Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Potency Analysis of Feeders Beef Cattle at Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) SUMADI, WARTOMO HARDJOSUBROTO dan NONO NGADIYONO Fakultas Peternakan,Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta
ABSTRACT This Reaserch was conducted to potency analysis af feeders beef cattle of Daerah Istimewa Yogyakarta. This research using survey method, in four destricts (Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul, and Sleman), including 313 farmers as respondents. This research was done from June to September 2003. The variables observed were composition, reproduction and mortality of the animals. The results showed that composition of calfs 27,16 ± 3,40%: youngs 20,42 ± 7,76 % and adults 52,42 ± 9,27%. The average age at first mating of heifers and first calving were 22,67 ± 0,76% and 32,94 ± 1,29 months. The weaning age, period of first mating after calving and calving interval were 5,96 ± 0,68; 4,80 ± 0,45 and 15,17 ± 0,70 months. S/C were 2,06 ± 0,15. The calving rate was 61,98 ± 13,60 % from adult females or 26,20 ± 5,16% from total population. Sex ratio was 52,53 ± 12,80% and 47,47 ± 12,80%. The dams were kept up to 9,46 ± 1,6 years or until 6,47 ± 0,47 time calvings. The mortality rate population 0,80 ± 0,93%. Natural increase 25,41 ± 51,93%; Net replacemant rate 197,19 ± 91,29% and composition of feeders beef cattle 12,62% (7,32% males and 5,305 females) and adult cattles (culling) 12,63% (6,17% males and 4,46 females) with out put total 25,25% from population. Key words: Beef cattle feeders, DIY ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi sapi potong bakalan di wilayah Propinsi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang akan dihitung melalui teori pemuliaan ternak. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, meliputi empat kabupaten (Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul dan Sleman), mencakup 313 peternak sebagai responden. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni–September 2003. Variabel yang diamati meliputi komposisi, reproduksi dan kematian sapi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa komposisi sapi potong pedet 27,16 ± 3,40%; muda 20,42 ± 7,76% dan dewasa 52,42 ± 9,27%. Umur sapi betina pertama dikawinkan dan induk pertama adalah 22,67 ± 0,76 bulan dan 32,94 ± 1,29 bulan. Ratarata umur penyapihan , perkawinan setelah beranak dan jarak beranak adalah 5,96 ± 0,68 bulan; 4,80 ± 0,45 bulan dan 15,71 ± 0,70 bulan. S/C sebesar 2,06 ± 0,15. Tingkat kelahiran adalah 61,98 ± 13,60% dari populasi. Perbandingan pedet jantan dan betina sebesar 52,53 ± 12,80% dan 47,47 ± 12,80%. Induk dipelihara sampi umur 9,46 ± 1,6 tahun atau sampai beranak 6,47 ± 0,47 kali. Kematian terhadap populasi sebesar 0,80 ± 0,93%. Natural Increase 25,41 ± 51,93%, Net Replacemen rate 197,19 ± 91,29% dan komposisi potensi sapi potong,sapi muda 12,62 % dan sapi tua afkir 12,63% dari populasi. Potensi sapi potong bakalan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2003, sapi muda 12,62 % (7,32% jantan dan 5,30% betina) dan sapi tua fakir 12,63 %(6,17% jantan dan 6,46 betina) dengan total keluran 25,25% dari populasi. Kata kunci: Sapi potong bakalan, DIY
PENDAHULUAN Sapi potong merupakan ternak ruminansia besar yang menjadi salah satu aset nasional di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang cukup besar potensinya untuk dikembangkan.
