BAB 10 PERANG DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN
Narasi diskursus dan praktik dapat disusun menurut kaitan berbagai konsekuensi vertikal dari tataran diskursus, habitus, dan arena, maupun peran secara horizontal antara diskursus dan praktik yang berbeda-beda (Foucault 2002c: 85). Pada bab-bab sebelumnya disampaikan narasi vertikal dari enam diskursus kemiskinan di pedesaan Indonesia. Pada bab ini narasi dilanjutkan dengan perang diskursus dan praktik kemiskinan. Sudut pandang sejarah diskursus dapat digunakan untuk mendeskripsikan perang tersebut, karena menurut Foucault (2002d: 143) sejarah yang menguasai dan membatasi manusia lebih memiliki bentuk peperangan daripada bahasa, tentang relasi kekuasaan daripada relasi makna. Dengan memperhitungkan perkembangan di Indonesia, diskursus berbagi kelebihan dan diskursus menginginkan kesederhanaan telah dikenal setidaknya sejak 1500-an (Gambar 17). Diskursus kemiskinan ras dan etnis dikembangkan pada dekade 1920-an, bersamaan dengan perkembangan diskursus kemiskinan sosialis. Pada dekade 1970-an berkembang diskursus potensi golongan miskin. Sejak akhir 1990-an berkembang diskursus kemiskinan produksi, dan tafsirnya kini sedang menguat.
Gambar 17. Genealogi Diskursus Kemiskinan di Pedesaan Indonesia
160
Penghilangan dan Perluasan Domain Kemiskinan Dalam diskursus dan praktik berbagi kelebihan, tetangga di dalam desa telah menyamarkan lokus tubuh miskin dalam lapisan-lapisan kekurangan, yang mampu menghasilkan garis kemiskinan lokal berbeda-beda antar wilayah dan waktu yang berlainan. Relativitas garis kemiskinan lokal menjadi strategi penyamaran penting untuk menolak jangkauan mekanisme kekuasaan yang bisa saja merepresi golongan kekurangan. Dalam kondisi tersamar, prosedur menuju tubuh miskin baru terbuka melalui praktik kerukunan antar tetangga. Prosedur tersebut sekaligus membatasi penanggulangan kemiskinan hanya pada tataran antar tetangga sedesa. Mekanisme parrhesia (Foucault 2011: 339) dalam pengelolaan tubuh untuk mencapai kesucian dan mengabarkan kebenaran tersusun dalam diskursus menginginkan kesederhanaan. Latihan keterbatasan harta benda secara terus menerus oleh penganut mistik, agamawan, dan tubuh prihatin lainnya berguna untuk menyucikan tubuh dan menyiapkannya menerima kebenaran dari Tuhan. Keyakinan tentang hubungan langsung dengan Tuhan memberikan tubuh sederhana tersebut keberanian untuk menyampaikan kebenaran –menurut pandangannya—kepada pihak lain, termasuk penguasa. Tidak mengherankan keprihatinan atau kesederhanaan ini bersifat subversif bagi masyarakat dan penguasa. Penguasa sendiri mendapatkan rangsangan kesederhanaan untuk mengolah tubuhnya agar memancarkan sinar kesaktian –juga disebut karamah Tuhan—yang dipandang sebagai bentuk riil kekuasaan dirinya (Anderson 2000: 47-71). Kemiskinan dinilai sebagai masalah sosial selama penjajahan Belanda, dan domainnya meluas hingga nusantara. Untuk pertama kalinya pula penelitian kemiskinan dilaksanakan pada tahun 1872. Tubuh orang miskin dari kalangan Indo Eropa diidentifikasi, dan konsep yang diperoleh sebagai hasil identifikasi lalu digunakan untuk memburu tubuh-tubuh serupa. Melalui penelitian ini tubuhtubuh miskin dimunculkan lewat pencatatan sensus. Dalam konstruksi pelapisan sosial berbasis ras, kemiskinan dipandang sebagai permasalahan ras campuran atau kreol antara orang Eropa dan pribumi.
161
Penelitian menemukan beragam penyebab kemiskinan kreol (Baay 2010: 15-16), namun pemerintah jajahan pada tahun 1920-an hanya mengedepankan sebab berhubungan dengan tubuh pribumi secara tidak bermoral –berupa pergundikan (Gouda 2007: 196-200). Oleh sebab itu program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk memperbaiki moral tubuh-tubuh kreol. Komisi (penyelidikan kemiskinan orang Eropa di Hindia Belanda) juga menganjurkan untuk meningkatkan mutu moral di dalam tangsi. Jumlah anggota militer Eropa yang hidup dalam pergundikan akan berkurang sehingga akan berkurang pula jumlah anak miskin yang dilahirkan. Berkaitan dengan masalah ini komisi juga menganjurkan agar anggota militer Eropa yang telah meninggalkan ketentaraan kolonial segera dikirim kembali ke Belanda (Baay 2010: 178). Kekuasaan dioperasikan melalui basis budaya yang holistik –artinya tanpa mempertimbangkan pelapisan masyarakat dalam budaya tersebut—dan diskursus kemiskinan ras dan etnis secara bersama-sama memunculkan orang miskin dari kreol, sekaligus menahan kemunculan kemiskinan dari etnis-etnis pribumi. Etnis tersebut di-Lain-kan secara budaya, dengan cara menempeli atribut-atribut persangkaan budaya yang dinilai primitif atau persangkaan moral negatif. Dengan memandang pribumi sebagai separuh kera, kemiskinan tidak dipandang sebagai masalah mereka, melainkan keliaran tingkah lakunya (Gouda 2007: 213). Sebagian penduduk kolonial Belanda di abad ke-20, misalnya, secara aneh masih terobsesi dengan gagasan "mata rantai yang hilang" dan menduga-duga kemiripan antara orang pribumi dengan kera-kera besar cerdas yang mirip manusia. Sebagian lain menggunakan gagasan Spencer dalam bentuk yang menyimpang, penjelasan baru tentang evolusi biologi dan metafora-metafora artifisial tentang sifat kekanak-kanakan atau "lambatnya perkembangan" orang-orang Indonesia. Dalam periode yang sama, berkembang pula diskursus kemiskinan sosialis. Membalik konstruksi diskursus kemiskinan ras dan etnis yang menyalahkan hubungan dengan tubuh pribumi, dalam diskursus ini justru hubungan dengan tubuh penjajah diyakini sebagai mekanisme kemiskinan pribumi. Hubungan yang bercirikan feudal dengan kelas priyayi dalam kerajaan-
162
kerajaan nusantara juga dipandang sebagai operasi kekuasaan untuk menghisap surplus kelas bawah (Soekarno 1965: 1-24; Sirait, Hindrayati, Rheinhardt 2011: 125-126). Menerapkan teori-teori dari komunisme internasional, lokus proletar sebagai pengisi kelas miskin diidentifikasi di antara tubuh buruh industri, seperti buruh kereta api (McVey 2010: 29). Mekanisme penanggulangan kemiskinan ditempuh melalui boikot atau pemogokan dan pemberontakan golongan sosialis, dalam rangka menghambat dan menghancurkan struktur sosial penjajahan. Identitas tubuh proletar seharusnya hanya membatasi pada tubuh buruh industri, namun terbuka bagi tubuh pribumi, kreol dan ras berkulit putih. Akan tetapi organisasi buruh sosialis lebih banyak diisi buruh pribumi dan sebagian kecil buruh kreol, sebaliknya buruh dengan ras murni Eropa justru sering menyabotase pemogokan mereka. Identifikasi proletar sebagai tubuh miskin sekaligus membungkam golongan miskin lainnya, yang saat itu sudah mulai diketahui pada tubuh pengusaha kecil dan petani kecil (Hiqmah 2008: 49; Tjokroaminoto 2008: 47114). Konsekuensinya gerakan sabotase atau pemberontakan buruh sosialis tetap meninggalkan pengusaha kecil dan petani kecil yang dipandang tidak mengenal rasionalitas masyarakat industrial. Di samping kelemahan identifikasi kelas miskin tersebut, teori-teori komunis internasional juga dipandang sulit diterapkan langsung di Indonesia setelah kerjasama komunis internasional tidak terwujud untuk mendukung pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) melawan penjajah Belanda pada tahun 1926 (McVey 2010: 569-630). Untuk menyesuaikan lebih dalam dengan keindonesiaan, nasionalisme dikembangkan sebagai revisi internasionalisme. Adapun tubuh miskin ditangkap sebagai tubuh marhaen atau kromo (Agusta 2010: 897-915; Soekarno 1965: 167-170, 245-248). Di samping buruh industri sebagai proletar, tubuh-tubuh miskin juga diidentifikasi pada petani kecil dan buruh tani. Pada titik ini identifikasi golongan kekurangan dalam diskursus berbagi kelebihan –yang berisikan petani kecil dan buruh tani—dipinjam sekaligus ditafsirkan kembali. Tubuh-tubuh tersebut muncul sebagai dikotomi dari kapitalis dan golongan feudal. Sebelum kemerdekaan peminjaman golongan kekurangan
163
