BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1. Teori Teori Dasar 2.1.1. Definisi Komunikasi Massa Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik). Sebab, awal perkembangannya saja, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa). Media massa (atau saluran) yang dihasilkan oleh teknologi modern. Hal ini perlu ditekankan sebab ada media yang bukan media massa menunjuk pada hasil teknologi modern sebagai saluran dalam komunikasi massa. Dalam komunikasi massa, membutuhkan gatekeeper (penapis informasi atau palang pintu) yakni individu atau kelompok yang bertugas menyampaikan atau mengirimkan informasi dari individu ke individu yang lain melalui media massa (surat kabar, majalah, televisi, radio, video tape, campact disk, buku) Komunikasi massa adalah studi ilmiah tentang media massa beserta pesan yang dihasilkan, pembaca/pendengar/penonton yang akan coba diraihnya, dan efeknya terhadap mereka. Komunikasi massa merupakan disiplin kajian ilmu sosial yang relative muda jika dibandingkan dengan ilmu psikologi, sosiologi, ilmu politik, dan ekonomi. Sekarang ini komunikasi massa sudah dimasukkan ke dalam disiplin ilmiah. Ada satu definisi komunikasi massa yang dikemukakan Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) akan semakin memperjelas apa itu komunikasi massa. Menurut mereka sesuatu bisa didesinisikan sebagai
9
10
Komunikasi Massa jika mencakup hal-hal sebagai berikut: (Nurudin, Pengantar Kominikasi Massa, 2007). 1. Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern untuk menyebarkan atau memancarakan pesan secara cepat kepada khalayak yang luas dan tersesbar. Pesan itu disebarkan melalui media modern pula antara lain surat kabar, majalah, televisi, film, atau gabungan di antara media tersebut. 2. Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesanpesannya bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain. Anonimitas audience dalam komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan jenis komunikasi lain, bahkan pengirim dan penerima pesan tidak saling mengenal satu sama lain. 3. Pesan adalah milik publik. Artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan diterima oleh banyak orang, karena itu diartikan milik publik. 4. Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti jaringan, ikatan, atau perkumpulan. Dengan kata lain, komunikatornya tidak berasal dari seseorang tetapi lembaga. Lembaga ini pun biasanya berorientasi pada keuntungan, bukan organisasi suka rela tau nirlaba. 5. Komuniksai massa dikontrol oleh gatekeeper (penapis informasi). Artinya, pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media massa.ini berbeda dengan komunikasi antarpribadi, kelompok, atau publik di mana yang mengontrol bukan sejumlah individu. Beberapa individu dalam komunikasi massa itu ikut berperan dalam membatasi, memperluas
11
pesan yang disiarkan. Contohnya adalah seorang reporter, editor film, penjaga rubrik, dan lembaga sensor lain dalam media itu bisa berfungsi sebagai gatekeeper. 6. Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda. Kalau dalam jenis komunikasi lain, umpan balaik bisa bersifat langsung. Misalnya, dalam komunikasi antar persona. Dalam komunikasi ini umpan balik langsung dilakukan, tetapi komunikasi yang dilakukan lewat surat kabar tidak bisa langsung dilakukan alias tertunda (delayed). Dengan demikan, media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas. 2.1.2 Ruang Lingkup Studi komunikasi itu tidak lain adalah human communication (komunikasi manusia). Dengan kata lain studi komunikasi harus selalu melibatkan manusia, baik sebagai komunikator maupun komunikan. Dengan demikaian pula, ketika kita melihat seorang sedang berkomunikasi dengan binatang di arena sirkus, itu juga bukan komunikasi seperti yang dimaksud salam studi komunikasi. Memang benar terjadi proses komunikasi, tetapi melibatkan binatang. Dari sini jelas bahwa yang dimaksud dalam studi komunikasi itu melibatkan manusia sebagai subyek dan obyeknya. Itu pulalah mengapa bidang studi dalam komunikasi jarang atau bahkan tidak pernah membahas komunikasi dalam dunia binatang. Bahkan bidang-bidang komunikasi kita
12
dewasa ini pun melibatkan manusia sebagai sumber dan penerima pesan. Televisi sebagai sebuah institusi juga tidak lain hasil manusia berpikir dan audience-nya manusia juga. “Organisasi” televisi itu tidak lain kumpulan orang yang bekerja sama satu sama lain untuk memproduksi siaran. Ada beberapa bentuk atau pola komunikasi yang kita kenal, antar lain komunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal communication), komunikasi antarpersona (interpersonal communication), komunkasi kelompok (small group communication), dan komunikasi massa (mass communication). Jadi, komunikasi massa kedudukannya sejajar dengan pola komunikasi yang lain. Secara
ringkas,
komunikasi
melibatkan
komunikator
sebagai
penyampai pesan dan komunikan sebagai penerimanya. Kemudian dua unsur ini dikembangkan lebih lanjut dengan melibatkan saluran (channel), umpan balik (feedback). Perbedaan unsur-unsur yang ada dalam komunikasi ini sangat tegantung pola komunikasi mana yang sedang dibahas. Dalam
komunikasi
dengan
diri
sendiri
misalnya,
ia
hanya
membutuhkan unsur komunikator (dirinya sendiri), pesan (dari dirinya sendiri), dan komunikan (dirinya sendiri pula). Dalam komunikasi antarpersona lebih kompleks lagi, misalnya ada noise (kegaduhan), komunikator juga bertindak sebagai komunikasi dan sebaliknya. Dalam komunikasi massa lebih kompleks lagi. Ia melibatkan banyak hal mulai dari komunikator, komunikasi, media massa (dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing), unsur proses menafsirkan pesan (decoder), feedback yang lebih kompleks karena melibatkan khalayak dalam jumlah besar.
