ANTOLOGI PUISI
AGRARIA INDONESIA
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barang siapa tanpa sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
ANTOLOGI PUISI
AGRARIA INDONESIA Surya Saluang (Ed)
Epilog: Abdul Hadi, W.M.
STPN Press Bekerjasama dengan Sajogyo Institute
ANTOLOGI PUISI AGRARIA INDONESIA © Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2010 Hak cipta dilindungi undang-undang Cetakan pertama, Desember 2010 ISBN: Editor: Surya Saluang Cover: Dany Tata Isi: Ahmady Averoez Penerbit: STPN Press bekerjasama dengan Sajogyo Institute Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional JL. Tata Bhumi no. 5 Yogyakarta Telp. (0274) 587239 Sajogyo Institute Jl. Malabar no. 22 Bogor, 16151 Telp/fax. (0251) 8374048
Kata Pengantar Ketua STPN
Kata Pengantar
v
vi
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Pengantar Editor
C
ukup sulit sebenarnya untuk menentukan, bagaimana puisi-puisi di dalam buku ini disusun. Sedari awal, kami tidak menetapkan suatu kriteria tertentu dengan ketat, puisi-puisi seperti apa misalnya yang akan dimuat. Puisi di dalam buku ini juga bukan puisi biasa. Disini, puisi yang kami sebut “biasa” adalah puisi yang sepenuhnya lahir dari kegiatan kreatif secara bebas. Sementara puisi-puisi yang terkumpul dalam antologi ini, lahir dari situasi yang justru bertolak belakang dengan kebebasan. Apa lantas kami menyebut ini sebagai puisi luar biasa? Puisi dianggap rumit dan berat bagi sebagian kita. Puisi juga bagi sebagian lainnya dianggap luar biasa, tidak umum dan sunyi. Tapi tak jarang pula kita justru menulis puisi setelah melewati pengalaman yang rumit dan berat pula hingga terantuk sunyi. Dalam kesunyian, puisi kemudian menjadi lebih mudah dimasuki. Jadi, mengapa pilihannya pada puisi? Mungkin sama halnya dengan menanyakan, mengapa dalam situasi yang sulit seseorang malah menulis puisi. Demikianlah, puisi-puisi dalam buku ini lahir dari keterdesakan. Situasi agraria yang sunyi dari keadilan, sunyi dari kesetaraan, sunyi dari kesejahteraan rakyat desa, sunyi dari keberpihakan pada Kata Pengantar
vii
petani, dan seterusnya. Berpuluh-puluh, ratusan, ribuan buku dan berbagai laporan penelitian mengatakan hal yang sama, ada persoalan dengan kenyataan agraria kita. Namun semuanya juga berujung pada sunyi yang lainnya, buku-buku dan berbagai laporan penelitian yang hanya tertata rapi di atas rak berdebu. Keadaan tak semakin membaik. Puisi-puisi dalam buku ini kemudian mencoba membuka jalan dalam sunyi. Penulis-penulis dalam buku ini beragam, mulai dari anak SD hingga orang-orang dewasa. Semuanya adalah pelaku dari berbagai kerumitan agraria di negeri ini. Mungkin itulah kelebihan bahasa puisi, semua umur bisa setara dalam ungkapan. Anda tentu bisa menelusuri sendiri dalam buku ini. Karya-karya yang merekam situasi agraria dari beberapa tempat, Ujung Kulon, Tasikmalaya, Garut, Cilacap, Kulon Progo, Gorontalo, Makassar, Sapeken, dan Madura. Masih banyak tempat lain dengan kekhasan persoalan agrarianya masing-masing yang belum berhasil dirangkum dalam usaha ini. Berbagai keterbatasan masih meliputi penyusunan antologi ini. Terlepas dari itu, setidaknya usaha kecil ini bisa memberi cermin yang lain pula, ketika puisi mulai bicara. Setelah mempelajari semua puisi yang ada, kami menangkap adanya beberapa kesamaan minat dan pengalaman agraria di dalam berbagai karya ini. Sekiranya jika bisa kami sebut sebagai pengalaman kolektif agraria. Pengalaman bersama, meliputi- yang kami istilahkan, Tanah-tanah basah, Tanah-tanah kerontang, Tanahtanah urban, dan Tanah-tanah lengang. Ada empat penandaan, basah, kerontang, urban dan lengang. Kiranya itulah tematik utama dari diksi-diksi yang terkumpul dalam buku ini, menandai tematik situasi agraria di sekitar kita. Persisnya bagaimana penandaan itu terhubung, semua kita tentu bebas mendeteksi dengan modus pembacaan beserta pengalaman sendiri pula. Sebagai pengalaman bersama, kami kembalikan juga pada sidang pembaca untuk viii
Antologi Puisi Agraria Indonesia
merangkai buku ini agar hadir ke dalam sistem penandaan yang lebih luas. Selamat menikmati sajian sederhana ini! Surya Saluang
Kata Pengantar
ix
Daftar Isi
Kata Pengantar Ketua STPN .............................................. v Pengantar Editor ................................................................ vii Daftar Isi ............................................................................ xi
Tanah-tanah basah Jalan yang Kupilih ....................................................... Pasir Bak Emas ............................................................ Sore Mulai Tiba ........................................................... Bumi Pertiwi ............................................................... Rangkaian Kata Sederhana : Pak Awa Belender .....................................................
2 3 4 5 6
Tanah-tanah kerontang Berita Buruk Buat Penguasa ........................................ Surat pada Penguasa .................................................... Akupun Bisa Beri Janji ................................................ Di Sanalah Bersama Keluargaku Tak Berdaya .............. Hak Yang Terampas ..................................................... Jeritan Anak Petani ...................................................... Ratapan Anak Sekolah ................................................. Desaku ........................................................................ Daftar Isi
10 11 12 13 14 15 16 17 xi
Arti Hadirmu .............................................................. Butanya Mataku .......................................................... Pengorbanan Seorang Petani ........................................ Rintihan Petani ........................................................... Penderitaan ................................................................. Realita Hidup Orang Desa .......................................... Untukmu Petani .......................................................... Raih Keadilan Petani ................................................... Seruan Petualang ......................................................... Suara dari Gunung ...................................................... Syair Pesisir ................................................................. Pejuang Pesisir ............................................................. Pejuang Sejati .............................................................. Perjuangan Ayah.......................................................... Semangat Perjuangan .................................................. Aktivis Tua .................................................................. Suara Hati Nuraniku ................................................... Makan Malam Bersama Ayah :Munir! ........................................................................ Sembilu-Nya ............................................................... Tiga Kuli dalam Satu Puisi .......................................... Lewat Puisi Aku ..........................................................
18 19 20 21 22 23 24 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 37 38 39 40
Tanah-tanah urban Ngungsi ...................................................................... Cilacap ( 1 ) ................................................................ Maafkan Aku Bumi ..................................................... Kota Ini -Cilacap ....................................................................... Pengemis dan Keindahan Kota .................................... Risalah Pedagang Pisang ............................................. xii
Antologi Puisi Agraria Indonesia
42 43 44 45 46 47
Tukang Kebun............................................................. Musnahlah Sudah Harapanku ..................................... Pesan Seorang Ibu kepada Anaknya Sebelum Anaknya Pergi ke Pusat Perbelanjaan Terbesar di Kota itu .......... Wajah Pribumi ............................................................ Reklame Satu Musim .................................................. Sumur Tepi Tubuhku................................................... Rekayasa Tubuh Berdaun Plastik ................................. Tanahku Rp. 6.000,- ................................................... Bor .............................................................................. Di Kota Mati Rumahku ..............................................
48 49 50 52 53 54 55 56 57 58
Tanah-tanah lengang Hati Ini Ibarat Tanah................................................... Pisuhan Anak Perahu .................................................. Titip Rindu Untuk Kebebasan .................................... Sketsa .......................................................................... Masih Adakah Harapan ............................................... Nasib Wargaku ............................................................ Penderitaan Petani ....................................................... Petaniku ...................................................................... Perjuangan .................................................................. Mereka yang Dilupakan .............................................. Bisikan Alam ............................................................... Kesaksian Pagi ............................................................. Mentari Pagi ................................................................ Seorang Perempuan Tua Pembawa Kepis ..................... Di Punggung Kita ....................................................... Sajak Para Pemondok .................................................. Anak-Anak Petani........................................................ Yang Berbiak dalam Tanah ..........................................
