BAB II KEMANDIRIAN REMAJA DAN PRESTASI BELAJAR SISWA
A.
Kemandirian Remaja 1.
Definisi Remaja Adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolecere (kata
bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang artinya “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 2004:206). Remaja adalah masa untuk tumbuh dewasa, bergerak dari ketidakmatangan masa kanak-kanak menuju kematangan masa dewasa, sebagai persiapan untuk masa depan. Menurut Steinberg (1993:3) masa remaja merupakan masa transisi yang meliputi transisi biologi, psikologi, sosial dan ekonomi. Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003:26) bahwa remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Masa remaja atau masa adolescence menurut Hurlock (2004:206) berlangsung antara usia tiga belas (13) tahun sampai enam belas (16) atau tujuh belas (17) tahun. Akhir masa remaja bermula dari usia enam belas (16) atau tujuh belas (17) tahun sampai dengan delapan belas (18) tahun, yaitu usia matang secara hukum. Steinberg (2002) mengemukakan para peneliti bidang sosial yang mempelajari remaja biasanya membagi masa remaja sebagai remaja awal berada pada rentang usia 10-13 tahun, remaja madya
12
13
berada pada rentang usia 14-18 tahun, dan remaja akhir berada pada rentang usia 19-22 tahun. Hurlock
(2004:209)
mengemukakan
bahwa
semua
tugas
perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakkan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Tugas-tugas pekembangan pada masa remaja ini antara lain: a. mengadakan hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, b. mencapai peran sosial maskulin dan fenimisme, c. menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuh secara efektif, d. mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, e. mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, f. mempersiapkan karier ekonomi, g. mempersiapkan perkawinan perkawinan dan berkeluarga, dan h. memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.
14
2.
Karakteristik Remaja Masa remaja memiliki karakteristik sebagaimana fase perkembangan
lainnya. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kehidupan anakanak dan masa kehidupan orang dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya, remaja sudah bukan anak-anak lagi melainkan sudah seperti orang dewasa, tetapi jika remaja diperlakukan sebagai orang dewasa ternyata seringkali belum dapat menunjukkan sikap dewasa. Menurut Ali dan Asrori (2008:16) sejumlah sikap yang sering ditunjukkan oleh remaja adalah sebagai berikut: a.
Kegelisahan Remaja mempunyai banyak idealisme, angan-angan, atau keinginan yang hendak diwujudkan di masa depan. Sesungguhya remaja belum memiliki banyak kemampuan yang memadai untuk mewujudkan idealisme, angan-angan, atau keinginannya. Seringkali angan-angan dan keinginannya jauh lebih besar dibandingkan dengan kemampuannya. Pada satu pihak remaja ingin mendapatkan pengalaman sebanyak-banyaknya untuk menambah pengetahuan, tetapi di lain pihak remaja merasa belum mampu melakukan berbagai hal dengan baik sehinga tidak berani mengambil tindakan mencari pengalaman langsung dari sumbernya. Tarik-menarik antara anganangan yang tinggi dengan kemampuannya yang masih belum memadai mengakibatkan remaja diliputi oleh perasaan gelisah.
15
b.
Pertentangan Sebagai individu yang sedang mancari jati diri, remaja berada pada situasi psikologis antara ingin melepaskan diri dari orang tua dan perasaan masih belum mampu untuk mandiri. Pada umumnya remaja sering mengalami kebingungan karena terjadi pertentangan pendapat antara remaja dengan orang tua.
c.
Mengkhayal Keinginan remaja untuk menjelajah dan bertualang tidak semuanya tersalurkan. Hambatannya adalah keuangan atau biaya, akibatnya remaja sering mengkhayal, mencari kepuasan, bahkan menyalurkan khayalannya melalui fantasi.
d.
Aktivitas berkelompok Keinginan remaja seringkali tidak dapat terpenuhi karena bermacam-macam kendala, salah satu kendalanya adalah tidak tersedianya biaya. Kebanyakan remaja menemukan jalan keluar dari kesulitannya dengan melakukan kegiatan bersama teman sebaya. Remaja melakukan kegiatan secara berkelompok agar kendala dapat diatasi bersama-sama.
e.
Keinginan mencoba segala sesuatu Pada umunya remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Dorongan rasa ingin tahu yang tinggi menyebabkan remaja cenderung ingin bertualang. Menjelajah segala sesuatu, dan mencoba segala sesuatu yang belum pernah dialaminya. Selain itu, didorong juga oleh
16
keinginan berperilaku seperti orang dewasa menyebabkan remaja ingin mencoba melakukan apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Ingersol (Agustiani, 2006:29) mengemukakan ciri-ciri umum masa remaja di setiap fasenya sebagai berikut: a.
Masa remaja awal (12-15 tahun) Pada masa remaja awal individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak bergantung pada orang tua. Fokus dari tahap remaja awal adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya.
b.
Masa remaja pertengahan (15-18 tahun) Masa`remaja pertengahan ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self-directed). Pada masa remaja pertengahan, remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai. Penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.
c.
Masa remaja akhir (18-21 tahun) Masa remaja akhir ditandai oleh persiapan akhir untuk memiliki peran-peran orang dewasa. Selama periode remaja akhir, remaja berusaha memantapkan tujuan vokasional dan mengembangkan sense
17
of personal identity. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa juga menjadi ciri dari tahap remaja akhir.
3.
Definisi Kemandirian Para ahli psikologi menggunakan dua istilah yang berkaitan dengan
kemandirian yaitu independence dan autonomy (Steinberg, 2002: 286). Kemandirian yang mengarah kepada konsep independence ini merupakan bagian dari perkembangan autonomy selama masa remaja. Istilah independency dan autonomy memiliki arti yang berbeda secara konseptual. Independence mengacu kepada kapasitas individu untuk memperlakukan diri sendiri. Sementara dengan istilah autonomy, Steinberg mengkonsepsikan sebagai self goferning person, yakni kemampuan menguasai diri sendiri. Pengertian kemandirian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “mandiri” yang berarti “berdiri sendiri” dan diartikan sebagai suatu keadaan yang mengatakan seseorang tidak bergantung kepada orang lain. Selanjutnya terdapat beberapa definisi mengenai kemandirian yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Chaplin (2004:48) kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti keadaan pengaturan diri, atau kebebasan individu manusia untuk memilih, untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah, menguasai dan menentukan dirinya sendiri.
