BAB II LANDASAN TEORI
A. Keluarga 1. Definisi Keluarga Keluarga merupakan sebuah kelompok yang terbentuk dari hubungan laki-laki dan wanita, hubungan ini sedikit banyak berlangsung lama untuk membesarkan dan menghasilkan keturunan. Keluarga inti merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang belum menikah (Ahmadi, 1999). Burgess dan Locke (dalam DeGenova, 2008) menambahkan definisi keluarga merupakan sekelompok individu yang diikat oleh perkawinan atau adopsi, menjadi satu rumah tangga, saling berinteraksi dan berkomunikasi satu dengan yang lain dalam peran sosial sebagai suami dan istri, ayah dan ibu, adik, abang, dan kakak, serta menjaga budaya dasar keluarga. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan suatu kelompok sosial yang diikat oleh hubungan perkawinan atau adopsi dan didalamnya terdapat peran anggota keluarga yang dituntut untuk menjaga nilai-nilai yang ada dalam keluarga.
2. Fungsi Keluarga Keluarga yang bahagia diperoleh jika keluarga memerankan fungsinya dengan baik. Adapun yang menjadi fungsi dasar keluarga inti adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang, dan mengembangkan hubungan yang baik
Universitas Sumatera Utara
diantara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak hanya sebatas perasaan, tetapi menyangkut pemeliharaan, tanggung jawab, perhatian, pemahaman, dan keinginan untuk mengembangkan anak (Yusuf, 2004). Murdock (dalam DeGenova, 2008) menjelaskan fungsi keluarga inti, adalah menyediakan tempat
tinggal,
bekerjasama dalam hal ekonomi termasuk didalamnya
memperoleh penghasilan dan pendistribusiannya, menghasilkan keturunan, dan fungsi seksual. Berns (2004) mengungkapkan fungsi keluarga, terdiri dari: a. Fungsi reproduksi, termasuk didalamnya meneruskan keturunan yang berfungsi menggantikan individu-individu yang telah meninggal, memelihara dan membesarkan anak, memenuhi kebutuhan gizi keluarga, memelihara, dan merawat anggota keluarga. b. Fungsi sosialisasi, termasuk didalamnya keluarga menyediakan nilai sosial, kepercayaan, sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang akan digunakan sampai masa dewasa. c. Mengatur peran sosial, keluarga menyediakan indentitas untuk keturunannya seperti suku, etnis, agama, dan peran gender, dimana identitas tersebut termasuk dalam perilaku dan kewajiban, serta menyediakan peran di masyarakat. d. Fungsi dukungan ekonomi, termasuk didalamnya menyediakan tempat, makanan dan perlindungan, mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan, penggunaan penghasilan, dan
Universitas Sumatera Utara
berfungsi sebagai penyimpanan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dimasa akan datang. e. Fungsi dukungan emosional, termasuk didalamnya keluarga menyediakan pengalaman dalam interaksi sosial, pengasuhan, dan memberikan kenyamanan emosi untuk keturunannya. f. Fungsi pendidikan, termasuk didalamnya menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa akan datang dalam memenuhi perannya sebagai seorang dewasa, serta mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa fungsi keluarga terdiri dari fungsi sebagai pemberian dukungan ekonomi, penerus keturunan, pengaturan peran sosial, pemberian dukungan emosional, pemberian pendidikan, dan pemberian dukungan antar anggota keluarga.
