ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KESENJANGAN EKONOMI ANTAR DAERAH (STUDI KASUS PADA KABUPATEN/ KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH)
Eranus Yoga Kundhani
Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana 2015
© Eranus Yoga Kundhani All rights reserved. Save exception stated by the law, no part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system of any nature, or transmitted in any form or by any means electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise, included a complete or partial transcription, without the prior written permission of the author, application for which should be addressed to author.
Diterbitkan oleh: Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana Jln. Diponegoro No 52-60 Salatiga 50711 Telp. (0298) 321212 ext. 229, Fax (0298) 311995
ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KESENJANGAN EKONOMI ANTAR DAERAH (STUDI KASUS PADA KABUPATEN/ KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH)
TESIS
Diajukan untuk memperoleh gelar Magister di Universitas Kristen Satya Wacana. Tesis ini telah dipertahankan dalam ujian Program Pascasarjana Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana, pada hari Rabu, 21 Oktober 2015, pukul 10.00 WIB di Universitas Kristen Satya Wacana Jalan Diponegoro 52-60 Salatiga.
Oleh: Eranus Yoga Kundhani Lahir di Salatiga, Jawa Tengah
Pembimbing: Dr. Gatot Sasongko, SE., MS Penguji: Marthen L. Ndoen, SE., MA., Ph.D Dr. Wilson M.A. Therik, SE., M.Si
ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KESENJANGAN EKONOMI ANTAR DAERAH (STUDI KASUS PADA KABUPATEN/ KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH)
Eranus Yoga Kundhani
ABSTRACT Fiscal decentralization is the transfer of funds from the central government, giving broad authority to the regions to manage and optimize the economic potential that exists, in order to encourage economic growth in each region and ultimately reduce economic inequality gap between regions. This research aims to analyze empirically the effect of fiscal decentralization variable to variable economic gap between regions in the districts/ cities in Central Java province. Variable economic disparities between regions measured by Williamson Index. In addition to analyzing the direct effect of fiscal decentralization variable to variable economic disparities between regions, this study also includes the Human Development Index (HDI) and economic growth as intermediate variable in the model. This research uses panel data. Panel data covering 35 district/ cities in Central Java province, the period from 2004 to 2013. The method used to process this panel data, using Ordinary Least Square (OLS) Panel Data with Fixed Effect Model approach, combined with Path Analysis. Based on this research, it was found that the variables of fiscal decentralization has indirect effect, negative and significant to the variable economic disparities between regions, through HDI variable. This means that the HDI to be intermediate variable that must be considered in reducing economic disparities between regions. Keywords: Fiscal Decentralization, HDI, Economic Growth, Economic Gaps Between Regions, Panel Data, Path Analysis.
1
Latar Belakang 1 Januari 2001 adalah tanggal pelaksanaan desentralisasi fiskal yang mengacu pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang tersebut pada perjalanannya mengalami revisi, menjadi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Melalui kedua undang-undang tersebut, pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam menjalankan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yakni kewenangan dalam hal menggali pendapatan dan peran alokasi secara mandiri dalam menetapkan prioritas pembangunan. Penerapan otonomi daerah yang sudah berlangsung lebih dari sepuluh tahun diharapkan bisa menggeser kewenangan pusat kepada daerah. Otonomi daerah haruslah diartikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah dan bukan otonomi “daerah” dalam pemahaman wilayah tertentu pada tingkat lokal (Kaloh, 2002 : 7). Otonomi daerah bukan saja merupakan pelimpahan wewenang, namun juga merupakan peningkatan partisipasi rakyat dalam pembangunan daerah. Otonomi daerah bukan tanpa kelemahan, Prud’homme (1995) menyatakan beberapa kelemahan yang muncul dalam otonomi daerah, yaitu: 1. Menciptakan kesenjangan antar daerah kaya dengan daerah miskin. 2. Tidak efisiennya kebijakan ekonomi makro, seperti kebijakan fiskal, berdampak pada terancamnya stabilitas ekonomi. 3. Kurang hadirnya lembaga perwakilan rakyat yang ditandai dengan lemahnya public hearing, berdampak pada efisiensi. 4. Semakin meluasnya korupsi dari pusat menuju ke daerah. Di Provinsi Jawa Tengah hal ini dapat terlihat dari bervariasinya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riil antar 2