60 61 63 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 80
Daftar Isi
xiii
Epilog Sajak-sajak Anak Tani ......................................................... 85 Tentang Editor ................................................................... 91
xiv
Antologi Puisi Agraria Indonesia
pasir itu menyala bak emas diperebutkan dan ingin dikuasai tanpa peduli dengan nasib rakyat sendiri (Widodo, 2008)
Tanah-tanah basah
Jalan yang Kupilih teriris hatiku melihat ke arah itu bagaimana nasib kami tertindas tiada arti dimana perasaanmu kami ada disini kami berdiri di atas tanah kami mencari nafkah untuk keluarga kami biar panas terik menyinari kulit kami hingga membakar ari kami kami tak gentar inilah jalan yang kami pilih hidup di asal kami bertani di pesisir
2
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Pasir Bak Emas aku mencari sesuatu suatu ketentraman hati aku berjalan di gelapnya malam terfikirkan yang menyala siang tadi ketika keadilan tengah dipertaruhkan dan tak lagi dihiraukan ketika suara kami tak lagi didengar harta dan kekayaan berkilau pasir itu menyala bak emas diperebutkan dan ingin dikuasai tanpa peduli dengan nasib rakyat sendiri dimana kami harus meneruskan hidup ini tanah kami! kami tak rela kau ingin menguasainya kami lawan walau apapun!
Tanah-tanah basah
3
Sore Mulai Tiba Widodo
indah kupandang ombak laut selatan dan hamparan pohon cabai melambai-lambai ke arahku indahnya alam ini selalu memberi kehidupan nyata sayang kesadaran manusia hanya sebatas materi sehingga lupa kehidupan nyata pesisirku marilah kita teriak bersama-sama usir segala bentuk perusakan alam hancurkan tambang besi!
4
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Bumi Pertiwi Anisa Widya. S
ketika mentari telah menampakkan diri itulah waktu untuk kami maju dan berdegap hati dengan bambu runcing yang selalu menyertai tibalah kami di pertaruhan nyawa ini untuk memperjuangkan bumi pertiwi walau kami tau semua itu tak mudah tetapi kami yakin, badai bernyawa pasti musnah tergelincir oleh licinnya batu terseret oleh derasnya arus dan tak akan menemukan jalan yang lurus bumi pertiwi percayalah pada kami bahwa kami tak akan berdiam diri melihat badai bernyawa terus beraksi karena kami cinta akan pesisir ini
Tanah-tanah basah
5
Rangkaian Kata Sederhana : Pak Awa Belender Hanz
pada pagi kutitipkan harapan bersama mentari yang tak berhenti menyinari isi bumi rumput-rumput menari menyambut kedatanganmu embun pagi senantiasa menjadi sahabat sejati dalam menjalani hari-harimu di atas tanah kau mencari ilmu kehidupan di bawah tanah kau mencari sedikit nafkah untuk anak istri di rumah tanah yang paling berarti bagi hidupmu yang tak dapat terpisahkan dan dipisahkan kutitipkan kehidupan pada setiap pohon yang hijau berdiri kokoh pada setiap yang kau tanam di atas tanah hanya cangkul yang setiap hari kau pegang hanya tanah yang setiap hari kau rawat tapi perjuanganmu teguh harapanmu tinggi cita-citamu mulia 6
Antologi Puisi Agraria Indonesia
kau tuntun anakmu memikirkan kehidupan menggambarkan masa depan agar tak terulang sejarah kelammu sekolah adalah jalan terang agar sejarah tak terulang kau banting tulang, olah tanah agar anakmu bersekolah sekolah yang mengenalkan kejamnya masa depan sekolah yang memaksa kita berfikir kritis sekolah yang melatih kita untuk melawan segala bentuk penindasan sayang sungguh sayang selalu saja ada sekat gelap yang menggunting apa yang kau perjuangkan yang memutuskan apa yang kau harapkan yang tak pernah peduli akan cita-citamu tapi sekarang kau tak berjuang sendirian kita dalam ikatan kekeluargaan susah senang kita hadapi dan selesaikan bersama dengan kepalan tinju tegap teracung ke atas mendobrak benteng gelap dengan genggaman jemari yang terangkai kuat tak dapat terpisahkan saling menggenggam, mengisi kekosongan satu sama lain
Tanah-tanah basah
7
wahai petani … kau ibarat lilin yang rela habis demi terang (Ratna Wulansari, 2010)
Tanah-tanah kerontang
Berita Buruk Buat Penguasa Fajar Al-Jaja
kabarkan kepada mereka bahwa masih ada perlawanan kabarkan pada mereka bahwa rakyat butuh makan kabarkan pada mereka kalau buruh butuh kerja kabarkan pada mereka jika petani di desa butuh tanah kabarkan pada mereka bahwa penindasan bukan lagi zamannya kabarkan pada mereka andai rakyat marah dan memberontak kabarkan pada mereka Tuhan pun berpihak pada kami kabarkan pada mereka ini berita buruk untuk penguasa kabarkan berita buruk ini pada mereka bahwa penindasan akan melahirkan perlawanan karena Tuhan pun bersama kami!
10
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Surat pada Penguasa Mimik Hairati
dengan darah yang mengucur sepanjang penderitaan yang bergeming di tubuh rentaku kukatakan pada kalian yang telah dititipkan sayap oleh Tuhan untuk terbang mengepak di atas kepalaku bahwa matiku tinggal beberapa detak jantung lagi dan aku tidak memiliki seserbuk gula untuk bekal anak-anakku menyeberangi aspal aku mohon pada kalian yang telah direstui langit untuk menjadi pemimpin jangan lagi sepetak tanahku kalian incar untuk pembangunan hanya itu yang kumiliki!
Tanah-tanah kerontang
11
Akupun Bisa Beri Janji Fajar Al Jaya
penguasa pandai berjanji di depan kami mereka berbohong kami dianggap kucing akan diam bila mendapat sisa makanan mereka pandai beralasan di depan kami mereka soleh mendekati kami bila ada jabatan yang diinginkan akupun bisa berjanji janji penguasa adalah bohong akupun bisa berjanji janji penguasa adalah racun
12
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Di Sanalah Bersama Keluargaku Tak Berdaya Jakaria Busman
di sanalah bersama keluargaku tak berdaya melihat penguasa seenaknya merampas tanah kami digusur tanpa beralasan karena kami tak memiliki kekuatan kami dilarang bertempat tinggal dengan alasan tak masuk di akal dipenjarakan bila kami melawan karena mereka memiliki aturan seenaknya saja mereka menggusur bagaikan batu tanpa hati kami tak mampu berkata lagi karena rumah kami tak bisa kembali
Tanah-tanah kerontang
13
Hak Yang Terampas Sohibul Hidayat
hidup ini sungguh menyedihkan petani kini merintis kesakitan menderita karna kehilangan tanah garapan diambil penjajah gadungan dunia ini kini mata duitan tanah yang seharusnya milik petani dirampas orang yang penuh uang tak ada yang bisa diharapkan kini petani jadi buruh terlantar tak bisa makan minum upah yang tak seberapa malah ingin menyengsarakan petani akankah hidup petani seperti ini mana hak-hak petani yang kau janjikan kami tak rela dijadikan budak perkebunan kami ingin hidup dengan tanah garapan kenapa tuan tanah masih ada buka matamu lebar-lebar!
14
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Jeritan Anak Petani Dadan Purnama
bagi manusia pintar dan terhormat sebagai petani saya tidak pernah menemukan dengan yang namanya kebahagian keadilan, kesejahteraan apalagi dengan yang dinamakannya kemerdekaan di negara republik tercinta yang ada setiap hari, setiap detik, hanyalah perintah untuk pengabdian, membebaskan dan memuliakan orang-orang yang jelas-jelas berhati iblis tapi saya bukan budak yang tidak mempunyai kebebasan hak dan keadilan yang selalu dihina, dicaci-maki dan diperbudak sekarang kami sudah besar kami sudah pandai, sudah kuat maka siapa yang berani menghalangi hak kami sebagai petani maka kematianlah baginya
Tanah-tanah kerontang
15
Ratapan Anak Sekolah Elin EL
ada seorang gadis cilik berseragam merah putih tangannya bersedekap memeluk buku di dadanya pipinya basah, namun tak terdengar suara tangisan begitupun isaknya tak terdengar hanya goncang bahu memandang pilu melihat bekas sekolah yang tinggal puing dan abu kenapa? mereka membakar sekolah kita apa salah kita? padahal kami tak ingin menjadi anak yang bodoh!