130
Disamping itu sapi potong mempunyai fungsi sosial yang penting di masyarakat dan sebagai penghasil daging peringkat tertinggi sehingga merupakan potensi yang sangat penting untuk dikembangkan.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Potensi atau out put dari masing-masing wilayah penghasil sapi potong di Indonesia, itu penting karena dapat diketahui kemampuan riel dalam menyediakan sapi potong sesuai kebutuhan pasar. Disamping itu juga dapat dibuat peta potensi wilayah sapi potong di Indonesia dan dapat digunakan sebagai dasar peningkatan produktivitasnya. Produktivitas seekor ternak merupakan gabungan sifat produksi dan reproduksi dari ternak tersebut dalam kurun waktu tertentu, serta dipengaruhi oleh genetik, lingkungan dan interaksi genetik dan lingkungan (LASELY, 1978 dan HARDJOSUBROTO, 1994). TAMASZERWSKA et al. (1998) menyatakan bahwa aspek produksi seekor ternak tidak dapat dipisahkan dari reproduksi ternak yang bersangkutan, dan tanpa berlangsungnya reproduksi tidak akan terjadi produksi. Sifat-sifat reproduksi pada sapi potong yang mempunyai nilai ekonomi penting antara lain: umur pubertas dan perkawinan pertama, siklus estrus, S/C, jarak beranak, perkawinan pertama setelah beranak, lama digunakan dalam breeding dan umur penyapihan pedet (LASLEY, 1981; HARDJOSUBROTO, 1994). TRIKESEWO et al. (1993) menyatakan bahwa yang termasuk dalam komponen produktivitas sapi potong adalah jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet (calf crop), boboy setahunan (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot badan. Produktivitas sapi potong dari suatu wilayah dapat dinyatakan sebagai output atau potensi suatu wilayah yang terdiri atas jantan dan betina afkir ditmbah jantan dan betina muda sisa pengganti. Potensi wilayah dalam menghasilkan sapi potong dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi ternaknya dan ketersediaan pakannya. Berdasakan ternaknya yang terpenting adalah sifat reproduksinya. Disamping itu tinjauan potensi wilayah dari segi pemuliaan yang utama adalah berapa lama sapi potong digunakan dalam pembiakan. Hal ini menjadi penting Karena fakta tersebut secara langsung mempengaruhi jumlah ternak pengganti (Replacemant Stock) yang dibutuhakan untuk mengganti populasi ternak yang dikeluarkan dan kelebihan ternak pengganti tersebut dapat digunakan sebagai bakalan untuk bibit maupun digemukan. Sapi tua (afkir) yang dikeluarkan dari breeding dapat juga digemukkan tetapi kwalitasnya tidak sebaik sapi muda. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengestimasi potensi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menghasilkan sapi potong, baik berupa ternak potong bibit, bakalan maupun sapi afkir yang dihitung melalui pendekatan teori pemuliaan (breeding teori). Dengan pengamatan ini diharapkan: (1) Dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat program peningkatan produktivitas, khususnya potensi sapi potong bakalan di Daerah Istimewa Yogyakarta; (2) sebagai dasar pengendalian pengeluaran sapi potong di Daearah Istimewa Yogyakarta; dan (3) sebagai indikator untuk melihat perkembangan populasi sapi potong di Daerah Istimewa Yogyakarta. MATERI DAN METODE Lokasi dan waktu Penelitian dilakukan di 4 kabupaten yakni Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul dan Sleman di Propinsi DIY. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni–September 2003, terhadap peternak yang memiliki sapi potong sebagai responden beserta ternaknya. Data sekunder dari instansi terkait. Metode Penelitian ini menggunakan metode survei dengan dibantu kuesioner dan observasi. Setiap kabupaten sampel diplih kecamatan dan desa yang sesuai dengan kegiatan penelitian, dengan total responden sebanyak 313 orang (dipilih secara quota sampling). Pengamatan meliputi identitas ternak dan peternaknya. Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif, kualitatif dan kuantitatif. Pola pemuliaan sapi potong digunakan untuk mengestimasi kebutuhan ternak pengganti (replacement stock) dan komposisi ternak disurvei. Natural Increase (NI) dihitung dari selisih jumlah kelahiran dan kematian sapi per tahun dan hasil pengurangan NI dengan kebutuhan ternak pengganti merupakan potensi wilayah atau keluaran (out put) berupa sapi hidup yang terdiri atas sapi jantan tua, betina tua dan sisa pengganti yang dapat digunakan sebagai bakalan (jantan dan betina). HASIL DAN PEMBAHASAN
