BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin (adolescere) (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Dieny, 2014; Hurlock, 2002). Masa remaja, ”jalan panjang” yang menjembatani periode kehidupan anak dan dewasa, yang berawal pada usia 9 tahun dan berakhir di usia 18 tahun, memang sebuah dunia yang “lenggang”; dan rentan dalam artian fisik, psikis, sosial dan gizi (Arisman, 2007). Pada fase ini fisik seorang terus berkembang, demikian pula aspek sosial dan psikologisnya. Perubahan ini membuat seorang remaja mengalami banyak ragam gaya hidup, perilaku, tidak terkecuali pengalaman dalam menentukan makanan apa yang akan dikonsumsi (Khomsan, 2007). WHO mendefinisikan remaja bila anak telah mencapai umur 10-19 tahun. Menurut Undang-undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menganggap remaja bila sudah berusia 18 yang sesuai dengan saat lulus dari sekolah menengah (Narendra, dkk, 2002) 2.1.1 Tahapan Masa Remaja Masa remaja berlangsung melalui 3 tahapan yang masing-masing ditandai dengan isu-isu biologik, psikologik, dan sosial (Narendra, 2002), yaitu :
12
13
a.
Masa remaja awal (10-14 tahun). Masa remaja awal ditandai dengan peningkatan yang cepat dari pertumbuhan, dan pematangan fisik. Penerimaan dari kelompok sebaya sangatlah penting
b.
Masa remaja menengah (15-16 tahun). Masa remaja menengah ditandai hampir lengkapnya pertumbuhan pubertas, timbulnya
keterampilan-keterampilan
berpikir
yang
baru,
peningkatan
pengenalan terhadap datangnya masa dewasa dan keinginan untuk memapankan jarak emosional dan psikologis dengan orang tua. c.
Masa remaja akhir (17-20 tahun). Masa remaja akhir ditandai dengan persiapan untuk peran sebagai seorang dewasa, termasuk klarifikasi dari tujuan pekerjaan dan internalisasi suatu sistem pribadi
2.1.2 Ciri Masa Remaja dengan Periode Sebelum dan Sesudahnya Menurut Hurlock (2002), masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya, yaitu : a.
Masa remaja sebagai periode yang penting Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru
14
b.
Masa remaja sebagai periode peralihan Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan seorang dewasa. Kalau remaja berprilaku seperti anak-anak, ia akan diajari untuk “bertindak sesuai umurnya”. Kalau remaja berusaha berperilaku seperti orang dewasa sering dimarahi. Status remaja yang tidak jelas ini juga menguntungkan karena status memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.
c.
Masa remaja sebagai periode perubahan Ada empat perubahan besar yang terjadi pada remaja, yaitu perubahan emosi, perubahan tubuh, minat dan peran, perubahan nilai-nilai dan perubahan sikap menjadi ambivalen yaitu menginginkan menuntut kebebasan tetapi sering takut bertanggung jawab.
d. Masa remaja adalah masa yang banyak masalah Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi. Hal ini karena remaja tidak bisa menyelesaikan masalahnya tanpa meminta bantuan orang lain sehingga terkadang penyelesaian masalah tidak sesuai dengan yang diharapkan. e.
Masa remaja adalah masa mencari identitas Identitas diri yang dicari remaja berupa kejelasan siapa dirinya dan apa peran mereka di tengah masyarakat.
15
f.
Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan Ada stigma dari masyarakat bahwa remaja adalah anak yang tidak rapi, tidak dapat dipercaya, cenderung perilaku merusak sehingga menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja.
g.
Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kacamatanya sendiri, baik dalam melihat dirinya maupun orang lain.
h.
Masa remaja adalah ambang masa dewasa Dengan berlalunya usia belasan, remaja yang semakin matang berkembang dan berusaha memberi kesan seseorang yang hampir dewasa. ia akan memusatkan dirinya pada perilaku yang dihubungkan dengan status orang dewasa, misalnya dalam berpakaian dan bertindak.
2.1.3 Masalah Gizi pada Remaja Masalah makan dan gizi yang sering timbul pada remaja adalah : a.
Makan tidak teratur Pada masa remaja aktifitasnya tinggi, baik kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah. Mereka sering makan dengan cepat lalu ke luar rumah. Tidak jarang mereka makan di luar rumah, dengan resiko mereka makan dengan komposisi gizi yang tidak seimbang. Banyak iklan makanan dengan sasaran remaja, antara lain restoran cepat saji. Oleh karena itu sebaiknya di rumah disediakan sayur dan buah segar, untuk menjaga agar kebutuhan gizi tetap terpenuhi. Pola makan remaja sering kacau. Tidak jarang mereka makan pagi dan siang dijadikan satu,
16
remaja perempuan cenderung sering melakukan diet dibanding remaja laki-laki. Padahal untuk memenuhi kebutuhan pada puncak pacu tumbuh, mereka memerlukan makan lebih sering atau dalam jumlah yang banyak, agar pertumbuhannya optimal. Tetapi hati-hati pada saat pertumbuhan mulai melambat, karena kebiasaan makan berlebihan dapat mengakibatkan berbagai penyakit yang merugikan antara lain obesitas. Kebiasaan merokok, minum alkohol, dan penggunaan obat-obatan terlarang merupakan masalah remaja yang dapat mempengaruhi asupan makanan dan status gizinya. Keadaan ini tergantung pada jumlah dan lama pemakaian dan status kesehatan remaja yang bersangkutan Narendra (2002). b.
Kekurangan gizi dan kelebihan berat badan (overweight) serta kegemukan (obesitas) Pola makan yang baik perlu dibentuk sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan gizi. Asupan berlebih menyebabkan kelebihan berat badan dan penyakit lain yang disebabkan kelebihan zat gizi. Sebaliknya, asupan makanan kurang dari yang dibutuhkan akan menyebabkan tubuh menjadi kurus, dan rentan terhadap penyakit (Sulistyoningsih, 2011; Narendra 2002)
c.
Anoreksia nervosa Remaja dengan gangguan anoreksia nervosa pada umumnya disebabkan kesalahan dalam menginterpretasikan penampilannya dengan cara menurunkan berat badannya. Asupan energi berkurang tetapi pengeluaran meningkat melalui olahraga yang berlebihan, bahkan kadang-kadang melalui rangsangan sendiri
17
agar muntah, atau menggunakan laksansia atau diuretik. Tidak jarang gangguan psikologis ini menetap dan tidak bisa diatasi sendiri Narendra (2002). d.
