BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya di Indonesia selain merupakan kekayaan bangsa yang membanggakan juga berdampak negatif bagi kehidupan nasional, antara lain adalah berkembangnya konflik horisontal.1 Dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, konflik dan kekerasan yang menimpa kelompok minoritas semakin sering muncul di media massa nasional. Beberapa konflik yang terjadi bahkan menyebabkan pengungsian internal berlarut-larut, seperti yang menimpa warga Syiah Sampang dan JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia) Lombok. Keduanya merupakan kelompok minoritas yang menjadi korban dari konflik sektarian. Perubahan hidup warga Syiah Sampang berawal pada Agustus 2012. Pada waktu itu, media massa nasional diwarnai dengan pemberitaan peristiwa penyerangan di Sampang, Madura. Penyerangan dilakukan oleh kelompok Sunni terhadap warga Syiah yang menetap di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben. Dalam penyerangan tersebut, seluruh rumah warga Syiah dibakar massa. Sejak itu, pemerintah setempat memutuskan untuk mengungsikan warga Syiah ke GOR (Gedung Olahraga) Kabupaten Sampang. Pengungsi internal Syiah Sampang yang
1
Dijelaskan dalam bagian Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, hal 1. Dokumen selengkapnya dapat diunduh di
.
1
berjumlah sekitar 250 jiwa 2 tersebut menetap di GOR Kabupaten Sampang selama hampir satu tahun, sebelum akhirnya direlokasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur ke rumah susun Puspa Agro, Sidoarjo pada Juni 2013. Dibanding GOR Kabupaten Sampang, rumah susun Puspa Agro lebih layak dihuni. Selain menyediakan tempat tinggal yang lebih layak, Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga menjamin kebutuhan pengungsi internal Syiah Sampang, seperti makan, minum, pakaian, hingga membebaskan mereka dari segala macam biaya, baik air, listrik, maupun sewa kamar. Setibanya di Sidoarjo, para pengungsi internal juga mendapatkan perawatan kesehatan. Dalam menjalankan perannya memberikan kebutuhan mendesak terhadap pengungsi internal Syiah Sampang, pemerintah bekerjasama dengan organisasi nonpemerintah seperti MDMC dan Yakkum Emergency Unit. Keduanya merupakan organisasi non-profit yang diberi izin oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur menetap di rumah susun Puspa Agro guna membantu memberi pendampingan secara intensif kepada pengungsi internal Syiah Sampang. Pengusiran secara paksa terhadap kelompok agama tertentu yang berujung pada pengungsian internal di Indonesia juga tengah dialami oleh warga JAI di Lombok, yang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya sejak awal tahun 2006. Hingga saat ini, terdapat lebih dari 30 keluarga JAI yang hidup di pengungsian Asrama Transito, Mataram. 3 Sejak tahun 2006, mereka harus meninggalkan kampung halamannya di Komplek Bumi Asri, Dusun Ketapang, Lombok Barat
2
F Arfani (2013) “Gubernur Jatim Jamin Aset Warga Syiah Aman”, antaranews, 28 Juni 2013 <www.antaranews.com>. 3 S Purnomo (2013) “Nasib Ahmadiyah, Terlantar di Negeri Sendiri”, BBC Indonesia, 3 Agustus 2013 <www.bbc.co.uk>.
2
karena mengalami intimidasi dan kekerasan langsung yang dilatarbelakangi oleh penolakan masyarakat terhadap keberadaan kelompok JAI di wilayah mereka. Seperti yang dialami warga Syiah Sampang, intimidasi dan kekerasan langsung yang menimpa warga JAI di Lombok bukan permasalahan baru. Sebelum penyerangan dan pengusiran oleh massa pada tahun 2006, warga JAI yang menetap di wilayah Dusun Ketapang telah mendapat berbagai ancaman dari masyarakat. Namun, konflik mengalami eskalasi pada tahun 2006, ketika pada bulan Pebruari sekelompok massa yang berjumlah sekitar 4.000 orang merusak dan membakar rumah anggota JAI yang terletak di Komplek Bumi Asri, Dusun Ketapang. 4 Akibatnya, pemerintah setempat memutuskan untuk mengungsikan warga JAI ke Asrama Transito, dan sejak itu mereka menjadi pengungsi internal. Selama menetap di Asrama Transito, pengungsi internal JAI hidup dalam ketidakpastian. Asrama Transito yang terletak di pusat kota Mataram tersebut tidak memenuhi standar tempat tinggal karena merupakan bangunan tua yang kumuh. Di Asrama Transito, pengungsi internal JAI Lombok harus bertahan dengan fasilitas seadanya. Jumlah ruangan kamar yang terbatas di Asrama Transito memaksa pengungsi internal JAI Lombok untuk memanfaatkan dua ruang aula sebagai tempat tidur.5 Pada awal masa pengungsian, pengungsi internal JAI Lombok hidup berhimpitan dalam ruangan yang hanya dibatasi oleh kardus dan kain-kain bekas sebagai tanda pemisah antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Di petak yang serba terbatas tersebut warga berbagi tidur, memasak, dan melakukan 4 5
Ibid. Ibid.