sekaligus dimanipulasi dengan komunisme, sehingga tubuh proletar dipandang lebih superior. Soekarno (1965: 254) menjelaskan hal ini. Ini, ini paham "proletar mengambil bagian yang besar sekali", inilah yang saya sebutkan modern, inilah yang bernama rasionil. Sebab kaum proletarlah yang kini lebih hidup di dalam ideologi-modern, kaum proletarlah yang sebagai klasse lebih langsung terkena oleh kapitalisme, kaum proletarlah yang lebih "mengerti" akan segala-galanya kemodernan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Mereka lebih "selaras zaman", mereka lebih "nyata pikirannya", mereka lebih "konkrit", dan … mereka lebih besar harga-perlawanannya, lebih besar gevechtswaarde-nya dari kaum yang lain-lain. Kaum tani adalah umumnya masih hidup dalam satu kaki di dalam ideologi feudalisme, hidup di dalam angan-angan mistik yang melayang-layang di atas awang-awang, tidak begitu "selaras zaman" dan "nyata pikiran" sebagai kaum proletar yang hidup di dala kegemparan percampur-gaulan abad ke dua puluh. Mereka masih banyak mengagung-agungkan ningratisme, percaya pada seorang "Ratu Adil" atau "Heru Cokro" yang nanti akan menjelma dari kayangan membawa kenikmatan surga-dunia yang penuh dengan rezeki dan keadilan, ngandel akan "kekuatan-kekuatan rahasia" yang bisa "memujakan" datangnya pergaulan-hidup-baru dengan termenung di dalam gua. Pandangan ini telah berubah setelah Indonesia merdeka. Diskursus berbagi kelebihan membatasi hubungan tubuh miskin sebatas dengan tetangganya, namun diskursus kemiskinan sosialis mendatangkan kelas atas untuk menyadarkan esploitasi atas mereka, lalu mengorganisasikannya hingga ke tingkat nasional. Orientasi kepada marhaen di pedesaan antara lain ditunjukkan oleh inisiatif PKI (Mortimer 2011: 365-373) untuk melatih marhaen dan mengorganisasikannya dalam kelompok di desa hingga organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) di tingkat nasional. Perubahan subyek kemiskinan sosialis dari buruh industri di perkotaan menjadi petani di pedesaan tidak terlepas dari kesulitan kedudukan PKI dalam kabinet dan penguatan angkatan darat dalam industri-industri di perkotaan. Perubahan
tersebut
membutuhkan
pengetahuan
tentang
struktur
masyarakat desa, sehingga PKI segera melakukan penelitian. Untuk pertama kalinya penelitian partisipatoris dilaksanakan, pada awal 1960-an antara kader PKI sebagai peneliti bersama-sama tubuh marhaen di pedesaan. Penelitian partisipatoris yang penuh interaksi sosial tersebut menjadi operasi kekuasaan
164
dalam memunculkan tubuh marhaen, mengidentifikasi tubuh-tubuh penghisap marhaen, sekaligus menyadarkan tubuh marhaen tentang penghisapan surplus ekonomi tersebut. Hasil penelitian kemudian digunakan sebagai informasi untuk mengubah syarat-syarat masuk BTI, dan dengan demikian marhaen dapat diorganisasikan sebagaimana layaknya proletar dalam industri. Di tingkat lokal, hasil penelitian menjadi kuasa pengetahuan bagi gerakan sosial perebutan lahan tuan tanah yang berlebihan –dikenal sebagai aksi sepihak. Sesuai pandangan sosialisme, lahan dipandang sebagai alat produksi utama bagi tubuh marhaen untuk menghasilkan surplus secara mandiri. Aidit meringkas upaya pengorganisasian, pelatihan, dan aksi bagi tubuh marhaen sebagai berikut (Mortimer 2011: 382). Aksi-aksi sepihak akan sukses jika minimal tiga prasyarat berikut dipenuhi. Pertama, diorganisasikan secara rapi, khususnya sudut pandang dan cara kepemimpinan menyelesaikan masalah dalam aksi-aksi mereka di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa; … kedua, pendidikan mestinya diberikan dengan cepat, artinya kuliah-kuliah darurat dan pelatihan-pelatihan singkat segera diberikan bagi kader-kader desa yang secara khusus menangani sisi praktis aksi-aksi; dan ketiga, aksi-aksi yang mestinya melangkah di bawah kepemimpinan yang terlatih, artinya, kita harus menghindari "aksi pemimpin" tanpa massa atau "aksi massa" tanpa pemimpin, karena bagaimanapun aksi-aksi mesti konsisten berpijak pada kaum buruh dan petani miskin … Aksi-aksi ini, kalau begitu, harus mampu memenangkan simpati dan dukungan lebih dari 90 persen penduduk desa dan para pejabat negara yang bukan reaksioner. Episode pengembangan kelas marhaen ditutup oleh pergantian politik nasional secara berdarah. Dimulai dari perlawanan berdarah kiai dan santri kepada kelas marhaen di Jawa Timur pada awal tahun 1965 (Sulistyo 2011: 194-219), pergantian kepemimpinan nasional oleh Angkatan Darat diikuti dengan pembunuhan para marhaen –yang menandai pembunuhan tubuh-tubuh miskin.
165
Kekuasaan Memanipulasi Tafsir Kemiskinan Beberapa tahun kemudian, di awal tahun 1970-an diskursus potensi golongan miskin dikembangkan di antara akademisi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM). Komunikasi berlangsung melalui diskusi dan penerbitan, serta dipraktikkan dalam kelompok-kelompok simpan pinjam dan usaha kecil lokal. Bertautan dengan pembangunan alternatif yang mengedepankan kelebihan lokalitas, diskursus ini mengarahkan penanggulangan kemiskinan untuk menghasilkan kemandirian dari tubuh-tubuh miskin tersebut. Kemandirian tubuh yang semula merupakan hasil dari latihan kemiskinan lapisan atas atau penganut kebatinan (dalam diskursus menginginkan kesederhanaan) kini digeser kepada posisi tubuh-tubuh miskin sendiri. Ekonomi Rakyat merupakan fokus perhatian karena setelah program IDT menjadi gerakan masyarakat sendiri, gerakan roda ekonomi rakyat ini harus berputar secara swadaya dan mandiri. Demikian apabila roda ekonomi rakyat sudah bergerak secara swadaya dan mandiri, maka pembangunan ekonomi dan sosial akan makin merata (Mubyarto 1996: vi) Konsep golongan kekurangan pada diskursus berbagi kelebihan, yang ditafsir ulang ke dalam kelas marhaen, pada diskursus ini digunakan kembali sembari ditafsir ulang sebagai golongan lemah. Menurut Sajogyo (1977: 10-17), tubuh-tubuh lemah meliputi buruh tani dan petani gurem –manipulasi tafsir atas kelas marhaen. Tahun 1973, 57% petani di Jawa mengusahakan kurang dari 0,5 hektar tanah (rata-rata 0,25 hektar). Ini golongan petani gurem….. Data tahun 1963 tak banyak berbeda: golongan "petani gurem" tercatat 61% (termasuk luas kurang dari 01 hektar, yang sebenarnya tak terhitung petani) yang menguasai 22% luas tanah pertanian di desa….. Jika 2 daftar "rumahtangga" tahun 1970 (dalam persiapan sensus penduduk 1971) dapat dipakai sebagai patokan tentang berapa persen rumahtangga yang petani dan bukan petani, maka golongan petani gurem pada tahun 1973
166
meliputi 33% dari rumahtangga di Jawa, jika dari 33% golongan miskin, yang 16% tergolong petani gurem (2,8 juta), maka 19% sisanya (13,0 juta) dapat dikatakan sebagian besar tergolong "buruhtani yang tidak bertanah" atau memiliki kurang dari 750 m2. Mereka meliputi hampir separuh dari golongan bukan-petani yang tercatat sebanyak 42%, dan mencakup 26% yang tak bertanah (Sajogyo 1977: 12). Ketiadaan alat produksi sebagai sumber kemiskinan sosialis juga ditafsirkan ulang sebagai ketiadaan akses ekonomis pada diskursus potensi orang miskin (Sajogyo 2006: 261-282), padahal substansinya sama yaitu lahan di pedesaan. Penggantian tafsir alat produksi menjadi akses sesuai dengan aliran pembangunan berbasis kebutuhan dasar manusia, yang lebih mengedepankan konsep akses daripada kepemilikan –salah satu konsekuensinya ialah pembedaan pemilik dan penguasa (pengakses) lahan. Perbedaan lainnya muncul dalam penggunaan kelompok sebagai mekanisme kumulasi kekuasaan golongan lemah. Pengelompokan kekuatankekuatan tubuh lemah dapat menghasilkan satu kekuasaan yang lebih kuat melalui interaksi di antara mereka sendiri. Kelompok tidak diarahkan untuk mengambil alih kepemilikan lahan tuan tanah di luar, sebaliknya Sajogyo (2006: 243-246) mengarahkan reforma agraria ke dalam anggota kelompok petani gurem. Kolektivitas di antara petani gurem yang mengerjakan lahan bersama dipandang menyatukan kekuatan dalam berhubungan dengan posisi yang lebih tinggi. Landreform itu justru dikenakan pada golongan yang paling gurem, misalnya menguasai kurang dari 0,2 hektar: tanah mereka dibeli pemerintah, kemudian dititipkan sebagai "tanah negara" yang diurus oleh Badan Usaha Buruh Tani (BUBT) di desa. Uang pembelian tanah itu sebagian dijadikan modal Badan Usaha Buruh Tani, baik modal untuk usaha bersama maupun modal yang dipinjamkan pada anggota untuk usaha perorangan. Kelompok lebih dibutuhkan golongan lemah, bukan lapisan sosial atas. Golongan yang telah lepas dari kemiskinan tidak membutuhkan kelompok lagi (Sajogyo 1997: 89-110). Peran penting lapisan atas ialah bersolidaritas dan memihak
golongan
lemah.