Bulimia Nervosa Bulimia nervosa lebih sering pada dewasa, jarang menyebabkan penurunan status gizi yang sering seperti pada anoreksia nervosa. Pada umumnya penderita bulimia mempertahankan berat badan normal atau mendekati normal, dengan cara memuntahkan secara periodik makan yang dimakan. Mereka cenderung mempunyai pendapat yang tidak realistis terhadap makanan yang diperlukan oleh tubuh. Keadaan ini akan menjadi masalah yang serius bila menjadi suatu obsesi, sehingga dapat mempengaruhi sekolah/pekerjaannya Narendra (2002)
e.
Anemia gizi Anemia gizi yaitu kekurangan salah satu atau beberapa zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin antara lain zat besi, vitamin B12, asam folat, protein, dan vitamin C. Penelitian di Indonesia menyatakan penyebab utama anemia gizi pada remaja karena kurangnya asupan zat besi (Sulistyoningsih, 2011)
2.2 Pedoman Gizi Seimbang Remaja Gizi berasal dari bahasa Arab yaitu “Ghidza”. Gizi adalah suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi secara normal oleh suatu organisme melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran
18
zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi (Proverawati, 2011). 2.2.1 Pedoman Gizi Seimbang Pedoman Gizi Seimbang yang telah diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 1955 merupakan realisasi dari rekomendasi Konfrensi Pangan Sedunia di Roma tahun 1992. Pedoman tersebut menggantikan slogan “4 sehat 5 sempurna” yang telah diperkenalkan sejak tahun 1952 dan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam bidang gizi serta masalah dan tantangan yang dihadapi (Kemenkes RI, 2014) Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes RI) No. 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang. Pasal 1 Permenkes RI No. 41 Tahun 2014 menyatakan bahwa Pedoman Gizi Seimbang bertujuan untuk memberikan panduan konsumsi makanan sehari-hari dan berperilaku sehat berdasarkan prinsip konsumsi anekaragam pangan, perilaku hidup bersih, aktivitas fisik, dan memantau berat badan secara teratur dalam rangka mempertahankan berat badan normal. Pedoman Gizi Seimbang digunakan sebagai acuan bagi pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, tenaga kesehatan, dan pihak lain yang terkait dalam penyelenggaraan gizi seimbang (Kemenkes RI, 2014) Prinsip gizi seimbang terdiri dari 4 (empat) pilar pada dasarnya merupakan rangkaian upaya untuk menyeimbangkan antara zat gizi yang keluar dan zat gizi yang
19
masuk dengan memonitor berat badan secara teratur. Empat pilar tersebut (Kemenkes RI, 2014) adalah : 1.
Mengonsumsi makanan beragam Makanan beragam maksudnya selain keanekaragaman jenis pangan juga termasuk proporsi makanan yang seimbang, dalam jumlah yang cukup, tidak berlebihan dan dilakukan secara teratur.
2. Membiasakan perilaku hidup bersih Perilaku hidup bersih akan menghindarkan seseorang dari keterpaparan terhadap sumber infeksi. 3.
Melakukan aktivitas fisik Aktivitas fisik yang meliputi segala macam kegiatan tubuh termasuk olahraga merupakan salah satu upaya menyeimbangkan antara pengeluaran dan pemasukan zat gizi utamanya sumber energi dalam tubuh.
4.
Mempertahankan dan memantau berat badan (BB) normal. Salah satu indikator yang menunjukkan bahwa telah terjadi keseimbangan zat gizi di dalam tubuh adalah tercapainya BB normal. Pemantauan BB normal merupakan hal yang harus menjadi bagian dari “pola hidup” dengan “gizi seimbang” sehingga apabila terjadi penyimpangan dapat segera dilakukan langkah-langkah pencegahan dan penanganannya. Batasan berat normal remaja ditentukan berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U). IMT/U mengukur status gizi remaja berdasarkan standar antropometri penilaian status gizi anak sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
20
Nomor 1995/Menkes/SK/XII/2010 dengan menghitung nilai Z-score IMT/U: 2
IMT/U = Berat Badan (Kg) ÷ Tinggi Badan ( m ), selanjutnya berdasarkan nilai Z-score status gizi dikategorikan sebagai berikut: Tabel 2.1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasaran IMT/U Indeks
Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score) Sangat Kurus < -3 SD Indeks Massa Tubuh Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD menurut Umur Normal -2 SD sampai dengan 1 SD (IMT/U) Anak Umur Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD 5-18 Tahun Sangat Gemuk >2SD Sumber : Kepmenkes RI Nomor 1995/ Menkes/SK/XII/2010
Untuk memudahkan penerapan gizi seimbang di masyarakat, Kemenkes RI (2014)
telah
membuat
visualisasi
tentang
tumpeng
gizi
seimbang
yang
menggambarkan empat prinsip gizi seimbang (gambar 2.1) dan piring makanku : porsi sekali makan (gambar 2.2)
Gambar 2.1 Tumpeng Gizi Seimbang
21
Gambar 2.2 Piring Makanku: Porsi sekali Makan Pedoman gizi seimbang berisi sepuluh pesan umum gizi seimbang berlaku untuk masyarakat umum dari berbagai lapisan dalam kondisi sehat (Kemenkes RI, 2014), yaitu 1) syukuri dan nikmati anekaragam makanan, 2) banyak makan sayuran dan cukup buah-buahan, 3) biasakan mengonsumsi lauk pauk yang mengandung protein tinggi, 4) biasakan mengonsumsi anekaragam makanan pokok, 5) batasi konsumsi pangan manis, asin dan berlemak, 6) biasakan sarapan, 7) biasakan minum air putih yang cukup dan aman, 8) biasakan membaca label pada kemasan pangan, 9) cuci tangan pakai sabun dengan air bersih mengalir, 10) lakukan aktivitas fisik yang cukup dan pertahankan berat badan normal, yang diuraikan sebagai berikut: 1.
Syukuri dan nikmati anekaragam makanan Cara menerapkan pesan ini adalah dengan mengonsumsi lima kelompok pangan setiap hari atau setiap kali makan. Kelima kelompok pangan tersebut adalah makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah-buahan, dan minuman. Mengonsumsi
22
lebih dari satu jenis untuk setiap kelompok makanan (makanan pokok, lauk pauk, sayuran, dan buah-buahan) setiap kali makan akan lebih baik. Setiap orang diharapkan selalu bersyukur dan menikmati makanan yang dikonsumsinya, karena dengan bersyukur dan menikmati makan anekaragam makanan akan mendukung terwujudnya cara makan yang baik-tidak tergesa-gesa. Dengan ini makanan dapat dikunyah, dicerna, dan diserap oleh tubuh lebih baik 2.
