ANALISIS PENGARUH FAKTOR CUACA TERHADAP DINAMIKA POPULASI WERENG BATANG COKLAT (Nilaparvata lugens Stal)
DEVIED APRIYANTO SOFYAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengaruh Faktor Cuaca terhadap Dinamika Populasi Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Devied Apriyanto Sofyan NIM G251120041
RINGKASAN DEVIED APRIYANTO SOFYAN. Analisis Pengaruh Faktor Cuaca terhadap Dinamika Populasi Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal). Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO dan RINI HIDAYATI. Wilayah pantai utara Jawa merupakan lumbung beras nasional yang juga merupakan wilayah endemis hama tanaman padi Wereng batang coklat (WBC). WBC merupakan hama utama tanaman padi yang serangannya dapat menyebabkan penurunan produksi padi dalam skala luas sehingga merugikan petani. Upaya peningkatan produksi dilakukan dengan memproteksi padi dari serangan WBC secara dini. Kelimpahan populasi WBC di pertanaman padi dipengaruhi oleh faktor cuaca. Indikasi awal kelimpahan populasi WBC di pertanaman dapat dilihat dari jumlah WBC yang tertangkap lampu perangkap. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan parameter faktor cuaca terhadap kelimpahan populasi WBC tangkapan lampu perangkap dengan uji statistik dan menyusun model prediksi menggunakan perangkat lunak Dymex. Metode analisis statistik yang digunakan untuk menilai pengaruh dari masing-masing faktor cuaca terhadap dinamika populasi WBC adalah analisis korelasi dan regresi linier berganda. Masalah multikolinearitas antar faktor cuaca yang berpengaruh dianalisis menggunakan metode regresi komponen utama. Curah hujan, kelembaban minimum dan hari hujan memiliki korelasi kuat terhadap dinamika populasi WBC pada periode musim tanam ataupun diluar periode musim tanam. Persamaan regresi yang dihasilkan dalam uji statistik cukup baik dalam menggambarkan hubungan antara kelimpahan populasi WBC tangkapan lampu dengan peningkatan curah hujan dan kelembaban minimum yang fluktuatif di lapangan. Nilai koefisien determinasi yang dihasilkan adalah R2 = 41.8% tanpa faktor koreksi musim tanam dan R2 = 65.5% dengan faktor koreksi musim tanam. Hasil kalibrasi data luaran model Dymex dan data observasi menunjukan korelasi positif yang kuat dengan nilai koefisien determinasi R2=70.5%. Nilai tersebut memiliki arti bahwasannya model sudah cukup baik dalam menggambarkan kelimpahan populasi WBC di lapangan. Pada validasi data luaran model dan data obeservasi, nilai R2 yang dihasilkan lebih rendah yaitu sebesar 37.4%. Meskipun nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil kalibrasi, namun nilai ini masih dapat dikatakan cukup baik dalam menggambarkan hubungan kelimpahan populasi WBC dengan faktor cuaca. Uji kehandalan model hasil validasi menghasilkan nilai RMSE sebesar 1.8, hasil ini cukup baik menunjukkan kemampuan model menggambarkan pola kelimpahan yang terjadi di lapangan. Pendekatan distribusi normal antara data luaran model dengan data observasi juga menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara model dengan observasi, dengan kata lain model cukup baik memprediksi data hasil observasi. Tingkat akurasi model masih dapat ditingkatkan dengan mengeksplorasi interaksi antara WBC dan tanaman inang, luasan wilayah serta parasitasi musuh alami, menjadi variabel yang dapat ditambahkan sebagai input dalam model Dymex. Hal ini akan menjadikan model lebih kompleks, namun dapat
mencerminkan kondisi nyata populasi WBC di lapangan sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu untuk merumuskan perencanaan dan manajemen pola pengendalian WBC secara terpadu pada kondisi cuaca saat ini dan masa depan.
Kata kunci: dinamika populasi, dymex, kelimpahan, lampu perangkap, wereng batang coklat
SUMMARY
DEVIED Apriyanto SOFYAN. An Analysis of Weather Factor Impact to Population Dynamics of Brown Planthopper (Nilaparvata lugens Stal). Supervised by YONNY KOESMARYONO and RINI HIDAYATI. The north coast of Java is the national rice barn which is also an endemic area of rice pest Brown Planthopper (BPH). BPH is a major pest of rice plants whose attacks can cause a drop in rice production on a wide scale to the detriment of farmers. Efforts to increase rice production is done by protecting the plant against BPH. The abundance of BPH population in rice crops affected by weather factors. An earlier indication of the BPH population in the crops can be seen from the number of captured BPH in light trap. This study aimed to analyze the relationship between the parameters of weather factors on BPH population abundance catches by light trap with statistical test and develop predictive models using the Dymex software. Statistical methods, correlation analysis and linear regression were used to observed the effect of these weather factors on the population dynamics of BPH. Multicollinearity problem among the factors that influence the weather was analyzed using principal component regression method. Rainfall, minimum humidity and number of rainy days has a strong correlation to the BPH population dynamics inside the growing season period or outside the growing season. The value of determination coefficient outside the growing season is R2 = 41.8% and the value of determination coefficient inside the growing season is R2 = 65.5%. The regression model generated in statistical tests quite well in describing the relationship between the abundance of BPH population catches by light trap with the increased of rainfall and fluctuated minimum humidity in the crop field. Calibration results between Dymex model outputs and field data showed a strong positive correlation. Determination coefficient of the callibration is R 2 = 70.5%. This values is means that the Dymex model are good enough in describing the BPH population behavior in the paddy crop fields. Further, validation between Dymex model output dan field data showed the value of R2 = 37.4%. Although this value is lower than the calibration result, but this value is still considered good in describing the relationship between population abundance of BPH with weather factors. Reliability test of the validation model resulted RMSE values of 1.8. The result is pretty well demonstrated the ability of the model to describes the abundance pattern of BPH population that occured in the paddy crop fields. Normal distribution approach between Dymex model output and observed data also states that there are no significant differences between the models and data observations. Equally, the model is good enough to predict data observation. The level of accuracy of the model can be improved by exploring the interaction between the BPH and host plants, increased the area as well as parasitism natural enemies, become a variable that can be added as an input in the model Dymex. This will make the model more complex, but it can reflect the real conditions of the population of the BPH in the field so it can be used as a tool to
formulate plans and management in an integrated pattern control BPH on current weather conditions and the future.
Keywords: abundance, brown planthopper, dymex, light trap, population dynamics
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS PENGARUH FAKTOR CUACA TERHADAP DINAMIKA POPULASI WERENG BATANG COKLAT (Nilaparvata lugens Stal)
DEVIED APRIYANTO SOFYAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Klimatologi Terapan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Rahmat Hidayat
Judul Tesis : Analisis Pengaruh Faktor Cuaca terhadap Dinamika Populasi Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal) Nama : Devied Apriyanto Sofyan NIM : G251120041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono, MS Ketua
Dr Ir Rini Hidayati, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Klimatologi Terapan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Impron, MAgrSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 1 Agustus 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 ini ialah hubungan cuaca dan hama tanaman, dengan judul Analisis Pengaruh Fakor Cuaca terhadap Dinamika Populasi Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal). Ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS dan Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Rahmat Hidayat, SSi, MSi dan Bapak Dr. Akhmad Faqih yang telah banyak memberi saran dan perbaikan. Disamping itu penulis sampaikan pula penghargaan kepada rekan-rekan sejawat serta pihak-pihak terkait yang telah membantu selama penyusunan hasil penelitian ini. Ungkapan terima kasih pula disampaikan kepada ayah, ibu, istri, anak dan saudara-saudariku atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan penelitian ini, sehingga kelak dapat pula menjadi masukan dalam penyusunan penelitian lainnya. Akhirnya besar harapan kami, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi para praktisi dan petugas teknis dibidang pertanian khususnya perlindungan tanaman, akademisi dan peneliti. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016 Devied Apriyanto Sofyan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 3 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Wereng Batang Coklat Dinamika Populasi Wereng Batang Coklat Hubungan Faktor Cuaca dan Wereng Batang Coklat Beberapa Penelitian menggunakan Pemodelan Dymex
4 4 6 7 9
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Alat Prosedur Analisis Data
10 10 10 11 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Studi Lampu perangkap dan Kelimpahan Populasi WBC Periodisasi Musim Tanam Padi Hubungan Faktor Cuaca dan Kelimpahan Populasi WBC Pemodelan Dinamika Populasi dengan Dymex Kalibrasi Model Dymex Validasi Model Dymex Uji Kehandalan Model
17 17 18 19 19 27 29 31 33
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
34 34 34
DAFTAR PUSTAKA
35
LAMPIRAN
39
RIWAYAT HIDUP
50
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lama perkembangan nimpha dan imago WBC pada suhu konstan Nilai inisialisasi model Dymex Korelasi antara faktor iklim terhadap populasi WBC tangkapan lampu Nilai rataan, maksimum dan minimum faktor cuaca dengan korelasi nyata Nilai korelasi, rataan dan nilai kisaran minimum dan maksimum hubungan populasi WBC terhadap faktor cuaca Suhu, lama perkembangan dan laju perkembangan WBC tangkapan lampu Persamaan regresi, nilai T0, nilai K dari tahapan siklus hidup WBC Nilai inisialisasi kalibrasi model Uji kehandalan model validasi
15 16 20 21 24 28 28 29 33
DAFTAR GAMBAR 1 Siklus hidup WBC 2 a. makroptera betina, b. makroptera jantan, c. brakhiptera betina, d. brakhiptera jantan (Subroto et al. 1992) 3 (a) Lampu perangkap di BBPOPT, (b) Petuga BBPOPT menghitung populasi WBC hasil tangkapan lampu perangkap 4 Diagram alir analisis model Dymex 5 Pola curah hujan monsun bulanan pada tahun 2002-2012 6 Populasi WBC hasil tangkapan lampu perangkap tahun 2002-2012 7 Plot tren hubungan populasi WBC tangkapan lampu dengan (a) kelembaban minimum dan (b) curah hujan 8 Plot 3 dimensi antara populasi WBC tangkapan lampu dengan curah hujan dan kelembaban minimum 9 Tren hubungan antara populasi WBC tangkapan lampu perangkap dengan parameter faktor cuaca. a) populasi tangkapan lampu dengan curah hujan, b) hari hujan, dan c) kelembaban minimum 10 Plot 3 dimensi antara populasi WBC tangkapan lampu dengan (a) hari hujan dan kelembaban minimum, (b) curah hujan dan kelembaban minimum 11 Plot data luaran model dengan data observasi dari lampu perangkap 12 (a) Plot tren hubungan data luaran model kalibrasi WBC dengan data observasi WBC dari lampu perangkap, (b) Perbandingan pola luaran model dan observasi 13 Plot data luaran model dengan data observasi dari lampu perangkap hasil validasi 14 (a) Plot tren hubungan data luaran model validasi dengan data observasi WBC dari lampu perangkap, (b) Perbandingan pola luaran model dan observasi
5 6 10 13 17 18 21 22
24
26 30
30 31
32
DAFTAR LAMPIRAN 1 Plot hubungan antara suhu (oC) dan laju perkembangan pada fase (a) nimpha 1, (b) nimpha 2, (c) nimpha 3, (d) nimpha 4, (e) nimpha 5, (f) dewasa 2 Pola curah hujan bulanan di wilayah studi tahun 2002-2012 3 Pola suhu bulanan di wilayah studi tahun 2002-2012 4 Pola kelembaban bulanan di wilayah studi tahun 2002-2012 5 Pola radiasi matahari bulanan di wilayah studi tahun 2002-2012 6 Pola kecepatan angin bulanan di wilayah studi tahun 2002-2012 7 Analisis regresi komponen utama antara variable curah hujan lag 7 dan kelembaban minimum lag 7 dengan populasi WBC tangkapan lampu perangkap tanpa pengaruh musim tanam 8 Plot data populasi hasil tangkapan lampu perangkap dengan faktor cuaca pada MT1. (a) populasi dengan curah hujan dan hari hujan, (b) populasi dengan suhu, (c) populasi dengan kelembaban, (d) populasi dengan radiasi 9 Plot data populasi hasil tangkapan lampu perangkap dengan faktor cuaca pada MT2. (a) populasi dengan curah hujan dan hari hujan, (b) populasi dengan suhu, (c) populasi dengan kelembaban, (d) populasi dengan radiasi 10 Analisis regresi komponen utama antara variabel curah hujan. Kelembaban minimum dan populasi WBC tangkapan lampu tanpa pengaruh musim tanam 11 Tampilan model builder yang menunjukkan beberapa rincian modul model Dymex 12 Tampilan model simulator yang menunjukkan beberapa rincian modul model Dymex yang siap dijalankan (running)
40 41 41 42 42 43
44
45
46
47 48 49
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Komoditi pangan khususnya padi memegang peranan penting sebagai sumber bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Pada tahun 2014 total produksi padi di Indonesia mencapai lebih dari 70.83 juta ton (BPS 2014), namun jumlah ini masih belum dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri sehingga kebijakan impor beras menjadi langkah yang diambil pemerintah untuk memenuhi kebutuhan nasional. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi padi. Salah satunya adalah menargetkan kembali swasembada beras nasional dan bahkan surplus produksi beras sebanyak 10 juta ton pada tahun 2014 melalui program peningkatan produksi beras nasional (P2BN). Namun usaha ini masih terkendala oleh berbagai faktor, salah satunya adalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). OPT adalah hama dan penyakit tanaman yang secara alami dapat membatasi tercapainya produksi padi secara optimal. Serangan OPT pada lahan pertanaman padi dapat mengakibatkan kerusakan tanaman dari ringan sampai dengan puso (gagal panen) yang akan meningkatkan jumlah kehilangan hasil produksi. Kondisi ini akan sangat merugikan petani dan mempengaruhi pencapaian target produksi padi nasional. Data Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan menunjukkan pada tahun 2014 luas serangan OPT utama padi di Indonesia mencapai 445001 ha dengan luas puso 2424 ha. Jumlah ini menurunkan luas tanam padi sebesar 0.02 persen dari total luas pertanaman padi tahun 2014. Persentase ini dapat meningkat di musim tanam berikutnya apabila serangan OPT tidak diantisipasi dengan baik. Salah satu OPT utama tanaman padi adalah hama wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal). Menurut Baehaki (2011), hama wereng batang coklat (WBC) merupakan hama laten karena sulit diprediksi serangannya namun selalu mengancam kestabilan produksi nasional. Hama ini diketahui menjadi hama endemis di 14 propinsi di Indonesia, salah satunya adalah wilayah pantai utara (Pantura) propinsi Jawa Barat yaitu di kabupaten Karawang dan Subang. Pada tahun 2010 pertanaman padi di jalur Pantura seluas 128.738 ha terserang WBC. Dari luas tersebut di atas diantaranya 4.602 ha mengalami puso. Luas serangan ini melampaui ledakan serangan WBC pada tahun 1998 dimana WBC menyerang tanaman padi di wilayah yang sama seluas 115.484 ha dengan puso mencapai 4.874 ha (Baehaki 2011). Hama WBC dapat menyerang seluruh fase pertumbuhan tanaman padi, vegetatif dan generatif. WBC mengakibatkan kekeringan pada seluruh jaringan tanaman akibat isapannya atau disebut hopperburn, selain itu dapat menjadi vektor penyakit virus kerdil hampa dan kerdil rumput (Oka et al. 1991). Perkembangan populasi WBC di pertanaman padi sangat dinamis, hal tersebut dipengaruhi banyak faktor dan salah satunya adalah cuaca. Faktor cuaca memiliki peranan penting dalam siklus kehidupan WBC. Cuaca sebagai model penduga untuk aktivitas hama utama pada tanaman padi telah diteliti dan divalidasi sebagai data meteolorogi yang berpengaruh (Samui et al. 2004). Faktor cuaca yang mempengaruhi dinamika populasi WBC adalah curah hujan, suhu, kelembaban dan angin (Nguyen et al. 2011). Menurut Dharmasena et al. (2000)
2 curah hujan yang tinggi, kelembaban tinggi dan suhu rendah merupakan keadaan yang cocok untuk perkembangan hama WBC. Dalam batasan yang luas, cuaca mempengaruhi penyebaran, kelimpahan dan salah satu faktor pemicu timbulnya serangan WBC. Faktor abiotik lampu perangkap mempengaruhi serangga secara langsung dan tidak langsung. Data lampu perangkap sangat diperlukan untuk digunakan sebagai informasi yang mengindikasikan sebaran hama di pertanaman padi. Selain itu, data lampu perangkap dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam antisipasi ledakan hama dengan memperhatikan keterkaitannya pada faktor meteorologi. Hubungan populasi hama dengan parameter meteorologi sangat penting sebagai upaya meningkatkan pengetahuan tentang kelimpahan musiman dan tren perkembangan populasi untuk memastikan kesiapan pengendalian tepat waktu dalam mengatasi masalah hama yang merugikan (Das et al. 2008). Memahami sejarah kehidupan dan dinamika populasi hama sangat penting untuk pengelolaan jangka panjang (Nylin 2001), sedangkan prediktabilitas musiman kelimpahan populasi dan durasi fase kehidupan sangat penting untuk penerapan langkah-langkah pengendalian efektif. Interaksi antara dinamika populasi hama dengan faktor cuaca dan parameter lingkungan lain yang mempengaruhi siklus hidup WBC dapat dianalisis dengan pemodelan menggunakan Dymex. Dymex adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh CSIRO untuk mengkaji dan membangun model dinamika populasi deterministik (Maywald et al. 2007). Pemodelan Dymex dibangun dengan memperhatikan faktor cuaca, nilai ekoklimatik serangga dan faktor lingkungan (Sutherst et al. 2007). Nahrung et al. (2008) pemodelan dengan Dymex memberikan gambaran tentang proses-proses yang terjadi dalam siklus hidup dan dinamika populasi dan hubungannya dengan iklim. Dymex terdiri atas dua bagian, bagian pertama adalah builder dan bagian kedua adalah simulator. Model dibangun pada bagian builder yang kemudian dijalankan pada simulator (Maywald et al. 2007). Menurut Yonow et al. (2004) Dymex merupakan aplikasi pemodelan yang jauh lebih realistik dibandingkan dengan pemodelan berbasis distribusi ataupun pemodelan matrik transisi. Aplikasi Dymex telah banyak digunakan untuk membangun model analisis dinamika populasi, baik pada serangga (Yonow et al. 2004; Koem 2013), patogen (Lanoiselet et al. 2002) dan gulma (Kriticos et al. 2003).
