ANALISIS PENYELESAIAN FORCE MAJEURE DALAM PRODUK PEMBIAYAAN PADA BANK SYARIAH SKRIPSI Diajukan Pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (S.E)
Disusun oleh : CEISA SHADRINA PRANINDIRA 1112046100056
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 2015/2016
ii
iii
iv
ABSTRAK Ceisa Shadrina Pranindira. NIM 1112046100056. Analisis Penyelesaian Force Majuere dalam Produk Pembiayaan pada Bank Syariah, Skripsi Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Perkembangan pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah tidak dapat dielakkan seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Beberapa kejadian force majeure yang menimpa nasabah pembiayaan di bank syariah memerlukan perhatian khusus dalam penyelesaiannya. Penyelesaian force majeure diatur dalam fatwa-fatwa DSN-MUI serta Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yaitu analisis logis normative. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan serta data sekunder berupa buku-buku, karya tulis, dan literatur terkait. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil peneltian menunjukkan bahwa (1) Bentuk-bentuk kasus force majeure yang terjadi pada pembiayaan di bank syariah tidak membedakan model penyelesaian yang dilakukan oleh bank syariah sebagaimana penyelesaian pembiayaan bermasalah secara umum (2) Tindakan penyelesaian kasus force majeure yang dilakukan oleh bank syariah tidak menghapus kewajiban nasabah kepada bank. Tindakan ini mengacu kepada KUHP pasal 1445. (3) Menurut hukum Islam kerugian yang terjadi pada pembiayaan mudharabah menjadi tanggungan pihak pemodal (shahibul maal). Kasus force majeure yang terjadi pada nasabah pembiayaan mudharabah (mudharib) tidak menghilangkan beban hutang kepada bank syariah. Dalam perspektif hukum islam tindakan penyelesaian kasus force majeure harus mengacu kepada hal-hal yang telah difatwakan oleh DSN-MUI dan KUHP pasal 1244-1245. Serta menjunjung tinggi asas keadilan Kata kunci
: Pembiayaan, Bank Syariah, Force majeure.
v
ABSTRACT Ceisa Shadrina Pranindira. NIM 1112046100056. Force Majeure Resolution Analysis in Product Financing Islamic Bank, Islamic Banking Concentration Thesis, Study Program Muamalat (Islamic Economics), Faculty of Sharia and Law, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. The development of financing provided by Islamic banks is inevitable with the development of society itself. Some of the force majeure events affecting customer financing in Islamic banks need special attention in its completion. Completion of force majeure is set in fatwas DSN-MUI and the Book of the Law of Civil Law. The method used in this research using normative juridical approach to the specification of normative research is a logical analysis. Data collection techniques used are primary data obtained from the legislation as well as secondary data in the form of books, papers, and related literature. The data obtained and analyzed qualitatively. Based on the research findings indicate that (1) forms a case of force majeure which occurred in the financing in Islamic banks do not differentiate models of settlement made by Islamic banks as well as the completion of financing problems in general (2) Actions for resolving cases of force majeure carried out by Islamic banks do not remove the client's obligation to the bank. This action refers to the Penal Code Article 1445. (3) Under Islamic law the losses incurred in the financing is borne by the investor (shahibul maal). Case of force majeure which occurred on customers of financing (mudharib) does not eliminate the debt burden to Islamic banks. In the perspective of Islamic law action for resolving cases of force majeure shall refer to things that have been stated by a DSN-MUI and the Criminal Code article 1244 to 1245. And upholding the principle of justice Keywords: Financing, Islamic Banking, Force majeure.
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP A. Data Pribadi Nama Tempat/Tanggal Lahir Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Kewarganegaraan Alamat
: : : : : : :
Telephone Email
: :
Ceisa Shadrina Pranindira Jakarta, 9 Juni 1994 Perempuan Islam Mahasiswa Indonesia Jl. Aster No. 28. Rawa Laut, Tanjungkarang Timur Bandar Lampung 081957039167
[email protected]
B. Latar belakang Pendidikan Formal 2000 – 2006 2006 – 2009 2009 – 2011 2011 _ 2012
: SD Islam Pondok Duta : SMP Islam Terpadu Al Ihya Insan Kamil Bogor : Pondok Modern Darrussalam Gontor Putri I Mantingan : MAN 1 Model Bandar Lampung
C. Keorganisasian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Sekretaris OSIS (2007), Presenter POIN (Pekan Olahraga Insan) Al Ihya Insan Kamil (2008) Bendahara OSIS (2008), Peserta Pelaksana event Pesantren Kilat Isra’ Mi’raj (2010) Ketua MALDA Majalah Lintas Darrussalam Gontor Putri 1 (2011), Ketua MPR Darrussalam Gontor Putri 1 (Majelis Permusyawaratan Rayon) (2011) Koord. Divisi Bahasa Arab Rayon Darrussalam Gontor Putri 1 (2011) Koord. Divisi Kesenian Perpisahan Asrama MAN 1 Bandar Lampung (2011) Anggota Satgas BNN (Badan Narkotika Nasional) MAN 1 Bandar Lampung (2011) Consultant Oriflame Indonesia (2012) Anggota HMI Himpunan Mahasiswa Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2012), Anggota Kemahasiswaan HMPS Himpunan Mahasiswa Perbankan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2013) Freelancer Make Up Artis di Instagram @khafmarina Make Up (2014) vii
KATA PENGANTAR
Assalamua’laikum Wr. Wb. Segala puji dan syukur hanya kepada Allah Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.Dia antara kesempurnaannya adalah Allah karuniakan manusia pikiran dan kecerdasan. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada pimpinan seluruh umat Islam, tiada lain yakni Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, dan umat yang selalu berpegang teguh pada tali agama Allah hingga akhir zaman. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari adanya rintangan dan ujian, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari dukungan dan bantuan orang-orang terpenting dalam memberikan bimbingan, masukan, dan dorongan yang berharga kepada penulis guna terselesaikannya skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis mengungkapkan banyak terima kasih terutama kepada : 1. Dr. Arief Mufraini, Lc., M.Si, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis beserta staff dan jajarannya sebagai sosok pemimpin, serta pembina di kampus, yang telah memberikan bimbingan serta arahan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
2. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta staff dan jajarannya sebagai sosok pemimpin, serta pembina di kampus, yang telah memberikan bimbingan serta arahan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Adhitya Ginanjar, M.Si, selaku Ketua Program Studi Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, sebagai sosok yang mengayomi mahasiswa, membantu serta memberikan penulis masukan dan bimbingan dalam proses penulisan skripsi. 4. AM Hasan Ali, MA, selaku Ketua Program Studi Muamalat, Konsentrasi Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah menjadi inspirasi serta sosok yang begitu mengayomi mahasiswa, membantu serta memberikan penulis masukan dan bimbingan dalam proses penulisan skripsi. 5. Fitri Damayanti, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis,yang telah banyak membantu serta memberikan penulis masukan dan bimbingan dalam proses penulisan skripsi. 6. Abdurrauf, Lc, MA, selaku Sekretaris Program Studi Muamalat, Konsentrasi Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum. Tidak ada kata yang pantas selain ucapan terima kasih dan doa atas kesabarannya dalam membantu proses pembelajaran di kampus.
ix
7. H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH, Pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang bersedia meluangkan waktunya. Ucapan terima kasih penulis haturkan atas kesabaran, saran, dan arahannya dalam penulisan skripsi ini. 8. Seluruh Dosen Konsentrasi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah mengajarkan penulis berbagai hal, terutama ilmu yang bermanfaat, semoga semua itu menjadi amal kebajikan di dunia maupun di akhirat nanti. 9. Pimpinan perpustakaan fakultas dan perpustakaan utama serta seluruh karyawan
dan
staffnya
yang
telah
memfasilitasi
penulis
dalam
menyelesaikan skripsi ini. 10. Moh. Ruli Fahmi (Pemimpin Cabang BJB Syariah Soepomo-Jakarta), Daniel (Financing Manager BJB Syariah Soepomo-Jakarta), Novagia Tansyah (Branch Ops Manager BJB Syariah Soepomo-Jakarta), tiada kata yang pantas selain haturan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kebaikan dan bantuan dalam setiap proses pengambilan data serta wawancara di Bank BJB Syariah Kc. Soepomo-Jakarta. Semoga kesuksesan terus terkarunia kepada mereka dan menjadi amal kebaikan di dunia maupun di akhirat. 11. Hadi Wijaya Arifin (Kepala Unit Kerja BSM Bandar Lampung), Kiki Hendrawati (CBRM BSM KCP. Kedaton Bandar Lampung), Lisa Mallyanti (Branch Ops Manager BSM KCP. Bandar Lampung), Wijonarko (Area Consumer & Financing Manager BSM Bandar Lampung), Wendra M (Account Maintenance BSM Bandar Lampung), Muhammad Faisal (Commersil Bussines Banking BSM Bandar Lampung, tiada kata yang pantas selain haturan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kebaikan dan
x
bantuan dalam setiap proses pengambilan data serta wawancara di BSM Area Bandar Lampung. 12. Marnita, selaku Legal Staff Unit Support Penanaman Dana Bank Muamalat Bandar Lampung yang membantu penulis dalam setiap proses wawancara di Bank Muamalat Bandar Lampung. 13. Abadi Riantini. Mkn, selaku Notaris di Bandar Lampung yang membantu penambahan kebutuhan informasi penulis 14. Teristimewa untuk keluarga ku, Ibunda (Evialty Primelly), Abi (Wael Shoukry Abu El Nagaa), Bapak (Budhi Darma Prakasa), Ibu (Kuswiningsih), Adik ku
yang manis (Khalifah Aufa Aslamma), Adik ku yang cantik
(Malika Wael Shoukry Abu El Nagaa), terima kasih atas segala doa, dukungan, nasehat serta rasa kekeluargaan yang begitu indah, senantia memberikan support sehingga penulis dapat menyelesaiakan studi di jenjang strata 1 ini. sungguhh jasamu tiada tara. 15. Kepada teman-teman serta sahabat-sahabat terdekat yang menemani dalam suka maupun duka, Wanda Kurniady, Fahmi Alamsyah, Rahma Julianti, Aprilia Wulandari Effendi, Moena Azizah, Naila Rahma Siregar, Farah Lisani, Syarah Mahbubah, Ka Hilman, Ka Ina, Auladya Istiana, Camelia Ratna Tribuana, Carmelita Ratna Tribuana, Marieta Putri, Jasmine Arini Putri yang telah memberikan pengalaman berharga, doa serta dukungan kepada penulis untuk berjuang menyelesaikan skripsi ini. 16. Kepada seluruh Keluarga Besar kelas Perbankan Syariah B angkatan 2012, ucapan terima kasih yang berlimpah atas segala kebersamaan selama kuliah,
xi
waktu, pengalaman, dan pelajaran selama ini, semoga semua ilmu yang kita peroleh terus bermanfaat, baik bagi pribadi maupun masyarakat. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata.Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya, semoga Allah SWT selalu memberikan kita keberkahan dan barokah dalam kehidupan.Amin. Wassalamua’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 30 Juni 2016
CEISA SHADRINA PRANINDIRA
xii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..........................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ..................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ................
iv
ABSTRAK .................................................................................................
v
ABSTRACT ................................................................................................
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................
vii
KATA PENGANTAR ...............................................................................
viii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .......................................................................
1
B. Idenifikasi Masalah ................................................................
7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................
8
D. Tujuan Penelitian ...................................................................
9
E. Manfaat Penelitian .................................................................
9
F. Review Studi Terdahulu ........................................................
10
1. Jurnal Ilmiah......................................................................
10
2. Penelitian Lain ..................................................................
16
G. Metode Penelitian ..................................................................
19
1. Jenis Metode Penelitian.....................................................
19
2. Metode Pendekatan ...........................................................
19
3. Data dan Sumber Data ......................................................
20
4. Metode Pengumpulan Data ...............................................
21
5. Metode Pengolahan Data ..................................................
21
6. Bentuk Analisis .................................................................
22
7. Teknik Penulisan ...............................................................
22
H. Sistematika Penulisan ............................................................
22
xiii
BAB II TEORI FORCE MAJEURE PEMBIAYAAN A. Force Majeure .......................................................................
25
1. Pengertian Force Majeure ...............................................
25
2. Dasar Hukum Force Majeure ..........................................
26
3. Macam-macam Force Majeure .......................................
27
4. Teori Force Majeure ........................................................
29
5. Akibat Force Majeure .....................................................
33
B. Force Majeure dalam Hutang Piutang...................................
35
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata ............................
35
2. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia ..........................................................................
37
BAB III MODEL-MODEL PENYELESAIAN KASUS FORCE MAJEURE A. Standar Force Majeure ..........................................................
45
B. Kasus Force Majeure dalam Akad Murabahah dan Mudharabah...........................................................................
46
C. Standar Penyelesaian Sengkete Pembiayaan .........................
48
D. Pola Penyelesaian Sengkete di Bidang Kontak .....................
51
1. Melalui Negosiasi ............................................................
51
2. Melalui Mediasi ...............................................................
53
3. Melalui Arbitrase .............................................................
53
4. Melalui Pengadilan (Litigasi)/Gugatan ............................
54
5. Penyitaan dan Pelelangan Jaminan ..................................
54
E. Pengakhiran Akad Murabahah ..............................................
55
F. Pengakhiran Akad Mudharabah ............................................
56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Bentuk-bentuk Force Majeure dalam Produk Pembiayaan di Bank Syariah ..........................................................................
59
B. Model-model Penyelesaian Force Majeure dalam Produk Pembiayaan Syariah ............................................................... xiv
66
C. Analisis Penyelesaian Force Majeure dalam Produk Pembiayaan Murabahah dan Mudharabah di Bank Syariah.
72
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................
84
1. Bentuk-bentuk Force Majeure yang terjadi dalam Produk pembiayaan Bank Syariah ...................................
84
2. Model-model Penyelesaian kasus Force Majeure dan Prosedur yang ditempuh para Pihak Bank Syariah ..........
84
3. Kesesuaian model dan prosedur penyelsaian kasus Force Majeure yang digunakan oleh Bank Syariah dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dan prinsip-prinsip Syariah .............................
84
B. Saran ......................................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
87
LAMPIRAN
xv
DAFTAR LAMPIRAN Tabel 1 Kasus Force Majeure pada Akad Pembiayaan di Bank Syariah ...
xvi
81
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pesatnya perkembangan ekonomi dan pengetahuan berkembang menggiring masyarakat agraris kearah masyarakat modern1 dengan tingkat kebutuhan yang terus meningkat di segala bidang, pembiayaan, sosial, politik atau dalam interaksi lainnya. Dalam hal pembiayaan, setiap pribadi atau perusahaan tentu membutuhkan dana untuk usahanya, baik untuk kelangsungan berjalannya usaha atau sebagai tahap awal memulai suatu usaha baru. Hal keuangan yang sensitif ini sering kali membutuhkan pihak lain sebagai penunjang dana untuk mencukupi kebutuhan dalam berjalannya usaha. Peranan bank di kehidupan masyarakat seperti yang tertera pada UU No. 10 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dengan rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.2 Begitu pula dengan perbankan syariah yang menjadi salah satu Lembaga Keuangan Syariah yang saat ini kerap berkembang dan diminati oleh masyarakat, dimana lembaga ini meliputi dua unsur yang sangat penting
1
Mohammad Muslehuddin, “Insurance and Islamic Law, 2nd Edition”, (Delhi : Markazi Maktaba Islami, 1995),h.ix. 2 Wikisource, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 (UU/1998/10)”, diakses dari https://id.wikisource.org/wiki/UndangUndang_Republik_Indonesia_Nomor_10_Tahun_1998, pada tanggal 14 Oktober 2015 pukul 21: 22 WIB
1
2
yaitu unsur kesesuaian dengan syariah Islam dan unsur legalitas operasi sebagai lembaga keuangan. Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
prinsip
syariah,3
dengan
kata
lain
seluruh
kegiatan
operasionalnya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Keberadaan bank syariah ditengah-tengah kebutuhan pembiayaan yang tak kunjung tercukupi memang sangat membantu dalam hal keuangan. Beberapa kontrak perjanjian pembiayaan pun dilakukan untuk mencapai kesepakatan antara pihak bank dan nasabah. Kontrak perjanjian ini dibuat dengan peraturan dan ketentuan yang mengikat keduanya dalam kewajiban yang harus mereka penuhi seperti yang dikatakan dalam Firman Allah SWT dalam QS.al- Ma‟idah [5]: 1: ِ آمنُ ْوا أ َْوفُ ْوا بِالْعُ ُق ْو ِد َ يَآأَيُّ َها الَّذيْ َن "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu ..." Serta dalam Hadist Nabi riwayat Tirmidzi dari „Amr bin „Auf : ِ لصلْح جائِز ب ين الْمسلِ ِمين إِالَّ صلْحا ح َّرم حالَالً أَو أَح َّل حراما والْمسلِمو َن َعلَى ُشر وط ِه ْم إِالَّ َش ْرطًا َح َّرَم َحالَالً أ َْو َ َ َ ً ُ ُ ْ ُ َ ً ََ َ ْ َ ْ ُ َ ْ َ ٌ َ ُ ُّ َا ُ )َح َّل َح َر ًاما (رواه الترمذي عن عمرو بن عوف َأ "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
3
Rizal Yaya, dkk., “Akuntansi Perbankan Syariah”, (Jakarta : Salemba Empat, 2009), h.54
3
Disepakatinya perikatan perjanjian dalam pembiayaan perlu di dasari oleh dasar-dasar yang kuat. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua pihak, berdasarkan pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut4. Kontrak merupakan sbentuk ikatan kesepakatan yang dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis. Pembiayaan sendiri adalah penyediaan dana berdasarkan persetujuan dan kesepakatan antara bank dengan
pihak
lain
yang
mewajibkan
pihak
yang
dibiayai
untuk
mengembalikan tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan, tanpa imbalan atau bagi hasil5. Di dalam pembuatan kontrak pembiayaan, akan selalu berkaitan dan bersinggungan dengan asas-asas hukum, yang mana asas dimaknai sebagai hal-hal mendasar yang menjadi latar belakang lahirnya suatu norma atau aturan. Dalam kesepakatan antara kedua belah pihak, ada beberapa kemungkinan
terjadinya
peristiwa
yang
menyebabkan
terhambatnya
kelancaran pelaksanaanprestasi untuk memenuhi kontrak perjanjian. Peristiwa seperti
ini
terjadi
secara
tidak
terduga
serta
tidak
dapat
dipertanggungjawabkankepada pihak yang lainnya sementara pihak yang tidak
melaksanakan
prestasinya
tidak
beritikad
buruk
atau
dapat
diterjemahkan sebagai force majeure yaitu keadaan memaksa.Potensi 4
Diana Kusumasari. “Perbedaan dan persamaan dari Persetujuan, Perikatan, Perjanjian, dan Kontrak”, diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e3b8693275c3/perbedaan-dan-persamaan-daripersetujuan-perikatan-perjanjian-dan-kontrak, pada tanggal 20 April 2016 pukul 18 : 43 WIB 5 AH. Azharuddin Latif, ”Analisis yuridis dan ekonomi terhadap pengenaan pajak pertambahan nilai pada pembiayaan murabahah di perbankan syariah”, (Tesis S2 program studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2008), h.65.
