APLIKASI METODOLOGI SISTEM LUNAK UNTUK PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN RAWAN KONFLIK : KASUS HUTAN PENELITIAN BENAKAT, SUMATERA SELATAN
EDWIN MARTIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan, bahwa tesis ―Aplikasi Metodologi Sistem Lunak untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Rawan Konflik: Kasus Hutan Penelitian Benakat, Sumatera Selatan‖ merupakan karya saya dengan dibimbing oleh Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2008
Edwin Martin NIM: E051060361
ABSTRACT EDWIN MARTIN. 2008. Application of Soft Systems Methodology for Close-to-Conflict State Forestland Management: The Case of Benakat Research Forest, South Sumatra. Under the supervision of HERRY PURNOMO and NURHENI WIJAYANTO. There are plenty of Indonesian forest areas lied in condition of not govern and neglected so that initially perceived as conflicting area. It is could be happened due to government vagueness to dealing with other stakeholder preferences on appropriate land-use for those resources. One well-known approach to systems design that focuses on explicating different perspectives is Soft Systems Methodology (SSM), which has been used widely and succesfully in many messy problem situations. The main objective of research is to develop understanding on divergence of opinion of stakeholder toward achieving desirable and feasible forest area management plan, by application of SSM. Research was situated on one of neglected management-block within Benakat Research Forest at South Sumatra, namely ―Agroforestry Block‖. The result showed that intervention phase of SSM which driven by reflective facilitation could enhance social learning among contrary actors, so that offered new pathway to the future of Agroforestry Block. But this learning process has not significantly change the attitude of involved participants yet. Key words: Conflict, facilitation, research forest management, Soft Systems Methodology
RINGKASAN EDWIN MARTIN. 2008. Aplikasi Metodologi Sistem Lunak untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Rawan Konflik : Kasus Hutan Penelitian Benakat, Sumatera Selatan. Dibimbing oleh HERRY PURNOMO dan NURHENI WIJAYANTO. Indonesia saat ini memiliki 50 taman nasional dan 32 hutan penelitian sebagai unit manajemen kawasan hutan yang dikelola langsung oleh pemerintah. Fakta menunjukkan bahwa tidak sedikit dari kawasan atau bagian kawasan tersebut berada dalam kondisi ―tidak terkelola‖. Ini terlihat dari berubahnya tata guna lahan menjadi bukan hutan, maraknya pencurian kayu, dan kebakaran hutan berulang. Keadaan ini cenderung dibiarkan dan tidak tertangani jika berada dalam situasi yang dianggap rawan konflik. Peter Checkland, seorang pengajar di Universitas Lancaster Inggris pada awal dekade 1980an mengemas konsep penelitian aksi dan berpikir sistem (lunak) menjadi Metodologi Sistem Lunak (Soft Systems Methodology-SSM) Metodologi ini dikembangkan untuk menangani masalah-masalah manajemen yang muncul dari sistem aktivitas manusia, misalnya konflik. Informasi keberhasilan aplikasi Metodologi Sistem Lunak (MSL) dalam di berbagai bidang dapat menjadi pijakan untuk mengadaptasikan pendekatan berorientasi perubahan ini bagi pengelolaan kembali kawasan-kawasan hutan ―tidak terkelola‖ di Indonesia. Keterbatasan dana merupakan situasi masalah yang umum dihadapi institusi-institusi pemerintah. Untuk itu, penelitian ini akan menjawab pertanyaan ―Apakah aplikasi MSL melalui fasilitasi reflektif, sebuah cara-cara fasilitasi yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang yang terlibat dalam situasi masalah itu sendiri, dapat menghasilkan langkah pengelolaan bagi kawasan hutan yang dianggap rawan konflik dan mengubah sikap aktor-aktor yang terlibat dalam proses penelitian‖. Penelitian mengambil contoh kasus ―tidak terkelolanya‖ Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat, di Sumatera Selatan. Proses utama penelitian ini menggunakan modus operandi penelitian aksi yang diarahkan untuk mendukung berlangsungnya fase MSL melalui media fasilitasi reflektif Konteks penelitian ini adalah upaya pengelolaan kembali kawasan hutan yang dianggap rawan konflik, sehingga proses penelitian diawali dengan mengobservasi atau memahami situasi masalah, merefleksi pemahaman situasi masalah melalui pemodelan sistem, menetapkan rencana aksi, hingga tercapainya aksi. Tahapan observasi diawali dengan aktivitas penentuan stakeholder dan pendefinisian isu, guna memasuki situasi sistem sosial kompleks. Peneliti menyebut tahapan awal ini sebagai pra-observasi. Tahap ini berkaitan dengan upaya untuk mendorong para pihak bersedia bertemu dalam satu forum agar dialog tatap muka dapat dimulai. Menetapkan masalah mensyaratkan identifikasi para pihak dan saling menyadari atas isu-isu bersama. Wawancara kelompok (focus group interviews-FGIs) yang dilakukan pada setiap kelompok para pihak merupakan alat utama dalam tahap ini. Dalam penelitian ini para pihak utama adalah mereka yang berasal dari Balai Penelitian Kehutanan Palembang (pengelola), Desa Benakat Minyak (pemanfaat), dan Desa Semangus (pemanfaat). Wawancara kelompok fokus terhadap para pihak utama dijalankan melalui strategi fasilitasi minimal, dimana peneliti bertindak sebagai fasilitator pertemuan agar masing-masing kelompok dapat merumuskan jawaban kelompoknya atas pertanyaan yang diajukan, namun fasilitator tidak terlibat dalam proses menemukan jawaban tersebut. Selain itu, setiap kelompok diminta untuk memilih individu-individu sebagai wakil
kelompoknya dalam proses pelaksanaan penelitian lanjutan. Peneliti membantu cara pemilihan wakil kelompok berdasarkan kriteria ―who really counts‖ yang dikembangkan oleh Mitchell et al., yaitu kekuatan (power), kepentingan (urgency), dan keabsahan (legitimacy). Individu yang terpilih disebut sebagai aktor (who own the problems). Mereka adalah subjek utama dalam proses penelitian aksi ini. Penetapan masalah dilengkapi dengan pengumpulan informasi mengenai sejarah dan situasi terkini pemanfaatan areal Blok Agroforestri, melalui pengumpulan data sekunder, wawancara rumah tangga dan observasi lapangan partisipatif. Kegiatan wawancara rumah tangga dibantu aktor-aktor lokal guna memudahkan penentuan responden dan proses wawancara. Pra-observasi dilaksanakan oleh peneliti dengan cara tinggal di Desa Benakat Minyak dan Semangus selama beberapa waktu. Hasil dari proses pra-observasi dijadikan pijakan untuk memulai tahapan Metodologi Sistem Lunak melalui forum lokakarya (search conference). Lokakarya dilaksanakan selama 2 hari, tanggal 14 sampai dengan 15 November 2007 bertempat di Wisma Mawar Pertamina Pendopo, Kecamatan Talang Ubi Muara Enim. Analisis perubahan sikap dinilai dari perubahan kekuatan keyakinan (belief strength) dan evaluasi manfaat (outcome evaluation) yang diukur pada saat awal dan akhir penelitian. Signifikansi perubahan sikap para pihak dianalisis melalui tes McNemar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemodelan dalam Metodologi Sistem Lunak merupakan proses adaptif, karena terjadi umpan balik antara proses memodelkan dengan hasil ekspresi situasi masalah. Jadi, meskipun pada situasi sebenarnya tidak terbangun hubungan yang positif di antara para pihak utama, namun terjadi dalam dunia sistem (model konseptual). Perbandingan antara kejadian di dunia sistem dengan situasi yang berlangsung ternyata mampu mendorong orang untuk menyusun langkah taktis menuju perubahan yang diinginkan masing-masing pihak. Prinsip-prinsip MSL yang dijalankan melalui strategi fasilitasi reflektif mampu mengubah suasana konflik yang disebabkan oleh perbedaan perspektif dan kepentingan, menjadi media pembelajaran sosial saling memahami, sehingga menghasilkan langkah pengelolaan bagi Blok Agroforestry Hutan Penelitian Benakat yang semula ―tidak terkelola‖. Fase intervensi dalam tahapan MSL ini tidak secara signifikan mengubah sikap para pihak terhadap preferensi tata guna lahan. Ini berarti potensi konflik dalam masa depan tetap ada. Model konseptual sebagai representasi hubungan beragam aktivitas bertujuan dalam masa depan dapat dijadikan pedoman interaksi para pihak pada saat melaksanakan aksi menuju perubahan situasi masalah. Resolusi konflik dapat berwujud memperbaiki model konseptual yang ada sebagai refleksi sistem aktivitas yang lebih layak dan diterima. MSL dapat dijadikan alternatif pendekatan untuk mengintervensi kawasan-kawasan hutan yang dianggap rawan konflik di Indonesia. Aplikasi metodologi ini dalam konteks pengelolaan kawasan hutan yang lebih kompleks (isu lebih luas, para pihak lebih banyak) sebaiknya dikombinasikan dengan metodologi lainnya (multi metodologi). Kata kunci: Konflik, fasilitasi, pengelolaan hutan penelitian, Metodologi Sistem Lunak
@Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjuan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
APLIKASI METODOLOGI SISTEM LUNAK UNTUK PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN RAWAN KONFLIK : KASUS HUTAN PENELITIAN BENAKAT, SUMATERA SELATAN
EDWIN MARTIN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis
: Aplikasi Metodologi Sistem Lunak untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Rawan Konflik: Kasus Hutan Penelitian Benakat, Sumatera Selatan
Nama
: Edwin Martin
NIM
: E051060361
Program Studi
: Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Disetujui: Komisi Pembimbing:
(Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp) Ketua
(Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS) Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana
(Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS)
(Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS)
Tanggal Ujian: 29 Mei 2008
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS.
PRAKATA Penulis bersyukur kehadirat Allah Subhanahu Wata‘alah, atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulisan Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis yang berjudul ―APLIKASI METODOLOGI SISTEM LUNAK UNTUK PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN RAWAN KONFLIK : Kasus Hutan Penelitian Benakat, Sumatera Selatan‖ ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian dilaksanakan dalam periode Juli 2007 sampai dengan April 2008, berlokasi di Kecamatan Talang Ubi Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Penelitian dilatarbelakangi oleh keprihatinan penulis terhadap terbengkalainya Blok Agroforestry Hutan Penelitian Benakat, sebagai areal penelitian agroforestry yang menjadi kebanggaan rimbawan di Sumatera Selatan, khususnya counterpart Proyek ATA-186 dan seluruh karyawan Balai Teknologi Reboisasi pada era tahun 1980-an. Sebagai rimbawan muda, penulis terpanggil untuk berbuat sesuatu, meskipun pada awalnya tidak mengerti apa yang harus dilakukan di tengah makin kompleksnya permasalahan pengelolaan kawasan hutan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. selaku pembimbing utama yang telah mengenalkan kepada penulis Ilmu Sistem dan Pemodelan, khususnya Metodologi Sistem Lunak sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian ini dan memberikan saran berharga dalam pelaksanaan maupun penulisan tesis. Demikian pula untuk Bapak Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku pembimbing pendamping yang secara kebetulan dalam tugas kuliah agroforestry yang beliau asuh, dalam ulasan ―Diagnosis and Design‖ sebuah pendekatan pengenalan dan penguatan teknik agroforestry, mengingatkan kembali penulis untuk kembali ke gelanggang Hutan Penelitian Benakat, karena selama ini yang banyak dikerjakan oleh litbang kehutanan umumnya hanya pada taraf diagnosis saja dan ragu untuk membuat design apalagi delivery, terima kasih atas arahan dan bimbingannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada sdr. Bondan Winarno, Bambang T. Premono, dan Mas Yanto Candra atas pengumpulan data dan informasi awal mengenai situasi terkini Blok Agroforestry, sebagai pijakan awal dilaksanakan intervensi dalam penelitian ini. Penghargaan juga disampaikan kepada seluruh aktor yang terlibat dalam penelitian ini, yang membantu kelancaran proses penelitian. Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis haturkan untuk kedua orang tua (alm) Kgs. M. Saleh dan Ibu Maria atas perhatian, doa dan kasih sayangnya. Kepada istri penulis Suswinarni, anak-anak Hasna Amalliya dan Izzan Muhammad Nuha, terima kasih atas pengorbanan dan cinta tulus kalian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2008
Edwin Martin
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lahat, Sumatera Selatan pada tanggal 14 Maret 1976 dari Bapak (Alm) Kgs. M. Saleh dan Ibu Maria. Penulis merupakan putra ketiga dari empat bersaudara. Tahun 1999, penulis menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana dari Program Studi Budidaya Hutan, Universitas Bengkulu. Pada tahun 2006, penulis memperoleh beasiswa dari Departemen Kehutanan untuk menempuh studi tingkat magister di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja pada Departemen Kehutanan dan ditugaskan sebagai peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Palembang, sejak tahun 2000. Dalam periode tahun 2000 sampai 2002, penulis merupakan peneliti bidang silvikultur dengan konsentrasi minat pada reklamasi lahan bekas tambang dan ujicoba beragam tanaman rehabilitasi. Ketidakberlanjutan kegiatan dan fungsi plot-plot ujicoba penanaman yang disebabkan oleh faktor-faktor ‖non-teknis‖ seperti vandalisme dan kebakaran lahan, mendorong penulis untuk mendalami dan bertanggungjawab pada bidang penelitian sosial ekonomi kehutanan. Ini dilakukan sejak tahun 2003 hingga sekarang. Ketertarikan pada aspek ‖Trees and People” sedikit banyak dipengaruhi pula oleh pengalaman penulis yang pernah berperan sebagai community-organizer (CO) untuk program pemberdayaan masyarakat rawan pangan di Bengkulu, pada tahun 1999.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
viii
I.
PENDAHULUAN.................................................................................... 1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1.2. Perumusan Masalah ........................................................................ 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 1.4. Manfaat Penelitian ...........................................................................
1 1 3 3 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2.1. Memahami Konflik ........................................................................... 2.2. Aksi Partisipatif; Upaya Transformasi Sosial ................................... 2.3. Berpikir sistem (lunak) dalam mengelola kawasan hutan ................
4 4 10 13
III. METODE PENELITIAN .......................................................................... 3.1. Konteks Penelitian ........................................................................... 3.2. Rancangan aplikasi Metodologi Sistem Lunak................................. 3.3. Analisis Perubahan Sikap ................................................................
22 22 23 28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 4.1. Sejarah Pengelolaan Blok Agroforestry ........................................... 4.2. Desa-desa pemanfaat lahan Blok Agroforestry................................ 4.3. Pola Pemanfaatan Lahan oleh Masyarakat ..................................... 4.4. Intervensi melalui aplikasi Metodologi Sistem Lunak ....................... 4.5. Perubahan Sikap Partisipan Penelitian ............................................ 4.6. Pelajaran dari Proses Penelitian ...................................................... 4.7. Implikasi Kebijakan ..........................................................................
29 29 33 36 42 68 70 80
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
82
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
83
LAMPIRAN ............................................................................................
91
iv
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3
4 5 6 7 8
Tipologi metodologi pemecahan masalah berbasis sistem menurut Flood dan Jackson (1991)…………………………………………………… Tata waktu proses kegiatan lokakarya.....................................................
16 27
Tabel segi empat untuk menguji signifikansi perubahan sikap partisipan sebelum dan setelah mengikuti proses penelitian berbasis Metodologi Sistem Lunak………………………………………………………………….
28
Kalender musim pertanian masyarakat Desa Benakat Minyak………………………………………………………………………….
40
Deskripsi penguasaan kebun karet di Blok Agroforestry Hutan Penelitian Benakat……………………………………………………………
42
Aktor-aktor sebagai wakil para pihak………………………………………. Hasil analisis elemen yang diinginkan untuk berubah guna mencapai situasi masa depan Blok Agroforestry yang diidamkan para pihak……..
42 47
Perbandingan antara model konseptual dengan kondisi faktual untuk sub sistem ―Hukum dan Aturan‖…………………………………………….
62
Perbandingan antara model konseptual dengan kondisi faktual untuk sub sistem ―Program penelitian‖…………………………………………….
63
10 Perbandingan antara model konseptual dengan kondisi faktual untuk sub sistem ―Pola usahatani‖…………………………………………………
64
11 Pilihan skenario menuju masa depan pengelolaan Blok Agroforestry KHDTK Benakat………………………………………………………………
66
12 Rangkuman hasil analisis tabel segi empat untuk pengujian signifikansi perubahan sikap aktor-aktor terhadap tata guna lahan Bok Agroforestry sebelum-setelah mengikuti proses penelitian. …………………………..
69
9
v
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4
Halaman Lima Gaya Manajemen Konflik……………………………………………. 7 Hutan Penelitian Benakat di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan Tahapan penelitian dalam kerangkakerja Metodologi Sistem Lunak (Langkah 1a sampai 7)………………………………………………………
22 24
Rancangan ujicoba pengembangan agroforestry di Benakat tahun 1982-1992……………………………………………………………………..
30
5 6
Kondisi jalan dan pemukiman masyarakat Benakat Minyak…………….. Pasar tradisional (kalangan) setiap Hari Kamis di Desa Benakat Minyak
34 34
7
Pola umum pengusahaan lahan oleh masyarakat di Blok Agroforestry Hutan Penelitian Benakat sejak tahun 1994 hingga sekarang……………
37
Pemanfaatan areal kawasan hutan untuk pertanian tanaman semusim..
38
9 Hamparan kebun karet masyarakat di Blok Agroforestry………………… 10 Gambar situasi permasalahan eksistensi Blok Agroforestry Hutan Penelitian Benakat dari sudut pandang pihak-pihak utama………………
38
8
44
11 Ilustrasi perubahan yang diinginkan oleh para pihak terhadap masa depan Blok Agroforestry KHDTK Benakat…………………………………. 46 12 Ice breaker untuk mendinginkan suasana tegang antaraktor dalam lokakarya……………………………………………………………………… 49 13 Aktor dari masyarakat menjelaskan model konseptual Hukum dan Aturan yang disusun komisinya………………………………………………
49
14 Model konseptual untuk perubahan ―hukum dan aturan‖ dalam pengelolaan Blok Agroforestry KHDTK Benakat…………………………
50
15 Model konseptual untuk perubahan ―Program Penelitian‖ dalam pengelolaan Blok Agroforestry KHDTK Benakat…………………………...
51
16 Model konseptual untuk perubahan ―Pola Usahatani‖ masyarakat di Blok Agroforestry KHDTK Benakat…………………………………………
53
17 Model konseptual sistem pengelolaan Blok Agroforestry KHDTK Benakat…………………………………………………………………………
54
18 Perubahan penghasilan pemanfaat Blok Agroforestry yang diduga akan terjadi (Perkiraan) dan jika menjalankan aktivitas dalam model konseptual (Keinginan kita) berdasarkan pendapat aktor-aktor………….
56
19 Perubahan kualitas ketenangan dan kenyamanan berusahatani pemanfaat Blok Agroforestry yang diduga akan terjadi (Perkiraan) dan jika menjalankan aktivitas dalam model konseptual (Keinginan kita) berdasarkan pendapat aktor-aktor…………………………………………..
vi
57
……Lanjutan Daftar Gambar Halaman 20 Perubahan kualitas hubungan masyarakat dengan pihak kehutanan yang diduga akan terjadi (Perkiraan) dan jika menjalankan aktivitas dalam model konseptual (Keinginan kita) berdasarkan pendapat aktoraktor…………………………………………………………………………….. 21 Kecenderungan perubahan jumlah pemanfaat lahan Blok Agroforestry yang diperkirakan terjadi (Perkiraan) dan jika menjalankan aktivitas dalam model konseptual (Keinginan kita) berdasarkan pendapat aktoraktor……………………………………………………………………………
58
59
22 Realisasi rencana penelitian di Blok Agroforestry yang diperkirakan terjadi (Perkiraan) dan jika menjalankan aktivitas dalam model konseptual (Keinginan kita) berdasarkan pendapat aktor-aktor…………. 60 23 Strategi intervensi yang dikembangkan untuk memecahkan kebuntuan tindakan manajemen atas Blok Agroforestry Hutan Penelitian Benakat...
71
24 Metodologi Sistem Lunak dikuatkan oleh Metodologi Sistem Keras…….
78
vii
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3
Halaman Manifestasi konflik antara masyarakat Desa Semangus dan Benakat Minyak dengan PT. Musi Hutan Persada…………………………………... 92 Rumusan ―Harapan dan Masalah‖ para pihak utama Blok Agroforestry.. Kamus istilah (glossary)………………………………………………………
viii
93 96
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia saat ini memiliki 50 taman nasional dan 32 hutan penelitian sebagai unit manajemen kawasan hutan yang dikelola langsung oleh pemerintah. Fakta menunjukkan bahwa tidak semua kawasan hutan ini berkinerja baik. Luasnya tata guna lahan yang tidak berhutan, semakin rusaknya areal yang berhutan, pencurian kayu, kebakaran hutan, dan konflik terbuka dengan masyarakat merupakan fenomena yang mudah ditemui di kawasan-kawasan hutan tersebut (Kadir 2005; Suharti 2005; Wiati 2005; Golar 2007). Kawasan hutan yang secara legal formal
dikelola lembaga-lembaga
pemerintah untuk kepentingan masyarakat umum tetapi ―tidak terkelola‖ seolaholah menunjukkan bahwa pihak pengelola tidak melakukan tindakan manajemen apapun terhadap kawasan yang dimandatkan kepadanya. Rimbawanto (2004) dalam evaluasinya terhadap kinerja Hutan Penelitian Benakat menyebut bahwa persoalan yang dihadapi pengelola sebenarnya bukan semata-mata karena kurangnya dana, tetapi lebih karena kelemahan dalam merancang program yang relevan dengan kondisi dan situasi yang ada. Pengelola tidak mampu merancang program yang tepat karena menghadapi persoalan di lapangan yang sukar diidentifikasi dan tidak terstruktur. Masalah yang sulit untuk diidentifikasi dan tidak terstruktur yang dihadapi pengelola kawasan hutan muncul karena terdapat para pengguna kawasan lainnya yang memiliki kepentingan berbeda dan dianggap dapat menghambat pencapaian tujuan pihak pengelola. Robbins (2006) menyebut situasi seperti itu sebagai konflik. Dalam pandangan tradisional, semakin banyak pihak yang berpotensi dalam konflik dengan ragam latar belakang kepentingannya akan menimbulkan kompleksitas masalah dan ketidakpastian. Karenanya, para pengelola cenderung mengambil sikap menghindari (avoiding) konflik dengan tidak mengambil tindakan manajemen apapun. Peter Checkland, seorang pengajar di Universitas Lancaster Inggris pada awal dekade 1980an mengemas konsep penelitian aksi dan berpikir sistem (lunak) menjadi Metodologi Sistem Lunak (Soft Systems Methodology-SSM) (Baskerville 1999; Mingers 2000; Chapman 2004). Metodologi ini dikembangkan untuk menangani masalah-masalah manajemen yang muncul dari sistem aktivitas manusia, misalnya konflik.
2 Metodologi Sistem Lunak (MSL) merupakan
kerangkakerja
(framework)
pemecahan masalah yang dirancang secara khusus untuk situasi dimana hakikat masalah sulit untuk didefinisikan (Sinn 1998). Esensinya adalah membangun model sistem melalui pemahaman dan pemaknaan secara mendalam situasi masalah sesuai fenomena yang dihadapi (Williams 2005). Metodologi ini bertujuan untuk memperbaiki masalah sosial yang dihadapi dengan melibatkan secara aktif aktor-aktor yang berkepentingan melalui sebuah siklus pembelajaran yang idealnya tidak pernah berhenti (Chapman 2004). MSL
berparadigma
interpretive (Sinn 1998; Mingers 2000; Jackson 2001; Luckett et al. 2001), sehingga teknik penerapannya di lapangan sangat tergantung dengan konteks penelitian,
situasi
permasalahan,
perilaku
aktor-aktor,
dan
kemampuan
pengguna. Beragam publikasi ilmiah telah menyajikan keberhasilan MSL dalam membantu pemecahan masalah yang berkaitan dengan kompleksitas interaksi manusia. Holwell (2000) mencatat lebih dari 250 referensi internasional bidang manajemen dalam bentuk makalah jurnal, makalah seminar, dan buku teks yang menggunakan pemikiran MSL. Sayangnya, pendekatan ini masih jarang digunakan di Indonesia (Eriyatno, 2003). Penelitian ini difokuskan kepada penggunaan Metodologi Sistem Lunak (MSL) sebagai upaya pengelolaan kembali kawasan hutan ―tidak terkelola‖ yang disebabkan oleh anggapan adanya kerawanan konflik. Penelitian
mengambil contoh kasus pengelolaan Blok
Agroforestri Hutan Penelitian Benakat di Sumatera Selatan. Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat yang terletak di Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan adalah salah satu contoh kawasan hutan yang dikelola langsung oleh pemerintah (dalam hal ini Balai Penelitian Kehutanan―BPK‖- Palembang) tetapi ―tidak terkelola‖. Areal seluas 400 Ha tersebut pada mulanya
diperuntukkan
sebagai
tapak
untuk
kegiatan
penelitian
dan
pengembangan aspek Agroforestri. Kini, sebagian besar arealnya telah dimanfaatkan
oleh
masyarakat
sekitar
menjadi
perkebunan
karet
dan
pemukiman. Tekanan dan preferensi tata guna lahan masyarakat tersebut dianggap
sebagai
masalah
sosial
yang
rumit
untuk ditangani
karena
dikhawatirkan akan memicu konflik terbuka. Ini menjadi alasan pembenar ketiadaan tindakan pengelolaan atas Blok Agroforestri.
3 1.2. Perumusan Masalah Proses-proses multipihak, seperti penerapan MSL ini, secara ideal difasilitasi oleh pihak-pihak yang dianggap netral (tidak memiliki kepentingan dalam sistem). Namun pelibatan fasilitator netral memiliki konsekuensi proses penanganan masalah yang relatif lama dan dukungan ketersediaan dana. Padahal, keterbatasan dana merupakan situasi masalah yang umum dihadapi institusi-institusi pemerintah. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengaplikasikan MSL melalui fasilitasi reflektif, sebuah cara-cara fasilitasi yang dilakukan oleh orang atau
kelompok orang yang terlibat dalam situasi masalah (sistem) itu
sendiri. Penelitian mengambil contoh kasus ―tidak terkelolanya‖ Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat, di Sumatera Selatan. Penelitian hendak menjawab beberapa pertanyaan berikut: (1) Dapatkah proses penelitian dengan pendekatan MSL melalui fasilitasi reflektif membantu mengharmoniskan para pihak yang berbeda kepentingan?, (2) Dapatkah proses penelitian dengan pendekatan MSL melalui fasilitasi
reflektif
menghasilkan
langkah
pengelolaan
bagi
Blok
Agroforestri?, (3) Apakah proses penelitian dengan pendekatan MSL mampu mengubah sikap para pihak terhadap tata guna lahan Blok Agroforestri?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk: a. Mengetahui apakah proses penelitian berbasis MSL melalui fasilitasi reflektif mampu mengubah suasana konflik menjadi media pembelajaran bersama sehingga
menghasilkan langkah pengelolaan bagi Blok
Agroforestri Hutan Penelitian Benakat. b. Mengetahui apakah proses penelitian berbasis MSL dapat mengubah sikap para pihak terhadap tata guna lahan di Blok Agroforestri. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Memberikan alternatif metode penanganan masalah ketidakharmonisan hubungan antara masyarakat lokal dengan pemerintah sebagai pengelola kawasan hutan. b. Memberikan gambaran penerapan kerangkakerja Metodologi Sistem Lunak dalam konteks manajemen kawasan hutan rawan konflik.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Memahami Konflik 2.1.1. Definisi, Penyebab dan Jenisnya Konflik seringkali diidentikkan dengan pertentangan antara dua pihak atau lebih dan berkonotasi negatif. Dalam pengantar buku ―Bagaimana Memahami Konflik‖, Hendricks (2004) menyebut konflik sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, konflik melekat erat dalam jalinan kehidupan, umat manusia selalu berjuang dengan konflik. Ini berarti konflik akrab dengan kehidupan manusia. Fisher et al. (2000) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Robbins (2006) memberi definisi lebih luwes, yaitu sebagai proses yang bermula ketika satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif, atau akan segera memengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian pihak pertama. Dari dua definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa konflik bukan sekedar perseteruan, meski situasi ini menjadi bagian dari konflik (Pickering 2001). Konflik harus dirasakan oleh pihak-pihak yang terkait; ada atau tidak adanya konflik merupakan masalah persepsi (Robbins 2006). Kesamaan lain dari definisi konflik tersebut adalah adanya ketidakcocokan antarpihak terhadap sesuatu. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang
tidak
seimbang
yang
kemudian
menimbulkan
masalah-masalah
diskriminasi (Fisher et al. 2000). Sedangkan menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik disebabkan perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya, dimana masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang sama terhadap sumberdaya. Lebih dalam, Fisher et al. (2000) mengemukakan teori-teori utama mengenai sebab-sebab konflik yaitu: 1. Teori hubungan masyarakat, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. 2. Teori negosiasi prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisiposisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
5 3. Teori kebutuhan manusia, berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. 4. Teori identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan. 5. Teori kesepahaman antarbudaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. 6. Teori transformasi konflik, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi. Jika
demikian,
maka
sumber
utama
konflik
adalah
perbedaan,
sebagaimana dikemukakan oleh Tadjudin (2000). Perbedaan tersebut bisa bersifat mutlak artinya secara objektif memang berbeda, namun bisa juga perbedaan tersebut hanya ada di tingkat persepsi. Pihak lain bisa dipersepsikan memiliki sesuatu yang berbeda atau pihak lain dicurigai sebagai berbeda, meskipun secara objektif sama sekali tidak ada perbedaan. Perbedaan bisa terjadi pada berbagai tataran (Tadjudin 2000), misalnya: perbedaan persepsi, pengetahuan, tata nilai, kepentingan, akuan hak ―kepemilikan‖. Menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Ciri-ciri konflik tersebut adalah: (1) Konflik tertutup (latent), dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub konflik seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan paling potensial sekalipun; (2) konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya belum berkembang; (3) konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk bernegosiasi mungkin pula telah mencapai tujuan buntu.
