ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB II KONSTRUKSI HUKUM PERJANJIAN WARALABA 1. Dasar Perjanjian Waralaba Istilah waralaba dipakai sebagai persmaan istilah bahasa Inggris franchice. Waralaba terdiri atas dua kata yaitu “wara” dan “laba”. Wara artinya lebih atau istimewa, dan laba artinya untung. Jadi waralaba diartikan sebagai usaha yang memberikan untung lebih atau laba istimewa.10 Waralaba didasarkan atas perjanjian yang dibuat secara tertulis antara pemberi dengan penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. Berdasarkan PP No. 42/2007, unsur waralaba terdiri atas: 1) adanya perjanjian bentuk tertulis, 2) adanya pihak pemberi dan penerima waralaba, 3) menyangkut obyek. Kajian terhadap unsur tersebut dipaparkan pada uraian berikut di bawah ini. a. Adanya perjanjian bentuk tertulis. PP No. 42 Tahun 2007 menyebut perjanjian waralaba harus dibuat secara tertulis, namun tidak mengatur lebih lanjut mengenai perjanjian, sehingga digunakan aturan yang bersifat umum sebagaimana Buku III B.W., tentang Perikatan. Perjanjian yang dimaksud adalah sebagaimana Pasal 1313 B.W., mengartikan perjanjian adalah "suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih". Subekti mengartikan perjanjian adalah "suatu peristiwa di mana seorang berjanji
10
Abdulkadir Muhammad, Loc. Cit.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal".11 Waralaba sebagai perjanjian, maka harus dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian agar waralaba tersebut mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Syarat sahnya perjanjian adalah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1320 B.W., yaitu: 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang diperkenankan. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Perihal sepakat dalam perjanjian, tunduk pada asas konsensual, maksudnya sepakat kedua belah pihak telah melahirkan perjanjian. Mengenai sepakat ini terdapat empat teori sebagai berikut: 12 1)
2)
3)
4)
Uitings theorie (teori saat melahirkan kemauan). Menurut teori kemauan, perjanjian terjadi apabila atas penawaran telah dilahirkan kemauan menerimanya dari pihak lain. Kemauan ini dapat dikatakan telah dilahirkan. Verzend theorie (teori saat mengirimkan surat penerimaan), pada teori ini perjanjian terjadi pada saat surat penerimaan dikirimkan kepada penawar. Ontvangs theorie (teori saat penerimaan surat penerimaan), menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat menerima surat penerimaan sampai di alamat penawar. Vernemings theori (teori saat mengetahui surat penerimaan). Menurut teori ini perjanjian baru terjadi apabila si penawar telah membuka dan membaca surat penerimaan itu. 11
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2001, h. 1. 12
Ibid.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Mengenai kesepakatan melahirkan suatu perjanjian, Subekti mengemukakan bahwa “perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat di mana pihak yang melakukan penawaran menerima yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan”.13 Di dalam perjanjian waralaba antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba mencapai kata sepakat mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan di antaranya mengenai syaratSyarat, Franchisee Fee dan Royalti, jam Buka Restoran, kewajiban pemberi waralaba, kewajiban penerima waralaba, jangka waktu dan sebagaimana yang tercantum dalam klausula perjanjian waralaba. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Pihak-pihak yang membuat perjanjian waralaba cakap bertindak dalam hukum. Dikatakan cakap bertindak dalam hukum yaitu telah dewasa dan tidak ditaruh di bawah pengampuan serta mempunyai kewenangan bertindak. Mengenai cakap bertindak dalam hukum menurut Pasal 1329 B.W., adalah “cakap untuk membuat suatu perikatanperikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”. Menurut Pasal 1330 angka 1 dan 2 B.W., bahwa “Tak cakap untuk membuat suatu perikatan adalah: 1) orang-orang yang belum dewasa, 2) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan”. Dikatakan belum
dewasa menurut Pasal 1330 B.W., adalah
“mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”. Menurut Pasal 47 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UU No. 1/1974), dinyatakan cakap adalah anak yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau sudah 13
Ibid., h. 13.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pernah melangsungkan perkawinan, baik di dalam dan di luar pengadilan. Pemberi waralaba dan penerima waealaba harus sama-sama cakap bertindak dalam hukum yaitu telah dewasa dan tidak ditaruh di bawah pengampuan dan jika merupakan badan usaha, masing-masing yang memberikan kesepakatan tersebut mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum. Suatu hal tertentu. Perjanjian waralaba tersebut harus ada obyek yang diperjanjikan, maksudnya perjanjian harus ada obyek yang diperjanjikan untuk diserahkan atau dibuat. Obyek yang diperjanjikan dalam perjanjian waralaba menurut Pasal 1333 B.W., setidak-tidaknya ditentukan jenisnya, sedang jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan dikemudian hari dapat ditentukan atau diperhitungkan. Pada perjanjian waralaba, obyek yang diperjanjikan harus ada dan jelas. Perjanjian waralaba yang dibuat antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba yang dijadikan obyek masakan dalam restoran. Suatu sebab yang diperkenankan. Perjanjian waralaba yang dibuat tersebut obyeknya haruslah diperkenankan, maksudnya bahwa perjanjian waralaba tersebut tidak dilarang oleh undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan.Hal ini berarti bahwa dalam perjanjian yang dibuat mungkin terjadi 14 : 1) perjanjian tanpa sebab; 2) perjanjian dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, dan 3) perjanjian dengan suatu sebab yang diperkenankan. Ketentuan ini merujuk pada Pasal 1335 dan Pasal 1337 B.W. Mengenai perkataan “sebab”
14
Vollmar, Inleiding tot de studie van het Nederlands Burgerlijk Recht, Terjemahan Adiwimarta, Gajahmada, Yogyakarta, 1962, h. 127.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
terdapat beberapa interpretasi dari para sarjana, yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:15 1) Perkataan “sebab” sebagai salah satu syarat perjanjian adalah sebab dalam pengertian ilmu pengetahuan hukum yang berbeda dengan pengertian ilmu pengetahuan lainnya; 2) Perkataan “sebab” itu bukan pula motif (desakan jiwa yang mendorong seseorang melakukan perbuatan tertentu) karena motif adalah soal bathin yang tidak diperdulikan oleh hukum ; 3) Perkataan “sebab” secara letterlijk berasal dari perkataan oorzaak atau kausa yang menurut riwayatnya bahwa yang dimaksud dengan perkataan itu dalam perjanjian adalah tujuan yakni apa apa yang dimaksudkan oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanji Perjanjian waralaba yang obyeknya berupa masakan dalam restoran tidak dilarang oleh undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan. Perjanjian waralaba dibuat secara tertulis yang dalam dunia perdagangan disebut juga dengan kontrak. Hal ini berarti bahwa kaitannya dengan kontrak diutamakan kesepakatan kedua belah pihak sebagai dasar utama dari kontrak. Hal ini memang seharusnya demikian, karena kontrak disyaratkan dibuat secara tertulis, sehingga apa yang ada dalam kontrak tersebutlah yang mengikat pihak-pihak. Syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut dengan syarat subyektif, sedangkan syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang diperkenankan disebut dengan syarat obyektif. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Subekti sebagai berikut: “Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orangorangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya
15
Ibid.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu”.16 Apabila perjanjian yang dibuat syarat subyektifnya tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar) sesuai dengan yang dikemukakan oleh Subekti sebagai berikut: "Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif, maka perjanjian itu bukan batal demi hukum (nietig), tetapi dapat dimintakan pembatalan".17 Namun jika syarat obyektif tidak dipenuhi, maka "perjanjiannya adalah batal demi hukum. Dalam hal yang demikian secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu".18 Kontrak klausula waralaba jika dibuat telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 B.W., maka perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang, sesuai dengan Pasal 1338 B.W., yang menentukan bahwa "semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Perkataan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” sebagaimana Pasal 1338 B.W., di atas, mengandung maksud bahwa Buku III B.W., menganut asas kebebasan berkontrak, maksudnya bahwa: “Setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Walaupun berlaku asas ini, kebebasan
16
Subekti, Op. cit., h. 17. 17
Ibid., h. 22. 18
Ibid.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
berkontrak tersebut lazimnya dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum”.19 Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yang dibuktikan dengan suatu akta. Pasal 1867 B.W. menentukan bahwa “pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”. Jadi akta sebagai bukti terdiri dari akta di bawah tangan dan akta otentik. Akta di bawah tangan yang dimaksud adalah “akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum”, (Pasal 1874 B.W.) Jadi akta di bawah tangan merupakan akta yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak sendiri tidak dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta, yang oleh para pihak dipergunakan sebagai alat bukti telah terjadinya suatu perbuatan hukum. Oleh karena dibuat oleh pihak-pihak saja, maka kekuatan mengikatnya akta itu hanya sebatas pihak-pihak yang membuatnya saja, sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 B.W., bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Akta yang dibuat di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang sah, jika pembuat akta tersebut mengakui isi akta serta tandatangan yang ada pada akta tersebut. Oleh karenanya jika misalnya akta di bawah tangan yang memuat pengakuan hutang secara sepihak untuk membayar sejumlah uang atau memberikan sesuatu barang, namun ternyata diingikari oleh pihak lawan yang tidak mengakui tandatangan yang ada pada surat atau akta tersebut, maka harus 19
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, 2001(selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad II), h. 84.
Tesis
Citra
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
Aditya
Bakti,
Bandung,
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dibuktikan dengan alat bukti yang lain, dalam arti surat tersebut hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan (Pasal 1878 B.W.). Akta otentik, yaitu “suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya” (Pasal 1868 B.W.). Dengan demikian dikualifikasikan sebagai suatu akta otentik jika akta tersebut tercantum tandatangan, merupakan suatu pernyataan perbuatan hukum dan digunakan sebagai bukti. Akta tersebut dibuat oleh pejabat umum, bentuknya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan pejabat yang membuat akta tersebut mempunyai kewenangan. b. Adanya pihak pemberi dan penerima waralaba Pemberi dan penerima waralaba sebagai pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian waralaba. Pemberi waralaba (franchisor) adalah wadah usaha yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan obyek waralaba. Penerima waralaba yang juga disebut terwaralaba, adalah wadah usaha yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan obyek waralaba. Pemberi waralaba (franchisor) sudah harus siap dengan perlengkapan operasi bisnis dan kinerja manajemen yang baik, menjamin kelangsungan usaha dan distribusi bahan baku untuk jangka panjang, serta menyediakan kelengkapan usaha sampai ke detail yang terkecil. Penerima waralaba hanya menyediakan tempat usaha dan modal sejumlah tertentu bergantung pada jenis waralaba yang akan dibeli. Penerima waralaba mempunyai dua kewajiban finansial yakni membayar franchise fee dan royalti fee.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
c. Menyangkut obyek Perjanjian waralaba di dalamnya meliputi beberapa aspek hukum meliputi Hak Atas Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HKI), meliputi 1) ciptaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, 2) merek sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, 3) desain industri sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, 4) paten sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dan 5) rahasia dagang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Selain itu terdapat aspek hukum lainnya yaitu aspek hukum persaingan usaha, ketentuan alih teknologi dan pembatasan royalti, kontrol ekspor dan impor, ketentuan investasi dan perdagangan, ketentuan imigrasi dan perpajakan.20 Obyek waralaba dalam hal ini berupa resep-resep restoran termasuk sebagai rahasia dagang. Sebagaimana telah disebut pada uraian sebelumnya bahwa dasar perjanjian waralaba adalah Buku III B.W., tentang Perikatan menganut asas kebebasan berkontrak, maksudnya bahwa: “Setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Walaupun berlaku asas ini, kebebasan berkontrak tersebut lazimnya dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum”.21 Pada perjanjian pada umumnya perjanjian dianggap lahir ketika kedua belah pihak mencapai kata sepakat atau consensus mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan dan tidak perlu dibuat dalam bentuk formal.22 20
Rahmi Jened dan Mas Rahmah, Perjanjian Franchising Merek dalam Rangka Pengembangan Pasar Di Indonesia, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga Surabaya, Nopember 2004 (selanjutnya disebut Rahmi Jened I), h. 33-48. 21
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., h. 84. 22
