ANALISIS PRAKTEK SHALAT QADLA’ UNTUK MAYYIT (STUDI KASUS DUSUN SIDOREJO DESA SAMBUNGREJO KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Dalam Ilmu Syari’ah dan Hukum
Oleh: Abi Zakaria Nawawi (1211001)
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNISNU 2014/2015
i
ii
NOTA PEMBIMBING Lamp : 4 Eksemplar Hal
: Naskah Skripsi A.n. Sdr. Abi Zakaria Nawawi
Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UNISNU Jepara Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara: Nama
: Abi Zakaria Nawawi
NIM
: 1211001
Fakultas
: Syari’ah dan Hukum
Judul
: Analisis Praktek Shalat Qadha’ Untuk Mayyit, Studi
Kasus (Dusun Sidorejo, Desa Sambungrejo, Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang) Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosahkan. Demikian Nota Pembimbing ini kami sampaikan, atas perhatian bapak kami sampaikan terimakasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Jepara, 19 September 2012 Pembimbing
(Hudi S.H.I., M.S.I)
iii
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan. Jepara, 20 September 2015
iv
MOTTO
ٍ أستغفر هللا من نسبت به نسالً لذي عُقـ ــُم قول بال عمـ ـ ٍـل لقد ُ ُ “Saya mohon ampun kepada Allah atas ucapan tanpa perbuatan, Kusamakan itu dengan keturunan bagi orang mandul.”
v
PERSEMBAHAN Dengan penuh perjuangan, dengan iringan kesabaran, doa, air mata dan ketegaran, ku lalui hari-hari yang terus berputar untuk menemukan secercah ilmu untuk menerangi kehidupan. Dari mulai semester 1 sampai semester 8 ini di UNISNU JEPARA. Dengan segala usaha dan jerih payah, ku persembahkan skripsi ini kepada: 1. Ayah dan Ibuku tercinta yang selalu mencurahkan kasih sayangnya dan mendidikku tanpa keluh kesah 2. Kakak adikku tersayang, mas abu, dek lia, dek wada, dek rida, dan dek bela yang selalu memberikan keceriaan dihidupku, serta seluruh keluarga besarku yang selalu memberi dukungan dan doa. 3. Teman-temanku seperjuangan, mbahe, gajuly, bafron, sikul, dan hendro, yang selalu memberiku semangat dan dukungan tiada henti. Satu kata buat kalian “IMBA COY” 4. Bapak dan Ibu dosen UNISNU JEPARA yang dengan ikhlas menularkan ilmu dan selalu menyemangatiku 5. Semua teman-teman tercinta yang selalu menemaniku selama meniti perjuangan dalam mencari ilmu yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu 6. Almamaterku Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) JEPARA tercinta & yang kubanggakan. Semoga semua yang kita lakukan diridhoi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa cahaya penerang bagi umat manusia untuk senantiasa menjalankan kewajiban sebagai hamba Allah. Penulis dengan sungguh-sungguh menyusun skripsi yang berjudul “ANALISIS PRAKTEK SHALAT QADHA’ UNTUK MAYYIT STUDI KASUS DUSUN SIDOREJO DESA SAMBUNG REJO KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG” ini untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S. 1) dalam Fakultas Syariah di UNISNU JEPARA. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terealisasikan. Maka dari itu penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhtarom, HM. Selaku Rektor UNISNU Jepara 2. Bapak Drs. H. Ahmad Barowi TM, M. Ag. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Program Studi Al-Akhwa Al-Syakhshiyyah. 3. Bapak Hudi, S.H.I., M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan fikirannya untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dan perbaikan dalam penyusunan skripsi ini 4. Beserta seluruh petugas perpustakaan yang telah memberikan layanan perpustakaan yang diperlukan untuk mendukung dalam penyusunan skripsi ini 5. Para dosen/staf di lingkungan UNISNU JEPARA yang membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini 6. Teman dekatku yang selalu setia menemani suka dukaku selama empat tahun ini. 7. Teman-teman seperjuangan dari Fakultas Syari’ah dan Hukum program Studi AS (al Ahwal al Syakhshiyyah) khususnya angkatan 2011 Unisnu Jepara,
vii
segenap pihak yang membantu dalam penyusuan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Atas segala jasa, bantuan dan bimbingannya, penulis merasa berhutang budi yang tiada mampu membalasnya terkecuali hanya memanjatkan do’a “Jazakumullah ahsana al-jaza, Jazakumullah khairan katsira.” Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.
viii
ABSTRAK Shalat merupakan ibadah wajib bagi setiap umat Islam. Kewajiban shalat berada tepat setelah kewajiban syahadat. Dalam histori diperintahkannya shalat juga sangat istimewa, karena shalat diperintahkan langsung oleh Allah kepada nabi Muhammad dalam peristiwa isra’ mi’raj. Shalat harus dilakukan dalam keadaan apapun, baik itu sehat maupun sakit, dilaksanakan dengan berdiri, bila tidak mampu berdiri maka dilaksanakan dengan duduk, bila tidak mampu dilaksanakan dengan duduk maka dilaksakan dengan berbaring, kecuali bagi mereka yang haid dan nifas, itupun mereka tanpa harus mengganti shalat-shalat yang ditinggalkannya. Pada praktek pelaksanaan shalat, masih ada sebagian orang yang belum mengetahui tentang tata cara melaksanakan shalat ketika dalam keadaan sakit. Sehingga mereka lebih cenderung untuk meninggalkan shalat, karena tidak mengetahui tata cara shalat dalam keadaan sakit tersebut. Dan pada akhirnya sampai matipun mereka masih meninggalkan tersebut. Di dusun Sidorejo desa Sambungrejo kecamatan grabag kabupaten Magelang masyarakat mempunyai sebuah kebiasaan yaitu untuk membayarkan shalat orang yang telah meninggal tersebut. Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk mengumpulkan pendapat para ulama’ tentang status shalat qadha’ untuk mayyit tersebut. Kemudian menganalisa tentang praktek shalat qadha’ untuk mayyit yang dilaksanakan oleh warga dusun Sidorejo tersebut. Hasil dari pengumpulan pendapat para ulama’ adalah. Sebagian ada yang berpendapat boleh untuk melaksanakan shalat qadha’ untuk mayyit, dan sebagian lagi tidak membolehkan shalat qadha’ untuk mayyit. Menganggapi perbedaan ulama’ tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa shalat qadha’ untuk mayyit merupakan suatu usaha bagi kita untuk menolong si mayyit tersebut dalam keadaan darurat. Adapun mengenai apakah amalan tersebut akan sampai pada simayyit ataupun tidak, disitu bukanlah ruanglingkup penulis akan tetapi sudah menjadi hak perogratif Allah SWT. Sedangkan dalam praktek pelaksanaan sha;at qadha’ untuk mayyit di dusun Sidorejo. Praktek pelaksanaan shalat qadha’ untuk mayyit tersebut telah sesuai dengan aturan fiqih. Ditinjau mulai dari niatnya, dan cara menghitung shalat yang ditinggalkan.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
ii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ............................................................
iii
HALAMAN DEKLARASI ............................................................................
iv
HALAMAN MOTTO ....................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN.....................................................................
vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................
vii
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................
x
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang ............................................................................
1
B. Penegasan Judul .........................................................................
3
C. Rumusan Masalah .......................................................................
4
D. Tujuan Penelitian............................. ...........................................
4
E. Manfaat Penelitian ..................................................................... .
5
F. Kajian Pustaka ............................................................................
5
G. Metode Penelitian........................................................................
7
H. Sistimatika Penulisan............................................................ ......
9
BAB II LANDASAN TEORI ......................................................................
13
A. Pengertian Shalat
....................................................................
13
B. Dasar Hukum Shalat...................................................................
14
C. Waktu PelaksanaanShalat ........................................................ ..
17
D. Pengertian Qadha’ ....................................................................
21
E. Orang yang Berkewajiban Qadha’ .............................................
22
1. Meninggalkann Shalat Dengan Sengaja.............................
23
2. Murtad ................................................................................
24
3. Orang Gila yang Telah Sembuh .........................................
25
4. Orang Ayan yang Telah Sadar ...........................................
26
x
5. Anak Kecil .........................................................................
27
6. Orang yang Masuk Islam di Daerah Kafir Harbi ...............
28
7. Orang yang tidak menemukan dua alat untuk bersesuci ....
28
BAB III PRAKTEK SHALAT QADHA’ UNTUK MAYYIT ..................
30
A. Gambaran Umum Desa Sambungrejo ........................................
30
1. Letak Geografis ..................................................................
31
2. Jumlah Penduduk ...............................................................
31
3. Kondisi Ekonomi ...............................................................
33
B. Praktik Pelaksanaan Shalat Qadha’ Untuk Mayyit ....................
34
BAB IV ANALISIS PRAKTEK SHALAT QADHA’ UNTUK MAYYIT DI DUSUN SIDOREJO ...................................................................................... A. Analisis
Pendapat
Ulama’
Tentang
Shalat
Qadha’
Mayyit............... ........................................................................
38 untuk 38
1. Pendapat dan Dasar yang Membolehkan Shalat Qadha’ Untuk Mayyit ................................................................................
38
2. Pendapat dan Dasar yang Tidak Membolehkan Shalat Qadha’ Untuk Mayyit .....................................................................
41
B. Analisis Praktek Pelaksanaan Shalat Qadha’ Untuk Mayyit Di Dusun Sidorejo.......... ................................................................
46
BAB V KESIMPULAN………………… ....................................................
80
A. Kesimpulan……. .......................................................................
49
B. Saran....................... ....................................................................
50
C. Kata Penutup............................................................................ .
51
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Shalat merupakan ibadah wajib bagi setiap umat Islam. Kewajiban shalat
berada
tepat
setelah
kewajiban
syahadat.
Dalam
histori
diperintahkannya shalat juga sangat istimewa, karena shalat diperintahkan langsung oleh Allah kepada nabi Muhammad dalam peristiwa isra’ mi’raj. Kewajiban menunaikan shalat ditetapkan dengan dalil Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan shalat antara lain:
ك َوَما أُم ُروا إاَّل ليَـ ْعبُ ُدوا ا يموا ال ا َ ص َالةَ َويـُ ْؤتُوا الازَكا َة َوذَل َ اَّللَ ُمُْلص ُ ين ُحنَـ َفاءَ َويُق َ ني لَهُ الد ين الْ َقي َمة ُد Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus (Q.S.al-Bayyinah:5)1
Kewajiban menunaikan shalat diketahui secara mendasar dan pasti (ma’luumun bidh-dharuurah). Barang siapa yang mengingkarinya, maka ia telah keluar dari Islam (murtad). Apabila ia bertaubat, maka taubatnya diterima. Sedangkan jika tidak bertaubat, maka hukumannya dibunuh berdasarkan ijma’ para ulama.2
1
Dept. Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:dept. Agama RI, 1971), Hlm.