Sedangkan menurut taraf permasalahannya,
terdapat 2 jenis konflik yaitu konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya berada pada level yang
6 berbedai, sedangkan konflik horisontal terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Fisher (2000) menyebutkan bahwa konflik berubah setiap saat, melalui hubungan berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting sekali diketahui dan digunakan bersama alat bantu lain untuk menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik, yaitu: 1. Prakonflik, ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. 2. Konfrontasi, pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. 3. Krisis, ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya. 4. Pasca konflik, akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua pihak. 2.1.2. Mengelola Konflik Banyak pendapat yang menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu yang harus dihindari; bahwa konflik menandakan adanya kesalahan fungsi dalam kelompok. Pandangan tersebut disebut Robbins (2006) sebagai pandangan tradisional. Masih menurut Robbins, terdapat pandangan yang mengemukakan bahwa konflik adalah hasil yang wajar dan tidak terelakkan dalam setiap kelompok dan bahwa itu tidak perlu dianggap buruk, melainkan sebaliknya berpotensi menjadi kekuatan positif dalam menetapkan kinerja kelompok. Pandangan ini disebut sebagai pandangan hubungan manusia. Perspektif ketiga, dan paling baru, mengemukakan bahwa konflik tidak hanya dapat menjadi kekuatan positif dalam kelompok tetapi juga mutlak diperlukan agar kelompok dapat berkinerja secara efektif. Aliran ketiga ini dinamakan pandangan interaksionis. Berbeda
dengan
pandangan
tradisional,
pandangan
interaksionis
menganggap tidak semua konflik itu buruk (Robbins 2006). Konflik bila dihadapi secara bijaksana dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat dan sistem yang ada (Pickering
2001), serta dapat menghasilkan kesepakatan-
7 kesepakatan inovatif (Daniels dan Walkers 1997). Di Uganda, konflik merupakan insentif bagi adopsi beragam teknologi pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat dan mendorong terjadinya perubahan sosial (Sanginga et al. 2006). Pandangan interaksionis tidak berpendapat bahwa semua konflik adalah baik (Robbins 2006). Mereka menyatakan bahwa beberapa konflik mendukung sasaran kelompok dan memperbaiki kinerjanya; inilah ragam konflik fungsional yaitu bentuk konflik yang konstruktif. Di samping itu, ada konflik yang merintangi kinerja kelompok; ini adalah ragam konflik yang disfungsional atau destruktif. Konflik
yang
fungsional dapat
tercipta
apabila
para
pihak
yang
bertentangan dapat menghargai perbedaan pendapat (Robbins 2006). Konflik bila dihadapi secara bijaksana dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat dan juga bagi sistem yang ada (Pickering 2001), misalnya mampu meningkatkan motivasi, identifikasi masalah meningkat, ikatan kelompok menguat, penyesuaian diri pada kenyataan, pengetahuan meningkat, kreativitas meningkat, membantu upaya mencapai tujuan, mendorong pertumbuhan. Semua manfaat ini tidak akan terwujud, jika konflik dibiarkan saja atau dicoba diatasi dengan cara-cara yang tidak tepat; karena konflik akan menjadi disfungsional. Penyelesaian konflik terbaik adalah pada saat konflik itu hanya melibatkan segmen kelompok yang paling kecil (Hendricks 2004). Terdapat lima pendekatan pada manajemen konflik yang telah umum diterima (Gambar 1) (Pickering 2001; Hendricks 2004). Tidak ada satupun pendekatan yang efektif untuk semua situasi.
Oleh
karena
itu,
penting
untuk
mengembangkan
kemampuan
menggunakan setiap gaya sesuai dengan situasi. Tinggi
Kerelaan membantu
Kolaborasi
Kompromi Peduli orang lain Menghindari
Mendominasi
Mementingkan diri sendiri
Tinggi
Gambar 1 Lima Gaya Manajemen Konflik (Pickering 2001; Hendricks 2004)
8 Kolaborasi (Kerjasama) adalah gaya menangani konflik sama-sama menang. Orang yang memilih gaya ini mencoba mengadakan pertukaran informasi. Ada keinginan untuk melihat sedalam mungkin semua perbedaan yang ada dan mencari pemecahan yang disepakati semua pihak. Gaya ini erat kaitannya dengan metode memecahkan persoalan dan paling efektif untuk persoalan yang kompleks (Pickering 2001; Hendricks 2004). Gaya penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu (obliging) menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Strategi rela membantu berperan dalam menyempitkan perbedaan antarkelompok dan mendorong mereka untuk mencari kesamaan dasar. Gaya penyelesaian konflik dengan mendominasi meremehkan kepentingan orang lain. Gaya ini adalah strategi yang efektif bila suatu keputusan yang cepat dibutuhkan atau jika persoalan tersebut kurang penting. Gaya mendominasi sangat membantu jika kurang pengetahuan atau keahlian tentang isu yang menjadi konflik. Strategi ini paling baik dipakai bila dalam keadaan terpaksa. Gaya
penyelesaian
konflik
dengan
menghindar
(avoiding)
tidak
menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang lain. Bila suatu isu tidak penting, tindakan menangguhkan dibolehkan untuk mendinginkan konflik. Inilah penggunaan gaya penyelesaian konflik menghindar yang paling efektif. Gaya ini juga efektif bila waktu memang dibutuhkan. Gaya penyelesaian konflik dengan kompromi (compromising)
adalah
orientasi jalan tengah. Dalam kompromi, setiap orang memiliki sesuatu untuk diberikan dan menerima sesuatu. Kompromi akan menjadi salah bila salah satu sisi salah. Kompromi adalah efektif sebagai alat bila isu itu kompleks atau bila ada keseimbangan kekuatan. Kompromi dapat menjadi pilihan bila metode lain gagal dan dua kelompok mencari penyelesaian jalan tengah. 2.1.3. Contoh Kasus: Konflik Kehutanan di Indonesia Kurang lebih 30% belahan bumi adalah hutan, sehingga menjadi sumberdaya alam yang sangat penting. Pada banyak komunitas, hutan merupakan sumber pangan, pemenuhan energi dan hasil hutan bukan kayu yang sangat signifikan dalam proporsi pendapatan rumah tangga. Kompetisi dalam menggunakan dan mengeksploitasi sumberdaya ini merupakan pemicu krisis dan konflik. Di negara berkembang, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hutan menjadi wilayah konflik, misalnya karena dalam wilayah sengketa, didiami
9 oleh beragam kelompok etnis, kebijakan yang keliru, atau diklaim oleh kelompokkelompok yang berbeda secara simultan (OECD 2005). Secara khusus, Wulan et al. (2004)
melakukan analisis konflik sektor
kehutanan di Indonesia dalam periode 1997 sampai dengan 2003. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa dalam periode tersebut tercatat 359 peristiwa konflik, 39% diantaranya terjadi di areal Hutan Tanaman Industri, 27% di areal Hak Pengusahaan Hutan, dan 34% di kawasan konservasi. Faktor penyebab konflik-konflik ini, yaitu karena masalah tata batas, pencurian kayu, perambahan hutan, kerusakan lingkungan dan peralihan fungsi kawasan. Menurut Sardjono (2004) penyebab konflik sosial berkaitan dengan hutan dan kehutanan dapat dikelompokkan secara umum
menjadi penyebab yang
sifatnya obyektif dan penyebab yang sifatnya subjektif. Penyebab obyektif berarti bahwa antarkelompok pengguna hutan memiliki kepentingan yang berbeda terhadap sumberdaya yang sama. Sedangkan penyebab subyektif merupakan hasil dari perbedaan budaya yang tidak pernah diperhitungkan semula. Pihak pengelola kawasan hutan mendasarkan setiap tindakan yang dilakukan didasarkan pada aspek legal formal dan kepentingan usahanya, sedangkan pihak masyarakat lokal lebih melihat pada aspek kesejarahan dan keadilan. Davis et al. (2001) menyebutkan bahwa mengelola hutan berarti memanfaatkan hutan untuk mencapai tujuan pokok dari pemilik hutan dan masyarakat banyak (negara). Karenanya, jika tujuan pokok tersebut tidak tercapai maka kawasan itu dapat dikatakan tidak terkelola. Kinerja buruk kawasan hutan yang tidak terkelola menurut Kartodihardjo (2003) hanyalah merupakan sympton, masalah utamanya adalah kelembagaan pemerintah dan birokrasinya belum tertata Jika lebih dicermati, konflik-konflik kehutanan terjadi karena ada perubahan tertentu. Namun demikian, menurut Baron et al. (2004) konflik juga bisa menciptakan perubahan asalkan ada proses pengelolaan yang efektif. Bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, konflik wilayah hidup tidak bisa dilihat dari konflik saja namun perlu dilihat dalam kerangka krisis modal sosial dan krisis modal kehidupan (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006). Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) apabila transformasi sosial masyarakat mengarah pada penguatan institusi dan kohesi sosial maka masyarakat itu akan mampu mencegah dan atau mengelola konflik. Konflik mungkin bisa menjadi alat bantu perubahan ke arah yang lebih baik. Pertanyaan
10 atas pernyataan tersebut adalah ―Bagaimana menciptakan transformasi sosial yang mampu mengarahkan pada penguatan institusi dan kohesi sosial?‖. 2.2. Aksi Partisipatif; Upaya Transformasi Sosial 2.2.1. Mengapa harus partisipasi Menurut Putra (1999) diacu dalam Sardjono (2004), politik sentralisasi merupakan pangkal dari segala persoalan. Rezim berkuasa yang demikian kuat telah menutup peluang bagi para pihak kehutanan yang lain, terutama masyarakat lokal di lapisan bawah untuk turut berpartisipasi dalam proses pembuatan dan pengambilan keputusan, meskipun kebijakan atau upaya yang akan dilaksanakan tersebut akan terkait obyek yang erat dengan kehidupan dan masa depan mereka. Konflik kehutanan yang banyak mencuat setelah era reformasi (Wulan et al. 2004) merupakan salah satu ―buah‖ politik rezim orde baru yang sentralistik (Sardjono 2004). Menyadari akan hal ini, terminologi partisipasi banyak dimunculkan berbagai pihak dan menjadi ikon wajib programprogram pembangunan. Jika dicermati, makna partisipasi berbeda-beda menurut mereka yang terlibat, misalnya antara penentu kebijakan, pelaksana di lapangan, dan masyarakat. Oleh karena itu, beberapa pakar mencoba menggolong-golongkan tingkatan partisipasi ke dalam beberapa kelompok. Misalnya Deshler dan Sock (1985) diacu dalam Selener (1997) menyebut adanya partisipasi semu (pseudoparticipation) dan partisipasi sebenarnya (genuine participation). Arstein (1996) sebagaimana diacu dalam Mitchell et al. (2003) membagi partisipasi berdasarkan tingkatan pembagian kekuasan, yaitu (1) tidak ada partisipasi; (2) tokenism; dan (3) tingkatan kekuasan masyarakat. Syahyuti (2006) merujuk pendapat beberapa ahli yang menyebut ada tujuh karakteristik tipologi partisipasi, yaitu (1) partisipasi pasif; (2) partisipasi informatif; (3) partisipasi konsultatif; (4) partisipasi insentif; (5) partisipasi fungsional; (6) partisipasi interaktif; dan (7) Mandiri. Beragam penggolongan partisipasi yang dilakukan oleh beberapa ahli tersebut pada prinsipnya tidak berbeda, yakni dari tingkatan partisipasi paling rendah ke tahapan ideal. Berdasarkan ragam tipe partisipasi, Sajogyo (2002) kemudian memberi definisi partisipasi sebagai suatu proses dimana sejumlah pelaku bermitra punya pengaruh dan membagi wewenang di dalam prakarsa ‖pembangunan‖, termasuk mengambil keputusan atas sumberdaya. Dalam definisi ini membangun partisipasi akan mencapai puncaknya pada saat
11 pemberdayaan. Dengan demikian, sebuah lokakarya yang diselenggarakan dengan
cara
membagi
wewenang
dalam
pengambilan
keputusan
merupakan upaya membangun partisipasi menuju pemberdayaan (Sayogyo 2002). Upaya membangun partisipasi dalam pembangunan sangat berhubungan erat dengan modal sosial, karena bentuk pendekatan partisipasi juga berarti membangun modal sosial. Menurut Putnam (1993) dalam Rustiadi (2007), adanya modal sosial dalam kehidupan sosial akan terwujud berupa terbentuknya keputusan dan tindakan bersama para pihak yang lebih efektif di dalam mencapai tujuan bersama. Untuk membangun modal sosial secara efektif, pemerintah lokal (pemegang otoritas legal) harus berbagi peran dengan masyarakatnya, dalam arti harus bergeser dari yang semula sebagai pengontrol, regulator, dan penyedia menjadi lebih sebagai katalisator, penyelenggara pertemuan-pertemuan dan fasilitator (Rustiadi et al. 2007). Menurut Fisher et al. (2000) salah satu alasan mengapa suatu kelompok atau organisasi yang dikelola dengan baik berhasil dalam jangka panjang adalah karena semua orang yang terlibat merasa menjadi bagian dan sesuatu yang dikerjakan: didalamnya ada rasa saling memiliki. Setiap orang merasa memiliki tanggung jawab terhadap teman sejawat dan percaya untuk bekerja bersama demi masa depan bersama. Inilah wujud
konsep modal sosial. Dengan
demikian, maka partisipasi dapat pula diartikan sebagai sebuah proses yang dicita-citakan menuju transformasi sosial atau perubahan sosial sebuah institusi yang semula memiliki kohesi sosial lemah menuju kohesi sosial lebih kuat. Apabila bentuk aktifitas proses yang dilakukan oleh anggota komunitas tersebut berupa identifikasi sebuah masalah, pengumpulan dan analisis informasi, dan bertindak sesuai masalah guna menemukan solusi dan mendukung transformasi sosial dan politik, maka Selener (1997) menyebutnya sebagai penelitian partisipatif. Penelitian partisipatif mengkombinasikan tiga kegiatan utama, yakni penelitian, pendidikan dan aksi. Ini merupakan metode penelitian dimana orang secara aktif dilibatkan dalam melakukan sebuah penilaian sistematik terhadap gejala sosial dengan mengidentifikasi suatu masalah khusus guna dicari penyelesaiannya. Disebut proses pendidikan karena peneliti dan partisipan bersama-sama menganalisis dan mempelajari apa yang menjadi penyebab dan solusi apa yang mungkin untuk suatu masalah. Dikatakan aksi karena temuan-temuan diimplementasikan dalam bentuk solusi praktis.
12 Pada tataran praksis, berkaitan dengan masyarakat lokal sekitar hutan yang memiliki persepsi kehidupan sederhana dan selama ini terbiasa dikendalikan dengan segala program dari luar dan dari atas, mengharapkannya terlibat aktif menuju pada penyelesaian berbagai permasalahan kehutanan yang lestari atas dasar sukarela atau inisiatif sendiri tentu saja sangat berlebihan (Sardjono 2004). Dengan kata lain, diperlukan fasilitasi pihak luar yang dapat mendorong kesadaran masyarakat untuk dapat berpartisipasi dan kemudian secara perlahan dapat meningkat ke arah mobilisasi secara mandiri. Intenvensi pihak luar tersebut dapat dikatakan partisipatif apabila melibatkan para pihak yang relevan dalam proses perubahan (Pretty et al. 1995 dalam Groot dan Maarleveld 2000). 2.2.2. Fasilitasi dan Negosiasi Fasilitasi secara sederhana diartikan sebagai proses sadar yang dilakukan untuk membantu pihak lain atau kelompok guna mencapai transformasi sosial dan politik. Orang yang melakukan fasilitasi disebut fasilitator. Menurut Rölling yang disampaikan oleh Groot dan Maarleveld (2000) fasilitasi secara ideal seharusnya dapat mengubah arena perjuangan individu-individu menjadi sebuah forum pembelajaran sosial aktif menuju aksi yang efektif. Pembelajaran terjadi saat umpan balik informasi mempengaruhi keputusan berikutnya (Purnomo 2005). Pembelajaran adalah proses mengambil hikmah atas akibat tindakan-tindakan yang dilakukan secara terus menerus. Jika pengambil keputusan secara sadar mempelajari akibat dari keputusan-keputusan sebelumnya, dan mencoba memperbaiki keputusan yang akan diambil maka proses pembelajaran terjadi. Lup-lup pembelajaran (learning loops) adalah konsep yang sangat berguna untuk memahami pembelajaran (Argyris dan Schön 1996 diacu dalam Groot dan Maarleveld 2000). Pembelajaran lup tunggal terjadi ketika fasilitasi membawa perubahan kebiasaan orang-orang tanpa secara nyata merubah visinya, norma atau nilai-nilai. Perubahan perilaku hanya pada taraf kurang lebih sama, tetapi lebih baik. Pembelajaran lup ganda merubah tidak hanya kebiasaan tetapi juga pandangan dan prinsip-prinsip dasar. Pembelajaran lup tiga adalah pembelajaran bagaimana belajar, termasuk di dalamnya mempertanyakan bagaimana mengembangkan prinsip-prinsip dasar yang tetap atau berubah dalam pembelajaran lup tunggal dan ganda.
13 Fasilitasi, jika dihubungkan dengan pengelolaan konflik, sangat berperan dalam negosiasi. Negosiasi adalah sebuah bentuk pembuatan keputusan dimana dua pihak atau lebih saling berbicara dalam usaha untuk merubah kepentingan mereka yang berlawanan (Engel dan Korf 2005). Negosiasi selalu merupakan permulaan dari suatu proses pembelajaran, penyesuaian-penyesuaian dan pembangunan hubungan-hubungan (Malik et al. 2003). Tidak sempurnanya kesepakatan dikarenakan munculnya situasi yang tidak diharapkan serta adanya kesalahfahaman terhadap tujuan sebenarnya dari kata-kata yang digunakan. Karena itu, penyesuaian adalah perlu. Hal yang terpenting adalah bahwa suatu negosiasi harus dapat memperbaiki saling percaya dari para pihak yang berkonflik demi terfasilitasinya penyesuaian-penyesuaian dan kesepakatankesepakatan tentang topik-topik lain. 2.3. Berpikir Sistem (lunak) dalam Mengelola Kawasan Hutan Kawasan hutan disebut rawan konflik apabila terdapat kepentingan berbeda yang sulit dikompromikan antarpihak-pihak pengguna kawasan hutan, karena dianggap mengganggu atau dapat menghilangkan kepentingan yang lain. Bagi pengelola kawasan hutan, situasi ini menimbulkan kompleksitas masalah dan ketidakpastian. Cara yang diusulkan banyak ahli untuk memfasilitasi prosesproses yang kompleks dan dinamis adalah dengan berpikir sistem lunak (soft system thinking) (Groot dan Maarleveld 2000). 2.3.1. Pemikiran Sistem Berpikir sistem adalah berpikir secara holistik dengan melihat obyek yang dikaji dalam kaitannya dengan komponen-komponen lainnya. Mengapa harus berpikir sistem dalam pengelolaan sumberdaya alam. Karena sumberdaya alam didefinisikan sebagai sebuah sistem, maka pengelolaan sumberdaya alam haruslah dipandang sebagai pengelolaan sistem. Secara definitif sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu suatu gugus dari tujuan-tujuan (Manetsch dan Park 1979 dalam Eriyatno 2003). Checkland and Scholes (1990 dalam Lucket et al. 2001) mengartikan berpikir sistem lebih sederhana lagi. Menurut mereka berpikir sistem adalah suatu cara memandang dan memahami dunia. Sistem didefinisikan sebagai suatu kumpulan ―benda‖ dan beragam aktivitas yang saling berhubungan kemudian membentuk keseluruhan yang adaptif, untuk mencapai satu tujuan. Ini
14 berarti sistem tidak mengacu kepada sekumpulan benda dan aktivitas saja namun ada saling keterkaitan antara elemen-elemen itu. Satu
cara
membandingkannya
untuk
memahami
dengan
berpikir
pendekatan
sistem
reduksionis
adalah dalam
dengan
menangani
kompleksitas (Chapman 2004). Aspek penting pendekatan reduksionis adalah bahwa kompleksitas disederhanakan dengan membagi sebuah masalah ke dalam sub masalah atau menjadi komponen-komponen sedemikian rupa sehingga cukup sederhana untuk dianalisis dan dipahami. Operasi terhadap kompleksitas direkonstruksi dari operasi-operasi pada taraf sub masalah atau komponen-komponen. Cara ini memiliki potensi masalah. Bisa jadi fitur penting dari entitas kompleksitas justru terletak pada hubungan antarkomponen. Kompleksitas muncul ketika masing-masing komponen berkoneksi satu sama lain. Sehingga tindakan menyederhanakan dengan menghilangkan interkoneksi antarkomponen tidak akan dapat mengatasi kompleksitas. Berpikir sistem memiliki sebuah strategi alternatif untuk menyederhanakan kompleksitas, yaitu dengan meningkatkan taraf abstraksi. Taraf tertinggi dari abstraksi mampu menghilangkan detil masalah, dan ini berarti penyederhanaan. Ketika orang berbicara tentang organisasi maka ia mengeliminasi fungsi individuindividu atau kelompok. Organisasi berada pada taraf abstraksi yang lebih tinggi dari individu-individu di dalamnya. Namun, interkoneksi antarkomponen tetap dipertahankan
meski
taraf
abstraksinya
meningkat.
Abstraksi
atau
penyederhanaan dari dunia nyata yang mampu menggambarkan struktur dan interaksi elemen serta perilaku keseluruhannya sesuai dengan sudut pandang dan tujuan yang diinginkan didefinisikan sebagai model (Purnomo 2005). Dalam mempelajari tentang berpikir sistem adalah sangat membantu untuk membedakan dua kelas masalah, yaitu antara masalah yang rumit dan masalah yang sulit (Chapman 2004). Sebuah kesulitan dikarakterisasi oleh kesepakatan atas sebuah masalah dan oleh pemahaman tentang solusi apa yang mungkin, dan pemecahannya dibatasi oleh waktu dan sumberdaya. Sementara kerumitan dikarakterisasi oleh kesepakatan yang tidak jelas tentang apa sebenarnya masalah dan oleh ketidakpastian dan ambiguitas bagaimana memperbaiki masalah tersebut, dan ia tidak dibatasi oleh waktu dan sumberdaya. Perbedaan lainnya adalah jika seseorang mempunyai solusi atas suatu masalah yang sulit maka ia adalah aset, tetapi jika seseorang ingin menyelesaikan masalah yang rumit maka ia sendiri adalah bagian dari masalah tersebut.
15 Metode reduksionis (analisis) sangat tepat dalam menangani masalah yang sulit, tetapi kurang ampuh dalam menyelesaikan masalah yang rumit. Berpikir sistem dengan pendekatan sistem lunak menyediakan kerangkakerja yang terbukti berhasil menangani masalah rumit (Chapman 2004). Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa pendekatan sistem berkontradiksi dengan pendekatan analitik. Pemikiran sistem tidak menyisikan pemikiran analitis, justru ia suplemen bagi pemikiran analitis (Winardi 2005). Winardi (2005) mengutip karya Blaise Pascal yang menyebutkan bahwa adalah aneh untuk mengira bahwa kita akan memahami keseluruhan tanpa secara khusus mengenal bagian-bagiannya. Aplikasi berpikir sistem dalam manajemen organisasi telah menghasilkan beberapa metodologi, seperti perekayasaan sistem, analisis sistem, dinamika sistem, riset operasi, dan manajemen sibernetik. Kumpulan metodologi ini dikenal sebagai pemikiran sistem keras. Checkland (1981) dalam Simonsen (1994) membedakan antara sistem keras (hard system) dengan sistem lunak (soft system) sebagai upaya menggunakan konsep sistem dalam memecahkan masalah. Berpikir sistem keras diidentifikasi dalam perekayasaan sistem dan analisis sistem. Ini dimulai dari masalah-masalah yang terstruktur dan tujuan sistem tersebut dapat dibatasi dan konsisten. Berpikir sistem lunak dimulai dari masalah-masalah
tidak
terstruktur di dalam sistem-sistem aktifitas sosial yang dirasakan sebagai situasi masalah yang tidak jelas. Checkland menyebut berpikir sistem keras sebagai ‗paradigma
optimisasi‘
dan
berpikir
sistem
lunak
sebagai
‗paradigma
pembelajaran‘. Pemikiran sistem yang dibedahkan menjadi sistem keras dan sistem lunak dianalogikan oleh Flood (2001) sebagai pemikiran sistem (systems thinking) dan pemikiran sistemik (systemic thinking). Pemikiran sistem mengacu kepada cara berpikir tentang
sistem sosial riil karena memang sistem tersebut
ada.
Sementara pemikiran sistemik muncul dari anggapan bahwa konstruksi sosial itu bersifat sistemik. Pemikiran sistem didasarkan pada prinsip objektif, sementara pemikiran sistemik mengandalkan posisi subjektifitas. Pemikiran sistem lunak adalah bentuk pemikiran sistemik yang memahami realitas sebagai konstruksi kreatif umat manusia (Jackson 1991 diacu dalam Flood 2001). Pemikiran ini melihat realitas sosial sebagai konstruksi dari penafsiran
orang-orang
terhadap
pengalamannya.
Ini
berarti,
cara
ini
berhubungan erat dengan teori interpretatif (interpretative theory). Oleh karena
16 itu pemikiran sistem lunak dihasilkan dan dijalankan dengan melibatkan sudut pandang dan maksud orang-orang. Menurut Sinn (1998) keragaman metodologi dalam ilmu sistem sebetulnya tidak saling berkompetisi, namun menempati relung kontekstual yang berbeda. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1, sistem metodologi-metodologi sistem adalah berupa matriks 2 x 3 yang menggambarkan konteks masalah yang dibentuk oleh dimensi kompleksitas teknis dan keragaman sudut pandang partisipan. Metode-metode pemecahan masalah dikategorikan ke dalam enam sel. Misalnya, Metodologi Sistem Lunak adalah paling cocok untuk menangani masalah pada sistem kompleks dimana situasi masalah melibatkan banyak pihak. Sementara, apabila situasi masalah dianggap kompleks namun tidak melibatkan interaksi manusia maka Teori Sistem Umum layak digunakan. Tabel 1 Tipologi metodologi pemecahan masalah berbasis sistem menurut Flood dan Jackson (1991) Kompleksitas sistem Sederhana
Kompleks
Keragaman perspektif diantara partisipan potensial Seragam
Jamak
Saling memaksakan
Riset operasi Analisis sistem Perekayasaan sistem Dinamika sistem
Desain sistem sosial Pengujian dan Penyingkapan Asumsi strategis
Sistem kritis Heuristik
Perencanaan interaktif Metodologi sistem lunak
?
Model sistem aktif Teori sistem umum Sistem sosioteknis Teori kontingensi Sumber : dalam Sinn (1998)
Interaksi manusia dengan manusia jika memiliki sasaran yang sama akan membentuk sistem aktivitas manusia (Human Activity System). Aktivitas manusia yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang terbatas seringkali menciptakan situasi masalah yang kompleks. Pada saat keragaman perspektif manusia dan kompleksitas situasi masalah menempati ruang yang sama maka Metodologi Sistem Lunak merupakan pilihan pendekatan analisis berbasis sistem yang kini diakui dan digunakan secara luas. 2.3.2. Metodologi Sistem Lunak (MSL) Metodologi Sistem Lunak dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Peter Checkland dan rekan-rekannya dari Universitas Lancaster. Pendekatan MSL
17 muncul sebagai hasil ―pergerakan sistem‖ yang dipandang oleh Checkland sebagai usaha untuk memberi pendekatan yang holistik terhadap masalah, dimana
secara
tradisional
pendekatan
reduksionis
gagal
untuk
menyelesaikannya. MSL dikembangkan dari program riset aksi yang bertujuan untuk mencari cara mengatasi masalah dunia nyata yang tidak terstruktur. Riset aksi atau penelitian partisipatif adalah proses dimana anggota kelompok atau masyarakat melakukan identifikasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis informasi, dan melakukan tindakan atas masalah tersebut dengan maksud untuk menemukan solusi dan mendukung transformasi sosial dan politik (Selener 1997). Proses seperti tersebut akan mampu mengatasi kendala bounded rationality yang dihadapi para pengelola ketika berhadapan masalah yang tidak terstruktur. Sebuah masalah yang tidak terstruktur atau situasi masalah kompleks adalah situasi dimana orang-orang merasa dapat memperbaikinya, tetapi mereka tidak tahu apa masalah sebenarnya (Checkland, 2000 dalam Holst dan Nidhall 2001). Masalah yang tidak terstruktur dan sukar untuk didefinisikan dianalisis melalui metode kualitatif, yaitu dengan memodelkan perspektif para pihak, tanpa mereka harus mencapai konsensus terhadap perbedaan pandangan tersebut. Semua asumsi yang mendasari pandangan orang-orang harus disampaikan secara eksplisit agar analisis ini berguna. Asumsi-asumsi tersebut merupakan ―cara pandang‖ (Dalam bahasa Jerman: Weltanschauung) yang seringkali diabaikan. Pendekatan holistik yang disokong oleh MSL berusaha untuk mendorong pencarian skenario masa depan melalui penyesuaian antara ―sistem baru‖ dengan kebutuhan aktual. Checkland (1999) menegaskan tentang analisis sistem dalam MSL sebagai berikut: So this takes the view that conflict deriving from different world views is endemic in human affair but these systems ideas based on the concept of a purposeful activity system as a device for structuring debate, can lead you into learning process for finding the accomodations which enable action to be taken to improve things. And that is the fundamental nature of the learning cycle which is SSM
Inti Metodologi Sistem Lunak adalah membangun model dari sistem-sistem yang berkaitan dengan situasi masalah. Model-model ini digunakan sebagai
18 media diskusi guna membawa perubahan situasi aktual. Proses diskusi membolehkan partisipan untuk berdebat dan saling bertanya sedemikian rupa sehingga keragaman perspektif dapat terungkapkan. Metodologi Sistem Lunak dilaksanakan secara klasik melalui 7 (tujuh) tahap, sebagai suatu proses (Checkland 1981 dalam berbagai referensi yang relevan).