18
Maslow dan Alwisol (2004: 260) menyatakan kemandirian sebagai salah satu kebutuhan psikologis manusia. Dalam susunan hierarki kebutuhannya Maslow menyatakan kemandirian sebagai salah satu cara untuk memperoleh harga diri, kemandirian akan menjadikan seseorang menghargai dirinya sendiri. Maslow juga mencantumkan kemandirian sebagai salah satu kebutuhan meta yaitu kebutuhan untuk mengaktualisasi diri yang ditandai dengan karakter otonom, menentukan diri sendiri dan tidak tergantung. Pendapat lain tentang kemandirian dikemukakan oleh Watson dan Lindgren dalam Journal Psikologi (1993:51) yang menyatakan bahwa tingkah laku mandiri meliputi pengambilan inisiatif, mengatasi hambatan, melakukan sesuatu dengan tepat, gigih dalam usahanya, dan melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Havighurts dalam Journal Psikologi (1993:51) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan bagi remaja adalah mencapai kemandirian. Dalam penelitiannya terhadap remaja usia 16-17 tahun, Havighurts menyatakan bahwa bentuk-bentuk usaha dalam rangka mengembangkan kemandirian remaja adalah sebagai berikut: a. ego idealnya dipengaruhi oleh remaja lain, perilaku remaja terlihat seperti orang dewasa dan merasa mandiri di kalangan remaja; b. mulai membentuk hubungan dengan remaja lain; c. menentang kekuasaan orang tua dan mulai menerapkan cara berpikirnya sendiri;
19
d. mencoba membuat keputusan sendiri, walaupun sebelumnya akan berkonsultasi dengan orang lain. Sedangkan kemandirian menurut Steinberg (2002: 276).merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki oleh seseorang yang tidak bergantung pada orang tua maupun lingkungan luar dan lebih banyak mengandalkan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Esensi kemandirian terletak dalam pengambilan keputusan, dapat mengembangkan kemampuan, belajar mengambil inisiatif, belajar mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan, dan belajar bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Konsep kemandirian yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep autonomy (Steinberg, 2002: 276). Steinberg mengemukakan konsep autonomy yang disejajarkan dengan independensi, walaupun menurutnya ada sedikit perbedaan yang sangat tipis diantara keduanya. Independensi mempunyai arti kebebasan yaitu kemampuan individu untuk mengerjakan segala sesuatu sendiri, sesuai dengan keinginan sendiri. Istilah autonomy berhubungan dengan kedekatan emosional individu yaitu kemampuan untuk bertindak menurut prioritas-prioritas atau prinsip-prinsip sendiri tanpa dibingungkan oleh paksaan dari luar atau tekanan dari dalam. Jadi kesimpulannya, kemandirian remaja merupakan kemampuan remaja untuk mengelola diri sendiri, membimbing keputusan serta berani bertanggung jawab atas keputusannya itu yang ditunjukan oleh tiga dimensi, yaitu dimensi kemandirian emosi, dimensi kemandirian bertindak dan dimensi kemandirian nilai.
20
4.
Aspek-Aspek Kemandirian Remaja Menurut Steinberg (2002:290) terdapat tiga aspek kemandirian remaja
sebagai berikut: a.
Kemandirian emosional Kemandirian emosional (emotional autonomy) adalah aspek kemandirian yang berkaitan dengan perubahan dalam hal hubungan kelekatan (emosional) individu, terutama dengan orang tua dalam mengelola dirinya. Pemudaran hubungan emosional anak dengan orang tua pada masa remaja terjadi sangat cepat. Percepatan pemudaran hubungan itu terjadi seiring dengan semakin mandirinya remaja dalam mengurus dirinya sendiri. Proses ini secara tidak langsung memberikan peluang bagi remaja untuk mengembangkan kemandirian emosional. Kemandirian emosional terdiri dari :
a)
Kemandirian emosional dan keterpisahan Keterpisahan (detachment) merupakan hal yang menyertai munculnya masa storm and stress di luar keluarga. Hal ini dipandang sebagai sesuatu yang normal, sehat, dan tidak dapat dielakkan dari perkembangan emosional selama masa remaja. Seorang remaja dapat mandri secara emosi dari orang tuanya tanpa harus terpisah dengan mereka (Collins, 1990;Hill and Holmback, 1986;Steinberg, 1993).
21
b)
Kemandirian emosional dan individualisasi Menurut
Blos
(1967,
dalam
Steinberg,
2002:
291),
individualisasai secara tidak langsung menyatakan bahwa orang yang sedang berkembang mempunyai tanggung jawab yang lebih banyak untuk apa yang telah ia lakukan dan apa yang sedang ia lakukan. Hal tersebut lebih baik daripada menumpuk tanggung jawab di bawah pengaruh dan pengawasan orang dewasa. Proses individualisasi terjadi secara gradual, membentuk seseorang secara progresif sebagai seorang yang mandiri, kompeten, dan seseorang yang telah terpisah dengan orang tuanya. Individualisasi erat hubungannya dengan perkembangan pembentukan identitas seseorang yang juga melibatkan perubahan dalam bagaimana melihat dan merasakan diri kita sendiri. Seorang
remaja
yang
telah
berhasil
membentuk
rasa
individualisasinya dapat menerima tanggung jawab untuk pilihan dan tindakan mereka. Kemajuan dari level individualisasi seorang remaja ditentukan juga oleh perkembangan
sosial-kognitif (Collins, 1990;Smentana,
1998 dalam Steinberg, 2002: 293). Sosial kognitif mengarah pada apa yang kita pikirkan mengenai diri kita sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Perkembangan kemandirian emosional pada remaja ditunjukkan oleh remaja yang lebih berpengalaman dalam memahami diri mereka serta orang tua mereka. Sebelum individualisasi remaja diterima, orang tua menilai diri mereka seakurat mungkin. Tetapi
22
sebagai seorang individu, mereka mengembangkan lebih banyak perbedaan konsep tentang diri pada awal dan tengah-tengah masa remaja mereka. Pada remaja akhir, mereka lebih mampu melihat secara jelas kesenjangan antara konsep diri mereka dengan pandangan orang tua atau lingkungan serta ada bagian dari dirinya yang sudah dipengaruhi orang tua dan lingkungan (Steinberg, 2002). c)
Kemandirian emosional dan pengasuhan anak Perubahan yang bertahap dalam hubungan keluarga yang mengijinkan seorang remaja untuk lebih mandiri dan mendukungnya supaya lebih bertanggung jawab dengan tidak memberi batas secara emosional antara orang tua dengan anak. Jadi perubahan yang mendukung peningkatan kemandirian emosional relatif lebih mudah bagi keluarga yang lebih fleksibel dan telah memodifikasi interaksi dalam keluarganya. Hubungan anak dengan orang dewasa berubah seiring dengan rentang kehidupan, perubahan ekspresi, perhatian, meningkatnya pembagian wewenang, dan pola-pola interaksi verbal atau tanggung jawab. Pada masa akhir remaja, rasa individual jauh dari ketergantungan
emosional
pada
orang
lain
lebih
meningkat
dibandingakan dengan masa kanak-kanak. Indikasi meningkatnya kemandirian emosional pada remaja dapat dilihat dalam beberapa hal: 1) Remaja yang usianya lebih tua umunya tidak segera meminta bantuan kepada orang lain jika mereka bingung atau khawatir
23
2) Mereka tidak melihat orang dewasa sebagai orang yang serba tau (all knowing), maupun orang yang berkuasa penuh (all powerfull). 3) Remaja sering memiliki energi emosional yang hebat untuk menyelesaikan
masalah-masalahnya,
dalam
kenyataannya
mereka lebih dekat dengan teman-temannya dari pada orang tua atau guru. 4) Remaja akhir mampu memandang dan berinteraksi dengan kelompok teman sebaya sebagai teman biasa. Beberapa penelitian mengenai emosional otonomi akhir-akhir ini menghasilkan bahwa perkembangan emosional otonomi adalah proses yang panjang, yang dimulai pada awal masih remaja dan berlanjut sampai masa dewasa. Steinberg dan Silverberg (2002), mengukur emotional autonomy dengan 4 indikator, yaitu : 1) De-idealized, yaitu tidak menganggap orang tuanya sebagai sosok yang ideal dan sempurna dalam artian bahwa orang tuanya tidak selamanya benar dalam menentukan sikap dan kebijakan. 2) Parent as people, yaitu mampu melihat orang tuanya seperti orang tua lain pada umumnya. 3) Non-dependency, yaitu kemampuan untuk tidak bergantung pada orang tua maupun orang dewasa pada umumnya dalam mengambil keputusan, menentukan sikap dan bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil.
