Strategi Penerjemahan Metafora Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris dalam Antologi Puisi On Foreign Shores: American Image in Indonesian Poetry Parlindungan Pardede Universitas Kristen Indonesia, Jakarta
[email protected]
Abstract The objetive of this research was to investigate the translation strategies used to render the metaphors into English and errors committed in the translation. The research methodology was qualitatve using the content analysis method. The data were collected through observation on the 69 Indonesian poems included in “On Foreign Shores” and their corresponding translated English versions using the criteria provided by metaphor theories. In the identification stage the observation process was conducted with the aid of Metaphor Identification Procedure (MIP). The result reveals the followings. First, to translate the 174 Indonesian metaphors in the poetry anthology, three strategies were used: (1) reproducing the original metaphor with its exact equivalent (59.8%); (2) replacing the metaphor with a different metaphor which expresses similar meaning (35.6%); (3) and converting the metaphor into its approximate literal paraphrase (4.6%). Second, eleven inappropriate selections of translation strategies, which cause distortion in the meaning of the message conveyed by the original poets were found. This means that the accuracy of the use of translation strategies to render the 174 Indonesian metaphors into English is 93,68%. Despite the small number of errors, the translation strategies applied by the translator were recommended to be used as one of the references for translating Indonesian metaphors into English, especially in the context of poetry translation.
Kata kunci: penerjemahan metafora, strategi penerjemahan, prosedur penerjemahan, kesepadanan
Pendahuluan Dalam masyarakat modern penerjemahan tidak lagi dipandang hanya sebagai proses pengalihan makna kata-kata dari satu bahasa ke bahasa lainnya, tetapi telah berkembang menjadi sarana penyebaran informasi, ide dan nilai-nilai kultural untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan budaya serta meningkatkan
1
pemahaman dan kerjasama interkultural. Tanpa penerjemahan, yang secara umum didefinisikan sebagai upaya mengungkapkan kembali pesan yang terkandung dalam bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa), sirkulasi ide, pengetahuan, informasi, dan nilai-nilai dari satu bangsa ke bangsa lain akan terhambat. Selain itu, dialog-dialog interkultural, yang dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman dan kerjasama antar bangsa akan sulit dilakukan tanpa penerjemahan. Dalam praktik penerjemahan, metafora merupakan ungkapan yang paling sulit dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Metafora bahkan sering dijuluki sebagai ekspresi yang misterius karena maknanya sulit dijelaskan, apalagi diterjemahkan. Newmark (1998, h. 104) menyatakan masalah penerjemahan yang paling sulit secara khusus adalah penerjemahan metafora. Kesulitan menerjemahkan metafora pada hakikatnya berkaitan dengan struktur metafora yang variatif dan unsur pembangunnya yang kompleks, Dilihat dari strukturnya, sebuah metafora bisa berbentuk satu kata, frasa, klausa, atau kalimat. Dilihat dari unsurnya, metafora dibentuk oleh komponen topik (vehicle), citra (tenor), dan titik kesamaan (ground). Namun ketiga komponen ini tidak selalu disebutkan secara eksplisit. Kadang-kadang satu atau dua dari ketiga komponen itu bersifat implisit. Akibatnya, metafora seperti ini hanya dapat dipahami setelah konteks internal ungkapan maupun konteks situasional (eksternal) ungkapan tersebut terlebih dahulu dipahami. Kadang-kadang komponen citra sebuah metafora tidak lazim dalam BSa, sehingga penerjemah harus menemukan citra pengganti yang sepadan dan lazim dalam Bsa tersebut.