Subekti, Op. Ci., h. 14.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Buku III B.W., tentang Perikatan, menurut Pasal 1233 B.W., ditentukan bahwa “tiap-tiap perikatan dilahirkan karena perjanjian, baik karena undangundang”. Jika kontrak didasarkan atas perjanjian berarti termasuk perikatan yang dilahirkan karena perjanjian. Perjanjian yang dimaksud adalah sebagaimana Pasal 1313 B.W., yang merupakan perjanjian yang bersifat timbal balik. Perjanjian dalam arti kontrak mempunyai kekuatan mengikat para pihak yang membuatnya jika dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 B.W. Syarat umum sahnya kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 B.W., yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dalam membuat perjanjian, Pasal 1321 B.W. menentukan bahwa "tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan". Hal ini berarti bahwa apabila perjanjian yang dibuat disertai oleh unsur paksaan, penipuan atau kekhilafan oleh salah satu pihak berarti perjanjian tersebut tanpa ada kata sepakat. Di mana kata sepakat dalam perjanjian harus tanpa ada penekanan dari pihak manapun, dalam arti harus ada kemauan yang bebas dalam membuat perjanjian. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa “para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang
dilahirkan oleh para pihak dengan tiada paksaan, kekeliruan atau penipuan”.23 Jadi dikatakan terdapat suatu kata sepakat antara para pihak apabila yang membuat perjanjian tersebut terdapat suatu kemauan yang bebas dalam arti perjanjian 23
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1989, h. 214.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dibuat tanpa ada unsur paksaan, penipuan maupun kekhilafan. Sedangkan Purwahid Patrik mengemukakan: Kehendak dari pihak-pihak harus bersesuaian satu sama lain dan ternyata dari pernyataan kehendaknya. Perjanjian terjadi oleh adanya penawaran dan penerimaan yang saling berhubungan. Penawaran dan penerimaan dapat dilakukan dengan tegas atau dengan diamdiam.24 Paksaan dalam arti luas “meliputi segala ancaman baik kata-kata atau tindakan”. 25 Penipuan bahwa “kehendaknya itu keliru demikian pula kesesatan/kekhilafan. Penipuan tidak sekedar bohong tetapi dengan segala upaya akal tipu muslihat dengan kata-kata atau diam saja yang
menimbulkan
kerugian dalam
kehendaknya”.26 Kekhilafan “terjadi apabila orang dalam suatu persesuaian kehendak mempunyai gambaran yang keliru mengenai orangnya dan mengenai barangnya”.27 Di antara hal sebagaimana di atas yang lebih dikenal dengan cacat kehendak, masih terdapat hal lain yang dikualifikasikan sebagai cacat kehendak, yaitu adanya pengaruh tidak pantas atau penyalahgunaan keadaan. Perihal penyalahgunaan keadaan dijelaskan lebih lanjut oleh Purwahid Patrik sebagai berikut:28 Sebagaimana diketahui ajaran justum pretium adalah menjadi dasar dalam perjanjian yang timbal balik yang mengharapkan adanya hubungan yang 24
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 55. 25
Ibid., h. 60. 26
Ibid. 27
Ibid., h. 58. 28
Ibid., h. 61.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pantas dan seimbang antara kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, kini mulai hidup kembali yang nampak dalam teori obyektif yang modern. Teori ini menyatakan bahwa apabila tidak ada keseimbangan yang pantas dalam hubungan antara kedua belah pihak dianggap perjanjian itu tanpa sebab, dan di dalam hukum positif telah diakui pula jika salah satu pihak merugikan pihak lain dalam suatu perjanjian dapat disebabkan juga karena penyalahgunaan keadaan ini. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, maksudnya para pihak cakap bertindak dalam hukum, yaitu telah dewasa dan tidak ditaruh di bawah pengampuan. Telah dewasa apabila telah mencapai usia genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin sebagaimana Pasal 330 B.W., secara khusus dinyatakan dewasa dalam arti cakap bertindak dalam hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan jika telah berusia sekurang-kurangnya 18 tahun atau telah kawin (Pasal 47 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Suatu hal tertentu, maksudnya perjanjian yang dibuat harus ada obyek yang diperjanjikan untuk diserahkan atau dibuat. Perihal obyek yang diperjanjikan, disyaratkan harus ada obyek yang diperjanjikan berupa barang yang paling sedikit ditentukan jumlahnya. Jumlah barang memang tidak diharuskan asalkan jumlah itu dikemudian hari dapat ditentukan atau dihitung sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1333 B.W. Syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut dengan syarat subyektif, sedangkan syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut dengan syarat obyektif. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Subekti sebagai berikut: “Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu”.29 Apabila perjanjian yang dibuat syarat subyektifnya tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pemutusan sesuai dengan yang dikemukakan oleh Subekti sebagai berikut: "Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif, maka perjanjian itu bukan batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pemutusan".30 Namun jika syarat obyektif tidak dipenuhi, maka "perjanjiannya adalah batal demi hukum. Dalam hal yang demikian secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu".31 Syarat umum sahnya kontrak yang diatur di luar Pasal 1320 B.W., di antaranya, syarat etikad baik yang berhubungan dengan pelaksanaan kontrak, di mana kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) B.W. Sedangkan syarat sesuai dengan kebiasaan, syarat sesuai dengan kepatutan, dan syarat sesuai dengan kepentingan umum, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1339 B.W., bahwa mengikatkan suatu kontrak tidak hanya terletak pada hal-hal yang dituangkan dalam kontrak, melainkan juga harus memperhatikan hal yang diharuskan oleh undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan. Ketentuan Pasal 1339 B.W., termasuk hal-hal yang mempengaruhi kekuatan mengikatnya suatu kontrak. Dengan demikian setiap kontrak diperlengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam undang-undang, 29
Subekti 1, Op. cit., h. 17. 30
Ibid., h. 22. 31
Ibid.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dalam adat kebiasaan (di suatu tempat dan dikalangan tertentu), sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan (norma-norma kepatutan) harus juga diindahkan.32 Perihal norma yang ikut mengisi suatu kontrak, terdapat 3 (tiga) sumber di antaranya: 1) undang-undang, 2) kebiasaan dan 3) kepatutan. Mengenai ketiga sumber norma di atas, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1338 B.W., di mana perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya, perjanjian tersebut tidak dapat ditarik selain dengan sepakat kedua belah pihak, dan perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik. Mengikatnya suatu perjanjian sebagaimana mengikatnya undang-undang hanya pada pihak-pihak yang membuat kesepakatan tersebut. Meskipun kontrak yang telah disepakati tidak dapat ditarik selain adanya sepakat kedua belah pihak, atau karena putusan pengadilan sesuai dengan Pasal 1266 B.W., bahwa syarat batal selalu dianggap dicantumkan dalam setiap perjanjian timbal balik, namun tidak batal dengan sendirinya melainkan atas putusan pengadilan, meskipun dalam perjanjian syarat batal telah dicantumkan, namun tidak batal dengan sendirinya jika salah satu pihak wanprestasi melainkan tetap harus meminta pemutusan perjanjian tersebut.