24
4) Individuation, yaitu mampu melakukan individuasi di dalam hubungannya
dengan
orang tua
mereka,
yaitu
mampu
mengembangkan identitas personal yang unik, yang berbeda dan terlepas dari orang lain (Steinberg, 2002: 290). b.
Kemandirian perilaku Individu yang memilki kemandirian perilaku mampu membuat keputusan secara mandiri dan konsekuen terhadap keputusan yang diambil, yaitu mampu melaksanakan keputusan yang telah dibuat. Hill dan Holmbeck (Steinberg, 2002: 297) mengemukakan remaja yang memiliki kemandirian perilaku bukanlah sama sekali bebas dari pengaruh pihak lain. Individu yang mandiri dalam perilaku dapat menerima atau nasihat orang lain selama itu dipandang tepat, mampu mempertimbangkan
jalan-jalan
alternatif
dari
tindakannya
berdasarkan pertimbangannya sendiri dan saran-saran orang lain, dan mampu mencapai kesimpulan atau keputusan yang bebas dari pengaruh orang lain mengenai bagaimana harus bertindak. Perubahan kemandirian perilaku selama masa remaja dapat dilihat dalam tiga domain. Ketiga domain tersebut yaitu perubahan dalam
kemampuan
pengambilan
keputusan
(decision-making
abilities), perubahan dalam ketahanan (susceptibility) terhadap pengaruh pihak lain, dan perubahan dalam perasaan self-reliance (Steinberg, 2002: 297).
25
1)
P erubahan
dalam
kemampuan
pengambilan
keputusan.
Kemampuan dalam pengambilan keputusan bertambah baik selama masa remaja seiring dengan kelanjutan pada masa sekolah lanjutan atas berikutnya. Dalam pengambilan keputusan tersebut seseorang remaja harus mampu melihat dan menilai resiko kemungkinan munculnya keuntungan dan kerugian dari pilihan alternatif, mampu membentuk nilai menjadi mandiri dan mampu melihat bahwa nasihat seseorang dapat mencemari nilainya. 2)
P erubahan dalam konformitas dan kerentanan untuk dipengaruhi. Remaja lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, pendapat dan nasihat dari orang lain bukan hanya dari teman sebaya tetapi juga orang dewasa lainnya merupakan suatu hal yang penting. Remaja lebih sering meminta nasihat pada teman dari pada kepada orang tuanya. Menurut Brown, Clasen, and Eicher (1986 dalam Steinberg, 2002: 300) mengemukakan bahwa remaja yang lebih rentan terhadap tekanan dari teman sebaya untuk terlibat dalam kegiatan deliquent lebih sering berperilaku menyimpang dari pada teman mereka yang lebih mandiri. Alasan mengapa remaja lebih rentan terhadap pengaruh kelompok teman sebaya adalah besarnya orientasi mereka
26
terhadap kelompok teman sebaya karena mereka perduli terhadap pikiran temannya mengenai mereka, mereka lebih memilih untuk bergabung dalam keramaian kelompoknya untuk menghindari penolakan (Brown, Clasen, and Eicher dalam Steinberg, 2002). Kemungkinan dari tingginya konformitas pada tekanan dari teman sebaya selama masa remaja merupakan tanda adanya emosional antara mandiri secara emosional dari orang tua dan menjadi orang yang benar-benar mandiri (Steinberg and Silverberg, 2002). 3)
P erubahan dalam perasaan atas kepercayaan diri sendiri. Sehubungan dengan ketentraman mereka terhadap pengaruh teman sebaya yang mengindikasikan bahwa remaja dapat menggambarkan
diri
mereka
sendiri
yang
mengalami
penambahan kepercayaan diri selama masa kerentanan mereka terhadap tekanan dari teman sebaya yang mungkin saja meningkat. Sementara orang dewasa memberikan pandangan tentang dorongan teman sebaya sebagai tanda dari berkurangnya kemandirian. c.
Kemandirian nilai Kemandirian nilai (value autonomy) adalah aspek kemandirian yang merujuk kepada kemampuan untuk memiliki seperangkat prinsip tentang
benar
dan
salah
serta
penting
dan
tidak
penting.
