APOKALIPS sebagai Cerita yang Ber-Daya: Pengantar singkat kepada Pemahaman Alkitab WAHYU 8:6-9:21 Sebagaimana diulas dalam sebuah tulisan Ibu Karlina Supelli1, kita, dewasa ini, sudah semakin tersadarkan akan keterbatasan dalam memaknai konsep. Kita mulai menangkap apa yang terletak melampaui konsep. Kita pun, berikutnya menerima adanya Realitas yang melampaui konsep itu. Ringkasnya, tidak ada deskripsi antropomorfik yang bisa dikenakan kepada Realitas. Satu-satunya cara menarasikan Realitas adalah melalui imajinasi linguistik-melalui metafora. Metafora menyingkap cara baru untuk melihat apa yang diandaikan sebagai rujukannya, mentransformasikan bahasa, dan dengan demikian menghasilkan makna baru. Kendati metafora juga dalam kerangka nisbi manusia. Pada akhirnya, Realitas dan semua aspeknya telah terciutkan menjadi pesan. Ulasan Ibu Karlina yang kental dengan pemikiran Nietzche itu, memerlihatkan keberadaan kita saat ini, yang tengah ada di zaman penafsiran (the Age of Interpretation). Bahwa “tidak ada fakta dan hanya ada penafsiran”, dan kebenaran pun seolah melekatkan diri ke proposisi. Kita memahami kalimat di atas, entah, apakah juga sebagai sebuah penafsiran? Demikian, hingga kita sadari kuatnya hisapan nihilisme. Bahasa kini dipahami memunyai keterbatasan. Bahasa menunjuk ke dirinya sendiri dan mengais makna dari bahasa. Ketika terjadi konflik penafsiran, bahasa sudah kehilangan rujukan. Satu-satunya sumber acuan adalah bahasa itu sendiri tetapi bersikeras mendaku kesahihan penafsirannya, dan terutama mendaku kebenaran. Padahal makna bukan hanya bersumber di bahasa tetapi juga berisi pengalaman. Barangkali berangkat dari pengertian ini pula pak Robert memberikan tanggapan kepada Sdr. Risang mengenai masih tecerminnya konsep “teks adalah referensi realita” dalam bahan PA minggu yang lalu. Teks tidak mampu merangkum Realitas. Ia hanya mampu menandai apa yang sebenarnya tak dapat ditandai. Sehingga akhirnya, Teks memunyai “dunia”nya sendiri. Makna pun dapat diperoleh dari “dunia” teks itu. Ringkasnya, Pak Robert menawarkan untuk memerlakukan Apokaliptik sebagai Fantasi yang dapat disejajarkan dengan mimpi. Dunia mimpi, tentu lekat dengan narasi cerita yang di dalamnya terdapat metafor-metafor. Dunia mimpi ini pula memunyai daya dorong dan efek pemulihan bagi penikmatnya.
1
Orasi Ilmiah dengan bahasa yang menawan nan anggun Karlina Supelli dalam acara Nurcholish Madjid Memorial Lecture, orasinya diberi judul “Ciri Antropologis Pengetahuan”, dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Zainal Abidin Bagir (Peny.), Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme, (Jakarta: Penerbit Mizan Publika, 2011).
1
Bertolak dari pemahaman inilah, saya membatasi diri membaca bagian dari Kitab Wahyu 8:6-9:21 dengan mendekatinya sebagai sebuah narasi. Ulasan berikutnya banyak mengikuti pola yang telah dituliskan oleh Rm Martin Harun, OFM2. Bagian Kitab Suci yang kita baca hari ini (Why. 8:6-9:21), dikatakan oleh Rm Martin Harun yang menyitir A.J.P Garrow, tidak termasuk dalam “isi gulungan kitab” yang hendak menggenapi janji (utama) di awal kitab Wahyu mengenai akan disingkapkannya “apa yang seharusnya terjadi”. Bagian isi gulungan kitab itu baru mulai disajikan dalam pasal 12:114:5, 15:6-16:21, hingga 19:11-21:8. Sedangkan bagian yang kita baca hari ini berfungsi sebagai foreshadowing, artinya tidak termasuk, tetapi memberi prabayangan tentang isi gulungan. Prabayangan ini dapat menimbulkan efek ketegangan karena terjadi penundaan (suspense) dalam narasi. Karena kompleksitas kitab Wahyu -yang tidak keseluruhannya mulus untuk jalannya sebuah narasi-, David Barr sebagaimana dilansir Rm Martin, mengusulkan untuk membagi kitab Wahyu menjadi tiga gerakan yang berbeda namun saling berhubungan sebagai narasi yang berkembang. Di tengah bingkai di mana Yohanes menyapa para pembacanya (Why. 1 dan 22), Yohanes menceritakan tiga cerita. Cerita pertama menggambarkan apa yang terjadi padanya di pulau Patmos (ps. 1-3). Cerita kedua menampilkan Yohanes dibawa ke surga di mana ia melihat ruang takhta Allah, dan cerita mengenai tamasya-nya di surga (serta melihat turun ke bumi sebentar) (ps. 