Bab 2 Landasan Teori
2.1 Konsep Utopia Tema utopia pertama kali dibahas oleh Sir Thomas More dalam karyanya Utopia, pada tahun 1516, kemudian oleh Tommaso Campanella - The City of the Sun (1623), Francis Bacon – The New Atlantis (1627) dan James Harrington – Oceana (1656). Fortunanti dalam Moichi (1999) menjelaskan karakteristik utama utopia terletak pada pergeseran posisi antara dunia yang diharapkan dan realita yang ada. Dalam hal ini, realita berlawanan dengan dunia yang diharapkan. Utopia merupakan permainan antara dua kutub yakni realitas dan fiksi. Utopia yang digagas More bukan merupakan utopia yang realistik karena dunia yang digambarkan dalam novel tersebut adalah fiktif. Menurut Sanderlin (1950:75-76) utopia merupakan cerminan dari dunia imajinasi More atau sebuah drama dari pikiran More. Dengan kata lain, utopia adalah literatur imajinatif, fiksi yang memiliki banyak plot di dalamnya jika ingin kita intrepretasikan. Utopia adalah sebuah kisah, permainan kreatif dari kebebasan imajinasi penulis. Secara umum utopia didefinisikan sebagai tempat dimana sudut pandang ideal terutama dalam bidang hukum, pemerintahan dan kondisi sosial berada (a place of ideal perfection, especially in law, government, and social condition) (Napier, 1996:143). Utopia dalam arti luas dan umumnya, menunjuk ke sebuah masyarakat yang dianggap sempurna. Kata sifat utopian digunakan untuk merujuk ke sebuah dunia yang baik
namun (secara fisik, sosial, ekonomi, atau politik) tidak mungkin terjadi, atau paling tidak merupakan sesuatu yang sulit dilaksanakan. Penjelasan Napier mengenai utopia didukung juga oleh Morson (1981:95) yang mengemukakan bahwa utopia memiliki kombinasi-kombinasi yakni: (1) tempat ideal yang tidak ada dan; (2) fiksi yang bukan merupakan fiksi karena social fiction bisa menjadi social fact. Banyak literatur utopia mengkaburkan kontras realita dan fiksi dan mencoba mengikutsertakan pembaca dengan membuat fiksi sendiri. Menurut Eliav-Feldon (1982:2-4), secara khusus ada lima pengelompokkan utopia yang yakni: (1) utopia yang digambarkan melalui kisah-kisah perjalanan melalui pembahasan tentang mitos tertentu yang telah dikenal sejak jaman dahulu (Idealization of existing societies); (2) utopia yang digambarkan melalui pemujaan terhadap jaman keemasan pada masa lampau (Glorification of a primitive Golden Age); (3) utopia yang digambarkan melalui rencana untuk menciptakan kedamaian dunia yang abadi (World empires and plans for universal eternal peace); (4) utopia yang digambarkan melalui bentuk kerajaan agama (Theocratic millennial kingdoms (plans or experiments)) dan; (5) utopia yang digambarkan melalui masyarakat ideal imajiner yang mempunyai peranannya di masa sekarang (Utopias proper) . Berdasarkan hasil analisa Manuel dan Kumar dalam Napier (1996:145), ada dua paradigma utopia tradisional yakni city-state (negara kota), dari naskah Yunani kuno karya Plato, Republic, yang dikombinasikan dengan kota yang sangat menyenangkan dalam tradisi Judeo-Kristiani. Kombinasi ini memunculkan konsep negara kota yang direncanakan dengan seksama, ideal dan bahkan statis. Paradigma kedua adalah utopia
pastoral, yang merupakan kombinasi dari Arcadia Yunani dan surga pada masa praLapstarian Eden dari Alkitab. Paradigma utopia pada kesusastraan Jepang, diadopsi dari Cina. Paradigma Cina memandang utopia tradisional berdasarkan dua pendekatan lain yakni konfusianisme dan taoisme. Tradisi konfusius mengajarkan penegakkan aturan dan hirarki agar terbentuk manusia yang sempurna. Doktrin ini dapat terlihat dengan jelas dalam jaman keemasan pangeran Chou (Napier, 1996:145). Konfusianisme dijadikan landasan moral dan hukum oleh pemerintahan Tokugawa (1603-1867), maka tak heran jika paradigma utopia Cina mudah diserap oleh Jepang. Hegel membagi fiksi tradisonal Cina kedalam enam divisi utama (1994:396), salah satunya adalah kisah fantastik dan dongeng supernatural yang menceritakan tentang enam dinasti (220-589) dan