2
Selain itu, sebagai sebuah ungkapan bahasa, metafora sarat dengan nilai-nilai budaya sehingga penerjemahannya hanya dapat dilakukan setelah nilai-nilai budaya yang terkait dengan ungkapan tersebut dipahami. Kendala-kendala yang dihadapi dalam penerjemahan metafora telah memunculkan dua pandangan yang kontradiktif mengenai translatibilitas metafora. Dagut (1987: 25) memaparkan bahwa, di satu pihak, tidak sedikit ahli penerjemahan, seperti Nida, Vinay and Darbelnet, yang menganggap metafora tidak bisa diterjemahkan. Di pihak lain, beberapa tokoh, seperti Kloepfer dan Reiss, menganggap bahwa metafora, sebagai suatu ungkapan lingusitis, metafora bisa diterjemahkan. Praktik penerjemahan cenderung mendukung translatibilitas metafora. Hal ini dibuktikan oleh begitu banyaknya puisi—yang mengandung berbagai ungkapan metaforis—karya penyair kenamaan seperti Robert Frost, William Shakespeare, Langston Hughes, Pablo Neruda, Emily Dickinson dan Li Po berhasil diterjemahkan dengan baik ke dalam berbagai bahasa. Jadi. meskipun sebagian metafora harus diterjemahkan secara ekstra hati-hati, sebagai salah satu bentuk ekspresi linguistis, metafora tetap bisa diterjemahkan. . Hasil-hasil penelitian terkini juga cenderung memperkuat ide bahwa metafora bisa diterjemahkan. Penelitian Suwardi (2005) tentang penerjemahan metafora bahasa Inggris dalam konteks penerjemahan novel The Wedding karya Danielle Steel ke dalam bahasa Indonesia mengungkapkan bahwa ke 41 metafora yang
diidentifikasi
diterjemahkan
dengan
menggunakan
lima
strategi
penerjemahan, yakni: (1) menerjemahkan metafora menjadi metafora dengan
3
imaji yang sama; (2) menerjemahkan metafora menjadi metafora dengan imaji yang berbeda; (3) menerjemahkan metafora menjadi simile dengan imaji yang sama; (4) menerjemahkan metafora menjadi simile dengan imaji yang berbeda; dan
(5)
menerjemahkan
metafora
menjadi
non-majas.
Hasil
analisis
memperlihatkan kebanyakan metafora TSu sepadan dengan hasil terjemahannya dalam TSa. Penelitian Waluyo (2007) mengungkapkan bahwa strategi penerjemahan yang digunakan untuk mengalihkan 100 metafora bahasa Indonesia dalam penerjemahan novel Saman ke dalam bahasa Inggris adalah: (1) penerjemahan metafora menjadi metafora yang sepadan; (2) parafrase; (3) penerjemahan metafora menjadi metafora yang berbeda namun dengan makna yang sama; (4) penerjemahan harfiah. Ditemukan tiga alasan mengapa penerjemah tidak hanya menggunakan strategi pertama saja tetapi juga ketiga strategi lainnya. Pertama, penerjemah tidak dapat menemukan kesepadanan yang sesuai dalam metafora Inggris. Kedua, penerjemah bermaksud mencegah kesalahpahaman atau berupaya mempertahankan pesan sesuai dengan konteksnya. Ketiga, penerjemah memiliki waktu yang terbatas sehingga dia mengambil jalan pintas dalam menerjemahkan metafora. Hasil kajian Sudrama (2003) tentang struktur, tipe. dan strategi penerjemahan metafora dalam penerjemahan novel Master of the Game karya Sidney Sheldon ke dalam bahasa Indonesia mengungkapkan bahwa novel tersebut mengandung metafora mati dan metafora hidup. Berlandaskan teori Larson, ditemukan tiga strategi yang diterapkan dalam menerjemahkan metafora bahasa
4
