Bab 2 Landasan Teori
2.1 Konsep Kebudayaan Jepang Kehidupan orang Jepang berpusat dan berpangkal pada kelompok. Yang dimaksud dengan kelompok disini merupakan keluarga, teman dan kerabat-kerabat lainnya. Hal ini dikemukakan oleh Miyamoto (1984:28), bahwa : “Dalam kehidupan masyarakat Jepang, mereka mengenal kebudayaan berkumpul. Kebudayaan ini dimaksudkan untuk saling berinteraksi dan untuk lebih mempererat hubungan kekerabatan serta solidaritas antar sesama, baik dengan sesama keluarga maupun dengan sesama anggota sosial lainnya. Kebudayaan ini sudah menjadi kebiasaan orang Jepang hingga saat ini. Hubungan ini merupakan dasar dari budaya masyarakat Jepang. Bagi orang Jepang, unit dari kehidupan sosial bukanlah atas dasar individu, tetapi keluarga sebagai dasar kelompok dalam masyarakat Jepang”. Untuk membahas lebih lanjut tentang kebudayaan Jepang, maka harus mengetahui dulu makna dari “kebudayaan” itu sendiri. Menurut kutipan dari sebuah website, mengemukakan makna kebudayaan, bahwa : 仕事と家族によって,組織文化は 方針 を及び練習を意味する個人的な生命 の仕事そして義務の要求のバ ランスをとるための家族の努力をように両方 利点促 進する。事実と結合されるこれらの変更は頻繁に家族生活の責任と 対立する仕事場の要求で私達の人口, 起因した老化している。 Artinya: Berdasarkan kehidupan keluarga dan pekerjaan, kebudayaan adalah kebijaksanaan dan kebiasaan yang seimbang antara keluarga dan pekerjaan. Kombinasi ini berupa tuntutan dalam pekerjaan dan tanggung jawab terhadap keluarga yang dijalankan dengan seimbang. (http://www.labour.gov.ca.jp.html)
12
13 Lebra (1976:9) juga mengemukakan tentang pentingnya makna interaksi bagi masyarakat Jepang, bahwa: “Berhubungan sosial antar sesama merupakan bagian dari karakteristik etos budaya Jepang. Bagaimanapun juga, interaksi merupakan bagian dari hidup, bukan secara individu”.
Berdasarkan kutipan diatas, bahwa kepentingan pekerjaan maupun berinteraksi harus berjalan seimbang dengan kepentingan keluarga. Untuk mengaitkan keduanya, perlu mengetahui sistem keluarga pada masyarakat Jepang itu sendiri. 武家の家父長制の延長で、明治時代でも、長男が家の財産と戸主権を相 続することが、法で定められていました。 Artinya : ….sejak jaman Meiji, hukum feodal dalam keluarga menganut paham patriarkal, dimana anak lelaki tertua mewarisi hak untuk mengurus keluarga. (Kodansha International, 2000:154)
Minami (1993:155), dalam bukunya berjudul “Psikologi Bangsa Jepang”, mengatakan bahwa : “Ayah sebagai kepala keluarga memegang kekuasaan lebih besar daripada ibu. Inilah yang merupakan dasar keunggulan pria lebih daripada wanita yang masih berakar di dalam masyarakat Jepang. Dan ini tercermin dalam sistem keluarga Jepang “patriarkal” dengan dominasi ayah dalam keluarga”.