4
terjadinya force majeure memiliki dampak yang berbeda terhadap para pelaku ekonomi, misalnya force majeureyang menimpa sektor perbankan karena krisis ekonomi pada 17 November 1997 membuat pemerintah harus melikuidasi (membubarkan) 16 bank swasta dan dilanjutkan dengan 50 bank pada likuidasi kedua. Likuidasi dilakukan dengan tujuan menyehatkan dan merampingkan dunia perbankan. Akan tetapi, ternyata likuidasi 66 bank tersebut
berdampak
buruk,
masyarakat
berlomba-lomba
mengambil
simpanannya dari bank-bank yang dikabarkan akan dilikuidasi. Maka, terjadilah rush (pengambilan terus-menerus) oleh masyarakat perbankan6. Peristiwa tidak terduga lainnya juga dapat menimpa pihak nasabah, misalnya kebakaran yang terjadi pada usaha nasabah yang menyebabkan gagal bayar dalam mengembalikan pembiayaannya dengan pihak bank atau terjadinya PHK masal pada pekerja suatu perusahaan yang pailit. Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force majeure tersebut menyebabkan seseorang tidak wajib melakukan perbuatan yang wajib dilakukannya dalam keadaan yang normal,7 ini sesuai dengan KUHPerdata 1244 – 1245 dan dijelaskan lebih lanjut dengan KUH Perdata 1444 – 1445. Pada kesimpulannya, inti yang terkandung dalam pasal KUH Perdata ini adalah tidak dikenakannya biaya, rugi dan bunga pada seseorang jika ia benar mengalami suatu keadaan memaksa yang tidak disengaja dan ia dapat 6
Dian Respati, “Keadaan Perbankan Ketika Krisis Moneter”, diakses dari http://ekonomisku.blogspot.co.id/2015/05/keadaan-perbankan-ketika-krisis-moneter.html, pada tanggal 15 juli 2016 pukul 19 : 11 WIB 7 Ibnu Sina Chandranegara, “Pengujian PERPU terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga Negara”, Jurnal Yudisial Vol. V No. 1, April 2012, h. 12.
5
membuktikannya. Keadaan force majeure membuat seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak dan peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditur karna ia tidak dapat dikatakan lalai ataupun melakukan wanprestasi8. Dalam penyelesaian kasusforce majeureini dapat menggunakan caracara yang lazim digunakan dalam penyelesaian sengketa di dunia Kontrak, sebagai jalan keluar untuk menyelesaiakan sengketa yang bersangkutan.Pola penyelesaian sengketa force majeure ini umumnya dapat menggunakan salah satu dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), yaitu : melalui negosiasi, melalui pengadilan (litigasi)/gugatan, melalui arbitrase, atau melalui mediasi. Kelanjutan risko yang terjadi pada pihak ini dimana pihak terkait harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa : 1) pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi), 2) pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi).9 Mengenai tuntutan apa yang harus ditanggung oleh pihak yang force majeuretersebut tergantung pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan.10Tetapi pihak yang dituduh wanprestasi (yang pada umumnya adalah debitur), dapat mengajukan tangkisan-tangkisan untuk membebaskan diri dari akibat buruk wanprestasi yang diantaranya berupa tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi
8
Michael R. Purba, “Kamus Hukum”, (Jakarta : Widyatamma, 2009), h.308. Ahmadi Miru,”Hukum Perancangan Kontrak” (Jakarta : Rajawali Pers, 2007), h.75. 10 Ahmadi Miru,”Hukum Perancangan Kontrak”,h.75. 9
6
karena keadaan memaksa (overmatch) yang mengakibatkan kerugian tanpa kesalahan (risiko).11 Risiko dalam pengertian hukum merupakan kerugian yang diderita oleh seseorang, tetapi pembayaran ganti rugi tidak dapat dibebankan kepada orang lain karena tidak adanya peran orang lain yang merupakan penyebab timbulnya kerugian ini. Dengan terjadinya force majeure, risiko tidak dapat ditimpakan
kepada
pihak
yang mengalaminya.
Jika
debitur
dapat
membuktikan bahwa ia tidak dapat melaksanakan prestasi karena force majeure tersebut, maka hakim akan menolak tuntutan kreditur yang meminta agar debitur memenuhi prestasi (atau ganti rugi). Risiko debitur terhadap terjadinya wanprestasi karena force majeure yaitu 12: 1. Risiko pada perjanjian sepihak yaitu risiko ditanggung oleh kreditur, debitur tidak wajib memenuhi prestasinya. 2. Risiko pada perjanjian timbal balik yaitu dimana salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasi karena force majeure maka seolah-oleh perjanjian itu tidak pernah ada. Pada umumnya risiko ditanggung oleh pemilik barang
13
yang dalam
dunia perbankan ditanggung oleh bank.Walaupun telah disebutkan bahwa pada umumnya risiko ditanggung oleh pemilik barang, dalam keadaan tertentu risiko dapat saja ditanggung oleh orang yang belum menjadi pemilik
11
Ahmadi Miru,”Hukum Perancangan Kontrak“, h.76. Rohmadi, “Ketentuan-ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak Perjanjian”, diakses dari https://rohmadijawi.wordpress.com/hukum-kontrak/ pada tanggal 17 November 2015 pukul 20 : 16 WIB. 13 Ahmadi Miru,”Hukum Perancangan Kontrak”, h.83 12
7
barang14. Munculnya risiko pada kontrak-kontrak pembiayaan bank syariah menjadi antisipasi bagi pihak bank untuk mengupayakan penempatan dana dalam bentuk saham yang dilakukan dan tidak melalui pasar modal. Bank dapat melakukan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan izin dari Bank Indonesia dan melakukan penyelesaian pembiayaan sebagai suatu upaya yang dilakukan bank untuk menyelesaikan pembiayaan bermasalah yang tidak mempunyai prospek. Atas dasar pertimbangan pembahasan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Analisis Penyelesaian Force majeure dalam Produk Pembiayaan pada Bank Syariah. B. Identifikasi Masalah Dari latar belakang yang telah dikemukakan banyak masalah yang dapat diidentifikasi diantaranya : 1.
Beragam bentuk force majeure dapat terjadi dalam pembiayaan perbankan syariah
2.
Ketentuan force majeure masih jarang dicatat pada lampiran kontrak perjanjian
3.
Adanya
perbedaan
penyelesaian
force
majeure
dalam
produk
pembiayaan di bank syariah terhadap nasabah pembiayaan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu 4.
Beragam model-model penyelesaian kasus force majeure dan prosedur yang ditempuh para pihak di lembaga perbankan syariah
14
Ahmadi Miru,”Hukum Perancangan Kontrak“, h.84.
8
5.
Adanya ketidaksesuaian model dan prosedure penyelesaian kasus force majeure yang digunakan oleh bank syariah dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dan prinsip-prinsip syariah
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari permasalahan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana bentuk-bentuk force majeure yang terjadi dalam pembiayaan perbankan syariah?
2.
Bagaimana model-model penyelesaian kasus force majeuredan prosedur yang ditempuh para pihak di lembaga perbankan syariah?
3.
Bagaimana kesesuaian model dan prosedure penyelesaian kasus force majeure yang digunakan oleh bank syariah dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dan prinsip-prinsip syariah? Selanjutnya,
untuk
mempermudah
pembahasan
maka
penulis
memberikan batasan-batasan penelitian yaitu : 1.
Pembatasan pembahasan force majeure pada penelitian ini adalah kajian penyelesaian kasus force majeure dalam produk pembiayaan ditinjau dari aspek hukumnya.
2.
Pembatasan penelitian ini hanya dilakukan di 3 bank syariah.Hal ini dikarenakan diperlukannya peninjauan ulang mengenai kesesuaian tindakan penyelesaian kasus force majeure yang terjadi pada produk pembiayaan di beberapa bank syariah.
9
3.
Pembatasan pembahasan kasus force majeure yang terjadi dalam produk pembiayaan di bank syariah dibatasi pada produk pembiayaan yang berbasis jual beli dengan akad murabahah dan yang berbasis bagi hasil dengan akad mudharabah.
D. Tujuan Penelitian 1.
Menjelaskan
bentuk-bentuk
force
majeure
yang
terjadi
dalam
pembiayaan perbankan syariah 2.
Menjelaskan model-model penyelesaian kasus force majeure dan prosedur yang ditempuh para pihak di lembaga perbankan syariah
3.
Menjelaskan kesesuaian model dan prosedure penyelesaian kasus force majeure yang digunakan oleh bank syariah berdasarkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dan prinsip-prinsip syariah
E. Manfaat Penelitian Manfaat hasil penelitian ini meliputi dua aspek, yaitu: 1.
Secara teoritis Manfaat hasil penelitian ini dari segi teoritis, diharapkan dapat berguna untuk dijadikan bahan acuan penelitian berikutnya, kemudian untuk menambah wawasan masyarakat, akademisi, organisasi masyarakat mengenai badan hukum khususnya terhadap praktek
penerapan
penyelasaian force majeure tersebut dalam produk pembiayaan pada perbankan syariah.
10
2.
Aspek praktis Dari segi praktis, untuk dijadikan pemahaman bagi para kaum muslimin khususnya yang ingin melibatkan diri dalam transaksi yang berhubungan langsung dengan akad-akad berisi klausul tentang force majeure, baik yang bersifat lembaga keuangan bank.
F. Review Studi Terdahulu 1.
Jurnal ilmiah Jurnal ilmiah yang terkait dengan penelitian saat ini adalah jurnal dengan judul “Akibat Hukum Terhadap Debitur Atas Terjadinya force majeure (keadaan Memaksa)” oleh Putu Parama Adhi Wibawa dalam Jurnal Kertha Semaya15. Kesimpulan dari jurnal ini bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar pihak yang satu memiliki hak (kreditur) dan pihak lain memiliki kewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi. Pada perikatan, jika debitur tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela dengan itikad yang baik dan sebagaimana mestinya maka kreditur dapat meminta bantuan hukum agar ada tekanan kepada debitur supaya ia memenuhi kewajibannya. Untuk menentukan bahwa suatu hubungan hukum itu merupakan perikatan pada mulanya para sarjana menggunakan ukuran dapat “dinilai dengan uang”.Suatu hubungan dianggap dapat
15
Putu Parama Adhi Wibawa,“Akibat Hukum Terhadap Debitur Atas Terjadinya Force Majeure (Keadaan Memaksa)”. Jurnal Kertha Semaya. Vol 02, No. 06, Oktober 2014. diakses dari http://id.portalgaruda.org/index.php?ref=browse&mod=viewarticle&article=195720, pada tanggal 8 November 2015 pukul 23 : 16 WIB.
11
dinilai dengan uang jika kerugian yang diderita seseorang dapat dinilai dengan uang. Pada perikatan yang berupa memberikan sesuatu prestasi melalui penyerahan suatu barang misalnya penjual berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan.Keadaan yang menimbulkan force majeureharus terjadi setelah dibuatnya persetujuan karena jika pelaksanaan
prestasinya
sudah
tidak
mungkin
sejak
dibuatnya
persetujuan, maka persetujuan tersebut batal demi hukum. Hal-hal tentangforce majeure terdapat di dalam
ketentuan-ketentuan yang
mengatur ganti rugi yaitu pada pasal 1244 KUH Perdata dan pasal 1245 KUHPerdata. Mengenai force majeure terdapat dua teori yaitu teori absolut dan teori relatif. Menurut teori absolut, debitur berada dalam keadaan memaksa, apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada unsur impossibilitas) dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap orang, sedangkan menurut teori relatif keadaan memaksa itu ada, apabila debitur masih mungkin melaksanakan prestasi, tetapi dengan kesukaran atau pengorbanan yang besar. Terjadinya force majeure tidak menutup kemungkinan disebabkan karena kelalaian dari debitur. Akibat dari kelalaiannya yang menyebabkanforce majeure terjadi maka debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dan debitur harus mengganti kerugian yang terjadi.
12
Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam fokus kajian pada jurnal, hanya dijelaskan bagaimana pemahaman teori-teori dalam keadaan memaksa atau force majeure dan akibat hukum terhadap debitur atas terjadinya force majeure, sedangkan pada penelitian sekarang tidak hanya membahas pemahaman teori tetapi juga membahas mengenai bagaimana implementasi, akibat dan penyelesaian dari force majeure. Jurnal kedua adalah jurnal oleh Merilatika dengan judul “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang Jasa Hiburan” dalam Jurnal Kertha Semaya yang pada kesimpulannya mengulik kasus antara Syahrini (penyanyi) dengan promotor acara di Bali yang telah mendapat kekuatan hukum tetap yang dituangkan dalam putusan Pengadilan Negeri Bogor Nomor: 05/Pdt.G/2012/PN.Bgr16. Syahrini dituntut ganti rugi akibat dianggap telah melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan prestasinya untuk menyanyi.Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa apabila debitur “karenakesalahannya” tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka debitur itu wanprestasi atau cidera janji. Kata “karenakesalahanya” sangat penting, oleh karena itu debitur tidak melaksanakan prestasi yang diperjanjikan sama sekali bukan karena salahnya.
16
Merilatika “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang Jasa Hiburan”. Jurnal Kertha Semaya. Vol. 03, No. 05, September 2015. diakses dari http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=348782, pada tanggal 9 November 2015 pukul 03 : 00 WIB
13
Syahrini mendalilkan hal itu bukan sebagai wanprestasi melainkan force majeure dengan alasan ia harus menemani ayahnya yang sedang sakit di Rumah Sakit. Pihak promotor tidak setuju terhadap dalil tersebut karena menurut kuasa hukumnya haltersebut tidak tercantum dalam klausul force majeure di perjanjian yang telah mereka sepakati.Penulis berasumsi bahwa kemungkinan besar tidak pernah terlintas dalam pikiran Syahrini maupun promotornya untuk memasukkan alasan sakit ataumeninggalnya ayah Syahrini sebagai suatu keadaan memaksa atau force majeure dalam kontrak mereka. Batal menyanyinya Syahrini pada acara tersebut tentunya mengakibatkan promotor mengalami kerugian nyata dan kehilangan keuntungan yang diharapkan didapat bila Syahrini melaksanakan prestasinya.Promotor mungkin telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit baik untuk promosi, reservasi tempat, waktu, tenaga dan lain-lain, belum lagi ditambah dengan kontrak-kontrak terkait lain yang telah dibuat oleh promotor acara tersebut dan reputasi promotor yang tentunya sulit dinilai dengan uang. Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi, adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut17: a) Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUHPerdata). b) Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim; 17
Merilatika “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang Jasa Hiburan”. Jurnal Kertha Semaya. Vol. 03, No. 05, September 2015. diakses dari http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=348782, pada tanggal 9 November 2015 pukul 03 : 00 WIB
14
c) Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim Menurut I Kadek Suardana, PPAT di Kabupaten Klungkung, menyatakan bahwa force majeure atau keadaan memaksa adalah klausul dalam kontrak yang biasadigunakan untuk melindungi para pihak dalam hal ketentuan dalam kontrak tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya keadaan-keadaan diluar kontrol para pihak. Dengan terjadinya force majeure,
risiko
tidak
dapat
ditimpakan
kepada
pihak
yang
mengalaminya. Jika debitur dapat membuktikan bahwa ia tidak dapat melaksanakan kontrak karena force majeure tersebut, maka hakim akan menolak tuntutan kreditur yang meminta agar debitur memenuhi kontrak (atau ganti rugi). Risiko debitur terhadap terjadinya wanprestasi karena force majeure yaitu18: a) Risiko pada perjanjian sepihak yaitu risiko ditanggung oleh kreditur, debitur tidak wajib memenuhi prestasinya b) Risiko pada perjanjian timbal balik yaitu dimana salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasi karena force majeure maka seolaholeh perjanjian itu tidak pernah ada. Dalam sengketa yang dialami oleh Rudy Hartono Iskandar, selaku Direktur untuk dan atas nama serta sah mewakili mewakili PT Embrio (Penggugat) melawan Aisyah Zaelani, selaku Manager artis Penyanyi Syahrini (Tergugat I) dan Syahrini selaku Artis penyanyi (Tergugat II), 18
Merilatika “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang Jasa Hiburan”. Jurnal Kertha Semaya. Vol. 03, No. 05, September 2015. diakses dari http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=348782, pada tanggal 9 November 2015 pukul 03 : 00 WIB
15
sengketa ini terlihat sederhana akan tetapi ternyata efek dari sengketa ini jauh dari kata sederhana.Batal menyanyinya Syahrini dikarenakan force majeure yaitu sakitnya ayah Syahrini yang berujung dengan kematian tentunya mengakibatkan promotor mengalami kerugian nyata dan kehilangan keuntungan yang diharapkan bilaSyahrini melaksanakan prestasinya. Upaya hukum yang dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketawanprestasi karena force majeure dalam bidang jasa hiburan yaitu dapat dilakukan melalui proses di luar pengadilan dengan cara musyawarah dan melalui prosespengadilan terkait pada hukum acara, para pihak berhadap-hadapan untuk saling beragumentasi, mengajukan alat bukti, pihak ketiga (hakim) tidak ditentukan oleh para pihak dan keahliannyabersifat umum, prosesnya bersifat terbuka atau transaparan, hasil akhir berupa putusan yang didukung pandangan atau pertimbangan hakim. Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam fokus kajian pada jurnal, hanya dijelaskan bagaimanamengetahui akibat hukum pada perjanjiankerjasama dalam bidang jasa hiburan sebagai dampak adanya wanprestasi force majeure dan upaya hukum
pihak yang dirugikan
dalamhal terjadinya force majeure yang mengakibatkan terjadinya wanprestasi terhadap perjanjian kerjasama dalam bidang jasa hiburan, sedangkan pada penelitian sekarang membahas bagaimana mengetahui akibat hukum pada kontrak pembiayaan sebagai dampak adanya permasalahan atau force majeure dalam sektor perbankan syariah.
