II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Taman Nasional Taman nasional merupakan salah satu kawasan yang termasuk dalam
kategori kawasan pelestarian alam yang memiliki pengertian sesuai dalam UU No 5 tahun 1990 pasal 1 ayat 14 yaitu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. MacKinnon et al (1993) menyebutkan taman nasional adalah suatu kawasan
yang
diperuntukkan
bagi
perlindungan
kawasan
alami
dan
berpemandangan indah yang penting, secara nasional dan internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi. Kawasan alami ini relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan sumberdaya tambang tidak diperkenankan. Basuni (1987) menyatakan bahwa taman nasional merupakan kawasan konservasi di darat atau di laut yang memiliki ciri-ciri keaslian dan keanekaragaman ekosistem yang khas karena flora dan fauna atau geomorfologis dan atau budaya, memiliki nilai keindahan yang secara keseluruhan menyangkut kepentingan dan merupakan warisan kekayaan alam nasional atau internasional, dikelola untuk tujuan pengawetan sumberdaya alam, penelitian, pendidikan lingkungan, turisme dan rekreasi. Miller (1978) dalam Basuni (1987) secara terinci menyebutkan ada 10 tujuan pengelolaan yang relevan dengan pembangunan ekonomi regional, sosial dan pengelolaan lingkungan. Tujuantujuan itu bisa dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Tujuan Normatif Pengelolaan Taman Nasional No
1
2
Tujuan Normatif Pengelolaan Taman Nasional
Keterkaitan dengan Pengelolaan
Memelihara contoh yang mewakili unit-unit biotik utama untuk melestarikan fungsinya dalam ekosistem Memelihara keanekaragaman ekologis dan hukum lingkungan Memelihara sumberdaya genetik (plasma nutfah) Memelihara obyek, struktur dan tapak peninggalan/warisan kebudayaan Melindungi keindahan panorama alam
Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional
Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional 3 Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional 4 Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional 5 Utama, tetapi terbatas pada sebagian areal taman nasional 6 Menyediakan fasilitas pendidikan, penelitian Utama, tetapi terbatas pada dan pemantauan lingkungan di dalam areal sebagian areal taman nasional alamiah 7 Menyediakan fasilitas rekreasi dan turisme Utama, tetapi terbatas pada sebagian areal taman nasional 8 Mendukung pembangunan/pengembangan Utama, tetapai dicapai daerah pedesaan dan penggunaan lahan dengan tujuan-tujuan lainnya marginal secara rasional 9 Memelihara produksi daerah aliran sungai Penting, dan dicapai dalam kaitannya dengan tujuantujuan lain yang sesuai 10 Mengendalikan erosi dan pengendapan Penting, dan dicapai dalam (sedimentasi) serta melindungi investasi kaitannya dengan tujuandaerah hilir tujuan lain yang sesuai Sumber : Miller (1978) dalam Basuni (1987) Sistem pengelolaan taman nasional dilakukan dengan zonasi yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial. ekonomi, dan budaya masyarakat. Pedoman zonasi taman nasional diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No 56 Tahun 2006. Sistem zonasi dalam taman nasional dapat dibagi menjadi : 1. Zona inti, merupakan bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi.