13
2.1.3 Ciri-ciri Komunikasi Massa 1.
Komunikator dalam Komunikasi Massa Melembaga Komunikator dalam komunikasi massa bukan satu orang, tetapi
kumpulan orang. Artinya, gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga. Lembaga yang dimaksud di sini menyerupai sebuah sistem. Sebagaimana kita ketahui, sistem itu adalah “Sekelompok orang, pedoman, dan media yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan, menuangkan ide, gagasan, simbol, lambang menjadi pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai satu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi.” Di dalam komunikasi massa, komunikator merupakan lembaga media massa itu sendiri. Itu artinya, komunikatornya bukan orang per orang seperti seorang wartawan misalnya. Wartawan merupakan salah satu bagian dari sebuah lembaga. Wartawan sendiri bukan seorang komunikator dalam komunikasi massa. Ia adalah orang yang sudah terinstitusikan/dilembagakan. Artinya, berbagai sikap dan perilaku wartawan sudah diatur dan harus tunduk pada sistem yang sudah diciptakan dalam saluran komunikasi massa tersebut. Menurut Alexis. S Tan (1981) komunikator dalam komunikasi massa adalah
organisasi
sosial
yang
mampu
memproduksi
pesan
dan
mengirimkannya secara serempak ke sejumlah kalayak yang banyak dan terpisah. Komunikator dalam komunikasi massa biasanya adalah media massa (surat kabar, jaringan televisi, stasiun radio, majalah, atau penerbit buku). Media massa ini bisa disebut organisasi soasial karena merupakan kumpulan
14
beberapa individu yang bertanggung jawab dalam proses komunikasi massa tersebut. Komunikator dalam komunikasi massa merupakan lembaga karena elemen utama komunikasi massa adalah media massa. Media massa hanya bisa muncul karena gabungan kerja sama dengan beberapa orang. Hal demikian berbeda dengan bentuk komunikasi yang lain, misalnya komunikasi antarpribadi. Orang yang terlibat dalam komunikasi tanpa aturan tertentu seperti yang disyaratkan dalam komunikasi massa. Dengan demikian, komunikator dalam komunikasi massa setidaktidaknya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) kumpulan individu, 2) dalam komunikasi individu-individu itu terbatasi perannya dengan sistem dalam media yang bersangkutan dan bukan atas nama pribadi unsur-unsur yang terlibat, 3) apa yang dikemukakan oleh komuikator biasanya untuk mencapai keuntungan atau mendapatkan laba secara ekonomis.
2. Komunikasi dalam Komunikasi Massa Bersifat Heterogen Herbert
Blumer
pernah
memberikan
ciri
tentang
karatristk
audience/komunikan sebagai berikut: a. Audience dalam komunikasi massa sangatlah heterogen. Artinya, ia mempunyai heterogenitas komposisi atau susunan. Jika ditinjau dari asalnya, mereka berasal dari berbagai kelompok dalam masyarakat. b. Berisi individu-individu yang tidak tahui atau mengenal satu sama lain. Di samping itu, antarindividu itu tidak berinteraksi satu sama lain secara langsung. c.
Mereka tidak mempunyai kepemimpinan atau \oraganisasi formal.