Banyak makan sayuran dan cukup buah-buahan Secara umum sayuran dan buah-buahan merupakan sumber berbagai vitamin, mineral, dan serat pangan. Sebagian vitamin, mineral yang terkandung dalam sayuran dan buah-buahan sebagai antioksidan atau penangkal senyawa jahat dalam tubuh. Berbeda dengan sayuran, buah-buahan juga menyediakan karbohidrat terutama berupa fruktosa dan glukosa. Sayur tertentu juga menyediakan karbohidrat, seperti wortel dan kentang sayur. Sementara buah tertentu juga menyediakan lemak tidak jenuh seperti buah alpukat dan buah merah. Oleh karena itu konsumsi sayuran dan buah-buahan merupakan salah satu bagian penting dalam mewujudkan gizi seimbang. Badan kesehatan dunia (WHO) secara umum menganjurkan konsumsi sayuran dan buah-buahan untuk hidup sehat sejumlah 400 g perorang perhari, yang terdiri dari 250 g sayur (setara dengan 21/2 porsi atau 21/2 gelas sayur setelah dimasak dan ditiriskan) dan 150 g buah (setara dengan 3 buah pisang ambon ukuran sedang atau 11/2 potong pepaya ukuran sedang atau 3 buah jeruk ukuran sedang). Bagi orang Indonesia dianjurkan konsumsi sayuran dan buah-buahan 400-600 g perorang perhari bagi
23
remaja dan orang dewasa. Sekitar dua-pertiga dari jumlah anjuran konsumsi sayuran dan buah tersebut adalah porsi sayur 3. Biasakan mengonsumsi lauk pauk yang mengandung protein tinggi Lauk pauk terdiri dari pangan sumber protein nabati dan pangan sumber protein hewani. Kelompok pangan lauk pauk sumber protein hewani meliputi daging ruminansia (daging sapi, daging kambing, daging rusa, dll), daging unggas (daging ayam, daging bebek dll), ikan termasuk seafood, telur dan susu serta hasil olahnya. Kelompok pangan lauk pauk sumber protein nabati meliputi kacang-kacangan dan hasil olahnya seperti kedele, tahu, tempe, kacang hijau, kacang tanah, kacang merah, kacang hitam, kacang tolo, dan lain-lain. Pangan hewani mempunyai asam amino yang lebih lengkap dan mempunyai mutu zat gizi yaitu protein, vitamin dan mineral lebih baik, karena kandungan zat-zat gizi tersebut lebih banyak dan mudah diserap tubuh. Tetapi pangan hewani mengandung tinggi kolesterol (kecuali ikan) dan lemak. Lemak dari daging dan unggas lebih banyak mengandung lemak jenuh. Pangan protein nabati mempunyai keunggulan mengandung proporsi lemak tidak jenuh yang lebih banyak dibandingkan pangan hewani. Juga mengandung isoflavon, yaitu kandungan fitokimia yang turut berfungsi mirip hormon estrogen (hormon kewanitaan) dan anti oksidan serta anti kolesterol. Oleh karena itu dalam mewujudkan gizi seimbang kedua kelompok pangan ini (hewani dan nabati) perlu dikonsumsi bersama kelompok pangan lainnya setiap hari, agar jumlah dan kualitas zat gizi yang dikonsumsi lebih baik dan sempurna. Kebutuhan pangan
24
hewani 2-4 porsi (setara dengan 70-140 gr/2-4 potong daging sapi ukuran sedang atau 80-160 gr/ 2-4 potong daging ayam ukuran sedang atau 80-160 gr/2-4 potong ikan ukuran sedang) sehari. Dan pangan protein nabati 2-4 porsi sehari (setara dengan 100 -200 gr/4-8 potong tempe ukuran sedang atau 200-400 gr/4-8 potong tahu ukuran sedang) tergantung kelompok umur dan kondisi fisiologis (hamil, menyusui, lansia, anak, remaja, dewasa) 4. Biasakan mengonsumsi anekaragam makanan pokok Makanan pokok adalah pangan yang mengandung karbohidrat yang sering dikonsumsi atau telah menjadi bagian dari budaya makan berbagai etnik di Indonesia sejak lama. Contoh pangan karbohidrat adalah beras, jagung, singkong, ubi, talas, garut, sorgum, jewawut, sagu dan produk olahannya. Di samping mengandung karbohidrat, makanan pokok juga mengandung vitamin B1 (tiamin) dan vitamin B2 (riboflavin) dan beberapa mineral. Cara mewujudkan pola konsumsi makanan pokok yang beragam adalah dengan mengonsumsi lebih dari satu jenis makanan pokok dalam sehari atau sekali makan 5.
Batasi konsumsi pangan manis, asin dan berlemak Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 30 tahun 2013 tentang pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji menyebutkan bahwa konsumsi gula lebih dari 50 g (4 sendok makan), natrium lebih dari 2000 mg (1 sendok teh) dan lemak/ minyak total lebih dari 67 g (5 sendok makan) per orang per hari akan meningkatkan risiko hipertensi, stroke, diabetes, dan serangan jantung.
25
Informasi kandungan gula, garam dan lemak serta pesan kesehatan yang tercantum pada label pangan dan makanan siap saji harus diketahui dan mudah dibaca oleh konsumen. Masyarakat perlu diberi pendidikan membaca label pangan, mengetahui pangan rendah gula, garam dan lemak serta memasak dengan mengurangi garam dan gula. Di lain pihak para pengusaha pangan olahan wajib mencantumkan informasi nilai gizi pada label pangan agar masyarakat dapat memilih makanan sesuai kebutuhan setiap anggota keluarganya. Gula yang dikonsumsi melampaui
kebutuhan akan berdampak pada peningkatan berat
badan, bahkan jika dilakukan dalam jangka waktu lama secara langsung akan meningkatkan kadar gula darah dan berdampak pada terjadinya diabetes type 2, bahkan
secara tidak
langsung berkontribusi terhadap
penyakit
seperti
osteoporosis, penyakit jantung dan kanker 6.
Biasakan sarapan pagi Sarapan adalah kegiatan makan dan minum yang dilakukan antara bangun pagi sampai jam 9 pagi untuk memenuhi sebagian kebutuhan gizi harian (15-30% kebutuhan gizi) dalam rangka mewujudkan hidup sehat aktif, dan produktif. Pekan sarapan nasional (PESAN) yang diperingati setiap tanggal 14-20 Februari diharapkan dapat dijadikan sebagai momentum setiap tahun untuk selalu meningkatkan dan mendorong masyarakat agar melakukan sarapan yang sehat sebagai bagian dari upaya mewujudkan gizi seimbang
26
7.
Biasakan minum air putih yang cukup dan aman Air merupakan salah satu zat gizi makro esensial, yang berarti bahwa air dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang banyak untuk hidup sehat, dan tubuh tidak dapat memproduksi air untuk memenuhi kebutuhan ini. Sekitar dua pertiga dari berat tubuh kita adalah air. Sekitar 78% berat otak adalah air. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kurang air tubuh pada anak sekolah menimbulkan rasa lelah (fatigue), menurunkan atensi dan konsentrasi belajar. Minum yang cukup atau hidrasi tidak hanya mengoptimalkan atensi atau konsentrasi belajar anak tetapi juga mengoptimalkan memori anak dalam belajar. Air yang dibutuhkan tubuh selain jumlahnya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan juga harus aman yang berarti bebas dari kuman penyakit dan bahan-bahan berbahaya
8.