16
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Desaku Ilyas
desaku desa yang subur akan air mata tangisan selalu hadir kegelisahan rasa takut suram hingga kebodohan menghantui kekayaan kesuburan alam tak ada arti karena negeri ini lebih kaya akan tikus-tikus yang serakah penjajah keadilan dan pejabat yang tak tahu hitam dan putih
Tanah-tanah kerontang
17
Arti Hadirmu arti hadirmu merangkul kami melindungi kami menyejahterakan kami ternyata semua palsu kenyataan ternyata pahit kami tak dianggap hak kami dipinggirkan tapi kami tak akan menyerah kami akan terus berjuang memperjuangkan hak kami demi masa depan kami demi anak cucu kami ya Alloh Gusti berilah kami kekuatan untuk melawan orang-orang yang tidak berperikemanusiaan
18
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Butanya Mataku Noeryadin
kau tak pernah melihat terhampar sawah dan ladang kau usik ketenangan kami kau rampas tanah kami kau kebiri kehidupan kami pendidikan kau dzalimi ekonomi kau kuasai agama kau murkai satu kata petani berjanji penguasa dzalim harus dibasmi!
Tanah-tanah kerontang
19
Pengorbanan Seorang Petani Saenah
wahai kau petani yang rela berkorban bagi nusa dan bangsa dan negara indonesia kau yang senantiasa menanam padi dan bercocok tanam sehingga kami bisa makan itu karena jasamu kami bisa terselamatkan dari penjajah belanda itu karenamu semoga kami bisa membalas jasamu 2007
20
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Rintihan Petani Sohibul Hidayat
di kala pagi menghampirinya di saat matahari baru menampakkan diri menyinari tubuh renta yang sedang berlalu bergegas menuju tanah kehidupan di pundaknya tersimpan simbolik kekuatan yang selalu dibawa di saat diperlukan kadang kala ia meringgis kesakitan karna tak tahan membawa beban yang begitu besar raungan suaranya sungguh menyedihkan rasanya ia ingin menangis namun ia selalu tegar dalam setiap langkah ia bagaikan pahlawan keabadian kulit keriputnya selalu tersiram cahaya matahari tubuhnya selalu ditaburi keringat perjuangan matanya mengeluarkan percikan air yang perih ia sungguh malang cangkul kecilnya yang selalu ia bawa ia pakai demi menghidupi keluarganya tuan tanah yang selalu marah tak jadi beban pengorbanannya Tanah-tanah kerontang
21
Penderitaan Yoyoh Khoeriyah
aku anak petani yang hidup di tengah kesengsaraan dan penderitaan tak punya rumah, tak punya uang dan tak bisa sekolah aku berdiam di sebuah gubuk jauh dari perkotaan dan orang tuaku hanya bisa membawaku ke pengungsian penjajah dan penindasan, begitu terus-terusan padahal aku ingin mencari ilmu ingin sekolah untuk menghilangkan kebodohan dan ketidakadilan di negeri ini tapi kenapa pemerintah tak peduli dengan kami rakyat kecil 2007
22
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Realita Hidup Orang Desa kita bersatu padu bulatkan tekad satukan tujuan bahu membahu memperjuangkan keadilan jalanku terhenti ketika mataku memandang sebuah realita kehidupan di mana hati tak lagi dihiraukan logika jalan tanpa perasaan merampas hak kaum lemah akankah kau bahagia bila usahamu terlaksana di atas penderitaan kami yang hanya orang desa
Tanah-tanah kerontang
23
Untukmu Petani Redi Purnawan
berawal dari sebuah kata landreform landreform landreform sekarang juga! kata itu keluar dari perasaan yang berabad-abad mereka pendam dalam hati berabad-abad mereka tumpuk di otaknya karena selama ini mereka telah ditindas dibodohi dirampas hak-haknya atas tanah oleh antek-antek kapitalisme dan kuku-kuku tajam neoriberalisme apakah kita sebagai tunas bangsa sebagai punggawa bangsa akan diam saja? akan tunduk saja? tidak! kita sebagai orang yang berfikir kita sebagai orang yang berkeinginan lebih baik melawan dari pada diam melihat mereka ditindas! lebih baik bangkit daripada ada dalam kemunafikan!
24
Antologi Puisi Agraria Indonesia
marilah kepalkan tangan rapatkan barisan bulatkan tekad berjuanglah demi kebebasan petani demi kemerdekaan petani demi kesejahteraan petani
Tanah-tanah kerontang
25
Raih Keadilan Petani Teater Pena
wahai petani kita harus selalu berjuang demi keadilan walau rintangan menghadang kita harus selalu berjuang melawannya tanamkan keberanian perjuangan sangatlah tak mudah jika kita bergabung, bersatu dalam satu tujuan keadilan akan dapat diraih wujudkan persatuan hilangkan keraguan bertekadlah kuat sampai titik darah penghabisan
26
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Seruan Petualang Yoyoh Khoeriyah
hari demi hari telah kulalui berbagai rintangan menghampiri tapi aku tak pernah gentar melawan rintangan itu hingga titik darah perjuangan aku habis tak akan berkata ampun atau mundur petani, saatnya bersatu dalam satu tujuan!
Tanah-tanah kerontang
27
Suara dari Gunung Ujang Muslihin
kau ambil mata pencaharian kami kau hancurkan rumah kami keluarga, agama bahkan kau bunuh setiap orang yang menentang kepada kau bencana yang kau berikan pada kami akan menjadi bekal dan kekuatan bagi kami yang akan menjungjung tinggi harkat dan martabat petani indonesia yang selalu kau dzalimi
28
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Syair Pesisir Widodo
lihatlah sungai keruh tercemar seperti fikiran gubernur jogjakarta yang tak mau mengerti apa lagi pahami tentang cita-cita kami tanah pesisir lama kami jaga dipupuk biar sejahtera kami rakyat bertani punya semangat berapi-api punya semangat tiada kompromi punya tenaga tak terhalangi punya tenaga tuk tolak tambang pasir besi
Tanah-tanah kerontang
29
Pejuang Pesisir semangatmu selalu berkobar ketika kau maju berperang melawan ketidakadilan senjata bambu menjadi perisaimu menghadapi musuh di depanmu memperjuangkan pesisirmu sungguh gagah dan berani tanpa gentar dalam hati sorot matamu memancarkan harapan bahwa kita bisa maju ke depan
30
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Pejuang Sejati Ai Susanti
memang tak mudah tuk jadi pejuang sejati perlu pengorbanan dan tekad yang kuat percaya diri dan dapat dipercaya demokratis, etis dan sosialis tak kenal lelah, malas hujan dan panas tetap semangat, ceria dan tersenyum menghadapi kawan-kawan seperjuangan tahan cacian, ejekan dan rayuan rayuan harta, martabat dan jabatan dan harus bisa menjaga nama baik perjuangan dan mengharumkan nama perjuangan Serikat Petani Pasundan! 2007
Tanah-tanah kerontang
31
Perjuangan Ayah Rosih