Perumusan Masalah Pantai Utara Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu lumbung beras nasional. Terkait dengan budidaya tanaman padi, faktor cuaca memegang peranan penting dalam mempengaruhi tingkat produksi hasil pertanian terutama kaitannya dengan kelimpahan populasi hama dan penyakit. Salah satu hama utama pada tanaman padi adalah wereng batang coklat. WBC merupakan hewan berdarah dingin yang siklus hidupnya dipengaruhi oleh kondisi iklim dan cuaca yang dinamis. Tingkat serangan WBC cenderung meningkat saat musim hujan dan menurun saat musim kemarau. Serangan WBC telah menimbulkan kerugian besar bagi petani. Serangan WBC di pertanaman makin tinggi saat terjadinya fenomena iklim La Nina, dimana terjadi musim kering dengan intensitas curah hujan tinggi. Kasus pada tahun 2010 saat terjadi fenomena La Nina, di wilayah Pantura hama
3 ini menyerang 128738 ha tanaman padi dengan 4602 ha diantaranya mengalami puso. Masih terbatasnya ketersediaan informasi peringatan dini berupa prediksi atau ramalan serangan WBC dan kaitannya dengan iklim, menjadikan informasi ini sangat penting bagi upaya pengendalian dini untuk menentukan rencana pengendalian yang efektif sehingga dapat mengurangi tingkat kehilangan hasil produksi padi dan kerugian ekonomi bagi para petani. Terutama bagi para petani di wilayah Pantura yang hingga saat ini masih menjadi salah satu daerah endemis serangan hama WBC yang merusak produksi secara nyata. Oleh karena itu, penelitian tentang hubungan antara kelimpahan hama WBC dengan iklim masih sangat diperlukan.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis hubungan parameter cuaca terhadap kelimpahan populasi WBC 2. Menyusun model pendugaan jumlah dan puncak populasi WBC berbasis informasi cuaca
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menganalisis besaran pengaruh faktor cuaca terhadap dinamika populasi WBC sebagai dasar upaya pendugaan terhadap potensi serangan dan waktu puncak populasi WBC di lapangan.
Ruang Lingkup Penelitian Kelimpahan populasi WBC dipengaruhi oleh cuaca. Saat kondisi cuaca ideal bagi perkembangan WBC, maka populasi di lapangan akan meningkat pesat. Namun, jika kondisi tidak ideal kelimpahan populasi berada di bawah ambang batas pengendalian. Oleh karena itu, ruang lingkup dalam penelitian ini adalah menyusun dan menguji kemampuan model untuk memprediksi dinamika populasi WBC di wilayah pantai utara Jawa Barat berdasarkan faktor cuaca. Pemodelan dinamika populasi WBC dilakukan dengan menggunakan uji statistik dan perangkat lunak Dymex. Beberapa asumsi ditetapkan dalam proses analisis data, yaitu bahwasannya jenis lampu perangkap, kekuatan lampu dan luas cakupannya diabaikan, populasi WBC tertangkap lampu berasal hanya dari wilayah pertanaman disekitar lampu, pola dan waktu tanam padi di sekitar wilayah lampu sama, faktor musuh alami, parasitasi, aplikasi pestisida, dan luas tanam dan varietas tanaman diabaikan.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Wereng Batang Coklat Serangga wereng memiliki enam puluh lima spesies di seluruh dunia, namun hanya tiga spesies yang dianggap penting secara ekonomi, yaitu wereng batang coklat (Nilaparvata lugens), wereng punggung putih (Sogatella furcifera), dan wereng coklat kecil (Laodelphax striatellus) (Ooi 2010). Dua spesies pertama adalah hama penting di pertanaman padi daerah tropik, sedangkan spesies ketiga lebih banyak menyerang di daerah beriklim sedang. Dari ketiga spesies wereng famili Delphacidae tersebut, hanya wereng coklat yang dianggap merugikan secara ekonomi di Indonesia karena kemampuannya menimbulkan kerusakan pada hamparan secara massal (Subroto et al. 1992). WBC merupakan hama yang aktif pada siang hari (diurnal) dan memiliki kemampuan reproduksi tinggi jika keseimbangan lingkungan hidupnya terganggu (Sogawa 1971). Hama ini pertama kali dideskripsikan oleh Stal pada tahun 1854 berdasarkan temuannya di Jawa. Gejala serangan seperti terbakar dilaporkan pertama kali oleh Kalshoven di Bogor dan Mojokerto pada tahun 1931 (Mochida et al. 1977). Serangan ringan WBC akan menyebabkan tanaman menjadi terhambat pertumbuhannya, daun menguning, dan akar tidak berkembang. Dalam jumlah ratusan ekor per rumpun padi, WBC dapat menyebabkan tanaman padi kering dan mati, serta tampak seperti terbakar (hopperburn). Mula-mula hopperburn akan berupa lingkaran-lingkaran di tengah sawah, namun dengan cepat radiusnya akan melebar dan seluruh tanaman akan mengering. Dalam batas tertentu, tanaman padi yang terkena serangan WBC pada tingkatan ringan sampai sedang mampu tetap bertahan hidup selama periode vegetatif karena adanya kompensasi pertumbuhan tanaman. Bahkan bila ditemukan 100-200 ekor wereng per rumpun pun, tanaman masih tetap hidup walaupun kelak produksinya akan jauh menurun akibat berkurangnya anakan produktif dan meningkatnya persentase gabah kosong. Setelah memasuki fase pembentukan malai, hasil fotosintesis tidak lagi diarahkan untuk pertumbuhan sehingga tanaman tidak mampu lagi melakukan kompensasi. Oleh karena itu, gejala hopperburn seringkali dilaporkan beberapa saat menjelang panen atau setidaknya setelah tanaman tumbuh rapat dan menjelang berbunga. Dalam tingkat serangan yang lebih parah, gejala hopperburn ditemukan pula pada pertanaman padi yang lebih muda hingga pembibitan. Artinya, populasi WBC telah sedemikian tinggi sehingga kompensasi pertumbuhan tanaman pun tidak mampu mengatasinya. WBC termasuk ordo Hemiptera, subordo Auchenorrhynca, dan famili Delphacidae. Hama ini menyerang tanaman padi sebagai tanaman inang utama dan inang lainnya dari famili Graminae. Hama WBC mudah beradaptasi dengan lingkungannya dan termasuk mudah beradaptasi dengan varietas tahan. Menurut Baehaki (1985) WBC merupakan hama bertipe strategi-r dengan ciri: 1) populasi hama dapat menemukan habitatnya dengan cepat, 2) berkembang biak dengan cepat dan mampu mempergunakan sumber makanan dengan baik sebelum serangga lain ikut berkompetisi, 3) mempunyai sifat menyebar dengan cepat ke habitat baru sebelum habitat lama tidak berguna lagi, dan 4) hama ini mempunyai
5 potensi biotik yang tinggi, dapat memanfaatkan makanan yang banyak dalam waktu singkat sehingga terjadi ledakan populasi dan mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Dalam satu generasi, hama WBC akan melewati tiga fase utama yaitu telur, nimpha dan serangga dewasa atau termasuk sebagai serangga yang mengalami metamorfose tidak sempurna (paurometabola). Telur WBC diletakkan dengan cara disisipkan pada rongga jaringan pelepah. Telur diletakkan berkelompok, pada bagian pangkalnya terikat satu sama lain sehingga menyerupai sisir pisang. Satu ekor WBC betina tidak meletakkan telur hanya pada satu rumpun, tetapi pada beberapa rumpun dengan cara berpindah-pindah (Baehaki 1985). Jumlah telur yang diletakkan berhubungan erat dengan umur serangga dewasa dan periode peletakan telurnya (Mochida 1977). Di daerah tropis masa inkubasi telur berkisar antara 7-11 hari, stadia nimpha antara 10-15 hari. Pra-oviposisi 3-4 hari, baik untuk brakhiptera maupun makroptera (Dale 1994). Telur menetas antara 7-11 hari dengan rata-rata 9 hari (Baehaki 1985). Presentase telur WBC memiliki kecenderungan lebih tinggi pada musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau. Hal ini diduga terkait juga dengan tingginya faktor mortalitas pada musim kemarau, terutama yang diakibatkan oleh parasit dan predator (Subroto et al. 1992).
2 -4 hari Dewasa 0 - 28 hari
Nimpha 5
2 -3 hari
7-10 hari
Nimpha 4
Nimpha 1
1 - 2 hari
2 - 4 hari Nimpha 3
Nimpha 2
1 - 4 hari
Gambar 1. Siklus hidup WBC (BBPOPT 2010) Serangga muda yang menetas dari telur disebut nimpha dan makanannya serupa dengan induknya. Nimpha WBC mengalami lima kali pergantian kulit dan rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan stadium nimpha adalah 12.8 hari (Subroto et al. 1992). Lamanya waktu untuk menyelesaikan stadium nimpha beragam, tergantung dari bentuk dewasa yang akan muncul. WBC memiliki 5 instar pada stadia nimphanya. Masing-masing instar ini dapat dibedakan berdasarkan bentuk dari mesonotum dan metanotumnya serta panjang tubuhnya (Subroto et al. 1992). Subroto et al. (1992) menambahkan bahwa nimpha dan serangga dewasa biasanya terdapat pada pangkal batang tanaman padi di atas
6 permukaan air. tetapi apabila populasi sangat tinggi dapat ditemukan juga pada daun bendera dan pangkal malai. Nimpha dapat berkembang menjadi dua bentuk wereng dewasa. Bentuk pertama adalah makroptera (bersayap panjang) yaitu WBC yang mempunyai sayap depan dan sayap belakang normal. Bentuk kedua adalah brakhiptera (bersayap kerdil) yaitu WBC dewasa yang mempunyai sayap depan dan sayap belakang tumbuh tidak normal, terutama sayap belakang sangat rudimenter (Baehaki 1985). Pada saat kepadatan populasi tinggi pada suatu hamparan dan atau keadaan kekurangan makanan maka akan terbentuk lebih banyak serangga WBC makroptera pada generasi berikutnya. Sebaliknya, jika keadaan makanan cukup, maka akan terbentuk lebih banyak serangga dewasa brakhiptera. Menurut Denno dan Roderick (1990) jika kepadatan populasi tinggi jumlah bentuk makroptera cenderung meningkat. Kondisi nimpha yang berdesakan diketahui mempengaruhi bentuk sayap serangga dewasa (Denno dan Roderick 1990). Imago makroptera lebih banyak muncul pada tanaman tua daripada tanaman muda, dan kemunculan makroptera lebih banyak pada tanaman setengah rusak dari pada tanaman sehat (Baehaki dan Widiarta 2009).
Gambar 2. a. makroptera betina; b. makroptera jantan; c. brakhiptera betina; d. brakhiptera jantan (Subroto et al. 1992)
Dinamika Populasi Wereng Batang Coklat Studi sebaran spasial dan pengambilan sampel beruntun yang dilakukan oleh Untung et al. (1988) menemukan bahwa distribusi spasial WBC pada awal pertumbuhan tanaman padi adalah secara acak. Setelah mengalami perkembangan populasi, bentuk distribusinya menjadi mengelompok atau mengikuti distribusi binomial negatif. Hasil penelitian Baehaki dan Widiarta (2009) di Subang menunjukkan bahwa populasi WBC yang datang pertama kali ke pertanaman adalah bentuk makroptera sebagai wereng imigran. Satu pasang wereng makroptera, pada generasi pertama dapat menghasilkan wereng dewasa 174,5 ekor dan pada generasi kedua mencapai 3.700 ekor. Cepatnya perkembangan populasi WBC disebabkan oleh tingginya fekunditas yang mencapai 805-908 telur/betina pada generasi ketiga. Setelah telur menetas, WBC berkembang biak secara eksponensial untuk satu atau dua generasi pada tanaman padi fase vegetatif, tergantung pada saat migrasinya. Apabila migrasi terjadi pada umur 2 atau 3 minggu setelah tanam, maka WBC dapat berkembang biak sebanyak dua generasi. Puncak populasi nimpha generasi pertama dan kedua berturut-turut muncul pada
7 umur 5-6 minggu setelah tanam dan 10-11 minggu setelah tanam. Apabila migrasi terjadi setelah tanaman berumur 5-6 minggu setelah tanam, puncak generasi nimpha hanya dijumpai satu kali, yaitu pada umur 9-10 minggu setelah tanam. Pada keadaan lain kepadatan populasi tertinggi terjadi pada fase pembungaan tanaman padi yaitu pada umur 9-11 minggu setelah tanam. Apabila kepadatan populasi mencapai 300-500 ekor per rumpun, tanaman akan segera mati kekeringan (Ditlin 2008).