Tahap 1 Memahami situasi masalah dalam kerangka pikir faktual dan aktual Ini adalah langkah untuk mengumpulkan sejumlah informasi yang dibutuhkan (sejarah, budaya, struktur sosial, jenis dan jumlah para pihak, pandangan dan asumsi para pihak). Tujuan tahap ini bukan untuk mendefinisikan masalah,
tetapi
untuk
memperoleh
sejumlah
pemikiran
yang
sedang
berkembang, sehingga rentang pilihan-pilihan keputusan yang mungkin menjadi terbuka. Tahap 2 Mengekspresikan situasi masalah Hasil tahap sebelumnya digunakan untuk membangun gambar situasi (rich picture) masalah yang sedang diperiksa. Gambar ini harus dapat melukiskan proses aktivitas dari setiap institusi yang terlibat dalam situasi masalah. Relasi antara aktivitas dan institusi seyogyanya mengilustrasikan masalah, peran-peran, dan elemen lingkungan yang mudah dipahami. Ini adalah basis bagi diskusi lebih lanjut.
Tahap 3 Mendefinisikan akar sistem yang berkaitan dalam situasi masalah Sistem aktivitas manusia diekspresikan dalam definisi akar, dalam bentuk kalimat kalimat terstruktur yang menyatakan tujuan mendasar setiap sistem yang muncul dari perbedaan persepsi partisipan. Pada tahap ini kita meninggalkan situasi masalah sebenarnya. Ini merupakan proses yang paling sulit. Definisi akar dari sistem sebaiknya dikonstruksi menggunakan mnemonic CATWOE. C = costumer
: Siapa yang mendapat manfaat dari aktivitas bertujuan?
A = actor
: Siapa yang melaksanakan aktivitas-aktivitas?
T = tranformation
: Apa yang harus berubah agar input menjadi output
W = World-view
: Cara pandang seperti apa yang membuat sistem berarti
O = owner
: Siapa yang dapat menghentikan aktivitas-aktivitas
E = environment
: Hambatan apa yang ada dalam lingkungan sistem
19 Inti dari definisi akar sistem ini adalah proses transformasi, yang mengubah input menjadi output. Input-output sebaiknya menggunakan kata benda, bukan kata kerja. Sehingga perubahan akan diisi oleh aktivitas-aktivitas untuk mengubah keadaan ―kebendaan‖ tersebut. Definisi akar ini semestinya merefleksikan keragaman cara pandang partisipan. Ide-ide aktivitas untuk memperbaiki keadaan bersifat akomodatif. Jadi, meskipun satu pihak tidak sepakat dengan sistem yang diinginkan pihak lain tapi dia dimungkinkan untuk menuangkan ide aktivitas sistem itu berdasarkan perspektif dirinya. Tahap 4 Mengkonstruksi model-model konseptual Setiap definisi akar yang dihasilkan dalam tahap 3 akan diwujudkan dalam model konseptual dalam tahap 4. Model konseptual secara sederhana merupakan suatu kumpulan aktivitas yang terstruktur secara logis dalam sebuah sistem gagasan yang telah dibatasi oleh definisi akar. Model konseptual tidak bermaksud menggambarkan situasi masalah, namun merupakan sebuah upaya untuk memahami aktivitas-aktivitas yang dibutuhkan guna mencapai suatu perubahan. Selain itu, model konseptual juga bermaksud merancang sebuah sistem yang merepresentasikan perspektif para pihak tentang sistem yang diinginkan dalam aktivitas interaksi mereka. Tahap ini membantu partisipan untuk berdiskusi mengenai langkah apa yang dapat diambil dalam situasi masalah sebenarnya. Model konseptual merupakan penyajian definisi akar sistem, dengan memakai
kata
kerja
(verb)
sebagai
bahasa
pemodelan
agar
model
merepresentasikan apa yang sistem harus lakukan, sebagaimana telah terdefinisi dalam tahap sebelumnya. Model konseptual tidak melukiskan kejadian di dunia nyata (fakta), namun berupa struktur beragam aktivitas untuk mencapai transformasi yang dimodelkan dalam sekuen saling bergantung secara logis. Jadi, dalam sebuah model, sebuah panah dari aktivitas x ke aktivitas y menunjukkan bahwa y tergantung kepada x. Tahap 5 Membanding model konseptual dengan situasi masalah Model konseptual yang dirancang dalam tahap 4 menyediakan struktur untuk terjadinya perdebatan mengenai situasi masalah. Ini menyisakan sejumlah pertanyaan. Ini juga menandai perbedaan antara situasi aktual dengan realitas yang dirasakan. Pembahasan mengenai model memberi kesempatan bagi
20 partisipan untuk memikirkan kembali asumsi-asumsi mereka. Ini membolehkan mereka membahas perubahan yang dapat memperbaiki situasi masalah. Checkland menggambarkan perbandingan ini sebagai sebuah konfrontasi antara ―apakah‖ dan ―bagaimana‖. Model sistem yang dihasilkan tahap 4 adalah deskripsi abstrak dan gambaran beragam aktivitas yang secara logis mesti ditunjukkan dalam sistem (apakah), sementara aktivitas dalam dunia nyata selalu menunjuk satu cara untuk melakukan sesuatu (bagaimana). ―Bagaimana‖ biasanya disampaikan lebih implisit, dibanding ―apakah‖. Tujuan model-model tersebut adalah untuk mempertanyakan apakah beragam aktivitas dalam model dalam diwujudkan dalam dunia nyata, bagaimana kinerjanya selama ini, atau cara alternatif apakah yang bisa diambil guna mewujudkan aktivitas tersebut. Tahap 6 Menetapkan perubahan yang layak dan diinginkan Tujuan langkah ini untuk mengidentifikasi dan mencari perubahan yang diinginkan secara sistemik dan layak menurut budaya. Perubahan ini dapat saja terjadi dalam hal struktur, prosedur, atau sikap orang-orang. Struktur disini menyangkut organisasi kelompok pihak, atau struktur tanggungjawab fungsional. Perubahan prosedur meliputi semua aktivitas yang dilakukan organisasi, seperti tindakan-tindakan operasional. Perubahan sikap mengacu kepada perubahan dalam cara pandang mengenai sasaran dalam situasi masalah sehingga orangorang akan memahami bagaimana seharusnya berperilaku dalam hubungan antarmereka. Tahap 7. Membuat perubahan untuk memperbaiki keadaan Ini merupakan langkah implementasi. Siapa yang akan melaksanakan? Bentuk tindakan apa yang diambil? Dimana? Kapan? adalah penting dalam tahap ini. Perubahan sikap dan perilaku sebaiknya dipertimbangkan sebagai dimensi untuk menggerakkan sistem baru. Perubahan yang menggoyakan perubahan sebaiknya dihindari. Tahap ini membutuhkan komitmen dan tanggungjawab aktor –aktor untuk mewujudkan rencana aksi. Metodologi Sistem Lunak merupakan proses berlanjut, namun menurut Checkland (1981) dalam Simonsen (1994) tidak seharusnya pendekatan ini diperlakukan sebagai teknik atau metode, tetapi sebagai sebuah metodologi. Karenanya, tahapan-tahapan ini tidak bersifat kaku sebagaimana metode, tetapi dapat disesuaikan dengan situasi khusus tertentu.
21 2.3.3. Beragam pengunaan Metodologi Sistem Lunak Metodologi Sistem Lunak sejak diperkenalkan oleh Peter Checkland dan rekan-rekannya di Universitas Lancester Inggris pada awal dekade 1980-an, telah diadopsi secara luas dan dianggap berhasil menangani beragam masalah di berbagai bidang (Mingers 2000; Holwell 2000; Jackson 2001; Pala et al. 2003). Misalnya, di Cina, MSL digunakan untuk mengidentifikasi tantangan dan kelemahan yang mungkin dalam sistem logistik daur ulang baterai (Li et al. 2007). Di Vietnam, MSL dipakai untuk menginvestigasi persyaratan dan potensi kemajuan pengembangan industri (Braver et al. 2007). Di Australia, ia dipakai untuk mengembangkan kemampuan sistem informasi militer Departemen Pertahanan (Staker 1999) dan pengelolaan sektor kesehatan (Braithwaite 2002). Di Inggris MSL telah digunakan secara luas dalam banyak bidang, misalnya untuk perbaikan kinerja dan perubahan organisasi Pelayanan Kesehatan Nasional (Jacobs 2004), eksplorasi pengembangan perawat khusus bagi orang jompo (Reed et al. 2007), pengelolaan objek data digital (Chilvers 2000), memperbaiki komunikasi antar unit pengelola dalam pusat rehabilitasi orang cacat (Brenton, 2007), memahami bagaimana terjadinya tragedi antar pendukung sepakbola di Stadion Hillsborough (Lea et al. 1998). Di Amerika Serikat, MSL menghasilkan langkah-langkah menuju perubahan sistem program makan siang di sekolah-sekolah umum sebagai upaya mengatasi obesitas pada anak dan remaja (Suarez-Balcazar et al. 2007), dipakai pula sebagai pendekatan untuk menstrukturkan masalah dalam manajemen proyek (Reed et al. 2006), dan sistem informasi bagi konsultan teknologi (Hogan et al. 2003). Beragamnya bidang pemanfaatan Metodologi Sistem Lunak menunjukkan handalnya pendekatan ini dalam membantu pemecahan masalah yang berkaitan dengan kompleksitas interaksi manusia. Dalam bidang manajemen saja, Holwell (2000) mencatat 250 referensi seperti makalah jurnal, makalah seminar, dan buku teks yang menggunakan pemikiran Metodologi Sistem Lunak. MSL juga telah diaplikasikan dalam bidang manajemen sumberdaya alam dan lingkungan Dalam bidang ini, Nidumolu et al. (2006) berhasil memanfaatkan pendekatan MSL untuk menyusun program perencanaan tata guna lahan di India. Bunch (2002) mampu membuat rekomendasi pengelolaan lingkungan bantaran sungai di India. Haklay (1999) menganalisis dampak lingkungan pembangunan perumahan di Israel. Namun, MSL masih jarang digunakan oleh peneliti dan praktisi di Indonesia (Eriyatno 2003; Eriyatno dan Sofyar 2007).
22 Di Indonesia, Purnomo et al. (2003) dalam penelitian pengelolaan kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut di Kabupaten Pasir Kalimantan Timur, telah membuktikan
bahwa
mengharmoniskan
pendekatan
Metodologi
Sistem
Lunak
dapat
para pihak yang berbeda kepentingan, menguatkan
pembelajaran bersama, dan mendorong mereka membuat formulasi rencana aksi kolaboratif. Konteks dan hasil penelitian ini relevan dengan permasalahan pengelolaan kawasan hutan ―tidak terkelola‖ yang banyak terjadi pada taman nasional dan hutan penelitian.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Konteks Penelitian Hutan Penelitian Benakat merupakan salah satu kawasan hutan produksi yang ditetapkan pemerintah sebagai areal bagi penyelenggaraan kegiatan penelitian dan pengembangan (Litbang), melalui pemberian status Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 111 tanggal 24 April 2004. Pengelolaan kawasan ini dimandatkan kepada Balai Penelitian Kehutanan Palembang sebagai unit pelaksana teknis Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Hutan Penelitian Benakat secara administratif berada di Kecamatan Talang Ubi Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Areal hutan produksi ini terletak 180 km dari Kota Palembang, Ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Luas total kawasan kurang lebih 4000 Ha, terdiri dari lima blok pengelolaan yang posisinya terpisah (Gambar 2). Kawasan hutan produksi di luar hutan penelitian merupakan areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Musi Hutan Persada (MHP).
Blok Agroforestri
Gambar 2 Hutan Penelitian Benakat di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
24 Kawasan Hutan Penelitian Benakat berbatasan langsung dengan tiga desa dimana masyarakatnya telah lama bermukim dan memanfaatkan keberadaan lahan. Pemanfaatan lahan oleh masyarakat yang paling intensif terjadi pada Blok Agroforestri, salah satu areal penelitian yang pada awalnya diperuntukkan bagi kegiatan penelitian bidang agroforestri. Penelitian bidang agroforestri dilakukan untuk mencari kombinasi terbaik tanaman penghasil kayu pertukangan dan tanaman semusim yang mampu menghasilkan produktivitas tinggi dan menyejahterakan petani. Fakta lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan seluas 400 hektar tersebut telah menjadi perkebunan karet masyarakat, areal penggembalaan sapi, dan pemukiman penduduk. Ini membuat pihak pengelola berada dalam posisi sulit untuk membuat tindakan manajemen terhadap kawasan tersebut. Upaya pengelolaan Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat tidak hanya dipengaruhi masalah kekinian fakta tata guna lahan namun juga oleh kerawanan konflik terbuka dengan 2 (dua) desa yang ada di dalam dan sekitar kawasan. Desa Benakat Minyak dan Desa Semangus memiliki sejarah konflik terbuka dengan PT. Musi Hutan Persada akibat tindakan manajemen perusahaan yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat, terutama menyangkut aspek tata guna lahan (Fatmawati 2004; Martin et al. 2003). Situasi ini dijadikan alasan oleh pengelola untuk tidak melakukan tindakan manajemen apapun. Aplikasi Metodologi Sistem Lunak ini dilakukan dalam rangka mendapatkan peta jalan guna mengatasi kebuntuan tindakan manajemen atas Blok Agroforestri, sedemikian rupa sehingga pengelola dapat menjalankan fungsi penyelenggaraan kegiatan litbang di tengah beragam kepentingan masyarakat atas kawasan tersebut. 3.2. Rancangan Aplikasi Metodologi Sistem Lunak Proses utama penelitian ini menggunakan modus operandi penelitian aksi (McNiff 1992; Chambers 1996; Selener 1997) yang diarahkan untuk mendukung berlangsungnya fase Metodologi Sistem Lunak (Checkland 1981 dalam Simonsen 1994 dan Williams 2005) melalui media fasilitasi reflektif (Groot dan Maarleveld 2000; Selener 1997).
Menurut Wilson (1984 dalam Rose 1999)
upaya melakukan perubahan dari situasi yang dianggap sebagai masalah adalah aksi, sementara pembelajaran dari proses untuk memperoleh perubahan itu merupakan penelitian.
25 Konteks penelitian ini adalah upaya pengelolaan kembali kawasan hutan yang dianggap rawan konflik, sehingga proses penelitian diawali dengan mengobservasi atau memahami situasi masalah, merefleksi pemahaman situasi masalah melalui pemodelan sistem, menetapkan rencana aksi, hingga tercapainya aksi (Gambar 3). Aplikasi tahapan Metodologi Sistem Lunak dari observasi hingga tercapainya aksi tetap efektif dalam menjelaskan pemecahan masalah-masalah rumit (Wiggins 1988 dalam Lea et al. 1998; Dymond 1996; Lea et al. 1998). Luckett et al. (2001) juga menggunakan tahapan seperti ini dalam merancang
sebuah
sistem pengelolaan bagi organisasi pengembangan
masyarakat di Afrika Selatan dan menyebutnya sebagai fase intervensi. 1a. Pra-Observasi 7. Lakukan tindakan untuk memperbaiki situasi
1. Masuki situasi bermasalah
2. Ekspresikan situasi masalah
Aksi
6. Tetapkan perubahan yang layak dan perlu
Perencanaan
Observasi
5. Bandingkan model dengan dunia nyata Dunia nyata
Refleksi
3. Formulasikan definisi akar dari sistem aksi dengan tujuan tertentu
Pemikiran sistem 4. Bangun model konseptual dari sistem-sistem
Gambar 3 Tahapan penelitian dalam kerangkakerja Metodologi Sistem Lunak (1a sampai 7). Intervensi merupakan basis penelitian aksi (Midgley 2003), dimana aksi peneliti (agen) pada tahap ini bertujuan untuk menciptakan proses perubahan. Hakikat tujuan penelitian tidak tercapai apabila tidak terjadi langkah-langkah pengelolaan bagi Blok Agroforestri. Tahapan observasi diawali dengan aktivitas penentuan stakeholder dan pendefinisian isu (sebagaimana disarankan oleh Adelson 1999; Ramírez dan
26 Fernández 2004; Martin dan Borges 2007) untuk memasuki situasi sistem sosial kompleks. Peneliti menyebut tahapan awal ini sebagai pra-observasi. 3.2.1. Pra-observasi (tahap 1a) Tahap ini berkaitan dengan upaya untuk mendorong para pihak bersedia bertemu dalam satu forum agar dialog tatap muka dapat dimulai. Menetapkan masalah mensyaratkan identifikasi para pihak dan saling menyadari atas isu-isu bersama. Wawancara kelompok (focus group interviews-FGIs) (Brits dan Plessis 2007; Mikkelsen 2005) yang
dilakukan pada setiap kelompok para pihak
merupakan alat utama dalam tahap ini. Para pihak (stakeholders) didefinisikan oleh Freeman (1984 dalam Ramirez 1999; Elias dan Cavana tt) sebagai setiap kelompok atau individu yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi pencapaian tujuan bersama. Namun, menurut Ramirez (1999), dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, definisi Rolling dan Wagemakers (1998) lebih mengena, yakni kelompok atau individu yang menggunakan dan mengelola sumberdaya alam. Oleh karena itu, dalam penelitian ini para pihak utama adalah mereka yang berasal dari Balai Penelitian Kehutanan Palembang (pengelola), Desa Benakat Minyak (pemanfaat), dan Desa Semangus (pemanfaat). Wawancara kelompok fokus dilakukan pada tanggal 30 Juli 2007 terhadap pihak Balai Penelitian kehutanan Palembang (dihadiri 26 orang peserta), tanggal 2 Agustus 2007 terhadap pemanfaat lahan Blok Agroforestri dari Desa Benakat Minyak (dihadiri 19 orang peserta), dan tanggal 4 Agustus 2007 terhadap masyarakat Desa Semangus (dihadiri 25 orang peserta). Masing-masing kelompok diajukan pertanyaan yang sama, yaitu : (1) Apa yang anda cita-citakan, harapkan, impikan, atau inginkan dari kawasan Blok Agroforestri; (2) Apa yang (dapat) menjadi penghambat pencapaian cita-cita, impian dan keinginan anda itu. Wawancara kelompok fokus dijalankan melalui strategi fasilitasi minimal dimana peneliti bertindak sebagai fasilitator pertemuan agar masing-masing kelompok dapat merumuskan jawaban kelompoknya atas pertanyaan yang diajukan, namun fasilitator tidak terlibat dalam proses menemukan jawaban tersebut. Selain itu, setiap kelompok diminta untuk memilih individu-individu sebagai wakil kelompoknya dalam proses pelaksanaan penelitian lanjutan. Peneliti membantu cara pemilihan wakil kelompok berdasarkan kriteria ―who really counts‖ yang dikembangkan oleh Mitchell et al. (1997 dalam Magness 2007), yaitu kekuatan (power), kepentingan (urgency), dan keabsahan
27 (legitimacy). Kekuatan mengacu kepada kemampuan dalam mengontrol sumberdaya. Kepentingan berarti terdapat ―sesuatu‖ yang harus menjadi perhatian. Keabsahan merujuk kepada perilaku yang secara sosial diterima dan diharapkan. Individu yang terpilih diharapkan paling tidak memiliki 2 dari 3 kriteria tersebut. Berdasarkan kerangka identifikasi “who really counts” ini pula masingmasing kelompok menunjuk pihak lain di luar para pihak utama sebagai para pihak sekunder. Individu yang terpilih disebut sebagai aktor (who own the problems). Mereka adalah subjek utama dalam proses penelitian aksi ini. Penetapan masalah dilengkapi dengan pengumpulan informasi mengenai sejarah dan situasi terkini pemanfaatan areal Blok Agroforestri, melalui pengumpulan data sekunder, wawancara rumah tangga dan observasi lapangan partisipatif. Kegiatan wawancara rumah tangga dibantu aktor-aktor lokal guna memudahkan penentuan responden dan proses wawancara. Pra-observasi dilaksanakan oleh peneliti dengan cara tinggal di Desa Benakat Minyak dan Semangus selama beberapa waktu. 3.2.2. Observasi, refleksi, perencanaan, aksi (Tahap 1 s.d. 7 dalam MSL) Hasil dari proses pra-observasi dijadikan pijakan untuk memulai tahapan Metodologi Sistem Lunak melalui forum lokakarya (search conference). Lokakarya dilaksanakan selama 2 hari, tanggal 14 sampai dengan 15 November 2007 bertempat di Wisma Mawar Pertamina Pendopo, Kecamatan Talang Ubi Muara Enim. Lokakarya multipihak diikuti oleh 18 orang aktor sebagai wakil dari para pihak yang dianggap berkepentingan dengan Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat. Delapan belas orang tersebut terpilih atas kriteria ―who really count‖ yang ditetapkan masing-masing pihak. Lokakarya merupakan proses berlanjut dari tahapan pra-observasi, dimana peneliti berperan sebagai fasilitator reflektif (Groot dan Maarleveld 2000). Ini memungkinkan terjadinya komunikasi efektif antaraktor untuk saling menerima rancangan proses penelitian. Proses kegiatan dalam dua hari lokakarya merupakan adaptasi tahapan Metodologi Sistem Lunak (Tabel 2).
28 Tabel 2 Tata waktu proses kegiatan lokakarya Kegiatan
Waktu
Pembukaan, Doa, Perkenalan, Kontrak Belajar
Hari 1
Pemahaman situasi masalah (Tahap 1 dan 2)
Hari 1
Identifikasi solusi atas isu (Tahap 3)
Hari 1
Analisis sistem pengelolaan Blok Agroforestri (Tahap 4)
Hari 1
Diskusi tentang perbedaan antara model konseptual dengan faktual (Tahap 5)
Hari 2
Perubahan apa yang kita inginkan (Tahap – 6) Skenario aktivitas untuk mencapai perubahan (Tahap 6)
Hari 2 Hari 2
Peran masing-masing aktor (pihak) dalam skenario (Tahap 6)
Hari 2
Penutupan
Hari 2
Implementasi aksi untuk memperbaiki situasi masalah merupakan tahap akhir dari Metodologi Sistem Lunak (tahap 7). Pada tahap ini, peneliti tidak terlibat secara langsung dalam aksi yang dilaksanakan para pihak karena fokus penelitian berada pada fase intervensi. Pada bulan ke-6 setelah ditetapkannya rencana aksi, peneliti mendokumentasikan apakah terjadi langkah-langkah pengelolaan bagi Blok Agroforestri. Pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan rencana yang dibuat dalam lokakarya menjadi indikator tercapainya tujuan penelitian. 3.3. Analisis perubahan sikap Sikap didefinisikan oleh Mc Guire dalam Sarwono (1992) sebagai respon manusia yang menempatkan obyek yang dipikirkan ke dalam suatu dimensi pertimbangan. Zubair dan Garforth (2006) menilai sikap seseorang dari dua komponen yaitu kekuatan keyakinan (belief strength) dan evaluasi manfaat (outcome evaluation). Dalam konteks penelitian ini kekuatan keyakinan diukur melalui tiga skala Likert (Nazir, 2003) yaitu setuju (3), ragu-ragu (2), dan tidak setuju (1); sementara evaluasi manfaat dilihat dari ukuran penting (3), ragu-ragu (2), dan tidak penting (1). Nilai peubah sikap yang terdiri dari sub peubah kekuatan keyakinan dan evaluasi manfaat merupakan respon aktor-aktor sebagai wakil para pihak terhadap pernyataan-penyataan keyakinan dan manfaat model tata guna lahan Blok Agroforestri. Pernyataan-pernyataan keyakinan dan manfaat yang diajukan adalah sebagai berikut: Areal Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat akan dijadikan: (1) perkebunan karet saja; (2) areal penggembalaan ternak; (3)
29 peladangan saja; (4) dibiarkan sebagaimana adanya saat ini; (5) hutan tanaman Acacia mangium; (6) hutan campuran jenis karet dan pohon serbaguna; (7) hutan campuran jenis karet, pohon serbaguna dan A. mangium; (8) pola agroforestri jenis pohon serbaguna, karet, tanaman semusim dan atau ternak. Peubah sikap dari para pihak utama diukur pada saat setelah mereka menunjuk aktor untuk mengikuti lokakarya; sementara aktor dari para pihak non utama menyatakan sikap setelah mereka memahami situasi masalah (langkah 1 dan 2), dan pada saat pascalokakarya. Signifikansi perubahan sikap para pihak dianalisis melalui tes McNemar. Menurut Siegel (1992) tes McNemar untuk signifikansi perubahan diterapkan teristimewa terhadap rancangan-rancangan ―sebelum dan sesudah‖ dimana setiap orang sebagai pengontrol dirinya sendiri, dan dimana kekuatan pengukurannya adalah skala nominal dan ordinal. Untuk menguji signifikansi setiap perubahan yang diobservasi dengan metode ini, dibentuk suatu tabel frekuensi yang berbentuk segi empat. Ciri umum tabel semacam ini digambarkan dalam Tabel 3 berikut, dimana tanda tambah dan kurang dipakai untuk menandai jawaban yang berbeda. Tabel 3 Tabel segi empat untuk menguji signifikansi perubahan sikap partisipan sebelum dan setelah mengikuti fase intervensi Metodologi Sistem Lunak Sesudah -
+
+
A
B
-
C
D
Sebelum
Seseorang dicatat dalam sel A jika dia berubah dari tambah ke kurang; dan dicatat dalam sel D jika dia berubah dari kurang ke tambah. Jika tidak ada perubahan yang diobservasi, dia dicatat di sel B (kedua jawaban adalah tambah, baik sebelum dan sesudah) atau di sel C (kedua jawaban adalah kurang, baik sebelum maupun sesudah). Dalam tes McNemar peneliti hanya berkepentingan pada sel A dan D. Nilai A dan D kemudian dianalisis signifikansi perbedaannya melalui analisis chi-square apabila nilai frekuensi harapan besar, yaitu ½ (A + D) > 5, atau melalui uji binomium jika nilai frekuensi harapan kecil, yakni ½ (A + D) < 5.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sejarah Pengelolaan Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat mempunyai sejarah pengelolaan yang cukup panjang, dimulai dengan proyek kerjasama luar negeri antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jepang pada Tahun 1979. Proyek tersebut dikenal dengan nama Technical Cooperation for the Trial Plantation Project in Benakat, South Sumatera (ATA-186). Proyek Benakat ATA-186 berakhir tahun 1986, namun demikian proyek pengembangan teknologi reboisasi mekanis masih dilanjutkan sampai dengan tahun 1991 atas bantuan pemerintah Jepang (JICA). Latar belakang lahirnya proyek kerjasama ini adalah adanya keprihatinan meluasnya lahan alang-alang di Sumatera dan Kalimantan akibat praktik perladangan berpindah dan eksploitasi hutan yang tidak dilanjutkan dengan rehabilitasi. Patut diketahui bahwa pada saat itu pengalaman rimbawan dalam melakukan penanaman di areal alang-alang masih sangat kurang (Rimbawanto 2004). Penanaman tahunan dimulai pada tahun tanam 1980/1981 sampai 1983/1984 adalah masing-masing seluas 200 ha, 400 ha, 700 ha dan 800 ha. Setiap petak tanaman mempunyai luasan yang hampir sama yaitu 50 ha. Sesuai dengan rancangan pengujian yang akan dilakukan areal penanaman dibagi menjadi 3 blok yaitu Blok A untuk growth increment test, Blok B untuk mechanization test dan Blok C untuk species introduction test. Pada tahun 1982, kegiatan proyek diperluas dengan menangani aspek agroforestri. Kegiatan ini ditujukan untuk mengetahui kombinasi tanaman pertanian dan kayu yang paling menguntungkan, memberikan pilihan kepada masyarakat setempat untuk memperoleh sumber penghasilan selain upah, membangun jaringan masyarakat untuk melindungi hutan. Kawasan hutan yang dipersiapkan untuk ujicoba aspek agroforestri adalah seluas 400 hektar, yang kemudian dikenal sebagai Blok Agroforestri atau Areal Tumpangsari. Rancangan pembangunan Blok Agroforestri meniru ―Magersaren‖ atau tumpangsari yang dilakukan Perhutani di Jawa. Untuk keperluan ini dibangun 30 rumah sederhana untuk petani peserta program, pendopo pertemuan petani, kolam air, kebun buah, areal hijauan ternak, dan petak-petak penanaman tanaman kayu. Petani peserta didatangkan dari Dusun Benakat Minyak, Talang Simpang Solar, dan Dusun Suban Ulu. Mereka umumnya adalah peladang
31 berpindah yang sebelumnya telah ikut membantu pengerjaan Proyek Reboisasi dan ATA-186. Keadaan umum areal Blok Agroforestri pada saat awal dibangun berupa hamparan alang-alang. Rancangan lapangan Agroforestri disusun dalam rangkaian rotasi penanaman tanaman kayu, yaitu dari jenis Acacia mangium dan Eucalyptus deglupta (Gambar 4). Proyek ini direncanakan berlangsung selama 10 tahun.
Gambar 4 Rancangan ujicoba pengembangan agroforestri di Benakat tahun 1982-1992 (Sumber: Dirjen RRL 1988, dimodifikasi).
