BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kandidiasis adalah istilah yang dipakai untuk infeksi kulit dan selaput lendir
yang disebabkan oleh jamur dari genus Candida (Brown dan Burns, 2005). Sebanyak lebih dari 150 spesies Candida telah diidentifikasi (Anaissie, 2016). Infeksi Candida pada manusia telah ditemukan sebanyak 70% yang disebabkan oleh C.albicans dan sisanya adalah disebabkan oleh C. tropicalis, C. guillermondii, C. kruzei, dan beberapa spesies Candida yang lebih jarang (Keyser et al., 2005). C. albicans dikenal secara normal ada pada saluran pencernaan, saluran pernafasan bagian atas dan mukosa genital pada mamalia. Terdapat sekitar 30-40% C. albicans pada rongga mulut orang dewasa sehat, 45% pada neonatus, 45-65% pada anak-anak sehat, 50-65% pada pasien yang memakai gigi palsu lepasan, 65-88% pada orang yang mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang, 90% pada pasien leukemia akut yang menjalani kemoterapi, dan 95% pada pasien HIV/AIDS (Langlais, 1998). Jamur C. albicans merupakan fungi opportunistik penyebab sariawan, lesi pada
kulit,
kandidiasis
vulvovaginali,
candiduria,
dan
gastrointestinal
candidiasis. Salah satu penelitian menyebutkan bahwa telah terjadi peningkatan prevalensi pada kasus kandidiasis vulvovaginalis di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dalam periode Januari sampai dengan April 2010. Pasien dengan kandidiasis vulvovaginalis diperoleh sebanyak 34 pasien dimana sebagian besar ditemukan karena terinfeksi C. albicans (Srihartati, 2011). Beberapa faktor yang berpengaruh
1
2
pada patogenitas dan proses infeksi dari C. albicans adalah menurunnya sistem imun, pengobatan antibiotik spektrum luas, perubahan dari bentuk khamir ke bentuk filamen dan produksi enzim ektraselular (Naglik et al., 2004). Dalam beberapa tahun terakhir, mikroorganisme patogen yang ada pada tubuh manusia telah berkembang menjadi semakin resisten. Perea and Patterson (2002) menyatakan bahwa pasien dengan kandidiasis osofaring yang diakibatkan oleh spesies jamur C. albicans ditemukan telah resisten terhadap obat flukonazol sebanyak 21% pada pasien karena penggunaan jangka panjang. Selain itu, penelitian Srihartati (2011) juga melaporkan bahwa resistensi C. albicans ditemukan sebanyak 16,7% terhadap itrakonazol dan 5,6% resisten terhadap flusitosin. Sebagai alternatif resistensi tersebut diperlukan pencarian obat antifungi baru yang salah satunya dapat diajukan suatu pengembangan obat yang secara empiris sudah sering digunakan oleh masyarakat, yaitu sirih hijau. Sirih hijau merupakan salah satu jenis tanaman yang sering digunakan dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat seperti keputihan, membunuh jamur, mengurangi lendir di vagina, dan sariawan (Soenanto dan Kuncoro, 2009). Daun sirih memiliki aroma khas yang berasal dari adanya minyak atsiri yang mengandung senyawa terpinen-4-ol, safrole, alilpirokatekol monoasetat, eugenol, eugenil asetat, hidroksil kavikol, piper betol, kadinen karvakrol, katekol alil, kavikol, kariopilen, kavibetol, sineol, estragol, sesquiterpen, dan monoterpen (Sugumaran et al., 2011). Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa minyak atsiri daun sirih hijau memiliki potensi sebagai agen antifungi terhadap C. albicans. Pada penelitian Sugumaran et al. (2011), melaporkan bahwa minyak
3