32
Hasanuddin Rahman, Seri Ketrampilan Merancang Kotrak Bisnis (Contract Drafting), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, h. 12-13.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Sehubungan dengan norma yang bersumber pada itikad baik, maksudnya bahwa pelaksanaan kontrak itu harus berjalan dengan mengindahkan normanorma kepatutan dan kesusilaan. Jadi ukuran-ukuran obyektif untuk menilai pelaksanaan tadi. Pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang benar.33 Perihal saat terjadinya perjanjian pada perjanjian waralaba tidak cakup hanya adanya kata sepakat kedua belah pihak, karena perjanjian waralaba harus dibuat secara tertulis sesuai Pasal 4 PP No. 42/2007. Perjanjian Waralaba dapat juga dibuat terjemahannya dalam bahasa asing terutama bahasa Inggris agar dapat dipahami dengan baik oleh kedua pihak. Apabila Perjanjian Waralaba dibuat di Indonesia, maka berlaku hukum Indonesia, walaupun salah satu pihak adalah warga negara asing. Perjanjian dalam bentuk tertulis memberikan kepastian hukum kepada kedua belah pihak dalam memenuhi kewajiban dan memperoleh hak yang telah disepakati. Perjanjian waralaba tersebut diawali dengan perjanjian pengikatan waralaba. Pada perjanjian pengikatan tersebut tercantum mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan dan lamanya perjanjian pengikatan. Sebagai perjanjian pengikatan yang mengawali perjanjian waralaba tercantum klausula jika perjanjian pengikatan tersebut mempunyai prospek, maka perjanjian waralaba akan dibuat untuk kelanjutannya. Perjanjian waralaba pada umumnya dibuat secara baku oleh pemberi waralaba. Maksud perjanjian dengan klausula yang telah dibakukan dalam bentuk
33
Ibid., h. 13.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
standar atau standard contract. Mengenai pengertian standard contract, menurut Sutan Remy Sjahdeini: Secara tradisional suatu perjanjian berlandaskan asas kebebasan berkontrak di antara pihak-pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang dan kedua belah pihak berusaha untuk mencapai kesepakatan yang diperlukan bagi terjadinya perjanjian itu melalui proses negosiasi di antara mereka. Namun pada dewasa ini kecenderungan makin memperlihatkan bahwa banyak perjanjian di dalam transaksi bisnis yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang di antara para pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara dipihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak lainnya untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali pada pihak lainnya untuk melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan. Perjanjian yang demikian dinamakan perjanjian baku atau perjanjian adhesi atau perjanjian standard.34 Mengenai syarat-syarat perjanjian baku Abdulkadir Muhammad mengemukakan sebagai berikut: “Syarat-syarat itu dibakukan untuk semua orang yang membuat perjanjian ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan. Dengan kata lain, syarat-syarat itu dibakukan artinya ditetapkan sebagai tolok ukur bagi setiap pihak yang membuat perjanjian ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan”.35 Mengenai syarat baku dalam suatu perjanjian ditemukan dalam Pasal 18 UU No. 8/1999, bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian. Syarat yang dibakukan oleh perusahaan tidak jarang menguntungkan pihak pengusaha. Mengenai hal ini Abdulkadir Muhammad mengemukakan: 34
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, h. 65-66. 35
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad III) h. 16.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Pelaksanaan syarat-syarat perjanjian dalam keadaan tertentu menyimpang dari apa yang dikehendaki semula. Untuk mencegah penyimpangan yang merugikan pengusaha, lalu ia berusaha memasukkan syarat tertentu dalam perjanjian dengan maksud untuk menjaga keadaan yang tidak diduga yang dapat menghalangi pelaksanaan perjanjian. Jika terjadi pelaksanaan perjanjian tidak baik, pengusaha menunjuk syarat mengenai tanggung jawab pihak yang melaksanakan perjanjian tidak baik itu.36 Bagi pemberi waralaba perjanjian yang dibuat secara baku merupakan suatu cara mencapai tujuan ekonomi yang praktis, efisien dan menguntungkan. Namun bagi penerima waralaba perjanjian yang dibuat secara baku tidak mempunyai pilihan lain selain harus menyetujui walaupun dengan berat hati. Hal ini berarti bahwa jika perjanjian waralaba dibuat secara baku oleh pemberi waralaba, kurang memberikan perlindungan terhadap penerima waralaba, karena tidak mempunyai pilihan lain selain menyetujui perjanjian waralaba. Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak oleh pemberi waralaba, karena syarat-syarat perjanjian waralaba dimonopoli, maka sifatnya cenderung lebih menguntungkan pemberi waralaba daripada penerima waralaba. Hal ini tergambar dalam klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab pemberi waralaba, tanggung jawab tersebut menjadi beban penerima waralaba. Pembuktian oleh pihak pemberi waralaba yang membebaskan diri dari tanggung jawab sulit diterima oleh penerima waralaba karena ketidaktahuannya. Penentuan secara sepihak oleh pemberi waralaba dapat diketahui melalui format perjanjian yang sudah siap pakai, jika penerima waralaba setuju, perjanjian tersebut ditanda tangani. Penandatanganan tersebut menunjukkan bahwa penerima 36
Ibid., h. 95.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
waralaba bersedia memikul beban tanggung jawab walaupun mungkin ia tidak bersalah. Jika penerima waralaba tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang disodorkan itu, ia tidak boleh menawar syarat-syarat yang sudah dibakukan itu. Menawar syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian.37 Meskipun perjanjian dengan syarat baku diperkenankan, terdapat suatu hal yang membatasi dibuatnya perjanjian dengan syarat baku tersebut, yaitu perjanjian harus dibuat dengan suatu sebab sebagaimana Pasal 1335 B.W., dan sebab tersebut tidak diperkenankan bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan sesuai dengan Pasal 1337 B.W. Jadi perjanjian dengan syarat baku tersebut dibatasi kekuatan berlakunya, dalam arti pembuatannya tidak sebebas-bebasnya sebagaimana dikehendaki oleh pembuat perjanjian baku tersebut. Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan sebagai berikut: Namun tidak berarti bahwa dalam hukum perjanjian Indonesia (B.W) tidak ada asas hukum yang dapat dipakai sebagai tolok ukur guna menentukan apakah substansi suatu klausul dalam perjanjian baku merupakan suatu klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnnya. Pasal 1337 danm 1339 B.W.. Menurut penulis dapat dipakai sebagai salah satu tolok ukur yang dimaksud.38 Selanjutnya Pasal 1339 B.W. menentukan bahwa: “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”, yang berarti mengikatnya perjanjian waralaba tidak hanya didasarkan atas hal-hal yang tertuang di dalam tulisan
37
Ibid., h. 8. 38
Tesis
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., h. 118.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
tersebut, melainkan mengikatkan perjanjian juga dipengaruhi oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang, maksudnya bahwa perjanjian tersebut harus memenuhi syarat kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Apabila ketentuan Pasal 1337 dan 1339 B.W. di atas dikaitkan dengan perjanjian baku yang dibuat oleh para pihak yaitu pemberi dan penerima waralaba, meskipun kedua belah pihak telah menyepakati isi perjanjian baku yang dibuat, namun jika perjanjian tersebut dibuat tanpa suatu sebab atau dibuat dengan suatu sebab yang dilarang oleh undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan, maka perjanjian baku yang dibuat menjadi cacat hukum. Pada perjanjian yang dibuat secara baku memberikan kesempatan kepada pemberi waralaba untuk menetapkan keinginannya dalam berbisnis untuk dipenuhi oleh penerima waralaba. Pada perjanjian yang demikian itu tidak jarang terkandung di dalamnya ada unsur penyalahgunaan keadaan, yaitu: a. menyalahgunakan kesempatan dan b.
