Respon Petani terhadap Pengendalian Penyakit Fusarium oxysporium pada Tanaman Cabai dengan Jamur Trichoderma Sp di Kelurahan Borong Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros Andi Faisal Suddin, Tamrin Kunta dan Muslimin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan E-mail :
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan; 1) mengetahui perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan petani setelah mengikuti kegiatan penyuluhan pengendalian penyakit fusarium oxysporum sp. pada tanaman cabai dengan menggunakan jamur Trichoderma, 2) mengetahui tingkat efektifitas penyuluhan yang diikuti oleh petani. Penelitian dilaksanakan mulai maret sampai mei 2012 di Kelurahan Borong Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Metode yang digunakan yaitu, untuk menganalisis respon petani dilakukan tes awal dan tes akhir (sebelum dan sesudah mengikuti peyuluhan) dengan membagikan daftar pertanyaan (kuisioner) yang berisi sebanyak 15 butir pertanyaan. Tes awal dan tes akhir dianalisis secara deskriptif, perbedaan antara tes awal dan tes akhir menunjukan perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani. Untuk mengetahui efektifitas penyuluhan digunakan formulasi, EP = (ps – pr)/(n.3.Q) - pr x 100%. Hasil penelitian adalah tingkat perubahan pengetahuan meningkat 33,00 %, keterampilan 33,50 %, dan sikap 37,00%, hal ini menunjukkan adanya perubahan prilaku setelah dilaksanakan penyuluhan, dan kegiatan penyuluhan dianggap cukup efektif dengan nilai 52,51%. Kata kunci : Cabai, Fusarium oxysporium, Maros, Pengendalian, Respon, Trichoderma,sp.
Pendahuluan Latar Belakang Cabai merupakan salah satu tanaman hortikultura yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari dan volume kebutuhannya terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, tidak heran kalau peluang bisnisnya masih terus menjanjikan. Namun yang harus diwaspadai, komoditas yang secara hitung-hitungan mampu menghasilkan keuntungan besar,tetapi mempunyai resiko yang besar pula. Karenanya diperlukan perencanaan dan penguasaan teknologi dalam budidaya tanaman cabai. Menurut Direktorat Tanaman Pangan dan Hortikultura dalam buku tahunan tanaman sayuran 2009, rata-rata produktivitas usaha tani cabai di tingkat petani ( 5-6 ton per hekter) masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan potensi hasilnya (6-11 ton per hektar). Salah satu kendala yang cukup berat pada usaha tani cabai adalah serangan hama penyakit layu/fusarium oxysporium sp, yang dapat mengakibatkan kehilangan hasil dan penyakit ini mengganas pada musim hujan (Santika, 2006). Lebih lanjut Semangun, H, 2007 mengatakan bahwa penyakit layu fusarium disebabkan oleh jamur Fusarium sp. Jamur ini banyak menyerang tanaman cabai, tomat, dan bawang daun. Banyak cara pengendalian yang dilakukan namun belum berhasil untuk menekan perkembangan patogen tersebut, namun menurut Yusriadi (2004), salah satu alternative pengendalian yang dapat dilakukan untuk menekan populasi jamur Fusarium ini adalah dengan mengembangkan pengendalian secara hayati. Sejauh ini pemakaian pestisida (fungisida) selalu diikuti dengan pertimbangan ekonomi dan berdampak pada lingkungan. Pasar lebih menyukai produksi pertanian yang bebas bahan kimia, sehingga alternatif pestisida yang aman bagi lingkungan dan konsumen sangatlah
864
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
diperlukan (Purwantisari, 2008). Pengendalian penyakit tanaman menggunakan bahan-bahan kimia kini mulai dihindari karena berdampak negatif bagi lingkungan, oleh karena itu penggunaan fungisida nabati (biofungisida) mutlak diperlukan. Kebijakan global mengenai pembatasan penggunaan bahan aktif kimiawi pada proses produksi pertanian pada gilirannya akan sangat membebani pertanian Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat ketergantungan petani terhadap pestisida kimia. Ketergantungan inilah yang akan melemahkan produk pertanian asal Indonesia dan daya saingnya di pasar global. Menghadapi kenyataan tersebut agaknya perlu segera diupayakan pengurangan penggunaan pestida kimiawi dan mengalihkannya pada jenis