BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara multikultural yang didalamnya terdapat berbagai kehidupan manusia yang memiliki berbagai perbedaan baik dari agama, ras, bahasa, dan etnis. Selain dikenal sebagai negara multikuktural, Indonesia juga terkenal dengan negara multietnis 1. Ada berbagai etnis yang tinggal dan menetap di Indonesia, sebagian besar merupakan etnis asli dan selebihnya adalah etnis pendatang. Beberapa etnis pendatang yang ada di Indonesia adalah etnis Tionghoa, etnis Arab, etnis India 2. Politik identitas dapat menjadi bahan kajian yang menarik untuk ditelaah dengan keadaan yang ada di Indonesia. Politik identitas dapat diartikan sebagai tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota suatu kumpulan karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan 3. Dari berbagai etnis pendatang tersebut yang paling banyak terlihat membaur dalam struktur masyarakat Indonesia adalah etnis Tionghoa. Menurut Leo Suryadinata, jumlah penduduk Indonesia Tionghoa naik sekitar 1,45% sampai 2,04% setiap tahun 4. Walaupun Indonesia negara multietnis namun sikap prejudice terhadap etnis Tionghoa, masih berlangsung sampai saat ini. Pada masa orde lama dan orde baru, kekuatan etnis Tionghoa ini sering termarginalkan secara politik. Mereka tidak mempunyai wadah khusus untuk meyalurkan
1
Ma'rifah, Yusfirlana Nuri dan Warsono. 2014. “Orientasi Politik Politisi Etnis Cina”. Kajian Moral dan Kewarganegaraan. Nomor 2 Volume 1 Tahun 2014, hal. 143 2 Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta, hal. 304 3 Triyono Lukmantoro. 2008. Kematian Politik Ruang. Jakarta : Kompas, hal. 2 4 Leo Suryadinata. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta : Kompas, hal. 5
aspirasi politik mereka yang mengakibatkan terjadinya perubahan identitas etnis Tionghoa 5. Bahkan, dalam urusan birokrasi, mereka sering mendapat perlakuan diskriminatif. Fenomena perubahan identitas ini terlihat pada identitas etnis Tionghoa di Indonesia. Jika dilihat dari sejarah etnis Tionghoa di Indonesia secara keseluruhan, kehidupan etnis Tionghoa mengalami pasang surut yang diakibatkan oleh kondisi sosial politik dalam dan luar negeri Indonesia. Sejarah bangsa Indonesia, selalu menjadikan etnis Tionghoa pada posisi yang tidak menentu, dan cenderung menjadi korban atas situasi sosial politik Indonesia yang selalu bergejolak. Hegemoni negara maupun dominasi etnis mayoritas atas etnis Tionghoa demikian kuatnya, yang menyebabkan etnis Tionghoa selalu dihadapkan pada kondisi-kondisi yang sulit yang mempengaruhi eksistensinya sebagai sebuah etnis 6. Baru pada masa reformasi, timbul usaha yang mulai dirintis pada masa pemerintahan Gus Dur dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri: Ia menghapus Inpres no.14 tahun 1967 dan menggantinya dengan Keppres no. 6 tahun 2000. Perayaan tahun baru Imlek, Barongsai, Cap Gomeh, Festival Peh Cun dan tradisi berperahu dikali Cisadane kembali mewarnai dinamika kota-kota besar di Indonesia. Untuk pertama kalinya setelah 32 tahun, perayaan Imlek dapat dilakukan dengan terbuka dan sah, tanpa harus sembunyi-sembunyi 7. Pada dasarnya, sejak reformasi bergulir, terdapat lima kelompok politik utama dalam masyarakat Tionghoa. Mereka adalah: (1) yang merasa perlu menonjolkan identitas dalam berpolitik, dengan mendirikan partai Tionghoa, (2) yang merasa perlu memperjuangkan platform persamaan hak dalam sebuah partai politik, misalnya dengan mendirikan partai Bhineka Tunggal Ika, (3) kelompok yang menginginkan sebuah forum yang memberikan tekanan terhadap 5
Choirul Mahfud. 2013. Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 160 Ibid., hal. 155 7 Dr. Yusiu Liem. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina. Jakarta: Djambatan, hal. x 6
