ARAHAN PENGEMBANGAN PERMUKIMAN DI KAWASAN DAERAH TANGKAPAN AIR DANAU TOBA Oleh : Kuswara Pusat Litbang Permukiman
Abstrak
Dalam pengembangan suatu kawasan, sebagai antisipasi semakin kompleks dan meningkatnya aktivitas penduduk, diperlukan pengelolaan kawasan melalui penataan penggunaan lahan dengan memperhatikan daya dukung dan sumberdaya lingkungan. Salah satu contoh pemanfaatan kawasan yang memerlukan perhatian serius adalah adalah pemanfataan lahan di daerah tangkapan air suatu danau. Sebagai sumber air bagai suatu danau, kondisi daerah tangkapan air (DTA) suatu danau akan mempengaruhi kelestarian danau beserta aktivitas yang terkait dengannya. Berdasarkan hal itu sebagai upaya untuk menjaga kelestarian danau maka diperlukan arahan pemanfaatan ruang pada kawasan DTA dari danau tersebut. Dalam tulisan ini dipaparkan mengenai arahan pemanfaatan ruang khususnya dalam pengembangan permukiman dengan mengambil kasus DTA Danau Toba. Dalam arahan ini dikemukakan klasifikasi kawasan berdasarkan daya dukung lingkungannya dengan katagori kawasan yang didelineasikan menjadi kawasan untuk pengembangan permukiman baru, kawasan dengan pembatasan pengembangan, dan kawasan yang tidak diperkenankan lagi untuk pengembangan permukiman. Selain itu ditampilkan pula dileniasi kawasan berdasarkan arahan koefesien dasar bangunan dan koefesien hijau. Kata Kunci : daya dukung lingkungan, daerah tangkapan air, Danau Toba, permukiman
Abstract
Activities on Lake’s catchment area will determine sustainability of the lake. In regard to the condition it is very important to manage development on the watersheed in order to preserve sustainability of the lake. One of the factor to achieve that is through determining development based on environmental carrying capacity. Based on the condition, this paper proposed inputs for determining development of catchment area of Lake Toba particularly in managing development of human settlements along the area. The inputs are clasified into area with catagories for new settlements development, limitation, and restriction for new development. Another inputs are related to area of building coverage and greeen open space on development of settlements on the catchment area.. Key words : environmental carrying capacity, catchment area, Lake Toba, human settlements
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
1
LATAR BELAKANG Dalam pengembangan suatu kawasan, sebagai antisipasi semakin kompleks dan meningkatnya aktivitas penduduk, diperlukan upaya pengelolaan kawasan dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah melalui penataan penggunaan lahan dengan memperhatikan daya dukung dan sumberdaya lingkungan di kawasan itu maupun kawasan lain yang terkait. Salah satu contoh pemanfaatan kawasan yang memerlukan perhatian serius adalah pemanfataan lahan di daerah tangkapan air (DTA) yang menjadi sumber air bagi suatu danau. Sebagai sumber air bagi danau, kondisi daerah tangkapan air akan mempengaruhi kelestarian danau tersebut beserta aktivitas yang terkait dengannya. Berkaitan dengan pembahasan suatu danau, secara umum danau mempunyai berbagai fungsi, antara lain sebagai sumber air baku, pengendali terjadinya banjir dan kekeringan, sarana transportasi, asset dalam pengembangan pariwisata. Selain fungsi-fungsi itu, dalam perkembangan saat ini terdapat berbagai permasalahan dalam perkembangan danau dan kawasan di sekitarnya. Dengan berkembangnya kawasan permukiman di sekitar danau akan menyebabkan terjadinya perubahan pola penggunaan lahan seperti bertambah luasnya kawasan terbangun dan semakin beragamnya kawasan budidaya non terbangun seperti beragam aktivitas pertanian dan perkebunan. Kondisi itu
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas air. Kualitas Air terkait erat dengan fungsi danau sebagai sumber air baku dan tempat berkembangbiaknya ikan. Kuantitas air berkaitan dengan fungsi danau sebagai sarana transportasi, kawasan wisata, maupun sebagai tempat untuk mencari nafkah bagi penduduk. Salah satu bentuk pengelolaan kawasan dalam rangka menjaga kelestarian danau adalah dengan penataan kawasan permukiman yang terdapat dalam DTA danau tersebut. Perlunya arahan pengembangan permukiman ini disebabkan permukiman merupakan kawasan yang memanfaatkan lahan dalam jumlah yang besar dan secara umum terus meningkat dilihat dari jumlah dan luasannya.
TUJUAN Menentukan arahan pengembangan permukiman di daerah tangkapan air Danau Toba sebagai upaya untuk menunjang kelestarian Danau Toba.
METODOLOGI Dalam pengkajian ini dilakukan analisis mengenai daya dukung kawasan dan kesesuaian lahan sebagai dasar penentuan arahan pengembangan permukiman. Analisis yang digunakan bersifat kuantitatif dengah tahapan sebagai berikut: 1. Penentuan tipologi Sub DTA Tipologi Sub DTA Danau Toba dilakukan dengan berdasarkan pada karakteristik fluktuasi debit aliran air dan tingkat erosi di tiap Sub DTA.
1
LATAR BELAKANG Dalam pengembangan suatu kawasan, sebagai antisipasi semakin kompleks dan meningkatnya aktivitas penduduk, diperlukan upaya pengelolaan kawasan dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah melalui penataan penggunaan lahan dengan memperhatikan daya dukung dan sumberdaya lingkungan di kawasan itu maupun kawasan lain yang terkait. Salah satu contoh pemanfaatan kawasan yang memerlukan perhatian serius adalah pemanfataan lahan di daerah tangkapan air (DTA) yang menjadi sumber air bagi suatu danau. Sebagai sumber air bagi danau, kondisi daerah tangkapan air akan mempengaruhi kelestarian danau tersebut beserta aktivitas yang terkait dengannya. Berkaitan dengan pembahasan suatu danau, secara umum danau mempunyai berbagai fungsi, antara lain sebagai sumber air baku, pengendali terjadinya banjir dan kekeringan, sarana transportasi, asset dalam pengembangan pariwisata. Selain fungsi-fungsi itu, dalam perkembangan saat ini terdapat berbagai permasalahan dalam perkembangan danau dan kawasan di sekitarnya. Dengan berkembangnya kawasan permukiman di sekitar danau akan menyebabkan terjadinya perubahan pola penggunaan lahan seperti bertambah luasnya kawasan terbangun dan semakin beragamnya kawasan budidaya non terbangun seperti beragam aktivitas pertanian dan perkebunan. Kondisi itu
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas air. Kualitas Air terkait erat dengan fungsi danau sebagai sumber air baku dan tempat berkembangbiaknya ikan. Kuantitas air berkaitan dengan fungsi danau sebagai sarana transportasi, kawasan wisata, maupun sebagai tempat untuk mencari nafkah bagi penduduk. Salah satu bentuk pengelolaan kawasan dalam rangka menjaga kelestarian danau adalah dengan penataan kawasan permukiman yang terdapat dalam DTA danau tersebut. Perlunya arahan pengembangan permukiman ini disebabkan permukiman merupakan kawasan yang memanfaatkan lahan dalam jumlah yang besar dan secara umum terus meningkat dilihat dari jumlah dan luasannya.
TUJUAN Menentukan arahan pengembangan permukiman di daerah tangkapan air Danau Toba sebagai upaya untuk menunjang kelestarian Danau Toba.
METODOLOGI Dalam pengkajian ini dilakukan analisis mengenai daya dukung kawasan dan kesesuaian lahan sebagai dasar penentuan arahan pengembangan permukiman. Analisis yang digunakan bersifat kuantitatif dengah tahapan sebagai berikut: 2. Penentuan tipologi Sub DTA Tipologi Sub DTA Danau Toba dilakukan dengan berdasarkan pada karakteristik fluktuasi debit aliran air dan tingkat erosi di tiap Sub DTA.
2
3. Identifikasi Kesesuaian Lahan Identifikasi kesesuaian lahan ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran kesesuaian fisik kawasan berdasarkan jenis-jenis penggunaan. 3. Penentuan Arahan Pengembangan Permukiman yang berupa delineasi kawasan untuk pengembangan permukiman serta arahan KDB dan KDH.
TINJAUAN PUSTAKA Indikator Kelestarian Danau Keterkaitan antara kondisi daerah tangkapan air dengan kelestarian danau dapat dilihat dari gambaran siklus air antara DTA dengan danau.
Sumber: Davis, 1995
Gambar 1 Siklus Aliran Air dari DTA dan Danau Berdasarkan ilustrasi di atas dapat dilihat bahwa aliran air yang masuk ke danau akan ditentukan oleh kondisi pemanfaatan lahan pada DTA. Dengan demikian dalam upaya pelestarian suatu danau maka salah satu perhatian utama adalah terhadap kondisi DTA yang ada di
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
atasnya yang menjadi sumber air bagi danau. Secara umum kelestarian danau dapat dilihat dari kualitas dan kualitas air danau. Kualitas air danau antara lain berkaitan dengan fungsi danau sebagai sumber air baku untuk berbagai kegiatan dan juga danau sebagai kawasan wisata. Kualitas air danau akan menentukan bisa tidaknya air danau dipakai sebagai air baku. Kuantitas air dapat dilihat dari tinggi muka air danau dan fluktuasinya pada musim hujan dan kemarau. Kuantitas air danau ini berkaitan antara lain dengan fungsi danau sebagai pengendali banjir dan kekeringan, serta sarana transportasi. Fluktuasi kuantitas air danau yang besar antara musim hujan dan kemarau, mengindikasikan ketidakstabilan tata air danau. Pertimbangan Teknis dalam Pengelolaan Kawasan DTA Pertimbangan untuk penentuan kesesuaian lahan perlu didasarkan pada berbagai faktor baik fisik maupun non fisik. Sebagai contoh, dari aspek fisik salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah kemiringan lereng. Kemiringan lereng atau topografi suatu kawasan akan berpengaruh terhadap kesesuaian peruntukan lahan seperti sistem perencanaan jaringan jalan, sistem pengaliran jaringan drainase dan utilitas lainnya, peletakan bangunan, dan aspek visual. Berdasarkan karakteritistik fisik tersebut, salah satu ketentuan yang perlu diterapkan sebagai pertimbangan teknis dalam pengelolaan kawasan DTA adalah ketentuan tentang Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien
3
Dasar Hijau (KDH). Secara umum penetapan KDB dan KDH ini berkaitan dengan luas lahan di kawasan DTA yang dapat dibangun dan seberapa luas kawasan harus dijadikan lahan terbuka hijau. Penentuan ini berkaitan dengan tingkat run-off air yang optimal. DATA KAWASAN DANAU TOBA Daerah tangkapan air Danau Toba secara geografisnya berada di tengah-tengah Propinsi Sumatera Utara dengan luas sekitar 259,594 ha yang meliputi 5 wilayah kabupaten. Kawasan Danau Toba merupakan salah satu dari sembilan kawasan andalan di Propinsi Sumatera Utara yang diarahkan dan didorong untuk berkembang sebagai kawasan industri, pariwisata dan kawasan lindung dengan berbagai keanekaragaman flora dan fauna serta budaya. Fisik Kawasan Kawasan Danau Toba memiliki kemiringan lereng yang beragam tetapi secara umum dapat dikatagorikan sebagai daerah berbukit hingga berlereng terjal. Pada wilayah berlereng terjal kemiringan mencapai >75%, sedangkan pada dataran yang sempit kemiringan tercatat < 3%. Berdasarkan struktur vegetasinya, penutupan lahan di kawasan Danau Toba terdiri atas hutan yang didominasi oleh pohon, semak/belukar yang didominasi oleh perdu, padang rumput yang didominasi oleh herba dan rumput, serta lahan terbuka yang berupa lahan tak bervegetasi. Dari segi kerapatannya hutan di kawasan Danau Toba dapat
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
dikelompokan menjadi hutan berpohon rapat dan hutan berpohon jarang. Tabel 1 Kelas Lereng di DTA Danau Toba No. 1 2 3 4 5
Kelas Lereng (%) 0–8 9 – 15 16 – 25 25 – 40 > 40
Luas (Ha) 21.268 44.725 69.121 24.396 100.084
(%) 8,19 25,43 26,63 9,39 38,55
Sumber : LPPM USU–Bappeda Sumut, 2000
Kependudukan dan Sosial Ekonomi Berdasarkan statistik tahun 1999 jumlah penduduk yang mendiami kawasan DTA Danau Toba tercatat sebanyak 590.861 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Penyebaran penduduk di kawasan ini dipengaruhi oleh adanya jalan TransSumatera yang mengubungkan Kota Medan dengan kota-kota besar di arah selatan, serta pertumbuhan sektor industri dan pariwisata. Kecamatankecamatan yang berlokasi di kawasan tersebut penduduknya lebih padat di banding kecamatan lainnya. Kegiatan perekonomian sebagian besar masyarakat di kawasan Danau Toba masih mengandalkan pada sektor pertanian termasuk peternakan dan perikanan. Sektor lain yang berkembang adalah pariwisata. Sektor pariwisata di kawasan Danau Toba berkembang di kawasan Parapat, Tomok, dan Tuktuk, yang terletak di bagian selatan dan timur kawasan Danau Toba. Kondisi Kawasan Permukiman
4
Dominasi sektor pertanian yang berkembang menyebabkan daerah ini tetap menjadi kawasan perdesaan. Lokasi perdesaan yang umumnya dihuni oleh petani dan peladang terletak menyebar tidak beraturan sesuai dengan lahan garapannya, namun bila dilihat dari penyebarannya lokasi perdesaan tersebut lebih mendekati sumber-sumber air, seperti pinggir danau dan sungai atau mata air. Selain permukiman perdesaan, di beberapa kawasan mulai terdapat kawasan yang bercirikan perkotaan yang berlokasi pada pusat kegiatan seperti ibukota kecamatan dan pusat kegiatan pariwisata seperti Balige dan Parapat. Bangunan di kawasan Danau Toba terdiri dari bangunan permanen dan non permanen. Bangunan-bangunan permanen terutama terdapat di kawasankawasan yang menjadi pusat kegiatan seperti ibukota kecamatan, pusat-pusat aktivitas pariwisata. Sedangkan bangunan non permanen menyebar di seluruh wilayah DTA Danau Toba. Bangunan-bangunan non permanen ini terutama mempunyai konstruksi kayu dan berbentuk rumah panggung. Kepadatan bangunan di tiap desa di kawasan DTA Danau Toba bervariasi dari mulai sangat jarang yaitu sekitar 1 rumah per km2 sampai yang terpadat sekitar 1700 rumah per km 2 dengan ratarata 60 rumah per km2.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
K EC. SILIMA KUTA KE C. TIGAPA NAH
Tonggi ng
Bangunseribu Goal
Sibaulangi t
Negori
Kodangkodang
K EC. PURBA Purbadolok 2
Batukerbo
Nagapane
Silalahi
D an au TO B A
Janj imarapot
KEC. DOLOK PA RDAME AN K EC. SIDAMANIK
Binangara
Simarm at a
KEC. SIMA NI NDO
KEC. S IANTAR
Rinal
# AMBA RITA Panam Pangan
Panam Pangan
#
Tomok
PARAPA T
KEC. SIANJUR MULA -M ULA Parmonangan
Parmonangan
KEC. P ANGURURAN
Mot ung
# PANGURURAN
Sipangan Bolon
Lumban Pea
Sibisa
KEC. LUMBA N JULU
Nagat imbul
Sp. Limbong
#
Tanjungan
P. S AM OS IR
HARIA N
# LUMBA N JULU
Sosor Pasir Lumban Bunt u
Tele
Simbolon Baniara
Huta Holang
KEC. P ALIPI
Palipi
#
Sibut ar K EC. Pananggangan KE C. ONANRUNGU TI MUR ONANRUNGU Siborong-borong Hutarihi t
MOGA NG
Tamba Dolok
Pardinggaran
Pangambat an
Saornauli
KEC. HARIA N
Sinaga Uruk
Gogopan Namapean
# ONAN RUNGU
Dolok Nagodang
Pakpahan
NAI NGGOLAN
#
Janj i Maria
Sirait Uruk
Parik
Janj i Marapot
Sosorladang
# PORS EA KEC. P ORSE A
Janj i Matogu Sigaol
Simangunsong KEC. S ILAEN
Hutajulu
# SILAE N
Papance Parsingguran
#
Batu Binumbun KEC. M UARA
Hutapaung
LA GUBOTI
#
Siponjot
KEC. LAGUBOTI
BALIGE Sianipar
Paerung KEC. LI NTONGNIHUTA
Pintu Bat u
Onan Tambak
#
MUARA Siunong-Unong
Sileang
Aek Raja Simp. Tiga M uara
Tampahan
Silangit
KEC. B ALIGE Sitampurung KEC. S IBORONG-BORONG
Gambar 2. Prosentase Hunian di Kawasan DTA Danau Toba
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Penentuan Tipologi Sub DTA Penentuan tipologi Sub DTA Danau Toba dilakukan dengan mendasarkan pada tingkat fluktuasi debit aliran air dan tingkat erosi di tiap Sub DTA. Hal ini bertujuan untuk mengklasifikasikan sub DTA dilihat dari kualitas fisik sebagai dasar untuk menentukan jenis dan prioritas penataan kawasan. Dilihat dari debit aliran air pada tahun basah dan tahun kering pada seluruh sub DTA Danau Toba, didapat bahwa rata-rata aliran debit pada tahun kering hanya 11,84% dari aliran debit pada tahun basah. Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa fluktuasi volume Danau Toba sangat tinggi yang menyebabkan ketidakstabilan tata air danau, sehingga fungsi danau tidak bisa berjalan secara optimal. Tingginya fluktuasi debit air ini terkait dengan penggunaan lahan dan penutupan lahan pada kawasan daerah tangkapan air. Lahan dengan jenis penutupan yang tidak dapat menyerap dan menahan air secara optimal akan menyebabkan aliran air permukaan yang tinggi pada musim hujan tetapi sedikit air yang bisa meresap menjadi air tanah yang
5
menyebabkan menipisnya cadangan air pada musim kemarau. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dengan cara menampalkan peta jenis tanah, kemiringan, curah hujan, dan penutupan lahan, tingkat erosi di tiap Sub DTA di Kawasan Danau Toba, tingkat erosi kawasan berkisar antara 0,1 – 9,74 ton/ha/tahun. Nilai di atas belum melebihi 12,5 ton/ha/tahun, sehingga bisa dikatagorikan sebagai tingkat erosi yang belum melebihi laju pertumbuhan tanah. Keadaan ini mengindikasikan secara umum tingkat erosi masih dapat ditolerir, meskipun untuk beberapa kawasan tingkat erosinya sudah cukup tinggi. Dengan melihat perkembangan di kawasan DTA Danau Toba yang salah satunya dicirikan dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang terus meningkat sebagai akibat meningkatnya aktivitas di kawasan ini, maka tingkat fluktuasi debit air dan erosi dapat menjadi semakin tinggi juga. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya luas lahan yang dijadikan kawasan budidaya, sehingga kondisi penutupan lahan yang dapat menyerap air hujan menjadi semakin berkurang. Kondisi ini didukung oleh data penutupan lahan di kawasan DTA Danau Toba selama kurun waktu 12 tahun dari tahun 1985 – 1997 yang mengalami perubahan penutupan lahan cukup signifikan. Perubahan itu antara lain perubahan penutupan lahan dari hutan menjadi penutupan non hutan. Dalam kurun waktu tersebut areal hutan seluas 31.895,83 ha berubah dari hutan menjadi ladang, sawah, alang-alang, dan semak serta permukiman
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
Berdasarkan hasil analisis terhadap tingkat fluktuasi debit air dan tingkat erosi kawasan, maka ditentukan 4 katagori kawasan Sub DTA yaitu sub DTA dengan katagori 1 sampai 4. KEC. SI LIM AKUTA KEC. TIG APANAH
Ton ggin g
Ba ngu nser ibu Goal
Sib aula ngit
Nego ri
Ko dan gkod ang
KEC . PURBA Pu rba dolo k 2
Ba tuke rbo
Naga pan e
Sila lahi
Dan au T O B A
Janjim ara pot
KEC. DOLO K PARDAM EAN KEC. SI DAM ANIK
Bin ang ara
Sim ar mat a
KEC. SI MANINDO
KEC. SI AN TAR
Rinal
#
AM BARITA
Pa nam Pan gan
Pa nam Pan gan KEC. SI ANJ UR MUL A-M ULA Pa rm ona nga n
#PARAPAT
Tom ok
# PANG URURAN
Pa rm ona nga n
KEC. PANG URURAN
Mot ung
Sip ang an Bo lon
Lum ban Pea KEC. # LUMBAN JU LU LUMBAN JU LU
Sib isa Naga timb ul
Sp . Lim bo ng
#
Tan jung an
P. S AM OSIR
HARI AN
So sor Pasir Lum ban Bunt u
Tele
Sim bo lo n Ba niar a
KEC. PAL IPI
Huta Holan g
Pa lipi
KEC. HAR IAN
Hutar ihit
MOG AN G
Tam ba Dolo k
#
Pa rdin gga ran
Pa nga mb atan
Sa orn auli
Sin aga Uru k
KEC. ONANRUNGU
Sib uta r KEC. Pa nan gga nga n ONANRUNGU TIM UR Sib oro ng- bor ong
# NAI NGGO LAN
Janji M ar ia
Gogo pa n Nama pea n
ONAN RUNGU
Dolok Nago dan g
Pa kpah an
Sir ait Ur uk
Pa rik
#
Janji M ar apo t
#
So sorla dan g
PO RSEA KEC. PO RSEA
Janji M ato gu Sig aol
Sim an gun song KEC. SI LAEN
Hutaju lu
#
Pa pan ce Pa rsing gur an
KEC. MUARA
LAGUBOT I Onan T amb ak
#
Sile ang
KEC. LINTONGN IHUTA
Sip onjo t
Ae k Raja
Pin tu Ba tu
#
MUARA
BALI GE
Siu non g-Un ong Pa eru ng
Sim p. Tiga Mu ar a
SI LAEN
#
Ba tu Bin umb un
Hutap aun g
Tam pa han
Sila ngit
KEC. LAGUBOTI Sia nipa r KEC. BAL IGE Sita mp uru ng KEC. SI BO RONG- BORONG
Gambar 3. Tipologi sub DTA
Sub DTA dengan katagori satu merupakan kawasan dengan tingkat erosi dan fuktuasi air terendah, sedangkan katagori 4 merupakan kawasan dengan tingkat erosi dan fluktuasi debit air yang paling tinggi. Hal ini berarti bahwa Sub DTA dengan tipologi yang besar memiliki kualitas fisik kawasan yang lebih rendah, sehingga pengembangan kawasan pada sub-sub DTA tersebut harus lebih hatihati dan lebih dibatasi sebagai upaya mengurangi tekanan pemanfaatan lahan dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan kawasan DTA Danau Toba secara umum. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memperbaiki sistem penutupan dan pengolahan lahan di kawasan seperti sistem penanaman dengan menanam tanaman tahunan terutama pada kawasan-kawasan dengan tingkat fluktuasi debit air dan erosi yang tinggi. 2. Identifikasi Kesesuaian Lahan Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dalam rangka studi kerjasama
6
antara Bapedalda Propinsi Sumatera Utara dan Fakultas Geografi UGM, kesesuaian lahan di kawasan DTA Danau Toba terbagi menjadi 7 katagori. Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa penggunaan lahan yang dikatagorikan sebagai kawasan yang berfungsi lindung yaitu kawasan hutan lindung dan kawasan resapan mencapai 43% dari total kawasan DTA Danau Toba. Dengan demikian kawasan yang dapat dijadikan lahan budidaya sekitar 67%. Tabel 2 Kesesuaian Lahan Kawasan DTA Danau Toba
No. 1 2 3 4 5 6 7
Kesesuaian Penggunaan Lahan Sawah Tanaman Semusim TanamanTahunan Hutan Produksi Hutan Reboisasi Kawasan Resapan Hutan Lindung
% 5,05% 7,10% 7,93% 16,77% 20,16% 20,72% 22,28%
Sumber: - Bapedalda Prop. Sumut – Fakultas Geografi UGM
Meskipun sekitar 67% merupakan katagori kawasan budidaya, tetapi sebagian besar kesesuaian lahannya untuk aktivitas budidaya dengan penutupan lahan dari jenis tanaman keras yang berupa tanaman tahunan serta hutan produksi dan reboisasi. Dengan demikian pengembangan lahan untuk kawasan permukiman menjadi sangat terbatas, karena pada kawasan dengan kriteria tersebut penutupan lahan yang mengurangi tingkat resapan air hujan harus dikurangi. Batasan-batasan dalam upaya pengembangan
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
permukiman ini dimaksudkan untuk mempertahankan tingkat resapan air dalam rangka menjaga kestabilan debit air danau serta mengurangi tingkat erosi sebagai akibat perubahan pola penutupan lahan. 3. Arahan Pola Pengembangan Permukiman Arahan pola pengembangan permukiman ini didasarkan pada daya dukung dukung lingkungan dengan mempertimbangkan karakteristik tipologi Sub DTA yang didasari dari tingkat fluktuasi debit air dan erosi, kesesuaian lahan, pola penggunaan dan penutupan lahan serta perkembangan permukiman saat ini. Aspek-aspek di atas menjadi faktor penentu arahan dan karakteristik permukiman yang dapat dikembangkan di kawasan DTA Danau Toba. Berdasarkan hal itu maka arahan pengembangan permukiman di bagi menjadi tiga klasifikasi sebagai berikut: a. Tidak Ada Pengembangan Kawasan Permukiman Baru b. Pengembangan Kawasan Permukiman Baru secara terbatas c. Pengembangan Permukiman Baru Pembatasan (tidak ada) pengembangan permukiman baru diperuntukan pada kawasan dimana perbandingan kesesuaian lahan untuk kawasan berfungsi lindung jauh lebih besar daripada kesesuaian lahan untuk kawasan budi daya dan memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi serta berada pada tipologi DTA dengan kualitas yang rendah. Pengembangan permukiman secara terbatas diperuntukan bagi kawasan dengan perbandingan kesesuaian lahan untuk
7
kawasan lindung yang relatif berimbang dengan kawasan budi daya. Kriteria lain adalah desa yang terletak pada Sub DTA dengan kualitas rendah. Pengembangan permukiman baru diperuntukan bagi kawasan dimana perbandingan kesesuaian lahan untuk kawasan lindung jauh lebih kecil dibandingkan dengan kesesuaian untuk kawasan budidaya. Selain itu kawasan ini tidak terletak pada Sub DTA dengan kualitas rendah. Tabel 3. Arahan Pengembangan Permukiman No 1
Arah Pengembangan
Tidak Ada Pengembangan Kawasan Permukiman Baru 2 Pengembangan Secara Terbatas 3 Pengembangan Baru Sumber : Hasil Perhitungan
Luas Kawasan 21.43% 38.01% 40.56%
Gambar 4. Arahan Pengembangan Permukiman
Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa pembatasan pengembangan kawasan permukiman meliputi sekitar lebih dari 59% dari total kawasan yang ada di
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
kawasan DTA Danau Toba. Hal ini berarti bahwa sebagian besar kawasan di wilayah DTA Danau Toba memerlukan pengawasan yang ketat dalam pengembangan kawasan permukiman untuk menampung pertumbuhan penduduk dan aktivitas yang baru. Hal ini disebabkan dalam pengembangan permukiman pada kawasan-kawasan tersebut memungkinkan terjadinya konflik dengan kawasan yang seharusnya berfungsi lindung. Dengan demikian fungsi pengawasan ini dimaksudkan agar terjadi perkembangan yang selaras antara fungsi permukiman sebagai kawasan budidaya dan fungsi lindung daerah tangkapan air dalam rangka mengoptimalkan fungsi Danau Toba secara berkelanjutan. Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan permukiman adalah tingkat kepadatan penduduk pada tiap kawasan permukiman dan upaya untuk mempertahankan tingkat resapan air. Hal ini bisa dilakukan melalui penentuan jenis dan luasan penutupan lahan dan sesedikit mungkin mengubah pola kontur alami atau meminimalkan cut and fill pada saat melaksanakan pembangunan. Salah satu upaya untuk mengatur jenis dan luasan penutupan lahan ini dapat dilakukan dengan menentukan nilai KDB dan KDH yang diperkenankan dalam pengembangan permukiman. Dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan DTA Danau Toba penentuan KDB dan KDH diperuntukan untuk kawasan dengan ciri umum permukiman perdesaan dan dilakukan berdasarkan kondisi kelerengan kawasan dan tipologi Sub DTA dan kesesuaian lahannya.