atsiri daun sirih hijau memiliki aktivitas antifungi terhadap C. albicans (MTCC 227), dimana pada konsentrasi 100 µL mampu menghasilkan zona hambat sebesar 24 mm dengan menggunakan metode difusi disk. Pada penelitian lain juga melaporkan bahwa dengan 100 µL minyak atsiri daun sirih hijau mampu menghasilkan zona hambat sebesar 90 mm terhadap C. albicans (UPCC 2168) dengan menggunakan metode difusi sumur dan diperoleh nilai MIC minyak atsiri daun sirih hijau terhadap C. albicans (UPCC 2168) pada konsentrasi 250 µg/mL dengan menggunakan metode dilusi (Adeltrudes and Osi, 2010). Selain itu, telah dilaporkan bahwa isolat hidroksikavikol dalam fraksi kloroform hasil isolasi dari ekstrak air daun sirih hijau efektif dalam menghambat C. albicans (ATCC 90028, ATCC 10231 dan 23 isolat klinikal) hingga 8 x MIC (250 μg/ml) serta mampu menghambat pertumbuhan biofilm yang dihasilkan oleh fungi C. albicans (Ali et al., 2010). Kandungan minyak atsiri dalam suatu tanaman dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, misalnya suhu udara, kelembaban, komposisi mineral, dan kandungan air pada tempat tumbuh (Koensoemardiyah, 2010). Semakin meningkatnya ketinggian tempat tumbuh atau semakin rendahnya suhu lingkungan, kandungan minyak atsirinya akan semakin tinggi (Katno, 2008). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Purwantini dkk.,(2001) yang menyatakan bahwa rendemen minyak atsiri daun sirih hijau semakin banyak pada daerah tempat tumbuh yang tinggi. Sedangkan pada penelitian Hertianti dan Purwantini (2002), melaporkan bahwa aktivitas antifungi minyak atsiri daun sirih hijau terhadap C. albicans lebih besar pada daerah dataran rendah. Menurut Tuteja et al., (2012) pada suhu yang tinggi
4
atau daerah dataran rendah, metabolit sekunder pada tanaman akan banyak terakumulasi karena adanya biosintesis melalui jalur fenilpropanoid yang akan menginduksi produksi senyawa fenol. Selain itu, menurut Hui and Evranuz (2015), pada suhu yang tinggi atau daerah dataran rendah juga akan meningkatkan produksi golongan senyawa terpenoid karena adanya biosintesis melalui jalur asam mevelonat. Pembagian wilayah di Indonesia berdasarkan letak geografisnya dibagi menjadi beberapa ketinggian, yaitu dataran rendah 0 – 200 mdpl, dataran sedang 200 – 1000 mdpl, dan pegunungan 1000 – 2000 mdpl (Sarpian, 2003). Pemilihan sampel pada penelitian ini akan mengacu pada pembagian letak geografis tersebut dengan mengambil sampel dari daerah Bali, yaitu pada daerah dataran rendah (166 mdpl) ; daerah dataran sedang (668 mdpl) ; dan daerah pegunungan (1099 mdpl). Pada penelitian ini, untuk mengetahui golongan senyawa bioaktif minyak atsiri daun sirih hijau sebagai antifungi terhadap C. albicans digunakan metode KLT bioautografi. Penggunaan metode bioautografi mempunyai keuntungan, yaitu dapat mengetahui aktivitas biologi secara langsung dari senyawa kompleks, terutama yang terkait dengan kemampuan suatu senyawa untuk menghambat pertumbuhan mikroba (Kusumaningtyas dkk., 2008). Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa bioaktif penghambat C. albicans secara KLT bioautografi serta dilakukan karakterisasi dengan pereaksi pendeteksi senyawa golongan fenol dan terpenoid yang merupakan komponen penyusun minyak atsiri.
5
1.2
Rumusan Masalah Bagaimana profil golongan senyawa bioaktif yang terkandung dalam
minyak atsiri daun sirih hijau dengan variasi ketinggian tempat tumbuh di Bali yang berfungsi sebagai antifungi terhadap C. albicans ?
1.3
Tujuan Untuk mengetahui profil golongan senyawa bioaktif dalam minyak atsiri
daun sirih hijau dengan variasi ketinggian tempat tumbuh di Bali yang berfungsi sebagai antifungi terhadap C. albicans.
1.4
Manfaat Data yang diperoleh dari penelitian ini mampu memberikan informasi
mengenai profil golongan senyawa bioaktif dalam minyak atsiri daun sirih hijau pada variasi ketinggian tempat tumbuh di Bali yang berfungsi sebagai antifungi terhadap C. albicans dengan menggunakan metode KLT bioautografi serta dapat digunakan sebagai kontrol kualitas untuk memperoleh senyawa bioaktif yang baik dalam penjaminan mutu produk herbal.