131
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Identitas responden Identitas responden pada tahun 2003 dari empat kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, bahwa rata-rata umur peternak masih dalam kisaran umur produktif (51,69 ± 1,94 tahun) dan pengalaman beternak cukup lama (19,28 ± 2,83 tahun). Tingkat pendidikan peternak masih relatif rendah yaitu tidak sekolah (7,67 ± 1,58%) dan SD (56,78 ± 5,52%). Pekerjaan utama peternak umumnya
petani (65,22 ± 11,57%) dan tujuan utama pemeliharaan untuk menghasilkan keturunan 70,52 ± 23,59% dan untuk tabungan 25,78 ± 23,13%. Komposisi sapi potong Komposisi sapi potong di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 menunjukan bahwa jumlah pedet 27,16 ± 3,40%, sapi muda 20,42
Tabel 1. Identitas responden Peubah
Kabupaten
x±s
Gunung Kidul
Kulon Progo
Bantul
Sleman
Umur peternak (th)
49,02
53,62
52,31
51,79
51,69 ± 1,94
Pengalaman beternak (th)
22,27
21,03
16,27
17,55
19,28 ± 2,83
Pendidikan (%): 6,66
-
8
16,03
7,67 ± 6,58
55
53,33
65
53,80
56,78 ± 5,52
SLTP
21,67
21,10
9
16,17
16,98 ± 5,84
SMU
15
18,90
16
11
15,23 ± 3,27
1,67
6,67
2
3
3,34 ± 2,29
Tidak sekolah SD
PT Pekerjaan utama (%):
71,67
72,22
48
69
65,22 ± 11,57
Wiraswasta
20
6,67
10
4
10,17 ± 7,30
PNS
5
6,67
4
10,5
6,54 ± 2,86
3,33
-
-
1,5
1,22 ± 1,58
Buruh
-
12,22
37
15
16,06 ± 15,41
TNI/POLRI
-
2,22
1
-
0,81 ± 1,05
Petani
Pensiunan
Tujuan utama pemeliharaan (%): Keturunan (breeding)
100
42,22
70
69,84
Tabungan
70,52 ± 23,59
-
55,56
19
28,57
Penggemukan
25,78 ± 23,13
-
2,22
9
1,59
Pupuk
3,2 ± 3,98
-
-
-
-
Tenaga kerja
-
-
-
-
-
-
8469,64
736,49
1110
-
2579,03 ± 3954,06
1555
-
-
-
388,75 ± 775,30
Sawah
-
1227,69
2185
2040,50
1363,30 ± 1001,79
Lahan hijauan yang ditanami rumput
-
608,77
469,69
272,50
337,70 ± 264,08
Luas lahan (m2): Tegalan Pekarangan
132
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
± 7,76% dan sapi dewasa 52,42 ± 9,27%. Perbandingan sapi jantan dan betina sebesar 30,37 ± 3,65% dan 69,63 ± 3,65%. Populasi betina dewasa cukup tinggi (45,12 ± 5,7%), hal ini sesuai dengan tujuan pemeliharaan untuk menghasilkan keturunan. Jumlah jantan dewasa relatif rendah, sebab sapi jantan yang dipelihara untuk digemukkan bukan untuk sapi pejantan, karena perkawinan sapi sebagian besar menggunakan Inseminasi Buatan (IB). Kabupaten Sleman dan Gunung Kidul total jantan relatif tinggi dibanding kabupaten lain, hal ini diduga disebabkan banyaknya penggemukan sapi rakyat. Rata-rata kepemilikan sapi potong Rata–rata kepemilikan sapi potong per responden di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2003, dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 menunjukan pemilikan sapi potong per peternak di Daerah Istimewa Yogyakarta rata-rata 2,90 ± 0,96 ekor atau 2,09 ± 0,61 UT. Hal ini artinya peternak memiliki sapi potong setara 2 ekor dewasa. Jumlah yang relatif kecil ini diduga disebabkan terbatasnya lahan untuk mencari rumput (pakan),
terbatasnya tenaga kerja keluarga disamping keterbatasan modal. Rata-rata pemilikan per responden di Kabupaten Sleman dan Kulonprogo relatif tinggi dibanding kabupaten lainnya, hal ini diduga disebabkan daya dukung lahan, modal dan sosial ekonomi masyarakat yang berbeda. Pengelolaan dan biologi reproduksi Pengelolaan dan biologi reproduksi sapi potong di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 4. Pada Tabel 4 menunjukan bahwa para peternak mengawinkan sapi pertama kali pada jantan dan betina pada umur 28,82 ± 0,18 bulan dan 22,67 ± 0,76 bulan. Cara kawin sebesar 79,45 ± 19,70% dengan IB, dan pengenalan tandatanda birahi sebesar 62,67 ± 21,44% baik sekali. Batas umur pemeliharaan pada sapi jantan 4,34 ± 1,10 tahun dan betina 9,46 ± 1,60 tahun dan selama dipelihara betina (induk) rata-rata beranak 6,47 ± 0,47 kali serta rata-rata umur sapih 5,96 ± 0,68 bulan. Pada kabupaten Sleman 100% IB, hal ini disebabkan sarana dan prasarana yang memadai dan kesadaran masyarakat yang tinggi tentang IB.
