Bab 2 Landasan Teori
2.1 Teori kanyouku「慣用句」
Kanyouku「慣用句」adalah suatu ungkapan yang maknanya tidak dapat diturunkan dari definisi langsung dan penyusunan bagian-bagiannya, melainkan merupakan suatu makna tidak langsung yang hanya dikenal melalui penggunaan umum. Dalam linguistik, kanyouku「慣用句」umumnya dianggap merupakan gaya bahasa yang bertentangan dengan prinsip penyusunan (principle of compositionality).
Kanyouku「慣用句」dapat membingungkan orang yang belum terbiasa dengannya. Orang-orang yang belajar suatu bahasa baru harus mempelajari ungkapan kanyouku「慣 用句」bahasa tersebut sebagaimana mereka mempelajari kosa kata lain dalam bahasa tersebut. Pada kenyataannya, banyak kata dalam bahasa alami yang berasal sebagai kanyouku 「 慣 用 句 」tapi telah terasimilasi baik sehingga justru kehilangan makna langsungnya.
Kunihiro dalam Suryadimulya (2007 : 3) memberikan keterangan kanyouku「慣用 句」seperti dibawah ini . 「言語研究において、文法意論とは別に慣用句が問題にされるのは慣 用 句が文法の一般的な規則ならびに個々語の普通の意味だけでは律するこ とのできない性質のものだからである。」 8
Terjemahan : “Idiom merupakan bentuk ungkapan yang dipermasalahkan tersendiri terkait dengan karakteristik idiom, yang tidak bisa diduga seperti pada makna kata umumnya dengan aturan tata bahasa dan teori semantik bahasa yang bersangkutan.” Seperti apa yang sering kita ketahui bahwa kanyouku「慣用句」adalah makna dari gabungan dua kata atau lebih yang sudah ditetapkan, dan makna kanyouku「慣用句」 yang dihasilkan tidak bisa dicerna dari makna leksikal maupun makna gramatikal gabungan kata pembentuk kanyouku「慣用句」 (Momiyama.Y,1996 : 29). Pernyataan ini selaras dengan pengertian idiom dalam bahasa Indonesia yang terdapat pada KBBI (2002 : 417) yaitu, idiom adalah konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya. Walaupun makna kanyouku「慣用句」tidak bisa ‘ditarik’ menurut kaidah umum gramatikal yang berlaku atau tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, namun untuk kanyouku「慣用句」jenis tertentu masih dapat diprediksikan makna kanyouku 「慣用句」yang ditimbulkan secara historis komparatif dan etimologis, serta asosiasi terhadap lambang yang digunakan, karena masih terlihat adanya
“hubungan” antara
makna keseluruhan dengan makna leksikal unsur kata pembentuk kanyouku「慣用句」.
9
2.2. Teori Idiom Menurut Chaer (1994 : 296) idiom adalah “satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal”. Sebagai contoh, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual dan menerima rumah’. Bentuk menjual sepeda bermakna ‘yang menjual menerima uang dan membeli menerima sepeda’. Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia bentuk menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu, melainkan bermakna ‘tertawa keras-keras’. Jadi makna seperti yang dimiliki menjual gigi itulah yang disebut dengan idiomatikal. Menurut Chaer (1994 : 296) idiom memiliki dua macam bentuk : 1. Idiom Penuh Idiom penuh adalah idiom yang semua unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Bentuk-bentuk seperti membanting tulang dan menjual gigi termasuk contoh idiom penuh. 2. Idiom Sebagian Idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya buku putih bermakna buku yang memuat keterangan resmi suatu kasus. Pada contoh tersebut, kata buku masih memiliki makna leksikalnya.
10
2.3 Teori Semantik Unttuk memahami makna kanyouku「慣用句」, diperlukan teori semantik yang digunakan sebagai landasan analisis tersebut. Ichiro (1991 : 1-3), seorang ahli semantik modern, mengemukakan bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari makna dari kata, frase, kalimat. Menurut Ichiro, bila melihat sebuah makna dengan sudut pandang secara objektif maupun secara fisik, banyak hal yang berbeda dan tidak sesuai. Dalam melihat sebuah makna dalam kondisi seperti itu, lebih baik menggunakan sudut pandang secara subjektif. Hal ini karena kata atau kalimat merupakan sesuatu yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari, dan dari setiap individu akan lahir makna yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani “sema” (kata benda) yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah “semaino” yang berarti menandai atau melambangkan. Jadi, ilmu semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda- tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik. Menurut Saussure (2007 : 2) tanda linguistik terdiri dari 1. Komponen makna yang menggantikan yang berwujud bunyi bahasa 2. Komponen yang diartikan atau makna komponen pertama Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut referen. Jadi, ilmu semantik adalah
11
1. Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya 2. Ilmu tentang makna atau arti
2.3.1
Teori Medan Makna
Kata-kata yang berada dalam satu kelompok, lazim dinamai dengan kata yang berada dalam satu medan makna atau satu makna leksikal. Chaer (1994 : 315) memberikan definisi medan makna, yaitu : Yang dimaksud dengan medan makna (semantic domain, semantic field) atau medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu.
Kata-kata atau leksem-leksem yang mengelompok dalam satu medan makna, berdasarkan sifat hubungan semantisnya dapat dibedakan atas kelompok medan kolokasi dan medan set. Kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik yang terdapat antara kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu. Misalnya Chaer (1994 : 316) memberi contoh dalam kalimat di bawah ini. (1) Tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai, lalu perahu itu digulung ombak dan tenggelam beserta segala isinya.
Kata-kata layar, perahu, nelayan, badai, ombak, dan tenggelam yang merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu tempat atau lingkungan yang sama. Dalam hal ini lingkungan kelautan.
12
Kalau kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik, karena sifatnya yang linear, maka kelompok set menunjuk pada hubungan paradigmatik, karena kata-kata yang berada dalam satu kelompok set itu saling bisa di subsitusikan. Sekelompok kata yang merupakan satu set biasanya mempunyai kelas yang sama, dan tampaknya juga merupakan satu kesatuan. Setiap kata dalam set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota lain dalam set itu. Sebagai contoh Trier dalam Parera (2004 : 139) menurunkan dua medan makna dari kata pandai .
Tabel 2.3.1 Medan Makna Pandai Cerdik
Bijak
Terpelajar
Berpengalaman
Terdidik
Cendekiawan
Sumber : Parera (2004 : 139)
Contoh yang diberikan oleh J. Trier ini merupakan medan set. Karena kata-kata yang berada dalam kelompok kata pandai tersebut bisa saling disubsitusikan. Trier dalam Parera (2004 : 139) mengatakan bahwa vokabulari sebuah bahasa tersusun rapih dalam medan dan dalam medan itu setiap unsur yang berbeda didefinisikan dan diberi batas yang jelas sehingga tidak ada tumpang tindih antar sesama makna. Trier mengatakan
13
bahwa medan makna itu akan selalu tercocokkan antar sesama medan sehingga membentuk suatu keutuhan bahasa yang tidak tumpang tindih.
14