16
2.
Penelitian Lain Penelitian pertama yang dijadikan review studi terdahulu adalah penelitian yang dilakukan oleh Chalidah Hanum dengan judul “Strategi Bank BTN Syariah Dalam Pembiayaan KPR Bermasalah (Studi Kasus Pada BTN Kantor Cabang Syariah Jakarta)”19. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini bahwa KPR BTN Syariah menawarkan jasa pengelolaan dana secara syariah sesuai dengan tuntutan agama. Selama Sembilan bulan pertama tahun 2005, BTN telah menyalurkan dana sebesar Rp. 3,356 triliun untuk sektor konstruksi, termasuk di dalamnya kredit kepemilikan rumah. Tapi, jumlah yang dikelola secara syariah masih dibawa 10 persen. Target penyaluran KPR BTN Syariah pada tahun 2005, adalah 3.000 unit rumah dengan rata-rata nilai Rp. 50 juta atau nilai total Rp. 151 miliar. Target BTN Syariah tahun ini memiliki 7kantor cabang dan meningkat menjadi 12 kantor cabangpada 2006 dan 20 kantor cabang syariah pada 2007. Rasio penyaluran perumahan masih di 1,4% atau jauh lebih rendah dibanding Thailand yang mencapai angka 7,4% dan Malaysia 27,7%. Sementara NPF untuk KPR Syariah hingga bulan juli tahun 2008 mencapai angka 1,15% dari pembiayaan yang disalurkan BTN Syariah Cabang Jakarta. Kegiatan penyaluran kredit (pembiayaan) mempunyai peranan penting bagi kegiatan perbankan, karena kredit atau pembiayaan merupakan bagian terbesar sumber penghasilan bank. Namun, penyaluran pembiayaan tersebut harus melalui
19
Chalidah Hanum,“Strategi Bnak BTN Syariah Dalam Pembiayaan KPR Bermasalah (Studi Kasus Pada BTN Kantor Cabang Syariah Jakarta)”, (Skripsi Sarjana, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarata, 2009.
17
proses analisi kredit. Karena pemberian pembiayaan tanpa dianalisis terlebih dahulu akan sangat membahayakan bank. Terlebih halnya akan menyebabkan pembiayaan bermasalah (macet) atau biasa disebut dengan NPF (Non Performing Financing).Untuk menghindari dan meminimalisir pembiayaan bermasalah (NPF) pihak perbankan dalam memberikan pembiayaan KPR pada nasabahnya menggunakan strategi dalam memberikan pembiayaan KPR.Penulis dalam penelitiannya membahas mengenai
faktor-faktor
yang menyebabkan
pembiayaan menjadi
bermasalah serta penerapan strategi Bank BTN Syariah dalam menangani pembiayaan KPR bermasalah. Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam bidang yang dikaji, penelitian terdahulu mengkaji mengenai KPR bermasalah, sedangkan penelitian sekarang mengkaji mengenai Kontrak Pembiayaan bermasalah yang mana objek pada penelitian pertama hanya berpusat pada pembiayaan KPR, sedangkan pada penelitian sekarang objek pembiayaan ditujukan untuk kegunaan lainnya. Penelitian selanjutnya adalah penelitian dengan judul “Analisis Penyelesaian Force majeure Dalam Produk Pembiayaan Bank Syariah Pasca Gempa Padang 2009 (Studi Kasus Pada Bank Syariah Mandiri Cabang Padang, SUMBAR)” yang ditulis oleh Tri Ertina Panjaitan20. Kesimpulan pada penulisan penelitian ini bahwa setelah terjadinya 20
Tri Ertina Panjaitan, “Analisis Penyelesaian Force majeure Dalam Produk Pembiayaan Bank Syariah Pasca Gempa Padang 2009 (Studi Kasus Pada Bank Syariah Mandiri Cabang Padang, SUMBAR)”, (Skripsi Sarjana, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011.
18
bencana gempa di tanah Padang pada tahun 2009 menyebabkan banyaknya kerugian yang cukup besar. Akibat gempa bumi tersebut 1195 orang meninggal dunia, 2 orang hilang, 1795 orang luka-luka, 119.005 unit rumah rubuh, 73.733 unit rumah rusak sedang, 78.802 unit rumah rusak ringan. Fasilias pendidikan yang hancur mencapai 2.114 unit, rusak sedang 1.364 unit, dan rusak ringan 1.147 unit. Sedangkan jumlah saranan kesehatan yang mengalami rusak berat 235 unit, rusak sedang 94 unit, dan 66 rusak ringan. Gempa juga meluluhlantakan 246 perkantoran milik pemerintah, dimana 103 unit mengalami rusak sedang dan 74 unit rusak ringan. Total seluruh kerugian 21,5 triliun. Bencana yang terjadi juga mengakibatkan pembiayaan bermasalah pada Bank Syariah Mandiri yang berada di kota Padang. Sampai pada tahun 2009 jumlah pembiayaan yang disalurkan Rp. 112.086.128.949,62, akibat dari gempa yang terjadi pada tanggal 30 September 2009 ± 20% dari seluruh pembiayaan yang disalurkan masuk kedalam pembiayaan bermasalah dan pembiayaan yang terkena bencana hampir semuanya berpotensi bermasalah jika tidak diberikan keringanan. Keadaan force majeure pada kasus ini menitikberatkan pada kasus bencana alam masal.Sehingga perlu adanya kebijakan bank untuk menyikapi nasabah yang mengalami pembiayaan bermasalah akibat gempa Padang.Fokus yang diambil oleh penulis adalah penyelesaian pembiayaan Mudharabah dan Murabahah pada Bank Syariah Mandiri Cabang Padang pasca gempa Padang tahun 2009.
19
Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam bidang yang dikaji, pada penelitian pertama membahas mengenai penyelesaian pembiayaan bermasalah yang difokuskan hanya pada force majeure dalam kasus bencana alam masal, sedangkan pada penelitian sekarang mengkaji mengenai penyelesaian pembiayaan bermasalah yang terjadi karena force majeure dalam kasus perseorangan serta sebab menurut jenisnya. G. Metode Penelitian 1.
Jenis metode penelitian Jenis metode penelitian hukum normatif yang digunakan untuk mendapatkan jawaban dari rumusan masalah yang ada. Metode penelitian hukum normatif yang dipergunakan dalam penulisan ini guna melakukan penelusuran terhadap kesesuaian norma-norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ketentuan force majeure. Metode penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan judul skripsi ini baik yang bersifat teoritis ilmiah, serta dapat menganalisa masalahmasalah yang dibahas dalam permasalahan skripsi ini.
2.
Metode Pendekatan Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, pendekatan penelitian dilihat dari bidang ilmu hukum (legal research) dengan konsentrasi hukum perbankan. Pendekatan masalah pada penelitian ini dilakukan secara yuridis yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaji
20
peraturan-peraturan perundang-undangan beserta paraturan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti, sehingga pendekatan masalah dilakukan dengan menginvetariskan bahan-bahan hukum yang ada yang dimulai dari suatu persoalan hukum, penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari, mengkaji dan menginterpretasikan bahanbahan hukum yang berupa ketentuan perundang-undangan yang berlaku di indonesia 3.
Sumber data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti dari sumbersumber yang telah ada, berupa: a) Bahan Hukum Primer, berupa: (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1244 (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1245 (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1444 (4) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1445 (5) Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadualan Kembali Tagihan Murabahah (6) Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 07/DSN-MUI/IV/2000
tentang
Pembiayaan
Mudharabah
(Qiradh) (7) Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran b) Bahan sekunder berupa bahan hukum yang berkaitan erat dan menjelaskan permasalahan yang meliputi buku-buku atau literatur-
21
literatur dari para ahli atau sarjana-sarjana serta artikel-artikel yang dimuat di internet dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. 4.
Metode pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang bisa ditempuh untuk kepentingan pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu Metode yang digunakan adalah
studi
pustaka,
yaitu
mengumpulkan,
mengidentifikasi,
mengklasifikasi, dan menganalisa data untuk kemudian dilakukan pencatatan atau pengutipan terhadap data tersebut. Studi pustaka dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut: 1. Menentukan terlebih dahulu sumber data bahan hukum primer dan sekunder. 2. Identifikasi data yang diperlukan. 3. Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah. 5.
Metode pengolahan data Pengolahan data dilakukan dengan cara: a) Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, benar dan sesuai dengan masalah. b) Penandaan data ( Coding), yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakn jenis sumber data seperti buku, literatur, perundangunhdangan atau dokumen. c) Klasifikasi
data (classification),
yaitu
penempatan
dapat
mengelompokkan data yang melalui proses pemeriksaan serta penggolongan data.
22
6.
Bentuk analisis Bentuk analsis yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif menggunakan analisis logis normatif berdasarkan logika dan peranturan perundang-undangan serta analisis silogisme yaitu menarik kesimpulan yang telah ada
7.
Teknik penulisan Penulisan skripsi ini mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang disusun oleh Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
H. Sistematika Penulisan Sistematika penuisan peneitian yang berjudul “Analisis Penyelesaian Force majeure Dalam Pembiayaan Bank Syariah” adalah sebagai berikut : BAB I Pendahuluan Pada Bab pertama ini dijabarkan mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, serta sistematika penulisan sebagai alur dan koridor penulisan. BAB II Teori Force majeure pembiayaan Bab ini akan dibagi dalam beberapa sub-bab. Sub-bab pertama akan membahas mengenai
definisi pembiayaan yang terdiri dari pengertian
pembiayaan, dasar hukum pembiayaan, pembiayaan dengan prinsip jual beli, pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Pada sub-bab kedua akan dipaparkan mengenai pembiayaan murabahahyang terdiri dari pengertian murabahah, dasar
23
hukum murabahah, syarat-syarat murabahah, dan rukun murabahah. Pada subbab ketiga akan di jelaskan mengenai pembiayaan mudharabah yang terdiri dari pengertian mudharabah, dasar hukum mudharabah, syarat-syarat mudharabah, dan rukun murabahah. Kemudian dilanjutkan pada sub-bab ke empat membahas mengenai force majeure yang terdiri dari pengertian force majeure, dasar hukumforce majeure, macam-macamforce majeure, teori force majeure, serta akibat dariforce majeure. BAB III Model-model Penyelesaian Kasus Force majeure Dalam bab ini penulis menjelaskan gambaran umum tentang model-model penyelesaian kasus force majeureyang terdiri dari standarforce majeure, kasus force majeure dalam akad murabahah, kasusforce majeure dalam akad mudharabah, standar penyelesaian Sengketa, pola penyelesaian sengketa di bidang kontrak, pengakhiran akad
Murabahah, dan pengakhiran
akad
mudharabah. BAB IV Hasil Penelitian dan Analisis Pada bab ini penulis menjelaskan tentang hasil temuan data dan analisa dalam penyelesaian kasus force majeure terhadap produk pembiayaan yang dilakukan bank syariah meliputi bentuk-bentuk force majure dalam produk pembiayaanpada bank syariah, model-model penyelesaian force majeure dalam produk pembiayaanpada bank syariah, serta analisis penyelesaian force majeure dalam produk pembiayaan murabahah dan mudharabah pada bank syariah.
24
BAB V Penutup Dalam bab ini akan dipaparkan kesimpulan dan jawaban atas pokok permasalahan yang telah diajukan serta memberikan saran antisipatif mengenai penyelesaian kasus force majeure untuk produk pembiayaan murabahah dan mudharabah yang disediakan oleh bank syariah.
BAB II TEORI FORCE MAJEURE PEMBIAYAAN
A. Force majeure 1. Pengertian Force majeure Dalam khazanah hukum Indonesia, konsep keadaan memaksa lebih banyak dijelaskan oleh pendapat ahli-ahli hukum Indonesia, antara lain berikut ini. a) R. Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkankarena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian1 b) Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir Dr. H.F.A. Vollmar: overmacht adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi
perutangan
memungkinkan
(absolute
memenuhi
overmacht)
perutangan,
atau
tetapi
masih
memerlukan
pengorbanan besar yang tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar 1
R. Subekti, “ HukumPerjanjian”, (Jakarta: PT Intermasa, 1992), hlm.55
25
26
kemampuan manusia atau dan menimbulkan kerugian yang sangat besar (relative overmacht).2 Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian keadaan memaksa adalah suatu keadaan di mana salah satu pihak dalam suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya sesuai apa yang diperjanjikan, disebabkan adanya suatu peristiwa di luar kendali salah satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, di mana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko. 2. Dasar Hukum Force majeure a) Al Qur’an Surat Al Baqarah (2) ayat 280 َْص َّد ق ُواْْ َخ ي رْْل َّ ُك نْ ْإ ِىْْ ُكٌْ ت ُنْْتَع لَ ُو وى َ َ ْ َو أ َىْْت، س َر ة َ َو إ ِىْْ َك اىَْ ْ ُذ وْْعُس َر ةْْف ٌََ ِظ َر ةْْإ ِل َى ْ َه ي Artinya : "Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." b) Al Hadist “Kalau kamu menagih seseorang yang sedang kesulitan, maka bebaskanlah utangnya, semoga Allah juga kelak akan membebaskan kita (dari dosa-dosa kita). Maka ketika ia berjumpa dengan Allah, maka Allah pun benar-benar membebaskannya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah).
