ANALISIS PERMASALAHAN PADA IMPLEMENTASI POLA PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM Budi Waluyo Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
[email protected] ABSTRAK Pemerintah telah menciptakan model baru dalam pengelolaan instansi pelayanan publik (public service agency) dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan (PPK) Badan Layanan Umum (BLU). Model ini diharapkan menjadi contoh konkrit yang menonjol dari penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil. Instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat, didorong untuk menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Namun demikian, PPK BLU tidak dapat diimplementasikan dengan mudah. Berbagai kendala dan permasalahan muncul, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pelaporan keuangan pada BLU. Tujuan kajian ini adalah untuk menelusuri secara mendalam mengenai implementasi PPK BLU untuk memberikan pemaparan secara menyeluruh dan mendalam mengenai implementasi PPK BLU, permasalahan yang muncul dan beberapa usulan solusinya. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan pemahaman atas fenomena empirik yang utuh terkait implementasi PPK BLU. Data dan informasi diperoleh melalui pengamatan terlibat (participant observation), dan studi dokumentasi. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif berdasarkan telaah teoritik yang diolah dari konsep-konsep manajemen keuangan pemerintah. Hasil analisis menunjukkan bahwa implementasi PPK BLU belum berjalan secara efektif dikarenakan tarik menarik kepentingan antar pelaku kebijakan yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Teknis, dan Satuan Kerja (Satker) BLU; konten PPK BLU yang kurang memperhatikan prinsip fleksibilitas dan kemudahan bagi BLU; serta lingkungan kepemerintahan yang menunjukkan kuatnya kultur birokrasi dalam pengelolaan keuangan dan secara konsisten melaksanakan prosedur keuangan dengan rujukan pada peraturan yang berlaku umum bagi satuan kerja instansi pemerintah; sehingga temuan pada ketiga elemen tersebut mengakibatkan implementasi PPK BLU belum memberikan manfaat yang optimal bagi BLU dan masyarakat. Kata kunci : Pengelolaan Keuangan, Badan Layanan Umum.
LATAR BELAKANG BLU merupakan instansi pemerintah yang diberikan mandat oleh Kementerian/Lembaga untuk menyelenggarakan layanan publik, seperti layanan kesehatan, pendidikan, pengelolaan kawasan dan pengelolaan dana. Menurut Thynne (2003) dalam Egeberg dan Trondal (2010) pemberian mandat tersebut dimaksudkan untuk membedakan fungsi
pemerintah sebagai regulator, sekaligus sebagai upaya mengembangkan aktivitas pengagenan (agencification). Pelayanan publik tidak harus diselenggarakan oleh lembaga birokrasi murni, tetapi diselenggarakan oleh instansi yang dikelola ala bisnis (bussiness like) dengan menerapkan prinsip-prinsip kewirausahaan, dan manajemen sektor swasta (Box, 1999). 1
Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)
Dalam pelaksanaannya, upaya peningkatan layanan kepada masyarakat saat ini masih belum maksimal dan terdapat beberapa permasalahan yang terkait dengan administrasi pengelolaan keuangan BLU. Sebagai upaya meminimalisir permasalahan yang terjadi, pada tahun 2013 Kementerian Keuangan memberlakukan moratorium penetapan BLU baru. Dalam periode tersebut, tidak ada satuan kerja instansi pemerintah yang ditetapkan untuk menerapkan PPK BLU. Kementerian Keuangan melakukan beberapa perbaikan kebijakan yang terkait PPK BLU, antara lain penataan regulasi, monitoring dan evaluasi terhadap satker BLU, dan penyusunan road map bagi satker BLU.
METODE KAJIAN Kajian ini bertujuan menelusuri secara mendalam mengenai implementasi PPK BLU menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach) untuk memberikan pemaparan secara menyeluruh dan mendalam mengenai implementasi PPK BLU, permasalahan yang muncul dan usulan solusinya. Pemaparan dan penjelasan tersebut menggunakan deskripsi yang disusun untuk mengungkap apa yang tampak maupun yang terdapat di balik implementasi PPK BLU dengan maksud mencari pemahaman yang terkandung di dalamnya. Temuan kajian ini tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk perhitungan lainnya, tetapi diperoleh dari data-data yang dikumpulkan dengan menggunakan beragam sarana. Melalui kajian ini, penulis hendak memahami peristiwa yang terjadi atas implementasi PPK BLU secara konstruktifinterpretatif. Kajian ini tidak bermaksud membuktikan atau menguji hubungan atau adanya hubungan antar variabel, menguji teori, atau mencari generalisasi. Pada kajian ini, penulis melakukan konstruksi untuk memahami peristiwa atau fenomena yang
terjadi berdasarkan hasil pengamatan, terutama pengalaman penulis selama menjadi salah satu pelaku dalam implementasi PPK BLU pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, penulis melakukan interprestasi untuk melihat dan memahami makna dari implementasi PPK BLU. Objek kajian ini adalah Badan Layanan Umum di lingkungan pemerintah Pusat, tidak termasuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Ruang lingkup pembahasan terbatas pada PPK BLU yang mencakup aspek penganggaran, perbendaharaan, pelaporan, dan pengendalian. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sehingga penulis menjadi ujung tombak sebagai pengumpul data (instrument) dengan terlibat secara langsung di lapangan untuk mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan. Data-data dalam kajian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari menggunakan teknik pengamatan terlibat (participant observation) dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek kajian di mana sehari-hari mereka berada dan biasa melakukan aktivitasnya. Dalam hal ini, penulis berinteraksi secara langsung dengan para pengelola keuangan BLU dalam berbagai kesempatan, seperti rapat koordinasi dan kunjungan studi banding. Peneliti melibatkan diri sebagai pelaku atas implementasi PPK BLU. Data sekunder dalam kajian ini penulis dapatkan dengan teknik studi dokumentasi dengan cara menganalisis dokumen berupa perundang-undangan, buku, hasil kajian, jurnal ilmiah, makalah, dan data yang terkait dengan implementasi PPK BLU. Dokumen diperoleh dari Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Teknis Lainnya, serta beberapa situs internet yang menyediakan 2
Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)
hasil kajian, jurnal ilmiah, dan makalah secara online. TINJAUAN TEORI Konsep New Public Management yang telah diimplementasikan di berbagai negara maju, terutama di Eropa dan Amerika, memberi dampak yang luas terhadap tata kelola pemerintahan di berbagai negara. Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong dilakukannya transformasi manajemen pemerintahan di Indonesia, yang mencakup penataan kelembagaan, kepegawaian, dan pengelolaan keuangan negara (Mahmudi, 2003 dalam Waluyo, 2011). Dalam konsep ini, pemerintah diarahkan untuk meninggalkan paradigma lama seperti administrasi tradisional yang cenderung mengedepankan sistem dan prosedur, birokratis, pemberian layanan yang tidak efektif dan efisien, agar digantikan dengan paradigma baru yang lebih berorientasi pada kinerja dan hasil. Pemerintah dianjurkan untuk melepaskan diri dari birokrasi klasik, dengan mendorong organisasi dan pegawai agar lebih fleksibel, dan menetapkan tujuan, serta target organisasi secara lebih jelas sehingga memungkinkan pengukuran hasil (Meidyawati, 2011 dalam Waluyo, 2011). Hal ini yang mendasari dibentuknya BLU berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana diperbaharui dengan PP Nomor 74 Tahun 2012. BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pola Pengelolaan Keuangan BLU merupakan pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-
praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Suatu satker pemerintah dapat menerapkan pengelolaan keuangan BLU, terlebih dahulu harus memenuhi tiga kelompok persyaratan. Pertama, persyaratan substantif bahwa Instansi pemerintah tersebut menyelenggarakan layanan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa, pengelola dana khusus, atau pengelola kawasan atau wilayah. Kedua, persyaratan teknis bahwa kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah tersebut layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU. Penilaian ini dilakukan oleh menteri teknis; dan Kinerja keuangan instansi pemerintah tersebut harus sehat. Ketiga, persyaratan administratif. Apabila persyaratan pertama dan kedua telah dipenuhi, maka menteri teknis mengusulkan instansi/satker berkenaan kepada Menteri Keuangan untuk dilakukan penilaian melalui dokumen persyaratan administratif yaitu: (1) Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja; (2) Pola Tata Kelola; (3) Rencana Strategis Bisnis; (4) Laporan Keuangan Pokok; (5) Standar Pelayanan Minimum (SPM); dan (6) Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit. Berdasarkan hasil penilaian atas dokumen administratif tersebut, Menteri Keuangan menerbitkan ketetapan suatu instansi pemerintah layak atau tidak layak ditetapkan sebagai satker BLU. BLU merupakan format baru dalam pengelolaan keuangan negara, sekaligus sebagai wadah baru bagi modernisasi manajemen keuangan sektor publik. Perubahan tersebut juga telah mengubah peran pemerintah terutama dalam hal hubungan antara pemerintah dengan masyarakat (Hughes, 1998 dalam Prakoso, 2014). Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara, BLU 3
Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)
memiliki tugas yang sangat mulia, yakni turut berperan dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tugas dan fungsi BLU adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan menerapkan pengelolaan keuangan yang fleksibel, menonjolkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas. Tujuan dibentuknya BLU adalah untuk lebih memberikan keleluasaan kepada satuan kerja yang memperoleh pendapatan dari layanan untuk mengelola sumber daya yang ada sehingga pemberian layanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif. Untuk mencapai tujuan tersebut, BLU diberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan berupa pengecualian atas asas universalitas dan fleksibilitas lainnya, yaitu: 1. Pendapatan dapat digunakan langsung, tanpa terlebih dahulu disetorkan ke Kas Negara; 2. Belanja menggunakan pola anggaran fleksibel dengan ambang batas tertentu; 3. Dapat mengelola kas BLU untuk memanfaatkan idle cash BLU yang hasilnya menjadi pendapatan BLU; 4. Dapat memberikan piutang usaha maupun menghapus piutang sampai batas tertentu; 5. Dapat melakukan utang sesuai jenjang dengan tanggung jawab pelunasan berada pada BLU; 6. Dapat melakukan investasi jangka panjang dengan seijin Menteri Keuangan; 7. Dapat dikecualikan dari aturan umum pengadaan barang/jasa dan dapat mengalihkan barang inventaris; 8. Dapat diberikan remunerasi sesuai tingkat tanggung jawab dan profesionalisme; 9. Surplus dapat digunakan untuk tahun berikutnya dan defisit dapat dimintakan dari APBN untuk Public Service Obligation (PSO); 10. Pegawai dapat terdiri dari PNS dan profesional non PNS;
11. Pengaturan organisasi dan nomenklatur diserahkan kepada Kementerian/Lembaga dan BLU yang bersangkutan dengan seijin Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Direktorat PPK BLU, 2014). Pemberian fleksibilitas tersebut dimaksudkan untuk mendorong satker BLU agar dapat menerapkan praktik bisnis yang sehat. Penerapan praktik bisnis yang sehat merupakan suatu upaya untuk mengadopsi prinsip dan kaidah manajemen yang baik dalam pengelolaan keuangan negara. Fungsifungsi manajemen diadaptasi dengan tujuan agar tercipta tata kelola organisasi yang baik, akuntabel dan transparan. Konsep manajerial yang diterapkan dalam pengelolaan BLU yaitu “let the managers manage and make the managers manage”. Konsep “let the managers manage” mengandung makna memberi kesempatan kepada manager (pimpinan satuan kerja) mengelola layanan pemerintah seperti pendidikan dan kesehatan dengan menggunakan anggaran secara efisien dan efektif. Sedangkan konsep “make the managers manage” bermakna memastikan bahwa pimpinan satuan kerja tersebut telah melakukan pengelolaan dengan efisien dan efektif sehingga menghasilkan output yang optimal (Waluyo, 2011). Konsep BLU sebenarnya muncul dari reformasi sektor publik di Inggris pada tahun 1980-an semasa Perdana Menteri Margareth Thatcher. Institusi publik dikelola secara lebih otonom dengan tata kelola seperti swasta (private-like manner). Institusi publik yang semi otonom dan dikelola dengan mekanisme layaknya entitas bisnis itu disebut dengan “ the next step agencies”. Negara-negara lain juga melakukan hal yang sama seperti Agentschappen di Belanda, Special Operating Units (SOAs) di Kanada, dan Independent Administrative Institutions (IAIs) di Jepang. (Direktorat PPK BLU, 2014). 4
Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)
Menurut Lane, Stiglitz, dan Walsh, pada teori principal-agent, agent berusaha memenuhi keinginan dari principal, karena principal pada dasarnya adalah merupakan representasi kepentingan publik. Dengan kata lain, principal disini dapat juga berperan sebagai “controller” agent. Hal ini dikarenakan dalam kondisi politik yang demokratis, pemegang kekuasaan tertinggi adalah warga masyarakat (citizen) atau konsumen dari pelayanan publik (Batley, 2004 dalam Prakoso, 2014). Pendekatan principal-agent ini menjadi dasar untuk menempatkan birokrat sebagai pelayan masyarakat yang sebenarnya. Penerapan pendekatan ini diharapkan mampu menyadarkan birokrat sebagai agent yang bertanggung jawab kepada masyarakat (principal) dan bukan sebaliknya. (Prakoso, 2014). Dalam konteks BLU, implementasi konsep principal-agent diwujudkan dengan posisi pemerintah sebagai principal melalui menteri atau pimpinan lembaga dan yang menjadi agen adalah BLU. Menteri/pimpinan lembaga sebagai policy maker dan BLU sebagai pelaksananya. BLU bertanggungjawab untuk menyajikan layanan yang diminta kepada menteri sebagai principal. Dalam melaksanakan misi pelayanan publik, BLU memiliki tantangan yang cukup besar mengingat pemerintah sebagai principal, meminta kepada BLU sebagai agent untuk menjalankan misi tersebut dengan berpedoman kepada prinsip bisnis. Prinsip ini menekankan efisiensi dan produktivitas sebagaimana layaknya diterapkan pada dunia usaha, namun dengan tetap mengutamakan pada peningkatan kualitas pelayanan. BLU harus memiliki banyak inovasi agar bisa melakukan kegiatan yang kreatif dalam menciptakan metode pelayanan terbaik dan juga cara terbaik dalam menjalankan prinsipprinsip bisnis.
HASIL KAJIAN DAN ANALISIS Hasil kajian dan analisis akan diuraikan dalam tiga bagian. Masing-masing bagian didahului dengan paragraf yang tercetak dengan huruf tebal. Bagian Pertama, bahwa dalam implementasi PPK BLU sering terjadi tarik menarik kepentingan antar pelaku kebijakan yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Teknis, dan Satker BLU. Permasalahan ini terjadi pada masa transisi, pemanfaatan idle cash, remunerasi, dan pengukuran kinerja. Berikut penjelasan masing-masing permasalahan. Masa Transisi Ketika suatu Satker ditetapkan menjadi BLU, harus melakukan langkah-langkah transisi keuangan yaitu menyetorkan PNBP, menyusun RBA dan merevisi DIPA. Untuk Satker yang sebelumnya berstatus sebagai Pengguna PNBP, harus menyetorkan seluruh PNBP yang diterimanya sebelum ditetapkan sebagai Satker BLU ke rekening Kas Negara yang dikelola oleh Kementerian Keuangan untuk kemudian ditarik kembali menggunakan mekanisme penggunaan PNBP. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa permohonan pengembalian sisa PNBP yang dapat ditarik kembali adalah hanya PNBP yang disetor pada tahun Satker ditetapkan menjadi Satker BLU, dengan syarat dana PNBP yang telah disetor tersebut belum dipergunakan atau belum diterbitkan SP2D-nya. Selanjutnya adalah menyusun RBA sebagai dokumen perencanaan kegiatan dan keuangan. BLU mengajukan RBA kepada Menteri/Pimpinan Lembaga untuk dibahas sebagai bagian dari RKA-KL satker BLU. Namun demikian, dalam praktiknya Satker BLU umumnya akan menunggu selesainya pembahasan RKA-KL di Kementerian Teknis, baru kemudian menyusun dan mengajukan RBA. 5
Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)
Langkah berikutnya adalah merevisi DIPA. Ketika masih sebagai Pengguna PNBP maka DIPA yang dimilki adalah “DIPA biasa”, sebagaimana Satker lainnya. Namun ketika sudah menjadi Satker BLU maka DIPA yang ada harus direvisi menjadi “DIPA BLU”. Perbedaan mendasar antara “DIPA biasa” dan “DIPA BLU” selain munculnya akun BLU juga pada halaman pengesahan terdapat saldo awal dan saldo akhir. Pada masa transisi tentu belum ada saldo kas karena seluruh PNBP telah disetor ke kas negara. Pada periode berikutnya jika memang pendapatan BLU tidak seluruhnya dibelanjakan, maka akan ada saldo awal yang dapat digunakan pada tahun anggaran berikutnya. Di samping itu, pada awal masa transisi, beberapa Satker melakukan penyesuaian kelembagaan setelah menjadi Satker BLU. Perubahan kelembagaan bukan merupakan suatu keharusan, dalam arti kelembagaan Satker tersebut dapat tetap seperti sebelum menjadi BLU. Seringkali ada anggapan bahwa kelembagaan BLU menjadi berbentuk komersial, padahal tidak demikian. PPK BLU dapat diterapkan oleh setiap instansi Pemerintah yang menyelenggarakan kegiatan yang bersifat operasional yang dapat berasal dan berkedudukan pada berbagai jenjang eselon (struktural) atau non eselon (non struktural). Sebagian besar Satker PPK BLU berbentuk struktural, misalnya: Universitas Negeri Jakarta (Eselon I), dan Rumah Sakit Umum Pusat Dr Cipto Mangunkusumo (Eselon II). Namun demikian terdapat juga Satker PPK BLU berbentuk nonstruktural, misalnya: Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) dan Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (LLP KUKM) dibawah Kementerian Koperasi dan UKM, Pusat Pengelola Kawasan Gelanggang Olahraga Bung Karno (PPK GBK) dan Pusat Pengelola Kawasan Kemayoran (PPKK) di bawah Sekretariat Negara.