kabupaten/ kota. Data PDRB Riil tahun 2013 menunjukkan terdapat tiga daerah yang memiliki PDRB Riil terbesar di Provinsi Jawa Tengah. Kota Semarang menduduki tempat pertama dengan PDRB Riil sebesar 25.697.338,39 (Juta Rupiah), Kabupaten Cilacap di tempat kedua dengan PDRB Riil sebesar 15.352.290,57 (Juta Rupiah) dan Kabupaten Kudus dengan PDRB Riil sebesar 14.398.651,02 (Juta Rupiah) di tempat ketiga. Namun pada tahun yang sama, Kota Salatiga berada pada peringkat terbawah yakni sebesar 1.080.656,98 (Juta Rupiah). Dari data tersebut, terlihat betapa lebar rentang PDRB Riil antar kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah. Lebih lanjut, data PDRB Riil per kapita antar kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2013 secara berurutan sebagai berikut: Kabupaten Kudus dengan PDRB Riil per kapita sebesar 17.758354 (Juta Rupiah) menempati posisi teratas, disusul dengan Kota Semarang dengan PDRB Riil per kapita sebesar 15.623382 (Juta Rupiah), Kota Surakarta dengan PDRB Riil per kapita sebesar 11.974507 (Juta Rupiah) dan Kota Magelang dengan PDRB Riil per kapita sebesar 10.995189 (Juta Rupiah). Jika data tersebut dibandingkan dengan rata-rata PDRB Riil per kapita kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah sebesar 5.739761 (Juta Rupiah) dengan standar deviasinya sebesar 3.577223 (Juta Rupiah), maka terlihat beberapa kabupaten/ kota memiliki PDRB Riil per kapita berada jauh diatas rata-rata PDRB Riil kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah, disamping itu tentu juga terdapat kabupaten/kota dengan PDRB Riil per kapita di bawah angka rata-rata tersebut. Dari kedua data tersebut, baik PDRB Riil kabupaten/ kota maupun PDRB Riil per kapita kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah, dapat diduga kuat adanya kesenjangan ekonomi antar daerah pada kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian Apriesa (2013) pada kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah, berfokus untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Dalam penelitiannya Apriesa meregresikan variabel independent berupa 3
derajat desentralisasi fiskal, pajak daerah, populasi dan tenaga kerja dengan variabel dependent pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian Apriesa, adalah: pertama, pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah terbukti secara signifikan dan positif. Kedua, pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah, memiliki pengaruh positif namun tidak signifikan. Dengan kata lain bahwa desentralisasi fiskal kurang mendukung terwujudnya pemerataan. Hasil ini selaras dengan penelitian Mahi (2001) yang meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan kota. Salah satu kesimpulan dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa kebutuhan bagi hasil sumberdaya alam berpotensi mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi, namun akan meningkatkan kesenjangan antar daerah. Peneliti lain, Brodjonegoro dan Dartanto (2003), melakukan estimasi dampak desentralisasi fiskal di Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan antar daerah dengan menggunakan analisa model analisis makro ekonometrik simultan. Hasil analisis menunjukan bahwa, setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal kesenjangan antar wilayah semakin besar antar daerah di Indonesia. Hal ini terjadi karena dalam era desentralisasi fiskal dengan transfer dana dari pemerintah pusat dan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi yang ada akan memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah dan akan menyebabkan kesenjangan antar wilayah semakin besar. Kesenjangan antar wilayah semakin besar bisa terjadi karena beberapa hal: (1) satu daerah dengan daerah yang lain tentu memiliki faktor endowment yang berbeda, (2) faktor endowment yang berbeda mengakibatkan kemampuan daerah dalam proses pertumbuhan ekonomi akan menghasilkan tingkat output yang berbeda, (3) perbedaan tingkat output yang dihasilkan oleh masingmasing daerah berakibat pada semakin besarnya kesenjangan antar wilayah. Di sisi lain, estimasi kedua yakni berkenaan dengan pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pendapatan, bertolak 4