Hubungan Faktor Cuaca dan Perkembangan WBC Serangga sebagai mahluk poikilothermal perkembangan hidupnya dipengaruhi oleh faktor cuaca baik secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya curah hujan, suhu, kelembaban relatif dan angin. Besarnya pengaruh ini berbeda untuk tiap spesies serangga dan dampak secara langsung dapat terlihat pada siklus hidup, keperidian, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga (Ganaha et al. 2007; Lastuvka 2009). Keragaman iklim dapat mempengaruhi pertumbuhan populasi dan penyebaran serangga sehingga dalam kurun waktu singkat dapat menimbulkan ledakan populasi serangga hama tertentu (Wiyono 2007; Dale 1994). Nguyen et al. (2011) menyatakan bahwa siklus hidup WBC dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Faktor cuaca yang mempengaruhi dinamika populasi WBC adalah curah hujan, suhu, kelembaban dan angin. Menurut Dharmasena et al. (2000) curah hujan yang tinggi, kelembaban tinggi dan suhu rendah merupakan keadaan yang cocok untuk perkembangan hama WBC. Pengaruh Suhu WBC dan serangga pada umumnya merupakan spesies poikilotermal yang suhu tubuhnya bergantung pada suhu udara lingkungan sekitar. Hal ini mengakibatkan suhu udara lingkungan akan memengaruhi proses metabolisme serangga. Suhu maksimum dan suhu minimum selama pemasangan lampu perangkap sangat penting sebagai parameter yang menyokong perkembangan populasi (Das et al. 2008). Menurut Mavi dan Tupper (2005), aktivitas serangga akan lebih cepat dan efisien pada suhu yang tinggi, tapi akan mengurangi lama hidup serangga. Pada beberapa serangga, suhu tinggi akan menghambat metabolisme atau mengakibatkan kematian, tetapi serangga yang hidup di gurun dapat menurunkan laju metabolisme sehingga dapat bertahan pada daerah dengan jumlah makanan dan air terbatas (Speight et al. 2008). Pengaruh suhu udara terhadap hama dan penyakit tumbuhan antara lain mengendalikan perkembangan, kelangsungan hidup dan penyebaran serangga (Koesmaryono 1999). Karuppaiah (2012) menyimpulkan bahwa diantara banyak faktor cuaca, suhu merupakan faktor penting dalam perkembangan WBC. Menurut Subroto et al. (1992), kondisi suhu optimal untuk perkembangan telur dan nimpha adalah 25oC, sedangkan perkembangan embrio WBC akan terhenti jika suhu kurang dari 10oC (Hirano 1942 dalam Subroto et al. 1992). Total waktu terpendek yang diperlukan WBC dari stadia telur menjadi stadia dewasa adalah 20 hari pada kisaran suhu 27-30oC. Menurut Dyck et al. (1977), bahwa ledakan populasi hama wereng batang Coklat dapat terjadi pada selang suhu 20-30oC.
8 Subroto et al. (1992) dan Susanti (2008) menyatakan suhu harian antara 28-30oC dan suhu malam hari yang rendah adalah suhu yang paling sesuai untuk pemunculan sejumlah serangga dewasa. Suhu juga mempengaruhi migrasi atau penerbangan WBC, batas suhu untuk dapat melakukan penerbangan adalah 17oC (Subroto et al. 1992). Pengaruh Kelembaban Kelembaban dapat mempengaruhi perkembangbiakan, pertumbuhan, dan keaktifan serangga baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemampuan serangga bertahan terhadap keadaan kelembaban udara sekitar akan berbeda setiap jenis dan stadia perkembangan serangga (Koesmaryono 1991). Pada umumnya kisaran toleransi terhadap kelembaban udara yang optimum terletak di dekat titik maksimum, antara 73-100% (Andrewartha dan Birch 1974). Kelembaban udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat aktivitas dan kehidupan serangga, kecuali pada beberapa jenis serangga yang biasa hidup di tempat basah. Kelembaban udara merupakan faktor iklim yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan WBC. Hasil penelitian IRRI tentang kelembaban relatif udara pada WBC di Filipina menunjukkan bahwa hama tersebut akan tertekan perkembangannya pada kelembaban 50-60%, dan sangat sesuai pada kelembaban 80% (Mochida et al. 1986). Dyck et al. 1977 menyatakan kelembaban konstan pada kisaran 50-60% berperan secara optimal pada peningkatan populasi WBC. Serangan WBC berhubungan dengan kepadatan tanaman, radiasi matahari yang rendah, kelembaban yang tinggi, dan perbedaan suhu yang kecil antara siang dan malam hari. Perilaku penerbangan atau migrasi WBC juga dipengaruhi kelembaban. Pengaruh Curah Hujan Menurut Koesmaryono et al. (2005), pada kondisi normal hama selalu ada dan biasanya dalam jumlah yang tidak mengkhawatirkan. Perubahan distribusi curah hujan dapat membawa pengaruh yang cukup besar bagi organisme disekitarnya termasuk pada hama yang cenderung berubah secara drastis (Koesmaryono et al. 2005). Kelimpahan populasi serangga dipengaruhi variasi musim hujan, kurangnya hari hujan dapat menimbulkan kekeringan dan kematian pada serangga. Akan tetapi jika curah hujan tinggi, maka populasi hama tersebut juga dapat menurun akibat tercuci oleh hujan (Koesmaryono 1985; Mochida et al. 1986). Baehaki (2005) dalam Susanti et al. (2007), menyatakan bahwa hama WBC memiliki jam biologis dimana mampu berkembang dengan baik di musim hujan dan musim kemarau yang terdapat hujan. Pengaruh Radiasi Matahari Andrewartha dan Birch (1954) berpendapat bahwa pada beberapa kasus, intensitas cahaya dapat memengaruhi kehidupan serangga. Fluktuasi intensitas cahaya dan kualitas cahaya harian dapat berpengaruh pada suhu udara dan kelembaban lingkungan. Serangga yang mempunyai kebiasaan hidup dengan cahaya minimum dan lemah, apabila intensitas cahaya ditingkatkan akan mengakibatkan aktivitasnya tertekan, begitu pula sebaliknya. Meningkatnya intensitas cahaya dapat mempercepat kedewasaan serangga dan mempersingkat umur imago (Sunjaya 1970 dalam Koesmaryono 1985). Faktor cahaya dan radiasi
9 juga mempengaruhi kehidupan wereng batang coklat (Suenaga 1963 dalam Subroto et al. 1992). Pengaruh Kecepatan Angin Angin tidak memiliki pengaruh langsung pada pertumbuhan dan perkembangan serangga. Angin akan berpengaruh pada proses penguapan dan keadaan lembab udara di lingkungan yang kemudian secara tidak langsung memberi akibat pada keseimbangan suhu tubuh maupun kadar air tubuh serangga. Peran nyata angin dapat dilihat pengaruhnya pada pemencaran dan keaktifan serangga (Sunjaya 1970 dalam Koesmaryono 1985). Penerbangan WBC dipengaruhi cuaca (Yadav et al. 2010). Otuka (2009) menambahkan bahwa dengan bantuan angin jarak terbang WBC makroptera dapat mencapai 11 km per jam.
Beberapa Penelitian menggunakan Pemodelan Dymex Yonow et al. (2004) melihat pengaruh faktor abiotik (cuaca) yang mempengaruhi dinamika populasi lalat buah Queensland (Bactrocera tryoni) pada 5 titik wilayah di New South Wales, Australia. Penelitian ini menggunakan pemodelan Dymex dengan input utama data cuaca harian (suhu maksimum dan minimum, curah hujan, dan evaporasi). Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil prediksi model dan data observasi ada kecocokan, namun pada lokasi berbeda tidak memberikan hasil yang baik antara hasil prediksi dan observasi. Nilai koefisien determinasi (R2) terbaik adalah 0.37. Nahrung et al. (2008) melakukan penelitian tentang persyaratan ambang batas suhu perkembangan dari populasi kumbang Paropsis atomaria. Data ambang suhu yang diperoleh digunakan sebagai input utama untuk memodelkan dinamika populasi kumbang Paropsis atomaria dengan Dymex. Penelitian ini memprediksi waktu, durasi, kelimpahan yang terjadi di lapangan dan jumlah generasi kumbang Paropsis atomaria di musim semi dan musim gugur dengan menggunakan data cuaca di wilayah Canberra dan Queensland, Australia. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada kemiripan antara puncak populasi luaran model dengan puncak populasi yang terjadi di lapangan. Namun, ada perbedaan waktu puncak populasi antara model dan lapangan. Kriticos et al. (2009) mengembangkan sebuah model dinamika populasi untuk mengeksplorasi interaksi antara agen biokontrol Cleopus japonicus dan tanaman inang Buddleja davidii di pulau utara New Zealand menggunakan data cuaca harian (suhu maksimum dan minimum, curah hujan, dan evapotranspirasi potensial). Model menunjukan bahwa faktor iklim berdampak signifikan pada interaksi antara kumbang Cleopus japonicus dan Buddleja davidii. Kumbang Cleopus japonicus berpotensi mengancam pertumbuhan Buddleja davidii tergantung pada kesesuaian iklim untuk kumbang Cleopus japonicus. Koem (2013) melakukan penelitian pengaruh iklim terhadap dinamika populasi hama Penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga Incertulas Walker) dengan menggunakan pemodelan Dymex. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luaran model memiliki kesesuaian dengan data observasi. Model mampu
10 memprediksi dengan baik jumlah generasi dan puncak populasi hama PBPK sesuai dengan kondisi cuaca di lingkungannya.
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2016 di Laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Bahan Data Cuaca Data yang digunakan merupakan data harian sekunder meliputi data suhu minimum dan maksimum, kelembaban relatif minimum dan maksimum, curah hujan, kecepatan angin dan intensitas cahaya. Data diperoleh dari Stasiun Meteorologi Khusus Pertanian (SMPK) milik Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (Kab. Karawang) dan Balai Penelitian Agroklimatologi dan Hidrologi di wilayah pantai utara Jawa Barat tahun 2002 - 2012. Data Lampu Perangkap Salah satu cara untuk mengetahui keberadaan hama serangga adalah dengan menggunakan lampu perangkap. Lampu perangkap sangat penting dalam manajemen pengelolaan hama WBC karena WBC yang pertama kali datang di pesemaian atau pertanaman adalah jenis makroptera betina atau jantan imigran. Data hasil tangkapan hama dengan lampu perangkap tersebut di atas dapat mengindikasikan hal-hal yang dapat dijadikan dasar pengendalian. Menurut Baehaki (2011) satu lampu perangkap sebagai pendeteksi cukup mengontrol areal 200-500 ha. Pada saat populasi tinggi dapat menangkap WBC 376 ribu ekor/malam/unit, ngengat penggerek batang padi kuning 12 ribu ekor/malam/unit dan kepinding tanah 146 ribu ekor/malam/unit (Baehaki, 2011).
a
b
Gambar 3. (a) lampu perangkap di BBPOPT (b) Petugas BBPOPT menghitung populasi WBC hasil tangkapan lampu perangkap
11 Menurut Wang (1985) WBC yang tertangkap di lampu perangkap selain mengindikasikan keberadaannya di pertanaman juga memberikan informasi tentang fluktuasi dan kelimpahan populasinya. Terdapat korelasi positif antara hama tangkapan lampu perangkap dengan insiden WBC di pertanaman. Hal ini menunjukkan bahwa hama tertangkap lampu perangkap merupakan representasi dari ledakan WBC di lapangan (Jeyarani, 2004). Data lampu perangkap diperoleh dari Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) untuk tahun 2002-2012, data ini akan digunakan untuk kalibrasi dan validasi populasi imago dari hasil luaran model Dymex. Data Waktu Tanam Data waktu tanam padi akan digunakan sebagai informasi tambahan untuk melihat kesesuaian antara infestasi populasi WBC hasil tangkapan lampu perangkap dengan ketersediaan tanaman di lapangan.
Alat Penelitian ini menggunakan perangkat lunak Dymex versi 3.0 untuk menganalisis dinamika populasi hama WBC dan Minitab 15 digunakan untuk uji statistik.
Prosedur Analisis Data Analisis data dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dengan menggunakan metode analisis statistik. Analisis statistik digunakan untuk melihat hubungan antara faktor-faktor cuaca yang diujikan terhadap kelimpahan populasi WBC hasil tangkapan lampu. Tahap kedua menggunakan perangkat lunak Dymex, dengan tujuan menyusun model prediksi kelimpahan populasi WBC dan menilai kemampuan model untuk memprediksi kelimpahan dan puncak populasi WBC berbasis iklim dan cuaca. Analisis Korelasi Pearson Korelasi Pearson merupakan salah satu ukuran korelasi yang digunakan untuk mengukur kekuatan dan arah hubungan linier dari dua variabel. Dua variabel dikatakan berkorelasi apabila perubahan salah satu variabel disertai dengan perubahan variabel lainnya, baik dalam arah yang sama ataupun arah yang sebaliknya. Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui faktor cuaca yang paling berpengaruh terhadap kelimpahan populasi WBC di lampu perangkap. Korelasi Pearson mempunyai jarak antara -1 sampai dengan +1. Jika koefesien korelasi adalah -1, maka kedua variabel yang diteliti mempunyai hubungan linier sempurna negatif. Jika koefesien korelasi adalah +1, maka kedua variabel yang diteliti mempunyai hubungan linier sempurna positif. Jika koefesien korelasi menunjukkan angka 0, maka tidak terdapat hubungan antara dua variabel yang dikaji. Analisis Regresi antara Populasi WBC dan Faktor Cuaca Analisis data untuk melihat hubungan faktor cuaca terhadap dinamika populasi WBC hasil tangkapan lampu perangkapdilakukan dengan menggunakan
12 metode regresi linier berganda. Data faktor cuaca digunakan sebagai peubah bebas dan data populasi WBC sebagai peubah respon. Persamaan regresi linier berganda: 𝑦 = 𝑎 + 𝑏1 𝑋𝑝1 + 𝑏2 𝑋𝑝2 + ⋯ + 𝑒
(1)
di mana y adalah populasi WBC per musim tanam yang didapat lampu perangkap, Xp adalah faktor cuaca, a adalah konstanta, b adalah koefisien pengaruh masingmasing peubah cuaca terhadap populasi hama, dan e adalah galat. Koefisien dalam model diduga dengan metode kuadrat terkecil biasa. Pengujian terhadap koefisienkoefisien tersebut dilakukan dengan uji t dan pengujian terhadap model dilakukan dengan analisis ragam. Tingkat keeratan hubungan antara y dan x dinyatakan dalam koefisien determinasi R2, yang nilainya berkisar dari 0-100%. Bila terdapat masalah multikolinearitas antar faktor cuaca yang diuji, maka hubungan antara besarnya populasi WBC dengan semua faktor cuaca dimodelkan dengan persamaan regresi komponen utama. Analisis komponen utama digunakan bila dalam pembentukan model pendugaan peubah bebas yang digunakan banyak dan terdapat hubungan yang erat antar peubah bebasnya. Prinsip dasar dari metode regresi komponen utama adalah menggunakan skor komponen utama yang terpilih sebagai peubah bebas. Komponen-komponen utama tersebut saling ortogonal atau saling tidak berkorelasi. Berikut persamaan regresi komponen utama, yaitu: 𝑌 = 𝛽0 1 + 𝑊𝑝 𝛽𝑝 + 𝜀 (2) .. di mana Y: peubah respon; 1: matriks yang elemennya bernilai 1; Wp: matriks yang elemennya terdapat skor komponen. 𝛽0: matriks koefisien komponen utama; dan 𝜀: matriks. Pendugaan Potensi Kelimpahan Populasi WBC Potensi serangan dan waktu puncak populasi WBC diduga menggunakan pemodelan Dymex (Gambar 3). Pemodelan dinamika populasi WBC dengan Dymex menggunakan dua komponen utama sebagai input, yaitu parameter cuaca dan suhu ambang batas perkembangan pada setiap tahapan siklus hidup WBC. Pada model Dymex, siklus hidup WBC disusun dalam tiga fase, yaitu fase telur, nimpha dan dewasa. Fase nimpha mengalami lima kali pergantian kulit (5 instar). Antara instar satu dengan lainnya dapat dibedakan berdasarkan ukuran tubuh, dan perbandingan mesonotum dan metanotumnya (Subroto et al. 1992). Nahrung et al. (2008) menyatakan bahwa Dymex mengidentifikasi serangkaian proses pada setiap fase dalam siklus hidup serangga, perkembangan, mortalitas, transfer individu dari satu stadia ke stadia berikutnya (perubahan instar), fekunditas dan tingkat produksi. Berikut ini merupakan beberapa modul utama dalam pemodelan Dymex: Panjang Hari Nilai panjang hari merupakan input untuk menentukan nilai evaporasi pada model Dymex. Panjang hari ditentukan dengan input data garis lintang dan mengkalkulasi waktu antara matahari terbit dan terbenam (Koem 2013).
