BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia adalah masyarakat ber-Bhinneka Tunggal Ika, yang berbeda-beda Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) dan kemudian bersatu dalam satu kesatuan negara Pancasila sejak tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum Indonesia merdeka berbagai masyarakat itu berdiam di berbagai kepulauan yang besar dan kecil yang hidup menurut hukum adatnya masing-masing, sehingga Van Vollenhoven membagi-bagi bangsa Indonesia itu kedalam 19 lingkungan hukum adat.1 Negara Indonesia yang penduduknya mempunyai aneka ragam adat kebudayaan. Dalam adat kebudayaan tersebut terdapat juga hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada kongres I pada tahun 1999, bahwa masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang
1
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam. Citra Aditya Bajti, Bandung, 1991, Hlm.2.
Universitas Sumatera Utara
memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.2 Menurut Soepomo, masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang berdasar lingkungan daerah (teritorial). Dari sudut bentuknya, masyarakat hukum adat tersebut ada yang yang berdiri sendiri, menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah, serta merupakan perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat. Masing-masing bentuk masyarakat hukum adat tersebut dapat dinamakan sebagai masyarakat hukum adat yang tinggal, bertingkat, dan berangkai.3 Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warga-warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan. Masyarakat merupakan suatu sistem sosial, yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi sosial atau hubungan inter personal maupun hubungan antar kelompok sosial.4 Sebagian masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bertempat tinggal di pedesaan yang masih memegang tradisi lokal yang kuat. Setiap anggota masyarakat di pedesaan pada umumnya sangat menghormati adat istiadat yang 2
Bambang Daru Nugroho, Hukum Adat ( Hak Mengusai Negara Atas Sumber Daya Alam Kehutanan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat), PT. Refika Aditama, Bandung, 2015, Hlm. 82. 3 Soerjono soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, Hlm 95. 4 Ibid, Hlm 91.
Universitas Sumatera Utara
diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun bahkan adat-istiadat merupakan dasar utama hubungan antar personal atau kelompok.5 Adat istiadat atau kebiasaan masyarakat tersebut kemudian berkembang menjadi hukum adat dimana diharus dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat. Hukum adat dalam masyarakat adat, masih dianggap sebagai aturan hidup untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat.6 Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting dalam rangka pembangunan hukum nasional yang menuju ke arah peraturan perundang-undangan. Unsur-unsur kejiwaan hukum adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu dimasukkan ke dalam peraturan hukum baru agar hukum yang baru itu sesuai dengan dasar keadilan dan perasaan hukum masyarakat Indonesia. Istilah hukum adat adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda yaitu adatrecht. Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memakai istilah adatrecht itu. Istilah adatrecht kemudian dikutip dan dipakai selanjutnya oleh van Vollenhoven sebagai teknis Juridis.7 Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di pihak lain tidak dikodifikasikan (adat). Sedangkan menurut Terhaar, “ hukum adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan, keputusan warga masyarakat hukum, terutama keputusan 5
Bahreint Sugihen, Sosiologi Pedesaan dalam Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, Hlm. 26. 6 Beni, Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2007, Hlm.156. 7 Bushar Muhammad. Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, PT. Pradnya Pramita, Jakarta, 2006. Hlm.1.
Universitas Sumatera Utara
beribawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatanperbuatan hukum atau dalam hal pertentangan kepentingan. Keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu karena kesewenangan atau kurang pengertian, tidak bertentangan dengan hukum rakyat melainkan senapas seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/ diakui atau setidaktidaknya ditoleransikan olehnya”. 8 Van Vollenhoven dalam bukunya membagi-bagi seluruh daerah Indonesia menjadi 19 (Sembilan belas) lingkungan hukum adat, adapun 19 (Sembilan belas) lingkungan hukum adat yaitu:9 1. Aceh ( Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Simeule) 2. Tanah Gayo, Alas, Batak beserta Nias 3. Daerah Minangkabau beserta Mentawai 4. Sumatera Selatan 5. Daerah Melayu (Sumatera Timur, Jambi, Riau) 6. Bangka dan Belitung 7. Kalimantan 8. Minahasa 9. Gorontalo 10. Daerah Toraja 11. Sulawesi Selatan 12. Kepulauan Ternate 13. Maluku, Ambon 14. Irian 15. Kepulauan Timor 16. Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat) 17. Jawa Tengah dan Timur ( Beserta Madura) 18. Daerah-Daerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta) 19. Jawa Barat
8
Abdul Rahman, Japondang, dkk, Pengantar Hukum Adat-I. Fakultas Hukum Universitas Darma Agung, Medan, 1990, Hlm. 10. 9 Soerjo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Toko Gunung Agung, Jakarta, 1996, Hlm. 14.