32 Daur tanaman pokok diasumsikan selama 10 tahun. Setiap tahun akan dibangun 30 petak tanaman pokok berukuran masing-masing satu hektar. Pembersihan lahan dilakukan secara mekanis, kemudian dilanjutkan dengan bajak I dan II, diakhiri dengan penggaruan. Peserta agroforestri berperan dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman pokok, dengan kompensasi upah. Setelah itu mereka diperbolehkan menggunakan petak tersebut untuk kegiatan pertanian tanaman semusim sampai tanaman pokok berumur 2 tahun. Dengan demikian, setelah tahun pertama kegiatan, setiap kepala keluarga (kk) dapat mengelola 2 hektar tanaman semusim. Setelah tanaman pokok berumur 10 tahun (diasumsikan masak tebang), petani peserta akan mendapat upah dari kegiatan pemanenan dan kembali dapat memanfaatkan lahan tersebut pada daur kedua. Pada saat itu, akses masyarakat terdapat hasil tanaman pokok (kayu) belum terpikirkan. Selama masa proyek, berbagai kegiatan penelitian telah dilakukan oleh pihak Departeman Kehutanan. Pertumbuhan tanaman dan kondisi sosial ekonomi peserta program agroforestri dipantau setiap tahun. Ujicoba teknik agroforestri juga cukup intensif dilakukan, seperti penanaman kopi di bawah tanaman pokok dan introduksi beragam tanaman pangan. Selama masa 1982 hingga 1988, Blok Agroforestri merupakan pusat penyuluhan dan pelatihan teknik reboisasi di lahan alang-alang dan penanganan peladang berpindah di Sumatera. Kinerja kawasan ini dirasakan mulai menurun setelah terjadi perubahan organisasi pengelola. Intensitas pengelolaan Blok Agroforestri cenderung menurun setelah Proyek ATA-186 berubah menjadi Balai Teknologi Reboisasi (BTR), di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan pada tahun 1986 dan kemudian Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kehutanan pada tahun 1988. Minimnya anggaran dan sumberdaya manusia serta mulai beragamnya fokus kegiatan litbang dianggap sebagai kendala dalam mengelola areal ini (Rimbawanto 2004). Pada tahun 1990-an, kantor Balai Teknologi Reboisasi dipindahkan dari Benakat ke Palembang. Sejak saat itu, pengelolaan Blok Agroforestri kehilangan visi dan tujuan yang jelas. Hasil-hasil Proyek Benakat ATA-186 dimanfaatkan untuk membangun hutan tanaman industri. Pada awal dekade 1990-an, PT. Musi Hutan Persada (MHP) menanami seluruh kawasan hutan produksi di Benakat dengan jenis Acacia mangium. Perubahan tata guna lahan di sekitar Blok Agroforestri ini
33 cukup memengaruhi tekanan dan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan budidaya tanaman kehutanan ini. Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1994 dan 1997 merusak sebagian besar tanaman di Blok Agroforestri. Kerusakan petak-petak tanaman ini dimanfaatkan oleh masyarakat Dusun Benakat Minyak menjadi areal penanaman tanaman semusim yang dilanjutkan dengan penanaman karet. Aksi ini menjadi marak pada masa reformasi tahun 1998. Masyarakat peserta agroforestri yang bermukim di dalam kawasan menunjukkan kegelisahannya atas pengabaian keadaan lapangan yang dilakukan pihak pengelola (Departemen Kehutanan) dengan ikut pula menanam karet di koridor petak. Kegelisahan dan pembenaran atas aksi yang dilakukan peserta agroforestri ini, seperti diungkapkan oleh Mat Tayib,
Kepala Dusun
1
Tumpangsari : ―Dulu (tahun 1982an) kami dijadikan peserta penelitian/program tumpangsari dengan caro neken kontrak selama 2 (dua) tahun. Pihak kehutanan (proyek JICA) pergi begitu saja, tanpa kejelasan program lanjutan. Kami merasa tertipu. Na, Kayu yang masih ado ni akhirnya habis oleh cukong kayu, kami cuman nonton bae. Masyarakat akhirnyo memanfaatkan lahan koridor untuk nanam karet, dan sudah itu menanami hampir seluruh areal tumpang sari dengan karet setelah terjadi kebakaran tahun 1997 dan sesudah penebangan sengon oleh BTR Palembang”.
Pada tahun 2004, Menteri Kehutanan menetapkan Hutan Penelitian Benakat, termasuk Blok Agroforestri sebagai Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Hutan Penelitian, melalui Surat Keputusan No. 111 tanggal 24 April 2004. Semangat untuk merevitalisasi kembali Hutan Penelitian Benakat makin
kuat
setelah
Badan
Litbang
Kehutanan
menandatangani
nota
kesepahaman dengan PT. MHP guna menghindari kerusakan yang lebih parah terhadap kawasan ini. Namun hingga penelitian ini akan dilaksanakan, Blok Agroforestri belum tersentuh tindakan manajemen sama sekali. Pemanfaatan areal Blok Agroforestri menjadi perkebunan karet oleh sebagian masyarakat Desa Benakat Minyak dan Semangus merupakan bentuk 1
Diungkapkan pada saat wawancara kelompok fokus di Dusun Tumpangsari Desa Semangus, 4 Agustus 2007.
34 aktivitas yang saat ini berlangsung. Secara faktual, penguasaan sumberdaya 2 Blok Agroforestri berada pada pemanfaat lahan dari kedua desa itu. Ketika areal telah menjadi kebun karet, maka pemanfaat diakui secara sosial memiliki hak untuk melarang siapapun memasuki lahan tersebut dan bebas melakukan transaksi jual beli atas aset di dalamnya. 4.2. Desa-desa pemanfaat lahan Blok Agroforestri 4.2.1. Desa Benakat Minyak Desa Benakat Minyak merupakan pengembangan dari Desa Sungai Baung. Desa yang berpenduduk 387 kk dengan 1.837 jiwa ini ditetapkan secara definitif sejak 1 Agustus 2002, dengan luas administrasi 4.851 ha. Letak desa persis di sebelah timur Blok Agroforestri. Mayoritas penduduk desa bekerja sebagai petani/peladang dengan pekerjaan sampingan sebagai buruh PT. MHP dan atau buruh eksplorasi minyak (80%), pedagang (10%), kontraktor atau subkontraktor PT. MHP atau Pertamina (5%), PNS dan karyawan PT. MHP (5%). Sebagian besar masyarakat Desa Benakat Minyak (80 %) berasal dari suku Jawa dan hanya sekitar 20 % merupakan penduduk asli dari Marga Benakat. Perkembangan Desa Benakat Minyak cukup pesat dalam lima tahun terakhir. Selain telah memiliki Sekolah Dasar Negeri dan Sekolah Menengah Pertama Negeri, desa ini telah dilengkapi pula dengan sarana kantor desa permanen, masjid, dan pasar tradisional (Gambar 5). Pesatnya pembangunan desa tidak terlepas dari keberadaan usaha pengeboran minyak yang dilakukan Pertamina dan hutan tanaman industri oleh PT. MHP. Namun aksesibilitas di dalam dan menuju desa masih berupa jalan tanah yang diperkeras (Gambar 6), sehingga sulit dilalui pada saat musim hujan. Cikal bakal Desa Benakat Minyak adalah Dusun Benakat Minyak yang pada dekade 1980-an dianggap sebagai pemukiman liar, karena kawasan ini dikenal masyarakat sebagai Register 32. Pengesahan pemukiman penduduk menjadi sebuah desa menjadi pertanyaan bagi masyarakat: ‖Mengapa di dalam kawasan hutan dapat ditetapkan menjadi desa?‖. Padahal, syarat mutlak untuk pembentukan desa selain ada masyarakat adalah harus ada wilayah. Legitimasi 2
Menurut Schlager & Ostrom (1992) hak-hak penguasaan sumberdaya terdiri atas hak akses, pemanfaatan, pengelolaan, pembatasan, dan pelepasan. Secara faktual sekumpulan hak-hak tersebut telah dikuasai masyarakat, namun secara hukum aktivitas mereka masih dianggap illegal.
35 politik terbentuknya desa ini kemudian dipahami masyarakat sebagai dukungan atas tindakan mereka memanfaatkan kawasan hutan untuk keperluan hidup, dimana pada masa lalu hal tersebut dianggap terlarang.
Gambar 5 Kondisi jalan dan pemukiman masyarakat Desa Benakat Minyak (Foto: Martin 2007)
Gambar 6 Pasar tradisional (kalangan) setiap Hari Kamis di Desa Benakat Minyak (Foto: Martin 2007)
Berdasarkan informasi dari beberapa tokoh masyarakat, pada saat acara peresmian desa, tim terpadu dari Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Muara Enim menyatakan bahwa masyarakat diperkenankan memanfaatkan lahan sampai radius 500 meter dari batas luar pemukiman desa untuk kepentingan usahatani. Padahal areal tersebut merupakan konsesi PT. MHP 3 dan Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat. Sejak menjadi desa definitif, masyarakat Benakat Minyak secara aktif memperjuangkan kepastian penguasaan lahan yang umumnya telah mereka tanami dengan karet. Tawaran PT. Musi Hutan Persada untuk melibatkan masyarakat dalam program perhutanan sosial, Membangun Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) dan Mengelola Hutan Rakyat (MHR), mereka tolak. Hal ini disebabkan program MHBM dan MHR dipandang hanya memprioritaskan tanaman Acacia mangium yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat (Suardi Salam, Kepala Desa Benakat Minyak). Akibat dari perbedaan keinginan antara masyarakat dengan PT. Musi Hutan Persada, tercatat terjadi beberapa kali kejadian konflik terbuka. Pada saat penelitian ini dilaksanakan misalnya, terjadi demonstrasi massa yang menuntut pembebasan lahan-lahan yang telah dikuasai masyarakat (Harian Sumatera 3
Pada tahun 2002, masyarakat mengambil alih areal pascapanen Acacia mangium di sekitar Desa Benakat Minyak dan menjadikannya sebagai areal usahatani, khususnya karet. Ini menjadi pemicu konflik terbuka antara PT. MHP dengan masyarakat hingga sekarang.
36 Ekspres, 31 Agustus 2007-Lampiran 1). Masyarakat tetap menginginkan dan akan mempertahankan tanaman karet di areal yang juga menjadi konsesi PT. Musi Hutan Persada. Sampai saat ini, harapan terbesar masyarakat adalah diberi kepastian hak kepemilikan lahan (Pernyataan Suardi Salam, Kepala Desa Benakat Minyak pada Seminar Pengelolaan KHDTK Benakat, Januari 2007). Status kepemilikan lahan merupakan isu sensitif di Desa Benakat Minyak. Isu ini merupakan topik utama kampanye pemilihan kepala desa Bulan Oktober 2007 lalu. Aspirasi pengakuan hak-hak masyarakat atas lahan selalu disampaikan masyarakat dalam pertemuan dengan aparat pemerintah. Selain itu, sebagian masyarakat juga seringkali menunjukkan perlawanannya atas status wilayahnya sebagai kawasan hutan saat bertemu dengan aparat pemerintah sektor kehutanan. 4.2.2. Desa Semangus Desa Semangus yang dikenal juga sebagai Desa Suban Ulu merupakan desa yang pada awalnya diperuntukkan bagi pemukiman suku terasing 4. Kini desa yang dihuni 427 kk (1.593 jiwa) ini berkembang menjadi sebuah desa yang sebagian besar warganya justru berasal dari Suku Jawa (85%). Hanya 15% dari total penduduk merupakan masyarakat asli. Pekerjaan utama masyarakat adalah sebagai petani ladang (95%) dengan pekerjaan sampingan sebagai buruh PT. MHP, sisanya 5% berprofesi sebagai pedagang atau sub-kontraktor pada HTI PT. MHP. Pekerjaan sebagai buruh HTI dilakukan sebagai sumber penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Desa Semangus lebih terpencil dari Desa Benakat Minyak namun menjadi perlintasan kendaraan operasional Pertamina dan PT. MHP. Desa Semangus terdiri dari beberapa dusun, diantaranya Dusun Tumpangsari yang merupakan pengembangan dari pemukiman yang dibangun oleh Proyek ATA-186. Posisi dusun ini berada di dalam Blok Agroforestri. Sebagian besar warga Dusun Tumpangsari merupakan mantan peserta program agroforestri Proyek ATA-186 atau anak keturunannya. Meskipun tinggal di dalam kawasan hutan dan menggantungkan kehidupannya terhadap lahan itu, masyarakatnya tetap mengakui bahwa sumberdaya tersebut adalah milik negara dan selayaknya diatur oleh pemerintah (Martin et al., 2003). Namun demikian, 4
Pada tahun 1980-an, pemerintah membuat kebijakan memukimkan (resettlement) suku-suku terasing yang dianggap melakukan peladangan berpindah (Lihat Lindayanti 2003), termasuk Suku Anak Dalam Rawas yang wilayah hidupnya berada di kawasan hutan antara Kabupaten Muara Enim dan Musi Rawas.
37 jika berbicara tentang lahan usahatani yang berstatus sebagai kawasan hutan, masyarakat selalu mempertanyakan mengapa negara tidak adil dalam mengalokasikan sumberdaya hutan. Penguasaan semua kawasan hutan sekitar desa oleh PT. MHP dianggap masyarakat sebagai penyebab kemiskinan mereka saat ini5. Sebagian besar masyarakat Desa Semangus tidak menamatkan jenjang Sekolah Dasar (SD) atau bahkan tidak bersekolah sama sekali. Meskipun terdapat SD di desa ini, namun penyelenggaraannya terkendala oleh minimnya tenaga guru dan murid yang turut berperan sebagai tenaga kerja bagi keluarganya. Setelah tamat SD atau putus sekolah mereka umumnya menjadi penggembala sapi atau ikut membantu orangtua di ladang. Menikah pada usia muda adalah fenomena yang lumrah terjadi. Setelah menikah, pasangan muda biasanya membuka ladang sendiri secara berpindah. Hal ini menyebabkan terus meningkatnya kebutuhan terhadap lahan baru untuk praktik perladangan, padahal wilayah di luar desa merupakan konsesi PT. MHP. Mereka memanfaatkan lahan pascatebang PT. MHP atau belukar muda di kawasan hutan yang menjadi areal konservasi PT. MHP.
Konflik
antara
masyarakat Desa Semangus dengan PT. MHP telah cukup lama berlangsung (Fatmawati, 2004). 4.3. Pola Pemanfaatan Lahan oleh Masyarakat Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1994 dan 1997 memusnahkan sebagian besar tanaman program penelitian agroforestri Proyek ATA-186. Sejak itu, masyarakat yang tinggal di Dusun Tumpangsari dan Desa Benakat Minyak mulai memanfaatkan lahan yang telah menjadi semak belukar menjadi areal usahatani. Pola tradisional peladangan berpindah kembali dipraktikkan di kawasan ini. Pada mulanya, sebagian kecil masyarakat hanya melakukan pengusahaan tanaman semusim saja selama dua tahun, kemudian mencari lahan baru. Setelah beberapa orang di antara mereka dianggap berhasil menanami bekas
5
Menurut Blaikie (1985) dalam Peluso (1992), kemerosotan mutu tanah dan kemiskinan pedesaan kawasan hutan di banyak negara berawal, atau menjadi parah, sebagai akibat dari hasrat pemerintah kolonial atau pemerintah masa kini untuk menguasai tanah, hasil hutan yang tumbuh di sana dan tenaga kerja yang ada untuk mengolahnya.
38 ladang dengan tanaman karet6, maka praktik pembudidayaan tanaman penghasil lateks ini diikuti oleh peladang lainnya dan kini menjadi pola umum (Gambar 7).
Areal terpilih ditandai sebagai calon ladang
a
Pembukaan lahan dengan cara tebang, tebas, dan bakar
b Penanaman dengan tanaman semusim; padi darat, kacang tanah, sayur mayur, tomat kecil, cabe, dll
Jenis karet ditanam pada awal tahun kedua
Keterangan: a : Jika tak memungkinkan menanam karet, kembali mencari areal ladang baru b : Tanaman karet dibiarkan tanpa perawatan, kembali mencari areal lainnya ==> : Gradasi pengusahaan lahan semakin menguatkan pengakuan kepemilikan
Jika karet tumbuh dengan baik, dibuat surat keterangan kepemilikan kebun
Gambar 7 Pola umum pengusahaan lahan oleh masyarakat di Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat sejak tahun 1994 hingga sekarang. Usahatani tanaman semusim umumnya hanya dilakukan satu kali dalam setahun (Gambar 8). Selain untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, hasil panen tanaman semusim dibawa petani ke pasar mingguan (setiap hari kamis) yang ada di Desa Benakat Minyak. Namun hasil ladang ini dianggap tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Oleh karena itu, sebagian besar pemanfaat Blok Agroforestri bekerja pula sebagai buruh harian hutan tanaman industri PT. MHP, sebagai sumber penghasilan tunai (cash income) keluarganya. Pekerjaan sebagai buruh pembangunan hutan tanaman telah lama dilakoni oleh sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar Kawasan Hutan Benakat.
6
Karet telah dibudidayakan secara tradisional oleh masyarakat di luar kawasan Hutan Penelitian Benakat, tetapi tidak pernah menjadi komoditas Proyek ATA-186 atau Dinas Kehutanan setempat, sehingga dikesankan masyarakat sebagai tanaman terlarang untuk kawasan hutan.
39 Penyiapan lahan secara manual, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan hutan tanaman adalah jenis pekerjaan yang telah akrab dengan mereka sejak era Proyek Reboisasi pada tahun 1970-an. Upah sebagai buruh dianggap tidak bisa mengubah nasib keluarga mereka dan telah menciptakan ketergantungan terhadap pihak lain. Pembudidayaan karet di areal kawasan hutan, termasuk Blok Agroforestri (Gambar
9) dianggap masyarakat sebagai upaya untuk memperbaiki nasib
keluarga dan keluar dari garis kemiskinan. Ini didorong pula oleh keinginan untuk mencapai kemewahan gaya hidup yang biasa diperlihatkan oleh karyawan beberapa perusahaan maupun aparat pemerintah. Pernyataan seperti berikut ini menunjukkan besarnya keinginan mereka untuk memperbaiki kesejahteraannya: Kami ini galak jugo hidup senang macem kamu-kamu ini. Kalu pacak anak cucung kami jadi sarjana jugo, idak lagi jadi kuli perusahaan. Cuman tanah hutan inilah harapan kami, dak katik yang lainnyo lagi mak mano.
Gambar 8 Pemanfaatan areal kawasan hutan untuk pertanian tanaman semusim (Foto: Winarno 2007)
Gambar
9 Hamparan kebun karet masyarakat di Blok Agroforestri (Foto: Winarno 2007)
Selain sebagai penanda penguasaan lahan, tanaman karet mempunyai nilai tawar yang cukup baik. Dalam kasus ganti rugi tanam tumbuh akibat aktivitas eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi yang dilakukan oleh Pertamina, petani karet akan memperoleh nilai dan posisi tawar yang lebih dibanding jika ia menanam jenis lain. Ini menjadi insentif bagi setiap petani ladang
untuk
menanam karet di setiap areal yang ia usahakan. Aktivitas memelihara dan menanam karet kini telah menjadi bagian dari keseharian petani pemanfaat Blok Agroforestri (Tabel 4). Curahan tenaga kerja
40 dan aliran modal bagi kebun karet dipengaruhi tingkat kesejahteraan petani dan kalender musim aktivitas masyarakat. Saat ini, sebagian besar petani karet pemanfaat Blok Agroforestri membudidayakan jenis karet lokal7, karena merasa tidak memiliki kemampuan untuk membeli bibit karet unggul. Pembudidayaan karet lokal merupakan tradisi masyarakat Sumatera Selatan dan dicirikan dengan luasnya belukar karet di wilayah pedesaan yang dekat dengan hutan (Gouyon et al.,
1993).
Seiring
dengan
perubahan
waktu
dan
pergeseran
tingkat
kesejahteraan, pembudidayaan karet unggul juga mulai menjadi tradisi masyarakat. Beberapa orang petani yang mempunyai modal yang cukup telah menaman jenis karet unggul di Blok Agroforestri.
Penanaman karet unggul
biasanya selalu dilanjutkan dengan perawatan yang intensif, berupa penebasan jenis tumbuhan lain yang dianggap gulma, sehingga akan membentuk tegakan murni pohon karet. Umur tanaman karet di areal Blok Agroforestri cukup beragam dan saat ini masih didominasi tanaman muda yang belum siap untuk disadap. Tanaman karet lokal biasanya disadap setelah berumur 8 sampai 10 tahun, sementara karet unggul mulai menghasilkan getah pada umur 5 sampai 6 tahun. Karenanya, pada saat ini sebagian besar masyarakat pemanfaat Blok Agroforestri masih mengandalkan pekerjaan sebagai buruh HTI sebagai sumber nafkah keluarga. Namun mereka menaruh harapan besar terhadap kebun karet, karena beberapa orang petani khususnya dari Desa Benakat
Minyak telah menikmati hasil
penjualan yang dianggap cukup memuaskan. Hasil penelitian Wardhana et al. (2006) terhadap beberapa desa sekitar kawasan konsesi PT. MHP menunjukkan bahwa pendapatan dari getah karet berkontribusi rata-rata 49% dari total penghasilan rumah tangga. Selain itu, terungkap pula 77% rumah tangga di desa-desa penelitian memperoleh pendapatan dari aktivitas usahatani kebun karet. Menurut penelitian ini, terdapat korelasi kuat antara pendapatan dan kepemilikan kebun karet. Rumah tangga yang tergolong paling miskin tidak memiliki kebun karet sama sekali, mereka biasanya hanya berprofesi sebagai buruh harian. Sementara rumah tangga kaya merupakan pemilik kebun karet yang luas. 7
Karet lokal adalah sebutan umum masyarakat Sumatera yang mengacu pada jenis karet yang ditumbuhkan dari bibit yang diperoleh secara alami; biasanya cabutan anakan alam pohon karet. Karet unggul merujuk kepada jenis pohon karet yang diperbanyak melalui teknik-teknik pemuliaan yang disediakan (diperjualbelikan) oleh badan usaha atau perorangan tertentu.
41 Tabel 4 Kalender musim pertanian masyarakat Desa Benakat Minyak Bulan
Kegiatan utama sektor pertanian
Januari
Menanam padi sawah (tadah hujan) Membersihkan gulma (merumput) di lahan padi darat Menyadap getah pohon karet
Februari
Membersihkan gulma (merumput) di lahan padi lahan kering Aplikasi pupuk dan pestisida untuk padi sawah Menyadap getah pohon karet
Maret
Menyadap getah pohon karet Panen padi lahan kering
April
Menyadap getah pohon karet Panen padi sawah
Mei
Menyadap getah pohon karet Masa istirahat/bera lahan padi lahan kering Pengolahan lahan padi sawah
Juni
Menyadap getah pohon karet Pemeliharaan padi sawah
Juli
Penyiapan lahan padi lahan kering dengan cara tebas bakar
Agustus
Penyiapan lahan padi lahan kering dengan cara tebas bakar Panen padi sawah
September Oktober
Nopember
Pembersihan lahan padi lahan kering / manduk Awal masa penanaman padi lahan kering Menyadap getah pohon karet Penanaman padi lahan kering Pemeliharan lahan padi lahan kering; membersihkan gulma Menyadap getah pohon karet
Pemeliharan lahan padi lahan kering; membersihkan gulma Menyadap getah pohon karet Sumber : Martin dan Winarno (2005) Desember
Pada saat penelitian ini berlangsung, harga getah karet pada tingkat pedagang pengumpul berkisar antara Rp. 9000,- sampai dengan Rp. 10.000,per kilogram. Berdasarkan pengalaman petani di sekitar Hutan Penelitian Benakat, 1 (satu) hektar (ha) karet lokal mampu menghasilkan getah sebanyak rata-rata 35 kilogram (kg) setiap (lima) hari atau 140 kg dalam sebulan. Ini berarti seorang petani karet lokal akan memperoleh pendapatan kurang lebih Rp. 1.400.000 setiap bulannya. Lain halnya dengan kebun karet unggul, produktivitas rata-rata getah karetnya mencapai rata-rata 100 kg per 5 hari, atau 400 kg setiap bulannya. Sehingga pendapatan pemilik 1 (satu) ha kebun karet unggul saat ini
42 mencapai Rp. 4.000.000,- setiap bulannya. Namun demikian, baik jenis karet lokal maupun unggul akan menurun produktivitasnya pada bulan-bulan kering, seperti Juli, Agustus, dan September. Produktivitas getah karet pada bulan-bulan itu hanya mencapai seperempat sampai setengah jumlah produksi pada bulan normal. Harga getah karet yang dianggap cukup memuaskan dalam tiga tahun terakhir memicu makin tingginya keinginan masyarakat untuk memiliki kebun karet, terutama dari jenis karet unggul. Ini mendorong penguatan perjuangan masyarakat untuk memperoleh pengakuan atas lahan kawasan hutan yang telah mereka tanami pohon karet. Kepemilikan kebun karet dianggap sebagai cara terbaik untuk memperbaiki masa depan keluarga. Perubahan situasi sosial ekonomi akibat mulai banyaknya masyarakat yang menjadi petani karet cukup terasa di Desa Benakat Minyak. Kendaraan roda dua dan empat produksi baru saat ini telah terparkir di beberapa rumah warga. Bangunan rumah permanen dan aksesorisnya cukup menyemarakkan desa yang sepuluh tahun yang lalu masih dianggap perkampungan kumuh dan sangat tertinggal ini. Berbeda dengan pemanfaat Blok Agroforestri asal Desa Benakat Minyak, pemanfaat asal Desa Semangus belum merasakan perubahan berarti kondisi kesejahteraannya. Menurut mereka, ini disebabkan kepemilikan kebun karetnya lebih sedikit dibanding warga Desa Benakat Minyak (Tabel 5). Selain itu, pemanfaat asal Desa Semangus masih belum banyak yang mengusahakan karet unggul. Pemanfaat asal Desa Semangus mulai mencoba menanam karet setelah makin meluasnya areal kebun karet masyarakat Desa Benakat Minyak dalam areal Blok Agroforestri. Hasil observasi mengungkapkan
pula bahwa terdapat kecenderungan
penguasaan kebun karet oleh beberapa orang saja. Sejak tiga tahun terakhir, transaksi jual beli kebun karet cukup sering dilakukan. Pembeli tidak hanya petani lain yang telah menikmati hasil karet, tetapi juga dari masyarakat yang berprofesi bukan petani (pedagang atau kontraktor).
43 Tabel 5 Deskripsi penguasaan kebun karet di Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat Desa asal pemanfaat
Peubah
Benakat Minyak
Semangus
27 orang (kk)
26 orang (kk)
Luas total kebun karet
108,5 ha
55 ha
Rata-rata luas penguasaan setiap kk
4,02 ha
2.12 ha
Luas maksimal kebun karet kk
16 ha
14,5 ha
Luas minimal kebun karet kk
1 ha
1 ha
Modus luas kebun karet kk
2 ha
1 ha
Jumlah kk yang menguasai > 5 ha
8 kk
1 kk
Jumlah pemanfaat yang menanam karet
Sumber: Data primer hasil wawancara rumah tangga, diolah.
4.4. Intervensi melalui aplikasi Metodologi Sistem Lunak 4.4.1. Tahap 1: Pemahaman situasi masalah Hasil pra-observasi situasi masalah disampaikan kembali oleh masingmasing pihak dalam tahap awal forum lokakarya. Lokakarya diikuti oleh 18 orang peserta sebagai wakil para pihak yang terpilih berdasarkan kriteria “who really count”
(Tabel 6). Delapan belas orang partisipan lokakarya ini merupakan
individu yang terlibat aktif dan menjadi orang kunci (key person) dalam perancangan kegiatan dan saluran komunikasi proses penelitian. Tabel 6 Aktor-aktor sebagai wakil para pihak Pihak
Kriteria pelibatan pihak Kekuatan
Kepentingan
Keabsahan
BPK Palembang
De jure menguasai lahan
Melaksanakan aktivitas Litbang
Pengelola kawasan
Desa Benakat Minyak
De facto menguasai lahan
Areal usahatani
Pemanfaat lahan
Desa Semangus
De facto menguasai lahan
Areal usahatani; pemukiman
Pemanfaat lahan
-
Harmonisasi kawasan konsesi
Terlibat konflik dengan desa
Koordinasi struktural desa
Stabilitas dan kesejahteraan masyarakat
Mediator netral
PT. MHP
Kecamatan Talang Ubi
Aktor terpilih 4 orang
3 orang
3 orang
3 orang
1 orang
44 Tabel 2 Aktor-aktor sebagai wakil para pihak (lanjutan) Pihak
Kriteria pelibatan pihak
Aktor terpilih
Kekuatan
Kepentingan
Keabsahan
Cabang Dinas Kehutanan Talang Ubi
Intensitas interaksi tinggi
1 orang
-
Optimalisasi fungsi kawasan
Dinas Kehutanan Muara Enim
Optimalisasi fungsi kawasan
Pelaksana pemerintahan kehutanan
1 orang
-
Petugas lapang Hutan Penelitian Benakat
Membantu kelancaran teknis Litbang
Intensitas interaksi tinggi
2 orang
-
Ketiga pihak utama menyampaikan hasil rumusan tentang ―harapan dan masalah‖ terhadap Blok Agroforestri dalam sudut pandang masing-masing (Lampiran 2), sementara peneliti mempresentasikan pula ―status pengelolaan Blok Agroforestri dulu dan kini‖ sebagai hasil dari pra-observasi yang telah dilakukannya bersama beberapa orang aktor (versi rinci hasil pra-observasi telah disampaikan dalam seksi 4.1., 4.2., dan 4.3. bagian dari tesis ini).
Ini
memungkinkan semua aktor, termasuk aktor di luar para pihak utama dapat memahami dan mendiskusikan situasi masalah yang ada secara lebih menyeluruh. 4.4.2. Tahap 2: Ekspresi situasi masalah Manifestasi konflik mulai terasa pada saat aktor-aktor mengekspresikan pandangan masing-masing terhadap keberadaan Blok Agroforestri serta situasi kekiniannya. Aktor-aktor dari masyarakat berpandangan bahwa tanaman karet di Blok Agroforestri harus mereka pertahankan bagaimanapun caranya, karena dianggap sebagai sumber penghidupan dan kesejahteraan. Sementara, aktoraktor dari BPK Palembang berpendapat bahwa kebun karet masyarakat menjadi penghalang kegiatan ke-litbang-an mereka. Secara ringkas, persepsi masingmasing pihak terhadap Blok Agroforestri dirumuskan seperti berikut: Masyarakat : Masyarakat meyakini bahwa kebun karet yang telah mereka tanam di Blok Agroforestri merupakan sumber penghidupan dan kesejahteraan bagi mereka. Sampai saat ini masyarakat merasa belum tenang dan nyaman, karena lahan tersebut juga diakui oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang (Eks BTR JICA) sebagai wilayah kelola hutan penelitiannya. Masyarakat memanfaatkan areal tersebut karena tidak memiliki alternatif lahan lain, sementara lahan Blok Agroforestri terbengkalai dan tidak dikelola lagi oleh pihak kehutanan sejak pertengahan dekade 1990an.