wahai ayah dan ibu kau bekerja sepanjang hari berangkat pagi pulang petang tanpa kenal lelah kau berjuang demi tanah kau berjuang demi masa depan kau berjuang demi anak-anak kau berjuang siang dan malam wahai pemerintah berikanlah tanah kami jangan kau ambil tanah milik kami jangan kau serakah janganlah kau mau enak sendiri walaupun kami selalu ditindas tapi kami masih punya harga diri walaupun nasib kami selalu susah Tuhan tahu betapa mulianya petani
32
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Semangat Perjuangan Ratna Wulansari
wahai petani kau sungguh mulia kau rela berkorban kau berani berjuang kau ibarat lilin yang rela habis demi terang kau tak seperti kumbang habis manis mengingkari wahai petani kobarkanlah semangatmu janganlah engkau ragu teruslah berjuang kemenangan pasti akan berpihak pada yang benar
Tanah-tanah kerontang
33
Aktivis Tua Dede Ahmad Mulyana
pagi masih terasa dingin jalanan masih berkabut gumpalan es masih membasahi dinding tapi hatinya terasa dibakar terbakar oleh darah yang mengalir dalam nadi, menggejolak dalam jiwa terketuk oleh detak jntung yang membantah pagi menjadi panas tak rela batin ini terpukul oleh jiwaku walau darah dalam nadinya terkuras habis walau saraf-saraf otaknya telah putus untuk membangun jembatan di masa lalu bergegas untuk menengok jembatan yang dianggapnya telah keropos kayu kecil yang menemani beberapa langkahnya membuat ia sadar akan apa yang telah terjadi jembatan yang utuh rel yang kokoh membuatnya nyaman untuk pergi ke alam yang lebih bijak
34
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Suara Hati Nuraniku Oleh warga Pandang Raya yang dibacakan ketika melakukan demonstrasi di Pengadilan Negeri Makassar atas tanah mereka yang akan dirampok oleh seorang pemodal berinisial GW. Puisi ini saya tujukan kepada para penegak hukum yang masih punya hati nurani. Ketika kami merenungkan nasib rakyat akibat ulah oknum pengacara nakal, oknum para penegak hukum. Kami dari warga Pandang RW 03 Kelurahan Pandang, mengharapkan hukum ditegakkan seadil-adilnya. Bukan berdasarkan pada kertas dan penyampaian oknum pengacara nakal yang selalu membuat masyarakat terombang-ambing, tidak menentu, oknum yang memutarbalikkan fakta, memutarbalikkan persoalan dan bertindak sekehendak hatinya, tanpa memperhitungkan kesengsaraan masyarakat kecil yang telah terampas kemerdekaannya dan merasa tertindas oleh hukum yang tidak jelas. Wahai para penegak hukum yang masih punya hati nurani. Tolong kami dari kezaliman mafia Tolong kami, hak kami,/tempat tinggal kami akan dirampasdirampok Tolong kami mendapatkan kebenaran dan keadilan Kami tahu bahwa kami bukan yang pertama, tetapi Tanah-tanah kerontang
35
Mudah-mudahan kamilah yang terakhir mendapatkan Perlakuan seperti ini Kami berharap di negeri ini, yang sama-sama kita cintai, ada kepastian hukum yang dapat memberikan ketenangan kepada seluruh lapisan masyarakat 2010
36
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Makan Malam Bersama Ayah :Munir! Mahendra
Gumpalan tanah adalah rumahnya. seperti siang yang panjang. berkisah tentang kehidupan yang sesungguhnya; tentang apakah yang mereka mimpikan? Beritaberita yang tak berpihak terus saja menjadi kanakkanak nakal, menghilangkan tubuhnya pada aspal, senja dan stasiun: dimana kita pernah menguburkan munir. Di atas meja, malam terhidang bersama kesedihan. Seperti mengantar kakek ke kuburan. Membawa gumpalan tanah yang sama. Membawa sebuah koran dan nasi bungkus. Di jalanan, kaki tentara berkisah tentang pemerintahan yang korup dan otoriter, jaringjaring bahasa yang satu arah –sepeda, becak, pejalan kaki dilarang melintas! Mobilmobil berlarian menembus jalanan. Senapan memuntahkan beribu jarum di jantung negeri. Bapak kembali tersedak duriduri ikan. Dimintanya aku memukul punggungnya, seperti memukul beduk saat maghrib tiba. Di atas meja, batangbatang padi tumbang mencium tanah, seperti diriku yang sedih mengenangnya: Munir! Sumenep, 2010 Tanah-tanah kerontang
37
Sembilu-Nya Supriadi al-Soka
suara itu terdengar nyaring untukmu bangsaku perlahan kata lancang terucap demokrasi, demokrasi, demokasi inilah isyarat kematian bangsa adalah makna di balik demokrasi diiris sembilu setajam kata inilah bangkai yang tak bertulang
38
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Tiga Kuli dalam Satu Puisi A. Warits Rovi
1 seorang kuli dengan legam belikat terbasuh peluh napas tersengal. ada senyum yang mesti dipikul bahu membatu. menatap sang saka setengah tak percaya kabarnya kecut, diuntai takdzim sembahyang rumput : demokrasi diancam maut 2 seorang kuli bekerja. menimbang maya dan nyata susut senja. carutan lelah meliuk kawat dalam uratnya jamjam begitu dusta 3 seorang kuli mencari ibu pertiwi gengsi itu cemeti. lalu sebegitu pagi ia berandai “o, mudahnya harta bila korupsi” Gapura, 2010
Tanah-tanah kerontang
39
Lewat Puisi Aku Anisa Widya S
lewat puisi aku berkata hidup kami menderita lewat puisi aku bersuara nasib kami sengsara namun aku tak pernah mengeluh kaki kami tak akan lumpuh waktu badai menerjang semua itu tak akan menghambat para pejuang dengan kegigihan dan keberanian mereka melawan ketidakadilan yang selalu menyelimuti kehidupan dan kini kami berkata walau kami hanya rakyat jelata kami hanya manusia yang tak berdaya tetapi, semangat kami akan terus berkobar melawan badai bernyawa yang tersebar
40
Antologi Puisi Agraria Indonesia
apalah arti tanam teknologi bila otak tersimpan di akar padi (Daryono Yunani, 1995)
Tanah-tanah urban
Ngungsi Daryono Yunani
malam dijilati api rontok benang otak bongkah tercecer dan ngungsi adalah sajak tanki cerobong instalasi congkak di pelataran nurani kini api begitu sempurna apalah arti senyarik bumi karena ketakutan di bawah sepatu keberanian simpan di brutu apalah arti tanam teknologi bila otak tersimpan di akar padi Cilacap, 3 Desember 1995
42
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Cilacap ( 1 ) Daryono Yunani
barat, tidur kalian tak lagi atas air dari kotaku terbayang menara kumpulan kayu tancang begitulah lumpur-lumpur yang kau ciptakan pengingkaran pariwisata selatan, nusakambangan punggungnya tumbuh koreng investasi menakutkan! apalah Wijayakusuma legenda kaum pinggiran, karang yang terbangun berjuta tahun tak mampu mendekap ombak sejak pasir menjelma taburan uang utara, sisa pohon bakau tak berdaya bersetubuh dengan lumpur selebihnya seikat hutan mandi minyak timur, got dan selokan penuh kondom! Cilacap, Januari 1998
Tanah-tanah urban
43
Maafkan Aku Bumi Abdul Kadir
selamat pagi bumi! maafkan aku telah banyak membuatmu terluka maafkan aku, tanahtanah ini tak sanggup kujelmakan mawar karena aku terkapar oleh gelegar industri yang semakin liar!