Universitas Sumatera Utara
Lingkungan masyarakat hukum adat di atas dengan bagian-bagian lingkungan, suku bangsa, tempat kediaman dan daerahnya sebagaimana diuraikan tersebut adalah berdasarkan kenyataan-kenyataan yang diketemukan atau diperkirakan pada masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk masa sekarang agaknya pembagian serupa itu sudah tidak sesuai lagi dikarenakan terjadinya perubahan dan perkembangan masyarakat. Dengan adanya perpindahan penduduk dari desa ke kota, dari suatu daerah ke daerah lain (transmigrasi), akibat pelaksanaan pembangunan, percampuran penduduk dari berbagai suku bangsa, dan sebagainya maka lingkungan hukum adat dan masyarakat hukum adat sudah mengalami perubahan. Mengenai bentuk masyarakat hukum adat dan wilayah hukum adat diatas, maka perlu diketahui bahwa suku bangsa Indonesia memiliki 366 suku bangsa, tersebar di seluruh kepulauan nusantara yang terdiri atas: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Di
Sumatera terdiri dari 49 suku bangsa Jawa terdiri dari 7 suku bangsa Kalimantan terdiri dari 73 suku bangsa Sulawesi terdiri dari 117 suku bangsa Nusa Tenggara terdiri dari 30 suku bangsa Maluku-Ambon terdiri dari 41 suku bangsa Irian Jaya terdiri dari 49 suku bangsa10 dalam masyarakat hukum adat terdapat adat-istiadat. Di dalam adat-istiadat
tersebut masyarakat bangsa Indonesia juga menganut berbagai agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, juga mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak 10
C.Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 2014. Hlm. 32
Universitas Sumatera Utara
dahulu kala sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Islam, dan Kristen. Sistem keturunan yang berbeda–beda ini bisa berdampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat.11 Pembangunan hukum nasional haruslah berakar dan diangkat dari hukum rakyat yang ada, sehingga hukum nasional Indonesia haruslah mengabdi pada kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia.12 Kesatuan masyarakat hukum adat diakui dan dihormati sepanjang hidupnya, dimana hukum adat itu masih berlaku dan masih dianut oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Meskipun demikian, keberlakuan hukum adat tersebut terbatas hanya pada bidang-bidang hukum tertentu, dimana salah satu dari bidang hukum yang dimaksud adalah bidang hukum kewarisan. Untuk masalah kewarisan belum ada hukum waris nasional ataupun undang-undang yang mengatur mengenai masalah pewarisan bagi seluruh warga negara Indonesia. Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa : “Untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat Indonesia kini dan masa yang akan datang di dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945 maka untuk menyusun hukum nasional diperlukan adanya konsepsi dan asas-asas hukum yang berasal dari hukum adat.13
11
Hilman Hadikusuma. Hukum Waris adat. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Hlm. 23. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, BPHN, 1976, Hlm 251. 13 Hilman Hadikusuma, Op.cit. Hlm. 1. 12
Universitas Sumatera Utara
Terdapat pluralisme hukum waris di Indonesia. Hukum waris yang berlaku di Indonesia terdiri atas hukum waris menurut hukum Perdata Barat, menurut hukum Islam dan hukum waris menurut hukum Adat. Masing-masing hukum waris tersebut berlaku pada subjek hukum yang berbeda. Bagi mereka yang beragama Islam, berlaku hukum waris Islam dalam pembagian harta warisan dan dibolehkan apabila para ahli waris bersepakat untuk membagi harta warisan tersebut dengan hukum waris lain, misalnya hukum waris adat yang dianut oleh mereka. Namun, jika terjadi sengketa dalam pembagian harta warisan, para ahli waris tidak dapat memilih hukum waris mana yang akan digunakan dalam membagi warisan tersebut.14 Dengan tidak adanya hukum khusus yang mengatur tentang pewarisan secara nasional di Indonesia, karena Negara Indonesia terdiri dari beragam suku, adat dan istiadat, bahasa dan Agama, sehingga menyulitkan terbentuknya hukum Waris Nasional. Mengenai hal tersebut, berlakunya hukum waris tersebut tergantung pada golongan penduduk yang ada terhadap hukum mana penduduk tersebut menundukkan diri. Menurut Hilman Hadikusuma bahwa: “Pada kenyataannya sampai saat ini bagi warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan Timur asing/cina masih tetap berlaku hukum waris barat yang diatur dalam KUH Perdata buku II Bab XII sampai Bab XVIII. Sedangkan warga Negara Asli masih tetap hukum waris Adat yang diatur menurut susunan masyarakat adat yang bersifat Patrineal, Matrineal dan Parental/Bilateral. Disamping itu, bagi keluarga-keluarga indonesia yang menaati hukumnya melaksanakan pewarisan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing”.15