Perubahan organisasi sering mengalami kendala karena berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi Kementerian Teknis. Di samping itu, harus berpedoman pada ketentuan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara terkait organisasi dan tata kerja yaitu: 1. Perubahan organisasi dan tata kerja bagi Satker PPK BLU di lingkungan Pemerintah Pusat dapat dilakukan berdasarkan analisis organisasi sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan; 2. Perubahan tersebut dapat meliputi penyempurnaan tugas, fungsi, struktur organisasi dan tata kerja, dan atau eselon jabatan; 3. Usulan perubahan harus dilengkapi dengan naskah akademik; 4. Perubahan organisasi dan tata kerja Satker PPK BLU di lingkungan Pemerintah Pusat ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.
Pemanfaatan Idle Cash BLU dapat melalukan optimalisasi pengelolaan kas dalam bentuk investasi jangka pendek atas saldo kas yang ada di BLU. Investasi jangka pendek dilakukan dalam kerangka pengelolaan kas melalui pemanfaatan surplus kas BLU, pada instrumen keuangan dengan risiko rendah seperti deposito ataupun surat berharga jangka pendek lainnya. Namun demikian dalam praktiknya muncul beberapa permasalahan, antara lain yang terkait dengan hak BLU atas saldo kas tersebut. Misalnya saldo kas yang bersumber dari dana Jamkesmas dan uang muka pasien pada BLU rumah sakit, serta saldo dana beasiswa pada BLU universitas. Apakah BLU boleh menempatkan saldo dana tersebut
6 Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)
pada investasi jangka pendek seperti deposito? Atas permasalahan ini, Kementerian Keuangan kemudian menerbitkan pengaturan bahwa BLU hanya diperbolehkan melalukan optimalisasi pengelolaan kas dalam bentuk investasi jangka pendek atas saldo kas yang telah menjadi haknya, dalam arti telah dimiliki dan atau dikuasainya. Dengan demikian, saldo dana Jamkesmas dan uang muka pasien pada BLU rumah sakit, serta saldo dana beasiswa pada BLU universitas tidak dapat ditempatkan dalam instrumen investasi jangka pendek. Saldo kas yang telah menjadi hak BLU bersumber dari: 1. pendapatan BLU sebagai hasil penyelenggaraan layanan, kerjasama, dan usaha lainnya yang sah, misalnya: pendapatan jasa layanan rumah sakit, jasa layanan pendidikan, jasa kajian, imbal hasil/bunga atas investasi / dana bergulir; 2. Pengeluaran pembiayaan anggaran yang bersumber dari BA BUN, misalnya dana kelolaan BLU untuk investasi, dana bergulir untuk KUKM/pengadaan tanah; 3. Dana lainnya yang secara sah dikuasasi oleh BLU, misalnya BLU Universitas menguasai dana abadi yang diperoleh dari para alumninya untuk dikelola dan hasilnya diperbolehkan untuk digunakan oleh BLU dimaksud (Direktorat PPK BLU, 2014). Di samping itu, pendapatan jasa perbankan sebagai hasil dari pemanfaatan iddle cash merupakan pendapatan PNBP Satker BLU, yang harus diajukan pengesahannya ke KPPN.
prestasi, pesangon dan atau pensiun. Pegawai BLU (Khususnya PNS) hanya dapat diberikan tunjangan tetap, bonus atas prestasi dan atau pesangon. Sedangkan untuk pegawai BLU (Non PNS) dapat diberikan tunjangan tetap, insentif, bonus atas prestasi, pesangon dan atau pensiun. Besaran remunerasi dihitung berdasarkan kemampuan keuangan (jumlah omset dan aset BLU), prestasi kerja, lokasi kerja, tingkat kesulitan pekerjaan, kelangkaan profesi, dan unsur pertimbangan rasional lainnya. Satker BLU terlebih dahulu harus mengajukan pola remunerasi kepada Menteri Keuangan melalui kementeriannya untuk mendapat penetapan. Komponen remunerasi terdiri dari: 1. Gaji, adalah imbalan finansial bersih yang diterima setiap bulan oleh pejabat pengelola dan pegawai BLU; 2. Honorarium, adalah imbalan finansial bersih yang diterima setiap bulan oleh Dewan Pengawas dan Sekretaris Dewan Pengawas; 3. Tunjangan (tetap), adalah tambahan pendapatan di luar gaji yang diterima oleh pejabat pengelola dan pegawai BLU, yang diberikan berdasarkan prestasi kerja, lokasi kerja, tingkat kesulitan pekerjaan, kelangkaan profesi, dan unsur pertimbangan rasional lainnya; 4. Bonus atas prestasi, adalah pemberian pendapatan tambahan bagi pejabat pengelola, pegawai, Dewan pengawas dan sekretaris dewan pengawas BLU yang hanya diberikan setahun sekali bila syaratsyarat tertentu dipenuhi (Direktorat PPK BLU, 2014).