3
berbagai aktivitas keluarga lainnya. Berbeda dengan pengungsi internal Syiah Sampang di Puspa Agro yang hingga saat ini kebutuhan sehari-harinya masih ditanggung oleh pemerintah setempat, pengungsi JAI di Asrama Transito harus mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Pemerintah daerah sempat membantu memenuhi kebutuhan sembako pengungsi internal JAI Lombok. Namun, sejak tahun 2007, tidak lagi ada bantuan yang mengalir.6 Permasalahan pengungsian internal menjadi salah satu permasalahan yang menjadi perhatian komunitas internasional saat ini. UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), agen PBB untuk urusan pengungsi, menyelenggarakan pertemuan Komite Eksekutif ke-64 di Jenewa pada 30 September – 4 Oktober 2013. Selain membahas program dan anggaran dana UNHCR, pertemuan rutin setiap tahun tersebut juga mendiskusikan isu-isu terkait pengungsi yang berkembang dalam dunia internasional dan upaya yang dapat dilakukan UNHCR untuk mengatasinya. Berdasar data UNHCR, sekitar dua pertiga pengungsi di dunia adalah pengungsi internal, yakni mencapai 28,8 juta jiwa.7 Seperti halnya pengungsi pada umumnya, pengungsian internal seringkali dilatarbelakangi oleh konflik atau kekerasan dalam suatu negara. Pertemuan Komite Eksekutif UNHCR ke-64 menegaskan akan pentingnya peranan komunitas internasional dalam memperkuat
6
MA Amrullah, dkk (2010) “Dampak Sosial Kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Lombok dan Upaya Resolusi Konflik”, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 361-386 <www.penelitiankeislaman-iainmataram.com>. 7 UNHCR (2013) “Internally Displaced People Figures” <www.unhcr.org>.
4
perlindungan terhadap para pengungsi, serta memastikan pengungsi mendapat hak-haknya tanpa diskriminasi, seperti pendampingan dan perlindungan.8 Permasalahan terkait pengungsi semakin kompleks ketika sekitar 6,5 juta pengungsi internal yang ada di dunia masih harus menetap di tempat pengungsiannya selama lima tahun atau lebih.9 Fenomena pengungsian berlarutlarut ditemukan di 25 negara di mana UNHCR beroperasi, dan jumlahnya terus mengalami peningkatan.10 Hal ini mendorong peneliti untuk mengamati fenomena tersebut di negara peneliti sendiri, yakni Indonesia. Indonesia merupakan salah satu contoh negara rawan konflik. Mengangkat isu domestik seperti permasalahan pengungsi internal berlarut-larut di Indonesia dari kacamata HI menarik dilakukan sebagai bukti bahwa HI merupakan studi yang dinamis karena sifatnya yang interdisipliner atau terbuka terhadap studi-studi lain. Beberapa kajian HI dapat digunakan untuk menjelaskan penyebab pengungsian internal, dampak dari pengungsian internal, serta respon Negara terhadap pengungsian internal. Baik warga Syiah Sampang maupun JAI Lombok merupakan korban konflik sektarian di Indonesia yang hingga saat ini masih harus menetap di pengungsian dan belum memiliki kejelasan masa depan. Jika warga Syiah Sampang terpaksa meninggalkan kampung halamannya sejak 2012, warga JAI Lombok telah menjadi pengungsi sejak 2006. Penelitian yang mengangkat kasus pengungsi internal Syiah Sampang dan JAI Lombok selaku korban konflik
8
J Redden (2013) “UNHCR Calls for Strengthening Protection of Refugees, IDPs, Stateless” <www.unhcr.org>. 9 UNHCR (2013b) “64th Session of the Executive Committee of the High Commissioner’s Programme, Agenda point 5(a), Statement by Volker Turk Director of International Protection” <www.unhcr.org>, hal 8. 10 Ibid.
5
sektarian dengan demikian penting dilakukan karena berkaitan dengan salah satu permasalahan kemanusiaan yang masih berlangsung di Indonesia dan belum ditemukan solusinya. Melalui tulisan ini, akan diuraikan secara rinci permasalahan yang ada, sehingga dapat diketahui dengan jelas apa yang menjadi inti permasalahannya. Dengan demikian, diharapkan ditemukan solusi untuk kasus pengungsian berkelanjutan ini.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dirumuskan pertanyaan penelitian: Mengapa pengungsi internal Syiah Sampang dan JAI Lombok hingga saat ini masih harus menetap di tempat pengungsian dan belum dapat kembali ke kampung halamannya?