13 Nilai Evaporasi Dymex menentukan nilai evaporasi dengan menggunakan persamaan yang dikemukakan oleh Fitzpatrick (1963) dalam Sands dan Hugnes (1967): 𝐸𝑝 = 𝑁𝑒1 + 𝑁𝑒2 [𝑝(𝑇𝑎 ) − 0.01 𝐻 𝑝(𝑇)] 𝑇𝑎 = 𝑘𝑇𝑚 [1 + 𝑙𝑜𝑔10 (
𝑑 )] 12
(3) (4)
𝑇∗ 𝑘 = 𝑚𝑎𝑥 {0.9, 𝑚𝑖𝑛 {1.0, ( ∗ ) + 0.06}} 𝑇𝑚
(5)
di mana 𝑒1 = 0.84, 𝑒2 = 0.247, p(T) adalah tekanan uap jenuh (mbar) dari suhu udara ToC, d adalah panjang hari, H adalah kelembaban relatif jam 09.00 (maksimum) hari ke-N, T dan T* masing-masing suhu rata-rata hari ke-N dan suhu rata-rata tahunan jangka panjang, Tm dan Tm* di tentukan dari suhu maksimum. Tekanan uap jenuh (mbar) dihitung dengan persamaan: 2
𝑝(𝑇) = 6.11𝑒 (0.0716𝑇−0.000226𝑇 ) (0 < 𝑇 < 50)
(6)
Nilai evaporasi ini dapat diestimasi oleh Dymex dengan menggunakan input variabel data cuaca harian, yaitu suhu harian minimum, suhu harian maksimum, kelembaban minimum dan kelembaban maksimum, serta nilai panjang hari.
Gambar 4. Diagram alir analisis model Dymex
14 Indeks Kelembaban Tanah Indeks kelembaban tanah digunakan dengan asumsi bahwa kelembaban tanah adalah faktor dominan yang menentukan vegetasi pada suatu wilayah yang mengakibatkan kondisi iklim mikro bagi organisme yang hidup di sekitarnya. Nilai kelembaban tanah dapat dibangkitkan oleh model Dymex dengan input utama kejadian curah hujan dan evaporasi. Nilai kelembaban tanah berkisar antara 0-1. Ketika nilai indeks kelembaban 1, pertumbuhan populasi akan maksimal. Apabila nilai indeks kelembaban tanah menunjukkan nilai 0 maka tidak ada pertumbuhan populasi (Kriticos et al. 2003; Maywald et al. 2007). Menurut Yonow et al. 2004 dan Koem (2013), asumsi nilai inisialisasi kelembaban tanah yang digunakan dalam pemodelan didorong oleh beberapa parameter sebagai berikut: 1. Kapasitas kelembaban tanah (C): kapasitas menahan air pada lapisan tanah pada kedalaman perakaran 1 meter, satuan dalam mm. Tanah berpasir dapat menyimpan hanya 50 mm, sedangkan tanah liat dan lempung masing-masing dapat menahan 150 mm dan 200 mm (Maywald et al. 2007). 2. Koefisien evapotranspirasi (r): jumlah evaporasi dan transpirasi dari vegetasi dinyatakan sebagai proporsi evaporasi panci terbuka. Dalam model ini, koefisien evapotranspirasi didefinisikan sebagai fungsi kelembaban tanah (Yonow et al. 2004). Umumnya antara 0.5 sampai 1.2 dengan nilai tipikal 0.8 (Maywald et al. 2007). 3. Evaporasi basal (Eo): input evaporasi yang tersedia untuk evapotranspirasi,. Merupakan tingkat kehilangan air pada tanah dengan tutupan vegetasi yang lengkap atau tidak lengkap. Pada kapasitas lapang, akar vegetasi tersebut tumbuh di tanah tanpa kekurangan nutrisi dan air. Kisaran nilai 0 sampai 5 mm (Maywald et al. 2007), nilai yang akan disimulasikan dari nilai 0 hingga nilai Eo yang sesuai dengan nilai rata-rata suhu udara. Perkembangan dan Mortalitas Data suhu dan lama perkembangan WBC digunakan untuk menentukan nilai ambang batas suhu perkembngan (T0) dan themal konstan (K). Nilai ambang suhu dimaksudkan sebagai suhu ambang yang dapat di toleransi oleh setiap fase siklus hidup untuk tumbuh dan berkembang (Koem 2013). Sujithra et al (2013) melakukan pengamatan perkembangan WBC pada 6 suhu konstan yaitu 19, 22, 25, 28, 31 dan 33oC (Tabel 1). Data hasil pengamatan tersebut digunakan kembali dalam penelitian ini untuk menentukan nilai laju perkembangan dan thermal konstan dengan melihat hubungan fungsi linier antara suhu dan laju perkembangan. Nilai K dan T0 pada fase telur mengacu pada hasil penelitian Bae et al. (1987). Pada model Dymex, penentuan mortalitas dilakukan dengan menggunakan input suhu lingkungan dan kelembaban tanah. Mortalitas konstan pada fase larva diasumsikan 0.01 per hari, sedangkan mortalitas imago dimodelkan dengan menggunakan nilai 0.1, sehingga mengurangi jumlah populasi sebesar 10% (Maywald et al. 2007; Koem 2013). Mortalitas diasumsikan terkait dengan musuh alami, faktor biotik dan abiotik.
15 Tabel 1. Lama perkembangan nimpha dan imago WBC pada suhu konstan Suhu (oC) 19 22 25 28 31 33
Nimpha (hari) 1 7.2 5.7 3.7 3.2 2.9 3.1
2 6.1 4.9 3.5 2.9 2.4 2.6
3 5.8 4.5 3.0 2.3 1.6 2.0
4 4.4 3.8 2.4 2.1 1.9 2.3
5 5.6 4.5 3 2.7 2.5 2.6
Imago (hari) 17.8 14.5 9.8 8.3 7.0 7.7
Sumber: Sujithra (2013)
Lauziere et al. (2002) dan Koem (2013) menghitung laju perkembangan pada setiap fase siklus hidup dengan persamaan: 𝐷𝑅 = 1/𝐷...............(7) di mana DR merupakan laju perkembangan (development rate), sedangkan D adalah lama waktu perkembangan (hari). Ambang batas suhu perkembangan (T0) WBC ditentukan dengan menggunakan persamaan fungsi regresi linier antara laju perkembangan dan suhu (Lauziere et al. 2002; Nahrung et al. 2008; Kipyatkov dan Lopatina 2010): 𝑦 = 𝑎 + 𝑏𝑥
..... .
.(8)
dimana y = laju perkembangan (1/D), x = suhu, a adalah nilai slope dan b = koefisien regresi. Nilai K dan T0 dihitung menggunakan persamaan dari Kipyatkov and Lopatina (2010): 1 𝑏 𝑇0 = −𝑎/𝑏 𝐾=
(9) (10)
di mana a dan b adalah nilai slope dan koefisien regresi. Perpindahan Antar Stadia Perpindahan (transfer) antar stadia dalam siklus hidup WBC terjadi apabila individu dalam setiap fase telah mencapai perkembangan usia fisiologis maksimal. Perubahan usia fisiologis adalah setara dengan akumulasi degree days. Jika ambang usia fisiologis diatur ke 1, maka usia fisiologis pada setiap waktu akan sama seperti akumulasi degree days di atas ambang suhu (Yonow et al. 2004; Meywald et al. 2007; Nahrung et al. 2008), sehingga hal ini menghasilkan perpindahan setiap individu WBC di dalam satu stadia siklus hidup ke stadia siklus hidup berikutnya.
16 Fekunditas dan Reproduksi Rasio seks jantan dan betina WBC adalah 1:1 (Mochida 1970 dalam Subroto et al. 1992). Setiap betina WBC mampu menghasilkan 0-1474 telur dalam satu musim tanam padi (Suenaga 1963 dalam Subroto et al. 1992) maka mengacu pada rasio seks jumlah individu dalam populasi adalah 737 jantan dan betina. Reproduksi WBC dipengaruhi oleh siklus suhu harian dan curah hujan, dimana produksi telur meningkat jika siklus suhu harian 25oC (Subroto et al. 1992), sedangkan curah hujan digunakan sebagai titik acuan puncak aktivitas munculnya imago betina untuk bereproduksi (Yonow et al. 2004). Nilai Inisialisasi Dymex Dymex dijalankan dengan menentukan terlebih dahulu nilai inisialisasi. Nilai inisialisasi diterapkan untuk memastikan peniruan hasil untuk simulasi mendekati kenyataan (Yonow et al. 2004). Nilai nisialisasi yang digunakan tersaji pada tabel 2. Tabel 2. Nilai inisialisasi model WBC Variabel Luas area Kelembaban tanah Kapasitas kelembaban tanah Koefisien evapotranspirasi Basal evaporasi Rasio seks
Nilai awal 1 Ha 0.5 50-200 mm 0.5-1.2 0-5 1:1
Kalibrasi, Validasi dan Uji Kehandalan Model Kalibrasi model dilakukan dengan cara membandingkan data prediksi populasi hasil simulasi dengan data populasi di lapangan hasil tangkapan lampu perangkap. Bila tidak terdapat kesesuaian antara hasil simulasi model dengan data hasil observasi, maka dilakukan penyesuaian pada nilai inisialisasi dan parameterparameter yang menentukan pola interaksi populasi dengan lingkungannya. Bila terdapat kesesuaian antara pola fluktuasi populasi hasil simulasi dengan populasi di lapangan, maka kemudian dilanjutkan dengan validasi model. Validasi model dilakukan dengan menguji model menggunakan data yang berbeda, baik data cuaca dan data light trap. Pengujian kehandalan model dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama mengacu pada indeks statistik koefisien determinasi (R2) antara 0 – 1. Koefisien determinasi dihitung menggunakan persamaan: 𝑅2 = 1 −
∑𝑛 ̂𝑖 )2 𝑖=1(𝑦𝑖 −𝑦 ∑𝑛 ̅)2 𝑖=1(𝑦𝑖 −𝑦
(11)
dimana semakin mendekati nilai 1, kinerja model dianggap semakin baik. Tahap kedua dilakukan dengan menggunakan Root Mean Square Error (RMSE). Nilai statistik RMSE adalah: 1
𝑅𝑀𝑆𝐸 = √𝑇 (𝑌𝑡𝑠 − 𝑌𝑡𝑎 )2
(12)
17 semakin kecil nilai RMSE maka kehandalan model dalam menggambarkan kondisi lapang dianggap semakin baik.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Studi Kondisi cuaca wilayah studi terletak di lintang tropis dengan penyinaran matahari sepanjang tahun. Selama periode tahun 2002 sampai 2012 total curah hujan tahunan di wilayah ini antara 904 mm/tahun sampai 2480 mm/tahun dengan jumlah hari hujan 56 hari sampai 147 hari/tahun (Lampiran 2). Pola curah hujan bulanan di tiap tahun membentuk pola huruf U yang menunjukkan wilayah tersebut masuk tipe iklim monsun (Gambar 5). Tipe iklim ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi monsun dengan puncak curah hujan berada pada bulan Desember dan curah hujan terendah terjadi pada Juli sampai September.
Gambar 5. Pola curah hujan monsun bulanan pada tahun 2002-2012 Suhu rata-rata di wilayah studi pada rentang tahun yang sama adalah 22.9oC sampai 27.7oC (Lampiran 3). Suhu minimum rata-rata berkisar 20.6oC sampai 24.3oC dan rata-rata suhu maksimum antara 26.1oC sampai 32.1oC. Kelembaban relatif maksimum rata-rata berada pada kisaran 68-92% per tahun, sedangkan kelembaban relatif minimum rata-rata berkisar antara 49-60% (Lampiran 4). Kelembaban relatif rata-rata pada tahun pengamatan yang sama mencapai 56.879.9%. Kondisi kelembaban ini sangat cocok untuk perkembangan WBC yang membutuhkan persentase kelembaban antara 60-80% untuk tumbuh optimal (Mochida et al. 1986). Total radiasi matahari tertinggi yang diterima di wilayah Jatisari adalah 6543 MJ/m2/tahun yaitu pada tahun 2006, sedangkan yang terendah pada tahun 2010 sebesar 6042 MJ/m2/tahun (Lampiran 5). Fluktuasi harian dari radiasi yang diterima bumi akan berpengaruh pada kelembaban di wilayah tersebut. Rata-rata kecepatan angin dari tahun 2002-2012 di wilayah studi berada pada kisaran 2.4-3.6 m/s (Lampiran 6).