15
Jadi, semakin jelas sifat heterogen yang melekat pada diri komunikan. Dari karakteristik Blumer tersebut ada beberapa hal yang perlu dijelaskan. Miasalnya kita bertanya, bagaimana mungkin antarkeluarga yang berlainan kota, pada saat acara tertentu sama-sama melihat televisi tidak saling mengenal? Tidak mengenal di sini tidak berarti diartikan secara khusus. 3. Pesannya Bersifat Umum Pesan-pesan dalam komunikasi massa tidak ditujukan kepada satu orang atau satu kelompok masyarakat tertentu. Dengan kata lain, pesanpesannya ditujukan pada khalayak yang plural. Oleh karena itu, pesan-pesan yang dikemukakannya pun tidak boleh bersifat khusus. Khusus disini artinya pesan memang tidak disengaja untuk golongan tertentu. Kita bisa melihat televisi, misalnya. Karena televisi ditujukan untuk dinikmati oleh orang banyak, pesannya harus bersifat umum. Misalnya dalam pilihan kata-katanya, sebisa mungkin memakai kata-kata popular bukan katakata ilmiah. Sebab, kata ilmiah merupakan monopoli kelompok tertentu. Meskipun di dalam televisi dikhususkan untuk kalangan tertentu (misalnya program acaranya), televisi perlu menyediakan acara lain yang sifatnya lebih umum. Ini penting agar televisi tidak kehilangan cirri khasnya sebagai saluran komunikasi massa. 4. Komunikasinya Berlangsung Satu Arah Dalam media cetak seperti koran, komunikasi harus berjalan satu arah. Kita tidak bisa langsung memberikan respon kepada komunikatornya (media massa yang bersangkutan) kalaupun bisa, sifatnya tertunda. Misalnya, kita mengirimkan ketidaksetujuan pada berita itu melalui rubrik surat pembaca. Jadi, komunikasi yang hanya berjalan satu arah memberi konsekuensi
16
umpan balik (feedback) yang sifatnya tertunda atau tidak langsung (delayed feedback). 5. Komunikasi Massa Menimbulkan Keserempakan Dalam komunikasi massa ada keserempakan dalam proses penyebaran pesan-pesannya. Serempak berarti khalayak menikmati media massa tersebut hampir bersamaan. Bersamaan tentu juga bersifat relatif. Majalah atau media sebagai contohnya. Surat kabar bisa dibaca di tempat terbit pukul 5 pagi, tetapi di luar kota baru pukul 6 pagi. Ini masalah teknis semata. Namun, harapan komunikator dalam komunikasi massa, pesan tetap ingin dinikmati secara bersamaan oleh para pembacanya. Tidak terkecuali bahwa pesan tersebut (lewat surat kabar) disebar (didistribusikan) oleh media cetak secara bersamaan pula. Hanya karena wilayah jangkauannya yang berbeda, memungkinkan terjadi perbedaan penerimaan. Akan tetapi, komunikator dalam media massa berupaya menyiarkan informasi secara serentak. Saat ini, kesulitan tersebut sudah bisa diatasi. Dengan memakai Sistem Cetak Jarak Jauh (SCJJ), kekurangan yang melekat pada media cetak itu sudah bisa diatasi. Banyak media cetak di Indonesia yang cetaknya di luar kota. Sebut saja misalnya, Jawa Pos melakukan cetak jarak jauh di Solo, Jakarata, dan di daerah Nganjuk. Kompas melakukan cetak jarak jauh untuk wilayah Jawa Tengah di Bawen dan untuk penyebaran di Jawa Timur di kota Surabaya. Keserempakan ini sangat terasa kalau kita mengamati media komunikasi massa lain seperti internet. Melalui perantaraan media ini, pesan akan lebih cepat disiarkan. Pertandingan sepak bola Liga Italia seri A atau Liga Jerman yang disiarkan hari Minggu dini hari sudah bisa dinikmati di
17
internet beberapa jam kemudian. Televisi baru menyiarkannya paling cepat jam 6 pagi ketika stasiun itu mengudarakan siaran berita. Surat kabar pagi jelas tidak mungkin dan baru keesokan paginya (hari Senin) bisa menyiarkannya. 6. Komunikasi Massa Mengandalkan Peralatan Teknis Media massa sebagai alat utama dalam menyampaikan pesan kepada khalayaknya sangat membutuhkan bantuan peralatan teknis. Peralatan teknis yang dimaksud misalnya pemancar untuk media elektronik (mekanik atau elektronik). Televisi yang disebut media massa yang kita bayangkan saat ini tidak akan lepas dari pemancar. Apalagi dewasa ini sudah terjadi revolusi komunikasi massa dengan perantaraan satelit. Peran satelit akan memudahkan proses pemancaran pesan yang dilakukan media elektronik seperti televisi. Bahkan, saat ini sudah sering televisi melakukan siaran langsung (live), dan bukan siaran yang direkam (recorded). 7. Komunikasi Massa Dikontrol oleh Gatekeeper Gatekeeper atau yang sering disebut penapis informasi/palang pintu/.penjaga gawang, adalah orang yang sangat berperan dalam penyebaran informasi melalui media massa. Gatekeeper ini berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, meyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami. Sebagai mana kita ketahui, bahan-bahan, peristiwa, atau data yang menjadi bahan mentah pesan yang akan disiarkan media massa beragam dan sangat banyak. Tentu tidak semua bahan tersebut bisa dimunculkan. Di sinilah perlu ada pemilahan, pemilahan, dan penyesuaian dengan media yang bersangkutan. Misalnya, televisi sangat berkepentingan untuk melihat gerak
18
isyarat dari para kandidat calon presiden ketika melakukan kampanye. Makan, televisi perlu mengambil gambar yang dianggap unik. Sementara itu, pihak media cetak hanya bisa menceritakannya, atau didukung oleh foto, tetapi tidak semua dapat diambil. Media cetak perlu memilih mana gerak isyarat yang paling menarik. Perbedaan demikian akan memengaruhi pesan-pesan yang disebarkan. Gatekeeper yang dimaksud antara lain reporter, editor film/surat kabar/buku, manajer pemberitaan, penjaga rubrik, kameramen, sutradara, dan lembaga sensor film yang semuanya memengaruhi bahan-bahan yang akan dikemas dalam pesan-pesan dari media massa masing-masing. Gatekeeper ini juga berfungsi untuk menginterpretasikan pesan, menganalisis, menambah data, dan mengurangi pesan-pesannya. Intinya, gatekeeper merupakan pihak yang ikut menentukan pengemasan sebuah pesan dari media massa. Semakin kompleks sistem media yang dimiliki, semakin banyak pula gatekeeping (pemalangan pintu atau penapisan informasi) yang dilakukan. Bahkan bisa dikatakan, gatekeeper sangat menentukan berkualitas tidaknya informasi yang akan disebarkan. Baik buruknya dampak pesan yang disebarkannyapun
tergantung
pada
fungsi
penapisan
informasi
atau
pemalangan pintu ini. Dalam pola komunikasi tatap muka atau komunikasi kelompok tidak dibutuhkan gatekeeper. Namun, dalam komunikasi massa, hal demikian tidak bisa dihindari. Keberadaan gatekeeper sama pentingnya dengan peralatan mekanis yang harus dimiliki media dalam komunikasi massa. Oleh karena itu, keberadaan gatekeeper menjadi keniscayaan dalam media massa dan menjadi salah satu cirinya.