8
Arahan KDB dan KDH untuk secara umum adalah sebagai berikut (Bapedalda Prop. Sumut – LPPM ITB, 2001 dan Puslitbang Permukiman, 2002):
KEC. SILIMAKUTA KEC. TIGAPANAH
Tonggi ng
Bangunseribu Goal
Sibaulangi t
Negori
Kodangkodang
KEC. PURBA Purbadolok 2
Batukerbo
Nagapane
Silalahi
D an au T O B A
Janj imarapot
KEC. DOLOK PARD AMEAN KEC. SIDAMANIK
Binangara
Simarm at a
KEC . SIMANINDO
KEC. SIAN TAR
Rinal
# AMBA RITA Panam Pangan
Panam Pangan
#
PARAPA T
Tomok
KEC. SIANJUR MULA-MULA
1. Kemiringan lereng 0 - 8%. Peruntukan lahan untuk kawasan terbangun dengan KDB maksimum 15% serta KDH minimum 82% yang berupa kawasan terbuka hijau, Peruntukan lahan yang sesuai antara lain perumahan kepadatan rendah, bangunan publik, niaga dan jasa, pariwisata, pertanian, dan padang rumput. KEC. SILIMAKUTA KEC. TIGAPANAH
Tonggi ng
Bangunseribu Goal
Sibaulangi t
Negori
Kodangkodang
KEC. PURBA Purbadolok 2
Batukerbo
Nagapane
Silalahi
D an au T O B A
Janj imarapot
KEC. DOLOK PARD AMEAN KEC. SIDAMANIK
Binangara
Simarm at a
KEC . SIMANINDO
KEC. SIAN TAR
Rinal
# AMBA RITA Panam Pangan
Panam Pangan
#
Tomok
PARAPA T
KEC. SIANJUR MULA-MULA Parmonangan
KEC. PANGURU RAN
Parmonangan
Mot ung
# PANGURURAN
Sipangan Bolon
Lumban Pea
Sibisa
KEC. # LUMBA N JULU LUMBAN JU LU
Nagat imbul
Sp. Limbong
#
Tanjungan
P. S AM OS IR
HARIA N
Sosor Pasir Lumban Bunt u
Tele
Simbolon Baniara
Huta Holang
KEC. PALIPI Palipi
KEC. HARIAN
#
Sibut ar
Hutarihi t
Gogopan
KEC. ONANRUNGU TIMUR
Pananggangan
MOGA NG
Tamba Dolok
Pardinggaran
Pangambat an
Saornauli
Sinaga Uruk
KEC. ONANRUNGU
Namapean
Siborong-borong
# ONAN RUNGU
Janj i Maria
Dolok Nagodang
Pakpahan
NAI NGGOLAN
Sirait Uruk
Parik
#
Sosorladang
# PORS EA
Janj i Marapot
KEC. POR SEA
Janj i Matogu Sigaol
Parmonangan
Parmonangan
KEC. PANGURU RAN
Mot ung
# PANGURURAN
Sipangan Bolon
Sibisa Nagat imbul
Sp. Limbong
#
Tanjungan
P. S AM OS IR
HARIA N
Lumban Pea
KEC. # LUMBA N JULU LUMBAN JU LU Sosor Pasir
Lumban Bunt u
Tele
Simbolon Baniara
Huta Holang
KEC. PALIPI
KEC. HARIAN
Palipi
#
Sibut ar
Hutarihi t
Gogopan
KEC. ONANRUNGU TIMUR
Pananggangan
MOGA NG
Tamba Dolok
Pardinggaran
Pangambat an
Saornauli
Sinaga Uruk
KEC. ONANRUNGU
Namapean
Siborong-borong
# ONAN RUNGU
Dolok Nagodang
Pakpahan
NAI NGGOLAN
Sirait Uruk
Parik
#
Janj i Maria
Sosorladang
# PORS EA
Janj i Marapot
KEC. POR SEA
Janj i Matogu Sigaol
Simangunsong
KEC. SILAEN Hutajulu
# SILAE N
Papance Parsingguran
#
Batu Binumbun
Hutapaung
LA GUBOTI
KEC. MUARA #
Paerung Sileang
KEC. LINTONGN IHUTA
Siponjot
Aek Raja
Pintu Bat u
Onan Tambak
#
MUARA
BALIGE
Siunong-Unong Simp. Tiga M uara
Tampahan
Silangit
KEC. LAGUBOTI Sianipar
KEC. BALIGE Sitampurung
KEC. SIBORONG-BORONG
Gambar 6. Arahan KDH Minimum 3. Kemiringan lereng 15% - 25%. Peruntukan lahan untuk kawasan terbangun dengan KDB maksimum 7% dan KDH minimum 91% berupa kawasan terbuka hijau. Peruntukan lahan yang sesuai meliputi perumahan, bangunan publik, niaga dan jasa dengan kepadatan sangat rendah, wisata alam, pertanian, dan padang rumput.
Simangunsong
KEC. SILAEN Hutajulu
# SILAE N
Papance Parsingguran
#
Batu Binumbun
Hutapaung
LA GUBOTI
KEC. MUARA #
Paerung Sileang
KEC. LINTONGN IHUTA
Siponjot
Aek Raja
Pintu Bat u
Onan Tambak
#
MUARA
BALIGE
Siunong-Unong Simp. Tiga M uara
Tampahan
Silangit
KEC. LAGUBOTI Sianipar
KEC. BALIGE Sitampurung
KEC. SIBORONG-BORONG
Gambar 5. Arahan KDB Maksimum 2. Kemiringan lereng 8% - 15%. Peruntukan lahan untuk kawasan terbangun dengan KDB maksimum 12% dan KDH minimum 85% berupa kawasan terbuka hijau. Peruntukan lahan yang sesuai antara lain untuk perumahan kepadatan rendah, bangunan publik, bangunan niaga dan jasa, tempat wisata, pertanian, dan padang rumput.
4. Kemiringan lereng 25% - 60%. . Peruntukan lahan untuk kawasan terbuka hijau dan kawasan terbangun secara terbatas dengan KDB maksimum 2%, dengan KDH minimum 98% yang berupa kawasan terbuka hijau. Peruntukan lahan yang sesuai antara lain kawasan perumahan, bangunan publik dengan kepadatan sangat rendah pada kemiringan lereng <40%; kawasan wisata alam; pertanian tanaman keras; dan hutan tanaman sejenis dan campuran. 5. Kemiringan lereng >60%. Peruntukan lahan untuk kawasan terbuka hijau dengan peruntukan
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
9
hutan tanaman campuran.
sejenis
atau
Berdasarkan nilai KDB dan KDH di atas, dapat dilihat bahwa dalam pengembangan kawasan permukiman luasan penutupan lahan untuk kawasan terbangun sangat kecil yaitu di bawah 15%. Dengan demikian perhatian terhadap pengaturan kepadatan bangunan dan penetapan jenis penutupan lahan di kawasan permukiman perlu menjadi prioritas dalam pengembangan permukiman. Implikasi lain dari nilai KDB dan KDH di atas adalah dalam penentuan luasan kapling untuk bangunan perumahan. Dengan nilai tersebut maka diperlukan luas kapling yang besar sehingga memungkinkan dibangun bangunan rumah dengan luasan yang memadai dengan tetap mampu mempertahankan kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau. Selain pertimbangan KDB dan KDH di atas, dalam pengembangan permukiman hal yang perlu diperhatikan adalah upaya untuk menimimalkan perubahan kontur kawasan. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan karakter alami vegetasi kawasan dan bentuk kawasan sebagai upaya untuk mengurangi dampak lingkungan sebagai akibat dari aktivitas pemanfaatan lahan. Sebagai upaya untuk meminimalkan perubahan bentuk kawasan ini dilakukan dengan pembangunan pola permukiman yang mengikuti bentuk kontur asli kawasan.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
KESIMPULAN DAN SARAN Dari uraian yang telah disampaikan dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut : 1. Pengelolaan kawasan sepanjang DTA akan menentukan tingkat kelestarian danau baik dilihat dari kualitas air maupun kuantitas air danau tersebut 2. Dalam lingkup kawasan DTA Danau Toba, berdasarkan daya dukung lingkungannya, lebih dari 50% kawasannya harus berfungsi lindung, sehingga pengembangan aktivitas dalam kawasan DTA harus secara ketat dan selektif. 3. Berdasarkan daya dukung lingkungan, arahan pengembangan permukiman secara umum terbagi menjadi kawasan yang dapat dikembangkan untuk permukiman baru, pengembangan secara terbatas, dan kawasan dengan tidak ada pengembangan baru. Salah satu pembatasan adalah dengan penentuan KDB dan KDH kawasan. 4. Untuk pengembangan selanjutnya arahan pengembangan ini sebaiknya ditindakkanjuti dengan kriteria design landscape dalam pengembangan permukiman, dan pola tapak design perumahan tepi danau yang berbatasan langsung dengan sempadan danau.
10
DAFTAR PUSTAKA 1. Bapedalda Prop. Sumut – LP ITB, 2001. Penyusunan Pedoman
Umum Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kawasan Danau Toba, Laporan
Akhir 2. Bapedalda Prop. Sumut – Fakultas Geografi UGM, 2000,
Penelitian Gangguan Ekosistem Wilayah Danau Toba Dalam Rangka Pengelolaan Lingkungan,
4. Davis, Joanne Bob Storer, and Rob Zisette, 1995. The Washington Lake Book. The Washington State Lake Protection Association (WALPA) 5. Puslitbang Permukiman, 2002,
Pengkajian Korelasi Antara Pola Pemanfaatan Lahan Permukiman Perdesaan dengan Pelestarian Kawasan Danau Toba, Laporan Akhir
Laporan Akhir 3. Bappeda Prop. Sumut – LPPM USU, 2000, Penyusunan Rencana
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Kawasan Daerah Tangkapan Air Danau Toba, Laporan Akhir
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
11
EVALUASI PENINGKATAN KESTABILAN SISTEM FONDASI DANGKAL pada TANAH LUNAK EKSPANSIF (studi kasus Rumah sederhana di Komplek Loka Puslitbangkim, Mranggen, Semarang) Oleh : Silvia.F.herina Peneliti muda bidang rekayasa teknik sipil Pusat Litbang Permukiman
Abstrak Tanah ekspansif di sepanjang utara kota Semarangmenuju ke Demak dan Purwodadi menyebabkan banyak kerusakan pada bangunan infrastruktur dan khususnya bangunanbangunan sederhana . Kejadian ini juga melanda komplek Loka Puslitbang Permukiman di Mranggen, km15, Semarang. Hampir semua bangunanrumah mengalami retak pada dinding dan lantainya. Puslitbang permukiman telah melakukan kajian tentang stabilisasi tanah ekspansif pada tahun 1995 dan 2004. yang pertama digunakan 10% kapur-pasir ( persen dari jumlah volume tanah ),dan yang kedua menggunakan 5% abu sekam padi – kapur. Evaluasi keberhasilan kajian tersebut disampaikan dalam tulisan ini. Tampaknya sistem yang pertama lebih efektif dibandingkan dengan yang kedua. Kata kunci : tanah ekspansif; kapur, abu sekam, pasir
Abstract Expansive soils along the way of North of Semarang ( Center of Java)to Demak and Purwodadi caused damage to most of infrastructure and particularly light buildings. The similar problem also occurred in Loka Puslitbang Permukiman which is located in Mranggen , km15, Semarang. Significant wall and floor crack have found in most of simple buildings. Puslitbang Permukiman has done expansive soil stabilization‟s studies in 1995 and 2004, the first was concentrated on the using of 10% lime-sand stabilization( percent of bulk soil volume)l and the second was on the using of 5% rice husk ash –lime . Evaluation of decreasing expansive potential by both of the two system presented in this paper. Apparently, the first system is more effective compared with the second. Key words : expansive soils ; lime ; rice husk ash; sand
PENDAHULUAN Hampir sepanjang daerah utara kota Semarang menuju ke Demak, dan Purwodadi permukaan tanahnya mengalami gelombang yang tidak pernah berhenti, disertai keretakan dalam pada musim kemarau dan genangan air pada musim hujan. Meskipun tidak separah kondisi tanah, bangunan rumah dan jalan menuju Purwodadi, hal ini terjadi pula di komplek perumahan Loka Puslitbang Permukiman yang terletak di Mrang-gen, km 15 Kembang arum , Semarang. Tampak perubahan kelembaban sekeliling area bangunan yang mengakibatkan distorsi lantai, terangkatnya fondasi dan elemen bangunan yang ringan. Beberapa bagian dinding condong keluar (gambar1), dan mengalami retakan diagonal.
Gambar 2 Retakan diagonal dinding ( Bangunan rumah Loka Mranggen) Pola kegagalan struktur bangunan di daerah Mranggen sama pada semua bangunan, yakni sudut bangunan turun dan bagian tengah bangunan menyembul keatas ( gambar 3)
Gambar 3 Lantai yang bergelombang (Bangunan rumah Loka mranggen) Gambar 1 Lantai yang mengalami distorsi (Bangunan gedung SMU Pembangunan) Pada waktu dilakukan uji penetrasi di lapangan muka air tanah ada di kedalaman + 1.5 – 2 m, tetapi pada saat musim hujan muka air tanah ada di kedalaman 0 - 0,5 m. Penghuni berupaya menutup plesteran dinding setiap terjadi keretakan, namun pada pergantian musim keretakan terjadi kembali ( gambar 2 ).
Pada tahun 1995, Pusat Litbang Per mukiman melakukan penelitian peri-laku tanah di daerah komplek peru-mahan Mranggen, dan menerapkan sistem stabilisasi pasir-kapur dan fon-dasi dangkal berupa pipa beton Ø 0.40m, bangunan diatasnya merupa-kan bangunan sederhana, tipe 21, guna dapat mengamati pengem-bangan dan penyusutan tanah di bawah lantai, pelat lantai plesteran semen diperkuat dengan ram kawat ayam agar tidak terjadi penyusutan akibat proses pengeringan semen.
Pada tahun 2004 kembali dilakukan kajian fondasi dengan menerapkan sis-tem stabilisasi kapur-abu sekam padi dan fondasi batu kali menerus, bangunan di atasnya tipe 36, dengan lantai ( tanpa ram kawat) plesteran semen yang dihampar di atas tim-bunan pasir 20 cm. Karena sifatnya yang sangat kohesif, tidak terjadi penurunan segera (immediate settle-ment) setelah penerapan beban ba-ngunan di atasnya, konsolidasi tanah berjalan sangat lambat, oleh sebab itu pengamatan perilaku kedua sistem fondasi tersebut di atas tidak dapat dilakukan dengan segera, kajian tingkat keberhasilannya baru dilaku-kan pada tahun 2005-2006, analisa hasil evaluasinya disampaikan dalam tulisan ini. Karakteristik tanah Mranggen Dari hasil uji penetrasi ( Dutch cone pene tration) dan dilatometer, tampak stratigrafi tanah hampir merata berupa lempung kelanauan, berwarna coklat ke abu-abuan, indikasi adanya teka-nan yang menyebabkan swelling ada pada kedalaman 2 sampai 5 m, kemudian ada lapis pasir sampai hampir di kedalaman 8m, zona aktif kembang-susut di prediksi ada di ke-dalaman 0 sampai 8m. Berat isi tanah basah berkisar antara 1.85 – 2.08 gr/cm3, sedangkan berat isi tanah kering antara 1,37 – 1,50 gr/cm3. Batas plastis tanah (PL) antara 34,6 36,6 %, dan dengan batas cair (LL) ratarata 71%, Indek plastisitas nya diperoleh sekitar :
IP = LL-PL= 36,4 ~33,4% .
(a)
(b) Gambar 4 Hasil uji dilatometer, indek material (a) dan OCR ( over consolidated ratio) (b).
(a)
(b) Gambar5 Hasil uji dilatometer, kuat geser tidak teralir(Cu). (a) dan indek tegangan horizontal (b).
Gambar 6 Grafik batas cair
Melalui shrinkage limit test di dapat batas penyusutan antara 24,6 sampai 33 %. Klasifikasi potensi tanah untuk mengalami ekspansif diambil dari ke-tentuan Chen ( 1988) dan Raman ( 1967), yang digambarkan dalam tabel sebagai berikut : Tabel 1 Klasifikasi tanah ekspansif Potensi Indek plastisitas swelling (%) Rendah 0 – 15 Sedang 10 – 35 Tinggi 20 – 55 sangattinggi > 35 After chen (1988) Tabel 2 Klasifikasi tanah ekspansif berdasar indek plastisitas dan indek penyusutan Indek plastisitas (%) < 12 12 – 23 23 – 32 > 32
Indek penyusutan SI (%) < 15 15 – 30 30 – 40 > 40
Tingkat ekspansi
Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi After Raman ( 1967)
Dapat dilihat bahwa tanah Loka Mranggen termasuk dalam tanah yang ber potensi swelling cukup tinggi. potensi swelling juga dapat dilihat dari uji oedometer tanah tidak terganggu yang hasilnya digambarkan dalam grafik angka pori vs tekanan seperti dibawah ini :
Gambar 7 e vs log P ( log fitting method) Hasil verifikasi pengamatan visual dengan uji laboratorium ini membenarkan terkondisinya tanah Mranggen dalam potensi kembang susut, jadi rencana peningkatan stabilisasi tanah dikonsentrasikan pada pengendalian sifat kembang susut ini. Sistem peningkatan kestabilan Kajian peningkatan kestabilan tanah menggunakan : Stabilisasi kapur-pasir. kapur dipilih sebagai bahan penstabil karena sifatnya yang puzolanik, sehingga diharapkan dapat mengendalikan sifat kembang susut montmorillonite yang ada dalam lempung, dan menaikkan daya dukung tanah. Hasil uji karaktersitik tanah yang dicampur 10% terhadap volume tanah dan pasir di laboratorium sebagai berikut: Batas plastis tanah : Tabel 3 Batas plastis tanah dengan kapur-pasir No Uji W
KP1
KP2
KP3
KP4
KP5
39
38.6
39.2
38.4
37
PL
38.4
Batas Cair tanah : No. Uji No. Container Berat Container, W1(gr) Berat tanah basah+Container, W2 (gr) Berat tanah kering : Container, W3 (gr) Berat tanah basah, W4 = W2 – W1 Berat tanah kering, W5 = W3 – W1 Berat air, W6 = W4 – W5 air, w 100%
Kadar = w6/w5 x
Jumlah ketukan Batas Cair Oven, Wl (% )
1
2
3
4
5
KP1
KP2
KP3
KP4
KP5
67.4
1.1
1.8
2.1
1.5
70.6
3.3
4.7
4.7
4.5
69.7
2.6
3.6
3.6
3.2
3.2
2.2
2.9
2.6
3.0
2.3
1.5
1.8
1.5
1.7
0.9
0.7
1.1
1.1
1.3
39.1
46.67
61.11
73.33
76.47
73
39
31
16
15
60
Gambar 8 Grafik batas cair stabilisasi kapurpasir Indek plastisitas diperoleh = LL-PL = 21.6%. dari hasil ini diprediksi bahwa potensi tanah untuk swelling tereduksi, tanah termasuk dalam kategori sedang – rendah. Stabilisasi Kapur abu sekam, pemanfaatan sekam padi ini lebih dipertimbang kan karena sekam yang merupakan bahan hasil sampingan produk pertanian padi tersebut, di dapat dalam jumlah yang cukup melimpah, data statistik Indonesia tahun 2002 menunjukkan hasil produk padi mencapai 51,4 juta ton gabah kering, dan produk ini hampir rata dalam 5 tahunan terakhir. Selain itu
sekam yang dibakar mempunyai sifat puzolan yang mengandung unsur silikat yang tinggi, rata-rata Si O2 91,72% dengan Puzolanik activity index 87%. Puzolan ini mengandung sifat sementasi jika bercampur dengan kapur padam dan air. Akibat penambahan kapur ( dalam kedua macam stabilisasi ) diperkirakan kenaikan daya dukung tanah tercapai akibat adanya 3 macam reaksi , yakni dehidrasi tanah, pertukaran ion , dan reaksi pozolanik. Reaksi jangka pendek yang lang sung terlihat adalah hidrasi dan flokulasi, sementara reaksi jangka panjang adalah sementasi. Peristiwa dehidrasi digambarkan se-bagai berikut ; pada waktu kapur tohor dicampur dengan tanah, keluar panas yang cukup besar, yang disebabkan oleh hidrasi kapur dan air pori tanah. Ca O + H2 O Ca ( OH ) 2 + panas Akibat reaksi ini terjadi reduksi air di dalam pori tanah yang cepat dan cukup signifikan, untungnya tanah Mranggen mempunyai air pori yang cukup tinggi,( sekitar 70%), sehingga air ini dapat berfungsi sebagai pe-madam kapur secara lengkap. Kegiatan pengeringan ini menguntungkan dari segi pengendalian kelembaban tanah. Air yang tersisa setelah pemadaman digunakan untuk pertukaran ion kapur yang terhidrasi dan ion alkali dari mineral lempung. Calcium hydroxide yang terjadi bercampur dengan air yang ada menaikkan konsentrasi elektrolit dan kadar ph air pori, serta melarutkan SiO2 dan Al2O3 dari partikel tanah, proses ini mengakibatkan pertukaran ion, flokulasi dan timbulnya reaksi puzolanik. Ca (OH)2 Ca ++ + 2(OH) -
No. Uji
1
2
3
4
5
As1
As2
As3
As4
As5
2,2
2,3
2,0
2,0
66,3
12,2
7,0
4,9
6,5
64,8
8,6
5,3
3,7
4,5
4,3
10
4,7
2,9
4,5
2,8
6,4
3
1,7
2,5
1,5
3,6
1,7
1,2
2,0
Kadar air, w = W6/W5x 100%
53,5 7
56,2 5
56,6 6
70,5
80
Jumlah ketukan Batas Cair Oven, Wl (% )
61
36
27
23
23
No. Container Berat Container, W1(gr) Berat tanah basah + Container, W2 (gr) Berat tanah kering + Container, W3 (gr) Berat tanah basah, W4 = W2 – W1 Berat tanah kering, W5 = W3 – W1 Berat air, W6 = W4 – W5
2
63
Camp.Abu Sekam padi
kadar air ( % )
Proses pertukaran ion dan flokulasi : Pada waktu dilakukan pencampuran, sodium dan kasion-kasion lain yang ada pada permukaan lempung bertukar dengan calcium, pertukaran ini mempengaruhi struktur lempung. Reaksi yang dihasilkan dari pemisahan kapur padam menjadi Ca++ dan ( OH )_ memodifikasi gaya elektrikal permu-kaan lempung, transformasi struktur tanah dimulai yakni flokulasi dan koagulasi , partikel tanah menjadi agregat yang berukuran lebih besar dari semula. Plastisitas tanah berku-rang, kekuatan dan kekakuannya meningkat. Ca ++ bertukar dengan ion monovalen ( K+, Na+ ), pertukaran ini memperbaiki permukaan mineral lempung, karena mineral utama di Mranggen adalah mineral Montmorillonit,pertukaran ion ini lebih mudah terjadi. Penambahan abu sekam yang bersifat sementis (Si O2 ) menimbulkan reaksi pozolanik, kejadiannya sebagai berikut : Calcium hydroxide di dalam air tanah bereaksi dengan silikat dan aluminat hidrat yang ada di dalam lempung membentuk material yang bersifat puzolan Ca ++ + 2 (OH )- + Si O2 CSH Ca ++ + 2 (OH)- + Al2 O3 CAH Puzolan ini meningkatkan daya dukung tanah. Hasil uji sifat tanah yang distabilisasi dengan komposisi bahan 5% kapur + abu sekam ( 1,7% kapur, 3,3% abu sekam) dan 95% tanah asli sebagai di bawah ini:
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Series1
0
0.5
1
1.5
2
jumlah ketukan
Gambar 9 Grafik batas cair stabilisasi abu sekam padi
Batas plastis tanah stabilisasi abu sekam padi juga mengalami pening-katan, hasilnya disampaikan dalam tabel 4. Tabel 4 Batas plastis tanah dengan abu sekam padi
No UJI w PL
As1
As2
As3
As4
40,6 39,6
38,7
40
39.8
As5 38.9
Indek plastisitasnya IP = LL – PL = 23,4%, mengacu pada tabel Chen dan Rahman nilai ini dapat dimasukkan pa da kondisi mengembang sedang, artinya ada peningkatan ketahanan kembang – susutnya. Kadar air optimum dari tanah hasil stabilisasi tersebut adalah :
Gambar 10 Kadar air optimum tanah campuran 5% kapur-abu sekam Penerapan dilapangan Penerapan di lapangan diambil sesuai hasil uji di laboratorium. Stabilisasi dengan kapur-pasir, menggunakan pemakaian kapur 10% dari volume tanah, untuk sistem fonda-sinya digunakan buis beton panjang 1,20m,
diameter 0,40m. Buis beton ini dianggap sebagai fondasi tiang dangkal, Sebelum pemasangan buis, tanah yang bersifat ekspansif dikeluarkan, adukan kering setebal 0,25m dihampar seba-gai lantai kerja , lantai di cor setelah buis dipasang pada posisinya, buis diisi pasir dan ujung atas sedalam 0,30m dicor beton untuk pemasangan anker tulangan beton sebagai penghubung dengan kolom bangunan. Sekeliling buis diisi campuran tanah yang di stabilisasi, pelat lantai juga menjadi salah satu perhatian utama, stabilisasi tanah dilakukan setebal 0,30m diba-wah muka tanah, kemudian diberikan 0.05m lapisan pasir untuk perataan. Kekakuan bangunan di dukung oleh sloof beton di atas fondasi ( gambar 11), kekakuan pelat lantai dan ke-tahanan susut didukung oleh satu lapis ram kawat
Gambar 11 Stabilisasi tanah dengan kapur-pasir dan sistem fondasinya. Stabilisasi dengan 5% abu sekam-kapur; sistem fondasi yang dilak-sanakan adalah sistem batu kali yang menerus, prinsip dari stabilisasi ini adalah melindungi fondasi dari sifat kembang-susut tanah, dengan meng-ganti tanah sekeliling fondasi dengan tanah yang distabilisasi , 0,20mtanah dibawah pelat lantai diganti dengan tanah stabilisasi abu sekam padi, kemudian diberi hamparan lapis pasir
0,05 cm. mengingat sifat ekspansif yang mampu menyerap air dalam jumlah yang cukup besar, kadar air optimum lapangan yang digunakan untuk patokan pemadatan diambil lebih kecil dari kadar air optimum laboratorium, diambil 25%.
Gambar 12 Penuangan camouran stabilisasi tanah sekitar fondasi
pengukuran terhadap bangunan yang ada menggunakan teodolit Topcondt 10SF dan waterpas. Pada bangunan dengan stabilisasi kapurpasir, tidak ditemukan retak dinding, pengelombangan maupun retak swelling pada lantai, (gambar 14) sedikit retak rambut yang ada diduga akibat penyusutan yang berjalan cepat pada adukan semen (plesteran lantai), sedangkan pada bangunan dengan stabilisasi abu sekam-kapur tidak ada retak pada dinding, namun ada retak pelat lantai memanjang sejajar dinding dan sebagian lantai mengembang (gambar 15) . Pola kerusakan lantai dapat dili-hat pada skema berikut (gambar 16).
Pada saat penuangan, tidak diberikan air terlebih dulu pada tanah-abu sekamkapur, hal ini untuk menghin-dari terjadinya penggumpalan kapur tohor sebelum dituang ( gambar 12).
Gambar 14 Bangunan diatas stabilisasi kapur-pasir
Gambar 13 Sistem fondasi stabilisasi abu sekam Evaluasi hasil stabilisasi Kajian hasil penerapan di lapangan pada tanah ekspansif tidak dapat dilakukan lengkap sesaat setelah selesai konstruksi bangunan, kajian ini memerlukan waktu paling tidak setelah melewati penggantian dua musim: hujan dan kemarau. Kajian dilakukan pada tahun 2005-2006 dengan pengamatan visual dan
a
b Gambar 15 a. Keretakan lantai arah sejajar dinding b. Penggelembungan lantai Bangunan yang di stabilisasi dengan abu sekam
Gambar 16 Skema kerusakan lantai KT = kamar tidur ; RT = ruang tamu
Pengukuran teodolit menunjukkan su-dut pengukuran kemiringan bagian luar bangunan, skema pengukuran pada gambar 17 dan tabel 5.
Gambar 17 Skema arah sudut pengukuran dengan teodolit Tabel 5 Hasil pengukuran teodolit No. 1.