13
2. Zona rimba, adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. 3. Zona pemanfaatan, adalah bagian dari taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. 4. Zona lain yang terdiri dari zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus. Dalam penentuan tata batas zonasi taman nasional, tidak hanya dilakukan oleh pihak balai taman nasional saja tetapi melibatkan pihak-pihak lain yang berkaitan seperti Pemerintah Daerah (Pemda) setempat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Kelompok Masyarakat dan Mitra Kerja. Begitu pula dalam hal pengelolaan, memang pihak Balai Taman Nasional yang memiliki wewenang penuh dalam mengelola kawasan taman nasional tetapi dalam hal kebijakan yang menyangkut kawasan juga turut melibatkan pihak-pihak lain yang berkaitan seperti yang disebutkan diatas. 2.2
Masyarakat Adat Masyarakat adat memiliki kearifan lokal dan pengetahuan tradisi yang
bermanfaat bagi penetapan dan pengaturan fungsi hutan (Poerwanto, 2000). Poerwanto (2000) juga menyebutkan bahwa kearifan lokal ini merupakan salah satu dari pola adaptasi yang dikembangkan oleh masyarakat adat agar mampu memanfaatkan lingkungan sekitar demi kepentingannya baik untuk memperoleh bahan pangan, menghindari diri dari bahaya serta dapat dikatakan juga sebagai bentuk penjagaan dengan ekosistemnya agar tetap dapat mempertahankan 14
hidupnya. Istilah masyarakat adat menjadi populer sejak beberapa aktivis LSM dan masyarakat melakukan pertemuan yang diorganisir oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Tanah Toraja pada tahun 1993. Pertemuan menyepakati masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asalusul leluhur secara turun temurun di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri (Sangaji 2001). Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5 Tahun 1999 disebutkan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Menurut UN Economic and Social Council, masyarakat adat atau tradisional adalah suku-suku dan bangsa yang karena mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah mereka. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No 56 tahun 1996, masyarakat adat yang terdapat di dalam kawasan taman nasional disebut sebagai kelompok masyarakat yang mempunyai pengertian sebagai sekumpulan orang yang karena kondisi kesejarahan, ikatan ekonomi, religi, sosial dan budaya yang hidup dan tinggal secara bersama-sama dalam wilayah tertentu. Kearifan lokal dalam terminologi budaya seperti yang disebutkan Warren (1991) dalam Wahyu (2007) dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan lokal yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah yang panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, 15
bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Secara lebih spesifik, kearifan lokal dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan yang unik, yang berasal dari budaya atau masyarakat setempat yang dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam bidang pertanian (agriculture), kesehatan (health care), penyediaan makanan (food preparation), pendidikan (education), pengelolaan sumberdaya alam (natural resource management) dan beragam kegiatan lainnya di dalam komunitas-komunitas (a host of other activities in communities). Kearifan dan pengetahuan tradisi ini diturunkan secara turun temurun dari generasi sebelumnya ke generasi sesudahnya. Pendapat lain menyebutkan bahwa kearifan lokal adalah bentuk pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang melalui kehidupan dari generasi ke generasi yang berhubungan dekat dengan alam (Reid et al (2002) dalam Wahyu (2007)). Oleh karena itu, kearifan lokal yang dibangun oleh masyarakat adat tidak akan lepas dari pemanfaatan sumberdaya yang dimanfaatkan oleh mereka, salah satunya hutan. Hutan yang ditempati oleh masyarakat adat bisa diakui oleh Negara menjadi hutan adat. Dalam UndangUndang No 41 Tahun 1999 disebutkan hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat adat. Masyarakat hukum adat sendiri berhak melakukan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Inti dari konsep kearifan adalah bahwa manusia hidup bergantung pada alam, tidak hanya mampu melihat ekologi tetapi juga mampu membaca ekologi sehingga kemampuan untuk memaknai kearifan lokal menjadi suatu hal yang urgen dan penting.
16
2.3.