1084 2
Al-fauzan, Saleh. Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press. 2005), hlm. 58
1
Status hukum shalat adalah wajib ‘aini dalam arti kewajiban yang ditujukan kepada setiap orang yang telah dikenai beban hukum (mukallaf), dan kewajiban shalat itu tidak hilang kecuali dilakukannya sendiri sesuai dengan ketentuan pelaksanaannya dan tidak dapat diwakilkan, karena yang dikehendaki Allah dalam shalat itu adalah melaksanakannya sendiri sebagai tanda kepatuhan kepada Allah.3 Shalat harus dilakukan dalam keadaan apapun, baik itu sehat maupun sakit, dilaksanakan dengan berdiri, bila tidak mampu berdiri maka dilaksanakan dengan duduk, bila tidak mampu dilaksanakan dengan duduk maka dilaksakan dengan berbaring, kecuali bagi mereka yang haid dan nifas, itupun mereka tanpa harus mengganti shalat-shalat yang ditinggalkannya.4 Ketika seseorang melakukan perjalanan jauh, syari’at Islam memberi keringanan dalam hal Shalat, diperbolehkan untuk menjama’ (mengumpulkan) dua shalat menjadi satu waktu, ataupun mengqoshor (meringkas) jumlah rakaat shalat yang semula empat rakaat menjadi dua rakaat. Keringanan-keringanan
dalam
menjalankan
shalat
tersebut
menunjukkan betapa pentingnya shalat sehingga tidak boleh ditinggalkan sama sekali. Ketika dalam keadaan yang sulit syari’at Islam memberikan solusi supaya manusia tetap bisa melaksanakan shalat. Syariat Islam memberikan kemudahan dalam menjalankan Shalat bagaimanapun keadaannya. Hal ini menunjukkan bahwa shalat itu merupakan 3
Syarifuddin, Amir. Prof. Dr. Garis-garis besar fiqh, (Bandung: kencana. 2003) hlm. 21 Skirpsi karya Dianatus Saadah, Aspek Psiko-religius Ibadah Shalat “Kajian Terhadap Buku Psikologi Shalat Karya Sentot Haryanto” (Institut Islam Nahdlatul Ulama’ Jepara. 2011) hlm. 1 4
2
kewajiban yang sangat pokok, dan harus dikerjakan sendiri oleh setiap muslim. Adapun salah satu praktek shalat di dusun Sidorejo, desa Sambung rejo, kecamatan Grabag yang tidak lazim didaerah lain, yaitu “shalat qadha’ untuk mayyit.” Praktek shalat qadha’ untuk mayyit yaitu melakukan shalat dengan tujuan membayarkan shalat yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Hal ini dilakukan dengan cara shalat berjama’ah di masjid setelah shalat isya’ dengan bilangan tertentu sesuai jumlah Shalat yang ditinggalkan oleh si mayyit sewaktu masih hidup. Melihat fenomena shalat qadha’ untuk mayyit tersebut, seakan-akan dapat mewakilkan ibadah shalat untuk orang lain. Padahal shalat merupakan kewajiban bagi masing-masing umat Islam yang tetap harus dilakukan sendiri dalam keadaan bagaimanapun. Atas dasar latar belakang itulah, penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana praktek Shalat qadha’ untuk mayyit di Dusun Sidorejo, Desa Sambung Rejo, Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang dan bagaimana praktek Shalat qadha’ untuk mayyit di Dusun Sidorejo, apakah diperbolehkan/ dianggap sah oleh hukum Islam atau tidak. Sehingga penulis akan membahas skripsi ini dengan judul : Analisis praktek shalat qadha’ untuk mayyit B. PENEGASAN JUDUL Penulis dalam penegasan judul akan membahas pengertian beberapa kata yang dianggap penting agar pembahasan dapat terfokus pada permasalahan dan tidak menyimpang dari maksud yang di inginkan
3
1. Shalat Shalat secara bahasa berarti do’a.5 Sedangkan shalat secara istilah adalah suatu ucapan dan pekerjaan yang di awali dengan takbiratul ihram dan di akhiri dengan salam, disertai niat dan dengan beberapa syarat yang di khususkan.6 2. Qadha’ Qadha’ berasal dari kata dasar qadha yaqdhi yang berarti melaksanakan.7 Sedangkan secara istilah menurut Ibnu Abidin qadha’ berarti melaksanakan pekerjaan wajib setelah waktunya terlewatkan, ketika masih dalam waktunya belum mengerjakan.8 C. Rumusan Masalah Dalam skripsi ini memilih beberapa permasalahan diantaranya: 1. Apa landasan hukum syar’i tentang pelaksanaan shalat qadha’ untuk mayyit ? 2. Bagaimana praktek pelaksanaan shalat qadha’ untuk mayyit ? D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dasar hukum tentang pelaksanaan shalat qadha’ untuk mayyit
5
Munawwir, Ahwad Warson. Al-Munawwir kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif.2002) hlm. 792 6 Kementrian wakaf dan urusan Agama Kuwait. aplikasi Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah.( Kuwait: Kementrian wakaf dan urusan Agama Kuwait.2007 ) juz.27 hlm.51 7 Munawwir, Ahwad Warson. Al-Munawwir kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif.2002) hlm.1130 8 Kementrian wakaf dan urusan Agama Kuwait. aplikasi Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah.( Kuwait: Kementrian wakaf dan urusan Agama Kuwait.2007 ) juz.34 hlm.22
4
2. Untuk mengetahui bagaimana praktek pelaksanaan shalat qadha’ untuk mayyit E. Manfa’at 1. Manfaat praktis Diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat di kabupaten Magelang khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya, agar mengetahui dasar hukum pelaksanaan shalat qadha’ untuk mayyit. 2. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi studi Islam pada khususnya dan pengembangan khasanah ilmu pengetahuan pada umumnya. Dan juga diharapkan semoga dapat menjadi referensi untuk penelitian berikutnya. F. Kajian pustaka beberapa buku di bawah ini penulis gunakan sebagai referensi dalam pembuatan proposal skipsi, antara lain : 1. Penelitian terdahulu a. Skripsi berjudul “Perspektif hukum Islam tentang penggunaan dua bahasa dalam shalat (Studi Kasus pondok pesantren “al-i’tikaf jama’ah ngaji lelaku” Lawang Malang Jawa Timur)” karya Abadi. Dalam skipsi tersebut menekankan pembahasan mengenai keabsahan shalat dengan bahasa Indonesia. Letak perbedaan dengan yang penulis susun adalah lebih menekankan pada praktik shalat qadha’ untuk mayyit, serta dasar hukumnya.
5
b. Skirpsi berjudul Aspek Psiko-religius Ibadah Shalat “Kajian Terhadap Buku Psikologi Shalat Karya Sentot Haryanto” karya Dianatus Saadah. Skripsi tersebut mengkaji buku dari sentot haryanto, dimana dalam buku tersebut menyajikan tentang ibadah shalat mulai dari sejarah dan makna, serta dimensi psikologis isra’ mi’raj dimana ibadah shalat diperintahkan. Perbedaan dengan yang penulis susun adalah mengkaji fenomena praktek shalat qadha’ bagi mayit pada suatu daerah yang tidak ditemui pada daerah lain pada umumnya. c. Skripsi berjudul “Studi Komparatif Antara Ulama’ Syafi’iyyah dengan Ibnu Hazm Tentang Status Shalat Qadla’ Terhadap Shalat yang Ditinggalkan dengan Sengaja” karya Zamroni. Skripsi tersebut membahas mengenai pendapat antara ulama’ Syafi’iyyah dan Ibnu Hazm tentang kewajiban qadha’ pada shalat yang ditinggalkan secara sengaja. Perbedaan dengan skripsi penulis yaitu, penulis meneliti tentang qadha’ yang dilakukan dengan tujuan menggantikan shalat orang lain yang sudah meninggal. 2. Deskripsi Buku a. Terjemahan fathul mu’in karya Ali as’ad yang menyangkut pembahasan hukum Islam secara umum. b. Fiqih Islam wa adillatuhu, kitab yang di karang oleh Prof. Dr. Wahbah Zuhaili. Kitab ini membahas aturan-aturan syariah Islamiyah yang disandarkan kepada dalil-dalil yang shahih.
6
c. Fiqih empat madzhab karya Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Buku ini adalah buku fiqih klasik dalam empat mazhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah yaitu, Hanafi, Syafi'i, Maliki, dan Hanbali yang disusun sedemikian rupa oleh seorang ulama fiqih terkemuka, Syaikh al-'Allamah Muhammad bin 'Abdurrahman adDimasyqi. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengkonsumsikan bahwa kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi dalam suatu kompleks sosial kultural yang saling terkait satu sama lain.9 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, artinya penelitian yang menggambarkan secara obyektif masalah-masalah yang ada, guna mendiskripsikan pelaksanaan SHALAT QADHA’ UNTUK MAYYIT DI DUSUN SIDOREJO, DESA SAMBUNG REJO, KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG, dan selanjutnya dilakukan analisis hukum Islam untuk mendapatkan kejelasan hukumnya. 3. Teknis Pengumpulan Data Lazimnya dalam sebuah penelitian, dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka. Yang 9
M. Sayuti Ali. Metodologi Penelitian Agama. (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada.2012). hlm 59
7
pertama disebut data primer atau data dasar dan yang kedua dinamakan data sekunder.10 Untuk memperoleh bahan-bahan atau data-data tersebut, maka teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah:: a. Data Primer Data primer adalah data yang dapat diperoleh langsung dari sumber pertama,11 yakni melalui: 1) Wawancara Metode wawancara ini memakai wawancara mendalam (depth interview).12 Peneliti melakukan wawancara mendalam terhadap para pihak yang biasanya melakukan praktek Shalat qadha’ untuk mayyit di Dusun Sidorejo. 2) Observasi Peneliti
menggunakan
teknik
observasi
partisipasi
(participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden.13 b. Data Sekunder Data Sekunder antara lain mencakup, dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press 2006), hlm 12 Ibid.,hlm. 12 12 Burhan Ashshofa. metode Penelitian Hukum. (Jakarta: PT Rineka Cipta.2004). hlm 61 13 Ibid.,hlm. 61 11
8
harian, dan seterusnya.14 Data sekunder yang akan penulis gunakan meliputi: 1) Hasil penelitian terdahulu 2) Buku-buku yang berkaitan dengan judul yang penulis angkat 3) Kitab-kitab fiqih, dan kitab-kitab hadits 4. Pendekatan Penelitian Penyusun menggunakan pendekatan normative, yang berdasarkan pada norma-norma hukum Islam agar dapat memecahkan permasalahan tentang praktek Shalat qadha’ untuk mayyit. 5. Teknik Analisis Data Analisa yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu suatu metode yang bertujuan untuk menggambarkan, menjelaskan, menganalisa dan menginterpretasikan suatu kejadian yang terjadi pada saat itu agar diperoleh informasi yang lengkap dan jelas.15 Dengan pendekatan yuridis dalam hal ini penulis mencoba menganalisa tentang praktek Shalat qadha’ untuk mayyit di Dusun Sidorejo dengan praktek shalat yang ada dalam teori mata kuliah Fiqih Ibadah. H. SISTIMATIKA PENULISAN Untuk memudahkan penulisan dan pembahasan dalam penelitian ini, maka penulis menuangkan dalam beberapa bab, sebagai berikut: 1. Bagian muka terdiri:
14
Opcit., hlm. 12 Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), Cet. Ke-2, hlm. 269 15
9
a. Halaman sampul b. Halaman judul c. Halaman nota persetujuan pembimbing d. Halaman pengesahan e. Pernyataan f. Motto g. Persembahan h. Kata pengantar i. Abstraksi j. Daftar isi dan daftar tabel 2. Bagian isi terdiri dari: Bab I yaitu : PENDAHULUAN yang menggambarkan isi dan bentuk penelitian yang meliputi: a. Latar belakang masalah b. Penegasan Judul c. Rumusan masalah d. Tujuan penelitian e. Manfaat penelitian f. Kajian pustaka g. Metode penelitian h. Sistematika penulisan BAB II yaitu : LANDASAN TEORI Membahas tentang Hukum Shalat :