agens hayati yang aman bagi lingkungan. Salah satu cara pengendalian penyakit yang ramah lingkungan dan berpotensi untuk dikembangkan ialah pengendalian hayati menggunakan Trichoderma sp. Sebagai agen biofungisida secara langsung maupun tidak langsung untuk mengontrol serangan spesies pengganggu (Mukerji, 2006). Program pengembangan usahatani cabai saat ini tidak lagi semata-mata ditujukan untuk meningkatkan produksi perhektar, tetapi lebih ditekankan kepada pencapaian sasaran peningkatan pendapatan petani. Pendekatan yang dipilih untuk mencapai sasaran tersebut adalah pengembangan usahatani yang berorientasi agribisnis (Adiyoga dan Soetiarso, 1994). Salah satu prinsip yang menempati urutan pertama dalam pengembangan agribisnis adalah ketersediaan teknologi baru tepat guna dan berkelanjutan. Dalam menerima teknologi baru tersebut, petani sebenarnya dihadapkan kepada ketidak-pastian yang menyangkut kesesuaian teknologi dengan sumberdaya dan kemampuan manajerial yang mereka miliki. Dengan demikian peranan penyuluhan sangat menentukan dalam hal peningkatan kapasitas petani dalam menerapkan teknologi. Huda, (2002) mengemukakan bahwa penyuluhan dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan keterampilan) di kalangan masyarakat agar mereka tahu, mau dan mampu melaksanakan perubahan perubahan demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan atau keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga atau masyarakat yang ingin dicapai melalui pembangunan pertanian. Hal yang berkaitan dikemukakan juga oleh Wiriaatmadja (2003) bahwa dalam menyelenggarakan penyuluhan pertanian, para penyuluh dan peneliti selalu mencari metode efektif yang sifatnya mendidik, membimbing dan menerapkan, sehingga inovasi baru yang disampaikan melalui penyuluhan pertanian dapat diterima oleh petani beserta keluarganya. Tujuan 1. Untuk mengetahui perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan petani setelah mengikuti kegiatan penyuluhan pengendalian penyakit fusarium oxysporum sp pada tanaman cabai dengan menggunakan jamurTrichoderma. 2. Untuk mengrtahui efektivitas penyuluhan yang diikuti oleh petani cabai.
Metodologi Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Borong Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan selama dua bulan yaitu dari bulan Maret sampai dengan Mei 2012.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
865
Populasi dan Sampel Jumlah populasi petani cabe yang ada di kelurahan Borong adalah 20 orang. Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode wawancara dengan menggunakan kuisioner pada petani cabe yang ada di kelurahan Borong Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros. Sedangkan untuk data sekunder diperoleh dari Dinas atau instasi terkait, yaitu Kantor Kelurahan, Kantor Kecamatan dan BPP yang ada di lokasi. Analisis Data Metode yang digunakan untuk menganalisis respon petani yaitu melakukan tes awal dan tes akhir (sebelum dan sesudah mengikuti peyuluhan) dengan membagikan kuisioner yang berisi sebanyak 15 butir pertanyaan yaitu masing-masing 5 pertanyaan tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan petani. Tes awal dan tes akhir dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabulasi, perbedaan antara tes awal dan tes akhir menunjukan perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani. Hasil penilaian awal dan tes akhir diberi skor dengan ketentuan: jawaban (a nilai 3, b nilai 2, c nilai1, dan d nilai 0). sehingga interprestasi skor adalah skor tertinggi 20 x 5 x 3 = 300 dan skor terendah 20 x 5 x 0 = 0, digambarkan dalam garis continuum sebagai berikut : Interval Kelas =
skor maksimum skor min imum kriteria
Efektifitas penyuluhan diperoleh dari hasil evaluasi penyuluhan yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan penyuluhan yang telah dilakukan terhadap peningkatan perubahan perilaku sasaran. Efektifitas penyuluhan dihitung dengan rumus : =
ps pr x 100% ( n.3.Q ) pr Keterangan : Ps
: Post test
3
: Nilai jawaban tertinggi
Pr n
: Pre test : Jumlah responden
Q
: Jumlah pertanyaan
Keriteria penilaian yaitu sebagai berikut: 1.