periode dinasti Tang (618-906) yang dikenal dengan zhiguai (records of anomalies). Ini menunjukkan bahwa kisah fantastik bukanlah hal baru lagi dalam fiksi tradisional Cina. Contohnya adalah Classical Chinese Tales of the Supranatural and the Fantastic yang diedit oleh Karl S.Y.Kao tahun 1985 dan The major Six Dinasties compilation of anecdots oleh Richard B.Mather tahun 1976 (Hegel, 1994:411). Dilihat dari perspektif sejarah kebudayaan, Jepang tidak memiliki pandangan utopia. Dalam Kojiki, naskah Shinto yang pertama, surga tempat tinggal dewa secara moral maupun politik tidak lebih mulia dari pada dunia atau tempat tinggal di bumi (Napier, 1996:145). Dua paradigma utopia versi Cina lebih mudah diserap oleh Jepang karena pada masa pra-modern, Jepang sangat didominasi oleh Cina. Salah satu alasan mengapa utopia versi barat tidak ada adalah adanya pengaruh yang kuat dari kultur dan intelektual
Cina masa pra-modern Jepang. Bentuk utopia dalam masyarakat Jepang dapat dilihat dalam tradisi shukke. Tradisi shukke adalah tradisi mengasingkan diri dari kehidupan dunia di kalangan pendeta Budha. Tradisi ini merupakan model utopia yang memungkinkan di Jepang. Sekaligus menunjukkan bahwa secara fundamental utopia tidak mungkin direalisasikan dalam tingkat sosial secara luas. Menurut Nakamura dan Yura dalam Napier (1996:146), tradisi shukke muncul pada fiksi Jepang dalam bentuk shishousetsu (I-novel atau novel otobiografis) yang sangat apolitik, di mana pengarang dengan sadar mengasingkan diri dari masyarakat. Pada jaman Meiji, karya sastra Jepang banyak yang betemakan seiji shosetsu. Beberapa sastrawan yang menganggap seiji shosetsu sebagai propaganda (bermuatan) politik, memilih untuk mencari gaya penulisan baru. Dari sinilah muncul shisosetsu sebagai bentuk penolakan atas seiji shosetsu. Meski pada jaman pra-modern Jepang tidak memiliki konsep utopia tetapi ada kisah perjalanan ke negeri yang jauh dan fantastik. “Kisah perjalanan” merupakan bentuk awal dari novel yang bertemakan utopia. Walaupun kisah perjalanan tersebut berbeda dengan konsep utopia, namun memiliki inti yang sama dalam novel utopia yakni kontras antara idealisme utopia dan realitas yang tidak sempurna. Hal inilah yang selalu menjadi latar dari cerita-cerita fantastik. Kisah fantastik merupakan bentuk dari pelarian terhadap realita. Kisah fantastik Jepang muncul sebagai wacana alteratif (counter-discourse) terhadap modernitas (Napier, 1996:8). Genre fantastik seperti ini merupakan bentuk marjinalisasi diri sendiri secara implisit terhadap genre utama tahun 1910 yakni naturalisme. Bentuk pelarian diri terhadap naturalisme inilah yang memunculkan
shishosetsu yang didefinisikan sebagi novel otobiografis yang memotret secara jujur kehidupan pengarang. Dalam pelariannya terhadap realita, utopia Jepang umumnya memiliki logika terbalik dan tak jarang memutarbalikkan realitas. Kisah fantastik Jepang tidak hanya kembali ke mitos-mitos lokal yang sudah ada melainkan juga membentuk dunia sendiri yang secara keseluruhan lebih “modern” dan disaat yang sama juga ke-Jepang-an. Karya utopia menjadi identik dengan karya sastra bergaya satir yang berisi kesedihan yang mendalam, kritik, celaan sekaligus harapan dan kepercayaan akan berbagai macam kemungkinan yang terjadi dalam masyarakat. Bentuk karya satir seperti ini sebenarnya sudah ada sejak jaman Heian sampai era Tokugawa (Napier, 1996:14). Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa utopia adalah konsep ide dunia imajinatif yang muncul akibat suatu kondisi yang dianggap tidak memuaskan oleh utopis. Penggagas utopia ini (utopis) menciptakan dunia imajiner baru untuk mencurahkan harapan-harapan dan kritik mereka yang tidak mereka peroleh dari dunia nyata. Bentuk dunia pelarian ini dapat diungkapkan dengan berbagai penggambaran dunia. Misalnya membentuk dunia yang sama sekali baru, menggambarkan kisah perjalanan ke negeri baru, pengagungan negeri keagamaan atau kembali mengagungkan masa lalu.