Remunerasi Dalam pengelolaan BLU, kepada pejabat pengelola, dewan pengawas, dan pegawai BLU dapat diberikan remunerasi berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan profesionalisme yang diperlukan. Remunerasi dapat berupa tunjangan tetap, bonus atas
Besaran remunerasi ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek proporsionalitas, kesetaraan, kepatutan, dan kinerja operasional. Proporsionalitas yaitu pertimbangan atas ukuran (size) dan jumlah aset yang dikelola oleh BLU serta tingkat pelayanan. Pertimbangan ini sejalan dengan 7
Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)
compensable factor, meliputi segala jenis faktor yang dipilih untuk menentukan seberapa besarnya nilai suatu jabatan. Pertimbangan yang dapat digunakan untuk mengukur proporsionalitas atas besaran remunerasi adalah: 1. Posisi Jabatan. Posisi jabatan yang sama, untuk jenis layanan yang berbeda ataupun berdasarkan besar kecilnya unit yang dikelola tentunya tidak dapat disamakan besaran remunerasinya. Contoh: Rektor Universitas Diponegoro tidak dapat disamakan besaran remunerasinya dengan Direktur Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran; 2. Kualitas individu yang bersangkutan. Pegawai dengan reputasi atau pengalaman tertentu tidak dapat disamakan dengan orang yang belum punya reputasi atau pengalaman. Contoh: pegawai baru dan pegawai lama tidak dapat disamakan karena meskipun menangani pekerjaan yang sama, orang yang memiliki pengalaman biasanya akan menghasilkan hasil kerja yang lebih baik; 3. Kinerja. Pegawai yang mempunyai kinerja lebih baik tentu tidak dapat disamakan remunerasinya dengan pegawai dengan kinerja yang biasa-biasa saja (Direktorat PPK BLU, 2014). Aspek kesetaraan memiliki pengertian memperhatikan industri sejenis, yang bidang usahanya sama atau pada wilayah yang sama. Untuk posisi tertentu, contoh: akuntan, tidak bergantung pada bidang usaha karena akuntan bisa bekerja pada berbagai perusahaan yang berbeda-beda bidang usahanya. Selanjutnya juga yang perlu dibandingkan adalah gaji dasar (basic salary) dan total penghasilan (take home pay). Masing-masing satker BLU kemungkinan menerapkan remunerasi yang bervariasi sesuai dengan desain remunerasi yang mereka susun. Aspek kepatutan dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kemampuan pendapatan BLU yang bersangkutan. Proporsi
pendapatan yang digunakan untuk remunerasi juga menjadi salah satu pertimbangan yang digunakan untuk memberikan justifikasi atas usulan remunerasi yang diajukan. Sedangkan aspek kinerja operasional yaitu kinerja operasional BLU yang ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga, yang sekurangkurangnya mempertimbangkan indikator keuangan, pelayanan, mutu dan manfaat dari masyarakat. Kinerja operasional ini bisa dijadikan pertimbangan dalam penentuan remunerasi ataupun dasar pemberian bonus atas prestasi kerja. Agar diperoleh remunerasi yang dapat dikaitkan dengan kinerja pegawai, tahapan dalam pengelolaan remunerasi dapat dilaksanakan sebagai berikut: 1. Analisa dan Uraian Jabatan (Job Description and Analysis) Analisa jabatan adalah proses secara sistematis untuk mendapatkan informasiinformasi yang penting dan relevan mengenai suatu Jabatan. Sedangkan uraian jabatan adalah menjelaskan mengenai apa yang harus dikerjakan, mengapa dikerjakan, di mana dikerjakan, dan secara ringkas bagaimana mengerjakannya; 2. Penilaian Jabatan (Job Evaluation) Adalah proses secara sistematis untuk menilai besar-kecilnya atau bobot (secara relatif) jabatan-jabatan yang terdapat dalam suatu organisasi. Berdasarkan penilaian jabatan akan diperoleh pemeringkatan jabatan (Job Grading). Yang dibutuhkan untuk menilai suatu jabatan adalah Compensable Factor, yaitu segala jenis faktor yang dipilih untuk menentukan besarnya nilai jabatan. Compensable factor memiliki beberapa derajat/tingkatan pengukuran, yang umumnya meliputi: a. Kemampuan (Skill) yang meliputi: pengetahuan (formal maupun nonformal), kemampuan analitik, kemampuan fisik/visual, kreativitas, dan kemampuan berkomunikasi; 8
Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)
b. Aktivitas (effort) yang meliputi aktivitas fisik dan aktivitas mental; c. Tanggung jawab (responsibility) yang meliputi: akibat terhadap organisasi, pengambilan keputusan, hubungan internal atau eksternal organisasi, dan akuntabilitas; d. Kondisi kerja (working condition) yang meliputi: tingkat resiko lingkungan kerja dan tingkat kenyamanan tingkat kerja. 3. Struktur Remunerasi Pembuatan struktur remunerasi bertujuan untuk mendapatkan perimbangan/interaksi dari keadilan internal, kesetaraan eksternal, dan kemampuan BLU. Struktur remunerasi ditentukan dengan skala remunerasi tertinggi dan skala remunerasi terendah berdasarkan pemeringkatan jabatan; 4. Penilaian Kinerja Untuk kepentingan penghargaan atas pekerjaan, maka setiap peringkat pekerjaan dapat ditetapkan indeks berupa nilai atau angka. Indeks kinerja ini ditetapkan indeks kinerja individu dan indeks kinerja unit. Indeks kinerja individu berupa perbandingan antara pencapaian total target individu dengan Satuan Kerja Individu pada faktor-faktor yang ditentukan targetnya. Total target wajib dideskripsikan secara spesifik, terukur, realistis, dapat dicapai, menantang dan jelas waktu pencapaiannya. Sedangkan indeks kinerja unit, pencapaian total target unit kerja sesuai struktur organisasi. Tujuannya adalah agar setiap individu memberikan perhatian tinggi pada pencapaian kinerja unit kerjanya. Penilaian kinerja ini dapat dijadikan acuan untuk memberikan reward (misalnya: bonus) dan punishment (Direktorat PPK BLU, 2014). Permasalahan yang muncul adalah ketentuan bahwa BLU harus membayar remunerasi kepada seluruh pegawai di semua Unit. Padahal di beberapa BLU, hanya Unit tertentu yang bersifat revenue center,