2
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A”,(Jogjakarta: Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980), hlm.20
27
َّ ُض َعْلَهُْأَظَلَّه ُْظ َّلْإِ ََّلْ ِظلُّ ْه َ ْو ِ َّْللاُْيَو َمْالقِيَا َه ِةْتَحتَ ْ ِظ ِّلْعَر ِش ِهْيَو َم ََْل ِ َهيْأًَظَ َرْ ُهع َ س ًراْأَو “Barang siapa yang mau memberi tangguhan kepada orang yang sedang kesulitan atau bahkan membebaskannya, maka Allah akan menaunginya di bawah naungan „Arsy-Nya di hari tiada naungan selain naungan-Nya.” (HR. At Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu dan dishahihkan Al Albani dalam Shahihut Targhib no. 909) c) Ketentuan Perundang-undangan Dasar hukum force majeure di Indonesia diatur dalam beberapa ketentuan perundang-undangan seperti KUH Perdata Pasal 1244-1245, KUH Perdata 1444-1445, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadualan Kembali Tagihan Murabahah, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 07/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), dan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran. 3. Macam–macam Force majeure Pada pendapat lain Force majeureini juga dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu: a) Force majeure menurut jenisnya (1) Force majeure objektif Force majeure objektif ini disebutjuga dengan istilah physical impossibility. Yang dimaksudkan adalah bahwa force majeure tersebut terjadi pada benda yang merupakan objek dari kontrak
28
tersebut, sehingga prestasi tidak mungkin dipenuhi lagi, tanpa adanya kesalahan dari pihak debitur, Misalnya, benda yang menjadi objek dari kontrak terbakar atau disambar petir. (2) Force majeure subjektif Pada force majeure subjektif, peristiwa yang terjadi bukan terhadap benda yang merupakan objek dari kontrak yang bersangkutan, melainkan dalam hubungan dengan keadaan atau kemampuan dari debitur itu sendiri. Misalnya, jika debitur sakit berat atau cacat seumur hidup sehingga tidak mungkin lagi melakukan prestasi.3 b) Force majeure menurut pelaksanaannya (1) Force majeure absolut Force majeure absolut adalah suatu keadaan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar4. (2) Force majeure relatif Force majeurerelatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan, walaupun secara tidak normal masih mungkin dilakukan.Misalnya terhadap kontrak ekport-impor, di mana setelah
3
Mustafa Kamal Rokan, “Pengantar Hukum Bisnis”, diakses dari https://awalbarri.wordpress.com/2009/03/23/pengantar-hukum-bisnis/, pada tanggal 17 November 2015 pukul 17 : 51 WIB 4 Oemiy, “Keadaan Memaksa (Overmatch) Dalam Hukum Perdata”, diakses dari https://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksa-overmacht-dalam-hukum-perdata/, pada tanggal 17 November 2015 pukul 17 : 30 WIB
29
kontrak dibuat, terdapat larangan impor atas barang tersebut atau PHK masal pada pekerja suatu perusahaan yang pailit. c) Force majeure menurut jangka waktu berlakunya (1) Force majeure permanen Force majeureini mengakibatkan tidak dapat terlaksananya prestasi sampai kapan pun sebagai pemenuhan dari suatu kontrak.Misalnya jika barang yang merupakan objek dari kontrak tersebut musnah di luar kesalahan salah satu pihak. (2) Force majeure temporer Dimana terhadap pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu, dengan kata lainsetelah hilang efek dari terjadinya peristiwa tertentu maka prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali.Misalnya, jika barang yang menjadi objek kontrak tersebut tidak mungkin dikirim karena terjadi pergolakan sosial.Akan tetapi, pada saat kondisi sudah aman, maka barang tersebut dapat dikirim kembali.5 4. Teori Force majeure a. Teori force majeure menurut kaidah fiqih Islam Karakterisitik force majeure merupakan suatu bencana atau musibah adalah sebuah keadaan darurat yang secara hukum akan berimplikasi kepada munculnya berbagai aturan untuk menghilangkan 5
Dewo Broto Joko Putranto, “Penyusunan Kontrak Dan Aspek-Aspek Hukum Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Kepres No. 80 Tahun 2003”, diakses dari http://justitiaindonesia.blogspot.co.id/2006/09/penyusunan-kontrak-dan-aspek-hukum.html pada tanggal 01 Februari 2016 pukul 04 : 42 WIB
30
ataupun setidaknya mengurangi kondisi darurat tersebut. Dalam hal force majeure ini misalnya, seorang kreditur tidak layak membebankan debitur yang tertimpa musibah berat dengan beban yang sama saat debitur belum mengalami musibah itu. Bahkan jika dianggap perlu, kontrak dapat dibatalkan untuk menghilangkan beban tambahan bagi debitur dalam keadaan darurat tersebut. Ada beberapa kaidah Islam yang sesuai dengan definisi keadaan force majeure ini, diantara lain :6 الوشقهْتجلبْالتيسير Artinya : “Kemudharatan itu menarik kemudahan” Sumber pengambilan kaidah diatas diperkuat dari Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah : 185 يريدَّْللاْبكنْاليسرْوَلْيريدْبكنْالعسر Artinya: “Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesempitan bagimu” Kaidah diatas ini menjadi sumber adanya keringanan dalam menjalankan tuntutan syari’at diantara nya seperti keringanan yang diberikan karena keadaan terpaksa serta unsur kurang mampu dan kesukaran umum yang menjadi akibat dari terjadinya force majeure.7 Dalam praktik perbankan, proses penyelesaian kasus force majeure harus melewati beberapa ketentuan dan prosedur tertentu, salah satunya
6
Fatchur rahman, “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam”, (Bandng : PT.Al Ma’arif), h. 503 7 Fatchur rahman, “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam”, h. 505-506
31
adalah pembuktian berita terjadinya force majeure yang menimpa nasabah kepada pihak perbankan. pembuktian berita terjadinya force majeure diperlukan untuk memastikan apakah benar nasabah mengalami keadaan memaksa sehingga nasabah tidak dapat melakukan pengembalian kewajiban atau membutuhkan keringanan. Hal ini sesuai dengan kaidah dalam fiqih Islam, yaitu :8 الرخصَْلْتٌاطْبالشك Artinya : “keringanan itu tidak dapat disangkutpautkan dengan keraguan” Kaidah diatas menjelaskan bahwa keringanan yang diberikan tidak boleh ada unsur keragu-raguan. Pihak bank yang memberikan keringanan haruslah yakin dengan pembuktian nasabah yang mengalami force majeure.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa force majeure dipandang dari perspektif kaidah fikih telah memenuhi nilai -nilai yang diinginkan dalam kaidah-kaidah tersebut. b. Teori Ketidakmungkinan (onmogelijkheid) Teori ketidakmungkinan berpendapat bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan. Ketidakmungkinan dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a) Teori
ketidakmungkinan
absolut
atau
objektif
(absolute
onmogelijkheid) Adalah ketidakmungkinan sama sekali dari debitur untuk memenuhi prestasinya kepada kreditur Volmar menyebutnya
8
Fatchur rahman, “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam”, h. 509
32
absolute
overmacht.
Dasarnya
adalah
ketidakmungkinan
(impossibility) memenuhi prestasi karena bendanya lenyap/musnah.9 b) Teori
ketidakmungkinan
relatif
atau
subjektif
(relative
onmogelijkheid) Adalah ketidakmungkinan relatif dari debitur untuk memenuhi prestasinya
Keadaan
memaksa
dalam
hal
ini
bersifat
sementara.Perikatan tidak berhenti (tidak batal), hanya pemenuhan prestasinya tertunda. Jika kesulitan sudah tidak ada lagi, pemenuhan prestasi diteruskan. Akan tetapi, jika prestasi itu sudah tidak berarti lagi bagi kreditur karena sudah tidak diperlukan lagi, perikatan itu gugur. Perbedaan antara perikatan batal dan perikatan gugur terletak pada ada tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi.Pada perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh debitur (sifat prestasi).Pada perikatan gugur, objek perikatan ada sehingga mungkin dipenuhi dengan segala macam upaya debitur, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur.Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh debitur, tetapi kreditur tidak menerima (menolak) karena tidak ada manfaatnya lagi, perikatan dapat
9
Ridha Nur Arifa, “PerbuatanMelawan Hukum”, diakses dari http://pandaihukum.blogspot.co.id/2014/05/perbuata-melawan-hukum.html pada tanggal 01 Februari 2016 pukul 04 : 45 WIB
33
dibatalkan.Persamaanya adalah pada perikatan batal dan perikatan gugur keduanya itu tidak mencapai tujuan.10 c.
Teoripeniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld) Teori penghapusan atau peniadaan ini mengartikan bahwa
dengan adanya overmatch maka terhapuslah kesalahan debitur. Sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi tidak bias dipertangungjawabkan. 5. Akibat Force majeure Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai keadaan memaksa membawa konsekuensi bagi para pihak dalam suatu perikatan, di mana pihak
yang
tidak
dapat
memenuhi
prestasi
tidak
dinyatakan
wanprestasi.Dengan demikian, dalam hal terjadinya keadaan memaksa, debitur tidak wajib membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap gugur/terhapus. Beberapa pakar membahas akibat hukum dari keadaan memaksa sebagai berikut A.R. Setiawan merumuskan bahwa suatu keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan beberapa akibat, yaitu11 a) kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi
10
Ridha Nur Arifa, “PerbuatanMelawan Hukum”, diakses dari http://pandaihukum.blogspot.co.id/2014/05/perbuata-melawan-hukum.html pada tanggal 01 Februari 2016 pukul 04 : 45 WIB 11 R. Setiawan, “Pokok-Pokok Hukum Perikatan” (Bandung: Binacipta, 1994), h..27-28.
34
b) debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai,13 dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi c) risiko tidak beralih kepada debitur d) pada persetujuan timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut pembatalan. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang menyitir Dr. H.F.A Vollmar. Overmacht
harusdibedakan
tetap.Dalam
hal
overmacht
apakah
sifatnya
sementara,
hanya
sementara
ataukah
mempunyai
daya
menangguhkan dan kewajibannya untuk berprestasi hidup kembali jika dan sesegera faktor overmacht itu sudah tidak ada lagi, demikian itu kecuali jika prestasinya lantas sudah tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur. Dalam hal terakhir ini, perutangannya menjadi gugur (misalnya taksi yang dipesan untuk membawa seseorang ke stasiun karena ada kecelakaan lalu lintas, tidak dapat datang pada waktunya, dan ketika lalu lintas sudah aman kembali, kereta api sudah tidak dapat dicapai lagi).12 Abdulkadir Muhammad membedakan keadaan memaksa yang bersifat objektif dan subjektif. Keadaan memaksa yang bersifat objektif dan bersifat tetap secara otomatis mengakhiri perikatan dalam arti perikatan itu batal (the agreement would be void from the outset).13 Salim H.S., mengemukakan tiga akibat dari keadaan memaksa, yaitu14
12 13
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op. cit, h. 22. Abdulkadir Muhammad, “Hukum Perikatan” (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), h..28-
31 14
Salim H.S, “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)” (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2001), h.184-185.
35
a) debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata); b) beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara; c) kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontraprestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata. Ketiga akibat tersebut lebih lanjut dibedakan menjadi dua macam, yaitu pada akibat keadaan memaksa absolut, yaitu akibat butir a dan c,dan akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat butir b. Namun, Perlu digarisbawahi bahwa hak kreditur dalam force majeure sama sekali tidak dihilangkan, hanya saja jangka waktu pemenuhan hak tersebut diperpanjang untuk memberi kolonggaran bagi pihak debitur. B. Force Majeure dalam Hutang Piutang Dalam sektor keuangan, pemecahan kasus force majeure sendiri telah diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, salah satunya ketentuanketentuan yang mengatur penyelesaian kasus force majeure dalam dunia perbankan, yaitu : 1.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1244 Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan suatu hal yang
36
tak terduga, pun tak dapat dipertanggungkan kepadanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya. b) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1245 Tidaklah biaya, rugi dan bunga, harus digantinya, apabila dikarenakan keadaan memaksa atau karena suatu kejadian tak disengaja si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau dikarenakan hal - hal yang sama telah melakukan perbuatan yang dilarang. c) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1444 i.
Jika barang tertentu
yang menjadi pokok perjanjian
musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. ii.
Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya.
37
iii.
Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang dimajukannya itu.
iv.
Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan
orang
yang
mencuri
barang
dari
kewajibannya mengganti harganya d) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1445 Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya. 2.
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia a) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 48/DSN-MUI/II/2005
tentang
Penjadualan
Kembali
Tagihan
Murabahah Menetapkan: FATWA
TENTANG
PENJADWALAN
KEMBALI
TAGIHAN MURABAHAH Pertama
:Ketentuan Penyelesaian LKS boleh melakukan penjadwalan kembali (rescheduling) tagihan
murabahah
bagi
nasabah
yang
tidak
bisa
38
menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan: 1. Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa; 2. Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya riil; 3. Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. dua
:Ketentuan Penutup 1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari'ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan,
akan
diubah
dan
disempurnakan
sebagaimana mestinya . b) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) Menetapkan: FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)
39
Pertama
:Ketentuan Pembiayaan: 1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. 2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek
(usaha),
sedangkan
pengusaha
(nasabah)
bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha. 3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian
keuntungan
kesepakatan
kedua
belah
ditentukan pihak
berdasarkan (LKS
dengan
pengusaha). 4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari'ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek
tetapi
mempunyai
hak untuk
melakukan
pembinaan dan pengawasan. 5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang. 6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
40
7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan
apabila
mudharib
terbukti
melakukan
pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad. 8. Kriteria
pengusaha,
prosedur
pembiayaan,
dan
mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN. 9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib. 10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban
atau
melakukan
pelanggaran
terhadap
kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan. Kedua
:Rukun dan Syarat Pembiayaan: 1. Penyedia
dana
(shahibul
maal)
dan
pengelola
(mudharib) harus cakap hukum. 2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan halhal berikut:
41
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad). b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak. c. Akad
dituangkan
secara
tertulis,
melalui
korespondensi, atau dengan menggunakan caracara komunikasi modern. 3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharibuntuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut: a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya. b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad. c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad. 4. Keuntungan mudharabahadalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi: a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
42
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan. c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari
kesalahan
disengaja,
kelalaian,
atau
pelanggaran kesepakatan. 5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut: a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan. b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola
sedemikian
rupa
yang
dapat
menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan. c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari'ah Islam dalam tindakannya dengan mudharabah,
dan
yang berhubungan harus
mematuhi
43
kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu. Ketiga
:Ketentuan lain: 1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu. 2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu'allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi. 3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad alamanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan. 4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya
dilakukan
melalui
Badan
Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. c) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran Menetapkan: FATWA
TENTANG
SANKSI
ATAS
NASABAH
MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN Pertama
:Ketentuan Umum: 1. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan
LKS
kepada
nasabah
yang
mampu
44
membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja. 2. Nasabah
yang
tidak/belum
mampu
membayar
disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi. 3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi. 4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta'zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. 5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. 6. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial. Kedua
:Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyele-saiannya
dilakukan
Syari'ah
tidak
setelah
melalui
tercapai
Badan
kesepakatan
Arbitrasi melalui
musyawarah. Ketiga
:Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
BAB III MODEL-MODEL PENYELESAIAN KASUS FORCE MAJEURE
A. Standar Force majeure Force majeur atau “keadaan memaksa” adalah keadaan dimana nasabah terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada nasabah, sementara nasabah tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk. Keadaan force majeure bisa dijadikan alasan pembebasan pemberian ganti rugi akibat tidak terlaksananya perjanjian atau akad. Dalam kasus force majeure sendiri memiliki beberapa ketentuan khusus, yakni 1: 1. Dalam hal terjadinya force majeure, maka pihak yang terkena akibat langsung dariforce majeure tersebut wajib memberitahukan secara tertulis dengan melampirkan bukti-bukti dari Kepolisian/ Instansi yang berwenang kepada pihak lainnya mengenai peristiwa force majeuretersebut dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas hari kerja) terhitung sejak tanggal force majeureditetapkan. 2. Berita acara yang telah di tulis oleh nasabah akan diberikan kepada lembaga asuransi oleh pihak bank. Lembaga asuransi akan mencari kebenaran dan bukti-bukti kuat mengenai kronologis terjadinya force majeure pada nasabah, jika nasabah terbukti benar mengalami force 1
Hasyim, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah”, diakses http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/07/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah.html, tanggal 07 September 2016 pukul 15 : 31 WIB
45
dari pada
46
majeure maka nasabah dapat mengklaim asuransi yang dapat digunakan sebagai salah satu jalan penyelematan pembiayaan nya kepada bank.2 3. Keterlambatan atau kelalaian para pihak untuk memberitahukan adanya force majeuretersebut mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa tersebut sebagai force majeure oleh pihak lain. 4. Segala dan tiap-tiap permasalahan yang timbul akibat terjadinya force majeure akan diselesaikan oleh nasabah dan bank secara musyawarah untuk mufakat. Hal tersebut tanpa mengurangi hak-hak bank sebagaimana diatur dalam Akad. B. Kasus Force majeure dalam Akad Murabahah dan Mudharabah Perihal terjadinya force majeure dalam akad pembiayaan murabahah dan akad pembiayaan mudharabah sangat beragam.Peristiwa atau keadaan yang tergolong dalam kategori force majeure adalah peristiwa atau keadaan yang terjadi di luar kekuasaan atau kemampuan salah satu atau para pihak, yang mengakibatkan salah satu atau para pihak tidak dapat melaksanakan hak-hak dan/atau kewajiban-kewajiban sesuai dengan standar dalam kontrak ini, termasuk namun tidak terbatas kebakaran, banjir, gempa, hujan badai, angin topan, (atau bencana alam lainnya), pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase, perang, invasi, perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi, blokade, embargo, perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu pemerintahan.3 2
Wendra M, Accounting Maintenace BSM Kc. Bandar lampung, wawancara pribadi, Bandar lampung 27 Oktober 2016 3 OJK, “Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah”, diakses dari http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/BukuStandar-Produk-Perbankan-Syariah-Murabahah/Buku%20Standar%20Produk%20Murabahah.pdf pada tanggal 24 Juli 2016 pukul 21 : 06 WIB
47
Perihal terjadinya force majeure dalam akad pembiayaan murabahah dan akad pembiayaan mudharabah beragam. Menurut pembagiannya, force majeure sendiri dibagi menjadi 3, yaitu : a) Menurut jenisnya (1) force majeure objektif Force majeure ini terjadi pada benda yang merupakan objek dari kontrak sehingga prestasi tidak mungkin dipenuhi lagi, tanpa adanya kesalahan dari pihak debitur.Misalnya, benda yang menjadi objek dari kontrak terbakar atau disambar petir. (2) force majeure subjektif Force majeure subjektif
ini berhubungan dengan keadaan atau
kemampuan dari debitur itu sendiri.Misalnya, jika debitur sakit berat atau cacat seumur hidup sehingga tidak mungkin lagi melakukan prestasi. b) Menurut pelaksanaanya (1) force majeure absolut Suatu keadaan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur dikarenakan bencana alam atau Act of God. Yng bersifat mutlak, misalkan
karena adanya gempa bumi,
banjir bandang, dan adanya lahar. (2) force majeure relatif Dalam force majeure ini, pemenuhan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan, walaupun secara tidak normal masih mungkin
48
dilakukan.Force majeureini juga disebut Act of Nature yang dapat simpulkan peristiwa ini tidak bersifat mutlak atau relatif. c) Menurut jangka waktu berlakunya (1) force majeure permanen Yaitu efek terjadinya force majure sampai kapan pun kontra tidak mungkin dilakukan lagi untuk memenuhi suatui prestasi kontrak yang telah dijanjikan. Misalnya jika barang yang merupakan objek dari kontrak tersebut musnah di luar kesalahan salah satu pihak (2) force majeure temporer Dimana terhadap pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu. Atau dengan kata lain, karena terjadi peristiwa tertentu di mana setelah peristiwa tersebut berhenti, prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali. Beberapa kategori force majeure diatas dapat terjadi baik pada akad pembiayaan
murabahah
maupun
akad
pembiayaan
mudharabah.