< 33,33 %= Kurang efektif
2.
33,33 % – 66,66 % = Cukup efektif
3. > 66 = Efektif (Ginting, 1991)
Hasil dan Pembahasan 1.
Respon Petani Setelah Mengikuti Penyuluhan Hasil evaluasi penyuluhan yang dilakukan, dapat menggambarkan tercapai atau tidaknya tujuan program penyuluhan yang ditetapkan sebelumnya, sebagai gambaran hasil kegiatan penyuluhan yang sudah dilaksanakan. Kegiatan evaluasi penyuluhan ini dilakukan 2 tahap, yakni tahap pertama dilakukan sebelum dilaksanakan penyuluhan, tahap kedua setelah dilaksanakan penyuluhan (tes awal dan tes akhir). Adapun kegiatan evaluasi penyuluhan dilaksanakan dan telah diperoleh hasil dari tabulasi data evaluasi awal dan evaluasi akhir adalah sebagai berikut :
866
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
a.
Pengetahuan Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat perubahan pengetahuan petani
responden, dilakukan tanya jawab melalui media (kuisioner), dapat dilihat pada lampiran yang terdiri dari masing-masing 5 pertanyaan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Untuk tes awal diperoleh nilai 84 dengan demikian tingkat pengetahuan petani-peternak responden mengenai pengendalian penyakit Fusarium pada tanaman cabe , Pada tes awal berada pada kategori kurang mengetahui (28 %). Jumlah skor yang diperoleh = 84. Skor tertinggi = 20 x 5 x 3 = 300 dan Skor terendah= 20 x 5 x 0 = 0. Evaluasi awal presentase pengetahuan =
84 x 100 % = 28 % 300 Jika digambarkan dalam garis continum adalah : 0
25 % 28 %
0
50 %
75 %
100 %
150
225
300
75 TM
KM
M
SM
Gambar 1. Garis Continum Tingkat Pengetahuan Pada Evaluasi Awal Dengan Simbol Huruf Pada Garis Continum Menyatakan. Keterangan : TM KM
: Tidak mengetahui : Kurang mengetahui
M SM
: Megetahui : Sangat mengetahui
Untuk tes akhir diperoleh nilai 184 dengan demikian tingkat pengetahuan responden mengenai penerapan materi, pengendalian penyakit Fusarium pada tanaman cabe, pada tes akhir berada pada kategori mengetahui (61 %). Jumlah skor yang diperoleh = 184. Skor tertinggi
= 20 x 5 x 3 = 300 dan Skor
terendah = 20 x 5 x 0 = 0. Presentase evaluasi akhir pengetahuan
=
184 x 100 % = 61 % 300
Jika digambarkan dalam garis continum adalah :
61 % 0
25 %
0
50 %
75 TM
75 %
150 KM
100 %
225 M
300 SM
Gambar 2. Garis Continum Tingkat Pengetahuan Pada Evaluasi akhir Dengan Simbol Huruf Pada Garis Continum Menyatakan. a.