Biasakan membaca label pada kemasan pangan Label adalah keterangan tentang isi, jenis, komposisi zat gizi, tanggal kadaluarsa dan keterangan penting lain yang dicantumkan pada kemasan (Depkes dalam Kemenkes 2014). Semua keterangan yang rinci pada label makanan yang dikemas sangat membantu konsumen untuk mengetahui bahan-bahan yang terkandung dalam makanan tersebut. Selain itu dapat memperkirakan bahaya yang mungkin terjadi pada konsumen yang beresiko tinggi karena punya penyakit tertentu.
9.
Cuci tangan pakai sabun dengan air bersih mengalir Tanggal 15 Oktober adalah Hari Cuci Tangan Sedunia Pakai Sabun yang dicanangkan oleh PBB. Pentingnya mencuci tangan secara baik dan benar
27
memakai sabun adalah agar kebersihan terjaga secara keseluruhan serta mencegah kuman dan bakteri berpindah dari tangan ke makanan yang akan dikonsumsi dan juga agar tubuh tidak terkena kuman. Data Riskesdas (2013) proporsi penduduk ≥ 10 tahun berperilaku cuci tangan dengan benar di Sumatera Utara sebesar 32,9 10. Lakukan aktivitas fisik yang cukup dan pertahankan berat badan normal Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang meningkatkan pengeluaran tenaga/energi dan pembakaran energi. Aktivitas fisik dikategorikan cukup apabila seseorang melakukan latihan fisik atau olahraga selama 30 menit setiap hari atau minimal 3-5 hari dalam seminggu. Aktivitas fisik sehari-hari adalah berjalan kaki, berkebun, menyapu, mencuci, mengepel, naik turun tangga, dan lain-lain. Latihan fisik adalah semua bentuk aktivitas fisik yang dilakukan secara terstruktur dan terencana dengan tujuan untuk meningkatkan kesegaran jasmani. Bukti ilmiah sangat kuat menunjukkan bahwa aktivitas fisik menurunkan resiko kematan dini (meninggal lebih cepat daripada umur rata-rata untuk kelompok penduduk spesifik), dari penyebab kematian utama seperti penyakit kanker dan jantung koroner. Berdasarkan Riskesdas (2013) proporsi penduduk ≥ 10 tahun dengan aktivitas fisik aktif di Sumatera Utara sebesar 76,5. Selain aktivitas fisik, mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencegah berbagai penyakit tidak menular. Cara mempertahankan berat badan normal adalah dengan mempertahankan pola konsumsi makanan dengan susunan gizi
28
seimbang dan beraneka ragam serta mempertahankan kebiasaan latihan fisik/ olahraga tertentu. 2.2.2 Pesan Gizi Seimbang Remaja (10-19 tahun) Pedoman gizi seimbang juga berisi pesan gizi seimbang untuk remaja terdiri dari tujuh pesan yaitu pertama biasakan makan tiga kali sehari (pagi, siang dan malam) bersama keluarga, kedua biasakan mengonsumsi ikan dan sumber protein lainnya, ketiga perbanyak mengonsumsi sayuran dan cukup buah-buahan, keempat biasakan membawa bekal makanan dan air putih dari rumah, kelima batasi mengonsumsi makanan cepat saji, jajanan dan makanan selingan yang manis, asin dan berlemak, keenam biasakan menyikat gigi sekurang-kurangnya dua kali sehari setelah makan pagi dan sebelum tidur, ketujuh hindari merokok (Kemenkes, 2014), yang dijabarkan sebagai berikut : a.
Biasakan makan 3 kali sehari (pagi, siang, dan malam) bersama keluarga Untuk memenuhi kebutuhan zat gizi selama sehari dianjurkan agar anak makan secara teratur 3 kali sehari dimulai dengan sarapan atau makan pagi, makan siang, dan makan malam. Kebutuhan gizi remaja sesuai dengan Permenkes RI no.75 tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi (AKG) Remaja dapat dilihat pada tabel 2.2 dan tabel 2.3 berikut :
29
Tabel 2.2 AKG Zat Gizi Makro dan Air untuk Remaja Kelompok BB umur (Kg)
TB Energi Protein (Cm) (Kkal) (g)
Lemak Karbohidrat total (g) (g)
Laki-laki 16-18 56 165 2675 66 tahun Perempuan 16-18 50 158 2125 59 tahun Sumber: Permenkes RI No. 75 Tahun 2013
Serat (g)
Air (mL)
89
368
37
2200
71
292
30
2100
Tabel 2.3 AKG Vitamin dan Mineral untuk Remaja Kelompok umur Laki-laki 16-18 thn Perempuan 16-18 thn
Vit A (mcg)
Vit D(mcg)
Vit E(mg)
Vit K(mcg)
Folat (mcg)
Vit B12 (mcg)
Vit C(mg)
Ca (mg)
Mg (mg)
Fe (mg)
Zn (mg)
600
15
15
55
400
2,4
90
1200
250
15
17
600
15
15
55
400
2,4
75
1200
220
26
14
Sumber: Permenkes RI No. 75 Tahun 2013
Selalu makan bersama keluarga menurut Kemenkes RI (2014) dapat menghindarkan anak-anak mengonsumsi makanan yang tidak sehat dan tidak bergizi. Penelitian Jumirah, dkk (2005) pada remaja di SMA Dharma Pancasila Medan bahwa status gizi siswa sebagian besar normal (22 orang dari 38 siswa), tingkat kecukupan energi dan protein sebagian besar siswa tergolong sangat rendah. Sumbangan energi yang berasal dari karbohidrat sesuai dengan anjuran PUGS hanya 26,32%, sedangkan sumbangan energi dari lemak yang sesuai dengan anjuran PUGS ada sebanyak 44,74%. Konsumsi vitamin A siswa pada umumnya cukup, tetapi konsumsi vitamin C dan besi sebagian besar masih rendah. Makan pagi pada anak sekolah sebaiknya dilakukan pada jam 06.00 atau sebelum jam 07.00 yaitu sebelum terjadi hipoglikemia atau kadar gula darah sangat rendah. Bagi anak sekolah sarapan yang cukup terbukti
30
dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan stamina. Karena itu sarapan merupakan salah satu perilaku penting dalam mewujudkan gizi seimbang. Sarapan yang baik terdiri dari pangan karbohidrat, pangan lauk pauk, sayuran, atau buah-buahan dan minuman. Konsumsi ikan, telur dan susu bagi kelompok usia 10-19 tahun sangat membantu pertumbuhan dan perkembangan. Penelitian Muchtar, dkk (2012) pada remaja di SMA Negeri 1 Pahundut, Kota Palangkaraya menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara zat asupan gizi (energi, karbohidrat, protein, dan lemak) dari sarapan dengan kemampuan konsentrasi pada pukul 08.30. Berikut anjuran jumlah porsi kecukupan energi untuk remaja (Kemenkes RI, 2014) : Tabel 2.4 Anjuran Jumlah Porsi Menurut Kecukupan Energi untuk Kelompok Umur16-18 tahun per hari Bahan Makanan
Nasi Sayuran Buah Tempe Daging Minyak Gula
Anak Remaja 16-18 tahun Laki-laki 2675 kkal 8p 3p 4p 3p 3p 6p 2p
Sumber :Kemenkes RI, 2014 Keterangan: Nasi 1 porsi =3/4 gelas = 100 g=175 kkal Sayuran 1 porsi =1 gelas =100 gr=25 kkal Buah 1 porsi = 1 buah pisang ambon=50 gr=50 kkal
Anak Remaja 16-18 tahun Perempuan 2125 kkal 5p 3p 4p 3p 3p 5p 2p
31
Tempe 1 porsi =2 potong sedang = 50 gr=80 kkal Daging 1 porsi = 1 potong sedang =35 gr = 50 kkal Ikan segar 1 porsi = 1/3 ekor = 45 gr = 50 kkal Susu sapi cair 1 porsi= 1 gelas = 200 gr =50 kkal Susu rendah lemak 1 porsi = 4 sdm = 20 gr = 75 kkal Minyak 1 porsi = 1 sdt = 5 gr = 50 kkal Gula = 1 sdm = 20 gr = 50 kkal *) sdm : sendok makan **) sdt : sendok teh P : porsi
b.