27
Perkembangan kemandirian nilai membawa perubahan pada konsepkonsep remaja tentang moral, politik, ideologi, dan persoalanpersoalan agama. Menurut Steinberg (2002:305) terdapat tiga aspek dalam perkembangan kemandirian nilai selama masa remaja, yaitu: 1) abstrack belief yaitu memiliki keyakinan moral, isologi, dan keyakinan agama yang abstrak yang hanya didasarkan pada kognitif saja, benar dan salah, baik dan buruk; 2) principal belief, yaitu memiliki keyakinan yang prinsipil bahwa nilai yang dimiliki diyakini secara ilmiah dan kontekstual yang memiliki kejelasan dasar hukum sehinggajika nilai yang dianut dipertanyakan oleh orang lain, maka ia akan memiliki argumentasi yang jelas sesuai dengan dasar hukum yang ada; dan 3) independent belief yaitu yakin dan percaya pada nilai yang dianut sehingga menjadi jati dirinya sendiri dan tidak ada seorang pun yang mampu merubah keyakinan yang ia miliki (Steinberg, 2002:303). Sebagian besar perkembangan kemandirian nilai dapat ditelusuri pada karakteristik perubahan kognitif masa remaja. Peningkatan kemampuan rasional dan berkembangnya kemampuan berpikir hipotesis menimbulkan minat yang tinggi pada masalah-masalah ideologi dan filosofi serta lebih mendetail dalam melihat masalah ideologi dan filosofi. Perkembangan kemandirian nilai membawa
28
perubahan-perubahan pada konsepsi remaja tentang moral, politik, ideologi, dan persoalan agama (Steinberg, 2002: 305).
5.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Remaja Menurut Ali dan Asrori (2008:118) terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi perkembangan kemandirian, antara lain sebagai berikut: a.
Gen atau keturunan orang tua. Anak yang memiliki perilaku mandiri seringkali diturunkan dari sifat kemandirian yang dimiliki oleh orang tua.
b.
Pola asuh orang tua. Cara orang tua mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan kemandirian anak remaja. Orang tua yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata “jangan” kepada anak tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat perkembangan kemandirian anak. Orang tua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya akan dapat mendorong kelancaran perkembangan anak. Orang tua yang cenderung sering membanding-bandingkan anak yang satu dengan lainnya akan berpengaruh kurang baik terhadap perkembangan kemandirian anak.
c.
Sistem pendidikan di sekolah. Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan
demokratisasi
pendidikan
dan
cenderung
menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian remaja. Proses pendidikan yang lebih
29
menekankan pemberian
pentingnya reward,
dan
penghargaan
terhadap
penciptaan
kompetensi
potensi
anak,
positif
anak
memperlancar perkembangan kemandirian remaja. d.
Sistem kehidupan di masyarakat. Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hierarki struktur sosial, merasa kurang aman atau mencekam serta kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam kegiatan produktif dapat menghambat kelancaran perkembangan kemandirian remaja. Lingkungan masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hierarkis akan merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian remaja.
6. Karakteristik Remaja yang Memiliki Kemandirian Karakteristik atau ciri-ciri dari individu yang memiliki kemandirian menurut Ara (Nuraini, 2009:34) yaitu sebagai berikut: a.
Memiliki kebebasan untuk bertingkah laku, membuat keputusan dan tidak merasa cemas, takut atau malu bila keputusan yang diambil tidak sesuai dengan pilihan atau keyakinan orang lain.
b.
Mempunyai kemampuan untuk menemukan akar masalah, mencari alternatif pemecahan masalah, mengatasi masalah dan berbagai tantangan serta kesulitan lainnya, tanpa harus mendapat bimbingan dari orang tua atau orang dewasa lainnya dan juga dapat membuat keputusan dan mampu melaksanakan yang diambil.
30
c.
Mampu mengontrol dirinya atau perasaan sehingga tidak memiliki rasa takut, ragu, cemas, tergantung dan marah yang berlebihan dalam berhubungan dengan orang lain.
d.
Mengandalkan diri sendiri untuk menjadi penilai mengenai apa yang terbaik bagi dirinya serta berani mengambil resiko atas perbedaan kebutuhan dan nilai-nilai yang diyakininya serta perselisihan dengan orang lain.
e.
Menunjukkan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain, yang diperlihatkan dalam kemampuannya membedakan kehidupan dirinya dengan kehidupan orang lain, namun tetap menunjukkan loyalitas.
f. Memperlihatkan inisiatif yang tinggi melalui ide-idenya dan sekaligus mewujudkan idenya tersebut juga ditunjukkan dengan kemauannya untuk mencoba hal yang baru. g.
Memiliki kepercayaan diri yang kuat dengan menunjukkan sikap yang tidak takut menghadapi suatu kegagalan.
7.
Perkembangan Kemandirian Remaja Siswa SMA CMBBS (Cahaya Madani Banten Boarding School) pada
umumnya berada pada rentang usia 15-18 tahun, artinya siswa berada pada fase remaja. Menurut Salzman (Yusuf, 2005:184) remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependency) terhadap orang tua ke arah
31
kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian diri terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu normal. Menjadi individu yang mandiri merupakan salah satu tugas perkembangan yang fundamental pada tahun-tahun perkembangan masa remaja. Steinberg (2002:288) menegaskan “becoming an autonomous person - a self–governing person - is one of the fundamental development tasks of the adolescence years.” Dikatakan fundamental karena pencapaian kemandirian pada remaja sangat penting sebagai kerangka menjadi individu dewasa. Bagi remaja, menegakkan kemandirian sama pentingnya dengan pencapaian identitas. Sebagaimana dikemukakan oleh Steinberg (2002: 288) “for most adolescence, establishing a sense of autonomy is as important a part of becoming an adult as is establishing a sense of identity.” Dapat dipahami apabila tuntutan remaja terhadap kemandirian sangat tinggi Selama masa remaja, terjadi pergerakan dari ketergantungan masa kanak-kanak menuju kemandirian jenis autonomy masa dewasa (Steinberg, 2002:288). Menurut analisis Steinberg (2002:292), jika remaja terutama remaja awal mampu memutuskan ikatan infantil maka remaja akan melakukan separasi, yaitu pemisahan diri dari keluarga. Keberhasilan dalam melakukan separasi inilah yang merupakan dasar bagi pencapaian kemandirian terutama kemandirian yang bersifat independence. Dengan kata lain kemandirian yang pertama muncul pada diri individu adalah kemandirian yang bersifat independence, yaitu lepasnya ikatan-ikatan
32
emosional infantil individu sehingga remaja dapat menentukan sesuatu tanpa harus selalu ada dukungan emosional dari orang tua. Perkembangan aspek kemandirian emosional berkembang lebih awal dan menjadi dasar bagi perkembangan kemandirian perilaku dan nilai. Pada saat
remaja
mengembangkan
secara
lebih
matang
kemandirian
emosionalnya, secara perlahan remaja mengembangkan kemandirian perilaku. Perkembangan kemandirian emosional dan perilaku menjadi dasar bagi perkembangan kemandirian nilai. Kemandirian nilai pada remaja berkembang lebih akhir (antara usia 18 dan 20 tahun) dibanding kemandirian emosional dan perilaku yang berlangsung selama masa remaja awal dan pertengahan. Idealnya setelah kemandirian emosional dan kemandirian perilaku berkembang dengan baik (Steinberg, 2002:305).