4:1-11:18). Dan cerita ketiga, adalah bagian pembukaan isi gulungan kitab dengan penggambaran suatu medan peperangan kosmis yang luar biasa hebat (ps. 12-22).3 Cerita Kedua Cerita kedua Wahyu 4:1-11:18, berlatarbelakang tempat di surga. Tokoh-tokoh utama dalam bagian ini adalah Yesus Kristus sebagai Anak Domba yang disembelih –namun masih tetap berdiri dan dapat membuka materai-materai gulungan kitab-, tua-tua dan mahlukmahluk surgawi. Suasana yang dilukiskan adalah ibadat surgawi, dengan sudut pandang kepada visiun takhta Allah. Peristiwa-peristiwa pokok yang diceritakan pada bagian ‘cerita kedua’ dan sampai pada bacaan kita hari ini sambung-menyambung dari; liturgi surgawi (ps. 4), problem gulungan bermeterai (ps. 5:1-4), penyataan Singa/Anak Domba yang layak membukannya (5:5-14), pembukaan materai (6-7) hingga bunyi sangkakala dan akibat yang menyertainya.
2
Martin Harun, OFM, “Kitab Wahyu sebagai Narasi”, dalam Y.M. Seto Marsunu (Ed.), Apokaliptik: Kumpulan Karangan Simposium Ikatan Sarjana Biblika Indonesia 2006, (Jakarta: LAI, 2007). 3 Tidak ada hubungan kausal antara ketiga cerita besar, namun masing-masing bagian mengandung kesatuan aksi dengan adanya hubungan sebab-musabab. Hanya, di antara ketiga cerita besar, ada hubungan tema yang kuat.
2
Yohanes sebagai narator orang pertama (yang serba tahu, omniscient), telah melalui pintu surga memasuki ruang yang melampaui dunia nyata. Ada hubungan dua lapisan, yakni bumi dan surga yang penting untuk diperhatikan. Latar dalam suasana ibadat di surga, diinterupsi dengan peniupan trompet oleh malaikat-malaikat. Sorotan segera ‘turun’ ke bumi (bahkan juga dari dalam perut bumi 9:2) -yang semakin gelap seiring dengan sepertiga dari matahari, bulan dan bintang terpukul- dengan diikuti adegan-adegan yang dramatis. Alur cerita yang tadinya berjalan cepat, kini melambat sambil Yohanes mengajak pemirsanya menyaksikan kengerian-demi kengerian. Tokoh-tokoh dalam bagian ini adalah malaikat-malaikat sang peniup trompet dan juga segala hal yang keluar dari hasil tiupan trompet-trompetnya. Yakni, terdapat [1] burung nasar yang (bisa) berteriak-teriak, [2] belalang dalam rupa kuda perang dengan rupa seperti manusia, rambutnya seperti rambut wanita, giginya seperti gigi singa, ekor kalajengking, dan tak kalah pentingnya, [3] seorang pemimpin mereka, Raja penyiksa Abaddon, Apollion [9:11]). [4] Keempat malaikat yang terikat dekat sungai Efrat, [5] dua puluh ribu laksa pasukan berkuda. Juga bisa dilihat keberadaan [6] orang banyak penduduk bumi yang terbagi menjadi yang bermeterai dan tidak, dan yang pada akhir cerita tersisa dari sepertiga umat manusia yang tidak terbunuh. Setelah diperlihatkannya kehancuran sepertiga bumi dan sepertiga benda-benda langit oleh akibat dari tiupan sangkakala keempat malaikat (8:6-12), ketegangan cerita mulai meningkat. Ketegangan semakin terasa pada peniupan sangkakala kelima, di mana Yohanes melihat dari lubang jurang maut -yang mengeluarkan asap dan membuat angkasa gelap- keluar belalang yang seperti kalajengking menyakiti manusia yang tidak bermaterai. Belalang mutan kalajengking itu hanya diijinkan menyiksa manusia, tidak untuk membunuhnya. Siksaannya amat sangat, sampai-sampai manusia lebih memilih untuk mati namun maut tak kunjung tiba (9:6). Rupa-rupa belalang itu ada pemimpinnya sendiri, Abaddon/Apollion. Terjadi pergeseran penting dalam cerita. Semula kejahatan digambarkan dilihat dari sudut perilaku manusia (ps. 2-3), di sini mulai digambarkan dalam dimensi lain; ada kekuatan satanik yang terpimpin dan merasuki dunia. Demikian celaka yang pertama. Adegan berikutnya ialah peniupan sangkakala oleh malaikat keenam. Kejadian itu menimbulkan dilepaskannya keempat malaikat yang telah disiapkan untuk membunuh sepertiga dari manusia. Tapi nyatanya, pembunuhan sepertiga umat manusia dibantu juga oleh pasukan berkuda yang penunggangnya berbaju zirah, merah api dan biru dan kuning belerang warnanya; yang kepala kuda-kudanya sama seperti kepala singa, dan dari mulutnya keluar api dan asap belerang. Barangkali, adegan klimaks cerita ada pada terbunuhnya sepertiga dari umat manusia oleh ketiga malapetaka (9:18-19).