belakang dengan hasil penelitian Akai dan Sakata (2005) yang menyatakan bahwa desentralisasi fiskal merupakan alat yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi sektor publik dan untuk mengurangi kesenjangan antar daerah. Penelitian lain dilakukan oleh Sasana (2005) tentang pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, kesenjangan antar daerah, penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan di kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah. Salah satu kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitiannya, yakni bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kesenjangan antar daerah, dengan kata lain, semakin tinggi desentralisasi fiskal semakin kecil kesenjangan antar daerah pada kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah. Beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan adanya perbedaan hasil penelitian mengenai pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan ekonomi antar daerah di Provinsi Jawa Tengah. Sebagian peneliti menyatakan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap kesenjangan ekonomi antar daerah, sedangkan sebagian lainnya menyatakan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap kesenjangan ekonomi antar daerah. Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah dalam penelitian ini adalah bahwa pada masa desentralisasi fiskal (yang merupakan transfer dana dari pemerintah pusat, pemberian kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi yang ada, dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah) ternyata masih ada kesenjangan ekonomi antar daerah pada kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, maka pada penelitian ini terdapat beberapa perbedaan: Pertama, dari segi lokasi, penelitian ini fokus di Provinsi Jawa Tengah, berbeda dengan Rochana (2013) yang meneliti Indonesia dan penelitian Efriza (2014) yang berlokasi di Jawa Timur. Kedua, rentang waktu yang dipakai dalam penelitian ini cukup panjang, yakni sepuluh tahun (2004-2013), jika dibandingkan dengan Adi (2005) enam tahun 5
pengamatan, Sasana (2009) lima tahun pengamatan dan Rochana (2013) enam tahun pengamatan. Ketiga, penelitian ini menggunakan metode Path Analysis, yang tidak digunakan dalam penelitian Adi (2005), Apriesa (2013), Rochana (2013) dan Efriza (2014). Keempat, penggunaan Indeks Williamson sebagai indikator empiris variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah tidak digunakan dalam penelitian Adi (2005), Sasana (2009) dan Apriesa (2013). Kelima, pada penelitian ini memasukkan variabel Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai variabel antara dalam model penelitian. Variabel IPM tidak ditemukan pada penelitian Adi (2005), Sasana (2009), Apriesa (2013) dan Rochana (2013). Variabel IPM memang ditemukan pada penelitian Efriza (2014), namun tidak sebagai variabel antara. Keenam, meskipun menggunakan metode analisis sama (Path Analysis), penelitian ini memiliki variabel tujuan akhir yang berbeda dengan Sasana (2009). Variabel akhir yang dituju pada penelitian ini adalah Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, sedangkan pada penelitian Sasana adalah variabel Kesejahteraan Masyarakat.
Pertanyaan Penelitian Bagaimana pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan ekonomi antar daerah pada kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah?
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal baik langsung maupun tidak langsung, melalui variabel antara, terhadap kesenjangan ekonomi antar daerah di kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat dalam bentuk sumbangan pemikiran bagi pemerintah kabupaten/ kota maupun pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dalam menyusun perencanaan dan kebijakan pembangunan, sehingga hasil-hasil 6
pembangunan dapat dirasakan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah dan mewujudkan pemerataan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah.
Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian yang menghasilkan perbedaan kesimpulan, mengenai pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan ekonomi antar daerah akan dibahas pada bagian ini. Penelitian Priyo Hari Adi (2005) berfokus pada dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, studi kasus kabupaten/ kota se Jawa - Bali. Pemilihan daerah ini didasarkan pada karakteristik ekonomi dan geografis yang sama. Data yang dipakai dalam penelitian ini bersumber dari Badan Pusat Statistik, dan dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu data sebelum (1998-2000) dan data sesudah desentralisasi (2001-2003). Dalam pengujian hipotesis, digunakan alat uji beda berpasasangan (uji t) dan analisis varian (ANOVA). Uji t digunakan untuk membandingkan pertumbuhan ekonomi daerah sebelum dan sesudah pelaksanaan desentralisasi fiskal. ANOVA digunakan untuk mengetahui perbedaan pertumbuhan yang nyata antara daerah dengan tingkat kesiapan yang berbeda, dalam menghadapi desentralisasi fiskal. Data sebelum desentralisasi fiskal (1998-2000) menunjukkan bahwa kesenjangan antar daerah pada umumnya masih tinggi. Hal ini tampak pada angka deviasi standar yang mencapai 3,197%. Angka penyimpangan ini cukup tinggi terlebih bila diukur dari rata-rata pertumbuhan yang hampir sama dengan penyimpangan tersebut (2,9%). Disparitas pertumbuhan terbesar terjadi di propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur masing-masing sebesar 11,36% dan 10,73. Berdasarkan hasil pemetaan tipologi daerah, dari 117 kabupaten dan kota, hanya 15% (atau 18 daerah) merupakan daerah yang cepat maju dan tumbuh. 7
Kesenjangan pertumbuhan antar daerah setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal menjadi lebih kecil, hal ini ditunjukkan dengan nilai deviasi standar yang turun menjadi 1,196%. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi lebih merata setelah masa desentralisasi fiskal. Pengujian hipotesis 1 memberikan secara empiris, secara positif dan signifikan terkait dengan pertumbuhan ekonomi pada masa desentralisasi. Temuan ini sejalan dengan penelitian Bohte dan Meier (2000), yang membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi pada pemerintahan terdesentralisasi lebih tinggi dan cepat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada pemerintah tersentralisasi. Selain itu, temuan ini mendukung penelitian Oates (1995), Lin dan Liu (2000) yang menemukan bahwa desentralisasi fiskal memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengujian hipotesis 2 ada bukti empiris, rata-rata pertumbuhan yang berbeda antar daerah dengan tipologi yang berbeda. Daerah yang siap (memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi) terbukti mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan daerah yang kurang siap menghadapi desentralisasi fiskal. Walaupun demikian, perbedaan pertumbuhan setelah pelaksanaan desentralisasi lebih kecil dibandingkan sebelum pelaksanaan desentralisasi. Alat analisis deskriptif, digunakan untuk memberikan gambaran awal pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita. Yang menarik dari penelitian Priyo Hari Adi adalah, kenaikan pertumbuhan ekonomi untuk daerah yang sebelumnya dianggap kurang siap (cepat maju tapi tertekan dan relatif tertinggal) ternyata lebih tinggi daripada kenaikan pertumbuhan daerah lainnya. Dapat diduga bahwa desentralisasi fiskal memberikan dorongan bagi daerah untuk lebih kreatif dan inovatif untuk mengelola sumber daya yang dimiliki. Penelitian lain dilakukan oleh Hadi Sasana (2009), yang menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi, kesenjangan antar daerah dan penyerapan tenaga kerja terhadap kesejahteraan pada 8
kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah, pada masa desentralisasi fiskal. Pada penelitian ini, desentralisasi fiskal diproksi dengan rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditambah bagi hasil pajak dan bukan pajak dengan realisasi pengeluaran total pemerintah kabupaten/kota. Data yang digunakan berupa data sekunder berupa time series dari tahun 2001 sampai dengan 2005, dan data cross section yang terdiri dari 35 kabupaten/ kota, sehingga merupakan pooled data. Teknik analisis yang digunakan adalah least square dengan menggunakan analisis jalur (path analysis), yang dikembangkan sebagai model untuk mempelajari pengaruh secara langsung maupun tidak langsung dari variabel eksogen terhadap variabel endogen. Hasil pembahasan dan analisis terhadap data yang ada, diperoleh temuan sebagai berikut : Pertama, pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi mempunyai koefisien jalur sebesar 0,268 dengan nilai probabilitas signifikansi (p) sebesar 0,000. Hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis satu, bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil estimasi ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi desentralisasi fiskal di kabupaten/kota akan semakin tinggi pula pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Kedua, pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan antar daerah memiliki koefisien jalur sebesar -0,494 dengan nilai probabilitas signifikansi sebesar 0,000. Hasil estimasi ini memberikan dukungan hipotesis dua, bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan terhadap kesenjangan ekonomi antar daerah di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi desentralisasi fiskal akan semakin mengurangi kesenjangan ekonomi antara daerah kabupaten/kota.