Tabel 2. Komposisi sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003 Komposisi
Kabupaten Gunung Kidul
Kulon Progo
Bantul
Sleman
x±s
Pedet (%) Jantan Betina Jumlah
13,14 15,33 28,47
14,73 7,53 22,26
15,23 14,84 30,07
12,03 12,82 27,85
13,78 ± 1,47 13,38 ± 3,92 27,16 ± 3,40
Muda (%) Jantan Betina Jumlah
18,25 13,13 31,38
2,40 15,07 17,47
9,37 10,15 19,52
6,96 6,33 13,29
9,25 ± 6,66 11,17 ± 3,81 20,24 ± 7,76
Dewasa (%) Jantan Betina Jumlah
2,20 37,95 40,15
8,22 52,05 60,27
5,46 44,92 50,38
13,29 45,47 58,86
7,29 ± 4,69 45,12 ± 5,76 52,42 ± 9,27
Total (%) Jantan Betina
33,59 66,41
25,35 74,65
30,06 69,94
32,47 67,53
30,37 ± 3,65 69,93 ± 3,65
Pedet 0−10 bulan; Muda >10−24; Dewasa >24 bulan atau sudah kawin dan beranak
133
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 3. Kepemilikan sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003 Komposisi
Kabupaten Gunung Kidul
Kulon Progo
Bantul
Sleman
Jumlah
x±s
18
43
39
28
128
32,00 ± 11,28
Pedet Jantan: (ek) (UT)
4,5
10,75
9,75
7
32
8,00 ± 2,82
Betina: (ek)
12
22
38
37
109
27,25 ± 12,53
(UT)
3
5,5
9,5
9,25
27,25
6,81 ± 3,13
25
7
24
16
72
18,0 ± 8,37
Muda Jantan: (ek) (UT)
15
4,2
14,4
9,6
43,2
10,8 ± 5,02
Betina: (ek)
18
44
26
15
103
25,75 ± 13, 02
(UT)
6
26,4
15,6
9
57
14,25 ± 9,04
3
24
14
31
72
18,0 ± 12,19
(UT)
3
24
14
31
72
18,0 ± 12,19
Betina: (ek)
52
152
115
105
424
106,1 ± 41,29
(UT)
52
152
115
105
424
106,0 ± 41,29
Dewasa Jantan: (ek)
Jumlah 46
74
77
75
272
108,0 ± 14,72
22,5
38,95
38,15
47,6
147,20
36,8 ± 10,45
Betina: (ek)
82
218
179
156
635
158,75 ± 57,21
(UT)
61
183,85
140,1
123,25
508,25
127,06 ± 50,29
Jantan: (ek) (UT)
Total: (ek) (UT) Jumlah Responden Kepemilikan ternak/responden (ek)
128
292
256
231
907
226,75 ± 70,43
83,5
222,85
178,25
170,85
655,45
163,86 ± 58,29
60
90
100
63
313
2,90 ± 0, 69
2,13
3,24
2,56
3,67
11,60
2,90 ± 0,69
1,39
1,78
1,78
2,71
8,36
2,09 ± 0,61
(UT) Pedet = 0,25 UT Muda = 0,6 UT Dewasa = 1 UT
Umur induk beranak pertama 32,94 ± 1,29 bulan, perkawinan pertama setelah beranak 4,80 ± 0,45 bulan dan S/C sebesar 2,06. Lama induk digunakan sebagai bibit 7,19 ± 1,66 tahun dan jarak beranak 15,71 ± 0,70 bulan, tingkat kelahiran terhadap jumlah induk dan jumlah populasi sebesar 61,98 ± 13,60% dan
134
26,20 ± 5,16% dan perbandingan kelahiran pedet jantan dan betina sebesar 52,53 ± 12,80% dan 47,47 ± 12,80%. Secara umum pengelola dan biologi reproduksi sapi potong di DIY relatif baik serta pada semua kabupaten relatif sama.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 4. Pengelolan dan biologi reproduksi sapi potong di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003 Peubah