44
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Kota Ini -Cilacap Hizi Firmansyah
kata Ibu dulu kota ini teramat kaya sebelum sawah jadi rumah matahari pagi bersemayam di mata petani dulu kota ini teramat ramah sebelum taman jadi perkantoran lagu dolanan mengalir dekat tercipta seribu rasa gembira bagi anak anak sejarah kota ini bagai kitab bergambar melahirkan kenyataan ganjil tentang hasrat melewati hari seangkuh batang pohon kenangan tentang kota ini bungkam kekayaan dan keramahan menghilang bagai guliran waktu pada musim seperti puisi ini berhenti Majenang, 2008
Tanah-tanah urban
45
Pengemis dan Keindahan Kota A. Warits Rovi
di kaki swalayan do’a dan lukaku melapuk pada tangan yang menadah rintih pedih rampung menunggangi matahari melewati lembar perasanku yang diciprati ludah nasib sendiri seperti ribuan kelelawar di cerai malam hari aku sering diusir dan dipukuli demi keindahan kota ehmm!, kota yang ada di indonesia tak menemukan keindahan sebenarnya kupungut berai sampah, sebab ia wasiat yang apa adanya dari zamanzaman yang singgah di negeri kita larut malam dari terminal ke terminal dingin gigil sesungging gerak bulan tersibak di rambutku mengurai malam lain ke batas kumandang isya yang gugur ke hamparan tubuh : uang ribuan lebih menggoda dari rasa kantukku Banyuwangi, 26 Agustus 2008
46
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Risalah Pedagang Pisang Khairul Umam
dalam rengkuh waktu yang semakin sulur bentangkan jemarinya. lintasi bukitan dan ladangladang akulah yang terkalahkan, terhimpit mimpi buruk masa depan dalam perjalanan menuju pulang di bawah gedunggedung menjulang. tanpa tuan dan ranggas matahari yang semakin menajamkan teriknya peluhku adalah pisangpisang setandan yang raib dimakan musang akulah yang terkalahkan. menunggu tengkulak datang tapi sayang, pisangku sungguh tinggal batang! Gapura, 20-06-10
Tanah-tanah urban
47
Tukang Kebun A. Warits Rovi
sepagi itu gigilku berbatang jarum menenun udara subuh ke sampir kebun dengan niat yang telanjang, pejam bayang memanjang : demi anak isteri memisahkan hari dan rasa perih sebab ini inti proklamasi lalu matahari lamban sekuncup kecubung putih mematah runcing duri di bawah kaki kemudian terik dan menyengat membuatku paham pada hidup yang pekat sabit, pacul dan cangkul menyuarakan wangi mawar lantun ke palung dada yang memar semasa ini, vasvas masih kosong oleh janjijanjinya yang melompong Bung Duwak, 2010
48
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Musnahlah Sudah Harapanku Jakaria Busman
musnahlah sudah harapanku saat ku pulang dari memulung ku tak mampu berkata apa-apa melihat rumahku merata tanah hanya tangis yang kulakukan tak rasa lapar sudah seharian mulai terasa saat-saat kesepian karena ku tak memiliki tempat peristirahatan ku mulai kebingungan arah melangkah pada siapa mengadu harapan ternyata penguasa semuanya sama sama-sama punya peluang besar melakukan kejahatan
Tanah-tanah urban
49
Pesan Seorang Ibu kepada Anaknya Sebelum Anaknya Pergi ke Pusat Perbelanjaan Terbesar di Kota itu Syam SDP Terrajana
sebelum engkau pergi mengemis di sana, anakku pergilah ke lantai dasar sebelah kanan paling ujung mundurlah empat langkah, serong sedikit ke kanan nah, tepat di tempat parkir mobil barisan kedua itu jangan lupa taburkan bunga melati ini di sanalah pusara bapakmu, nak delapan tahun lalu, ketika eskapator datang meratakan rumah rumah kumuh itu
50
Antologi Puisi Agraria Indonesia
mereka bahkan lupa memindahkan puluhan kuburan di sana yang tak akan pernah mereka lupa, pasti soal bagaimana rupa tetek ibu yang sengaja ibu pertontonkan karena terlampau murka dengan kesemena-menaan itu eits, jangan lama-lama mejeng di sana anakku ibu yakin, kutukan itu akan segera … segera anakku
Tanah-tanah urban
51
Wajah Pribumi Dengker
wahai kawanku satu bangsa satu tanah kelahiran lihatlah anak-anak negeri kita tersenyum dan tertawa dalam hampa dan kekosongan lihatlah anak-anak negeri kita bersedih dan berduka kerasnya akan kehidupan bertelanjang dada, berkulit hitam, berwajah tua karena matahari selalu mambakar badannya tangan-tangan mungilnya mengais-ngais sampah yang penuh noda dan kuman demi mencari sebutir nasi yang masih tersisa wahai kawanku mereka itu adalah wajah-wajah bocah generasi bangsa kita di manakah negaraku yang subur dan kaya ?
52
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Reklame Satu Musim Khairul Umam
musim ini, tak lagi kulihat bungabunga bermekaran di antara daun telingaku yang semakin mengeras seperti gunung salju. beku. kaku matahari memerah gelombang cahaya melebur pipit jadi tanah, jadi humus tandus menggelepar bersama ranggas padipadi lalu begitu saja direnggut mulut raksasa yang tua padahal itu makanan mereka musim ini. sepertinya tak ada lagi kompromi hanya sekedar kontrak “sesuap nasi, setelah itu kau abdi” daun telingaku semakin mengeras, selaputnya menipis dan meletus kepalaku meletus lalu maut! Gapura, 13-06-10
Tanah-tanah urban
53
Sumur Tepi Tubuhku Abdul Kadir
aih, cerita apa yang mengapung. di mataku burung-burung kehilangan kicau dan lapisan awan yang dibayangkan semisal gelepar sayapnya jelang musim dari halaman belakang kudengar ayah menggerek timba deritnya semisal sengal nafasnya dan di depan pintu matahari dilukisnya serupa penolak balak penolak balak dengan pohon beton meranggas sumur-sumur besi menjarah jantungku. “Diamlah, di sini akan kutambang tangismu. Esok, matahari akan segera kita rebut” aku selalu sangsi dan selalu ada yang menangisi saban kali kupastikan sekujur tubuhku penuh besi penuh lubang sunyi. bisul-bisul musim kemarau dan di tepinya ayah masih menderek timba tua timba karatan yang menyaru nafasnya sengal semisal burung-burung yang berputar di jantung langit di jantungku mereka kehilangan kicau
54
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Rekayasa Tubuh Berdaun Plastik K. A. Humaidy
siapakah yg membuat tanahku berumput plastik dengan batubatunya yang hancur juga tubuh pohonpohon mengering dan daunadaunnya berubah menjadi plastik siapa yg merekayasa ini mengotori halaman rumahrumah juga sampai dalam dapur dalam kamar mandi dalam kasur dan bantal guling, dalam makanan yang aku makan setiap hari siapakah yang merekayasa ini tanahtanah petani baunya menyengat hidungku menjadi bau yang tidak enak dihirup pagi, beras dan sayurnya yang kita makan telah menjadikan tubuh gemuk yang bercampur obatobatan siapakah yang merekayasa tubuhku ini?
Tanah-tanah urban
55
Tanahku Rp. 6.000,Mimik Hairati
per meter Rp. 6.000,bagi anda yang berminat, silakan datang ke desaku tersedia: sumur gas yang berlimpah kekayaan yang menjanjikan pangkat jabatan kedudukan kebahagiaan dunia kepuasan lahir ayo berbondong-bondong di sini adanya banyak bos kaya yang menghargai tanah Rp. 6.000,- per meter bagi anda yang lebih kaya, bisa mengajukan penawaran sampai Rp. 2.000,- per meter dijamin puas!
56
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Bor Mimik Hairati
bor, bor terus! sampai tangan kalian menjelma takdir yang memberi makan roh menderita bor terus! hingga kekayaan kalian akan menjadikan porong seperti surga yang di bawahnya mengalir air jernih bukan lumpur panas dan air mata janin yang mengetuk rahim ibunya bor, bor terus! jangan hiraukan alunan tangis parau membelah angkasa karena kalian hidup untuk kalian sendiri
Tanah-tanah urban
57
Di Kota Mati Rumahku Hizi Firmansyah
tak bisa juga menutup mata melihat segalanya padam, bukan karena hujan, bukan pula karena kematian seperti tubuh sekarat yang terkapar di atas pesakitan tubuhku tak ada guna untuk membela tangan tangan penguasa teramat kuat mencengkram rasa takut dan lapar tak ada anak anak berdendang di taman tak ada orang tua menuai suka jerih payahnya tak ada pula malaikat berujud manusia dengan lantang suara kebebasan di kota yang mati rumahku tanah tak lagi untuk hidup di atasnya udara menebarkan racun kematian Majenang, 2010
58
Antologi Puisi Agraria Indonesia
pada tanah, aku sebagai lubang hitam manusia (Mahendra, 2010)
Tanah-tanah lengang
Hati Ini Ibarat Tanah Dede Ahmad Mulyana
telah tertanam bibit-bibit penyakit telah punah jentik-jentik penawar hati ini terpecah belah, terlempar tak tentu arah ibarat gurun terhampar padang ilalang tanah untuk kami tak berarti gumpalan hati ini milikmu kau layak tahu siapa kami kami terlalu tahu apa isi hatimu kau tak mampu mengubur dalam tentang insan yang terbunuh kau tak bisa memanipulasi kami terlalu banyak benteng untuk kau dobrak hati ibarat tanah jika kau merebut tanah kami mengotori hati ini menggores hingga terluka kami tak ijinkan kau hidup di atas tanah ini!