1.3 Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mengharuskan sekelompok orang mengungsi di dalam negaranya sendiri. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penyebab pengungsi internal Syiah Sampang dan JAI Lombok hingga saat ini masih harus menetap di pengungsian dan belum juga kembali ke kampung halamannya. Penelitian ini berfokus pada dua aspek utama, yakni mencari possible causes dari pengungsian internal berlarut-larut yang menimpa jemaat Syiah Sampang dan JAI Lombok, guna mencari possible solutions.
6
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian tentang kasus Syiah Sampang ataupun JAI Lombok tidak sulit didapatkan. Telah banyak peneliti yang membahas dua kasus tersebut, meski memang dalam penelitian yang terpisah. Muhammad Afdillah, misalnya, dalam tesisnya yang berjudul “Dari Masjid ke Panggung Politik; Studi Kasus Peran Pemuka Agama dan Politisi dalam Konflik Kekerasan Agama antara Komunitas Sunni dan Syiah di Sampang Jawa Timur” membahas secara rinci tentang konflik Sunni dan Syiah di Sampang. Sementara itu, kasus JAI Lombok dapat dilihat salah satunya dalam tesis Syaiful Anam yang berjudul “Reproduksi Kekerasan Kolektif: Studi Kasus Konflik Ahmadiyah di Lombok-NTB Tahun 1998-2006”. Afdillah dalam penelitiannya berupaya menelaah konflik antara Sunni dan Syiah Sampang, yang mengalami eskalasi sejak tahun 2006 dan berujung pada peristiwa penyerangan, pembakaran rumah, dan pengusiran terhadap Syiah Sampang pada pertengahan tahun 2012.11 Fokus penelitian Afdillah secara garis besar adalah pada konflik yang berkembang di Sampang. Tujuan utama penelitian Afdillah adalah membuktikan apakah konflik keluarga, perebutan pengaruh keagamaan di masyarakat, permasalahan ekonomi, faktor politik, serta permasalahan penistaan agama merupakan faktor-faktor yang mendorong kekerasan terhadap warga Syiah Sampang.12 Kelima faktor tersebut diambil dari berbagai hasil penelitian dan opini di media massa, yang kemudian berusaha dibuktikan kebenarannya oleh Afdillah.
11
M Afdillah (2013) Dari Masjid ke Panggung Politik; Studi Kasus Peran Pemuka Agama dan Politisi dalam Konflik Kekerasan Agama antara Komunitas Sunni dan Syiah di Sampang Jawa Timur. Tesis Mahasiswa Strata-2 Universitas Gadjah Mada. 12 Ibid, hal 137.
7
Kerangka pemikiran Afdillah berangkat dari konsep konflik, yang kemudian mengerucut ke konsep kekerasan agama atau kekerasan atas nama agama, sebelum akhirnya masuk pada konsep eskalasi kekerasan atas nama agama. Mengacu pada definisi Wallensteen, konflik merupakan situasi dimana dua kelompok atau lebih berupaya mendapatkan sesuatu yang sama langka di waktu yang bersamaan.13 Dalam hubungan bermasyarakat, konflik merupakan hal yang alami. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Johan Galtung, konflik dapat bereskalasi menjadi kekerasan jika tidak dikelola dengan baik. Kekerasan yang berkembang di masyarakat beraneka ragam, salah satunya adalah kekerasan atas nama agama, yaitu kekerasan akibat perbedaan dan perselisihan interpretasi ajaran agama dan kepemimpinan dalam satu agama tertentu.14 Penelitian Afdillah menggunakan metode penelitian process-tracing, dimana peneliti dituntut untuk melacak akar permasalahan dengan melihat hubungan antar variabel. Dengan menggunakan metode penelitian processtracing,
maka
peneliti
dapat
merumuskan
penyebab
terjadinya
suatu
permasalahan dengan melihat hubungan yang saling berkaitan antar peristiwaperistiwa yang terjadi dalam kasus tersebut; selain juga melihat hubungan antar aktor, agen, maupun struktur. Guna memenuhi kebutuhan data, Afdillah menggalinya dari empat sumber, yakni media massa, observasi lapangan, wawancara, dan dokumentasi. Berdasar kerangka pemikiran dan metode penelitian process-tracing, Afdillah menyimpulkan bahwa kelima faktor yang telah disebutkan di atas 13 14
Ibid, hal 17. Ibid, hal 34.