B.
Prestasi Belajar 1.
Belajar Belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah
laku seseorang sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku (Slameto, 2003). Menurut Witherington (dalam
Sukmadinata,
2008),
belajar
merupakan
perubahan
dalam
kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respon yang baru yang berbentuk keterampilan sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan.
33
Dengan demikian, belajar pada dasarnya ialah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman (Witherington dalam Dalyono, 1997). Pendapat lain dikemukakan oleh Chaplin dalam Muhibin Syah (2006:90), belajar adalah “... acquisition of any relatively permanent change in behavior as a result of practice and experience” yakni perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman”. Sedangkan Winkel (2009) merumuskan belajar sebagai suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan bercorak positif meliputi hal-hal yang bersifat internal (pemahaman dan sikap) maupun eksternal (keterampilan motorik dan berbahasa asing). Sifat perubahan tersebut relatif konstan dan berbekas, karena tersimpan dalam ingatan (Winkel, 2009:16). Proses belajar yang dialami oleh siswa menghasilkan perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan dan pemahaman, nilai, sikap dan keterampilan. Guna mengetahui sejauh mana perubahan yang dialami siswa dalam proses belajar, maka pihak akademisi melakukan suatu evaluasi yang bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa dan proses belajarnya (Winkel, 2009:531). Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan siswa untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, secara sengaja, disadari dan perubahan tersebut relatif menetap serta membawa pengaruh
34
dan manfaat yang positif
bagi siswa dalam berinteraksi dengan
lingkungannya.
2.
Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan belajar karena kegiatan belajar merupakan proses dan prestasi belajar merupakan hasil dari proses belajar. Istilah hasil belajar sendiri berasal dari bahasa Belanda “prestatie,” dalam bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil usaha (Abdullah, 2008). Widodo (2002:594) berpendapat bahwa “Prestasi adalah hasil yang telah dicapai”. Lebih lanjut Zainal Arifin (1990:3) menyatakan bahwa “prestasi adalah hasil dari kemampuan, keterampilan, dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal.” Menurut Sri Puspita Murni (2004:147) ”prestasi merupakan wujud dari keunggulan seseorang dalam bidang tertentu.” Prestasi diperoleh melalui perjuangan yang dilandas oleh motivasi yang tinggi untuk melakukan tindakan. Untuk mewujudkan prestasi diperlukan langkahlangkah nyata yang harus dilakukan untuk mempersiapkan tujuan yang hendak dicapai. Syah (2006:141) menjelaskan bahwa: “Prestasi belajar merupakan taraf keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.”
35
Teori prestasi belajar yang diaplikasikan dalam penelitian ini adalah teori prestasi belajar Winkel. Penilaian terhadap hasil belajar siswa untuk mengetahui sejauhmana ia telah mencapai sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar. Seperti yang dikatakan oleh Winkel (1997:168) bahwa proses belajar yang dialami oleh siswa menghasilkan perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan dan pemahaman, dalam bidang nilai, sikap dan keterampilan. Adanya perubahan tersebut tampak dalam prestasi belajar yang dihasilkan oleh siswa terhadap pertanyaan, persoalan atau tugas yang diberikan oleh guru. Melalui prestasi belajar siswa dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar. Prestasi belajar diperoleh melalui suatu proses menilai. Menurut Winkel menilai merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat ditinggalkan, karena menilai merupakan salah satu bagian dari proses belajar dan mengajar. Pelaporan penilaian hasil belajar siswa dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengembalikan hasil tes setelah diperiksa dan mencantumkan nilai dalam buku rapor (Winkel, 2009:603). Di dalam rapor didapatkan informasi sejauhmana prestasi belajar seorang siswa, apakah siswa tersebut berhasil atau gagal dalam suatu mata pelajaran. Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi belajar merupakan hasil usaha belajar yang dicapai seorang siswa berupa suatu kecakapan dari kegiatan belajar bidang akademik di sekolah pada jangka waktu tertentu yang dicatat pada setiap akhir semester di dalam bukti laporan yang disebut rapor.
36
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Untuk meraih prestasi belajar yang baik, banyak sekali faktor yang
perlu diperhatikan karena di dalam dunia pendidikan tidak sedikit siswa yang mengalami kegagalan. Kadang terdapat siswa yang memiliki dorongan yang kuat untuk berprestasi dan kesempatan untuk meningkatkan prestasi, tapi dalam kenyataannya prestasi yang dihasilkan di bawah kemampuannya. Menurut Sumadi Suryabrata (1998:233) dan Shertzer dan Stone (Winkle, 1997:591), secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dan prestasi belajar dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. a.
Faktor internal, merupakan faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang dapat mempengaruhi prestasi belajar. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu : 1).
Faktor fisiologis Dalam hal ini, faktor fisiologis yang dimaksud adalah faktor
yang berhubungan dengan kesehatan dan pancaindera a)
Kesehatan badan Untuk
dapat
menempuh
studi
yang baik
siswa perlu
memperhatikan dan memelihara kesehatan tubuhnya. Keadaan fisik yang
lemah
dapat
menjadi
penghalang
bagi
siswa
dalam
menyelesaikan program studinya. Dalam upaya memelihara kesehatan fisiknya, siswa perlu memperhatikan pola makan dan pola tidur, untuk memperlancar metabolisme dalam tubuhnya. Selain itu, juga untuk
37
memelihara kesehatan bahkan juga dapat meningkatkan ketangkasan fisik dibutuhkan olahraga yang teratur. b)
Pancaindera Berfungsinya pancaindera merupakan salah satu syarat agar
belajar dapat berlangsung
dengan baik. Dalam sistem pendidikan
dewasa ini di antara pancaindera itu yang paling memegang peranan dalam belajar adalah mata dan telinga. Hal ini penting, karena sebagian besar hal-hal yang dipelajari oleh manusia dipelajari melalui penglihatan dan pendengaran. Dengan demikian, seorang anak yang memiliki cacat fisik atau bahkan cacat mental akan menghambat dirinya di dalam menangkap pelajaran, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah. 2)
Faktor psikologis Ada banyak faktor psikologis yang dapat mempengaruhi prestasi
belajar siswa, antara lain adalah: a) Intelligensi Pada umumnya, prestasi belajar yang ditampilkan siswa mempunyai kaitan yang erat dengan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Menurut Binet (Winkle,1997:529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan suatu penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif. Taraf inteligensi ini sangat mempengaruhi prestasi belajar seorang siswa,
38
dimana siswa yang memiliki taraf inteligensi tinggi mempunyai peluang lebih besar untuk mencapai prestasi belajar yang lebih tinggi. Sebaliknya, siswa yang memiliki taraf inteligensi yang rendah diperkirakan juga akan memiliki prestasi belajar yang rendah, namun bukanlah sesuatu yang tidak mungkin jika siswa dengan taraf inteligensi rendah memiliki prestasi belajar yang tinggi, juga sebaliknya . b) Sikap Sikap yang pasif, rendah diri, dan kurang percaya diri dapat merupakan faktor yang menghambat siswa dalam menampilkan prestasi belajarnya. Menurut Sarlito Wirawan (1997:233) sikap adalah kesiapan seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu. Sikap siswa yang positif terhadap mata pelajaran di sekolah merupakan langkah awal yang baik dalam proses belajar mengajar di sekolah. c) Motivasi Menurut Irwanto (1997:193) motivasi adalah penggerak perilaku. Motivasi belajar adalah pendorong seseorang untuk belajar. Motivasi timbul karena adanya keinginan atau kebutuhan-kebutuhan dalam diri seseorang. Seseorang berhasil dalam belajar karena ia ingin belajar. Sedangkan menurut Winkle (1997:39) motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar
39
dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar itu; maka tujuan yang dikehendaki oleh siswa tercapai. Motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual. Peranannya yang khas ialah dalam hal gairah atau semangat belajar, siswa yang termotivasi kuat akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. b.