Praktik
pemihakan
ditunjukkan
melalui
167
pendampingan. Oleh sebab itu pendampingan menjadi penting selama masih ada kelompok berisikan tubuh-tubuh orang miskin. Hampir semua program penanggulangan kemiskinan menggunakan pendekatan kelompok. Peran minimal pendamping kelompok adalah memastikan komponen program (pokmas, dana) tetap lestari dan bila mungkin berkembang. Artinya, kelembagaan (aturan main/AD-ART, administrasi) pokmas menjadi semakin baik, dana yang merupakan modal usaha semakin berkembang. Pendamping mestinya bukan unsur yang terpisah dari program, tetapi faktor integral yang "hidup" dari mekanisme hubungan dengan pokmas yang didampinginya. Perubahan struktural tidak dilakukan melalui mekanisme konflik kelas marhaen dengan kelas kapitalis dan kelas feudal, melainkan melalui mekanisme pemerataan pembangunan. Dibandingkan dengan delapan jalur pemerintah, masih dibutuhkan kondisi awal yang berisikan berbagai alat produksi petani di desa (Sajogyo 2006: 261-282). Meskipun mengetengahkan dualitas penurunan kemiskinan dan peningkatan pemerataan, namun aspek pemerataan tidak selalu muncul bersamaan. Indikator indeks Gini untuk menunjukkan tingkat ketimpangan wilayah kurang populer. Diskursus potensi orang miskin lebih berorientasi pada upaya kemandirian kelompok miskin, dan tidak memperhitungkan aspek bantuan luar negeri dari negara maju dan donor internasional. Pada awal dekade 1980-an muncul pemikiran
tentang
kemiskinan
struktural.
Bukannya
memperhitungkan
penghisapan surplus antar negara, pemikiran ini diisi Soemardjan (1984: 3-11) dengan identifikasi organisasi pemerintah penyebab kemiskinan dan rekomendasi organisasi pembaru penanggulangan kemiskinan di dalam negeri. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Golongan demikian itu biasanya terdiri dari para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, atau para petani yang tanah miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluarganya. Termasuk golongan miskin adalah kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih, atau yang dengan kata asing
168
dinamakan unskilled laborers. Golongan miskin itu meliputi juga para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari Pemerintah, yang sekarang dapat dinamakan golongan ekonomi sangat lemah….. Dalam rangka pemikiran ini menarik juga anjuran Wakil Presiden Adam Malik dalam pidato yang diucapkan olehnya sendiri di muka seminar agar diusahakan perubahan struktur masyarakat Indonesia sedemikian rupa sehingga kemiskinan struktural tidak banyak lagi artinya (Soemardjan 1984: 5, 11). Pada dekade yang sama sebenarnya Arif (2001: 7-36) dari diskursus kemiskinan sosialis menulis perihal ketergantungan Indonesia terhadap negara maju dan donor, serta konsekuensinya pada pemiskinan sebagian warganegara. Akan tetapi, pendekatan ketergantungan antar negara tidak pernah muncul sebagai pemikiran dominan. Berorientasi pada model pendekatan kebutuhan dasar, dan berdasarkan hasil penelitian gizi masyarakat, upaya menghitung golongan miskin dilakukan Sajogyo (1988: 1-14) dengan garis kemiskinan berbasis gizi minimal untuk bekerja. Bila dihitung secara individual, gizi yang dibutuhkan 2.100 Kkal/hari. Akan tetapi dengan memperhitungkan simpangan pada tingkat masyarakat, maka nilainya menjadi 1.900 Kkal/hari. Untuk mempermudah penghitungan –tanpa memperhitungkan
perbedaan
inflasi
antar
tempat
dan
waktu—maka
penghitungannya diukur dari nilai beras. Bila dikaitkan dengan orientasi lokalitas yang seharusnya menghasilkan garis kemiskinan lokal yang berbeda-beda, serta pemikiran struktural kemiskinan yang tidak mempercayai garis kemiskinan absolut, maka upaya perumusan garis kemiskinan nasional atau makro tergolong anomali dalam diskursus ini. Hasil kajian kemiskinan mikro hampir selalu berakhir pada kemiskinan lokal yang lebih parah dibandingkan hasil ukuran garis kemiskinan makro (White 1996: 29-45). Argumen penyusunan garis kemiskinan yang dimunculkan ialah untuk menduga ketidakmerataan sosial (Luthfi 2011: 165), padahal indikator yang lebih tajam dan telah mulai digunakan saat itu ialah indeks Gini. Diskursus kemiskinan produksi muncul untuk merespons ketimpangan sosial –yang diindikasikan oleh ketimpangan wilayah—pada akhir tahun 1970-an. Dekade 1970-an ditandai oleh peningkatan indeks Gini, dan kesenjangan sosial
169
tersebut tampaknya dirasakan banyak pihak, sehingga pemerintah mengeluarkan Paket Kebijaksanaan Moneter 15 November 1978 yang antara lain ditujukan pada penciptaan kondisi bagi pola hidup yang lebih wajar –dikenal sebagai pola hidup sederhana (Dahlan 1978: 22-32). Konsep dari diskursus menginginkan kesederhanaan ini dimanipulasi untuk mengurangi konsumsi ekonomis seluruh penduduk, sehingga diharapkan mengurangi ketimpangan ekonomi. Akan tetapi diselipkan anomali, bahwa ukuran sederhana itu tergantung pada penilaian penduduk terhadap pendapatannya. Konsekuensinya kian miskin penduduk maka mekanisme pendisiplinan konsumsi kian merepresinya, sebaiknya kian kaya penduduk maka kian terbuka untuk berkonsumsi lebih tinggi. Kontradiksi tersebut sudah menghapus efektivitas kebijakan pemerintah. Istilah sederhana atau mewah sangat relatif dan tergantung keadaan masing-masing orang pada suatu waktu tertentu. Orang cenderung menganggap mewah hal-hal yang tidak tercapai oleh kemampuannya sendiri atau yang dianggapnya berlebih-lebihan bagi dirinya pada suatu ketika. Pada saat yang lain, hal-hal yang sama mungkin dianggapnya bukan mewah lagi atau dapat bertambah mewah. Golongan menengah –yang memang lebih banyak mengeluarkan suara—dengan sendirinya cenderung menganggap pola hidup kalangan atas sebagai kemewahan; sedangkan bagi golongan yang berada itu sendiri gaya itu dirasakan wajar sesuai dengan kemampuan dan kedudukan mereka (Dahlan 1978: 23). Garis kemiskinan untuk kebutuhan standardisasi lebih terbuka untuk disusun dalam diskursus kemiskinan produksi. Pada tahun 1984 BPS mengembangkan garis kemiskinan negara. Sama-sama menggunakan basis kebutuhan energi 2.100 Kkal per hari, orientasi kepada metode individualistik menghalangi penggunaan batas simpangan 1.900 Kkal pada tingkat komunitas dan negara –ini batas bawah yang digunakan Sajogyo (1988: 1-14). Konsekuensinya, garis kemiskinan BPS senantiasa lebih tinggi daripada garis kemiskinan Sajogyo. BPS hanya memunculkan satu garis kemiskinan, sementara Sajogyo selalu memunculkan lehih dari satu garis kemiskinan. Nilai uang distandardisasi antar wilayah (memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi), lalu digunakan sebagai hasil penghitungan. Sama seperti Sajogyo yang
170
menggunakan data Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diproduksi tahunan, seharusnya garis kemiskinan ini dapat dipublikasikan setiap tahun. Bahwa hal tersebut tidak dilakukan hingga tahun 1993, menunjukkan pembungkaman diskursus kemiskinan hingga awal 1990-an. Hal ini terutama berkaitan dengan kemunculan pandangan proses pemiskinan selama dekade 1970an dan 1980-an, yang ditentang oleh Presiden Soeharto (2008: 413-414). Dalam pernyataannya identitas pencipta garis kemiskinan diberikan kepada Mubyarto, padahal diciptakan oleh Sajogyo. Nama Sajogyo juga dihilangkan sebagai "orang itu" yang sebelumnya menyatakan pemiskinan dalam proses pembangunan. Pada permulaan tahun 1985 saya menyebutkan, bahwa garis kemiskinan di negeri kita, di mana kebanyakan adalah kaum petani, ialah 320 kg beras per tahun per orang. Yang menetapkan batas itu adalah ahli-ahli ekonomi kita, seperti Mubyarto dan yang lainnya. Saya pun pernah menghitungnya sekian tahun ke belakang. Dan perhitungan saya itu kira-kira cocok dengan perhitungan para ahli ekonomi kita itu. Alhasil, batas 320 kg beras per tahun per orang itu harus bisa dilampaui oleh seorang petani kita, supaya tidak hidup dalam kemiskinan….. Ada yang mengatakan seolah-olah proses pembangunan kita selama 15 tahun ini, bahkan 18 tahun, merupakan proses pemiskinan terhadap rakyat kita. Pendapat yang demikian itu maksudnya tentu baik, yakni untuk memperingatkan agar pembangunan yang kita lakukan benar-benar sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk memperbaiki taraf hidup rakyat. Kalau benar begitu halnya di Indonesia selama ini, maka saya berdosa. Tetapi apa yang saya lihat, kebalikan dari pendapat sementara orang itu. Membawa proses kemiskinan berarti rakyat makin lama makin miskin. Nyatanya, mereka yang tadinya makan hanya sekali sehari. Sekarang saya tahu bisa makan dua kali sehari, bahkan bisa tiga kali sehari. Dengan demikian, maka tentu rakyat tidak menjadi lebih miskin. Ungkapan di atas mungkin lebih tepat menunjukkan maksud Presiden Soeharto, dibandingkan saat secara resmi memunculkan garis kemiskinan negara
171
pada tahun 1984. Dalam pidato resmi tersebut yang diacu justru garis kemiskinan BPS –bukan garis kemiskinan Sajogyo. Salah satu indikator penting pemerataan kesejahteraan rakyat dalam jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Apabila garis kemiskinan dipakai sebagai tingkat pengeluaran keluarga minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan setara dengan 2.100 kalori per anggota keluarga per hari serta kebutuhan pokok bukan-pangan tertentu, maka diperoleh jumlah sebagai berikut ….. berkurang dari 54,2 juta orang atau 40,1% dari seluruh penduduk dalam tahun 1976 menjadi 47,2 juta atau 33,3% dari seluruh penduduk dalam tahun 1978 ….. menjadi 40,6 juta atau 26,9% dalam tahun 1981 (Luthfi 2011: 165). Sempat muncul pandangan bahwa pengukuran dengan menggunakan garis kemiskinan memiliki kelemahan mendasar karena bersifat dugaan dari data survai. Pertanyaan dalam survai juga tidak memperhitungkan utang, padahal kelas bawah biasa mengkonsumsi barang dengan berutang (Arif 2006: 200-201). Pandangan dari diskursus kemiskinan sosialis ini tidak berkembang lebih lanjut. Sejak pertengahan 1980-an World Bank mengubah tema pembangunan dari structural adjustment program (SAP) atau dikenal juga sebagai Washington Consensus,
menjadi
tema
pengurangan
kemiskinan.
