BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Meskipun sejak tahun 2008 perekonomian dunia sedang mengalami perlambatan dikarenakan krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan Uni Eropa, ekonomi Indonesia ternyata masih mampu bertahan dari terpaan krisis tersebut. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan perbandingan pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap ekonomi dunia selama tahun 2009-2013. Tabel 1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Dunia Tahun 2009-2013 Tahun
Pertumbuhan Ekonomi (%)
Indonesia 2009 4,50 2010 6,10 2011 6,50 2012 6,23 2013 5,78 Sumber: Badan Pusat Statistik dan Bank Dunia (diolah)
Dunia -2,10 4,10 2,80 2,40 2,20
Dari tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu berada di atas pertumbuhan ekonomi dunia selama periode 2009-2013. Pada tahun 2009, ketika pertumbuhan ekonomi dunia mengalami penurunan sebesar 2,10%, ekonomi Indonesia malah mampu tumbuh hingga sebesar 4,50%.
Bahkan, pada tahun 2010 ketika ekonomi dunia mulai mengalami perbaikan dan tumbuh sebesar 4,10%, ekonomi Indonesia mampu tumbuh sebesar 6,10%. Pada periode-periode berikutnya juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih lebih baik dibandingkan pertumbuhan ekonomi dunia dan selalu mampu tumbuh di atas 5%.
Kondisi perekonomian Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam beberapa tahun terakhir telah berdampak terhadap perbaikan kemampuan ekonomi masyarakat. Semakin meningkatnya kemampuan ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat, ternyata juga meningkatkan keinginan masyarakat untuk melakukan investasi. Hartono (2012:5) menyatakan bahwa investasi adalah penundaan konsumsi sekarang untuk dimasukan ke aktiva produktif selama periode waktu yang tertentu. Pratomo dan Nugraha (2009:6) menyatakan bahwa sedikitnya terdapat tiga alasan umum yang melatarbelakangi seseorang melakukan investasi, yaitu: pertama, adanya kebutuhan masa depan atau kebutuhan saat ini yang belum mampu untuk dipenuhi saat ini; kedua, adanya keinginan seseorang untuk menambah atau melindungi nilai aset yang dimiliki; dan ketiga, adalah adanya inflasi.
Menurut Pratomo dan Nugraha (2009:13), berdasarkan jenis asetnya maka investasi dapat dikelompokan ke dalam dua jenis yaitu: (1) investasi nyata (real investment) yaitu investasi yang berupa aset berwujud seperti tanah, rumah, pabrik dan emas; dan (2) investasi keuangan (financial investment) yaitu investasi yang asetnya berupa produk-produk keuangan seperti: tabungan, deposito, obligasi dan
saham. Investasi berupa pembelian aset-aset keuangan berupa surat berharga atau sekuritas semakin berkembang dan menarik minat masyarakat pemodal (investor). Salah satu produk investasi keuangan yang mengalami perkembangan signifikan dalam beberapa tahun terakhir adalah reksa dana. Reksa dana menarik minat masyarakat pemodal karena produk ini mampu menawarkan beberapa keunggulan yang tidak dimiliki oleh produk-produk investasi lainnya. Reksa dana mampu menyediakan berbagai jenis produk yang dapat disesuaikan dengan tujuan, jangka waktu investasi serta profil risiko yang diinginkan oleh masyarakat pemodal. Dengan menjadikan reksa dana sebagai instrumen investasi, maka masyarakat pemodal akan mendapatkan beberapa keuntungan yaitu antara lain: (1) Adanya akses bagi masyarakat pemodal untuk dapat melakukan investasi di pasar keuangan yaitu pasar uang dan pasar modal dengan dana yang lebih terjangkau. Hal ini menguntungkan bagi masyarakat pemodal karena pada umumnya untuk dapat melakukan pembelian efek-efek atau sekuritas yang diperdagangkan di pasar modal secara langsung membutuhkan dana yang cukup besar. Sehingga dengan membeli reksa dana, investor yang memiliki dana terbatas tetap dapat melakukan investasi di pasar modal. (2) Dana yang diinvestasikan oleh masyarakat pemodal akan dikelola oleh para Manajer Investasi yang profesional untuk menghasilkan imbal hasil yang optimal dengan tingkat risiko yang dapat disesuaikan dengan preferensi masyarakat pemodal. Melakukan pembelian efek-efek yang diperdagangkan di pasar modal memerlukan pengetahuan dan akses informasi yang baik. Dengan berinvestasi pada reksa dana, maka masyarakat pemodal dapat menyerahkan pengelolaan efek-efek aset investasi yang dimilikinya kepada Manajer Investasi.
Selain itu, hal ini juga akan memberikan keuntungan lain yaitu adanya efisiensi waktu bagi masyarakat pemodal. Tabel 2 di bawah ini menunjukan perkembangan jumlah dan Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana di Indonesia mulai tahun 2004 sampai dengan akhir bulan Oktober 2014.