tindakan itu sangat merugikan pihak yang lemah, namun sebaliknya menguntungkan secara sangat berlebihan pihak lain.39
Asas penyalahgunaan keadaan, di mana karena kedudukan yang tidak seimbang antara pihak-pihak yang membuat perjanjian yaitu antara pemberi dan penerima waralaba. Asas penyalahgunaan keadaan terjadi dalam hal-hal sebagai berikut: a. Keadaan istimewa, seperti keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak pengalaman. b. Sesuatu hal yang nyata, disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan 39
Gandasoebrata, Poerwoto S. Pengaruh Yurisprudensi Terhadap Akta-akta Notaris, Media Notariat, No. 26-27, Januari-April 1993.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu perjanjian; c. Penyalahgunaan salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya. d. Hubungan kausa, adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian itu tidak akan ditutup. 40 Kondisi pemberi waralaba yang lebih diuntungkan tersebut dapat memberikan suatu persyaratan dalam perjanjian waralaba yang dibuatnya tersebut dapat menekan posisi penerima waralaba yang dalam segi ekonomis lebih lemah jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi pemberi waralaba. Perihal penyalahgunaan keadaan, “tidaklah semata-mata berhubungan dengan isi perjanjian, tetapi berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian, yaitu penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak dan dengan sendirinya persetujuan satu pihak tanpa cacat.41 Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian yang dibuat tersebut cacat sejak semula, yang tidak ada kaitannya dengan isi perjanjian, melainkan disebabkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan keadaan-keadaan yang terjadi pada saat pelaksanaan kontrak (perjanjian waralaba). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Van Dunne sebagai berikut: “Penyalahgunaan keadaan itu menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada terjadinya kontrak: menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi kontrak atau maksudnya menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang disalahgunakan menjadi tidak bebas”.42 Perjanjian 40
Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian, Liberty, Yogyakarta, 1992, h. 40-41. 41
Van Dunne, Diktat Kursus Hukum Perikatan yang diterjemahkan oleh Sudikno Mertokusumo, Yogyakarta, 1987, h. 9. 42
Ibid., h. 10.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
waralaba jika dibuat disertai penyalahgunaan keadaan, dapat digunakan sebagai dasar oleh penerima waralaba untuk meminta kepada Pengadilan Negeri membatalkan perjanjian tersebut. Sebelum membuat perjanjian, Pemberi Waralaba wajib memberikan prospektus penawaran Waralaba kepada calon Penerima Waralaba pada saat melakukan penawaran sesuai Pasal 7 Ayat (1) PP No. 42/2007. Ketentuan ini dimaksudkan agar Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba memiliki dasar awal yang kuat dalam melakukan kegiatan waralaba secara sehat dan terbuka. Karena penerima Waralaba wajib melaksanakan sendiri kegiatan usaha Waralaba dan mempunyai paling sedikit 1 (satu) tempat usaha sesuai dengan Pasal 4 Permendag No. 12/M-DAG/PER/3/2006. Pada perjanjian waralaba, obyek perjanjian merupakan syarat obyektif sahnya perjanjian yaitu suatu hal tertentu, namun obyek perjanjian waralaba ini tidak dalam bentuk suatu benda yang diserahkan, melainkan perjanjian lisensi yang sifatnya komplek, maksudnya
jika perjanjian lisensi pada umumnya
meliputi satu bidang kegiatan misalnya lisensi pemakaian merek, lisensi pembuatan produk tertentu. Pada perjanjian waralaba dapat merupakan satu paket kegiatan bisnis misalnya perjanjian waralaba dapat meliputi aspek hak atas kekayaan intelektual, di antaranya hak cipta, hak paten, merek, rahasia dagang, desain yang akan dijelaskan lebih rinci pada sub bab berikutnya. Sebagaimana tercantum pada Pasal 5 huruf f PP No. 42/2007 jo Pasal 6 huruf d Permendag No. 12/M-DAG/PER/3/2006 bahwa Perjanjian Waralaba memuat klausula paling sedikit wilayah usaha. Berkaitan dengan penentuan wilayah
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pemasaran, lazimnya pemberi waralaba meminta pembatasan wilayah pemasaran. Pembatasan wilayah dapat digunakan oleh pemberi waralaba untuk menutup dan mengontrol pasar dan dapat menimbulkan monopoli, bahkan ditengarai justru merupakan upaya persekongkolan untuk menopoli bila ternyata melalui pembatasan wilayah yang disepakati pemberi waralaba dengan penerima waralaba mengatur pembagian wilayah sebagai strategi mereka untuk menguasai. Perjanjian waralaba ditentukan jangka waktunya yaitu berlaku paling sedikit 10 (sepuluh) tahun. Jangka Waktu Perjanjian Waralaba antara Penerima Waralaba Utama dengan Penerima Waralaba Lanjutan berlaku paling sedikit 5 (lima) tahun sesuai dengan Pasal 7 Permendag No. 12/M-DAG/PER/3/2006. Pemberi Waralaba mengutamakan pengusaha kecil dan menengah daerah setempat sebagai Penerima Waralaba/Penerima Waralaba Lanjutan. Dalam hal Penerima Waralaba Utama/Penerima Waralaba Lanjutan bukan merupakan pengusaha kecil dan menengah, Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba Utama/Penerima Waralaba Lanjutan
mengutamakan pengusaha kecil dan
menengah daerah setempat sebagai pemasok barang dan atau jasa sesuai dengan Pasal 9 Permendag No. 12/M-DAG/PER/3/2006.