Penyelesaian serta solusi yang akan di berikan oleh pihak perbankan syariah tentunya berdasarkan kondisi force majeureyang riil terjadi pada nasabah dan merujuk pada perundang-undangan dan ketentuan islam yang berlaku. C. Standar Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Beragam penyebab terjadinya kasus force majeure dalam pembiayaan di ranah perbankantidak membedakan standar penyelesaian pembiayaannya.4 Pada saat terjadinya force majeure pada pembiayaan di suatu bank, hal ini 4
Marnita, Legal Staff USPD Bank Muamalat Kc. Bandar Lampung, wawancara pribadi, Bandar Lampung 20 September 2016
49
dipastikan
dapat
menyebabkan
timbulnya
risiko
gagal
bayar
atau
permasalahan dalam pembiayaan tersebut. Penyelesaian kasus force majeure yang ditempuh oleh pihak bank tetap dilakukan secara musyawarah untuk mencapai mufakat tanpa mengurangi hak-hak Bank bahkan jika permasalahan sengketa antara nasabah dan pihak bank diselesaikan di Pengadilan, prosedur penyelesaian sengketa tetap mengikuti ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Akad.5 Menurut Buku Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah, yang diterbitkan oleh OJK6, penyelesaian sengketa pada kasus pembiayaan bermasalah memiliki beberapa tahapan, yaitu : 1. Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa antara pihak Bank dengan nasabah harus mengutamakan prinsip musyawarah mufakat. 2. Mekanisme musyawarah dilakukan dengan tujuan untuk memberikan solusi yang dianggap sesuai dengan kemampuan dan kondisi nasabah yang terkena force majeure. 3. Beberapa solusi yang ditawarkan bank dalam mekanisme musyawarah kepada nasabah seperti perpanjangan waktu pembayaran angsuran, perubahan jumlah angsuran, pemberian tambahan kredit, dsb. 4. Apabila mekanisme musyawarah belum berhasil, penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara non litigasi misalnya melalui Badan Arbitrase
5
Rahmat S.S. Soemadipradja, “Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka”, 2010, diakses dari http://ditkumham.bappenas.go.id/ebook/Restatement%20Keadaan%20Memaksa.pdf pada 9 Februari 2016 pukul 18 : 34 WIB 6 OJK, “Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah”, diakses dari http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/BukuStandar-Produk-Perbankan-Syariah-Murabahah/Buku%20Standar%20Produk%20Murabahah.pdf pada tanggal 24 Juli 2016 pukul 21 : 06 WIB
50
Syariah Nasional (Basyarnas) dan eksekusi atau putusan arbitrase syariah itu akan ditetapkan melalui Pengadilan Agama. 5. Apabila para pihak menyepakati untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, maka Bank dan Nasabah harus menyepakati dalam kontrak bahwa kewenangan untuk mengadili sengketa kontrak ini diselesaikan melalui Pengadilan Agama. 6. Pihak Bank tidak diperkenankan menuliskan klausula dalam kontrak yang membolehkan Bank melakukan eksekusi agunan dan jaminan secara langsung sesaat setelah terjadi tunggakan ataupun wanprestasi tanpa putusan pengadilan. 7. Pihak Bank tidak diperkenankan melakukan eksekusi agunan dan jaminan secara langsung sesaat setelah terjadi tunggakan ataupun wanprestasi sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa Nasabah lalai dan memberikan hak kepada Bank untuk eksekusi agunan dan jaminan. 8. Jika sampai tahap eksekusi agunan obyek pembiayaan dan/atau jaminan lainnya dilakukan, maka hasil eksekusi (penjualan/pelelangan) tersebut diutamakan untuk memenuhi kewajiban Nasabah kepada Bank. Jika ada kelebihan nilai eksekusi maka dikembalikan ke Nasabah, jika masih kurang untuk memenuhi hak Bank maka hal itu tetap menjadi kewajiban Nasabah hingga Bank menghapuskan kewajiban tersebut.
51
D. Pola Penyelesaian Sengketa di Bidang Kontrak Dalam penyelesaian setiap sengketa dapat menggunakan cara-cara tertentu yang lazim dipergunakan dalam dunia kontrak, sebagai jalan keluar untuk menyelesaiakan sengketa yang bersangkutan. Hal ini juga berlaku dalam penanganan sengketa kasus force majeuredi dunia perbankan7.Menurut Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) beberapa pilihan penyelesaian perselisihan seperti melalui negosiasi, pengadilan (litigasi)/gugatan, arbitrase, atau pun melalui mediasi. 1. Melalui Negosiasi Merupakan cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh pihak tersebut8. Syarat-syarat bernegosiasi sebagai berikut : a) Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan kesadaran yang penuh b) Pihak-pihak siap melakukan negosiasi c) Mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan d) Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat saling menciptakan ketergantungan e) Mempunyai kemauan menyelesaikanmasalah
7
Abadi Riantini, Notaris di Bandar Lampung, wawancara pribadi, Bandar Lampung 23 September 2016 8 Gatot Soemartono, “Arbitrase dan Mediasi di Indonesia”, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,2006), h. 1
52
Hasil yang diperoleh dari tindakan negosiasi guna mencari penyelesaian terhadap permasalahan akan menghasilkan beberapa pilihan, seperti :9 (1) Rescheduling Rescheduling adalah suatu upaya penyelamatan kredit dengan melakukan perubahan syarat–syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali kredit atau jangka waktu, juga grace period baik termasuk besarnya jumlah angsuran maupun tidak. 10 (2) Reconditiong Reconditioning adalah suatu upaya penyelamatan kredit dengan cara melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh s yarat erjanjian kredit yang tidak terbatas, hanya kepada perubahan jadwal angsuran atau jangka waktu kredit saja, namun perubahan tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan. 11 (3) Resctucturing Restructuring
adalah
suatu
upaya
penyelamatan
dengan
melakukan perubahan syarat – syarat perjanjian kredit berupa
9
Daniel, Financing Manager Bank BJB Syariah Kc. Supomo, wawancara pribadi, Jakarta 05 Februari 2016 10 Veithzal Rivai dan Andria Veithzal Rivai, “Credit Management Handbook” (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 510 11 Veithzal Rivai. “Bank atau Financial Institution Management.Eds . 1” .(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.513
53
pemberian tambahan kredit atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan dan equity bank yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling dan/atau reconditioning. 12 2. Melalui Mediasi Untuk penyelesaian sengketa yang melibatkan lembaga mediasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan padatanggal 11 September 2003. Upaya mediasi dilakukan dengan meminta pihak lain untuk memediatori permasalahan yang bersangkutan atas kesepakatan para pihak yang bersengketa, dimana para pihak yang bertikai memilih untuk berdamai melalui penengah yang mereka sepakati bersama. Tujuan mediasi adalah untuk mencapaikesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa. 3. Melalui Arbitrase Arbitrase (Tahkim) adalah suatu pengajuan sengketa, berdasarkan perjanjian antara para pihak, kepada orang-orang yang dipilih sendiri oleh mereka untuk mendapatkan suatu keputusan. Saat ini telah ada lembaga khusus Badan Arbitrase Syariah Nasional/(Basyarnas) yang diharapkan mampu menyelesaikan segala bentuk sengketa muamalat dan perdata yang muncul dikalangan umat muslim. Badan Arbitrase Syariah/(Basyarnas) 12
Veithzal Rivai. “Bank atau Financial Institution Management.Eds . 1”, h. 517
54
sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Lembaga keuangan Syariah mempunyai tujuan : a) Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketasengketa muamalat/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain b) Menerima permintaan yang diajukan, oleh para pihak dalam suatu perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara damai dalam hal keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator). Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai. 4. Melalui Pengadilan (Litigasi)/gugatan Apabila para pihak menyepakati untuk menyelesaikan sengketa melaluipengadilan, maka Bank dan Nasabah harus menyepakati dalam kontrakbahwa kewenangan untuk mengadili sengketa kontrak ini diselesaikanmelalui Pengadilan Agama. 5. Penyitaan dan Pelelangan Jaminan Tahap penyitaan dan pelelangan jaminan merupakan serangkaian dari upaya untuk memenuhi sebagian atau keseluruhan dari kewajiban nasabah terhadap bank. Pada tindakan pelelangan jaminan, jika hasil dari
55
penjualan tersebut telah mencukupi besaran tanggungan nasabah terhadap bank, maka sisa dari penjualan jaminan tersebut akan dikembalikan kepada nasabah. E. Pengakhiran Akad Murabahah Berakhirnya akad Murabahahdapat disebabkan oleh berakhirnya jangka waktu akad, peristiwa force majeure, cidera janji, dan nasabah yang mengajukan pengakhiran akad Murabahah.Akad ini dinyatakan berakhir apabila telah dipenuhinya kewajiban oleh para pihak dalam kontrak yang termasuk meliputi hal-hal berikut13: 1.
Terpenuhinya keseluruhan kewajiban atas harga jualmurabahah
2.
Adanya peralihan atau transfer atas kewajiban membayar harga jual murabahahkepada pihak ketiga melalui akad (hiwalah).
3.
Bank melepaskan hak untuk menerima pembayaran harga jual melalui pemberian potongan harga (ibra’).
4.
Bank memberikan potongan margin pembiayaan (Muqasah) atas kewajibanMurabahahNasabah.
5.
Masing masing pihak dalam kontrak bersepakat untuk mengakhiri kontrak dalam periode jangka waktu kontrak yang telah disepakati.
6.
Salah satu pihak dalam kontrak memutuskan untuk mengakhirikontrak dikarenakan adanya wanprestasi oleh pihak lain.
7.
13
Kedua belah pihak menyepakati untuk mengakhiri akad murabahah.
OJK, “Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah”, diakses dari http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/BukuStandar-Produk-Perbankan-Syariah-Murabahah/Buku%20Standar%20Produk%20Murabahah.pdf pada tanggal 24 Juli 2016 pukul 21 : 06 WIB
56
8.
Terdapat cacat, kerusakan, atau aib pada obyek barang yang akan dijual ketika diserahkan kepada penjual.
9.
Obyek hilang atau musnah, baik karna force majeure atau wanprestasi
10. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad murabahah telah berakhir. Baik cara pembayarannya secara sekaligus ataupun secara angsuran. Dalam pengakhiran akad murabahah, perihal force majeure dapat dilihat pada poin 9 yang menyatakan jika objek pada perjanjian akad murabahah hilang atau musnah dikarenakan force majeure dan tidak ada itikad buruk padanya maka perjanjian akad murabahah diantara para pihak dapat saja berakhir. F. Pengakhiran Akad Mudharabah Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya.Selain telah tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya.Fasakh terjadi disebabkan sebagai berikut:14 1.
Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’ seperti yang disebutkan dalam akad rusak, misalnya jual beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan
2.
Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, atau syarat
3.
Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal atas akad baru saja dilakukan. Fasakh dengan caraini disebut iqalah
14
Gemala Dewi, dkk, “Hukum Perikatan Islam di Indonesia”, Fakultas hukum Universitas Indonesia, 2006, h. 92
57
4.
Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak terpenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan
5.
Karena habis waktunya seperti dalam akad sewa menyewa
6.
Karena tidak dapat izin pihak berwenang
7.
Karena kematian Pada akad mudharabah, force majeure dapat menjadi salah satu
penyebab berakhirnya akad. Hal ini ditunjukkan dalam poin 4 dan poin 7. Pada poin 4, force majeuredapat menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban dari akad yang telah disepakati oleh para pihak serta sebab kematian pada poin 7 juga dapat digolongkan kedalam kategori force majeure subjektif.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan ekonomi melalui jasa financial perbankan. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan yang strategis dimana kegiatan utama dari perbankan adalah menyerap dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat.Keberadaan bank syariah di Indonesia mulai mendapatkan tempat yang lebih berarti setelah di atur dalam undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Menurut UU RI No. 10 tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang Perbankan, bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu menghimpun dana, menyalurkan dana dan memberikan jasa bank lainnya. Beberapa akad yang umum dipraktekkan oleh umat Islam adalah Murabahah dan akad Mudharabah, dimana jual beli secara murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan
yang dilakukan oleh shahibul maal dengan pihak yang
membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahibul maal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.
1
sementara
bagi hasil secara mudharabah adalah bentuk pengembalian dari kontrak investasi, berdasarkan suatu periode tertentu dimana Pemilik dana akan 1
Mardani, “Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah”, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 136
58
59
menginvestasikan dananya melalui lembaga keuangan syariah yang bertindak sebagai pengelola. Banyaknya pembiayaan murabahah dan mudharabah yang disalurkan oleh bank syariah, tidak menutup kemungkinan bahwa bank syariah akan mengalami banyak risiko serta dampak yang berbeda-beda. Dampak negatif dari risiko ini dapat menyebabkan kendala yang menghambat kelancaran berjalannya pembiayaan tersebut. Pembiayaan bermasalah terjadi disebabkan berbagai hal yang mengakibatkan daya lancar pembayaran debitur kepada kreditur menurun atau macet. Kasus-kasusnya beragam, salah satunya disebabkan dari force majeure. A. Bentuk-bentuk Force majeure dalam Produk Pembiayaanpada Bank Syariah Bentuk-bentuk terjadinya
force majeuredalam produk pembiayaan
murabahah dan mudharabah di bank syariah dapat disebabkan oleh beragam hal. Dibawah ini adalah penjelasan bentuk-bentuk force majeureyang terjadi di bank syariah: 1. Pembiayaan Murabahah (a) Kasus 1 Kasus force majeure ini terjadi pada pembiayaan hunian pada Bank Syariah Mandiri Kc. Bandar Lampung. Pembiayaan yang diberkan kepada nasabah memiliki jangka waktu kurang lebih 10 tahun dan sudah berjalan selama 4 tahun 3 bulan. Jenis force majeureyang terjadi adalah absolut-permanen berupa bencana tanah longsor.
60
Bencana longsor yang terjadi di kecamatan Bumi Waras, kota Bandar Lampung pada tanggal 13 Oktober 2013 menimpa hunian nasabah pembiayaan griya BSM hingga musnah. Hunian tersebut masih memiliki sisa pembayaran selama 5 tahun 9 bulan. Peristiwa force majeure yang menimpa nasabah tersebut menjadi
sebab
menurunnya
daya
bayar
nasabah
yang
menimbulkan
permasalahan dalam pembiayaan. Pada kasus ini nasabah tidak memberi keterangan kepada pihak bank secara langsung.Mulai dari terjadinya longsor pada 13 Oktober 2013 hingga terhitung kurang lebih 1 bulan setelah kejadian tersebut. Setelah nasabah mengabarkan peristiwa force majeure yang menimpanya, pihak bank melakukan pengecekan lapangan, memanggil nasabah yang bersangkutan, melakukan musyawarah serta menuliskan berita acara yang selanjutnya akan diserahkan kepada pihak asuransi untuk di klaim dan dilakukan pemutihan pada sisa pembiayaannya. (b) Kasus 2 Kasus force majeure ini terjadi pada pembiayaan pembelian kendaraan bermotor pada Bank Muamalat Kcp. Bandar Lampung Pembiayaan yang diberkan kepada nasabah memiliki jangka waktu selama 5 tahun dan sudah berjalan selama 3 tahun. Jenis force majeure yang terjadi adalah subjektif-permanen berupa kematian nasabah pembiayaan. Kematian nasabah pembiayaan disebabkan oleh kecelakaan yang menimpa nasabah beserta dengan objek pembiayaan yang digunakan (mobil).Peristiwa ini menyebabkan terhentinya kewajiban nasabah kepada pihak bank.Peristiwa
61
kematian
tersebut
dikabarkan
oleh
keluarga
dari
pihak
nasabah
pembiayaan.Pihak keluarga nasabah memberikan keterangan dan menunjukkan sejumlah bukti berupa Surat Keterangan Kematian dari kelurahan setempat.Pihak bank memberikan rincian sisa kewajiban nasabah terhadap bank atas objek pembiayaanya.Pada kasus ini, nasabah masih mempunyai sisa pembiayaan beberapa bulan yang belum dibayarkan sebelum peristiwa kematiannya dan beberapa bulan selanjutnya yang seharusnya masih harus dibayarkan sampai habis masa pembayaran. Pihak bank dan keluarga nasabah melakukan musyawarah dan mencapai kesepakatan dengan jalan keluar dimana pihak keluarga nasabah hanya diberikan tanggungan pembayaran sisa bulan yang belum di bayarkan oleh nasabah pembiayaan hanya sampai waktu peristiwa kematian nasabah terjadi yang keseluruhannya dilunasi dengan klain asuransi dan sisa pembiayaan beberapa bulan berikutnya, yang seharusnya di lunaskan akan di putihkan oleh pihak bank. 2. Pembiayaan Mudharabah (a) Kasus 1 Kasus force majeure ini terjadi pada pembiayaan modal kerja produktif berupa pendanaan usaha properti (bangunan ruko) pada Bank BJB Syariah Kcp. Supomo Jakarta. Jenis force majeure yang terjadi adalah absolut-temporer berupa bencana kebakaran tempat usaha nasabah. Pada kasus ini, nasabah memiliki 5 unit bangunan usaha (ruko) dalam satu area yang berdekatan.Bangunan ini di berikan pembiayaan
62
oleh pihak bank.Masing-masing ruko tersebut dijual kepada pemilik usaha yang membutuhkan sepert usaha jual beli mobil, warung, dsb. Diluar kuasa nasabah (pemilik ruko), 2 dari ruko tersebut mengalami kebakaran yang menyebabkan kerusakan berat. Terjadinya peristiwa ini menimbulkan daya bayar penyewa ruko kepada pemilik ruko menurun yang juga berakibat berkurangnya daya bayar pemilik ruko terhadap bank. Diluar permasalahan pihak penyewa ruko dengan pemilik ruko (nasabah pembiayaan), pihak nasabah meminta keringanan dari pihak bank.Pihak bank melakukan tahap pengecekan lapangan, dan melakukan musyawarah dengan pihak nasabah. Bank berpendapat bahwa rusaknya fungsi dari 2 ruko tersebut mengakibatkan hampir setengah kemampuan pengembalian kewajiban nasabah kepada bank menurun. Musyawarah yang dilakukan antara pihak bank dengan nasabah menghasilkan suatu solusi berupa : kewajiban dana dari 2 ruko yang terbakar tersebut akan diselesaikan melalui jalur asuransi, sementara 3 ruko yang tersisa akan dilakukan tahapan rescheduling (Spesifikasi keringanan tidak di sebutkan) sesuai dengan permintaan nasabah melihat dari kondisi kemampuan nasabah dalam membayar, serta hasil perhitungan yang didapatkan dari bank.Setelah mendapatkan kabar mengenai peristiwa yang terjadi, pihak asuransi melakukan pengecekan dan prosedural klaim asuransi untuk membayar beban kewajiban 2 ruko yang terbakar sesuai dengan perhitungan yang telah didapatkan kepada pihak bank.