19
2.1.4 Serial Remaja Serial atau Sinetron seakan menjadi menu utama sajian di saluran televisi. Kalau kita cermati alokasi waktu untuk sinetron dengan segala variasinya ini hampir 25% persen dari total waktu tayang. Bahkan setelah sinetron satu selesai langsung dilanjutkan dengan sinetron berikutnya. Tema yang sedang ramai adalah sinetron remaja, cerita-cerita yang berbau anak muda mulai diangkat. Sesungguhnya perkembangan kualitas sinetron bertumpu pada para pelakunya sendiri. Pemirsa atau penonton adalah pelaku pasif dari sinetron. Meski begitu mempunyai pengaruh yang signifikan. Pemirsa yang baik harus mampu mengapresiasi melalui kritik dan saran, tidak hanya sekedar duduk di depan televisi dan menikmatinya. Sedang pelaku aktifnya adalah para pekerja sinetron yang bernaung di bawah bendera Production House, artis termasuk di dalamnya, dan stasiun televisi. Suatu langkah penting bagi pelaku aktif adalah menghasil dan menyajikan sebuah karya yang berkualitas dari segala sisi, tidak hanya ikut-ikutan. Dan yang lebih penting memiliki tanggung jawab moral terhadap masyarakat negeri ini. Membicarakan sinetron remaja tidak terlepas dari masalah percintaan, pergaulan, gaya hidup, serta fashion. Tema-tema seperti itu menjadi wajar. Sebab, pada dasarnya, sinetron merupakan adopsi dari realitas kehidupan, yang kemudian dikemas dalam bentuk karya seni akting di televisi. Bentukbentuk kesenian yang muncul tak bisa dilepaskan dari realitas sosial yang sedang berkembang. Ketika dunia remaja identik dengan percintaan dan pergaulan yang terkesan hura-hura, maka hal itu direfleksikan dengan
20
kemunculan sinetron-sinetron remaja yang bertemakan cinta dan pergaulan. Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa sebuah tayangan merupakan komoditas pasar yang cukup berpengaruh, terutama dalam hal meraup keuntungan (Lukmantoro, 2000). Bahkan, tayangan-tayangan itu sering terpengaruh budaya pop yang lebih menekankan estetika-resepsi daripada estetika-kreasi sehingga produk komersial lebih berarti dibandingkan produk yang betul-betul memperhatikan nilai seni dan kreativitas. Kehidupan yang semakin modern membawa dunia remaja turut larut di dalamnya. Masa-masa pencarian jati diri yang kerap memunculkan rasa keingintahuan begitu dalam terhadap sesuatu sehingga timbul perilaku-perilaku unik sekaligus aneh pada diri kaum remaja menjadi tema menarik yang bisa diangkat ke layar kaca. Tentu saja, konsumen primer tayangan sinetron jenis tersebut tidak lain kaum remaja itu sendiri. Berbekal bintang-bintang akting rupawan membawa dampak rasa ingin "meniru" dalam setiap benak remaja yang menonton. Sebab, mereka cenderung mengidolakan setiap bintang film rupawan dan menganggap bahwa apa yang dilakukan atau dikenakan sang idola merupakan suatu bentuk perwujudan jati diri mereka yang paling sempurna. Tak heran jika kemudian hampir semua stasiun TV menayangkan sinetron sejenis. Minimnya komitmen pendidikan pertelevisian nasional sudah sepatutnya menyadarkan para pengelola televisi. Dari sini akan lahir langkah konkret dalam memperbaiki kualitas tayangan televisi sebagai bagian dari upaya pendidikan moral bangsa. Upaya memperbaiki kualitas tayangan televisi dirasakan semakin mendesak dilakukan. Alasannya, kualitas moral bangsa saat ini sedang
21
terpuruk yang ditandai oleh tingginya pelaku KKN, kriminalitas dan tindakan pelanggaran moral lainnya. Di pihak lain, peran lembaga keluarga dan lembaga pendidikan dalam mendidik moralitas anak- anak dan remaja semakin merosot. Dalam kondisi demikian, akan sangat kontra-produktif jika menu tayangan televisi yang disaksikan anak-anak dan remaja bermuatan pornografi. Oleh karena itu, sudah saatnya pengelola televisi mengkaji ulang berbagai sajian yang ingin ditayangkan. Harapannya, mereka bisa menyajikan beraneka acara yang sarat dengan pesan-pesan positifedukatif. Sebaliknya mengurangi tayangan sinetron yang kurang memupuk pendidikan budi pekerti. Dalam perspektif kesenian, tayangan sinetron merupakan hasil rekaaan sang sutradara yang isinya tidak mesti meliput realitas empiris dari pergaulan remaja kita sehari-hari. Meskipun demikian, sinetron akan memberi dampak psikologis bagi para penontonnya jika ia ditayangkan oleh sebuah media publik seperti televisi. Ia akan