Inggris ke dalam bahasa Indonesia, yakni: menerjemahkan metafora ke dalam metafora, menerjemahkan metafora menjadi simile, dan menerjemahkan metafora menjadi ungkapan harfiah. Paparan-paparan di atas mengindikasikan bahwa kesulitan dalam menerjemahkan metafora disebabkan oleh tiga faktor utama. Pertama, metafora memiliki struktur yang variatif dan unsur pembangun yang kompleks. Akibatnya, disamping prosedur dan konsep kesepadanan yang lazim digunakan dalam menerjemahkan ungkapan-ungkapan linguistik lainnya, penerjemahan metafora memerlukan strategi khusus (van den Broeck, 1981). Kedua, metafora sarat dengan nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, penerjemah harus benar-benar memahami nilai-nilai budaya yang terkait dengan metafora BSu secara mendalam dan melakukan pemetaan konseptual agar dapat menentukan padanan yang berterima dalam BSa (Al-Hasnawi, 2007). Ketiga, karena berbagai kerumitan yang ditemukan dalam penerjemahan metafora, hanya sedikit. jumlah pakar pakar penerjemahan yang mau menggumuli persoalan tersebut (ProZ.com, 2008). Akibatnya, teori dan kajian tentang penerjemahan metafora yang tersedia relatif terbatas. Sehubungan dengan itu, penelitian yang ekstensif perlu dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang penerjemahan metafora. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang strategi penerjemahan metafora bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris dalam antologi puisi On Foreign Shores: American Image in Indonesian Poetry yang diterjemahkan dan diedit oleh McGlynn (1990). Secara spesifik, masalahmasalah
yang
diteliti
mencakup: (1)
5
strategi
yang
digunakan
dalam
menerjemahkan metafora yang terdapat di dalam On Foreign Shores: American Image in Indonesian Poetry dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris; (2) kesalahan-kesalahan
penggunaan
strategi
penerjemahan
metafora
bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Inggris; dan (3) faktor-faktor penyebab kesalahan penggunaan strategi penerjemahan tersebut. Teori
utama
yang
dijadikan
sebagai
landasan
analisis
strategi
penerjemahan metafora dalam penelitian ini adalah lima strategi penerjemahan metafora usulan Larson (1998, h. 278-279), yang tediri dari: (1) menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora yang sama di dalam BSa; (2) menerjemahkan metafora BSu menjadi sebuah simile jika dalam sistem BSa membuat simile lebih mudah dipahami daripada metafora; (3) menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora lain dalam BSa tapi memiliki makna yang sama dengan metafora BSu tersebut; (4) menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora yang sama di dalam BSa yang disertai dengan penjelasan tentang makna metafora tersebut; dan (5) menerjemahkan metafora menjadi menjadi ungkapan non-metaforis. Sedangkan analisis tentang bentuk dan faktor kesalahan penggunaan strategi penerjemahan didasarkan pada gagasan Nababan (2008) tentang kesalahan terjemahan.
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi (content analysis), yang diterapkan dalam delapan tahapan sesuai dengan saran Carley (1992, h. 35-40), yakni: (1) menetapkan tataran analisis; (2) menetapkan konsep-konsep untuk dikodifikasi; (3) menetapkan apakah pengkodean ditujukan
6
untuk menyatakan keberadaan atau frekuensi konsep; (4) menetapkan cara membedakan konsep-konsep; (5) mengembangkan aturan pengkodean teks; (6) menetapkan apa yang harus dilakukan terhadap informasi/data
yang tidak
relevan; (7) mengkodifikasi teks; dan (8) menganalisis hasil. Data dalam penelitian ini adalah seluruh ungkapan motaforis yang dikumpulkan
melalui
pengamatan
terhadap
69
puisi
Indonesia
yang
dipublikasikan dalam antologi puisi On Foreign Shores: American Image in Indonesian berdasarkan kriteria teori metafora yang dipadu dengan penerapan Metaphor Identification Procedure (MIP) usulan kelompok Pragglejaz (2007) dalam tahapan identifikasi data. Pemeriksaan keabsahan data dilakukan melalui ketekunan pengamatan, triangulasi, dan kecukupan referensial. Data yang terkumpul diklasifikasikan untuk selanjutnya dikaji secara obyektif, dianalisis berdasarkan teori-teori terjemahan yang dipaparkan pada bagian terdahulu, dan dibandingkan dengan terjemahan masing-masing dalam bahasa Inggris.
Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Penggunaan Strategi Penerjemahan Dengan menggunakan teori Larson (1988, h. 279-280) tentang strategi penerjemahan metafora, ditemukan bahwa ke 174 metafora yang diidentifikasi diterjemahkan dengan menggunakan tiga strategi, yaitu: (1) menerjemahkan metafora menjadi metafora yang sama (disingkat menjadi “M
M Sama”); (2)
menerjemahkan metafora menjadi metafora lain tapi bermakna sama (M
M
Lain); dan (3) menerjemahkan metafora menjadi ungkapan non-metaforis atau
7
makna harfiah (M
Non-M). Agar diperoleh kesamaan persepsi, perlu dijelaskan
bahwa ‘lambang panah’ (‘
’) yang digunakan di sini bermakna “diterjemahkan
atau dialihkan menjadi” atau “dikonversikan kepada”, sesuai dengan konteks penggunaannya. Rekapitulasi frekuensi dan persentase ketiga strategi penerjemahan tersebut ditampilkan pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Frekuensi dan Persentase Penggunaan Strategi Penerjemahan Metafora No.
Strategi Penerjemahan
Jumlah
Persentase
1
M
M Sama
104
59,8
2
M
M Lain
62
35,6
3
M
Non-M
8
4,6
174
100
Total
a. Menerjemahkan metafora menjadi metafora yang sama Menerjemahkan metafora menjadi metafora yang sama (M
M Sama)
dilakukan dengan cara mereproduksi citra atau tenor TSu di dalam TSa. Strategi ini dapat dilakukan jika metafora itu berterima atau dapat dipahami pembaca TSa tanpa adanya salah pengertian. Oleh karena itu, strategi ini sangat sesuai digunakan untuk menerjemahkan metafora dengan citra yang universal. Karena citra yang universal, menurut Newmark, biasanya diungkapkan dengan menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan ruang, waktu, ide, bagianbagian tubuh, unsur-unsur ekologi, dan aktivitas-aktivitas utama manusia dan
8
merupakan salah satu karakteristik metafora mati,1 strategi M
M Sama sangat
sesuai untuk menerjemahkan metafora mati. Kriteria-kriteria tersebut dapat ditelusuri dalam penerjemahan metafora berikut.
1
2
BSu
sentuhan yang menempa marah (36)
BSa
a touch that forges anger (37)
BSu
engkau belut bagiku (44)
BSa
you are for me an eel (45)
Metafora pertama di atas merupakan salah satu baris puisi Toeti Heraty yang berjudul Sungai Iowa. Puisi ini menggambarkan suasana batin si pembicara (speaker) yang sedang dipenuhi oleh berbagai gejolak emosi negatif. Namun dirinya langsung menjadi tenang setelah memandang Sungai Iowa. Dia merasakan gejolak berbagai emosi negatif tersebut reda oleh pesona Sungai Iowa. Metafora “sentuhan yang menempa marah” adalah satu dari emosi negatif yang bergejolak dalam diri si pembicara. Dalam metafora ini, “sentuhan” dinyatakan “menempa” kemarahan. Padahal verba “menempa” ini secara leksikal berkolokasi dengan besi. Menurut KBBI Daring, verba ini bermakna “memukulmukul (besi dsb) untuk dibuat perkakas (spt pisau)” Karena citra dalam verba “menempa” direproduksi menjadi citra yang sama melalui verba ”forge”, yang menurut American Heritage Dictionary of English Language bermakna “to form
1
Newmark Op,cit. h. 106
9
(metal, for example) by heating in a forge and beating or hammering into shape,” maka metafora tersebut diterjemahkan menjadi metafora yang sama. Metafora kedua di atas, “engkau belut bagiku” digunakan oleh Rendra dalam puisi Kepada M.G. untuk menggambarkan seorang pelacur menurut pandangan pembicara dalam puisi tersebut. Melalui metafora ini diungkapkan bahwa pembicara mengetahui semua lekuk tubuh si pelacur. Tapi dia sama sekali tidak memahami jiwa si pelacur. Orang yang sering menangkap atau memegang belut dapat dengan mudah mengetahui gambaran fisik binatang itu. Sebagaimana orang itu mengetahui profil fisik belut, demikian pula pengetahuan si pembicara mengenai liku-liku tubuh si pelacur. Akan tetapi, meskipun sudah sering menangkap belut, kebanyakan orang tetap tidak dapat menggenggam binatang itu karena tubuhnya yang licin. Gambaran ini digunakan penyair sebagai analogi untuk mengungkapkan ketidakmampuan si pembicara memahami pikiran dan keinginan si pelacur. Dalam penerjemahan, citra “belut” dialihkan menjadi “eel” dalam TSa. Karena kedua nomina ini mengacu pada binatang yang sama, jelaslah bahwa penerjemah menerapkan strategi M
M Sama.