2.2 Naratologi Strukturalisme merupakan paham yang memandang dunia sebagai realitas yang memiliki struktur. Strukturalisme berakar pada linguistik modern yang diperkenalkan Ferdinand de Saussure (1857-1913). Strukturalisme terutama dalam studi bahasa adalah
usaha menunjukkan bagaimana makna literer bergantung pada kode-kode yang dihasilkan oleh wacana-wacana yang mendahului dari sebuah budaya (Kurniawan, 2001:84). Tzvetan Todorov (1969) adalah strukturalis yang mencetuskan istilah narratology sebagai sebuah ilmu tiga tahun setelah naratologi mulai menjadi topik yang hangat di sebuah jurnal Perancis, Communications, dengan judul The structural analysis of narrative. Menurut Todorov dalam Jahn (2005:20), naratologi adalah teori dan ilmu mengenai naratif struktural. Naratologi menjembatani pemahaman teks melalui cerita dan penceritaan dengan melihat teks sebagai media komunikasi antara pengarang, teks dan pembaca. Konsep naratif berawal dari para penerap semiologi, seperti Roman Jakobson yang dilanjutkan oleh Viktor Shklovsky, Claude Levi Strauss dan Roland Barthes, yang berfikir bahwa semua teks baik yang tertulis (written) dan yang diceritakan (spoken) adalah sama. Semiologi dimulai dengan membangun makna dari tanda-tanda dan menganalisa tanda-tanda yang berkombinasi menjadi sebuah kode untuk menyampaikan pesan. Ini merupakan bagian dari sistem komunikasi secara umum yang menggunakan baik verbal dan non verbal yang membentuk wacana dengan beragam bentuk. Dalam penerapannya, semua teori naratif membedakan dua hal, yakni apa itu narasi (cerita) dan bagaimana narasi itu diceritakan (penceritaan). Menurut Genette dalam Jahn (2005:21), definisi dasar dari naratif adalah apapun yang berbentuk sebuah cerita, baik berupa teks gambar, pertunjukan atau kombinasinya. Dengan demikian, novel, film dan komik merupakan naratif. Sedangkan cerita adalah rangkaian peristiwa yang melibatkan tokoh (karakter). Peristiwa yang terjadi termasuk peristiwa yang terjadi secara alamiah
dan tak alamiah, misalnya banjir dan tabrakan mobil. Tokoh dapat berinteraksi sebagai agen yang menyebabkan peristiwa, sebagai korban atau sebagai keduanya. Menurut Gennete (1980:186), cerita adalah rangkaian peristiwa yang bergerak kronologis dari awal sampai akhir yang meliputi tokoh, peristiwa, ruang dan waktu. Sedangkan penceritaan adalah cara bagaimana sebuah cerita disampaikan. Narator adalah pembicara atau seseorang yang menjadi suara (voice) di dalam wacana naratif. Narator merupakan agen yang berkomunikasi dengan penerima (pembaca), yang mengatur rencana, yang menentukan apa yang harus dikatakan atau bagaimana cara penyampaiannya. Jika perlu, narator akan “melawan” komentar dan opini yang ada dengan suatu tujuan atau pesan. Menutrut Gennete dalam Jahn (2005:31), ada dua kategori yang dibuat berdasarkan hubungan narator dengan cerita yaitu homodiegetic narrative dan heterodiegetic narrative. Homodiegetic narrative adalah cerita yang diceritakan oleh narator yang hadir dalam wujud karakter (tokoh) di dalam cerita. Prefiks “homo” menunjuk pada individu yang berperan sebagai narator yang juga berperan sebagai tokoh dalam peristiwa. Sebuah teks merupakan homodiegetic jika menggunakan kata ganti orang pertama (saya). Sedangkan heterodiegetic narrative adalah cerita yang diceritakan oleh narator yang tidak hadir sebagai karakter (tokoh) di dalam cerita. Prefiks “hetero” menunjukkan “perbedaan dunia” narator dengan dunia peristiwa yang diceritakan. Sebuah text merupakan heterodiegetic jika menggunakan kata ganti orang ketiga (dia). Fokalisator adalah seseorang yang mengarahkan orientasi sudut pandang di dalam teks naratif. Di sebut eksternal fokalisator jika yang mengarahkan sudut pandang di dalam teks naratif adalah narator (narator-fokalisator) dan disebut internal fokalisator
jika dipresentasikan dari sudut pandang dari sebuah karakter (karakter-fokalisator) dalam cerita. Ada empat bentuk focalization yang dapat dibedakan yaitu: (1) fixed focalization yaitu bentuk presentasi cerita melalui satu sudut pandang yang tetap; (2) variable focalization yaitu bentuk presentasi dari berbagai episode cerita dilihat dari sudut pandang beberapa fokalisator; (3) multiple focalization yaitu tehnik presentasi cerita dari episode yang berulang yang dipresentasikan melalui internal fokalisator yang berbeda, dan; (4) collective focalization yaitu fokalisator melalui beberapa narator atau sekelompok karakter. Menurut Jahn (2005:26), walaupun dalam satu penggunaan bahasa yang sama, orang (person) dan karakter (character) memiliki perbedaan. Orang adalah sosok nyata (reallife person), misalnya penulis dan pembaca. Karakter adalah sosok rekaan (not a reallife person) yang dibuat oleh penulis dan keeksistensiannya hanya berada dalam teks fiksi, baik dalam melakukan aksi atau dalam media fiksi lainnya. Komunikasi naratif (narrative communication) biasanya ditunjukan melalui tiga level yakni penulis dan pembaca yang berada dalam level komunikasi nonfiksi, narator dan penerima (addressee) yang berada dalam level media fiksi dan karakter dalam level peristiwa (action).