pemerintah untuk membela hak-hak mereka, (4) mereka yang membentuk paguyuban, kelompok atau organisasi massa karena rasa senasib dan sepenanggungan, (5) mereka yang bergabung ke dalam partai-partai nasionalis, partai-partai Islam dan partai-partai Kristen yang ada dan bersedia menerima mereka 8. Organisasi-organisasi Tionghoa di Indonesia juga banyak memperjuangkan aspirasi dan mengawal kepentingan warga Tionghoa. Dari sini dapat dilihat bahwa komunitas Tionghoa tetap harus memiliki wadah politik efektif untuk membela hak dan memenuhi kewajibannya sebagai Warga Negara Indonesia berbentuk hilangnya semua UU yang bersifat diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa dan dimungkinkannya Multiculturalism berkembang sebagai kebiasaan hidup sehari-hari di Indonesia dengan adanya partai dan organisasi ini 9. Dan keterlibatan ini harus merupakan bagian arus induk. Organisasi ini tetap mempertahankan identitas etnisnya 10. Jumlah orang Cina-Indonesia yang mengikuti pemilihan anggota legislatif DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) atau Pilkada (Pemilihan kepada daerah), meningkat. Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa partisipasi dan peran aktif warga Tionghoa dalam dinamika sosial, politik dan kultural di kawasan Medan kian membaik sejak Reformasi. Terlihat dari kebebasan yang diberi pemerintah dalam segala aspek politik ataupun segala kegiatan Pemilu dan ekonomi. Seiring desentralisasi dan peningkatan signifikansi politik lokal, partisipasi politik komunitas Tionghoa di daerah dengan distribusi komunitas Tionghoa yang cukup besar bisa menjadi studi kasus yang menarik. Tantangan terbesar adalah sejauh mana kader politik Tionghoa bisa secara lintas etnis menyerap aspirasi lokal dan turut serta dalam proses problem8
Juliastutik. 2010. “Perilaku Elit Politik Etnis Tionghoa Pasca Reformasi”. Humanity. Volume 6 No. 1 Tahun 2010, hal. 46-47. 9 http://id.inti.or.id/specialnews/10/tahun/2007/bulan/04/tanggal/21/id/248/ Diakses pada tanggal 11 Desember 2014 pada pukul 14:29 WIB 10 Juliastutik, Loc.cit., hal. 48
solving di lingkungan mereka melalui jalur politik lokal (partai politik, DPR-D, DPD, maupun LSM). 11 Kota Medan sendiri merupakan salah satu Kota dengan populasi etnis Tionghoa yang berjumlah besar. Tionghoa yang dari dulu sudah menempati Medan sejak masa perdagangan ketika zaman penjajahan menjadi suku terbanyak ketiga. Presentasi jumlah penduduk Medan dari suku Tionghoa yakni sebanyak 11% 12. Revitalisasi atas peran warga etnis Tionghoa di era Reformasi sekarang ini semakin mendapat momentumnya setelah sejumlah tokoh Tionghoa terpilih sebagai menteri kabinet dan sebagian lainnya terpilih menjadi wakil rakyat di DPR-RI maupun DPRD. Bahkan Pemilukada kota Medan yang berlangsung pada tahun 2010, telah menjadi wahana bagi warga suku Tionghoa untuk melakukan perubahan baik dalam bidang sosial maupun politik. Melalui keikutsertaan dr. Sofyan Tan, seorang tokoh masyarakat Tionghoa di kota ini, Pemilukada kota Medan yang berlangsung 12 Mei 2010 telah menjadi momentum bagi etnis Tionghoa menunjukkan peran dan keberadaannya sebagai bagian integral dalam kehidupan warga kota Medan. Dan pada pemilihan legislatif 2014 semakin banyak warga Tionghoa yang ikut mencalonkan diri sebagai anggota legislatif baik pusat maupun daerah 13. Bila dilacak dari sejarah Indonesia, politik identitas yang muncul cenderung bermuatan etnisitas, agama dan ideologi politik. Terkait dengan kondisi bangsa Indonesia yang multikulturalisme, maka politik identitas dapat menjadi bahan kajian yang menarik untuk ditelaah. Menguatnya gejala politik identitas terutama akhir-akhir ini, lebih banyak dipengaruhi
11
Tjhin, Christine Susanna. 2005. “Reflection on the Identity of the Chinese Indonesians”. CSIS Working Paper Series 12 http://www.ceritamedan.com/2013/09/mengenal-suku-di-medan.html Diakses pada tanggal 14 Januari 2015 pada pukul 20:20 WIB 13 http://sumatra.bisnis.com/m/read/20140323/1/50068/warga-tionghoa-di-sumut-semakin-banyak-yang-terjun-kepolitik Diakses pada tanggal 28 Desember 2014 pada pukul 20:08 WIB