Tema
kemiskinan
dikembangkan dalam laporan World Development Report (WDR) 1980 dan 1990 –selanjutnya juga muncul pada tahun 1999. Dokumen ini menyebarkan kekuasaan untuk mengarahkan pembangunan di negara-negara miskin. …..the importance of successive WDRs in shaping the boundaries and the nature of ‘mainstream’ development debates. Their relationship with the World Bank (WB) means that they have a huge research and production budget, and the Bank can afford to disseminate them widely – a minimum of 50 000 English copies are now printed, and another 50 000 summaries are produced in seven other languages. The WDRs are usually the most ‘accessible’ of the WB’s annual publications, and in many ways act as its ‘public face’. Their association with the WB also lends them (in many circles) considerable weight and legitimacy. Thus, the WDRs have been a significant vehicle for promoting visions of development that have been broadly congruent with the views of various hegemonic institutions, including the WB, the
172
International Monetary Fund (IMF) and the US government (Mawdley dan Rigg 2002: 93). Tema kemiskinan diterima pemerintah pada awal 1990-an. Untuk pertama kalinya –dan merupakan perubahan yang cepat—pemerintahan Presiden Soeharto menerima pandangan munculnya kemiskinan di Indonesia. Dibandingkan dengan laju kemiskinan yang menurun sejak dekade 1970-an (dari sekitar 40,1 persen atau 54,2 juta pada tahun 1976 menjadi 13,7 persen atau 25,9 jiwa pada tahun 1993), sejak tahun 1993 jumlah dan persentase orang miskin meningkat. Bersamaan dengan skandal kalkulasi BPS yang dijelaskan di bawah, jutaan orang miskin telah dimunculkan melalui keputusan pemerintah ini (sebelum krisis moneter, pada tahun 1996 mencapai 17,5 persen atau 34,5 juta, atau meningkat 8,6 persen dan 3,8 juta orang miskin). Dengan konsep akademis penanggulangan kemiskinan yang jauh lebih siap, serta praktik-praktik kelompok dampingan LSM, diskursus potensi golongan miskin segera mengelola program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan hingga akhir 1990-an. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) sejak tahun 1994 mempraktikkan pandangan diskursus potensi golongan miskin pada sekitar 20 ribu desa di Indonesia. Tidak mendapatkan data sensus penduduk miskin, maka data sensus potensi desa diolah menjadi data 22 ribu desa tertinggal. Sesuai dengan orientasi lokalitas, warga desa tertinggal menentukan sendiri golongan miskin di antara tetangganya. Mubyarto (1996: 7-8) mempraktekkan diskursus potensi golongan miskin dengan mempercayai warga desa untuk menentukan sendiri golongan miskin di desanya, membentuk kelompok berisikan tubuh-tubuh miskin, merancang kegiatan kelompok sendiri, mempercayakan dana yang relatif besar untuk dikelola mereka, kemudian digulirkan di antara golongan miskin sendiri. Solidaritas lapisan atas diwujudkan dalam bentuk pendampingan untuk memandirikan kelompok dan anggotanya. Dalam Program IDT berbagai ragam proses pemberdayaan orang miskin kreasi pendamping dihargai sebagai lokalitas yang paling tepat untuk melembagakan komponen proyek. II. SIFAT DAN RUANG LINGKUP 1. Program IDT adalah bagian dari gerakan nasional penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan secara bertahap
173
dan berkelanjutan dengan mengikutsertakan berbagai instansi dan lembaga, baik Pemerintah maupun swasta, termasuk perguruan tinggi, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan dan lembaga kemasyarakatan lainnya; 2. Program IDT juga merupakan strategi pelaksanaan penanggulangan kemiskinan yang menyeluruh dan terpadu untuk mempercepat perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat/desa tertinggal menuju kondisi ketangguhan, ketahanan dan kemandirian; 3. Program IDT menyediakan bantuan khusus berupa modal kerja bagi kelompok penduduk miskin disertai bimbingan dan pendampingan khusus.1 Berorientasi kepada kemandirian, pada tahun 1996 dikembangkan gerakan masyarakat dan pendamping untuk mandiri dari program penanggulangan kemiskinan.
Golongan
miskin
yang
mandiri
dirancang
dicirikan
oleh
kemampuannya dalam berusaha serta mencari tambahan modal sendiri. Pendamping
mandiri
mendapatkan
nafkah
dari
kegiatan
pendampingan
kelompok-kelompok golongan miskin, dapat beralih dari gugus kelompok yang satu ke gugus kelompok lainnya (Sajogyo 1997: 13, 134-136). Pertarungan gerakan kemiskinan terjadi antara proyek yang diarahkan pada kemandirian masyarakat, dan instruksi presiden untuk melembagakan gerakan tersebut dalam struktur pemerintahan. Menteri Negara Koordinator Bidang
Kesejahteraan
Rakyat
dan
Pengentasan
Kemiskinan
bertugas
mengkoordinasikan departemen, instansi dan kelompok masyarakat yang memiliki program berhubungan dengan pengentasan kemiskinan, menyusun panduan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan, mengkoordinasikan pelaksanaan program, dan melaporkan kepada presiden. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bertugas dalam perencanaan program dan penyediaan dana. Menteri Keuangan bertugas mengatur dana yang diperlukan. Menteri Dalam Negeri bertugas menyusun petunjuk teknis pelaksanaan di provinsi dan kabupaten/kota. Menteri lainnya dan pimpinan lembaga pemeirntah non-departemen wajib memberikan prioritas dan dukungan terhadap pelaksanaan program Gerakan Terpadu 1
Pengentasan
Kemiskinan.
Gubernur
bertugas
mengkoordinasi
Lampiran Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1993 tanggal 27 Desember 1993.
174
pelaksanaan program ini. Bupati/Walikotamadya memastikan prioritas program ini di daerah masing- masing. … dalam rangka mendorong, mengefektifkan dan mengoptimalkan upaya pengentasan kemiskinan secara terpadu dan terkoordinasi antar lintas sektor/instansi terkait dipandang perlu mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan sebagai bagian dari upaya nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.1 Sebenarnya sejak tahun 1994 muncul pula inpres yang melandasi praktik dari diskursus kemiskinan ras dan etnis. Melanjutkan pembicaraan Presiden Soeharto dengan konglomerat pada tahun 1991, dana karitatif dikumpulkan dan selanjutnya dikelola dalam Yayasan Damandiri. Berkaitan dengan itu, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengelola sensus keluarga sejahtera oleh petugas keluarga berencana (KB) di tingkat kecamatan dan desa (Achir 1994: 8-9). Dua kategori terbawah –keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I—digolongkan sebagai keluarga miskin. Melalui kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) Bantuan dana kepada keluarga miskin dilakukan dalam program tabungan kesejahteraan keluarga (Takesra) dan kredit usaha kesejahteraan keluarga (Kukesra). Namun, karena jumlah desa di Indonesia ada sekitar 65.000 desa, maka, jelas sekali bahwa program yang dirancang itu (Program IDT) tidak akan bisa membantu keluarga miskin di 43.000 desa lainnya. Sementara itu para konglomerat, yang juga prihatin atas makin melambatnya penurunan tingkat kemiskinan tersebut merasa terketuk hatinya untuk ikut bersama pemerintah memikirkan jalan keluar yang terbaik. Dalam kesempatan yang sama mulai diadakan pula program-program pemberdayaan keluarga dalam rangka pengembangan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, para pengusaha yang peduli mengusulkan kepada Presiden untuk ikut serta menangani keluarga dan penduduk di desa yang tidak tertinggal….. Kemudian disusun program atau gerakan keluarga sadar menabung agar supaya para keluarga yang sekarang masih miskin bisa belajar menabung. Dalam rancangan awal dana yang ditabung itu akan dijadikan modal bersama untuk dipergunakan secara 1
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1998 tentang Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan, bagian Menimbang huruf c.