b. Menerjemahkan metafora menjadi metafora lain tapi bermakna sama Jika strategi M
M Sama dilakukan dengan cara mereproduksi citra atau
tenor TSu di dalam TSa, strategi M
M Lain tapi bermakna sama dilakukan
dengan cara mengganti citra dalam BSu dengan citra standar yang berterima dalam BSa. Penggantian citra ini dilakukan untuk menjembatani perbedaan kultural antara BSu dan BSa. Meskipun penerapan strategi ini mengakibatkan
10
metafora BSu berbeda dengan metafora TSa secara leksikal, dilihat dari konteks pesan secara keseluruhan, keduanya mengungkapkan makna yang sama. Penerjemahan kedua metafora berikut memperlihatkan aplikasi strategi M
M
Lain tapi bermakna sama tersebut.
1
2
BSu
Bumi telah tenggelam (14)
BSa
The earth has receded (15)
TSu
Terlempar damba ke angkasa (12)
TSa
Hope was catapulted to space (13)
Topik pada metafora pertama adalah keadaan bumi, yang dibandingkan dengan tenor (citra), yakni benda yang “tenggelam”. Menurut KBBI Daring, verba “tenggelam” bermakna “masuk terbenam ke dalam air atau karam”.2 Dalam metafora terjemahan, citra “tenggelam” tersebut dialihkan menjadi verba “recede”, yang menurut Merriam Webster Online Dictionary bermakna “gerakan mundur bertahap dari suatu titik atau posisi yang tinggi”. Terlihat bahwa secara leksikal, makna verba “mundur” dan “recede” tidak sepadan. Akan tetapi, secara kontekstual, metafora TSu dan TSa mengungkapkan makna yang sama. Pada metafora ke dua, kata “terlempar”, yang berfungsi sebagai tenor, tidak dialihkan menjadi kata bahasa Inggris yang secara leksikal bermakna sepadan, seperti thrown, tetapi “catapulted”. Namun, walau secara leksikal bermakna tidak sepadan, secara kontekstual, keduanya mengungkapkan ide yang sama.
2
KBBI Daring. op.cit
11
c. Menerjemahkan metafora menjadi ungkapan non-metaforis Strategi M
Non M digunakan jika citra terjemahan yang dialihkan
menjadi metafora yang sama sulit dipahami dan BSa tidak memiliki ungkapan yang sepadan dengan metafora BSu Menurut Larson, strategi M
Non M ini
diimplementasikan dengan cara mengalihkan tenor dalam metafora BSu menjadi ungkapan bermakna harfiah. Strategi ini efektif digunakan untuk menerjemahkan metafora mati yang sudah menjadi idiom sehingga kesan metaforisnya benarbenar hampir tidak disadari penutur. Dengan mengalihkan metafora yang hanya membuat teks bertele-tele dan mengurangi tingkat keterbacaan teks tersebut menjadi makna harfiah, diharapkan TSa akan lebih sederhana, luwes dan mudah dipahami. Berikut ini adalah dua contoh metafora bahasa Indonesia yang diterjemahkan dengan menggunakan strategi menerjemahkan metafora menjadi ungkapan non-metaforis.