berdampak positif bagi pemupukan moralitas anak-anak dan remaja jika isinya mengandung ajakan berbudi pekerti luhur, bekerja keras, ulet, giat belajar, berdisiplin dan sejenisnya. Sebaliknya, sinetron berisikan adegan percintaan atau pacaran akan cenderung mengajari anak-anak dan remaja untuk berpacaran, berpenampilan seksi, berorientasi hidup hedonistik serta berpola hidup serba senang dan serba mudah. Adegan dalam sinetron sering kali ditiru dalam prilaku mereka seharihari. Atau jika tidak ditiru, minimal akan mengkontaminasi pikiran polosnya. Hadirnya beberapa stasiun televisi di Indonesia patut dirayakan sebagai sebuah prestasi. Apalagi jika mengingat kontribusi yang telah mereka berikan dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Booming TV swasta
22
diakui telah mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat melalui sajian informasi yang disampaikan secara tajam, objektif dan akurat. Pendek kata, publik telah berhutang jasa kepada media televisi yang telah membantu anggota masyarakat dalam memahami berbagai persoalan aktual di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan lain-lain. Media televisi juga telah memperluas wawasan publik dengan sajian acara dialog, debat, talk show, diskusi dan berbagai acara informatif-edukatif lain. Kehadiran stasiun baru dalam pertelevisian nasional mau tidak mau semakin mempertajam tingkat persaingin dalam bisnis di bidang ini. Sebagai konsekuensinya, para awak televisi harus memilih strategi tepat dalam menggaet segmen pemirsa. Upaya merebut hati penonton ini dilakukan sebagai bagian dari upaya meningkatkan rating sekaligus menaikkan iklan yang masuk. Dalam iklim kompetisi tersebut, ternyata beberapa televisi memilih jalan pintas antara lain dengan mengeksploitasi dunia anakanak dan remaja secara berlebihan. Eksploitasi ini diindikasikan dalam empat hal. Pertama, judul-judul sinetron remaja yang disajikan sering kali bertemakan vulgarisme, menantang dan mengandung unsur pornografi. Kedua, pemain sinetron yang dipilih rata-rata berasal dari kalangan remaja belia atau bahkan sebagian masih berusia anak-anak. Ketiga, jenis-jenis peran yang dimainkan oleh para artis remaja sering kali bertabrakan dengan norma pergaulan masyarakat dan belum sesuai dengan tingkat perkembangan psikologisnya. Salah satu buktinya, banyak artis usia remaja yang dari pengakuannya belum pernah berpelukan dan berciuman dipaksa untuk memerankan adegan percintaan, pacaran serta menjalankan adegan berciuman, berpelukan dan bergendongan sesuai arahan
23
skenario cerita. Keempat, banyaknya alur cerita sinetron remaja yang mengambil seting anak-anak sekolah lengkap dengan seragam sekolah, lokasi sekolah, aneka pergaulan di kelas dan luar kelas. Pada hal jika dicermati, beberapa adegan sinetron yang berseting sekolahan ini tidak sesuai dengan norma agama dan adat ketimuran yang berlaku. 2.1.5 Perkembangan Mental Remaja Remaja adalah suatu masa pertumbuhan dan perkembangan dimana: (1) individu berkembangan dari saat pertama pertamakali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat
ia mencapai kematangan
seksual, (2) individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari
kanak-kanak
menjadi
dewasa,
dan
(3)
terjadi
peralihan
dari
ketergantungan sosial-ekomomi yang penuh pada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarlito,1991). Salah satu ciri remaja disamping tanda-tanda seksualnya adalah: perkembangan psikologis dan pada identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
Puncak
perkembangan
jiwa
itu
ditandai
dengan
adanya
prosesperubahan dari kondisi entropy kekondisi negen-tropy (Sarlito,1991). Menurut Sarlito (199-1), tidak ada profil remaja Indonesia yang seragam dan berlaku secara nasional. Masalahnya adalah karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat dan tingkatan sosial-ekonomi, maupun pendidikan. Sebagai pedoman umum untuk remaja Indonesia dapat digunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah. Pertimbangan-pertimbanganya adalah sebagai berikut: 1. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak (criteria fisik )
24
2. Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap aqil-balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan sebagai anak-anak (kriteria sosial) 3. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego identity). Remaja merupakan kelompok yang mudah berubah dan cepat mengikuti tren, karena dalam masa ini kondisi kejiwaan manusia berada dalam periode pancaroba. Pada masa ini, segala macam bentuk informasi, kebiasaankebiasaan, pola hidup dan sebagainya akan mudah diserap dan diikuti. Sehingga dapat menimbulkan bentuk-bentuk perilaku menyimpang, seperti penyalahgunaan narkoba, tawuran, pergaulan bebas dan lain-lain. Ada banyak faktor yang menimbulkan terjadinya perubahan mentalitas di kalangan remaja. Secara garis besarnya bisa digolongkan menjadi dua, faktor intern dan ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu itu sendiri, seperti tingkat kecerdasan, kondisi kejiwaan, kurang percaya diri dan lain-lain. Sedangkan faktor ekstern yaitu faktor luar yang mempengaruhi dan mendorong seseorang untuk melakukan suatu kegiatan. Faktor ini bisa bersumber dari keluarga, lingkungan masyarakat, teman dan dunia informasi lainnya, (Suwardika, 2000). Beberapa bentuk perilaku menyimpang remaja yang tersebut di atas, merupakan problem yang sangat serius dan mengkhawatirkan, baik bagi remaja itu sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan hingga bangsa dan negara. Oleh karena itu upaya penanganan yang serius perlu dilakukan. Peranan
25
agama menjadi prioritas utama, karena dengan dasar-dasar agama remaja dibimbing untuk berperilaku baik. Semua agama yang ada di dunia memberikan bimbingan moral yang baik. Dengan pemahaman dan kekuatan akhlak yang baik maka akan tercipta pribadi-pribadi yang baik pula. Komunikasi yang baik juga diperlukan di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat atau teman/pergaulan. Sehingga diharapkan akan lahir kondisi yang harmonis dan kondusif yang memberikan rasa aman dan tentram bagi remaja di manapun dia berada. Dengan komunikasi pula akan tercipta komitmen-komitmen yang baik dan selalu dipatuhi setiap komponen masyarakat. Dengan demikian mudah mendapatkan solusi dari semua permasalahan yang ada, (Armadibrata, 1998).
2.2 Teori Khusus 2.2.1 Teori Kultivasi (Cultivation Theory) Teori kultivasi pertama kali dikenalkan oleh profesor George Gebner ketika ia menjadi Dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS). Menurut teori kultivasi, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Persepsi apa yang terbangun di benak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak penonton dengan televisi, ia belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya, serta adat kebiasaannya. Para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi adalah dunia senyatanya. (Nurudin, 2007).
26
Gerbner berpendapat bahwa media masa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai itu antaranggota masyarakat kemudian mengikatnya bersama-sama pula. Jadi, para pecandu televisi akan memiliki kecenderungan sikap yang sama satu sama lain. Teori kultivasi ini diawal perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya pada studi televisi fan audience, khususnya pada tema-tema kekerasan di televisi. Akan tetapi dalam perkembangannya, teori tersebut bisa digunakan untuk kajian diluar tema kekerasan. (Nurudin, 2007). Penelitian kultivasi menekankan bahwa media massa merupakan agen sosialisasi dan menyelidiki apakah penonton merupakan agen sosialisasi dan menyelidiki apakah penonton televisi itu lebih memercayai apa yang disajikan daripada apa yang mereka lihat sesungguhnya. Gerbner menandaskan, media massa khususnya televisi diyakini memiliki pengaruh yang besar atas sikap dan perilaku penontonnya (behavior effect). Pengaruh tersebut tidak muncul seketika melainkan bersifar komulatif dan tidak langsung. Hal ini tidak terkecuali bagi penonton serial Cinta Cenat Cenut. Mereka yang menonton serial ini perlahan-lahan dipengaruhi oleh tayangan-tayangan yang ditayangkan di dalam sinetron tersebut sehingga terbangun persepsi di dalam benak penonton bahwa apa yang mereka lihat dari tayangan tersebut adalah hal yang nyata terjadi dalam kehidupan sehari-hari meskipun itu semua adalah rekayasa belaka. Teori kultivasi melihat media massa sebagai agenda sosialisasi, dan menemukan bahwa penonton televisi dapat mempercayai apa yang ditampilka oleh televisi berdasarkan seberapa banyak mereka menontonnya.