175
bergulir oleh para penabungnya. Dengan memberi kesempatan para peserta KB yang telah bergabung dalam kelompok-kelompok untuk menabung akan diperoleh dana yang cukup untuk bisa dipergunakan secara bergulir. Namun karena keluarga-keluarga itu pada umumnya miskin, atas petunjuk Bapak Presiden modal awal tabungan itu disumbang oleh para pengusaha. Gerakan Keluarga Sadar Menabung itu kemudian dicanangkan oleh Bapak Presiden pada tanggal 2 Oktober 1995 dan tabungan para keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I itu kemudian terkenal sebagai Tabungan Keluarga Sejahtera atau Takesra.1 Diskursus ini juga mengembangkan program Komunitas Adat Terpencil (KAT), dengan kegiatan yang terpola berupa pendisiplinan suku bangsa yang terpencil dan hidup berpindah-pindah ke dalam permukiman yang mengumpul dan lebih dekat ke wilayah perkotaan (Syuroh 2011: 229-248). Dalam permukiman bentukan tersebut dibangun rumah-rumah kecil untuk keluarga batih. Penghuninya dilatih budidaya dan usaha kerajinan. Diskursus kemiskinan produksi juga menyelinap dengan program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT). Dengan jangkauan dan nilai program yang lebih terbatas –tidak mencakup seluruh desa tertinggal— program ini sekedar menjadi pendamping Program IDT. Hanya di kawasan Timur Indonesia infrastruktur muncul sebagai bahan diskusi (Sarman dan Sajogyo 2000: 179). Pandangan diskursus kemiskinan produksi sempat pula masuk ke dalam publikasi kelompok masyarakat IDT terbaik . Dalam dokumen tersebut (Mubyarto 1995: 5-6) tertulis taksonomi tubuh miskin atas penduduk miskin produktif dan penduduk miskin tidak produktif. Sulit untuk berkembang dalam diskursus potensi golongan miskin, pandangan ini tidak berkembang lebih lanjut. Tidak terwujud hubungan metodologis antara program IDT dari program lainnya –tanda berada pada diskursus yang berbeda. Data keluarga sejahtera tidak digunakan untuk menentukan anggota kelompok masyarakat dalam Program IDT. Pemilihan sendiri oleh warga desa dipandang lebih sesuai dengan diskursus potensi golongan miskin. Bantuan dana langsung –artinya tanpa pembentukan kelompok orang miskin serta pemberdayaan kelompok melalui pendamping— 1
Diunduh dari http://www.damandiri.or.id/index.php/main/sejarah pada tanggal 31 Desember 2011 pukul 6.27 WIB.
176
juga dinilai tidak sesuai dengan diskursus ini. Begitu pula menimpakan kesalahan pada komunitas adat terasing berkebalikan dari kepercayaan potensi pada diri golongan miskin. Infrastruktur tidak dipandang sebagai bagian diskursus kemiskinan, sehingga Program P3DT ditafsir sebagai pendamping Program IDT. Berkaitan dengan hal ini, Sajogyo (2006: 257-258) menyatakan pemikirannya sebagai berikut. Jika memakai ukuran orang Barat yang digambarkan dalam Keluarga Berencana, yang termasuk miskin adalah keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I. Jadi kurang lebih setengah penduduk Indonesia masih miskin. Krisis moneter tahun 1998 yang diikuti turunnya pemerintahan Presiden Soeharto mulai menguatkan diskursus kemiskinan produksi, sementara diskursus potensi orang miskin mulai tenggelam. Program IDT dihentikan bersamaan dengan pergantian Presiden Soeharto kemudian Presiden B.J. Habibie. Hanya beberapa bulan sejak krisis moneter, program penanggulangan kemiskinan yang bernilai besar muncul dalam bentuk pemberian bantuan tunai Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), dan pemberian beras Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin). Bantuan langsung dipandang lebih simpel tanpa perlu perencanaan partisipatif, serta tidak mempercayai potensi golongan miskin (Mubyarto 2000: 4). Sangat disayangkan bahwa suasana gotong royong mengatasi kemiskinan yang sudah berkembang baik ini menjadi buyar berantakan karena terjadinya krismon (krisis moneter) menjelang akhir 1997. Dalam suasana panik mengatasi dampak krismon yang cenderung dibesar-besarkan itu lahir berbagai program/proyek JPS yang juga kebablasan, yang tidak menganggap perlu "belajar" dari program-program PPK (Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan) yang sudah berjalan seperti program IDT, Takesra, Kukesra, P4K, Kube, dll. Program PDM-DKE yang menyatakan diri "berpola IDT" dalam praktik pelaksanaannya terang-terangan bertentangan dengan program IDT dalam hal tidak mempercayai warga desa untuk menentukan siapa yang berhak menerima bantuan dana JPS/PDM-DKE. Kini nasi telah menjadi bubur, "sesal dulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna"!
177
Untuk menguatkan arti krisis moneter, BPS telah memanipulasi metode pengukuran garis kemiskinan, dengan menambahkan komponen pengeluaran barang-barang baru. Metode baru ini telah menjaring tubuh-tubuh miskin lebih banyak, sehingga persentase tubuh miskin sebelum dan sesudah krisis moneter meningkat tajam. Melalui kalkulasi lama, kemiskinan pada tahun 1996 sebesar 11,34 persen atau 22,5 juta jiwa, dan kalkulasi baru sebesar 17,5 persen dan 34,5 juta jiwa. Sementara itu, melalui kalkulasi baru kemiskinan pada tahun 1998 sebesar 24,23 persen dan 49,5 juta jiwa. Jika kalkulasi lama 1996 dibandingkan dengan kalkulasi baru 1998, muncullah pandangan bahwa krisis moneter memiliki pengaruh mendalam bagi tubuh miskin di Indonesia, dengan menambah 27 juta tubuh miskin –sementara kalau konsisten menggunakan seluruh kalkulasi terakhir hanya meningkatkan 15 juta tubuh miskin. Pernyataan baru ini memunculkan basis legitimasi praktik program-program pengurangan kemiskinan. It is interesting to see how BPS has changed the measurement of poverty , to adjust the dynamic of the society and to attempt to improve the coverage of the poor. These changes are all made to make the statictics on poverty more relevant. Yet, those reading such statictics might not be aware of these changes and mightbe inclined to make wrong conclusion….. … In a certain BPS publication, it was stated that the calculation of the non-food poverty line had been changed in December 1998 to bring it in line with development in society with regard to non-food need. The definition of "needs" was expanded because BPS realized that the needs of society had expanded. Hence, BPS raised the poverty line. With these changes, it is no surprise that poverty figures also increased. Of the increase of 27 million, some of this represented a genuine increase and the rest was simply a result of adjustment of method of calculation (Ananta 2005: 99). Penguatan diskursus kemiskinan produksi kian berkembang setelah tahun 1998 dikembangkan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dengan donor World Bank untuk sekitar 5.000 kecamatan. Hingga kini program tersebut tidak berhenti, bahkan sejak tahun 2008 program ini berganti nama menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Perdesaan) yang mencakup seluruh kecamatan pedesaan di Indonesia.