1
2
BSu
sekedar ingin tahu dan memancing pengalaman (66)
BSa
just out of curiosity and the experience (67)
TSu
… perut bumi … (124)
TSa
The earth …(125)
Pada metafora pertama, ungkapan “memancing” merupakan tenor (citra). Verba ini secara umum berkolokasi dengan “ikan.” Namun dalam metafora ini verba tersebut dikaitkan dengan pengalaman untuk menggambarkan bahwa tindakan menambah pengalaman memiliki kesamaan dengan aktivitas memancing
12
ikan. Namun dalam metafora terjemahan, citra tersebut diabaikan oleh penerjemah. Frasa “memancing pengalaman” dialihkan menjadi nomina “pengalaman” yang mengandung hanya makna harfiah. Pada metafora ke dua, nomina “perut” digunakan sebagai citra untuk menjelaskan bagian spesifik bumi. Menurut KBBI Daring, metafora “perut bumi” bermakna “bagian dl bumi yg letaknya di tengah-tengah.” Dalam metafora terjemahan, citra “perut” diabaikan. Dengan demikian, metafora “perut bumi” dialihkan menjadi frasa “the earth” saja. Karena frasa ini tidak mengandung makna metaforis, maka metafora “perut bumi” tersebut tidak diterjemahkan menjadi metafora, melainkan ungkapan bermakna harfiah. Berdasarkan analisis penggunaan strategi penerjemahan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah lebih mengutamakan strategi penerjemahan metafora menjadi metafora. Dari 174 metafora yang diterjemahkan, hanya 4,6% yang diterjemahkan menjadi ungkapan non-metaforis. Hal ini dilakukan penerjemah karena penerjemahan metafora yang dilakukan merupakan bagian dari penerjemahan puisi—teks yang mengutamakan penggunaan ungkapan yang singkat, padat, dan sekaligus menarik. Karena metafora merupakan salah satu majas yang dapat memenuhi ketiga kriteria ini, wajar bila keberadaannya sedapat mungkin dipertahankan dalam puisi terjemahan. Mayoritas metafora BSu dapat dialihkan menjadi metafora yang sama ke BSa karena penerjemah dapat menemukan dan mereproduksi citra atau tenor yang sepadan dalam BSa. Akan tetapi, karena perbedaan nilai-nilai budaya BSu dan BSa, citra sebagian metafora tidak dapat ditemukan dalam BSa, sehingga
13
penerjemah melakukan penggantian dengan citra standar yang berterima dalam BSa melalui strategi M
M Lain. Selain itu, ada juga metafora BSu yang
citranya (baik yang sepadan maupun pengganti) tidak dapat ditemukan penerjemah dalam BSa. Akibatnya, penerjemah mengalihkan citra metafora tersebut menjadi ungkapan bermakna harfiah dalam TSa. Temuan di atas memperlihatkan bahwa penerjemah mengutamakan strategi penerjemahan yang mengalihkan metafora menjadi metafora. Penerjemah lebih memprioritaskan penggunaan strategi M M
M Sama, lalu M
M Lain, dan
Non-M sebagai pilihan terakhir. Temuan ini selaras dengan pendapat Reis
(dalam Venuti, 2004, h. 167) yang menekankan pentingnya mengalihkan unsurunsur estetik dan artistik teks-teks ekspresif ke dalam TSa dengan cara menerjemahkan teks tersebut ke dalam tipe yang sama. Dia menegaskan “If the SL text is written in order to convey artistic contents, then the contents in the TL should be conveyed in an analogously artistic organization”. Penerjemahan metafora dalam penelitian ini merupakan bagian dari penerjemahan puisi. Sedangkan puisi, berdasarkan klasifikasi tipe teks usulan Newmark (1988) termasuk dalam kelompok teks ekspresif. Sehubungan dengan itu, dalam rangka mempertahankan unsur-unsur estetik dan artistik puisi, pengutamaan penggunaan strategi menerjemahkan metafora menjadi metafora oleh McGlynn sudah tepat.