8
mempengaruhi konflik antara Sunni dan Syiah di Sampang, meski masing-masing memiliki tingkat pengaruh yang berbeda-beda. Faktor politik dan penistaan agama menjadi faktor yang dinilai berpengaruh besar terhadap eskalasi konflik di Sampang. Kebijakan pemerintah yang seharusnya bersifat netral, seringkali terjebak dalam praktik dukung-mendukung kelompok mayoritas, yang percaya ajaran Syiah sebagai salah satu ajaran sesat. Syaiful Anam, yang mengangkat topik kasus JAI Lombok, juga memfokuskan pembahasannya pada konflik yang berkembang di sana. Dalam penelitiannya, Anam berupaya menjawab dua pertanyaan mendasar, yakni apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan kolektif yang menimpa warga JAI di Lombok pada kurun waktu 1998 hingga 2006, serta bagaimana pola kekerasan yang terjadi pada JAI di Lombok.15 Berdasarkan data yang terkumpul melalui studi pustaka dan telaah lapangan, Anam menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya reproduksi kekerasan kolektif terhadap JAI di Lombok antara lain adalah struktur sosial masyarakat Sasak Lombok yang sulit menerima perubahan, peran sebagian Tuan Guru (atau ulama) di Lombok yang mereproduksi ideologi kekerasan, serta kebijakan dan peraturan pemerintah daerah yang dijadikan alat legitimasi kelompok yang mengatasnamakan mayoritas muslim Lombok untuk melakukan kekerasan terhadap JAI. Jawaban yang diajukan Anam selain berdasarkan hasil studi pustaka dan pengamatan di lapangan di atas juga berlandaskan pada teori strukturalis, teori organisasi keagamaan dan perubahan 15
S Anam (2011) Reproduksi Kekerasan Kolektif: Studi Kasus Konflik Ahmadiyah di LombokNTB Tahun 1998-2006. Tesis Mahasiswa Strata-2 Universitas Gadjah Mada.
9
sosial, dan konsep kepemimpinan kharismatik yang digunakan Anam dalam penelitiannya. Teori strukturalis yang digunakan oleh Anam antara lain adalah milik Louis Althusser, yang secara garis besar menjelaskan bahwa suatu formasi atau struktur sosial lahir dari modus produksi dominan, dimana ada yang menguasai dan dikuasai. Lebih lanjut, Althusser menjelaskan bahwa negara diciptakan untuk menyatukan dan memaksa individu untuk tetap rekat. Melalui teori strukturalisme Althusser, Anam menganalisis stuktur sosial masyarakat Lombok, yang merupakan struktur sosial dimana kekerasan kolektif terhadap JAI Lombok berkembang. Untuk menganalisis tentang JAI, Anam salah satunya menggunakan teori organisasi keagamaan dan perubahan sosial Anthony Giddens, yang menyatakan bahwa organisasi keagamaan merupakan contoh gerakan sosial yang terdiri dari sekelompok individu dengan tujuan yang sama, dan bergerak untuk mencapai tujuan bersama, di luar lingkup lembaga mapan yang ada. 16 Organisasi keagamaan mampu mempengaruhi terjadinya perubahan sosial dalam struktur sosial yang telah mapan. Sehingga, organisasi keagamaan baru seringkali dianggap sebagai sebuah ancaman bagi struktur sosial yang telah mapan tadi. Dengan memahami struktur sosial Suku Sasak Lombok dan JAI sebagai organisasi keagamaan, Anam kemudian menggunakan konsep kepemimpinan kharismatik untuk mengamati aktor yang paling berpengaruh bagi Suku Sasak Lombok.
Berdasarkan
konsep
kepemimpinan
kharismatik
Weber
yang
menyatakan bahwa kepemimpinan kharismatik merupakan bentuk kepemimpinan
16
Ibid, hal 27.
10
yang dimiliki seseorang karena dipandang memiliki kualitas kepribadian individu yang luar biasa dan diperlakukan sebagai orang yang dianugerahi kekuatankekuatan dan kualitas supranatural, Anam menyimpulkan bahwa Tuan Guru merupakan sosok pemimpin agama yang kharismatik bagi Suku Sasak.17 Selama ini, penelitian tentang Syiah Sampang maupun JAI Lombok lebih banyak diteliti oleh akademisi dari studi keagamaan maupun lintas budaya. Dari segi HI, kasus Syiah Sampang dan JAI Lombok yang masih berlangsung hingga saat ini dapat dianalisis dari berbagai sudut, salah satunya yang berkaitan dengan pengungsi internal. Dengan demikian, penelitian ini akan berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, yang lebih banyak membahas tentang konflik ataupun aliran keagamaan tertentu. Ketertarikan ilmuwan HI sendiri terhadap isu pengungsi telah ada sebelum Perang Dingin berakhir. Pada tahun 1985, Hedley Bull yang merupakan ilmuwan HI pada era 1970an dan awal 1980an menilai bahwa pengungsi berkaitan dengan masalah ketertiban (order) dan keadilan (justice); dua aspek yang menjadi bahasan HI.18 Melalui tulisannya yang berjudul Population and the Present World Structure, Bull menjelaskan bahwa penyebab utama migrasi paksa seperti pengungsian antara lain adalah konflik dalam suatu negara dan kekerasan terhadap HAM. Mengamati berbagai peristiwa yang berkembang pada masanya melatarbelakangi Bull untuk berargumen bahwa migrasi paksa penting untuk dipelajari secara khusus, selain juga dimasukkan dalam studi HI.