14
Soerojo Wignjodipoero. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Gunung Agung, Jakarta, 1995. Hlm. 173. 15 Hilman Hadikusuma, Op.cit, Hlm. 2
Universitas Sumatera Utara
Suatu perkawinan dapat dikatakan putus atau berakhir, menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dikarenakan kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Perkawinan putus karena kematian sering disebut masyarakat dengan istilah “ Cerai mati”.16 Kematian sangat erat berhubungan dengan masalah kewarisan. seorang manusia selaku anggota masyarakat selama masih hidup mempunyai tempat dalam masyarakat dengan disertai perbagai hak-hak dan kewajiban terhadap orang-orang lain dari masyarakat itu dan terhadap barangbarang yang berada dalam masyarakat itu. Maknanya ialah ada bermacam-macam hubungan hukum antara satu pihak yang disebut dengan manusia dan dunia luar sekitarnya. Ketika seseorang yang pada saat karena usianya yang sudah uzur atau karena mengalami kejadian sesuatu, misalnya terjadi kecelakaan, terserang penyakit dan lain-lain seseorang itu meninggal dunia akan mengakibatkan hubungan-hubungan hukum tersebut tidak akan hilang dikarenakan seseorang yang telah meninggal dunia masih mempunyai keluarga dan sanak suadara yang ditinggalkan.17 Suatu kematian akan mengakibatkan pengalihan hak dan kewajiban dalam bidang harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut yang pada mulanya berada ditangan si meninggal secara hukum akan berpindah kepada mereka yang ditinggalkan yaitu para ahli waris dari si meninggal.
16
Abdulkadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014. Hlm.117 17 Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesa, Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
Harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris ketika pewaris wafat, timbul masalah pembagian harta warisan yang dapat dibicarakan dari sudut hukum waris Islam atau waris KUH Perdata, tetapi jika melihat dari sudut hukum Adat maka pada kenyataannya sebelum pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta kekayaan kepada waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari pewaris kepada waris sebelum pewaris wafat dapat terjadi dengan cara penunjukan, penyerahan, kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris. Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa “Hukum Waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrineal, matrineal, parental dan bilateral‟‟.18 Masalah warisan berkaitan dengan aturan-aturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. 19 Jadi dalam hal ini masalah warisan erat kaitannya dengan masalah harta kekayaan. Masyarakat adat Indonesia mempunyai hukum adat waris sendiri-sendiri. Biasanya hukum adat mereka dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan dan sistem perkawinan yang mereka anut. 18
Hilman Hadikusuma.Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi. Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2014, Hlm. 203 19 Ibid, Hlm. 161
Universitas Sumatera Utara
Suku Asli Negara Indonesia yang masih menerapkan hukum waris adat salah satunya adalah suku Akit. Suku Akit adalah suku asli Propinsi Riau yang mendiami Pulau Rupat. Selain suku Melayu yang merupakan suku Asli di Riau, tapi masih Ada 4 (empat) suku asli yang mendiami Propinsi Riau yaitu Suku Sakai, Talang Mamak, Suku Akit dan Suku Laut yang mana suku tersebut tidak populer di kenal oleh masyarakat Indonesia. Suku Akit adalah salah satu suku bangsa yang selama ini diketegorikan sebagai suku yang masih mempertahankan adat istiadatnya. Sebutan “Akit” diberikan kepada masyarakat ini karena sebagian besar kegiatan hidup mereka pada zaman dahulu berlangsung di atas rumah Rakit. Dengan rakit tersebut mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain di pantai laut dan muara sungai. Mereka juga membangun rumah-rumah sederhana di pinggir-pinggir pantai untuk dipergunakan ketika mereka mengerjakan kegiatan di darat. Pada tahun 1984 jumlah mereka diperkirakan sekitar 4500 jiwa.20 Namun pada saat ini jumlah masyarakat suku Akit + 5.646. Kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak digantungkan pada alam.21 Selama berpuluh tahun mereka dikenal sebagai masyarakat yang mengoptimalkan hasil alam di sekitarnya, seperti hutan bakau dan laut. Mereka juga berladang padi. Panen beras setiap tujuh atau delapan bulan sekali biasanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian mereka. Namun, kehidupan sederhana itu belakangan ini semakin 20
Yuli Akbar, http://sciences-city.blogspot.co.id/2012/12/sejarah-perkembangan-suku-akit-dansuku.html , dilihat pada tanggal 11 Desember 2015, Pukul 13.00 WIB 21 Metro kini, Mengenal Lebih dekat tentang Keunikan Suku Asli di Riau, http://www.metroterkini.com/berita-8710-mengenal-lebih-dekat--tentang-keunikan-suku-asli-diriau.html, dilihat pada tanggal 15 Desember 2015, Pukul 10.15 WIB