Tabel 2 Perkembangan Jumlah Reksa Dana di Indonesia Tahun 2004 – Oktober 2014 Tahun Jumlah Reksa Dana 2004 246 2005 328 2006 403 2007 473 2008 567 2009 610 2010 612 2011 646 2012 754 2013 823 2014 Januari 797 Februari 787 Maret 795 April 805 Mei 813 Juni 828 Juli 828 Agustus 842 September 835 Oktober 840 Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (diolah)
Jumlah NAB (Rp Miliar) 104.037,00 29.405,73 51.620,08 92.190,63 74.065,81 112.983,35 149.087,37 168.326,89 212.592,04 192.544,52 199.768,88 205.377,45 206.325,51 207.661,31 208.699,92 209.981,67 212.789,71 213.136,15 217.453,80 224.260,99
Untuk gambar grafik perkembangan jumlah dan Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana di Indonesia selama periode tahun 2004 sampai dengan akhir bulan Oktober 2014 adalah sebagai berikut:
NAB (Rp Miliar)
225
900
200
800
175
700
150
600
125
500
100
400
75
300
50
200
25
100
Total NAB (Rp Miliar)
Okt
Sep
Agt
Jul
Jun
Mei
Apr
Mar
Feb
2014 Jan
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
0
2004
0
Jumlah Reksa Dana
Gambar 1 Grafik Perkembangan Reksa Dana di Indonesia Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (diolah)
Dari gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa reksa dana telah mengalami perkembangan signifikan selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Pada akhir tahun 2004 jumlah reksa dana yang beredar di Indonesia adalah sebanyak 246 reksa dana dengan total Nilai Aktiva Bersih (NAB) sebesar Rp 104,037 triliun. Sementara itu, jumlah reksa dana hingga akhir bulan Oktober 2014 adalah sebanyak 840 reksa dana dengan Nilai Aktiva Bersih (NAB) sebesar Rp 224,260 triliun. Hal ini menunjukan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun, jumlah reksa dana telah bertambah sebanyak 594 reksa dana atau mengalami kenaikan sebesar 241,46%, sedangkan dari sisi Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana bertambah sebesar Rp 120,223 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 115,56%.
Dalam perkembangannya, industri reksa dana juga pernah mengalami masa surut. Pada tahun 2005, adanya kenaikan harga minyak mentah dunia secara drastis membuat pemerintah harus menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Kebijakan menaikan harga BBM tersebut ternyata berdampak terhadap harga saham-saham yang diperdagangkan di bursa efek. Harga saham-saham yang mengalami penurunan membuat imbal hasil reksa dana pada tahun tersebut juga berkurang. Hal ini menyebabkan masyarakat pemodal melakukan penjualan kembali unit penyertaan reksa dana yang dimiliki, sehingga membuat Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana pada akhir tahun 2005 mengalami penurunan sebesar 71,74% atau berkurang sebesar Rp 74,631 triliun terhadap NAB reksa dana akhir tahun 2004. Pada tahun 2008, industri reksa dana kembali mengalami penurunan meskipun tidak sedalam tahun 2005. Pada tahun tersebut, terjadi penurunan Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana dikarenakan adanya gejolak di pasar modal yang menyebabkan harga saham-saham mengalami kemerosotan. Namun pada tahuntahun berikutnya, industri reksa dana mampu kembali bangkit dan semakin tumbuh dan berkembang hingga saat ini.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal pasal 1 ayat 27 didefinisikan bahwa reksa dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh Manajer Investasi. Reksa dana merupakan suatu skema investasi bersama atau kolektif bagi masyarakat pemodal dalam melakukan investasi di pasar uang dan pasar modal. Dana masyarakat pemodal yang berhasil dikumpulkan akan dikelola oleh Manajer Investasi, sedangkan aset investasi