17
Ibid, hal 22. A Betts dan G Loexcher (2011) Refugee in International Relations. New York: Oxford University Press Inc, hal vii. 18
11
Jika ditinjau dari sejarahnya, pengungsian juga bukan permasalahan baru yang tengah dihadapi dunia internasional. Fenomena pengungsi telah ada sejak ditandatanganinya Perjanjian Westphalia, revolusi Eropa di abad 19, Perang Dunia I dan II, era dekolonisasi, Perang Dingin, tragedi 9/11, dan berlanjut hingga sekarang. Definisi dari pengungsi mengalami pergeseran seiring dengan perubahan politik global. Ketika Perjanjian Westphalia disepakati pada 1648, pengungsi merujuk pada sekelompok orang yang mencari perlindungan dari penganiayaan agama atau politik, atau dari konflik.19 Pada tahun 1951, Konvensi tentang Status Pengungsi secara resmi membagi pengungsi menjadi dua, yakni pengungsi lintas batas negara (refugee) dan pengungsi internal (internally displaced persons atau IDPs). Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi menjelaskan bahwa pengungsi lintas batas adalah seseorang yang tidak bisa atau tidak ingin kembali ke negara asalnya karena takut akan penganiayaan terhadap ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, atau keanggotaan partai politik tertentu.20 Ketika seseorang menjadi pengungsi dan meninggalkan negara asalnya, maka perlindungan dan pemberian bantuan terhadap pengungsi menjadi tanggung jawab masyarakat internasional. Sementara itu, pengungsi internal adalah seseorang atau sekelompok orang yang dipaksa atau terpaksa meninggalkan rumah atau tempat tinggal mereka, terutama sebagai akibat dari atau dalam rangka menghindarkan diri dari situasi rawan yang ditandai dengan maraknya tindak kekerasan secara umum, pelanggaran HAM, bencana alam, atau bencana yang diakibatkan oleh 19
Ibid, hal 2. UNHCR (2010) “Convention and Protocol Relating to the Status of Refugees” <www.unhcr.org>. 20
12
ulah manusia, namun tetap di dalam negerinya. 21 Sehingga, berbeda dengan pengungsi lintas batas, pengungsi internal adalah mereka yang harus mengungsi di negaranya sendiri. Terus meningkatnya konflik dalam negeri yang melibatkan masyarakat yang berbeda, baik etnis, agama, ataupun kelompok sosial-ekonomi, serta berbagai kekerasan terhadap HAM menjadikan pengungsian internal sebagai salah satu tantangan yang mendesak bagi dunia internasional saat ini.
22
Dibandingkan dengan pengungsi lintas batas, jumlah pengungsi internal lebih cepat mengalami peningkatan. Data yang dilansir oleh UNHCR pada tahun 2012 menyebutkan bahwa pada tahun 1970, jumlah pengungsi lintas batas berjumlah 9 juta orang, dan meningkat menjadi 13,2 juta orang pada tahun 2004. 23 Sementara itu, jumlah pengungsi internal pada tahun 1970 berjumlah 5 juta orang, dan meningkat menjadi 25 juta orang pada tahun 2004.24 Berdasar data di atas, tidak mengherankan jika HI mulai ikut mengkaji permasalahan pengungsi internal. Selama ini, kajian pengungsi internal lebih banyak berhubungan dengan disiplin Antropologi, Sosiologi, Geografi, dan Hukum untuk menganalisis permasalahan human displacement. 25 Sementara, masalah pengungsian tidak hanya tentang perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat baru atau perpindahan penduduk secara geografis. Studi HI diperlukan untuk menganalisis pengungsian dari sisi lain, yakni bahwa pengungsian juga 21
Global IDP Project (2002) Internally Displaced People: A Global Survey. London: Earthscan Publications Ltd, hal 3. 22 Ibid. 23 The Global IDP Project of the Norwegian Refugee Council (NRC) (2012) “Optional Module: Internally Displaced Persons (IDPs)” <www.unhcr.org>. 24 Ibid. 25 Betts & Loescher (2011), hal 3.
13
berkaitan dengan ketidakmampuan atau ketidakmauan Negara asal menjamin perlindungan warga negaranya.26 Dikarenakan masih berada dalam wilayah negaranya sendiri, maka yang bertanggung jawab dalam memberi perlindungan dan bantuan terhadap pengungsi internal adalah otoritas nasional. Tanggung jawab atas tersedianya perlindungan bagi pengungsi internal berada di tangan pemerintah nasional dan pihak-pihak yang berwenang di wilayah setempat. Meski demikian, masyarakat internasional juga penting untuk melihat seberapa jauh Negara yang bersangkutan membantu meningkatkan perlindungan bagi para pengungsi internal tersebut dalam situasi konflik atau krisis.