3
Adegan mendadak berhenti. Di akhir bagian cerita (saya membayangkan layaknya sebuah film yang telah berakhir, hanya ditampilkan layar gelap), Yohanes sang narator, untuk terakhir kalinya (dalam bagian ini) berkata-kata, memberikan sebuah penilaian terhadap mereka yang lolos dari maut. Kata-kata pamungkas sang narator adalah: “Tetapi manusia lain, yang tidak mati oleh malapetaka itu, tidak juga bertobat dari perbuatan tangan mereka: mereka tidak berhenti menyembah roh-roh jahat dan berhala-berhala dari emas dan perak, dari tembaga, batu dan kayu yang tidak dapat melihat atau mendengar atau berjalan, dan mereka tidak bertobat dari pada pembunuhan, sihir, percabulan dan pencurian.”[] Dikatakan oleh pak Robert4, sebuah narasi tidak selalu berakhir dengan sebuah kesimpulan (saya pun tidak melihat kata-kata terakhir Yohanes sang narator itu sebagai sebuah kesimpulan). Dianggap saja sebagai perjalanan wisata (atau menonton film), yang penting adalah pengalaman mengikutinya. Pengalaman ini bisa bermacam-macam, tetapi yang jelas memberikan banyak gugahan. Kesadaran (sense) kita dalam membaca narasi Alkitab pun semakin diperluas. Kita lebih disadarkan akan kehidupan manusia, dan kita diajak untuk menjadi lebih berhikmat setelah menarik makna dari dunia teks itu. Usulan untuk diskusi dalam kelompok: 1. Bagaimana kesan anda dalam mengikuti narasi bagian dari kitab Wahyu kali ini? 2. Di tahun 2010, ada film Hollywood yang berkisah juga mengenai mimpi diperankan oleh Leonardo DiCaprio, judulnya Inception. Melalui mimpi, manusia bisa ditanami ide-pemikiran atau ideologi yang akan berjalan di bawah kesadarannya untuk bertindak mengikuti apa saja ide-pemikiran atau ideologi yang ditanamkan itu. Bagaimana dengan kitab Wahyu jika dilihat sebagai mimpi, ide-pemikiran atau ideologi apakah yang ‘ditanam’ bagi pembacanya? 3. Yang menarik bagi saya adalah pada ay. 9:4, di sana dipesankan supaya belalang-belalang mutan kalajengking tidak merusak rumput-rumput, tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon di bumi di tengah-tengah situasi katastropik itu. Bagaimana kesan anda?
“Di bilik terdalam batin manusia, terletak daya-daya irrasional yang dengan sembunyi-sembunyi selalu mencari cara untuk memuaskan hasrat memenangkan pertarungan.” –Karlina Supelli-
Imanuel Geovasky Tohpati-Nyutran, 23 Februari 2012 4
Robert Setio, Membaca Kisah Tuhan dan Manusia di Bumi.