kepentingan politik praktis. Dari deskripsi di atas maka timbul masalah mengenai etnis Tionghoa yang ada di Indonesia khususnya di Kota Medan yaitu Bagaimana politik identitas etnis Tionghoa di Kota Medan. 1.2 Tinjauan Pustaka Peneltian ini terkait pada penelitian sebelumya yaitu penelitian Tri Yudha Handoko. Penelitian Tri Yudha Handoko mengenai Politik Identitas Etnis Cina di Indonesia mencoba menguraikan fakta-fakta tentang adanya diskriminasi terhadap etnis Cina di Indonesia. Ketika Republik Indonesia didirikan pada Agustus 1945, secara yuridis formal semua warga yang berada di wilayah Republik Indonesia secara politis menjadi seorang warga Negara Republik Indonesia, baik dia keturunan asli, indo, timur asing maupun asal-usul jenis ras, suku, agama, daerah, atau lingkungan adat tertentu. Namun, di luar jangkauan tekad politik atau yuridis formal, kehidupan warga negara Indonesia “keturunan” (Tionghoa, Arab, Indo-Eropa atau “nonpribumi lainnya) tetap menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan kehidupan sehari-hari bahwa sebagian dari mereka menghadapi perlakuan diskriminasi yang dirasakan menyakitkan. Hal ini tampak pada praktekpraktek diskriminatif di bidang administratif. Pemerintah Indonesia menerapkan berbagai kebijakan diskriminatif (banyak yang tidak tertulis) terhadap warga etnis Cina dalam aspek kehidupan dan kegiatan lain. Otoritas pemerintah Indonesia juga mempersulit warga etnis Cina secara administratif, seperti memperoleh Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor, akta lahir, izin menikah, dan sebagainya kecuali bila melakukan pembayaran “di balik pintu”.Padahal Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2008 mempertegas dan memperluas penghapusan diskriminasi ras dan etnis, yang dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai universal dan diselenggarakan
dengan memperhatikan nilai-nilai agama, social budaya dan hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori tentang Nasionalisme dan Kewarganegaraan dari Koerniatmanto Soetoprawiro, Kansil, Harold J. Laski, AS Hikam; Teori tentang Politik Identitas oleh Gabriel Almond; Teori Keadilan (Justice) dari Thommas Hobbes, Ibnu Taimiyah, Jhon Rawls, Soerjono Soekanto; dan juga teori tentang Persamaan (Equality) dan diskriminsi. 1.3 Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penilitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah 14. Dari penjelasan pada latar belakang diatas maka yang menjadi pertanyaan penelitian adalah : Bagaimana politik identitas etnis Tionghoa di Kota Medan? 1.4 Pembatasan Masalah Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebatas pada politik identitas masyarakat etnis Tionghoa di kota Medan dan bagaimana pembentukan identitas politik tersebut. 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah :
14
Husani Usman dan Purnomo. 2004. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung : Bumi Aksara, hal. 26
1. Untuk mencari tahu politik identitas masyarakat etnis Tionghoa di Kota Medan. 2. Mendeskripsikan politik identitas masyarakat etnis Tionghoa di Kota Medan dan mendeskripsikan politik identitas tersebut dari data yang telah diolah. 1.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai politik identitas etnis Tionghoa. 2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan bukan hanya bagi peneliti tapi juga akademisi lainnya mengenaikajian politik identitas etnis Tionghoa di Kota Medan melalui organisasi yang ada. Serta dapat menjadi referensi bagi departemen ilmu politik FISIP USU. 3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu membantu masyarakat dalam memamahi politik identitas etnis Tionghoa di Kota Medan serta dapat menambah wawasan pembaca mengenai etnis Tionghoa di Indonesia khususnya di Kota Medan.
