BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Istilah instalasi muncul sebagai pergeseran dari istilah pameran
pada
pertengahan
tahun
1970-an. 1
Kedua
istilah
tersebut dipakai secara bergantian untuk menjelaskan karya yang dipasang
di
ruang
pameran. 2
Sejak
itu,
istilah
instalasi
berkembang untuk menyebut jenis seni tertentu. Seni instalasi mengacu pada karya yang menciptakan suatu kondisi kehadiran bagi penonton untuk memasuki, mengitari, dan secara langsung merasakan objek. 3 Partisipasi penonton menjadi kunci utama dalam karya instalasi. Situasi yang dihadirkan oleh karya instalasi diciptakan untuk memberi pengalaman aktif kepada penonton. Seni instalasi kemungkinan merupakan salah satu karya seni rupa yang paling kuat dalam mengaktifkan partisipasi penonton. Batasan antara penonton dan karya, penonton dan ruang, serta ruang dan karya dapat dipatahkan oleh seni instalasi. Sebelum
istilah
seni
instalasi
muncul,
istilah
environment
(lingkungan) digunakan Allan Kaprow untuk menggambarkan 1 Julie H. Reiss, From Margin to Center: The Spaces of Installation Art, (New York: Massachusetts Institute of Technology, 1999), xi. 2 Reiss, 1999, xi. 3 Claire Bishop, Installation Art, (London: Tate Publishing, 2005), 6.
1
karyanya sejak 1958. 4 Salah satu karya Kaprow yang berjudul Words (1962), membicarakan bahwa kepasifan adalah hal yang negatif. 5 Karya tersebut membebaskan penonton untuk memasuki instalasi
ruang
dan
berpartisipasi
aktif
dalam
melengkapi
karyanya.
Gambar 1. Words (1962) karya Allan Kaprow (Sumber: http://sadabombon.com/wpcontent/uploads/post/kaprow/Kaprow.jpg)
Seniman lain yang juga produktif membuat karya seni instalasi adalah Heri Dono. Dono merupakan salah satu seniman kontemporer Indonesia angkatan awal 80-an yang memiliki reputasi internasional. Dono lahir pada 12 juni 1960 di Jakarta. Dono masuk Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia pada 1980 sampai 1987. Eksplorasi medium telah dimulai Dono sejak 1984. Saat itu Dono membuat karya Aquarium Art (1984) dan Mubeng Art
4 5
Reiss, 1999, ix. Reiss, 1999, 15.
2
(1986) yang menggabungkan elemen visual, audio, dan kinetik. Karya seni instalasi Dono berkembang dan semakin interaktif dengan penonton. Fermentation of Mind (1992) menjadi salah satu karyanya
yang
mengandalkan
partisipasi
penonton
untuk
menghidupkan karya.
Gambar 2. Fermentation of Mind karya Heri Dono (Foto: dokumentasi Agni Saraswati, 2015)
3
Gambar 3. Sketsa rancangan karya Fermentation of Mind (Foto: dokumentasi Agni Saraswati, 2015)
Proses kreatif Dono didahului dengan pembuatan rancangan karya. Hal ini juga dilakukan Dono saat pembuatan karya Fermentation of Mind. Sketsa tersebut diwujudkan Dono menjadi sebuah instalasi yang mampu merespon ruang. Pada karya tersebut, Dono melibatkan penonton untuk menghidupkan karya dengan cara menekan tombol tertentu. Penonton akan mendengar suara orang bergumam seperti sedang menghapal sesuatu. Kepala-kepala manusia akan begerak mengangguk-angguk secara acak.
Berdasarkan
pengamatan
tersebut,
terlihat
adanya
4
pertimbangan
tertentu
dalam
pemilihan
medium,
proses
manipulasi medium, dan cara presentasi karya. Menurut David Davies dalam Art as Performance, karya seni merupakan
sebuah
pertunjukan
yang
mencakup
proses
penyampaian isi karya melalui manipulasi medium. 6 Proses tersebut juga dilakukan Dono dalam berproses kreatif. Dono memilih medium yang familiar dengan penonton, yaitu bangku kayu bekas yang kemudian direspon dan ditambahi figur baru sebagai pelengkap. Dono tidak hanya membuat tiruan ruang kelas, tetapi juga menciptakan adegan proses belajar. Efek suara yang beriringan dengan anggukan kepala diciptakan untuk membangun
efek
ilusi
dan
imajinasi
bagi
penonton.