4
Tanggapan untuk bahan PA Sdr. Imanuel Geovasky (Wahyu 8: 6-9:21) - 28 Pebruari 2012 Pak Paulus sering berkata kepada saya betapa ia selalu teringat pesan dosen PB zaman ia mahasiswa S1 dulu bernama J.J. van Es, yang memesankan kalimat sakti pada para mahasiswanya:”Menafsir pada hakikatnya adalah mengajukan pertanyaan dengan tepat”. Nah, demikianlah kebanyakan tanggapan PA ini akan berupa pertanyaan-pertanyaan kepada bahan Sdr. Imanuel Geovasky. Semoga pertanyaan-pertanyaan (tanggapan saya ini) adalah ajuan yang tepat. 1. Nuel yang mengutip ulasan Rm. Martin Harun, menyatakan bahwa ia ikut Pak Robert yang ikut Gustav Jung, yakni hendak memaknai mimpi sebagai mimpi itu sendiri, memaknai lukisan apokaliptik sebagai fantasi pada narasinya sendiri ketimbang “teks sebagai referensi realita”. Jadi mari masuk ke dalam fantasi apokaliptik tanpa mesti terjebak pada pemaknaannya bagi realitas zaman teks itu baik bagi si pelihat (Yohanes) maupun bagi uamt yang hendak disapa (jemaat penerima Wahyu Yohanes). Asyik sih memang, namun kemana fungsi pastoral teks itu berarak? Bukankah sastra apokaliptik senantiasa mengusung pesan pastoral di balik segala drama naratif-fantasial-nya (secara umum kita sepakat dengan kata : hupomone,ketabahan). Apakah gambaran menyeramkan dalam perikop ini kalau dibaca secara naratif-fantasial nir pesan pastoral? Apa kira-kira jawab Sdr. Nuel ? 2. Adegan peniupan ke enam dari tujuh sangkakala ini disebut Nuel sebagai prabayangan tentang isi gulungan (Wahyu 5), bukan tentang isi gulungan (yang menurut Martin Harun baru dibuka di pasal 12). Fungsinya, implisit Nuel mengatakan : menciptakan suspense, ketegangan justru karena terjadi penundaan. Apa alasan naratif dari argumentasi ini pada teksnya sendiri? Apakah Nuel sama sekali setuju dengan Harun tanpa mengetengahkan argumentasi? (Hehehe…peace, Bro…:D) 3. Dale Martin, seorang dosen PB di Yale University, pernah mengajukan rumusan tentang adekuasi-historis dari jenis sastra apokaliptik : symbol dan jalinan narasi akan dapat dirujuk ke dalam sejarah yang dimaksudkan oleh si pelihat sampai di titik tertentu di mana terjadi deviasi (penyimpangan) di antara keduanya. Di titik terjadinya penyimpangan itulah kita bisa menandai kapan si pelihat menuliskan tulisannya. Selama symbol dan narasi cocok dengan kejadian sejarah maka peristiwa itu terjadi sebelum masa penulisan teks. Begitu ada ketidakcocokan di antara keduanya, disitulah kalenderisasi karya sastra apokaliptik dengan sendirinya menjelas. Ini jelas argumentasi historis kritis. Nah, saya membayangkan (walau saya tahu sulit) ada baiknya pun alangkah kerennya jika Nuel bisa menunjukkan referensi “peristiwa” dalam teks dan peristiwa sejarah. Tapi saya duga Nuel akan ogah sebab ini membuat “teks menjadi referensi realita”. Okelah, perlakukan teks sebagai fantasi apokaliptik tanpa susah-susah merujuk referensi realita dan tak usah harus menyimpulkan (kata Nuel), namun kalau akhir film adalah layar gelap yang muncul
mendadak (Nuel, p.4), ini pasti sesuatu banget! Kalau Nuel mengatakan pengalaman berwisata menonton film apokaliptik pada dirinya sendiri akan evokatif (saya sih setuju) lalu pertanyaannya tak perlukah kita melakukan interpretasi sama sekali? Bukankah dalam membaca kitab Wahyu kita penasaran untuk tetap bertanya : what it meant and what it means ?. Tentu jawabnya tidak akan menjadi jawaban final yang definitif, dan tentu bukan adalah realitas pada dirinya sendiri, melainkan realitas dalam proyeksi visi eskatolis Yohanes. Saya yakin Nuel pasti bisa menjawabnya. Sebab kalau Nuel mengutip Karlina Supelli si kosmolog-filosof yang brillyan itu, Nuel mestinya juga setuju dengan Supelli yang menegaskan perlunya bagi kita perlu mengakui bahwa dalam segala usaha kita meraih pengetahuan selalulah ada laku menafsir. Ini tak bisa dihindari. Justru karenanya, melalui hal itu kita mendapatkan bahwa pengetahuan manusia selalu mengandung ciri antropologis, yakni bahwa pengetahuan manusia “tidak selalu sepenuhnya berbicara secara objektif mengenai realitas di luar, tetapi selalu menyertakan sebagian diri kita di dalamnya” (11). Manusia selalu berusaha memaknai pengalamannya dengan refleksi nalarnya, ini baik dan berguna, namun perlu selalu diingat bahwa konstruksi manusia tentang realitas senantiasa adalah sebuah konstruksi yang antropologis, sehingga pemutlakan akan kebenaran nalar atas suatu realitas sebagai realitas itu pada dirinya sendiri (tanpa mengandung interpretasi dari manusia) bisa berbahaya sebab menisbikan kemungkinan terjadinya dialog dan dialektika terhadap realitas itu sendiri. Nah, saya tidak mendorong Nuel untuk memastikan interpretasinya atas teks, hanya mengingatkan bahwa betapapun kita toh tetap digugah berinterpretasi tanpa mesti mendorong misterinya ke pinggiran. So?
Ruang Pojok FTh -
DKL -