10
a. Pengertian Shalat b. Dasar Hukum Shalat c. Waktu Pelaksanaan Shalat d. Pengertian qadha’ dan hal-hal yang menyebabkannya BAB III yaitu : PRAKTEK SHALAT QADHA’ UNTUK MAYYIT Dalam bab ini membahas tentang: a. Gambaran Umum Desa Sambung Rejo b. Praktek Shalat qadha’ untuk mayyit di Dusun Sidorejo BAB IV yaitu : ANALISIS PRAKTEK SHALAT QADHA’ UNTUK MAYYIT Pada bab ini berisi tentang : Analisis terhadap pelaksanaan shalat qadha’ untuk mayyit di Dusun Sidorejo yang meliputi: a. Analisis tentang landasan hukum syar’i tentang pelaksanaan shalat qadha’ untuk mayyit b. Analisis Terhadap Praktek Shalat qadha’ untuk mayyit BAB V yaitu : PENUTUP Bab terakhir ini membahas tentang: a. Kesimpulan b. Saran-saran c. Kata Penutup 3. Bagian akhir terdiri Pada bagian akhir ini terdiri dari:
11
Daftar pustaka Daftar riwayat pendidikan penulis Lampiran-lampiran Cover belakang
12
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Shalat Shalat secara bahasa berarti doa.16 Disebutkan dalam al-Qur’an surah at-tubah ayat 103
ك َس َك ٌن َِلُ ْم َو ا َ َص َالت َ صل َعلَْيه ْم إ ان َ ص َدقَةً تُطَه ُرُه ْم َوتُـَزكيه ْم ِبَا َو َ ُخ ْذ م ْن أ َْم َواِل ْم ُاَّلل 17 يم ٌ ََس ٌ يع َعل “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Lafadz sholli pada ayat diatas berarti berdo’alah. Arti shalat sebagai do’a juga disebutkan dalam hadits Nabi
ٍ ٍ ين َع ْن ُ َح ادثـَنَا أَبُو بَكْر بْ ُن أَِب َشْيبَةَ َح ادثـَنَا َح ْف َ ص بْ ُن غيَاث َع ْن ه َشام َع ْن ابْن سري ب فَإ ْن َكا َن صلاى ا ول ا ُ أَِب ُهَريْـَرَة قَ َال قَ َال َر ُس َ اَّلل ْ َح ُد ُك ْم فَـ ْليُج َ اَّللُ َعلَْيه َو َسلا َم إ َذا ُدع َي أ صل َوإ ْن َكا َن ُم ْفطًرا فَـ ْليَطْ َع ْم َ ُصائ ًما فَـ ْلي َ “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Hisyam dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika salah seorang dari kalian diundang, hendaknya ia penuhi undangan tersebut, jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mendo'akannya, dan jika ia sendang tidak berpuasa, hendaknya ia memakannya."18
16
Ahwad Warson Munawwir. Al-Munawwir kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif.2002) hlm. 792 17 Dept. Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:dept. Agama RI, 1971), hlm. 297 18 Muslim Bin Al-Hajjaj Abu Al-Hasan Al-Qusyairi An-Nasaburi. al-musnad ash-shahih al-mukhtashar bin-naqli al-adl ila RasuliLlah SAW (Beirut: Dar Ihya al-turath al-Arabi) hlm.1054
13
Ash-Shiddieqy (1983) menambahkan bahwa perkataan shalat dalam bahasa Arab berarti do’a memohon kebajikan dan pujian.19 Dinamakan dengan shalat karena ia mecakup doa-doa. Orang yang sedang melakukan shalat, ucapannya tidak terlepas dari doa ibadah, doa pujian, atau doa permohonan.20 Shalat secara istilah ulama’ hanafiyah mendefinisikan shalat sebagai berikut
الس ُجود ُّ الرُكوع َو ُّ ومة م َن الْقيَام َو ْ ه َي َ ُاس ٌم ِلَذه األَفْـ َعال الْ َم ْعل “Shalat adalah nama dari pekerjaan yang didalamnya terdapat berdiri, ruku’, dan sujud”.21 Sedangkan ulama’ jumhur mendifinisikan shalat sebagai berikut
وص ٍة ٌ ه َي أَقْـ َو ٌال َوأَفْـ َع َ اسليم َم َع النياة ب َشَرائ َ ص ُ َْط ُم ْ ال ُم ْفتَتَ َحةٌ بالتاكْبري ُمُْتَتَ َمةٌ بالت “Shalat adalah ucapan, dan perbuatan yang diawali dengan takbir, diakhiri dengan salam disertai niat dan syarat yang telah ditentukan.”22 Sentot haryanto berpendapat bahwa secara dimensi fiqh, shalat adalah beberapa ucapan atau rangkaian ucapan dan perbuatan (gerakan) yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah, dan menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama.23 B. Dasar Hukum Shalat
19
Sentot Haryanto, Psikologi Shalat ( Yogyakarta: Mitra Pustaka.2007) hlm. 59 Al-fauzan Saleh, Fiqih Sehari-hari (Jakarta: Gema Insani.2006) hlm. 59 21 Kementrian wakaf dan urusan Agama Kuwait. aplikasi Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah.( Kuwait: Kementrian wakaf dan urusan Agama Kuwait.2007 ) juz.27 hlm. 51 22 Ibid., hlm.51 23 Sentot Haryanto, Psikologi Shalat, ( Yogyakarta: Mitra Pustaka.2007) hlm. 60. 20
14
Shalat ditinjau dari segi sejarah diperintahkannya, shalat merupakan ibadah yang paling istimewa karena shalat diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. di malam isra’ dan mi’raj. Hal ini menunjukkan keagungan serta ketinggian posisi dan kewajibannya di hadapan Allah.24 Shalat mempunyai posisi yang penting dalam Islam, hal ini dibuktikan bahwa shalat menempati urutan kedua dalam rukun Islam, setelah membaca dua kalimat syahadat, dalam hadits disebutkan:
َخبَـَرنَا َحْنظَلَةُ بْ ُن أَِب ُس ْفيَا َن َع ْن عكْرَمةَ بْن َخال ٍد َح ادثـَنَا عُبَـْي ُد ا ْ وسى قَ َال أ َ اَّلل بْ ُن ُم ا ِن ْاْل ْس َال ُم صلاى ا ول ا ُ اَّللُ َعْنـ ُه َما قَ َال قَ َال َر ُس َع ْن ابْن عُ َمَر َرض َي ا َ اَّلل َ ُاَّللُ َعلَْيه َو َسل َم ب ٍ ََْعلَى َخ ص َالة َوإيتَاء الازَكاة ول ا ُ اَّللُ َوأَ ان ُُمَ ام ًدا َر ُس س َش َه َادة أَ ْن ََّل إلَهَ إاَّل ا اَّلل َوإقَام ال ا ضا َن ْ َو َ ص ْوم َرَم َ اْلَج َو “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Musa dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Hanzhalah bin Abu Sufyan dari 'Ikrimah bin Khaliddari Ibnu Umar berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadlan.”25
Status hukum shalat adalah wajib ‘aini dalam arti kewajiban yang ditujukan kepada setiap orang yang telah dikenai beban hukum (mukallaf), dan kewajiban shalat itu tidak hilang kecuali dilakukannya sendiri sesuai dengan ketentuan pelaksanaannya dan tidak dapat diwakilkan, karena yang
24
Al-fauzan, Saleh Fiqih Sehari-hari (Jakarta: Gema Insani.2006) hlm. 58 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al-ja’fi, Al-Jami' Al-Musnad AshShahih Al-Mukhtasar Min Umuri Rasulillah SAW Wa Sunanihi Wa Ayyamihi=Shahih Bukhari, (dar thuq an-najah. 1422h). hlm. 11 juz 1 25
15
dikehendaki Allah dalam shalat itu adalah melaksanakannya sendiri sebagai tanda kepatuhan kepada Allah.26 Firman Allah SWT:
يموا ص َالةَ فَاذْ ُك ُروا ا ضْيتُ ُم ال ا َ َفَإ َذا ق ً ُاَّللَ قيَ ًاما َوقُـع ُ ودا َو َعلَى ُجنُوب ُك ْم فَإ َذا اطْ َمأْنَـْنتُ ْم فَأَق ني كتَابًا َم ْوقُوتًا ص َال َة إ ان ال ا ال ا ْ َص َال َة َكان َ ت َعلَى الْ ُم ْؤمن “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalatmu, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”27
Shalat merupaka satu-satunya ibadah untuk membedakan antara orang muslim dan orang kafir. Rasulullah bersabda.
َخبَـَرنَا ْ َح ادثـَنَا ََْي ََي بْ ُن ََْي ََي التاميم ُّي َوعُثْ َما ُن بْ ُن أَِب َشْيبَةَ ك َال ُُهَا َع ْن َجري ٍر قَ َال ََْي ََي أ صلاى ا ت الن ا ُ ت َجابًرا يَـ ُقوَُّل ََس ْع ُ َجر ٌير َع ْن ْاأل َْع َمش َع ْن أَِب ُس ْفيَا َن قَ َال ََس ْع َ اِب ُاَّلل ص َالة ُ َعلَْيه َو َسلا َم يَـ ُق ني الش ْرك َوالْ ُك ْفر تَـ ْرَك ال ا َ ْ ني الار ُجل َوبَـ َ ْ ول إ ان بَـ “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya at-Tamimi dan Utsman bin Abu Syaibah keduanya dari Jarir. Yahya berkata, telah mengabarkan kepada kami Jarir dari al-A'masy dari Abu Sufyan dia berkata, saya mendengar Jabir berkata, "Saya mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh, yang membedakan antara seorang laki-laki dengan kesyirikan dan kekufuan adalah meninggalkan shalat".28
Umat Islam sepakat bahwa siapa yang mengingkari kewajiban shalat, maka dia menjadi kafir (murtad). Karena, kewajiban shalat telah ditetapkan dengan dalil qath’I dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’, seperti yang telah dijelaskan di atas. Orang yang meninggalkan shalat karena malas (takaasul) dan tidak mengambil sikap peduli (tahaawun) terhadap shalat, maka dia
26 27
Syarifuddin, Amir. Prof. Dr. Garis-garis besar fiqh, (Bandung: kencana. 2003) hlm. 21 Dept. Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:dept. Agama RI, 1971), hlm.
138 28
Muslim Bin Al-Hajjaj Abu Al-Hasan Al-Qusyairi An-Nasaburi, Op.Cit., hlm. 88 juz 1
16
dianggap fasik dan maksiat. Kecuali, jika orang tersebut baru saja memeluk Islam (dan baru mengenal ajaran-ajaran Islam).29 C. Waktu Pelaksanaan Shalat Ibadah shalat wajib, dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. Kewajiban menjalankan shalat dalam satu hari satu malam terdapat lima waktu, yakni dimulai dengan subuh, zhuhur, ashar, maghrib, dan isya’. Waktuwaktu tersebut mempunyai batasan mulainya hingga berakhirnya sebuah waktu shalat. Adapun pembahasan lebih rinci terhadap waktu shalat sebagai berikut: 1. Waktu Subuh Para ulama’ tidak berbeda pendapat mengenai permulaan waktu subuh, yakni dimulai dari terbitnya fajar shadiq.30 Fajar shadiq adalah cahaya putih yang tampak terang yang berada sejajar dengan garis lintang ufuk. Ia berlainan dengan fajar kadzib yang naik bentuknya memanjang mengarah ke atas di tengah-tengah langit seperti ekor serigala hitam.31 Jumhur ulama’ menyatakan waktu subuh berakhir ketika terbit matahari. Berdasarkan hadits,
س َ ني يَطْلُ ُع الْ َف ْج ُر َوإ ان آخَر َوقْت َها ح َ إ ان أ اَوَل َوقْت الْ َف ْجر ح ْ ني تَطْلُ ُع الش ُ ام awal shalat subuh adalah ketika terbit fajar, dan akhir waktunya adalah ketika matahari terbit32 2. Waktu Zhuhur
29
Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani: 2010) hlm. 546 Kementrian wakaf dan urusan Agama Kuwait, Op.Cit., 7 hlm 171 31 Wahbah Az-zuhaili, Op.Cit., hlm. 551 32 At-Turmudzi, Abu Isa Bin Muhammad Bin Isa Binsaurah Bin Musa Bin Ad-Dahhak aljami' al-kabir-sunan at-tirmidzi (Beirut: Darul Gharbi Al Islamiy.1998) hlm 220 juz 1 30
17
Waktu zhuhur dimulai dari tergelincirnya matahari (ba’da az-zawal) sampai bayang-bayang suatu benda menjadi sama panjang dengannya. Tergelincirnya matahari adalah apabila matahari mulai condong kebarat dari kedudukannya di tengah-tengah langit. Dinamakan halah istiwa’. Apabila matahari berpindah dari timur ke barat, maka berlakulah proses tergelincirnya matahari.33 Masuknya waktu zhuhur (ba’da az-zawal) dapat diketahui dengan melihat bayangan dari suatu benda yang berdiri tegak. Jika bayangan masih berada di sebelah barat benda, maka waktu ini dinamakan (qabla az-zawal). Jika bayangan tepat di tengah benda, tidak condong ke barat maupun condong ke timur, maka waktu ini dinamakan dengan waktu istiwa’. Jika bayangan benda sudah berada di sisi sebelah timur benda, maka waktu ini dinamakan dengan ba’da zawal dan masuk waktu zhuhur. 3. Waktu Ashar Waktu Ashar mulai setelah berakhirnya waktu zhuhur.34 Mengenai tentang permulaan waktu ashar ini ada dua perbedaan pendapat yaitu antara pendapat Imam Hanafi dan pendapat jumhur. Yang pertama pendapat dari Imam Hanafi yaitu sebagai berikut 35
َوعْن َد أَِب َحني َفةَ م ْن حني الزيَ َادة َعلَى الْمثْـلَ ْني
“Dan menurut Abi Hanifah dari saat lebihnya dua kali benda.”