5. Kesalahan Pemilihan Strategi Penerjemahan Metafora bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris
14
Melalui analisis yang dilakukan dengan cara membandingkan metafora bahasa Indonesia dan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris dalam penelitian ini, ditemukan 11 butir metafora (6,32%) yang diterjemahkan dengan strategi penerjemahan yang tidak tepat. Ke 11 butir tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua tipe, yakni: (a) menerjemahkan metafora menjadi metafora lain atau M M Lain (9 item kesalahan); dan (b) menerjemahkan metafora menjadi ungkapan non-metaforis atau makna harfiah atau M
Non-M (2 item kesalahan).
Kesimpulan dan rekomendasi Dilihat dari seluruh temuan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa penerjemah menguasai kaidah-kaidah BSu dan BSa serta teori-teori dan praktik penerjemahan dengan baik. Hal ini, paling tidak, tercermin dari tingginya ketepatan penggunaan strategi penerjemahan (93,68%), ketepatan penggunaan prosedur penerjemahan (94,25%) dan kesepadanan makna (98,85%). Pemahaman lintas budaya; pengetahuan tipe teks; pemahaman tentang tujuan penerjemahan dan pemahaman tentang calon pembaca terjemahan yang dimiliki penerjemah juga baik. Kesalahan-kesalahan kecil yang teridentifikasi, pada dasarnya disebabkan oleh orientasi yang terlalu berlebihan pada aspek budaya TSa (yang mengakibatkan distorsi makna dalam beberapa terjemahan) dan minimnya pemahaman penerjemah atas sejumlah kecil metafora BSu sehingga padanan yang tepat dalam BSa tidak dapat ditemukan. Hasil analisis data mengimplikasikan tiga hal berikut terhadap praktik penerjemahan metafora. Pertama, karena hasil penerjemahan metafora dalam
15
penerjemahan kumpulan puisi On Foreign Shores: American Image in Indonesian Poetry tergolong baik, pemilihan strategi penerjemahan, pemilihan prosedur penerjemahan, dan penentuan tipe kesepadanan yang dilakukan McGlynn ini layak dijadikan salah satu acuan dalam praktik penerjemahan metafora bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Kedua, mengingat bahwa penerjemahan metafora dalam penelitian ini merupakan bagian dari penerjemahan 51 puisi Indonesia yang secara khusus bertopik tentang Amerika Serikat dan berbagai hal yang terdapat di negara tersebut ke dalam bahasa Inggris, penggunaan pemilihan strategi penerjemahan, prosedur penerjemahan, dan tipe kesepadanan oleh McGlynn tersebut sebagai acuan dalam praktik penerjemahan metafora hendaknya dibatasi hanya pada penerjemahan metafora bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris dalam konteks budaya Indonesia dan Amerika Serikat dan teks berbentuk puisi. Ketiga, Karena kesalahan penerjemahan metafora dalam penelitian ini disebabkan oleh perbedaan budaya BSu dan BSa, setiap praktik penerjemahan metafora harus dilandaskan pada pemahaman budaya BSu dan BSa yang benar-benar komprehensif. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti merekomendasikan dua saran berikut. Pertama, karena hasil penelitian ini hanya bisa digeneralisasi secara terbatas pada penerjemahan metafora bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris dalam konteks budaya Indonesia dan Amerika Serikat dan teks berbentuk puisi, untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang penerjemahan metafora bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, penelitian-penelitian lanjutan disarankan agar mencakup tipe teks yang variatif, konteks budaya yang lebih
16
beragam, dan analisis data yang lebih ekstensif. Kedua, dilihat dari sisi metodologi, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi, dan alat bantu yang digunakan untuk memeriksa ketepatan hasil terjemahan adalah referensi tertulis (kamus, tesaurus, dan beberapa bahan pustaka lainnya). Untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif, disarankan agar penelitian lanjutan mengikutsertakan penilaian beberapa informan kunci (penerjemah ahli) untuk menentukan tingkat kesepadanan antara TSu dan TSa dan respon beberapa penikmat puisi (baik penutur bahasa Indonesia maupun penutur bahasa Inggris Amerika) untuk menentukan dan membandingkan efek kesepadanan melalui hubungan antara penutur bahasa Indonesia dengan TSu dan penutur bahasa Inggris Amerika dengan TSa.