63
(b) Kasus 2 Kasus force majeure ini terjadi pada pembiayaan usaha warung sembako mikro pada Bank Syariah Mandiri Kc.Bandar Lampung. Pembiayaan yang diberkan kepada nasabah memiliki jangka waktu kurang lebih 36 bulan pada tahun 2015 dan sudah berjalan selama kurang lebih 1 tahun. Jenis force majeure yang terjadi adalah absolut-temporer berupa bencana banjir yang terjadi pada 15 Maret 2016. Bencana banjir bandang di daerah aliran Sungai Belau melanda dua kecamatan di kota Bandar Lampung, salah satunya kecamatan Telukbetung barat. Banjir bandang ini juga merendam lokasi Usaha Warung Sembako milik nasabah pembiayaan. Secara fisik, bangunan tempat Usaha Warung Sembako masih utuh dan kokoh, hanya saja seluruh sembako yang akan dijual nasabah terendam banjir. Pemilik Usaha Warung Sembako masih memiliki sisa kewajiban yang belum dibayarkan sampai dengan tahun 2017. Banjir yang terjadi menjadi sebab menurunnya daya bayar nasabah kepada bank dan menimbulkan pembiayan bermasalah. Pada kasus ini, nasabah segera mengabarkan pihak bank beberapa waktu setelah terjadinya banjir dan pihak bank melakukan pengecekan lapangan, memanggil
nasabah
yang
bersangkutan,
melakukan
musyawarah
serta
menuliskan berita acara. Permasalahan yang terletak pada kasus ini adalah pemilik Usaha Warung Sembako tidak mengasuransikan usahanya, alasannya adalah nasabah belum merasa perlu untuk mengasuransikan usahanya. Setelah terjadi nya banjir
64
bandang, nasabah mengaku tidak mempunyai sumber penghasilan lain untuk membayar sisa kewajibannya kepada pihak bank. Langkah penyelesaian force majeure yang dilakukan oleh bank adalah dengan melakukan eksekusi terhadap BPKB motor nasabah yang di jaminkan dan melakukan pemutihan terhadap pembiayaannya (c) Kasus 3 Kasus force majeure ini terjadi pada pembiayaan usaha katering pada Bank Syariah Mandiri Kc. Bandar Lampung. Pembiayaan yang diberkan kepada nasabah memiliki jangka waktu kurang lebih 5 tahun dimulai pada tahun 2012 dan sudah berjalan selama kurang lebih 4 tahun. Jenis force majeure yang terjadi adalah absolut-temporer berupa bencana kebakaran sebagian operasional katering. Salah satu alat masak yang digunakan oleh Usaha Katering ini mengalami kerusakan yang menyebabkan kebakaran.Kebakaran tersebut menghanguskan sebagian fungsi dapur operasional Usaha Katering.Pemilik Usaha Katering masih memiliki sisa kewajiban yang belum dibayarkan sampai dengan tahun 2017. Kebakaran yang terjadi menjadi sebab menurunnya daya bayar nasabah kepada bank dan menimbulkan pembiayaan bermasalah. Pada kasus ini nasabah mengabarkan bahwa Usaha Katering yang dijalankannya mengalami kebakaran.Atas peristiwa yang dilaporkan, pihak bank menuliskan berita acara dan melakukan pengecekan lapangan kemudian memanggil nasabah yang bersangkutan untuk melakukan musyawarah. Atas permintaan nasabah, pembiayaan yang tersisa akan di rescheduling dengan
65
keringanan berupa perpanjangan jangka waktu pelunasan utang pokok dan tunggakan, tunggakan bunga, serta perubahan jumlah angsuran. Hal ini dikarenakan efek force majeure tidak berlangsung permanen. Dalam kasus ini, setelah nasabah mampu memperbaiki kerusakan operasionalnya, maka pengembalian kewajiban tetap dilaksanakan.Nasabah masih mempunyai itikad baik dan dianggap mampu untuk melunasi kewajibannya. (d) Kasus 4 Kasus force majeure ini terjadi pada pembiayaan penjualan barang dagang pada Bank Syariah Mandiri Kc. Bandar Lampung. Pembiayaan yang diberkan kepada nasabah memiliki jangka waktu kurang lebih 10 tahun dan sudah berjalan selama 4 tahun 3 bulan. Jenis force majeure yang terjadi adalah relatif-temporer berupa kerusakan kualitas seluruh barang penjualan sehingga tidak dapat dijual kembali. Suatu peristiwa menimpa barang dagang milik nasabah Usaha Penjualan Barang sehingga tidak dapat di jual kembali karena kualitas barang tersebut rusak berat. Nasabah memberitahukan kepada pihak bank bahwa ia tidak dapat membayar kewajibannya kepada pihak bank karena peristiwa tersebut. Hal ini menjadi sebab menurunnya daya bayar nasabah kepada bank dan menimbulkan pembiayaan bermasalah. Setelah mandapat keterangan dari phak nasabah, pihak bank menuliskan berita acara, melakukan pengecekan lapangan dan melakukan musyawarah dengan nasabah.Pihak bank melihat nasabah masih dianggap mampu untuk membayar sejumlah kewajibannya, maka dari itu bank menawarkan tahap penyelesaian dengan jalur asuransi, baik penggantian stok
66
barang sehingga nasabah dapat berjualan kembali atau pelunasan sisa pembayaran kepada pihak bank Dengan adanya pembiayaan bermasalah, bank diharuskan memberikan penanganan yang sesuai dengan pertimbangan kondisi nasabah.Beberapa dasar hukum mengenai ketentuan penyelesaian force majeure telah ditetapkann oleh yang berwenang.Al-qur’an serta hadist dapat menjadi landasan bagi bank syariah untuk mengambil suatu tindakan. Fatwa DSN MUI , UU, serta KUH Perdata juga menjadi dasar yang kuat untuk memberikan solusi yang tepat bagi kondisi nasabah pembiayaan bermasalah, dari hal tersebut perlu di uraikan mengenai kasus force majeure yang terjadi dalam produk pembiayaan murabahahdan mudharabah serta penyelesaian yang dilakukan oleh bank syariah dalam kasus serta dilakukan analisis terhadapnya.ada beberapa kasus force majeure yang menjadi sebab timbulnya permasalahan atau risiko permasalahan pada pembiayaan. Berikut tabel penjelasannya:
B. Model-model Penyelesaian Force majeuredalam Produk Pembiayaan pada Bank Syariah Penanganan kasus force majeureyang dilakukan oleh pihak bank syariah adalah dengan memberikan solusi kepada nasabah pembiayaan yang disesuaikan dengan sebab dan kondisi nasabah yang terkena force majeure. Dalam melakukan tahap penyelesaian, bank syariah akan mempertimbangkan bentuk
67
solusi yang sesuai dengankondisi dan kemampuan nasabah yang terkena force majeuredalam membayar kewajibannya.2 Dibawah ini adalah kesimpulan tahapan penyelesaian pembiayaan bermasalah yang di lakukan oleh bank ayariah.Adapun tahapan-tahapan penyelesaian pembiayaan bermasalah di bank syariah adalah sebagai berikut:3 1. Keringanan Angsuran Pokok dan Mark-Up Merupakan penyelesaian pembiayaan bermasalah tahap awal. Hal tersebut dilakukan apabila terjadi permasalahan sebagai berikut: a) Apabila debitur merasa keberatan dengan besarnya angsuran dan bagi hasil/mark-up dengan sebab tertentu, seperti yang telah disepakati bersama dalam akad perjanjian sehingga angsurannya menjadi kurang lancar. b) Apabila usaha nasabah kurang lancar, jika alokasi dana kredit untuk usaha. Adapun mekanisme penyelesaiannya adalah sebagai berikut: sebagai langkah awal, pihak bank syariah mengadakan kunjungan lapangan untuk mengetahui penyebab terjadinya macet. Selanjutnya pihak bank syariah mengadakan musyawarah dengan nasabah untuk menentukan penyelesaian terbaik dan tidak memberatkan kedua belah pihak. Apabila belum terselesaikan, maka pihak bank syariah mengambil langkah-langkah preventif (pencegahan) pertama dengan upaya sebagai berikut:
2 3
Mardani, “Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah”, h. 136 Mardani, “Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah”, h. 136
68
a) Penangguhan sementara atau perpanjangan masa angsuran dan tetap dikenakan bagi hasil ataupun mark-up dengan konsekuensi pengecilan angsuran pokok. b) Penghapusan sementara bagi hasil ataupun mark-up dan hanya diwajibkan membayarkan pokoknya saja. Apabila dana sudah terbayarkan, maka bagi hasil ataupun mark-up dibayarkan kemudian c) Penghapusan sisa ataupun seluruh bagi hasil ataupun mark-up dan hanya diwajibkan membayar pokok. Hal ini dilakukan setelah diadakan penyelesaian melalui dua mekanisme tersebut diatas. 2. Klaim Asuransi Tindakan penyelesaian kasus forcemajeure melalui klaim asuransi adalam tindakan penyelamatan pembiayaan yang paling ideal dgunakan oleh bank syariah. Dalam hal terjadinya force majeure, maka pihak yang terkena akibat langsung dari force majeure tersebut wajib memberitahukan secara tertulis dengan melampirkan bukti-bukti dari Kepolisian/ Instansi yang berwenang kepada pihak lainnya mengenai peristiwa force majeure tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas hari kerja) terhitung sejak tanggal force majeure ditetapkan. Berita acara yang telah di tulis oleh nasabah akan diberikan kepada lembaga asuransi oleh pihak bank. Lembaga asuransi akan mencari kebenaran dan bukti-bukti kuat mengenai kronologis terjadinya force majeure pada nasabah, jika nasabah terbukti benar mengalami force majeure maka nasabah
69
dapat mengklaim asuransi yang dapat digunakan sebagai salah satu jalan penyelematan pembiayaan nya kepada bank.4 3. Penyitaan dan Pelelangan Merupakan tindakan penyitaan dan ataupun penjualan oleh pihak bank syariah terhadap barang yang dijaminkan nasabah. Penyitaan dan pelelangan jaminan merupakan tahap III dan dilakukan dengan latar belakang permasalahan sebagai berikut: a) Telah melalui tahap I dan tahap II.
Nasabah sebenarnya mampu
membayar kewajibannya akan tetapi tidak dilakukannya, dengan kata lain nasabah telah wanprestasi terhadap kepercayaan yang diberikan pihak bank syariah b) Telah terjadi penyalahgunaan dana oleh nasabah. Penyitaan dan pelelangan merupakan upaya bank syariah untuk mendapatkan kembali dana yang diberikan kepada nasabah. Pada tahap ini, pihak bank syariah terlebih dahulu mengadakan upaya penyitaan terhadap barang yang dijaminkan nasabah pada waktu penandatanganan akad pembiayaan.Setelah barang jaminan tersebut disita, pihak bank syariah melakukan negosiasi dengan nasabah tersebut membayar hutangnya tanpa melalui pelelangan barang jaminan. Apabila upaya tersebut belum berhasil, mak pihak bank syariah kembali melakukan negosiasi dengan nasabah tentang penentuan harga minimum, barang yang akan dilelang. Setelah terjadi kesepakatan, pihak bank syariah melelang 4
Wendra M, Accounting Maintenace BSM Kc. Bandar lampung, wawancara pribadi, Bandar lampung 27 Oktober 2016
70
barang jaminan tersebut dengan hasil penjualannya digunakan untuk membayar hutang nasabah kepada bank syariah. Adapun mekanisme penyelesaian pada tahap penyitaan dan pelelangan jaminan adalah terlebih dahulu pihak bank syariah mengadakan kunjungan lapangan dan diadakan upaya penyelesaian melalui tahap satu dan tahap dua, jika alokasi dana kredit untuk usaha. Apabila dengan hal tersebut belum terselesaikan, maka pihak bank syariah mengadakan musyawarah dengan pihak debitur untuk mengadakan penyitaan barang jaminan. Dalam hal ini, maka pihak bank syariah mengambil kebijakan sebagai berikut: (1)
Apabila dengan penyitaan si nasabah belum mengembalikan pinjamannya, maka pihak bank syariah dengan adanya persetujuan nasabah untuk melelang atau menjual barang jaminan tersebut.
(2)
Apabila dari hasil pelelangan jaminan tersebut masih ada sisa dana setelah untuk menutupi pinjaman nasabah, maka akan dikembalikan sepenuhnya kepada nasabah tersebut setelah dipotong biaya penyitaan dan pelelangan jaminan.
(3)
Apabila setelah pelelangan jaminan ternyata belum dapat menutup semua pinjaman nasabah kepada pihak bank syariah, maka diadakannya upaya penyelesaian lainnya. Misalnya, dengan penyitaan dan pelelangan barangbarang berharga lain milik nasabah. Akan tetapi, apabila dengan hal itupun belum mampu menutup sisa pinjaman nasabah, maka akan diadakan upaya penyelesaian melalui tahap IV, yaitu penghapusan piutang.
71
4. Penghapusan Piutang Merupakan pembebasan sebagian atau seluruh sisa piutang nasabah kepada bank syariah dengan latar belakang sebagai berikut: a) Nasabah yang macet telah melalui penyelesaian tahap I, tahap II dan tahap III. b) Nasabah meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris. c) Nasabah meninggal dunia dan mempunyai ahli waris, akan tetapi tidak mampu membayar sebagian ataupun seluruh sisa hutangnya. Adapun mekanisme penyelesaiannya adalah sebagai berikut:: (1) Diadakan kunjungan lapangan tentang penyebab terjadinya pembiayaan bermasalah (kredit macet). (2) sebab meninggal dunia, maka terlebih dahulu diadakan upaya penyelesaiannya dengan ahli warisnya (3) Setelah diadakan upaya penyelesaian dengan hal tersebut diatas belum dapat terselesaikan, maka pihak bank syariah mengambil kebijakan untuk diadakannya penghapusan piutang oleh pihak bank syariah terhadap sisa hutang nasabah. Keempat tahap penyelesaian pembiayaan bermasalah pada bank syariah merupakan suatu urutan tahapan.Artinya apabila terjadi pembiayaan bermasalah, terlebih dahulu harus diadakan penyelesaian tahap I, apabila tahap I belum bisa menyelesaikannya baru diadakan penyelesaian tahap II sampai tahap ke empat.
72
C. Analisis Penyelesaian Force majeuredalam Produk Pembiayaan Murabahah dan Mudharabah pada Bank Syariah Analisis
penyelesaian
force
majeure
dalam
produk
pembiayaan
murabahahdan mudharabah pada beberapa bank syariah diatas di tinjau dari dasar hukum yang menjadi landasan penyelesaian bermasalah atau berpotensi bermasalah. Hasil analisis dari kasus-kasus force majeure yang terjadi pada bank bank syariah yang dapat disimpulkan : 1.
Pada kasus force majeure subjektif-permanen, peristiwa kematian yang menimpa nasabah membuat kelangsungan force majeure yang berdampak pada pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan untuk selamanya.
2.
Pada kasus force majeure absolut-temporer, peristiwa bencana banjir yang menghilangkan fisik barang jualan nasabah serta kasus kebakaran yang melenyapkan sebagian fungsi operasional usaha nasabah membuat kelangsungan force majeure yang berdampak pada pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan hanya untuk sementara waktu, namun setelah efek dari peristiwa tersebut berhenti, prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali.
3.
Pada kasus force majeure absolut-permanen, peristiwa bencana longsor yang melenyapkan keseluruhan bangunan yang menjadi objek pembiayaan nasabah membuat kelangsungan force majeure yang berdampak pada pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan untuk selamanya.
73
4.
Pada kasus force majeure relatif-temporer, peristiwa rusaknya stok barang nasabah yang disebabkan karena suatu hal menghilangkan manfaat jual barang tersebut. Kelangsungan force majeure pada kasus ini yang berdampak pada pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan hanya untuk sementara waktu, namun setelah efek dari peristiwa tersebut berhenti, prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali.5
5.
Pada dasarnya peristiwa ini mengakibatkan debitur bukan tidak mungkin memenuhi prestasi, melainkan kesulitan memenuhi prestasi, bahkan jika dipenuhi juga, memerlukan waktu dan biaya yang banyak. Dalam kasus ini, efek force majeure pada perikatan antara nasabah dengan bank syariah menjadi perikatan gugur, namun perikatan yang sebenarnya tidak berhenti (tidak batal), hanya pemenuhan prestasinya tertunda.