33
Wahbah Az-zuhaili, Op.Cit., hlm. 552 Ibid., hlm. 553 35 Ibid., hlm. 173 34
18
Sedangkan para jumhur ulama’ termasuk didalamnya ada para ulama’ dari madzhab Hanafi yaitu Abu yusuf dan Muhammad bin Hasan berpendapat 36
حني الزيَ َادة َعلَى الْمثْل
“Dari saat bayangan melebihi dari benda.” Tentang berakhirnya waktu ashar menurut kesepakatan seluruh ulama’. Waktu ashar berakhir beberapa saat sebelum matahari tenggelam.37 Hal ini berdasarkan hadits.
ُّ س فَـ َق ْد أ َْد َرَك ُّ َم ْن أ َْد َرَك َرْك َعةً م ْن ًالصْب َح َوَم ْن أ َْد َرَك َرْك َعة ْ الصْبح قَـْب َل أَ ْن تَطْلُ َع الش ُ ام صَر ْ س فَـ َق ْد أ َْد َرَك الْ َع ْ م ْن الْ َع ْ ب الش َ صر قَـْب َل أَ ْن تَـ ْغ ُر ُ ام “Barangsiapa mendapatkan satu rakaat shalat subuh sebelum matahari terbit, berarti ia mendapatkan shalat subuh, dan barangsiapa mendapatkan satu rakaat shalat ashar sebelum matahari tenggelam, berrati ia telah mendapatkan shalat ashar.”38
4.Waktu Maghrib Waktu maghrib dimulai dengan terbenamnya matahari, hal ini disepakati oleh seluruh ulama’.39 Akan tetapi mengenai habisnya waktu maghrib ada perbedaan pendapat. Pendapat pertama dari jumhur (ulama’ Hanafi, Hambali, dan qaul qadim madzhab Syafi’i) ia berlangsung hingga hilang waktu syafaq (m uncul cahaya merah).40 Berdasarkan dalil hadits,
ب ال اش َف ُق ُ َْوق َ ت ْ ص َالة الْ َم ْغرب َما ََلْ يَغ 36
Ibid., hlm. 173 Wahbah Az-zuhaili, Op.Cit., hlm. 553 38 Muslim Bin Al-Hajjaj Abu Al-Hasan Al-Qusyairi An-Nasaburi, Op.Cit., hlm 424 juz 1 39 Wahbah Az-zuhaili, Op.Cit., hlm 554 40 Ibid.,hlm. 554 37
19
“dan waktu shalat maghrib selama mega merah (syafaq) belum menghilang”41 Syafaq menurut Abu Yusuf, Muhammad Hasan Asy-Syaibani, ulama’ madzhab Hambali dan ulama’ Syafi’i adalah syafaq ahmar (cahaya merah). Sedangkan berdasarkan kata-kata Ibnu Umar, asy-syafaq adalah alHumrah (merah). Pendapat yang difatwakan dalam madzhab Hanafi adalah pendapat Abu Yusuf dan Muhammad Hasan asy-Syaibani. Pendapat inilah yang menjadi pendapat madzhab tersebut.42 Pendapat kedua adalah pendapat yang masyhur menurut ulama’ Maliki dan pendapat madzhab Syafi’I dalam qoul jadid, akan tetapi pendapat ini tidak diamalkan oleh pengikut-pengikut madzhab Syafi’i. Mereka berpendapat bahwa waktu maghrib selesai dalam kadar mengambil wudhu, menutup aurat, adzan, iqamah, dan lima rakaat. 5.Waktu Isya’ Waktu isya’ dimulai sejak hilangnya mega merah hingga terbitnya fajar shadiq.43 Mengenai berakhirnya waktu isya’ ada dua perbedaan yaitu pendapat pertama dari Imam Hanafi, Syafi’i, dan qaul yang tidak masyhur di madzhab Maliki. Sedangkan pendapat kedua yaitu dari qoul yang masyhur di madzhab Maliki. Imam Hanafi dan dua orang pengikutnya, Imam Syafi’I, dan qoul yang tidak masyhur di madzhab Maliki menyatakan bahwa waktu isya’
41
Muslim Bin Al-Hajjaj Abu Al-Hasan Al-Qusyairi An-Nasaburi, Op.Cit., hlm 427 juz 1 Wahbah Az-zuhaili, Op.Cit.,554 43 Al-jaziri, Syeikh Abdurrahman. Kitab Shalat Fikih Empat Madzhab (Jakarta: PT Mizan Publika.2010) hlm. 21 42
20
berakhir hingga munculnya fajar shadiq. Pendapat ini berdasarkan dari hadits berikut. 44
ني يَطْلُ ُع الْ َف ْج ُر َ َوآخ ُرهُ ح
“dan berakhirnya hingga terbitnya fajar.” Sedangkan pendapat yang kedua yaitu qoul yang masyhur di madzhab maliki yaitu akhir dari waktu isya’ adalah sepertiga malam terakhir. Berdasarkan dengan hadits 45
.
الُهَا ِف الْيَـ ْوم الثااِن ِف ثـُلُث اللاْيل ُ ص َ ُأَناه
“sesungguhnya mereka berdua sholat di hari yang kedua pada sepertiga malam”
D. Pengertian Qadha’ Qadha’ secara bahasa terdapat bermacam-macam arti, sebagaimana berikut: 1. Qadha’ dalam kamus al-munawwir berasal dari kata dasar qadha yaqdhi yang berarti melaksanakan.46 2. Qadha’ bermakna al-ada’ menunaikan/membayar, berdasarkan firman Allah:
ضْيتُ ُم ال ا َص َالة َ َفَإذَا ق 44
Kementrian wakaf dan urusan Agama Kuwait, Op.Cit., hlm.175 Ibid., hlm.175 46 Munawwir, Ahwad Warson. Al-Munawwir kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif.2002) hlm.1130 45
21
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalatmu”47 Dari uraian diatas menunjukkan bahwa qadha’ secara bahasa mempunyai arti bermacam-macam, tergantung pada penerapan kata qadha’ tersebut. Untuk lebih jelasnya jika qadha’ ditinjau dari arti istilah sebagai berikut. Qadha’ secara istilah, Ibnu Abidin berpendapat bahwa qadha’ berarti melaksanakan pekerjaan wajib setelah waktunya terlewatkan, ketika masih dalam waktunya belum mengerjakan.48 Jika diaplikasikan dalam shalat, qadha’ shalat berarti mengerjakan shalat wajib setelah waktunya habis. E. Orang yang berkewajiban Qadha’ Shalat merupakan ibadah yang tidak bisa ditinggalkan dengan alasan apapun. Akan tetapi dalam kehidupan didunia ini, terkadang seseorang terbentur
sesuatu
yang
menghalanginya
untuk
melaksanakan
shalat
sebagaimana mestinya, atau tidak dapat memenuhi syarat rukunnya. Sehingga seseorang tersebut tidak dapat shalat dalam waktunya dan berkewajiban menggantinya (qadha’) di waktu setelahnya. Mengenai ketentuan orang yang meninggalkan shalat, ada dua pembagian, yang pertama tidak berkewajiban untuk qadha’ shalat, yaitu bagi orang yang sedang haidl, nifas, dan orang kafir yang masuk Islam. Pembagian kedua yaitu berkewajiban untuk qadha’ shalat, yaitu bagi orang yang lupa, tertidur, dan mabuk dengan sesuatu yang haram. Hal-hal lain yang menyebabkan diwajibkannya qodho’, ulama’ berbeda pendapat. Adapun hal-hal tersebut sebagai berikut:
47 48
Dept. Agama RI., Op.cit, hlm. 138 Wahbah Az-zuhaili, Op.Cit., hlm.22
22
1. Meninggalkan shalat dengan sengaja Sebagaimana telah disebutkan di awal, bahwa meninggalkan shalat merupakan pebuatan dosa besar, kecuali bagi orang yang tertidur, lupa. Jika meninggalkan shalat karena tertidur atau lupa sudah jelas diwajibkan untuk qadha’ shalat yang ditinggalkannya, berdasarkan sabda nabi Muhammad SAW.
ضم ُّي َح ادثَِن أَِب َح ادثـَنَا الْ ُمثَـ اَّن َع ْن قَـتَ َادةَ َع ْن أَنَس ْ ص ُر بْ ُن َعل ٍي َ اْلَ ْه ْ َو َح ادثـَنَا ن ٍ بن مال ص َالة أ َْو صلاى ا ول ا ُ ك قَ َال قَ َال َر ُس َح ُد ُك ْم َع ْن ال ا َ اَّلل َ اَّللُ َعلَْيه َو َسلا َم إ َذا َرقَ َد أ َ ْ 49 ص َال َة لذ ْكَرى ُ اَّللَ يَـ ُق صل َها إ َذا ذَ َكَرَها فَإ ان ا ول أَق ْم ال ا َ َُغ َف َل َعْنـ َها فَـ ْلي “Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami telah menceritakan kepadaku Ayahku telah menceritakan kepada kami Al Mutsanna dari Qatadah dari Anas bin Malik katanya; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika salah seorang diantar kalian ketiduran dari (tidak mengerjakan) shalat, hendaknya ia mengerjakan ketika ingat, sebab Allah Ta'ala berfirman; Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku."
Disebutkan juga dalam hadits lain
ٍ صل إ َذا صلاى ا َ ُص َالةً فَـ ْلي َ اَّللُ َعلَْيه َو َسلا َم قَ َال َم ْن نَس َي َ َع ْن أَنَس بْن َمالك َع ْن الناِب 50 ذَ َكَرَها “Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Barangsiapa lupa suatu shalat, maka hendaklah dia melaksanakannya ketika dia ingat.”
Secara eksplisitt, dua hadits Nabi SAW ini menjelaskan bahwa yang wajib menqadha’ hanya orang yang meninggalkan shalat dengan tisak
49 50
Muslim Bin Al-Hajjaj Abu Al-Hasan Al-Qusyairi An-nasaburi, Op.Cit., hlm. 477 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al-ja’fi, Op.Cit.,hlm. 122
23
sengaja. Misalnya, tertidur atau lupa. Sedangkan orang yang meninggalkan shalat tanpa udzur seakan-akan tidak wajib mengganti (qadha’).51 Tetapi sebenarnya maksud hadits tersebut tidak seperti itu. Orang yang sengaja tidak mengerjakan shalat, tidak bebas lepas tanpa harus mengganti shalat yang ditinggalkannya. Ia tetap berkewajiban mengqadha’ shalat yang sengaja tidak dikerjakannya. 2. Murtad Adapun orang murtad menurut madzhab hanafi dan maliki berpendapat
tidak
diwajibkan
untuk
menqadha’
shalat
yang
ditinggalkannya selama murtad, karena pada dasarnya mereka bukanlah orang yang beriman, dan salah satu syarat shalat adalah orang yang beriman. Madzhab syafi’iyyah berpendapat bahwa orang murtad diwajibkan mengqadha’ shalat yang ditinggalkan selama murtadnya,
فَ ْ ا ضاءَ َعلَى الْ َكافر ب ال ا َ َ َوَّل ق, صالةُ َعلَى ُكل ُم ْسل ٍم بَال ٍغ َعاق ٍل طَاه ٍر ُ ص ٌل إَّنَا ََت 52 إَّل الْ ُم ْرتَ اد
“Fasal sesungguhnya shalat wajib bagi setiap orang muslim, yang baligh, berakal, suci. Tidak wajib qadha’ bagi orang kafir kecuali orang yang murtad.”