Hasil
pengamatan tersebut mengindikasikan adanya kesadaran Heri Dono dalam mempresentasikan karya instalasi sebagai sebuah pertunjukan.
Penelitian
dilakukan
untuk
mengetahui
latar
belakang Heri Dono dalam membuat karya seni instalasi sebagai sebuah pertunjukan. Berdasarkan penjelasan tersebut, latar belakang pemilihan subjek penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Heri Dono sebagai salah satu seniman yang produktif berkarya seni instalasi, dan (2) adanya kesadaran Heri Dono dalam mempresentasikan karya seni instalasi menjadi sebuah pertunjukan yang interaktif. 6 David Davies, Art as Performances, (London: Blackwell Publishing, 2004), 146.
5
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Heri Dono membangun konsep karya seni instalasinya? 2. Mengapa Heri Dono mempresentasikan karya seni instalasi sebagai sebuah pertunjukan? 3. Mengapa Heri Dono memamerkan ulang karya seni instalasi Fermentation of Nose? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui proses kreatif Heri Dono dalam berkarya 2. Untuk
mengetahui
strategi
Heri
Dono
dalam
mempresentasikan karya seni instalasi sebagai sebuah pertunjukan 3. Untuk mengetahui perbedaan konteks saat karya berpindah ruang pamer D. Manfaat Penelitian 1. Mengetahui
strategi
berkesenian
Heri
Dono
dalam
mempresentasikan karya seni instalasi 2. Mengetahui aspek pertunjukan dalam karya seni instalasi 3. Menjadi referensi dan bahan informasi untuk penelitian berikutnya yang sejenis
6
E. Tinjauan Pustaka Artikel
berjudul
“Surealisme,
Eksperimentalisme,
dan
Spiritualisme Heri Dono” (1993) yang ditulis Dwi Marianto menjelaskan tentang gagasan animasi dan animisme dalam karya Heri Dono. Menurut Dono, Animisme merupakan konsep bahwa semua benda memiliki jiwa dan perasaan. Konsep tersebut tergambar dari objek visual berupa deformasi kartun yang terinspirasi dari film animasi. Dono mempertemukan konsep animasi kartun dengan mistisisme wayang. Wayang dan kartun memiliki
kesamaan.
Keduanya
sama-sama
mengeksplorasi
animasi dengan bentuk fantasi yang dihidupkan. Konsep tersebut melatarbelakangi penciptaan karya-karya Dono. Konsep tersebut tergambar pada objek visual karyanya yang berupa deformasi kartun yang flat (datar) dan fiktif, yang terinspirasi dari film animasi. Pada karya seni instalasi, konsep animisme tertuang pada unsur gerak dan suara yang membuat karya menjadi seolaholah hidup. Konsep tersebut ditulis kembali oleh Jim Supangkat dalam “Upside-down Mind: The Art of Heri Dono” (2003). Tulisan tersebut membicarakan tentang konsep animasi, animisme, dan eksplorasi medium dalam karya Heri Dono. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi Dono, seni seharusnya seperti dunia kartun. Dunia kartun menarik karena sifatnya yang tidak masuk akal. Semua
7
objek hidup dan memiliki jiwa serta perasaan. Konsep tersebut dijadikan landasan berpikir Dono. Tujuan utama seni adalah untuk menjelajahi dunia yang tidak masuk akal dalam pikiran manusia. Bagi Dono, seseorang harus melihat realita dari pikiran terjungkir balik untuk menemukan sebuah kebenaran. 7 Konsep animasi kartun digambarkan dalam visual karya Dono. Konsep animisme terlihat dari penggunaan teknologi untuk membuat karya menjadi begerak dan bersuara seperti makhluk hidup. Eksplorasi medium ditandai saat Dono belajar Wayang kepada Dalang Sukasman pada 1987-1988. Dono mulai merasakan adanya kebutuhan untuk mengeksplorasi kepekaan dalam musik dan teater, seperti pada seni visual. Sejak saat itulah Dono mulai membuat seni instalasi dan melakukan performance art. “Heri Dono: Installation, Technology, Presence, and Absence” (2004) yang ditulis Ian Campbell mengamati adanya karakteristik instalasi Dono yaitu penggunaan teknologi, ready-made (benda temuan), dan konsep animisme. Teknologi merupakan cara Dono mengatasi kebutuhan komunikasi antara seniman dan penonton. Teknologi memungkinkan instalasinya dapat bergerak, mengepak, dan seolah-olah hidup. Hal tersebut sesuai dengan konsep animisme dalam karyanya. Namun teknologi yang dipakai tetap 7 Jim Supangkat, “Upside-down Mind: The Art of Heri Dono”, dalam katalog Upside-down Mind, ditulis oleh Jim Supangkat, (Washington DC: CP Artspace), 2003, 30.