Posisi alat P1
2
P2
3
P3
4
P4
Target bidik Bawah Puncak Bawah Puncak Bawah Puncak Bawah puncak
tengah 1100 1100 0800 1000
Atas/ bawah 1129 / 1071 1160 / 1040 0829 / 0771 1052 / 0948
D
hor M
S
D
vertk M
S
Jarak (m)
Beda tinggi (m) 0169
261
37
00
91
40
5
5.80/5.80
261 255
16 35
15 40
83 91
40 22
50 50
12.0/11.99
0289
255 243
32 59
55 25
82 93
23 55
20 45
5.80/5.77
0396
-
-
-
91
04
55
10.40/10.40
0196
Ada kemiringan yang tampak pada kolom di dinding sebelah kiri bangunan yang di stabilisasi dengan abu sekam (titik P2) Analisa hasil evaluasi Penambahan kapur tohor CaO( quick lime) atau kapur padam (hydrated lime) Ca(OH)2 menunjukkan penga-ruh adanya kenaikan pada stabilisasi tanah ekspansif. Ketika tanah dicam-pur dengan tanah dan air ada dua reaksi yang terjadi, yakni : sesaat setelah pencampuran penurunan batas cair dan kemudian kenaikan batas plastis, dengan kata lain terjadi penurunan index plastisitas. Juga tam-pak batas susut bertambah. Artinya karakteristik swelling-susut sangat te-reduksi dengan penambahan kapur. Penambahan kuat geser dengan cepat sebagian disebabkan oleh terjadinya flokulasi dari tanah lempung, sebagian oleh karena reduksi kadar airnya. Kadar air tereduksi kira 15% ketika digunakan 10% kapur tohor . Kuat ge-ser tanah yang distabilisasi bertambah melalui proses reaksi puzolanik dimana kapur bereaksi dengan silikat dan aluminat yang dikandung oleh lempung Gel dari
calcium silikat atau aluminate hidrat yang mengikat partikel tanah, menunjukkan bahwa efeknya sama dengan hidrasi yang dilakukan oleh matrik beton, ini yang menyebabkan kuat geser tanah setelah stabilisasi meningkat seiring dengan waktu. Pengurangan potensi swelling hasil uji dilaboratorium tidak seluruhnya memberikan hasil yang sama pada penerapan di lapangan, tampak kere-takan yang signifikan pada lantai bangunan yang di stabilisasi dengan abu sekam Ada dua kemungkinan yang menyebabkan terjadinya retakan arah memanjang sejajar dengan dinding pada bangunan yang distabilisasi dengan abu sekam-kapur tersebut, yakni: swelling tanah tidak tampak efeknya pada bagian bawah dinding diakibatkan oleh beban dinding, atau fondasi tidak mengalami swelling karena tanah pada zona aktifnya diganti dengan tanah yang tidak berpotensi swelling. Penggelembungan ( bagian dari swelling) pada ruang-ruang kamar menunjukkan bahwa stabilisasi harus dilakukan setidaknya sampai keda-laman mendekati zona aktif swelling ( + 6 m ). Hasil pengukuran teodolit menun-jukkan adanya sedikit kemiringan kolom bagian depan bangunan dengan abu sekam, ada penurunan tanah disekitar kolom tersebut, kelihatannya faktor pengontrolan kelembaban tanah sangat diperlukan dalam pengendalian kembang susut tanah di Mrangen
Kesimpulan Sangat penting melakukan verifikasi uji di lapangan, karena perilaku tanah ekspansif sangat dipengaruhi oleh lingkungan , sehingga meskipun di laboratorium telah diperoleh hasil yang memadai dalam pengendalian potensi ekspansifnya, belum tentu diperoleh hasil yang sama pada penerapan di lapangan. Pendalaman lebih jauh akan karakter , sifat fisik dan kimia bahan stabilisasi tanah sangat diperlukan untuk memperoleh hasil stabilisasi yang optimal Beberapa teknik sederhana dapat dilakukan, seperti pemanfaatan ram kawat sebagai tulangan mikro pada pelat lantai bangunan yang ternyata cukup berperan dalam menahan susut plesteran semen dan swelling tanah. Studi, kajian dan penelitian lanjut tentang tanah ekspansif dan upaya pemecahan-nya harus dilakukan secara menerus mengingat tingginya harga lahan di Indonesia sehingga banyak daerah permukiman dan infrastrukturnya yang terpaksa dibangun di atas tanah potensi ekspansif. Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih pada pimpinan Pusat Litbang Per-mukiman yang telah memberi kesem-patan untuk melakukan kajian tentang tanah ekspansif ini, pada tahun 1995 dan 2004, juga pada penghuni kom-plek Loka Mranggen yang telah banyak membantu selama kami berada di lapangan, serta Prof. Suprapto dan ibu Rosda dalam rangka memelihara pe-nerbitan jurnal ini.
Referensi 1. Chen.F.H,” Foundation on Expansive Soils “, American Elsevier Science Publ, New York, 1988 2. GreenField D.J., ChenC.K,” Foundations in Problems Soils”, Prentice Hall, Inc,1992 3. Harrant,L,” Organic Fiber,” Prentice Hall, London, 1979 4. Handisyde C,” Buildings Materials”, 1980 5. Nelson,J.D, Miller.D.j,” Expansive Soils,” John Wiley & Sons,Inc,1992 Rahardjo,Paulus Pramono,”Rekayasa Pondasi “, Seminar Nasional Geoteknik Masalah Tanah Ekspansif dan Kaitannya dengan masalah Infrastruktur,KBK Geoteknik ITB, Jurusan Teknik Sipil Universitas Jayabaya,Lippo Cikarang, 1996. 6. Seed.H.B, Woodward.R.j,” Prediction of Swelling Potential of Compacted Clays „, Journal of Soil Mechanics and Foundation Divisions, ASCE, vol 88,1982.
Lampiran
Contoh keretakan bangunan yang umum terjadi di Mranggen.
KAJIAN BAHAN AKUSTIK DARI ASPEK RESIKO BAHAYA KEBAKARAN
ABSTRAK
Oleh :Angelita Aimee Suprapto dan Fx. Nugroho Soelami Teknik Fisika, Institut Teknologi Bandung Suprapto Pusat Litbang Permukiman
Penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa kebakaran yang terjadi pada bangunan yang menggunakan bahan insulasi termal lebih intens daripada yang tidak menggunakan bahan tersebut. Dengan adanya kesamaan antara bahan insulasi akustik dengan insulasi termal maka aspek keamanan terhadap kebakaran pada pemakaian bahan insulasi akustik merupakan pula suatu tuntutan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian dilakukan terhadap berbagai bahan penyerap suara yang dipakai pada ruang studio televisi seperti rockwool dan glasswool. Dilakukan pula pengujian terhadap bahan insulasi termal seperti kayu kamper dan multipleks sebagai pembanding. Percobaan meliputi uji daya hantar panas, uji kombustibilitas bahan, uji penyulutan nyala bahan dan uji perambatan api. Hasil pengujian konduktivitas bahan menunjukkan bahwa yang termasuk bahan insulasi adalah bahan dengan harga konduktivitas termal (k) < 0.07 W / mºC . Bahan tersebut adalah rockwool, glasswool, polyurethane, HPL, kaowool. Unsur inersia termal atau kρc mempengaruhi sifat bahan terhadap kebakaran. Bahan insulasi yang baik adalah bahan memiliki inersia termal rendah. Hasil penelitian menunjukkan pula urutan terbaik dari bahanbahan insulasi akustik dikaitkan dengan bahaya kebakaran tersebut yakni glasswool, polyurethane, kaowool, rockwool, kayu kamper dan multipleks. Kekurangan dari bahan HPL adalah mudah sekali terbakar dan menimbulkan nyala api. Untuk bahan alternatif dapat digunakan bahan polyurethane dan kaowool yang aman terhadap kebakaran. Berbagai pertimbangan dalam pemilihan bahan insulasi selain parameter keamanan terhadap kebakaran, juga menyangkut ketersediaan bahan, fungsi bangunan, jenis konstruksi, aspek arsitektural dan interior, serta aspek biaya. Kata kunci : rockwool, bahan insulasi akustik, inersia termal (kρc), kombustiblitas bahan.
ABSTRACT
Previous research revealed that fire was more intensively occurred in buildings with thermal insulating materials compared to buildings without any thermal insulations. Since the acoustical insulating materials and thermal insulating materials are identical, hence it is deemed necessary that the use of acoustical insulating materials shall not contribute to the intensity of fire. In refer to this, research has been undertaken to several acoustical materials commonly used in TV studios such as rockwool dan glasswool. Tests have also been done to thermal insulating materials e.g kamper wood and multiplex as comparison. The experiments comprised the thermal conductivity test, combustibility test, ignitability test and flame spread test. Test results showed that materials having thermal conductivity (k) value < 0.07 W/m°C are classified into insulating materials. These are rockwool, glasswool, polyurethane. HPL, kaowool. Further, thermal inertia or kρc influence fire properties of materials. Good thermal insulators (small values of k) will burn more easily that poor thermal insulators (large values of k). Results of the experiments also showed the best rating of acoustical insulating materials which refer to their fire properties as follows : glasswool, polyurethane, kaowool, rockwool, kamper wood and multipleks. The weakness of HPL is easily ignited and producing flame. Polyurethane and kaowool can be used as alternative materials with respect to fire. Finally, several considerations shall be made in selecting the acoustical insulating materials such as materials availability, building functions, type of construction used, architectural and interior design as well as cost beside those aforementioned data gained from the experiments. Keywords : rockwool, acoustical insulating materials, thermal inertia (kρc), materials combustibility.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
85
1. PENDAHULUAN Kebakaran merupakan kejadian yang tidak pernah dikehendaki oleh semua orang, karena mengakibatkan kerugian materi, kerusakan harta benda, lingkungan, korban jiwa ataupun luka. Kebakaran di industri bisa menimbulkan stagnasi usaha yang berdampak pada kerugian investasi, pemutusan hubungan kerja, dll. Kebakaran di permukiman bisa menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan psikologis yang luas. Oleh karena itu aspek keselamatan terhadap bahaya kebakaran (fire safety) perlu diperhatikan oleh semua pihak di semua sektor yang berkaitan dengan lingkungan binaan (built environment) termasuk bangunan, prasarana dan sarana tempat manusia beraktivitas, bekerja dan bermukim. Upaya yang perlu dilakukan meliputi upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang semua itu harus diperhitungkan dari sejak tahap awal perencanaan suatu bangunan. Upaya pencegahan kebakaran pada bangunan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kebakaran antara lain melalui perencanaan tata ruang dalam yang mendukung kondisi aman kebakaran, pemilihan bahan bangunan yang tidak mudah terbakar, penggunaan komponen struktur tahan api, serta perancangan jalan ke luar (means of escape). Sistem ini disebut sebagai sistem proteksi pasif (SPP).1 Sedangkan
penanggulangan kebakaran dimaksudkan sebagai upaya untuk mengendalikan dan memadamkam kebakaran yang terjadi dalam bangunan melalui peralatan proteksi yang tersedia seperti sistem alarm, sprinkler, hidran dan hose-reel. Sistem ini dikenal sebagai sistem proteksi aktif (SPA).2 Dibanding dengan SPA, sistem proteksi pasif (SPP) kurang dikenal dan diperhatikan, meskipun memiliki nilai strategis. Oleh karena itu penelitian dalam tesis ini lebih menyoroti terhadap sistem proteksi pasif ini terutama yang menyangkut pada pengaruh pemakaian bahan insulasi akustik, dalam hal ini adalah bahan penyerap suara, terhadap bahaya kebakaran. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa salah satu faktor penting dalam upaya pencegahan kebakaran adalah pemilihan bahan bangunan yang tepat dan aman. Sifat atau perilaku bahan bangunan terhadap api harus diketahui dan diperhitungkan agar pemakaian bahan-bahan yang mudah tersulut (easily ignitable), mudah terbakar (combustible materials) dan memiliki daya penjalaran yang tinggi dapat dikurangi, karena menimbulkan beban api yang tinggi. Dengan demikian maka intensitas kebakaran dalam
merupakan patokan keandalan bangunan terhadap faktor safety.
sebuah
2
1
Sistem Proteksi Pasif (SPP) adalah sistem proteksi pada bangunan yang perencanaannya dilakukan bersamaan dengan perencanaan pembangunan, artinya sistem ini sudah builtin dalam gambar kerja yang siap bangun. SPP
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
Sistem Proteksi Aktif (SPA) adalah sistem proteksi pada bangunan yang memerlukan energi untuk mengaktifkannya. Contohnya sistem sprinkler kebakaran, sistem alarm, sistem pengendalian asap, APAR, sarana tangga darurat, lift kebakaran, sistem pipa tegak, serta sumber air.
85
bangunan dapat diminimasi, sehingga kemungkinan terjadi flashover3 dapat dihindari. Bahan bangunan banyak dijumpai baik sebagai pembentuk komponen struktur bangunan (bahan dinding, kolom, balok, lantai dsb) maupun sebagai bahan pelapis dinding untuk keperluan dekorasi, estetika maupun untuk tujuan memperoleh kualitas bunyi dalam ruangan yang dikenal sebagai bahan insulasi akustik. Bahan insulasi akustik ini umum digunakan dalam bangunan / ruangan studio. Penggunaan bahan ini adalah sebagai bahan kedap suara, baik dari dalam maupun dari luar ruangan. Namun dikaitkan dengan bahaya kebakaran, maka menjadi pertanyaan sejauh mana keamanan bahan tersebut terhadap kemungkinan bahaya kebakaran. Dalam hal ini bagaimana karakteristik / sifat bahan tersebut terhadap api dan tingkat resikonya terhadap kebakaran. Bangunan studio yang kini berkembang sesuai dengan tuntutan perkembangan bisnis hiburan atau entertainment merupakan wahana untuk melakukan berbagai aktivitas seperti perekaman musik, penyiaran, teleconference, dan bentuk-bentuk telekomunikasi lainnya. Sedang aspek akustik memiliki jangkauan yang sangat luas, mencakup bidang kedokteran, psikologi, musik dan entertainment, komunikasi, ruang angkasa, industri 3
Flashover adalah suatu kondisi dimana semua benda yang ada dalam ruangan yang terbakar serentak tersulut pada titik nyalanya.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
penyiaran, rekaman, dll. Untuk memenuhi fungsi ini sebuah studio akustik perlu memiliki beberapa persyaratan, salah satunya menyangkut material penutup atau pelapis dinding dan sisi-sisi ruangan. Seiring dengan pertumbuhan teknologi, penemuan bahan-bahan sintetik yang dapat dipakai sebagai bahan akustik juga turut berkembang, sehingga memberikan beragam pilihan bagi perancang / arsitek. Arsitek tidak hanya merancang ruang sebagai wadah dan perlindungan bagi pemakainya terhadap kondisi termal, cuaca, bising, dll demi kenyamanan pemakai saja, namun juga memperhatikan aspek keamanan bangunan terhadap bahaya kebakaran. Fenomena saat ini adalah banyaknya bangunan yang mengalami perubahan fungsi. Misalkan bangunan dengan fungsi awal sebuah bengkel berubah menjadi studio latihan musik. Dengan demikian penampilan ruang tersebut akan berubah mengikuti fungsi yang baru. Umumnya pemakai akan melapisi permukaan ruangan dengan bahan lunak dan berpori. Seperti contohnya karpet, glasswool atau rockwool. Di lain sisi bahan-bahan ini merupakan bahan yang mudah terbakar, sehingga permasalahan yang timbul adalah bagaimana mengurangi resiko terjadinya atau mengurangi intensitas kebakaran sehubungan dengan penggunaan material akustik di dalam bangunan. Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dipelajari perilaku api pada bahan-bahan insulasi akustik. Masalah yang akan diteliti adalah bagaimana sifat bahan insulasi akustik
85
terhadap api dan sejauh mana sifat tersebut mempengaruhi tingkat keamanan terhadap kebakaran. Adapun sifat – sifat bahan yang akan diamati meliputi klasifikasi bahan, apakah bahan tersebut termasuk jenis yang mudah atau tidak mudah terbakar, bagaimana kenaikan temperatur pada bahan, bagaimana penjalaran apinya, dan bagaimana sifat permukaan bahan terhadap api. Dari sifat-sifat bakar tersebut kemudian dilihat bagaimana kaitan antara sifat termal bahan insulasi akustik dengan kemungkinan timbulnya kebakaran, peningkatan intensitas kebakaran, dan tingkat keparahan kebakaran yang terjadi. Bahwa benarkan harga konduktivitas panas bahan akan mempengaruhi sifat bahan tersebut terhadap api yang terjadi. Bahan akustik apa saja yang dapat dinilai aman, dan bahan pelindung apa saja yang dapat menjadi alternatif pendukung. Serta bagaimana karakteristik dari bahanbahan akustik terhadap bahaya kebakaran dan upaya meningkatkan keamanannya terhadap bahaya kebakaran. 2. TINJAUAN TEORITIS Besaran yang paling penting dari bahan insulasi termal adalah hambatan panas dari bahan tersebut. Suatu bahan dapat di-klasifikasikan sebagai bahan insulasi termal atau bukan, dapat diketahui dengan melihat harga hambatan panasnya. Sifat hambatan panas suatu bahan dinyatakan dalam ukuran konduktivitas panas yang dapat didefinisikan sebagai jumlah panas yang lewat pada satuan luas bahan dalam satuan waktu karena perbedaan temperatur permukaan bahan. Suatu bahan didefinisikan sebagai bahan
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
insulasi termal jika memiliki harga konduktivitas panas (k) tidak lebih dari 0,07 W/m.°C. Harga konduktivitas panas suatu bahan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : a) Densitas bahan (kerapatan kg/m3) Makin tinggi densitas bahan maka makin tinggi pula konduktivitasnya (konduktor yang baik). Bahan dengan densitas yang rendah merupakan insulasi yang baik. Densitas bahan berhubungan langsung dengan porositas bahan. Makin rendah densitas bahan maka perbandingan ruang kosong pada bahan tersebut makin besar, dengan kata lain porositasnya makin tinggi, sehingga bahan dengan porositas tinggi mempunyai harga k yang rendah. b) Kandungan uap air Air merupakan penghantar panas yang baik, sehingga kelembaban bahan akan menaikkan konduktivitas. Semakin besar kandungan uap air maka semakin tinggi harga konduktivitas panas-nya. c) Temperatur Besar konduktivitas bahan merupakan fungsi dari temperatur. Kenaikan temperatur akan menaikkan konduktivitas bahan. d) Inersia termal Inersia termal bahan bangunan dinyatakan dalam kρc. Jika nilai kρc-nya rendah, maka bahan tersebut cepat me-respon terhadap sumber panas, sehingga mudah menyala.
85
Sebaliknya jika nilai kρc tinggi, respon terhadap sumber panas lambat, sehingga lambat menyala. Sifat bahan insulasi yang perlu diperhatikan adalah harga konduktivitas panas nya. Makin kecil harga konduktivitas panas (k) dari suatu bahan maka makin baik bahan tersebut sebagai bahan insulasi terhadap panas / api. Yang dimaksud perilaku api pada bahan adalah temperatur kritis bahan, waktu penyulutan bahan, penjalaran nyala api dan kenaikan temperatur pada permukaan bahan. Konduktivitas panas (k) akan mempengaruhi harga temperatur kritis bahan, serta merupakan batas terjadinya penyulutan spontan dari bahan. Selanjutnya terhadap penjalaran api pada bahan, harga konduktivitas panas dapat berpengaruh langsung. Kecepatan penjalaran berbanding terbalik dengan harga konduktivitas panas bahan, sehingga bahan insulasi termal cenderung mempunyai kecepatan penjalaran yang lebih besar, karena harga densitas bahan dan kapasitas panas juga berpengaruh. Maka pada penelitian ini dipilih bahan yang memiliki harga kapasitas panas (c) dan densitas (ρ) yang sama besar, agar pengaruh harga (k) dapat dilihat. Laju penjalaran api dilihat dengan mengetahui berapa besar laju kenaikan temperatur di permukaan bahan pada bidang yang terkena api. Kenaikan temperatur pada permukaan bahan juga dipengaruhi oleh harga konduktivitas panas dari bahan yang besangkutan. Makin baik bahan insulasi terhadap api maka harga k kecil,
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
temperatur permukaan bahan akan makin besar, karena makin baik sifat insulasinya sehingga panas makin sukar untuk mengalir dari satu permukaan ke permukaan lain dan akibatnya temperatur permukaan akan mengalami kenaikan yang besar. Dari uraian di atas terlihat bahwa beberapa sifat bakar pada suatu bahan akan dipengaruhi oleh harga konduktivitas panas dari bahan tersebut. Selain sifat termal dari bahan (konduktivitas panas), sifat bahan dasar yang digunakan pada bangunan maupun sebagai insulasi akustik juga akan berpengaruh terhadap perilaku api. Sumber utama bahan dasar dari bahan insulasi akustik dapat berasal dari bahan mineral, bahan dari tanaman, binatang, dan dari bahan kimia. Bahan yang berasal dari mineral antara lain rockwool dan glasswool. Sedangkan yang berasal dari bahan kimia antara lain polyurethane. Berdasarkan jenis strukturnya, bahan insulasi dibedakan atas jenis serat (fiber), butiran (granular), papan masif, busa (foam), dan cairan. Jenis bahan dasar dan struktur bahan sangat berpengaruh terhadap sifat bahan tersebut. Dengan demikian bahan insulasi yang berasal dari bahan tanaman / kayu-kayuan (bahan organik) akan lebih mudah terbakar dibandingkan dengan bahan yang berasal dari serat gelas dan dari bahan sintetis. Demikian pula bahan insulasi yang berpori atau terdiri dari butiran halus akan berbeda sifat bakarnya dibandingkan dengan bahan yang masif atau bahan yang berbentuk butiran. Bahan dasar terutama
85
berpengaruh secara kimiawi, sedangkan struktur bahan mempengaruhi sifat bakar secara fisika. 3. BAHAN & METODA Pada penelitian ini, pengujian hanya dilakukan pada beberapa jenis bahan atau material secara individu. Bahan yang diuji pun dipilih yakni bahanbahan umum yang berperan penting sebagai bahan lapis akustik ruang, disamping juga memiliki sifat sebagai insulasi termal. Bahan insulasi akustik (yang juga memiliki sifat sebagai bahan insulasi termal) yang diambil sebagai sampel ada sebanyak 7 macam, yaitu Rockwool, Glasswool, HPL, Kaowool 100 , Polyurethane, Multipleks dan Kayu kamper Pada dasarnya pengujian dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik atau sifat bahan, dalam hal ini bahan insulasi akustik. Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini meliputi :
a. Uji konduktivitas bahan
Uji ini digunakan untuk mengetahui harga k dari bahan tersebut. Dari hasil pengujian ini dapat diketahui seberapa besar nilai k dari bahan tersebut yang nantinya dapat dibandingkan dengan bahan sejenis lainnya.
b. Uji kombustibilitas bahan
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah bahan yang diuji termasuk dalam klasifikasi bahan yang mudah terbakar (combustible) atau bukan. Semakin banyak bahan mudah terbakar ini dalam ruangan, semakin tinggi beban api dalam ruangan tersebut.
c. Uji ignitabilitas bahan
Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat mudah atau sukarnya suatu bahan tersulut lewat sumber api kecil (pilot
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
flame). Semakin mudah tersulut maka
bahan tersebut semakin tinggi resiko terbakarnya bahan tersebut.
d. Uji rambat nyala permukaan bahan
pada
Jenis uji ini digunakan untuk mengetahui seberapa cepat rambatan nyala api yang terjadi pada bahan tersebut. Hasil uji ini dapat digunakan untuk memilih jenis bahan yang lebih baik dikaitkan dengan rambatan nyala-nya. Pengujian dilakukan dengan menggunakan peralatan yang pelaksanaannya mengacu kepada Standar Industri Jepang (JIS), Standar Inggris (BS), dan Standar ASTM 4. HASIL & PEMBAHASAN 4.1 Uji Daya Hantar Panas (Thermal Conductivity Test) Telah disebutkan sebelumnya bahwa besaran yang paling penting dari bahan insulasi termal adalah hambatan panas (kebalikan dari konduktivitas panas = absorbsivitas panas) dari bahan tersebut. Suatu bahan dinyatakan bahan insulasi atau bukan dapat diketahui dari nilai rambatan panasnya, sedangkan sifat rambatan panas suatu bahan dinyatakan dalam ukuran konduktivitas panas (k) dari bahan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu bahan insulator yang baik adalah konduktor yang buruk. Sebaliknya isulator yang buruk adalah konduktor yang baik. Dikaitkan dengan harga konduktivitas bahan, maka bahan insulator yang baik memiliki nilai k yang kecil. Dari Tabel 1 berikut diperlihatkan bahwa untuk bahan dengan harga k yang kecil (< 0.07 W / mºC) merupakan bahan insulator yang baik. Terlihat pula bahwa harga
85
konduktivitas bahan dipengaruhi oleh harga densitasnya.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Bahan Rockwool Glasswool HPL4 Kaowool 100 Polyurethane Multipleks Kayu kamper
Tabel 1. Hasil uji konduktivitas panas (k) Densitas Konduktivitas (k) (kg / m3) (W / mºC) 40 0,032 20 0,024 10 0,040 100 0,047 20 0,034 500 0,157 300 0,161
Keterangan : Multipleks dan kayu kamper bukan termasuk bahan insulasi.
4
Bahan penyerap suara, berupa busa berwarna putih, dengan ketebalan 4 cm. Biasa digunakan sebagai bahan insulasi pada studio-studio musik.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
85
Dari hasil pengujian diperoleh hasil bahwa yang termasuk ke dalam bahan insulasi termal atau bahan yang memiliki harga konduktivitas panas (k) tidak lebih dari 0,07 W/m.°C adalah Rockwool, Glasswool, Polyurethane, dan Kaowool 100. Diakui penelitian ini belum menguji seluruh jenis bahan yang ada karena keterbatasan waktu dan ketersediaan bahan-bahan tersebut di pasaran. 4.2 Uji Kombustibilitas Bahan (Non Combustibility Test) Pengujian sifat bakar / uji kombustibilitas bahan bertujuan untuk mengetahui klasifikasi bahan yang diuji apakah masuk kategori mudah terbakar atau tidak terbakar dengan melihat kenaikan temperatur yang terjadi pada permukaan benda uji yang dimasukkan ke dalam tungku. Kenaikan temperatur yang terjadi menunjukkan besarnya kontribusi benda yang diuji terhadap temperatur udara di sekitar benda yang terbakar. Menurut ketentuan JIS A 1321 tahun 1975, pada pengujian ini suatu bahan dinyatakan mudah terbakar (combustible) jika selama pengujian (20 – 30 menit) terdapat kenaikan temperatur tungku melebihi 50°C atau terjadi nyala api selama lebih dari 10 detik. Di luar ketentuan ini maka bahan tersebut dinyatakan tidak mudah terbakar (non combustible). Sifat kombustibilitas bahan menunjukkan berapa besar kontribusi panas yang diberikan oleh bahan tersebut terhadap
kenaikan temperatur dalam ruangan. Benda yang bersifat combustible akan memiliki peran yang lebih besar dibanding dengan yang non combustible pada kenaikan temperatur udara ruangan. Kenaikan temperatur yang terjadi bukan karena adanya aliran panas dari tungku, melainkan akibat dari sifat bahannya sendiri jika diletakkan pada temperatur tinggi, karena pada pengujian ini benda ditempatkan pada tungku yang telah dipanasi pada temperatur konstan 750°C. Setiap benda uji yang dimasukkan kedalam tungku tsb maka temperatur akan bertambah naik dari temperatur awal tersebut. Angka kenaikan inilah yang menentukan kombustibiltas suatu bahan. Hasil pengujian ini dimaksudkan untuk membedakan kelas bahan yang diuji berdasarkan JIS A 1321 tahun 1975, yaitu combustible atau non-combustible. Data hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 2, sedangkan Tabel 3 adalah penggolongan kelas / mutu bahan berdasarkan pengujian. Dari tabel 2 terlihat kenaikan temperatur (ΔT) yang terekam bahwa 4 dari 6 bahan yang diuji mengalami kenaikan temperatur lebih besar dari 50°C, ini berarti sebagian besar bahan yang diuji memberikan sumbangan kenaikan temperatur udara yang cukup besar sehingga bahan tersebut potensial untuk memperparah kondisi termal ruangan jika terjadi kebakaran di tempat bahan tersebut terpasang.
Tabel 2. Hasil Uji Kombustibilitas. ΔT = Kenaikan temperatur (°C) Jenis Bahan Konduktivitas (W/m.°C) ΔT(°C) 1. Rockwool 0,032 59,50 2. Glasswool 0,024 31,67 3. HPL 0,015 59,50
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
85
4. 5. 6. 7. 8.
Kaowool 100 Polyurethane Papan gypsum akustik Multipleks Kayu kamper Tabel 3. Penggolongan Kelas
Jenis Bahan Bahan Insulasi 1. Rockwool (akustik – termal) 2. Glasswool 3. HPL 4. Kaowool 100 5. Polyurethane
0,047 0,034 0,047 0,157 0,161 / Mutu Bahan
Nyala Api Tidak nyala 0 – 40 detik. 30 detik Tidak nyala. 25 detik.
46,67 94,00 71,50 116,00 103,00
JIS A 1321-1975
Combustible Non-combustible Combustible Non-combustible Combustible
6. Multipleks 4 menit, 30 detik Combustible 7. Kayu kamper 3 menit, 55 detik Combustible Combustible → ΔT > 50°C ; Non-Combustible → ΔT ≤ 50°C
Bahan Non-Insulasi Keterangan :
Gambar 1. Grafik pertumbuhan panas pada material. Pengambilan sampel dilakukan per 15 detik (1)
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
85
Gambar 1 menggambarkan pertumbuhan panas yang terjadi setelah bahan yang diuji dimasukkan ke dalam tungku pembakaran, dengan temperatur 750°C. Dari ke-empat bahan yang diuji (rockwool, glasswool, HPL, kaowool), rockwool menunjukkan kenaikan temperatur tertinggi. Sedangkan glasswool adalah yang terendah. Gambar 2 merupakan hasil pengujian dari bahan polyurethane, multipleks, dan kayu kamper. Dari ke-tiga bahan yang diuji tersebut, polyurethane memiliki kenaikan temperatur tertinggi pada saat awal
benda dimasukkan ke dalam tungku, kemudian menurun dan cenderung stabil. Temperatur akhir dari polyurethane lebih rendah dibandingkan ke-dua bahan lainnya. Multipleks, dan kayu kamper menunjukkan kenaikan temperatur secara kontinu. Bahan – bahan organik memiliki pertumbuhan panas yang lambat namun cenderung meningkat secara kontinu. Hal ini terlihat pada pertumbuhan panas multipleks dan kayu kamper.