9
Ketiga, pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesenjangan antar daerah mempunyai koefisien jalur sebesar -0,164 dengan nilai probabilitas signifikansi sebesar 0,013. Hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis tiga, bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap kesenjangan antar daerah di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pertumbuhan ekonomi akan semakin kecil tingkat kesenjangan ekonomi antar daerah kabupaten/kota. Keempat, pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja memiliki koefisien jalur sebesar 0,154 dengan nilai probabilitas signifikansi (p) sebesar 0,042. Hasil estimasi ini memberikan dukungan hipotesis empat pada penelitian ini, bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pertumbuhan ekonomi akan semakin besar penyerapan tenaga kerja di kabupaten/kota. Kelima, pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesejahteraan mempunyai koefisien jalur sebesar 0,133 dengan nilai probabilitas signifikansi (p) sebesar 0,003. Hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis lima, bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pertumbuhan ekonomi akan semakin mendorong kesejahteraan masyarakat di daerah kabupaten/kota. Keenam, pengaruh kesenjangan antar daerah terhadap kesejahteraan mempunyai koefisien jalur sebesar -0,262 dengan nilai probabilitas signifikansi (p) sebesar 0,000. Hasil estimasi ini sesuai hipotesis enam, bahwa kesenjangan antar daerah berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin kecil tingkat kesenjangan antar daerah, akan semakin mendorong kesejahteraan masyarakat di daerah kabupaten/kota. 10
Ketujuh, pengaruh penyerapan tenaga kerja terhadap kesejahteraan mempunyai koefisien jalur yang bertanda positif sebesar 0,600 dengan nilai probabilitas signifikansi (p) sebesar 0,000. Hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis tujuh, bahwa meningkatnya penyerapan tenaga kerja berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar penyerapan tenaga kerja dalam berbagai lapangan usaha akan semakin mendorong kesejahteraan masyarkat di daerah kabupaten/kota. Lintantia Fajar Apriesa (2013) melakukan penelitian pada kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah, untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Sayangnya pada penelitian ini, tidak dicantumkan rentang waktu data yang digunakan. Apriesa meregresikan variabel independent berupa derajat desentralisasi fiskal, pajak daerah, populasi penduduk dan tenaga kerja dengan variabel dependent berupa pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan wilayah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ordinary Least Square (OLS) data panel. Perhitungan ketimpangan pendapatan diukur dengan menggunakan Gini Ratio. Hasil estimasi berkenaan dengan variabel dependent pertumbuhan ekonomi adalah sebagai berikut: pertama, derajat desentralisasi berpengaruh positif (0,103294) dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Setiap ada kenaikan dalam derajat desentralisasi yang berasal dari penerimaan daerah dan merupakan sumber pengeluaran daerah, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Kedua, pajak daerah memiliki pengaruh negatif (0,995645) terhadap pertumbuhan ekonomi, namun tidak signifikan. Hasil ini sesuai teori Peacock dan Wiseman bahwa pajak akan mengurangi pertumbuhan ekonomi, namun tidak secara signifikan. Ketiga, pertumbuhan populasi berpengaruh negatif (-0,481655) dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini menegaskan bahwa pertumbuhan populasi yang besar nantinya dapat mengurangi nilai 11