1.7 Kerangka Teori 1.7.1
Teori Politik Identitas Menurut Lukmantoro, politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan
kepentingan-kepentingan dari anggota suatu kumpulan karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan 15. Kemunculan politik identitas merupakan respon terhadap pelaksanaan hak-hak asasi manusia yang seringkali
15
Lukmantoro, Triyono. Op.Cit, hal. 2
diterapkan secara tidak adil. Lebih lanjut dikatakannya bahwa secara konkret, kehadiran politik identitas sengaja dijalankan kumpulan- kumpulan masyarakat yang mengalami marginalisasi. Hak-hak politik serta kebebasan untuk berkeyakinan mereka selama ini mendapatkan hambatan yang sangat signifikan 16. Politik Identitas ini terkait dengan upaya-upaya mulai sekedar penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai-nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yaitu penentuan nasib sendiri atas asas keprimordialan 17. Identitas menurut Jeffrey Week adalah berkaitan dengan belonging tentang persamaan dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan seseorang dengan yang lain. Pendapat Jeffrey Week tersebut menekankan pentingnya identitas bagi tiap individu maupun bagi suatu kelompok atau komunitas 18. Namun demikian, sebenarnya akan lebih mudah bila kita memahami konsep identitas ini dalam bentuk contoh. Ketika seseorang lahir, ia tentu akan mendapatkan identitas yang bersifat fisik dan juga non-fisik. Identitas fisik yang terutama dimiliki adalah apakah ia berjenis kelamin pria atau wanita. Sedangkan untuk identitas non-fisik adalah nama yang digunakan, juga status yang ada pada keluarga pada saat dilahirkan. Identitas dalam sosiologi maupun politik biasanya dikategorikan menjadi dua kategori utama, yakni identitas sosial (kelas, ras, etnis, gender, dan seksualitas) dan identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan (citizenship). Identitas sosial menentukan posisi subjek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subjek di dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus menandai posisi subjek yang lain di dalam 16
Ibid., hal. 3-4 Abdilah S. Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis : Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang : Indonesiatera, hal 16 18 Widayanti, Titik. 2009. Politik Subalter: Pergulatan Identitas Waria. UGM. Yogyakarta, hal 14 17
suatu pembedaan (sense of otherness) 19. Identitas politik (political identity) secara konseptual berbeda dengan “politik identitas” (political of identity). Identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam suatu ikatan komunitas politik, sedangkan pengertian politik identitas mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik 20. Secara sederhana, apa yang dimaksud identitas didefinisikan sebagai karakteristik esensial yang menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Identitas merupakan karakteristik khusus setiap orang atau komunitas yang menjadi titik masuk bagi orang lain atau komunitas lain untuk mengenalkan mereka 21. Ini adalah definisi umum yang sederhana mengenai identitas dan akan kita pakai dalam pembahasan berikutnya mengenai politik identitas. Menurut Stuart Hall, identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari sense (rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas. Dari pernyataan tersebut, maka ketika identitas diformulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang memiliki berbagai persamaan dengan orang lain, maka pada saat yang bersamaan juga identitas memformulasikan otherness (keberbedaan) atau sesuatu yang diluar persamaan-persamaan tersebut. Sehingga karakteristik identitas bukan hanya dibentuk oleh ikatan kolektif, melainkan juga oleh kategori-kategori pembeda (categories of difference) 22. Stuart Hall membedakan identitas dalam tiga cara yaitu pertama, sebagai subyek pencerahan yang memiliki kemampuan nalar dan bertindak dalam memahami dirinya. Identitas dalam artian ini berpusat pada diri subyektif; kedua, sebagai subyek sosiologis yang dibentuk dalam kaitan di luar kediriannya sebagai subyek pencerahan. Dia merupakan kedirian yang mengarah pada subyek-subyek lain yang berpengaruh terhadapnya yang menempatkan subyek dalam kerangka 19