hal ini bertujuan untuk memperberat mereka agar tidak menganggap enteng murtad. Dan sebenarya shalat diwajibkan bagi orang Islam dan tidak dapat
51
Muhyidin Abdusshomad, Fiqih Tradisionalis.(Malang: Pustaka Bayan Malang.2004)
hlm. 133 52
Syamsuddin Muhammad Bin Ahmad Al Khatib Al-Shirbini Asy-Syafii, mughnil almuhtaj ila ma'rifat al-ma'ani alfaz al minhaj. (darul kutub al-alamiyah.1994) hlm. 312
24
gugur dengan mengingkarinya, seperti halnya kesepakatan yang terjalin antara dua manusia, yang tidak bias diingkari oleh salah satu pihak 3. Orang gila yang telah sembuh Menurut pendapat jumhur selain ulama’ Hambali, shalat tidak wajib bagi orang gila, hilang akal, dan yang serupa dengan kondisi tersebut seperti orang yang pingsan.53 Akan tetapi ketika orang tersebut sudah sembuh, ulama’ berbeda pendapat mengenai shalat yang ditinggalkannya di saat gila. Madzhab Hanafi berpendapat
ٍ َ ب َعلَْيه الْ َق ْ إ َذا َ استَ َمار ُجنُونُهُ أَ ْكثَـَر م ْن َخَْس ُضاء َ َوإَّل َو َج، صلَ َوات ل ْل َحَرج
54
“bahwa orang gila apabila gilanya berturut-turut selama lima waktu shalat, maka tidak wajib mengqadha’ shalat yang ditinggalkan ketika gila tersebut. Namun apabila gilanya tidak berturut-turut sampai lima waktu shalat maka diwajibkan untuk mengqadha’ shalat yang ditinggalkan tersebut.” Berbeda dengan madzhab hanafi, Madzhab Maliki mengatakan
bahwa orang gila dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan durasi waktunya. a. Apabila seseorang gila dan sadar sebelum terbenamnya matahari dan waktu itu masih cukup untuk mendirikan shalat 5 rakaat bagi orang yang di rumah atau 3 rakaat bagi orang yang bepergian, maka orang yang telah sadar dari gila tersebut diwajibkan mengqadha’ shalat dhuhur dan ashar.
53 54
Wahbah Az-zuhaili, Op.Cit ., hlm. 602 Kementrian wakaf dan urusan Agama Kuwait, Op.Cit., hlm. 27
25
b. Apabila seseorang gila dan sadar sebelum terbenamnya matahari dan waktu itu masih hanya untuk untuk mendirikan shalat kurang dari 5 rakaat, maka orang yang telah sadar dari gila tersebut diwajibkan mengqadha’ shalat ashar saja. Kedua pembagian diatas juga berlaku untuk shalat maghrib dan isya’ dengan batas waktu akhir hingga terbitnya fajar. Sedangkan madzhab Syafi’I berpendapat bahwa tidak diwajibkan mengqadha’ shalat apabila orang gila yang sembuh kemudian, akan tetapi disunnahkan untuk mengqadha’. Namun, apabila gila itu dengan di sengaja, maka diwajibkan untuk mengqadha’ shalat yang ditinggalkan saat sedang gila. 4. Orang ayan yang telah sadar Orang yang ayan tidak diwajibkan qadha’ shalat kecuali dia sadar ketika masuk waktu sholat akan tetapi tidak mengerjakan shalatnya. Ini merupakan pendapat dari madzhab Maliki dan Syafi’i. Madzhab Syafi’i menambahkan bahwa apabila ayan tersebut dengan disengaja maka diwajibkan untuk mengqadha’ shalat yang ditinggalkan. Sedangkan sebagian madzhab Hanafi menambahi bahwa orang ayang tidak wajib mengqadha’ apa yang telah ditinggalkannya selama ayan apabila keadaan ayan itu lebih dari satu hari satu malam. Pendapat yang dianggap shahih dikalangan madzhab Hanafi adalah bawha sesungguhnya orang ayan itu hukumnya seperti orang tidur. Tidak menjadi gugur kewajiban mengqadha’ kewajiban yang ditinggalkan,
26
sebagaimana kewajiban qadha’ yang berlaku bagi orang yang tidur, seperti shalat dan puasa. 5. Anak kecil (shobi) Jumhur Ulama berpendapat bahwa anak kecil tidak diwajibkan untuk menjalankan shalat. Akan tetapi shobi diperintahkan shalat mulai umur 7 tahun, dan dipukul saat umur 10 tahun jika tidak mau mengerjakan shalat. Ulama’ madzhab Syafi’i mengatakan 55
ضاء بَـ ْع َد الْبُـلُوغ نَ ْدبًا َ َولَ ْو َكا َن ُمَُيًزا فَـتَـَرَك َها ُثُا بَـلَ َغ أُمَر بالْ َق
“Kalau ada anak kecil mumayyiz yang meninggalkan shlat kemudian dia baligh, maka diperintahkan mengqadha’ setelah baligh dengan hukum sunnah” Dalam hal ini berlaku hukum sunnah mengqadha’ shalat yang ditinggalkan semasa mumayyiz, sebagaimana hukum sunnah ketika seorang mumayyiz mengerjakan shalat. Pendapat yang lebih kuat dari madzhab Syaf’i adahalah bahwa shobi tersebut jika tidak mau mengerjakan qadha’ untuk shalat yang ditinggalkan ketika mumayyiz maka dia di pukul. Pendapat yang dianggap kuat dari madzhab Hambali adalah anak kecil yang sudah berakal diwajibkan untuk shalat, oleh karena itu jika anak tersebut meninggalkan shalat, maka diwajibkan untuk menjalankan qadha’ shalat. Definisi anak yang berakal menurut imam Ahmad ialah anak yang sudah berusia 10 tahun, sudah mumayyiz, atau murahi.
55
Abu Abdillah Badruddin Muhammad Bin Abdullah Bin Bahadur Az-Zarkasyiy. AlMansur Qi Al-Qowa'id Al-Fiqhiyah. (Kuwait: wizarah al-awqofi al kuwaitiyah.1985) Juz 3,hlm. 70
27
Menurut pendapat Jumhur apabila seorang anak baligh di pertengahan shalat atau setelah shalat tetapi masih dalam waktunya. Maka anak tersebut diwajibkan untuk mengulangi shalat pada waktu itu. Menurut madzhab syafi’iyyah hukum mengulangi shalat tersebut adalah sunnah. 6. Orang yang masuk Islam di daerah kafir harbi Orang yang masuk Islam didaerah kafir harbi sedangkan mereka tidak menjalankan shalat dan puasa karena mereka tidak tau kewajiban untuk shalat dan puasa. Menurut madzhab hambali mereka diwajibkan untuk mengqadha’ shalat dan puasa. Pendapat ini dikuatkan dengan pendapat madzhab Syafi’i dan keumuman madzhab Maliki.
ٍ ْ َسلَ َم ِف َدار َ َ لَزَمهُ ق، ُصلَ َوات أَْو صيَ ًاما َّل يَـ ْعلَ ُم ُو ُجوبَه ْ أَاما َم ْن أ ُض ُاؤه َ اْلَْرب فَـتَـَرَك 56 وم م ْن َكالم الشاافعياة َوإطْالقَات الْ َمالكياة ْ عْن َد ُ َوُه َو الْ َم ْف ُه، اْلَنَابلَة “Adapun orang yang masuk Islam di daerah kafir harbi dan menginggalkan shalat atau puasa karena tidak mengetahui bahwa itu wajib. Maka wajib mengqadha menurut hanabilah, dan itu dikuatkan dengan pendapat madzhab Syafi’i dan keumuman madzhab Maliki’”
Sedangkan madzhab hanafi berpendapat, orang yang meninggalkan shalat bagi orang yang masuk Islam di kalangan kafir harbi, ini merupakan suatu udzur dan tidak diwajibkan untuk mengqadha’ karena ketidak tahuan mereka tentang kewajiban shalat. 7. Orang yang tidak menemukan dua alat untuk bersesuci Adapun orang yang tidak mendapatkan dua alat sesuci, yakni air dan debu. Ulama’ Malikiah berkata “tidak diwajibkan melakukan shalat
56
Kementrian wakaf dan urusan Agama Kuwait, Op.Cit., hlm. 29
28
bagi orang yang tidak mendapatkan dua alat sesuci atau tidak mampu menggunakan dua alat sesuci”. Hal tersebut seperti halnya orang yang dipaksa atau orang yang dibelenggu. Dan tidak diwajibkan baginya mengqadha’ shalat yang ditinggalkan meskipun telah bisa bersesuci setelah keluarnya waktu. Madzhab Syafi’i mempunyai pendapat lain tentang orang yang tidak menemukan dua alat untuk bersesuci. Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa orang tersebut tetap berkewajiban menjalankan shalat fardhu. Sedangkan Menurut madzhab hanafiah, kasus tersebut (tidak menemukan dua alat bersuci) mirip dengan orang yang melakukan shalat karena hormat waktu, oleh karena itu hendaknya melakukan rukuk dan sujud jika memang ada tempat yang kering jika tidak mendapatkan tempat tersebut, cukup bagi mereka melakukan shalat dengan isyarat. Dan mengulangi shalat tersebut setelahnya.
29
BAB III PRAKTEK SHALAT QADHA’ UNTUK MAYYIT
A. Gambaran Umum Desa Sambung Rejo Kondisi umum desa Sambung Rejo dapat kita lihat dari mata pencaharian penduduk yang sebagian besar adalah petani walaupun ada beberapa wiraswasta, pertukangan, dan buruh. Dalam pencarian nafkah, selain bapak yang berperan sebagai tulang punggung keluarga, ibu juga membantu mencari tambahan penghasilan, kebanyakan sebagai buruh tani. Pembangunan di desa Sambung Rejo kecamatan Grabag kabupaten Magelang bisa dikatakan belum begitu maju. Hal ini dapat dilihat dari berbagai segi seperti, jalan akses menuju dusun Sidorejo dan dusun Nipis masih sangat sulit yang hanya terbuat dari batu yang disusun dan sebagian menggunakan cor yang sudah rusak. Dilihat dari segi fasilitas pendidikan pun masih belum bias dikatakan baik, karena letak sekolah sangat jauh dari beberapa dusun, terutama dusun Sidorejo dan Nipis. Keadaan sosial desa Sambung Rejo dapat dibilang sangat baik. Hal ini dapat dilihat ketika memasuki desa, senyum warga dan ucapan “pinarak” yang berarti selamat datang dalam bahasa Indonesia akan banyak terdengar. Selain itu, sikap saling tolong-menolong dan bergotong royong baik dalam kegiatan yang bersifat umum seperti kerja bakti. Sikap yang diberikan oleh warga terhadap pendatang ialah kekeluargaan yang hangat, tanpa memandang suku atau pun status sosial.