18 Lampu Perangkap dan Kelimpahan Populasi WBC Lampu perangkap merupakan perangkat paling umum yang digunakan untuk pemantauan imigrasi dan pendugaan populasi serangga yang bersifat tertarik pada cahaya. Padat populasi WBC di lapangan mempunyai hubungan yang tinggi dengan jumlah populasi disekitarnya selama periode imigrasi. Pada kondisi awal saat sawah dalam keadaan bera, WBC akan hidup pada tanaman inang lainnya berupa rumput-rumput disekitar persawahan. Saat persemaian dimulai, WBC imigran akan mulai menginvasi persemaian. Semakin umur padi meningkat maka populasi WBC pendatang akan terus meningkat. Apabila kondisi lingkungan yang dibentuk oleh faktor-faktor cuaca terus mendukung maka kelimpahan populasi WBC akan semakin banyak. WBC kemudian berkembang biak dalam beberapa generasi dipertanaman tersebut. Peran dari lampu perangkap adalah sebagai deteksi awal keberadaan individu populasi migran. Sepanjang tahun pengamatan 2002 sampai 2012 pada lampu perangkap di sawah percobaan Jatisari, populasi WBC yang tertangkap adalah sebanyak 5900 ekor (Gambar 6). Tangkapan terendah pada tahun 2002 sebanyak 219 ekor dan tertinggi pada tahun 2010 sebanyak 2129 ekor. Tangkapan yang tinggi pada tahun 2010-2011 di duga dipengaruhi oleh ledakan populasi hama WBC pada tahun tersebut di wilayah Pantura. Ledakan populasi tersebut berhubungan dengan kejadian La Nina pada tahun 2010, dimana kejadian hujan pada kemarau basah yang tinggi memicu petani untuk menanam padi sampai 4 kali dalam tahun itu.
Gambar 6. Populasi WBC hasil tangkapan lampu perangkap tahun 2002-2012 Populasi tangkapan umumnya meningkat pada akhir bulan Oktober sampai awal Maret. Populasi kemudian cenderung menghilang atau berada dalam jumlah populasi rendah pada bulan-bulan berikutnya sehingga jumlah yang tertangkap di lampu perangkap sangat sedikit. Pola ini terlihat berulang setiap tahunnya membentuk pola musiman yang cocok dengan pola musim tanam padi di wilayah tersebut. Pada musim tanam padi pertama di musim hujan, populasi cenderung meningkat. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan padi sebagai pakan WBC dan kejadian hujan. Pada musim tanam kedua, di musim kemarau populasi tertangkap cenderung turun, hal ini berkaitan dengan jumlah kejadian hujan yang rendah pada musim tersebut. Namun kondisi ini tidak berlaku pada tahun 2010 sampai 2011.
19 Periodisasi Musim Tanam Padi Wilayah Jatisari merupakan persawahan dengan air irigasi golongan 1 dan 2. Golongan irigasi 1 merupakan persawahan yang dialiri air irigasi mulai pada bulan Oktober, sedangkan golongan air 2 pada bulan berikutnya, yaitu November. Dengan golongan air irigasi tersebut, penanaman padi di sawah percobaan Jatisari dilakukan selama 2 kali dalam satu tahun yaitu pada periode musim tanam 1 (MT1) yaitu bulan November-Februari dan musim tanam 2 (MT2) pada bulan Mei-Agustus. Meskipun dengan golongan air yang memungkinkan penanaman padi sebanyak 3 kali tanam, namun penanaman hanya dilakukan 2 kali. Hal tersebut didasarkan pada pengalaman petugas BBPOPT di lapangan, saat dilakukan pola penanaman padi sebanyak 3 kali tanam, serangan hama dan penyakit pada salah satu musim tanam meningkat secara signifikan sehingga menimbulkan kerugian.
Hubungan Faktor Cuaca dan Dinamika Populasi WBC Tanpa Musim Tanam Analisis tanpa memperhatikan musim tanam dilakukan menggunakan data harian faktor cuaca dengan mengabaikan waktu musim tanam padi. Curah hujan, suhu, kelembaban relatif, radiasi matahari dan kecepatan angin memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap dinamika populasi WBC. Untuk melihat hubungan tersebut terhadap populasi WBC hasil tangkapan lampu perangkap dibuat plot dengan menggunakan waktu tunda (lag) sebagai faktor koreksi. Analisis tanpa memperhitungkan waktu tunda berarti faktor iklim secara langsung mempengaruhi populasi WBC pada saat terjadi serangan. Analisis dengan waktu tunda berarti faktor iklim mempengaruhi dinamika populasi WBC pada rentang waktu tertentu. Adanya hujan akan memicu petani untuk mulai menanam padi, ketersediaan tanaman padi di lapangan akan mengundang WBC migran untuk datang ke pertanaman dan mulai meletakkan telur. Rentang waktu dari saat hujan pertama turun sampai WBC datang adalah waktu tunda yang dimaksudkan dalam penelitian ini. Bahwasannya terdapat jeda waktu antara kejadian hujan sampai dengan WBC berada di lapangan. Penentuan waktu tunda didasarkan pada data pengukuran laju perkembangan yang digunakan oleh Sujithra et al. (2013). Penelitian Sujithra et al. (2013) mendapatkan fase nimpha kecil lama perkembangan berturut-turut adalah 12, 10, 8 7, 6 dan 5 hari pada suhu 19, 22, 25, 28, 31, dan 33oC. Pada fase nimpha besar lama perkembangan adalah 14, 9, 8, 7, 6 hari pada suhu 19, 22, 25, 28, 31, dan 33oC. Pada fase dewasa, lama perkembangan yang didapat adalah 14, 10, 8, 7,6, dan 6 hari pada suhu 19, 22, 25, 28, 31, dan 33oC. Dengan mempertimbangkan suhu rata-rata di wilayah Jatisari adalah 27oC dan fase yang tertangkap oleh lampu perangkap adalah WBC fase dewasa, maka waktu tunda yang paling sesuai untuk fase WBC dewasa adalah 7 hari pada suhu 28oC. Sebagai pembanding waktu tunda juga diberikan pada rentang 10 dan 14 hari. Korelasi antar faktor cuaca dan populasi WBC dengan waktu tunda dan tanpa waktu tunda dengan menggunakan data harian disajikan pada Tabel 3.
20 Tabel 3. Korelasi antara faktor iklim terhadap populasi WBC tangkapan lampu Parameter CH Tmax Tmin Trata RH max RH min RH rata Radiasi K. Angin
Lag 0 r 0.32* -0.09 0.09 0.07 -0.02 0.23* 0.12* -0.14* 0.09
Lag 7 P 0.00 0.74 0.89 0.66 0.28 0.00 0.00 0.00 0.84
r 0.64* -0.11* 0.10* 0.07* -0.09* 0.26* 0.12* -0.07* 0.09
Lag 10 P 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.17
r 0.20* -0.08 0.11* 0.08 -0.03 0.22* 0.11* -0.19* 0.08
Lag 14 P 0.00 0.07 0.00 0.66 0.10 0.00 0.00 0.00 0.27
r 0.19* -0.07 0.12* 0.08 -0.03 0.18* 0.12* -0.16* 0.09
P 0.00 0.63 0.00 0.89 0.07 0.00 0.00 0.00 0.41
*Nyata pada taraf 95%
Pada analisis korelasi tanpa lag, faktor iklim yang memiliki korelasi nyata dengan populasi WBC adalah curah hujan, kelembaban minimum, kelembaban rata-rata, dan radiasi. Pada lag 7 hari, didapatkan bahwa hampir semua faktor cuaca nyata, kecuali kecepatan angin. Analisis dengan lag 10 dan lag 14 hari didapatkan bahwa curah hujan, suhu minimum, kelembaban minimum, kelembaban rata-rata, dan radiasi memiliki korelasi nyata terhadap populasi WBC tangkapan lampu. Hal ini dapat menggambarkan bahwa kelimpahan hama yang terbang tertangkap lampu perangkap disebabkan oleh akumulasi dari nilai-nilai parameter cuaca beberapa hari, minggu atau bulan sebelumnya, perubahan agroekosistem, dan kekuatan cahaya lampu (Baehaki et al. 2015). Walaupun dalam analisis ini terdapat korelasi antar variabel yang signifikan, namun secara keseluruhan nilai korelasinya cukup rendah. Tabel 4 menampilkan kisaran nilai minimum dan maksimum serta nilai rataan dari data faktor iklim yang digunakan dalam analisis korelasi Pearson. Nilai-nilai yang tersaji pada Tabel 4 dapat digunakan untuk menjelaskan korelasi yang disajikan pada Tabel 3. Sebagai contoh, apabila nilai korelasi antara populasi WBC dan suhu maksimum pada lag 7 adalah sebesar -0.110 maka hal tersebut berarti peningkatan populasi WBC akan terjadi seiring dengan penurunan nilai suhu maksimum. Namun, kondisi ini hanya akan menjadi sahih jika rentang suhu maksimum berada pada kisaran 21-36oC (lihat Tabel 4). Hal yang sama berlaku pula pada parameter lainnya. Nilai r curah hujan, suhu minimum, kelembaban minimum, kelembaban rata-rata dan radiasi pada analisis menggunakan lag 10 adalah 0.204, 0.116, 0.222, 0.117, dan -0.196. Hal ini dapat diartikan sebagai berikut, bahwa meningkatnya kelimpahan populasi WBC terjadi pada saat curah hujan, suhu minimum, kelembaban minimum dan kelembaban rata-rata meningkat pula di suatu wilayah dengan intensitas matahari rendah. Nilai r ini berlaku jika faktor cuaca berada pada rentang curah hujan 15-65 mm/hari, suhu minimum 16-27oC, kelembaban minimum 31-98%, dan kelembaban rata-rata 44.5-98.5% serta radiasi antara 1.6-42.3 MJ/m2/hari.
21 Tabel 4. Nilai rataan, maksimum dan minimum faktor cuaca dengan korelasi nyata Parameter CH Tmax Tmin Trata RH max RH min RH rata Radiasi
Lag 0 Rataan
2.3
57.1 68.4 16.3
Min
10
16 44.5 1.6
Lag 7 Max
24
27 98.5 42.3
Lag 10
Rataan
Min
Max
4.4 30 22.3 25.8 80 57.1 68.4 16.2
15 21 16 19.5 50 31 44.5 1.6
65 36 27 30 100 98 98.5 42.3
Rataan
Min
Lag 14 Max
Rataan
Min
Max
4.3
15
65
4.3
15
65
22.3
16
27
22.3
16
27
57.1 68.4 16.2
31 44.5 1.6
98 98.5 42.3
57.1 68.4 16.2
31 44.5 1.6
98 98.5 42.3
Berdasarkan pada hasil analisis korelasi, maka didapatkan pasangan faktor cuaca yang memiliki korelasi terkuat dengan kelimpahan populasi WBC adalah curah hujan dan kelembaban minimum. Plot tren hubungan populasi WBC dengan curah hujan dan kelembaban minimum bersifat non linier (Gambar 7). Tren hubungan populasi WBC dengan curah hujan menghasilkan koefisien determinasi R2 sebesar 46.3%. Hal ini berarti 46.3% keragaman data dapat terwakili oleh persamaan tersebut atau dengan kata lain kelimpahan populasi WBC yang tertangkap dalam lampu perangkap dipengaruhi sebesar 46.3% oleh faktor curah hujan dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lainnya. Faktor lain yang menentukan kelimpahan WBC di pertanaman padi dapat dapat berupa varietas padi, waktu tanam, faktor iklim lainnya atau dengan kata lain lingkungan yang sesuai bagi perkembangannya (Susanti 2010). Hubungan populasi WBC dengan dengan kelembaban minimum memiliki nilai koefisien determinasi R2 = 6.81%.
Gambar 7. Plot tren hubungan populasi WBC tangkapan lampu dengan (a) kelembaban minimum dan (b) curah hujan Plot 3 (tiga) dimensi antara populasi WBC, curah hujan dan kelembaban minimum tersaji pada Gambar 8. Plot tersebut menggambarkan bahwa pada kondisi cuaca yang mendukung terutama saat terdapat kejadian curah hujan (1565 mm/hari) dan kelembaban minimum yang tinggi (31-98%) maka kelimpahan populasi WBC di wilayah tersebut akan meningkat pula. Korelasi nyata antara curah hujan dan kelembaban minimum (r = 0.293, p = 0.000) menguatkan pengaruh multikolinearitas antar kedua faktor tersebut. Oleh
22 karena itu untuk menghilangkan pengaruh multikolinearitas dalam persamaan regresi antara kedua faktor cuaca tersebut, maka analisis dilanjutkan menggunakan analisis regresi komponen utama. Analisis komponen utama dengan menggunakan matrik kovarian menghasilkan nilai eigenvalue untuk komponen pertama (curah hujan) dan kedua (kelembaban minimum) adalah 116.51 dan 63.76 (Lampiran 7). Eigenvalue kedua komponen utama tersebut mewakili 64.6% dan 35.4% dari seluruh variabilitas. Nilai eigenvector PC1 dan PC2 untuk curah hujan adalah 0.696 dan 0.718, sedangkan eigenvector PC1 dan PC2 untuk kelembaban minimum adalah 0.718 dan -0.696. Hasil rotasi terhadap analisis regresi berganda antara populasi WBC dengan dua komponen utama yang dikombinasikan dengan nilai koefisien dari PC1 dan PC2 menghasilkan persamaan: 𝑦 = −0.481 + 0.277𝑋1 + 0.004𝑋2
(13)
dimana y= populasi WBC, X1 adalah curah hujan pada lag 7 dan X2 adalah kelembaban minimum pada lag 7. Nilai R2(adj)= 41.8. Nilai koefisien determinasi ini menunjukkan bahwa hanya 41.8% kejadian kelimpahan populasi WBC di lampu perangkap dipengaruhi oleh curah hujan dan kelembaban minimum sedangkan pengaruh faktor lain, sebagai contoh luas tanam, varietas padi, dan faktor iklim lainnya meyumbang sebesar 58.2%.
Gambar 8. Plot 3 dimensi antara populasi WBC tangkapan lampu dengan curah hujan dan kelembaban minimum Dengan Musim Tanam Analisis dengan musim tanam sebagai faktor koreksi dilakukan dengan menghilangkan bulan-bulan di luar musim tanam, dengan asumsi di bulan-bulan tersebut tidak ada pertanaman padi. Pada rentang waktu tahun 2002 sampai 2012 terdapat setidaknya 20 kali musim tanam di wilayah kebun percobaan Jatisari. Masa tanam padi dilakukan selama 2 kali dalam 1 tahun. MT1 berlangsung pada bulan November-Februari (musim hujan) dan MT2 berlangsung pada bulan MeiAgustus (musim kemarau).