Gunung Kidul
Kabupaten Kulon Progo Bantul
Sleman
x±s
Pengelolaan reproduksi: Umur pertama kali dikawinkan (bulan): 28,60
28,82
28,82
29,04
28,82 ± 0,18
22,21
23,81
22,37
22,30
22,67 ± 0,76
85 15
52,8 23,6 23,6
80 3,2 16,8
100 -
79,45 ± 19,70
3,33 6,67 11,67 78,33
6,67 52,22 42,11
7 46 47
3,18 4,48 7,73 84,25
1,63 ± 1,88
4,04 9,70 7,08
4,34 10,48 6,22
5,81 10,53 6,56
4,18 7,13 6,00
4,59 ± 0,82
6,58
5,36
6,32
5,57
5,96 ± 0,68
31,80
34,69
33,12
32,15
32,94 ± 1,29
4,22
5,10
4,68
5,20
4,80 ± 0,45
2,06
2,02
2,27
1,90
2,06 ± 0,15
Jarak beranak (bulan)
15,71
15,65
14,88
16,60
15,71 ± 0,70
Lama induk digunakan sebagai bibit (tahun) Tingkat kelahiran (%): Terhadap jumlah induk sampel Terhadap jumlah populasi sampel Kelahiran pedet (%): Jantan Betina
7,85
8,08
8,13
4,71
7,19 ± 1,66
56,00
55,41
82,35
54,17
61,98 ± 13,60
23,86
25,97
33,45
21,53
26,20 ± 5,16
40,48 59,52
70,11 29,89
53,06 53,52
46,48 53,52
52,53 ± 12,80 47,47 ± 12,80
Jantan Betina Cara kawin (%): IB Alami Campuran Pengenalan tanda birahi (%): Kurang Sedang Baik Baik sekali Batas umur pemeliharaan (tahun): Jantan Betina Frekuensi beranak (kali) Umur penyapihan (bulan) Biologi reproduksi: Umur induk beranak pertama (bulan) Perkawinan pertama setelah beranak (bulan) S/C
Mutasi sapi potong Mutasi sapi potong diwilayah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 5. Pada Tabel 5 menunjukan bahwa rata-rata jumlah sapi yang masuk
6,70 ± 11,37 13,85 ± 9,94
6,30 ± 0,98 29,40 ± 2,95 62,67 ± 21,44
9,46 ± 1,60 6,47 ± 0,47
terhadap sampel populasi 5,59 ± 5,56% dan yang keluar 26,70 ± 13,10%. Alasan pengeluaran sapi tersebut sebesar 79,33 ± 11,93% adalah dijual. Berdasarkan hal ini di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta banyak sapi yang keluar daripada masuk, dengan
135
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
selisih 21,11%. Sapi yang keluar di Kabupaten Gunung Kidul 42,34% dan Sleman 33,33%, hal ini relatif tinggi dibandingkan kabupaten lainnya dan diduga disebabkan relatif tinggi kegiatan bisnis sapi potong di dua kabupaten tersebut. Pemeliharaan sapi potong Sistem pemeliharaan sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan, kebersihan ternak dan penggunaan pupuk kandang, relatif sudah baik dan bervariasi pada setiap kabupaten sesuai dengan kondisi lahan, sistem usahatani dan sosial ekonomi masyarakat.