Setyaningrum, Arie. 2005. “Memetakan Lokasi bagi ‘Politik Identitas’ dalam Wacana Politik Poskolonial”. Jurnal Mandatory Politik Perlawanan. Edisi 2/ Tahun 2/ 2005, hal. 19 20 Ibid. hal, 20-21 21 Widayanti, Titik. Op.cit., hal 13 22 Setyaningrum, Arie. Loc.cit., hal 26
nilai, makna dan simbol, kebudayaan di sekitarnya 23. Dan yang ketiga adalah identitas sebagai subyek paskamodern yang menempatkan subyek sebagai yang sama sekali berbeda, yang merupakan kombinasi dari beragam sumber identitas dan tidak satu arah. Identitas adalah biografi subyektif yang utuh dalam keragaman dan keberbedaannya 24. Identitas selalu melekat pada setiap individu dan komunitas. Identitas merupakan karekteristik yang membedakan antara orang yang satu dengan orang yang lain supaya orang tersebut dapat dibedakan dengan yang lain. Identitas adalah pembeda antara suatu komunitas dengan komunitas lain. Identitas mencitrakan kepribadian seseorang, serta bisa menentukan posisi seseorang. Ada 3 pendekatan pembentukan identitas, yaitu: 1. Primodialisme. 2. Konstruktivisme. 3. Instrumentalisme. Perspektif primordialis melihat identitas sebagai sesuatu yang sudah pasti dan given serta menekankan faktor kekuatan emosi sebagai penguat dalam afiliasi dengan melihat aspek agama, bahasa, adat-istiadat, dan sebagainya. Perspektif instrumentalis melihat bahwa identitas adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan yang dibangun dengan proses manipulasi dan mobilisasi dengan memanfaatkan atribut-atribut identitas yang sudah tersusun sejak awal. Sementara itu, perspektif konstruktivis melihat bahwa identitas dikonstruksi, dipilih dan diberi penekanan dalam interaksi-interaksi sosial, juga bahwa kelompok etnis dipandang sebagai sebuah unit yang ditentukan oleh batas-batas sosialnya 25.
23
Stuart Hall, D. Held and T. McGrew.1992. Modernity and Its Future. Cambridge: Polity Press, hal. 275 Ibid., hal 277 25 Widayanti, Titik. Op.cit., hal 14-15 24
Agnes Heller mengambil definisi politik identitas sebagai konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama 26. Jadi dapat disimpulkan bahwa politik identitas adalah suatu tindakan politik yang dilakukan individu atau sekelompok orang yang memliki kesamaan identitas baik dalam hal etnis, jender, budaya, dan agama untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan anggotanya. Kemunculan politik etnis diawali oleh tumbuhnya kesadaran yang mengidentikkan mereka ke dalam suatu golongan atau kelompok etnis tertentu. Kesadaran ini kemudian memunculkan solidaritas kekompakkan dan kebangsaan. Politik etnis mengacu pada politik “kelompok etnis” dan “minoritas kecil”, sementara penafsiran kelompok etnis bisa mencakup bangsa etnis (ethnic nation). Pada wacana politik kontemporer nuansanya lebih sempit. Dalam konteks ini, biasanya kelompok etnis atau minoritas etnis tidak memiliki teritori tertentu. Tujuan mereka pun berbeda dengan nasionalis klasik, mereka tidak menghendaki “determinasi diri kebangsaan” dalam suatu wilayah bangsa (negara). Akan tetapi, lebih pada penerimaan proteksi dan kemajuan bagi kelompok, khususnya bagi individu-individu dalam kelompok itu, dalam suatu negara yang telah ada. Pemanfaatan identitas untuk mencapai sebuah tujuan disebut dengan politik identitas. Menurut Bagir, politik identitas setidaknya dicirikan oleh adanya persepsi penindasan masa lalu, tuntutan untuk keadilan melalui perlakuan berbeda untuk mengkompensasikan penindasan tersebut, dan penggunaan suatu identitas sebagai basis klaim 27. Adapun definisi politik identitas sebagai politik yang fokus utamanya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik dan karakter fisiologis, serta
26
Abdilah S. Ubed. Op.cit., hal. 16 Zainal Abidin Bagir. 2011. Pluralisme Kewargaan, Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia. BandungYogyakarta : Mizan dan CRCS, hal. 20 27
pertentangan-pertentangan yang muncul akibat asumsi-asumsi dan karakter tersebut 28. Politik yang dibangun atas basis etnis memang diawali oleh kesadaran untuk mengidentikkan diri ke dalam suatu golongan atau kelompok etnis tertentu 29. Kesadaran inilah yang memunculkan solidaritas pengelompokkan tersebut sehingga eksklusivitas menjadi tidak terhindarkan. Masalahnya identitas seringkali hanya menjadi pembungkus isu-isu lain yang sebetulnya lebih berkaitan dengan distribusi sumber-sumber daya.