60
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Pisuhan Anak Perahu Dian Soeto
Dari perut gaung ibuku, aku masih anyam bilik langit ronta, akut airmata Jarum-jarum tajam matanya kepung danging-daging rengsa tanah-tanah yang diaborsi sawah-sawah yang diinjak harga dirinya karang-karang rontok bukit-bukit tempat bangau bercinta raib dalam tenggorokan singa dan nyawa separuh beliung itu Mereka berbicara tentang kelestarian dan sentosa sejuk dan wangi surga tapi tubuh ibuku masih nyinyir dalam almari saku celana hingga tubuh itu meledak_ ke hilir orang-orang buta_orang-orang berdarah orang-orang serahim seibu sebapak dari teluk persemayaman senja di mana kidungan lahar jiwa angin merampas janin tanjung penggalian rahim_ kembali menakik tubuh-tubuh kebak derita kebak nanah itu_ hingga degup jantungnya memacu ke armada kedap liang paling liang
Tanah-tanah lengang
61
barisan gugus selaksa barisan imaji penyair panorama nyiur semolek ranum bidadari tapi istiadat karang rerumputan tanah pepohonan tebas bersama ritual moyang yang dihengkang keluar gelanggang masa depan Di sini, pisuhan karat berbaur kemboja dan kematian nyanyian pesisir dan tatanan bakau tersekat amarah amuk badai lidah pantai yang termutasi dan laut itu masih saja tafakur menunggu pasang surut dengan wajah lesu. Juni 2010
62
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Titip Rindu Untuk Kebebasan Susilawati
Aku berjalan melintasi kerinduan yang telah lama ku titipkan. Tinggallah bersama hati yang telah kubisikkan hari itu. Hanyalah sebuah kata yang kurangkai, menjadi sebuah paragraf yang mungkin sulit untuk kau pahami. Cerita dan hatiku, tercipta bukan untuk menangis meratapi nasib. Kerasnya hidup, membuat nuraniku tergerak bahwa aku sungguh menyimpan kepedihan ini dan bukan untuk aku pertahankan: dimana tanah-airku? Ceritaku berada di ambang akhir yang penuh dengan senyum indah menyambut kemerdekaan yang sesungguhnya. Aku berjalan bersama mereka, bersama tanah-airku, bukan atas kuasamu para amanat negeri tanpa nurani dan kemanusiaan, mengubah nasib kemiskinan negeri ini dengan bisik palsu. Maka ijinkan. Ijinkan aku berjalan. Hari ini kebebasaan, hari ini satu langkah menyambut kemerdakaan yang tertunda. Hari ini untuk bisa bersekolah Hari ini untuk bisa punya tanah Hari ini untuk bisa bertani Tak seperti kala itu, zaman di mana ibu hanya mampu menangis, melihat anaknya ingin bersekolah. Zaman ketika petani bertelanjang kaki memanggul derita, menitipkan hidup Tanah-tanah lengang
63
pada sesuap nasi di atas tanah tuan, yang membisikkan kata “Ini adalah amanah negeri”. Warisan Orde Baru yang mengaku sebagai penyelamat negeri. Hingga sampai saat ini, cerita itu berserakan di pasir-pasir dan kerikil bukit-bukit itu, sampai berujung kata, “Revolusi”. Bisikan itu berubah menjadi teriakan yang melabrak sistem penjajahan baru negeri ini. Negeri yang katanya tanah air kita bersama? Juga penjajah yang dari sekitar kita saja?
64
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Sketsa Mimik Hairati
kembali lagi kita seperti pejuang yang harus merengek melawan gumpalan asap yang mencair dari air mata para fakir yang patah sawah yang seharusnya membentang memberi seteguk senyum kebun yang harusnya berada di sekeliling memberikan kemudahan pada mereka denyutan nadi yang tak pernah luruh kini semata-mata hanya tumbal karena gedung berias yang menjanjikan kemenangan itu adalah sketsa bengis ah, kita tak boleh berhenti berjuang!
Tanah-tanah lengang
65
Masih Adakah Harapan sinar matahari di ujung barat mulai menghilang sinarnya hari berganti malam gelap sudah bulan berganti menyinari bumi sinarnya memancarkan cahaya terbersit dalam hati akankah masih ada harapan untuk hari esok lebih baik akankah hati mereka akan berubah memihak kami demi kami yang hanya rakyat kecil yang hanya ingin ketentraman dan kedamaian tak ingin menjadi korban keegoan segelintir orang yang tidak berperasaan
66
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Nasib Wargaku Anisa Widya. S
dalam masa pembangunan ini dalam negara berkembang ini mengapa masih ada penguasa yang berdzalim mementingkan diri sendiri menindas rakyatnya dengan sesuka hati aku heran dengan semua ini tak ada satupun yang bisa mendengarkan jerit kami dan tak ada yang mempedulikan nasib kami hingga kami hidup dalam derita penindasan ini apakah mereka tak bisa melihat nasib kami? kami yang selalu merasakan kedzaliman ini kami yang selalu merasakan hinaan ini hanya bisa merenung dan berdoa pada sang Ilahi
Tanah-tanah lengang
67
Penderitaan Petani Tita
terkadang ku bertanya mengapa pemerintah melakukan seperti itu padahal kita butuh keadilan petani butuh kesejahteraan dulu mereka berjanji bahwa akan berusaha untuk masyarakat, untuk rakyat miskin tapi mengapa petani kita selalu menderita selalu hidup sengsara tapi mereka senang makan enak tidur pun enak
68
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Petaniku Ami
di saat waktu yang telah berlalu kuterdiam teringat orangtuaku berjuang melahirkanku meski perang datang menyerbu saat itu ibuku terdiam membisu seakan terlihat sedang keliru hanya karena mencari jawaban satu diriku atau petani yang bersatu tekad yang bulat waktu yang singkat serta keinginan yang melekat kini menjadi semangat karena kekompakan semua petani dengan sepenuh semangat kami akhirnya kini membawa arti bahwa petani tak bisa dikambinghitami
Tanah-tanah lengang
69
Perjuangan Ai Pupah, St Nurjanah, Aisyah
teriakan ayam membangunkan tidur pulasmu mentari terbit menyambut kehadiranmu kicauan burung menyapa senyum indahmu hembusan angin mengiringi langkahmu tuk pergi menghadap tuanmu tapi itu tak menyurutkan semangat hidupmu kau tanamkan benih keikhlasan di ladang tuanmu tuk sesuap nasi di perutmu walau tak seberapa hasil jasamu caci maki yang terkadang kau dapatkan yang kau dengar, yang kau rasakan terkadang tak membuatmu berdaya panasnya matahari menyengat tubuh rentamu membakar! 70
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Mereka yang Dilupakan Abu Al-wafa
sesak dadaku menyaksikan ketidakadilan menjamur semakin hari semakin subur di setiap musim dan setiap waktu hak-hak yang terabaikan membuatku enggan tuk hadapi dunia hari esok para pemimpin yang dzalim membuatku takut untuk membuka mata setelah bangun tidur dan harus menyaksikan kekejaman dunia menyiksa para rakyat kecil para petani bukan besi yang tiada hati bukan binatang untuk ditaklukan diperlakukan seperti yang diinginkan merekalah manusia yang selalu dilupakan diasingkan berbagai macam orang demi kepentingan
Tanah-tanah lengang
71
Bisikan Alam Taupiq ismail
di saat sang surya bersinar menyapa mimpi indah menembus cakrawala menerangi jagad raya di bawah terik matahari tempat petani bekerja pohon rindang pun menawarkan untuk berlindung burung-burung berkicau matahari pun berkata; berjuanglah berjuanglah, dan berjuanglah
72
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Kesaksian Pagi Lela Sari
teriknya sang surya jadikan saksi duyunan rakyat-rakyat jelata semangat persatuan pekikan harapan-harapan akan lurusnya keadilan di muka bumi
Tanah-tanah lengang
73
Mentari Pagi Tita
kesungguhan mentari menyinari alam menyaksikan keajaiban dunia yang penuh di dalamnya banyak hamparan petani himpunan kaum miskin yang menangis kebinasaan dan tak berkeadilan
74