23 Pola musim tanam dan waktu tanam merupakan faktor yang menentukan ketersediaan makanan bagi WBC di pertanaman. Pertanaman padi yang melimpah akan meningkatkan jumlah populasi WBC yang tertangkap lampu perangkap. Selain beberapa faktor tersebut, faktor cuaca juga mengambil peranan yang tidak sedikit terhadap kelimpahan populasi WBC di lapangan. Sepanjang 2002-2012, jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada MT1 (musim hujan) di setiap tahunnya, kecuali pada tahun 2010 dan 2011 dimana jumlah hari hujan cukup tinggi sepanjang tahun (Lampiran 8). Kelimpahan populasi yang tinggi dalam lampu perangkap berkaitan dengan tingginya curah hujan pada MT1 (lampiran 8). Jumlah WBC yang terperangkap cenderung turun seiring dengan rendahnya curah hujan dan hari hujan pada MT2 (Lampiran 9). Menurut Koesmaryono et al. (2005), perubahan distribusi curah hujan dapat membawa pengaruh yang cukup besar bagi organisme disekitarnya termasuk pada hama yang cenderung berubah secara drastis. Sepanjang tahun 2002 sampai 2012, jumlah populasi WBC tertangkap lampu perangkap selama musim kemarau adalah 1159 ekor, sedangkan saat musim hujan populasi tertangkap sebanyak 3770 ekor (Lampiran 8 dan 9). Hal ini sesuai dengan pernyataan Baehaki (2005) dalam Susanti et al. (2007), yang menyatakan bahwa hama WBC mampu berkembang biak dengan baik di musim hujan dan musim kemarau yang terdapat hujan. Secara umum suhu maksimum, suhu minimum dan suhu rata-rata cenderung meningkat sepanjang tahun 2002 sampai 2012 di wilayah studi (lampiran 8 dan 9). Koesmaryono (1999) menyatakan bahwa pengaruh suhu udara terhadap hama dan penyakit tumbuhan antara lain mengendalikan perkembangan, kelangsungan hidup dan penyebaran serangga. Kenaikan suhu rata-rata sebesar ±4.8oC antara tahun 2003 sampai 2012 terlihat mengikuti pola kenaikan jumlah populasi WBC yang terperangkap terutama setelah MT2 2005 (Lampiran 9). Menurut Mavi dan Tupper (2004), aktivitas serangga akan lebih cepat dan efisien pada suhu yang tinggi, tapi akan mengurangi lama hidup serangga. Rata-rata kelembaban di wilayah studi pada periode musim tanam berkisar 56.8-79.9% (Lampiran 8 dan 9). Kondisi kelembaban ini sangat cocok untuk perkembangan WBC yang membutuhkan persentase kelembaban antara 60-80% untuk tumbuh optimal (Mochida et al. 1986). Kelembaban minimum selalu tinggi pada MT1 dan lebih rendah pada MT2. Kelembaban minimum cenderung meningkat antara tahun 2006-2012 (Lampiran 8 dan 9). Fluktuasi intensitas cahaya dan kualitas cahaya harian dapat berpengaruh pada suhu udara dan kelembaban lingkungan. Pada MT1 intensitas radiasi cenderung turun seiring dengan peningkatan populasi WBC yang tertangkap lampu perangkap, sedangkan pada MT2 intensitas radiasi yang diterima tinggi seiring dengan penurunan tangkapan lampu perangkap (Lampiran 8 dan 9). Saat intensitas radiasi rendah pada musim hujan, akan meningkatkan kelembaban dan menurunkan suhu lingkungan sehingga pada kisaran nilai kelembaban dan suhu yang sesuai maka populasi WBC akan meningkat.
24 Tabel 5. Nilai korelasi, rataan dan nilai kisaran minimum dan maksimum hubungan populasi WBC terhadap faktor cuaca Parameter CH HH Tmax Tmin Trata RH max RH min RH rata Radiasi K Angin
r-Pearson 0.908* 0.865* -0.116 0.224 0.031 0.001 0.595* -0.031 -0.164 0.129
P-value 0.000 0.000 0.617 0.329 0.893 0.998 0.004 0.895 0.476 0.666
Rataan
Minimum Maksimum
435.3 36.2
17.5 3
935.5 75
56.8
43.4
67.3
Secara teoritis banyak faktor cuaca yang berpengaruh pada dinamika b a kelimpahan populasi WBC, namun pada penelitian ini faktor cuaca yang memiliki d c korelasi nyata terhadap populasi WBC dalam periode musim tanam adalah curah hujan, hari hujan, dan kelembaban minimum. Kesahihan korelasi antara faktor cuaca dan populasi WBC hasil tangkapan dibatasi oleh nilai range parameter cuaca, yaitu diantara nilai maksimum dan minimumnya. Artinya pada korelasi
a
b
c
Gambar 9. Tren hubungan antara populasi WBC tangkapan lampu perangkap dengan parameter faktor cuaca. a) populasi tangkapan lampu dengan curah hujan, b) hari hujan, dan c) kelembaban minimum
25 kelembaban minimum sebesar r=0.595 peningkatan populasi terjadi seiring dengan peningkatan kelembaban minimum dengan syarat nilai kelembaban minimum (RHmin) berkisar pada 43.4-67.3% per musim tanam (Tabel 5). Hal yang sama berlaku pada parameter cuaca lainnya yang korelasinya nyata. Berdasar pada hasil analisis korelasi, dibuat plot tren hubungan populasi WBC dan faktor cuaca. Plot tren hubungan antara populasi WBC dengan faktor cuaca bersifat non linier. Plot tren hubungan populasi WBC dengan curah hujan menghasilkan koefisien determinasi R2 sebesar 81.8% (Gambar 9). Hal ini berarti 81.8% keragaman data dapat terwakili oleh persamaan tersebut atau dapat juga berrti bahwa kelimpahan populasi WBC yang tertangkap dalam lampu perangkap dipengaruhi sebesar 81.8% oleh faktor curah hujan dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lainnya. Hubungan populasi WBC dengan hari hujan menghasilkan R2=86.6% dan hubungan populasi WBC dengan kelembaban minimum R2=27.3%. Uji subset dilakukan untuk mendapatkan 2 faktor cuaca terbaik dari 3 faktor cuaca yang memiliki korelasi nyata terhadap populasi WBC tangkapan lampu perangkap. Hasil uji diperoleh bahwa pasangan faktor cuaca terbaik dalam hubungannya dengan populasi WBC adalah hari hujan dan kelembaban minimum. Plot korelasi antara populasi WBC dengan hari hujan dan kelembaban minimum tersaji pada Gambar 10a. Peningkatan kelimpahan populasi WBC (sumbu z) di pertanaman saat musim tanam berlangsung seiring dengan meningkatnya jumlah hari hujan (sumbu y) pada kondisi kelembaban minimum (sumbu x) berada kisaran tertentu per musim tanam. Dengan kata lain populasi WBC akan meningkat dengan semakin banyaknya jumlah hari hujan di pertanaman pada kondisi kelembaban minimum berkisar antara 43.4-67.3%. Faktor hari hujan berhubungan erat dengan kejadian hujan. Pola korelasi antara curah hujan, kelembaban minimum dan populasi WBC (Gambar 10b) memiliki kemiripan dengan pola korelasi hari hujan, kelembaban minimum dan populasi WBC (Gambar 10a). Hal ini dapat diartikan bahwa pada curah hujan dengan kejadian hari hujan banyak dalam satu musim tanam akan meningkatkan suhu dan kelembaban di pertanaman. Analisis korelasi antara faktor hari hujan dengan kelembaban minimum menunjukkan korelasi nyata antara keduanya (r = 0.678, p = 0.001). Oleh karena itu untuk menghilangkan pengaruh multikolinearitas dalam persamaan regresi antara kedua faktor cuaca tersebut, maka analisis dilanjutkan menggunakan analisis regresi komponen utama. Analisis komponen utama dengan menggunakan matrik kovarian menghasilkan nilai eigenvalue untuk komponen pertama (PC1) dan kedua (PC2) adalah 11995 dan 315. Eigenvalue kedua komponen utama tersebut mewakili 97.4% dan 2.6% dari seluruh variabilitas. Nilai koefisien variabel hari hujan adalah PC1=0.144 dan PC2=0.990, sedangkan koefisien kelembaban minimum adalah PC1=0,990 dan PC2=-0.144. Hasil rotasi analisis regresi berganda antara populasi WBC dengan dua komponen utama yang dikombinasikan dengan nilai koefisien dari PC1 dan PC2 dihasilkan persamaan: y =15.2 + 11X1 - 0.8X2
(14)
dimana X1 adalah hari hujan hujan dan X2 adalah kelembaban minimum, dengan nilai R2(adj)=70.6%. Nilai koefisien determinasi ini menunjukkan bahwa 70.6% kejadian kelimpahan populasi WBC di pertanaman dan lampu perangkap
26 dipengaruhi oleh peranan hari hujan dan kelembaban minimum dalam membentuk lingkungan yang sesuai untuk perkembangan WBC kemudian ditambah faktor luar lainnya sebanyak 30% seperti misalnya luas tanam, varietas padi, dan faktor iklim lainnya.
a
b
Gambar 10. Plot 3 dimensi antara populasi WBC tangkapan lampu dengan (a) hari hujan dan kelembaban minimum, (b) curah hujan dan kelembaban minimum Faktor biotik dan abiotik lingkungan memiliki kaitan erat dengan tangkapan lampu perangkap. Faktor biotik berupa parameter cuaca seperti curah hujan, suhu, kelembaban, angin dan radiasi matahari saling terkait satu sama lain. Dari banyak faktor cuaca yang secara teoritis berpengaruh terhadap kelimpahan populasi WBC tangkapan lampu perangkap, yang memiliki korelasi kuat dalam penelitian ini adalah Hari huajan, curah hujan dengan kelembaban minimum. Hari hujan merupakan representasi dari curah hujan. Peningkatan curah hujan dengan jumlah hari hujan tinggi akan meningkatkan populasi WBC yang tertangkap lampu perangkap. Ini sesuai dengan pernyataan Yang et al. (2014) dan William (1940) yang mengungkapkan pengaruh hujan terhadap total tangkapan serangga pada lampu perangkap, dimana curah hujan yang tinggi akan membuat
27 lebih banyak serangga golongan Delphicidae (termasuk WBC) dan Noctuidae (ngengat) lebih berlimpah di dalam lampu perangkap Curah hujan berpengaruh secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kelimpahan populasi dan berkurangnya populasi serangga di lapangan. Secara langsung curah hujan tinggi akan menurunkan populasi serangga dikarenakan sebagian individu serangga tercuci oleh hujan (Koesmaryono 1985; Mochida et al. 1986). Pada curah hujan tinggi, tanaman padi akan tumbuh dengan baik. Jarak tanam dan usia tanaman akan berpengaruh pada pembentukan kanopi rumpun padi yang akan membentuk iklim mikro di sekitarnya. Secara tidak langsung curah hujan dan kondisi keawanan berperan pula dalam membentuk iklim mikro di pertanaman (Yang et al. 2014). Curah hujan dan keawanan berkaitan erat dengan suhu udara. Curah hujan dengan kondisi keawanan tinggi dapat menyebabkan suhu udara rendah di sekitar pertanaman. Suhu harian antara 2730oC dan suhu malam hari yang rendah adalah suhu yang paling sesuai untuk pemunculan sejumlah serangga dewasa (Subroto et al. 1992; Susanti 2008). Jika kondisi suhu yang sesuai dengan perkembangan WBC tercapai, maka akan mempengaruhi perilaku dan perkembangbiakan WBC sehingga memungkinkan terjadi lonjakan populasi di pertanaman. Kelembaban mempengaruhi perkembangan WBC dan meningkatkan populasinya (Dyck et al. 1977; Bae et al. 1987). Dyck et al. 1977 menyatakan kelembaban konstan pada kisaran 50-60% berperan secara optimal pada peningkatan populasi WBC. Kelembaban menggambarkan kandungan uap air di udara. Kemampuan menampung uap air di udara ditentukan oleh suhu. Pada suhu rendah kemampuan untuk menampung udara menurun, sehingga kelembaban berada pada kisaran minimum. Kisaran kelembaban minimum yang mempengaruhi kelimpahan populasi WBC dalam penelitian ini berkisar pada rentang 43.4-67.3% (Tabel 5). Kelembaban minimum yang meningkat melebihi nilai rata-ratanya akan berpotensi untuk menyediakan lingkungan terbaik bagi perkembangan WBC. Hal ini sesuai dengan Susanti (2010) yang menyatakan bahwa serangan WBC akan terjadi bila suhu minimum, kelembaban relatif minium dan kelembaban relatif rata-rata berada di atas rata-ratanya. Terkait dengan penggunaan model persamaan untuk prediksi, jika yang tersedia hanya data curah hujan prediksi bulanan (mengacu pada ketersedian data di BMKG) maka sebaiknya model prediksi menggunakan persamaan tren yang tersaji pada Gambar 9a. Persamaan yang dimaksud sebagai berikut: 𝑦 = 34.222𝑒 0.0038𝑥
(15)
dimana y adalah populasi WBC dan x adalah curah hujan prediksi. Persamaan tersebut memiliki nilai R2=81.7%
Pemodelan Dinamika Populasi WBC dengan Dymex Syarat Ambang Batas Suhu Perkembangan Serangga termasuk WBC pada umumnya merupakan spesies poikilotermal yang suhu tubuhnya bergantung pada suhu udara lingkungan. Hal ini mengakibatkan suhu udara lingkungan akan mempengaruhi proses perkembangan
28 dan metabolisme serangga. Pengaruh suhu udara terhadap hama dan penyakit tumbuhan antara lain mengendalikan perkembangan, kelangsungan hidup dan penyebaran serangga (Koesmaryono 1999). Karuppaiah (2012) menyimpulkan bahwa diantara banyak faktor cuaca, suhu merupakan faktor penting dalam perkembangan WBC. Penentuan suhu ambang batas perkembangan menggunakan model regresi linier yang didasarkan pada hubungan beberapa suhu konstan dengan lama perkembangan pada setiap tahapan siklus hidup WBC. Dari data yang tersaji pada Tabel 6, didapatkan nilai laju perkembangan (DR) sebagai berikut: Tabel 6. Suhu, lama perkembangan dan laju perkembangan WBC tangkapan lampu Suhu 19 22 25 28 31 33
Nimpha 1 D DR 7.15 00.14 5.65 00.18 3.78 00.26 3.2 00.31 2.9 00.34 3.12 00.32
Nimpha 2 D DR 6.05 00.17 4.95 00.20 3.5 00.29 2.95 00.34 2.41 00.41 2.61 00.38
Nimpha 3 D DR 5.82 00.17 4.5 00.22 3 00.33 2.34 00.43 1.63 00.61 2.01 00.50
Nimpha 4 D DR 4.38 00.23 3.8 00.26 2.42 00.41 2.06 00.49 1.95 00.51 2.3 00.43
Nimpha 5 D DR 5.6 00.18 4.5 00.22 3 00.33 2.7 00.37 2.5 00.40 2.55 00.39
Dewasa D DR 17.8 00.06 14.5 00.07 9.88 00.10 8.3 00.12 7.01 00.14 7.72 00.13
D: lama perkembangan, DR: laju perkembangan (1/D)(hari-1) Nilai laju perkembangan yang telah didapat kemudian digunakan untuk mendapatkan persamaan regresi antara suhu konstan dengan nilai laju perkembangannya. Persamaan regresi yang didapat kemudian digunakan untuk menentukan nilai thermal konstan (K) dan ambang batas suhu perkembangan (T0). Nilai-nilai tersebut tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Persamaan regresi, nilai T0, nilai K dari tahapan siklus hidup WBC Tahapan Nimpha 1 Nimpha 2 Nimpha 3 Nimpha 4 Nimpha 5 Dewasa
Persamaan regresi y = 0.015x - 0.129 R² = 0.89 y = 0.018x - 0.177 R² = 0.94 y = 0.029x - 0.398 R² = 0.88 y = 0.019x - 0.112 R² = 0.75 y = 0.016x - 0.121 R² = 0.90 y = 0.006x - 0.059 R² = 0.91
T0(oC) 8.8 9.8 13.5 5.9 7.3 9.5
K(DD) 67.5 55.5 33.9 52.3 60.2 161
Nilai T0 dan K serta persamaan regresi untuk fase telur mengacu pada persamaan hasil dari Bae et al. (1987). Persamaan regresi untuk telur adalah: 𝑦 = 0.00811𝑋 + 0.115
(16)
nilai ambang batas perkembangan telur WBC dari persamaan adalah 14.1oC dengan nilai K = 14.25 DD.