2.2 Konsep Masyarakat Jepang Untuk mengetahui kondisi dari masyarakat di suatu nagara, perlu mengetahui sifat dari masyarakatnya terlebih dahulu. Setiap negara memiliki sifat dasar masyarakat yang berbeda. Sifat dasar ini dikenal sebagai dasar karakteristik manusia. Adapun dasar dari karakteristik masyarakat Jepang adalah :
14 社会の基本的な単位についての意識を、日本人は「家=イエ」に置いて います。ここで「イエ」というのは、「家族」の意味でけではなく、会 社、学校、宗派など、運命を共にするも意味します。 Artinya : Dasar dari unit sosial masyarakat Jepang dinamakan ie, yang berarti “rumah atau keluarga”, termasuk rasa solidaritas antar kelompok seperti keluarga, rekan kerja, sekolah dan komunitas keagamaan. (Kodansha International, 2000:156) Dalam dunia pekerjaan, juga dibutuhkan sifat saling berintaksi antar sesama rekan kerja. Hal ini sudah merupakan bagian dari rutinitas harian yang sering dilakukan oleh kalangan pekerja, khususnya pria. Dalam Kodansha dikutip bahwa : 働き過ぎの日本のお父さんたちには、同僚との仕事帰りの一杯が楽しみ、 という人が、まだまだたくさにます。そして、休みの日にはゴルフ、何 もしないときは…という人も多きでしょう。 Artinya : Banyak pria Jepang yang digambarkan sebagai workaholics (gila kerja), menemukan kesenangan tersendiri dalam dunia mereka yaitu dengan dengan acara minum-minum bersama rekan kerja mereka setelah jam kerja. Bila waktu liburan mereka bermain golf atau hanya sekedar bersantai. (Kodansha International, 2000:292)
Saat ini, banyak pria yang menghabiskan waktu di luar rumah setelah jam kantor. Hal ini disebabkan karena makin banyak wanita, termasuk para istri yang juga bekerja. Hal ini dikemukakan oleh Ayako (1999:218), bahwa : 日本では、結婚に仕事を続けていても、子供ができると退職していてまう 女性が多いようです。でも、スウエーデンでは、7歳の子供を持つ女性の 約8割が仕事を持っています。これは、育児を男女平等に受け持つという 考え方があると同時に、働く両親をサポートする制度が充実しているから だと言えます。 Artinya : Di Jepang, fakta menunjukan bahwa wanita memilih bekerja kembali setelah menikah dan memiliki anak, sebagian besar dengan alasan ingin mendapatkan
15 kebebasan kembali setelah memiliki anak. Ini dikarenakan makin banyak sarana umum yang dapat meringankan tanggung jawab antara suami dan istri dalam membesarkan anak.
Miyamoto (1984: 20-21), mengemukakan alasan makin banyaknya wanita yang memilih bekerja daripada mengurus rumah tangga mereka. Alasannya bahwa : “Saat ini banyak wanita yang menghabiskan waktu mereka di luar rumah. Selain untuk bertemu teman-teman, mereka juga banyak yang bekerja dengan alasan untuk membantu penghasilan suami. Hal ini disebabkan karena makin tingginya pendidikan wanita dan peran wanita dalam rumah tangga sudah mengalami perubahan”. Dengan makin penting peranan pendidikan bagi masyarakat Jepang, maka hal ini menjadi penyebab makin tingginya tingkat pendidikan di masyarakat, sehingga dalam aturan keluarga pun, pendidikan menjadi sesuatu hal yang dianggap amat serius. Seperti yang diungkapkan oleh Lebra (1976:149) bahwa : Parent in Japan feel relieved as soon as they put their children in school, confident that the school will educate them properly. Also, parent urge their children, when they are to enter school, to be mentally alert and to make special effort [as pupils]. Artinya : Orang tua di Jepang percaya bahwa dengan meyekolahkan anak mereka di sekolah umum untuk mendidik mereka agar mandiri. Dan juga, orang tua menginginkan anak mereka di sekolah umum agar membentuk mental dan memiliki sesuatu yang spesial dalam diri anak mereka (seperti layaknya anak-anak lain).
2.3 Teori Modernisasi Modernisasi adalah proses perubahan ekonomi, politik dan social dimana perubahan ini disesuaikan dengan karakteristik mayarakatnya. Bagi suatu masyarakat yang sedang dalam proses modernisasi, berdasarkan makna modernisasi tersebut, kondisi
masyarakatnya
menghasilkan
karakteristik
masyarakat
yang
modern.
Karakteristik tersebut mencakup kestabilan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan sosial
16 serta partisipasi masyarakt umum dalam dunia politik maupun kebudayaan. (Kodansha Vol 5, 1983: 228-229) Proses modernisasi sendiri tidak pernah sama pada suatu Negara dengan Negara lain, karena modernisasi biasanya dimulai pada waktu yang berbeda di tiap wilayah dan berjalan pada tingkatan yang berbeda serta mengikuti pola yang berbeda pula. Menurut Inkeles, dalam Weiner (1986: 88) mengemukakan bahwa : “Perubahan sifat manusia dari yang lebih tradisionil menjadi yang lebih modern sering berarti melepaskan cara berpikir dan berperasaan yang telah berpuluh-puluh tahun serta berabad lamanya; dan meninggalkan cara-cara ini seringkali nampaknya seolah-olah meninggalkan prinsip”.