Biasakan mengonsumsi ikan dan sumber protein lainnya Protein
merupakan
zat
gizi
yang
berfungsi
untuk
pertumbuhan,
mempertahankan sel atau jaringan yang sudah terbentuk, dan untuk mengganti sel yang sudah rusak, oleh karena itu protein sangat diperlukan dalam masa pertumbuhan. Protein hewani memiliki kualitas lebih baik dibanding protein nabati karena komposisi asam amino lebih komplit dan asam amino esensial lebih banyak. Daging dan unggas selain sebagai sumber protein juga sebagai sumber zat besi yang berkualitas sehingga sangat bagus bagi anak dalam masa pertumbuhan. Penelitian Rahmawati, dkk (2012) pada remaja putri di SMAN 2 Kota Bandar Lampung bahwa terdapat hubungan asupan energi, asupan protein, asupan vitamin C, asupan zat besi dengan kejadian anemia.
32
c.
Perbanyak mengonsumsi sayuran dan cukup buah-buahan Banyak mengonsumsi buah dan sayur bagi remaja dapat meningkatkan zat
mikronutrien dan mengurangi resiko obesitas, diabetes dan penyebab kanker. Survei Health Behaviour in Shool-Aged Children (HBSC) di Eropa dan Amerika Utara menyatakan bahwa remaja makan sayur dan buah sedikitnya sekali setiap hari dalam bulan lalu hanya 10%-60% (WHO, 2014). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 di provinsi Sumatera Utara persentase penduduk usia ≥ 10 tahun yang cukup makan sayur dan buah hanya 5,5% (Riskesdas, 2007), data Riskesdas (2013) untuk hal yang sama di Indonesia 93,5%, dan Sumatera Utara berada di bawah angka nasional d.
Biasakan membawa bekal makanan dan air putih dari rumah Apabila jam sekolah sampai sore atau setelah pulang sekolah ada kegiatan
yang berlangsung sampai sore, maka bekal untuk makan siang sangat diperlukan. Dengan membawa bekal dari rumah, anak tidak perlu makan jajanan yang kadang kualitasnya tidak terjamin. Di samping itu juga membawa air putih dalam jumlah yang cukup sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan e.
Batasi mengonsumsi makanan cepat saji, jajanan dan makanan selingan yang manis, asin dan berlemak Sebagian besar makanan cepat saji adalah makanan yang tinggi gula, garam,
lemak yang tidak baik bagi kesehatan. Data Riskesdas (2013) bahwa proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan tertentu ≥ 1 kali sehari di Sumatera Utara untuk makanan manis 62,5; asin 15,9; berlemak 21,4, penyedap 44,6; minuman berkafein 15,3
33
f.
Biasakan menyikat gigi sekurang-kurangnya dua kali sehari setelah makan pagi dan sebelum tidur. Membiasakan untuk membersihkan gigi setelah makan adalah upaya yang
baik untuk menghindari pengeroposan atau kerusakan gigi. Demikian pula sebelum tidur, gigi juga harus dibersihkan dari sisa makanan yang menempel di sela-sela gigi. Saat tidur, bakteri akan tumbuh dengan pesat apabila di sela-sela gigi ada sisa makanan dan ini dapat mengakibatkan kerusakan gigi. Data Riskesdas (2013) persentase penduduk di Sumatera Utara umur ≥ 10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi sebesar 94,4 g.
Hindari merokok. Kebiasaan merokok dapat dihindari kalau ada upaya sejak dini. Usia pertama
kali merokok di Sumatera Utara tiap hari pada usia 15-19 tahun dengan proporsi 53,9 (Riskesdas, 2013). Banyak penelitian menunjukkan bahwa merokok berakibat tidak baik bagi kesehatan misalnya kesehatan paru-paru dan kesehatan reproduksi (Kemenkes RI, 2014) 2.3 Perilaku Gizi Remaja Skiner (1938) seorang ahli psikologi, dalam Notoatmodjo (2012) dan Kholid (2014), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Selanjutnya teori Skiner menjelaskan adanya dua jenis respon, yaitu :
34
a.
Responden Respons atau refleksif rangsangan-rangsangan
tertentu
yakni respon yang ditimbulkan oleh
yang
disebut
electing
stimuli
karena
menimbulkan respon yang relatif tetap b.
Operant respons atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh rangsangan yang lain.
2.3.1 Bentuk Perilaku Berdasarkan teori perilaku tersebut maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu : a.
Perilaku tertutup (covert behaviour) Perilaku yang responnya masih belum dapat diamati secara jelas. Respon ini hanya terbatas pada bentuk perhatian, pengetahuan, perasaan, persepsi dan sikap.
b.