sementara yang lain adalah cost center dan kegiatannya sama sekali tidak ada hubungannya dengan kegiatan BLU. Permasalahan lain, remunerasi menghendaki agar pegawai diberikan single salary payment, namun dalam praktiknya masih berpeluang menimbulkan double payment, misalnya pembayaran honorarium yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi satker BLU. Ketentuan APBN menggariskan, bahwa dalam pengelolaan keuangan, honor yang dapat dibayarkan adalah honor yang termasuk dalam belanja barang operasional dan belanja barang non-operasional. Honor yang termasuk dalam belanja barang operasional adalah honor yang terkait dengan operasional satker, misalnya honorarium pejabat pembuat komitmen. Sedangkan honor yang termasuk dalam belanja barang non-operasional adalah honor yang terkait dengan output kegiatan, yaitu honor untuk tim pelaksana kegiatan, namun pembayarannya harus selektif dengan ketentuan: 1. Pelaksanaannya memerlukan pembentukan panitia/tim/kelompok kerja; 2. Mempunyai output jelas dan terukur; 3. Sifatnya koordinatif dengan mengikutsertakan satker/organisasi lain; 4. Sifatnya temporer sehingga pelaksanaannya perlu diprioritaskan atau di luar jam kerja; 5. Merupakan perangkapan fungsi atau tugas tertentu kepada PNS disamping tugas pokoknya sehari-hari; 6. Bukan operasional yang dapat diselesaikan secara internal satker.
Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja BLU dilakukan dengan mempertimbangkan dua aspek yaitu aspek keuangan dan aspek kepatuhan. Aspek keuangan meliputi penilaian terhadap rasio keuangan yang terdirif dari rasio vertikal dan 9
Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)
rasio horizontal. Rasio Vertikal meliputi antara lain Rasio Kas (cash ratio), Rasio Lancar (current ratio), Periode Penagihan Piutang (collection period), Perputaran Aset Tetap (fixed asset turnover), Imbalan atas Aktiva Tetap (return on asset), dan Imbalan Ekuitas (return on equity). Rasio Horisontal meliputi antara lain Peningkatan Pendapatan (PNBP), Peningkatan Pendapatan Usaha Jasa Layanan, Peningkatan Pendapatan Usaha Lainnya, Peningkatan Nilai Aset, dan Peningkatan Nilai Aset Tetap. Sedangkan aspek kepatuhan meliputi antara lain penilaian terhadap pelaporan keuangan, pentarifan, dan Standard Operating Procedure (SOP) pengelolaan keuangan. Atas capaian indikator-indikator di atas kemudian dilakukan scoring/penilaian dan pembobotan dengan nilai tertentu. Skor/nilai total kemudian diberi kriteria kurang baik, cukup, atau baik, yang menunjukkan nilai kinerja satker BLU dari aspek keuangan. Terdapat banyak faktor yang dijadikan dasar dalam penilaian BLU. Mengingat tujuan pembentukan BLU adalah pelayanan kepada masyarakat dan tidak berorientasi mencari keuntungan, maka penilaian atas aspek keuangan saja tidak akan mampu menggambarkan kinerja pelayanan yang dilakukan oleh BLU. Demikian juga apabila penilaian didasarkan atas aspek kepatuhan pengelolaan keuangan BLU saja, maka penilaian tersebut tidak akan mampu menggambarkan kinerja keuangan yang telah dilaksanakan. Dalam hal penilaian, tujuan dilakukan penilaian terhadap aspek keuangan adalah untuk mengetahui seberapa jauh pengelolaan keuangan BLU telah diselenggarakan berdasarkan praktek-praktek bisnis yang sehat (best practice) yang tercermin dari laporan keuangannya. Namun demikian, beragamnya core business dan size tiap BLU, mengakibatkan pengukuran kinerja antar-BLU menjadi sulit dibandingkan.
Bagian Kedua, hasil kajian terkait dengan konten PPK BLU yang kurang memperhatikan prinsip fleksibilitas dan kemudahan bagi BLU. Permasalahan ini terkait dengan tarif layanan dan pencatatan Saldo Kas BLU di KPPN. Berikut penjelasan masing-masing permasalahan. Tarif Layanan Setiap BLU harus menyusun tarif layanan atas jasa yang telah diberikan kepada masyarakat. Tarif layanan BLU disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan, yang merupakan salah satu komponen di dalam RBA satker BLU. Tarif layanan diusulkan oleh BLU berkenaan kepada Menteri Teknis yang selanjutnya akan diajukan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan. Perhitungan tarif layanan harus memperhatikan empat aspek, yaitu: (1) kontinuitas dan pengembangan layanan; (2) daya beli masyarakat; (3) asas keadilan dan kepatutan; dan (4) kompetisi yang sehat. Keempat aspek tersebut akan digunakan oleh Tim Penilai Usulan Tarif dan Remunerasi BLU di lingkungan Kementerian Keuangan untuk menyetujui atau menolak usulan dimaksud. Namun demikian, penetapan Tarif Layanan oleh Menteri Keuangan mengalami kendala waktu dan proses yang tidak sebentar. Demikian pula perubahan tarif layanan untuk menyesuaikan dengan perkembangan lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, untuk memperlancar penerapan PPK BLU, Menteri Keuangan dapat mendelegasikan Penetapan tarif layanan BLU kepada menteri/ pimpinan lembaga dan/atau pemimpin BLU dengan memperhatikan karakteristik layanan BLU serta pengaruhnya terhadap masyarakat umum. Hal tersebut dimaksudkan memberikan keleluasaan bagi BLU dalam menghadapi tantangan dan perubahan pemberian jasa layanannya.