Gambar 2. Grafik pertumbuhan panas pada material. Pengambilan sampel dilakukan per 15 detik (2)
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
85
4.3 Uji Penyulutan Bahan (Ignitability Test) Uji penyulutan atau penyalaan bahan ini bertujuan untuk menentukan sukar atau mudahnya suatu bahan tersulut untuk kemudian timbul penyalaan (ignited). Sama halnya dengan pengujian sebelumnya, pengujian penyulutan bahan ini mengacu kepada sifat bahan dasar, dimana bahan dasar yang berasal dari serat-serat tumbuhan (bahan organik) akan lebih mudah tersulut dibandingkan dengan yang berbahan dasar serat asbes, dan bahan baku logam.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Perbedaan pengujian penyulutan / penyalaan bahan ini dengan pengujian sebelumnya (uji kombustibilitas bahan) adalah jumlah massa bahan yang hilang / terbakar dalam rentang waktu uji yang sama, yaitu per 15 detik. Dari hasil pengujian, bahan HPL adalah bahan yang paling mudah menyala dan cepat habis terbakar. Hal ini juga disebabkan karena tekstur bahan HPL yang tidak padat, seperti busa yang memiliki banyak ruang kosong. Sedangkan bahan lainnya memiliki kerapatan tekstur yang lebih padat., sehingga api lebih mudah menjalar pada bahan HPL tersebut.
Tabel 4. Klasifikasi Bahan dan Bahan Dasarnya. Jenis Bahan Mudah Tersulut Nama Bahan Dasar Rockwool Serat asbes. ● Glasswool Kaca. HPL ● Kaowool 100 Serat asbes. Polyurethane Isocyanate, Polyol. ● Multipleks Serat tumbuhan. ● Kayu kamper Serat tumbuhan. ●
Rockwool,
glasswool, dan kaowool merupakan bahan insulasi termal yang baik. Pada pengujian ignitabilitas, api tidak mudah tersulut dan pada saat api ditiadakan, bahan tersebut kembali pada kondisi tidak terbakar. Dengan demikian kontribusi bahan tersebut terhadap potensi kebakaran dapat dikatakan cukup rendah. Kayu yang terpapar api akan mengalami dehidrasi, diikuti dengan proses terbakar dan atau hangus manjadi
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
Tidak Mudah Tersulut ● ●
arang. Kayu yang hangus biasanya memiliki beberapa lapisan atau zona. Rata-rata peng-hangusan adalah 0,025 atau 1/40 in/min, namun bervariasi tergantung pada jenis, kerapatan, dan kandungan air dari kayu tersebut. Umumnya kayu tipis akan kehilangan kekuatan struktural-nya jika terpapar api. Kayu yang agak tebal akan bertahan lebih lama namun umumnya mengalami kerusakan sambungan struktural.
85
Kayu tidak dapat dibuat „fire proofed‟ atau „non combustible‟. Namun kayu dapat diberi perlakuan (treatment) untuk mengurangi daya terbakarnya, dengan berbagai cara perlakuan pada permukaan kayu dan pemberian ketahanan dengan garam mineral. Cara yang paling efektif adalah dengan proses penekanan, sebab proses ini akan mengurangi efisiensi penyebaran api, pelepasan kalor, dan penimbulan asap saat kayu tersebut terbakar. Berbagai material yang digunakan dalam bangunan beraneka ragam, dengan kombinasi bahan dasar yang luas. Namun saat kebakaran terjadi material-material tersebut bisa menimbulkan asap dan api. Apabila sebuah ruangan secara akustik dan termal sudah memenuhi syarat, maka hal pokok berikutnya adalah mengenai faktor keselamatan (safety). Dari faktor safety inilah segala pertimbangan menyangkut proteksi kebakaran harus diupayakan agar bencana ini dapat di-minimasi, kerugian dapat ditekan se-rendah mungkin, dan tentunya jiwa penghuni terselamatkan. 4.4 Uji Perambatan Api (Spread Of Flame Test) Pada peristiwa kebakaran dalam ruang tertutup, semua bahan dalam ruangan tersebut terkena paparan panas. Kemampuan bahan untuk mengatasi paparan panas ini bervariasi, tergantung pada sifat bahan dasar dan perletakkan bahan tersebut dari sumber panas yang selanjutnya turut memberikan kontribusi terhadap intensitas kebakaran yang terjadi. Unsur penting lain yang mempengaruhi perilaku bahan terhadap panas adalah Inersia termal / kρc
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
(satuan W2 s/m4.°C2). Dengan k = konduktivitas termal bahan, merupakan ukuran kemampuan bahan untuk mentransfer panas (satuan W/m.°C). ρ = kerapatan bahan (satuan kg/m3), sedangkan c = kapasitas panas spesifik pada tekanan konstan (satuan J/kg.°C). Inersia termal rendah berarti bahan tersebut cepat merespon terhadap paparan sumber panas dan cepat tersulut (ignited). Inersia termal tinggi berarti bahan tersebut lambat merespon sehingga tidak cepat tersulut. Terdapat hal yang spesifik : insulator termal yang baik, atau nilai k kecil, akan terbakar lebih mudah daripada insulator termal yang buruk, atau harga k besar. Sebab pada insulator termal yang baik (konduktor yang buruk), atau nilai k kecil, maka bahan tersebut tidak mudah men-transfer panas yang terpapar padanya. Jika pemanasan berlangsung dengan cepat, bahan tersebut terpapar nyala api, dan nilai kapasitas panas per satuan volume (Cp x ρ) dianggap kecil (ρ / densitas bahan-bahan insulasi umumnya ringan / kecil), maka bahan akan lebih mudah menyerap panas sehingga temperatur bahan tersebut cepat meningkat. Jadi, apabila perkalian k x ρ x Cp suatu bahan adalah kecil, maka akan terjadi pembakaran cepat (rapid combustion). Hal yang sama terjadi pula pada sifat perambatan nyala (flame spread). Bahan dengan inersia termal (k x ρ x Cp) rendah akan merambatkan nyala lebih cepat dibandingkan dengan bahan yang memiliki termal inersia tinggi. Uji perambatan api dilakukan tidak secara langsung dengan mengukur besar kenaikan temperatur permukaan
85
bahan secara kontinu. Pengujian dilakukan dengan menggunakan “Flame Tunnel” dan “Thermo-koppel”. Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh hasil bahwa bahan yang menimbulkan nyala api (harga k kecil), memiliki pertambahan / kenaikan temperatur setiap saat pada jarak yang makin jauh dari sumber api (burner) lebih cepat dibanding dengan bahan yang tidak menimbulkan nyala api (harga k besar). Grafik pada Gambar 3 berikut menggambarkan hasil pengujian pada Rockwool, Glasswool, HPL, dan Kaowool 100. Dari keempat material tersebut, Kaowool 100 memiliki harga konduktivitas (k) yang terbesar, sedangkan Glasswool memiliki harga konduktivitas (k) terkecil (lihat Tabel 1). Kenaikan temperatur pada Glasswool (harga k kecil) lebih cepat dibandingkan dengan ketiga material lainnya yang memiliki harga k lebih besar. Bahan HPL
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
paling mudah terbakar dan habis, sehingga pertumbuhan temperaturnya relatif tetap. Sedangkan ketiga material lainnya tidak terbakar habis, sehingga saat pemanasan berlangsung, temperatur terus meningkat walaupun pada detik-detik terakhir pertumbuhannya relatif tetap. Dari ke-empat bahan tersebut, glasswool menunjukkan kenaikan temperatur tertinggi, sedangkan HPL diikuti dengan kaowool menunjukkan kenaikan temperatur yang rendah. Dikaitkan dengan tingkat keamanan terhadap bahaya kebakaran maka urutan bahan-bahan insulasi tersebut dari yang terbaik adalah HPL, kaowool, rockwool dan glass-wool. Bahan HPL banyak digunakan pada bangunan studio pribadi, sedang bahan kaowool umum digunakan pada konstruksi tungku uji api (fire test furnace) seperti di fasilitas uji tungku Cileunyi.
85
Gambar 3. Grafik kenaikan temperatur dalam uji perambatan api, hasil pengukuran diambil per 5 detik. (1) Untuk bahan insulasi jika dibandingkan dengan bahan bangunan biasa (non-insulasi), seperti multipleks, kayu kamper, dll, terlihat adanya perbedaan yang memperlihatkan laju kenaikan temperatur. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 4. Bahan insulasi memiliki laju kenaikan temperatur lebih besar dibandingkan dengan bahan biasa, sebab nilai inersia termal-nya rendah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Berkaitan dengan hal tersebut, penyebaran nyala api akan lebih cepat pada bahan-bahan dengan inersia termal yang rendah. Contoh : busa Polyurethane memiliki inersia termal 950 W2.s/m4.°C2, sedangkan multipleks memiliki inersia termal 16000 W2.s/m4.°C2, maka Polyurethane akan relatif lebih mudah
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
menyala dan terbakar dengan sangat cepat dibandingkan dengan multipleks yang perlu waktu lebih lama untuk terbakar. Bahan insulasi memiliki inersia termal yang rendah dibandingkan dengan bahan non-insulasi, misalnya bata 1.700.000 W2.s/m4.°C2 dan beton 2.900.000 W2.s/m4.°C2. Gambar 4 menggambarkan hasil pengujian pada busa Polyurethane, multipleks, dan kayu kamper. Polyurethane termasuk bahan insulasi sedangkan kayu kamper dan mulitipleks bukan. Hasil pengujian menujukkan bahwa polyurethane mengalami kenaikan temperatur cepat pada detik-detik awal namun kembali menurun. Sedangkan pada multipleks dan kayu kamper,
85
temperatur naik perlahan secara kontinu dan tidak menujukkan penurunan sama
sekali.
Gambar 4. Grafik kenaikan temperatur dalam uji perambatan api, hasil pengukuran diambil per 5 detik. (2) Dari ke-empat bahan tersebut, multipleks dan kayu kamper menunjukkan kenaikan temperatur tertinggi, sedangkan polyurethane menujukkan kenaikan temperatur terendah. Dikaitkan dengan tingkat keamanan terhadap bahaya kebakaran maka urutan bahan-bahan insulasi tersebut dari yang terbaik adalah polyurethane, multipleks dan terakhir kayu kamper. Oleh karena itu bahan polyurethane banyak digunakan sebagai bahan insulasi pada bangunan. Sebagai contoh di Swiss bahan polyurethane digunakan sebagai bahan alternatif untuk
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
komponen dinding bangunan rumah sederhana. Dari ke-lima bahan insulasi yang diuji maka apabila dikaitkan dengan tingkat keamanan terhadap bahaya kebakaran maka urutan keseluruhan bahan-bahan insulasi yang diuji tersebut dari yang terbaik adalah polyurethane, HPL, kaowool, rockwool, dan terakhir adalah glasswool. Pengujian perambatan nyala api ini dilakukan pula dengan membandingkan harga densitas bahan (ρ), dimana pengaruh perbedaan harga konduktivitas dapat terlihat. Dari hasil pengujian perambatan dapat diketahui bahwa kecepatan perambatan nyala api
85
dipengaruhi oleh harga konduktivitas. Kecepatan perambatan bahan insulasi akan lebih besar pada bahan dengan harga (k) yang rendah dibanding dengan bahan yang memiliki harga k yang besar atau disebut sebagai bahan konduktor. 4.5 Evaluasi hasil-hasil uji
Apabila hasil-hasil pengujian tersebut dikumpulkan dan dicoba diurutkan dari yang terbaik sesuai dengan kriteria masing-masing hasil uji sesuai dengan tingkat keamanan-nya terhadap bahaya kebakaran, maka diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 5 : Kompilasi hasil uji bahan dikaitkan dengan keamanan terhadap kebakaran
Dari hasil sebagaimana tercantum pada Tabel 5 yang nampak bervariasi, maka pemilihan bahan insulasi yang digunakan perlu memperhatikan disamping hasil-hasil tersebut di atas juga hal-hal spesifik menyangkut jenis konstruksi bangunan, aspek arsitektonis dan interior, fungsi bangunan dan ketersediaan bahan tersebut di pasaran (dalam negeri) selain juga faktor biaya. 5. KESIMPULAN & SARAN 5.1 KESIMPULAN 1. Dari hasil pengujian diperoleh hasil bahwa yang termasuk ke dalam bahan insulasi termal atau bahan yang memiliki harga konduktivitas panas (k) tidak lebih dari 0,07 W/m.°C adalah
Rockwool,
Glasswool,
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
Polyurethane, Kaowool 100, Kaowool 64, dan Polystyrene.
Bahan multipleks dan kayu kamper bukan termasuk kategori bahan insulasi akustik. 2. Dari hasil uji kombustibilitas bahan, polyurethane, rockwool, multipleks, dan kayu kamper termasuk bahan combustible, sedangkan glasswool dan kaowool termasuk bahan non-
combustible.
3. Meskipun termasuk ke dalam bahan yang combustible, hasil pengujian menunjukkan bahwa tidak terjadi nyala api pada bahan rockwool. 4. Dari hasil penyalaan bahan (Ignitability Test), maka bahan rockwool, HPL, polyurethane, multipleks, dan kayu kamper
85
termasuk ke dalam kategori mudah tersulut, sedangkan bahan glasswool, dan kaowool 100 tidak mudah / sukar tersulut. 5. Hasil uji perambatan api menunjukkan bahwa dari kelima bahan insulasi yang diuji dengan memperhatikan kenaikan termperatur dari masing-masing bahan maka maka urutan bahanbahan insulasi tersebut dari yang terbaik adalah polyurethane, HPL, kaowool, rockwool, dan terakhir adalah glasswool. 6. Pemilihan bahan insulasi yang digunakan perlu memperhatikan disamping hasil-hasil tersebut di atas juga hal-hal spesifik menyangkut jenis konstruksi bangunan, aspek arsitektur dan interior, fungsi bangunan dan ketersediaan bahan tersebut di pasaran selain juga faktor biaya. 7. Dibandingkan dengan bahan insulasi lainnya, bahan glasswool menunjukkan perilaku yang konsisten dikaitkan dengan keamanan-nya terhadap bahaya kebakaran.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
5.2 SARAN 1. Dengan memperhatikan (lewat survey) bahwa penggunaan bahan lapis akustik umumnya dipasang secara bersusun dengan dinding (assembly), perlu dilakukan pengujian secara assembly untuk memperoleh data dan informasi lebih riil. 2. Dengan mengingat bahwa sebagian bahan-bahan insulasi akustik bersifat combustible, maka perlu dilakukan pengujian lebih lanjut mengenai cara perlakuan terhadap bahan-bahan tersebut, antara lain dengan penggunaan bahan penghambat api (fire retardant materials). 3. Penggunaan bahan insulasi akustik yang baik dalam assembly, dengan mengingat bahwa bahan insulasi tersebut memiliki thermal inertia rendah. yang berarti memiliki respons yang tinggi terhadap panas, maka bahan atau elemen konstruksi pembentuk assembly tersebut harus tahan api seperti dinding tembok, baja atau komposit agar secara keseluruhan relatif aman terhadap bahaya kebakaran.
85
DAFTAR PUSTAKA 1. Efendi, A. Hidayat dan Suprapto (1996),”Intensitas Kebakaran pada Bangunan dengan Dinding Berinsulasi,” Jurnal Penelitian Permukiman vol XII, no 11 – 12, November – Desember, 1996. 2. Wisnu Wijaya (1984),”Penelitian Sifat Bakar Bahan Bangunan Berdasarkan Uji Kombustibilitas dan Uji Sifat Bakar Permukaan,” Tugas Akhir Jurusan Teknik Fisika, ITB. 3. Suprapto dan Achmad H. Efendi (1991),”Evaluasi Tingkat Keandalan Bahan Penghambat Api pada Bahan Bangunan,” Jurnal Penelitian Permukiman, vol XI, no 7 – 8, Juli – Agustus, 1994. 4. Teknik Fisika ITB (2006),”Kuliah TF – 7125, Sistem Proteksi dan Pengendalian Kebakaran,”. 5. Suprapto (2005),”Pengembangan Sistem Proteksi Kebakaran Berbasis Iptek,” Fire News – Indonesia, edisi I, MP2KI, CFPA – I. 6. Drysdale, D (1985),”An Introduction to Fire Dynamics,” John Wiley & Sons, pp 334 – 339. 7. Suprapto (2004),”Pengaruh Lokasi Sumber Api dan Sifat Termal Dinding Ruang Terhadap Terjadinya Flashover dengan Kajian Model Simulasi dan Percobaan Terskala,” Disertasi Program Doktor, Teknik Fisika, ITB, hal 63 – 71. 8. Buchanan, AH (1994),”Fire Engineering Design Guide,” Centre for Advanced
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
9.
10.
11. 12.
13.
Engineering, University of Canterbury, NZ, pp 23 – 31. Suprapto (2006),”Sistem Proteksi Pasif Kaitannya dengan Aspek Keselamatan Jiwa,” Seminar Masalah Keandalan Gedung terhadap Kebakaran, MP2KI, Jakarta, 16 Januari 2006. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (PU),”KepMeneg PU no 10 / KPTS / 2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan,” Bab IV, hal 67, 108, 2000. Egan, MD (1987),”Concept in Building Fire Safety,” John Wiley & Sons, Chapter I & IV. Patterson, James (1993),”Simplified Design for Building Fire Safety,” John Wiley & Sons, Inc, pp 21 – 23. Leslie L Doelle (1993),” Akustik Lingkungan,” Penerbit Erlangga, hal 33- 51 dan hal 131.
85
KAJIAN KINERJA ALAT PEMADAM API RINGAN UNTUK BANGUNAN GEDUNG DITINJAU DARI ASPEK PEMADAMAN API Oleh : Achmad Hidajat Effendi Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman
Abstrak Alat pemadam api merupakan salah satu kelengkapan peralatan proteksi kebakaran, namun sebagian orang meragukan keandalan kinerjanya terutama alat pemadam api ringan yang telah terpasang pada bangunan, apakah mampu berfungsi memadamkan kebakaran bila suatu saat diperlukan. Bertitik tolak dari asumsi tersebut, maka dilakukan penelitian dengan maksud untuk mengetahui kinerja alat pemadam api ringan terhadap kemampuan memadamkan api melalui tes rating dengan jenis kebakaran kelas A dan B, sedangkan tujuannya untuk memperoleh data unjuk kerja dari alat pemadam api ringan tersebut, sehingga diharapkan dapat berfungsi memadamkan kebakaran, bila pada suatu saat diperlukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini, adalah eksperimental laboratorium dan observasi lapangan, bahan pemadam yang digunakan adalah serbuk kimia kering (AB) dan serbuk kimia kering serbaguna (ABC). Pengolahan data hasil penelitian dilakukan dengan analisis kwantitatif, yaitu dengan cara analisis rata-rata hitung. Sedangkan hasil penelitian membuktikan, bahwa alat pemadam api ringan yang telah terpasang pada bangunan masih mampu dan efektif memadamkan kebakaran melalui tes rating. Kata Kunci : kinerja, keandalan, alat pemadam api ringan, tes rating.
Abstract Portable fire extinguisher (APAR) is one of the equipment for fire protection. However, some people are still not sure of its performance reliability, particularly those that are installed in a building, whether they are able to extinguish the fire, once they are needed. To answer this hesitation, a research was done with the purpose to know the effective performance of APAR in extinguishing fire especially fire of class A and B through fire rating test. The objective of the research is to obtain fire performance data of APAR so that it can be expected to extinguish fire anytime it is required. Methods used were laboratory experiment and field observation. Extinguishing agents used was dry chemical powder (AB) and multipurpose dry chemical powder (ABC). Analysis used in this research was quantitatively analysis through mean average value calculation. Through fire rating test, it was indicated that the APARs installed in the building were still able and effective in extinguishing fire. Keywords : performance, reliability, portable fire extinguisher, fire rating test.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
87
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
88
PENDAHULUAN Latar Belakang
Aman kebakaran adalah kondisi yang didambakan oleh semua orang termasuk para pemilik maupun para penghuni bangunan, namun demikian masih banyak pihak yang masih merasa enggan untuk melakukan upaya agar kondisi aman terhadap bahaya kebakaran dapat tercipta. Banyak faktor yang menjadi kendala, mulai dari tingkat kesadaran dan kepeduliaan, hingga masalah keterbatasan anggaran atau efisiensi biaya. Padahal, bila kebakaran terjadi api tidak kenal kompromi, dan penghematan biaya yang dilakukan menjadi sia-sia. Sejalan dengan perubahan dan perkembangan Pemerintahan dewasa ini, dapat diprediksi bahwa pembangunan bangunan gedung dan perumahan di Kota maupun Kabupaten akan semakin bertambah, baik bangunan perkantoran, perhotelan, bangunan umum, bangunan pusat perbelanjaan dan sebagainya. Peningkatan pembangunan perumahan dewasa ini berkembang pesat, sejalan dengan pertambahan penduduk mengakibatkan tingkat hunian yang tinggi, sehingga terjadi pembangunan perumahan padat huni terutama di kotakota besar. Konsekwensi dari pesatnya pembangunan bangunan gedung, akan menimbulkan berbagai dampak, diantaranya kerawanan terhadap bahaya kebakaran. Prediksi tersebut diatas, memberi petunjuk akan semakin meningkatnya kebutuhan sarana pencegahan kebakaran seperti alat pemadam api ringan. Sebagian orang masih meragukan keandalan kinerjanya dalam memadamkan api, terutama alat Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
pemadam api yang telah terpasang pada bangunan. Untuk menjawab permasalahan seperti tersebut diatas, peranan litbang menjadi semakin penting, khususnya berkaitan dengan keandalan kinerja alat pemadam api ringan yang banyak digunakan pada bangunan gedung sebagai sarana pencegahan pada tahap awal kebakaran.
Maksud dan Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kinerja alat pemadam api ringan terhadap kemampuan memadamkan api, melalui tes rating. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk memperoleh data unjuk kerja dari alat pemadam api ringan tersebut, sehingga dapat berfungsi memadamkan api, bila pada suatu saat diperlukan.
Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini, ruang lingkup bahasan meliputi : 1. Alat pemadam api ringan jenis serbuk kimia kering (AB) dan jenis serbuk kimia kering serbaguna (ABC) tipe cartridge; 2. Tes rating dilakukan terhadap jenis kebakaran kelas A dan B. Materi yang dibahas dalam penelitian ini, dibatasi pada alat pemadam api ringan yang terpasang/menempel di dinding, tidak termasuk alat pemadam api beroda, dan alat pemadam api yang menggunakan instalasi sistem proteksi terpasang (fixed system), serta tidak membahas tentang tes hidrostatik terhadap tabung alat pemadam api.
1
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Alat Pemadam Api Ringan dan Fire Rating Alat pemadam api ringan (Apar) adalah : 1. Alat pemadam api berbentuk tabung yang mudah dioperasikan oleh satu orang dan mudah di tenteng, dan alat tersebut ditujukan untuk memadamkan api awal pada mula terjadinya kebakaran.1) 2. Alat pemadam api yang ringan, mudah dibawa/dipindahkan dan dilayani oleh satu orang dan alat tersebut hanya digunakan untuk memadamkan api pada mula terjadi kebakaran, pada saat api belum membesar.2) 3. Alat pemadam api yang digunakan untuk memadamkan kebakaran pada tahap awal, baik yang ringan maupun beroda.3) Fire Rating adalah standar pengukuran efektifitas suatu alat pemadam api terhadap kemampuan maksimalnya dalam memadamkan api. Jenis kebakaran kelas A berhubungan dengan susunan balok kayu, jenis kebakaran kelas B berhubungan dengan volume dari cairan bahan bakar yang dapat dipadamkan dalam sebuah tempat.4) Angka rating, adalah nomor angka dan huruf yang memberikan informasi mengenai kemampuan atau daya pemadaman alat pemadam api terhadap jenis kebakaran (A,B,C,D). Angka tersebut bukan menunjukkan suatu ukuran, melainkan ukuran kemampuan relatif yang ditentukan dari hasil Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
pengujian pemadam api. Sebagai contoh alat pemadam api dengan daya 10B tidak berarti dua kali lebih baik dari alat pemadam yang mempunyai daya 5B.5) Ketentuan Tes Rating Alat Pemadam Api Ringan 1. Alat pemadam api ringan yang akan ditest disimpan sekurang-kurangnya selama 24 jam sebelum dilakukan tes pada temperatur antara 21ºC – 25ºC; 2. Tes dilakukan dalam keadaan udara tenang dengan kecepatan aliran udara tidak melampaui 3 m/detik; 3. Alat pemadam api ringan harus dapat memadamkan sekurangkurangnya dua kali dari tiga kali tes. Jika dalam tes pertama dan kedua berhasil baik, maka tes ketiga tidak perlu dilanjutkan; 4. Setiap pengujian harus dilakukan dengan alat pemadam yang berisi penuh;
__________________________________________ 1) Heryanto Sumarno, Alat Pemadam Api Ringan dan Perkembangan Teknologinya, (Jakarta : t.p., t.th), hlm.7. 2) SNI 1746-1989-F, Panduan Pemasangan Api Ringan Untuk Pencegahan Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung, hlm.1. 3) Keputusan Kepala Dinas Kebakaran Propinsi DKI Jakarta Nomor 264 Tahun 2005, tentang Pedoman Pengujian Alat Pemadam Api Ringan, hlm. 1 4) Brosur Firedome, Fire Extinguishers Portable and Trolley, (Jakarta : PT. Astanita Sukses Apindo, t.th.) 5) Suprapto, Dr., Ir., M.Sc.FPE., APU., Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung,
2
(Jakarta : LPM ITB – Indonesia, 1992), hlm. 58.
5.
PT. Jaya Teknik
Batas akhir suatu tes kebakaran dianggap telah padam atau berakhir bila nyala api tidak kembali menyala; 6. Perlu dicatat pengamatan dalam waktu 10 menit pada pra pembakaran, yaitu periode sebelum melangkah ke pemadaman, sebagai berikut : Tinggi nyala api bagian atas dari unggun kayu tersusun; Jumlah luas sisi samping yang diliputi nyala api; Jangka waktu berkobarnya cairan mudah terbakar sampai padam; 7. Pada saat pemadaman perlu dicatat : Waktu akhir pemadaman; Akhir dari penyemprotan efektif dari apar; Waktu penyalaan kembali karena kurang sempurnanya pemadaman; 8. Berat atau volume bahan yang dapat disemprotkan (discharge) untuk jenis air, wet chemical, busa (foam), CO2, cairan mudah menguap minimal 95 % dan serbuk (powder) minimal 85 %; 9. Konstruksi tabung pemadam api harus mampu menahan tekanan pada saat tes tekan, dan dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan diisi kembali bila telah habis dipakai isinya; 10. Desain tekan tabung pemadam api harus dirancang untuk dapat menahan tekanan tanpa pecah, yaitu tekanan yang besarnya tidak kurang dari 3,5 kali atau 4 kali tekanan kerja. Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
Tes Rating Alat Pemadam Api Ringan Jenis Kebakaran Kelas A 1. Tes rating alat pemadam api ringan kelas A menggunakan unggun api dari kayu tersusun (gambar 1) dengan ukuran kayu untuk masingmasing tingkat daya padam sesuai dengan tabel 1; 2. Kayu yang digunakan adalah kayu yang memiliki kandungan air tidak lebih dari 15 %; 3. Unggun kayu tersusun diletakkan pada dua buah besi siku ukuran 65 mm x 40 mm pada suatu dudukan diatas tanah; 4. Susunan kayu bagian luar dipaku atau diklem untuk memberi kekuatan terhadap semprotan dari bahan yang dipakai untuk pemadaman; 5. Nampan besi bahan bakar diletakkan pada posisi simetris dibawah sumbu vertikal unggun kayu tersusun; 6. Untuk meratakan perkembangan api pada unggun kayu tersusun dapat digunakan tirai, tetapi tirai tersebut harus disingkirkan sebelum dilakukan pemadaman; 7. Jangka waktu penyalaan unggun kayu tersusun selama 10 menit. 8. Pemadaman dilakukan dari jarak 2 meter dan selanjutnya operator mengurangi jarak pemadaman serta mengarahkan semprotan pada sisi yang lain dari unggun kayu tersusun; 9. Tes pemadaman dilaksanakan oleh orang yang berpengalaman dan 3
harus mengenakan pelindung.
5.
Nampan diisi air terlebih dahulu, kemudian diisi bahan bakar cair yang mudah terbakar (premium), selanjutnya sisi tegak nampan yang tidak terendam, harus disisakan sekitar 150 mm; 6. Setelah penyalaan bahan bakar cair (premium), biarkan selama 60 detik, sebelum langkah pemadaman; 7. Tes pemadaman dilaksanakan oleh orang yang berpengalaman dan harus mengenakan pakaian pelindung.6)
pakaian
Gambar 1. Susunan kayu sebagai bahan bakar (wood crib) Tes Rating Alat Pemadam Api Ringan Jenis Kebakaran Kelas B 1. Tes rating alat pemadam api ringan kelas B menggunakan bahan bakar cair (premium) yang tidak mengandung timbal, jumlah bahan bakar untuk masing-masing kelas sesuai dengan tabel 2; 2. Bahan bakar ditempatkan pada nampan bentuk bujur sangkar (gambar 2) dengan sisi tegak tidak kurang dari 200 mm sebagai kedalamannya, ukuran nampan untuk masing-masing kelas sesuai dengan tabel 2; 3. Nampan untuk tes rating kelas B setiap sambungan harus rapat dan sebagai penguat nampan memakai cincin yang mengitari tepi nampan bagian luar yang dipakai sebagai bibir nampan; 4. Nampan harus dibenamkan ke dalam tanah sampai batas cincin penguat;
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
_____________________________________________ 6)
Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3988-1995, Pengujian Kemampuan Pemadaman dan Penilaian Alat Pemadam Api Ringan, (Jakarta : Dewan Standar Nasional, 1995), hlm. 3.