27
Secara emplisit teori ini juga berpendapat bahwa pemirsa televisi bersifat heterogen dan terdiri dari individu-individu yang pasif yang tidak berinteraksi satu sama lain. Namun mereka memiliki pandangan yang sama terhadap realitas yang diciptakan media tersebut. (Santoso, Edi; Setiansah, Mite, Teori Komunikasi, 2010: 100).
2.2.2 Pengaruh Tayangan Serial/Sinetron Tayangan
merupakan sentuhan, yang dimaksudkan yaitu keadaan
terkena pada khalayak oleh pesan-pesan yang disebarkan oleh media”. (Onong Uchjana Effendy, hal 217) Menurut Litle John sendiri, perilaku audiens dalam menggunakan media dibedakan menjadi 2 macam. Yaitu audiens pasif dan audiens aktif. Yang mana audiens disebut pasif jika mereka mudah dipengaruhi secara langsung oleh media, sedangkan audiens disebut aktif jika mereka aktif membuat keputusan mengenai bagaimana menggunakan media tersebut. Pada penelitian ini, responden dikategorikan sebagai audiens aktif. Aktif karena mereka dengan sengaja memilih serial Cinta Cenat-Cenut sebagai tayangan yang selain dapat menghibur juga dapat memberikan informasi terbaru mengenai trend remaja yang sedang berkembang. Berdasarkan 5 karakteristik aktif audiens yang dikembangkan oleh Frank Biocca, kita dapat menggambarkan seberapa tinggi terpaan media seseorang. Yang mana kelima karakteristik tersebut yaitu selektivity, utilitarianism, intentionality, involvement dan impervious to influence.
28
2.2.3 Gaya hidup Hedonisme (Variabel Dependent) AIO, istilah yang digunakan secara dapat dipertukartukarkan dengan psikografi, mengacu pada pengukuran kegiatan, minat, dan opini. Beberapa peneliti mengunakan A dengan arti attitudes (sikap), tetapi activities (kegiatan) merupakan pengukuran gaya hidup yang lebih baik karena kegiatan mengukur apa yang orang lakukan. (James F Engel, Roger D Blackwell, Paul W Miniard, hal, 385) Gaya hidup yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu gaya hidup hedonisme. Dan dibawah ini akan dijelaskan pengertian dari hedonisme itu sendiri, yaitu: “Merupakan suatu paham yang mengemukakan bahwa hal yang terbaik bagi manusia adalah baik apa yang memuaskan keinginan kita, apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita”. (Wahyudi Kumurotomo, Op.cit,hal 235). 2.2.4 Batasan Istilah Untuk lebih terarahnya fokus penelitian ini peneliti menetapkan batasan istilah penelitian. Batasan istilah berfungsi untuk memberikan batasan ruang lingkup kajian pembahasan penelitian. Sehingga pengolahan data penelitian tepat pada sasaran jawaban pertanyaan penelitian. Adapun batasan istilah penelitian ini adalah: a. Sinetron Remaja adalah sinetron yang ide ceritanya berdasarkan kehidupan remaja perkotaan atau cerita-cerita remaja yang dikemas dalam bentuk sinetron.
29
b. Remaja anak yang berusia antara 12–20 tahun, dimana telah mencapai kematangan seksual, psikologi, dan terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekomomi menuju pada keadaan yang relatif lebih mandiri c. Gaya hidup yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu gaya hidup hedonisme, yaitu: “Merupakan suatu paham yang mengemukakan bahwa hal yang terbaik bagi manusia adalah baik apa yang memuaskan keinginan kita, apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita”.
2.2.5 Konsep Operasional Variabel Definisi Operasional merupakan petunjuk tentang bagaimana suatu variabel diukur. Sedangkan variabel- variabel dalam penelitian ini adalah a. Tayangan Serial Cinta Cenat-Cenut Yang menjadi variabel independen dari penelitian ini yaitu Tayangan Sinetron Cinta Cenat-Cenut. Sedangkan yang menjadi ukuran untuk menggambarkan media exposure seseorang yaitu selectivity, utilitarianism, intentionality, involvement dan impervious to influence. Di bawah ini akan dijelaskan definisinya berikut indikator-indikatornya. 1) Selectivity(selektivitas) Selektivitas merupakan kemampuan seseorang dalam memilih jenis sinetron yang akan ditontonnya. Sedangkan indikatornya adalah: a. Frekuensi menonton Sinetron Cinta Cenat-Cenut di Trans TV dalam 1 bulan terakhir.