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Seorang Perempuan Tua Pembawa Kepis Daryono Yunani
dengan seser dan kepis di pinggang perempuan tua itu meraup kehidupan yang terpendam lumpur tua dan akar bakau seser kepis keringat dan hidupnya saling berkelahi nasibnya meloncat-loncat berputar di atas sepuluh kepala cucunya. siang yang merangkak matahari menjadi sedikit ramah di tengah jalan itu, ia takut menghitung buruannya Cilacap, Hutan Payau. 1992
Tanah-tanah lengang
75
Di Punggung Kita Mimik Hairati
bagai cinta yang disapu kipasan badai, sayang hari ini tepat ketika fajar menghimpit jejak petang yang tak berjabat kita dilahirkan kembali sebagai bambu tumpul yang tiada daya untuk meruncing bagai cinta yang jatuh di lingkaran gelap, sayang kuceritakan kembali padamu dengan bahasa keteguhan yang tak dapat dimaknai oleh siapapun kecuali hatimu dan hatiku yang menginginkan kita bersua dalam kebebasan yang hakiki bahwa dulu sang saka dipaksa berkibar di puncak hotel Yamatto meski setiap orang berebut maut tapi sekarang di punggung kita sendiri kita adalah orang lain yang berpijak di tanah mereka yang bersaku
76
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Sajak Para Pemondok Hizi Firmansyah
entah berapa lama lantai rumah ini mengenal kedua telapak kakiku seperti aku mengenal rasa dinginnya entah berapa lama dinding dinding rumah ini mendengar kelu kesahku tentang rasa ingin memiliki dengan keringatku seperti aku mendengar ringkikan dindingnya saat angin menerpanya entah berapa lama atap rumah ini melindungiku melindungi malaikat kecilku dari hujan dan matahari seperti aku melindunginya dari binatang pengerat dan hujan sudah setengah dari umurku kuhabiskan untuk mengenalnya tanpa sedikitpun memiliki dan tinggal menghitung kapan aku meninggalkannya di atas tanah yang tak kenal pemiliknya aku seperti burung yang sarangnya harus berpindah setengah dari umurku tak lagi mampu memiliki hanya untuk sekedar menunggu waktu 2009
Tanah-tanah lengang
77
Anak-Anak Petani Lukman Hakim AG
dan :akulah anak-anak petani itu. anak yang terlahir di antara damai dua musim gigil dan memungil. akulah yang terlahir bertulang dari batang tembakau, batang kelapa, batang siwalan, batangbatang dari segala batang pepohon, juga buahbatang ayah-ibunda. adalah batangbatang tanpa cabang dalamdalam. akulah yang bertelinga dedaun. daun pinang, daun pisang, daun kacobung, daun kesambi, daun peape. daundaun rindu terkulum. akulah anak petani itu yang lahir dengan darah muara ke danau tempat para sapi memandikan diri setelah seharian membongkar tanah di ladang. airmataku, air mata kemarau. ludahku, ludah yang keluar dari setetes cungkitan pucit bungkaleng. keringatku, keringat tembaga air duapuluhlima, air terakhir yang akan mengkristal garam. akulah anak-anak petani itu. anak yang lahir melanglang ke penjuru arah dengan sayap dalkuk yang pergi pagipagi dan hinggap sare nanti.
78
Antologi Puisi Agraria Indonesia
akulah anak-anak petani itu yang kelak tidak akan menggantung pegangan cangkul yang kerap menghilang ketika banyak sederetan mesin mengepulkan asapnya ke semua arah. hingga bapakku, ibuku, isteriku, anakku, pamanku keponakanku juga semua vertikal horison, termasuk kau menutup hidung ketika lubang-lubang dipenuhi bang-sabang dan to-lato, hingga menbentuk sarang labalaba di teras rumah muda yang dipajang atas nama bangun cinta. dan mata-mata mengalirkan liurnya di pipi yang tak asing disapa taring matahari dan ditasbih selimut dingin. walau tak sampai kering mendenting. akulah anak-anak petani itu yang kau pindah alirkan jaringan sebenarnya, disuntingkan hanya untukku. tapi dimana mengalir tak sampai-sampai disini. jaringan-jaringan subsidi yang tak pernah kutagih janji. hidupku lebih damai dari janji. adalah damai jiwa petani yang tak banyak mimpi asal kini ada yang akan digilas gigi dan yang esok masih hendak mencari di ladang ilusi. akulah anak-anak petani yang berdoa untuk negeri dengan menanam menelan bebiji. menolak menjadi misteri. dan perjuangan tak hanya sampai disini. Songennep, 2008/2010
Tanah-tanah lengang
79
Yang Berbiak dalam Tanah Mahendra
Lelakilelaki dan perempuan berdiam dalam tanah. Menggali tubuhnya. Mengharap menemukan rumah muasal dirinya. Lengannya gumpalan takdir yang bergerak antara bandul nasib dan puisi abadi –neraca hujan, musim visa, sungaisungai uang yang mengalir sebagai koprasi kehidupan. begitu sederhana. Sesederhana tanah di pematang sawah; sapisapi menyetubuhinya dengan semangat dan citacita, padi hidup dengan janjinya. Pada tanah: lelakilelaki menekur diri. mengeja lembab dan sengak. Seperti mengulang setiap perjalanan sebagai kelahiran. Seperti mengulang diri sebagai adam. Adam yang berjalan dengan kakikaki tonggak ke dasar lautan. Pada tanah kembali ke tanah! setelah 63 tahun pengembaraan sebagai tubuh, tanah mendiami dirinya hingga lungkrah. Tanahtanah serapah di ujung lidah para santo di lotengloteng rumahnya; diamdiam membuat patung tanpa kepala yang tolol, melemparkan dirinya ke dalam bakbak berlumpur, seketika tanah menjadi serupa adam dirinya. tanganku tanah lain dari sawah yang tak dikenal dalam peta. Nasib bergerak ke bawah. lelaki berjalan dengan menyebut nama dewadewa. Pada tanah: aku menjumpai adam dengan perut yang buncit. Tangannya mengepalkan buah apel tanah berwarna coklat tua. 80
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Lumutlumut di sekujur tubuhnya terus memutih, jalan takdir yang berayun dengan rantai besi. Pernah aku menyapanya suatu kali, dengan suara bom dan buldoser. Tetapi hujan menenggelamkan tubuh, batu, besi, kayukayu di beranda, anakanak, juga pohon dan tanaman kami hingga semua adalah mimpi. Hujan menjadi tanah di tubuh sun sehabis bercinta. Aku kembali mengayun bandul ke kiri. Menciptakan sebuah lubang dari ujung langit. Bintang berjatuhan. serupa komet harley membenturnya. Tubuh kita dibungkus cahaya. tanahtanah di sekitarnya pecah. Melemparkan semua benda di dunia; meja, kursi, piring sendok berkeletokan, lemari, sandal, sepatu, mobil, tongkat, pistol, computer, kramik, speker di tangan demonstran, bendera, tiang listrik, papan reklame, toa di masjid, botol coca cola, korek api. Ah, banyak sekali. Api yang membakar rumah dan menghanguskan tubuhnya. Mengitam. Hancur sebagai tanah dan mengembalikannya sebagai tanah. Tanah yang berjalan sebagai nasib dan kisahkisah. Pada tanah: aku sebagai lubang hitam manusia. Sumenep, 2010
Epilog
Sajak-sajak Anak Tani
S
ejak dulu apa yang kita sebut sajak atau puisi merupakan media yang digunakan umat manusia untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, dan pengalaman-pengalaman hidupnya. Sebagai salah satu bentuk pengucapan jiwa ia digunakan oleh hampir semua lapisan dan kalangan masyarakat seperti ilmuwan, tabib, sarjana, dukun, pendakwah agama, guru, pemimpin politik, raja, ulama, petani dan nelayan yang berkearifan, tokoh masyarakat dan pemimpin adat. Sebagai bentuk pengucapan jiwa yang universal sajak sering dinyanyikan dengan iringan musik atau ditembangkan sebagaimana tampak dalam tradisi macapatan yang terdapat dalam masyarakat Jawa, Sunda, Madura, Bali dan Sasak di Lombok. Sajak juga dilantunkan dalam acara perkawinan atau melamar seperti kebiasaan bersambut pantun dalam masyarakat Melayu atau Minangkabau. Dalam upacara dan peringatan keagamaan tidak jarang sajak-sajak yang dinyanyikan memainkan peranan penting untuk menyampaikan berbagai pesan. Di Bali misalnya kita bisa mendengar bait-bait sajak karangan Mpu Kanwa dari kitab Arjuna Wiwaha (Perkawinan Arjuna) yang indah dibacakan oleh seorang pedanda ketika memimpin upacara Yadnya atau kurban. Epilog