4
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
5
7. Alat ukur kecepatan angin; 8. Moisture meter (%); 9. Nampan besi.
Gambar 2. Nampan tempat bahan bakar cair mudah terbakar.
BAHAN, PERALATAN DAN METODE PENELITIAN Bahan Dalam kajian kinerja alat pemadam api ringan untuk bangunan rumah dan gedung ini, menggunakan beberapa bahan sebagai berikut : 1. Kayu bentuk kaso-kaso jenis kamper dengan kandungan air tidak lebih dari 15 %, sebagai bahan bakar (wood crib); 2. Paku ukuran 7 cm 3. Bahan bakar cair mudah terbakar jenis premium; 4. Air; 5. Bahan pemadam serbuk kimia kering (AB) dan serbuk kimia kering serbaguna (ABC) jenis cartridge. Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut : 1. Dua buah besi siku ukuran 65mmx40mm; 2. Timbangan digital 3Kg; 3. Alat ukur literan (lt.) 4. Dapur pengering (Oven); 5. Roll meter; 6. Stop watch; Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen laboratorium dan observasi lapangan. Data hasil penelitian diolah dengan analisis statistik atau analisis kwantitatif, dengan cara analisis rata-rata hitung, menggunakan rumus :
_ x 1 + x2 + x3 + .................... + xn X = n atau : _ X =
n ∑ xi i=n n
atau lebih sederhana lagi : _ X =
∑ xi n
Percobaan Laboratorium Dalam rancangan percobaan, jumlah alat pemadam api ringan yang mengandung bahan pemadam serbuk kimia kering (Dry Chemical Powder) AB 11 buah tabung dan serbuk kimia kering serbaguna (Multipurpose Dry Chemical Powder) ABC 8 buah tabung, masing6
masing berat bahan pemadam antara 1 kg hingga 9 kg. Selanjutnya tes rating ditentukan berdasarkan kemampuan alat pemadam api ringan memadamkan api.
4. Adapun perlakuan tes rating dilaksanakan dengan tiga kali ulangan.
Untuk jenis kebakaran kelas A nilai rating dari 1A hingga 10A, dan untuk jenis kebakaran kelas B nilai rating dari 1B hingga 20B, rancangan percobaan tersebut terdapat pada tabel 3 dan tabel
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian yang diperoleh berdasarkan percobaan di laboratorium terhadap tes rating alat pemadam api ringan dengan bahan pemadam serbuk Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
kimia kering (AB) dan serbuk kimia kering serbaguna (ABC) dengan kebakaran kelas A dan B, sebagaimana terdapat pada tabel 5 dan tabel 6, sebagai berikut : 7
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
8
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
9
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
10
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
11
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
12
PEMBAHASAN Berdasarkan tabel 5 dan 6, data hasil tes rating atau tes kemampuan alat pemadam api ringan untuk memadamkan susunan kayu yang dibakar sesuai dengan jenis kebakaran pada tabel 1 dan tabel 2, dengan nilai rating yang ditentukan untuk kebakaran kelas A, yaitu dari 1A sampai dengan 10A dan kebakaran kelas B dari 1B sampai dengan 20B, dengan bahan pemadam yang terdapat dalam tabung alat pemadam api ringan, masingmasing berisi serbuk kimia kering (AB) dan serbuk kimia kering serbaguna (ABC). Data hasil tes rating pada tabel 5 dan 6 diatas, setelah diolah dengan analisis statistik atau analisis kwantitatif dan ditabulasi pada tabel 7, 7a, 8 dan 8a. Selanjutnya dari hasil analisis dan evaluasi tersebut dilakukan pembahasan meliputi beberapa parameter, yaitu : 1. Pengaruh berat bahan pemadam dan nilai rating, terhadap waktu padam atau lamanya api padam (detik); 2. Pengaruh berat bahan pemadam dan nilai rating, terhadap berat bahan pemadam terpakai atau pemakaian bahan pemadam (%); 3. Perbedaan jenis kebakaran kelas A/B, terhadap waktu padam (detik) dan berat bahan pemadam terpakai (%); 4. Perbedaan jenis bahan pemadam, terhadap waktu padam (detik) dan berat bahan pemadam terpakai (%).
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
Pengaruh Berat Bahan Pemadam dan Nilai Rating terhadap Waktu Padam Hasil analisis dan evaluasi sebagaimana terdapat pada tabel 7, 7A, 8 dan 8A dibawah, terlihat bahwa nilai rata-rata waktu padam untuk kebakaran kelas A bahan pemadam serbuk kimia kering (AB) dan serbuk kimia kering serbaguna (ABC) dengan rating 1A selama 15 hingga 16 detik; rating 2A selama 18 hingga 20 detik; rating 3A selama 19,7 hingga 22 detik dan rating 4A selama 25 hingga 26 detik dan seterusnya. Kemudian untuk rating 1B selama 2 detik; rating 2B selama 2,5 hingga 2,7 detik; rating 3B selama 3 hingga 3,5 detik dan rating 4B selama 3,5 hingga 3,7 detik dan seterusnya. Dengan demikian rating 1A rata-rata waktu padam lebih rendah dibandingkan dengan rating 2A, 3A, 4A sampai 10A untuk kedua jenis bahan pemadam, begitu pula untuk kebakaran kelas B, rating 1B rata-rata waktu padam lebih rendah dibandingkan dengan rating 2B, 3B, 4B sampai 20B untuk kedua jenis bahan pemadam. Hal serupa terjadi pula pada rating 1A dengan berat bahan pemadam 1 Kg dan 1,5 Kg, rating 2A dengan berat bahan pemadam 2 Kg dan 2,5 Kg, kemudian pada rating 3A dengan berat bahan pemadam 3 kg dan 3,5 kg, ternyata dengan berat bahan pemadam makin besar walaupun nilai ratingnya sama, maka perolehan nilai rata-rata waktu padam makin tinggi. Dengan demikian, semakin berat bahan pemadam dan semakin tinggi nilai rating, berpengaruh sekali terhadap waktu padam atau lamanya api padam. 13
Pengaruh Berat Bahan Pemadam dan Nilai Rating terhadap Berat Bahan Pemadam Terpakai Berdasarkan hasil analisis yang ditabelkan pada tabel 7, 7a, 8 dan 8a, nilai rata-rata berat bahan pemadam terpakai pada kebakaran kelas A, untuk rating 1A sebesar 75 hingga 82 %; rating 2A sebesar 88,86 hingga 89,93 %; rating 3A sebesar 92,50 hingga 93,50 % dan pada rating 4A sebesar 93 hingga 93,77 % dan seterusnya. Selanjutnya pada kebakaran kelas B, untuk rating 1B sebesar 50,11 hingga 65,25 %; rating 2B sebesar 68 hingga 69,11 %; rating 3B sebesar 71,30 hingga 72 % dan rating 4B sebesar 76,66 hingga 79,75 % dan seterusnya. Dengan demikian, semakin berat bahan pemadam dan semakin tinggi nilai rating, berpengaruh sekali terhadap berat bahan pemadam terpakai. Perbedaan Jenis Kebakaran Kelas A dan B terhadap Waktu Padam dan Berat Bahan Pemadam Terpakai Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa kebakaran kelas A adalah kebakaran dari bahan-bahan padat bukan logam, sedangkan kebakaran kelas B adalah kebakaran dari bahan cairan dan gas yang mudah terbakar. Dari perbedaan jenis kebakaran tersebut, terlihat dari hasil analisis pada tabel 7, 7A, 8 dan 8a, baik untuk ratarata waktu padam maupun untuk ratarata berat bahan pemadam yang terpakai, terjadi perbedaan yang sangat signifikan. Perbedaan rata-rata waktu padam antara kebakaran kelas A Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
dengan kebakaran kelas B yaitu, untuk rating 1A dengan rating 1B sebesar 87,09 %; rating 2A dengan 2B 86,31 %; rating 3A dengan 3B 84,41 %; rating 4A dengan 4B 85,88 %; rating 5A dengan 5B 86,60 %; rating 6A dengan 6B 86,73 %; rating 8A dengan 8B 78,36 % dan rating 10A dengan rating 10B sebesar 68,92 %. Perbedaan rata-rata berat bahan pemadam terpakai jenis kebakaran kelas A dengan kebakaran kelas B, untuk rating 1A dengan rating 1B adalah 26,52 %; rating 2A dengan 2B 23,31 %; rating 3A dengan 3B 22,96 %; rating 4A dengan 4B 12,85 %; rating 5A dengan 5B 17,59 %; rating 6 A dengan 6B 13,28 %; rating 8A dengan 8B 8,48 % dan rating 10A dengan rating 10B sebesar 4,70 %. Perbedaan ratarata waktu padam antara kebakaran kelas A dan B, nilai tertinggi dicapai oleh rating 1A dengan 1B sebesar 87,09 % dan nilai terendah dicapai oleh rating 10A dengan 10B sebesar 68,92 %. Demikian pula perbedaan rata-rata berat bahan pemadam terpakai antara jenis kebakaran kelas A dengan B, teringgi dicapai oleh rating 1A dengan 1B sebesar 26,52 % dan nilai terendah dicapai oleh rating 10A dengan 10B sebesar 4,70 %. Perbedaan Jenis Bahan Pemadam terhadap Waktu Padam dan Berat Bahan Pemadam Terpakai Perbedaan jenis bahan pemadam serbuk kimia kering (AB) dengan serbuk kimia kering serbaguna (ABC) terhadap nilai rata-rata waktu padam dan nilai ratarata berat bahan pemadam terpakai, sesuai hasil analisis pada tabel 7, 7a, 8, 8a, sebagai berikut : 14
Bahan pemadam serbuk kimia kering (AB) nilai rata-rata waktu padam untuk jenis kebakaran kelas A, diperoleh sebesar 23,7 %, sedangkan nilai rata-rata berat bahan pemadam terpakai, sebesar 91,60 %. Untuk jenis kebakaran kelas B, nilai ratarata waktu padam diperoleh sebesar 6,9 %, dengan nilai rata-rata berat bahan pemadam terpakai, sebesar 80,64 %. Bahan pemadam serbuk kimia kering serbaguna (ABC), nilai rata-rata waktu padam untuk jenis kebakaran kelas A, diperoleh sebesar 27,3 %, sedangkan nilai rata-rata berat bahan pemadam terpakai sebesar 93,56 %. Untuk jenis kebakaran kelas B, nilai rata-rata waktu padam diperoleh sebesar 5,9 %, dengan nilai rata-rata berat bahan pemadam terpakai sebesar 81,50 %. Persyaratan bahan pemadam harus habis pada saat proses pemadaman atau tes rating untuk jenis serbuk (powder) minimal sebesar 85 %, berdasarkan Standar Australian/New Zealand (AS/NZS 1841.5 : 1997), dapat dicapai oleh kedua jenis bahan pemadam tersebut, tetapi hanya pada jenis kebakaran kelas A. Dengan demikian, bahan pemadam serbuk kimia kering serbaguna (ABC) memiliki nilai rata-rata waktu padam, dan nilai ratarata berat bahan pemadam terpakai lebih tinggi dari bahan pemadam serbuk kimia kering (AB) pada jenis kebakaran kelas A, sedangkan pada jenis kebakaran kelas B, bahan pemadam Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
serbuk kimia kering serbaguna (ABC) memiliki nilai rata-rata waktu padam lebih rendah dari bahan pemadam serbuk kimia kering (AB), sebaliknya nilai rata-rata berat bahan pemadam terpakai untuk serbuk kimia kering serbaguna (ABC), lebih besar dibandingkan dengan bahan pemadam serbuk kimia kering (AB). TABEL 7 WAKTU PADAM & BERAT BAHAN PEMADAM TERPAKAI SERBUK KIMIA KERING (AB) JENIS KEBAKARAN KELAS A Berat Bahan pemadam (kg)
Rating
Rata-rata waktu padam (detik)
Rata-rata berat bahan pemadam terpakai (%)
1 Kg 1A 15 75,00 1,5 Kg 1A 17 85,67 2 Kg 2A 18 88,86 2,5 Kg 2A 19 92,90 3 Kg 3A 19,7 93,50 3,5 Kg 3A 24 93,73 4 Kg 4A 25 93,77 5 Kg 5A 27,7 93,82 6 Kg 6A 28,3 95,27 9 Kg 8A 32 97,00 9 Kg 10A 35 98,50 Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang Permukiman 2004. TABEL 7A WAKTU PADAM & BERAT BAHAN PEMADAM TERPAKAI SERBUK KIMIA KERING SERBAGUNA (ABC) JENIS KEBAKARAN KELAS A Berat Bahan pemadam (kg 1 2 3 4
Kg Kg Kg Kg
Rating
Rata-rata waktu padam (detik)
Rata-rata berat bahan pemadam terpakai (%)
1A 2A 3A 4A
16 20 22 26
82,00 89,93 92,50 93,00
15
5 Kg 6 Kg
5A 6A
29 32
95,50 97,25
9 Kg 8A 35 99,63 9 Kg 10A 39 98,70 Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang Permukiman 2004. TABEL 8 RATA-RATA WAKTU PADAM DAN BERAT BAHAN PEMADAM TERPAKAI SERBUK KIMIA KERING (AB) JENIS KEBAKARAN KELAS B Berat Bahan pemadam (kg)
Rating
Ratarata waktu padam (detik)
Rata-rata berat bahan pemadam terpakai (%)
1 Kg 1,5 Kg
1B 2B
2 2,7
50,11 69,11
2 Kg 2,5 Kg 3 Kg
3B 4B 5B
3,5 3,7 3,8
71,30 76,66 78,01
3 Kg 3,5 Kg 4 Kg
6B 7B 8B
4 4,5 7,5
83,01 85,50 90,94
6 Kg 6 Kg 9 Kg
10B 12B 20B
12,5 14 18
91,94 94,50 96,00
Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang Permukiman 2004.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
TABEL 8A RATA-RATA WAKTU PADAM DAN BERAT BAHAN PEMADAM TERPAKAI SERBUK KIMIA KERING SERBAGUNA (ABC) JENIS KEBAKARAN KELAS B Berat Bahan pemadam (kg) 1 1 2 2 3 4 6 9
Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg
Rating
Ratarata waktu padam detik)
Rata-rata berat bahan pemadam terpakai (%)
1B 2B 3B 4B 6B 8B 10B 20B
2 2,5 3 3,5 4 7 10,5 15
65,25 68,00 72,00 79,75 83,95 89,00 96,00 98,06
Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang Permukiman 2004.
16
Gambar 3. Tes rating jenis kebakaran kelas A dengan bahan bakar susunan kayu (wood crib).
Gambar 4. Pemadaman susunan kayu dengan alat pemadam api ringan (tes rating jenis kebakaran kelas A).
Gambar 5. Tes rating jenis kebakaran kelas B dengan bahan bakar cair mudah terbakar.
Gambar 6. Pemadaman bahan bakar cair mudah terbakar dengan alat pemadam api ringan
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
17
(tes rating jenis kebakaran kelas B).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi diatas, maka hasil penelitian tentang kajian kinerja alat pemadam api ringan untuk bangunan gedung ditinjau dari aspek pemadaman api, dapat disimpulkan sebagai berikut : Alat pemadam api ringan yang telah terpasang pada bangunan terbukti, masih mampu dan efektif memadamkan api melalui tes rating. Tinggi rendahnya nilai rating sangat berpengaruh terhadap waktu atau lamanya api padam dan jumlah berat bahan pemadam yang terpakai, pada jenis kebakaran kelas A dan B; Tinggi rendahnya nilai rating, lamanya api padam dan jumlah berat bahan pemadam yang terpakai, sangat berbeda nyata pada tes rating antara jenis kebakaran kelas A dan B;
Bahan pemadam serbuk kimia kering serbaguna (ABC), memiliki waktu padam dan jumlah berat bahan pemadam terpakai lebih tinggi pada jenis kebakaran kelas A dibandingkan dengan serbuk kimia kering (AB); Bahan pemadam serbuk kimia kering serbaguna (ABC), memiliki waktu padam atau lamanya api padam lebih rendah pada jenis kebakaran kelas B dibandingkan dengan serbuk kimia kering (AB); Sebaliknya bahan pemadam serbuk kimia kering serbaguna (ABC) memiliki jumlah berat bahan pemadam terpakai lebih tinggi pada jenis kebakaran kelas B dibandingkan dengan serbuk kimia kering (AB).
Perbedaan waktu padam atau lamanya api padam antara jenis kebakaran kelas A dan B, nilai tertinggi dicapai oleh rating 1A dengan 1B sebesar 87,09 % dan terendah dicapai oleh rating 10A dengan 10B sebesar 68,92 %; Perbedaan jumlah berat bahan pemadam terpakai antara jenis kebakaran kelas A dengan B, nilai teringgi dicapai oleh rating 1A dengan 1B sebesar 26,52 % dan terendah dicapai oleh rating 10A dengan 10B sebesar 4,70 %; Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
18
DAFTAR PUSTAKA 1.
Australian Standard 1850. 1976, “Classification, Fire Testing
and Rating of Extinguishers”,
Portable
Fire
Standards Association of Australia, Standard House 80 Arthur ST, North Sydney, NSW. 2. Australian / New Zealand Standard (AS/NZS) 1841.5 : 1997. 3. “Brosur Firedome”. (t.th.), Fire Extinguishers-Portable and Trolley, PT. Astanita Sukses Apindo, Jakarta. 4
Gordon Tower.
P. Mc. Kinnon and Keith 1976, “The Role of Extinguishers in Fire Protections”, Fire Protection Handbook, Fourteenth Edition, Section 16, Chapter 1, National Fire Protection Association, Boston, Massachusets.
tentang “Pedoman Pengujian Alat Pemadam Api Ringan”, Dinas Kebakaran Propinsi DKI Jakarta. 8 . Richard L. Tuve 1974, “Principles of Fire Protection Chemistry, National Fire Protection Association, Batterymarch Park, Quincy, MA 02269. 9. Standar Nasional Indonesia (SNI) 033988-1995, “Pengujian
Kemampuan Alat Pemadam Api Ringan” Dewan Standar Nasional (DSN).
10. Sudjana, Prof., Dr., M.A., M.Sc., 1989, “Metoda Statistika”, Edisi Kelima, Penerbit Transito, Bandung. 11. Suprapto, Dr., Ir., M.Sc FPE., APU 1992, “Sistem Proteksi
Kebakaran pada Gedung”, Lembaga
Bangunan
Pengabdian pada Masyarakat ITB - PT. Jaya Teknik Indonesia, Jakarta.
Sumarno. (t.th), “Alat Pemadam Api Ringan (APAR) dan Perkembangan Teknologinya”,
5. Herryanto
Diktat, (t.p).
6. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 99 Tahun 2004, tentang “Petunjuk
Pelaksanaan Pengujian Alat Pemadam Api di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta”.
7. Keputusan Kepala Dinas Kebakaran Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 264 Tahun 2005, Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
19
PENELITIAN PEMANFAATAN LUMPUR SIDOARJO UNTUK AGREGAT BUATAN Oleh : Lasino. Pusat Litbang Permukiman, Bandung.
Abstrak
Lumpur Sidoarjo (LUSI), merupakan bahan mineral yang dikeluarkan dari dalam bumi akibat kegagalan teknis dalam pengeboran (eksplorasi) migas di Porong Sidoarjo. Material tersebut dalam istilah geologi dapat dikategorikan sebagai produk erupsi mud volcano yang bisa terjadi di suatu kegiatan pengeboran khususnya diwilayah yang mempunyai tatanan geologi yang kompleks. Bahan ini berbentuk butiran halus, berwarna abu-abu kehitaman, sangat plastis, dan memiliki nilai susut kering yang tinggi. Unsur kimia yang terkandung didominasi oleh silika (> 50 %), alumina (26 %), dan beberapa unsur lain seperti besi, calsium dan magnesium dengan jumlah yang relatif kecil. Dalam upaya pemanfaataannya, dicoba untuk dikembangkan sebagai bahan agergat buatan melalui proses pembakaran sehingga diperoleh produk yang keras dan stabil. Karena sifat teknis dari bahan dasar yang kurang baik, maka untuk memperbaikinya perlu ditambahkan bahan penstabil yang dalam penelitian ini menggunakan fly ash sebanyak 10 sampai 30 % dari berat lumpur. Proses pembentukan butiran dilakukan setelah bahan baku dicampur dengan air sampai menjadi adonan yang lembab dan dibentuk menjadi butiran berukuran antara 5 s/d 20 mm. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa suhu bakar optimum dicapai pada 1000 oC dengan waktu selama 10 menit, dan menghasilkan agregat dengan nilai kekerasan 9,2 ton, berat jenis 1,38, penyerapan air 15,36 % dan bobot isi gembur 0,97 kg/ltr. Dengan hasil penelitian ini dapat diindikasikan bahwa bahan tersebut dapat dikembangkan sebagai agregat buatan dan dapat digunakan untuk pembuatan beton dengan mutu sampai dengan f’c 17,5 MPa atau K.200. Kata kunci
: Lumpur Sidoarjo, Agregat buatan.
Abstract
Mud of Sidoarjo (LUSI)/representing mineral material that is produced from within the earth as an effect of technical failure in oil & gas drilling (exploration) in Porong Sidoarjo. The materials in geological term can be categorized as product of volcano eruption mud which can happened in an activity of drilling, especially in the region that have a complex geological structure. In general, the shape of this materials is very fine particle, grey-black colour, very plastic and have high value of dry shrinkage. The chemical composition contained in the mud is dominated by silica (> 50 %), alumina (26 %), and small amount of some other elements such as iron, calcium and magnesium. In the effort of utilizing this materials it has been tried to develop to be an artificial aggregate through combustion process to obtaine a hard, stabilize and weatherproof product. Repairement of mud basic nature is done by adding stabilizing materials where in this research is conducted by using fly ash with the amount of 10 to 30 % by weight of mud. The forming process of granular materials is conducted after raw material is mixed with water until the mixture become soft and wet which further was formed to be in granular form with the size of 5 to 20 mm. The research result has obtained that optimum combustion temperature reached at 1000 oC with 10 minute of burning time, which produced of aggregate with hardness value 9,2 ton, specific gravity 1,38, water absorption 15,36 % and density is 0,97 kg/ltr. The result indicated that the materials can be developed for artificial aggregate of concrete with the grade up to f’c 17,5 MPa or K-200. Key words
: Mud of Sidoarjo, Artificial aggregate.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
29
PENDAHULUAN Peristiwa semburan lumpur panas di Porong Sidoarjo yang sampai saat ini belum dapat ditanggulangi terus menambah penderitaan bagi masyarakat yang terkena dampak secara langsung di daerah tersebut. Kondisi ini di perparah dengan meledaknya pipa Pertamina yang tidak lagi mampu menahan pergeseran tanah dan tekanan yang terjadi, sehingga menelan korban jiwa, rusaknya beberapa bangunan serta meluasnya genangan lumpur ke permukiman penduduk. Akibat dari kejadian tersebut telah menyebabkan berbagai dampak, baik sosial, ekonomi (stagnasi usaha), gangguan transportasi, dan sebagainya. Dalam tahap penanggulangan lumpur tersebut telah dibentuk tim nasional guna mengendalikan luapan Lumpur dan mengurangi terjadinya korban jiwa, harta benda dan rusaknya lingkungan yang lebih luas, termasuk rencana relokasi penduduk yang tidak dapat terhindari. Selanjutnya untuk jangka panjang, dalam upaya pemanfaatan mineral serta mendukung kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan perlu dikembangkan pemanfataan lumpur tersebut sebagai bahan bangunan. Berdasarkan sifat-sifat dasar yang dimiliki serta hasil uji coba yang telah dilakukan ternyata lumpur tersebut setelah ditambah dengan fly ash dapat dikembangkan menjadi agregat buatan melalui proses pembakaran dengan hasil yang cukup baik, keras, stabil dan memiliki bobot lebih ringan dibanding dengan agregat alam. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat teknis bahan baku khususnya sebagai bahan dasar dalam pembuatan agregat buatan dan bahan bangunan keramik lainnya. Dengan
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
demikian dalam pengembangannya dapat diberikan suatu perlakuan yang tepat untuk menghasilkan produk yang baik dan memenuhi syarat baik dari aspek proporsi bahan tambahan (substitusi), optimalisasi suhu bakar dan waktu pembakaran yang diperlukan. Lingkup penelitian meliputi analisis bahan baku/lumpur (sifat kimia, fisik dan mekanik), uji coba pembakaran skala laboratorium dari berbagai proporsi bahan tambahan (fly ash), serta pengujian mutu agregat yang dihasilkan. Melalui serangkaian penelitian tersebut, maka akan diperoleh suatu agregat yang memenuhi persyaratan teknis dengan proporsi campuran dan suhu bakar yang optimum. TINJAUAN PUSTAKA Tanah/Lempung Tanah/lempung adalah akumulasi partikel mineral yang ikatan antar partikelnya lemah, yang terbentuk karena pelapukan dari batuan. Ikatan lemah tersebut disebabkan oleh pengaruh karbonat/oksida yang tersenyawa diantara partikel atau adanya bahan organik. Pembentukan tanah dapat disebabkan oleh pengaruh fisis atau kimiawi. Bahan yang berbutir < 0,002 mm disebut lempung. Pelapukan dapat menyebabkan terjadinya tanah primer (terdapat ditempat terjadinya disintegrasi) dan tanah sekunder (tanah mengalami transportasi). Beberapa klasifikasi tanah/lempung yang digunakan dalam industri bahan bangunan seperti ;
29
a. Berdasarkan sifat fisiknya (lempung marl, lempung merah, lempung loams, batu lempung dll.) b. Berdasarkan mineralnya (lempung kaolinit, halloysit, illit, montmorilonit, kaolonit-halloysit), c.
Berdasarkan distribusi butirannya, lempung tersusun oleh 3 fraksi bahan (fraksi mineral lempung), yaitu fraksi 20-2 mikron, lebih besar daro 20 mikron dan lebih kecil daro 2 mikron.
d. Berdasarkan komposisi kimianya, tanah liat tersusun dari oksida-oksida sebagai berikut : SiO2 : 50 – 70 % Al2O3 : 10 – 35 % Fe2O3 : 2–8 % TiO2 : 0,1 – 2 % CaO : 0,5 –15 % MgO : 0,2 – 5 % SO3 : 0 - 0,5 % HP : 3 - 12 % e. Selanjutnya spesifikasi tanah liat sebagai bahan bangunan keramik sebagai berikut : 1) Berdasar partikel Ukuran (mm) > 1,0 > 0,20 > 0,09 > 0,06 > 0,02 > 0,002 < 0,002
butirannya : Presentasi (%) 0-3 0 - 20 8 - 25 10 -30 15 - 45 20 - 65 15 – 50
Untuk mendapatkan gambaran tanah yang cocok sebagai bahan baku untuk jenis bahan bangunan (3),
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
dapat dikelompokkan berdasar distribusi butirannya sebagai berikut: Fraksi butiran < 2 mikron, min......... % < 20 mikron, min....... %
Bata pejal 20, 24, 28 50, 59, 60
Jenis produk genteng Block dinding 25, 30 25, 35, 45 45, 50
35, 32, 25
2) Berdasarkan plastisitasnya. Batas plastisitas (PL) adalah menunjukkan jumlah air tertentu yang ditambahkan dimana massa lempung air tidak dapat mempertahankan bentuk setelah dikenai tekanan. Batas cair (LL), adalah dimana lempung air tidak dapat mempertahankan plastisitasnya karena mulai mengalir. Indek plastisitas (IP), adalah selisih kadar air antara batas cair dengan batas plastis (dari percobaan atterberg). IP = < 10 %, lempung tidak plastis IP = 10 – 20 %, lempung agak plastis IP = 20 – 30 %, lempung plastis IP = > 30 %, lempung sangat plastis. 3) Berdasarkan kepekaan terhadap Pengeringan / DSe). Berdasarkan nilai kepekaan terhadap pengeringan/DSE (3), tanah liat terhadap pengeringan
29
dan hal ini merupakan faktor penting dalam penggunaan tanah liat untuk bahan baku bahan bangunan keramik. Teori didasarkan pada hubungan antara kadar air setelah dikeringkan sampai penyusutan berhenti. Setelah digambarkan, akan diperoleh 2 (dua) daerah yaitu sebelah atas garis kadar air kritis disebut daerah bahaya dan sebelah bawah garis kadar air kritis disebut daerah aman. Kemudian dihitung nilai kepekaan terhadap pengeringan/Dse yaitu : Dse = < 1, tidak peka terhadap pengeringan, Dse = 1 – 2, peka terhadap pengeringan Dse = > 2, sangat peka terhadap pengeringan Nilai Dse > 2, biasanya tidak disarankan, karena akan menimbulkan kesulitan-kesulitan pada proses pengeringan. Selanjutnya bila dilihat dari nilai susut keringnya, adalah sebagi berikut : < 6 %, tidak peka terhadap pengeringan, 6 – 10 %, peka terhadap pengeringan, > 10 %, sangat peka terhadap pengeringan. Variasi besarnya penyusutan bergantung pada teknologi yang digunakan serta geometri barang yang dibuat. - pembentukan cara cor (casting) : susut > 10 %
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
- pembentukan cara masa kering, setengah kering : susut 6 % - pembentukan cara massa plastis keras, plastis lunak susut 6–10 % 4) Berdasarkan kekuatan kering (Green strength). Contoh uji tanah kering harus mempunyai kuat lentur > 10 kg/cm2. Agregat Ringan Buatan Agregat ringan buatan merupakan hasil pengolahan bahan baku menjadi bahan butiran dengan ukuran tertentu, ringan, keras dan dapat digunakan sebagai agregat dalam pembuatan beton. Expanded clay, atau lempung bekah adalah merupakan hasil pembakaran lempung pada temperatur tertentu dimana mulai terjadi keadaan Piroplastis akan membekah dan membentuk atruktur vesikuler porous yang permanent, kuat dan ringan. Proses terjadinya pembekahan lempung pada prinsipnya memerlukan dua kondisi yaitu : 1. material lempung harus mempunyai komposisi kimia yang seimbang antara flux, silika dan alumiona untuk menghasilkan leburan yang vicous cukup untuk menahan gas yang timbul pada temperatur tinggi. 2.
material harus mengandung zat-zat yang dapat terdissosoasi atau bereaksi dengan konstituent lain untuk menghasilkan gas pada temperatur dimana terjadi leburan.