1.5 Kerangka Pemikiran Guna menjawab rumusan masalah di atas, peneliti mengawali analisis dengan berangkat dari konsepsi Edward Newman tentang migrasi. Migrasi merupakan perpindahan penduduk secara permanen ataupun tidak, yang melintasi batas-batas administrasi wilayah asalnya. Seseorang dapat melakukan migrasi berkali-kali, dalam jangka waktu yang bervariasi, dan melintasi berbagai batas teritorial. Newman menjelaskan bahwa studi Migrasi didominasi oleh pembahasan terkait perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lainnya karena faktor ekonomi, dan penduduk yang melakukan perpindahan karena faktor politik. Penduduk yang berpindah karena faktor ekonomi disebut dengan migran, sementara mereka yang berpindah karena faktor politik disebut dengan pengungsi,
26
Ibid, hal 6.
14
pencari suaka, atau pengungsi internal. Migrasi ekonomi seringkali juga disebut sebagai migrasi yang bersifat sukarela, sementara perpindahan penduduk karena faktor politik disebut sebagai migrasi tidak sukarela atau migrasi paksa. Dalam beberapa tahun terakhir, migrasi paksa menjadi salah satu topik yang menarik perhatian publik karena jumlahnya lebih cepat mengalami peningkatan dibandingkan dengan migrasi yang bersifat sukarela. Newman menjelaskan bahwa migrasi paksa, baik yang sifatnya internal maupun melintas batas negara, mengalami peningkatan seiring dengan banyaknya konflik internal di suatu negara. 27 Faktor keamanan menjadi salah satu alasan yang mendorong seseorang atau sekelompok orang terpaksa melakukan perpindahan dan meninggalkan tempat asalnya. 28 Banyak konflik di dunia berkaitan erat dengan perpindahan penduduk secara paksa. Dengan demikian, pengelolaan dan perlindungan terhadap para pengungsi tidak dapat dilepaskan dari upaya mengatasi konflik dan menyatu dengan proses bina damai. Argumentasi ini didukung oleh pernyataan Astri Suhrke, yang menyatakan bahwa Negara berperan dalam upaya penyelesaian konflik dan bina damai karena berkaitan dengan kewajibannya melindungi dan mendampingi kelompok rentan tersebut.29 Migrasi paksa, baik internal maupun melintas batas negara, menunjukkan kegagalan Negara dalam melindungi warga negaranya. Sementara, asumsi dasar
27
G Loescher (2003) “Refugees as Grounds for International Action” dalam Refugees and Forced Displacement: International Security, Human Vulnerability, and the State oleh Edward Newman & Joanne van Selm. Tokyo: United Nations University Press, hal 36. 28 E Newman dan J van Selm (2003) Refugees and Forced Displacement: International Security, Human Vulnerability, and the State. Tokyo: United Nations University Press, hal 5. 29 Ibid, hal 102.
15
negara berdasar studi HI adalah bahwa setiap orang memiliki Negara yang bertanggung jawab memenuhi hak-hak dasarnya, serta melindungi mereka. 30 Sehingga, permasalahan migrasi paksa tidak lagi terbatas pada permasalahan perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat baru (atau perpindahan penduduk secara geografis), tetapi juga tentang ketidakmampuan atau ketidakmauan Negara asal menjamin perlindungan bagi warga negaranya. Alexander Betts menjelaskan bahwa terjadinya migrasi paksa dalam suatu negara menunjukkan bagaimana kondisi negara tersebut, hingga menyebabkan terjadinya human displacement. Menurut Martin Kunz, ada sedikitnya dua faktor yang mendorong seseorang atau sekelompok orang terpaksa meninggalkan tempat asalnya dan berpindah ke tempat baru, yakni karena faktor antisipasi (anticipatory), dimana individu atau sekelompok orang mengungsi sebelum benar-benar dipaksa mengungsi; atau karena kondisi sudah darurat (acute), sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain selain mengungsi. 31 Keduanya merupakan dua faktor dominan yang melatarbelakangi terjadinya pengungsian paksa. Namun, pengungsian yang bersifat antisipasi seringkali disalahartikan sebagai migrasi sukarela atau migrasi ekonomi. Kunz juga membagi kelompok pengungsi menjadi dua berdasarkan penyebabnya, yakni pengungsi yang terpaksa melarikan diri karena adanya intoleransi di wilayah asalnya dan tidak melihat adanya upaya penyelesaian, serta kelompok yang bertentangan dengan rezim yang ada sehingga memaksa mereka untuk keluar. 30
Betts & Loescher (2011), hal 6. E Kunz (1973) “The Refugee in Flight: Kinetic Models and Forms of Displacement” <www.jstor.org>. 31
16
Menanggapi berkembangnya migrasi paksa di dunia, baik di negara berkembang
maupun
memperkenalkan
negara
konsep
maju,
protracted
Gil
Loecher
displacement
dan atau
James
Milner
pengungsian
berkelanjutan, yaitu situasi perpindahan penduduk yang berlarut-larut, yang melebihi batas tahap darurat, namun belum juga ditemukan solusi akan kepastian masa depan pengungsi tersebut.32 Lebih lanjut, Loecher dan Milner menyebutkan bahwa pengungsi berkelanjutan adalah pengungsi yang telah diasingkan selama lebih dari lima tahun. Apabila telah mencapai lima tahun pengungsi belum melepas statusnya sebagai pengungsi, maka ia tergolong sebagai pengungsi berkelanjutan. Fenomena ini terjadi pada pengungsi lintas batas maupun pengungsi internal. Minimnya informasi terkait pengembalian pengungsi ke tempat asal atau ke tempat baru yang telah disepakati, menjadi salah satu indikator yang membuktikan bahwa jumlah pemindahan paksa penduduk ke tempat pengungsian lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pemulangan.33 Saat ini, sekitar dua pertiga dari pengungsi di dunia tergolong sebagai pengungsi berkelanjutan.34 Pengungsi berkelanjutan, terutama pengungsi internal berkelanjutan, menjadi perhatian dunia internasional saat ini. Meski pengungsi internal tidak lagi tergolong sebagai fenomena baru, dalam beberapa tahun terakhir, meningkatnya jumlah pengungsi internal berkelanjutan di berbagai belahan dunia menarik perhatian masyarakat internasional untuk mencari upaya membantu jutaan kelompok rentan yang harus mengungsi di negaranya sendiri.