Kelembagaan Masyarakat Adat Institution atau lembaga didefinisikan sebagai aturan-aturan, norma-norma
dan bentuk-bentuk konsensus sosial lainnya yang sifatnya kokoh yang mengatur individu (Sanim et al 2006). Aturan-aturan tersebut dibuat untuk menghambat kemungkinan munculnya perilaku oportunistis dan sewenang-wenang dalam interaksi kehidupan manusia. Ostrom (1986) menyebutkan kelembagaan dapat diartikan sebagai menetapkan aturan-aturan kerja yang digunakan untuk memutuskan siapa yang dapat dipilih untuk membuat keputusan suatu arena, tindakan-tindakan apa saja yang diizinkan atau yang dibatasi, kesatuan aturanaturan apa yang akan digunakan, prosedur apa saja yang harus diikuti, informasi apa yang harus dan tidak harus disediakan, dan akibat apa yang harus diberikan terhadap individu bergantung dari tindakan mereka. Menurut North (1990) dalam Sanim et al (2006), secara umum kelembagaan memiliki dua pengertian penting, yaitu : pertama, kelembagaan diartikan sebagai aturan main (the rules of the game). Sebagai aturan main, kelembagaan berupa aturan baik formal maupun informal, yang tertulis dan tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia. Kedua, kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki. Sebagai suatu organisasi, ada beberapa stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya termasuk hutan. Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai instrumen yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok masyarakat melalui hak dan kewajibannya dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya. Suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama, yaitu : (1) hak-hak kepemilikan (property rights), yang berupa hak atas benda materi maupun non 17
materi, (2) batas yuridiksi (yurisdictional boundary), untuk menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam kelembagaan suatu masyarakat, dan (3) aturan representasi (rule of representation) atau perangkat yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi (Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan 1989 dalam Sanim 2006). Fungsi dasar dari suatu lembaga adalah (1) memfasilitasi kerjasama diantara orang-orang, (2) melindungi hak otonomi individu, dan (3) mencegah dan memecahkan konflik yang mungkin terjadi dalam kerjasama. Suatu lembaga yang efektif akan mampu memprediksi perilaku dari pihakpihak yang melakukan kerjasama karena dengan adanya lembaga tersebut ketidakpastian menjadi berkurang. Adanya kemampuan dalam memprediksi perilaku tersebut selanjutnya akan menimbulkan adanya kepercayaan atau saling percaya dari masing-masing pihak yang artinya timbul rasa aman diantara pihak yang bekerjasama sehingga akhirnya kerjasama yang terjadi menjadi lebih produktif. Kriteria lembaga yang efektif antara lain adalah : (1) mudah dipahami atau harus sesederhana mungkin, (2) fair atau bersifat adil, (3) relatif stabil sepanjang waktu, dan (4) enforced atau aturan diberlakukan (Sanim et al. 2006). Berdasarkan studi literatur seperti pada penelitian Ramli (2007), kelembagaan yang dibangun di masyarakat adat di Indonesia pada umumnya relatif sama. Pada setiap sistem adat tersebut terdapat pimpinan tertinggi dan dibantu oleh wakil-wakil yang ada dibawahnya. Contohnya adalah masyarakat adat Baduy. Dalam pimpinan adat Baduy dipimpin oleh seorang puun lalu dalam menjalankan tugasnya, puun dibantu oleh sejumlah wakil seperti girang seurat dan jaro tangtu. Girang seurat membidangi masalah keamanan sedangkan untuk
18
jaro tangtu selain sebagai wakil puun juga berperan sebagai juru bicara untuk hubungan-hubungan luar. 2.4.
Kolaboratif Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Ko-manajemen atau kolaborasi manajemen merupakan salah satu bentuk
dari pengelolaan sumberdaya dan lingkungan. Untuk kawasan konservasi seperti taman nasional, ketidakefektifan pengelolaan taman nasional saat ini dapat disebabkan oleh beragamnya para pemangku kepentingan (stakeholder) yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda serta beragam masalah dari hambatan dalam menjalankan perannya. Untuk alasan inilah, maka pengelolaan taman nasional harus dijembatani melalui sistem manajemen taman nasional yang bersifat kolaboratif agar semua pemangku kepentingan sumberdaya dari taman nasional memiliki tanggung jawab dalam pengelolaannya. Pendekatan manajemen kolaborasi membutuhkan adanya suatu pengelolaan yang awalnya top-bottom menjadi pengelolaan yang bersifat terdesentralisasi dengan harapan dapat memberikan dukungan lokal terhadap agenda konservasi nasional dengan melibatkan pengguna sumberdaya dalam pengambilan keputusan. Ko-manajemen adalah pengintegrasian rezim pengelolaan yang berbasis masyarakat dengan yang berbasis pemerintah atau bisa diartikan sebagai derivatif yang berasal dari rezim PSALBM (pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berbasis masyarakat) dan rezim PSALP (pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berbasis pemerintah) atau dengan kata lain ko-manajemen dapat didefinisikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan (Hidayat 2009). Menurut Borrini-Feyerabend et al (2000) 19