30
Gambaran umum tentang desa Sambung Rejo telah dijelaskan di atas. Selanjutnya penulis akan memaparkan data-data demografi tentang desa Sambung Rejo yang meliputi letak geografis, jumlah penduduk, iklim, kondisi social ekonomi. Adapun data-datanya adalah sebagai berikut: 1. Letak Geografis Desa Sambung Rejo merupakan bagian dari salah satu desa di kecamatan Grabag kabupaten Magelang yang memiliki luas wilayah 380.000 Ha. Adapun batas wilayah desa Sambung Rejo sebagai berikut. a. Sebelah utara berbatasan dengan desa citrosono b. Sebelah selatan berbatasan dengan desa telogorejo c. Sebelah barat berbatasan dengan desa citrosono d. Sebelah timur berbatasan dengan desa seloprojo 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan kualifikasi penduduk desa Sambungrejo pada data monografi adalah sebagai berikut: a. Kualifikasi berdasarkan jenis kelamin 1) Laki-laki
: 851 orang
2) Perempuan : 791 orang b. Kualifikasi berdasarkan kepala keluarga berjumlah : 525 KK c. Kualifikasi berdasarkan kewarganegaraan 1) Warga Negara Indonesia asli
: 1642 orang
2) Warga Negara asing
: 0 orang
31
d. Kualifikasi berdasarkan tingkat usia Tabel 01 Jumlah Penduduk Berdasarkan Stuktur Usia Tahun 2013 No
Kelompok Usia
L
P
Jumlah
1
0-4
25
99
124
2
5-10
85
95
180
3
11-16
75
43
118
4
17-20
93
55
148
5
21-24
82
71
153
6
25-29
67
78
145
7
30-36
83
80
163
8
37-40
85
87
172
9
41-44
53
54
107
10
45-48
67
71
138
11
49-54
70
69
139
12
55-59
67
65
132
13
60-64
51
58
109
14
65-69
39
37
76
15
70-74
49
52
101
16
>75
27
31
58
1018
1045
2063
JUMLAH
3. Kondisi Ekonomi Penduduk desa Sambungrejo mayoritas mata pencahariannya adalah sebagai petani. Sebagian kecil dari mereka sebagai wiraswasta, pertukangan, pembantu rumah tangga dan buruh. Pekerjaan tambahan sebagai pemelihara kambing, dan sapi. Letak desa Sambungrejo yang terletak di bawah kaki gunung sokoringi menyebabkan kondisi iklim yang relative dingin. Kondisi ini
32
dimanfaatkan msyarakat desa untuk menanam kopi, cengkeh, sengon laut, dan bambu. Masyarakat desa Sambungrejo mempunyai kelompok-kelompok tani yang berkumpul bersama untuk memecahkan masalah pertanian yang terdapat di desa, mulai dari pembibitan, perawatan, hingga panen. Kelompok tani ini biasanya berkumpul dari pagi hingga sore hari. Mereka melakukan kegiatan bercocok tanam, seperti penanaman bibit tanaman sengon yang merupakan salah satu pohon yang dapat menghidupi kebutuhan sebagian besar masyarakat desa Sambungrejo. Bila sudah tumbuh besar, pohon sengon ini nantinya akan diambil batangnya untuk bahan pembuatan perahu kayu, serta berbagai prakakas rumah tangga. Biasanya kayu-kayu dari batang pohon sengon ini dibeli oleh seorang pengusaha dan nantinya kayu-kayu ini akan dijual kembali. Berikut merupakan tabel penduduk desa Sambungrejo menurut mata pencaharian:
Tabel 02 Jumlah Penduduk Berdasarkan Stuktur Usia Tahun 2013 JUMLAH N0
PEKERJAAN Tahun 2013
1
Petani
997
2
Buruh tani
235
3
Petemakan
25
4
Pedagang
18
33
5
Wirausaha
5
6
Karyawan Swasta
33
7
PNS/POLRI dan TNI
-
8
Pensiunan
4
9
Tukang Bangunan
111
10
Tukang kayu/ukir
5
11
Lain-lain/Tidak tetap
630
JUMLAH
2963
B. Praktik Pelaksanaan Shalat Qadha’ Untuk Mayyit Setelah melakukan penelitian melalui observasi dan wawancara di desa Sambungrejo kecamatan Grabag kabupaten Magelang. Penulis dapat mendeskripsikan praktik pelaksanaan shalat qadha’ untuk mayyit. Shalat qadha’ untuk mayyit atau biasa disebut shalat kaffarat, ialah shalat yang dilakukan setelah ada orang yang meninggal, dan dalam keadaan tersebut masih mempunyai tanggungan shalat yang belum dikerjakan. Shalat qadha’ untuk mayyit ini dilakukan dengan tujuan suapaya si mayyit, dalam kontek ini sebagai penanggung hutang shalat, dapat terbebas dari hutang shalat yang pernah ditinggalkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Fadhil (petinggi desa Sambungrejo) sholat qadha’ untuk mayyit memang sudah terjadi sejak lama dan sudah berjalan seperti adat istiadat. Sebenarnya untuk mengganti shalat yang ditinggalkan mayyit, tidak hanya dengan shalat qadha’ untuk mayyit, akan tetapi bagi mereka yang mampu lebih cenderung dengan membayar fidyah, yang hitungannya satu mud atau delapan ons untuk satu shalat yang ditinggalkan. 34
Penggunaan fidyah sebagai pengganti shalat yang telah ditinggalkan si mayyit juga masih dilaksanakan, sebagaimana keterangan diatas yaitu satu shalat dibayar dengan satu mud. Yang unik dari pelaksanaan fidyah ini jika si ahli waris tidak mempunyai beras dengan ukuran jumlah shalat yang ditinggalkan. Maka cukup diberikan kepada seseorang, kemudian beras tersebut diberikan lagi kepada ahli waris, dan difidyahkan lagi hingga sesuai dengan jumlah shalat yang ditinggalkan. Mengenai aspek sejarah sejak kapan diadakannya shalat qadha’ untuk mayyit, bapak Masrur (warga dusun Nipis desa Sambungrejo) mengatakan bahwa shalat qadha’ untuk mayyit dimulai sejak ayahnya masih hidup dulu. Dimana ayah dari bapak Masrur semasa hidupnya dikenal sebagai seorang kyai setempat yang juga mempunyai pondok bagi para santri yang menuntut ilmu kepadanya. Pelaksanaan shalat qadha’ untuk mayyit di desa Sambungrejo dibagi menjadi dua, yaitu yang pertama di dusun Sidorejo yang yang kedua di Dusun Sambungrejo. Masyarakat dusun Sidorejo melaksanakan shalat qodho’ untuk mayyit secara bersama-sama yang dilakukan dimasjid. Biasanya begitu ada anggota keluarganya yang meninggal, si ahli waris segera menghubungi Kyai setempat, guna memberi kabar bahwa si mayyit masih mempunyai tanggungan shalat yang belum dikerjakan. Mendapatkan kabar tersebut Kyai setempat segera mengordinasikan warganya guna melaksanakan shalat qadha’ untuk mayyit secara berjama’ah yang dilakukan pada malam hari setelah acara tahlilan di rumah duka.
35
Berbeda dengan dusun Sidorejo, di dusun Sambungrejo pelaksanaan shalat qadha’ untuk mayyit ini tidak dilakukan berjama’ah dengan warga sekitar. Akan tetapi Kyai setempat melaksanakannya sendiri shalat qadha’ untuk mayyit, sesuai jumlah yang diterangkan oleh ahli waris. Sebagaimana yang diterangkan oleh pak Kyai Jaelani saat wawancara pribadi. Shalat qadha’ untuk mayyit ini dilakukan sesuai dengan jumlah shalat yang ditinggalkan oleh si mayyit berdasarkan keterangan ahli waris. Semisal, seseorang meninggal dan sebelum meninggal tidak melaksanakan shalat selama satu bulan penuh. Sehingga perhitungannya adalah banyaknya shalat yang ditinggalkan di bagi dengan jumlah jama’ah yang melaksanakan shalat qadha’ tersebut. Namun, jika di Dusun Sambungrejo pelaksanaan shalat qadha’ untuk mayyit. berapapun banyak hutang shalat yang ditinggalkan akan dikerjakan oleh orang yang dipercaya ahli waris sebagai orang yang shalatnya sudah bagus. Ada anggapan juga bahwa jika shalat qadha’ untuk mayyit dilakukan dengan jama’ah yang dilaksanakan dengan masyarakat awam, akan menimbulkan sedikit keraguan karena dikhawatirkan orang yang shalatnya belum sempurna pun ikut mengqadha’ shalat mayyit tersebut. Perbedaan di dusun Sidorejo dan dusun Sambungrejo hanya sebatas tentang siapa yang melaksanakan shalat qadha’ untuk mayyit, tentang tatacaranya hampir semuanya sama, seperti halnya niat, dan menghitung berapa banyak shalat yang ditinggalkan si mayyit. Adapun contoh niat shalat qadha’ untuk mayyit sebagai berikut:
36
ضاء ل ُفالَن اَّلل تَـ َعا َل َ َض الْع َشاء ق َ صل فَـ ْر َ ُا
“Saya niat shalat isya’ untuk mengqadha’ si fulan.”
Begitu juga untuk niat selain shalat isya’, hanya mengganti kata isya’i menjadi shalat yang digantikan semisal subhi, dhuhri, ataupun ‘asri. Shalat qadha’ untuk mayyit apabila dilaksanakan secara berjamaa’ah, sebelum memulai shalat Imam terlebih dahulu memberi tahu kepada makmum tentang shalat apa yang akan dikerjakan. Sehingga ma’mum tidak bingung dengan niat shalat yang akan dijalankannya.
37
BAB IV ANALISIS PRAKTEK SHALAT QADHA’ UNTUK MAYYIT DI DUSUN
SIDOREJO A. Analisis Pendapat Ulama’ Tentang Shalat Qadha’ untuk Mayyit Shalat adalah kewajiban yang bersifat ‘aini, dalam arti kewajiban yang ditujukan kepada setiap orang yang telah dikenai beban hukum (mukallaf), dan kewajiban shalat itu tidak hilang kecuali dilakukannya sendiri sesuai dengan ketentuan pelaksanaannya dan tidak dapat diwakilkan, karena yang dikehendaki Allah dalam shalat itu adalah melaksanakannya sendiri sebagai tanda kepatuhan kepada Allah.57 Status hukum shalat yang ditinggalkan oleh mayyit sebagaimana telah dijelaskan pada bab II. Ulama’ berbeda pendapat sebagian menyatakan wajib untuk di qadha’ atau diganti, sedangkan sebagian lagi berpendapat tidak perlu di qadha’ tergantung alasan kenapa meninggalkan shalat. Sebagaimana telah penulis kemukakan diatas ketentuan qadha’ shalat untuk masing-masing dirinya, bukan untuk mengqadha’ shalat yang ditinggalkan orang lain. Sedangkan untuk mengqadha’ shalat orang lain, terlebih lagi dalam judul ini qadha’ untuk mayyit (orang yang sudah meninggal) ulama’ terbagi menjadi dua pendapat yaitu: 1. Pendapat dan Dasar yang Membolehkan Shalat Qadha’ Untuk Mayyit
57
Syarifuddin, Amir. Prof. Dr. Garis-garis besar fiqh, (Bandung: kencana. 2003) hlm. 21
38
Pendapat yang membolehkan shalat qadha’ untuk mayyit ini dipelopori oleh sebagian ulama’ syafi’iyyah. Mereka berpendapat bahwa shalat bias di qiyaskan kepada puasa yaitu setiap meninggalkan shalat di ganti dengan satu mud. Dan sebagian pendapat yang lain mengatakan bahwa shalat dapat diqadhakan dengan shalat juga. a. Dimyati dalam dalam Hasyiah I'anah At-Talibin
ٍ ين ـ أَنَا َ َص َالةٌ فَ َال ق َ َمن َم َ ات َو َعلَيه َ َوِف قَـ ْول ـ َك َج ْمع ُْمتَهد.َضاءَ َوََّل ف ْديَة َوفَـ َع َل به، َوَم ْن ُُث ا ْختَ ُاره جَْع م ْن أئمتنا،تُـ ْقضى َعْنهُ لََب البُ َخاري َو َغ ْريه ٍ السْبكي ع ْن ب ْع َونُق َل ابْ ُن بـٌْرَهان َع ْن ال َقد ْي أَنهُ يـُْلَزُم الْ َول إ ْن.ُض أَقَاربُه ُ ص َحابنَا ـ َ ََخل ْ َ َوِف َو ْجه ـ َعلَْيه َكثْيـ ُرْو َن م ْن أ.الصوم َ ُف تَـ ْرُكةُ أَ ْن ي ْ ك،ُصلى َعْنه 58 ًص َالةٍ ُمدا َ أَنهُ يُطْ َع ُم َع ْن ُكل “Barangsiapa meninggal dunia dan punya hutang shalat maka tidak wajib qadha dan fidyah, dan dalam suatu qoul seperti kelompok orang-orang yang ijtihad sesungguhnya shalat yang ditinggalkan mayyit itu bisa di qadha’ oleh walinya, seperti hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan lainnya. Oleh karena itu sekelompok ulama’ dari madzhab kami, memilih qoul tersebut. Imam as-subki pernah melakukan untuk qadha’ shalat untuk sebagian keluarganya. Ibnu Burhan menukil qoul qadimnya Imam Syafi’I sesungguhnya berkewajiban bagi wali mengqadha’ shalat yang ditinggalkan oleh mayyit jika mayyit tersebut meninggalkan harta warisan sebagaimana puasa. akan tetapi menurut pendapat banyak ulama Syafi'i, wajib membayar fidyah 1 mud untuk setiap shalat yang ditinggalkan.”