178
Berbagai arena di dalam Program PPK atau PNPM Perdesaan menyerupai Program IDT, namun telah ditafsir ulang dalam diskursus kemiskinan produksi. Program tersebut menggabungkan komponen kredit kelompok dan infrastruktur. Telah lama donor internasional dikenal lebih mampu mengelola proyek infrastruktur dibandingkan pengembangan kelembagaan (Israel 1992: 2). Pembangunan komponen infrastruktur selesai setelah bangunan diserahkan kepada pemerintah desa, sedangkan pengembangan kredit kelompok seharusnya berkelanjutan hingga durasi proyek selesai. Dalam Program PPK komponen infrastruktur segera mendominasi nilai kegiatan dibandingkan kredit kelompok. Pendamping di tingkat kecamatan dan desa lebih menekankan komponen infrastruktur. Data Potensi Desa tahun 2011 menunjukkan infrastruktur transportasi yang dibangun dengan PNPM mencapai lokasi 46.746 desa, jauh melebihi kegiatan ekonomi yang hanya mencakup belasan ribu desa. Kekuasaan disalurkan melalui mekanisme standardisasi. Mulai Program PPK tahapan perencanaan partisipatif, hingga pelaksanaan, dan kontrol didisiplinkan dalam panduan-panduan teknis operasional. Kreativitas dari lapangan yang dipandang selaras dengan diskursus kemiskinan produksi dikembangkan sebagai disiplin baru pada pedoman tahun berikutnya. Pada tahun 1998 hanya ditemukan pedoman-pedoman kecil dan tipis (tidak lebih dari 30 halaman) untuk program dan kegiatan, jumlahnya tidak lebih dari 5 buku. Pada saat ini setiap desa mendapatkan 14 buku panduan, masing-masing di atas 50 halaman, yang diperbaiki setiap tahun. Pandangan efisiensi dipraktikkan dalam arena persaingan proposal antar kelompok dalam desa maupun antar desa dalam satu kecamatan. Penilaian proposal diunggulkan pada efisiensi perencanaan kegiatan. Dalam persaingan di tingkat kecamatan, proposal desa dengan persentase dana swadaya masyarakat tertinggi hampir pasti terpilih untuk menerima dana program. Swadaya masyarakat yang diidentifikasi sebagai kemandirian dalam diskursus potensi golongan miskin, kini ditafsir ulang sebagai modal ekonomi desa untuk mendapatkan proyek. Melalui persaingan, program ini ingin memilih desa yang lebih maju dan mampu menyediakan swadaya lebih tinggi, daripada desa yang lebih tertinggal dan hanya menyediakan swadaya rendah. Pada saat ini konsep
179
persaingan telah diubah menjadi prioritas, namun pelaksanaannya tetap sesuai teori pengambilan keputusan rasional, yaitu mengurutkan (memprioritaskan) kegiatan sesuai dengan urutan yang paling sesuai dari tujuan pembangunan desa. 4.2.2. Perencanaan Partisipatif di Kecamatan Perencanaan partisipatif di kecamatan bertujuan untuk menyusun prioritas kegiatan antar desa/kelurahan berdasarkan hasil perencanaan partisipatif di desa/kelurahan, sekaligus mensinergikannya dengan rencana pembangunan kabupaten/kota. Prioritas hasil perencanaan pembangunan partisipatif PNPM Mandiri dan musrenbang desa/kelurahan menjadi prioritas untuk dibiayai dengan sumber pendanaan kecamatan.1 Formalisasi kegiatan dengan menekankan proposal tertulis ke kecamatan hanya memperhitungkan nilai uang dari swadaya desa. Di dalam desa sendiri konsep kerukunan dari diskursus berbagi kelebihan dimanipulasi warga desa sendiri. Arena kerukunan berupa gotong royong digunakan untuk meningkatkan nilai swadaya desa. Untuk mengoptimalkan kerja warga desa dalam kegiatan program ini, mereka diupah dengan nilai sama atau sedikit di bawah upah buruh bangunan. Upah tersebut benar-benar diberikan kepada warga yang mengerjakan kegiatan, namun segera dikembalikan kepada pemerintah desa untuk dituliskan sebagai swadaya masyarakat. Persaingan untuk mendapatkan kredit kelompok juga telah menyisihkan tubuh-tubuh miskin. Untuk menunjukkan efisiensi penggunaan kredit –sehingga memenangkan persaingan perebutan kredit kelompok di kecamatan—maka warga desa menyeleksi sendiri tubuh-tubuh yang telah memiliki modal berupa penghasilan tetap. Buruh tani, petani kecil, dan golongan miskin lainnya tidak mendapatkan kesempatan mengusulkan kelompok masyarakat ini. Agar lebih memastikan efisiensi pengembalian kredit kelompok, dalam PNPM Perdesaan bahkan warga yang tidak miskin diperbolehkan mengisi maksimal 25 persen keanggotaan kelompok –padahal dalam diskursus potensi orang miskin kelompok masyarakat hanya beranggotakan golongan miskin tanpa memperhatikan modal awal mereka. 1
Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri tahun 2007/2008, halaman 23.
180
Dalam diskursus potensi golongan miskin, mekanisme tanggung renteng dikembangkan untuk menguatkan solidaritas antar anggota kelompok masyarakat. Mekanisme ini tetap diberlakukan, namun dimanipulasi sebagai pendisiplinan kelompok. Unit Pengelola Kegiatan (sebelum tahun 2008 disebut Unit Pengelola Keuangan, sama-sama disingkat UPK) terus menagih kelompok saat salah satu anggotanya menunggak angsuran, dan menyarankan anggota lainnya untuk menalangi sesuai perjanjian kredit. Diskursus kemiskinan ras dan etnis menyelinap melalui prasangka efisiensi pengembalian kredit kelompok yang rendah saat dikelola laki-laki, sebaliknya efisiensi pengembalian yang tinggi saat dikelola perempuan. Prasangka seksualitas ini diformalkan dalam pedoman operasional, dengan menghilangkan kelompok laki-laki, dan memunculkan hanya kelompok simpan pinjam oleh perempuan (SPP). Tugas pendamping ditekankan pada disiplin pemenuhan panduan. Kemunculan pendisiplinan ini telah menurunkan nilai kreativitas mantan pendamping IDT yang berasal dari LSM dan lulusan baru perguruan tinggi. Formalisasi organisasi melalui mekanisme pendisiplinan pelaporan pendampingan yang kian melimpah, juga menyulitkan pendamping asal LSM yang lebih terbiasa praktik daripada mendokumentasikannya. Disiplin baru bagi pendamping telah memunculkan peran konsultan pendamping yang bersumber dari perusahaanperusahaan swasta konsultansi pemberdayaan, serta menenggelamkan peran LSM. Panoptisme Orang Miskin Sedunia Sejak tahun 2000 dibentuk organisasi untuk menyatukan program dan kegiatan pengurangan kemiskinan. Dalam kaitan ini Foucault (2002d: 90-91). menggunakan konsep panoptisme untuk merujuk pengawasan aparat penjara kepada para tahanan. Organisasi menjadi panoptisme secara sosial, yang berupaya mengawasi setiap program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan. panoptisme berlangsung sejak dari World Bank kepada Indonesia, karena kinerja pengawasan dan pengorganisasian Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK) menjadi prasyarat pencairan utang luar negeri. Selanjutnya BKPK menjadi
181
panoptisme bagi kementerian dan lembaga di tingkat nasional, dengan cara mengumpulkan, mengkategorikan, dan mengusulkan pembuangan program dan kegiatan mereka. Selaku Kepala Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, HS Dillon menilai, tugas pihaknya sangat berat. Setidaknya memiliki 'point' menentukan bagi segera teralisirnya kucuran dana bantuan dari Bank Dunia. Yang bakal dilakukan pihaknya ke depan adalah satu proses yang betul-betul melibatkan semua pihak. "Artinya, melibatkan LSM, pengusaha, perguruan tinggi, pemerintah daerah termasuk legislatifnya," ujar anak seorang 'Kepala Suku' kelahiran Medan, Sumatera Utara tahun 1945, yang meraih gelar doktor dari Cornell University, Ithaca, New York, AS, pada tahun 1983. ….. Menurut pemilik moto "warisan" dari orang tuanya "Knowledge is power", dan mempraktekkannya kepada masyarakat kalangan bawah, bahwa melihat persoalan kemiskinan yang terjadi saat ini tidak dapat ditanggulangi sambil jalan. Departemen-departemen yang berkompeten akan hal kemiskinan tersebut menjalankan tugas pokok-tugas pokok. Sedangkan badan ini memberikan fokus supaya tugas berat ini dapat betul-betul dilakukan secara integrated. Pada saat yang sama, World Bank menegaskan keterkaitan antara tingkatan global dan nasional dalam pengurangan kemiskinan. Luasnya peran yang dirumuskan untuk donor internasional berkonsekuensi pada luasnya peluang kegiatan berbasis utang luar negeri (World Bank 2000: 12). The way to deal with this complexity (of poverty) is through empowerment and participation—local, national, and international. National governments should be fully accountable to their citizenry for the development path they pursue… And international institutions should listen to—and promote— the interests of poor people….. There is an important role in this for rich countries and international organizations. If a developing country has a coherent and effective homegrown program of poverty reduction, it should receive strong support—to bring health and education to its people, to remove want and vulnerability. At the same time global forces need to be harnessed for poor people and poor countries, so that they are not left behind by scientific and medical advances. Promoting global financial and environmental
182
stability—and lowering market barriers to the products and services of poor countries—should be a core part of the strategy. Setahun berikutnya dibentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) dengan peran serupa. Peran tambahannya ialah formalisasi panoptisme sebagai mekanisme kekuasaan yang strategis, dengan menciptakan dokumen perencanaan pengurangan kemiskinan untuk jangka menengah (5 tahun). Dokumen hendak dijadikan panduan bagi donor dari luar negeri untuk memberikan utang bagi pemerintah Indonesia. Dokumen serupa juga sudah dipersyaratkan bagi negaranegara miskin lainnya untuk mendapatkan utang dari donor internasional. Rezim kebenaran dikembangkan melalui sasaran mainstreaming (pengarusutamaan) kemiskinan, yaitu "terwujudnya cara pandang dan persepsi yang sama mengenai penduduk miskin sebagai kelompok sasaran dan pelaku penanggulangan kemiskinan".1 Mainstreaming (pengarusutamaan): upaya untuk meletakkan perspektif yang benar tentang konsistensi antara kebijakan dan program, antara program dan penganggaran, antara penentuan sasaran dan sistem penyampaiannya, dan pembagian peran antar pelaku pembangunan dalam penanggulangan kemiskinan.2 Diskursus
kemiskinan
produksi
meninggalkan
jejaknya
dengan
memasukkan pemikiran efisiensi dalam dokumen Interim Poverty Reduction Strategic
Paper
(I-PRSP)
pada
tahun
2003.
Dua
pendekatan
utama
penanggulangan kemiskinan ialah meningkatkan pendapatan dan mengurangi pengeluaran. Adapun taksonomi kebijakan diarahkan kepada orang miskin produktif, dan orang miskin yang tidak mampu lagi berproduksi. Kebijakan untuk orang miskin produktif meliputi penciptaan kesempatan kerja, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan kapasitas. Kebijakan untuk orang miskin yang tidak lagi produktif ialah proteksi sosial. Sebagaimana disebutkan dalam penanggulangan kemiskinan di muka, kemiskinan didekati dari dua sisi, yaitu: 1 2
langkah-langkah penanggulangan
Dokumen Interim Strategi Penanggulangan Kemiskinan, halaman 64. Dokumen Interim Strategi Penanggulangan Kemiskinan, halaman 68.