dalam Sungkar (2010) manajemen kolaborasi merupakan sebuah kesepakatan antara dua atau lebih pemangku kepentingan (stakeholder) untuk membagi informasi, peran, fungsi dan tanggung jawab dalam suatu hubungan dan mekanisme kemitraan yang disetujui bersama. Manajemen kolaborasi diharapkan dapat menciptakan sebuah tata kelola mandiri yang akan menciptakan keuntungan bagi seluruh stakeholder. Ciri khas dari kolaborasi adalah adanya proses saling belajar (sharing), terutama berbagi informasi yang akan membantu para pemangku kepentingan untuk menciptakan rencana-rencana kegiatan yang adaptif. Secara
umum,
tujuan
ko-manajemen
adalah
status
pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan yang lebih tepat, lebih efisien serta lebih adil dan merata. Selain itu ko-manajemen lahir disebabkan oleh dua hal, pertama adalah karena adanya kemauan serta inisiatif pemerintah dan masyarakat, yang kedua adalah karena adanya sensitivitas dan kesadaran pemerintah atau masyarakat terhadap perkembangan suatu keadaan atau situasi. Tujuan secara khusus dari ko-manajemen adalah : (1) Ko-manajemen merupakan jalan menuju arah terwujudnya pembangunan berbasis masyarakat, (2) Ko-manajemen merupakan cara untuk mewujudkan proses pengambilan keputusan secara desentralisasi sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif, dan (3) Komanajemen adalah mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan masyarakat dalam mengelola sumberdaya dan lingkungan serta mengurangi konflik melalui proses demokrasi partisipatif. Menurut Sen dan Nielsen (1996) dalam Hidayat (2009), bentuk Komanajemen dibagi menjadi lima bentuk. Klasifikasi ini didasarkan pada aspek 20
sejauh mana peanan pemerintah dan kelompok masyarakat pengguna terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan implementasinya. Klasifikasi tersebut antara lain : (1) Instruksi, (2) Konsultasi, (3) Koperasi, (4) Pendampingan, dan (5) Informasi. Hirarki dalam Ko-manajemen dilihat dari tiga hal yang menentukan variasi bentuk Ko-manajemen, antara lain : (1) Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan, (2) Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau didistribusikan di antara kedua pihak, (3) Tahapan proses manajemen ketika secara aktual kerjasama pengelolaan betul-betul terwujud (Hidayat 2009). Berikut adalah gambar bentuk ko-menejemen sumberdaya alam dan lingkungan antara pemerintah dengan pemegang kepentingan. PSALBM (Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berbasis Masyarakat) Informatif
Pendampingan
Kooperatif
Konsultatif
(a)
Konsumen Akademisi
Masyarakat
PSALP(Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berbasis Pemerintah)
Ko-Manajemen Daerah
Tokoh
Akademisi
Pemerhati
Instruktif
Pusat
Pembagian tanggung jawab & wewenang
(b) Gambar 1. (a) Ilustrasi Bentuk Ko-Manajemen Sen dan Nielsen (1996), (b) Ko-Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Antara Pemerintah dengan Pemegang Kepentingan 21
Bentuk Ko-manajemen yang ideal adalah pemerintah dan masyarakat adalah mitra yang sejajar yang bekerjasama untuk melaksanakan semua tahapan dan tugas proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan serta memahami peran dan tanggungjawab masing-masing sehingga sistem Ko-manajemen bisa sukses berjalan. 2.5.
Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil studi dari beberapa penelitian terdahulu, diperoleh hasil
kajian mengenai kelembagaan masyarakat adat dan kolaboratif manajemen. Beberapa penelitian tersebut diantaranya yaitu : 2.5.1. Penelitian tentang Kelembagaan Masyarakat Adat No
Penulis
Judul Skripsi
Kesimpulan
1
Afif Aprianto
Komparasi Kearifan 1) Terdapat kelembagaan yang jelas dan Tradisional Masyarakat lengkap dengan organisasi yang Adat Kasepuhan Cibedug menegakkan norma-norma/aturan yang Dengan Aturan Formal berlaku dalam kehidupan sehari-hari Pengelolaan Taman mekanisme sanksi yang berlaku adalah Nasional Gunung mekanisme “kabendon” Halimun-Salak 2) Kearifan tradisional masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sangat terkait dengan konsep tata ruang wilayah masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dan aturan-aturan /norma yang ada di dalamnya. Tata ruang wilayah meliputi wewengkon dan pemukiman, leuweung (hutan), reuma, lahan garapan, tutupan dan titipan 3) Aturan adat masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sangat konsisten dengan aturan formal pengelolaan TNGHS dalam hal asas, tujuan dan zonasi
2
Muhammad Ramli
Kelembagaan 1) Struktur kelembagaan masyarakat adat Pengelolaan Sumberdaya Baduy bersifat vertikal, dengan masingHutan Masyarakat Adat masing pemegang jabatan adat memiliki Baduy Desa Kanekes, batasan dan wewenag khusus dalam Kecamatan Leuwidamar, setiap kegiatan pengelolaan sumberdaya Kabupaten Lebak, hutan Propinsi Banten 2) Masyarakat Baduy memiliki pengetahuan tradisi yang telah berlangsung sejak lama dan diwariskan secara turun temurun baik dalam pengelolaan hutan pemanfaatan hasil hutan atau dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang tersirat di dalam pikukuh karuhun.