29
Pengolahan dilakukan dengan proses pembakaran atau pemanasan bahan baku setelah sebelumnya mengalami proses pendahuluan, dengan menggunakan dapur sintering atau tungku putar (rotary kiln). Dalam proses pembakaran ini, agar mudah mencapai suhu/temperatur sintering yang diperlukan (biasanya 1000 – 1200 oC) maka bahan baku dapat dicampur dengan bahan lain seperti bubukan batubara, kokas, atau antrasit, dengan ditambah sejumlah air agar dapat dicetak/dibentuk menjadi butiranbutiran ukuran tertentu dan dimasukkan kedalam dapur pembakar. Waktu pembakaran dapat diatur dengan 3 (tiga) variabel yaitu banyaknya bahan bakar, kecepatan putar dan kemiringan dapur putar. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembuatan agregat ringan ini adalah: kestabilan temperatur harus dijaga, ukuran tungku yang akan digunakan, dan pengenalan sifat bahan baku. Khusus untuk bahan agregat ringan, diantaranya adalah persyaratan komposisi kimia dengan batasan sebagai berikut : SiO2 : 62 – 95 % Al2O3 : 17– 21 % Fe2O3 : 6–8 %
mengetahui sifat-sifat dasar bahan tanah/lumpur untuk bahan baku agregat buatan yang akan dikembangkan serta bahan keramik lainnya. Selanjutnya hasil yang diperoleh dibandingkan dengan persyaratan teknis (spesifikasi) yang berlaku untuk mengetahui jenis bahan yang memenuhi syarat dan layak dikembangkan. Uraian kegiatan laboratorium ini meliputi : 1)
Pemeriksaan sifat-sifat dasar tanah /lumpur ; Pemeriksaan sifat-sifat dasar tanah liat/lumpur, yang dimaksudkan untuk mengetahui sifat-sifat fisis, mekanis dan kimia, sebelum dikembangkan lebih lanjut.
2) Rancangan percobaan ; Percobaan pembuatan agregat dibagi menjadi 2 (dua) tahap, yaitu pertama pemberian bahan tambahan dengan berbagai variabel untuk mendapatkan kadar optimal berdasarkan sifat agregat yang dihasilkan, kedua adalah uji bakar untuk mendapatkan suhu sintering dimana agregat sudah mencapai tingkat kematangan yang baik, stabil dan tidak rapuh. Selanjutnya secara rinci rancangan percobaan dapat diuraikan sebagai berikut :
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah experimental, dengan melakukan percobaan laboratorium dari berbagai variabel dan benda uji. Percobaan laboratorium dimaksudkan untuk
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
29
No 1 2 3 4
Proporsi campuran (%) Lusi *) LBB *) 100 0 90 10 80 20 70 30
Suhu bakar (oC) 800 s/d 1000 800 s/d 1000 800 s/d 1000 800 s/d 1000
Keterangan : *) Lusi : Lumpur Sidoarjo
*)
LBB ash)
Uraian uji
1
Plastisitas Batas cair (LL), …....... % Batas plastis (PL),...... % Indek plastis (IP),....... % Klasifikasi 3 Berat isi basah,..... g/cm 3 Berat isi kering,..... g/cm Besar butir, > 2 mm, …………....... % > 0,02 mm, .……........ % 0,02-0,002 mm, ......... % < 0,002 mm, ……....... % Nilai DSe, Susut kering, ….......... % Susut bakar, …………. % 2 Kuat lentur kering, kg/cm
2 3 4
5 6 7 8
Untuk semua jenis benda uji (agregat dan balok uji)
: limbah batu bara (fly ash & bottom
1. Pengujian sifat fisis-mekanis dari lumpur disajikan dalam Tabel-1 berikut,
HASIL PENELITIAN Hasil Pengujian lumpur
No
Keterangan
Hasil uji 65,50 28,10 37,40 CH 1,79 1,12 0,00 22,00 36,00 52,00 1,09 7,10 0,72 11,20
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
Persyaratan
< 30,00
Keterangan
Sangat plastis Lanau plastisitas tinggi
Peka thd pengeringan Peka thd pengeringan > 10,00
Cukup baik
29
No
Uraian uji/unsur
1 2 3 4 5 6 7 8 9
SiO2, .....................…....... % Al2O3,…………………...... % Fe2O3,………………........ % CaO, .....................…....... % MgO, .....................…....... % K2O, .....................…....... % Na2O3, ..................…....... % SO3, .....................……..... % HP, .....................….......... %
Hasil pengujian produk Pembakaran/keramik 1.
Hasil pengujian kuat lentur dan kuat tekan. Benda uji merupakan hasl pembakaran pada suhu 800 s/d
Hasil uji
Syarat
52,79 26,35 8,51 1,97 2,53 2,86 2,08 0,98 1,92
50 – 70 10 – 35 2–8 0,5 – 15 0,2 – 5 0 – 0,5 3 - 12
1000 Derajat Celcius dari berbagai bariabel campuran, berbentuk balok ukuran 15 x 2,5 x 2,5 untuk uji kuat lentur dan kubus ukuran 2,5 x 2,5 x 2,5 cm untuk uji kuat tekan, hasil pengujian disajikan pada tabel 3 dibawah ini :
No
Lusi : LBB
Suhu bakar, oC
Kuat lentur, kg/cm2
Kuat tekan, kg/cm2
1
100 : 0
800
7,4
61,84
2
100 : 0
900
7,8
64,26
3
100 : 0
1000
8,7
72,62
4
90 : 10
800
7,6
65,81
5
90 : 10
900
8,2
71,93
6
90 : 10
1000
8,9
80,56
7
80 : 20
800
8,6
85,84
8
80 : 20
900
9,7
94,92
9
80 : 20
1000
11,4
108,61
10
70 : 30
800
11,8
96,72
11
70 : 30
900
13,4
108,63
12
70 : 30
1000
15,8
120,15
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
29
Hubungan antara kadar limbah batu bara (LBB) dengan kekuatan bahan keramik hasil pembakaran dapat dilihat pada grafik-1 berikut;
Selanjutnya hubungan antara suhu bakar dengan kekuatan bahan keramik hasil pembakarandapat dilihat pada grafik-2 berikut;
GRAFIK HUBUNGAN KADAR LBB VS KEKUATAN 140
GRAFIK HUBUNGAN SUHU BAKAR VS KEKUATAN
120.15 108.61 140
100
120.15
120
80
108.63
80.56 72.62
60
KEKUATAN (kg/cm2)
KEKUATAN (kg/cm2)
120
40 15.8
20
8.7
11.4
8.9
100
96.72 80 60 40
0 0
5
10
15
20
25
30
Kuat Tekan
15.8
20
KADAR LBB (%)
13.4
11.8 0 800
Kuat Lentur
900
1000
SUHU BAKAR (0C) Kuat Tekan
2. Hasil pengujian agregat tanah (ARTA). Benda uji merupakan hasil pembakaran dengan tungku pijar pada suhu 1000 s/d 1050 oC dengan waktu pijar (sintering) selama 5 menit, berbentuk butiran ukuran 5,0 – 20 mm. Karena produk dari agregat
Kuat Lentur
ini diarahkan untuk pembuatan beton structural, maka dalam pemberian bahan tambahan dari limbah batu bara (LBB) dipilih proporsi yang optimal yaitu 70 % tanah (lumpur) : 30 % LBB. hasil pengujian disajikan pada tabel 4 di bawah ;
No
Uraian uji
Hasil uji
Syarat mutu (utk beton struktural)
1 2 3
Berat jenis, .................... gr/cc Penyerapan air, ................ % Bobot isi, - gembur, ....................... kg/lt - padat, .......................... kg/lt Nilai keremukan 10 %,.. (ton)
1,38 15,36
1,0 -1,8 Maks. 20,0
0,97 1,16 9,2
7,5 – 14,0
4
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
29
PEMBAHASAN 1. Sifat fisis lumpur Sidoarjo (LUSI) Secara fisis, lumpur Sidoarjo sangat halus, plastis dan memiliki penyusutan yang tinggi, kondisi ini menyebabkan hasil yang diperoleh dalam produksi agregat akan mengalami kerusakan baik dalam tahap pengeringan maupun pembakaran sehingga tidak memenuhi persyaratan. Oleh karenanya perlu bahan tambahan sebagai penstabil dari bahan yang memiliki kadar silika tinggi misalnya fly ash untuk mendapatkan produk yang stabil, kuat dan presisi. 2. Sifat kimia, Kandungan kimia dalam lumpur didominasi oleh silika, alumina dan besi dengan jumlah lebih dari 87 % sehingga sangat baik digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan bahan bangunan keramik, walaupun tetap harus melihat terhadap sifat-sifat teknis lainnya. 3. Uji coba bakar. Dalam uji coba bakar dengan berbagai variasi bahan tambahan (LBB) dan suhu bakar diperoleh data bahwa suhu bakar optimum diperoleh 1000 oC dengan kadar LBB 30 %. Dari uji coba ini terlihat bahwa semakin tinggi kadar LBB dan suhu bakar semakin tinggi pula kekuatannya, hal ini disebabkan bahwa pemberian bahan tambahan tersebut memberikan kontribusi kestabilan fisis, kimia dan sifat sintering dari bahan tersebut. Indikasi perubahan sifat fisis ini dapat terlihat pula pada tahap
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
pengeringan dan setelah dibakar, dimana lumpur asli banyak mengalami retak dan pecah setelah mengering dan dibakar sedangkan contoh uji yang beri bahan tambahan antara 20 s/d 30 % cukup stabil keras dan memiliki kekuatan yang lebih tinggi. 4. Uji agregat. Hasil pengujian agregat buatan (ARTA) memberikan nilai kekerasan yang cukup baik dengan performance butir yang sangat bagus, dan sifat fisis lain (berat jenis, penyerapan air, bobot isi) memenuhi kriteria agregat ringan buatan (ALA), hal ini disebabkan adanya kadar alumina yang cukup tinggi sehingga mengalami pengembangan saat dibakar.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan
Lumpur sidoarjo (LUSI) dapat dikembangkan sebagai bahan bangunan keramik khususnya agregat ringan buatan (ARTA). Karena Lumpur tersebut sangat halus dan memiliki sifat kepekaan pengeringan serta nilai susut yang tinggi, maka diperlukan bahan tambahan berupa fly ash/ abu batu bara atau pasir silica untuk meningkatkan kekuatan dan stabilitasnya. Untuk pembuatan agregat, suhu bakar optimum dapat dicapai pada 1000 oC, dengan waktu sintering selama 5 s/d 10 menit.
29
2. Rekomendasi
Untuk pengembangan agregat skala produksi perlu disesuaikan dengan pola penanganan lumpur dilapangan, untuk menjaga keselamatan kerja dan keamanan lingkungan serta mendapatkan hasil endapan yang cukup baik sehingga mudah dalam penanganan dan pengolahannya; Bila akan didirikan unit produksi sebaiknya berlokasi disekitar bencana untuk memudahkan dalam penyediaan bahan sekaligus memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat. Kelayakan secara ekonomis dari unit usaha ini perlu dikaji lebih lanjut.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
KEPUSTAKAAN 1. Craig FF-budi Susilo.S, Mekanika Tanah, Edisi keempat, Penerbit Erlangga, Jakarta-1995 2. Fanani Hamzah, dkk, Laboratorium Teknologi Keramik – Balai Besar Industri Keramik Bandung, 1995. 3. Suripto MA, Teknologi Bahan Bangunan dari Tanah Liat, Balai Besar Industri Keramik, Bandung, 1995. 4. Watson, DA, Construction Materials and processes, Mc. Graw Hill Book Company, 1972. 5. Lasino, dkk, Pengetahuan Bahan dibidang sarana dan prasarana kePU-an, buku pegangan kuliah Pusdiktek Bandung, 1997. 6. Randing, Penelitian Tanah Liat dari Lahan Gambut untuk Bahan Bangunan, Bandung 1997. 7. SNI 03-2461-2001, Spesifikasi Agregat Ringan untuk Beton Struktur.
29
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
29
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
29
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
29
PENGEMBANGAN INTERLOCKBLOCK UNTUK MENURUNKAN BIAYA KONSTRUKSI RUMAH Oleh : WS. Witarso, peneliti Puslitbang Permukiman
Abstrak Puslitbang Permukiman telah banyak menghasilkan studi mengenai bahan bangunan alternatif berbasis limbah, namun masih dalam skala laboratorium. Oleh sebab itu pada tahun 2006 dilakukan studi lanjutan yang lebih difokuskan ke arah scale up, atau dengan kata lain lebih mengarah pada sistem produksi yang bersifat massal yang sekiranya dapat dikelola oleh industri tingkat UKM . Mengacu pada studi-studi terdahulu bahan limbah yang digunakan untuk pembuatan komponen dinding non struktural adalah limbah industri (Spent RCC) dan limbah agro (sekam padi dan serat kayu) yang produknya berupa interlockblock dan hollowopanel. Dengan demikian , maksud dan tujuan studi yang bertajuk ”Pengembangan Bahan Bangunan Berbasis Limbah” tersebut adalah memanfaatkan limbah industri dan limbah agro menjadi komponen dinding non struktural yang dapat diproduksi secara massal skala UKM, sehingga output yang diharapkan selain menghasilkan bahan bangunan alternatif, juga dapat menghasilkan model unit produksi dan model aplikasi komponen dinding tersebut pada Rumah Sederhana Sehat (RSH). Untuk dapat mencapai output tersebut, maka lingkup kegiatan studi tersebut mencakup identifikasi potensi bahan baku, uji laboratorium skala penuh, rancang bangun unit produksi dan model aplikasi pada RSH. Dalam tulisan ini pembahasan akan dibatasi pada bagian unit produksi interlockblock dan aplikasinya pada model RSH, untuk mengkaji apakah sistem produksi masalnya sudah efisien dan biaya pemasangan sebagai dinding lebih murah dibanding dinding lainnya atau tidak. Untuk sistem produksi dengan menggunakan cetakan multimoulding (getar dan tusuk) ini ternyata produktivitasnya belum dapat bersaing dengan cetakan sistem conblock (impact dan getar), sedang pemasangan sebagai dinding dibandingkan terhadap pasangan bata merah dan pasangan conblock, menunjukkan bahwa biaya pemasangan interlockblock paling rendah dibanding kedua jenis pasangan lainnya. Kata kunci : interlockblock, limbah industri, biaya pemasangan. Abstract The Research Center for Human Settlement has many research products concerning of building materials that based on industrial wastes, but commonly still on laboratory scale. Refering to them, the researchers inniciated to continues those researchs and provides to scale up oriented, how to mass production scale and that’s possible to be managed by small and medium scale industrial. According to the latest research, the waste will be used for the wall component are Spent of RCC (Residual Catalytic Cracking) and agro wastes ( rice hush and timber ), with two kind of products, namely interlockblock and hollowpanel. In this article will be disccused of interlockblock only. This research was focused how to produce the interlockblock within efficient procedure, and how to apply to the low cost house so far as possible to get lower construction cost. Actually, the productivities of multimoulding system is still lower than conblock system ( impact and vibrate ). But while the interlockblock wall is compaired with masonry wall and conblock wall, actually the interlockblock construction cost is the lowest. Keywords : interlockblock, industrial waste, construction cost. Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
31
PENDAHULUAN Latar Belakang Puslitbang Permukiman sebagai lembaga riset bidang permukiman telah banyak melakukan riset pemanfaatan limbah sebagai bahan bangunan, yang menghasilkan bahan bangunan alternatif, namun masih sebatas skala laboratorium. Untuk itu pada tahun 2006 riset pemanfaatan limbah sebagai bahan bangunan tersebut ditindak lanjuti kedalam studi tingkat scale up dengan tajuk kegiatan “Pengembangan Bahan Bangunan Berbasis Limbah” dengan menitikberatkan pada aspek produksi massal dan aplikasinya pada Rumah Sederhana Sehat (RSH). Salah satu limbah industri yang digunakan dalam studi tersebut adalah sisa pengolahan BBM yang lebih dikenal dengan sebutan Spent RCC (Residium Catalytic Cracking), dengan produknya berupa bata cetak dengan alur dan lidah, atau lebih dikenal dengan sebutan INTERLOCKBLOCK. Sedangkan limbah agro yang digunakan dalam studi ini adalah sekam padi dan serat kayu, dengan produknya berupa panel berlubang (HOLLOWPANEL). Kedua jenis bahan tersebut di-uji coba produksikan menggunakan mesin-mesin dalam unit produksi yang dirancang dapat memproduksi secara massal dan dapat dikelola oleh industri skala UKM. Dengan sistem produksi massal ini dapat dianalisis produktif tidaknya sistem tersebut, murah tidaknya biaya produksi, dan setara tidaknya investasi unit produksi untuk produsen tingkat UKM. Kedua jenis bahan bangunan alternatif tersebut di uji cobakan (diaplikasikan) pada model RSH sistem Risha, sehingga dapat dianalisis upah pemasangannya
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
lebih murah atau lebih mahal bila dibanding dengan pasangan bata merah atau pasangan conblock, karena kedua jenis pasangan yang disebutkan terakhir merupakan jenis pasangan dinding yang sudah sangat populer di masyarakat. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa studi ini selain menghasilkan 2 macam jenis komponen dinding non struktural yang berbahan baku limbah industri dan limbah agro, juga menghasilkan model unit produksi yang terdiri dari beberapa mesin /alat untuk memproduksi interlockblock maupun hollowpanel secara massal. Selain itu studi ini juga menghasilkan model RSH sebagai uji aplikasi kedua jenis komponen dinding tersebut. Meskipun studi ini mencakup 2 jenis produk yaitu interlockblock dan hollowpanel, baik dari aspek bahan baku, teknik produksi skala massal, maupun aplikasi pemasangan sebagai dinding pada RSH, namun dalam tulisan ini pembahasan akan dibatasi pada salah satu produknya yaitu INTERLOCKBLOCK, khususnya proses produksi dan aplikasi pemasangannya pada RSH.
Permasalahan Permasalahan yang harus dijawab dalam studi ini adalah bagaimana limbah industri (Spent RCC) dan limbah agro (sekam padi dan serat kayu) dapat dimanfaatkan sebagai komponen dinding yang dapat diproduksi secara massal dan dapat diaplikasikan untuk pembangunan RSH di masyarakat luas.
1
Hipotesa Pemanfaatan limbah industri dan limbah agro sebagai komponen dinding non struktural yang dapat diproduksi secara massal, sehingga dapat menekan biaya konstruksi RSH (bahan dan upah). Tujuan Secara utuh penelitian ini bertujuan memanfaatkan limbah industri dan limbah agro menjadi komponen dinding non struktural yang memenuhi standar dan dapat diproduksi secara massal skala industri tingkat UKM. Selain itu juga bertujuan agar komponen dinding non struktural tersebut dapat diterapkan menjadi suatu model RSH Metodologi Metodologi yang digunakan untuk pelaksanaan studi ini adalah metode deskriptif, komparatif, analitik, rancang bangun, dan uji laboratorium sbb:
Pendataan potensi sumber bahan baku limbah untuk jenis terseleksi/terpilih ; Perancangan bentuk dan dimensi komponen dinding non struktural (interlockblock dan hollowpanel) ; Perancangan dan pembuatan model alat produksi ; Pencetakan dan pengujian interlockblock & hollowpanel; Perancangan / pemilihan RSH sebagai model; Pembuatan model unit produksi interlockblock dan hollowpanel skala industri setara UKM Uji coba penerapan interlockblock dan hollowpanel sebagai dinding non struktural pada RSH;
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
Analisis ekonomi terhadap biaya produksi dan biaya pemasangan interlockblock dan hollowpanel pada RSH Workshop atau diskusi teknik dengan menghadirkan para nara sumber dan
stake holders
TINJAUAN PUSTAKA 1. Pemanfaatan Spent RCC untuk mortar dan beton Dari kajian terdahulu bahwa Spent RCC dapat digunakan untuk campuran mortar maupun beton, dalam komposisi optimal sampai 30% tidak mengurangi kekuatan campuran. Dari sifat kimiawi dan besaran butir (kehalusan) Spent RCC dalam adukan berfungsi sebagai substitusi PC. Dari segi potensi, PT Pertamina Balongan Indramayu dapat menghasilkan spent RCC sekitar 10 – 16 ton per hari. 2. Sekam Padi dan Limbah Serat Kayu Berhubung kedua jenis limbah agro ini sebagai biomasa, maka limbahnya masih mengandung selulosa, glukosa, lemak dan lignin, sehingga untuk dapat terikat dengan semen harus dilakukan perlakuan awal (treatment) terlebih dahulu. Beberapa cara perlakuan awal adalah dengan oksidasi, waterproofing, netralisasi dan cara akselerator. Cara yang paling sederhana adalah cara oksidasi dengan merendamnya kedalam air kapur beberapa jam. Sedangkan dari segi potensi, daerah pantura Jawa saja dalam 1 tahun dapat menghasilkan sekam padi sekitar 12.500.000 ton, sementara di Kalimantan Selatan dalam 1 tahun dapat menghasilkan limbah sisa pengolahan
2
kayu dalam bentuk sortimen, serbuk dan sebetan sebanyak 1.500.000 M3.
Tukang Batu, 0,32 )OH Pembantu Tukang dan 0,01 OH Kepala Tukang.
3. Standar Nasional Indonesia (SNI) Beberapa SNI yang dijadikan rujukan dalam studi ini, diantaranya adalah: - SNI 15-2049-1990 : Semen Portland, yang mengatur persyaratan kehalusan, waktu pengikatan, serta unsur-unsur yang terkandung, sebagai benchmark dalam pengujian Spent RCC, mengingat spent RCC sebagai substitusi PC - SNI 03-3122-1992 : Panel Beton Ringan Berserat, yang mengatur persyaratan tampak permukaan, toleransi ukuran, dan persyaratan kekuatan, sebagai acuan dalam pengujian hollowpanel - SNI 03-6821-2002 : Bata Cetak Beton, yang mengatur persyaratan kekuatan bata cetak beton, baik berlubang maupun yang pejal, sebagai acuan dalam menguji kekuatan interlocblock. - SNI tentang Analisa Biaya Konstruksi Dalam SNI ini telah ditentukan indek bahan dan indek upah untuk menghitung biaya pelaksanaan satuan pekerjaan tertentu, dalam hal ini khusus dicuplik 2 jenis pekerjaan dinding, yaitu pekerjaan pasangan dinding bata merah, dan pasangan dinding conblock, yang akan digunakan sebagai pembanding dengan pekerjaan pasangan dinding interlockblock dan dinding hollowpanel. Untuk memasang 1 M2 dinding pasangan bata merah berikut plesteran diperlukan 0,25 OH Tukang Batu, 0,52 OH Pembantu Tukang dan 0,025 OH Kepala Tukang. Untuk memasang 1 M2 dinding pasangan conblock HB 10 diperlukan 0,10 OH
4. Kepmen Kimpraswil 403/KPTS/M/2000, yang merupakan pedoman teknis dalam pelaksanaan rumah sederhana sehat ini mengatur / mensyaratkan tentang konsepsi, pemilihan prototipe, persyaratan kesehatan dan kenyamanan, dan pola pertumbuhan RSH.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
5. Usaha Kecil Menengah (UKM) Ada beberapa batasan tentang UKM, menurut Dep. Perindustrian (UU no 9/1995), suatu perusahaan disebut UKM bila investasi per tenaga kerja maksimal Rp. 625 juta dengan jumlah pekerja dibawah 20 orang.Menurut Dep Keuangan UKM bila nilai asset atau omset maksimal Rp. 600 juta. Sementara dari Kadin memberi batasan bahwa UKM itu bila omset maksimal Rp 600 juta dengan tenaga maksimal 300 orang. 6. RSH Sistem Risha Rumah Instan Sederhana Sehat (Risha) merupakan salah satu RSH produk PUSKIM yang telah memperoleh hak patent, merupakan sistem membangun RSH dengan pola knockdown dengan menggunakan komponen struktur beton pracetak. Berhubung studi ini menghasikan komponen dinding non struktural dan harus di-ujicobakan diaplikasikan pada RSH, maka sistem Risha ini dianggap tepat sebagai model aplikasi kedua jenis komponen dinding non struktural tersebut (interlockblock dan hollowpanel), namun harus dicarikan solusi untuk jointing antara komponen struktural dengan interlockblock maupun dengan hollowpanel, mengingat penampang strukturalnya rata sedangkan
3
penampang interlockblock dan hollowpanel berbentuk alur dan lidah. Untuk itu diperlukan alat sambung bantu berupa baja siku atau profil kayu berbentuk segitiga 7. Interlockblock Salah satu hasil studi tahun sebelumnya yang menggunakan interlockblock adalah Rumah Cepat Bangun (RCB). Produk interlockblock ini diuji cobakan pada RSH tipe 25 M2 yang disebut Camperenik. Interlockblock dipasang tanpa menggunakan adukan, tetapi dibantu dengan pasak ke arah vertikalnya. Unsur strukturalnya (kolom, sloof, ringbalk) dibuat sistem pracetak dengan bahan baku sama dengan bahan interlockblock, yaitu campuran 1PC : 2PS : 3 Split + 1% conplash. Mengingat inetrlockblock terdiri dari bidang alur dan lidah, sementara bidang horisontalnya diikat dengan pasak, mengakibatkan pemasangannya agak sulit untuk memperoleh presisi. 8. Dasar-dasar Analisa Ekonomi Teori ini mengajarkan bagaimana menganalisis suatu pembuatan unit produksi (pabrik) profitable tidaknya, layak tidaknya pabrik tersebut dibangun, dengan menggunakan data input berupa produktivitas, biaya produksi, biaya investasi ( mesin dan operasional), besaran bunga bank, dan jangka waktu BEP yang diinginkan. Analisisnya menggunakan penghitungan besaran BCR (Benefit Cost Ratio) dan NPV (Net Present Value) dengan menggunakan rumus
P
Cost 1 Bunga tahunke
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
dan
P
Benefit
1 Bunga tahunke
Pabrik tersebut disebut profitable atau layak untuk dibangun dan dioperasionalkan apabila: nilai BCR > 1 dan nilai NPV positif HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam tulisan ini hanya dibatasi pembahasan untuk interlockblock, khususnya aspek produksi dan aplikasinya pada pasangan dinding
1.Teknik Produksi 1.1.Mencetak dengan Multimoulding Dibandingkan dengan teknik produksi yang diuji cobakan pada studi sebelumnya, maka dengan menggunakan teknik multimoulding ini produktivitasnya jauh lebih banyak dan ruang kerja yang dibutuhkan lebih sedikit. Dengan multimoulding ini teknik pencetakannya adalah dengan pemadatan sistem meja getar dan tusuk. Oleh sebab itu dibutuhkan adukan agak basah. Konsekuensinya ”setting time”nya jadi lama, dan pelepasan dari cetakan juga agak sulit. Dengan alat seperti pada Gambar 1 di bawah ini, sekali mencetak dapat menghasilkan 5 buah interlockblock, yang dilayani oleh 4 orang pekerja. Dalam 1 hari kerja dapat mencetak 7 –
4
10 putaran, berarti dapat menghasilkan 35 – 50 buah interlockblock. Produktivitas ini memang masih jauh dibawah produksi conblock, yang bisa mencapai 500 buah per hari. Kendala yang dihadapi, sehingga produksi ini terkesan lambat adalah: Disain cetakan masih dianggap relatif ”rumit”, sehingga untuk merakit (setting) dan membongkar cetakan masih lambat. Merakit diperlukan waktu rata-rata 30 menit, membongkar cetakan dan melepaskan produk bata memerlukan waktu rata-rata 80 menit. Hal ini kadang-kadang terjadi waktu luang (jeda). Kalau tersedia cetakan lebih dari 1 unit, maka saat menunggu setting time, bisa melakukan pencetakan dengan cetakan no 2, demikian seterusnya, sehingga waktu bisa efektif. Para pekerja belum terbiasa dengan cetakan tersebut; ”Setting time” adukan relatif lama, sehingga bata tidak dapat segera dilepaskan dari cetakan, Idealnya, produktivitas harus dapat menyamai dengan produksi conblock, yaitu sekitar 500 buah / hari, dengan demikian harga jualnyapun menjadi lebih murah. Hal ini dapat dicapai dengan 2 kemungkinan; pertama memperbanyak cetakan multimoulding, atau cara kedua dengan mengubah sistem cetaknya seperti metoda conblock (impact dan getar), sehingga bisa menggunakan adukan agak kering, berarti ”setting time”nya lebih cepat dan mudah melepaskan dari cetakan. Dengan demikian proses produksinya sangat cepat.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
Gambar 1 : Alat Cetak Multimoulding untuk Interlockblock 1.2. Komposisi Adukan dan Kebutuhan Bahan Berdasarkan hasil studi sebelumnya dan setelah dilakukan ”recek” uji laboratorium skala penuh dalam bentuk block, agar menghasilkan kuat tekan sesuai dengan yang disyaratkan dalam SNI, maka komposisi untuk interlockblock dipilih 1PC : 8PS+30%RCC(terhadap berat PC). Dengan komposisi seperti tersebut diatas, maka untuk 1 kali mencetak ( 5 buah block) dibutuhkan bahan-bahan sbb: PC : 16,25 Kg Pasir : 0,102 M3 RCC : 4,9 Kg Solar : 0,15 L Dengan demikian bila direncanakan dalam 1 hari dapat memproduksi 500 buah interlocblock (merefer pada produksi conblock), maka kebutuhan bahannya menjadi: PC : 1.625 Kg Pasir : 10,20 M3 RCC : 490 Kg Solar : 15 L 1.3. Biaya Produksi Dengan asumsi produktivitas 1 hari mencapai 500 buah interlockblock, maka biaya produksi dapat dihitung seperti pada tabel 1 di bawah ini.