45 Balai Penelitian Kehutanan: Areal Blok agroforestri diperuntukkan bagi kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana diamanahkan dalam SK Menhut No. 111 tanggal 19 April 2004. Kegiatan penelitian belum bisa dilakukan di areal ini karena sebagian besar lahan telah menjadi kebun karet masyarakat. Untuk menjalankan kembali fungsi penelitian dan pengembangan di areal tersebut perlu disusun kembali strategi penelitian bersama masyarakat. Situasi masalah yang diungkapkan oleh para pihak pada saat wawancara kelompok fokus (FGIs) diekspresikan oleh peneliti sebagai fasilitator melalui media gambar situasi (rich picture) (Gambar 10). Gambar situasi ini dirancang menggunakan komputer dan ditampilkan pada layar presentasi oleh alat in-focus. Ini menjadi media untuk membangkitkan diskusi dan memunculkan kesadaran para pihak utama bahwa persepsi, sikap dan tindakan mereka selama ini ternyata saling terkait dan memengaruhi. Kebun karet di areal tumpangsari jangan diganggu, karena itulah sumber kesejahteraan kami. Kami kurang modal dalam berusaha tani dan masih merasa takut berusaha tani di lahan tumpangsari ini (Boleh/tidak boleh). Kami tak punya alternatif lahan lainnya. Kayu hasil penanaman Proyek JICA tidak bermanfaat dan dibiarkan membusuk.
Blok Agroforestri/tumpangsari
Blok Agroforestri harus dikembalikan fungsinya sebagai areal penelitian/penyuluhan agroforestry Kita harus diskusikan dengan masyarakat yang telah berkebun karet
Desa Semangus
Kami ingin hidup tenang dan damai, tidak diusik lagi oleh pihak kehutanan. Kebun karet di tumpangsari sumber kesejahteraan anak cucu kami Kami merasa terombang-ambing mengenai status lahan Mengapa mengusik lahan ini, bukankah lahan BPK masih banyak.
Desa Benakat Minyak
Balai Penelitian Kehutanan
Gambar 10 Gambar situasi permasalahan eksistensi Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat dari sudut pandang pihak-pihak utama. Pihak-pihak utama merasa bahwa sikap dan tindakan yang dilakukan oleh kelompoknya terhadap Blok Agroforestri adalah sesuatu yang baik dan benar, serta didukung oleh alasan yang dianggap masuk akal. Situasi ini membuat
46 suasana diskusi cukup tegang (groan zone). Aktor-aktor di luar pihak utama yang telah memahami situasi masalah mencoba memediasi perbedaan persepsi tersebut dengan melihat fakta keterkaitan antara sikap dan tindakan satu pihak terhadap posisi pihak lainnya. Namun demikian, masing-masing pihak tetap bersikukuh pada pendiriannya. Keinginan masing-masing pihak ini dikumpulkan oleh fasilitator (parafrase-gathering8) dan ditawarkan sebagai isu dalam lokakarya. Isu tersebut adalah: 1.
Blok Agroforestri menjadi wadah kegiatan penelitian dan pengembangan Agroforestri yang berkelanjutan.
2.
Blok Agroforestri menjadi areal yang produktif sehingga menyejahterakan masyarakat.
3.
Masyarakat memperoleh ketenangan dan kenyamanan dalam berusahatani di Blok Agroforestri. Para pihak menyepakati untuk membahas ketiga isu lebih jauh, meskipun
pada kenyataannya isu pertama dan ketiga saling bertentangan (kontradiktif). Berdasarkan pengalaman masyarakat, program penelitian yang dilaksanakan oleh pemerintah (Departemen Kehutanan) selalu diarahkan untuk melihat pertumbuhan tanaman ujicoba; suatu kombinasi antara pepohonan pembentuk hutan dan komoditas pertanian perkebunan. Kegiatan penelitian dianggap membutuhkan areal ujicoba cukup luas, sehingga akan mengganggu tanaman karet yang telah mereka usahakan. Sementara, usahatani dalam bentuk perladangan yang dilanjutkan dengan penanaman karet yang dilakukan masyarakat, dianggap pihak pengelola sebagai aktivitas yang lapar lahan dan berpotensi merusak tata guna hutan penelitian. Pada tahapan ekspresi masalah ini, para pihak tidak mencapai konsensus apapun, namun mulai memahami posisi masing-masing. Fasilitator menciptakan kesempatan bagi setiap orang untuk mengungkapkan pandangan serta gagasan mereka dan tidak berusaha untuk mengatasi perbedaan pendapat. Semua pendapat dihargai penuh dan tidak diminta untuk diubah atau dipertimbangkan kembali.
8
Parafrase adalah keterampilan dasar dalam menyimak pembicaraan orang lain; gathering merupakan keterampilan fasilitator dalam mengumpulkan dan mengelompokkan ungkapan/pernyataan orang lain (lisan) dalam media tulisan.
47 4.4.3. Tahap 3: Identifikasi solusi atas isu Isu yang telah disepakati untuk dibahas lebih lanjut merupakan harapan situasi masa depan yang diinginkan masing-masing pihak. Situasi sekarang masih berlawanan dengan harapan tersebut. Ini berarti ada sesuatu yang mesti berubah agar harapan menjadi kenyataan. Fasilitator menyiapkan Gambar 11 dan Tabel 7 seperti dibawah ini untuk membantu pemahaman aktor-aktor tentang bagaimana mewujudkan harapan masa depan dengan cara mengubah ―sesuatu‖ yang dianggap sebagai realitas akar masalah, agar situasi saat ini dapat menjadi situasi yang diidamkan.
MASA DEPAN
Gambar 11 Ilustrasi perubahan yang diinginkan oleh para pihak terhadap masa depan Blok Agroforestri KHDTK Benakat. Berdasarkan Gambar 11, aktor-aktor diminta untuk mendiskusikan apa yang seharusnya diubah agar input atau keadaan saat ini dapat menjadi output atau harapan masa depan. Gambar ilustrasi dihubungkan dengan Tabel 7 yang memuat frase posisi para pihak. Hasil diskusi menyebutkan bahwa masyarakat akan mencapai ketenangan dan kenyamanan dalam berusaha tani apabila aspek aturan dan hukum dapat berubah. Demikian pula dengan penyelenggaraan penelitian sebagai posisi pihak pengelola, hanya akan terlaksana apabila program penelitiannya berbeda dari yang pernah ada. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat sebagai visi bersama para pihak dianggap akan terwujud apabila aspek pola usahatani diperbaiki.
48 Tabel 7 Hasil analisis elemen yang diinginkan untuk berubah guna mencapai situasi masa depan Blok Agroforestri yang diidamkan para pihak Transformasi (Sistem yang harus berubah)
Input (SAAT INI) Masyarakat yang berusahatani di Blok Agroforestri tidak merasa tenang dan nyaman
Output (HARAPAN) Masyarakat merasa tenang dan nyaman dalam berusahatani
Aturan dan hukum
Program Penelitian
Fungsi penelitian dapat dilaksanakan di Blok Agroforestri kapanpun dan dimanapun
Pola Usahatani
Masyarakat menjadi petani produktif dan kesejahteraan meningkat
Blok Agroforestri tanpa kegiatan Litbang Masyarakat kurang modal dan pengetahuan dalam berusahatani produktif
Elemen-elemen transformasi yang disepakati para pihak disadari sebagai keinginan yang hendak dicapai pada masa mendatang dan belum terjadi saat ini. Aktor-aktor
membuat
beberapa
ukuran
(indikator)
keberhasilan
proses
transformasi masa depan, yang disusun untuk setiap elemen (sub-sistem). Indikator tersebut yaitu: Aturan dan Hukum, akan dinilai dari: 1. Kualitas ketenangan dan kenyamanan dalam berusahatani. 2. Kualitas hubungan masyarakat dengan pengelola (pemerintah). Program Penelitian, akan dinilai dari: 1. Jumlah kegiatan litbang 2. Tingkat adopsi hasil penelitian 3. Realisasi rencana penelitian. Pola Usahatani, akan dinilai dari: 1. Pendapatan masyarakat. 2. Produktivitas Lahan. 3. Jumlah pemanfaat lahan 4.4.4. Tahap 4: Analisis sistem pengelolaan Blok Agroforestri Solusi atas isu pengelolaan Blok Agroforestri dirasakan masih bersifat abstrak, belum operasional. Oleh karena itu, fasilitator meminta kepada aktoraktor untuk menuliskan pendapatnya pada kertas metaplan tentang aktivitas yang seharusnya dilakukan oleh para pihak agar ketiga elemen dapat berubah. Tahap 4 membutuhkan konsentrasi dan curahan kemampuan kognitif aktor-aktor untuk menghasilkan ide-ide kreatif dalam menyusun model sistem
49 aktivitas mereka. Karenanya, penciptaan suasana diskusi yang lebih kondusif perlu dilakukan, misalnya dengan melakukan permainan peran atau mendorong terjadinya ice breaking (Gambar 12). Pada kenyataannya, ketegangan suasana diskusi yang terjadi dalam tahap 1 dan 2 mulai mengendur pada saat pembahasan memasuki fase analisis sistem (Tahap 3). Ide-ide aktivitas yang dibuat partisipan lokakarya didiskusikan kelogisannya dalam mencapai indikator perubahan melalui teknik PQR9. Ide aktivitas disepakati menjadi kumpulan aktivitas apabila mengikuti pola logis seperti contoh berikut: ―mengubah sistem hukum dan aturan (P) dengan cara membuat perjanjian kerjasama antara pemanfaat dan pengelola (Q) agar tercapai ketenangan dan kenyamanan dalam berusahatani (R). Penyusunan model konseptual sistem aktivitas aktor-aktor dipermudah oleh contoh dua model sistem pengelolaan sektor kesehatan dan keamanan lingkungan yang disampaikan oleh fasilitator sebagai pengantar penyusunan model oleh masing-masing komisi. Model tersebut adalah contoh hubungan beragam aktivitas dengan tujuan tertentu. Aktor-aktor kemudian dibagi menjadi tiga kelompok (komisi) sesuai jumlah subsistem (elemen) yang diidentifikasi sebelumnya. Setiap komisi beranggotakan semua unsur para pihak. Komisi bertugas menyusun hubungan saling bergantung beragam ide aktivitas dan indikator keberhasilannya. Diskusi penyusunan model konseptual bagi masa depan pengelolaan Blok Agroforestri ini dapat berjalan dengan baik. Fasilitator berperan pasif (Gambar 13). Aktor-aktor sangat antusias dalam merancang sistem yang berpengaruh bagi masa depan kehidupan dan pelaksanaan tugas para pihak. Pengambilan keputusan lebih mudah terjadi karena materi diskusi tidak lagi membahas aktivitas masa lalu dan saat ini namun upaya menstrukturkan beragam aktivitas dalam masa depan. Setiap aktor dapat mengusulkan ide-ide kreatifnya dalam suasana diskusi yang lebih nyaman. Subsistem Hukum dan Aturan Subsistem hukum dan
aturan bertujuan untuk mencapai kualitas
kenyamanan masyarakat dalam berusahatani dan kualitas hubungan antara masyarakat dengan pengelola Blok Agroforestri (Gambar 14). Inventarisasi potensi lahan secara rinci dianggap sebagai awal yang harus ditempuh agar aktivitas lain dapat berjalan. Ini dilakukan karena tata guna kawasan Blok 9
Memperbaiki P (tranformasi) melalui Q (aktivitas) agar tercapai R (tujuan sistem)
50 Agroforestri telah jauh berbeda dengan rancangan lapangan penelitian Agroforestri yang dulu dibuat oleh Proyek ATA-186.
Gambar 12 Ice breaker untuk mendinginkan suasana tegang antar aktor dalam lokakarya (Foto: Faisal 2007) .
Gambar
13 Aktor dari masyarakat menjelaskan model konseptual Hukum dan Aturan yang disusun komisinya (Foto: Faisal 2007).
Inventarisasi lahan secara rinci akan menghasilkan peta tata guna lahan faktual yang sesuai dengan kondisi tutupan lahan yang ada. Selain itu, jumlah pemanfaat dan luasan areal yang diusahakannya akan dapat diketahui secara pasti. Peta tata guna lahan faktual adalah dasar penyusunan proses perijinan status lahan (proses pengaturan hak-hak penguasaan) sehingga mencapai kejelasan status lahan. Penyuluhan hukum diperlukan untuk menguatkan proses pengaturan hak-hak penguasaan Blok Agroforestri oleh masyarakat. Masyarakat akan berinisiatif membentuk kelompok pemanfaat apabila telah cukup jelas siapa saja yang menjadi pemanfaat tetap dan status penguasaan lahannya. Pembentukan kelompok pemanfaat Blok Agroforestri akan memudahkan komunikasi antara masyarakat dengan pengelola. Namun demikian, surat perjanjian kerjasama antara pemanfaat dan pengelola hanya akan dibuat apabila kedua belah pihak mengevaluasi terlebih dahulu kualitas hubungan mereka. Ini Prasyarat juga dibuat untuk aktivitas ―pembuatan tanaman baru di lahan kosong‖, dimana hanya akan dilakukan di seluruh areal (termasuk lahan yang telah atau pernah menjadi kebun karet) apabila substansi surat perjanjian kerjasama dapat diterima kedua pihak. Kualitas kenyamanan dan ketenangan dalam berusahatani dianggap akan tercapai apabila telah ada kejelasan status lahan dan pelaksanaan pembuatan petak ujicoba ―penanaman tanaman baru‖ (tanaman hanya dilakukan di areal kosong yang belum dimanfaatkan masyarakat.
51
Melakukan penyuluhan hukum
Kejelasan status lahan
Proses perijinan status lahan
Kualitas kenyamanan dan ketenangan dalam berusahatani
Membentuk kelompok tani
Inventarisasi potensi biofisik dan sosial ekonomi lahan
Membuat tanaman baru di lahan kosong
Membuat surat perjanjian kerjasama antara pemanfaat dengan pengelola Kualitas hubungan masyarakat dengan pihak kehutanan Gambar 14 Model konseptual untuk perubahan ―hukum dan aturan‖ dalam pengelolaan Blok Agroforestri KHDTK Benakat. Subsistem Program Penelitian Rancangan model konseptual ―Program Penelitian‖ merupakan ekspresi kritik dan aspirasi aktor-aktor dari masyarakat atas program penelitian yang selama ini dilakukan pihak pengelola (Gambar 15). Elemen sentral dalam subsistem ini adalah program penelitian partisipatif, sebagai gabungan dari 3 (tiga) aktivitas yaitu inventarisasi potensi biofisik dan sosial ekonomi Blok Agroforestri, pemilahan penelitian yang sesuai dengan sosial ekonomi dan budaya setempat dan didukung oleh peran peneliti. Peran peneliti hanya dapat didorong apabila pimpinannya memprioritaskan kegiatan litbang untuk wilayah ini. Ini dianggap penting mengingat selama ini peneliti umumnya tidak berminat menempatkan site kegiatan litbang-nya di Blok Agroforestri yang dianggap rawan konflik dan vandalisme.
52
Memaksimalkan peran peneliti
Kepala BPK memprioritaskan kegiatan di KHDTK Benakat
Inventarisasi dan identifikasi potensi
Program penelitian partisipatif
Penelitian yang sesuai dengan sosial ekonomi dan budaya setempat
Sosialisasi program penelitian
Realisasi rencana penelitian Penelitian di lahan karet muda
Melakukan Diklat
Tingkat adopsi penelitian
Jumlah dan Jenis Penelitian
Mengambil kepakaran dari luar
Melakukan penelitian ternak
Melakukan penelitian agroforestry Melakukan penelitian palawija di bawah tanaman karet
Gambar 15 Model konseptual untuk perubahan ―Program Penelitian‖ di Blok Agroforestri KHDTK Benakat. Tanda prasyarat10 (delay mark) pada arah panah yang menuju realisasi rencana penelitian dalam model konseptual diartikan bahwa penelitian hanya dapat terealisasi apabila dalam sosialisasinya dapat diterima masyarakat. Ini dilakukan karena selama ini
beberapa penelitian memang disosialisasikan
kepada mereka namun tidak ada dialog menyangkut aspek kemanfaatan penelitian (pragmatisme). Beberapa penelitian sebelumnya, baik yang dirancang oleh peneliti dari Indonesia maupun Jepang dianggap hanya untuk memenuhi hasrat peneliti tanpa melihat manfaat praktis bagi masyarakat. Model konseptual ―Program Penelitian‖ memasukkan penelitian-penelitian yang dianggap memiliki kemanfaatan praktis sebagai elemen yang dapat 10
Dalam pemodelan dinamika sistem (kuantitatif) tanda prasyarat seperti ini direpresentasikan dengan fungsi logis if…….then…….
53 menghasilkan pencapaian indikator jumlah dan jenis penelitian. Lebih jauh, apabila jumlah dan jenis penelitian dianggap tercapai maka akan dilakukan evaluasi tingkat adopsinya dalam masyarakat. Hasil-hasil penelitian yang teradopsi dengan baik akan dijadikan bahan rujukan bagi aktivitas pendidikan dan latihan, tidak hanya bagi masyarakat setempat tetapi juga bagi masyarakat lainnya di luar KHDTK Benakat. Subsistem Usahatani Subsistem usahatani dirancang oleh aktor-aktor secara lebih sederhana dan relatif tanpa perdebatan (Gambar 16). Model konseptual ini menganggap bahwa penghasilan masyarakat akan berubah apabila produktivitas lahan juga berubah. Menurut partisipan lokakarya,
produktivitas lahan dipengaruhi oleh
kondisi jalan, adanya modal usaha melalui pinjaman lunak, dan diterapkannya pola usahatani terkini. Modal usaha dalam bentuk pinjaman lunak dikelola oleh koperasi, namun pendirian koperasi hanya bisa dilakukan apabila jumlah pemanfaat lahan Blok Agroforestri tidak lebih sedikit dari sekarang. Prasyarat pendirian koperasi tersebut muncul dari kekhawatiran aktor-aktor, terutama dari aparat pemerintah daerah yang melihat kecenderungan penguasaan areal oleh beberapa orang saja. Aktivitas
menerapkan
pola
usahatani
terkini
akan
meningkatkan
produktivitas lahan dan memengaruhi jumlah petani yang mendapat manfaat langsung dari Blok Agroforestri. Penerapan teknologi budidaya lahan yang intensif dianggap sebagai pisau bermata dua; produktivitas per satuan lahan (kebun) meningkat sehingga menurunkan keinginan satu keluarga untuk menguasai kebun yang luas, atau sebaliknya teknologi hanya bisa diterapkan oleh beberapa orang saja yang memiliki cukup modal. Oleh karena itu, aktivitas menerapkan pola usahatani terkini dipengaruhi oleh hasil pendidikan dan latihan (diklat) dan adopsi hasil-hasil penelitian, dua aktivitas yang terdapat pula dalam subsistem ―Program Penelitian‖. Ini berarti ada keterkaitan antarsubsistem.
54
Penghasilan masyarakat Memperbaiki jalan
Melaksanakan DIKLAT Produktivitas lahan
Tingkat adopsi penelitian
Menyiapkan pinjaman lunak Menerapkan pola usahatani terkini Mendirikan koperasi Jumlah pemanfaat lahan Blok Agroforestry Gambar 16 Model konseptual untuk perubahan ―Pola Usahatani‖ masyarakat di Blok Agroforestri KHDTK Benakat. Keterkaitan tiga subsistem pengelolaan Blok Agroforestri muncul sendiri dalam diskusi penyempurnaan model konseptual (dalam pleno). Inventarisasi potensi biofisik dan sosial ekonomi adalah awal menuju perubahan subsistem ―Hukum dan Aturan‖ dan subsistem ―Program Penelitian‖, sementara adopsi hasil penelitian sebagai indikator dalam subsistem ―Program Penelitian‖ merupakan salah satu elemen penting dalam subsistem ―Pola Usahatani‖. Jika digabungkan maka ketiga subsistem tersebut akan membentuk kesatuan model konseptual sistem pengelolaan Blok Agroforestri (Gambar 17). Model konseptual sistem pengelolaan Blok Agroforestri disusun oleh beragam aktivitas yang saling berurutan dan terkait secara logis. Model konseptual
sistem
aktivitas
ini
diuji
kemampuannya
dalam
menelusuri
kemungkinan pencapaian indikator harapan masa depan, melalui simulasi. Ini dimungkinkan karena struktur aktivitas dalam model sistem merupakan hasil kesepakatan dan konsensus sebagai proses pemetaan kognitif orang-orang.
55
Kualitas hubungan masyarakat dengan pihak kehutanan
Membentuk kelompok tani
Kejelasan status lahan Melakukan penyuluhan hukum
Kepala BPK memprioritaskan kegiatan di KHDTK Benakat
Kualitas kenyamanan dan ketenangan dalam bekerja
Membuat surat perjanjian kerjasama antara pemanfaat dengan pengelola
Membuat tanaman baru di lahan kosong
Proses perijinan status lahan Memaksimalkan peran peneliti
Inventarisasi potensi biofisik dan sosial ekonomi lahan
Program penelitian partisipatif
Penelitian yang sesuai dengan sosial ekonomi dan budaya setempat
Realisasi rencana penelitian
Jumlah dan Jenis Penelitian
Penelitian di lahan karet muda
Melakukan penelitian agroforestry
Melakukan penelitian palawija di bawah tanaman karet
Tingkat adopsi penelitian
Melakukan Diklat
Penghasilan masyarakat
Sosialisasi program penelitian Mengambil kepakaran dari luar
Melakukan penelitian ternak Memperbaiki jalan
Menerapkan pola usahatani terkini Jumlah pemanfaat lahan Blok Agroforestry
Menyiapkan pinjaman lunak
Produktivitas lahan
Mendirikan koperasi
Gambar 17 Model konseptual sistem pengelolaan Blok Agroforestri KHDTK Benakat.
56 Simulasi berhasil memproyeksikan ukuran indikator-indikator tujuan sistem pada masa depan dalam dua skenario, yakni mengeksekusi model konseptual (posisi ―keinginan kita‖) atau tidak menjalankannya sama sekali (posisi ―perkiraan‖). Tampilan hasil simulasi tersebut berupa grafis proyeksi posisi indikator-indikator dalam tiga masa, dulu (1980-a), kini (2007), dan masa depan (2020). Fasilitator menyiapkan grafis, sementara aktor-aktor mendiskusikan mengenai dimana posisi indikator seharusnya ditempatkan. Berikut uraian hasil simulasi untuk beberapa
indikator perubahan
sistem pengelolaan Blok
Agroforestri: @ Penghasilan masyarakat Simulasi pertama dilakukan terhadap pencapaian perubahan penghasilan masyarakat.
Ini dianggap mudah untuk dibayangkan, karena telah terdapat
kecenderungan peningkatan pendapatan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Penghasilan masyarakat saat ini lebih tinggi dibanding era 1980-an, dimana pada masa itu akses mereka terhadap kawasan hutan masih terbatas. Saat ini kebun karet yang berada di Blok Agroforestri mulai menghasilkan getah dan diperkirakan akan makin produktif dalam tahun-tahun mendatang. Ini berarti, tanpa harus menjalankan aktivitas dalam model, penghasilan masyarakat akan tetap mengalami peningkatan (Gambar 18). Peningkatan penghasilan masyarakat juga dianggap sangat dipengaruhi oleh membaiknya harga getah karet dalam tiga tahun terakhir. Saat ini pekebun karet yang memiliki 1 (satu) hektar karet lokal saja dapat memperoleh penghasilan lebih dari satu juta rupiah setiap bulannya. Sementara, kepala keluarga yang berprofesi sebagai buruh harian dan tidak memiliki kebun karet, sebagaimana sumber penghasilan mereka pada tahun 1980-an, hanya akan memperoleh pendapatan per bulannya tidak lebih dari lima ratus ribu rupiah (upah buruh yang diterima individu rata-rata lima belas ribu rupiah per hari). Aktor-aktor dari masyarakat tetap menginginkan terjadinya peningkatan pendapatan yang lebih baik lagi dari hasil perkiraan. Ini terkait dengan situasi ketidaknyamanan berusahatani yang juga diperkirakan akan terus merosot, sehingga dianggap dapat memengaruhi produktivitas lahan Blok Agroforestri. Diskusi ini menyingkapkan adanya fenomena ―relasi yang buruk‖ antara sebagian besar pemanfaat Blok Agroforestri dengan pihak kehutanan. Selama ini, mereka selalu mengurungkan aktivitasnya ke kebun apabila mengetahui kedatangan petugas dari BPK Palembang. Aktivitas membersihkan kebun dan menyadap
57 getah
karet
terganggu
oleh
―kehadiran‖
orang
kehutanan.
Selain
itu,
ketidaknyamanan dalam berusahatani juga dianggap memengaruhi gencarnya pengalihan (jual beli) beberapa areal kebun karet kepada orang-orang tertentu yang dianggap ―tokoh‖.
Keinginan kita
Penghasilan Masyarakat
Perkiraan
Tahun 1980
2007 (Saat ini)
2020
Gambar 18 Perubahan penghasilan pemanfaat Blok Agroforestri yang diduga akan terjadi (Perkiraan) dan jika menjalankan aktivitas dalam model konseptual (Keinginan kita) berdasarkan pendapat aktor-aktor. Perdebatan mengenai posisi ―seharusnya‖ indikator masa depan berhasil mendorong keinginan para pihak untuk mendapatkan data obyektif atas variabelvariabel yang dianggap berpengaruh. Sementara itu, data hasil pra-observasi yang dilakukan peneliti bersama beberapa orang aktor diragukan validitasnya. Masyarakat yang menjadi responden penelitian diduga menyembunyikan fakta sebenarnya, karena relasi mereka dengan orang luar selama ini cenderung diliputi stereotif dan prasangka. Simulasi pencapaian indikator penghasilan penghasilan masyarakat tidak hanya berhasil mengungkap perilaku masyarakat yang sulit untuk berbicara jujur mengenai kehidupan mereka, namun memberi pelajaran berharga bagi aktoraktor yang berasal dari aparat pemerintah, menyangkut perilaku dan peran yang semestinya mereka lakukan. Keterkaitan erat antara penghasilan masyarakat dan kenyamanan dalam berusahatani mendorong para pihak untuk langsung membuat simulasi pencapaian indikator kualitas kenyamanan berusaha tani.
58 Sementara itu, indikator produktivitas lahan dianggap sama dengan penghasilan masyarakat. @ Kualitas ketenangan dan kenyamanan berusahatani Ketenangan dan kenyamanan dalam berusahatani dianggap merosot kualitasnya sejak seluruh Kawasan Hutan Register 32 Benakat menjadi areal konsesi PT. Musi Hutan Persada pada tahun 1990-an. Sebelumnya, meskipun dianggap sebagai perambah hutan, masyarakat masih leluasa melakukan aktivitas perladangan dan bahkan didorong untuk menjadi peserta program agroforestri oleh Proyek ATA-186. Indikator ini diperkirakan akan menurun kualitasnya karena baik PT. MHP maupun pengelola Blok Agroforestri (KHDTK Benakat) tetap mengakui bahwa kawasan ini di bawah penguasaan mereka, padahal di sisi lain keinginan masyarakat untuk berkebun karet di kawasan ini makin tinggi.
Keinginan kita
Kualitas kenyamanan & ketenangan berusahatani
Perkiraan Tahun 1980
2007 (Saat ini)
2020
Gambar 19 Perubahan kualitas ketenangan dan kenyamanan berusahatani pemanfaat Blok Agroforestri yang diduga akan terjadi (Perkiraan) dan jika menjalankan aktivitas dalam model konseptual (Keinginan kita) berdasarkan pendapat aktor-aktor. @ Kualitas hubungan masyarakat dengan aparat kehutanan Posisi kualitas hubungan antara masyarakat dengan pihak kehutanan pada masa depan diperkirakan lebih rendah dibanding posisi kualitas kenyamanan berusahatani pada saat yang sama (Gambar 20). Pengabaian terus menerus terhadap areal kawasan hutan yang telah diusahakan masyarakat oleh pihak kehutanan akan membuat masyarakat merasa cukup tenang berusahatani.
59 Namun, hubungan masyarakat dengan aparat kehutanan akan terus memburuk, karena diperkirakan areal kawasan hutan yang dimanfaatkan masyarakat untuk berkebun karet akan terus bertambah. Perkiraan makin memburuknya hubungan masyarakat dengan aparat kehutanan disebabkan pula oleh sikap tidak serius para pengambil kebijakan sektor kehutanan (termasuk BPK Palembang) dalam mewujudkan jargon ―hutan lestari rakyat sejahtera‖ yang beberapa kali disampaikan dalam forum pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat. Sikap ini dinilai dari tidak jelasnya aktivitas yang hendak dilakukan
untuk mencapai visi ―kemakmuran
masyarakat‖ dan
keengganan mereka berdialog langsung dengan masyarakat 11.
Keinginan kita
Kualitas hubungan masyarakat dengan pihak Kehutanan
Perkiraan Tahun 1980
2007 (Saat ini)
2020
Gambar 20 Perubahan kualitas hubungan masyarakat dengan pihak kehutanan yang diduga akan terjadi (Perkiraan) dan jika menjalankan aktivitas dalam model konseptual (Keinginan kita) berdasarkan pendapat aktor-aktor.