Inkeles (1986) juga mengemukakan bahwa, sifat-sifat yang membuat seseorang menjadi modern itu sering tidak nampak sebagai suatu ciri yang netral, tetapi merupakan ciri dari orang-orang Barat pada umumnya yang hendak dipaksakan pada orang-orang lain untuk menjadikan mereka seperti orang-orang Barat. Jadi dengan kata lain terkesan seperti memaksa karena ingin dipandang seperti orang Barat yang terkesan modern. Menurut Furuta (1994: 188-191) mengemukakan adanya gejala dalam proses perkembangan negara dan manusia, bahwa : “Dalam perkembangan negara dan manusia, akan menimbulkan suatu fenomena atau perubahan pada budaya masyarakatnya. Fenomena ini dikenal dengan istilah “culture shock” yaitu “pertemuan antar budaya” atau kemampuan menyasuaikan diri dengan budaya asing. Culture shock merupakan suatu yang dialami oleh hampir semua orang yang berada di tengah-tengah lingkungan budaya asing”.
Furuta juga menambahkan bahwa, pada umumnya gejala tersebut menekan pada pukulan emosional yang diderita seseorang dalam menghadapi suatu budaya asing. Fenomena ini dapat menimbulkan seseorang kurang mampu dalam menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan budaya asing. Dengan demikian, mereka ini mampu
17 membedakan dan memanfaatkan budaya bangsanya dengan budaya asing. Dalam keadaan tertentu, mereka ini mampu merumuskan suatu budaya baru yang mengandung ciri-ciri dari kedua budaya tersebut. Kebanyakan dari ciri-ciri yang disebut modern tersebut, dan dengan demikian yang diinginkan, sesungguhnya tidak berguna atau tidak cocok bagi kehidupan dan keadaan dari mereka yang dianjurkan atau dipaksakan memiliki atau mengikuti. Hal ini memberikan suatu gambaran yang mendetail dari apa yang dimaksud dengan manusia modern itu. Menurut Inkeles, mengemukakan manusia modern, yaitu : “Manusia modern adalah kesediaannya untuk menerima pengalaman-pengalaman yang baru dan keterbukaannya bagi pembaharuan dan perubahan, dan menganggap manusia tradisionil kurang bersedia menerima ide-ide baru serta cara bertindak yang baru. Jadi pada dasarnya alam pikiran serta keadaan psikologis lebih penting daripada ketrampilan-ketrampilan tertentu yang dimiliki seseorang”. (Weiner, 1986:80)
Anggapan tentang seseorang modern apabila pandangannya ditujukan pada masa kini dan masa depan, bukan masa lampau, yang identik dengan anggapan bahwa seseorang itu modern apabila ia selalu tepat waktu, tidak kacau dalam persoalanpersoalannya dan teratur dalam mengorganisir urusannya. (Weiner, 1986:92) Tetapi ini bisa sangat rumit persoalannya, dan disini perlu dikemukakan bahwa tidaklah tepat bila kita mengira ukuran-ukuran kemodernan tersebut membedakan antara bangsa-bangsa yang tradisionil dengan yang non-tradisionil yang berhubungan dengan sifat seseorang. Ciri-ciri yang dianggap modern sebenarnya dapat saja nampak pada orang-orang yang kelihatannya kurang-lebih “tidak modern”. (Weiner, 1986:92) Di dalam aspek budaya, negara yang modern juga mencakup masyarakat yang modern yang juga masih bisa menerima kebudayaan lama, dengan konsekuensi menjaga pusat tempat yang menghasilkan kekayaan (negara) dan kapasitas asumsi komersial yang
18 menarik walaupun terletak di pedalaman sekalipun. Maksud dari kapasitas asumsi ini merupakan daerah yang dapat menjadi potensi sejarah atau wisata, yang dikenal karena memiliki suatu daya tarik tersendiri. (Weiner, 1966:137)
2.4 Pengertian Geisha Dalam pandangan masyarakat umum, khususnya orang barat, geisha sering diartikan sebagai sosok wanita Jepang yang memiliki kecantikan serta keanggunan dengan ciri khas tersendiri seperti berwajah putih dengan lipstik merah dan dihiasi dengan rambut
wig yang besar dan menjadi simbol kecantikan wanita Asia.