29 Kalibrasi Model Dymex Kalibrasi model dilakukan dengan cara membandingkan data prediksi populasi hasil simulasi dengan data populasi WBC di lapangan hasil tangkapan lampu perangkap. Bila tidak terdapat kesesuaian antara hasil simulasi model dengan data hasil observasi, maka dilakukan penyesuaian pada nilai inisialisasi yang menentukan pola interaksi populasi dengan lingkungannya. Penyesuaian nilai inisialisasi dilakukan dengan merubah nilai pada parameter tertentu pada kisaran nilai yang telah ditentukan (Tabel 8). Tabel 8. Nilai inisialisasi kalibrasi model Variabel Luas area Kelembaban tanah Kapasitas kelembaban tanah Koefisien evapotranspirasi Basal evaporasi Rasio seks
Nilai Awal 1 Ha 0.5 50-200 mm 0.5-1.2 0-5 1:1
Nilai Parameterisasi 1 Ha 0.5 150 0.8 0 1:1
Data iklim yang digunakan untuk kalibrasi model adalah data pada rentang waktu antara 1 Oktober 2009 sampai dengan 30 April 2010 atau 2 musim tanam. Pada retang waktu tersebut pertanaman sudah memasuki musim tanam ke-2 atau musim hujan. Data hasil luaran model memiliki nilai dan perbedaan yang besar dengan nilai data observasi, sehingga digunakan tranformasi Ln(x+1) untuk memperkecil dan mendekatkan nilai data observasi dan data luaran model. Selain itu data luaran model dan observasi juga dikonversi dari data harian menjadi data 3 (tiga) mingguan, hal ini dimaksudkan agar pola dari kedua data lebih terlihat dan lebih smooth pada saat plot di grafik. Terdapat perbedaan yang signifikan antara data luaran model dan data observasi saat diplot (over estimated), dimana jumlah populasi WBC luaran model lebih tinggi dari jumlah populasi observasi (Gambar 11) (Gambar 12b). Hal ini disebabkan model disusun berdasarkan asumsi bahwa faktor yang mempengaruhi keberadaan hama hanya faktor cuaca saja, sedangkan faktor lain seperti musuh alami dan varietas padi diasumsikan tidak berpengaruh. Selain itu, nilai inisialisasi model menentukan bahwa luasan wilayah penerapan model adalah 1 ha sedangkan data observasi diasumsikan mewakili luasan wilayah lebih dari 1 ha sehingga hal ini memungkinkan terjadinya perbedaan jumlah individu yang besar antara model dan observasi. Meskipun demikian, bentuk pola data luaran model terlihat mengikuti pola fluktuasi data observasi. Dari kesesuaian pola tersebut dapat dikatakan bahwa model yang dibangun dapat memprediksi pola atau periode kelimpahan populasi WBC.
30
Gambar 11. Plot data luaran model hasil kalibrasi dengan data observasi dari lampu perangkap Hasil plot tren hubungan linier antara data populasi luaran model dengan data populasi hasil tangkapan lampu memiliki nilai R2=0.705 (Gambar 12a). Nilai ini menujukkan bahwa 70.5% keragaman data dapat digambarkan dengan baik oleh persamaan yang dihasilkan, sementara 30% sisanya dipengaruhi oleh faktor lainnya. Dengan kata lain bahwa data luaran model memiliki korelasi positif terhadap data observasi (r=0,620 p=0.006). Perbandingan fungsi linier antara data luaran model dan data observasi memperlihatkan bahwa data luaran model berada di atas garis pembanding. Hal ini berarti data populasi WBC luaran model memiliki nilai yang lebih tinggi (over estimated) dari pada nilai data observasi (Gambar 12b). Perbedaan jumlah populasi dikarenakan data luaran model menunjukkan jumlah populasi WBC per satuan hektar per hari sesuai dengan nilai inisiasi awal, sedangkan data observasi menunjukkan jumlah populasi WBC yang tertangkap lampu perangkap dengan catatan tidak semua WBC dewasa tertarik pada lampu. Namun demikian, posisi sebaran data luaran model yang berada di atas sebaran data observasi menunjukkan bahwa model kalibrasi cukup baik memprediksi data observasi.
a
b
Gambar 12. (a) Plot tren hubungan data luaran model kalibrasi WBC dengan data observasi WBC dari lampu perangkap, (b) Perbandingan pola data luaran model dan observasi
31 Validasi Model Dymex Plot antara data luaran model hasil validasi dan observasi memperlihatkan bahwa populasi luaran model cenderung mengikuti pola fluktuasi dari data observasi (Gambar 13). Dari kesesuaian pola tersebut dapat dikatakan bahwa model yang divalidasi dapat memprediksi pola dan periode puncak kelimpahan populasi WBC. Namun, jumlah populasi luaran model dan observasi masih berbeda terlalu jauh, data populasi WBC luaran model menghasilkan data lebih tinggi (over estimated) dari data populasi hasil observasi. Hal ini terjadi dikarenakan dalam penerapan model beberapa faktor yang mungkin berpengaruh pada faktor mortalitas individu WBC di alam diabaikan, seperti varietas padi, musuh alami dan faktor cuaca lainnya. Selain itu luas wilayah penerapan model yang ditentukan pada penetapan nilai inisialisasi awal hanya mewakili luasan 1 ha, sedangkan data observasi yang merupakan data tangkapan lampu perangkap diasumsikan mewakili luasan lebih dari 1 ha dengan catatan tidak semua WBC dewasa tertangkap di lampu.
Gambar 13. Plot data luaran model dengan data observasi dari lampu perangkap hasil validasi Hubungan fungsi linier antara data observasi dan data prediksi luaran model memiliki nilai R2 sebesar 37.4% (Gambar 14a). Nilai ini berarti 37.4% dinamika populasi WBC dipengaruhi oleh faktor cuaca, sedangkan 62.6% dinamika populasi WBC dipengaruhi oleh faktor lain. Namun, meskipun dari fungsi linier keragaman data hanya terwakili sebanyak 37.4%, model masih dapat dikatakan cukup baik untuk menggambarkan hubungan antara kelimpahan populasi WBC di lapangan dengan faktor cuaca. Hal ini mengacu pada pernyataan Yonow et al. (2004) bahwa nilai R2 sebesar 37% masih dianggap cukup baik dalam hubungan antara faktor iklim dengan dinamika serangga. Perbandingan fungsi linier antara data luaran model dan data observasi memperlihatkan bahwa data luaran model berada di atas garis pembanding yang berarti data model memiliki nilai yang lebih tinggi (over estimated) dari pada nilai data observasi (Gambar 14b). Namun, posisi sebaran data luaran model yang berada di atas sebaran data observasi menunjukkan bahwa model kalibrasi cukup baik memprediksi data observasi.
32
a
b
Gambar 14. (a) Plot tren hubungan data luaran model validasi dengan data observasi WBC dari lampu perangkap, (b) Perbandingan pola data luaran model dan observasi Tantangan dalam membangun model menggunakan Dymex adalah parameterisasi berbagai fungsi dalam modul yang disusun, sehingga dapat didefinisikan secara tepat dalam siklus hidup serangga (Yonow et al. 2004). Kriticos et al. (2003) menyatakan bahwa dalam Dymex, parameter yang sudah ditetapkan bisa berubah sesuai masukan data cuaca pada wilayah yang menjadi objek studi. Yonow et al. (2004) menambahkan bahwa setiap mengidentifikasi dan menetapkan parameter, ukuran ketepatan dari model dapat mengacu pada nilai R2antara jumlah populasi luaran model dan data observasi untuk menilai dampak dari penyesuaian nilai parameter tersebut. Berdasarkan nilai R2, model validasi menunjukan hasil yang cukup baik antara data prediksi dan data observasi dalam menggambarkan periode terjadinya puncak kelimpahan populasi. Model dengan baik memprediksi periode kelimpahan populasi selama simulasi, namun belum mampu menggambarkan jumlah kelimpahan populasi sesuai data observasi. Selain luas wilayah yang berbeda antara model dan observasi, ketidakmampuan model menduga jumlah invidu WBC juga berkaitan dengan parameter mortalitas. Pada model, mortalitas diasumsikan hanya diakibatkan oleh faktor cuaca. Faktor mortalitas lain seperti musuh alami, varietas tahan, perlakuan insektisida diabaikan dalam model, hal ini yang diduga mengakibatkan disparitas yang besar antara individu luaran model dengan individu observasi. Pada beberapa titik prediksi periode puncak kelimpahan populasi hasil model bergeser dari observasi. Hal ini berkaitan dengan jumlah populasi tangkapan lampu yang tidak dapat dihindari sangat tergantung perilaku WBC ketika merespon cahaya dari lampu perangkap, dimana tidak semua serangga dewasa tertarik ke lampu perangkap namun bergantung pada kekuatan lampu. Baehaki et al. (2015) menyatakan kelimpahan hama yang terbang tertangkap lampu perangkap disebabkan resultante dari parameter cuaca beberapa hari, minggu atau bulan sebelumnya, perubahan agroekosistem, dan kekuatan cahaya lampu. Meskipun data luaran model menunjukan kecocokan dengan data observasi tetapi diakui masih terdapat kekeliruan dalam pemahaman karakteristik perilaku
33 WBC. Penulis menganggap mmasih perlu dilakukan beberapa penyesuaian terkait dengan bioekologi WBC sehingga model dapat memberikan luaran hasil yang lebih baik dalam menggambarkan kondisi populasi WBC di lapangan. Maywald et al. (2007) menyatakan peran lingkungan dan faktor hama itu sendiri yang menjadi kontrol terjadinya fluktuasi kelimpahan hama. Uji Kehandalan Model Uji kehandalan model hasil validasi selain mengacu pada nilai R2 juga dapat menggunakan uji RMSE. Uji RMSE pada model menghasilkan nilai 1.8 (Tabel 8). Nilai RMSE ini cukup baik, walaupun semakin kecil nilai RMSE model dapat dinyatakan semakin handal dalam menggambarkan kenyataan. Tabel 9. Uji kehandalan model validasi R2
RMSE
Uji z
37.4
1.8
Zhit = -33.3, Ztabel = 1.96
Hasil uji z dengan pendekatan distribusi normal antara data observasi dan data luaran model pada taraf nyata 95% menghasilkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara model dan observasi. Hal ini berarti model cukup mampu menggambarkan dengan baik pola kelimpahan populasi WBC di lapangan. Akurasi model validasi kemungkinan hasilnya akan lebih baik jika tersedia data cuaca dan data observasi lampu perangkap yang berasal dari wilayah yang berbeda dengan wilayah studi agar kemudian terlhat apakah model sesuai untuk diterapkan pada lokasi tersebut. Hasil validasi model memberikan keyakinan bahwa model dapat memprediksi puncak kelimpahan populasi yang terjadi di lapangan (Yonow et al. 2004). Sehingga dalam penerapannya model diharapkan mampu memberikan gambaran pola kelimpahan populasi di lapangan agar dapat membantu petani dan petugas dalam penyusunan strategi antisipasi dan manajemen pengendalian untuk mencegah terjadinya ledakan serangan hama WBC yang merugikan petani.
34
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kelimpahan populasi WBC pada lampu perangkap cenderung tinggi saat musim tanam 1 (musim hujan) dan rendah saat musim tanam 2 (musim kemarau). Faktor cuaca yang dominan mempengaruhi kelimpahan populasi WBC dalam lampu perangkap pada periode musim tanam adalah curah hujan, jumlah hari hujan dan kelembaban minimum. Secara umum, persamaan hasil uji statistik yang dihasilkan pada penelitian ini cukup baik dalam menggambarkan hubungan populasi WBC dengan faktor cuaca. Namun, persamaan yang dihasilkan dengan menggunakan musim tanam sebagai faktor koreksi lebih baik dari pada persamaan yang tidak menggunakan musim tanam sebagai faktor koreksi. Hubungan populasi WBC tangkapan lampu perangkap dan faktor cuaca dalam musim tanam menghasilkan persamaan y=15.2+11X1-0.8X2 dengan nilai R2=70.6%, sedangkan dengan mengabaikan musim tanam menghasilkan persamaan y=0.48+0.277X1+0.004X2 dengan nilai R2=41.8%. Persamaan tersebut di atas, menggambarkan bahwa peningkatan populasi WBC akan terjadi seiring dengan peningkatan hari hujan dengan curah hujan tinggi pada kondisi nilai kelembaban minimum berfluktuasi dari rendah sampai tinggi di wilayah tersebut. Curah hujan dan hari hujan berperan dalam membentuk iklim mikro di pertanaman padi sehingga mempengaruhi suhu dan kelembaban udara sedangkan kelembaban minimum pada wilayah studi berada pada kisaran nilai optimal yang mempengaruhi peningkatan populasi. Analisis Dymex untuk melihat hubungan dinamika populasi WBC dengan iklim menghasilkan nilai koefisien determinasi cukup baik pada tahap kalibrasi model, yaitu R2=70.5%. Pada tahap validasi model nilai koefisien determinasi R2=37.4%, hasil ini lebih rendah dari pada nilai koefisien determinasi hasil kalibrasi namun nilai ini masih dapat dinyatakan cukup baik untuk menggambarkan hubungan kelimpahan populasi WBC dengan faktor cuaca. Uji kehandalan model dengan RMSE dan uji z menunjukkan model dapat diandalkan dan mampu dengan baik menduga periode kelimpahan populasi walaupun masih kesulitan menentukan jumlah kelimpahan populasi WBC di lapangan.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang korelasi antara data lampu perangkap dengan populasi aktual untuk memvalidasi luaran Dymex. Data populasi observasi lapang dari berbagai lokasi dalam periode waktu yang panjang masih diperlukan untuk menilai keakuratan model secara lebih komperhensif.