183
(a) Meningkatkan pendapatan melalui peningkatan produktivitas, di mana masyarakat miskin memiliki kemampuan pengelolaan, memperoleh peluang dan perlindungan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, sosial budaya, maupun politik; (b) Mengurangi pengeluaran melalui pengurangan beban kebutuhan dasar seperti akses ke pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah dan mendukung kegiatan sosial ekonomi. Ada baiknya membandingkan dua pendekatan dalam SNPK dengan dua pendekatan yang sejak lama dimunculkan World Bank (1990: 138). Pendekatan pertama bersifat peningkatan efisiensi bagi orang miskin yang masih bisa bekerja, sedangkan strategi berikutnya diarahkan untuk mengurangi pengeluaran orang miskin. This Report has emphasized a dual approach to reducing poverty. The elements of this twofold strategy are: • Efficient labor-intensive growth based on appropriate market incentives, physical infrastructure, institutions, and technological innovation • Adequate provision of social services, including primary education, basic health care, and family planning services, Dokumen I-PRSP menjadi kerangka dalam mengembangkan dokumen PRSP atau SNPK (Poverty Reduction Strategic Paper atau Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan). Pendekatan penanggulangan kemiskinan yang dipilih masih sama dengan dokumen I-PRSP. Pandangan diskursus potensi orang miskin tentang pemberdayaan masyarakat untuk kemandirian telah diambil dan dimanipulasi dalam diskursus kemiskinan produksi untuk efisiensi pembangunan, sebagaimana manipulasi tafsir dari arena yang sama antara Program IDT ke dalam Program PPK. Usulan dari diskursus kemiskinan sosialis juga diterima sekaligus dimanipulasi. Pemikiran baru tentang hak kelas miskin sebagai basis pengambilalihan alat produksi dari kelas atas, dimanipulasi menjadi hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar. Penanggulangan kemiskinan tidak dapat dilakukan secara singkat dan sekaligus karena kompleksitas permasalahan yang
184
dihadapi masyarakat miskin dan keterbatasan sumberdaya untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak dasar. Oleh sebab itu, kebijakan penanggulangan kemiskinan dipusatkan pada prioritas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, tanah, lingkungan hidup dan sumberdaya alam, rasa aman, dan berpartisipasi dengan memperhitungkan kemajuan secara bertahap. Usulan program reforma agraria juga diterima, namun sekaligus dinormalkan sebagai proyek sertifikasi lahan. Kegunaan lahan besertifikat ialah menjadi agunan untuk meminjam modal dari perbankan. Ekonomisasi modal orang miskin membuka pertautannya dengan ekonomi nasional hingga global (Soto 2000: 209-292). Tanpa pengorganisasian orang miskin –tidak ada program pengorganisasian tersebut—pertautan ekonomi dapat menjadi arena baru penghisapan surplus modal kepada kelas atas. Target: meningkatnya status kepemilikan tanah masyarakat miskin. Indikator: persentase rumahtangga yang memiliki tanah besertifikat. Kebijakan: meningkatnya kepastian hukum hak atas tanah bagi masyarakat miskin tanpa diskriminasi gender. Langkah kebijakan: sertifikasi massal dan murah bagi masyarakat miskin.1 ….. Pada tataran implementasi, UUPA sebagai dasar pelaksanaan politik pertanahan dan penegakan hukum masih sangat lemah. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai masalah pertanahan. Kebijakan pertanahan hanya dilaksanakan melalui konsolidasi tanah dan reformasi agraria berupa penyediaan tanah dan sertifikasi. Di satu sisi, kebijakan tersebut mendukung penyediaan tanah untuk investasi baru, dan meningkatnya jaminan tanah bagi kredit perbankan. Di sisi lain, kebijakan tersebut mendorong percepatan transaksi tanah yang berdampak akumulasi kepemilikan tanah, konversi lahan pertanian secara massal dan meningkatnya jumlah petani gurem dan tunakisma (buruh tani).2 Dokumen SNPK telah melebarkan subyek orang miskin. Semula subyek tersebut individu, sebagaimaan terekam pada penghitungan jumlah orang miskin menurut garis kemiskinan Sajogyo maupun garis kemiskinan BPS. Dalam 1 2
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, 2004, halaman 141 Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, 2004, halaman 64
185
dokumen SNPK, subyek miskin tidak hanya individu, melainkan mencakup keluarga atau rumahtangga, kelompok, serta pengusaha. Pelebaran subyek kemiskinan
menjadi
anomali
metode,
yang
menyulitkan
perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi program pengurangan kemiskinan. Gambaran umum kemiskinan dalam SNPK dideskripsikan melalui data individu miskin, sementara program-program dikembangkan menurut basis data yang berbeda. Upaya penormalan dilakukan dengan membagi data kesenjangan pendidikan, kesehatan dan ekonomi dengan kelompok berpendapatan rendah. Pengelompokan program ke dalam SNPK lebih tertuju pada rencana program pemerintah untuk didanai anggaran dalam negeri dan utang luar negeri. Sejak
tahun
2005
panoptisme
telah
menjangkau
provinsi
dan
kabupaten/kota. Organisasi pengelola dan pengawas program dan kegiatan pengurangan kemiskinan di tingkat nasional kini diganti menjadi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Di tingkat provinsi dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Provinsi (TKPKD Provinsi), dan di tingkat kabupaten/kota didirikan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten/Kota (TKPKD Kabupaten/Kota). Dokumen SNPK menjadi pegangan untuk menyusun dokumen serupa di daerah, berupa Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Provinsi (SPKD Provinsi) dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten/Kota (SPKD Kabupaten/Kota). Pada tingkat program dan kegiatan akhirnya sejak tahun 2008 disatukan dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Program ini memasuki seluruh kecamatan di Indonesia. Program terbagi-bagi menurut kendali donor internasional. Setelah World Bank mendapatkan lokasi-lokasi untuk PNPM Perdesaan, PNPM Perkotaan, dan PNPM Daerah Tertinggal, selanjutnya Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menetapkan wilayah di luar kendali World Bank untuk melancarkan PNPM Pembangunan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW). Demikian pula Asian Development Bank menetapkan wilayah PNPM Infrastruktur Perdesaan (IP) di luar kendali donor lain. Pada saat ini seluruh kecamatan di Indonesia telah terbagi-bagi menurut donor pengelola PNPM.
186
Seluruh PNPM menggunakan pendekatan pemberdayaan usulan World Bank dalam community-driven development (CDD). Diskursus lain yang turut serta dalam PNPM ialah Program Keluarga Harapan yang berasal dari diskursus kemiskinan ras dan etnis. Dalam program ini tubuh-tubuh miskin dicari di antara warga desa dan kota yang memiliki masalah sosial. Pendamping mereka ialah profesional lulusan sekolah kesejahteraan sosial. Hanya saja arena perencanaan dan pelaksanaan program sepenuhnya sama dengan CDD, berupa penggalian gagasan penyandang masalah sosial, dan pelaksanaan program. Berbeda dari exit strategy Program IDT dalam diskursus potensi orang miskin yang diarahkan pada gerakan masyarakat mandiri, seluruh program dalam PNPM diarahkan untuk dikelola pemerintah. Hasil akhir program diidentifikasi sebagai perencanaan partisipatif dari rakyat. Dokumen perencanaan mereka dimasukkan ke dalam perencanaan birokrasi reguler melalui musyawarah perencanaan
pembangunan
(musrenbang)
dari
tingkat
desa,
kecamatan,
kabupaten/kota, hingga nasional. Lampiran 1. Tahapan Strategi Operasional PNPM Mandiri Strategi operasional PNPM Mandiri terdiri dari tahapan sebagai berikut: 1. PEMBELAJARAN Tahap pembelajaran merupakan tahap pengenalan bagi masyarakat, pemerintah dan pelaku pembangunan lainnya….. Hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai kesuksesan pada tahap ini adalah:….. f. Proses perencanaan partisipatif belum terintegrasi dengan sistem perencanaan pembangunan reguler….. 2. KEMANDIRIAN Tahap kemandirian adalah proses pendalaman atau intensifikasi dari tahap internalisasi…. Hal yang perlu diperhatikan dalam tahapan ini adalah:….. e. Proses perencanaan partisipatif telah terintegrasi ke dalam sistem perencanaan pembangunan regular….. 3. KEBERLANJUTAN Tahap keberlanjutan dimulai dengan proses penyiapan masyarakat agar mampu melanjutkan pengelolaan program pembangunan secara mandiri…..
187
c. Kapasitas pemerintahan daerah meningkat sehingga lebih tanggap dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, antara lain dengan menyediakan dana dan pendampingan.1 Sejak tahun 2010, di samping TKPK terdapat pula Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).2 Tim diketuai wakil presiden, dengan wakil ketua ialah menteri koordinator bidang kesejahteraan rakyat dan perekonomian. Anggotanya terdiri atas 9 menteri. Tidak ada perwakilan golongan miskin.Tim ini didukung oleh kelompok kerja dan tim pembiayaan. Tim
Nasional
–demikian
anggota
tim
ini
memperkenalkan
organisasinya—merancang perencanaan strategis penanggulangan kemiskinan.3 Taksonomi program-program penanggulangan kemiskinan terbagi atas klaster I untuk kelompok program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga (contohnya PNPM Harapan), klaster II untuk kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat (contohnya PNPM Perdesaan), klaster III untuk kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil (contohnya Kredit Usaha Rakyat), dan klaster IV untuk kelompok program pengurangan pengeluaran (contohnya penyediaan rumah murah). Tim Nasional juga melatih anggota TKPKD untuk menganalisis kemiskinan di daerahnya, menyusun program penanggulangan kemiskinan, serta menyusun
anggaran
untuk
penanggulangan
kemiskinan.