6.
Kasus-kasus ini menyebabkan akibat-akibat tertentu. Akibat-akibat ini sama seperti beberapa rumusan A.R. Setiawan, yaitu :6 a) Kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi b) Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi c) Risiko tidak beralih kepada debitur Lalu beberapa akibat diatas juga memiliki kesamaan pernyataan yang
dikatakan oleh Salim H.S.bahwa tiga akibat dari keadaan memaksa, yaitu :7 5
Dewo Broto Joko Putranto, “Penyusunan Kontrak Dan Aspek-Aspek Hukum Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Kepres No. 80 Tahun 2003”, diakses dari http://justitiaindonesia.blogspot.co.id/2006/09/penyusunan-kontrak-dan-aspek-hukum.html pada tanggal 01 Februari 2016 pukul 04 : 42 WIB 6 R. Setiawan, “Pokok-Pokok Hukum Perikatan”, h.27-28.
74
a) debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata) b) beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara c) kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontraprestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata dimana akibat keadaan memaksa relatif terdapat pada penjelasan butir b. Adapun klausul force majeure yang terdapat dalam akad murabahah terbitan bank BJB Syariah adalah sebagai berikut : Pasal 24 FORCE MAJEURE 1. Dalam hal terjadi force majeure, maka pihak yang terkena akibat langsung dari force majeure tersebut wajib memberitahukan secara tertulis dengan melampirkan bukti-bukti dari instansi yang berwenang kepada pihak lainnya mengenai peristiwa force majeure tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal force majeure terjadi. 2. Keterlambatan atau kelalaian pihak yang mengalami force majeure untuk memberitahukan adanya force majeure tersebut kepada pihak lainnya mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa tersebut sebagai force majeure 3. Seluruh permasalahan yang timbul akibat terjadinya force majeure akan diselesaikan oleh PARA PIHAK secara musyawarah untuk mufakat. Hal tersebut tanpa mengurangi hak-hak BANK sebagaimana diatur dalam akad ini.
Terjadinya force majeure pada pembiayaan murabahah tidak mengubah status hutang pada nasabah.Hal ini djelaskan pada poin 4 dimana tindakan penyelamatan pembiayaan yang diberikan bank tetap membebankan pelunasan angsuran sebagai bentuk hak bank yang wajib dikembalikan oleh nasabah.Ketika terjadi force majeure, bank syariah tidak akan langsung memberikan 7
Salim H.S, “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)”, h.184-185.
75
penghapusan hutang atau melelangkan jaminan tetapi pemberian bantuan yang dianggap sesuai dengan kondisi nasabah adalah tindakan yang dilakukan oleh bank syariah dalam upaya menyelamatkan pembiayaan. Sementara kewajiban nasabah untuk membayar tidaklah di hapuskan melainkan dapat diberikan keringanan atau penundaan masa bayar. Berbeda dengan murabahah, akad pembiayaan mudharabah memiliki karakteristik yang berbeda. Dalam Fatwa DSN no: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Mudharabah (Qiradh) bagian Pertama ketentuan murabahah diatur seperti : (1) Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk usaha yang produktif. (2) Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul mal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan usaha, sedangkan pengusaha (nasabah) sebagai mudharib. (3) Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua pihak. (4) Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syariah, dan LKS tidak ikut serta dalam manajemen usaha tapi memiliki hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. (5) Jumlah pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
76
(6) LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat mudharabah kecuali jika mudharib melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. (7) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan bila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati dalamj akad. (8) Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN. (9) Biaya operasional dibebankan kepada mudharib (10) Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak memperoleh ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan. Adapun klausul force majeure yang terdapat dalam akad mudharabah terbitan bank BJB Syariah adalah sebagai berikut: Pasal 23 FORCE MAJEURE 1. Dalam hal terjadi force majeure, maka pihak yang terkena akibat langsung dari force majeure tersebut wajib memberitahukan secara tertulis dengan melampirkan bukti-bukti dari instansi yang berwenang kepada pihak lainnya mengenai peristiwa force majeure tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal force majeure terjadi. 2. Keterlambatan atau kelalaian pihak yang mengalami force majeure untuk memberitahukan adanya force majeure tersebut kepada pihak lainnya mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa tersebut sebagai force majeure 3. Seluruh permasalahan yang timbul akibat terjadinya force majeure akan diselesaikan oleh PARA PIHAK secara musyawarah untuk mufakat. Hal tersebut tanpa mengurangi hak-hak BANK sebagaimana diatur dalam akad ini.
77
Dalam keadaan force majeure, musibah yang mengakibatkan kerugian yang berkaitan dengan modal (materi) menjadi tanggung jawab pemodal, sedangkan kerugian non-materi, (skiil/tenaga) menjadi tanggung jawab pengusaha. Hal ini disebutkan dalamkaidah الغنم بالغرمserta dalam Fatwa DSN no: 07/DSN-MUI/IV/2000 poin 6 yang menjelaskan LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat mudharabah kecuali jika mudharib melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. namun, pasal force majeure diatas menyebutkan bahwa kejadian force majeure tidak dapat menjadi alasan pengurangan kewajiban nasabah terhadap bank. Hal ini menunjukkan PERSAMAAN antara penyelesaian kasus force majeure dalam akad murabahah dengan penyelesaian kasus force majeure dalam akad mudharabah yang pada hakikatnya dua akad ini jelas jelas memiliki karakteristik yang BERBEDA. Ada pun ketidaksesuaian tindakan nasabah melihat pada Fatwa yang sama bagian pertama poin 7 dimana jaminan hanya dapat dicairkan jika nasabah melakukan pelanggaran yang disepakati bersama, sementara hal force majeure tidak dapat dikatakan sebagai suatu kesalahan namun bank melakukan eksekusi jaminan untuk melunasi beban nasabah force majeure. Selanjutnya, ada ketidaksesuaian tindakan penyelesaian kasus force majeure yang di lakukan pihak bank syariah pada bagian ketiga poin 3 dalam Fatwa yang sama. Dalam poin ini dijelaskan bahwa tidak ada ganti rugi dalam akad mudharabah, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah kecuali terjadi pelanngaran atau kesalahan diluar kesepaktan.Force majeure yang terjadi tidak dapat digolongkan
78
kesalahan sementara nilai kerugian yang di bayarkan kepada pihak bank baik dengan jalur asuransi atau pun tindakan penyelamatan pembiayaan lainnya masih di tanggun nasabah. Pada Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri belum diatur secara spesifik mengenai ketentuan force majeure pada lampiran akad pembiayaanya. Beragam sebab terjadinya kasus force majeure dalam pembiayaan bermasalah di ranah perbankan juga tidak membedakan cara penyelesaian dan sengketanya di ranah Hukum. Model penyelesaian kasus force majeure yang terjadi di bank syariah dilakukan berdasarkan proses yang serupa sebagaimana langkah penyelesaian pembiayaan bermasalah secara umum. Menurut penulis, hal ini kurang sesuai dengan teori-teori yang telah ada khususnya dalam perspektif Islam. Pada praktiknya di bank syariah dalam akad pembiayaan mudharabah, nasabah masih memiliki kewajiban pembayaran yang harus dilunasi meskipun nasabah tetap diberikan keringanan sesuai dengan kebutuhan nasabah dengan tidakan yang sama dengan penanganan pembiayaan bermasalah lainnya seperti keringanan angsuran, pokok, dan besaran bagi hasil, penundaan masa pembayaran sampai dengan persetujuan penghapusan piutang atau lelang jaminan. Tindakan yang diambil oleh bank syariah dalam menangani kasus ini diambil berdasarkan beberapa dasar hukum, yaitu :
79
a) Hukum islam (1) Keringanan yang diberikan oleh bank syariah sesuai dengan dasar Alqur’an Q.S Al-Baqarah : 280 yang mana kita dianjurkan untuk memberikan kelapangan dan kemudahan dengan orang yang memiliki hutang. (2) Penyelesaian force majeure yang dilakukan oleh bank syariah sudah sesuai dengan Fatwa DSN 17/DSN-MUI/IX/2000 pada butir 2 bahwa bank tidak boleh mengenakan sanksi; dalam hal ini bersifatta’zir atau denda kepada nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeure (3) Pada penyelesaian kasus force majeure dalam praktek akad pembiayaan mudharabah menurut Fatwa DSN no: 07/DSN-MUI/IV/2000 poin 6 kurang sesuai, dikarenakan force majeure yang menimpa nasabah mudharabah tidak menghapus beban materil yang masih menjadi kewajibann nasabah untuk dibayarkan kepada bank. b) Hukum positif Tindakan penyelesaian yang dilakukan oleh bank syariah memenuhi standar hukum seperti yang dibunyikan dalam beberapa KUHP, yaitu : I.
KUHP 1444 Pada pasal ini, bank diharuskan untuk membuktikan kepada nasabah tentangforce majeureyang menimpanya.Dalam kasus diatas, nasabah terbukti tidak dapat membayar dikarenakan peristiwa yang diluar kuasanya. Maka dari hal itu, bank melakukan tindakan
80
penyelamatan pembiayaan dengan menimbang kondisi nasabah yang sekarang serta perikatan yang ada di awal menjadi perikatan gugur II.
KUHP 1445 Tindakan penyelamatan pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah mengacu pada pasal ini.dikarenakan nasabah yang meskipun mengalami musibah force majeure tetapi tetap memiliki sisa hutang dan tanggungan yang masih menjadi hak bank syariah.
81
Bagan Force Majeure
Absolut
Relatif
Jenis
Objektif
Subjektif
Temporer
Force majeure
Permanen
Asuransi Keringanan Angsuran Cara penyelesaian
Pemutihan tunggakan Eksekusi jaminan
82
Tabel Penyelesaian dan Keseuaian Kasus Force Majeure di Bank Syariah
No. Nama
Murabahah Mudharabah
Jenis Force Majeuere
Cara Peneyelesaian
Bank Absolut Relatif Objektif Subjektif Permanen Temporer Asuransi Keringanan Pemutihan Angsuran
BSM
4
BSM
5
BJB
1
BSM
2
BSM
3
6
Muamalat
58
Tunggakan Jaminan
Syariah
Eksekusi
83
Tabel Penyelesaian dan Keseuaian Kasus Force Majeure di Bank Syariah No.
Nama Bank
Murabahah
Mudharabah
Jenis Force Majeuere Absolut
Objektif
Subjektif
Permanen
Temporer
KUHP 1245
KUHP 1444
KUHP 1445
Fatwa DSN No.17/DSNMUI/ IX/2000
Fatwa DSN No.07/D SN MUI/ IV/ 2000
BSM
4
BSM
5
BJB Syariah
6
Muamalat
BSM
2
BSM
3
KUHP 1244
1
Relatif
Kesesuaian
Fatwa DSN No.48/ DSNMUI/ II/2005
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dari penelitian ini, dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya sebagai berikut : 1. Bentuk-bentuk force majeure yang terjadi dalam produk pembiayaan Bank Syariah Bentuk force majeure yang sering terjadi di sektor perbankan syariah adalah force majeure objektif-absolut-temporer, yang mana force majeure bentuk ini terjadi pada objek pembiayaan yang disebabkan oleh bencana alam dengan kelangsungan dampak yang bersifat sementara. 2. Model-model penyelesaian kasus force majeure dan prosedur yang ditempuh para pihak Bank Syariah Model penyelesaian kasus force majeure yang ditempuh pihak bank syariah adalah dengan klaim asuransi yang ideal digunakan. 3. Kesesuaian model dan prosedur penyelesaian kasus force majeure yang digunakan oleh Bank Syariah dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Ketentuan peraturan perundang-undangan KUHP 1444-1445 serta Fatwa DSN MUI No. 17/DSN-MUI/IX/2000 dan Fatwa DSN MUI No. 48/DSN-MUI/II/2005 telah sesuai dengan model penyelesaian kasus force
86
87
majeure yang digunakan oleh bank syariah, sementara pada KHUP 12441245 dan Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 masih belum sesuai dengan model penyelesaian kasus force majeure yang ditempuh oleh bank syariah. B. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, berikut ini adalah saran-saran yang dapat peneliti sampaikan. Bagi Lembaga Perbankan Indonesia : 1. Dalam penerapan pengambilan tindakan, perbankan diharapkan dapat lebih memperhatikan prinsip-prinsip syariah serta ketentuan pada penyelesaian kasus force majeure, sehingga adanya kemudahan yang sebenar-benarnya bagi nasabah dalam meringankan kesusahan karena terkena bencana. 2. Konunikasi dan musyawarah yang baik dengan nasabah yang mengalami pembiayaan bermasalah perlu ditingkatkan guna terbukanya solusi yang mashlahat dan tidak memberatkan salah satu pihak. 3. Dalam menghadapi suatu permasalahan di bidang pembiayaan perbankan diperlukan kesiapan manajemen yang emiliki sistem dan perangkat kerja yang dapat diandalkan untuk mencegah terjadinya resiko pada pembiayaan atau pun memberikan solusi yang mashlahat jika terjadi pembiayaan bermasalah. Hal ini bisa dilakukan dengan upaya preventif melalui pengelolaan resiko terstruktur berupa identifikasi resiko, pengukuran resiko, pemantauan resiko serta pengendalian resiko.
88
Bagi peneliti selanjutnya : 1. Disarankan untuk memberikan perbedaan yang lebih bervariasi terhadap cara penyelesaian kasus force majeure yang terjadi dalam produk pembiayaan baik di bank konvensional maupun bank syariah. 2. Agar peneliti selanjutnya dapat menggunakan input-output mengenai kasus force majeure pada lembaga perbankan yang dapat ditinjau dari aspek-aspek lainnya, hal ini untuk melihat perkembangan hasil penelitian. 3. Diperlukan penelitian lebih jauh tentang penyelesaian force majeure secara keseluruhan serta impikasi pada berbagai sektor rill di Indonesia.
89
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Al-qur’an terjemah Departemen Agama RI, 2002. Dewi, Gemala DKK. Hukum Perikatan Islam di Indonesia.Fakultas hukum Universitas Indonesia, 2006. Fatchurrahman.Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam. Bandung : PT Al Ma’rif, 1986. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadualan Kembali Tagihan Murabahah Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
07/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran Hanum, Chalidah. “Strategi Bnak BTN Syariah Dalam Pembiayaan KPR Bermasalah (Studi Kasus Pada BTN Kantor Cabang Syariah Jakarta)”.Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. H.S, Salim.Pengantar Hukum Perdata Tertulis. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2001. Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1245 Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1444 Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1445 Lathif, AH.Azharudin. “Analisis yuridis dan ekonomi terhadap pengenaan pajak pertambahan nilai pada pembiayaan murabahah di perbankan syariah”, Tesis S2 program studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2008. Mardani.Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah. Jakarta : Kencana, 2011. Miru, Ahmadi. Hukum Perancangan Kontrak. Jakarta : Rajawali Pers, 2007. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Bandung: Penerbit Alumni, 1982. 89
90
Muslehuddin, Mohammad. Insurance and Islamic Law, 2nd Edition. Delhi : Markazi Maktaba Islami, 1995. Panjaitan, Tri Ertina. “Analisis Penyelesaian Force majeure Dalam Produk Pembiayaan Bank Syariah Pasca Gempa Padang 2009 (Studi Kasus Pada Bank Syariah Mandiri Cabang Padang, SUMBAR)”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Rivai, Veithzal & Andria Veithzal Rivai. Credit Management Handbook.Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Rivai, Veithzal. Bank atau Financial Institution Management.Edsisi 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. R. Purba, Michael. Kamus Hukum. Jakarta : Widyatamma, 2009. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta, 1994. Soemadipradja, Rahmat S.S. Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka, 2010. Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A. Yogyakarta : Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980. Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006. Subekti.Hukum Perjanjian. Jakarta : PT. Intermasa, 1992. Yaya, Rizal DKK. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta : Salemba Empat, 2009. 2. Website www.bjbsyariah.co.id www.bankmuamalat.co.id www.syariahmandiri.co.id www.ojk.go.id www.portalgaruda.org www.dsnmui.or.id www.google.com
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1: Tabel definisi kasusforce majeure pada akad pembiayaan di Bank Syariah Lampiran 2 : Skema Pembiayaan Bermasalah Lampiran 3`: Surat Izin Penelitian dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada Bank BJB Syariah Kcp. Supomo Lampiran 4 :Surat Keterangan Penelitian dari Bank BJB Syariah Kc. Supomo Lampiran 5`: Surat Izin Penelitian dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada BankSyariah Mandiri Kc. Bandar Lampung Lampiran 6 : Surat Persetujuan Informan dari Bank Syariah MandiriKc. Bandar Lampung Lampiran 7 : Surat Keterangan Penelitian dari Bank Syariah Mandiri Kc. Bandar Lampung Lampiran 8: Surat Izin Penelitian dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada Bank Muamalat Kc. Bandar Lampung Lampiran 9 : Surat Persetujuan Informan dari Bank Muamalat Kc. Bandar Lampung Lampiran 10 :Surat Keterangan Kerja Informan Bank Muamalat Kc. BandarLampung
Tabel definisi kasus force majeure pada akad pembiayaan Bank Muamalat Daftar Pertanyaan
Bank BJB Syariah Akad Pembiayaan
Akad Pembiayaan Mudharabah
Murabahah
Adakah
ketentuan
khusus
yang Tidak, ketentuan force
mengatur force majeure dalam akad majeure diatur dalam pasal perjanjian pembiayaan?
Ada
yang menyangkut tentang perlakuan asuransi
Apakah
ketentuan
force
majeure Tidak, ketentuan force
dicantumkan dalam akad perjanjian majeure disatukan dalam pasal pembiayaan?
lain-lain
Ada
Adakah kasus force majeure yang Ada
terjadi? Apa nama pembiayaannya?