Universitas Sumatera Utara
terusik. Terdesak oleh kemajuan zaman, modernisasi, mereka merasa ditinggalkan. Meskipun Pulau Rupat belum banyak disentuh pembangunan namun karena letaknya yang cukup strategis yang menghubungkan Indonesia dengan Malaysia, maka Pulau Rupat banyak didatangi oleh kaum pendatang seperti orang Tionghoa dan suku-suku di sekitarnya misalnya Melayu, Bugis, Minang, Jawa dan Batak. Meski demikian suku Akit sampai saat ini masih taat menjalankan tradisi dan kepercayaan nenek moyangnya.22 Dahulu dalam adat dan tradisi Suku Akit jelas sekali ada pengaruh agama Islam didalamnya. Nilai keislaman itu telah meresap dalam adat-istiadat suku Akit paling kurang sejak mereka menjadi rakyat kerajaan Kesultanan Siak. Tapi karena keterpencilan didukung pula oleh kurangnya bimbingan atau tuntunan Islam yang mereka terima, maka kadar Islam yang masih dalam bentuk budayanya, segera dimasuki kembali oleh alam animisme.23 Mayoritas suku Akit beragama Budha, namun ada juga beragama Kristen dan Islam. Dikarenakan Suku Akit mengalami perkawinan campuran dengan suku Cina, Batak, Jawa dan Minang. Pada masyarakat suku Akit, anak perempuan dan laki-laki yang beranjak dewasa mereka akan melakukan perkawinan sesama sukunya. Anak perempuan suku Akit akan dinikahkan jika umur anak tersebut sudah 18 tahun, dan akan mengikuti suaminya. Ikatan perkawinan yang mengikat seorang laki-laki dengan seorang 22
Julianus P Limbeng, Suku Akit Menjaga dan mewarisi tradisi Adat. http://xeanexiero.blogspot.co.id/2007/12/suku-akit-menjaga-dan-mewarisi-tradisi.html, dilihat pada tanggal 11 Desember 2015, Pukul 13.25 Wib 23 UU. Hamidy, Masyarakat Terasing Daerah Riau di Gerbang Abad XXI, Zamrad untuk Pusat Kajian Islam dan Dakwah Universitas Islam Riau, Pekanbaru, 1991. Hlm. 175
Universitas Sumatera Utara
perempuan akan menyatukan secara lahir bathin. Suatu ikatan lahir bathin mengakibatkan timbulnya hubungan hukum antara pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Masyarakat suku Akit menarik garis keturunan secara Patrineal, bisa dilihat dari sistem perkawinan yang dimilikinya. Dalam hal perkawinan, anak laki-laki membeli anak perempuan dengan cara menyerahkan uang adat, setelah itu anak perempuan tersebut akan ditarik kedalam keluarga pihak laki-laki. Dengan adanya pembayaran uang adat, hubungan antara anak perempuan dengan pihak keluarganya telah terputus, termasuk dalam hal pewarisan Dalam pembagian harta waris, suku Akit mengenal adanya pembagian warisan berdasarkan garis keturunan. Masyarakat suku Akit menganut sistem keturunan Patrineal, yang mana kedudukan anak laki-laki lebih berperan dibandingkan kedudukan wanita dalam pewarisan. Anak laki-laki yang berhak mewaris dikarenakan anak laki-laki nantinya dianggap sebagai penerus keluarganya, lebih berharga dan lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan.24 Namun, dalam kenyataannya didalam pembagian warisan masyarakat suku Akit yang memiliki sistem Patrineal, membagikan harta warisan kepada anak perempuan. Seharusnya anak laki-laki saja yang medapatkan harta warisan, sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan harta warisan.
24
Wawancara dengan Athang, Selaku Wakil Kepala Adat Suku Akit, Pada tanggal 06 Februari 2016, Pukul 11.30 WIB
Universitas Sumatera Utara
Melalui latar belakang masalah tersebut, maka sangat menarik untuk mengkaji Hukum Waris Adat Suku Akit. Untuk mengetahui Pembagian waris Masyarakat Adat Suku Akit di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau, dengan sistem kekerabatan Patrineal (garis keturunan laki-laki atau Ayah) perlu diadakan penelitian dengan teliti agar diketahui secara benar tentang hukum waris adat masyarakat suku Akit, dan cara pembagian harta waris itu dilakukan. Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, sangat menarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai sistem pembagian warisan pada masyarakat Adat Suku Akit. Sehingga di angkat suatu penelitian yang berjudul “Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Masyarakat Suku Akit (Studi di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau)”. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1. Apakah Masyarakat Suku Akit di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau merupakan Masyarakat Hukum Adat?. 2. Bagaimanakah pembagian waris menurut Hukum Adat Masyarakat Suku Akit di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau?. 3. Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa waris adat Masyarakat Suku Akit di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau?.