30
b. Kesesuaian isi Sinetron Cinta Cenat-Cenut di Trans TV, yaitu apakah isi ceritanya sudah seperti yang diharapkan oleh pemirsa dan sesuai dengan keseharian remaja. c. Prioritas dalam memilih untuk menonton Sinetron Cinta Cenat-Cenut di Trans TV. 2) Utilitarianism (kemanfaatan) Sinetron Cinta Cenat-Cenut yang ditayangkan di Trans TV dapat dijadikan sumber untuk mendapatkan informasi mengenai trend remaja yang terbaru atau trend mode yang sedang berkembang. Diukur dengan: Sinetron Cinta Cenat-Cenut mampu memberikan tambahan pengetahuan tentang dunia remaja dan trend mode yang sedang berkembang bagi responden. 3) Intentionality (kesengajaan) Pemirsa memilih sinetron Cinta Cenat-Cenut yang ditayangkan di Trans TV karena mereka memang sengaja ingin menontonnya. Baik itu untuk memuaskan keinginannya atau untuk sekedar pengisi waktu luang. Diukur dengan indikator sebagai berikut: a. Perasaan responden ketika tidak dapat menonton sinetron Cinta Cenat-Cenut b. Intensitas menonton Sinetron Cinta Cenat-Cenut di Trans TV. c. Keinginan untuk mengikuti informasi yang disampaikan di Sinetron Cinta Cenat-Cenut di Trans TV. 4) Involvement (keterlibatan) Pada waktu menonton Sinetron Cinta Cenat-Cenut di Trans TV, pemirsa tidak hanya sekedar menontonnya saja, tetapi juga mengikuti
31
dengan aktif terlibat untuk memperhatikan dan memahami apa yang disampaikan di sinetron ini. Apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh pemirsa setelah menonton sinetron ini. Keterlibatan diukur dengan indikator sebagai berikut: a. Keseringan mendiskusikan apa yang disampaikan di Sinetron Cinta Cenat-Cenut dengan temannya. b. Ikut merasakan apa yang dialami oleh tokoh di Sinetron Cinta CenatCenut. c. Mengutarakan pendapat atau penilaian terhadap apa yang ditonton di Sinetron Cinta Cenat-Cenut. 5) Impervious to influence (kemampuan menahan pengaruh media) Audiens menetapkan batasan mengenai sejauh mana mereka akan dapat mempertimbangkan setiap isi yang disampaikan oleh media. Sejauh mana audiens mempercayai media. Diukur dengaan indikator sebagai berikut: a. Tingkat kepercayaan terhadap informasi atau pesan di yang ditayangkan di Trans TV. b. Keinginan untuk meniru penampilan tokoh di Sinetron Cinta CenatCenut.
b. Gaya Hidup Hedonisme Gaya hidup hedonisme pelajar SMUN 65 Jakarta Barat, diukur dengan mengacu pada konsep AIO yang didefinisikan oleh Reynold. A yaitu activities atau kegiatan, I yaitu interest atau minat dan O yaitu opinion atau pendapat.
32
1. Activities (Aktivitas atau Kegiatan) Kegiatan adalah tindakan nyata atau aktivitas yang dilakukan oleh pelajar SMUN 65 Jakarta Barat. Aktivitas disini meliputi penampilan, kepemilikan barang berharga, pola makan, pola pergaulan, etos kerja, hobby. Di bawah ini dipaparkan beberapa hal untuk mengukur aktivitas: 1) Pemakaian baju dan sepatu bermerk 2) Frekuensi
jalan-jalan
di
pusat
perbelanjaan
seperti
departement store atau mall setiap satu bulannya. 3) Frekuensi menonton bioskop setiap satu bulannya. 4) Aktivitas bertemu dan bermain dengan teman-temannya. 5) Keseringan meniru pekerjaan rumah milik temannya. 2. Interest (minat) Interest atau minat terhadap gaya hidup hedonisme adalah tingkat kegairahan yang menyertai perhatian khusus maupun terusmenerus ke hal-hal yang berhubungan dengan gaya hidup hedonisme. Interest diukur dengan: 1) Minat terhadap informasi mengenai trend mode terbaru, sinetron terbaru, diskon di mall, sampai info HP terbaru. 2) Keinginan untuk berpakaian dan bersepatu yang modis dan bermerk. 3) Keinginan untuk memiliki profesi seperti artis idola di sinetron remaja. 4) Keinginan untuk memiliki HP seri terbaru.
33
3. Opinion (Pendapat) Opini adalah jawaban lisan atau tertulis yang diberikan responden terhadap pertanyaan mengenai gaya hidup hedonisme. Opini berisikan penafsiran, harapan dan evaluasi terhadap gaya hidup hedonisme. Sedangkan opini diukur dengan: 1) Pendapat responden terhadap pakaian dan sepatu bermerk yang dapat meningkatkan rasa gengsi dan percaya diri. 2) Pendapat responden tentang perlunya merebonding rambut. 3) Pendapat responden tentang perlunya nonton bioskop untuk mengurangi stres dan kebosanan. 4) Pendapat responden tentang perlunya shopping di mall yang dapat mengurangi rasa bosan. 5) Memberikan pendapat tentang perlunya nonton konser musik 6) Memberikan pendapat tentang perlunya nongkrong dengan teman-teman di malam minggu. 2.3
Kerangka Pikir Serial Televisi (Cinta Cenat-Cenut) X Selektivity Utilitiarianism Intentionality Involvement Impervious to Influence
Variabel Dependent Gaya Hidup Hedonisme Y Aktifitas Gaya Hidup Minat Akan Gaya Hidup Opini Terhadap Gaya Hidup