5
1.4. Profitable Untuk mengukur profitable tidaknya atau layak tidaknya usaha produksi interlockblock ini, perlu dilakukan perhitungan BCR (Benefit Cost Ratio) dan NVP (Net Present Value), bila nilai BCR > 1 dan nilai NPV positif, maka usaha ini profitable BCR =Y/X, NVP = Y-X Dimana X = biaya (cost) Y = benefit (keuntungan) Dengan asumsi bunga Bank flat 15% dan jangka waktu 5 tahun, maka perhitungan nilai X (cost)dan nilai Y (benefit) seperti pada Tabel 2 dan Tabel 3 di bawah ini.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
6
Berdasarkan kedua tabel tersebut, maka nilai BCR = Y/X = 3,575,209,299.75/3,176,693,970.47 = 1.125 ( lebih besar dari 1) NVP = Y – X = 3,575,209,299.75 – 3,176,693,970.47 = 398,515,329.28 (positif)
dinding conblock, bagian yang bersinggungan dengan kolom praktis di cor setempat bersamaan dengan pemasangan interlockblocknya. (Lihat gambar 3 dan 4 di bawah ini)
Berhubung nilai BCR lebih besar dari 1 dan nilai NPV positif, maka pabrik ini layak untuk dikerjakan dan dioperasionalkan. r 1.4. Pemasangan Interlockblock Seperti dikemukakan di depan bahwa interlockblock ini kedua sisi tegaknya ber alur dan berlidah (Lihat Gambar 2), sehingga dalam pemasangan sebagai dinding siar tegak tidak perlu diberi adukan. Adukan tipis hanya diberikan pada siar horisontal saja.
Gambar 3 : Dipasang pada kolom struktur Gambar 2 Bentuk dan dimensi interlockblock Bila interlockblock dipasang pada elemen struktur yang sudah tersedia (misalnya kolom ) seperti halnya pada RSH sistem Risha (kolom pracetak), maka harus disediakan alat bantu sambung berupa profil baja siku atau profil kayu, agar alur dan lidah pada interlockblock dapat terkunci. Namun bila dipasang dengan kolom praktis cor setempat, maka pengerjaannya seperti halnya memasang
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
Gambar 4 : Dipasang pada kolom praktis
7
1.5. Biaya Pemasangan Dibandingkan dengan pemasangan dinding bata merah dan pemasangan dinding conblock, dengan menggunakan interlockblock ini biaya pemasangan ( dalam arti upah pemasangannya saja) termasuk yang paling murah. Perbandingan antara ketiga jenis pasangan dinding tersebut seperti pada Tabel 4 di bawah ini dengan merujuk pada SNI Analisa Biaya Konstruksi.
interlockblock ini diaplikasikan untuk mengisi dinding non struktural pada RSH Sistem Risha tipe 36, seperti pada Gambar 5 dibawah ini.
Gambar 5 : Aplikasi interlockblock pada RSH Sistem Risha T-36
Dari ketiga jenis pasangan dinding tersebut, ternyata menggunakan interlockblock biaya (upah pasang)nya paling murah (Th.2006), yaitu hanya Rp. 9.762,50 / M2 1.6. Aplikasi Interlockblock pada RSH Untuk menguji tingkat aplikatif dan nilai ekonomis (cepat pasang), maka
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
8
KESIMPULAN 1. Bahan baku Mempertimbangkan aspek potensi dan sifat-sifat fisik, maka limbah industri yang digunakan untuk pembuatan interlockblock adalah Spent RCC, sedangkan sekam padi dan serat kayu untuk pembuatan hollowpanel. Fungsi limbah tersebut dalam campuran adalah : Spent RCC : sebagai substitusi PC; Sekam padi & serat kayu : sebagai filler 2. Komposisi dan Kekuatan Komposisi bahan baku untuk interlockblock adalah 1PC:8PS+30%Spent RCC(terhadap berat PC). Berdasarkan pengujian laboratorium skala penuh, dengan komposisi tersebut diperoleh kuat tekan (f’c) rata-rata 21,45 Kg/Cm2. Sementara yang disyaratkan dalam SNI adalah minimal 20 Kg/Cm2 untuk mutu IV. 3. Teknik Produksi Dengan menggunakan cetakan multimoulding, diperoleh produktivitas lebih banyak, meskipun belum setara dengan produk conblock. Dengan 2 unit multimoulding hanya diperoleh produksi 35 – 50 buah interblock per hari. Idealnya bisa menyamai produktivitas pembuatan conblock, yang mencapai 500 buah per hari. Untuk mencapai ideal tersebut dapat dilakukan dengan penambahan cetakan multimoulding atau mengubah sistem produksi seperti cetak conblock yaitu sistem impact dan getar dengan adukan agak kering.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
4. Profitable Dengan menggunakan perhitungan BCR dan NPV, pendirian unit produksi interlockblock dianggap profitable (layak untuk dilaksanakan), karena nilai BCR nya lebih besar dari 1 dan nilai NPV positif, dengan catatan : a. Produktivitas mencapai 500 buah / hari; b. Produk dapat terjual hingga 90%, dengan harga jual Rp. 5.000/buah; c. BEP direncanakan dalam waktu 5 tahun, dengan Bunga Bank flat 15% / tahun; d. Investasi peralatan/mesin dilakukan secara bertahap 5. Teknik Pemasangan Untuk yang berhubungan dengan kolom struktur harus dibantu dengan alat bantu sambung berupa besi siku atau profil kayu; Untuk yang berhubungan dengan kolom praktis dapat dipasang seperti halnya conblock, kolom praktis dicor setempat bersamaan dengan pemasangan interlockblock; Bidang vertikal tidak perlu diberi adukan, sedangkan bidang horisontal pakai adukan tipis, sekaligus untuk mempermudah memperbaiki posisi dan presisi block; Pola pemasangan bisa zigzag atau menerus (siar vertikal lurus menerus)
9
DAFTAR PUSTAKA 6. Biaya Pemasangan Dibanding dengan pasangan dinding bata maupun pasangan dinding conblock, pasangan dinding dengan interlockblocklah yang paling murah Untuk setiap M2 pasangan dinding, upah kerjanya adalah sbb (Th 2006-Bandung): Dinding bata merah : Rp 25.810,Dinding conblock : Rp. 13.400,Dinding interlockblock : Rp. 9.762,50
1. Edi Nur, Moch, Dasar-dasar Analisa Ekonomi untuk Prasarana Air Bersih, Puslitbang Permukiman, 2005; 2. E. Paul De Garmo dkk, Ekonomi Teknik, Edisi X, PT. Prenhallindo Jakarta,1997 3. Kepmen Kimpraswil 403/KPTS/M/2000, Pedoman Teknis Pembangunan RSH, Dep. Kimpraswil; 4. Pengembangan
Berbasis
Bahan Bangunan Limbah, Laporan Akhir,
Puslitbang Permukiman,2006;
5. Rumah Cepat Bangun (RCB), Laporan Akhir, Puslitbang Permukiman, 2005 6. Standar Nasional Indonesia 03-28372002, Analisa Biaya Konstruksi Pekerjaan Pasangan Dinding, BSN, 2002 7. Undang-undang R.I no 9 tahun 1995, Usaha Kecil Menegah (UKM), Departemen Perindustrian
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
10
PENGUJIAN VIBRASI BANGUNAN RUMAH SUSUN CODE PASKA GEMPA BUMI YOGYAKARTA 27 MEI 2006
Oleh : Mohamad Ridwan Peneliti Puslitbang Permukiman
Abstrak
Gempa bumi tektonik telah terjadi tanggal 27 Mei 2006 pukul 5:53:58 berdasarkan data dari USGS berkekuatan M = 6.3 Skala Richter, dengan episentrum 20 km dari kota Yogyakarta, tepatnya pada posisi 7.962° LS, 110.458° BT dan kedalaman 10 km, telah menyebabkan korban jiwa dan kerugian harta benda. Bangunan Rumah Susun Code yang berlokasi ditepi Kali Code dipusat Kota Yogyakarta merupakan salah satu bangunan yang mengalami kerusakan akibat gempa tersebut sehingga dilakukan pengujian vibrasi untuk menilai kehandalan bangunan tersebut. Berdasarkan hasil analisis vibrasi diperoleh natural period bangunan A dan B adalah 0.42 detik dan 0.43 detik yang masih mendekati nilai standar dengan penyimpangan 0.5 % dan 0.75 % masih jauh dari kritria degradasi 20 % menunjukkan bahwa bangunan tersebut memiliki kondisi yang sangat baik. Begitupun gejala resonansi antara tanah dan bangunan tidak terjadi dengan adanya perbedaan range predominan period yang cukup siginifikan. Kata Kunci : gempa Jogja, vibrasi, struktur bangunan.
Abstract
At may 27, 2006, at 5:53:58 AM the earthquake, with magnitude 6.3 Richter scale, epicentrum 20 km from Yogyakarta on the position 7.962° S, 110.458° E, 10 km depth (USGS version) was occurred, it caused several people died and lot of material lost. Code residentials building which located in the near Code river was one of damage buildings. The vibration testing was conducted to knows dynamic characteristics of that structure after earthquake. According to the result of vibration testing, we obtained the natural period of A and B buildings are 0.42 and 0.43 sec, it still in the standard requirement value, with 5 % and 7.5 % deviation, and under degradation criteria 20 %, this case shows that the building still in a good condition. The resonance phenomena between buildings and ground was not occurred because of signficant differences of both predominant period. Key Words : Yogyakarta Earthquake, vibration, building structure.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
51
PENDAHULUAN Gempa bumi tektonik yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 pukul 5:53:58 berdasarkan data dari USGS memiliki kekuatan M = 6.3 Skala Richter, dengan episentrum 20 km dari kota Yogyakarta, tepatnya pada 7.962° LS, 110.458° BT dan kedalaman 10 km, telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda, disamping itu juga telah menghancurkan sarana dan prasarana permukiman, seperti rumah tinggal, tempat ibadah, kantor pemerintahan di DI Yogyakarta dan sekitarnya. Berdasarkan data dari Dinas PU Propinsi DIY, sampai tanggal 3 Juni 2006 jumlah korban meningal sudah mencapai 6.234 orang dan 46.000 luka berat dan ringan. Sedangkan jumlah kerusakan bangunan yang terhitung sampai dengan tanggal 4 Juni 2006 adalah 50.139 runtuh, 67.713 rusak berat, 46.000 rusak sedang, dan 86.086 rusak ringan Bangunan Rumah Susun Code yang berlokasi ditepi Kali Code dipusat Kota Yogyakarta merupakan salah satu bangunan yang mengalami kerusakan akibat gempa tersebut. Bangunan ini terdiri dari 2 bangunan gedung yaitu gedung A dan B yang terdiri dari 4 lantai. Masingmasing gedung terdiri dari 3 bangunan dengan sistem struktur yang terpisah satu sama lain. Setelah kejadian gempa pada tanggal 27 Mei 2006 bangunan secara visual mengalami kerusakan pada bagian non struktural seperti retak-retak pada dinding pasangan, plesteran terkelupas, beberapa kolom dan balok mengalami retak-retak, dsb. tetapi secara structural bangunan masih dalam keadaan baik. Untuk mengetahui tingkat kehandalan bangunan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan lebih
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
detil salah satunya pengujian vibrasi.
adalah
dengan
Metoda uji vibrasi adalah salah satu metoda geofisika dengan memanfaatkan getaran alami yang terjadi pada tanah atau bangunan yang dapat ditangkap/direkam dengan menggunakan alat sejenis seismograf dengan sensitivitas yang sangat tinggi dan dilakukan analisis numerik untuk mengetahui karakteristik dinamik bangunan maupun kondisi tanah dilokasi penelitian. Maksud dari penelitian ini adalah melakukan analisis mikro vibrasi pada bangunan rumah susun Code dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik dinamik bangunan dan penilaian kehandalan struktur setelah mengalami goncangan gempa bumi tanggal 27 Mei 2006.
KAJIAN PUSTAKA Getaran Acak (Random Vibration) Teori getaran acak adalah sebuah konsep yang baik untuk menyusun getaran gempa terhadap fungsi harmonik dengan spektrum natural period yang sangat spesifik. Secara umum getaran acak x(t) dapat di susun dengan deret fungsi harmonik sebagai berikut:
X(t) = Aneiwnt n=1 An adalah amplitudo, n natural frekuensi, and t domain waktu. Amplitudo pada frekuensi ke-n dapat ditentukan dengan teorema Fourier :
2 An =
T/2
x(t)e-intdt
T –T/2 T = 1/ n, T adalah Natural period 52
METODOLOGI Power total getaran acak x(t) didefinisikan oleh :
P(x(t)) = An2/ 2 n=1
dan fungsi spectral density dari getaran acak x(t) adalah
G(n) = An2 / 2 Fungsi spectral density G(n) mengekspresikan kurva sinusoid dalam beberapa band frekuensi yang spesifik. Untuk system yang menerus, getaran gempa pada tanah dan batuan dasar, bentuk G(n) menerus dan hanya memiliki satu puncak. Frekuensi puncaknya disebut predominan frekuensi.
Metoda Pengukuran Pengukuran vibrasi dilakukan dengan system “point by point” pada tiap titik pengukuran yang sudah dirancang sesuai dengan kebutuhan. Posisi titik pengukuran berada pada tiap lantai bangunan dan diusahakan terletak pada pusat masa bangunan (gambar 1). Durasi perekaman data vibrasi dilakukan selama kurang lebih 1 menit untuk setiap titik sehingga dalam proses digitasi dengan sampling frekuensi 100 Hz didapat banyak data sampling untuk kebutuhan prosesing. Seluruh proses perekaman data pada tiap titik dilakukan pada siang hari. MBT
Untuk bangunan tinggi, respons struktur x(t) disusun oleh beberapa predominan frekuensi yang diskrit karena bukan system masa yang “continuum”, tetapi sebagai “lumped mass”. Jumlah predominant frekuensi yang diperhitungkan disebut derajat kebebasan (DOF), biasanya ditulis sebagai : DOF
MBF
MBB
MGS
Ground Surface
Xn(t) = n(xn)qn(t) n=1
MUG
dimana xn(t) adalah resp[ons struktur pada DOF ke-n, n(xn) dan qn(t) adalah eigen value dan eigenvector modal. Selanjutnya, jika beberapa getaran pada bangunan bertingkat tersusun berupa fungsi harmonik maka fungsi spectral density G(n) memiliki beberapa puncak yang masing-masing merupakan nilai predominan periodnya. Untuk analisis tiga dimensi pada bangunan bertingkat, setiap lantai memiliki 3 DOF yaitu 2 translasi DOF (orthogonal) dan 1 torsion DOF. Jika bangunan memiliki 4 lantai berarti terdiri dari 4 x 3 = 12 DOF.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
MBR
Base Rock
Gambar 1. Lokasi titik pengukuran pada tiap lantai bangunan
Dikarenakan baik bangunan gedung A dan B terdiri dari beberapa bangunan dengan menggunakan system struktur yang terpisah, maka pengukuran dilakukan pada seluruh bangunan seperti terlihat pada gambar 2. Arah sensor diset sesuai dengan 53
bentuk konfigurasi bangunan yaitu Ch-1 searah memanjang bangunan, Ch-2 tegak lurus dengan arah memanjang bangunan, dan komponen vertical diset bebas. Pengukuran tanah dilakukan pada dua titik dilokasi sekitar bangunan. 1st – 4th floor
Ch-2 1
2
3
4
Ch-1
5
1-5
Ch1
Gambar 3. Foto-foto peralatan yang digunakan untuk pengukuran vibrasi
Ch-2
DATA PENGUKURAN DAN ANALISIS
Ket.
4th floor
Posisi Alat Arah Sensor
Gambar 2. Arah sensor dan titik-titik pengukuran
Metoda Analisis Secara umum beberapa teknik yang telah dikembangkan untuk menganalisis data vibrasi pada bangunan gedung dapat diuraikan dalam beberapa tahapan sebagai berikut : Analisis spektrum Fourier untuk menentukan fungsi spectral density. Perhitungan spektral ratio horizontal dan vertikal . Perhitungan natural period tanah dan bangunan. Membandingkan nilai natural period bangunan existing dengan persyaratan yang dilakukan dalam disain. Peralatan yang digunakan adalah satu set mikrotremometer yang terdiri dari : a. Seismometer ( DK - 3 CH ) b. Amplifier c. Data Recorder ( -270 ) d. Synchroscope ( type 305 )
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
Data Pengukuran Pada prinsipnya pengukuran data vibrasi gedung atau tanah pada setiap titik pengukuran berupa data analog pada pita kaset magneticscale dan plot pada kertas berpetak. Vibrasi tanah/gedung ditangkap oleh sensor dan dikirim kealat recorder melalui amplifier. Hasil proses digitasi data pada setiap titik dapat dilihat pada gambar 5. Proses perekaman data pada seluruh titik pengukuran dilakukan dalam 3 komponen arah yaitu sejajar dan tegak lurus arah memanjang bangunan, dan satu komponen vertical, dengan menggunakan parameter kecepatan dalam domain waktu dengan maksud untuk memudahkan pengolahan data. Untuk seluruh gedung rusun Code ini dilakukan pengukuran pada 15 titik pada gedung A dan 11 titik pada gedung B. Analisis dan Pembahasan a) Natural Period Bangunan Untuk memperoleh kurva distribusi frekuensi dilakukan proses transformasi Fourier dengan menggunakan metoda FFT (Fast Fourier Transform). Cara ini membutuh data sejumlah 2n atau idealnya 54
sekitar 1024, 2048, dst. Sehingga perlu dilakukan seleksi gelombang pada rangkaian data pengukuran yang dianggap mencerminkan kondisi lokasi pengukuran. Natural period tanah/bangunan diperoleh dari amplitudo maksimum kurva power spectral ratio komponen horizontal terhadap vertikal. Getaran pada bangunan tinggi merupakan contoh sistem masa yang tidak “continuum” tetapi sebagai “lumped mass”, sehingga respons struktur disusun oleh beberapa predominan frekuensi yang diskrit. Hal ini terlihat dari kurva spectral ratio hasil analisis pada gambar 6. Dengan mengambil nilai puncak predominan period seperti yang digambarkan pada gambar 6, akan didapatkan range predominan period yang cukup lebar seperti contoh pada gedung A1 predominan period untuk mode pertama antara 0.37 sampai 0,46 detik dengan nilai rata-rata 0.41 det. Gejala ini disebabkan sensitifitas parameter dalam perhitungan numerik saat proses transformasi fourier seperti interval waktu (time interval) dan jumlah digitasi data (data digitizing). Tetapi pada bangunan lain diperoleh hasil yang cukup baik dengan range predominan period yang tidak terlalu lebar bahkan hampir sama. Secara keseluruhan data hasil analisis untuk setiap titik pengukuran adalah sebagai berikut : No.
Location
1
Lantai 1
2
Lantai 4 Tn/n
GEDUNG A-1 Perioda Mode Vibrasi 1 2 3 4 0.4 6 0.3 7 0.4 1
0.1 5 0.2 6 0.2 0
0.1 3 -
0.0 9 -
0.1 3
0.0 9
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
No.
Location
1
Lantai 1
GEDUNG A-2 Perioda Mode Vibrasi 1 2 3 4 0.4 5
2
Lantai 4 Tn/n
No. 2 3 4
No. 1 2 3 4
No. 1 2 3 4
No. 1 2
Location Lantai 2 Lantai 3 Lantai 4 Tn/n
Location Lantai Lantai Lantai Lantai Tn/n
1 2 3 4
Location Lantai Lantai Lantai Lantai Tn/n
1 2 3 4
Location Lantai 1 Lantai 4 Tn/n
0.4 0 0.4 3
0.2 0 0.2 0 0.2 0
0.1 2 0.1 5 0.1 4
0.0 9 0.0 9 0.0 9
GEDUNG A-3 Perioda Mode Vibrasi 1 2 3 4 0.46 0.43 0.48 0.45
0.27 0.27 0.31 0.28
0.14 0.14 0.14 0.14
-
GEDUNG A-4 Perioda Mode Vibrasi 1 2 3 4 0.39 0.43 0.42 0.45 0.42
0.20 0.27 0.27 0.27 0.25
0.14 0.17 0.17 0.14 0.15
0.09 0.09 0.09 0.10 0.09
GEDUNG A-5 Perioda Mode Vibrasi 1 2 3 4 0.39 0.39 0.41 0.40 0.40
-
-
-
GEDUNG B-1 Period Mode Vibrasi 1 2 3 4 0.45 0.45 0.45
0.20 0.24 0.22
0.12 0.18 0.15
0.09 0.09
55
No. 1 2
Location Lantai 1 Lantai 4 Tn/n
GEDUNG B-2 Period Mode Vibrasi 1 2 3 4 0.45 0.45 0.45
0.20 0.20 0.20
0.12 0.12 0.12
0.09 0.09 0.09
Hasil analisis vibrasi tanah yang dilakukan pada dua titik disekitar lokasi gedung diperoleh kurva spectral power sebagai berikut : 5
2 3 4
Location Lantai 2 Lantai 3 Lantai 4 Tn/n
0.47 0.47 0.45 0.46
0.20 0.23 0.22 0.22
0.11 0.12 0.12 0.12
Ch-1 Ch-2
4
Ch-3
Amp-mm/sec2
No.
GEDUNG B-3 Period Mode Vibrasi 1 2 3 4
3
0.08 0.08 0.08
2 1 0
1 2
Location Lantai 1 Lantai 4 Tn/n
No.
Location
1
Lantai 1
2
Lantai 4 Tn/n
0.38 0.38 0.38
0.14 0.14 0.14
0.13 0.10 0.12
0.08 0.08 0.08
GEDUNG B-5 Period Mode Vibrasi 1 2 3 4 0.4 7 0.3 6 0.4 1
0.1 4 -
0.0 9 -
0.0 8 -
0.1 4
0.0 9
0.0 8
b) Natural Period Tanah Vibrasi yang terjadi pada tanah merupakan sistem yang “continuum” sehingga getaran pada tanah dan batuan dasar memiliki bentuk kurva spectral density yang menerus dan hanya memiliki satu puncak yang akan menunjukkan nilai predominan period/frekuensi pada titik pengukuran. Semakin tinggi nilai predominan frekuensi mencerminkan kondisi tanah yang semakin keras, dan sebaliknya untuk frekuensi rendah kondisi tanah relatif lebih lunak. Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
0
10
20
30
Freq-Hz
40
50
4 Ch-1 Ch-2
Amp-mm/sec2
No.
GEDUNG B-4 Period Mode Vibrasi 1 2 3 4
3
Ch-3
2
1
0 0
10
20
30
Freq-Hz
40
50
Gambar 4. Spectral power pada titik 1 dan titik 2.
Dari gambar 4 didapatkan predominant period dalam range antara 0.20 – 0.25 detik, yang mencerminkan kondisi tanah dilokasi tersebut termasuk jenis tanah keras. Tanah keras hasil analisis vibrasi menunjukkan kondisi tanah yang stabil dan padat. Kondisi tanah ini akan memberikan amplifikasi gelombang gempa yang lebih kecil dibandingkan tanah lunak sehingga relatif lebih aman terhadap bangunan.
56
c) Karakteristik Dinamik Struktur Berdasarkan konsep tiga dimensi dinamika struktur, vibrasi bangunan dapat diuraikan dalam bentuk dua arah translasi dan satu arah torsi dalam beberapa bentuk mode vibrasi yang masing-masing akan memiliki natural period tersendiri. Dari hasil analisis diperoleh natural period mode pertama untuk gedung A-1 dalam range 0.37 – 0.46 detik, A-2 0.40 – 0.45 detik, A-3 0.43 – 0.48 detik, A-4 0.39 – 0.45 detik, dan A-5 0.39 – 0.41 detik. Sedangkan untuk gedung B-1 memiliki predominan period 0.45 detik, B-2 0.45 detik, B-3 0.45 – 0.47 detik, B-4 0.38 detik, dan B-5 0.36 – 0.47 detik. Untuk menilai kondisi ideal bangunan, harus mempertimbangkan faktor modal yang signifikan yang bisa ketahui dengan analisis eigenvalue atau berdasarkan standar disain T = 0.1 N (N = jumlah lantai bangunan). Berdasarkan standar yang dipersyaratkan dalam disain struktur natural period untuk bangunan 4 lantai memiliki natural period 0.4 det. Bila dilihat dari hasil pengukuran, natural period bangunan A dan B masingmasing 0.42 detik dan 0.43 detik masih mendekati nilai standar (5 % dan 7.5 %) masih jauh dari kriteria degradasi 20 %. Hal ini menunjukkan paska gempa yogya bangunan masih dalam keadaan baik dan tidak banyak mengalami gangguan struktur. Perbedaan yang cukup siginifikan antara predominan period tanah dengan rata-rata 0.22 sec dan bangunan 0.38 – 0.45 detik, menunjukkan bahwa tidak akan terjadi gejala resonansi pada saat terjadi getaran gempa. Penomena resonansi dapat terjadi bila predominan period tanah dan bangunan berada dalam range yang sama.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis vibrasi pada tanah dan bangunan rumah susun code di Jogjakarta dapat disimpulkan sebagai berikut : - Jenis tanah disekitar bangunan rusun code adalah termasuk tanah keras dengan range period antara 0.20 - 0.25 detik. - Natural period bangunan rusun Code untuk gedung A adalah antara 0.39 – 0.43 dengan nilai rata-rata 0.42 detik dan gedung B antara 0.38 – 0.45 sec dengan nilai rata-rata 0.43 detik. - Dengan penyimpangan 5 % dan 7.5 % predominant period untuk kedua bangunan tersebut masih jauh dari kriteria degradasi 20 %, sehingga dapat dikatakan kedua bangunan masih dalam keadaan baik. - Perbedaan yang cukup siginifikan antara range predominan period tanah dan bangunan menunjukkan bahwa tidak terjadi gejala resonansi pada saat terjadi gempa bumi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hattori, S., and Nakajima, N., Stability of spectra of microtremors, Bull. Int. Inst. Seism. Earthq. Eng., No.16, (1978), pp. 89-103. 2. Hari Nugraha, dkk., Assesment 0f 23-
Stroty Apartment Ascott Tower in Jakarta By Mikrotremor Equipment, (2001). 3. Kanai, K. And Tanaka,T., On Microtremor VIII, Bull. Earthquake Res. Inst., Tokyo 4.
University, No. 39, (1961), pp. 97 – 114. Wendy Taniwangsa, Dynamic Analysis of
5.
(1978), pp.39 – 54. Ridwan, M., Penelitian
the Structure Utilizing Microtremor Measurement, Bulletin of IISEE, Vol.16 karakteristik Mikrotremor dan perbandingannya dengan data gempa dan data bor, Jurnal Penelitian Permukiman, vol. 16 No. 1 (2000), Puslitbang Permukiman Bandung, 16-29.