8
membutuhkan
kehadiran
penonton
untuk
menghidupkan
instalasinya melalui cara menekan tombol tertentu. Hal tersebut dimaksudkan sebagai bentuk penentangan terhadap teknologi canggih yang anti-humanist (anti humanis) yang dapat hadir tanpa campur tangan manusia sama sekali. 8 “Reading The Personal Aesthetic Codes of Heri Dono” (2014) yang dimuat dalam buku The World and I: Heri Dono’s Art Odyssey, merupakan penelitian Irma Damajanti tentang topik kreativitas dalam konteks budaya dengan studi kasus karya Heri Dono. Damajanti meneliti karya Heri Dono dari perspektif semiotika. Damajanti merumuskan analisisnya ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) Sumur gagasan yang tak pernah kering, (2) Pengembara estetik di dunia tanda, dan (3) Membaca kode-kode estetik personal Heri Dono, yang bertujuan untuk menjelaskan sejumlah tanda-tanda dan kode estetik dalam karya Heri Dono, serta pesan kultural yang digambarkan secara implisit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa idiolect (kode personal) estetik karya Heri Dono antara lain tidak adanya perspektif, bidang gambar yang terkesan datar, dan tidak adanya dimensi ruang serta perbedaan jelas antara latar belakang dengan latar depan. Karyanya menggambarkan adanya horror vacui (ketakutan
8 http://stiftelsen314.com/oldweb/exhi_prog/heri/index.html pada tanggal 12 Desember 2014 pukul 08.07
diakses
9
pada bidang kosong). 9 Karyanya figuratif dengan berfokus pada mata dan mulut. 10 Nuansa maskulin terlihat dari banyaknya figur laki-laki sebagai sebagai tokoh utama. 11 Maskulinitas juga terlihat dari penggunaan tanda yang khas seperti alat genital, sepatu boots, dan perlengkapan militer. 12 Elly Kent dalam “The World and I: The Aesthetics of Collision and Failure; Heri Dono’s Participation Art Projects” (2014) membingkai diskusi
mengenai praktik partisipatif Heri Dono.
Terdapat tiga pokok gagasan yang diteliti, yaitu perihal kegagalan, tabrakan, dan sebuah ruang ketiga yang tidak ditentukan 13. Kent memfokuskan pada praktik berkesenian Heri Dono berdasarkan konsep ruang ketiga Homi K.Babha. 14 Kegagalan dalam praktik kreatif Heri Dono merupakan suatu usaha untuk mencapai perubahan dan perkembangan dalam berkarya. Konsep tersebut berkaitan dengan berbagai program residensi yang memungkinkan Dono bekerja sama dengan orang lain dari latar belakang, profesi, dan usia yang berbeda. Dono membuat karya instalasi dan performance
art
dengan
menitikberatkan
pada
partisipasi
Irma Damajanti, “Reading The Personal Aesthetic Codes of Heri Dono” dalam The World and I: Heri Dono’s Art Odyssey, diedit oleh Jim Supangkat, (Jakarta: Mondekorindo Seni International, 2014), 144. 10 Damajanti, 2014, 159 11 Damajanti, 2014, 160 12 Damajanti, 2014, 163 13 Elly Kent, “The World and I: The Aesthetics of Collision and Failure; Heri Dono’s Participation Art Projects” dalam The World and I: Heri Dono’s Art Odyssey, diedit oleh Jim Supangkat, (Jakarta: Mondekorindo Seni International, 2014), 195. 14 Kent, 2014, 196. 9
10
interaktif, kreativitas, dan ekspresi daripada estetis semata. Kegagalan, kesalahan, dan improvisasi menjadi poin penting estetika seni Heri Dono. Hasil penelitian tersebut dijadikan sumber referensi terkait persoalan konsep karya, pemikiran, dan penafsiran karya Heri Dono dari perspektif yang berbeda. Penelitian Ian Campbell berjudul “Heri Dono: Installation, Technology, Presence, and Absence” merupakan referensi yang paling mendekati objek penelitian
penulis.