Faktor eksternal. Selain faktor-faktor yang ada dalam diri siswa, ada hal-hal lain di luar diri yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yang akan diraih, antara lain: 1)
Faktor lingkungan keluarga Faktor lingkungan keluarga terbagi ke dalam tiga faktor yang
dapat mempengaruhi prestasi belajar, antara lain: a)
Sosial ekonomi keluarga Dengan sosial ekonomi yang memadai, seseorang lebih
berkesempatan mendapatkan fasilitas belajar yang lebih baik, mulai dari buku, alat tulis hingga pemilihan sekolah b)
Pendidikan orang tua Orang tua yang telah menempuh jenjang pendidikan tinggi
cenderung
lebih
memperhatikan
dan
memahami
pendidikan
bagi
anak-anaknya,
dibandingkan
pentingnya
dengan
yang
mempunyai jenjang pendidikan yang lebih rendah. c)
Perhatian orang tua dan suasana hubungan antara anggota keluarga
40
Dukungan dari keluarga merupakan suatu pemacu semangat berpretasi bagi seseorang. Dukungan dalam hal ini bisa secara langsung, berupa pujian atau nasihat; maupun secara tidak langsung, seperti hubungan keluarga yang harmonis. 2)
Faktor lingkungan sekolah Faktor lingkungan sekolah terbagi ke dalam tiga faktor yang
dapat mempengaruhi prestasi belajar, antara lain: a) Sarana dan prasarana Kelengkapan fasilitas sekolah, seperti papan tulis, OHP akan membantu kelancaran proses pembelajaran di sekolah; selain bentuk ruangan, sirkulasi udara dan lingkungan sekitar sekolah juga dapat mempengaruhi proses pembelajaran. b) Kompetensi guru dan siswa Kualitas guru dan siswa sangat penting dalam meraih prestasi, kelengkapan sarana dan prasarana tanpa disertai kinerja yang baik dari para penggunanya akan sia-sia belaka. Bila seorang siswa merasa kebutuhannya untuk berprestasi dengan baik di sekolah terpenuhi, misalnya dengan tersedianya fasilitas dan tenaga pendidik yang berkualitas, yang dapat memenuhi rasa keingintahuannya, hubungan dengan guru dan teman-temannya berlangsung harmonis, maka siswa akan memperoleh iklim belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, ia akan terdorong untuk terus-menerus meningkatkan prestasi belajarnya.
41
c) Kurikulum dan metode mengajar Hal ini meliputi materi dan bagaimana cara memberikan materi tersebut kepada siswa. Metode pembelajaran yang lebih interaktif sangat diperlukan untuk menumbuhkan minat dan peran serta siswa dalam
kegiatan
pembelajaran.
Sarlito
Wirawan
(1994:122)
mengatakan bahwa faktor yang paling penting adalah faktor guru. Jika guru mengajar dengan arif bijaksana, tegas, memiliki disiplin tinggi, luwes dan mampu membuat siswa menjadi senang akan pelajaran, maka prestasi belajar siswa akan cenderung tinggi, paling tidak siswa tersebut tidak bosan dalam mengikuti pelajaran. 3)
Faktor lingkungan masyarakat Faktor lingkungan masyarakat terbagi ke dalam dua faktor yang
dapat mempengaruhi prestasi belajar, antara lain: a) Sosial budaya Pandangan masyarakat tentang pentingnya pendidikan akan mempengaruhi kesungguhan pendidik dan peserta didik. Masyarakat yang masih memandang rendah pendidikan akan enggan mengirimkan anaknya ke sekolah dan cenderung memandang rendah pekerjaan guru/pengajar b) Partisipasi terhadap pendidikan Bila semua pihak telah berpartisipasi dan mendukung kegiatan pendidikan, mulai dari pemerintah (berupa kebijakan dan anggaran)
42
sampai pada masyarakat bawah, setiap orang akan lebih menghargai dan berusaha memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
4.
Pengukuran Prestasi Belajar Dalam dunia pendidikan, menilai merupakan salah satu kegiatan yang
tidak dapat ditinggalkan. Menilai merupakan salah satu proses belajar dan mengajar. Di Indonesia, kegiatan menilai prestasi belajar bidang akademik di sekolah-sekolah dicatat dalam sebuah buku laporan yang disebut rapor. Dalam rapor dapat diketahui sejauhmana prestasi belajar seorang siswa, apakah siswa tersebut berhasil atau gagal dalam suatu mata pelajaran. Didukung oleh pendapat Sumadi Suryabrata (1998:296) bahwa rapor merupakan perumusan terakhir yang diberikan oleh guru mengenai kemajuan atau hasil belajar murid-muridnya selama masa tertentu. Proses penilaian prestasi belajar siswa berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, pada umumnya per enam bulan atau satu semester. Penilaian tidak dilakukan berdasarkan aspek kognitif saja, namun aspek psikomotor dan afektif pun menjadi bahan penilaian, sebagaimana Bloom dkk membagi kawasan belajar ke dalam 3 aspek tersebut (Azwar, 2007). Penilaian prestasi belajar pada aspek kognitif dapat diperoleh dari tes prestasi belajar dalam bentuk tertulis (Azwar, 2007a). Ranah kognitif terdiri atas pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai yang dapat diukur tinggi rendahnya dengan jalan memberi tugas yang relevan dengan sasaran yang diinginkan (Zulfawardi, 2009:2).