Perilaku terbuka (Overt behaviour) Merupakan perilaku berupa tindakan atau praktik sehingga dapat diamati secara jelas. Notoatmodjo (2010) merumuskan perilaku dari teori Skiner ini menjadi
perilaku kesehatan dengan definisi perilaku kesehatan (healthy behaviour) adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehatsakit (kesehatan), makanan dan minuman, serta lingkungan. 2.3.2 Faktor yang Memengaruhi Perilaku Faktor-faktor yang memegang peranan di dalam pembentukan perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2012), yakni faktor intern berupa kecerdasan,
35
persepsi, motivasi, minat, emosi dan sebagainya untuk mengolah pengaruh-pengaruh dari luar, dan faktor ekstern, meliputi objek, orang, kelompok, dan hasil-hasil kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk perilakunya. Kedua faktor tersebut akan dapat terpadu menjadi perilaku yang selaras dengan lingkungannya apabila perilaku yang terbentuk dapat diterima oleh lingkungannya, dan dapat diterima oleh individu yang bersangkutan. Teori lain yang telah dicoba untuk mengungkap determinan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan antara lain teori Lawrence Green (1980) dalam buku Notoatmodjo (2012) dan Notoatmodjo (2010) serta Maulana (2009) bahwa perilaku dibentuk dari tiga faktor yaitu : a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. b.
Faktor-faktor
pendukung
(enabling
factors)
yaitu
faktor-faktor
yang
memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau saranasarana kesehatan misalnya: puskesmas, obat-obatan, jamban, dan sebagainya. c.
Faktor-faktor pendorong
(reinforcing
factors) yaitu
faktor-faktor
yang
mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan dan petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat, sikap suami, istri, orangtua, tokoh masyarakat.
36
Menurut teori Bloom (1908), yang dijabarkan Notoatmodjo (2012), membagi perilaku manusia ke dalam tiga kawasan (domain), yakni kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni : pengetahuan, sikap, dan tindakan. 1.
Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindaran (sebagian besar diperoleh dari indra mata dan telinga) terhadap objek tertentu. Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan merupakan dominan yang paling penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) dan pengetahuan dapat diukur dengan melakukan wawancara. Perilaku yang didasari dengan pengetahuan dan kesadaran akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak didasari ilmu pengetahuan dan kesadaran. Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu: a. Tahu (know) Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa saja yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
37
b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. d. Analisis (analysis) Analisis diartikan suatu kemampuan untuk menjabarkan atau materi suatu objek terhadap komponen-komponennya tetapi masih dalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
38
f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-panilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang diukur dari objek penelitian. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan tersebut di atas (Notoatmodjo, 2007). Faktor –faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain: a. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki. b. Pekerjaan Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung. c. Umur Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental), dimana pada aspek psikologis ini, taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa.
39
d. Minat Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang dalam. e. Pengalaman Pengalaman merupakan suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. f. Kebudayaan lingkungan sekitar Kebudayaan lingkungan sekitar diartikan sebagai kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. g. Informasi Informasi merupakan kemudahan untuk memperoleh suati informasi sehingga dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. 2. Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Notoatmodjo (2012) dalam bukunya membagi sikap menjadi empat tingkatan, yakni: a. Menerima (receiving) Menerima diartikan orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).
40
b. Merespon (responding) Merespon diartikan memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap ini karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas pekerjaan itu benar atau salah, adalah bahwa orang menerima ide tersebut. c. Menghargai (valuing) Menghargai diartikan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ini. d. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab diartikan berkaitan atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi dalam tingkatan sikap. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu obyek. Adapun ciri-ciri sikap menurut WHO adalah: 1. Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling), hasil pemikiran dan perasaan seseorang atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus.
41
2. Adanya orang lain yang menjadi acuan ( Personal references) merupakan faktor penganut sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada pertimbangan-pertimbangan individu. 3. Sumber daya (Resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan kebutuhan dari pada individu tersebut. 4. Sosial budaya (Culture) berperan besar dalam mempengaruhi pola pikir seseorang untuk bersikap terhadap objek/stimulus tertentu. (Notoadmodjo,2007). Menurut Ahmadi dalam Notoadmodjo (2007), fungsi (tugas) sikap dibagi empat golongan, yaitu: a. Sebagai alat menyesuaikan diri Sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable yang artinya sesuatu yang mudah menjalar, sehingga mudah menjadi milik bersama. Sikap bisa menjadi rantai penghubung antara orang dan kelompoknya atau dengan anggota kelompok lain. b. Sebagai alat pengatur tingkah laku Pertimbangan antara perangsang dan reaksi pada orang dewasa. Pada umumnya tidak diberi perangsang secara spontan, tetapi adanya proses secara sadar untuk menilai perangsang-perangsang tersebut. c. Sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman Manusia didalam menerima pengalaman-pengalaman dari luar sikapnya tidak pasif, tetapi diterima secara aktif, artinya semua yang berasal dari luar tidak
42
semuanya dilayani oleh manusia, tetapi manusia memilih mana yang perlu dilayani dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi, semua pengalaman di beri nilai lalu dipilih. d. Sebagai pernyataan kepribadian Sikap sering mencerminkan kepribadian seseorang. Ini disebabkan karena sikap tidak pernah terpisah pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu, dengan melihat sikap pada objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi objek tersebut. 3. Praktik atau Tindakan (Practice) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Agar terwujud sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung berupa fasilitas dan dukungan dari pihak lain. Praktik/tindakan mempunyai beberapa tingkatan (Notoatmodjo (2012); Notoatmodjo (2007) yaitu: a. Persepsi (perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil. Misal ibu dapat memilih makanan yang bergizi tinggi bagi balitanya b. Respon terpimpin (guided response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah indikator praktik tingkat kedua.