Campbell
berbicara
tentang
teknologi,
kehadiran, dan ketiadaan dalam seni instalasi Heri Dono. Penelitian tersebut membahas beberapa seni instalasi Dono sejak tahun 1994 sampai 2001. Hasil penelitian tersebut dipakai sebagai petunjuk bahwa penelitian mengenai konsep presentasi seni instalasi Heri Dono sebagai pertunjukan belum diteliti secara mendalam. Hal tersebut didukung karena: (1) Objek penelitian merupakan karya yang dibuat untuk pameran Artjog 8 dan Base ‘Red’, (2) Penelitian dilakukan sejak proses berkarya sampai pada penyajian karya di ruang pamer, dan (3) Penelitian dilakukan untuk meneliti jenis pengalaman yang dialami penonton terhadap karya instalasi Heri Dono.
11
F. Landasan Teori 1. Seni sebagai Pertunjukan Berdasarkan
teori
seni
pertunjukan,
David
Davies
mendefinisikan karya seni sebagai sebuah pertunjukan. Seni sebagai pertunjukan dimaksudkan sebagai cara yang dipakai seniman untuk menyampaikan isi karya kepada penonton, melalui serangkaian manipulasi medium tertentu. 15 Denis Dutton dalam “Artistic Crimes” (1979) menjelaskan bahwa karya seni sebagai pertunjukan menunjukkan kembali cara seniman menyelesaikan masalah, menangani hambatan, dan mengolah bahan yang tersedia. 16 Karya seni bukan hanya dilihat sebagai produk akhir, melainkan
suatu
pertunjukan.
Sebuah
pertunjukan
membutuhkan kehadiran penonton untuk menjadi bagian di dalamnya. Tanpa adanya penonton, pertunjukan tidak bisa berjalan. Hal tersebut juga diuraikan R.G Collingwood, yaitu …the audience is a partner. Performers know that their audience isn’t passively receptive of what they give it, but is determining by its reception of them how their performance is to be carried on. It is performed not only by the artist, but partly by all the other artist of whom we speak as influencing him, by executants who collaborate with him to produce the finished work and audience to whom he speaks. 17 (…penonton adalah rekan. Pemain mengetahui bahwa penontonnya tidak menerima apa yang diberikan kepadanya Davies, 2004, 146. Denis Dutton, “Artistic Crimes” dalam Art as Performance, ditulis oleh Davies, (Blackwell Publishing, 2004), 27. 17 R.G Collingwood, The Principles of Art, (Amerika: Oxford University Press, 1938), 322-324. 15 16
12
secara pasif, tetapi mereka menentukan jalannya pertunjukan. Itu dipertunjukkan bukan hanya oleh seniman, tetapi sebagian oleh seniman lain yang mempengaruhinya, pelaku yang berkolaborasi dengannya untuk menyelesaikan karya, dan penonton yang diajaknya bicara.) Davies menyetujui pandangan Collingwood bahwa sebuah pertunjukan membutuhkan kehadiran penonton. Collingwood bahkan menjelaskan bahwa karya tidak hanya dipertunjukkan oleh seniman, melainkan juga pihak lain yang mempengaruhi proses kreatifnya. Pihak lain tersebut antara lain kolaborator yang ikut membuat karya dan penonton sebagai mitra. Semuanya merupakan pemain dalam menjalankan sebuah pertunjukan. Davies menjelaskan pentingnya kehadiran penonton sebagai pihak yang memberikan apresiasi terhadap sebuah pertunjukan. Davies lebih jauh menjelaskan bahwa semua karya merupakan sebuah pertunjukan, yang sama-sama membutuhkan apresiasi penonton. According to the performance theory, an artwork, in any of the arts, is performance that specifies a focus of appreciation…in the focus of appreciation, not merely an articulated artistic statement (content) but also the manner in which that statement is articulated in a medium. 18 (Berdasarkan teori pertunjukan, sebuah karya seni, dalam seni apapun, adalah sebuah pertunjukan yang menentukan fokus perhatian…di dalam fokus perhatian, bukan hanya pernyataan artistik yang disampaikan tetapi juga cara penyampaian pernyataan tersebut dalam sebuah medium.)