32
G Loescher dan J Milner (2009) “Protracted Refugee Situations” <www.prsproject.org>. Ibid. 34 Ibid. 33
17
Keberadaan pengungsi berkelanjutan bukan fenomena yang tidak bisa dihindari apabila mempertimbangkan aspek jangka panjang sebelum pengungsian itu terjadi, seperti intervensi militer, aspek pembangunan, rekonstruksi pasca konflik atau upaya bina damai. Dengan target jangka panjang yang jelas, pengungsian berkelanjutan dapat dihindari. Cepat atau lambatnya masa pengungsian di suatu negara bergantung pada kebijakan pemerintahan setempat. Karena ditetapkannya seseorang atau sekelompok orang sebagai pengungsi tidak dapat dilepaskan dari peran serta Negara yang bersangkutan, maka berakhirnya masa pengungsian warga negara juga menjadi tanggung jawab Negara yang memaksa atau menyebabkan terjadinya migrasi paksa tersebut. Hal ini sesuai dengan Perjanjian Westphalia yang menegaskan bahwa setiap individu memiliki sebuah Negara yang bertanggung jawab memenuhi hak-hak dasarnya dan memberi perlindungan bagi mereka. Loecher dan Milner menjelaskan bahwa sebagian besar pengungsi berkelanjutan berasal dari negara-negara dimana konflik dan kekerasan sudah mengakar sejak bertahun-tahun dan belum ditemukan upaya penyelesaiannya, sehingga mempengaruhi stabilitas keamanan di wilayah tersebut. Konsep Loecher dan Milner tentang pengungsi berkelanjutan berkaitan dengan konsep yang ditawarkan oleh Newman di atas mengenai hubungan antara pengungsi dengan upaya penyelesaian konflik serta bina damai. Meski aspek finansial merupakan aspek penting dalam upaya memulangkan pengungsi ke kampung halamannya, namun kebijakan terkait keamanan bagi para pengungsi harus dipertimbangkan
18
secara matang. Sehingga, ketika sudah dipulangkan, pengungsian internal tidak terulang. Dalam upaya mengembalikan pengungsi internal, dibutuhkan berbagai kebijakan yang sifatnya jangka panjang, terutama terkait aspek keamanan. Sebab, pengungsian berkelanjutan seringkali menimpa seseorang atau sekelompok orang yang merupakan korban konflik dan kekerasan yang sudah mengakar sejak masa lalu dan belum ditemukan penyelesaiannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketika Negara memutuskan untuk mengungsikan warga negaranya, maka Negara tersebut harus siap merancang anggaran dana atau mengalokasikan dana tambahan untuk para pengungsi tersebut, baik untuk aspek relief, rekonstruksi, rehabilitasi, rekonsiliasi, dan pembangunan. Namun, aspek finansial saja tidak cukup apabila Negara belum mampu menjamin keamanan dan keselamatan warga negaranya setelah mereka melepaskan statusnya sebagai pengungsi dan meninggalkan tempat pengungsian. Jaminan keamanan yang kondusif berpengaruh terhadap proses bina damai, bahkan hingga ke tahap pembangunan. Sebaliknya, belum terciptanya stabilitas keamanan di daerah asal dapat mendorong terulangnya sejarah yang sama. Oleh sebab itu, ketika Negara merasa belum mampu menciptakan dan menjamin aspek keamanan para pengungsi pasca pemulangan, maka membiarkan pengungsi di tempat pengungsian dalam kurun waktu yang tidak menentu menjadi solusi Negara guna menghindari terulangnya konflik dan kekerasan. Pengungsi internal adalah kelompok rentan dengan sumber daya minim. Karakteristik kondisi mereka adalah status sosial rendah, memiliki koneksi yang
19
kecil di wilayah yang dituju dan menjadi kelompok minoritas, pendidikan rendah, serta kurang memiliki keterampilan. Mayoritas pengungsi internal yang menetap di pengungsian tidak lagi memiliki tanah atau tempat tinggal. Sebelum pengungsi internal memutuskan untuk meninggalkan kamp pengungsian, harus terlebih dahulu dipertimbangkan alternatif tempat tinggal. Keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh pengungsi internal sebagai kelompok rentan mempengaruhi posisi tawarnya dalam aspek politik, sehingga muncul kecenderungan pengungsi untuk berpasrah pada keputusan dan bantuan para elit.35 Tidak ada yang bisa dilakukan oleh pengungsi korban konflik selain bergantung pada Negara.