disimpan di Bank Kustodian. Reksa dana merupakan salah satu instrumen keuangan derivatif yaitu produk keuangan turunan dari produk keuangan lain seperti saham, obligasi, tingkat suku bunga, mata uang dan indeks harga saham. Harga instrumen keuangan derivatif umumnya dipengaruhi oleh harga produk induk (underlying assets) yang membentuk instrumen keuangan derivatif tersebut. Berdasarkan efek atau aset yang membentuk portofolionya, reksa dana dikelompokan ke dalam empat jenis yaitu: (1) Reksa Dana Pasar Uang, (2) Reksa Dana Pendapatan Tetap, (3) Reksa Dana Saham dan (4) Reksa Dana Campuran. Tiap-tiap jenis reksa dana tersebut memiliki karakteristik berbeda termasuk potensi imbal hasil (return) dan tingkat risiko (risk) yang ada di dalamnya. Reksa Dana Pasar Uang adalah reksa dana yang menempatkan 100% dana kelolaan masyarakat pemodal pada efek-efek pasar uang yaitu efek utang yang memiliki masa jatuh tempo kurang dari satu tahun. Reksa Dana Pasar Uang memiliki tingkat pengembalian dan risiko yang relatif lebih kecil dibandingkan jenis reksa dana lainnya; Reksa Dana Pendapatan Tetap adalah reksa dana yang menempatkan sekurang-kurangnya 80% dana kelolaan masyarakat pemodal ke dalam efek-efek yang bersifat utang terutama utang jangka panjang. Reksa Dana Pendapatan Tetap mampu memberikan potensi imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan Reksa Dana Pasar Uang, akan tetapi tingkat risiko yang dimiliki oleh reksa dana jenis ini juga lebih tinggi meskipun relatif tetap terkendali; Reksa Dana Saham adalah reksa dana yang menempatkan sekurang-kurangnya 80% dana kelolaan masyarakat pemodal ke dalam efek yang bersifat ekuitas yaitu berupa saham. Reksa Dana Saham mendapatkan penghasilan dari kenaikan perubahan harga saham (capital
gains) dan pembagian dividen, sehingga potensi imbal hasil yang dimiliki oleh Reksa Dana Saham lebih tinggi dibandingkan jenis reksa dana lainnya. Dengan potensi tingkat pengembalian yang tinggi, Reksa Dana Saham memiliki tingkat risiko investasi yang tinggi pula. Reksa Dana Saham umumnya diperuntukkan bagi masyarakat pemodal yang berani menanggung risiko (risk seeker); Reksa Dana Campuran adalah reksa dana yang menempatkan dana kelolaan masyarakat pemodal ke dalam efek-efek yang bersifat utang dan ekuitas dengan alokasi yang tidak termasuk ke dalam jenis Reksa Dana Pasar Uang, Reksa Dana Pendapatan Tetap maupun Reksa Dana Saham. Potensi imbal hasil Reksa Dana Campuran relatif lebih tinggi dibandingkan Reksa Dana Pasar Uang dan Reksa Dana Pendapatan Tetap, tetapi masih lebih rendah dibandingkan Reksa Dana Saham, sedangkan tingkat risiko yang dimiliki adalah moderat.
Salah satu indikator untuk memantau kinerja suatu reksa dana adalah dengan melihat Nilai Aktiva Bersih (NAB) per unit reksa dana. NAB per unit reksa dana adalah hasil pembagian NAB seluruh portofolio terhadap total saham atau unit penyertaan yang diterbitkan oleh perusahaan reksa dana. NAB reksa dana yang digunakan untuk menghitung NAB per unit adalah total nilai pasar wajar portofolio reksa dana ditambah dengan pendapatan yang sudah atau akan diperoleh dan kemudian dikurangi biaya-biaya seperti biaya Manajer Investasi, biaya Bank Kustodian, biaya akuntan publik, biaya transaksi, dan biaya lain-lain. NAB reksa dana tergantung dari perubahan harga pasar efek-efek yang digunakan untuk membentuk portofolio reksa dana.
Penilaian kinerja portofolio reksa dana juga harus memperhatikan pertukaran (trade-off) antara imbal hasil dan risiko reksa dana dan kemudian dibandingkan dengan suatu tolok ukur (benchmark) sasaran investasi yang memiliki portofolio yang sebanding. Untuk menilai kinerja reksa dana, terdapat tiga model penghitungan imbal hasil sesuaian risiko (risk-adjusted return) yang dapat digunakan yaitu: (1) Reward to Variability Ratio (Sharpe Measure). Dalam model ini kinerja portofolio diukur dengan cara membagi imbal hasil lebih (excess return) dengan variabilitas imbal hasil portofolio yang dinyatakan dengan standar deviasi. Model Sharpe mengukur risiko sebagai total risiko yang sebenarnya terjadi. (2) Reward to Volatility Ratio (Treynor Measure) yaitu model pengukuran kinerja portofolio dengan cara membagi excess return dengan volatilitas portofolio yang dinyatakan dalam beta. Dalam pengukuran kinerja portofolio dengan menggunakan model Treynor, diasumsikan bahwa portofolio yang terbentuk adalah portofolio yang optimal sehingga risiko yang tidak sistemik yaitu risiko yang dapat didiversifikasi akan diabaikan, dan pada akhirnya risiko yang tertinggal untuk digunakan dalam penghitungan hanya risiko sistemik. (3) Differential Return Measure ( Jensen’s Alpha) yaitu selisih antara imbal hasil rata-rata portofolio dengan nilai menurut Capital Asset Pricing Model (CAPM).