Natural increase (NI) dan net replacement rate (NRR) Perhitungan NI dan NRR di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 7. Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata NI sebesar 25,41 ± 5,93% yang berasal dari persentase kelahiran terhadap sampel populasi dikurangi persentase kematian ternak terhadap sampel populasi. Selanjutnya berdasarkan nilai NI dan dengan menggunakan teori pemuliaan diperoleh NRR sebesar 197,19 ± 91,29%. Hal ini berarti pada tahun 2003, di DIY tersedia ternak pengganti sebesar 197,19% dari kebutuhan. NRR pada 4 kabupaten bervariasi, hal ini tergantung jumlah kelahiran, kematian dan perbandingan jantan dan betina pedet yang lahir.
Tabel 5. Mutasi sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003 Gunung Kidul
Kabupaten Kulon Progo
Bantul
Sleman
Masuk (ekor): Pedet : Jantan Betina
4 2
3 -
1 -
-
Muda : Jantan Betina
4 3
3
3 1
-
Dewasa: Jantan Betina
6 -
-
4
4
Jumlah Jumlah sapi masuk terhadap sampel populasi (%)
19
6
4
4
2,00 ± 1,83 0,50 ± 1,00 1,75 ± 1,50 1,50 ± 3,00 1,50 ± 3,00 2,00 ± 2,30 9,50 ± 6,66
Keterangan
x±s
13,87
2,05
3,52
2,90
5,59 ± 5,56
Keluar (ekor): Pedet : Jantan Betina
8 10
21 4
14 8
13 9
Muda : Jantan Betina
8 3
4 2
3 7
6 5
Dewasa: Jantan Betina
14 15
7 5
6 8
5 8
Jumlah Jumlah sapi masuk terhadap sample populasi (%)
58
43
45
46
14,00 ± 5,35 7,75 ± 2,63 5,25 ± 2,22 4,25 ± 2,22 8,00 ± 4,08 9,00 ± 4,24 48,00 ± 6,78
42,34
14,73
17,58
33,33
26,70 ± 13,10
Alasan (%) Mati Jual Beli Potong Digaduhkan Adat
1,82 63,64 27,27 7,27 -
83,67 6,13 8,16 2,40
78 19 3 -
8 92 -
2,46 ± 3,80 79,33 ± 11,93 13,10 ± 12,33 4,61 ± 3,81 0,51 ± 1,02
136
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 6. Pemeliharaan sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003 Keterangan Sistem pemeliharaan sapi (%) Dikandang saja Dikandang dan dilepas Frekuensi pemberian pakan (kali/hari) Pedet Muda Dewasa Frekuensi pemberian minum (kali/hari) Pedet Muda Dewasa Kebersihan ternak (kali/hari) Memandikan ternak Kebersihan kandang Penanganan kotoran (%) Diolah Tidak diolah Penggunaan pupuk (%) Digunakan sendiri Dijual Campuran
Gunung Kidul
Kabupaten Kulon Progo
Bantul
88,33 11,67
35,56 64,44
19 81
2,20 1,87 1,87
1,93 1,93 1,93
1,94 1,94 1,94
x±s
Sleman 52,50 47,50
48,58 51,15
1,93 1,93 1,93
2,06 2,06 2,06
2,03 ± 0,13 1,95 ± 0,08 1,95 ± 0,08
1,20 1,20 1,20
1,20 1,20 1,20
1,26 1,26 1,26
1,40 ± 0,36 1,40 ± 0,36 1,40 ± 0,36
1,00 1,00
1,00 1,03
1,00 1,03
0,33 0,14
0,83 ± 0,34 0,80 ± 0,44
100 -
10 90
12 88
81,5 18,5
50,88 ± 46,67 49,12 ± 46,67
100 -
96,67 1,11 2,22
59 15 26
60,32 25,34 14,34
79,00 ± 22,38 10,36 ± 12,09 10,64 ± 12,02
Jenis pakan yang diberikan terdiri dari: rumput potong, rumput lapangan, leugeuminosa, limbah pertanian (jerami padi, bekatul, dedak) dan limbah industri (ampas tahu) Tabel 7. Perhitungan NI dan NRR di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2003 Keterangan Jumlah sampel (ekor) Betina dewasa (%) Kelahiran pedet (%) Terhadap induk Terhadap sampel Kematian ternak (%) NI umur 1 tahun (%) Ramalan anak betina hidup umur 2 tahun (%) Betina tua yang dikeluarkan dari breeding per tahun (%) Kebutuhan sapi betina pengganti per tahun/umur 2 tahun) NRR