Author
Reader
Narrator
Addressee (s)
Character
Character
Level of action Level of fictional mediation and discourse
Level of nonfictional communication
2.3 Semiologi Teks Roland Barthes Roland Barthes adalah salah satu tokoh strukturalisme Perancis yang mempraktekkan semiologi secara intensif (Kurniawan, 2001:3). Dalam bidang sastra dan linguistik Barthes dikenal melalui analisa tekstual atau analisa naratif struktural yang ia gunakan sebagai alat untuk menganalisa berbagai bentuk naskah. Analisa naratif struktural inilah yang pada akhirnya ia simpulkan sebagai semiologi. Analisis naratif struktural dapat disebut juga dengan semiologi teks karena memfokuskan diri pada naskah yang bertujuan untuk memahami makna suatu karya dengan menyusun kembali makna yang tersebar dalam karya tersebut (Kurniawan, 2001:89). Barthes menganggap bahwa semiologi adalah bagian dari linguistik, hal ini berbeda dengan pemikiran Saussure yang meyakini bahwa semiologi merupakan ilmu tersendiri. Semiologi adalah instrument pembuka rahasia teks dan penandaan. Ia menjadikan semiologi sebagai suatu cara untuk mengarahkan manusia menandai sesuatu dan memaknainya. Barthes melihat bahwa yang dapat dijadikan obyek semiologi bukan hanya terbatas pada bahasa saja melainkan hal-hal lain non bahasa. Kehidupan sosial, apapun bentuknya, merupakan suatu sistem tanda tersendiri. Pemikiran Barthes inilah yang membuat meluasnya ruang lingkup semiologi dan melahirkan obyek penelitian semiologi yang lain. Barthes sendiri menulis buku yang berjudul Mythologies yang menelitiki obyek non bahasa seperti sabun mandi dan deterjen, mainan anak, sampul majalah, film Charlie Chaplin, susu dan anggur, novel dan fotografi sebagai obyek penelitian semiologinya. Ia memperlakukan obyek non bahasa itu seperti memperlakuan bahasa yang juga memiliki penanda dan petanda.