43
c. Mekanisme (mechanism) Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat ketiga. d. Adopsi (adaptacion) Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut. 2.3.3 Faktor yang Memengaruhi Perilaku Gizi Remaja Faktor yang memengaruhi perilaku gizi remaja (Story, M dan Stang, J, 2005; Khomsan, 2007; Proverawati, 2011; Sulistyoningsih, 2011; Dieny, 2014): 1. Faktor ekonomi Remaja menjadi pasar yang potensial untuk produk makanan tertentu, dari sudut pandang ekonomi. Umumnya remaja mempunyai uang saku. Hal ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemasang iklan melalui berbagai media cetak maupun elektronik (Khomsan, 2007), dengan adanya iklan remaja tertarik untuk membeli produk yang dipromosikan, sehingga Proverawati (2011) menyatakan salah satu perilaku makan khas pada remaja pada umumnya mereka lebih suka makanan jajanan yang kurang bergizi seperti goreng-gorengan, coklat, permen dan es, akibatnya makanan yang beraneka ragam tidak dikonsumsi. Sedangkan menurut
44
Sulistyoningsih (2011) bahwa meningkatnya pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik 2. Pendidikan Pendidikan dalam hal ini dikaitkan dengan pengetahuan, akan berpengaruh terhadap
pemilihan
bahan
makanan
dan
pemenuhan
kebutuhan
gizi
(Sulistyoningsih, 2011). Notoatmodjo (2012) menyatakan secara teori perubahan perilaku melalui proses perubahan pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), praktik (practice) atau “KAP” (PSP) 3. Agama Pantangan yang didasari agama, khususnya Islam disebut haram dan individu yang melanggar hukumnya dosa. Adanya pantangan terhadap makanan/minuman tertentu dari sisi agama dikarenakan makanan/minumam tersebut membahayakan jasmani dan rohani bagi yang mengonsumsinya (Sulistyoningsih, 2011) 4. Lingkungan Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan perilaku makan. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan keluarga, sekolah, serta
adanya
iklan/promosi
melalui
media
elektronik
maupun
cetak
(Sulistyoningsih , 2011). Menurut Khomsan (2007) suasana dalam keluarga yang
menyenangkan berpengaruh pada pola kebiasaan makan, hal ini mungkin dilandasi oleh ada atau tidak adanya kebiasaan makan bersama. Selain itu, aktivitas yang banyak dilakukan di luar rumah membuat individu sering dipengaruhi teman
45
sebayanya. Remaja sering makan di luar rumah bersama teman-teman, sehingga waktu makan tidak teratur, akibatnya mengganggu sistem pencernaan (gangguan maag atau nyeri lambung). Kaiser Family Foundation (2007) mengungkapkan fakta bahwa anak yang menonton televisi lebih dari tiga jam sehari, 50% beresiko menjadi obesitas dibandingkan anak yang menonton televisi kurang dari tiga jam sehari. 5. Citra Tubuh (Body Image) Citra tubuh (body image) menurut Dieny (2014) dan Concordia Health Services, (2008) adalah persepsi seseorang terhadap penampilan bentuk tubuhnya. Persepsi adalah keseluruhan proses mulai dari stimulus (rangsangan) yang diterima panca indra, kemudian stimulus diantar ke otak dimana ia dikode serta diartikan dan selanjutnya mengakibatkan pengalaman yang disadari (Maramis, 2006). Banyak remaja sering tidak puas dengan penampilan dirinya. Story, M dan Stang, J (2005) menyatakan bahwa citra tubuh yang negatif
sering menyebabkan pengaturan
makan yang salah. Untuk menumbuhkan citra tubuh yang positif remaja perlu mengembangkan keterampilan sehingga dapat memilah semua pesan yang mereka lihat, dengar terkait citra tubuh, dan makan. Citra tubuh remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: a. jenis kelamin, penelitian yang dilakukan Christofer dalam Dieny (2014) bahwa ada perbedaan citra tubuh pada siswa laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memiliki citra tubuh yang lebih positif dibandingkan siswa perempuan.
46
b. Status obesitas, penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna citra tubuh pada remaja yang obesitas dan tidak obesitas, dimana remaja obesitas memiliki citra tubuh lebih negatif daripada remaja yang tidak obesitas. Hal ini dihubungkan dengan meningkatnya depresi dan menurunnya tingkat kepercayaan diri pada remaja yang obesitas (Dieny, 2014). c. pengaruh media massa, citra tubuh sangat dipengaruhi oleh media massa yang menampilkan bentuk tubuh kurus sebagai bentuk tubuh ideal. Tidak semua iklan
mengakibatkan
hal
negatif, namun
sebaliknya tidak
tertutup
kemungkinan remaja yang mempraktekkan pola makan seperti dalam iklan malah kekurangan gizi (Dieny, 2014) d. Teman sebaya, pengaruh teman sepermainan sangat besar terhadap remaja, pada usia ini ada kebanggaan tersendiri bahwa remaja punya banyak teman. Pada umumnya hubungan sesama teman juga membentuk cara pandang yang sama, khususnya pendapat tentang tubuh yang ideal (Dieny, 2014) e. Keluarga dan lingkungan, tekanan dalam keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh.
Komentar
negatif tentang berat badannya dapat membuat anak dapat melakukan perilaku makan yang tidak sehat untuk mencapai bentuk tubuh ideal (Dieny, 2014) f. Sosial ekonomi dan budaya, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi juga mempengaruhi persepsi seseorang terhadap ukuran tubuh ideal. Menurut Metcalf dalam Dieny (2014) bahwa tingkat pendidikan dan sosial ekonomi
47
yang tinggi akan memiliki citra tubuh yang lebih negatif atau ketidakpuasan terhadap citra tubuh lebih besar. 2.3.4 Pengukuran Perilaku Menurut Notoatmodjo (2010),
pengukuran atau cara mengamati perilaku
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran perilaku yang baik adalah secara langsung, yakni dengan pengamatan (observasi), yaitu mengamati subjek dalam rangka memelihara kesehatannya, misalnya : makanan yang disajikan ibu dalam keluarga untuk mengamati praktik gizi. Secara tidak langsung menggunakan metode mengingat kembali (recall). Metode ini dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan terhadap subjek tentang apa yang telah dilakukan berhubungan dengan kesehatan (Notoatmodjo, 2010)
2.4 Landasan Teori Perilaku makan merupakan respon kebiasaan atau perilaku yang berhubungan dengan konsumsi makanan meliputi jenis makanan, jumlah dan waktu mengonsumsi makanan (Dieny, 2014). Gizi seimbang adalah susunan pangan sehari-hari yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman pangan, aktivitas fisik, perilaku hidup bersih dan mempertahankan berat badan normal (Permenkes RI No. 41 Tahun 2014). Perilaku gizi seimbang remaja adalah respon kebiasaan atau perilaku yang berhubungan dengan susunan pangan sehari-hari yang mengandung zat gizi dalam
48
jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan memperhatikan prinsip gizi seimbang dan 7 pesan gizi seimbang remaja (10-19 tahun). Penelitian pada remaja di Turki dalam Dieny (2014) ditemukan bahwa hanya 1,9% remaja yang memiliki pola konsumsi sesuai dengan panduan piramida makanan (food guide pyramid), 31 % memiliki kebiasaan mengonsumsi fast food paling sedikit satu kali sehari dan 60,8 % suka melewatkan waktu makan. Penelitian Jumirah, dkk (2005) pada remaja di SMA Dharma Pancasila Medan juga menyatakan tingkat kecukupan energi dan protein sebagian besar siswa tergolong sangat rendah. Sumbangan energi yang berasal dari karbohidrat sesuai dengan anjuran PUGS hanya 26,32%, sedangkan sumbangan energi dari lemak yang sesuai dengan anjuran PUGS ada sebanyak 44,74%. Teori yang mengungkap determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang memengaruhi perilaku khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan termasuk gizi antara lain teori Lawrence Green (1980) dalam buku Notoatmodjo (2012) bahwa perilaku dibentuk dari tiga faktor. Faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. Faktor pendukung (enabling factors) yaitu faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan misalnya kemampuan ekonomi. Faktor pendorong
(reinforcing
factors)
yaitu
faktor-faktor
yang mendorong
atau
memperkuat terjadinya perilaku yang terwujud dalam sikap dan perilaku yang
49
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat misalnya petugas kesehatan dan tokoh masyarakat. Faktor predisposisi (predisposing factors) yang memengaruhi perilaku gizi seimbang remaja yaitu pengetahuan, sikap, dan citra tubuh (body image). Perilaku yang didasari dengan pengetahuan dan kesadaran akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak didasari ilmu pengetahuan dan kesadaran (Notoatmodjo. 2012). Penelitian Lukmanto dan Kristanti (2013) tentang pengetahuan gizi dan perilaku makan remaja di SMP Gloria 1 Surabaya menyatakan bahwa pengetahuan gizi remaja pria dan wanita secara keseluruhan cukup baik (82,5%). Penelitian perilaku konsumsi gizi seimbang dan status gizi pada remaja putri di SMAN 1 Tarutung Tahun 2012 yang dilakukan Natalia, dkk (2012) diperoleh pengetahuan dan sikap remaja putri sedang tetapi memiliki pola konsumsi tidak beragam.Citra tubuh (body image) adalah persepsi seseorang terhadap penampilan bentuk tubuhnya (Dieny, 2014). Banyak remaja sering tidak puas dengan penampilan dirinya. Penelitian Diana (2011) pada remaja putri di SMAN 1 Medan bahwa ada hubungan citra tubuh dengan perilaku makan . Faktor pendukung (enabling factors) yaitu ekonomi/uang saku. Menurut Khomsan (2007) dari sudut pandang ekonomi, remaja menjadi pasar yang potensial untuk produk makanan tertentu. Umumnya remaja mempunyai uang saku. Hal ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemasang iklan melalui berbagai media cetak maupun elektronik. Pada penelitian Putri (2014) tentang perilaku makan remaja di
50
SMAN 10 Padang Tahun 2013 diperoleh 74,1% remaja yang melakukan perilaku makan yang sehat adalah berasal responden yang menghabiskan uang sakunya untuk makan sekitar Rp 10.000- Rp 20.000,-/hari Faktor pendorong (reinforcing factors) yaitu peran keluarga, peran guru, peran teman sebaya, dan peran media. Suasana dalam keluarga yang menyenangkan berpengaruh pada pola kebiasaan makan. Hal ini mungkin dilandasi oleh ada atau tidak adanya kebiasaan makan bersama (Khomsan, 2007). Data yang diperoleh dari National Longitudinal Study of Adolescent Health dalam Story, M dan Stang, J (2005) bahwa frekuensi makan keluarga sebagai pendekatan pengukuran hubungan antara orangtua dan anak atau keterhubungan keluarga dan menemukan bahwa remaja yang makan malam dengan orangtua setidaknya lima hari seminggu, lebih mungkin untuk mendapatkan nilai yang lebih baik, lebih kecil kemungkinannya untuk merokok, penggunaan obat-obatan, seks di usia muda, atau terlibat perkelahian dibandingkan dengan remaja yang tidak makan dengan orangtua lima hari seminggu atau lebih. Penelitian Saifah (2011) menyatakan terdapat hubungan bermakna dengan korelasi positif antara peran keluarga dengan perilaku gizi anak usia sekolah. Peran guru sebagai tenaga pendidik dalam proses belajar mengajar mempunyai pengaruh terhadap anak-anak didiknya yang kadang-kadang lebih dituruti daripada orang tua. Materi pelajaran gizi yang diberikan harus menyajikan kenyataan atau masalah yang dibutuhkan murid (Dewi, dkk, 2011 dalam Maulana, dkk, 2012). Penelitian kualitatif oleh Graham, et al (2000) dalam Saifah (2011) dari
51
hasil wawancara mendalam terhadap 12 guru SD di Melbourne, disimpulkan bahwa setiap guru merasa terlibat dalam memberikan nasehat gizi pada anak sekolah Pengaruh teman sebaya pada masa remaja sangat besar dalam terjadinya perilaku makan yang tidak baik seperti yang telah dijelaskan di atas. Remaja lebih sering berada di luar rumah dan bersama dengan teman sebaya sehingga memungkinkan remaja untuk mengonsumsi
makanan cepat saji. Karena remaja
cenderung untuk mengikuti tren dan budaya yang sama dengan teman sebaya (Putri, 2014). Media, baik media cetak maupun media elektronik juga sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku makan pada remaja. Adanya iklan-iklan produk makanan cepat saji di televisi dapat meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup di masyarakat. Penelitian Saifah (2011) bahwa peran media massa terhadap perilaku gizi anak usia sekolah sebagian besar baik dan merupakan faktor dominan yang berhubungan dengan perilaku gizi anak usia sekolah. Media massa dapat memberi pengaruh positif maupun negatif terhadap anak sehingga orangtua harus dapat memberi arahan yang benar pada saat menonton TV. Berdasarkan teori dan hasil penelitian yang terdahulu maka diperoleh kerangka pikir di bawah ini :
52
Faktor Predisposisi (Predisposing Factor): -pengetahuan - nilai-nilai -sikap - keyakinan -kepercayaan
Faktor Pendukung (enabling factor ) - lingkungan fisik - tersedia atau tidak tersedianya fasilitasfasilitas atau sarana-sarana kesehatan
Perilaku Kesehatan
Faktor Pendorong (reinforcing factor): - sikap dan perilaku petugas kesehatan dan petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat
Gambar 2.3 Landasan Teori Sumber: Teori Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2012) dan Maulana (2009) 2.5 Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2010) Variabel independen atau variabel stimulus, prediktor, antecedent, bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen, sedangkan variabel dependen atau variabel output, kriteria, konsekuen, terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010).
53
Variabel independen terdiri dari faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor pendorong. Faktor predisposisi dalam penelitian ini yaitu pengetahuan, sikap, citra tubuh (body image), faktor pendukung yaitu uang saku, dan faktor pendorong yaitu peran keluarga, peran guru, peran teman sebaya/sekolah, peran media). Kemudian variabel dependen dalam penelitian ini adalah perilaku gizi seimbang remaja, yang digambarkan dalam bagan sebagai berikut: Variabel Independen
Variabel dependen
Faktor Predisposisi : -Pengetahuan -Sikap -Citra tubuh (Body Image)
Faktor Pendukung : Uang saku Faktor Pendorong: -Peran keluarga -Peran guru -Peran teman sebaya -Peran media
Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian
Perilaku Gizi Seimbang Remaja