85
Dalam majlis musyawarah ninik mamak di Minangkabau sudah biasa petatah petitih atau untaian sajak berisi kearifan dibacakan secara bersahutan oleh beberapa ninik mamak yang sedang bermusyawarah. Bukankah petatah petitih Minangkabau, seperti “Bulek aie di pambuluah, bulek kato di mupakat” (Bulat air di batang bambu, bulat kata di mupakat) adalah juga sejenis sajak yang mengandung kearifan lokal. Begitu pula pantun Melayu yang diucapkan jika dua orang bersahabat mau berpisah seperti: “Kalau ada sumur di ladang/ Boleh saya menumpang mandi/ Kalau ada umur yang panjang/ Boleh kita berjumpa lagi”. Peringatan Maulid Nabi Muhammad s.a.w juga demikian. Dalam perayaan ini syair-syair yang mengungkapkan kehidupan, perjuangan dan kepemimpinan Nabi Muhammad dibacakan dengan dinyanyikan. Syair-syair pujian kepada Nabi itu biasa disebut qasidah atau mada`ih al-nabawiyah (tembang pujian bagi Nabi). Yang terkenal di Nusantara ialah Qasidah Burdah karangan Syekh al-Busiri dan Qasidah Barzanji karangan Syekh al-Barzanji seorang sufi abad ke-17 dari Persia. Kini melalui antologi kecil ini tersaji di hadapan kita sajaksajak yang ditulis oleh petani muda atau anak tani dari berbagai tempat di tanah air. Berbicara tentang sajak-sajak petani saya lantas teringat kepada Keinji Meizawa, seorang penyair Jepang terkenal sebelum Perang Dunia II. Penyair ini tumbuh dan besar di kalangan masyarakat petani di Jepang. Dia menggagaskan sajak-sajak yang ideal untuk petani yang ditulis oleh para petani, terutama dalam mensyukuri karunia Yang Maha Kuasa. Di Jepang dan Tiongkok sudah terbiasa setiap musim panen atau musim bunga diadakan upacara keagamaan dan adat disertai festival seni antara lain dengan membacakan atau menyanyikan sajak-sajak sebagai ungkapan syukur kepada Penguasa alam semesta. Tetapi Keinji 86
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Miyazawa hidup dalam masyarakat tani Jepang yang telah bebas dari penindasan. Baik dari penindasan tuan tanah dan penguasa feodal, maupun dari penindasan pemilik modal yang serakah. Pemberontakan petani yang terjadi di Jepang pada akhir abad ke-19, tepat pada zaman Restoraji Meiji, telah berhasil mengubah nasib mereka dari kaum yang tertindas dan teraniaya menjadi kelas masyarakat yang terbebaskan. Mereka menjadi pemilik sah tanah-tanah pertanian yang mereka garap dan menjadi tuan pula hasil panen yang diperoleh berkat jerih payahnya. Keadaannya lain dengan di tanah air kita di Indonesia. Sejak zaman kolonial hingga kini mereka didera oleh derita panjang turun temurun. Perlawanan demi perlawanan yang sporadis dan gegap gempita telah berlangsung secara berkesinambungan dari daerah yang satu hingga daerah lain, namun keadilan belum pernah memihak kepada mereka. Tuntutan akan perbaikan undang-undang agraria yang memihak petani digemakan pula secara beruntun semenjak negeri ini memproklamasikan kemerdekaan. Sajak-sajak dalam antologi kecil ini hanya sekeping cermin dari jerit lirih dan lantang yang telah disuarakan para petani selama berkurun-kurun. Secara terbuka anak-anak petani dari generasi baru mendedahkan secara terbuka kritik dan protes mereka terhadap ketimpangan sosial, dan tindakan sewenang-wenang yang ditimpakan ke pundak mereka. Dari sajak-sajak mereka yang bersahaja kita dapat merasakan getirnya hidup sebagai lapisan masyarakat yang terabaikan dan pada saat yang sama hak-haknya terus dirampas. Mereka dipaksa menerima struktur kehidupan asing dan berat yang diberlakukan tanpa belas kasihan kepada mereka di bidang sosial budaya, ekonomi, dan politik. Dalam struktur yang dipaksakan itu mereka menjadi komunitas yang tersisihkan dan seakan-akan pula tampil sebagai massa tanpa kewarganegaraan. Tetapi perjuangan menuntut hak hidup dan keadilan yang terampas Epilog
87
masih terus berlangsung menentang kapitalisme yang serakah dan industrialisasi yang bengis. Sebuah sajak dari Kulonprogo misalnya, dengan lirih menggitik kesadaran kolektif kita. Kata “mu” yang dimaksud dalam sajak ini adalah negara atau pemerintah secara keseluruhan sepanjang sejarah sejak berdirinya republik yang kita cintai ini. Oleh karena kata “hadirmu” mesti dibaca sebagai hadirnya negara, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut Mukadimah UUD 45, negara kita ini didirikan dengan tujuan antara lain “Meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tetapi semua itu sampai kini “jauh panggang dari api” Begitulah penulis sajak “Arti Hadirmu” menulis: Arti hadirmu Merangkul kami Melindungi kami Menyejahterakan kami Ternyata semua palsu Kenyataan ternyata pahit Kami tak dianggap Hak kami dipinggirkan Pada akhir sajaknya penulis mengatakan, “Ya Allah, ya Gusti/ Berilah kami kekuatan/ Untuk melawan/ Orang-orang yang tidak berperikemanusiaan”. Penulis lain dari Kulonprogo Anisa Widya S menulis dengan meminjam ungkapan penyair Taufiq Ismail: Lewat puisi akan berkata Hidup kami menderita 88
Antologi Puisi Agraria Indonesia
Namun ia bertekad takkan mengeluh dan yakin petani, sebagai kekuatan sosial dengan perjuangan moralnya, tak akan bisa dilumpuhkan. Katanya, “…semangat kami akan terus berkobar”. Sayang sebagaimana sajak-sajak lain dalam antologi ini pada umumnya, sajak-sajak dari Kulonprogo ini terlalu lugas dan ungkapan-ungkapannya belum diolah secara maksimal menjadi pengucapan yang cukup puitik. Dari Kulonprogo kita pindah ke Cilacap. Di sini Hizi Firmansyah menorehkan kenangan atas kota kelahirannya yang dahulunya merupakan sebuah desa yang hijau, ramah dan cukup gemah ripah. Tetapi kini tanah kelahirannya itu tumbuh menjadi kota yang udaranya tercemar, hiruk pikuk dan tak lagi ramah disebabkan kehadiran industri. Katanya, “Dulu kota ini teramat ramah/ sebelum taman menjadi perkantoran”. Dalam antologi ini ada juga sajak-sajak dari Madura dan Gorontalo. Beberapa sajak dari Madura tampak penulisnya telah berusaha menemukan ungkapan yang relatif puitik. Kalau mau dibahas semua tentu saja akan begitu panjang lebar. Yang jelas nada sajak dari Gorontalo dan Madura itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sajak-sajak dari Kulonprogo dan Cilacap. Tantangan hidup yang dihadapi petani ternyata sama di empat tempat itu karena corak kekuasaan yang dihadapi sama. Ada jerit lirih, teriakan lantang yang tersekat, dan cercaan. Semuanya sekali lagi diungkapkan dengan kata-kata yang bersahaja dan mudah dipahami. Selamat merenungi puisi yang telah anda baca ini. Segala kekurangan pada sajak-sajak tersebut dapat dimaklumi karena para penulisnya tidak pernah berpamrih menjadi penyair. Abdul Hadi W.M Epilog
89
Tentang Editor
S
urya Saluang, seorang pekerja seni dan peneliti sosial. Sembari meneliti (partisipatif ), terakhir ia bersama beberapa kawan menggerakkan Teater Unduk Gurun sebagai media kampanye warga pesisir Kulon Progo. Ia menolak puisi koran dan pada tahun 2000 aktif bersama jaringan sastra pinggiran. Menulis esai, kritik seni pertunjukan, mengeditori buku, dan sesekali melakukan aksi performance art di berbagai keramaian kota. Tampilannya low profile dan akan menikah dalam waktu dekat ini.
Tentang Editor
91