Barthes berpendapat bahwa ada banyak bentuk naratif di dunia. Naratif dapat berbentuk mitos, legenda, fable, cerita pendek, tragedi, drama, komedi, pantomim, lukisan, film, percakapan bahkan berita. Maka naratologi memfokuskan diri pada semua jenis naratif, literatur dan nonliteratur, fiksi dan nonfiksi, verbal dan nonverbal. Pembedaan yang paling penting adalah antara fiksi dan non fiksi. Naratif fiksi (fictional narrative) berbentuk cerita imajinari yang diceritakan oleh narator yang terjadi di dunia imajinatif. Bentuk ini dihargai karena nilai edukatif, hiburan dan adanya sebuah visi akan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat terjadi. Walaupun naratif fiksi ini mengacu pada masyarakat, tempat dan peristiwa yang aktual, namun tidak dapat dijadikan bukti atas apa yang terjadi di dunia nyata. Naratif nonfiksi (nonfictional narrative) berbentuk kisah nyata dari seseorang yang juga nyata (Jahn, 2005:24). Barthes dalam Kurniawan (2001:89), menilai suatu teks dengan dua cara yaitu writerly dan readerly yang akan menghasilkan dua teks yakni writerly text dan readerly text. Writerly text adalah apa yang dapat ditulis pembaca sendiri (ourselves writing) terlepas dari apa yang ditulis pengarangnya dan readerly text adalah apa yang dapat dibaca tetapi tak dapat ditulis yaitu teks terbaca yang merupakan nilai reaktif dari writerly text. Barthes beranggapan bahwa writerly text adalah sebuah penilaian, ia mengkritik pendekatan tunggal terhadap teks dan berpendapat bahwa tujuan dari karya sastra adalah untuk membuat pembaca menjadi seorang produsen teks dan tidak melulu menjadi konsumen. Pergeseran pusat perhatian dari pengarang ke pembaca adalah konsekuensi yang logis dari semiologi Barthes. Bagi Barthes, interpretasi terhadap teks adalah mengapresiasi kejamakan dari teks itu sendiri. Teks adalah sebentuk konstruksi, jika dilakukan rekonstruksi dan teks dipenggal-penggal maka pengarang bukanlah pusat
perhatian lagi. Teks itu bukan lagi milik pengarang melainkan milik pembaca, tak perlu lagi mencari makna yang disembunyikan pengarang tetapi yang menjadi pusat adalah bagaimana pembaca memproduksi makna tersebut. Produksi makna dari pembaca inilah yang menghasilkan kejamakan. Mulailah pembaca menjadi aktif memproduksi teks nya sendiri yang Barthes istilahkan dengan writerly text. Interpretasi Barthes terhadap berbagai macam teks dan memperlakukan semua teks dengan sama telah melahirkan kebaruan makna dalam teks tersebut. Semiologi Barthes telah memberi sumbangan banyak terhadap kritik sastra. Kurniawan (2001:110) berpendapat bahwa pada hakikatnya semiologi dan analisis struktural Barthes adalah bentuk dari intrepretasi kebudayaan. Kebudayaan dalam semiologi Barthes didekati secara struktural dengan melihatnya dalam kepenuhan pluralitas makna dan intrepretasi.
2.4 Teori Penokohan Dalam sebuah karya naratif, baik itu cerita pendek atau novel, “tokoh” dilihat sebagai salah satu unsur penting yang melengkapi keseluruhan unsur pembangun fiksi dalam sebuah karya. Kekuatan seorang tokoh dibangun dengan karakteristik yang unik yang diciptakan dan dibangun secara kesinambungan dalam sebuah cerita. Menurut Nurgiantoro (2002:164), istilah tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan atau karakter dan karakterisisasi mengarah pada pengertian yang hampir sama. Istilah “tokoh” menunjuk pada orang, atau pelaku cerita dan istilah “watak” menunjuk pada sifat atau sikap para tokoh yang ditafsir oleh pembaca. Sedangkan menurut Stanton (1965:17), istilah “karakter” dalam berbagai literatur bahasa Inggris menunjuk pada dua pengertian yang berbeda, yakni sebagai tokoh dalam cerita dan sebagai sikap, ketertarikan, emosi dan prinsip moral yang dimiliki oleh tokoh. Definisi karakter
Menurut Hornby dalam Minderop (2005:2), berarti orang, masyarakat, ras, sikap mental dan moral, kualitas nalar, orang terkenal, tokoh dalam karya sastra, reputasi dan tanda atau huruf. Dapat disimpulkan bahwa istilah “tokoh” mengacu pada sosok pelaku dalam sebuah karya naratif dan “watak” mengacu pada sifat, sikap dan unsur yang mengacu pada emosi pelaku yang dibentuk oleh penulis dan ditafsirkan oleh pembaca. Namun, Nurgiantoro (2002:166) berpendapat, istilah “penokohan” memiliki arti yang lebih luas dari istilah “tokoh” dan “perwatakan” karena pengertiannya mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Posisi “tokoh” dalam sebuah cerita sangatlah penting, tokoh merupakan perwujudan karakter manusia yang ditugaskan sebagai penyampai pesan bagi pengarang ke pembacanya. Untuk menggambarkan dan menelaah atau menganalisa watak tokoh dalam karya sastra naratif diperlukan suatu metode yakni metode karakteristik. Menurut Minedrerop (2005:3), metode karakteristik yang dapat digunakan adalah metode langsung (telling), metode tidak langsung (showing), telaah karakterisasi melalui sudut pandang (point of view), melalui telaah arus kesadaran (stream of consciousness) atau melalui telaah gaya bahasa (figurative language).