18
Davies, 2004, 56.
13
Bagi Davies, semua bentuk karya seni merupakan sebuah pertunjukan.
Hal
tersebut
tentu
terjadi
ketika
karya
seni
ditampilkan dalam sebuah pameran, pementasan, dan pergelaran. Davies menjelaskan bahwa fokus apresiasi penonton bukan hanya terletak pada isi karya seni, melainkan cara penyampaian isi karya kepada penonton. Tingkat apresiasi tersebut didasarkan pada dua hal, yaitu kualitas pertunjukan yang dilihat dari ketrampilan dan sensitivitas seniman serta kualitas karya yang dilihat dari kreativitas dan imajinasi seniman. 19 Kualitas tersebut dapat dilihat melalui pemilihan medium yang dipakai seniman, isi karya, dan cara penyampaian isi karya kepada penonton. Davies menjelaskan bahwa Physical medium consists of pigments applied to surface while the artistic medium is a purposeful system of brustrokes. 20 Artistic statement as a content articulated through such a medium. 21 (Medium fisik terdiri atas zat warna yang diterapkan di atas permukaan sementara medium artistik adalah sistem goresan yang memiliki tujuan khusus. Pernyataan artistik sebagai isi yang disampaikan melalui medium.) Pengertian
tersebut
menjelaskan
aspek
penting
dalam
sebuah karya seni. Pemilihan medium yang tepat dapat membantu penonton untuk memahami karya. Seniman perlu mengantisipasi dan memperhatikan beberapa hal dalam memilih medium yang 19 20 21
Davies, 2004, 206. Davies, 2004, 56. Davies, 2004, 237.
14
tepat untuk karyanya. Pemakaian medium sehari-hari yang familiar dengan masyarakat, merupakan salah satu pilihan bagi seniman. Medium fisik merupakan aspek material yang digunakan dalam berkarya, seperti cat, arang, kayu, dan kertas. Medium artistik mencakup cara penyampaian isi karya melalui manipulasi medium. Davies memberi contoh adanya manipulasi melalui penggabungan material arang, besi, kopi, kacang, karung dengan tanaman serta hewan hidup pada karya Jannis Kounellis. Tema karya menggambarkan hubungan antara budaya dan alam. Kounellis mengarah pada persoalan penggunaan material yang melewati satu dunia ke dunia yang lain. 22 Isi atau makna karya mencakup pernyataan artistik yang disampaikan oleh seniman. Keseluruhan aspek tersebut menjadi ukuran bagi penonton dalam mengapresiasi karya seni. 2. Seni Instalasi Claire Bishop menjelaskan seni instalasi dengan berpijak pada gagasan Julie Reiss dalam buku From Margin to Center: The Spaces
of
Installation
Art
(1999).
Reiss
menggarisbawahi
karakteristik seni instalasi yang tidak lepas dari partisipasi penonton, yaitu Spectator participation is so integral to installation art that without having the experience of being the piece, analysis of installation art is difficult. 23 22 23
Davies, 2004, 69. Reiss, 1999, xiv.
15
(Partisipasi penonton merupakan suatu keutuhan terhadap seni instalasi sehingga tanpa adanya pengalaman menjadi bagian di dalamnya, analisis seni instalasi akan menjadi sulit.) Reiss
menekankan
bahwa
tanpa
adanya
pastisipasi
penonton, karya seni tidak dapat disebut sebagai karya seni instalasi. Aspek partisipasi merupakan poin yang membedakannya dengan
jenis
seni
konvensional.