Dalam politik, etnis senantiasa menjadi perhatian besar terutama dalam hubungannya dengan peran pengembangan kesadaran kolektif, kesukuan sampai dengan tingkat kebangsaan dan negara bangsa. Makna yang terkandung dalam kata etnis ternyata mengalami evolusi. Perubahan makna ini bisa dilihat dari kondisional dan disiplin ilmu : makna asal, kondisi primitif dari sisi antropologis. Perkembangannya pada era modern seiring dengan perjalanan politik dan interaksi sosiologis. Akan lain lagi maknanya dalam kacamata posmodernisme dan globalisme.
A. Etnisitas Menurut Em Zul Fajri dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia bahwa etnis berkenaan dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang
mempunyai arti atau
kedudukan karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Sedangkan menurut Ariyuno Sunoyo dalam Kamus Antropologi, bahwa etnis adalah suatu kesatuan budaya dan territorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam suatu peta etnografi 30. Setiap kelompok memiliki batasan-batasan yang jelas untuk memisahkan antara satu kelompok etnis dengan etnis
28
Abdillah S. Ubed. Op.cit., hal. 22 Ibid., hal. 17 30 Ariyuno Suyono. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta : PT. Pressindo 29
lainnya. Menurut Koentjaraningrat, konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga 31. Ciri-ciri tersebut terdiri dari: Suku bangsa yang sering disebut etnik atau golongan etnik mempunyai tanda-tanda atau ciri-ciri karekteristiknya 32. 1. Memiliki wilayah sendiri. Hak memiliki itu diperoleh dari para pendahulu yang dianggap sebagai pemilik pertama atau terdahulu. Wilayah yang dimiliki itu penting sekali karena merpakan jaminan keabsahan dan kebenaran keanggotaan suku bangsa 2. Mempunyai struktur politik sendiri berupa tata pemerintahan dan pengaturan kekuasaan yang ada 3. Adanya bahasa sendiri yang menjadi alat komunikasi dalam interaksi. Selain alat komunikasi bahasa tersebut dianggap juga sebagai idetintas sukubangsa. Bahasa sukubangsa tersebut masih sering digunakan dalam interaksi antara anggota sukubangsa, khususnya dalam acara dan upacara kesukubangsaan, seperti upacara perkawinan, upacara kematian, dan lain-lain. 4. Mempunyai seni sendiri (seni tari lengkap dengan alat-alatnya, cerita rakyat, seni ragam hias dengan pola khas tersendiri) 5. Seni dan teknologi arsitektur serta penataan pemukiman. Berbagai bentuk rumah dan bangunan lain dapat ditemukan menunjukkan kekhasan arsitektur masing-masing sukubangsa
31
Koentjaranigrat. 1982. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan, hal. 58. Payung Bangun. 1998. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UKI, hal. 63 32
6. Sistem filsafat sendiri yang menjadi landasan pandangan, sikap dan tindakan. Filsafat tersebut terdapat sebagai kandungan kebudayaannya dan banyak yang merupakan nilai yang menjadi pokok orientasi mereka 7. Mempunyai sistem religi (kepercayaan, agama) sendiri. Etnisitas secara substansial bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya tetapi keberadaannya terjadi secara bertahap. Etnisitas adalah sebuah proses kesadaran yang kemudian membedakan kelompok kita dengan mereka. Basis sebuah etnisitas adalah berupa aspek kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti misalnya adanya kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, ada kesamaan struktural sosial, bahasa, upacara adat, akar keturunan, dan sebagainya. Berbagai ciri kesamaan tersebut, dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu berperan dan dianggap biasa. Dalam kaitannya, etnisitas menjadi persyaratan utama bagi munculnya strategi politik dalam membedakan “kita” dengan “mereka”. 33 Dalam politik, etnis senantiasa menjadi perhatian besar terutama dalam hubungannya dengan peran pengembangan kesadaran kolektif, kesukuan sampai dengan tingkat kebangsaan dan negara bangsa. Makna yang terkandung dalam kata etnis ternyata mengalami evolusi. Perubahan makna ini bisa dilihat dari kondisional dan disiplin ilmu : makna asal, kondisi primitif dari sisi antropologis. Perkembangannya pada era modern seiring dengan perjalanan politik dan interaksi sosiologis. Akan lain lagi maknanya dalam kacamata posmodernisme dan globalisme. Agnes Haller menguatkan hal ini, bahwa politik identitas sendiri merupakan milik dari budaya massa dan erat kaitannya dengan revolusi kebudayaan yang terjadi pada era posmodern. Dengan demikian, politik identitas dapat pula dikategorikan sebagai politik kebudayaan. Teoritisi lainnya adalah Anthony D. Smith, yang mengemukakan teori tentang etnisistas sebagai awal dari