Referensi Al-Hasnawi. (2007). A cognitive approach to translating metaphors. Translation Journal, 11 (3). Diakses 30 Desember 2012 dari: http://www.bokorlang.com/journal/41metaphor.htm American Heritage Dictionary of English language (3rd Ed.). (1992). Boston: Houghton-Mifflin. Carley, K. (1992). MECA. Pittsburgh, PA: Carnegie Mellon University. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus bahasa Indonesia. (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2011). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Dalam Jaringan) (Ed.3)”. (http://pusatbahasa. diknas. go.id/ kbbi) Dickins, J., Hervey, S. & Higgins, I. (2005), Thinking Arabic translation. New York: Routledge. James, K. (2008) Cultural Implications for translation. Diakses 19 Januari 2011 dari: http://accurapid.com/journal/22delight.htm. 17
Landers, C. E. (2001) Literary translation. Clevedon: Multilingual Matters. Larson, M. L. (1998). Meaning-based translation: A guide to cross-language equivalence. Lanham and London: University Press of America. McGlynn, J. H. (Ed. & Transl.). (1990). On foreign shores: American images in Indonesian poetry. Jakarta: The Lontar Foundation. Merriam Webster Online Dictionary (2013) diakses dari: http://www.merriamwebster.com/dictionary/recede Molina, L. & Albir, A.H. “Translation techniques revisited: A dynamic and functionalist approach”. Meta, Vol. XLVII. No. 4, 2002. Nababan, M.R. (2008). Equivalence in translation: Some problem-solving strategies. Diakses 12 januari 2011 dari http://www.proz.com/ translationarticles/articles/2071/1/ Newmark, P. (1988). A textbook of translation. New York: Prentice-Hall International. Pragglejaz Group. (2007). “MIP: A method for identifying metaphorically used words in discourse”. Dalam Metaphor and symbol, 22(1), 1–39. Lawrence Erlbaum Associates, Inc. ProZ.com (2008). Translation theory with regards to translating metaphors. Diakses 19 Januari 2011 dari: http://www.proz.com/doc/1831 Sudrama, K. (2003). Strategies for Translating into Indonesian English metaphors in the novel “Master of the Game”: A case study. (Thesis). Denpasar: Udayana University. Suwardi, A. (2005). An analysis of the translation of metaphors in Danielle Steel’s “The Wedding” into Indonesian in Ade Dina Sigarlaki’s ‘Pernikahan”. (Magister Thesis). Yogyakarta: Sanata Dharma University). van den Broeck, R. (1981) The Limits of translatability exemplified by metaphor translation”, dalam Poetics Today, Vol. 2, No. 4, Diakses 15 Februari 2011 dari: http://www. jstor.org/stable/1772487. Venuti, L. (ed.) (2001). The translation studies reader. London: Routledge. Waluyo, T. N. (2007) The translations strategies of Indonesian metaphors into English. (Magister Thesis) Jakarta: Gunadarma University.
18