Ada
baiknya
membandingkan klaster penanggulangan kemiskinan nomor 1 dan 3 dengan usulan World Bank (2000: 6-7) nomor 1 di bawah ini, serta klaster 2 dengan usulan nomor 2. Usulan nomor 3 mungkin berkembang menjadi klaster tersendiri, berkaitan dengan perubahan iklim, konflik, dan resiko pembangunan lainnya. It proposes a strategy for attacking poverty in three ways: promoting opportunity, facilitating empowerment, and enhancing security. • Promoting opportunity. Poor people consistently emphasize the centrality of material opportunities. This means 1
Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri tahun 2007/2008, halaman 43-45. 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 15 tahun 2010 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan, pasal 10-14. 3 Panduan Penanggulangan Kemiskinan, Buku Pegangan Resmi TKPK Daerah, edisi Mei 2011, halaman 72.
188
•
•
jobs, credit, roads, electricity, markets for their produce, and the schools, water, sanitation, and health services that underpin the health and skills essential for work….. Facilitating empowerment. The choice and implementation of public actions that are responsive to the needs of poor people depend on the interaction of political, social, and other institutional processes….. Enhancing security. Reducing vulnerability—to economic shocks, natural disasters, ill health, disability, and personal violence—is an intrinsic part of enhancing well-being and encourages investment in human capital and in higher-risk, higher-return activities….. (Bank Dunia 2000: 6-7)
Hingga saat ini diskursus kemiskinan produksi mengembangkan pandangan bahwa persentase kemiskinan cenderung menurun dalam satu dekade. Penguatan pandangan tersebut sekaligus menghambat kemunculan informasi peningkatan ketimpangan sosial, sebagaimana terekam pada peningkatan indeks Gini. Meskipun tingkat kemiskinan menurun, namun ketimpangan sosial terus meningkat (Gambar 18). Data tersebut mengindikasikan persoalan kemiskinan ditangani secara terpisah dari keadilan. Persoalan kemiskinan semakin terakumulasi, karena di samping kemiskinan absolut masih besar secara statistika di atas, ternyata kemiskinan relatif di antara warga negara bahkan menunjukkan peningkatan secara terus menerus.
Gambar 18. Hubungan Terbalik antara Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial
189
Dalam rekomendasinya untuk Indonesia, disarankan ketimpangan sosial tidak dipandang sebagai krisis keadilan, sebaliknya dipandang sebagai pencetus perbedaan harga barang untuk memperlancar perdagangan barang dan jasa sehingga pertumbuhan ekonomi terwujud (World Bank 2009: 230-281). Permisivitas ketimpangan sosial dilandasi pandangan kurva U terbalik dari Kuznets, bahwa selama mencapai puncak kemajuan konsekuensinya ketimpangan sosial meningkat, dan setelah sampai di puncak baru kemudian menurun. Argumen tersebut kontradiktif dengan sejarah ketimpangan sosial Indonesia sejak 1880 yang menunjukkan kurva Kuznets telah tercapai pada dekade 1940-an (Agusta, 2008: 27-38), sehingga seharusnya hingga kini ketimpangan sosial tidak meningkat kembali (Gambar 19).
Keterangan: Penghitungan berbasis pengeluaran rumahtangga Gambar 19. Kejadian Sejarah, Gini Pedesaan, Perkotaan, dan Indonesia 18802009 Dalam perkembangan terakhir, pada tahun 2011 diskursus kemiskinan ras dan
etnis
menggunakan
kuasa
undang-undang
untuk
mendisiplinkan
penanggulangan kemiskinan di masa depan. Berisikan prosedur utama, UU 13/2011 tentang penanganan fakir miskin mengharuskan beragam kementerian
190
dan lembaga pemerintah untuk menyelaraskan kebijakan dengan Kementerian Sosial yang diresmikan sebagai agensi pemerintah. Makna kemiskinan dibangun di atas pembedaan yang-normal dan yangabnormal. Subyek yang-abnormal juga meliputi orang miskin (gelandangan dan pengemis). Yang-abnormal dipahami secara khas sebagai disfungsi.1 Konsep ini menubuh pada kelompok devian atau penyimpang dan menjadi penyakit sosial. Seseorang yang mengalami disfungsi sosial antara lain penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, tuna susila, gelandangan, pengemis, eks penderita penyakit kronis, eks narapidana, eks pecandu narkotika, pengguna psikotropika sindroma ketergantungan, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), korban tindak kekerasan, korban bencana, korban perdagangan orang, anak terlantar, dan anak dengan kebutuhan khusus.2 Obat bagi tubuh miskin yang sakit secara sosial ialah penormalan yang disebut pemfungsian sosial. Klinik bagi tubuh miskin yang sakit sosial ialah panti asuhan, rumah singgah, dan sebagainya. Bagian Ketiga Sarana dan Prasarana Pasal 35 (1) Sarana dan prasarana penyelenggaraan penanganan fakir miskin meliputi: a. panti sosial; b. pusat rehabilitasi sosial; c. pusat pendidikan dan pelatihan; d. pusatkesejahteraansosial; e. rumah singgah; dan f. rumah perlindungan sosial.3 Selain itu, perlu dokter berijazah untuk menentukan siapa yang sakit dan siapa yang sehat, dan yang paling terlegitimasi ialah pekerja sosial profesional. Nilai profesional tertinggi diraih sebagai lulusan pascasarjana kesejahteraan sosial, yang memiliki profesi pekerjaan sosial klinis (penawar penyakit abnormal 1
Undang-undang nomor 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial. Undang-undang ini mendasari Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 15 tahun 2010 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan. Kedua undang-undang ini memiliki berbagai definisi dan konsep kemiskinan yang sama. 2 Undang-undang nomor 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, penjelasan pasal 7 ayat 1. 3 Undang-undang nomor 13 tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin pasal 35
191
individu) dan pekerjaan sosial komunitas (penawar abnormalitas masyarakat). Posisi profesional ini menjadi lebih tinggi daripada relawan sosial, penyuluh sosial, dan tenaga pendamping yang selama ini hanya memperoleh sertifikat pelatihan, bukan ijazah magister atau doktor profesional pekerjaan sosial. Pasal 34 (1) Tenaga penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a dan huruf b minimal memiliki kualifikasi: a. pendidikan di bidang kesejahteraan sosial; b. pelatihan dan keterampilan pelayanan sosial; dan/atau c. pengalaman melaksanakan pelayanan sosial.1 Ikhtisar Bab ini mengetengahkan interaksi kekuasaan antar diskursus dan praktik kemiskinan, yang sekaligus berujud hubungan kekuasaan. Kekuasaan beroperasi dalam interaksi-interaksi untuk mendominasi pihak lain, sehingga dikemukakan konsep perang diskursus dan praktik. Tataran yang dianalisis meliputi perang antar diskursus, perang antar habitus atau pemikiran, dan perang antar arena atau struktur sosial. Dalam semua tataran tersebut berbagai benda disusun kembali untuk diikutsertakan dalam penguatan diskursus dan penguatan praktik. Pada tataran perang diskursus terlihat manipulasi yang dilakukan terhadap pelapisan sosial di pedesaan atas golongan kekurangan dan cukupan. Pemunculan konsep miskin, marhaen, proletar, petani gurem, nelayan kecil, pedagang kecil, dan sebagainya, menunjukkan kehendak untuk menemukan golongan kekurangan. Tidak hanya itu, kuasa pengetahuan juga diwujudkan dalam upaya mengukur jumlah golongan kekurangan berikut atribut harta benda penting. Selanjutnya kekuasaan dioperasikan dalam pemunculan beragam akses guna mengalirkan program penanggulangan kemiskinan kepada tubuh-tubuh kekurangan. Pada tataran perang habitus terdapat perebutan pemikiran-pemikiran tentang dikotomi hierarkis masyarakat desa berikut identitas tiap posisi, serta pemikiran-pemikiran tentang dikotomi cakupan penanggulangan kemiskinan. Pelabelan sifat dan harta benda posisi sosial terbawah menjadi wahana untuk 1
Undang-undang nomor 13 tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin pasal 34.
192
menyusun komponen dan atuan-aturan dalam program penanggulangan kemiskinan. Perang cakupan penanggulangan kemiskinan meliputi perebutan lingkup ketetanggaan, kabupaten, provinsi, nasional, hingga internasional. Pada tataran perang arena, diciptakan syarat-syarat untuk memasuki kelompok atau organisasi proyek penanggulangan kemiskinan. Ada pula upaya sebaliknya, yaitu mengadaptasi syarat organisasi petani agar lebih sesuai dengan habitus marhaen atau petani gurem. Di dalam kelompok dan organisasi tersebut kekuasaan beroperasi melalui pendisiplinan anggota. Di luar kelompok miskin, pemerintah dan donor internasional mengembangkan panoptisme dalam bentuk organisasi pengelola kemiskinan yang terstruktur dari tingkat global (didisplinkan oleh mekanisme utang luar negeri), nasional, provinsi dan kabupaten (dengan mekanisme pendisiplinan pelaporan dan pendanaan).