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang kedudukan Masyarakat Suku Akit di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau sebagai masyarakat hukum Adat 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pembagian waris adat dalam Suku Akit di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau 3. Untuk mengetahui dan menjelaskan penyelesaian sengketa dalam Pembagian Waris Adat Dalam Suku Akit di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian dari tesis ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan kontribusi bagi pengembangan Ilmu Hukum khususnya yang berkaitan dengan masalah Hukum Waris Adat b. Menjadi referensi bagi penelitian-penelitian sejenis, pada masa mendatang.
Universitas Sumatera Utara
2. Secara Praktis a. Bagi Masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pembagian hukum waris adat dalam Masyarakat Adat Suku Akit. b. Bagi semua pihak terutama bagi praktisi, akademisi, mahasiswa yang sehari-hari berprofesi di bidang hukum dapat memberikan masukan baik untuk menjadi pengetahuan bagi diri sendiri namun juga diharapkan agar dapat menjadi pengetahuan bagi orang lain yang membutuhkan masukan-masukan berkenaan dengan penyelesaian waris dan problematikanya. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara baik terhadap hasil penelitian yang sudah pernah ada, maupun yang sedang akan dilakukan, diketahui bahwa belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama mengenai “Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Masyarakat Suku Akit (Studi Di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Provinsi Riau)”. Oleh karena itu penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah. Berdasarkan penelusuran literatur sebelumnya, ada ditemukan mengenai pelaksanaan pembagian waris namun judul penelitian, rumusan permasalahan penelitian, objek penelitian dan wilayah penelitian yang diangkat sebelumnya berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Penelitian tersebut antara lain :
Universitas Sumatera Utara
1. Tesis Atas Nama Marsella, NIM 027011040, dengan Judul Penelitian “ Pembagian Harta Warisan Pada Suku Melayu ( Studi Di Kecamatan Medan Maimoon Kelurahan Aur)”. Dengan Rumusan Masalah: a. Bagaimanakah porsi masing-masing Ahli Waris menurut Hukum Waris yang berlaku pada Suku Melayu Deli di Kecamatan Medan Maimun Kelurahan Aur? b. Bila momentum pembagian harta warisan diberlakukan pada Suku Melayu Deli di Kecamatan Medan Maimun Kelurahan Aur? c. Bagaimanakah cara penyelesaian sengketa harta warisan yang terjadi pada Suku Melayu Deli di Kecamatan Medan Maimun Kelurahan Aur? 2. Theresia Dewita Sinuraya (037011085).
“Perkembangan Hukum Waris
Adat Studi Mengenai Emansipasi Wanita Batak Karo Dalam Pembagian Harta Warisan Di Kabupaten Karo”. Rumusan Masalah: a. Bagaimanakah kedudukan wanita dalam pembagian waris pada masyarakat Batak Karo? b. Faktor-Faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran Hukum Waris Adat Batak Karo tersebut?
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, satu teori harus diuji dengan mengahadapkannya kepada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.25 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis yang mungkin ia dapat disetujui atau tidak.26 Kerangka teoritis dalam penulisan karya ilmiah hukum mempunyai 4 (empat) ciri, yaitu terdiri dari teori-teori hukum, asas-asas hukum, doktrin hukum, dan ulasan pakar hukum berdasarkan pembidangannya. Salah satu dari ke empat ciri khas teoritis hukum tersebut dapat dipaparkan dalam penulisan kerangka teori.27 Kerangka teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori The Living Law. Hukum adat memiliki unsur-unsur yaitu hukum yang tidak tertulis yang berasal dari adat atau kebiasaan. Hukum adat memiliki sifat dinamis, berkembang terus menerus dan mudah beradaptasi, proses pembuatannya tidak disengaja atau direncanakan, mengandung unsur-unsur religius atau agama, yang fungsinya untuk
25
M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, Hlm.203. M.Solly Lubis, Filasafat Ilmu dan Penelitian, Sofmedia, Medan, 2012, Hlm.129. 27 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, Hlm.79.
26
Universitas Sumatera Utara
mengatur hubungan antar sesama, ditegakkan oleh fungsionaris adat, dan memiliki sanksi tertentu.28 Berdasarkan unsur-unsur tersebut terdapat dua konsep penting terkait dengan adat yakni : a. Hukum adat adalah hukum yang menjelma dari perasaan hukum nyata dari masyarakat. b. Hukum adat adalah hukum yang tumbuh secara terus menerus didalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, jika masyarakat berarti bukan saja kesadaran dari dan pertenggangan dengan kehadiran sesamanya, termasuk juga didalamnya arti bahwa sesamanya itu (yang ia pahami dan yang memahaminya) secara timbal balik disangkutkan oleh manusia itu pada perbuatan yang berarti. Masyarakat adalah pergaulan antar manusia.29 Hal ini bila dikaitkan dengan ajaran Historis Jurisprudence yang digagas pertama kali oleh Carl Von Savigny (1779-1861) dapat dikatakan bahwa hukum itu terjelma dari jiwa rakyat volkgeist yaitu hukum tidak diciptakan tetapi tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Oleh karena itu hukum adat yang tumbuh dan 28
Jufrina Rizal, Perkembangan Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, 2006. Hlm. 3. lihat juga Satjipto Rahardjo, Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dalam Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1975. Hlm. 18. 29 http://www.boyyendratamin.com/2011/04/fenomena-sociolical-jurispruden-dalam.html, dilihat pada tanggal 13 Desember 2015, Pukul 22.15 WIB.