Gagasan
Reiss
tersebut
mengarahkan Bishop untuk mendefinisikan seni instalasi, yaitu Installation art is a term that loosely refers to the type of art into which the viewer physically enters, and which is often described as theatrical, immersive, or experiential. Installation art addresses the viewer directly as a literal presence in the space. It presupposes an embodied viewer whose senses of touch, smell, and sound are heightened as their sense of vision. This insistence on the literal presence of the viewer is arguably the key characteristic of installation art. 24 (Seni instalasi merupakan istilah yang mengacu pada jenis seni di mana penonton secara fisik dapat memasuki, dan seringkali digambarkan sebagai teatrikal, mendalam, dan bersifat pengalaman. Seni instalasi mengarahkan penonton secara langsung sebagai bentuk kehadiran di sebuah ruang. Seni instalasi mengandaikan perwujudan penonton yang indera peraba, pembau, dan pendengarannya dibangkitkan agar sekuat indera penglihatan. Desakan mengenai kehadiran penonton mungkin merupakan karakteristik utama dari seni instalasi.) Bishop memberi pemahaman bahwa karakteristik seni instalasi
berada
pada
kehadiran
penonton.
Seni
instalasi
memungkinkan penonton untuk memasukinya secara fisik dan 24
Bishop, 2005, 6.
16
mengalaminya. Seni instalasi sering digambarkan seperti drama yang dibuat untuk memberikan kesan mendalam dan pengalaman langsung pada penonton. Pengalaman tersebut dirasakan seolaholah seperti nyata. Hal tersebut disebabkan seni instalasi bermain untuk membangkitkan sensitivitas indera penciuman, peraba, dan pendengaran agar sekuat indera penglihatan. Seni instalasi memfokuskan pada aspek pengalaman penonton, bukan pada tema atau material yang digunakan seniman. 25 Bishop menjelaskan kategori seni instalasi berdasarkan jenis pengalaman yang dibangun bagi penonton, yaitu heightened perception (persepsi yang dibangkitkan) dan the dream scene (adegan mimpi), sebagai berikut: a. Jenis
pengalaman
bangkitnya
heightened
persepsi
perception
penonton
merupakan
karena
adanya
pengalaman tubuh terhadap karya. Penonton menjadi bagian yang ikut menghasilkan sesuatu di dalamnya. Makna karya bukan pada objek melainkan partisipasi penonton dalam melengkapi karya. Persepsi bukan hanya tentang
penglihatan,
tetapi
mencakup
keseluruhan
tubuh. Persepsi dipahami sebagai sesuatu yang bisa berubah,
bukan
hanya
penglihatan
secara
sadar
terhadap dunia tetapi mencakup keseluruhan tubuh, 25
Bishop, 2005, 8.
17
inderawi, dan sistem saraf. 26 Persepsi terkadang terlihat tidak ada, karena terjadi di luar kesadaran. Hal tersebut disebabkan karena persepsi dibentuk oleh pengalaman dan ingatan seseorang. b. Jenis pengalaman the dream scene merupakan jenis pengalaman yang membangun kesan mendalam bagi penonton.
Gagasan
instalasi
total
menawarkan
pengalaman melihat yang khusus. Penonton tidak hanya dikelilingi ruang tiga dimensi secara fisik, tetapi juga tenggelam secara psikologis di dalamnya. Efek instalasi total dirasakan seperti ketika melihat film, membaca buku, dan bermimpi. 27 Hal tersebut membedakannya dengan jenis pengalaman heightened perception. Pada the dream scene, kesan mendalam didapat dari adanya narasi yang disuguhkan oleh seniman melalui setting tempat dan suasana. Pada heightened perception, narasi bukan merupakan aspek utama. Setting tempat, waktu, dan adegan juga bukanlah aspek yang mendasar pada heightened perception. Secara umum, terdapat hal lain dalam seni instalasi yang membedakannya dengan bentuk seni lain, yaitu posisi audiens dalam menikmati karya. Karya seni instalasi membuka peluang 26 27
Bishop, 2005, 48. Bishop, 2005, 14.