b. Pendapat Ibnu Qosim Al-’Abbadi dalam Tuhfah Ath-Thulab
58
Utsman Bin Muhammad Syaththo Ad-Dimyathi, I’anah ath-tholibin ‘ala hilli al fadhi fathul mu’in, (Beirut: Darul kutub al ilmiyah, 2002 ), juz 1. Hlm 4
39
ي َع ْن َوِف ال ا ُّ صى ِبَا أ َْم ََّل َح َكاهُ الْ َعبااد ً ْص َالة أَي َ إنـ َاها تُـ ْف َع ُل َعْنهُ أ َْو: ضا قَـ ْوٌل 59 الشاافعي “Adapun tentang masalah solat sebagian ulama ada yang berpendapat boleh di kerjakan baik wasiyat ataupun tidak. Sebagai mana yang di riwayatkan oleh u’bbadi dari imam syafi’I madzhab qodim” c. Imam Azro’i
اب ُكل ُ َونَـ َق َل ْاألَ ْذ َرع ُّي َع ْن َش ْرح التاـْنبيه ل ْل ُمحب الطاَبي أَناهُ يَص ُل ل ْل َميت ثَـ َو 60 ٍ ت أ َْو ُمتَطَاو ًعا َعْنهُ انْـتَـ َهى ْ َعبَ َادة تُـ ْف َع ُل َعْنهُ َواجبَةً َكان
“Imam azro’I menuqil pendapat Muhib attobari dalam kitab syarah at-tanbih bahwa pahala setiap ibadah yang di lakukan untuk mengganti ibadah mayyit bisa sampai kepada mayyit baik ibadah sunnah ataupun wajib”
d. Hadits dari Ibnu Umar
ٍ صلى ْ ََوأ ََمَر ابْ ُن عُ َمَر ْامَرأًَة َج َعل َ صالًَة ب ُقبَاء فَـ َق َال َ ت أ ُُّم َها َعلَى نَـ ْفس َها 61 َعْنـ َها “Ibnu Umar pernah memerintahkan seorang perempuan yang bernadzar untuk shalat di Quba' kemudian meninggal (sebelum melaksanakan nadzar tersebut). Ibnu berkata: Shalatlah untuknya.” Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengqadha’ shalat bagi orang yang meninggal, ada dua pendapat ulama’, sebagian berpendapat bahwa setiap shalat yang ditinggalkan harus diqadla’ oleh walinya, atau yang mewakili sebagaimana
59
Ahmad Bin Muhammad Bin Ali Bin Hajar Al-Haitami. Tuhfah al-muhtaj fi syarh almanhaj. ( Daar ihya’ turats ‘arabiy) hlm 440 juz 3. 60 Ibid., hlm. 440 61 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al-ja’fi, Al-Jami' Al-Musnad AshShahih Al-Mukhtasar Min Umuri Rasulillah SAW Wa Sunanihi Wa Ayyamihi=Shahih Bukhari, (dar thuq an-najah. 1422h). hlm 2464
40
diqiyaskan dengan puasa.
Sebagian pendapat lagi shalat yang
ditinggalkan diganti dengan membayar fidyah, berupa satu mud diqiyaskan dengan puasa. Dari sekian pendapat ulama’ diatas, dapat dilihat bahwa untuk menggantikan shalat yang ditinggalkan oleh si mayyit, dapat diganti dengan membayar fidyah yang besarnya 1 mud untuk setiap shalat, atau melakukan shalat qadha’ untuk si mayyit. Pendapat mengenai membayar fidyah memang lebih banyak, akan tetapi itu juga menunjukkan bahwa ada solusi untuk menggantikan shalat yang ditinggalkan oleh mayyit. 2. Pendapat dan Dasar yang Tidak Membolehkan Shalat Qadha’ Untuk Mayyit a. Dalam Kitab Tuhfatul Muhtaj Ala Syarh Al-Minhaj
ئ َعْنهُ ل َع َدم ٌ ص َالةٌ أ َْو ْاعت َك ُ اف ََلْ يـُ ْف َع ْل َعْنهُ َوََّل ف ْديَةَ َُْتز َ َولَ ْو َم َ ات َو َعلَْيه 62 ك َ ُوُرود ذَل
“Jika ada orang yang meninggal sedang orang tersebut punya hutang solat atau i’tikaf maka tidak di gantikan dan juga tidak membayar fidyah karena tidak adanya nash yang mengatur.” b. Al-Qur’an surah an-najm ayat 39
س ل ْْلنْ َسان إاَّل َما َس َعى َ َوأَ ْن لَْي
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”63 c. Hadits dari Abi Hurairah
62
Ahmad bin muhammad bin ali bin hajar al-haitami. Op.Cit., hlm 440 Dept. Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:dept. Agama RI, 1971), hlm.
63
874
41
ٍ وقُـتـيبةُ يـعِن ابن سع،ح ادثَـنا ََيَي بن أَيُّوب َح ادثَـنَا: قَالُوا، َوابْ ُن ُح ْج ٍر،يد َ َ ْ ْ َ َْ َ َ َ ُ ْ َ ْ َ َ ول هللا َ أَ ان َر ُس، َع ْن أَِب ُهَريْـَرَة، َع ْن أَبيه، َعن الْ َع َالء،يل ُه َو ابْ ُن َج ْع َف ٍر ُ إ َْسَاع ات ْاْلنْ َسا ُن انْـ َقطَ َع َعْنهُ َع َملُهُ إاَّل م ْن َ " إذَا َم: قَ َال،صلاى هللاُ َعلَْيه َو َسلا َم َ 64 ٍ ٍ ٍ إاَّل من:ثََالثٍَة " ُصال ٍح يَ ْدعُو لَه َ أ َْو َولَد، أ َْو ع ْل ٍم يـُْنتَـ َف ُع به،ص َدقَة َجاريَة َ ْ “Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Ayyub] dan [Qutaibah] -yaitu Ibnu Sa'id- dan [Ibnu Hujr] mereka berkata; telah menceritakan kepada kami [Isma'il] -yaitu Ibnu Ja'fardari [Al 'Ala'] dari [Ayahnya] dari [Abu Hurairah], bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa'at baginya dan anak shalih yang selalu mendoakannya."
d. Hadits dari ibnu abbas
ٍ َّلَ يصلي أَح ٌد عن أ َح ٍد َولَك ْن يُطْع ُم َعْنهُ َم َكا َن ُكل ُص ُ ََحد َوَّلَ ي َ َح ٌد َع ْن أ َ وم أ َ َْ َ َ ُ يَـ ْوٍم ُم ٌّد م ْن حْنطٍَة
“Janganlah kamu melakukan shalat untuk orang lain, dan jangan pula melakukan puasa untuk orang lain. Tetapi berilah makan (orang miskin) sebagai pengganti puasa, satu mud hinthah untuk sehari puasa yang ditinggalkan.” (HR. AnNasa'i) 65
Setelah penulis mengemukakan dua golongan pendapat yaitu yang membolehkan shalat qadha’ untuk mayyit dan pendapat yang tidak membolehkan shalat qadha’ untuk mayyit. Maka dalam hal ini penulispun mengambil kesimpulan pendapat yang cenderung membolehkan pelaksanaan shalat qadha’ bagi mayyit untuk menganalisa praktek shalat qadha’ untuk mayyit di dusun Sidorejo. 64
Muslim Bin Al-Hajjaj Abu Al-Hasan Al-Qusyairi An-Nasaburi. al-musnad ash-shahih al-mukhtashar bin-naqli al-adl ila RasuliLlah SAW (Beirut: Dar Ihya al-turath al-Arabi). hlm. 1255 65 Abu Abdirrahman Ahmad Bin Ali Bin Syuaib. Sunan an-nasai al-kubra. (Beirut: Daar al-kutub al-alamiyah. 1991) juz 2. Hlm 175
42
Kebolehan melaksanakan shalat qadha’ untuk mayyit berdasarkan hadits Rasulullah SAW.
ٍ صلى َعْنـ َها ْ ََوأ ََمَر ابْ ُن عُ َمَر ْامَرأًَة َج َعل َ صالًَة ب ُقبَاء فَـ َق َال َ ت أ ُُّم َها َعلَى نَـ ْفس َها
66
“Ibnu Umar pernah memerintahkan seorang perempuan yang bernadzar untuk shalat di Quba' kemudian meninggal (sebelum melaksanakan nadzar tersebut). Ibnu berkata: Shalatlah untuknya.” Hadits di atas menunjukkan perintah untuk melaksanakan nadzar yang berupa shalat bagi orang yang meninggal. Jika ditinjau lebih lanjut nadzar juga merupakan suatu kewajiban, dan shalat fardhu juga sebuah kewajiban. Jikalau shalat nadzar boleh dibayarkan oleh orang lain ketika telah meninggal, begitu halnya dengan kewajiban shalat fardhu. Shalat fardhu yang telah ditinggalkan dan orangnya meninggal, maka bisa dilaksanakan oleh orang lain, sebagaimana diqiyaskan dengan hadits tersebut. Untuk melaksanakan shalat qadha’ untuk mayyit adalah diqiyaskan dengan menjalankan shalat nadzar untuk orang yang telah meninggal. Dimana pengertian qiyas sendiri adalah menyamakan hukum sesuatu dengan hokum sesuatu yang lain, karena adanya kesamaan illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan hukumnya.67 Berdasarkan pengertian qiyas diatas, maka penggunaan qiyas harus memenuhi empat rukun dibawah ini:
66 67
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al-ja'fi, Op.Cit hlm 2464 Abdul Rahman Dahlan, Ushul fiqih.(Jakarta: Amzah, 2011) hlm. 161
43
a. Al-ashl
: sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan
tentang hukum, atau wilayah tempat sumber hukum. b. Al-far’
: sesuatu yang tidak ada ketentuan nash.
c. Al-Hukm : hukum yang digunakan qiyas untuk memperluas hukum dari ashl ke far’ d. Al-illat
: alasan serupa antara nash dan far’68
Sesuai dengan rukun qiyas di atas, maka dalam hal ini penulis mencoba untuk menerapkan rukun-rukun qiyas tersebut dalam memecahkan permasalahan shalat qadha’ untuk mayyit. a. Al-ashl. Dalam hal ini adalah qadha’ shalat nadzar untuk mayyit yang sudah ada ketentuan nashnya. b. Al-far’u. dalam hal ini adalah qadha’ shalat fardhu untuk mayyit. c. Al-Hukm. Hukum melaksanakan shalat qadha’ nadzar untuk mayyit adalah diperintahkan. d.
Al-‘illat. Nadzar melaksanakan shalat menjadikan suatu shalat berstatus hukum wajib, begitu halnya dengan shalat fardhu lima waktu yang merupakan shalat wajib.
Jadi keduanya antara qadha’ shalat nadzar untuk mayyit dan qadha’ shalat wajib bagi mayyit adalah sama-sama berupa kewajiban, maka pelaksanaan shalat qadha’ untuk mayyit diperintahkan sebagaimana diperintahkannya qadha’ shalat nadzar bagi mayyit.