Universitas Sumatera Utara
berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai volkgeist harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat melainkan harus ditemukan.30 Konsep hukum yang hidup di dalam jiwa masyarakat (volksgeist) dari Friedrich Carl Von Savigny, dipertegas oleh penggagas sosiologi hukum Eugene Ehrlich yang menyebutkan dengan fakta-fakta hukum (fact of law) dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law of people). Untuk itu, teori living law dari Eugene Ehrlich menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum yang hidup (living law). Semua hukum dianggap sebagai hukum sosial, dalam arti bahwa semua hubungan hukum ditandai oleh factor-faktor sosial ekonomi. Kenyataan hukum sosial yang melahirkan hukum, termasuk dunia pengalaman manusia, dan dengan demikian ditanggapi sebagai ide normatif. Terdapat empat jalan agar kenyataan-kenyataan yang anormatif menjadi normatif, yakni: 1. Kebiasaan 2. Kekuasaan efektif 3. Milik efektif 4. Pernyataan kehendak pribadi.31 Lebih lanjut pelopor Sociology of Law, Eugen Erlich (1862-1922) dalam teorinya menjelaskan bahwa hukum adalah hukum sosial, ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-sehari dan terbentuk lewat kebiasaan. Kebiasaan itu lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif lalu kehidupan berjalan dalam tatanan itu. Kekuatan mengikat hukum yang 30
Bernard L. Tanya, Yoan Simanjuntak, & Markus, Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2003, Hlm.103. 31 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
hidup itu tidak ditentukan oleh kewibaan negara. Ia tergantung pada kompetensi penguasa dalam negara. Memang semua hukum dalam segi eksterennya dapat diatur oleh instansi-instansi negara, akan tetapi menurut segi interennya hubunganhubungan dalam kelompok sosial tegantung dari anggota-anggota kelompok itu sendiri
seperti
inilah
living
law
hukum
sebagai
norma-norma
hukum
(Rechtsnormen).32 Eugen Erlich menempatkan volkgeist-nya Savigny dalam fakta-fakta hukum (fact of law) dan hukum yang hidup didalam masyarakat (living law of the people). The living law menurut menurut Eugen Erlich seperti yang dikutip oleh Ahmad Ubbe dapat digambarkan dalam berbagai pernyataan. Pertama, The living law ditemukan dalam kebiasaan yang sekarang berlaku didalam masyarakat, khususnya dari norma yang tercipta dari aktivitas-aktivitas sejumlah kelompok dan didalam kelompok itu warga masyarakat terlibat. Kedua, ditambahkan bahwa the living law adalah hukum yang mendominasi kehidupan masyarakat meskipun tidak selalu diubah menjadi formal kedalam proposisi-proposisi legal namun living law mencerminkan nilai-nilai dari masyarakat. Ketiga, the living law merupakan suatu tertib dalam kehidupan masyarakat merupakan pola-pola kultur hukum yang tidak pernah statis. Nilai-nilai berubah, sikap-sikap tentang perbuatan telah berubah dari waktu kewaktu, konsep-konsep yang ditentukan berubah dari tahun ketahun. Keempat, ditegaskan bahwa the living law
32
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
hanya dapat diketahui dengan suatu penelitian atau observasi terhadap orang-orang tertentu. 33 Satjipto Rahardjo dengan mengutip Vinogradof menguraikan bahwa the living law timbul secara serta merta dari kandungan masyarakat, dari praktik secara langsung tumbuh dari konversi, baik bagi masyarakat maupun perorangan itu sendiri. Tidak timbul karena inisiatif Undang-Undang dan karena timbulnya perselisihan melainkan dari praktik sehari-hari yang dituntun oleh pertimbangan memberi dan mengambil dari suatu lintas perhubungan yang adil (reasonable) dan kerja sama sosial.34 Maka berdasarkan kerangka teori yang telah dikemukakan diatas teori yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori The Living Law. 2. Kerangka Konsepsi Konsepsi adalah bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal yang berbentuk khusus disebut definisi operasional.35
33
Jufrizal Rizal, Op.Cit, Hlm.4. Lihat juga Satjipto Rahardjo, Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dalam Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung 1975, Hlm. 18. 34 Satjipto Rahardjo, Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dalam Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung 1975, Hlm. 19. 35 Samadi Suryabrata. Metodologi Penelitian. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998 Hlm 31
Universitas Sumatera Utara