22
No 3
Penulis Golar
Judul Skripsi
Kesimpulan
Strategi Adaptasi 1) Telah terjadi perubahan lingkungan yang Masyarakat Adat Toro disebabkan intervensi ekonomi pasar dan Kajian Kelembagaan dinamika politik Lokal dalam Pengelolaan 2) Perubahan preferensi ekonomi dan Pemanfaatan masyarakat serta dinamika politik di Toro berimplikasi terhadap kestabilan Sumberdaya Hutan di sumberdaya hutan di Toro Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi 3) Kelembagaan adat yang direvitalisasi Tengah telah dinilai baik berdasarkan kriteria Ostrom maupun criteria umum masyarakat Toro 4) Perubahan kelembagaan adat secara umum memiliki implikasi terhadap kelestarian pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Toro 5) Eksistensi sumberdaya hutan sangat penting bagi masyarakat Toro. Hal tersebut tercemin melalui pola hubungan yang kompleks antara masyarakat dengan sumberdaya hutan
2.5.2. Penelitian tentang Kolaboratif Manajemen No 1
Penulis Wulandari
Judul Skripsi Kesimpulan Implementasi 1) Pelaksanaan Kolaborasi dalam program Manajemen ekowisata berbasis masyarakat di kampung Kolaboratif Dalam Citahab telah berada pada tahap ke tiga yaitu Pengelolaan melaksanakan kesepakatan. Namun, kolaborasi Ekowisata Berbasis hanya sebatas pelaksanaan saja dan belum Masyarakat (Studi diadakan kegiatan mereview kesepakatan. Kasus Kampung Selain itu juga belum adanya pelibatan stakeholder lain seperti dinas pariwisata dan Citalahab Sentralswasta dalam pengembangan kesepakata. Cikaniki, Taman Nasional Gunung 2) Manfaat pengelolaan kolaboratif ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Citalahab Halimun-Salak, meliputi manfaat ekonomi, sosial, dan manfaat Kabupaten ekologis. Manfaat ekonomi yaitu penyerapan Sukabumi, Jawa tenaga kerja lokal sebagai penyedia home stay, Barat) pemandu lokal, porter dan juru masak. Manfaat sosial yaitu meningkatnya pengetahuan dan kemampuan masyarakat tentang ekowisata, pelestarian budaya lokal khususnya budaya sunda. Manfaat ekologisnya yaitu masyarakat ikut membantu Taman Nasional untuk menjaga sumberdaya alam yang ada dalam kawasan.
23
No 2
Penulis Clara Christina Theresia
Judul Skripsi Kesimpulan Efektivitas Pengelolaan 1) Telah terbangun kepercayaan (trust) Hutan Kolaboratif Antara antara pihak yang terlibat Masyarakat Dengan Perum 2) Setiap pihak juga telah mengerti Perhutani (Kasus PHBM di mengenai pembagian peran dan KPH Kuningan dan KPH tanggung jawab Majalengka Perum 3) Kapasitas masing-masing pihak dinilai Perhutani Unit III Jawa sudah dapat menunjang dalam Barat) pelaksanaan kegiatan PHBM 4) Pentingnya resiko sudah dipahami bahwa sudah terpenuhinya dana, pekerja, peralatan dan waktu dalam proses kolaborasi
24