10 Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)
Di samping itu, dalam praktiknya ada BLU yang tarif untuk semua layanannya adalah “nol” atau gratis. Seperti BLU Lembaga Pengelola Dana Pendidikan “LPDP”. BLU LPDP bertugas mengelola dana abadi pendidikan yang dialokasikan setiap tahun dari APBN. Dana tersebut disalurkan dalam bentuk program beasiswa pendidikan, pendanaan kajian dan rehabilitasi sarana pendidikan yang rusak akibat bencana. Semua layanan tersebut diberikan secara Cuma-Cuma. Sehingga, LPDP tidak memiliki pendapatan yang terkait dengan layanan utamanya. Dampaknya, LPDP tidak memiliki tarif layanan. Pencatatan Saldo Kas BLU di KPPN Standar Akuntansi Pemerintahan memungkinkan saldo kas pada BLU disajikan pada akun “Kas pada BLU” dan “Investasi Jangka Pendek BLU” di Neraca BLU. Deposito berjangka waktu 1-3 bulan, masih diklasifikasikan sebagai akun ”Kas pada BLU”, sedangkan deposito berjangka waktu lebih dari 3-12 bulan diklasifikasikan sebagai akun ”Investasi Jangka Pendek BLU”. Secara periodik, KPPN melakukan rekonsiliasi dan analisis kas BLU dengan didukung rekening koran satker BLU. Permasalahan yang mungkin terjadi adalah pencatatan ganda (double counting) atas saldo Kas BLU di KPPN. Akun “Investasi Jangka Pendek BLU” berfungsi untuk menampung saldo kas yang ada di Rekening Pengelolaan Kas BLU dalam bentuk deposito berjangka lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 12 (duabelas) bulan, namun tidak termasuk dana kelolaan yang bersumber dari BA BUN. Sehingga, dengan munculnya akun “Investasi Jangka Pendek BLU” tersebut, KPPN tidak perlu melakukan perubahan terhadap akun “Kas pada BLU” yang telah tercatat di KPPN. KPPN perlu memastikan bahwa akun “Kas pada BLU” ditambah dengan akun “Investasi Jangka Pendek BLU” sama dengan akun “Dana Lancar BLU”. Kemudian, akun “Dana Lancar
BLU” dalam Neraca SAI harus sama dengan saldo kas BLU pada Laporan Daftar Rincian Kas BLU di KPPN.
Bagian Ketiga, hasil kajian terkait dengan lingkungan kepemerintahan yang menunjukkan kuatnya kultur birokrasi dalam pengelolaan keuangan dan secara konsisten melaksanakan prosedur keuangan dengan rujukan pada peraturan yang berlaku umum bagi satuan kerja instansi pemerintah. Permasalahan ini terkait dengan Standar Biaya dan Pencatatan Pendapatan Dalam Bantuk Barang. Penjelasan masing-masing permasalahan adalah sebagai berikut. Standar Biaya Setiap BLU wajib menyusun RBA yang memuat antara lain kondisi kinerja BLU tahun berjalan, asumsi makro dan mikro, target kinerja (output yang terukur), analisis dan perkiraan biaya per output dan agregat, perkiraan harga, anggaran, serta prognosa laporan keuangan. RBA juga memuat prakiraan maju (forward estimate) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. RBA disusun dengan menganut pola anggaran fleksibel (flexible budget) dengan suatu persentase ambang batas tertentu. RBA dimaksud merupakan refleksi program dan kegiatan dari kementerian negara/lembaga. Satker BLU merupakan bagian dari Kementerian Negara/Lembaga sehingga RBA Satker BLU adalah bagian yang tak terpisahkan dari RKA K/L. Konsekuensinya, pada saat pelaksanaan anggaran, Satker BLU pada dasarnya tetap terikat dengan aturan Standar Biaya dalam melakukan pembayaran baik yang bersumber dari rupiah murni maupun penerimaan BLU. Namun demikian, satker BLU dapat mempergunakan standar biaya lain melalui penetapan Standar Biaya Khusus oleh Menteri Keuangan, atau 11
Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)
penggunaan standar biaya berdasarkan perhitungan akuntansi biaya sebagai bagian dari biaya satuan (unit cost) pada saat penetapan tarif oleh Menteri Keuangan. Mulai tahun 2011 apabila satker BLU telah mempunyai perhitungan akuntansi biaya maka penyusunan RBA-nya menggunakan standar biaya tersebut, sedangkan untuk satker BLU yang belum mampu menyusun standar biaya, RBA disusun berdasarkan Standar Biaya Umum (SBU). PP Nomor 74 Tahun 2012 memberi peluang baru yaitu Pemimpin BLU dapat menetapkan standar biaya sendiri, sepanjang tidak menambah penghasilan dan fasilitas bagi pejabat/pegawai. Di samping itu, pengalokasian anggaran BLU pada RKA-K/L dirinci hanya pada satu program, satu kegiatan, dan satu output, sedangkan rincian pagu anggaran BLU dituangkan dalam RBA. Hal tersebut dimaksudkan untuk lebih memberikan keleluasaan bagi BLU dalam pemberian jasa layanannya dengan meminimalkan kemungkinan untuk melakukan revisi/perubahan anggaran. Namun demikian, konsep tersebut sampai saat ini belum dapat diimplemetasikan karena Aplikasi RKA-K/L belum dapat mengakomodir penyajiannya.