3. Keberfungsian Keluarga a. Definisi Keberfungsian Keluarga Keberfungsian keluarga mengacu kepada kualitas interaksi anggota keluarga. Selain itu, dapat juga dikonsepkan sebagai kohesifitas dalam keluarga. Secara spesifik dapat dilihat dari jumlah komunikasi, keluarga dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi, konflik yang terjadi dalam keluarga, dukungan dan kasih sayang antar anggota keluarga, kemampuan mengekspresikan apa yang dirasakan dan diinginkan, menghabiskan waktu bersama, kebebasan antar anggota
Universitas Sumatera Utara
keluarga, orientasi prestasi, moral, keagamaan, dan penyelesaian masalah yang dapat dilakukan anggota keluarga (Moos dan Moos dalam Stewart, 1998). MacArthur (2000) menambahkan definisi keberfungsian keluarga sebagai keluarga yang dapat menjalankan fungsinya dengan benar. Keberfungsian keluarga menjadi tempat individu dapat tumbuh menjadi dirinya sendiri, didalamnya terdapat rasa cinta dan kebersamaan antara anggota keluarga. Antar anggota keluarga memberikan waktu dan dukungan antara satu dengan yang lain, peduli terhadap keluarga dan membuat kesejahteraan anggota keluarga menjadi prioritas dalam kehidupan. Keberfungsian keluarga juga dapat didefinisikan sebagai keluarga yang telah mampu
melaksanakan
fungsinya,
ditandai
dengan
karakteristik
saling
memperhatikan dan mencintai, bersikap terbuka dan jujur, orangtua mau mendengarkan anak, menerima perasaan dan menghargai pendapat anak, terdapat tukar pikiran pendapat terhadap suatu masalah di antara anggota keluarga, berusaha mengatasi masalah hidup, saling menyesuaikan diri, orang tua melindungi anak, komunikasi antar anggota keluarga berlangsung dengan baik, keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai budaya, serta mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (Yusuf, 2004). Minuchin (1974) mengajukan skema dari keberfungsian keluarga untuk membantu dalam menganalisa sebuah keluarga, yang didasarkan atas tiga komponen. Pertama pengaturan struktur keluarga sebagai cara anggota keluarga dapat saling berinteraksi dan didalamnya terdapat tiga sub sistem. Sub sistem
Universitas Sumatera Utara
suami dan istri terdiri dari laki-laki dan perempuan yang membentuk keluarga dan keduanya saling memberikan dukungan; sub sistem orangtua yang terbentuk ketika kehadiran anak pertama, termasuk didalamnya tanggungjawab terhadap pemeliharaan dan pengawasan yang dihubungkan dengan interaksi orangtua dan anak; sub sistem saudara kandung yang terbentuk dari hadirnya anak kedua dan melalui interaksi antar saudara saudara kandung dapat belajar berkompetisi dan saling bekerjasama di dalam keluarga. Komponen kedua yaitu keluarga berkembang dari satu masa ke masa selanjutnya dan memerlukan perbaikan, dan komponen ketiga yaitu keluarga mampu beradaptasi dengan perubahan untuk menjaga kelangsungan dan kesejahteraan anggota keluarga. Berdasarkan definisi yang diungkapkan para ahli diatas, keberfungsian keluarga didefinisikan sebagai kondisi dimana kelompok sosial terkecil yang didalamnya terdapat ayah, ibu, dan anak yang menjalankan fungsi dalam keluarga dengan baik dan ditandai dengan adanya komunikasi yang lancar termasuk didalamnya saling memberikan dukungan dalam interaksi antar anggota keluarga, mengembangkan nilai-nilai tertentu untuk setiap anggota keluarga, adanya aturan dan pengawasan terhadap aktivitas keluarga.
b. Dimensi Keberfungsian Keluarga Dimensi yang terdapat dalam keberfungsian keluarga antara lain (Moos dan Moos, 2002), antara lain; 1.. Dimensi Relationship memiliki aspek sebagai berikut: a. Cohesion
Universitas Sumatera Utara
Derajat komitmen, bantuan, dan dukungan yang diberikan anggota keluarga satu sama lainnya. b. Expressiveness Sejauhmana anggota keluarga diperbolehkan untuk mengekspresikan perasaannya secara langsung. c. Conflict Jumlah / banyaknya kemarahan dan konflik yang diekspresikan secara terbuka diantara anggota keluarga. 2. Dimensi Personal Growth memiliki aspek sebagai berikut: a. Independence Sejauhmana anggota keluarga dapat bersikap tegas, mampu mandiri, dan membuat keputusan sendiri. b. Achievement Orientation Seberapa banyak aktifitas yang termasuk dalam kerangka / pola kerja yang berorientasi pada prestasi atau persaingan. c. Intellectual-Cultural Orientation Tingkat ketertarikan anggota keluarga terhadap hal-hal politik, intelektual, dan budaya. d. Active-recreational Orientation Jumlah partisipasi anggota keluarga dalam kegiatan sosial dan rekreasi. e. Moral-religious emphasis Adanya penekanan pada etika dan nilai-nilai agama.