1.6 Argumen Utama Pengungsi internal Syiah Sampang dan JAI Lombok belum dapat pulang karena kepulangan pengungsi internal bergantung pada kemampuan Negara menjaga dan menjamin stabilitas keamanan di daerah asal. Kemampuan Negara memproteksi pemulangan pengungsi internal didasarkan pada keberhasilannya menyelesaikan konflik dan kekerasan yang menyebabkan terjadinya pengungsian internal tersebut.
1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1 Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan tipe penelitian eksplanatif, yaitu penelitian yang hasil akhirnya adalah penjelasan mengenai hubungan sebab akibat. Tujuan dari
35
Ibid.
20
penelitian eksplanatif adalah menemukan jawaban tentang mengapa suatu peristiwa terjadi, antara lain dengan menjelaskan hubungan antara dua atau lebih gejala atau variabel. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini berupaya menjelaskan penyebab belum pulangnya pengungsi internal Syiah Sampang dan pengungsi internal JAI Lombok.
1.7.2 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data didefinisikan sebagai suatu proses mendapatkan data empiris melalui responden, dengan menggunakan metode tertentu. 36 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode studi pustaka, observasi lapangan, dan wawancara. Melalui metode studi pustaka, data-data dalam penelitian didapatkan dari literatur berupa buku-buku, buletin cetak, serta sumber-sumber artikel dari internet yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Selain itu, guna mendapatkan pengetahuan langsung dari lapangan, peneliti melakukan observasi lapangan dan wawancara. Sasaran dari wawancara adalah pengungsi Syiah di rumah susun Puspa Agro dan pengungsi JAI di Asrama Transito, sehingga peneliti berkunjung ke rumah susun Puspa Agro, Sidoarjo dan Asrama Transito, Lombok. Wawancara juga dilakukan terhadap organisasi-organisasi non-pemerintah, untuk mengetahui lebih jauh dinamika konflik di kedua wilayah tersebut, seperti Muhammadiyah Disaster Management Center, CMARs, LBH, dan KontraS; serta dengan berbagai akademisi yang pernah meneliti kasus yang sama.
36
U Silalahi (2006) Metode Penelitian Sosial. Bandung: Unpar Press, hal 257.
21
1.7.3 Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif; dimana peneliti mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lainnya. Aktivitas analisis data dalam penelitian ini berlandaskan pada pemikiran Miles dan Huberman yang menegaskan bahwa analisis data kualitatif meliputi tahap reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan dan verifikasi.37 Tahap reduksi data merupakan proses di mana peneliti mengumpulkan berbagai data yang mampu menjawab pertanyaan penelitian. Setelah tahap mereduksi data, peneliti lanjut pada tahap penyajian data, di mana peneliti mengorganisir data yang telah direduksi, disusun dalam pola hubungan, sehingga semakin mudah dipahami dan mempermudah peneliti merencanakan kerja penelitian selanjutnya. Langkah yang terakhir yakni menarik kesimpulan berdarkan temuan, dan melakukan verifikasi data.
1.7.4 Sistematika Penulisan Laporan penelitian sebagai hasil dari proses pengumpulan data dan analisis ini disusun sebagai berikut: Bab I, merupakan pendahuluan yang diawali dengan latar belakang penelitian, yang antara lain menjelaskan alasan-alasan pentingnya dilakukan penelitian dan urgensi dari penelitian ini. Bab ini kemudian dilanjutkan dengan rumusan masalah yang peneliti angkat, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, hipotesis, dan metodologi penelitian.
37
Ibid.
22
Bab II, berisi pembahasan mengenai problematika pengungsian internal di Indonesia. Bab III, berisi pembahasan mengenai analisis data primer terkait problematika konflik Sunni dan Syiah di Sampang, kondisi pengungsi internal Syiah Sampang di tempat pengungsian, dan penyebab pengungsian berkelanjutan. Bab IV, berisi pembahasan mengenai analisis data primer terkait problematika konflik yang menimpa kelompok Ahmadiyah di Lombok, kondisi pengungsi internal Ahmadiyah Lombok di penampungan, dan penyebab pengungsian berkelanjutan. Bab V, berisi kesimpulan dari penelitian ini; mencakup penyebab pengungsian berkelanjutan Syiah Sampang dan Ahmadiyah Lombok serta usulan solusi untuk mengakhiri pengungsian berkelanjutan tersebut.
23