pertumbuhan ekonomi. Keempat, tenaga kerja memiliki pengaruh yang positif (2,96) dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Tenaga kerja yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan penduduk berumur 15 tahun ke atas menurut Kabupaten/Kota dan kegiatan selama seminggu yang lalu, bekerja untuk menghasilkan output barang dan jasa di Jawa Tengah. Satuan dalam variabel tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja. Hasil ini sesuai dengan model SollowSwan, dimana tenaga kerja akan mempengaruhi pembangunan ekonomi dengan meningkatkan output dan akan menghasilkan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hasil estimasi yang berkenaan dengan variabel dependent ketimpangan pendapatan, adalah sebagai berikut: pertama, pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh negatif (-0,0007888), namun tidak signifikan terhadap ketimpangan pendapatan. Hasil ini sesuai dengan teori Arthur Lewis yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses yang tidak menyeluruh dan tidak seimbang. Bahwa dalam proses pertumbuhan akan muncul dampak negatif, yakni ketimpangan pendapatan. Pada awal pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya terjadi pemerataan pembangunan di seluruh daerah, namun pada tahap tertentu, ketimpangan pendapatan yang kemudian menjadi ketimpangan wilayah, akan berangsur-angsur berkurang. Kedua, desentralisasi fiskal berpengaruh positif (0,001097), namun tidak signifikan terhadap ketimpangan pendapatan. Makna tidak signifikan mengandung arti bahwa desentralisasi fiskal kurang tepat dipakai untuk memprediksi ketimpangan pendapatan. Hasil estimasi ini bertolak belakang dengan penelitian Akai dan Sakata (2005) yang menyatakan bahwa desentralisasi fiskal merupakan alat yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi sektor publik dan untuk mengurangi kesenjangan antar daerah. Ketiga, pajak daerah berpengaruh negatif (-0,099895) dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan. Kenaikan didalam pajak daerah akan mengurangi ketimpangan pendapatan. Salah satu fungsi 12
dari pajak adalah mengurangi ketimpangan pendapatan, yaitu dengan cara mendistribusikan hasil pemungutan pajak dari anggota masyarakat berpenghasilan tinggi kepada masyarakat berpenghasilan rendah, dalam bentuk subsidi maupun pembangunan di sektor publik. Dalam hal inilah, pajak daerah dapat mengurangi ketimpangan pendapatan. Keempat, pertumbuhan populasi memiliki pengaruh negatif (0,001368), tetapi tidak signifikan terhadap ketimpangan pendapatan. Hasil ini menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi tidak berpengaruh pada ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. Kelima, tenaga kerja berpengaruh negatif (-3,13E-07) dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan. Peningkatan pada variabel tenaga kerja sebagai salah satu faktor penghasil output akan menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan. Jika kedua bagian hasil estimasi, yakni hasil estimasi yang berkenaan dengan variabel dependent pertumbuhan ekonomi dan hasil estimasi yang berkenaan dengan variabel dependent ketimpangan pendapatan, dapat disimpulkan: pertama, pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di provinsi Jawa Tengah terbukti secara signifikan dan positif. Kedua, pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah, memiliki pengaruh positif namun tidak signifikan. Siti Herni Rochana (2013) melakukan penelitian tentang kesenjangan ekonomi antar wilayah pada era otonomi daerah di Indonesia. Penelitiannya menggunakan data sekunder tahun 1995 (satu tahun pengamatan sebelum otonomi daerah) dan lima tahun pengamatan setelah otonomi daerah, yaitu tahun 2003, 2005, 2007, 2009 dan 2011). Rochana menggunakan Indeks Williamson untuk mengukur kesenjangan ekonomi antar daerah. Dari hasil penelitian Rochana, diperoleh bukti empiris bahwa derajat desentralisasi fiskal di Indonesia meningkat secara signifikan. Pada tahun 2001 menjadi 25,77% meningkat dari 17,28% pada tahun sebelumnya. Setelah tahun 2001, derajat desentralisasi fiskal meningkat 13