Keterampilan Keterampilan merupakan kemampuan untuk mengaplikasikan inovasi yang disampaikan
kepada mereka melalui kegiatan penyuluhan, hasil evaluasi tingkat keterampilan responden untuk tes awal nilai yang diperoleh adalah 86 pada tes awal berada pada kategori kurang terampil (36,5 %) hal ini diasumsikan karena responden belum mengetahui teknis penerapan materi yang
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
867
disuluhkan. Jumlah skor yang diperoleh = 86, Skor tertinggi = 20 x 5 x 3 = 300 dan Skor terendah= 20 x 5 x 0 = 0. Evaluasi awal presentase pengetahuan
=
86 x 100 % = 36,5 % 300
Jika digambarkan dalam garis continum adalah :
36,5 % 0
25 %
0
75
TT
50 % 150
KT
75 % 225
T
100 % ST
300
Gambar 3. Garis Continum Tingkat Keterampilan Pada Evaluasi Awal Dengan Simbol Huruf Pada Garis Continum Menyatakan. TT KT
: Tidak terampil : Kurang terampil
T ST
: terampil : Sangat terampil
Untuk tes akhir diperoleh nilai 210, dengan demikian tingkat katerampilan petani terhadap pengendalian penyakit Fusarium pada tanamancabe, pada tes akhir berada pada kategori terampil (70 %). Jumlah skor yang diperoleh = 210. Skor tertinggi = 20 x 5 x 3 = 300 dan Skor terendah = 20 x 5 x 0 = 0. Presentase evaluasi akhir keterampilan
=
210 x 100 % = 70 % 300
Jika digambarkan dalam garis continum adalah :
70 % 0
25 %
50 %
0
75
150
TT
KT
75 % T
225
100 % ST
300
Gambar 4. Garis Continum Tingkat Keterampilan Pada Evaluasi akhir Dengan Simbol Huruf Pada Garis Continum Menyatakan. Menurut Padmowihardjo, 2002. Tingkat keterampilan pada kategori sangat terampil belum mampu dicapai responden hal ini disebabkan, karena kegiatan penyuluhan mengenai teknis aplikasi materi, pengedalian penyakit Fusarium, kurang dilakukan kepada respoden, sehinggah banyak hal dalam teknis aplikasi materi yang belum mereka pahami dan masih perlu penjelasan lebih lanjut. b.
Sikap
Sikap adalah kecendrungan untuk berbuat, kegiatan penyuluhan hasil akhirnya adalah aplikasi responden, aplikasi inovasi oleh responden tidak akan muncul tanpa adanya sikap responden yang positif terhadap inovasi yang disuluhkan. Untuk itu perlu adanya evaluasi sikap responden terhadap materi yang disuluhkan. Adapun hasil evaluasi tes awal diperoleh nilai 94. Dengan demikian tingkat sikap responden mengenai materi berada pada kategori tidak setuju (31 %). Jumlah skor yang diperoleh = 94. Skor tertinggi = 20 x 5 x 3 = 300 dan skor terendah = 20 x 5 x 0 = 0. Evaluasi awal presentase pengetahuan =
868
94 x 100 % = 31 % 300
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Jika digambarkan dalam garis continum adalah :
31 % 0
25 %
50 %
75 %
0
75
150
225
TS
KS
S
100 % 300
SS
Gambar 5. Garis Continum Tingkat Sikap Pada Evaluasi Awal Dengan Simbol Huruf Pada Garis Continum Menyatakan. Keterangan : TS : Tidak setuju KS : Kurang setuju
S SS
: Setuju : Sangat setuju
Untuk tes akhir diperoleh nilai 204, dengan demikian tingkat sikap responden mengenai materi teknis pengendalian penyakit Fusarium pada tanaman cabe,berada pada kategori setuju (68 %). Jumlah skor yang diperoleh = 204, skor tertinggi = 20 x 5 x 3 = 300 dan skor terendah = 20 x 5 x 0 = 0. Presentase evaluasi akhir sikap
=
204 x 100 % = 68 % 300
Jika digambarkan dalam garis continum adalah :
68% 25 %
0 0 TS
75
50 % KS
150
75 % S
225
100 % 300
SS
Gambar 6. Garis Continum Tingkat Sikap Pada Evaluasi Akhir Dengan Simbol Huruf Pada Garis Continum Menyatakan. Untuk mengetahui perubahan dan peningkatan perolehan nilai responden, persentase dari nilai maksimum pada tingkat pengetahuan, keterampilan dan sikap (PKS) responden maka dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 1. Rataan Tingkat Perubahan Pengetahuan, Keterampilan Dan Sikap Responden. Deskripsi Tes awal Persentase (%) Kurang (%) Tes akhir Persentase (%) Kurang (%) Perubahan Persentase (%)
Pengetahuan 84,00 28,00 72,00 184,00 61,00 39,00 100,00 33,00
Keterampilan 86,00 36,50 63,50 210,00 70,00 30,00 124,00 33,50
Sikap 94,00 31,00 69,00 204,00 68,00 37,00 110,00 37,00
Sumber: Data primer setelah diolah, 2012.
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat perubahan pengetahuan meningkat 33,00 %, keterampilan 33,50 %, dan sikap 37,00% hal ini menunjukkan adanya perubahan prilaku setelah dilaksanakan penyuluhan, sehingga petani cabe dapat mengetahui dan merespon tentang pengendalian penyakit Fusarium pada tanaman cabe.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
869
1.