(Dalby, 1983:20) Kata Geisha memang sudah dikenal di hampir seluruh dunia, bahkan bangsa barat pun mengenalnya sebagai sebuah simbol dari kecntikan wanita Asia. Tetapi jika kita teliti dan telusuri lebih dalam lagi tentang makna geisha, terdapat sebuah arti tersendiri yang terkandung dari kata geisha tersebut. Menurut Lesley Downer (2002:12)
makna secara harfiah, geisha ( 芸 者 )
berasal dari kata gei ( 芸 ) yang berarti seni dan sha ( 者 ) yang berarti orang, dengan demikian geisha merupakan “orang seni” atau orang yang memiliki keahlian dalam seni, atau lebih sering diartikan sebagai “artis”. (Downer, 2002:12) Di Jepang geisha dianggap seperti artis yang menghibur para pengunjung dengan hiburan seni. Seperti yang tercantum dalam sebuah website, bahwa : 単語 Geisha は日本語の" 芸術家" を意味する。Geisha は専門の女主 人で ある O chaya 呼ばれる茶家の様々な実行芸術によってゲスト を心に抱く。 巧妙な geisha は美, 優美, 功妙な才能, 魅力 ,及び洗練を示さなければなら ない。
19 Artinya: Dalam bahasa Jepang kata geisha diartikan sebagai “artis”. Geisha merupakan pelayan professional yang menghibur tamu dengan macam-macam kesenian di rumah teh yang disebut o chaya. Geisha yang sukses harus bisa menampilkan kecantikan, keanggunan, artistik, menarik dan kehalusan. (http://marian.creighton.edu/japan/geisha.html) Mereka juga sering dipanggil dengan sebutan geiki atau geiko yang memiliki arti yang sama dengan geisha, yaitu wanita yang bekerja sebagai artis dalam seni tradisional yang menampilkan tarian, nyanyian, permainan serta obrolan dengan para tamu dibeberapa restoran
atau
tempat-tempat
tertentu
seperti
dalam
perayaan
sebuah
pesta.
(Kodansha, 1983 Vol 3:14)
芸者は酒宴の席にを添えることを職業とする女性のことです。17世紀に 生まれ、歌や踊りなどの芸事に熟達した高級娼婦の代わりを務める不要に なりました。芸者の中にわ、置き屋に住み、そこの女主人の手配りによっ て旅館や料亭の酒宴に出る者もいますし、自分の家に住み、独自に商売す る者もいます。 Artinya Geisha adalah seorang wanita profesional yang menyuguhkan hiburan dalam pesta. Sekitar abad 17 mulai muncul sebagai ahli dalam seni seperti musik dan tarian yang kedudukannya mengganti pelacur. Beberapa geisha tinggal di okiya (rumah geisha) dimana ada seorang wanita sebagai manajer yang bertugas mengirim geisha ke hotel dan restoran di Jepang sebagai entertener (penghibur seni). (日本文化を英語で説明する辞典、1986年:59)
Profesi geisha ini secara tidak langsung ikut andil dalam rangka pelestarian kesenian dan budaya tradisional Jepang. Dalam kehidupan geisha kita masih bisa menemukan unsur ini, seperti yang dikutip dalam sebuah website bahwa : The geisha is described as a “century old professional entertainer” the geisha is an important part of traditional Japanese social life. Geisha are masters in the arts, trained in music, calligraphy, Sado (tea ceremony), poetry, conversation and social graces as well as threes tringed instruments called Shamisen. They dress in
20 traditional kimonos, stunning in their elegance. Basic wooden geta clogs are worn for footwear, and hair is up in bun type coiffures trimmed with metallic accessories.Geishaliterally translated means ”beauty person” or “person who lives by the arts. Artinya: Untuk menggambarkan geisha sebagai seorang “profesional entertener sejati” merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan sosial di Jepang. Geisha merupakan ahli seni, yang menghibur para tamu dengan musik, kaligrafi, upacara minum teh (sado), puisi, percakapan/obrolan serta bermain shamisen. Mereka menggunakan kimono tradisional yang memancarkan kecantikan mereka. Alas kaki yang dihiasi bakiak dari kayu, serta gaya rambut khas yang dihiasi hiasan yang menyala. Dari sini dapat kita katakan bahwa geisha diartikan sebagai “wanita cantik” atau “orang yang hidup dengan seni”. (www.essayfinder.com)