57
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2] 0
18
0
0
0 7 14
7 14
7
7
7
7 14
14
14
CodeB41 14 28
[Sec]
CodeA15
-60 40 60
0
-40 12 0
0
-12 21 28
[Sec]
CodeA25
-60 60 60
0
0
-60 40 0
-40 21 28
[Sec]
CodeA35
-60 40 60
0
-40 8 0
-8 0
21 28
[Sec]
CodeA43
12
-12 0
21
21
21 28
[Sec]
CodeB11
0
14 0 -14
8
-8 0
28
[Sec]
CodeB15
-60 60
60
0
-60 18
0
-18
0
28
[Sec]
0
0
0
0
0
0
0
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007 7
0
14
7
1 2
7
7
9 18
8
7 16
14
CodeB42
21
14
14
14
[Sec]
CodeA12
-60 60
60 0
-60 40 0
0
-40 21 28
[Sec]
CodeA23
8
0
-4 0
12 0 -12 3 4
[Sec]
CodeA33
10 0 -10 10 0 -10
-1.2 0
-2.4 21 28
[Sec]
CodeA41
10 0 -10 10 0 -10
-1.2
-2.4 0
21 28
[Sec]
CodeA44
-60 40 60
0
-40 12 0 -12 0
27 36
[Sec]
CodeB12
40 0 -40 40
-40 0
0
-6 24
21 32
[Sec]
CodeB23
-60 60
60
0
-60 40 0
0
-40
28
[Sec]
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
28
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
0
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
21
-40
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
0 0
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
60 0
14 0 -14 8 0 -8 4 0
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
-60 40 0 -40 8 0 -8 CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
CodeA11
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
[Sec]
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
14 28
40
10 0 -10 16 0 -16 4 0 -4
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
0 7 21 16
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
0
14
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
0 7
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
0
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
-40 12 0 -12
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
0
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2]
14 0 -14 8 0 -8
CH3_ES8_DC CH2_ES8_DC CH1_ES8_DC [ms-2] [ms-2] [ms-2] 12 0 -12 40 16
40
0
-40
0
0
0
40 0 -40 40
0
0
7
0
0
0
0
0
8
7
14
7
7
7
7
7
14
21
14
14
14
14
14
16
21 28
CodeA14 [Sec]
-60 40 0 -40 8 0 -8
60 0
21 28
CodeA24 [Sec]
14 0
8
0 -2 -4
0
21 28
CodeA34 [Sec]
-60 60
60 0
-60 40 0
0
-40 21 28
CodeA42 [Sec]
-4 21 28
CodeA45 [Sec]
21 28
CodeB14 [Sec]
-40 0
-6 0
24 32
CodeB22
[Sec]
-60 60
60
0
-60 12 0 -12
0
28
[Sec]
CodeB43
Gambar 5. Data vibrasi pada tiap lantai bangunan
58
10
4
2. 5
8
CodeA 1 1
50
H/ V Spect r al Rat i o
H/ V Spect r al Rat i o
H/ V Spect r al Rat i o 2
Code A 1 2
3
6
H/ V Spect r al Rat i o
40
CodeA 1 4
Code A 1 5
1 .5
30
1
20
0. 5
10
2 4 1
2 0
0 0
20 Freq-Hz
40
40
0 0
20 Freq-Hz
25
Code A 23
0
20 Freq-Hz
40
H/ V Spect r al Rat i o 20 15 10
4
5
2
40
CodeA 42
30
CodeA 41 6
20 Freq-Hz
H/ V Spect r al Rat i o
H/ V Spect r al Rat i o
8
CodeA 33
0
40
10
H/ V Spect r al Rat i o 30
0
40
20
20
10
0 20
Freq-Hz
40
0
20
30
0
40
Freq-Hz
60
40
0
0
0
0
10
20
H/ V Spect r al Rat i o
CodeA 43
CodeA 44
20 Freq-Hz
40
4
40
H/ V Spect r al Rat i o
0
40
Freq-Hz
H/ V Spect r al Rat i o CodeA 45
30
H/ V Spect r al Rat i o CodeB 1 1
3
40
20
20
2
10
1
20
10
0
0 0
20 Freq-Hz
20
Freq-Hz
40
8
4
0
0 0
40
0
20
Freq-Hz
8
H/ V Spect r al Rat i o
H/ V Spe c t r a l R a t i o
CodeB 1 4
6
3
20 Freq-Hz
40
15
H/ V Spect r al Rat i o
Codeb1 2
0
40
H/ V Spe c t r a l R a t i o
C ode B 1 5
6
C ode B 23 10
2
4
4
1
2
2
5
0
0
0
20
Freq-Hz
40
80
20
Freq-Hz
40
50
20
Freq-Hz
20
40
Fre q-Hz 16
CodeB 43
30
CodeB 42
0
40
H/ V Spect r al Rat i o
H/ V Spect r al Rat i o
H/ V Spect r al r at i o
40
CodeB 41
0
40
H/ V Spect r al Rat i o 60
0
0 0
CodeB 44
12
30 40
20
0 0
20
Freq-Hz
40
4
10
10
0
8
20
20
0
0
0
20
Freq-Hz
40
0
20 Freq-Hz
40
0
20
Freq-Hz
Gambar 6. H/V Spektral Ratio pada tiap titik pengukuran Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
59
40
Jurnal Permukiman Vol.2 No.1 Mei 2007
60
PENILAIAN PRODUKTIVITAS KARYAWAN BERDASARKAN BIAYA AIR TERJUAL DAN BIAYA OPERASIONAL (PENILAIAN PADA PERUSAHAAN AIR MINUM DI PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR) Oleh : Tibin R Prayudi Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman
Abstrak
Indeks produktifitas karyawan merupakan salah satu aspek yang penting dalam menilai kinerja manajemen Perusahaan Air Minum, yang ditentukan pada pelayanan karyawan terhadap jumlah pelanggan.hal ini masih perlu disempurnakan yaitu dengan menambahkan penilaian terhadap besarnya biaya karyawan dalam menghasilkan per m 3 air yang dijual dan dengan menghitung persentase komposisi biaya karyawan pada biaya operasional. Hal ini terbukti dari penilaian terhadap beberapa Perusahaan Air Minum yang berlokasi di Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dimana terdapat kasus bahwa walaupun pelayanan karyawan terhadap jumlah pelanggan sudah efisien tetapi dari besarnya biaya karyawan dalam menghasilkan per m3 air yang dijual tidak efisien begitu juga dengan besarnya persentase komposisi biaya karyawan pada biaya operasional tidak efisien sehingga secara keseluruhan dapat dinilai produktivitas karyawan belum efisien. Analisis data menggunakan teknis analisis ratio, hasil analisis dibahas menggunakan metode deskriptif dan dibandingkan dengan acuan pada pustaka.
Kata Kunci : Perusahaan Air Minum, Produktivitas Karyawan, Biaya Air Terjual, Biaya Operasi
Abstract
Staff productivity index is an important measurement in water utility efficiency. It depends on the ratio of staff with numbers of water tap (connections). It is also important that reduction in staff productivity index is not necessarily be interpreted as an increasing in efficiency. To complete the analysis of staff productivity, personal expenditures need also to be examined. Personal cost is presented on percentage (%) of operational cost. In addition, it is also important to examine the composition of operational cost. The two main categories of operating costs are often personal and fuel/energy consumption. Other operating costs component are such as chemicals, maintenance and miscellaneous. The staff productivity for drinking water utilities in West Java Province that only provide water service is low. On the other hand, other provinces such as DI Jakarta, West Java and East Java, have adequate grades. Analysis ratio has been used for this study and the results were compared with existing references using descriptive method. Key Words : Water City Enterprise, Staff Productivity, Sold Water Cost, Operation Cost
20
Penilaian Produktivitas Karyawan … (Tibin R. Prayudi)
Pendahuluan
Maksud dan tujuan
Latar belakang
Memberikan masukan untuk melengkapi penilaian kinerja manajemen Perusahaan Air Minum dari aspek Indeks Produktivitas Karyawan (IPK) melalui penambahan penilaian terhadap pengeluaran biaya karyawan untuk per m3 air yang dijual, dan persentase komposisi biaya operasional.
Perusahaan Air Minum yang berada di setiap provinsi di Indonesia lebih banyak yang dikelola oleh lembaga pemerintah sebagai Perusahaan Daerah Air Minum. Standar penilaian kinerja Perusahaan Daerah Air Minum sudah diatur oleh Departemen Dalam Negeri. Dalam penilaian kinerja manajemen Perusahaan Air Minum, aspek pelayanan karyawan terhadap pelanggan menjadi suatu hal yang penting terutama bila dikaitkan dengan biaya operasional dalam memproduksi air yang akan dijual. Produktivitas karyawan seharusnya tidak hanya dinilai dari berapa banyak pelanggan yang mampu dilayani oleh satu orang karyawan tetapi harus dilihat juga berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk karyawan pada saat menghasilkan satu m3 air yang akan dijual kepada konsumen. Dari latar belakang tersebut ingin diketahui apakah produktivitas karyawan Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah tercapai dan bagaimana efisiensi biaya karyawan terhadap per m3 air yang dijual serta berapa besar persentase komposisi biaya karyawan pada biaya operasional. Jadi produktivitas karyawan dapat dikatakan tercapai apabila tidak hanya menilai jumlah pelanggan yang dapat dilayani oleh seorang karyawan tetapi juga harus dinilai apakah biaya karyawan sudah efisiensi dan juga persentase biaya karyawan pada biaya operasional apakah sudah memenuhi standar yang ada.
20
Metode penelitian Sumber data yang dianalisis berasal dari data BPS mengenai Statistik Air Minum Tahun 1996-2000, yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Jakarta tahun 2001. Sampel Perusahaan Air Minum yang diambil berada di Pulau Jawa meliputi Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Data dianalisis menggunakan teknik analisis ratio, hasil analisis di bahas menggunakan metode deskriptif dan dibandingkan dengan ketentuan yang ada yang tercantum dalam kajian pustaka.
Kajian pustaka Teknik analisis ratio merupakan suatu alat analisis untuk posisi utilitas keuangan. Indikator ratio yang disajikan disini menyiapkan informasi mengenai efisiensi dan kinerja operasi. Sejak tahun 1999, Perusahaan Air Minum terutama yang dikelola oleh pemerintah seperti Perusahaan Daerah Air Minum banyak yang mengalami kesulitan dalam operasinya, hal ini terjadi akibat perubahan nilai tukar rupiah terhadap nilai mata uang asing sehingga terjadi kenaikan harga seperti harga bahan bakar minyak, listrik dan bahan kimia. Kesulitan dalam operasi menyebabkan
Penilaian Produktivitas Karyawan … (Tibin R. Prayudi)
adanya penurunan pelayanan air minum dan kinerja perusahaan. Menurut Ir.Tamin,MSc, dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah dalam makalahnya Konsep dan Tindak Lanjut Program Penyehatan PDAM, bahwa kondisi Perusahaan Air Minum bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu manajemen, teknis dan keuangan. Kinerja manajemen bisa dipengaruhi oleh pengalaman dan latar belakang pendidikan pengelola perusahaan. Disamping itu indikator kinerja manajemen dengan ratio antara jumlah pegawai dan jumlah pelanggan, bila ratio delapan pegawai per 1000 pelanggan dianggap kurang efisien,sedangkan yang efisien enam pegawai per 1000 pelanggan. Pada buku Water & Wastewater Utulitas Set 2, halaman 20, dinyatakan ratio pegawai per 1000 pelanggan disebut sebagai Indeks Produktivitas Karyawan (IPK). Indeks ini merupakan ratio yang cukup penting dalam mengukur efisiensi utilitas air minum. Menurut panduan Water & Wastewater Set 2, halaman 11 sebagai acuan IPK kurang dari 4 merupakan indeks yang memadai. Tetapi perlu dipahami bahwa pengurangan nilai IPK belum bisa di baca sebagai suatu peningkatan efisiensi.Untuk melengkapi analisis produktivitas karyawan, pengeluaran/biaya karyawan juga merupakan indikator yang dibutuhkan dalam menilai IPK. Biaya karyawan yang dikaji bisa berupa persentasenya terhadap biaya operasi. Komposisi biaya operasional meliputi biaya pegawai, bahan bakar minyak atau energi dan biaya lainnya. Biaya lainnya meliputi biaya bahan kimia, perawatan dan lainnya. Dalam suatu kasus bisa terjadi ratio jumlah karyawan terhadap jumlah
20
sambungan menurun tetapi pengeluaran atau biaya karyawan meningkat, hal ini belum mencerminkan adanya produktivitas karyawan. Pada halaman 24 di buku Water & Wastewater Set 2, ditulis bahwa range nilai persentase biaya operasional adalah sebagai berikut : Range Biaya Operasional Nilai Terendah Karyawan Energi Lainnya
11,1 % 5,5 % 11,5 %
Nilai RataRata 46,0 % 18,4 % 35,6 %
Nilai Tertinggi 73,4 % 44,0 % 63,6 %
Dari standar di atas bisa diasumsikan bahwa bila nilai persentase komposisi biaya operasional mencapai nilai terendah dikategorikan sebagai nilai kinerja yang efisien, nilai rata-rata bisa diasumsikan sebagai nilai kinerja cukup efisien, dan bila mencapai nilai tertinggi dikategorikan sebagai kinerja tidak efisien. Dari Statistik Air Minum 1996-2000, terdapat beberapa pengertian yang perlu disampaikan seperti pengertian Perusahaan Air Minum adalah perusahaan yang kegiatannya mengumpulkan, menjernihkan dan mendistribusikan air bersih secara langsung melalui pipa penyalur kepada pelanggan. Biaya karyawan adalah semua pengeluaran perusahaan untuk karyawan yaitu upah/gaji, upah lembur, hadiah, bonus, dana pensiun, tunjangan kecelakaan dan pengeluaran lainnya yang dibayarkan baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk barang.
Penilaian Produktivitas Karyawan … (Tibin R. Prayudi)
Sumber : Statistik Air Minum 1996-2000
Data Data yang dikumpulkan meliputi data jumlah karyawan, jumlah pelanggan, biaya karyawan, jumlah air minum yang dijual, biaya BBM dan listrik, biaya bahan kimia, biya lainnya, seperti tertulis pada tabel 1,2,3,4,5,6,dan 7.
No 1 2 3 4
Provinsi Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur
M3) No
Provinsi
1
Jawa Barat DKI 176415 Jakarta Jawa 181537 Tengah Jawa 237919 Timur
2
Tabel 1. Jumlah Karyawan Perusahaan Air Minum
3 4
1996 5487
1997 6117
Tahun 1998 6005
2101
2075
2995
2996
2658
4460
4620
4657
4832
4832
6441
6577
6718
6853
6787
1999 6213
2000 5269
Tabel 2. Jumlah Pelanggan Air Minum ( x 1000 pelanggan )
2 3 4
Provinsi Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur
2
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 580,13 660,39 672,83 721,94 665,8 396,70 461,24 493,42 493,42 568,0
2 3 4
20
Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur
244875 342961 346387 375352
3 4
Provinsi Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur
1996 7554
1997 8403
Tahun 1998 11129
1999 15867
2000 18041
16556
15311
11709
11835
12015
7607
8456
10536
12296
16603
7086
15911
18603
25828
37665
Sumber : Statistik Air Minum 1996-2000
485,83 568,63 592,76 641,18 690,0
Tabel 6. Biaya Bahan Kimia
648,20 714,67 775,48 826,24 867,7
( x juta
rupiah) No 1
( x juta
rupiah) 1
186777 195459 196429 227456
( x juta
1
Tabel 3. Biaya Karyawan Perusahaan Air Minum
Provinsi
201762 197625 197126 231169
Tabel 5. Biaya Bahan Bakar Minyak dan Listrik
Sumber : Statistik Air Minum 1996-2000
No
Tahun 1997 1998 1999 2000 206324 218050 322666 206908
Sumber : Statistik Air Minum 1996-2000
No
1
1996 189613
rupiah )
Sumber : Statistik Air Minum 1996-2000
No
Tabel 4. Jumlah Air Minum yang dijual (x 1000
2
1996 33384
1997 40988
Tahun 1998 1999 22200 22273
27311
30789
36641
48893
47883
19918
20999
27604
33499
38562
28503
35378
44564
57360
58999
2000 71522
3 4
Provinsi Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur
1996 5583
1997 10356
Tahun 1998 11320
1999 10146
2000 10356
14812
16275
11320
25567
14040
2510
2753
4945
6797
6183
4990
5381
7703
18225
24594
Sumber : Statistik Air Minum 1996-2000
Penilaian Produktivitas Karyawan … (Tibin R. Prayudi)
Tabel 7 Biaya lainnya
panduan Water & Wastewater Set 2, yaitu 4 karyawan melayani 1000 pelanggan, maka Perusahaan Air Minum di ke-empat provinsi tidak memenuhi persyaratan.
(x juta
rupiah) No 1
Provinsi Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur
2 3 4
1996 21393
1997 27675
Tahun 1998 1999 35193 33230
2000 24758
4897
1745
23977
23977
45857
19630
22390
28506
30916
35289
79384
19957
13487
17869
49408
Tabel 9. Rata-Rata Jumlah Karyawan dalam Melayani 1000 Pelanggan No
Provinsi
Rata-rata karyawan
Sumber : Statistik Air Minum 1996-2000
Analisis dan Pembahasan Pelayanan karyawan jumlah pelanggan
terhadap
Berdasarkan perhitungan data dari tabel 1 dan 2 maka kinerja pelayanan karyawan per 1000 pelanggan untuk Perusahaan Air Minum dari masingmasing provinsi seperti pada tabel 8. Tabel 8. Jumlah Karyawan dalam Melayani 1000 Pelanggan No 1 2 3 4
Provinsi Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur
1996 9
1997 9
Tahun 1998 9
1999 9
2000 8
5
5
6
6
5
9
8
8
8
7
10
9
8
8
8
Sumber : Hasil perhitungan dari tabel 1 dan 2.
Melihat pada tabel 8 pelayanan karyawan terhadap 1000 pelanggan hanya Perusahaan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta yang memenuhi nilai Indeks Produktifitas Karyawan (IPK) yang disyaratkan dalam Konsep dan Tindak Lanjut Program Penyehatan PDAM, yang mengusulkan 6 karyawan melayani 1000 pelanggan tetapi kalau menurut
20
1 2 3 4
Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur
9 5 8 9
Sumber : Hasil perhitungan rata-rata tabel 8.
Apabila nilai dari tabel 8 dihitung rataratanya maka hasil perhitungan seperti pada tabel 9. Dari tabel 9 di atas, bila diasumsikan dengan range penilaian efisiensi, maka nilai range antara 5 sampai 6 dinilai efisien 7 sampai 8 dinilai cukup efisien 9 sampai 10 dinilai tidak efisien, maka pelayanan karyawan terhadap 1000 pelanggan Perusahaan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta memiliki rata-rata pelayanan efisien, dengan ratarata nilai 5 memenuhi IPK Konsep dan Tindak Lanjut Program Penyehatan PDAM. Untuk Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Tengah mendapat nilai pelayanan cukup efisien, sedangkan Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki rata-rata pelayanan tidak efisien. Biaya karyawan dalam per m3 air yang terjual Dari perhitungan data pada tabel 3 dan 4, biaya karyawan per m3 air yang terjual untuk Perusahaan Air Minum dari
Penilaian Produktivitas Karyawan … (Tibin R. Prayudi)
efisien yaitu Rp 140.000 untuk per m 3 air yang terjual.Untuk Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Barat menghasilkan nilai cukup efisien. Sedangkan Perusahaan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta menghasilkan nilai tidak efisiensi.
masing-masing provinsi, hasil perhitungannya seperti pada tabel 10. Tabel 10. Biaya Karyawan per m3 Air yang Terjual (x 1000 rupiah) No 1 2 3 4
Provinsi Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur
Biaya Operasional
1996 140
1997 150
Tahun 1998 170
190
200
110
110
310
110
110
140
170
170
120
140
130
160
160
1999 150
2000 230
Sumber : Hasil perhitungan dari tabel 3 dan 4.
Dari tabel 10, apabila dibuat nilai rataratanya maka hasilnya tercantum seperti pada tabel 11.
Biaya operasional dapat dijadikan indikator untuk melihat kinerja karyawan melalui besarnya persentase biaya karyawan terhadap jumlah biaya operasional. Jumlah biaya operasional diperoleh dari hasil penjumlahan nilai pada tabel 3,5,6, dan tabel 7. Jumlah Biaya Operasional tercantum pada tabel 12. Tabel 12. Jumlah Biaya Operasional (x juta rupiah)
Tabel 11. Rata-Rata Biaya Karyawan per m3 Air yang Terjual No 1 2 3 4
Provinsi Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur
No 1
Rata-rata biaya karyawan per m3 Air yang Terjual
3 4
Rp.168.000,Rp.184.000,Rp.140.000,Rp.142.000,-
1996
1997
Tahun 1998
1999
61841
77203
94283
108136 101038
69649
74319
83468
83652 143434
49665
54598
71591
83508
119963
76627
84357
2000
96637
102588 170666
Sumber : Hasil perhitungan dari tabel 3,5,6, dan 7.
Penilaian persentase komposisi biaya perasional sesuai dengan range biaya operasional pada kajian pustaka.
Sumber : Hasil perhitungan rata-rata tabel 10.
Apabila dari tabel 11, dibuat suatu kriteria penilaian efisiensi dengan range, maka nilai: Rp.140.000 – Rp 155.000 dinilai efisien Rp.156.000 – Rp 171.000 dinilai cukup efisien Rp.172.000 – Rp 187.000 dinilai tidak efisien, dari pengeluaran biaya karyawan untuk per m3 air yang dijual secara rata-rata Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Tengah memiliki nilai yang
20
2
Provin si Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur
Persentase komposisi biaya operasional Perusahaan Air Minum di setiap provinsi dalam setiap tahun terlihat seperti pada gambar 1,2,3, dan gambar 4.
Penilaian Produktivitas Karyawan … (Tibin R. Prayudi)
100% P ROS E NTAS I
PROSENTASE
80% 60% 40% 20%
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 1996
1997
1998
1999
2000
0% 1996
1997
1998
1999
TAHUN
2000 Tenaga Kerja
Biaya Lainnya
Biaya Energi
TAHUN Tenaga Kerja
Biaya Energi
Biaya Lain
Gambar1. Persentase Komposisi Biaya Operasional Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Barat Tahun 1996 sampai Tahun 2000 100%
PROSENTASE
80% 60% 40% 20% 0% 1996
1997
1998
1999
2000
TAHUN
Tenaga Kerja
Biaya Energi
Biaya Lain
Gambar 2. Persentase Komposisi Biaya Operasional Perusahaan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1996 sampai Tahun 2000
PROSENTASI
100% 80% 60% 40% 20% 0% 1996
1997
1998
1999
2000
TAHUN
Gambar 3. Persentase Komposisi Biaya Operasional Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1996 sampai Tahun 2000
20
Gambar 4. Persentase Komposisi Biaya Operasional Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Timur Tahun 1996 sampai Tahun 2000
Dari gambar-gambar tersebut, bahwa penilaian rata-rata persentase komposisi biaya karyawan, biaya energi dan biaya lainnya mulai dari tahun 1996 sampai tahun 2000, untuk Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut : Rata-rata persentase komposisi biaya karyawan adalah 43,1 %, nilai ini mendekati nilai rata-rata standar, tetapi belum mencapai nilai terendah, sehingga Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Barat, dinilai cukup efisien dari aspek persentase biaya karyawan. Rata-rata persentase komposisi biaya energi adalah 13,5 %, nilai ini mendekati nilai rata-rata standar, tetapi belum mencapai nilai terendah, sehingga Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Barat dinilai cukup efisien dari aspek persentase biaya energi. Rata-rata persentase komposisi biaya lainnya adalah 44,3 %, nilai ini mendekati nilai tertinggi standar, sehingga Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Barat dinilai tidak efisien dari aspek persentase biaya lainnya.
Penilaian Produktivitas Karyawan … (Tibin R. Prayudi)
Rata-rata persentase komposisi biaya karyawan, biaya energi dan biaya lainnya untuk Perusahaan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta dari tahun 1996 sampai tahun 2000 adalah sebagai berikut : Rata-rata persentase komposisi biaya karyawan adalah 41,2 %, nilai ini mendekati kelompok nilai rata-rata standar tetapi belum mencapai nilai terendah, sehingga Perusahaan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta dinilai cukup efisien dari aspek persentase biaya karyawan. Rata-rata persentase komposisi biaya energi adalah 16,18 %, nilai ini mendekati kelompok nilai rata-rata, tetapi belum mencapai nilai terendah, sehingga Perusahaan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta dinilai cukup efisien dari aspek persentase biaya energi. Rata-rata persentase komposisi biaya lainnya adalah 42,6 %, nilai ini mendekati nilai tertinggi standar, sehingga Perusahaan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta dinilai tidak efisien dari aspek persentase biaya lainnya. Rata-rata persentase komposisi biaya karyawan, biaya energi dan biaya lainnya untuk Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Tengah dari tahun 1996 sampai tahun 2000 adalah sebagai berikut : Rata-rata persentase komposisi biaya karyawan adalah 39,4 %, nilai ini mendekati nilai rata-rata standar, tetapi belum mencapai nilai terendah, sehingga Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Tengah dinilai cukup efisien dari aspek persentase biaya karyawan.
mencapai nilai terendah, sehingga Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Tengah dinilai cukup efisien dari aspek persentase biaya energi. Rata-rata persentase komposisi biaya lainnya adalah 45,1 %, nilai ini mendekati nilai tertinggi standar, sehingga Perusahaan Air Minum di Provinsi JawaTengah dinilai tidak efisien dari aspek persentase biaya lainnya. Rata-rata persentase komposisi biaya karyawan, biaya energi dan biaya lainnya untuk Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Timur dari tahun 1996 sampai tahun 2000 adalah sebagai berikut : Rata-rata persentase komposisi biaya karyawan adalah 42,6 %, nilai ini mendekati nilai rata-rata standar, tetapi belum mencapai nilai terendah, sehingga Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Timur dinilai cukup efisien dari aspek persentase biaya karyawan. Rata-rata persentase komposisi biaya energi adalah 19,2 %, melewati nilai nilai rata-rata standar, tetapi belum mencapai nilai tertinggi, sehingga Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Timur dinilai cukup efisien dari aspek persentase biaya energi. Rata-rata persentase komposisi biaya lainnya adalah 35,7 %, nilai ini mendekati nilai tertinggi standar, sehingga Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Timur tidak efisien dari aspek persentase biaya lainnya. Hasil penilaian Indeks Produktivitas Karyawan (IPK) Perusahaan Air Minum di masing-masing provinsi bila ditabelkan adalah seperti pada tabel 13.
Rata-rata persentase komposisi biaya energi adalah 15,5 %, nilai ini mendekati nilai rata-rata standar, tetapi belum
20
Penilaian Produktivitas Karyawan … (Tibin R. Prayudi)
Tabel 13. Penilaian Produktivitas Pelayanan Karyawan Perusahaan Air Minum dari Tahun 1996 sampai tahun 2000
No
1 2 3 4
Provinsi
Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur
Jumlah Karyawan melayani 1000 pelanggan
Biaya Karyawan per m3 air yang dijual
Persentase Biaya Karyawan terhadap Biaya Operasional
Tidak efisien = 1 Efisien =3 Cukup efisien= 2 Tidak efisien = 1
Cukup efisien Tidak efisien Efisien Efisien
Cukup Cukup Cukup Cukup
=2 =1 =3 =3
efisien efisien efisien efisien
=2 =2 =2 =2
Total IPK 5 6 7 6
Sumber : Hasil perhitungan
Dari tabel 13, kalau diasumsikan dengan pemberian range penilaian IPK seperti IPK rendah, IPK cukup , dan IPK tinggi, melalui pemberian nilai untuk : tidak efisien = 1 cukup efisien = 2 efisien =3 maka nilai total antara 3-5 dinilai IPK rendah antara 6-8 dinilai IPK cukup antara 9-10 dinilai IPK tinggi Sehingga total nilai Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Barat adalah 5, masuk pada IPK rendah. Sedangkan Perusahaan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur masuk pada IPK cukup, karena nilai total masing-masing 6, 7 dan 6.
Kesimpulan
Produktivitas Karyawan Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Timur dalam melayani jumlah pelanggan pada umumnya tidak efisien, dengan jumlah Indeks Produktivitas Karyawan dinilai cukup. Dari penilaian ini dapat dibuktikan bahwa penilaian terhadap biaya karyawan dalam menghasilkan per m3 air yang dijual dan besarnya persentase biaya karyawan dalam biaya operasional sangat membantu dalam menyempurnakan penilaian Indeks Produktivitas Karyawan (IPK)
Produktivitas Karyawan Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Barat dalam melayani jumlah pelanggan pada umumnya tidak efisien, dengan jumlah Indeks Produktivitas Karyawan dinilai rendah. Produktivitas Karyawan Perusahaan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta dalam melayani jumlah pelanggan pada umumnya efisien, dengan jumlah Indeks Produktivitas Karyawan dinilai cukup. 20
Produktivitas Karyawan Perusahaan Air Minum di Provinsi Jawa Tengah dalam melayani jumlah pelanggan pada umumnya cukup efisien, dengan jumlah Indeks Produktivitas Karyawan dinilai cukup.
Daftar Pustaka 1. Statistik Air minum 1996 – 2000. Badan Pusat Statistik.Jakarta. 2002. 2. Tamin.Konsep dan Tindak Lanjut Program Penyehatan PDAM. 2003. 3. Technical Document. Water & Wastewater Utilities Set I & 2. Unesco.2003
Penilaian Produktivitas Karyawan … (Tibin R. Prayudi)