@ Jumlah pemanfaat lahan Blok Argoforestry Masyarakat yang memanfaatkan lahan Blok Agroforestri secara tetap saat ini adalah mereka yang bermukim di Dusun Tumpangsari dan masyarakat lainnya yang mengusahakan kebun karet. Jumlah pemanfaat pada awal program 11
Pada Bulan Januari 2007, telah diselenggarakan pertemuan multipihak dalam rangka pengelolaan KHDTK Benakat. Pertemuan ini menyepakati pembentukan Forum Benakat Barokah Bisa Makmur (B3M), sebuah forum dialog yang bervisi mewujudkan kelestarian fungsi KHDTK Benakat dan kemakmuran masyarakat. Namun forum ini terkesan formal dan belum mampu menghasilkan tindakan nyata untuk mencapai visi tersebut.
60 penelitian agroforestri sebanyak 30 kepala keluarga. Saat ini pemanfaat semakin bertambah, seiring dinamika populasi masyarakat dan masuknya petani lain yang membuat kebun karet. Hasil simulasi menunjukkan bahwa apabila langkahlangkah dalam model konseptual dijalankan dan sesuai dengan keinginan para pihak, maka orang yang akan memperoleh manfaat dari keberadaan Blok Agroforestri akan semakin banyak. Jumlah pemanfaat Blok Agroforestri diperkirakan akan semakin berkurang (Perkiraan 2) atau semakin bertambah (Perkiraan 1) (Gambar 21). Dualisma prediksi jumlah pemanfaat ini muncul dari refleksi hasil pra-observasi yang dilakukan peneliti bersama beberapa orang aktor. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah pemanfaat memang semakin bertambah, namun pertambahan tersebut dianggap fluktuatif, karena terdapat kecenderungan meningkatnya transaksi jual beli kebun karet akhir-akhir ini. Hal ini diperkirakan akan menyebabkan dominasi penguasaan kebun karet oleh beberapa orang saja. Di sisi lain, praktik jual beli lahan justru makin mendorong petani lain untuk memanfaatkan areal-areal kosong menjadi kebun karet.
Keinginan kita Jumlah pemanfaat lahan Perkiraan 1
Perkiraan 2
Tahun 1980
2007 (Saat ini)
2020
Gambar 21 Kecenderungan perubahan jumlah pemanfaat lahan Blok Agroforestri yang diperkirakan terjadi (Perkiraan) dan jika menjalankan aktivitas dalam model konseptual (Keinginan kita) berdasarkan pendapat aktor-aktor.
61 @ Realisasi rencana penelitian Realisasi rencana penelitian menjadi salah satu indikator perubahan sistem pengelolaan Blok Agroforestri. Pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya menyebutkan bahwa rencana penelitian di Blok Agroforestri batal direalisasikan karena selalu dikhawatirkan tidak dapat berjalan dengan baik. Resiko rusaknya materi penelitian merupakan ancaman yang dikeluhkan peneliti. Selain itu, peneliti masih menganggap karet yang mendominasi Blok Agroforestri sebagai materi non kehutanan sehingga ―sulit‖ dikombinasikan dengan komoditas kehutanan. Sejak makin meningkatnya kerawanan konflik antara masyarakat dan pengelola, penelitian yang dapat dilaksanakan hanya yang berasal dari disiplin ilmu-ilmu sosial. Berbagai ujicoba teknik agroforestri tidak pernah dilakukan lagi, sebagaimana dulu marak pada tahun 1980-an. Dalam simulasi ini, jika semua aktivitas (terutama dalam subsistem ―program penelitian) berjalan sesuai kehendak para pihak, maka jumlah realisasi penelitian akan makin meningkat (Gambar 22). Upaya-upaya yang menguatkan modal sosial, sebagaimana dilakukannya penelitian ini, diperkirakan akan dapat melunakkan resistensi masyarakat terhadap kegiatan penelitian di areal Blok Agroforestri. Simulasi pencapaian realisasi penelitian ini dianggap mewakili pula untuk indikator jumlah dan jenis penelitian serta tingkat adopsi penelitian.
Keinginan kita Realisasi rencana penelitian
Perkiraan
Tahun 1980
2007 (Saat ini)
2020
Gambar 22 Realisasi rencana penelitian di Blok Agroforestri yang diperkirakan terjadi (Perkiraan) dan jika menjalankan aktivitas dalam model konseptual (Keinginan kita) berdasarkan pendapat aktor-aktor.
62 4.4.5. Tahap 5 : Membandingkan model konseptual dengan dunia nyata Model konseptual merupakan wujud pola hubungan berbagai aktivitas untuk mencapai transformasi keadaan saat ini menuju situasi yang diidamkan, sesuai dengan posisi dan cara pandang (world-view) para pihak. Situasi saat ini yang direpresentasikan oleh gambar situasi (rich picture) (Gambar 23) memperlihatkan pola hubungan yang saling bertentangan dengan model konseptual. Sementara, hasil simulasi menunjukkan kesenjangan yang nyata antara situasi yang diidamkan dengan perkiraan keadaan yang bakal dihadapi dalam masa depan. Fasilitator meminta aktor-aktor untuk merenungkan dan mendiskusikan mengapa terjadi kesenjangan antara situasi yang diidamkan dengan situasi yang diperkirakan akan terjadi; mengapa pola hubungan dalam model konseptual berbeda dengan pola hubungan yang sebenarnya terjadi selama ini. Tabel kosong yang berisi uraian beragam aktivitas dalam model konseptual dan parameter operasionalisasinya dijadikan
alat bantu
untuk mengevaluasi
kesenjangan antara aktivitas dalam model konseptual dengan dunia nyata. Hasil evaluasi terhadap beragam aktivitas dalam model konseptual masingmasing subsistem menunjukkan bahwa hampir seluruh aktivitas tidak/belum terjadi di dunia nyata. Pengabaian tindakan manajemen atas Blok Agroforestri dirasakan sebagai penyebab tidak berjalannya fungsi kawasan ini. Selain itu, lemahnya kapabilitas manajemen pemerintah (birokrasi) yang diindikasikan dengan lambannya respon atas dinamika situasi sosial kemasyarakatan, dianggap menambah keruwetan permasalahan yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu, aktor-aktor berinisiatif merancang tindakan alternatif untuk setiap aktivitas dalam model konseptual. Tindakan inisiatif yang dibuat berdasarkan komparasi model konseptual dengan situasi yang terjadi di dunia nyata merupakan upaya mewujudkan beragam aktivitas harapan menjadi kenyataan.
Ini berarti muncul keinginan
aktor-aktor untuk menjadikan model konseptual sebagai rujukan tindakan nyata, dengan cara menurunkan taraf abstraksi setiap aktivitas dalam model menjadi lebih bersifat teknis (operasional). Aktivitas melaksanakan inventarisasi lahan dalam model konseptual ―hukum dan aturan‖ dan ―program penelitian‖ dianggap sebagai
pertama
pengelolaan Blok Agroforestri. Karenanya, aktor-aktor dari pihak pengelola diminta untuk memprioritaskan kegiatan tersebut dalam perencanaan kegiatan
63 institusi mereka (Tabel 8, 9). Aktivitas inventarisasi lahan dianggap sebagai kunci bagi aktivitas-aktivitas lainnya. Oleh karena itu, tindakan inisiatif bagi aktivitas selain inventarisasi lahan hanya berupa pedoman umum saja. Pedoman tindakan awal setiap aktivitas ternyata bersifat substantif, strategis, maupun politis. Substantif, misalnya untuk aktivitas membuat surat perjanjian kerjasama, materinya adalah pengakuan hak-hak pemanfaatan kawasan. Strategis, misalnya untuk melakukan penelitian agroforestri harus diawali dengan kegiatan identifikasi masalah. Politis, misalnya untuk aktivitas membuat tanaman baru di lahan kosong akan dipimpin oleh aktor dari masyarakat. Tabel 8 Perbandingan antara model konseptual dengan kondisi faktual untuk subsistem ―Hukum dan Aturan‖ Aktivitas dalam Model
Eksistensi
Bagaimana Dilakukan
Siapa pelaku
Baik/ Buruk
Tindakan inisiatif
Inventarisasi lahan
Ada
Survei rumah tangga
Tim Peneliti
Minim informasi
Aktor-aktor, terutama dari pihak pengelola akan menjadikan aktivitas ini sebagai prioritas utama kegiatan
Melakukan penyuluhan Hukum
Belum ada
-
-
-
Segera dilakukan setelah inventarisasi
-
Pemanfaat dengan difasilitasi pengelola akan membentuk kelompok tani setelah dilakukan inventarisasi lahan
-
Dilakukan segera setelah diketahui hasil inventarisasi lahan. Aktor siap membantu kelancaran pelaksanaan
-
Dilakukan setelah inventarisasi lahan. Substansinya adalah pengakuan hak memanfaatkan kawasan hutan.
Membentuk kelompok tani
Membuat tanaman baru di lahan kosong
Membuat perjanjian kerjasama antara masyarakat dengan pengelola
Belum ada
Belum ada
Belum ada
-
-
-
-
-
-
64 Tabel 9 Perbandingan antara model konseptual dengan kondisi faktual untuk subsistem ―Program penelitian‖ Kegiatan dalam Model
Eksistensi
Bagaimana dilakukan
Siapa pelaku
Baik/ Buruk
Tindakan inisiatif
Inventarisasi potensi biofisik dan sosial ekonomi lahan
Ada
Survei rumah tangga
Tim Peneliti
Minim informasi
Aktor-aktor, terutama dari pihak pengelola akan menjadikan aktivitas ini sebagai prioritas utama kegiatan.
Melakukan penelitian yang sesuai dengan kondisi Sosial ekonomi dan budaya lokal
Belum ada
-
-
-
Segera disusun setelah kegiatan inventarisasi
Penelitian di lahan karet muda
Belum ada
-
-
-
Diarahkan untuk peningkatan produktivitas getah karet
Penelitian agroforestri
Tidak ada lagi
-
-
-
Diawali dengan identifikasi masalah.
-
Potensi dan masalah disampaikan kepada pihak relevan
Penelitian ternak
Belum ada
Penelitian palawija di bawah karet
Belum ada
Terintegrasi dengan penelitian lainnya
Mengambil kepakaran luar
Belum ada
Bagian dari penelitian lain
Belum ada
Menguatkan kerjasama pengelolaan dengan pihak lain.
Kepala BPK memprioritas kan penelitian di KHDTK
-
-
-
-
-
Model konseptual subsistem pola usahatani ternyata memuat aktivitas yang telah berjalan di dunia nyata (Tabel 10). Aktivitas ini dinilai kinerjanya, apakah akan mendukung pencapaian tujuan sistem atau perlu diperbaiki kembali. Dua elemen dalam subsistem ini dianggap telah berjalan, namun perlu fasilitasi pihak luar untuk mempercepat pencapaian tujuan sistem.
65 Tabel 10 Perbandingan antara model konseptual dengan kondisi faktual untuk subsistem ―Pola usahatani‖ Kegiatan dalam Model Melaksanakan pendidikan dan latihan (Diklat)
Menerapkan pola usaha tani terkini
Mendirikan koperasi
Memperbaiki jalan
Eksistensi
Bagaimana Dilakukan
Belum ada -
Ada
Sebagian petani telah mencoba menggunak an bibit karet unggul dan menanam dengan pola agroforestri
Belum ada -
Ada
Pembuatan jalan tanah yang diperkeras
Baik/ Buruk
Tindakan inisiatif
-
-
Membentuk sekolah lapang (multisektor)
Beberapa orang petani
Belum baik; masih inisiatif petani
Membina kader petani andalan dalam setiap komunitas
-
-
Dilakukan jika modal sosial di kelompok tani sudah mantap
Pertamina, PT. MHP, Medco, Indellberg.
Selalu tidak bisa dilalui apabila musim hujan
Harus ada inisiatif dari BPK untuk turut memperbaiki jalan.
Siapa pelaku
4.4.6. Tahap 6 : Menetapkan langkah-langkah perubahan Perbandingan antara model konseptual dengan kondisi faktual menguatkan keinginan aktor-aktor untuk menyusun prioritas bagi aktivitas yang dapat ditempuh dalam jangka waktu secepatnya. Prioritas aktivitas dalam model konseptual yang bisa dilakukan para pihak untuk segera diwujudkan menjadi aksi nyata ditetapkan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Melakukan inventarisasi lahan Membentuk kelompok tani Membuat perjanjian kerjasama antara masyarakat dengan pengelola Melakukan penyuluhan hukum Membuat tanaman baru di lahan kosong
Semua aktivitas dalam model konseptual ―hukum dan aturan‖ dianggap sebagai langkah-langkah awal yang dapat dilaksanakan secara bersama oleh para pihak, tanpa tergantung pihak lain. Langkah-langkah pengelolaan ini
66 dirasakan sebagai proses yang paling masuk akal untuk terlaksana dan pada saat aktor-aktor telah dapat memahami posisi masing-masing pihak. Para pihak bersepakat untuk memberi waktu selama 2 (dua) tahun bagi pencapaian langkah-langkah prioritas ini. Kesepakatan tentang langkah-langkah prioritas dalam pengelolaan Blok Agroforestri merupakan respon
para pihak atas hasil diskusi simulasi dan
perbandingan antara model konseptual dengan situasi sebenarnya. Atas kesepakatan tersebut, fasillitator mempertanyakan pencapaian indikator tujuan sistem apabila proses itu tercapai. Aktor-aktor akhirnya mendiskusikan kondisi seluruh indikator harapan masa depan apabila skenario langkah-langkah prioritas menjadi pilihan mereka. Ini mendorong keinginan untuk menilai kondisi semua indikator apabila semua aktivitas dalam model konseptual dapat mereka jalankan atau tidak sama sekali. Tabel 11 adalah hasil penilaian secara kualitatif dari aktor-aktor terhadap kondisi indikator tujuan sistem. Tiga skenario yang ada merupakan pilihan rasional. Apabila skenario yang dipilih adalah langkah-langkah prioritas saja, ternyata hanya dua indikator yakni kualitas kenyamanan dan ketenangan dalam berusahatani dan kualitas hubungan masyarakat dengan pengelola akan bernilai positif. Sementara, indikator pada subsistem program penelitian dan pola usahatani masih menjadi tanda tanya atau diragukan pencapaiannya. Pencapaian indikator terburuk adalah pada saat seluruh aktivitas dalam model konseptual tidak dijalankan (seperti saat ini). Seluruh indikator akan bernilai negatif kecuali indikator pada subsistem pola usahatani yang masih tanda tanya. Partisipan lokakarya bersepakat menganggap skenario status quo sebagai pilihan buruk dan akan berusaha menghindarinya. Skenario terbaik dapat terwujud apabila semua aktivitas dalam model konseptual dilaksanakan secara konsisten. Semua indikator diyakini akan bernilai positif. Namun, skenario radikal ini dianggap sulit langsung dilaksanakan, tanpa melakukan evaluasi terlebih dahulu
terhadap pencapaian indikator dalam
subsistem ―hukum dan aturan‖. Skenario moderat dianggap sebagai kendaraan untuk menata kembali hubungan antara masyarakat dengan pihak kehutanan. Ini merupakan proses pengujian apakah model konseptual yang telah mereka susun dapat menjadi perangkat resolusi pengelolaan Blok Agroforestri. Proses menjalankan skenario moderat diharapkan dapat merekonstruksi cara pandang baru di antara mereka.
67 Tabel 11 Pilihan skenario menuju masa depan pengelolaan Blok Agroforestri KHDTK Benakat
Jenis Skenario
Radikal: Melaksanakan semua aktivitas dalam model
Moderat : Melaksanakan aktivitas yang bisa segera diwujudkan oleh para pihak (Prioritas)
Status Quo: Tidak melakukan aktivitas apapun
A B C D E F G H
Kondisi indikator (+, - ,?) + + + + + + + +
A
+
B
+
C
?
D
?
E
?
F
?
G
?
H
?
A
-
B C D E F G H
? ? ?
Indikator yang dipengaruhi
Peran Pihak
Para pihak siap mendukung semua aktivitas jika subsistem ―hukum dan aturan‖ telah berjalan.
Wakil masyarakat akan berinisiatif membentuk kelompok tani. BPK sebagai leading sector semua aktivitas. Pak Mardiyanto selaku penyuluh kehutanan siap diterjunkan kapanpun Dinas Kehutanan Muara Enim akan memfasilitasi kegiatan inventarisasi, pembentukan kelompok tani dan pembuatan surat perjanjian. Pak Susatyo Hutomo (MHP) akan mendorong realisasi anggaran kerjasama. Pemerintah kecamatan akan memfasilitasi semua aktivitas dalam model agar sistem pengelolaan berjalan lancar.
Para pihak akan berusaha menghindari skenario ini.
Keterangan: A : Kualitas kenyamanan dan ketenangan dalam bekerja B : Kualitas hubungan masyarakat dengan pengelola (BPK) C : Jumlah dan jenis penelitian D : Realisasi rencana Penelitian E : Tingkat adopsi penelitian F : Penghasilan Masyarakat G : Produktifitas lahan H : Jumlah pemanfaat lahan Blok Agroforestri
68 Pilihan
skenario
moderat
mendorong
aktor-aktor
mendistribusikan
perannya sesuai dengan kemampuan dan kewenangan masing-masing. Distribusi ini tidak hanya terkait dengan peran instansi atau kelompok yang mereka wakili, namun menyangkut aksi individual sebagai aktor dalam kelompoknya. 4.4.7. Tahap 7 : Melakukan aksi untuk memperbaiki situasi masalah Pada
Bulan
Desember
2007,
para
pihak
telah
mempersiapkan
implementasi rencana aksi, khususnya untuk aktivitas inventarisasi lahan, namun terkendala oleh padatnya jadwal kegiatan pihak pengelola (Balai Penelitian Kehutanan Palembang). Selain itu, perubahan kepemimpinan formal di Desa Benakat Minyak (Kepala Desa) menjadi pertimbangan lain untuk menjadwal ulang pelaksanaan rencana aksi. Hal ini terkait dengan kemungkinan terjadinya perubahan aktor-aktor dari Desa Benakat Minyak12. Pada Bulan April 2008, para pihak melakukan inventarisasi lahan Blok Agroforestri melalui pemetaan bersama. Inventarisasi lahan ditujukan untuk mengetahui status tata guna lahan areal seluas 400 hektar tersebut. Status tata guna lahan akan menunjukkan berapa luas lahan yang telah ditanami karet dan sebaran umurnya, berapa luas areal yang masih kosong, siapa saja pemanfaat yang ada berikut luas areal yang dikuasainya. Kegiatan ini merupakan batu pijakan untuk dapat melangkah ke proses kegiatan selanjutnya. Sebagaimana hasil kesepakatan dalam lokakarya, setelah diketahui dengan pasti siapa saja yang menjadi pemanfaat faktual Blok Agroforestri, maka aktor-aktor dari desa akan berinisiatif membentuk kelompok pemanfaat pada masing-masing desa. Pembentukan kelompok pemanfaat ini akan difasilitasi oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang selaku pengelola dan Pemerintah Kecamatan Talang Ubi13. Selain melakukan inventarisasi lahan bersama masyarakat dan fasilitasi pembentukan kelompok pemanfaat, aktivitas ―Membuat perjanjian kerjasama antara masyarakat dengan pengelola‖ adalah agenda utama Balai Penelitian Kehutanan Palembang dalam ―pengelolaan kembali‖ Blok Agroforestri pada tahun 2008 ini. Agenda ini merupakan upaya pengaturan hak-hak penguasaan atas sumberdaya Blok Agroforestri. Tujuan utamanya adalah pelembagaan 12
Kriteria legitimasi dalam “who really count” memungkinkan terjadinya perubahan aktor. Elias dan Cavana (tt) menyebut perubahan ini sebagai dinamika stakeholder (aktor). 13 Pemerintah Kecamatan Talang Ubi cukup berpengalaman dalam memfasilitasi kesepakatankesepakatan antara masyarakat dan PT. Musi Hutan Persada.
69 model pemanfaatan bersama sumberdaya Blok Agroforestri antara masyarakat dan pihak pengelola. Bagi masyarakat,
aktivitas ini akan menjadi wujud
pengakuan pemerintah atas usahatani mereka di Blok Agroforestri, sementara bagi Balai Penelitian Kehutanan Palembang ini adalah proses membentuk jaringan sosial bagi kelancaran penyelenggaraan litbang-nya. Terselenggaranya aktivitas inventarisasi lahan bersama merupakan indikator telah dimulainya langkah-langkah pengelolaan Blok Agroforestri. Aktivitas tersebut tidak akan dapat berlangsung dalam suasana konflik. Sampai proses
ini,
dapat
disimpulkan
intervensi
melalui
aplikasi
MSL
dapat
mengakomodasi keragaman persepsi dan kepentingan para pihak dan terbukti menghasilkan langkah pengelolaan bagi pengelolaan Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat. 4.5. Perubahan Sikap Partisipan Penelitian Proses penelitian yang berbasis Metodologi Sistem Lunak terbukti berhasil membuka kesadaran aktor-aktor bahwa perilaku atau tindakan mereka pada masa lalu adalah saling memengaruhi posisi dan peran mereka pada saat ini. Perilaku pengelola yang mengabaikan tindakan pengelolaan bagi Blok Agroforestri merupakan penyebab utama maraknya aksi penanaman karet oleh masyarakat. Perilaku masyarakat yang gigih mempertahankan keberadaan kebun karet membuat pihak pengelola dilanda keraguan menyampaikan intensi kegiatannya. preferensi
Saling keterkaitan perilaku ini berawal dan bermuara pada
tata guna lahan yang berbeda. Apakah pembelajaran ini mampu
memperbaiki kinerja perilaku mereka pada masa depan?. Menurut Patch et al. (2005) prediktor terbaik perilaku manusia adalah berupa keputusan sadar (rasional) orang-orang dalam melakukan tindakan (perilaku). Teori perilaku terencana (The theory of planned behaviour) yang dikembangkan oleh Ajzen (1991) menyediakan model untuk menjelaskan munculnya perilaku rasional (diacu oleh Cox et al. 1997; Patch et al. 2005; Zubair dan Garforth 2006). Menurut teori ini, kinerja sebuah perilaku ditentukan oleh formasi suatu keinginan untuk melakukan suatu tindakan (perilaku), yang mana formasi itu merupakan fungsi sikap terhadap suatu perilaku. Komponen sikap dalam teori ini adalah derajat kenyamanan atau ketidaknyaman terhadap suatu perilaku. Sikap tersebut dihitung dari hasil kali antara nilai kekuatan kepercayaan dan evaluasi manfaat jika melakukan sesuatu.
70 Perubahan sikap aktor-aktor sebagai wakil para pihak ditinjau dari perbedaan sikap terhadap pilihan tata guna lahan, yang dinilai pada saat awal dan setelah mengikuti proses penelitian berbasis MSL. Hasil analisis tabel segi empat yang dilanjutkan dengan uji Mc Nemar atau binomium menunjukkan bahwa sikap aktor-aktor terhadap fakta dan preferensi tata guna lahan Blok Agroforestri cenderung konsisten (Tabel 12). Signifikansi perubahan sikap para pihak terjadi pada kasus pernyataan ―Lahan Blok Agroforestri akan dijadikan perladangan tanaman semusim‖. Sikap ini cenderung negatif atau mengarah tidak akan melakukan tindakan yang menjadikan lahan sebagai perladangan tanaman semusim. Ini dimungkinkan karena dalam dalam proses penelitian terungkap bahwa tanaman semusim tidak cukup cocok untuk lahan Blok Agroforestri dan hanya sedikit menghasilan pendapatan tunai (cash income) bagi masyarakat.
Tabel 12 Rangkuman hasil analisis tabel segi empat untuk pengujian signifikansi perubahan sikap aktor-aktor terhadap tata guna lahan Blok Agroforestri sebelum-setelah mengikuti proses penelitian Pernyataan ―Lahan di Blok Agroforestri akan dijadikan areal…‖
Hasil analisis tabel segi empat terhadap elemen sikap
Signifikansi Perubahan
A +→ -
B +→+
C -→-
D -→+
Perkebunan karet saja
4
5
7
2
Tidak nyata
Pengembalaan ternak
3
4
7
4
Tidak nyata
Perladangan tanaman semusim
8
0
9
1
Nyata*
Seperti saat ini (tidak berubah)
6
0
6
6
Tidak nyata
Hutan tanaman Acacia mangium
3
0
10
5
Tidak nyata
Hutan campuran karet dan pohon andalan setempat
6
7
3
2
Tidak nyata
Hutan campuran karet, pohon andalan setempat dan A. mangium
5
5
4
4
Tidak nyata
Tumpangsari tanaman semusim, 2 10 1 5 Tidak nyata karet, dan pohon andalan setempat Keterangan : * Nyata pada taraf α = 0,05 (melalui uji binomium) A = sikap positif mengaraf negatif, B = tetap positif C = tetap negatif D = sikap negatif mengarah positif
Meskipun secara statistik tidak ada signifikansi perubahan sikap aktor-aktor terhadap fakta tata guna lahan saat ini (tidak berubah) namun muncul fenomena
71 keraguan-raguan. Sebagian besar aktor menunjukkan perubahan sikapnya, tetapi terpecah pada dua kutub positif dan negatif. Ini diduga karena situasi sekarang sebenarnya merupakan zona nyaman (comfort zone) para pihak, namun mereka berniat untuk keluar dari situasi tersebut setelah mengikuti proses penelitian. Konsistensi sikap aktor-aktor terlihat terutama pada pilihan tata guna lahan yang sejak awal menjadi keinginan para pihak utama, yaitu lahan akan menjadi perkebunan karet, lahan akan menjadi hutan campuran karet dan pohon andalan setempat, dan lahan akan dijadikan areal tumpangsari tanaman semusim, karet dan pohon andalan setempat. Namun demikian, aktor yang berubah sikap baik dari negatif mengarah positif atau sebaliknya tetap ada, tetapi secara statistik tidak signifikan. Ini berarti, secara umum proses penelitian berbasis MSL ini belum mampu mengubah sikap para pihak terhadap tata guna lahan Blok Agroforestri. 4.6. Pelajaran dari Proses Penelitian 4.6.1. Metodologi Sistem Lunak: Konflik menjadi pembelajaran sosial Metodologi Sistem Lunak adalah metodologi yang mengedepankan subjektifitas dan persepsi orang-orang yang terlibat dalam situasi masalah. Metodologi ini berparadigma interpretive (Sinn 1998; Mingers 2000; Jackson 2001; Luckett et al. 2001), sehingga teknik penerapannya di lapangan sangat tergantung dengan konteks penelitian, situasi permasalahan, perilaku aktor-aktor, dan kemampuan pengguna. Penelitian ini dilakukan dalam konteks intervensi terhadap kebuntuan manajemen kawasan hutan karena dianggap rawan konflik. Karenanya, pendefinisian isu menjadi awal untuk memasuki situasi masalah. Isu adalah topik penting yang akan menjadi bahan diskusi ketika kelompok yang berbeda bertemu dalam satu forum. Namun sebelum isu dapat dibatasi, pemilik isu harus ditentukan terlebih dahulu. Pemilik isu adalah pengguna dan pengelola kawasan hutan. Batasan yang dibuat oleh Rolling dan Wagemaker (1998 dalam Ramirez 1999) ini cukup efektif membantu peneliti untuk membuka peta intervensi. Balai
Penelitian
Kehutanan
Palembang
sebagai
pengelola
Blok
Agroforestri, pemanfaat lahan yang berasal dari Desa Benakat Minyak dan Semangus dapat dengan baik merumuskan isu yang dikemas dalam ―harapan dan masalah kami terhadap Blok Agroforestri‖. Stimulasi untuk merumuskan isu
72 berasal dari informasi yang diterima masing-masing kelompok tentang kondisi lapangan terkini dan posisi pihak lain. Upaya awal untuk menggugah kepedulian komunitas pihak pengelola terhadap kawasan hutan yang dimandatkan kepadanya adalah dengan cara menyampaikan kondisi lapangan terkini (Gambar 23). Fakta lapangan terkini menjadi bahan peneliti untuk mempertanyakan pengabaian pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pihak pengelola dan acuan bagi mereka dalam merumuskan ―harapan dan masalah‖.