Menteri mempunyai kewenangan pengaturan kegiatan usaha Waralaba, yang melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Luar Negeri. Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Gubernur DKI/ Bupati/ Walikota bagi Penerima Waralaba Utama
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri. Bupati/Walikota melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Kepala Dinas yang bertanggung jawab di bidang perdagangan bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri. Khusus Propinsi DKI Jakarta, Gubernur melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Kepala Dinas yang bertanggungjawab dibidang perdagangan bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri sesuai dengan Pasal 10 Permendag No. 12/M-DAG/PER/3/2006. 2. Hak dan Kewajiban Dalam Perjanjian Waralaba Sebelum membuat perjanjian, Pemberi Waralaba wajib memberikan keterangan tertulis atau prospektus mengenai data atau informasi usahanya dengan benar kepada Penerima Waralaba yang paling sedikit memuat identitas Pemberi Waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya termasuk neraca dan daftar rugi laba 1 (satu) tahun terakhir; hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi objek Waralaba disertai dokumen pendukung; keterangan tentang kriteria atau persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi Penerima Waralaba termasuk biaya investasi; bantuan atau fasilitas yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba; hak dan Kewajiban antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba; dan data atau informasi lain yang perlu diketahui oleh Penerima Waralaba dalam rangka pelaksanaan
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
perjanjian
Waralaba
sesuai
dengan
Pasal
5
Permendag
No.
12/M-
DAG/PER/3/2006. Pemberi waralaba adalah wadah usaha yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya. Penerima waralaba yang juga disebut terwaralaba, adalah wadah usaha yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilki pemberi waralaba. Pemberi waralaba sudah harus siap dengan perlengkapan operasi bisnis dan kinerja manajemen yang baik, menjamin kelangsungan usaha dan distribusi bahan baku untuk jangka panjang, serta menyediakan kelengkapan usaha sampai ke detail yang terkecil. Pemberi waralaba juga sudah harus menyediakan perhitungan keuntungan yang didapat, neraca keuangan yang mencakup Break Event Point (BEP) dan Return Of Investment (ROI).43 Penerima waralaba hanya menyediakan tempat usaha dan modal sejumlah tertentu bergantung jenis waralaba yang akan dibeli. Penerima waralaba mempunyai dua kewajiban finansial yakni membayar franchise fee dan royalti fee. Franchise fee adalah jumlah yang harus dibayar sebagai imbalan atas pemberian hak intelektual pemberi waralaba, yang dibayar untuk satu kali (one time fee) di awal pemberian waralaba. Royalti fee adalah jumlah uang yang dibayarkan secara periodik yang merupakan persentase dari omzet penjualan. Nilai franchisee fee dan royalti fee ini sangat bervariatif, bergantung pada jenis waralaba. Namun penerima waralaba juga mempunyai kewajiban non-finansial yang sangat esensial yakni menjaga image produk waralaba.44 43
Ibid. 44
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Perjanjian waralaba mewajibkan penerima waralaba membayar kepada pemberi waralaba baik mengenai royalti atau fee. Mengenai besarnya royati atau fee didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, oleh karenanya mengenai hal ini ditetapkan dalam perjanjian waralaba, sesuai dengan Pasal 5 huruf g PP No. 42/2007 bahwa perjanjian Waralaba memuat klausula paling sedikit : tata cara pembayaran imbalan. Perjanjian waralaba yang mengacu pada waralaba internasional, lazimnya meliputi hal sebagai berikut:45 a.
b.
c.
intial lump sump franchie fee, yaitu pembayaran awal pada saat kerjasama baru dibentuk. Umumnya dalam jumlah penuh dan tidak dapat diminta kembali, kecuali ada pemutusan perjanjian pada saat akan beroperasi; recurring royalty service fees, lazimnya suatu prosentase tertentu dari penghasilan (penjualan) yang harus ditetapkan secara tegas dalam perjanjian. Untuk mencegah perselisihan lebih baik ditetapkan dari penghasilan bersih (net revenues); miscellancous supplemental fees for services, yaitu biaya-biaya untuk menutup pengeluaran yang tidak terduga dari pemberi waralaba, misalnya bila penerima waralaba meminta komitmen atau sertifikasi dari pemberi waralaba.
Tatacara pembayaran dalam kontek perjanjian waralaba domestik lebih sederhana daripada perjanjian waralaba internasional. Perjanjian waralaba internal mungkin tidak banyak membawa masalah terutama bahan kandungan, lain halnya dengan perjanjian waralaba internasional, biasanya pemberi waralaba dengan pertimbangan menjaga mutu atau kualitas masih mensyaratkan kandungan bahan internasional dari negara pemberi waralaba. Pada kondisi yang demikian ini perlu adanya pengaturan secara tegas dengan mengutamakan menggunakan bahan dari kandungan lokal. Penggunaan ramli31.blogspot.com, Loc. Cit. 45
Rahmi Jened, Beberapa Catatan Hukum Peraturan Pemerintah tentang Waralaba, Yuridika Vo. 14 No. 5 September – Oktober 1999, h. 348-359. (selanjutnya disebut Rahmi Jened II).
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
bahan dari kandungan lokal diatur dalam Pasal 9 ayat (1) PP No. 42/2007 bahwa Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba mengutamakan penggunaan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh Pemberi Waralaba. Pemberi Waralaba harus bekerjasama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah setempat sebagai Penerima Waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa sepanjang memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba. Meskipun demikian bukan berarti bahwa kandungan lokal tersebut harus digunakan, kesemuanya tersebut tergantung pada posisi tawar penerima waralaba yang notabene dari Indonesia. Penggunaan bahan lokal tersebut untuk mengantisipasi kecenderungan pihak pemberi waralaba yang mewajiban penerima waralaba untuk mengimpor bahan baku dari negara pemberi waralaba atau negara yang ditunjuk oleh pemberi waralaba. Selain hak dan kewajiban sebagaimana tersebut di atas, masih terdapat kewajiban yang lain yaitu mendaftarkan perjanjian waralaba. Waralaba harus didaftarkan sesuai dengan Pasal 11 PP No. 42/2007, bahwa Penerima Waralaba wajib mendaftarkan perjanjian Waralaba. Pendaftaran perjanjian Waralaba sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan oleh pihak lain yang diberi kuasa.