43
Sementara itu, ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai. Menurut Popham (1995), “ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang” (Zulfawardi, 2009:2). Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Dengan demikian pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Ranah ke tiga yaitu ranah psikomotor yang mencakup keterampilan yang berkaitan dengan gerak, menggunakan otot seperti lari, melompat, menari, melukis, berbicara, membongkar dan memasang peralatan, dan sebagainya (Zulfawardi, 2009:1). Syaifuddin Azwar (2007:11) menyebutkan bahwa ada beberapa fungsi penilaian dalam pendidikan, yaitu : a.
Penilaian berfungsi selektif (fungsi sumatif) Fungsi penilaian ini merupakan pengukuran akhir dalam suatu
program dan hasilnya dipakai untuk menentukan apakah siswa dapat dinyatakan lulus atau tidak dalam program pendidikan tersebut. Dengan kata lain penilaian berfungsi untuk membantu guru mengadakan seleksi terhadap beberapa siswa, misalnya : 1)
memilih siswa yang akan diterima di sekolah;
2)
memilih siswa untuk dapat naik kelas;
44
3)
memilih siswa yang seharusnya dapat beasiswa.
b.
Penilaian berfungsi diagnostik Fungsi penilaian ini selain untuk mengetahui hasil yang dicapai siswa
juga mengetahui kelemahan siswa sehingga dengan adanya penilaian, maka guru dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan masing-masing siswa. Jika guru dapat mendeteksi kelemahan siswa, maka kelemahan tersebut dapat segera diperbaiki. c.
Penilaian berfungsi sebagai penempatan (placement) Setiap siswa memiliki kemampuan berbeda satu sama lain. Penilaian
dilakukan untuk mengetahui di mana seharusnya siswa tersebut ditempatkan sesuai dengan kemampuannya yang telah diperlihatkannya pada prestasi belajar yang telah dicapainya. Sebagai contoh penggunaan nilai rapor SMU kelas II menentukan jurusan studi di kelas III. d.
Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan (fungsi formatif) Penilaian berfungsi untuk mengetahui sejauh mana suatu program
dapat diterapkan. Sebagai contoh adalah raport di setiap semester di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menegah dapat dipakai untuk mengetahui apakah program pendidikan yang telah diterapkan berhasil diterapkan atau tidak pada siswa tersebut.
45
5.
Meningkatkan Prestasi Belajar Belajar pada hakekatnya merupakan usaha sadar yang dilakukan
peserta didik untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam dirinya, yang oleh Bloom dkk dikelompokkan ke dalam kawasan kognitif, afektif, dan psikomotor. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri tertentu seperti dikemukakan Makmun (1999), sebagai berikut: a.
Perubahan bersifat intensional Pengalaman atau praktek latihan dilakukan dengan sengaja dan
disadari. Dengan demikian perubahan karena kematangan, keletihan atau penyakit tidak dapat dipandang sebagai hasil belajar. b.
Perubahan bersifat positif Perubahan perilaku sebagai hasil belajar sesuai dengan yang
diharapkan (normatif), atau kriteria keberhasilan (criteria of succes), baik dipandang dari segi peserta didik maupun dari segi guru. c.
Perubahan bersifat efektif Perubahan perilaku sebagai hasil belajar itu relatif tetap, dan setiap
saat diperlukan dapat direproduksi dan dipergunakan, seperti dalam pemecahan masalah (problem solving), ujian, maupun dalam penyesuaian diri
dalam
kehidupan
kelangsungan hidupnya.
sehari-hari
dalam
rangka
mempertahankan
46
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa belajar bukan diarahkan oleh suatu kekuatan refleks, tetapi dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan sehingga individu akan mempelajari apa yang seharusnya dilakukan. Dalam pada itu, belajar dilakukan karena adanya kebutuhan, yang menimbulkan ketegangan dan mesti dipenuhi, sehingga mendorong individu untuk mempergunakan pikiran dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
C.
Hubungan antara Kemandirian Remaja dengan Prestasi Belajar Menurut Hurlock (2004:220), keinginan yang kuat untuk mandiri berkembang pada awal masa remaja dan mencapai puncaknya menjelang periode remaja berakhir. Pencapaian kemandirian memang bukan hal yang mudah bagi remaja, namun kemandirian tetap harus diraih karena kemandirian akan memberikan dampak yang positif bagi perkembangan selanjutnya. Kemandirian dalam kehidupan remaja dipandang penting. Steinberg (2002:286) mengemukakan bahwa, “becoming an autonomous person - a self-governing person - is one of the fundamenta development tasks of the adolescent years.” Artinya, menjadi orang yang mandiri adalah orang yang mampu menentukan dan mengelola diri sendiri adalah salah satu dari tugas perkembangan fundamental masa remaja. Hal ini ditegaskan pula oleh Havighurst (Hurlock, 2004) bahwa kemandirian merupakan salah satu tugas perkembangan remaja untuk menuju ke masa dewasa, agar para remaja dengan mantap memasuki dunianya yang baru tanpa hambatan yang berarti.
47
Steinberg et.al (2002), Lian, et.al (1993), dan Chikov & Ryan (2001) mengungkapkan bahwa remaja yang mandiri ternyata menunjukkan prestasi belajar yang lebih memadai dan mampu bersaing dibandingkan dengan remaja yang masih bergantung kepada orang tuanya. Beberapa alasan yang mendukung pencapaian prestasi yang lebih baik dari remaja yang mandiri itu antara lain: (1) mereka memiliki motivasi intrinsik yang lebih tinggi dalam belajar; (2) mereka mampu menggunakan sumber-sumber pribadi dan sumber yang diberikan dari institusi tempat belajar secara lebih baik; dan (3) mereka mampu melaksanakan pembelajaran mereka dalam suatu cara yang independent. Di samping itu, kemandirian pun ternyata berhubungan positif dengan prestasi remaja di sekolah. Menurut Mc.Clelland, dkk (dalam Tjoe:1993:30), kemandirian memiliki kaitan yang erat dengan tuntutan berprestasi. Anak yang didorong untuk berdiri di atas kakinya sendiri dan mengurangi ketergantungan terhadap orang-orang dewasa akan berusaha untuk mengatasi dan menguasai masalah-masalahnya sendiri. Kemandirian merupakan tanda rasa aman bagi diri anak dan dimilikinya perasaan aman ini memungkinkannya untuk berfungsi terhadap pencapaian prestasi dan pencapaian tujuan.
48
D.
