orang dewasa. Namun selain itu bisa juga ditetapkan dari glukosa plasma sewaktu maupun 2 jam setelah mengkonsumsi glukosa. Jika nilai glukosa plasma masih belum dapat ditentukan dengan tegas, maka pengujian dapat diulangi pada hari yang berbeda mellitus terdapat pada Tabel 2.4 berikut.
(Triplitt, et al., 2005). Diagnosis diabetes
36
Tabel 2.4. Diagnosis diabetes melitus Parameter Glukosa plasma puasa
Normal (mg/dL) < 100
Gangguan (mg/dL) 100-125
Diabetes Melitus (mg/dL) ≥ 126
< 140
140-199
≥ 200
Glukosa plasma 2 jam setelah uji toleransi glukosa
2.5.3 Model Hewan Diabetes Melitus Model hewan diabetes melitus digunakan untuk memvalidasi beraneka tumbuhan obat yang diduga mempunyai potensi sebagai antidiabetes. Secara in vivo, model hewan diabetes melitus dapat diperoleh dengan induksi secara farmakologi, pembedahan maupun rekayasa genetika. Sebagai hewan uji, dapat digunakan hewan pengerat (rodensia) maupun bukan pengerat (non rodensia), namun sebahagian besar penelitian dilakukan pada hewan pengerat seperti tikus dan mencit. Hewan bukan pengerat yang juga sering digunakan adalah kelinci, dan diklaim sebagai model hewan yang lebih baik. (Frode dan Medeiros, 2008; Kelompok Kerja Ilmiah Phyto Medica, 1993, Rees dan Alcolado, 2005). Induksi secara farmakologi yang paling sering digunakan adalah dengan menggunakan streptozotosin dan aloksan. Streptozotosin lebih dijadikan pilihan dibandingkan aloksan karena diabetes melitus yang ditimbulkan lebih stabil dan permanen (Frode dan Medeiros, 2008). 2.5.4 Parameter Pemeriksaan Diabetes Mellitus Sebahagian besar publikasi ilmiah yang menggunakan induksi senyawa kimia untuk memperoleh model diabetes mellitus, mengukur penurunan glukosa darah setelah pemberian sampel uji berupa produk alami selama waktu tertentu. Hasilnya dibandingkan terhadap kelompok hewan non diabetes dan/atau diabetes yang diterapi dengan obat antidiabetes tertentu. Parameter yang diperiksa adalah glukosa darah, insulin maupun HbA1c jika penelitian dilakukan secara kronik (Frode dan Medeiros,
37
2008). Pengamatan terhadap histologi pankreas juga dapat dilakukan dengan cara mengambil pankreas dari hewan uji yang telah didekapitasi, kemudian diletakkan dalam larutan formalin 10% dan segera diproses menggunakan parafin. Selanjutnya pankreas dipotong setebal 5 µm serta dilakukan pewarnaan dengan hematoksilin dan eosin untuk pengamatan histopatologi dan diletakkan pada slide mikroskop untuk difoto (de Las Heras-Castano, et al., 2005).