Gunung Kidul 137 37,95
Kabupaten Kulon Progo Bantul
Sleman
x±s
292 52,05 55,41 25,97
256 44,92 82,35 33,45
231 45,57 54,17 21,53
892 45,12 ± 5,76 61,98 ± 13,60 26,20 ± 5,16
0 25,97 7,76
0 33,45 15,70
1,73 19,80 10,62
0,80 ± 0,93 25,41 ± 5,93 11,76 ± 3,43
4,83
6,44
5,53
8,82
6,41 ± 1,74
4,90
6,44
5,53
8,97
6,46 ± 1,79
268,16
120,50
283,91
116,17
197,19 ± 91,29
56 23,86 1,46 22,40 13,14
137
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 8. Perhitungan komposisi potensi sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta Keterangan Natural increase umur 2 tahun (%) Jantan Betina Kebutuhan ternak pengganti (%) Jantan Betina Sisa sapi muda (%) Jantan Betina Komposisi potensi sapi potong (%) Sapi muda: Jantan Betina Sapi dewasa/tua (afkir) Jantan Betina Jumlah Jantan Betina Total
Gunung Kidul
Kabupaten Kulon Progo Bantul
DIY
Jumlah
8,94 1,33
18,20 7,76
17,75 15,70
9,05 10,42
13,49 ± 5,19 11,76 ± 3,43
25,25
1,33 4,90
4,24 6,44
16,0 5,53
7,55 8,97
3,67 ± 7,89 6,46 ± 1,79
10,14
7,61 13,76
,32 13,96
6,15 10,17
1,50 1,45
9,81 ± 6,62 5,30 ± 4,58
15,11
7,61 8,24
13,96 1,32
16,15 10,17
1,50 14,5
9,81 ± 6,62 5,30 ± 4,58
15,11
1,33 4,90
4,24 6,44
16,15 1,60
7,55 8,97
1,68 ± 2,89 6,46 ± 1,79
10,14
8,94 13,14 22,08
18,20 7,76 25,96
17,75 15,70 33,45
9,05 10,42 19,47
13,49 ± 5,19 11,76 ± 3,43 25,25
Komposisi potensi sapi potong Estimasi komposisi potensi sapi potong di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2003, dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 menunjukkan bahwa potensi atau output sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 25,25% dari populasi yang terdiri dari sapi muda sisa pengganti umur 2 tahun sebesar 9,81% jantan dan 5,30% betina, serta sapi tua (afkir) jantan 3,68% dan betina 6,46%. Potensi berdasarkan kabupaten, adalah Kabupaten Bantul 33,45%; Kulonprogo 25,96%; Gunung Kidul 22,08% dan Sleman 19,47%. Perbedaan potensi ini diduga disebabkan perbedaan ketersediaan pakan, tatalaksana pemeliharaan, iklim dan sosial ekonomi masyarakatnya. Disamping itu
138
Sleman
25,25
Kabupaten Gunung Kidul dan Sleman merupakan daerah penggemukan sapi potong rakyat. KESIMPULAN Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dapat menghasilkan sapi muda (umur 2 tahun), jantan 9,81% dari populasi yang dapat digunakan sebagai bakalan untuk digunakan, sapi muda (umur 2 tahun) betina 5,30% dari populasi yang dapat digunakan sebagai bibit, sapi dewasa (4,18 tahun) jantan 3,68% dari populasi untuk dipotong dan sapi betina tua (afkir) 6,46% dari populasi untuk dipotong. Total output (potensi) sapi potong di wilayah DIY sebesar 25,25% dari populasi.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
DAFTAR PUSTAKA HARDJOSUBROTO, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. LASLEY, J.F. 1981. Beef Cattle Production. PrenticeHall, Inc., Englewood Cliffs, N.J. 07632.
TRIKESOWO, N., SUMADI dan SUYADI. 1993. Kebijakan riset di bidang pengembangan dan perbaikan mutu sapi potong dengan teknik ladang ternak dan feedlot. Forum Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Peternakan, Yogyakarta.
139