68
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih.(Jakara: PT. Pustaka Firdaus, 2013). Hlm. 352
44
Akan tetapi ada suatu hadits shahih juga yang isinya menunjukkan bahwa shalat wajib apabila ditinggalkan seseorang tidak dapat diganti oleh orang lain
ٍ َّلَ يصلي أَح ٌد عن أ َح ٍد َولَك ْن يُطْع ُم َعْنهُ َم َكا َن ُكل يَـ ْوٍم ُص ُ ََحد َوَّلَ ي َ َح ٌد َع ْن أ َ وم أ َ َْ َ َ ُ 69 ٍ ُم ٌّد م ْن حْنطَة “Janganlah kamu melakukan shalat untuk orang lain, dan jangan pula melakukan puasa untuk orang lain. Tetapi berilah makan (orang miskin) sebagai pengganti puasa, satu mud hinthah untuk sehari puasa yang ditinggalkan. (HR. An-Nasa'i)” Menanggapi dua hadits yang kontradiksi tersebut penulis cenderung memilih pendapat dari ibnu hajar yang menengahi dua hadits tersebut. Ibnu hajar mengatakan: 70
اْلَي ْ ات َوالناـ ْفي ِف َحق ْ َوُيُْك ُن َ اْلَ ْم ُع ِبَ ْمل ْاْلثْـبَات ِف َحق َم ْن َم
“bahwa muatan hukum dalam hadis tersebut keduanya mwmungkinkan bisa di gabungkan yakni dengan membolehkan menqodlo' sholatnya orang yang sudah meninggal tidak boleh menqodlo' solatnya orang yang masih hidup” Berdasarkan pendapat para ulama’ yang menggunakan hadits tersebut untuk menunjukkan kebolehan dan tidak kebolehan melaksanakan shalat qadha’ untuk mayyit. Penulis mengambil kesimpulan bahwa shalat qadha’ untuk mayyit merupakan suatu usaha bagi kita untuk menolong si mayyit tersebut dalam keadaan darurat. Semisal semasa mudanya si mayyit tidak sempat menuntut ilmu tentang bagaimana pelaksanaan shalat ketika sakit. Maka otomatis ketika dia sakit sebelum meninggal akan banyak meninggalkan shalat fardhu, nah disinilah letak darurat pelaksanaan shalat qadha’ untuk 69
Abu Abdirrahman Ahmad Bin Ali Bin Syuaib Op.Cit. Hlm 175 Abu Al-Fadli Ahmad Bin Ali Bun Muhammad Al-Kannaniy Al-‘Asqolani, fath al-bari syarh shahih al-bukhari. (Beirut: Daar al-fikr, 1993), Juz, 13. hlm. 443 70
45
mayyit. Adapun mengenai apakah amalan tersebut akan sampai pada simayyit ataupun tidak, disitu bukanlah ruanglingkup penulis akan tetapi sudah menjadi hak perogratif Allah SWT. Namun setidaknya kita sudah berusaha untuk menolong si mayyit untuk membayarkan shalat yang ditinggalkannya.. B. Analisis Praktek Pelaksanaan Shalat Qadha’ Untuk Mayyit Di Dusun Sidorejo Untuk penghitungan shalat yang ditinggalkan si mayyit, di dusun sidorejo menggunakan keterangan dari ahli waris. Hal ini dilaksanakan karena hanya ahli waris lah yang lebih mengetahui berapa shalat yang ditinggalkan si mayyit, terlepas si mayyit sempat berwasiat terlebih dahulu ataupun tidak. Hal ini pun sesuai dengan pendapat dari Ibnu Qasim Al-‘Abbadi dari mazdhab syafi’I qoul qadim. 71
صى ِبَا أ َْم ََّل َوِف ال ا ً ْص َالة أَي َ إنـ َاها تُـ ْف َع ُل َعْنهُ أ َْو: ضا قَـ ْوٌل
“Adapun tentang masalah solat sebagian ulama ada yang berpendapat boleh di kerjakan baik wasiyat ataupun tidak” Niat shalat qadha’ untuk mayyit yang dilakukan di dusun sidorejo adalah sebagaimana yang sudah penulis jelaskan di bab III yaitu sebagaimana berikut.
ضاء ل ُفالَن اَّلل تَـ َعا َل َ َض الْع َشاء ق َ صل فَـ ْر َ ُا
“Saya niat shalat isya’ untuk mengqadha’ si fulan”
Didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
71
Ahmad Bin Muhammad Bin Ali Bin Hajar Al-Haitami. Op.Cit, hlm 440 juz 3
46
a. Qasdul fi’li ( )قصد فعلyaitu menyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti ( أصلي/ushalli/”aku menyengaja”) b. Ta’yin ( )التعينيmaksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh c. Fardliyah ( )الفرضيةmaksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah ()الفرضية.72 Melihat dari tiga rukun niat dalam melaksanakan shalat tersebut penulis berpendapat bahwa niat shalat qadha’ untuk mayyit yang dilakukan warga dusun sidorejo sudah memenuhi rukunnya. Adapun tambahan
ضاء ل ُفالَن َ َق
memang harus ditambahkan karena untuk membedakan antara shalat untuk dirinya sendiri, atau qadha’ untuk orang lain.
72
Muhammad Bin Umar An-Nawawi Al-Jawi. Kasyifah as-saja (Beirut: daar al-fikr. 1996), Juz 1, hlm. 53
47
BAB V KESIMPULAN
A. KESIMPULAN Setelah penulis mengungkapkan pembahasan skripsi mengenai “Analisis praktek shalat qadha’ untuk mayyit”, maka penulis selanjutnya dalam bab penutupini akan mengambil kesimpulan sebagai berikut. 1. landasan hukum syar’i tentang pelaksanaan shalat qadha’ untuk mayyit. Berdasarkan hadits
ٍ صلى َعْنـ َها ْ ََوأ ََمَر ابْ ُن عُ َمَر ْامَرأًَة َج َعل َ صالًَة ب ُقبَاء فَـ َق َال َ ت أ ُُّم َها َعلَى نَـ ْفس َها
73
“Ibnu Umar pernah memerintahkan seorang perempuan yang bernadzar untuk shalat di Quba' kemudian meninggal (sebelum melaksanakan nadzar tersebut). Ibnu berkata: Shalatlah untuknya.” Meskipun ada juga hadits shahih lain yang menerangkan bahwa shalat tidak boleh diwakilkan Menanggapi kedua hadits shahih yang saling kontradiksi tersebut, penulis cenderung memilih pendapat Ibnu Hajar yang mengatakan bahwa mewakilkan shalat tidak boleh ketika orangnya masih hidup, akan tetapi boleh diwakilkan ketika orangnya telah meninggal. 2. Pelaksanaan shalat qadha’ untuk mayyit di dusun sambung rejo desa sidorejo kecamatan grabag kabupaten magelang, sudah sesuai dengan kaidah-kaidah dalam shalat. Terlihat dalam niatnya sudah memenuhi
73
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al-ja’fi, Al-Jami' Al-Musnad AshShahih Al-Mukhtasar Min Umuri Rasulillah SAW Wa Sunanihi Wa Ayyamihi=Shahih Bukhari, (dar thuq an-najah. 1422h). hlm 2464
48
tiga rukun yaitu qasdul fi’li, ta’yin, dan fardliyah. Perhitungan jumlah shalat yang ditinggalkan si mayyit, dihitung dari informasi ahli waris, karena ahli warislah yang lebih mengetahui tentang jumlah shalat yang ditinggalkan oleh si mayyit. B. SARAN 1. Untuk menemukan hukum suatu permasalahan, sangat dibutuhkan mengkaji secara komprehensif, minimal menggunakan pandangan dari empat madzhab. Agar tidak mudah menimbulkan perpecahan dan dapat saling menghargai perbedaan. 2. Dalam memahami nash hendaknya kita jangan terpancing dalam suatu aspek saja tetapi harus memandang dari berbagai aspek. Sehingga dapat menghasilkan suatu produk hukum yang benar atau secara optimal mendekati kebenaran. Dan berbagai permasalahan hukum pun dapat dijawab dengan tepat. C. PENUTUP Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. karena atas taufiq, hidayah dan pertolongannya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi yang penulis susun ini masih jauh dari kata sempurna. Maka saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca skripsi ini akan penulis terima dengan senang hati. Penulispun sadar bahwa otoritas kebenaran yang sesungguhnya hanya ada pada Allah SWT. Akhirnya penulis hanya bisa berharap semoga tulisan
49
yang sederhana ini dapat memberikan manfaat dalam diri penulis dan pada kaum muslimin, Amin ya Rabbal alamin. Wallahu A’lamu Bishawab
50
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Bin Yusuf Bin Muhammad Az-Zaila’iy. Nasbu Ar-Raayah (beirut: Darul Kutub Al-Alamiyah.1996). Abdusshomad, Muhyidin. Fiqih Tradisionalis, (Malang: Pustaka Bayan Malang.2004) al-‘asqolani, Abu al-fadli ahmad bin ali bun muhammad al-kannaniy, fath al-bari syarh shahih al-bukhari (Beirut: Daar al-fikr, 1993) Al-fauzan, Saleh. Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press. 2005) al-haitami, Ahmad bin muhammad bin ali bin hajar, Tuhfah al-muhtaj fi syarh almanhaj. ( Daar ihya’ turats ‘arabiy) ali bin syuaib, Abu Abdirrahman ahmad bin, Sunan an-nasai al-kubra. (Beirut: Daar al-kutub al-alamiyah. 1991) Al-ja'fi, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari. Al-Jami' Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtasar Min Umuri Rasulillah SAW Wa Sunanihi Wa Ayyamihi=Shahih Bukhari, (dar thuq an-najah. 1422h) al-jawi, Muhammad bin umar an-nawawi, Kasyifah as-saja (Beirut:daar al-fikr. 1996) Al-jaziri, Syeikh Abdurrahman. Kitab Shalat Fikih Empat Madzhab, (Jakarta: PT Mizan Publika.2010) An-Nasaburi, Muslim Bin Al-Hajjaj Abu Al-Hasan Al-Qusyairi. al-musnad ashshahih al-mukhtashar bin-naqli al-adl ila RasuliLlah SAW., (Beirut: Dar Ihya al-turath al-Arabi) Asy-Syafii, Syamsuddin Muhammad Bin Ahmad Al Khatib Al-Shirbini mughnil al-muhtaj ila ma'rifat al-ma'ani alfaz al minhaj, (darul kutub alalamiyah.1994) At-Turmudzi, Abu Isa Bin Muhammad Bin Isa Binsaurah Bin Musa Bin AdDahhak al-jami' al-kabir-sunan at-tirmidzi, (Beirut: Darul Gharbi Al Islamiy.1998) Az-Zarkasyiy, Abu Abdillah Badruddin Muhammad Bin Abdullah Bin Bahadur. Al-Mansur Qi Al-Qowa'id Al-Fiqhiyah. (Kuwait: wizarah al-awqofi al kuwaitiyah.1985)
51
Burhan Ashshofa. metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta.2004) Dahlan, Abdul rahman. Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2011) Dept. Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:dept. Agama RI, 1971) Haryanto, Sentot Psikologi Shalat, ( Yogyakarta: Mitra Pustaka.2007) Kementrian wakaf dan urusan Agama Kuwait. aplikasi Al-Mausu’ah Al-Fiqhiya,( Kuwait: Kementrian wakaf dan urusan Agama Kuwait.2007 ) M. Sayuti Ali. Metodologi Penelitian Agama. (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada.2012) Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993) Cet. Ke-2 Muhammad Bin Ishaq Bin Huzaimah As-Sulamiy. Shahih Ibnu Huzaimah (Beirut: al-maktab al-islami.1992) Munawwir, Ahwad Warson. Al-Munawwir kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif.2002) Skirpsi karya Abadi, Perspektif hukum Islam tentang penggunaan dua bahasa dalam shalat “Studi Kasus pondok pesantren “ai’tikaf jama’ah ngaji lelaku” Lawang Malang Jawa Timur” (Institut Islam Nahdlatul Ulama’ Jepara. 2006) Skirpsi karya dianatus saadah, Aspek Psiko-religius Ibadah Shalat “Kajian Terhadap Buku Psikologi Shalat Karya Sentot Haryanto” (Institut Islam Nahdlatul Ulama’ Jepara. 2011) Skripsi karya Zamroni, Studi Komparatif Antara Ulama’ Syafi’iyyah dengan Ibnu Hazm Tentang Status Shalat Qadla’ Terhadap Shalat yang Ditinggalkan dengan Sengaja. (Institut Islam Nahdlatul Ulama’ Jepara. 2006) Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI-Press 2006) Syarifuddin, amir. Prof. Dr. Garis-garis besar fiqh (Bandung: kencana. 2003) Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqih. (Jakara: PT. Pustaka Firdaus. 2013)
52