Setiap
penerima
Waralaba/penerima
Waralaba
Lanjutan
wajib
mendaftarkan Perjanjian Waralaba termasuk keterangan tertulis dari Pemberi Waralaba, pada Departemen perindustrian dan perdagangan dalam hal ini pejabat yang berwenang menerbitkan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (selanjutnya disingkat STPUW). Pendaftaran dilakukan dengan cara mengisi
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
STPUW yang dapat diminta secara cuma-cuma di Dirjen Perdagangan Dalam Negeri atau di Kanwil Deperindag setempat dan dilakukan dalam waktu selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung mulai tanggal berlakunya Perjanjian Waralaba. Daftar Isian Permintaan STPUW dibuat dalam rangkap 2 (dua) ditandatangani oleh Penerima Waralaba/penerima Waralaba lanjutan atau kuasanya sesuai dengan ketentuan dalam PP Nomor 42 / 2007 dilaksanakan oleh Permendag No. 12/M-DAG/PER/3/2006. Daftar Isian Permintaan STPUW yang telah diisi dan ditandatangani diserahkan kepada pejabat yang berwenang menerbitkan STPUW dengan dilengkapi fotocopy masing-masing 1 (satu) eksemplar terdiri dari perjanjian Waralaba beserta keterangan tertulis. Surat Izin Usaha Perdagangan atau Surat Izin Usaha dari Departemen Teknis lainnya. Apabila Daftar Isian Permintaan STPUW beserta berkas kelengkapannya dinilai telah lengkap dan benar, maka selambat-lambatnya dalam 5 (lima) hari kerja, pejabat yang berwenang menerbitkan STPUW. Apabila Daftar Isian Permintaan STPUW beserta berkas kelengkapannya dinilai belum lengkap dan belum benar, maka selambatlambatnya dalam 5 (lima) hari kerja pejabat yang berwenang menolak permintaan penerbitan STPUW disertai dengan alasan-alasan penolakan. Bagi pemohon yang permintaannya ditolak, setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam keputusan ini dapat mengajukan kembali permintaan STPUW, sesuai dengan Pasal 12 Permendag No. 12/M-DAG/PER/3/2006. Perjanjian Waralaba antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba dapat disertai atau tidak disertai dengan pemberian hak
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
untuk
membuat
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Perjanjian Waralaba Lanjutan. Perjanjian Waralaba Lanjutan adalah perjanjian secara tertulis antara Penerima Waralaba Utama dan Penerima Waralaba dapat disertai atau tidak disertai dengan pemberian hak untuk membuat Perjanjian Waralaba Lanjutan. Perjanjian Waralaba Lanjutan adalah perjanjian secara tertulis antara Penerima Waralaba Utama dan Penerima Waralaba Lanjutan. Penerima Waralaba Utama adalah Penerima Waralaba yang melaksanakan hak membuat Perjanjian Waralaba Lanjutan yang diperoleh dari Pemberi Waralaba. Penerima Waralaba Lanjutan adalah badan usaha atau perseorangan yang menerima hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba melalui Penerima Waralaba Lanjutan. Dalam hal perjanjian waralaba pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba mengutamakan penggunaan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh Pemberi Waralaba sesuai dengan Pasal 9 PP No. 42/2007 ,. Sebelum membuat Perjanjian Waralaba Lanjutan, Penerima Waralaba Utama wajib memberitahukan secara tertulis dengan dokumen otentik kepada Penerima Waralaba Lanjutan bahwa Penerima Waralaba Utama memiliki hak atau izin membuat Perjanjian Waralaba Lanjutan dari Pemberi Waralaba. Setiap Perjanjian Waralaba Lanjutan wajib diberitahukan atau diketahui oleh Pemberi Waralaba. Setiap Pemberi Waralaba dari dalam negeri wajib memiliki Surat Izin usaha Perdagangan (selanjutnya disingkat SIUP) yang diterbitkan oleh
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Departemen Perindustrian dan Perdagangan atau Surat Izin Usaha dari Departemen Teknis lainnya. Mengenai cara mengetahui legalitas Pemberi Waralaba dari luar negeri. Persyaratan usaha waralaba mengutamakan produksi Dalam Negeri. Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba mengutamakan penggunaan barang dan atau bahan hasil produksi dalam negeri sebanyak-banyaknya sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang disediakan dan atau dijual berdasarkan Perjanjian Waralaba. Pemberi Waralaba harus bekerjasama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah setempat sebagai Penerima Waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa sepanjang memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba (Pasal 9 PP Nomor 12/2007), sesuai Pasal 16 Permendag No. 12/M-DAG/PER/ 3/2006. Pemberi Waralaba mengutamakan pengusaha kecil dan menengah sebagaimana Penerima Waralaba/Penerima Waralaba Lanjutan dan atau pemasok dalam rangka penyediaan dan atau pengadaan barang dan jasa. Dalam hal Penerima Waralaba/Penerima Waralaba Lanjutan bukan merupakan pengusaha kecil dan menengah. Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba/Penerima Waralaba Lanjutan wajib mengutamakan kerja sama dan atau pasokan barang dan atau jasa dari pengusaha kecil dan menengah. Usaha Waralaba dapat diselenggarakan untuk dan diseluruh wilayah Indonesia dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan sosial dan ekonomi dan dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah. Penyelenggaraan waralaba pada dasarnya dilakukan secara
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
bertahap terutama di ibukota Propinsi. Pengembangan waralaba di luar ibukota Propinsi seperti di ibukota Kabupaten/Kotamadia dan tempat-tempat tertentu lainnya yang memerlukan kehadiran jasa waralaba dilakukan secara bertahap dan dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan usaha dan tingkat pertumbuhan sosial dan ekonomi terutama dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah di wilayah yang bersangkutan. Pemberi Waralaba dilarang menunjuk lebih dari 1 (satu) Penerima Waralaba di lokasi tertentu yang berdekatan untuk barang dan atau jasa yang sama dan menggunakan merek sama, apabila diketahui atau patut diketahui bahwa penunjukan lebih dari 1 (satu) Penerima Waralaba itu akan mengakibatkan ketidaklayakan Usaha Waralaba Utama untuk menunjuk lebih dari 1 (satu) Penerima Waralaba Lanjutan. Apabila di suatu lokasi yang berdekatan sudah ada usaha Waralaba yang dilakukan oleh Penerima Waralaba/Penerima Waralaba Lanjutan, maka di lokasi tersebut dilarang didirikan usaha yang merupakan cabang dari Pemberi Waralaba yang bersangkutan dengan merek yang sama, kecuali untuk barang dan atau jasa yang berbeda. Waralaba didasarkan atas perjanjian yang dibuat secara tertulis, sehingga jelas mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak serta kapan mulai berlaku dan berakhirnya perjanjian waralaba tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 huruf j PP No. PP No. 42/2007 yang menentukan bahwa “Perjanjian Waralaba memuat klausula paling sedikit : tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian”.