Sementara, rumusan ―harapan dan masalah pihak
pengelola‖ menjadi rujukan bagi peneliti untuk menyiapkan dan merancang pertemuan dengan kelompok masyarakat. Proses ini membuka kesadaran mereka bahwa ada pihak lain yang mengancam kepentingannya. Provokasi ini berhasil mendorong para pihak utama untuk bersedia bertemu dalam satu forum untuk mendiskusikan kepentingan dan pencapaian harapan mereka. Blok Agroforestry tidak terkelola FGIs di BPK Palembang
Posisi pengelola dan fakta lapangan
Observasi
FGIs di Desa Semangus
FGIs di Desa Benakat Minyak (BM)
Refleksi I
Posisi BPK dan Benakat Minyak
Refleksi II
Posisi Para Pihak
Refleksi III
Observasi lapangan dan wawancara rumah tangga Negosiasi Isu Bersama
Lokakarya Multipihak
Langkah pengelolaan
Gambar 23 Strategi intervensi yang dikembangkan untuk memecahkan kebuntuan tindakan manajemen atas Blok Agroforestri Hutan Penelitian Benakat. Wawancara
kelompok
fokus
(Focus
Group
Interviews-FGIs)
memungkinkan peneliti untuk menggali informasi melalui pengajuan sejumlah pertanyaan kepada satu kelompok para pihak. Kelompok akan mendiskusikan
73 jawaban kelompoknya atas pertanyaan tersebut. Ini dilakukan untuk menghindari perdebatan antara peneliti sebagai fasilitator yang berasal dari kelompok pihak pengelola (fasilitator reflektif) dengan kelompok masyarakat. Peneliti hanya memberikan pertanyaan dan menghindari membuat pernyataan. Pelajaran dari proses awal penelitian menunjukkan bahwa FGIs cukup ampuh meredam reaksi negatif kelompok masyarakat dalam pertemuan dengan aktor dari kelompok pemerintah, sekaligus menginisiasi rasa saling percaya. Patton (2002) diacu oleh Mikkelsen (2005) membuat batasan yang jelas antara diskusi dengan wawancara: wawancara kelompok fokus adalah wawancara bukan merupakan sebuah sesi pemecahan masalah sebagaimana diskusi. Hasil observasi lapangan dan wawancara rumah tangga digunakan sebagai informasi untuk membuka cakrawala dan menunjukkan fakta objektif situasi lapangan kepada para pihak. Informasi dan fakta lapangan ini merupakan salah satu bahan refleksi ketika para pihak bertemu. Ini adalah bagian dari usaha menunjukkan kepedulian satu pihak (pengelola) terhadap pihak lainnya (masyarakat). Apresiasi terhadap apa yang telah dilakukan masyarakat ditunjukkan dengan cara mendengarkan dengan sungguh-sungguh tentang alasan-alasan masyarakat memanfaatkan Blok Agroforestri. Metode lain untuk membangun rasa saling percaya adalah dengan menunjukkan antusiasme terhadap sesuatu yang dianggap menjadi masalah oleh aktor dari masyarakat. Selama masa penelitian di lapangan, kunjungan informal ke kediaman atau tempat kerja aktor masyarakat mampu mengurangi manifestasi dari fenomena ―groupthink‖14 dan menguatkan hubungan personal antara aktor-aktor masyarakat dengan peneliti. Aktor-aktor masyarakat selain pada akhirnya selalu membantu masa pra-observasi, juga berperan sebagai informan yang memantau perkembangan situasi sosial politik di lingkungan desa, dan memberi pertimbangan tentang penyesuaian waktu dan tempat yang tepat bagi pelaksanaan lokakarya. Aktor-aktor masyarakat membuktikan bahwa mereka adalah agen perubahan di komunitasnya. Mereka umumnya adalah patron yang berperan sebagai pemimpin dalam kelompok buruh. Aktor yang ditunjuk juga merupakan tokoh yang selama ini dipercaya untuk mengurusi kepentingan umum, meskipun tidak secara formal duduk dalam struktur pemerintahan desa. Ini berarti kriteria 14
Groupthink adalah istilah yang dipopulerkan oleh Janis IL, seorang psikolog sosial, sebagai analogi dari gejala “benar sendiri” bagi tindakan suatu kelompok (Lihat Malik et al. 2003).
74 ―who really count‖ yang dikenalkan oleh Mitchell et al. (1997 dalam Magness 2007) dapat dimengerti oleh kelompok masyarakat Benakat dalam menentukan siapa yang mereka anggap sebagai aktor. Kriteria keabsahan (legitimacy) dalam “who really count‖ diterjemahkan masyarakat sebagai orang yang memiliki jabatan dalam organisasi pemerintahan desa atau orang yang memiliki kepeduliaan tinggi terhadap isu. Kriteria kepentingan
(urgency)
diartikan
masyarakat
sebagai
orang-orang
yang
mendominasi penguasaan kebun karet di areal Blok Agroforestri. Sementara kriteria kekuatan (power) melekat pada orang-orang yang memiliki kriteria keabsahan dan kepentingan. Orang-orang yang dipilih kelompok masyarakat berdasarkan tiga kriteria tersebut adalah aktor sosial di komunitasnya. Aktor yang terlibat dalam proses penelitian ini tidak semuanya memiliki kemampuan mengkomunikasikan pengetahuannya secara efektif, meskipun terpilih karena memiliki kriteria “who really count”. Padahal kapasitas tersebut cukup dibutuhkan dalam negosiasi dengan aktor dari pihak lain. Namun demikian, dalam konteks MSL, menurut Bergvall-Kåreborn et al. (2004) aktor adalah orang-orang yang dapat menyebabkan terjadinya transformasi atau orang-orang yang akan melaksanakan transformasi. Karenanya, tidak semua aktor harus memiliki kapasitas sebagai negosiator, tetapi yang penting mereka memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan hasil-hasil pertemuan multipihak. Pertemuan multipihak atau lokakarya (search conference) dilaksanakan pada waktu yang disepakati bersama. Fase awal lokakarya adalah observasi masalah. Ini dimulai dengan penyampaian rumusan ―sesuatu yang dianggap masalah‖ oleh masing-masing aktor sebagai wakil dari masyarakat maupun pihak pengelola. Selain itu, hasil observasi lapangan disampaikan juga untuk mengungkap fakta terkini. Suasana awal pertemuan masih terasa kaku, karena aktor-aktor berusaha menjaga jarak dan tidak impresif, guna menghindari terjadinya konflik terbuka. Gambar situasi masalah (rich picture) memodelkan ekspresi situasi masalah yang diungkapkan masing-masing kelompok pihak utama dalam rumusan ―harapan dan masalah‖ sebagai hasil proses wawancara kelompok fokus. Gambar ini secara visual mengekspresikan pertentangan antarpihak. Ini mendorong mereka untuk lebih terbuka dan berani menyampaikan hasrat dan kepentingannya, sebagaimana muncul pada masa pra-observasi.
75 Fasilitator menggunakan pertanyaan
yang diawali dengan kata ―siapa‖,
―apakah‖, dan ―mengapa‖ untuk membantu aktor-aktor lebih memahami situasi masalah dan membangun suasana diskusi. Setiap jawaban dari satu aktor salah satu pihak dikomentari oleh aktor dari pihak lawannya. Masing-masing pihak berusaha mengajukan argumen atas ―kebenaran‖ posisi dan tindakan mereka selama ini. Akibatnya, partisipan tidak bersedia dibatasi kebebasannya mengungkap gagasan pemikirannya, meskipun suasana diskusi cukup tegang. Situasi konflik dalam diskusi ternyata mampu menciptakan transfer informasi antarpihak. Ini adalah bentuk komunikasi baru bagi mereka, karena selama ini berusaha saling menghindari. Terciptanya komunikasi aktif antaraktor yang berseberangan pandangan dalam hal tata guna lahan terbaik bagi kawasan hutan ini didukung oleh fasilitasi diskusi yang tidak membatasi partisipan untuk mengungkapkan pemikirannya. Fakta ini sejalan dengan teori ―the ideal speech situation‖ dari Habermas. Menurut Habermas (1990 dalam Rist et al. 2006), Semua partisipan dalam aksi komunikatif harus dibebaskan untuk bertanya atau mengajukan usulan, mengekpresikan setiap sikap, kemauan atau kebutuhan, dan distribusi simetris kesempatan untuk berkontribusi dalam debat. Teori Habermas ini memberi perhatian khusus bagi analisis saling-hubungan antara orang-orang yang memiliki keragaman pengetahuan, misalnya antara petani (peasant) dengan peneliti (researcher) (Rist et al. 2006), sehingga terjadi intersubjective validation atas klaim kebenaran masing-masing pihak. Pembelajaran sosial menjadi fungsional pada tahap ini. Tahapan paling penting Metodologi Sistem Lunak dalam penelitian ini adalah ketika pernyataan-pernyataan sudut pandang yang berbeda (worldview) dari para pihak utama tersebut disepakati untuk tidak dinegosiasikan atau tidak diupayakan mencapai konsensus, namun setiap pihak berkeinginan untuk menggapai harapan masing-masing. Ini terjadi karena orang-orang sulit untuk berkompromi dengan masa lalu tetapi lebih dapat saling menerima jika berbicara tentang
masa
depan.
Teknik
TW
(Tranformation
and
Worldview---
Weltanschauung) terbukti mampu mendorong pihak-pihak yang bertentangan dalam kepentingan terhadap Blok Agroforestri untuk tetap melanjutkan proses penelitian ini. Menurut Bergvall-Kåreborn et al. (2004), tranformasi (Transformation) dan cara pandang (Worldview) merupakan elemen inti dari mnemonic CATWOE
76 (Client Actor Transformation Worldview Ownership Enviroment), suatu teknik dalam MSL untuk mendefinisikan akar sistem. Dalam konteks aplikasi MSL untuk mengelola kawasan hutan rawan konflik di Benakat ini, penggunaan TW dapat mengalihkan polarisasi posisi pihak menuju terbukanya ide-ide aktivitas untuk pencapaian tujuan masing-masing pihak. Hal ini konsisten dengan pendapat Mingers (1992 dalam Bergvall-Kåreborn et al. 2004) bahwa transformasi mampu membantu partisipan untuk memberi jarak antara dirinya dengan sistem aktual. Teknik PQR membantu partisipan lokakarya menuangkan ide-ide aktifitas bagi pencapaian transformasi yang diinginkan masing-masing dan mengevalusi sendiri kelogisan buah pikirnya. Logika PQR dimisalkan sebagai berikut: ―Mengubah subsistem hukum dan aturan (P) dengan cara membuat perjanjian kerjasama (Q) agar hubungan antara pengelola dan pemanfaat menjadi lebih baik (R)‖. Logika sederhana ini mampu menghilangkan rasa curiga yang kerap muncul dari masyarakat bahwa suatu diskusi selalu didominasi oleh pemikiran dari kelompok pemerintah. Ini mendorong kepercayaan diri bahwa ide-ide mereka setara dengan ide-ide orang-orang yang dianggap berpendidikan. Pembuatan simulasi terhadap model konseptual yang dirancang melalui MSL tidak banyak dilaksanakan oleh pengguna lain.
Simulasi umumnya
dilakukan dalam pemodelan kuantitatif dengan alat bantu komputasi. Penelitian ini
menunjukkan
bahwa
interaksi aktif
antarorang-orang
yang
memiliki
kepentingan berbeda tetap dapat menghasilkan dialog proyeksi situasi masa depan, melalui pelajaran pengalaman masa lalu, fakta saat ini dan bantuan model konseptual. Simulasi juga berhasil mendorong aktor-aktor untuk mengungkap fakta sebenarnya atas situasi dan kondisi areal Blok Agroforestri. Simulasi identik dengan pemanfaatan fakta dan data kuantitatif, sehingga hasilnya bergantung dengan ―kejujuran‖ atas data dan fakta itu sendiri. Karenanya, simulasi seperti ini dapat dipertimbangkan untuk menjadi metode kualitatif utama dalam rancangan penelitian sosial konstruktif atau kritis. Pemodelan dalam Metodologi Sistem Lunak ini merupakan proses adaptif, karena terjadi umpan balik antara proses memodelkan dengan hasil ekspresi situasi masalah. Jadi, meskipun pada situasi sebenarnya tidak terbangun hubungan yang positif di antara para pihak utama, namun terjadi dalam dunia sistem (model konseptual). Perbandingan antara kejadian di dunia sistem dengan situasi yang berlangsung ternyata mampu mendorong orang untuk menyusun langkah taktis menuju perubahan yang diinginkan masing-masing
77 pihak. Proses penelitian ini telah mengarah kepada pencapaian hasil penelitian Sanginga et al. (2006), ataupun penyataan Pickering (2001) dan Daniels dan Walker (1997) yang menyebutkan bahwa konflik (sumberdaya alam) tidak hanya tidak dapat dihindari, namun jika dikelola dengan baik dapat memberikan manfaat bagi perubahan sistem yang ada. Perbedaan preferensi terhadap tata guna lahan Blok Agroforestri dianggap sebagai akar terjadinya konflik antara masyarakat dengan pihak kehutanan. Perubahan sikap aktor-aktor terhadap tata guna lahan Blok Agroforestri yang mereka inginkan belum terjadi secara siginifikan dalam fase intervensi aplikasi MSL ini. Sikap para pihak terhadap tata guna lahan terbaik bagi Blok Agroforestri bisa jadi akan berubah apabila mereka dapat mempertahankan aksi komunikatif dalam
menjalankan
komitmen
kesepakatan
skenario
pengelolaan
Blok
Agroforestri. Ini dimungkinkan terjadi karena proses pembelajaran dalam MSL masih akan terus berlangsung. Namun demikian, dalam proses penelitian telah terjadi perubahan sikap aktor-aktor terhadap hubungan diantara mereka dan terhadap aktivitas yang selama ini masing-masing pihak lakukan. Rencana aksi yang dihasilkan dalam proses penelitian ini disepakati secara spontan untuk dikuatkan dalam bentuk rumusan bersama dan ditandatangani oleh semua aktor yang terlibat dalam lokakarya. Secara spontan pula, wakil aktor dari Desa Benakat Minyak menyampaikan pidato apresiasinya terhadap proses penelitian, seperti berikut ini:
Kami tekesan dengan apo yang dilakukan oleh beberapo wong mudo dari Plembang ni yang sejak awal berupaya agar apo yang selama ini dikeluhkan masyarakat dan mungkin jugo menjadi ganjalan hubungan kito selama ini menjadi cair. Sekarang la jelas apo yang kami harapkan Bapak-bapak udah tau dan apo yang Bapak-bapak pikirkan jugo kami la ngerti. Insya Allah kami sebagai tokoh masyarakat akan samo-samo saling dukung mak mano caronyo apo yang telah kito hasilkan hari ini terwujud. Jadi tulong hubungan baik kito ini kito pertahankan, supoyo idak ado lagi saling curiga.
Secara ringkas, pelajaran utama dari aplikasi metodologi sistem dalam konteks upaya ―pengelolaan kembali‖ kawasan hutan yang rawan konflik adalah
78 bahwa kinerja pengelolaan sumberdaya yang dilihat dan dirasakan (phenomena) saat ini adalah hasil (konstruksi) dari keragaman cara pandang, sistem nilai, dan pengetahuan orang-orang yang terlibat dalam situasi masalah. Karenanya, upaya untuk memperbaiki kinerja tersebut adalah dengan cara membongkar (dekonstruksi) cara pandang, sistem nilai, dan pengetahuan mereka kemudian merangkai kembali (rekonstruksi) dengan cara pandang, sistem nilai, dan pengetahuan baru. Proses ini dimungkinkan terjadi dengan cara-cara lunak (soft). Cara lunak mengedepankan penghargaan terhadap keragaman perspektif, sehingga terjadi validasi klaim ―kebenaran‖ antarpihak. Validasi menyebabkan pertukaran informasi yang dapat mengarahkan terjadinya umpan balik informasi. Umpan balik informasi yang memengaruhi keputusan-keputusan berikutnya dari pihak-pihak adalah penyebab terjadinya perubahan. Pengelolaan kembali kawasan hutan ―tidak terkelola‖ adalah wujud dari proses menuju perubahan tersebut. 4.6.2. Penyesuaian Kerangkakerja MSL: sebuah umpan balik Kerangkakerja MSL terbukti handal dalam menciptakan tindakan menuju perubahan situasi permasalahan pada banyak bidang kajian, termasuk dalam penelitian ini. Namun demikian, beberapa fitur keunggulan pendekatan MSL ini tetap menyisakan kelemahan dan berpotensi menutupi manfaat (outcomes) yang dihasilkan. Perubahan sistem yang diidentifikasi oleh proses MSL dalam penelitian ini cenderung bersifat ―revolusioner‖ atau mendadak. Sebelum dilaksanakannya pertemuan multipihak pada Bulan November 2007, para pihak utama tidak memilliki struktur dan prosedur hubungan kerja sama sekali. Komitmen untuk segera mewujudkan agenda aksi bersama pada Bulan Desember 2008 terkendala
oleh
kegamangan
pihak
Balai Penelitian
Kehutanan
dalam
menyesuaikan rencana kegiatan tersebut dengan agenda rutin institusinya. Pada kenyataannya, terjadi tarik menarik kepentingan antara aktor-aktor yang terlibat dalam proses penelitian aksi dengan individu-individu lain di komunitasnya. Ini menyebabkan terjadinya pengunduran jadwal implementasi rencana aksi. Siapa yang bertanggung jawab untuk mengadaptasikan agenda aksi ke dalam hirarki subsistem yang lebih tinggi (komunitas) merupakan masalah yang tidak diantisipasi oleh kerangkakerja MSL. Basis kerangkakerja MSL adalah menyandarkan proses ―memodelkan‖ dan perdebatan model dengan dunia nyata pada nilai-nilai dan keyakinan aktor-aktor.
79 Padahal nilai-nilai dan keyakinan aktor-aktor pada dasarnya dibentuk oleh struktur sistem yang lebih luas dan kompleks. Ini menyebabkan munculnya potensi resistensi dan keraguan individu-individu lain yang tidak terlibat dalam proses penelitian
terhadap agenda aksi. Menurut peneliti, potensi resistensi
dapat diatasi melalui 2 (dua) cara, yaitu: (1) Dalam tahap pemahaman situasi masalah (tahap 1); sepakati situasi masalah yang dianggap ―tidak bisa diintervensi‖ (given), kemudian keluarkan isu tersebut dalam proses tahapan lebih lanjut, (2) Dalam tahap menetapkan rencana aksi (tahap 6); pertimbangkan untuk memasukkan aktivitas ―sosialisasi rencana aksi‖ pada struktur hirarki subsistem yang lebih tinggi sebagai langkah awal dalam agenda rencana aksi. Keraguan orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam proses penelitian berbasis MSL merupakan sesuatu yang wajar, namun jika tidak diantisipasi sejak dini dapat menyebabkan terhentinya proses implementasi rencana aksi. Ini terjadi karena kerangkakerja MSL hanya didasarkan pada penafsiran aktor-aktor yang terlibat dalam proses penelitian. Aktor-aktor tidak menyadari dampak nyata (outcome) dari perubahan yang diinginkan. Apabila perubahan tersebut merupakan peubah pendorong terjadinya perubahan perilaku sistem secara keseluruhan, maka keraguan terhadap proses MSL akan semakin beralasan. Keraguan itu dapat diatasi melalui penggabungan antara MSL dengan metodologi lainnya, seperti aplikasi simulasi dalam penelitian ini. Penggabungan antara MSL dan metodologi lainnya, terutama Metodologi Sistem Keras (Hard Systems Methodology-MSK) adalah upaya menguatkan proses dan manfaat penelitian aksi. MSL menghasilkan pemahaman situasi masalah secara menyeluruh, sementara MSK berarti dalam membandingkan antara model konseptual dengan dunia nyata (Gambar 24).
Menyediakan keyakinan dalam membandingkan model konseptual dan dunia nyata Metodologi Sistem Lunak
Metodologi Sistem Keras Menyediakan pemahaman situasi masalah secara menyeluruh
Gambar 24 Metodologi Sistem Lunak dikuatkan oleh Metodologi Sistem Keras.
80 Rencana aksi yang dihasilkan oleh proses MSL merupakan komitmen aktor-aktor untuk memperbaiki situasi masalah. Sayangnya, kerangkakerja MSL tidak menyediakan langkah kerja yang memungkinkan pemantauan (monitoring) pelaksanaan rencana aksi pada fase implementasi. Ini dapat menyebabkan ketidakberlanjutan proses pembelajaran antarpihak. Agenda aksi dapat saja dianggap sebagai aktivitas rutin bagi masing-masing pihak. Jika demikian maka implementasi aksi berpotensi memunculkan masalah baru, seperti memperburuk hubungan antarpihak dan menjauhkan pencapaian sasaran-sasaran masingmasing terhadap sumberdaya yang ingin dikelola. Kelemahan
aspek pemantauan
implementasi rencana
aksi
dalam
kerangkakerja MSL telah cukup sering didiskusikan oleh pakar-pakar analisis sistem. Champion dan Stowell (2003) dan Champion (2007) mengusulkan penggunaan kerangkakerja PEArL sebagai pengarah (guidance) implementasi agenda aksi. Mnemonic PEArL adalah Participants, Engagement, Authority, relationship,
dan
Learning.
Menurut
mereka
kerangkakerja
ini
akan
meningkatkan validitas pelaksanaan penelitian aksi terhadap manfaat akhir (final outcomes) yang diinginkan. Setiap elemen (langkah) pelaksanaan agenda aksi diminta untuk mempertimbangkan kerangkakerja PEArL sebagai penilai apakah proses yang dilakukan tetap dalam koridor nilai-nilai dasar penelitian aksi . 4.6.2. Peran Fasilitasi Reflektif Metodologi Sistem Lunak tidak memiliki prosedur yang bersifat mekanistik, namun hanya memuat prinsip-prinsip untuk melakukan analisis sistem dan pemodelan berdasarkan perspektif orang-orang yang terlibat dalam situasi masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, media pelaksanaannya dapat saja beragam, tergantung konteks dimana metodologi ini digunakan. Dalam kasus upaya manajemen kawasan hutan yang rawan konflik, fasilitasi merupakan media yang tepat untuk mengawal proses penelitian. Menurut Standa-Gunda et al. (2003) kombinasi pemodelan dan partisipasi dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran sosial, namun ini hanya dapat dicapai melalui fasilitasi yang baik. Aplikasi MSL di Benakat ini dilakukan melalui fasilitasi reflektif. Fasilitasi reflektif adalah metode fasilitasi yang dilakukan oleh salah seorang atau sekelompok orang yang berperan pula sebagai aktor dalam proses, melalui pelibatan praktik pemikiran sistem (Groot dan Maarleveld 2000). Ini didasarkan pada kepentingan untuk membangun komukasi antarpihak, dimana
81 interaksi antaraktor pada pihak yang berbeda diwarnai dengan stereotif dan prasangka. Selener (1997) menyebutnya sebagai gaya fasilitasi dari dalam proses. Dalam penelitian ini, fasilitasi reflektif terbukti mampu membuka jalur komunikasi para pihak utama untuk bersedia mendiskusikan masa depan Blok Agroforestri (Gambar 23). Bukti keberhasilan fasilitasi reflektif ini dapat membuka wacana baru tentang peran
ideal aparat
pemerintah,
khususnya dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan. Hemmati (2002: 222) menyebutkan bahwa proses dialog antarpihak secara ideal difasilitasi oleh orang yang bukan merupakan para pihak dan tidak mempunyai kepentingan langsung dari manfaat proses. Namun, dalam kasus ini, dimana pengelola ‗mengabaikan‘ pengelolaan kawasan hutan yang dimandatkan kepadanya dan masyarakat tidak memperoleh kepastian tentang status ―pengusahaannya‖ maka fasilitasi reflektif adalah pendekatan yang paling mungkin. Kreativitas diyakini tidak akan muncul dalam suasana diam dan stabil. Suatu kelompok akan kreatif apabila menjalani proses yang memungkinkan terjadinya benturan pemikiran dan kepentingan kemudian dapat mengakomodasinya, sebagaimana dilakukan dalam proses MSL (Molineux dan Haslett 2007). Fasilitasi ini bersifat inisiatif dan upaya kritis untuk keluar dari situasi yang dianggap nyaman oleh kelompok fasilitator. Posisi sebagai insider memungkinkan fasilitator untuk tidak kaku dalam menggunakan metode-metode kualitatif dan mengakui keragaman perspektif serta meluaskan partisipasi. Fasilitator reflektif mendorong terjadinya refleksi kritis dan saling menilai, membangun interaksi yang lebih intim serta merangsang semua aktor yang terlibat dalam proses untuk berperan sebagai fasilitator pula. Pada fase diskusi penyusunan model konseptual hingga disepakatinya rencana aksi bersama, peran peneliti sebagai fasilitator menjadi pasif, karena aktor-aktor lain secara tidak sadar telah bertindak sebagai fasilitator. 4.7. Implikasi Kebijakan Konflik dalam pengelolaan sumberdaya kawasan hutan merupakan fakta tidak terhindarkan. Pembiaran atas buruknya kinerja fungsi kawasan hutan yang dianggap rawan untuk terjadi konflik dengan masyarakat lokal merupakan kerugian negara yang masih jarang diperhitungkan. Pengelola lazimnya mengetahui keruwetan situasi dan kondisi kawasan hutan yang dimandatkan kepadanya (sebagai hasil observasi masalah). Ironisnya, keruwetan tersebut
82 makin diperparah dengan ketidakmampuan menyusun rencana tindakan manajemen yang adaptif. Sehingga, seringkali rencana tindakan manajemen harus diperbaharui setiap tahun untuk mengikuti dinamika sosial politik. Implikasinya, identifikasi masalah menjadi program rutin lembaga-lembaga pemerintah yang dipercaya mengelola kawasan-kawasan hutan Hasil identifikasi masalah (observasi) terhadap situasi dan kondisi lapangan semestinya dilanjutkan dengan tahap refleksi untuk mengevaluasi taraf kebenaran atas persepsi pemerintah sebagai pemegang mandat pengelolaan kawasan hutan maupun masyarakat lokal. Analisis sistem dan pemodelan kualitatif yang berorientasi aksi sebagaimana dicontohkan dalam penelitian ini, dapat digunakan untuk merefleksi hasil-hasil observasi masalah. Refleksi akan membawa pencapaian konsep perencanaan aksi (action planning). Konsep perencanaan seperti ini menjadi lebih adaptif, dalam arti akan mampu menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Pengelola-pengelola kawasan hutan tidak perlu setiap tahun melakukan observasi masalah, sehingga terkesan melakukan pemborosan dan tidak berani bertindak apapun. Setiap tindakan manajemen diobservasi kembali manfaat dan dampaknya, kemudian secara iteratif berlanjut lagi pada proses pembelajaran berikutnya. Intervensi terhadap situasi masalah yang rumit tidak harus melibatkan pihak luar. Fasilitasi reflektif dalam penelitian ini terbukti mampu memecahkan kebekuan
komunikasi
antarpihak
yang
berseberangan
perspektif
dan
kepentingan. Pihak pengelola kawasan hutan ―tidak terkelola‖ seharusnya dapat memanfaatkan stafnya sendiri untuk melakukan intervensi melalui fasilitasi. Pemerintah harus mulai bergeser dari cara rutin berpikir yang menganggap dirinya sebagai pelaksana kegiatan saja, menjadi fasilitator proses manajemen bagi kawasan hutannya. Fasilitator reflektif dapat diperankan oleh semua aktor dari pemerintah maupun masyarakat lokal. Hasil penelitian Kolfschoten et al. (2007) menunjukkan bahwa kinerja dan penggunaan informasi oleh fasilitator baru tidak sangat berbeda dengan fasilitator pada tingkat ahli, namun mereka (fasilitator baru) kurang fleksibel karena pengalamannya masih terbatas. Ini berarti, pihak pengelola kawasan hutan tidak perlu repot mengundang atau menunggu datangnya
fasilitator
handal
untuk
memulai
memanfaatkan orang-orang mereka sendiri.
intervensi,
tetapi
cukup
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan a.
Prinsip-prinsip Metodologi Sistem Lunak yang dijalankan melalui strategi fasilitasi reflektif mampu mengubah suasana konflik yang disebabkan oleh perbedaan perspektif dan kepentingan, menjadi media pembelajaran sosial saling memahami, sehingga menghasilkan langkah pengelolaan bagi Blok Agroforestry Hutan Penelitian Benakat yang semula ―tidak terkelola‖.
b.
Fase intervensi dalam tahapan Metodologi Sistem Lunak ini tidak secara signifikan mengubah sikap para pihak terhadap preferensi tata guna lahan. Ini berarti potensi konflik dalam masa depan tetap ada.
5.2. Saran a.
Model konseptual sebagai representasi hubungan beragam aktivitas bertujuan dalam masa depan dapat dijadikan pedoman interaksi para pihak pada saat melaksanakan aksi menuju perubahan situasi masalah. Resolusi konflik dapat berwujud memperbaiki model konseptual yang ada sebagai refleksi sistem aktivitas yang lebih layak dan diterima.
b.
Metodologi Sistem Lunak dapat dijadikan alternatif pendekatan untuk mengintervensi kawasan-kawasan hutan yang dianggap rawan konflik di Indonesia. Aplikasi metodologi ini dalam konteks pengelolaan kawasan hutan yang lebih kompleks (isu lebih luas, para pihak lebih banyak) sebaiknya dikombinasikan dengan metodologi lainnya (multi metodologi).
DAFTAR PUSTAKA Adelson B. 1999. Developing strategic alliances: A framework for collaborative negotiation in design. Research in Engineering Design, 11:133-144. Asanga CA. 2005. Memfasilitasi kemitraan yang layak dalam pengelolaan hutan komunitas di Kamerun: Kasus kawasan hutan pegunungan Kilum-Ijim. Di dalam: Wollenberg E, Edmunds D, Buck L, Fox J, Brodt S, editor. Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas. Bogor: Pustaka Latin. hlm 29-60. Barron P, Kaiser K, Pradhan P. 2004. Local conflict in Indonesia. Measuring incidence and identifying patterns. World Bank Policy Research Working Paper 3384, August 2004. Baskerville RL. 1999. Investigating information system with action research. Communications of AIS. Volume 2, Article 19. Bervall-Kareborn B, Mirijamdotter A, and Basden A. 2003. Basic principles of SSM modelling: An examination of CATWOE from a soft perspective. Systemic Practice and Action Research, Vol. 17. No.2: 55-73. Braithwaite J, Hindle D, Iedema R, Westbrook JI. 2002. Introducing soft systems methodology plus (SSM+): Why we need it and what it can contribute. Australian Health Review Vol. 25 No. 2. Braver T, Edwards V, Phan AT. 2007. The gambler, the carrots, and the cook: A critical evaluation of investment potential in the Viatnamese software industry. Asia Pacific Business Review Vol 13 (1):41-58 Brenton K. 2007. Using soft systems methodology to examine communication difficulties. Mental Health Practice Vol 10 (5) : 12-16 Brits H, Plessis L du. 2007. Application of focus group interviews for quality management: An action research project. Syst Pract Act Res 20:117-126. Bunch MJ. 2003. Soft systems methodology and the ecosystem approach: A system study of the cooum river and environs in Chennai, India. Enviromental Management Vol. 31, No. 2, pp. 182-197. Chambers R. 1996. Memahami Desa secara Partisipatif. Sukoco, penerjemah; Nugroho PA, penyunting. Yogyakarta: Kanisius. Terjemahan dari: Rural Appraisal: Rapid, Rilex & Participatory. Champion D, Stowell FA (2003). Validating action research field studies: PEArL. Syst Pract Act Res 16(1):21-36. Champion D. 2007. Managing action research: the PEArL framework. Syst Pract Act Res. In Press.