33
Ivan. A. Hadar. 29 Mei 2000. Etnisitas dan Negara Bangsa. Kompas
bangkitnya nasionalisme. Etnisitas memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap nasionalisme. Menguatanya identitas kesukuan memepunyai berbagai konsekuensi. Dua jenis konsekuensi antara lain pertama, adakah menjaukan diri atau bahkan keluar dari tatanan negara bangsa dan kedua adalah berusaha mendudukkan orang sesuku dalam pemerintahan negara-bangsa, hal ini dapat kita lihat dalam realitas kehidupan sehari-hari di dalam jajaran pemerintahan dari pusat hingga ke daerah dimana para pejabat lebih senang mendudukkan orang di sekitarnya yaitu orang yang seetnis atau sedaerah dengannya. 1.8 Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitataif. Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tematema yang umum, dan menafsirkan makna data. 34 1.8.1
Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif.
Jenis penilitian deskriptif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan ihwal
34
John W. Creswell. 2012. Research Design. Yogyakarta. Pustaka Pelajar, hal. 4
masalah atau objek tertentu secara rinci. Penelitian deskriptif dilakukan untuk menjawab sebuah atau beberapa pertanyaan mengenai keadaan objek atau subjek amatan secara rinci. 35 1.8.2
Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanan di : 1. Kantor organisasi INTI (Jl. T. Amir Hamzah Ruko Griya Riatur Indah Blok B No.184186 Medan) 2. Kantor organisasi PASTI (Jl. Jendral A. Yani No. 45-49 Medan) 1.8.3
Teknik Pengumpulan Data
a. Data primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari sumber data pertama di lokasi penelitian atau objek penelitian. 36 Dalam penelitian ini yang digunakan adalah pengumpulan data dengan teknik wawancara. Dalam wawancara kualitatif, peneliti dapat melakukan face to face interview ( wawancara berhadap-hadapan) dengan partisipan. Wawancara-wawancara seperti ini tentu saja memerlukan pertanyaan-pertanyaan yang secara umum tidak terstruktur dan bersifat terbuka yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini dari para partisipan. 37 Adapun yang menjadi informan dalam wawancara ini yaitu: 1. Ketua INTI Kota Medan 2.
Ketua PASTI Kota Medan
3. Tokoh Masyarakat Tionghoa
35
Bagong Suyanto dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal. 17-18. 36 Burhan Bungin. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal 132. 37 John W. Creswell. Op.cit., hal 267.
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti dari sumber kedua atau data yang sudah ada. Data tersebut dapat diperoleh melalui buku, jurnal, internet ataupun literature lain yang berkaitan dengan judul penelitian.
1.8.4
Teknik Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan menekankan analisisnya pada sebuah proses pengambilan kesimpulan secara induktif dan deduktif serta analisis pada fenomena yang sedang diamati dengan menggunakan metode ilmiah. 38 Dalam penelitian ini data dan informasi yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder selanjutnya disusun dan diuraikan dengan cara menjelaskan fenomena yang ditemukan dalam proses pengumpulan data . Dari data yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teori perwakilan dan sistem pemerintahan untuk menghasilkan suatu analisa terkait masalah yang diteliti. 1.9 Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : Sejarah dan Profil Etnis Tionghoa di Kota Medan
38
Burhan Bungin. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal 103.
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai sejarah etnis Tionghoa di Kota Medan, perkembangannya dan juga profil organisasi yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini. Bab III : Politik Identitas Etnis Tionghoa di Kota Medan Bab ini berisi mengenai penyajian data dan analisis data yang diperoleh dari lapangan mengenai politik identitas etnis Tionghoa di Kota Medan dan juga pengaruhnya terhadap organisasi peranakan yang ada di Kota Medan. Bab IV : Penutup Bab ini terdiri dari kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data dan memberikan saran atas hasil penelitian yang telah diperoleh.