Efektivitas Penyuluhan Untuk mengetahui efektifitas penyuluhan terhadap perubahan pengetahuan, keterampilan
dan sikap petani cabe dengan menggunakan persentase efektivitas sebagai berikut : Efektifitas penyuluhan =
Ep =
ps pr x 100% ( n.3.Q ) pr
598 264 x 100 % ( 20.3.15) 264
=
334 x 100 % = 52.51 % (cukup efektif) 636
Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa tingkat efektivitas penyuluhan dikatakan cukup efektik dalam peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap. Hal ini terjadi karena dilakukannya teknik demonstrasi cara dan demonstrasi hasil. Sehingga petani lebih yakin dengan materi penyuluhan. Menurut Samsudin (2006), metode yang biasa digunakan untuk menarik minat petani dalam melaksanakan inovasi-inovasi baru adalah Metode pendekatan kelompok yang dilaksanakan melalui demontrasi cara, demonstrasi hasil, kursus tani, pertemuan kelompok dan karyawisata,. Dengan demikian efektifitas penyuluhan yang diberikan dalam penyuluhan berada dalam kategori cukup efektif, hal ini juga menunjukkan bahwa aplikasi pengendalian alternatif sebagai teknologi pilihan mendukung peningkatan daya reproduksi petani cabe oleh petani cabe yang ada di lokasi. Kesimpulan Respon petani tentang penyuluhan pengendalian penyakit Fusarium menggunakan jamur Trichoderma dan agensi lainnya dikategorikan cukup efektif menunjukkan bahwa tingkat perubahan pengetahuan meningkat 33,00 %, keterampilan 33,50 %, dan sikap 37,00% hal ini menunjukkan adanya perubahan prilaku setelah dilaksanakan penyuluhan, dan kegiatan penyuluhan dianggap cukup efektif 52,51%.
Daftar Pustaka
Adiyoga, W. dan T. A. Soetiarso. 1994. Aspek agroekonomi cabai. Makalah disampaikan pada Seminar Agribisnis Cabai, Agribisnis Club. Jakarta.Barry, P. J. (Ed.). 1984. Risk management in agriculture. Iow Direktorat Jenderal Hortikultura. 2009. Buku Tahunan Tanaman Sayuran. Diakses tanggal 27 Juni 2016. http://hortikultura.deptan.go.id. Ginting, E. 1991. Pokok Pikiran Penerapan Metode Penelitian Sosial Dalam Program Kerja Kuliah Lapang. Universitas Brawijaya, Malang Huda,
N. 2002. Penyuluhan Pembangunan Sebagai Sebuah Ilmu Ilmu). Program Pasca Sarjana (S3). Institut Pertanian Bogor. Bogor
(Kajian
Filsafat
Mukerji, K.G and K.L. Garg, 2006. Biocontrol of plant Disease. CRC Press Inc Boca Florida Padmowihardjo, 2002.Evaluasi Penyuluhan Pertanian. Materi Pokok LUTH 4430/2 SKS/Modul 1-6, Universitas Terbuka, Jakarta
870
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Purwantisari S, Ferniah RS dan Raharjo B. 2008. Pengendalian Hayati Penyakit Lodoh (Busuk Umbi Kentang) Dengan Agens Hayati Jamur-Jamur Antagonis Isolat Lokal. BIOMA. vol 10 (2): 13-19. Santika Adhi, 2006. Agribisnis Cabai. Swadaya. Jakarta Semangun, H, 2007. Penyakit-Penyakit Tanaman Holtikultura Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Samsudin, U.S. 2006. Dasar-Dasar Penyuluhan Pertanian. Badan Pendidikan dan Penyuluhan Pertanian. Jakarta Yusriadi, 2004. Pengaruh Mikrooganisme Antagonis Terhadap Layu Bakteri (Pseudemonas solanacearum E.F Smith) Pada Tanaman Kacang Tanah (Tesis) Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Wiriaatmadja,S. 2003. Pokok-Pokok Penyuluhan Pertanian. C.V. Yasaguna, Jakarta
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
871