Pembiayaan iB Multiguna
Apa kegunaan pembiayaannya?
produk
pembiayaan
ditujukan
untuk
kebutuhan konsumtif bangunan rumah,
Pembiayaan Produktif, Pembiayaan Modal kerja (PMK)
yang Fasilitas Pembiayaan yang diberikan perusahaan yang memerlukan
memenuhi pembiayaan modal kerja dengan maksimum 80% dari modal kerja yang
barang seperti untuk
kepemilikan
jasa dibutuhkan bahan renovasi sepeda
motor, biaya pendidikan, biaya pernikahan dan perlengkapan rumah
Apa objek pembiayaannya?
Pembelian mobil
Milik siapakah objek pembiayaannya?
Bentuk
Pendanaan Usaha Properti (Bangunan Ruko)
kepemilikan
mobil Bentuk kepemilikan Usaha tersebut adalah milik nasabah
tersebut masih menjadi hak bank yang dapat menjadi milik nasabah setelah pelunasan
Kapan bank syariah memberikan
Jangka
waktu
pembiayaan (Spesifikasi waktu pembiayaan tidak disebutkan)
pembiayaan kepada nasabah?
selama 5 tahun dimulai pada tahun 2013 (perkiraan bulan tidak disebutkan)
Sudah berapa lama pembiayaan
Pembiayaan
sudah
berjalan?
kurang lebih 3 tahun
berjalan (Spesifikasi waktu pembiayaan tidak disebutkan)
Apakah objek pembiayaan memilikii
Ya,
jaminan
dari
objek Ya (Spesifikasi jaminan pembiayaan tidak disebutkan)
jaminan, berupa apa jaminannya?
pembiayaan ini adalah BPKB mobil itu sendiri
Apakah jaminan tersebut
Ya
Ya
diasuransikan? Bentuk force majeure apa yang
Force
majeure
terjadi?
permanen
berupa
subjektif- Force majeure absolut-temporer berupa kebakaran tempat usaha nasabah kematian
nasabah pembiayaan
Kapan terjadinya force majeure dalam
(Tidak di sebutkan oleh pihak (Tidak di sebutkan oleh pihak bank)
pembiayaan?
bank)
Dimana letak force majeure yang
Kematian nasabah pembiayaan Pada kasus ini, nasabah memiliki 5 unit bangunan usaha (ruko) dalam satu
menyebabkan pembiayaan
disebabkan oleh kecelakaan area yang berdekatan. Bangunan ini di berikan pembiayaan oleh pihak
bermasalah?
yang menimpa nasabah beserta bank. Masing-masing ruko tersebut dijual kepada pemilik usaha yang dengan yang
objek
pembiayaan membutuhkan sepert usaha jual beli mobil, warung, dsb.
digunakan
Peristiwa
ini
(mobil).
menyebabkan
terhentinya kewajiban nasabah
Diluar kuasa nasabah (pemilik ruko), 2 dari ruko tersebut mengalami kebakaran yang menyebabkan kerusakan berat. Terjadinya peristiwa ini menimbulkan daya bayar penyewa ruko kepada pemilik ruko menurun yang juga berakibat berkurangnya daya bayar pemilik ruko terhadap bank. Diluar permasalahan pihak penyewa ruko dengan pemilik ruko (nasabah pembiayaan), pihak nasabah meminta keringanan dari pihak bank.
Bagaimana tindakan penyelesaian
Peristiwa kematian tersebut Pihak bank melakukan tahap pengecekan lapangan, dan melakukan
bank syariah dalam menanganii kasus
dikabarkan oleh keluarga dari musyawarah dengan pihak nasabah.
force majeure pada pembiayaan?
pihak nasabah pembiayaan. Pihak
keluarga
nasabah
memberikan keterangan dan
Bank berpendapat bahwa rusaknya fungsi dari 2 ruko tersebut mengakibatkan hampir setengah kemampuan pengembalian kewajiban
menunjukkan sejumlah bukti nasabah kepada bank menurun. berupa
Surat
Kematian
Keterangan
dari
setempat.
kelurahan
Pihak
memberikan
bank
rincian
sisa
kewajiban nasabah terhadap bank atas objek pembiayaanya.
Musyawarah yang dilakukan antara pihak bank dengan nasabah menghasilkan suatu solusi berupa : kewajiban dana dari 2 ruko yang terbakar tersebut akan diselesaikan melalui jalur asuransi, sementara 3 ruko yang tersisa akan dilakukan tahapan rescheduling (Spesifikasi keringanan tidak di sebutkan) sesuai dengan permintaan nasabah melihat dari kondisi kemampuan nasabah dalam membayar, serta hasil perhitungan yang
Pada kasus ini, nasabah masih didapatkan dari bank. mempunyai sisa pembiayaan beberapa bulan yang belum dibayarkan sebelum peristiwa kematiannya bulan
dan
beberapa
selanjutnya
seharusnya
masih
yang harus
dibayarkan sampai habis masa pembayaran. Pihak nasabah
bank
dan
keluarga melakukan
musyawarah
dan
mencapai
kesepakatan
dengan
jalan
keluar dimana pihak keluarga nasabah
hanya
diberikan
tanggungan pembayaran sisa bulan yang belum di bayarkan oleh
nasabah
pembiayaan
hanya sampai waktu peristiwa kematian nasabah terjadi. Sisa pembiayaan beberapa bulan berikutnya, yang seharusnya di lunaskan akan di putihkan oleh pihak bank. Pihak keluarga sepakat untuk menyelesaiakan dengan klaim asuransi. Bagaimana perlakuan pihak asuransi
Setelah
menyikapi kasus force majeure?
mengenai terjadi,
mendapatkan
kabar Setelah mendapatkan kabar mengenai peristiwa yang terjadi, pihak asuransi
peristiwa
yang melakukan pengecekan dan prosedural klaim asuransi untuk membayar
pihak
asuransi beban kewajiban 2 ruko yang terbakar sesuai dengan perhitungan yang
melakukan pengecekan dan
prosedural
klaim
asuransi telah didapatkan kepada pihak bank
kematian yang akan digunakan untuk
membayar
sisa
kewajiban nasabah terhadap bank
Jika asuransi menyanggupi untuk
Jika asuransi sudah menyanggupi untuk membayar kewajiban nasabah yang diakibatkan oleh force majeure,
membayar kerugian force majeure,
maka kasus dapat dinyatakan selesai. Setelah selesai maka tindakan selanjutnya dapat berupa pemutihan
apakah kasus dapat di nyatakan
hutang atau dengan melanjutkan pembayaran
selesai?
Apakah tindakan penyelesaian kasus
Penyelesaian yang kami tempuh semua berdasarkan pengecekan lapangan dan keaslian bukti-bukti otentik
force majeure dipersamakan dengan
lainnya serta keringanan yang diberikan berdasarkan permintaan dan kemampuan nasabah.
penanganan kasus pembiayaan bermasalah pada umumnya?
Perbedaannya, pada pembiayaan bermasalah biasa jika nasabah tidak membayar kewajibannya kami akan memberikan Surat Peringatan sampai somasi, namun pada nasabah force majeure kita tidak memberikan surat peringatan melainkan pihak bank akan menuliskan berita acara, melakukan pengecekan lapangan serta
mengumpulkan bukti-bukti otentik lainnya. Langkah penyelesaian yang dilakukan bank terhadap kasus force majeure sendiri memang dipersamakan dengan penyelesaian pembiayaan bermasalah biasa, seperti : (a) Pemberian keringanan angsuran dalam bentuk rescheduling, resctructuring, atau reconditioning (b) Penyelesaian jalur asuransi (c) Penyelesaian melalui mediasi (d) Penyelesaian melalui arbitrase (e) Penyelesaian melalui pengadilan (f) Eksekusi jaminan atau lelang
Dengan adanya perbedaan jenis kasus
Perbedaan jenis force majeure yang terjadi berpengaruh pada tindakan penyelesaian yang diambil. Hal ini
force majeure yang terjadi, apakah
disesuaikan kembali dengan kondisi serta kemampuan nasabah force majeure
memiliki perbedaan penyelesaian pembiayaan?
Adakah perbedaan keringanan yang
Perbedaan keringanan yang diberikan kepada nasabah force majeure tergantung dengan besaran nominal
diberikan pihak bank kepada nasabah
kerugian serta bentuk permintaan nasabah yang disesuaikan dengan kemampuannya
force majeure berdasarkan jenis penyebabnya?
Tabel definisi kasus force majeure pada akad pembiayaan Bank BJB Syariah Bank Muamalat Daftar Pertanyaan
Akad Pembiayaan
Akad Pembiayaan Mudharabah
Murabahah Adakah
ketentuan
khusus
yang Tidak, ketentuan force majeure diatur
mengatur force majeure dalam akad dalam pasal yang menyangkut tentang perjanjian pembiayaan? Apakah
ketentuan
perlakuan asuransi force
majeure Tidak, ketentuan force majeure disatukan
dicantumkan dalam akad perjanjian dalam pasal lain-lain pembiayaan?
Ada
Ya
Dari beberapa permbiayaan yang telah disalurkan, adakah kasus force majeure
Ada
yang terjadi? Apa nama pembiayaannya?
Pembiayaan iB Multiguna
Apa kegunaan pembiayaannya?
produk pembiayaan yang ditujukan untuk Fasilitas memenuhi
kebutuhan
Pembiayaan Produktif, Pembiayaan Modal kerja (PMK)
barang
Pembiayaan
yang
diberikan perusahaan
jasa memerlukan pembiayaan modal kerja dengan maksimum 80%
konsumtif seperti bahan bangunan untuk dari modal kerja yang dibutuhkan renovasi
rumah,
kepemilikan
sepeda
motor,
biaya
pendidikan,
biaya
pernikahan dan perlengkapan rumah
Apa objek pembiayaannya?
Pembelian mobil
yang
Pendanaan Usaha Properti (Bangunan Ruko)
Milik siapakah objek pembiayaannya?
Bentuk kepemilikan mobil tersebut masih Bentuk kepemilikan Usaha tersebut adalah milik nasabah menjadi hak bank yang dapat menjadi milik nasabah setelah pelunasan
Kapan bank syariah memberikan
Jangka waktu pembiayaan selama 5 tahun (Spesifikasi waktu pembiayaan tidak disebutkan)
pembiayaan kepada nasabah?
dimulai pada tahun 2013 (perkiraan bulan tidak disebutkan)
Sudah berapa lama pembiayaan
Pembiayaan sudah berjalan kurang lebih 3 (Spesifikasi waktu pembiayaan tidak disebutkan)
berjalan?
tahun
Apakah objek pembiayaan memilikii
Ya, jaminan dari objek pembiayaan ini Ya (Spesifikasi jaminan pembiayaan tidak disebutkan)
jaminan, berupa apa jaminannya?
adalah BPKB mobil itu sendiri
Apakah jaminan tersebut diasuransikan?
Ya
Ya
Bentuk force majeure apa yang terjadi?
Kapan terjadinya force majeure dalam
Force majeure subjektif-permanen berupa Force majeure absolut-temporer berupa kebakaran tempat kematian nasabah pembiayaan
usaha nasabah
(Tidak di sebutkan oleh pihak bank)
(Tidak di sebutkan oleh pihak bank)
pembiayaan? Dimana letak force majeure yang
Kematian
menyebabkan pembiayaan bermasalah?
disebabkan
nasabah oleh
pembiayaan Pada kasus ini, nasabah memiliki 5 unit bangunan usaha (ruko)
kecelakaan
yang dalam satu area yang berdekatan. Bangunan ini di berikan
menimpa nasabah beserta dengan objek pembiayaan oleh pihak bank. Masing-masing ruko tersebut pembiayaan yang digunakan (mobil). dijual kepada pemilik usaha yang membutuhkan sepert usaha Peristiwa ini menyebabkan terhentinya jual beli mobil, warung, dsb. kewajiban nasabah kepada pihak bank.
Diluar kuasa nasabah (pemilik ruko), 2 dari ruko tersebut mengalami kebakaran yang menyebabkan kerusakan berat. Terjadinya peristiwa ini menimbulkan daya bayar penyewa ruko kepada pemilik ruko menurun yang juga berakibat berkurangnya daya bayar pemilik ruko terhadap bank. Diluar permasalahan pihak penyewa ruko dengan pemilik ruko (nasabah pembiayaan), pihak nasabah meminta keringanan
dari pihak bank.
Bagaimana tindakan penyelesaian bank
Peristiwa kematian tersebut dikabarkan Pihak bank melakukan tahap pengecekan lapangan, dan
syariah dalam menanganii kasus force
oleh
majeure pada pembiayaan?
pembiayaan. Pihak keluarga nasabah
keluarga
dari
pihak
nasabah melakukan musyawarah dengan pihak nasabah.
memberikan keterangan dan menunjukkan sejumlah bukti berupa Surat Keterangan Kematian dari kelurahan setempat. Pihak
Bank berpendapat bahwa rusaknya fungsi dari 2 ruko tersebut mengakibatkan hampir setengah kemampuan pengembalian kewajiban nasabah kepada bank menurun.
bank memberikan rincian sisa kewajiban Musyawarah yang dilakukan antara pihak bank dengan nasabah
terhadap
bank
atas
objek nasabah menghasilkan suatu solusi berupa : kewajiban dana dari 2 ruko yang terbakar tersebut akan diselesaikan melalui
pembiayaanya. Pada
kasus
ini,
nasabah
masih
mempunyai sisa pembiayaan beberapa bulan yang belum dibayarkan sebelum peristiwa
kematiannya
dan
beberapa
bulan selanjutnya yang seharusnya masih harus dibayarkan sampai habis masa
jalur asuransi, sementara 3 ruko yang tersisa akan dilakukan tahapan
rescheduling
(Spesifikasi
keringanan
tidak
di
sebutkan) sesuai dengan permintaan nasabah melihat dari kondisi kemampuan nasabah dalam membayar, serta hasil perhitungan yang didapatkan dari bank.
pembayaran. Pihak
bank
dan
keluarga
nasabah
melakukan musyawarah dan mencapai kesepakatan dengan jalan keluar dimana pihak keluarga nasabah hanya diberikan tanggungan pembayaran sisa bulan yang belum
di
pembiayaan
bayarkan
oleh
hanya
sampai
nasabah waktu
peristiwa kematian nasabah terjadi. Sisa pembiayaan beberapa bulan berikutnya, yang seharusnya di lunaskan akan di putihkan oleh pihak bank. Pihak
keluarga
sepakat
untuk
menyelesaiakan sisa pembayaran nasabah dengan klaim asuransi.
Bagaimana perlakuan pihak asuransi
Setelah mendapatkan kabar mengenai Setelah mendapatkan kabar mengenai peristiwa yang terjadi,
menyikapi kasus force majeure?
peristiwa yang terjadi, pihak asuransi pihak asuransi melakukan pengecekan dan prosedural klaim melakukan pengecekan dan prosedural asuransi untuk membayar beban kewajiban 2 ruko yang klaim asuransi kematian digunakan
untuk
yang akan terbakar sesuai dengan perhitungan yang telah didapatkan
membayar
sisa kepada pihak bank
kewajiban nasabah terhadap bank
Jika asuransi menyanggupi untuk
Jika asuransi sudah menyanggupi untuk membayar kewajiban nasabah yang diakibatkan oleh force
membayar kerugian force majeure,
majeure, maka kasus dapat dinyatakan selesai. Setelah selesai maka tindakan selanjutnya dapat berupa
apakah kasus dapat di nyatakan selesai?
pemutihan hutang atau dengan melanjutkan pembayaran
Apakah tindakan penyelesaian kasus
Penyelesaian yang kami tempuh semua berdasarkan pengecekan lapangan dan keaslian bukti-bukti otentik
force majeure dipersamakan dengan
lainnya serta keringanan yang diberikan berdasarkan permintaan dan kemampuan nasabah
penanganan kasus pembiayaan bermasalah pada umumnya?
Perbedaannya, pada pembiayaan bermasalah biasa jika nasabah tidak membayar kewajibannya kami akan memberikan Surat Peringatan sampai somasi, namun pada nasabah force majeure kita tidak memberikan
surat peringatan melainkan pihak bank akan menuliskan berita acara, melakukan pengecekan lapangan serta mengumpulkan bukti-bukti otentik lainnya. Langkah penyelesaian yang dilakukan bank terhadap kasus force majeure sendiri memang dipersamakan dengan penyelesaian pembiayaan bermasalah biasa, seperti : (a) Pemberian keringanan angsuran dalam bentuk rescheduling, resctructuring, atau reconditioning (b) Penyelesaian jalur asuransi (c) Penyelesaian melalui mediasi (d) Penyelesaian melalui arbitrase (e) Penyelesaian melalui pengadilan (f) Eksekusi jaminan atau lelang
Dengan adanya perbedaan jenis kasus
Perbedaan jenis force majeure yang terjadi berpengaruh pada tindakan penyelesaian yang diambil. Hal ini
force majeure yang terjadi, apakah
disesuaikan kembali dengan kondisi serta kemampuan nasabah force majeure
memiliki perbedaan penyelesaian pembiayaan?
Adakah perbedaan keringanan yang
Perbedaan keringanan yang diberikan kepada nasabah force majeure tergantung dengan besaran nominal
diberikan pihak bank kepada nasabah
kerugian serta bentuk permintaan nasabah yang disesuaikan dengan kemampuannya
force majeure berdasarkan jenis penyebabnya?
SKEMA PEMBIAYAAN BERMASALAH
SKEMA PEMBIAYAAN BERMASALAH