Pencatatan Pendapatan Dalam Bantuk Barang Sebagai instansi pemerintah yang dikelola dengan model business like, BLU memiliki fleksibilitas dalam pengelolaan pendapatan. Sebagaimana umumnya transaksi bisnis, BLU dapat saja menerima imbalan dalam bentuk barang atas layanan yang diberikan. Misalnya, BLU menempatkan deposito di suatu bank, di samping mendapat bunga juga mendapat imbalan berupa kendaraan. Di saat yang bersamaan, BLU telah menganggarkan pembelian kendaraan untuk keperluan operasional. BLU menerima imbalan berupa
kendaraan tersebut dengan pertimbangan mekanisme ini menguntungkan bagi BLU yaitu tidak perlu melakukan kontrak pengadaan kendaraan. Di sisi lain, BLU diwajibkan untuk melakukan pencatatan atas pendapatan tersebut melalui mekanisme pengesahan ke KPPN. Di sini muncul permasalahan pencatatan pendapatan tersebut. Pengesahan pendapatan BLU ke KPPN, akan berdampak bertambahnya Saldo Kas BLU. Hal ini terjadi karena aplikasi SPM akan “membaca” setiap penambahan pendapatan sebagai penambahan kas, kecuali pendapatan hibah barang. Aplikasi SPM tidak mengenal pendapatan bunga deposito non-kas. Akun pendapatan non-kas hanya dapat mencatat hibah dalam bentuk barang. Padahal, kendaraan yang diperoleh BLU tadi bukan merupakan hibah. Kendaraan tersebut diperoleh dengan menempatkan deposito, artinya bukan merupakan pemberian secara cuma-cuma (hibah) dari bank. Sehingga harus dicatat sebagai pendapatan bunga deposito. Solusinya, BLU melakukan pengesahan “Pendapatan” sekaligus “Belanja” dengan nominal yang sama dalam satu dokumen SP3B. Hal ini dapat dikatakan sebagai pencatatan “in-out”, sehingga saldo kas BLU tidak mengalami perubahan (ditambah sebesar “pendapatan” dan dikurangi sebesar “belanja”, dengan nominal yang sama). Kemudian, kendaraan tersebut dicantumkan dalam Neraca sebagai Asset. Namun demikian, hal ini harus diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan untuk memberikan penjelasan bahwa ada Pendapatan Non-kas berupa kendaraan, dan ada Belanja yang sebenarnya tidak terjadi (tidak ada dokumen pengadaan belanja kendaraan). SIMPULAN DAN SARAN Implementasi PPK BLU belum berjalan secara efektif dikarenakan tiga kategori penyebab. Pertama, tarik menarik 12
Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)
kepentingan antar pelaku kebijakan yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Teknis, dan Satker BLU. Faktor ini antara lain dapat ditunjukkan dengan permasalahan yang terjadi pada masa transisi, pemanfaatan idle cash, remunerasi, dan pengukuran kinerja. Kedua, konten PPK BLU yang kurang memperhatikan prinsip fleksibilitas dan kemudahan bagi BLU. Faktor ini dapat dijelaskan dengan contoh kasus pada penetapan tarif layanan dan pencatatan saldo kas BLU di KPPN. Ketiga, lingkungan kepemerintahan yang menunjukkan kuatnya kultur birokrasi dalam pengelolaan keuangan dan secara konsisten melaksanakan prosedur keuangan dengan rujukan pada peraturan yang berlaku umum bagi satuan kerja instansi pemerintah. Faktor ini dapat dijelaskan dengan permasalahan yang terkait dengan standar biaya dan pencatatan pendapatan dalam bentuk barang. Hasil kajian pada ketiga elemen tersebut mengakibatkan implementasi PPK BLU belum memberikan manfaat yang optimal bagi BLU dan masyarakat. Sehingga, untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat dan memperlancar penerapan penerapan PPK BLU, pemerintah perlu melakukan perubahan pengaturan BLU secara berkala. Namun perubahan tersebut harus tetap memperhatikan akuntabilitas kinerja dan keuangan sebagai penyeimbang terhadap fleksibilitas yang telah diberikan.
Referensi: Batley, Richard. 2004. Development and Change. 35 (1): 31-56. Blackwell Publishing, Oxford, UK. Box, Richard C. (1999). Running Government Like a BusinessImplications for Public Administration Theory and Practice. The American Review of Public Administration (Impact Factor: 1). 01/1999; 29(1):19-43.
Direktorat PPK BLU. (2014). Arsip Konsultasi. http://www.ppkblu.depkeu.go.id/index.p hp/baca/ berita/44/arsip-konsultasi. (diakses 21 Agustus 2014) Egeberg, Morten dan Jarle Trondal. (2010) Agencification and Location: Does Agency Site Matter?. Working Paper No. 3, March 2010. ARENA Working Paper. Hughes, O. E. (1998) Public Management and Administration, 2nd Ed., London: MacMillan Press Ltd. Meidyawati. (2011). Analisis Implementasi Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) Pada Rumah Sakit Stroke Nasional Bukit Tinggi. Diakses 10 Desember 2011. Prakoso, Cathas Teguh. (2014). Eksistensi Badan Layanan Umum Ditinjau Dalam Perspektif New Institutional Dan Principal-Agent Theory. eJournal Administrative Reform, 2014, 2 (4): 2422-2432. Thynne, I. (2003). Making Sense of Organizations in Public Management: A Back-to-Basics Approach. Public Organization Review, Vol. 3: 317-332. Waluyo, Indarto. (2011). Badan Layanan Umum Sebuah Pola Baru Dalam Pengelolaan Keuangan Di Satuan Kerja Pemerintah. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. IX. No. 2 – Tahun 2011, Hlm. 1 – 15. http://www.tbs-sct.gc.ca (diakses pada tanggal 21 Agustus 2014) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU), sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
13 Jurnal Infoartha Vol. 3/Tahun XII/2014 (27-38)