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Selain pengakhiran perjanjian waralaba ditentukan dalam klausula perjanjian, perakhirnya perjanjian waralaba dapat pula terjadi karena: a. adanya persetujuan dari para pihak untuk mengakhiri perjanjian yang menimbulkan perikatan tersebut; b. ditentukan oleh undang-undang, misalnya karena meninggalnya salah satu pihak dalam perjanjian; c. adanya putusan hakim; d. tujuan yang dimaksud dalam perjanjian telah tercapai. Pemutusan perjanjian waralaba yang didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak adalah sesuai dengan Pasal 1338 B.W., bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan tersebut tidak dapat ditarik (dibatalkan) selain sepakat kedua belah pihak. Adanya persetujuan kedua belah pihak ini biasanya dicantumkan secara tegas dalam perjanjian dengan mengesampingkan Pasal 1266 B.W., bahwa semua persetujuan yang bertimbal balik syarat batal selalu dianggap dicantumkan di dalamnya. Pembatalan persetujuan tersebut tidak dengan sendirinya melainkan dengan putusan pengadilan. Pengakhiran perjanjian terjadi karena salah satu pihak wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan”.46 Waralaba didasarkan perjanjian, pelaksanaan perjanjian merupakan hakikat dari perjanjian sendiri, maksudnya setiap perjanjian dibuat tentu mempunyai maksud tertentu untuk dilaksanakannya. Mengenai pelaksanaan perjanjian, Riduan Syahrani mengemukakan:47 “Melaksanakan perjanjian berarti melaksanakan sebagaimana
46
Abdulkadir Muhammad II, Op. cit., h. 20. 47
Riduan Syahrani, Op. Cit, h. 257.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
mestinya apa yang merupakan kewajiban terhadap siapa perjanjian itu dibuat. Oleh
karena
itu
melaksanakan
perjanjian pada hakikatnya adalah berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain”. Pelaksanaan perjanjian, timbul pada saat perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak, yaitu sejak saat tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok antara kedua belah pihak yang disebut dengan konsensus. Saat terjadinya perjanjian atau konsensus, Subekti mengemukakan sebagai berikut: “Pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas”.48 Dengan tercapainya kata sepakat, maka menimbulkan suatu kewajiban secara timbal balik yang disebut juga dengan prestasi. Prestasi diartikan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai “kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan”.49 Menurut Subekti, seseorang dikatakan telah wanprestasi apabila: a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. melaksanakan
apa yang
dijanjikannya,
tetapi
tidak
sebagaimana
dijanjikan; c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.50
48
Subekti, Op. Cit., h. 23.
49
Abdulkadir Muhammad II, Op. Cit., h. 17. 50
Subekti., Op. Cit., h. 45.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Di dalam perjanjian waralaba tindakan yang dapat dianggap wanprestasi yaitu: a. Failure to pay principal, interest ect, when due (kegagalan untuk membayar atau memenuhi kepentingan principal pada saat jatuh tempo); b. Failure to perform other convenants and provision of franchising agreement (kegagalan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan di masa akan datang agar asumsi-asumsi yang terdapat dalam represention dan warranties akan tetap benar kondisinya atau kegagalan memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian franchiese); c. Representations and warranties become at any time incorrect (adanya ketidakbenaran dalam pernyataan mengenai fakta dan jaminan-jaminan yang telah diberikan).51 Penghentian perjanjian ketika perjanjian waralaba belum berakhir, biasanya dibuat untuk keuntungan pemberi waralaba, yang tentunya berakibat penerima waralaba menderita kerugian. Atas kerugian yang diderita tersebut perlu suatu tindakan pemulihan, salah satu tindakan tersebut adalah memberikan penggantian kerugian yang ditimbulkan karena pemutusan perjanjian waralaba tersebut dan ditetapkan pula mengenai cara pembayarannya berdasarkan prosentase ataukah jumlah penuh. Dalam hal Pemberi Waralaba memutuskan Perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba sebelum berakhirnya masa berlakunya Perjanjian Waralaba, dan kemudian menunjuk Penerima Waralaba yang baru, penerbitan STPUW bagi Penerima Waralaba yang baru hanya diberikan kalau Penerima Waralaba telah menyelesaikan segala permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pemutusan tersebut dalam bentuk kesepakatan bersama melalui penyelesaian secara tuntas (Clean Break). Dalam hal Penerima Waralaba Utama yang bertindak sebagai Pemberi Waralaba memutuskan Perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba Lanjutan yang lama, sebelum berakhir masa berlakunya Perjanjian Waralaba, dan 51
Stanley Hurn, Syndicated Loan, Woodhead, Foulkner, New York, 1990, h. 94-95.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kemudian menunjuk Penerima Waralaba Lanjutan yang baru, penerbitan STPUW bagi Penerima Waralaba Lanjutan yang baru hanya bisa diberikan jika Penerima Waralaba Utama telah menyelesaikan segala permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pemutusan tersebut dalam bentuk kesepakatan bersama melalui penyelesaian secara tuntas. Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa konstruksi hukum perjanjian waralaba dibuat secara tertulis, sehingga dibuat dalam suatu akta. Akta dibedakan antara akta di bawah tangan dengan akta otentik, akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian terhadap pihakpihak yang sifat pembuktiannya tidak sempurna sebagaimana jika akta tersebut dibuat dalam bentuk otentik, yaitu akta yang dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai wewenang membuat akta tersebut. Meskipun demikian dengan dibuatnya dalam akta di bawah tangan dapat diketahui mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian waralaba. Di dalam perjanjian waralaba disyaratkan adanya pihak pemberi dan penerima waralaba, dan ada obyek yang diperjanjian dalam perjanjian waralaba yaitu berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual dalam hal ini yang dijadikan obyek waralaba adalah masakan restoran yang termasuk sebagai rahasia dagang.
Tesis
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ......
YUSUF CHATAMI BAHTERA