35
DAFTAR PUSTAKA Andrewartha dan Birch. 1954. The Distribution and Abundance of Animal. Chicago: The University of Chicago Press Baehaki SE. 1985. Studi perkembangan populasi wereng Coklat (Nilaparvata lugens Stal) asal imigran dan pemencarannya di pertanaman [disertasi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Baehaki SE dan Widiarta IN. 2009. Hama wereng dan cara pengendaliannya pada tanaman padi. Di dalam: Darajat AA et al. editor. Padi: Inovasi Teknologi Produksi. Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. hlm 347-381 Baehaki, SE. 2011. Normalisasi dan Pengendalian Dini Hama Wereng Coklat Pengaman Produksi Padi Nasional. Bul.Agro Inovasi ed.20-26 Juli No.3415 Tahun XLI. Sinar Tani.Jakarta Baehaki SE, Rustiati T, Iswanto EH, Sumaryoo N. 2015. Pengaruh Faktor Meteorologi terhadap Penerbangan Hama Padi Tertangkap pada Lampu Perangkap Merkuri dan CFL. Agrotrop 5 (2). Pp. 122 - 138 Bae, SD., Song, YH., Park, YD. 1987. Effect Of Temperature Condition On Growth And Oviposition of Brown Planthopper. Korean J. Plant Prot. 26(1): 13-23 (1987) [BBPOPT]. 2010. Leaflet Bioekologi dan Pengendalian Hama Wereng Batang Coklat. Balai Besar Peramalan OPT. Jatisari Biro Pusat Statistik. 2014. Total Produksi Tanaman Padi Seluruh Propinsi. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php. Diakses tanggal 2 Mei 2015. Dale D, 1994. Insect pests of the rice plant - their biology and ecology. Dalam Heinrichs EA, editor. Biology and Management of Rice Insects. New Delhi (IN): Wiley Eastern Limited/IRRI. Das DK, Behera KS, Dhandapani TP, Trivedi N, Chona, Bhandari. 2008. Development of forewarning systems of rice pests for their management. Rice pest management. p.187–200. Cuttack: Applied Zoologist Research Association. Denno RF dan Roderick GK. 1990. Population Biology of Planthoppers. Annu. Rev. Entomol. 1990. 35: 489-520. Doi: 10.1146/annurev.en.35.010190.002421 Dharmasena CMD, Banda RMR, Fernando MHJP. 2000. Effect Of Climatic Factors and Agronomic Practices On Brown Planthopper (Nilaparvarta Lugens) Out Break In The Anuradhapura District, Sri Langka. Tropical Agricultural Research and Extension 3(2) 2000. Dyck VA, Chen CN, Mishra BC, Hseih CY, Alam S, Rejesus RS. 1977. Ecology of The Brown Planthopper in The Tropics. Paper presented at the Brown plant hopper symposium, International Rice Research Institute, LosBanos, Laguna, Philippines, 18 - 22 April, 1977. Dyck, VA dan Thomas, B. 1979 “The brown Planthopper Problem,” in Brown planthopper. Treat to Rice Production in Asia, pp. 3–17, IRRI, Philippines Ganaha T, Sato S, Uechi N, Harris KM, Kawamura F, Yukawa J. 2007. Shift From Non-Pest to Pest Status in Rhopalomyia Foliorum (Diptera: Cecidomyiidae), A Species That Induces Leaf Galls On Artemisia Princeps
36 (Asteraceae) Cultivated as an Edible Plant In Okinawa, Japan. Appl. Entomol. Zool 42(3):487-499 Jeyarani S. 2004. Population dynamics of brown planthopper, Nilaparvata lugens and its relationship with weather factors and light catches. J. Ecobiol. 16:475-477 Karuppaiah V, Sujayanad GK. 2012. Impact of Climate Change on Population Dynamics of Insect Pests. World Journal of Agricultural Sciences 8 (3): 240246, 2012 Kipyatkov VE dan Lopatina EB. 2010. Intraspecific Variation of Thermal Reaction Norms for Development in Insects: New Approaches and Prospects. Entomological Review, 2010, Vol. 90, No. 2, pp. 163–184. Doi:10.1134/S0013873810020041 Koesmaryono Y. 1991. Kapita Selekta dalam Agrometeorologi. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Koesmaryono Y. 1985. Biologi Kutu Daun Gandum Rophalosiphum Padi Linnaeus (Homoptera: Aphididae) di dua habitat dengan iklim yang berbeda [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Insitut Pertanian Bogor. Koesmaryono Y. 1999. Hubungan Cuaca Iklim dengan Hama dan Penyakit Tanaman. Kumpulan Makalah Pelatihan Dosen-Dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat dalam Bidang Agrometeorologi. Bogor 1-12 Febuari 1999 Koesmaryono Y, Hana FT, Yusmin. 2005. Analisis hubungan tingkat serangan hama belalang kembara (Locusta migratoria manilensis Meyen) dengan curah hujan. J Agromet. 19(2):13-23. Koem S. 2013. Pemodelan Fenologi Populasi Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga Incertulas (Walker) Berbasis Pengaruh Iklim. Tesis. Pasca Sarjana IPB. 65 Hal Kriticos DJ, Sutherst RW, Brown JR, Adkins SW, Maywald GF. 2003 Climate Change and The Potential Distribution af An Invasive Alien Plant: Acacia niloticassp. indica in Australia. J. Applied Ecology 40:111-124. Doi: 10.1046/j.1365-2664.2003.00777.x Lanoiselet V, Cother EJ, Ash GJ. 2002. CLIMEX and Dymex Simulations Of The Potential Occurrence of Rice Blast Disease In South-Eastern Australia. Australasian Plant Pathology. 31:1-7. Doi: 10.1071/AP01070 Lastuvka Z. 2009. Climate Change and It’s Possible Influence on The Occurrence and Importance of Insect Pests. Plant Protect. Sci. 45 (Special Issue): S53-S62 Lauziere I, Setamou M, Legaspi J, Jones W. 2002. Effect of temperature on life cycle of Lydella jalisco (Diptera: Tachinidae), a parasitoid of Eoreuma loftini (Lepidoptera: Pyralidae). Environ Entomol. 31(3):432-437. Doi: 10.1603/0046 -225X-31.3.432. Mavi HS dan Tupper GJ. 2005. Agrometeorology Principles and Applications of Climate Studies in Agriculture. Expl Agric 41. Pp.267-270. Doi: 10.1017/S0014479704212613 Maywald GF, Kriticos DJ, Sutherst RW, Bottomley W, 2007. Dymex Model Builder Version 3. Melbourne: CSIRO Publising. Mochida O, Suryana T, Wahyu A, 1977. Recent Outbreaks of The Brown Planthopper (Nilaparvata lugens [Stal]) in Southeast Asia (with special
37 reference to Indonesia). Di dalam The Rice Brown Planthopper. Taiwan: Food and Fertilizer Technology Center. Mochida O, Joshi RC, Litsinger JA. 1986. Climatic Factors Affecting The Occurrence of Insect Pests. Di Dalam: Pollard LM et al. Editor. Weather And Rice. Proceedings Of The International Workshop On The Impact Of Weather Parameters On Growth and Yield of Rice; Phillipines, 7-10 Apr 1986. Manila: IRRI. Nahrung FH, Schutze MK., Clarke AR, Duffy MP, Dunlop EA, Lawson SA. 2008. Thermal Requirements, field Mortality And Population Phenology Modelling of Paropsis Atomaria Olivier, An Emergent Pest In Subtropical Hardwood Plantation. Forest Ecology and Management 255. Pp 3515–3523. Doi: 10.1016/j.foreco.2008.02.033 Nguyen VGN, Vo TT, Huynh HX, Drogoul A. 2011. On Weather Affecting to Brown Plant Hopper Invasion Using An Agent-Based Model. College of agriculture and applied biology, Can Tho university publisher. Doi: 10.1145/2077489.2077517 Nylin S. 2001. Life History Perspectives On Pest Insects: What’s The Use? Aust. Ecol.26, 507–517. Doi: 10.1046/j.1442-9993.2001.01134.x Ooi PAC. 2010. Rice Plant Hopper Outbreaks: A Man-made Plague? Penang(MY): Pesticide Action Network Asia and the Pasific. Oka IN dan Bahagiawati AH. 1991. Pengendalian hama terpadu. Di dalam: Sunarjo E, Damardjati DS, Syam M, editor. Padi buku 3. Bogor: Puslitbangtan. Otuka A. 2009. Migration of Rice Planthoppers and Simulation Tehniques. IN Heong KL, Hardy B, editors. 2009. Planthoppers: new threats to the sustainability of intensive rice production systems in Asia. Los Baños (Philippines): International Rice Research Institute. Pp 343-356 Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 2008. Ecology of Insects: Consepts and Application. Envi Entom 38(4). Pp 1345-1346. Doi: http://dx.doi.org/10.1603/022.038.0448 Sogawa K. 1971. The Effect of Feeding The Brown Planthopper on the Component in the Leaf Blade of Rice Plant. Jpn. J. Entomol. Zool. 14: 134-139. Doi: http://doi.org/10.1303/jjaez.15.175 Subroto SWG, Wahyudin, Toto H, Sawanda H. 1992. Taksonomi dan Bioekologi Wereng Batang Coklat Nilparvata lugens Stall. Kerjasam Teknis Indonesia – Jepang Bidang Perlindungan Tanaman Pangan (ATA-162) Laporan Akhir Wereng Batang Coklat. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan. Sujithra, Thomas B. 2013. Simulation of rice brown planthopper, Nilaparvata lugens (Stal) population and crop-pest interactions to assess climate change impact. Springer Science. 121:331–347. Doi: 10.1007/s10584-013-0878-1 Susanti E, Aris P, Le IA, Fadhlullah R. 2007. Variabilitas Iklim dan Pengaruhnya Terhadap Penyebaran OPT di Sentra Produksi Padi. Laporan. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor Susanti, E. 2008. Developing Information System For Climate Based Potential Area Attack Of Brown Plant Hopper (Nilaparvata Lugens) In North Coast Of West Java. Bogor: Master Of Science In Information Technology For Natural Resource Management. Graduate School Bogor Agricultural University.
38 Sutherst RW, Maywald GF, Kriticos D. 2007. Climex 3.0. Melbourne: CSIRO Publising Untung K, Mahrub E, Sudjono S, Ananda K, Rasdiman, Trisyono A. 1988. Studi populasi, distribusi dan migrasi wereng Coklat dan musuh alaminya. Di dalam: Sujitno J, et al., editor. Penelitian Wereng Coklat 1987/1988 Edisi Khusus No 2. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. hlm 114-135. Wang SS, Yen FC. 1985. Analysis of the Data of the Brown Planthopper. (Nilaparvata lugens Stal) with Light Trap in Taiwan. http://digi_lib.entomol.ntu.edu.tw. Diakses tanggal 8 Mei 2013 Williams CB, 1940. An analysis of four years captures of insects in a light trap. Part II. The effect of weather conditions on insects activity; and the estimation and forecasting of changes in the insect population. Trans. R. Ent. Soc. Lond. 90, pp. 227–306. Wiyono S. 2007. Perubahan iklim dan ledakan hama dan penyakit tanaman. Seminar Sehari tentang Keanekaragaman Hayati ditengah Perubahan Iklim: Tantangan Masa Depan Indonesia. Jakarta; 28 Juni 2007. Yadav DS, Subhash C, Selvaraj K. 2010. Agro-ecological zoning of brown planthopper Nilaparvata lugens (Stal) incidence on rice (Oryza sativa L.). Journal of Scientific and Industrial Research 69:818-822. Yang HB, Hu G, Zhang G, Chen N, Zhu ZR, Liu S, Liang ZL, Zhang XX, Zhai BP, Cheng XN. 2014. Effect of light colours and weather conditions on captures of Sogatella furcifera (Horvath) and Nilaparvata lugens (Stal). J. Appl. Entomol. 138. Pp. 743–753. Doi: 10.1111/jen.12109 Yonow T, Zalucki MP, Sutherst RW, Dominiak BC, Maywald GF, Maelzer DA, Kriticos DJ. 2004. Modelling The Population Dynamics of The Queensland Fruit fly, Bactrocera (Dacus) tryoni: a Cohort-Based Approach Incorporating The Effects of Weather. Ecological Modelling 173. Pp. 9–30. Doi: 10.1016/S0304-3800(03)00306-5
39
LAMPIRAN
40 Lampiran 1. Plot hubungan antara suhu (oC) dan laju perkembangan pada fase (a) nimpha 1, (b) nimpha 2, (c) nimpha 3, (d) nimpha 4, (e) nimpha 5, (f) dewasa
41 Lampiran 2. Pola curah hujan bulanan di wilayah studi tahun 2002-2012
Lampiran 3. Pola suhu bulanan di wilayah studi tahun 2002-2012
42 Lampiran 4. Pola kelembaban bulanan di wilayah studi tahun 2002-2012
Lampiran 5. Pola radiasi matahari bulanan di wilayah studi tahun 2002-2012
43 Lampiran 6. Pola keceptan angin bulanan di wilayah studi tahun 2002-2012
44 Lampiran 7. Analisis regresi komponen utama antara variabel curah hujan lag 7 dan kelembaban minimum lag 7 dengan populasi WBC tangkapan lampu tanpa pengaruh musim tanam
Principal Component Analysis: Curah hujan, RH Minimum Eigenanalysis of the Covariance Matrix Eigenvalue Proportion Cumulative Variable CH RHmin
116.51 0.646 0.646 PC1 0.696 0.718
63.76 0.354 1.000
PC2 0.718 -0.696
Regression Analysis: Populasi WBC versus PC_1, PC_2 The regression equation is Pop WBC = - 0.481 + 0.193 PC_1 + 0.156 PC_2 2668 cases used, 8 cases contain missing values Predictor Constant PC_1 PC_2 S = 2.86139
Coef -0.4805 0.192634 0.156253
SE Coef 0.3447 0.005132 0.006937
R-Sq = 41.8%
PRESS = 21893.2
T -1.39 37.53 22.53
P 0.163 0.000 0.000
VIF 1.000 1.000
R-Sq(adj) = 41.8%
R-Sq(pred) = 41.63%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 2 2665 2667
SS 15690.8 21819.8 37510.6
MS 7845.4 8.2
Durbin-Watson statistic = 0.928217
F 958.21
P 0.000
45 Lampiran 8. Plot data populasi hasil tangkapan lampu perangkap dengan faktor cuaca pada MT1. (a) populasi dengan curah hujan dan hari hujan, (b) populasi dengan suhu, (c) populasi dengan kelembaban, (d) populasi dengan radiasi
46 Lampiran 9. Plot data populasi hasil tangkapan lampu perangkap dengan faktor cuaca pada MT2. (a) populasi dengan curah hujan dan hari hujan, (b) populasi dengan suhu, (c) populasi dengan kelembaban, (d) populasi dengan radiasi
47 Lampiran 10. Analisis regresi komponen utama antara variabel curah hujan. Kelembaban minimum dan populasi WBC tangkapan lampu tanpa pengaruh musim tanam
Principal Component Analysis: Curah hujan, RH Minimum Eigenanalysis of the Covariance Matrix Eigenvalue Proportion Cumulative
99875 1.000 1.000
22 0.000 1.000
Variable PC1 Curah hujan 1.000 RH Minimum 0.014
PC2 -0.014 1.000
Regression Analysis: Populasi WBC versus PC_1, PC_2 The regression equation is Populasi WBC = 541 + 0.632 PC_1 - 10.9 PC_2 Predictor Constant PC_1 PC_2
Coef 540.8 0.6317 -10.863
S = 145.591
SE Coef 358.3 0.1030 6.965
PRESS = 552583
R-Sq = 69.0%
T 1.51 6.13 -1.56
P 0.149 0.000 0.136
VIF 1.000 1.000
R-Sq(adj) = 65.5%
R-Sq(pred) = 55.08%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 2 18 20
SS 848652 381543 1230195
MS 424326 21197
Durbin-Watson statistic = 1.55873
F 20.02
P 0.000
48 Lampiran 11. Tampilan model builder yang menunjukkan beberapa rincian modul model Dymex
49 Lampiran 12. Tampilan model simulator yang menunjukkan beberapa rincian modul model Dymex yang siap dijalankan (running)
50
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kecamatan Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara, Provisi Lampung pada tanggal 14 April 1982, sebagai anak ke-2 dari 4 bersaudara dari pasangan Bapak Sofyan Jamal dan Ibu Herawati Santi. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hortikultura, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dan lulus pada tahun 2005. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Klimatologi Terapan Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2012. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai fungsional ahli pengamat organisme pegganggu tumbuhan di Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan sejak tahun 2005 dan ditempatkan di Karawang, Jawa Barat. Sebuah artikel sedag menunggu untuk diterbitkan dengan judul Analisis Pengariuh Faktor Cuaca terhadapDinamika Populasi Wereng Batang Coklat pada jurnal JEI pada tahun 2016. Artikel lain akan segera dipublikasikan pada jurnal lainnya. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-2 Penulis.