Universitas Sumatera Utara
3. Dimensi System Maintenance memiliki aspek sebagai berikut: a. Organization Derajat pentingnya pengaturan yang jelas dalam merencanakan aktivitas dan tanggungjawab dalam keluarga. b. Control Seperangkat aturan dan prosedur yang digunakan untuk menjalankan kehidupan keluarga. Berdasarkan uraian
mengenai dimensi keberfungsian keluarga
yang
diungkapkan oleh Moos dan Moss (2002), maka disimpulkan dimensi keberfungsian keluarga terdiri dari dimensi relationship dengan aspek saling mendukung antar anggota keluarga, adanya kesempatan untuk mengeluarkan pendapat, dan keterbukaan konflik yang terjadi dalam keluarga; dimensi personal growth dengan aspek adanya kebebasan dalam menentukan keputusan sendiri, adanya orientasi menekankan pada prestasi, anggota keluarga memberikan kesempatan untuk menyukai berbagai bidang yang diinginkan, seperti politik, ilmuan, ataupun budaya, adanya kebersamaan yang diwujudkan melalui rekreasi ataupun aktivitas sosial, dan antar anggota keluarga menjalankan nilai agama dan etika yang sudah diatur dalam keluarga; dimensi system maintenance dengan aspek adanya tanggung jawab masing-masing anggota keluarga terhadap keluarga dan adanya aturan yang mengatur setiap anggota keluarga.
Universitas Sumatera Utara
B. Kematangan Emosi 1. Definisi Kematangan Emosi Kematangan emosi dapat dimengerti dengan mengetahui pengertian emosi dan kematangan, kemudian diakhiri dengan penjelasan kematangan emosi sebagai satu kesatuan. Istilah kematangan menunjukkan kesiapan yang terbentuk dari pertumbuhan dan perkembangan (Hurlock, 2004). Emosi merupakan suatu kondisi keterbangkitan yang muncul dengan perasaan kuat dan biasanya respon emosi mengarah pada suatu bentuk perilaku tertentu (Lazzarus, 1991). Selain itu, terdapat juga definisi emosi sebagai suatu keadaan dalam diri individu yang memperlihatkan reaksi fisiologis, kognitif, dan pelampiasan perilaku. Misalnya ketika individu sedang mengalami ketakutan, reaksi fisiologis yang dapat muncul adalah keterbangkitan (jantung berdetak lebih kencang), kemudian individu akan memikirkan bahwa dirinya sedang dalam bahaya, sedangkan tingkah laku yang dapat mucul adalah kecenderungan untuk menghindar dari situasi yang membuat ketakutan (Rathus, 2005). Goleman (2001) menjelaskan jenis-jenis emosi termasuk didalamnya amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu. Berdasarkan beberapa definisi emosi, dapat disimpulkan bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang dirasakan oleh individu dan disertai dengan gejala-gejala fisiologis, perasaan, dan perilaku yang ditunjukkan.
Universitas Sumatera Utara
Kematangan emosi dapat didefinisikan sebagai kemampuan mengekspresikan perasaan dan keyakinan secara berani dan mempertimbangkan perasaan dan keyakinan orang lain (Covey, 2001). Dariyo (2006) juga mendefinisikan kematangan emosi sebagai keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosi sehingga individu tidak lagi menampilkan pola emosional yang tidak pantas. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan definisi kematangan emosi merupakan kesiapan individu dalam mengendalikan dan mengarahkan emosi dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi, kesiapan tersebut tercapai sesuai dengan perkembangan usia. 2. Kematangan Emosi Remaja Remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi jika individu dapat mengerti situasi tanpa harus diberikan arahan oleh orang lain serta mengerti kewajiban dan tanggungjawabnya (Chaube, 2002). Selain itu, Hurlock (2004) juga menambahkan remaja mencapai kematangan emosi jika pada akhir masa remajanya tidak sembarangan dalam meluapkan emosinya dihadapan orang lain, tetapi menempatkannya secara tepat dan dengan cara-cara yang dapat diterima oleh orang lain. Kematangan emosi juga dapat ditunjukkan dengan kemampuan remaja untuk menilai suatu situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional dan memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubahubah dari satu suasana hati ke suasana hati yang lain. Yusuf (2004) menjelaskan tentang bagaimana perubahan kematangan emosional sebelum masa remaja sampai memasuki masa remaja, hal ini dapat terlihat dari tabel berikut ini..
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1 Perubahan kematangan emosi NO 1. 2. 3. 4. 5. 6.