Kerangka Berpikir Menurut Hurlock (2004:220) keinginan yang kuat untuk mandiri berkembang pada awal masa remaja dan mencapai puncaknya menjelang periode remaja berakhir. Pernyataan Hurlock didukung oleh Mu’tadin (2002:1) “selama masa remaja tuntutan terhadap kemandirian ini sangat besar dan jika tidak direspon secara tepat bias saja menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologis sang remaja di masa mendatang”. Pencapaian kemandirian memang bukan hal yang mudah bagi remaja, namun
kemandirian
tetap
harus
diraih
karena kemandirian
akan
memberikan dampak yang positif bagi perkembangan selanjutnya. Keberhasilan remaja dalam mencapai kemandirian memerlukan respon yang tepat dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Tuntutan yang besar terhadap kemandirian memang muncul pada masa remaja, namun kemandirian
perlu
ditanamkan
sejak
dini.
Mu’tadin
(2002:2)
mengemukakan kemandirian dapat berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terusmenerus dan dilakukan sejak dini. Pencapaian kemandirian sangat penting bagi remaja, karena hal tersebut sebagai tanda kesiapannya untuk memasuki fase berikutnya dengan berbagai tuntutan yang lebih beragam sebagai orang dewasa. Kegagalan dalam pencapaian kemandirian dapat berdampak negatif pada diri remaja. Ketergantungan pada orang lain menyebabkan seorang remaja selalu ragu-
49
ragu dalam mengambil keputusan sendiri, tidak percaya diri, mudah terpengaruh oleh orang lain hingga akhirnya mengalami kesulitan untuk menemukan identitas diri. Dalam usaha pencapaian kemandirian remaja sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, terutama dari lingkungan keluarga sebagai lingkungan terdekatnya. Berdasarkan teori Steinberg (2002), kemandirian mempunyai 3 komponen pokok’ yaitu kemandirian emosional, kemandirian perilaku, dan kemandirian nilai. Kemandirian emosional merupakan aspek kemandirian yang berhubungan dengan perubahan dalam kedekatan individu. Seseorang dikatakan memiliki kemandirian emosional bila mereka mampu untuk mempercayai dirinya sendiri daripada tergantung secara berlebihan pada orang lain untuk mendapatkan dukungan dan pengarahan. Mandiri secara emosi juga menghasilkan perilaku seperti, mampu memandang kelompok teman sebaya secara obyektif, mampu menjadi diri sendiri dalam berhubungan dengan teman sebaya, dan mampu menahan gejolak emosi. Pada kemandirian perilaku, dapat dilihat dalam tiga domain. Ketiga domain tersebut yaitu perubahan dalam kemampuan pengambilan keputusan (decision-making abilities), perubahan dalam ketahanan (susceptibility) terhadap pengaruh pihak lain, dan perubahan dalam perasaan self-reliance. Dengan kata lain, Individu yang mandiri dalam perilaku dapat menerima atau
nasihat
orang
lain
selama
itu
dipandang
tepat,
mampu
mempertimbangkan jalan-jalan alternatif dari tindakannya berdasarkan
50
pertimbangannya sendiri dan saran-saran orang lain, dan mampu mencapai kesimpulan atau keputusan yang bebas dari pengaruh orang lain mengenai bagaimana harus bertindak. Kemandirian nilai adalah aspek kemandirian yang merujuk kepada kemampuan untuk memiliki seperangkat prinsip tentang benar dan salah serta penting dan tidak penting. Remaja dengan kemandirian nilai memunculkan beberapa perilaku yang mencerminkan prinsip hidup yang benar seperti, mampu menghargai adanya perbedaan pendapat, mampu menaati peraturan yang ada, memiliki keyakinan yang berakar pada prinsipprinsip umum yang berlaku, dan menghormati norma yang berlaku di masyarakat. Berdasarkan ketiga aspek tersebut, remaja dengan kemandirian yang tinggi dapat dikatakan memiliki kemampuan untuk mengelola dirinya sendiri, seperti mengurus kepentingan diri sendiri dengan mengandalkan kemampuan yang dimilikinya. Dalam hal pengambilan keputusan, remaja percaya dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga tidak bergantung atas saran atau pengaruh dari orang tua atau teman sebayanya. Selain itu, remaja dapat mengembangkan potensi dalam dirinya, seperti ketika di sekolah, siswa tidak melanggar tata tertib yang berlaku, bekerja sendiri dan tidak mencontek, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, ikut berpartisipasi mengharumkan nama sekolah, memiliki inisiatif menggunakan waktu luang dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Dengan demikian, remaja dengan perilaku mandiri yang tinggi dapat memunculkan prestasi belajar
51
yang tinggi pula, karena remaja yang mandiri lebih mengandalkan potensi serta kemampuan yang dimilikinya serta memiliki rasa tanggung jawab pada dirinya dalam rangka menyelesaikan tugas perkembangannya.
52
Bagan Kerangka Berpikir KEMANDIRIAN remaja
Mandiri secara emosi
Remaja sudah mampu mempercayai dirinya sendiri daripada tergantung pada orang tua atau orang lain untuk mendapatkan dukungan dan pengarahan. Hal tersebut merupakan faktor pendukung siswa dalam menampilkn prestasi belajarnya.
Mandiri secara perilaku
Remaja telah mampu mengambil keputusan sendiri dalam hal pemilihan jurusan, partisipasi dalam kegiatan organisasi atau pun kegiatan ekstrakuliluler serta dapat memecahkan masalahnya sendiri apabila menghadapi suatu masahal di sekolah..
Mandiri secara nilai
Remaja memiliki keyakinan akan prinsipprinsip dalam hidupnya. Dalam hal ini remaja sadar akan aturan-aturan yang terdapat di sekolah yang dengan sendirinya akan membentuk suatu rasa tanggung jawab atas dirinya sendiri.
kemandirian merupakan salah satu faktor yang mendukung peningkatan prestasi pada siswa. Remaja dengan kemandirian yang tinggi baik secara emosi, perilaku atau pun nilai, telah memiliki kesadaran sendiri untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri seperti, pengambilan keputusan pada saat pemilihan jurusan atau pemilihan universitas yang akan diambilnya, serta remaja mandiri tidak bergantung pada orang tua akan masalah yang sedang dihadapinya. Selain itu remaja selalu mengandalkan potensi yang dimilikinya seperti , bekerja sendiri ketika ulangan, memanfaatkan waktu luang untuk belajar serta mematuhi aturan-aturan yang ada di sekolah. Fakotr-faktor tersebut menimbulkan sebuah motivasi yang tinggi bagi siswa untuk dapat meraih prestasi yang lebih baik lagi.
Prestasi Belajar Tinggi