85 Chapman J. 2004. System Failure: Why governments must learn to think differently. London: Demos. Chilvers A. 2000. Critical issues in the use of soft systems methodology-a case study in the long-term management of digital data objects. Journal of Librarianship and Information Science 32 (4): 167 – 177. Cox DN, Anderson AS, Lean MEJ, Mela DJ. 1997. UK consumer attitudes, beliefs and barrier to increasing fruit and vegetables consumption. Public Health Nutrition 1 (1) : 61-68. Daniels S dan Walker G. 1997. Rethinking public participation in natural resource management: concepts from pluralism and five emerging approaches. Paper presented at the FAO Workshop on Pluralism and Sustainable Forestry and Rural Development, 9 – 12 Dec 1997, Rome, Italy. Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Management; To Sustain Ecological, Economic, and Social Values: Fourth Edition. New York: McGraw-Hill. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan. 1988. Laporan Pengamatan dan Uji Coba Pengembangan Teknologi Reboisasi. Dymond G. 1996. The evaluation of information systems: a protocol for assembling information auditing packages. International Journal of Information Management, Vol. 16 (5) : 353 – 368. Elias A dan Cavana RY. tanpa tahun (tt). Stakeholder analysis for systems thinking and modelling. [24 Januari 2008] Engel A, Korf B. 2005. Negotiation and Mediation Techniques for Natural Resource Management. Rome: Food and Agriculture Organization of United Nations. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Eriyatno, Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan: Pascasarjana. Bogor: IPB Press.
Metode
Penelitian
untuk
Fatmawati DA. 2004. Studi kasus konflik sosial antara masyarakat di sekitar hutan konservasi dengan pemegang HPHTI PT. Musi Hutan Persada (Studi kasus di Hutan Konservasi Supporting II Benakat areal HPHTI PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Fisher S, Abdi DI, Ludin J, Smith R, Williams S. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Kartikasari SN, Lapilatu MD, Maharani R, Rini DN, penerjemah. Jakarta: The British Council.
86 Flood RL. 2001. The relationship of ‗systems thinking‘ to action research. Di dalam Reason P dan Bradbury H, editor. Handbook of Action Research. Participative Inquiry and Practice. London: Sage Publication/ Fuad FH, Maskanah S. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor: Pustaka Latin. Golar. 2007. Strategi adaptasi masyarakat adat Toro; Kajian kelembagaan lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Taman Nasional Lore Lindu [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Gouyon A, de Foresta H and Levang P. 1993. Does ‗Junggle Rubber‘ deserve its name? An analysis of rubber agroforestry system in Southeast Asia. Agroforestry Systems 22:181-206. Groot A, Maarleveld M. 2000. Demystifying Facilitation in Participatory Development. Gatekeeper Series no.89. London: IIED. Haklay M. 1999. Soft systems methodology analysis for scoping in environmental impact statement in Israel. CASA University College London. http://www.casa.ucl.ac.uk/publications/workingPaperDetail.asp?ID=13 [27 Pebruari 2007]. Hemmati M. 2002. Multi-stakeholder Processes for Governance and Sustainability: Beyond Deadlock and Conflict. London: Earthscan Publications Ltd. Hendricks W. 2004. Bagaimana Mengelola Konflik. Arif Santoso, penerjemah:. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Terjemahan dari : How to Manage Conflict. Holst M, Nidhall L. 2001. Soft systems methodology and organizational informatics - a successful partnership [Master Thesis]. Luleå Tekniska Universitet. http://epubl.luth.se/1404-5508/2001/060/index-en [27 Pebruari 2007]. Holwell S. 2000. Soft systems methodology: Other voices. Systemic Practice and Action Research, Vol. 13, No. 6: 773-797. Hogan PT, Jaska PV, Raja MK. 2003. Combining soft systems methodology techniques and data envelopment analysis in an exploratory analysis of the use of technology consultants for its implementation. International Journal of Computers, Systems, and Signals. Vol 4, No 1. Jackson MC. 2001. Critical systems thinking and practice. European Journal of Operational Research, 128:233-244. Jacobs B. 2004. Using soft systems methodology for performance improvement and organisational change in the English National Health Service. Journal of Contingencies and Crisis Management, Vol. 12 (4) : 138 - 149 Kadir A. 2005. Pengembangan sosial forestry di SPUC Borisallo; Analisis sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Info Sosial Ekonomi Vol. 5 No. 3.
87 Kartodihardjo H. 2003. Masalah struktural dalam implementasi kebijakan baru kehutanan. Di dalam: Resosudarmo IAP, Colfer CJP, penyunting. Ke Mana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm 177-195. Kartodihardjo H, Jhamtani H, editor. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing. Kolfschoten GL, Hengst-Bruggeling MD, De Vreede GJ. 2007. Issues in the design of facilitated collaboration processes. Group Decision and Negotiation, 16:347-361 Kotiadis K. 2007. Using soft systems methodology to determine the simulation study objectives. Journal of Simulation, Volume 1, Number 3: 215-222. Lea W. Uttley P, and Vasconceloes AC. 1998. Mistakes, misjudgements and mischances : Using SSM to understand the Hillsborough disaster. International Journal of Information Management, Vol. 18 (5) : 345 – 357. Li Z, Naim M, Wang Y. 2007. Soft systems of reverse logistics battery recycling in China. International Journal of Logistics, 10(1):57-70. Lindayanti R. 2003. Gagasan dan kelembagaan dalam kebijakan perhutanan sosial. Di dalam: Ida APR dan Carol JPC, editor. Ke Mana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Luckett S, Ngubane S, and Memela B. 2001. Desigining a management system for rural community development organization using a systemic action research process. Journal of Systemic Practice and Action Research, Vol. 14, No.4 : 517 – 542. Mingers J. 2000. An idea ahead of its time: The history and development of soft systems methodology. Systemic Practice and Action Research, Vol 13 (6): 733 – 751. Magness V. 2007. Who are the stakeholder now? An empirical examination of the Mitchell, Agle, and Wood theory of stakeholder salience. Journal of Business Ethics 2007. Malik I, Wijardjo B, Fauzi N, Royo A. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam. Pellokila YYK, Prasetyohadi, Trisasongko D, penyunting. Jakarta: Yayasan Kemala. Martins H, Borges JG. 2007. Addressing collaborative planning methods and tools in forest management. Forest Ecology and Management. In Press. Martin E, Winarno B, Silalahi ATL. 2003. Studi aktivitas perladangan masyarakat di Hutan Penelitian Benakat sebagai potensi pengembangan sosial forestri. Buletin Hutan Tanaman 1 (1):
88 Martin E dan Winarno B. 2005. Teknologi dan Kelembagaan Social Forestry di KHDTK Benakat. Laporan Penelitian. Palembang: Balai Litbang Hutan Tanaman IBB. Tidak dipublikasikan. McNiff J. 1992. Action Research: Principles and Practice. London: Routledge. Midgley G. 2003. Science as systemic intervention: Some implications of systems thinking and complexity for the philosophy of science. Systemic Practice and Action Research, Vol. 16, No. 2: 77-97. Mikkelsen B. 2005. Methods for Development Work and Research. A New Guide for Practitioners, Second Edition. London: Sage Publications. Mingers J. 2000. An idea ahead of its time: The history and development of soft systems methodology. Systemic Practice and Action Research, Vol. 13, No.16:733-751. Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Molineux J dan Haslett T. 2007. The use of Soft systems methodology to enhance group creativity. Syst Pract Act Res, 20: 477-496. Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nidumolu UB, de Bie CAJM, van Keulen H, Skidmore AK, Harmsen K. 2006. Review of land use planning programme through the soft systems methodology. Land Use Policy 23: 187-203. [OECD] Organisation for Economic Co-operation and Development. 2005. Forests and violent conflict. United States Agency for International Development. http://www.oecd.org/dac/conflict/themes. [2 Maret 2007]. Pala Ö, Vennix JAM and van Mullekom T. 2003. Validity in SSM: neglected areas. Journal of the Operational Research Society, 54: 706-712. Patch C, Tapsell L, William PG. 2005. Over-weight consumers‘ salient belief on omega-3-enriched functional foods in Australia‘s Illawara region. Journal of Nutrition Education and Behavior 37 : 83-89 Peluso NL. 1992. Rich Forest, Poor People. Resource Control and Resistance in Java. Berkeley: University California Press. Pickering P. 2001. Kiat Menangani Konflik. Masri Maris, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari : How to Manage Conflict. Purnomo H et al. 2003. Collaborative modelling to support forest management: Qualitative systems analysis at Lumut Mountain, Indonesia. Small-scale Forest Economics, Management and Policy 2(2): 259-275. Purnomo H. 2005. Teori Sistem Komplek, Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
89 Rámirez R. 1999. Stakeholder analysis and conflict management. Di dalam Buckles D, editor. Cultivating Peace : Conflict and Collaboration in Natural Resource Management. New York: IDRC/World Bank. Rámirez R, Fernándes M. 2005. Facilitation of collaborative management: Reflection from practice. Systemic Practice and Action Research, Vol. 18 No.1. Reed J, Inglis P, Cook G, Clarke C, Cook M. 2007. Specialist nurses for older people: Implications from UK development sites. Journal of Advanced Nursing 58 (2) : 1-9 Rimbawanto A. 2004. Hutan Tanaman Benakat; Sejarah Perkembangan dan Dampaknya bagi Pembangunan HTI di Indonesia (Pelajaran dari Proyek ATA-186). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Rist S, Chiddambaranathan M, Escobar C, Wiesmann U. 2006. ―it was Hard to Come to Mutual Understanding…‖—The Multidimensionality of social learning processes concerned with sustainable natural resource in India, Africa and Latin Amerika. Syst Pract Act Res 19:219-237. Robbins SP. 2006. Perilaku Organisasi, Edisi kesepuluh. Molan B, penerjemah. Jakarta: Indeks. Terjemahan dari: Organizational Behavior, Tenth Edition. Rose J. 1999. SSM as social science research tools. Systems Research and Behavioral Science, Volume 14 issue 2: 107-112. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2007. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sajogyo. 2002. Keswadayaan dan saling memberdayakan. Makalah disampaikan dalam Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Jakarta 18 Juni 2002. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_5/artikel_2.htm [12 Oktober 2006]. Sanginga PC, Kamugisha RN, Martin AM. 2006. Conflicts management, social capital and adoption of agroforestry technologies: empirical findings from the highlands of southwestern Uganda. Agroforestry Systems 69:67-76. Sardjono MA. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Jogjakarta: Debut Press. Sarwono, SW. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo. Schlager, E. dan Ostrom E. 1992. Property rights regimes and natural resources: a conceptual analysis. Land Economics 68: 249-262. Selener D. 1997. Participatory Action Research and Social Change. New York: Cornell University. Siegel S. 1992. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
90 Simonsen J. 1994. Soft systems methodology. An introduction. Roskilde University. www.jespersimonsen.dk/Downloads/SSM-IntroductionJS [27 Pebruari 2007]. Sinn JS. 1998. A comparison of interactive planning and soft systems methodology: Enhancing the complementarist position. Systemic Practice and Action Research, Vol. 11 No. 4: 435-453. Standa-Gunda W et al. 2003. Participatory modelling to enhance social learning, collective action and mobilization among users of the Mafungautsi Forest, Zimbabwe. Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 2(2): 313-326. Staker RJ. 1999. An application of Checkland‘s soft systems methodology to the development of a military information operations capability for the Australian Defence Force. www.dsto.defence.gov.au/ corporate/reports/DSTO-TN-0183 [27 Pebruari 2007]. Suarez-Balcazar Y, Redmond L, Kouba J, Hellwig M, Davis R, Martinez L, Jones L. 2007. Introducing systems change in the school: The case of school luncheons and vending machines. American Journal of Community Psychology 39 (3-4): 335 – 345. Suharti S, Rostiwati T, Mindawati N. 2005. Pola kolaboratif dalam pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Haurbentes. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. II No. 5 : 527-537. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Tadjudin D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor: Pustaka Latin. Wardhana W, Awang SA, Purnomo H, Guizol P, Levang P, Sitorus E. 2006. Collaboration and tenurial problems in plantation forest South Sumatera, Indonesia. Makalah dalam the 11th Biennial Congress of the International Association for the Study of Common Property, Bali, Indonesia, 19-23 June 2006. Wiati CB. 2005. Apakah setelah desentralisasi hutan penelitian lebih bermanfaat untuk masyarakat lokal. CIFOR Governance Brief No 13. Williams B. 2005. Soft systems methodology. The Kellogg Foundation. users.actrix.co.nz/bobwill/ssm [4 Pebruari 2007]. Winardi J. 2005. Pemikiran Sistemik dalam Bidang Organisasi dan Manajemen. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Wulan YC, Yasmi Y, Purba C, Wollenberg E. 2004. Analisis konflik sektor kehutanan di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian CIFOR-FWI Research Report. Bogor: CIFOR. Zubair M, Garforth C. 2006. Farm level tree planting in Pakistan: the role of farmers‘ perceptions and attitudes. Agroforestry Systems 66:217-229.
LAMPIRAN
93 Lampiran 1 Manifestasi konflik antara masyarakat Desa Semangus dan Benakat Minyak dengan PT. Musi Hutan Persada (Kliping koran Sumatera Ekspress, 31 Agustus 2007).
94 Lampiran 2
Rumusan “Harapan dan Masalah” Agroforestry
para pihak utama Blok
Hasil Pertemuan warga Desa SEMANGUS-Pemanfaat areal Tumpang Sari, tanggal 04 Agustus 2007 (dihadiri 25 orang warga) Terhadap Blok Agroforestry (Tumpang Sari), APA YANG KAMI HARAPKAN 1. Kebun karet yang telah ditanami jangan diganggu agar kami bisa hidup makmur Lahan yang kosong agar ditanami karet 2. Kebun karet yang ada di areal tumpang menjadi kebun yang produktif 3. Menjadi areal tumpang sari kebun karet 4. Kebun karet di areal tumpang sari menjadi sumber kemakmuran bagi anak cucu kami 5. Kebun karet jangan digusur 6. Sebagian areal tumpang sari menjadi kebun buah-buahan 7. Areal tumpang sari menjadi tempat hidup selamanya 8. Jalan yang ada diperbaiki agar mudah transportasi 9. Areal yang kosong agar bisa ditanami padi dan palawija dan karet sebagai sumber kemakmuran 10. Lahan kosong di tumpang sari agar dijadikan kebun karet, durian, dan kopi APA MASALAH YANG KAMI HADAPI 1. 2. 3. 4. 5.
Kurang modal dalam berusaha tani Lahan yang sudah ditebas tidak boleh dibakar Lahan masih numpang Merasa takut berusaha tani di lahan tumpang sari (Takut ditangkap) Tidak punya alternatif lahan lainnya
Hasil Pertemuan warga Desa Benakat Minyak tanggal 05 Agustus 2007 (dihadiri 18 orang warga) Terhadap Blok Agroforestry (Tumpang Sari), APA YANG KAMI HARAPKAN 1. 2. 3. 4.
Ingin hidup tenang dan damai, tidak diusik lagi oleh pihak kehutanan Lahan karet yang telah ada jangan ditanami dengan tanaman lain Kebun karet yang ada menjadi produktif demi kelangsungan hidup. Lahan karet yang dibuka bisa menanggulangi kemiskinan kami dan anak cucu 5. Lahan karet yang telah dibuka menjadi kebun milik sendiri (hak milik sampai anak cucu).
95 APA MASALAH YANG KAMI HADAPI 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tidak merasakan ada hak mengelola lahan. Merasa terganggu oleh pihak kehutanan dalam mengolah lahan. Merasa sering ditakut-takuti . Merasa terombang-ambing mengenai status lahan. Tidak punya lahan lain kecuali yang dibuka di areal tumpangsari. Tidak mempunyai modal untuk menjadikan kebun karet produktif.
Hasil pertemuan unsur staf dan pimpinan Balai Penelitian Kehutanan, tanggal 30 Juli 2007 (Dihadiri 26 orang peserta).
Terhadap Blok Agroforestry (Tumpang Sari), APA YANG KAMI HARAPKAN ADA KEGIATAN PENELITIAN YANG BERKELANJUTAN SEBAGAI LOKASI PENELITIAN SOSIAL EKONOMI BERKELANJUTAN BLOK AGROFORESTRY MENJADI AREAL PENELITIAN SEMULA DAPAT DIGUNAKAN UNTUK KEGIATAN PENELITIAN KEGIATAN PENELITIAN DIAKTIFKAN KEMBALI MEMANFAATKAN KEBUN MASYARAKAT YANG TELAH ADA HARUS ADA KEGIATAN PENELITIAN YANG DIFOKUSKAN AGROFORESTRY PEMBERIAN LABEL PENELITIAN/PROGRAM HARUS ADA PENELITIAN KELOLA LAHAN SECARA INTENSIF MELALUI PENELITIAN
SECARA SEPERTI
DENGAN DI BLOK
DENGAN POLA PENANAMAN AGROFORESTRY SEBAGAI BLOK PERCONTOHAN PENGELOLAAN KAWASAN DENGAN POLA AGROFORESTRY KEMBALI KE FUNGSI SEMULA SEBAGAI BLOK AGROFORESTRY TANPA MENGURANGI MANFAAT BAGI MASYARAKAT DI LOKASI TERSEBUT SEBAGAI BLOK PERCONTOHAN PENGELOLAAN KAWASAN DENGAN POLA AGROFRESTRY BLOK AGROFORESTRY DAPAT MENJADI WAHANA PENYULUHAN POLA AGROFORESTRY MENAMBAH AGROFORESTRY SECARA MENYELURUH, SERENTAK, DAN BERSAMA ADA DEMPLOT DI BAWAH TANAMAN KARET INTRODUKSI TANAMAN KEHUTANAN
96 APA MASALAH YANG KAMI HADAPI BALAI PENELITIAN KEHUTANAN PALEMBANG TIDAK MELAKUKAN PENGELOLAAN BLOK AGROFORESTRY / TUMPANGSARI DENGAN BAIK SETELAH SELESAINYA KERJASAMA “JICA” KEBIJAKAN BALAI MENGENAI PENGELOLAAN KAWASAN BELUM JELAS BALAI KURANG PEDULI/MAKSIMAL DALAM MENGELOLA BLOK AGROFORESTRY BELUM ADA SARANA PENDUKUNG PENGELOLAAN KAWASAN AKTIVITAS PENGELOLAAN TERHADAP BLOK AGROFORESTRY KURANG DIPERHATIKAN BELUM ADA KEINGINAN KUAT DARI BALAI UNTUK MENGELOLA BLOK AGROFORESTRY BELUM ADA KESERIUSAN SEMUA PIHAK DALAM MENGELOLA BLOK AGROFORESTRY BELUM ADA ATURAN DAN KOMUNIKASI DENGAN MASYARAKAT MENGENAI PENGELOLAAN BLOK AGROFORESTRY KEGIATAN BALAI PASCAKERJASAMA JICA TIDAK DIARAHKAN KE BLOK AGROFORESTRY. LAHAN DI BLOK AGROFORESTRY SEBAGIAN BESAR TELAH DIGUNAKAN MASYARAKAT UNTUK BERKEBUN MASYARAKAT SECARA DOMINAN TELAH MELAKUKAN KEGIATAN PENGGUNAAN LAHAN SEHINGGA PENGELOLAAN KAWASAN SULIT DILAKUKAN KETERGANTUNGAN MASYARAKAT TERHADAP LAHAN SANGAT TINGGI DI BLOK AGROFORESTRY KEGIATAN MASYARAKAT DI BLOK AGROFORESTRY SULIT DICEGAH KARENA BERHUBUNGAN DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR MASYARAKAT
97 Lampiran 3 Kamus istilah (Glossary) Aktor
:
Berpikir sistem
:
Debat
:
Dialog
:
Diskusi
:
Fasilitasi
:
Fasilitasi reflektif
:
Gambar situasi
:
Hutan penelitian
:
Ice breaking
:
Isu
:
Individu yang memiliki kepedulian terhadap situasi masalah. Ia dapat melaksanakan satu atau lebih aktivitas dalam sistem atau menghentikannya. System thinking; adalah berpikir secara holistik dengan melihat obyek yang dikaji dalam kaitannya dengan komponenkomponen lainnya. Mendiskusikan atau memeriksa sebuah pertanyaan melalui penyampaian dan pertimbangan argumentatif oleh beberapa pihak. Sebuah percakapan antara dua atau lebih orang-orang; pertukaran gagasan dan pendapat. Proses mempetimbangkan sebuah pertanyaan secara terbuka dan biasanya dalam debat informal. Proses sadar dan sepenuh hati membantu kelompok mencapai tujuannya / mencipta pilihan-pilihan terbaik dengan cara taat pada nilai-nilai dasar partisipasi agar kelompok benar-benar berfungsi sebagai kelompok Gaya fasilitasi yang dilakukan oleh salah seorang atau sekelompok orang yang berperan pula sebagai aktor dalam proses, melalui pelibatan praktik pemikiran sistem. Rasionalitas gaya fasilitasi ini adalah komunikasi. Ini memungkinkan fasilitator untuk segera mengubah sikap dan perilaku dirinya dan atau kelompoknya setelah mendapat informasi baru. Rich picture; Sketsa situasi masalah melalui media gambar yang melukiskan cara pandang para pihak dan interaksinya. Metode ini sebagai alat untuk membangkitkan diskusi antarpihak. Adalah kawasan hutan yang difungsikan sebagai areal bagi pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan, terutama untuk sektor kehutanan. Kegiatan yang dirancang untuk membuat proses belajar dan atau interaksi lebih menyenangkan. Ini berfungsi untuk membantu orang untuk saling mengenal dan rileks. Topik yang menarik untuk didiskusikan karena menjadi perhatian semua orang. Isu dapat berbentuk pernyataan kebijakan yang belum menjadi kebijakan saat ini. Isu dapat pula
98
Kawasan hutan
:
Keabsahan
:
Kekuatan
:
Kepentingan
:
Kognitif
:
Konflik
:
Konsensus Lokakarya
: :
Masalah
:
Metaplan
:
Metodologi Metodologi Sistem Keras (MSK)
: :
Metodologi Sistem Lunak (MSL)
:
berarti harapan masa depan yang berpotensi untuk diwujudkan. Wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Legitimacy; Atribut yang merujuk kepada perilaku yang diterima dan diharapkan secara sosial. Power; Atribut yang mengacu kepada kemampuan dalam mengontrol sumberdaya Interest; Atribut yang berarti terdapat ―sesuatu‖ yang harus menjadi perhatian. Proses mental untuk mengingat, memikirkan, memahami, mempersepsikan atau menilai sesuatu. Hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik tidak identik dengan perseteruan atau bentrokan fisik, meski itu adalah salah satu wujud konflik. Kesepakatan umum; kebulatan suara Search conference; Pertemuan multipihak yang diselenggarakan untuk memahami suatu masalah kemudian bersama-sama mencari solusi atas masalah tersebut dengan melihat berbagai alternatif dan kemungkinan yang terjadi dalam masa depan tertentu (timeline). Kesenjangan antara sesuatu yang diharapkan dengan fakta saat ini. Lembaran (biasanya berupa kertas) tempat menuangkan satu gagasan pikiran. Ilmu atau prinsip-prinsip tentang metode. Hard Systems Methodology; Pendekatan penelitian berbasis sistem yang meyakini bahwa obyek yang dikaji memiliki struktur hubungan dan tujuan yang dapat dibatasi. Kumpulan metodologi ini misalnya perekayasaan sistem, analisis sistem, dinamika sistem, riset operasi, and manajemen sibernetik. Sistem yang didefinisikan oleh metodologi ini bertujuan untuk optimisasi. Soft Systems Methodology; merupakan kerangkakerja (framework) pemecahan masalah yang dirancang secara khusus untuk situasi dimana hakikat masalah sulit untuk didefinisikan. Esensinya adalah membangun model sistem melalui pemahaman dan pemaknaan secara mendalam situasi masalah
99
Model
:
Model konseptual
:
Negosiasi
:
Para pihak
:
Partisipasi
:
sesuai fenomena yang dihadapi. Metodologi ini bertujuan untuk memperbaiki masalah sosial yang dihadapi dengan melibatkan secara aktif aktor-aktor yang berkepentingan melalui sebuah siklus pembelajaran yang idealnya tidak pernah berhenti. Proses penyelidikan mengenai kerumitan suatu masalah bagi MSL akan menciptakan pembelajaran. Abstraksi atau penyederhanaan dari dunia nyata yang mampu menggambarkan struktur dan interaksi elemen serta perilaku keseluruhannya sesuai dengan sudut pandang dan tujuan yang diinginkan. Model yang dihasilkan dari kognitif orang. Model ini bersifat hipotetik. Dalam MSL model konseptualnya berupa interaksi kumpulan aktivitas bertujuan (purposeful activity model) dengan kata kerja + frase kata benda sebagai bahasa model. sebuah bentuk pembuatan keputusan dimana dua pihak atau lebih saling berbicara dalam usaha untuk merubah kepentingan mereka yang berlawanan Stakeholders; Istilah stakeholders muncul pertama kali dalam referensi ilmiah pada tahun 1963. Pada saat itu ia mengacu kepada orang-orang yang tanpa dukungan mereka sebuah organisasi akan runtuh. Istilah stakeholders menjadi terkenal setelah Freeman pada tahun 1984 mempublikasikan buku “Strategic Management, a Stakeholders approach”. Freeman mendefiniskan para pihak sebagai individu atau kelompok yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi. Definisi yang lebih terbaru dibuat oleh Mitroff dan Linstone (1993) yaitu ―setiap individu, kelompok, organisasi, atau institusi yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh individu, kelompok, organisasi, atau institusi. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, Rolling dan Wagemaker mendefinisikan para pihak sebagai pengelola dan pemanfaat sumberdaya alam. Pada realitasnya, muncul istilah para pihak utama, sekunder, tertier, pendukung dan sebagainya. Ini mengacu pada derajat kepentingan mereka terhadap sumberdaya atau pencapaian tujuan organisasi. Proses dimana sejumlah pelaku yang bermitra
100
Pembelajaran
:
Pemodelan
:
Prasangka
:
Proses
:
Proses multipihak
:
Sikap
:
Simulasi Sistem
: :
Sistem Aktivitas Bertujuan
:
mempunyai pengaruh dan membagi wewenang di dalam prakarsa ‖pembangunan‖, termasuk mengambil keputusan atas sumberdaya. Learning; terjadi saat umpan balik informasi memengaruhi keputusan berikutnya. Pembelajaran adalah proses mengambil hikmah atas akibat tindakan-tindakan yang dilakukan secara terus menerus. Pembelajaran adalah sebuah proses sadar yang disengaja atau dilembagakan, tanpa adanya kesadaran ini maka pembelajaran tidak akan efektif. Pembelajaran adalah konsep proaktif, artinya si pembelajar itu sendiri yang harus aktif untuk belajar, bukan orang lain yang mengajari si pembelajar. Modelling; cara untuk meningkatkan pembelajaran (learning) dalam sistem kompleks. Pemodelan adalah metode untuk mengembangkan model-model simulasi atau tiruan untuk membantu memahami kompleksitas dari sistem, memahami sumbersumber masalah dan merancang solusi atas masalah tersebut. Prejudice: Dugaan terhadap ―sesuatu‖ sebagai hasil olah kognitif. Prasangka bermakna negatif apabila berhubungan dengan stereotif yang keliru terhadap ―sesuatu‖. Kemajuan; sesuatu yang terus berlangsung; sebuah fenomena alami yang ditandai oleh perubahan bertahap menuju sebuah hasil yang khusus. Proses yang bertujuan untuk membawa semua pihak utama dalam bentuk baru komunikasi dan pencarian keputusan (dan mungkin pembuatan keputusan) dalam isu tertentu Respon manusia yang menempatkan obyek yang dipikirkan ke dalam suatu dimensi pertimbangan Eksekusi sebuah model Suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu suatu gugus dari tujuan-tujuan Purposeful Activity Sistems; Sekumpulan gagasan aktivitas untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Sistem ini terkoneksi antaraktivitas yang menunjukkan hubungan bergantung. Jika aktivitas A menunjuk B, maka berarti B dapat dilakukan jika A telah
101
Sistem Lunak
:
Situasi masalah
:
Skenario
:
Stereotif
:
Transformasi
:
Wawancara kelompok fokus
:
Worldview
:
dilaksanakan. Soft system; sistem yang hanya ada jika manusia-manusia didalamnya menyusun sistem sepakat untuk memperlakukan interaksi diantara mereka serta dengan lingkungannya sebagai sebuah sistem. Semua elemen yang memengaruhi terjadinya masalah. Situasi masalah lebih luas dari masalah. Situasi masalah tidak hanya berhubungan obyek masalah namun mengapa orang-orang menyatakan ―sesuatu‖ tersebut sebagai masalah (subyektif). Pemikiran yang leluasa dan terkadang liar tentang masa depan dengan mempertimbangkan alternatif-alternatif yang bisa terjadi. Skenario berguna untuk mempertimbangkan dan melihat beragam kemungkinan masa depan. Skenario adalah cara berpikir yang longgar tentang masa depan, tidak rigid dan tidak perlu menganut pola-pola peramalan yang ilmiah Sebuah kumpulan keyakinan-keyakinan tentang atribut personal dari sekelompok orang-orang. Patut diperhatikan bahwa stereotif bukan ―kebiasan buruk‖; ia melekat dalam proses kognitif kita. Ia membuat persepsi kita tentang sesuatu menjadi lebih cepat. Misalnya, jika kita melihat seseorang yang telah berumur tua, maka pikiran kita langsung mempersepsikan bahwa orang tersebut geraknya lambat. Proses perubahan suatu keadaan menjadi keadaan lainnya. Dalam MSL transformasi mengubah satu wordview menuju worldview yang lebih diinginkan Metode penelitian kualitatif untuk mendapatkan jawaban atas satu atau lebih pertanyaan (masalah) dari satu kelompok atau komunitas tertentu. Ini berbeda dengan diskusi yang identik dengan debat dan kontestasi gagasan. Metode ini memungkinkan peneliti mendapatkan data kuantitatif dan kualitatif dalam suatu kelompok. Cara pandang; cara mempersepsikan obyek yang diperhatikan. Ini dipengaruhi oleh nilainilai, keyakinan, status pengetahuan, pengalaman masing-masing orang.