DARI ARAH Tidak toleran dan bersikap superior Kaku dalam bergaul Peniruan buta terhadap teman sebaya Kontrol orangtua Perasaan yang tidak jelas tentang dirinya/orang lain Kurang dapat mengendalikan diri dari rasa marah
KE ARAH Bersikap toleran Luwes dalam bergaul Interdependensi dan memiliki harga diri Kontrol diri sendiri Perasaan mau menerima dirinya dan orang lain Mampu menyatakan emosinya secara konstruktif
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan kematangan emosi remaja merupakan kondisi remaja mampu mengendalikan dan mengarahkan penyaluran emosi sesuai situasi dan waktu yang tepat dengan cara yang dapat diterima, mampu menggunakan pemikiran terlebih dahulu terhadap suatu situasi sebelum menggunakan respon emosional, serta mengambil keputusan yang didasarkan pada pertimbangan sehingga tidak mudah berubah-ubah.
3. Faktor Yang Mempengaruhi Kematangan Emosi Faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi menurut Hurlock (1978), antara lain: a. Usia
Universitas Sumatera Utara
Semakin bertambah usia inidvidu, diharapkan emosinya akan lebih matang dan individu akan lebih dapat menguasai dan mengendalikan emosinya. Individu semakin baik dalam kemampuan memandang suatu masalah, menyalurkan dan mengontrol emosinya secara lebih stabil dan matang secara emosi. b. Perubahan fisik dan kelenjar Perubahan fisik dan kelenjar pada diri individu akan menyebabkan terjadinya perubahan pada kematangan emosi. Sesuai dengan anggapan bahwa remaja adalah periode “badai dan tekanan”, emosi remaja meningkat akibat perubahan fisik dan kelenjar. Beberapa ahli juga menyebutkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi, antara lain: a. Pola Asuh Orang Tua Dari pengalamannya berinteraksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola perilaku anak tehadap orang lain dalam lingkungannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam keluarga adalah pola asuh orangtua. Cara orangtua memperlakukan anak-anaknya akan memberikan akibat yang permanen dalam kehidupan anak (Goleman, 2001). b. Lingkungan Kebebasan dan kontrol yang mutlak dapat menjadi penghalang dalam pencapaian kematangan emosi remaja. Lingkungan disekitar kehidupan remaja yang mendukung perkembangan fisik dan mental memungkinkan kematangan emosi dapat tercapai (Chaube, 2002).
Universitas Sumatera Utara
c. Jenis Kelamin Laki-laki dikenal lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan, mereka memiliki pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga cenderung kurang mampu mengekspresikan emosi seperti yang dilakukan oleh perempuan. Hal ini menunjukkan laki-laki cenderung memiliki ketidakmatangan emosi jika dibandingkan dengan perempuan (Santrock, 2003). Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi kematangan emosi adalah usia, perubahan fisik dan kelenjar, cara orangtua memperlakukan anak-anaknya, lingkungan, dan jenis kelamin.
4. Karakteristik Kematangan Emosi Remaja Hurlock (2004) mengemukakan tiga karakteristik dari kematangan emosi, antara lain: a. Kontrol emosi Individu tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain dan mampu menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang dapat diterima. Individu dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial. b. Pemahaman diri
Universitas Sumatera Utara
Memiliki reaksi emosional yang lebih stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain. Individu mampu memahami emosi diri sendiri, memahami hal yang sedang dirasakan, dan mengetahui penyebab dari emosi yang dihadapi individu tersebut. c. Pengunaan fungsi kritis mental Individu mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap situasi tersebut, dan individu juga tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau individu yang tidak matang. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik remaja yang telah mencapai kematangan emosi adalah individu yang memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri saat emosi sedang memuncak dengan memperhatikan situasi, waktu, dan cara yang dapat diterima; individu dapat memahami apa yang sedang dirasakan dan mengetahui sebab dari emosi yang sedang dihadapi; dan individu mampu menggunakan pemikiran terlebih dahulu sebelum membuat keputusan dengan mempertimbangkan pendapat orang lain dan dampaknya; serta mampu mempertahankan pendapat ketika berbeda dengan orang lain.
C. Remaja 1. Definisi remaja Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata Belanda, alolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence merupakan suatu tahap dalam perkembangan
Universitas Sumatera Utara
yang mencakup dalam kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja juga merupakan peralihan antara masa kanak–kanak dan dewasa meliputi perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Remaja adalah individu yang berusia antara 13 sampai 18 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. dengan pembagian 13 sampai 16 tahun termasuk masa remaja awal dan 16 sampai 18 tahun termasuk masa remaja akhir (Hurlock, 2004).
2. Tugas Perkembangan Remaja Hurlock (2004) mengemukakan beberapa tugas perkembangan di masa remaja, antara lain: a. Menerima keadaan fisiknya b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlawan jenis. d. Mencapai kemandirian emosional e. Mencapai kemandirian ekonomi f. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai dan orang dewasa h. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial i. Mempersiapkan
diri
memasuki
perkawinan,
memamhami
dan
mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.