Menurut Burhan Ashofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.36 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan antara abstraksi dengan realita.37 Tujuan utama konsepsi adalah untuk menghindari salah pengertian dan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Beberapa konsep atau istilah yang akan digunakan oleh penulis agar di dalam pelaksanaannya diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang sudah ditentukan sebagai berikut : a. Hukum Waris adat adalah hukum waris yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immaterele goerderen) dari suatu angkatan manusia (generalite) kepada turunannya.38 b. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh suami istri selama perkawinan atas usaha sendiri dan sebagai usaha milik bersama.39 c. Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami istri kedalam suatu perkawinannya. Harta benda yang diperoleh masing-masing baik hadiah atau warisan. d. Pembagian Waris adalah penyelesaian harta warisan yang ditinggalkan pewaris yang dilakukan antara para ahli waris e. Harta Warisan adalah harta kekayaaan dari pewaris yang telah wafat, baik harta itu telah dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi.40 f. Bathin adalah suatu gelar kepala Adat suku Akit sebagai pemegang kekuasaan formal dalam wilayah sukunya dengan asas adat dan memiliki tugas menjaga keharmonisan pergaulan warga sukunya dengan kendali adat yang dianggap pemimpin suku atau disebut juga 36
Burhan Ashshofa. Metodologi Penelitian Hukum, Rhineka Cipta, Jakarta, 1996. Hlm. 19. Sumadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1989, Hlm.34. 38 Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, 2008, Hlm.1. 39 Dewi Sulastri, Pengantar Hukum Adat, Penerbit Pustaka Setia, Bandung, 2015, Hlm. 138. 40 H.Hilman Hadikusuma. Op.cit, Hlm.11 37
Universitas Sumatera Utara
Kepala suku.41 g. Kecamatan Rupat Utara adalah sebuah desa terpencil yang terletak di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau yang menjadi tempat tinggal tetap bagi lebih dari 500 kepala keluarga masyarakat suku Akit. G. Metode Penelitian Pada penelitian hukum ini menjadikan bidang ilmu hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induk. Penelitian hukum atau suatu kegiatan ilmiah didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum dengan jalan menganalisanya.42 Metodologi yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis berdasarkan suatu sistem dan konsisten berarti tidak bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.43 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis empiris yaitu suatu penelitian hukum yang mempergunakan data primer yaitu data yang didapat langsung melalui penelitian lapangan dengan melihat sesuatu berdasarkan kenyataan hukum di dalam masyarakat, melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di dalam masyarakat yang berfungsi sebagai penunjang untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi keperluan penelitian atau penulisan
41
UU. Hamidy. Op.cit, Hlm. 166. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hlm.42. 43 Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, Hlm.10. 42
Universitas Sumatera Utara
hukum.44 Penelitian Empiris yang dibutuhkan untuk mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma tersebut bekerja dalam masyarakat.45 2. Sifat Penelitian Adapun sifat penelitian adalah deskriptif analitis. Metode deskriptif analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah pembagian waris Suku Akit yang kemudian diteliti melalui sampel atau data yang telah terkumpul dan membuat kesimpulan yang berlaku umum dari masalah yang dibahas. 3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dalam penelitian ini di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. 4. Populasi dan Sampel a. Populasi Populasi, adalah sekumpulan obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian unit yang akan diteliti. Yang menjadi populasi pada penelitian ini adalah seluruh masyarakat suku Akit yang tinggal di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
44
Zainuddin Ali, Op.cit, Hlm.105. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2010, Hlm. 49. 45
Universitas Sumatera Utara
b. Sampel Untuk
mempermudah
penelitian maka
ditentukan sampel. Sampel
merupakan bagian dari populasi yang akan dijadikan objek penelitian yang dianggap dapat mewakili keseluruhan Populasi, dan metode yang digunakan untuk menentukan sampel adalah Metode Purposive Sampling. Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah Masyarakat suku Akit jumlah 25 (dua puluh lima) Kepala Keluarga yang tinggal di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Adapun penentuan syarat sampel ini yaitu: 1. Masyarakat Adat Suku Akit yang pernah membagi waris secara hukum Adat 2. Masyarakat Adat Suku Akit yang menjadi penduduk tetap di Kecamatan Rupat utara 3. Masyarakat Adat suku akit yang masih menggunakan hukum Adatnya 5. Responden dan Informan Penelitian a. Responden Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat adat suku Akit yang Masyarakat Adat Suku Akit yang pernah membagi waris secara hukum Adat, masyarakat Adat Suku Akit yang menjadi penduduk tetap di Kecamatan Rupat utara dan masyarakat Adat suku Akit yang masih menggunakan hukum Adatnya. Adapun jumlah Responden penelitan sebanyak 25 (dua puluh lima) Kepala Keluarga suku Akit di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau.