18
bagi penonton untuk memasuki, mengitari, atau melihat dalam posisi tertentu seperti mendongak dan menunduk. Cahaya dan ruang menjadi elemen yang turut membangun persepsi penonton mengenai karya. Gelap terangnya cahaya dan besar kecilnya ruangan berpengaruh dalam menciptakan efek dramatis karya. G. Metode Penelitian 1. Ruang Lingkup Penelitian Subjek penelitian adalah Heri Dono. Objek formal dalam penelitian adalah konsep presentasi seni instalasi. Objek material adalah karya S.O.S Rescue Me (2015) pada pameran Base ‘Red’ dan Fermentation of Nose (2011-2015) pada pameran Artjog 8. Batasan tempat berada di Studio Kalahan, Red Base Foundation dan Taman Budaya Yogyakarta. Alasan pemilihan objek tersebut yaitu: a. Karya seni instalasi mampu mewakili konsep seni sebagai pertunjukan. b. Karya seni instalasi pada pameran Artjog 2015 dan Base ‘Red’ dipilih karena adanya kemungkinan riset yang dapat
dilakukan
sejak
proses
kreatif
sampai
pada
presentasi karya di ruang pamer.
19
2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data adalah sebagai berikut: a. Observasi Peneliti melakukan pengamatan dan pendokumentasian langsung terhadap proses kreatif Heri Dono serta saat pameran
berlangsung.
Observasi
dilakukan
untuk
memperoleh data akurat terkait objek penelitian. b. Studi Pustaka Peneliti mempelajari dan mencatat data dari berbagai sumber
seperti
catatan
pribadi
seniman,
tulisan
kuratorial pameran yang telah diikuti seniman, artikel surat kabar, dan foto karya. Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh bahan yang diperlukan dalam proses pengklasifikasian dan analisis data. c. Wawancara Wawancara
dilakukan
untuk
mendapatkan
data
deskriptif kualitatif yang berupa informasi lisan dari narasumber. Wawancara berlangsung sejak proses kreatif sampai
tahap
penyajian
karya.
Narasumber
yang
diwawancarai adalah Heri Dono selaku subjek penelitian, Subroto Sm selaku pengampu mata kuliah Seni Rupa Eksperimental,
Bambang
Witjaksono
selaku
kurator
pameran Artjog 8, Clara Heriarti, Zuli Dea Aulia, Fahmi
20
Setiyoso, Joanna Breshmasque dan Nindya Galuh selaku pengunjung pameran. 3. Metode Analisis Data Penelitian menggunakan metode analisis data kualitatif oleh Matthew B.Miles dan A.Michael Huberman, yaitu: a. Reduksi data Tahap ini dilakukan sejak terjun ke lapangan sampai laporan selesai dilengkapi. Tahap analisis meliputi proses seleksi, penajaman, dan penyederhanaan data. 28 b. Penyajian data Tahap ini mencakup penataan dan penyusunan informasi untuk mempermudah memahami data. 29 c. Verifikasi data Tahap terakhir berupa kesimpulan yang memungkinkan adanya pemikiran dan argumentasi berdasarkan temuan data. 30
28 Matthew B.Miles dan A.Michael Huberman, Qualitative Data Analysis, (America: Sage Publications, 1994), 10. 29 Miles dan Huberman, 1994, 11. 30 Miles dan Huberman, 1994, 11.
21
H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam proposal penelitian ini dibagi dalam beberapa bagian dan disusun secara berurutan, yaitu: BAB I PENDAHULUAN Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II RIWAYAT HIDUP HERI DONO Berisi latar belakang keluarga dan riwayat berkesenian Heri Dono. BAB III EKSPLORASI MEDIUM PADA SENI INSTALASI KARYA HERI DONO Berisi sejarah seni instalasi di dunia, sejarah Seni Rupa Eksperimental di ASRI Yogyakarta, dan eksplorasi medium pada seni instalasi Heri Dono. BAB IV PROSES KREATIF HERI DONO Berisi isi karya, media, proses pembuatan dan manipulasi media pada seni instalasi Heri Dono yang dianalisis menggunakan teori seni sebagai pertunjukan oleh David Davies dan teori seni instalasi oleh Claire Bishop.
22
BAB IV CARA PRESENTASI KARYA SENI INSTALASI HERI DONO Berisi
pendisplayan,
fermentasi
dalam
ruang, karya
cahaya,
Heri
Dono
efek
dan
yang
konsep
dianalisis
menggunakan teori seni sebagai pertunjukan oleh David Davies dan teori seni instalasi oleh Claire Bishop. BAB V KESIMPULAN Berisi hasil penelitian dan rekomendasi yang bertujuan untuk
memberikan
maupun
kalangan
saran
bagi
akademisi
masyarakat,
dalam
rangka
seniman, penelitian
selanjutnya.
23