Universitas Sumatera Utara
j.
Memperoleh peranan sosial
k. Menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif l.
Memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
m. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri n. Memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan o. Mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga p. Membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup
3. Ciri-ciri remaja Menurut Hurlock (2004) terdapat beberapa ciri masa remaja, antara lain; a. Masa remaja sebagai periode yang penting Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental secara cepat, maka diperlukannya penyesuaian mental, pembentukan sikap, nilai, dan minat baru. b. Masa remaja sebagai periode peralihan Periode peralihan artinya remaja memasuki tahap perkembangan berikutnya dan harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan sebelumnya di masa kanak-kanak. c. Masa remaja merupakan periode perubahan Tingkat perubahan sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku menurun juga. d. Masa remaja merupakan usia bermasalah
Universitas Sumatera Utara
Masalah dalam masa remaja menjadi sulit untuk diatasi karena remaja tidak berpengalaman dalam menyelesaikan masalahnya, karena dimasa sebelumnya ketika remaja memiliki masalah, masalah tersebut diselesaikan oleh orang tua dan guru.
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas Identitas diri yang dicari remaja berupaya untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat, apakah nantinya dia mampu percaya diri meskipun latar belakang ras, agama atau nasionalnya sehingga membuat orang lain merendahkannya, dan bentuk identitas lainnya yang membuat remaja dapat menjadi dirinya berbeda dengan orang lain. f. Masa remaja sebagai usia yang menakutkan Streotip budaya yang menganggap remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, tidak dapat dipercaya, cenderung berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja, dan mereka bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja normal. g. Masa remaja sebagai masa tidak realistik Remaja cenderung memandang kehidupan berdasarkan apa yang dia inginkan bukan berdasarkan pada keadaan yang sebenarnya. h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Remaja mulai memfokuskan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, misalnya merokok, minum-minuman alkohol, terlibat dalam
Universitas Sumatera Utara
seks bebas, dan penggunaan obat-obatan terlarang. Mereka menganggap bahwa perilaku tersebut akan memberikan citra dewasa.
D. Remaja Laki-Laki Laki-laki dan perempuan memiliki streotipe peran jenis kelamin yang berbeda. Laki-laki memiliki streotip aktif, agresif, individualistik, percaya diri, suka melanggar peraturan, sedangkan perempuan lebih bersifat ekspresif, hangat secara emosional, suka menolong, dan sensitif (Rathus, 2005). Perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu hal yang berhubungan dengan kematangan emosi. Faktor perbedaan jenis kelamin memiliki hubungan yang berkaitan dengan adanya perbedaan hormonal antara anak laki-laki dan anak perempuan, peran jenis maupun tuntutan sosial, yang berpengaruh pula terhadap adanya perbedaan karakteristik emosi diantara keduanya (Davis, dalam Astuti 2005). Laki-laki memiliki emosi yang cenderung kurang matang jika dibandingkan dengan perempuan karena laki-laki memiliki tingkat yang lebih tinggi dalam hal agresif, rendah diri, kegelisahan, dan mementingkan diri sendiri (Srivastava, 2005). Ketika remaja laki-laki tidak mampu mengekspresikan emosi terhadap suatu masalah, laki-laki lebih cenderung menghadapi masalah dengan melakukan perilaku agresi, merespon masalah dengan menggunakan kemarahan, dan mengikuti dorongan hati tanpa kendali (Broidy dalam Sigfusdottir, et.al, 2008). Travis (dalam Santrock, 2003) juga menyatakan bahwa remaja laki-laki lebih sering menunjukkan kemarahan terhadap orang asing terutama laki-laki lain,
Universitas Sumatera Utara
ketika mereka merasa ditantang, dan laki-laki lebih suka mengubah kemarahannya itu ke dalam perilaku agresif. Broidy dan Hall (dalam Goleman, 2001) menyatakan bahwa laki-laki kurang mampu mengutarakan perasaan, menggantikan reaksi-reaksi emosional melalui perkelahian fisik, dan kurang peka terhadap keadaan emosi diri sendiri maupun diri orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa laki-laki memiliki perilaku delikuensi lebih tinggi daripada perempuan (Broidy and Agnew, dalam Sigfusdottir 2008). Pria 39% lebih agresif daripada wanita (Frodi dalam Matlin, 2004). Sedangkan menurut teori biologi, hal itu disebabkan karena hormon testosteron laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, dan hormon testosteron dipercaya sebagai pembawa sifat agresif (Sarwono, 2002).
E. Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga Dengan Kematangan Emosi Remaja Laki-laki Remaja berada pada masa peralihan rentan terhadap masalah. Masalah dapat berasal dari sekolah, keluarga, teman kelompok, dan masalah dapat menjadi sulit untuk diatasi (Patil dalam Aminbhavi, 2003). Perilaku beresiko cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya permasalahan yang dihadapi remaja, banyak remaja menghadapi atau menghindari permasalahan dengan merokok, minum-minuman alkohol, penggunaan obat-obatan terlarang, dan terlibat dalam seks bebas (Fieldman dan Elliot dalam Santrock, 2003). Penelitian menunjukkan bahwa perilaku kenakalan remaja seperti tawuran, seks bebas, ketergantungan narkoba termasuk dalam perilaku yang mencerminkan
Universitas Sumatera Utara
ketidakmatangan
emosi
mempengaruhi kenakalan
(Silvianingsih, remaja
2008).
adalah
Salah
kurangnya
satu
faktor
kemampuan
yang dalam
mengendalikan dan mengekspresikan emosi dengan cara yang dapat diterima norma, matangnya emosi individu akan mengurangi kenakalan remaja (Gunarsa, 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Huffman dan Boyd (2002) menyatakan remaja laki-laki yang rendah dalam kematangan emosi, cenderung terpengaruh dalam prilaku minum-minuman keras. Kenakalan remaja di Indonesia meningkat pada usia 15-19 tahun (Kartono, 2002). Jika dilihat dari usia kenakalan remaja, seharusnya pada usia tersebut remaja sudah mampu mengendalikan dan menunjukkan kematangan emosi sebagai tugas perkembangan yang harus dicapai (Hurlock, 2004). Kematangan emosi dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan mengekspresikan perasaan dan keyakinan secara berani dan mempertimbangkan perasaan dan keyakinan orang lain (Covey, 2001). Hal ini sejalan dengan perilaku individu yang telah mencapai kematangan emosi dapat mengubah kontrol orangtua menjadi kontrol diri sendiri, adanya perasaan mau menerima dirinya dan orang lain, serta mampu menyatakan emosi secara konstruktif (Yusuf, 2004). Salah satu faktor yang mempengaruhi kematangan emosi adalah jenis kelamin. Laki-laki cenderung kurang mampu mengekspresikan emosi terhadap suatu masalah, cenderung menghadapi masalah dengan kemarahan, dan menyalurkan emosinya melalui perkelahian fisik (Goleman, 2001). Ketika remaja laki-laki tidak mampu mengekspresikan emosi terhadap suatu masalah, laki-laki lebih cenderung menghadapi masalah dengan melakukan perilaku agresi,
Universitas Sumatera Utara
merespon masalah dengan menggunakan kemarahan dan mengikuti dorongan hati tanpa kendali (Broidy dalam Sigfusdottir, et.al, 2008). Selain itu terdapat juga faktor pendidikan yang mempengaruhi kematangan emosi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Riyawati (2006) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kematangan emosi ditinjau dari tingkat pendidikan. Kematangan emosi individu yang berpendidikan SMA lebih tinggi daripada yang berpendidikan SD dan SMP. Lingkungan keluarga yang saling memberikan dukungan dan memberikan kohesivitas dapat mengurangi kenakalan remaja (Bal, et.al dalam Reinherz, et.al, 2003). Penelitian juga menunjukkan bahwa perilaku kenakalan yang dilakukan remaja karena adanya manajemen keluarga yang tidak terorganisir dengan baik, kurangnya pengawasan orang tua, adanya paksaan dalam usaha untuk mengontrol remaja, rendahnya tingkat keterlibatan dan kemandirian yang diberikan kepada remaja (Henderson, et.al, 2006). Namun, meskipun keluarga telah berfungsi dengan baik, ada juga remaja yang melakukan perilaku kenakalan remaja. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan mengenai kasus narkoba terhadap 10 lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia pada Oktober 2003, menunjukkan bahwa 75 % narapidana berasal dari keluarga yang memilki sedikit konflik, 79 % berasal dari orangtua yang tidak memdeda-bedakan anaknya, dan 56 % berasal dari proporsi adanya keterbukaan komunikasi anak terhadap orangtua (Badan Nasional Narkoba, 2003)
F. Hipotesa Penelitian
Universitas Sumatera Utara