Universitas Sumatera Utara
b. Informan Untuk melengkapi data penelitian, diperlukan tambahan informasi dari nara sumber yaitu orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan objek penelitian yang terdiri dari: 1. Kepala Adat Suku Akit ( Bathin) jumlahnya 4 (empat) orang 2. Kepala Penghulu Desa Titi Akar jumlahnya 1 (satu) orang 3. Dosen Hukum Adat Jumlahnya 1 (satu) orang 4. Dosen Antropologi Hukum Jumlahnya 1 (satu) orang 6. Sumber Data Penelitian Sumber data dalam penelitian ini meliputi beberapa hal yaitu : a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya baik melalui wawancara, kuisioner, observasi (baik partisipasi maupun non partisipasi). b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian daalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan. Data sekunder tersebut dapat dibagi menjadi: 1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer ialah salah satu sumber hukum yang penting bagi sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan hukum primer meliputi bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian.
Universitas Sumatera Utara
Bahan hukum yang difokuskan oleh peneliti adalah peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengakuan masyarakat suku Akit sebagai masyarakat Hukum Adat. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan dan memperkuat bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya pakar hukum, buku teks, buku bacaan hukum, jurnal-jurnal, serta bahan dokumen hukum lain yang terkait. 3) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedi, kamus bahasa, artikel, sumber data elektronik dari internet dan lain-lain yang relevan dengan penelitian ini. 7. Teknik Pengumpulan Data Adapun Teknik Pengumpulan Data yang di gunakan adalah: a. Penelitian Kepustakaan Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan melakukan penelitian kepustakaan (library resarch), yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari serta menganalisa ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengakuan masyarakat suku Akit sebagai masyarakat Hukum Adat.
Universitas Sumatera Utara
b. Penelitian Lapangan Penelitian Lapangan (field research) dalam penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data pendukung yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian Lapangan ini dilaksanakan selama + 3 (tiga) bulan di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat Kabupaten Bengkalis. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Observasi yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung. Pengamatan langsung terhadap kehidupan masyarakat suku akit serta upacara perkawinannya dengan cara melihat langsung dan mengabadikannya lewat foto (kamera). 2. Wawancara, yaitu tanya jawab langsung dengan informan secara terstruktur dengan menyiapkan pedoman wawancara yang diarahkan kepada masalah yang sedang diteliti. Wawancara ini dilakukan kepada Kepala suku Akit (Bathin), Kepala Desa Titi Akar, Ketua Pengadilan Negeri Bengkalis, Kepala Kantor Kecamatan Rupat Utara, dan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis serta masyarakat suku Akit yang pernah melakukan pembagian harta warisan, hasil wawancara tersebut direkam serta ditulis di buku. 3. Kuisioner, yaitu metode pengumpulan data dengan cara membuat daftar-daftar pertanyaan yang memiliki korelasi dengan permasalahan yang diteliti, yang pada umumnya dalam daftar pertanyaan itu telah disediakan jawaban-jawabannya kepada responden. Dengan demikian
Universitas Sumatera Utara
responden hanya diberi tugas untuk memilih jawaban sesuai dengan seleranya. Kendatipun demikian, tidak tertutup kemungkinan pula bahwa dalam kuisioner itu bentuk pertanyaannya model essei, dimana hal
ini
responden
sendirilah
yang
memberikan
jawabannya.
Penggunaan kuisioner ini amat efektif bila jumlah sampelnya banyak. Teknik penelitian kuisioner ini dilakukan kepada Masyarakat suku Akit yang pernah melakukan pembagian warisan. 8. Analisis Data Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti46. Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan satuan urutan dasar.47 Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data dengan pendekatan kualitatif, yaitu analisis data terhadap data primer dan data sekunder. Analisis data penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang terkumpul untuk dipergunakan memecahkan masalah yang dijadikan objek penelitian.48
46
Heru Irianto dan Burhan Bungin, Pokok-Pokok Penting Tentang Wawancara dalam Metodologi Penelitian Kualitatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hlm. 143. 47 Lexy J. Moleong, Metode Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, Hlm. 3. 48 Johan Nasution. Metode Penelitian Hukum. Mandar Maju, Jambi, 2008, Hlm. 174.
Universitas Sumatera Utara
Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan kemudian dikumpulkan dan dikelompokkan sesuai dengan data yang sejenis. Data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, serta disusun secara berurutan dan sistematis untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif dengan metode deskriftif analisis sehingga dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam pembagian waris adat suku Akit di Kecamatan Rupat Utara. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka dapat ditarik kesimpulan dengan menggunakan kerangka berfikir Induktif kualitatif.
Universitas Sumatera Utara