Berbagai penelitian terkait tentang penilaian kinerja reksa dana telah banyak dilakukan sebelumnya. Pradani,dkk (2012) melakukan penelitian mengenai evaluasi kinerja Reksa Dana Pendapatan Tetap dengan menggunakan metode Sharpe, Treynor dan Jensen. Penelitian tersebut memberikan hasil bahwa dari 48 Reksa Dana Pendapatan Tetap yang diteliti berdasarkan model Sharpe dan Treynor
ternyata hanya terdapat 1 reksa dana yang mampu memberikan kinerja positif, sedangkan sebanyak 47 reksa dana lainnya mempunyai kinerja negatif. Hasil sedikit lebih baik diperoleh ketika dilakukan pengukuran menggunakan model Jensen yaitu terdapat sebanyak 5 reksa dana yang mampu memberikan kinerja positif, sedangkan sebanyak 43 reksa dana lainnya berkinerja negatif. Penelitian Barus (2013) yang berjudul “Analisis Pengukuran Kinerja Reksa Dana Dengan Metode Sharpe dan Metode Treynor” memberikan hasil bahwa dengan menggunakan metode Sharpe terdapat 5 Reksa Dana Saham yang mampu memiliki kinerja di atas tolok ukur (benchmark) yaitu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), sedangkan 5 Reksa Dana Saham lainnya memiliki kinerja di bawah IHSG. Pada pengukuran menggunakan metode Treynor diperoleh hasil sebanyak 9 Reksa Dana Saham yang memiliki kinerja di atas IHSG dan 1 Reksa Dana Saham lainnya berkinerja di bawah IHSG. Sementara itu, Rahardi (2013) yang melakukan penelitian mengenai analisis komparasi pengukuran kinerja Reksa Dana Saham menggunakan metode Sharpe, Treynor dan M2 menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan hasil pengukuran kinerja Reksa Dana Saham dengan menggunakan model Sharpe, Treynor maupun M2.
Industri reksa dana diyakini akan semakin diminati oleh masyarakat pemodal dikarenakan ekonomi Indonesia yang terus tumbuh serta kinerja cemerlang pasar keuangan terutama pasar modal di dalam negeri. Adanya fenomena bahwa reksa dana semakin diminati oleh masyarakat pemodal sebagai sarana berinvestasi serta terdapatnya perbedaan hasil penelitian (research gap) pada penelitian-penelitian terdahulu menjadi landasan permasalahan yang membuat
penulis tertarik untuk menguji kembali pengukuran kinerja suatu reksa dana dengan melakukan penelitian dengan judul: “Analisis Kinerja Reksa Dana Dengan Menggunakan Model Sharpe, Treynor dan Jensen (Studi Pada Reksa Dana Saham Yang Beredar Tahun 2009-2013)”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka permasalahan di dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah Reksa Dana Saham memiliki kinerja lebih baik dibandingkan IHSG dengan menggunakan model Sharpe, Treynor dan Jensen?
2. Apakah terdapat perbedaan hasil pengukuran kinerja pada Reksa Dana Saham dengan menggunakan model Sharpe, Treynor dan Jensen?
1.3 Tujuan Penelitian
Mengacu kepada rumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Reksa Dana Saham memiliki kinerja lebih baik dibandingkan IHSG dengan menggunakan model Sharpe, Treynor dan Jensen.
2. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan hasil pengukuran kinerja pada Reksa Dana Saham dengan menggunakan model Sharpe, Treynor dan Jensen.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Kontribusi Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan manajemen keuangan khususnya mengenai investasi melalui reksa dana dalam hal analisis kinerja Reksa Dana Saham dengan menggunakan model Sharpe, Treynor dan Jensen.
1.4.2 Kontribusi Praktis
1. Bagi Penulis
Penelitian ini merupakan pengimplementasian ilmu yang penulis terima selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi serta berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis.
2. Bagi Masyarakat Pemodal
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi masyarakat pemodal di dalam pengambilan keputusan khususnya
yang
berhubungan dengan investasi melalui reksa dana, sehingga tidak salah dalam memilih reksa dana yang digunakan sebagai sarana berinvestasi.
3. Bagi Manajer Investasi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu masukan bagi para Manajer Investasi dalam melakukan penilaian kinerja reksa dana, sehingga dapat
juga dijadikan sebagai refleksi kinerja bagi para Manajer Investasi tersebut di dalam menjalankan pekerjaannya mengelola dana masyarakat pemodal.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memfokuskan penelitian hanya terhadap Reksa Dana Saham yang telah memiliki ijin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan telah efektif beredar di Indonesia sejak awal tahun 2009 atau sebelumnya dan masih aktif hingga akhir tahun 2013. Reksa Dana Saham yang diteliti adalah jenis Reksa Dana Saham konvensional (nonsyariah) berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) serta memiliki dana kelolaan berdenominasi rupiah. Dalam penelitian ini, digunakan alat analisis pengukuran kinerja reksa dana berupa model Sharpe, Treynor dan Jensen.