hingga diatas 30%. Pada tahun 2002, derajat desentralisasi fiskal sebesar 33,84% dan pada tahun 2007 mencapai 38,39%. Indeks Williamson penerimaan APBD per kapita antar kabupaten/ kota di Indonesia, yang dihitung berdasarkan total nilai APBD per kapita dan total jumlah penduduk per kabupaten/ kota, pada enam tahun pengamatan (1995, 2003, 2005, 2007, 2009 dan 2011) menunjukkan angka yang semakin tinggi. Hal ini menggambarkan betapa semakin tinggi keragaman anggaran antar kabupaten/ kota. Nilai Indeks Williamson yang cenderung terus meningkat, (1995 sebesar 0,4947; 2003 sebesar 0,6786; 2005 sebesar 0,7298; 2007 sebesar 0,7029; 2009 sebesar 0,7352 dan 2011 sebesar 0,7513) menunjukkan adanya disparitas anggaran yang semakin besar pada era otonomi daerah. Tingginya keragaman anggaran antar kabupaten/ kota yang cenderung semakin besar dapat terjadi karena pelaksanaan desentralisasi fiskal. Hasil perhitungan Indeks Williamson untuk PDRB per kapita kabupaten/ kota di Indonesia ternyata memiliki pola yang sama dengan Indeks Williamson untuk penerimaan APBD per kapita. Pada tahun 1995 sebesar 0,7210; 2003 sebesar 1,1613; 2005 sebesar 1,4501; 2007 sebesar 1,4118; 2009 sebesar 1,4195 dan tahun 2011 sebesar 1,4559. Kemiripan pola kedua hasil perhitungan tersebut (sama-sama mengalami peningkatan) mengindikasikan bahwa peningkatan kesenjangan antar wilayah berhubungan dengan peningkatan keragaman anggaran antar daerah. Fokus penelitian Ulfie Efriza (2014) adalah menganalisis kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur di era desentralisasi fiskal. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota yang ada di Jawa Timur dalam kurun waktu 10 tahun yakni periode 2001-2010. Teknik analisis data menggunakan Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil yang dilanjutkan dengan analisis regresi linear berganda. Dari perhitungan Indeks Williamson, diperoleh hasil yang menunjukkan angka diatas 1, hal ini menandakan bahwa adanya 14
ketidakmerataan distribusi pendapatan yang ada di Provinsi Jawa Timur. Ketidakmerataan ini disebabkan adanya kabupaten/ kota yang memiliki PDRB diatas rata-rata PDRB kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Timur, yakni Kota Kediri dan Kota Surabaya. Disamping Indeks Williamson, Efriza juga menggunakan Indeks Entropi Theil. Perhitungan didukung dengan penggunaan tipologi Klassen untuk mempermudah perhitungan. Indeks Entropi Theil dapat dibagi menjadi kesenjangan dalam grup (within) dan kesenjangan antar grup (between). Hasil dari perhitungan Indeks Entropi Theil ini juga menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan di Provinsi Jawa Timur tinggi. Hasil pengujian statistik Efriza terhadap variabel-variabel yang ada didalam model adalah sebagai berikut: pertama, bahwa tingkat buta huruf secara parsial berpengaruh positif (10,104) dan signifikan terhadap tingkat kesenjangan pendapatan. Tingkat melek huruf adalah satu indikator pendidikan. Jika tingkat pendidikan seseorang itu tinggi maka diharapkan semakin tinggi pula produktivitas orang tersebut. Tingkat produktivitas yang tinggi akan berdampak pada naiknya pendapatan yang diterima. Kedua, tingkat inflasi secara parsial berpengaruh positif (3,241) dan signifikan terhadap tingkat kesenjangan pendapatan. Hasil estimasi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Cysne, Rubens P. (2005) yang menyatakan bahwa inflasi memiliki pengaruh yang positif terhadap kesenjangan pendapatan. Ketiga, tingkat pertumbuhan ekonomi secara parsial berpengaruh negatif (-3,260) dan signifikan terhadap tingkat kesenjangan pendapatan. Ini berarti semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin rendah kesenjangan pendapatan. Keempat, tingkat pengangguran secara parsial berpengaruh positif (6,445) dan signifikan terhadap tingkat kesenjangan pendapatan. Hasil ini selaras dengan penelitian Cysne, Rubens Penha (2004) yang 15
menyatakan bahwa tingkat pengangguran memiliki hubungan yang positif terhadap tingkat kesenjangan pendapatan. Kelima, tingkat buta huruf secara parsial berpengaruh negatif (3,879) dan signifikan terhadap kesenjangan pendapatan. Hasil perhitungan ini sesuai dengan penelitian Alvan, Arzu yang menyatakan bahwa indeks pembangunan manusia berpengaruh negatif terhadap tingkat kesenjangan pendapatan. Semakin tinggi indeks pembangunan manusia suatu daerah, maka akan semakin rendah tingkat kesenjangan pendapatan daerah tersebut. Keenam, bahwa tingkat buta huruf, inflasi, pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan indeks pembangunan manusia secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat kesenjangan pendapatan antar kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Timur.
Definisi Operasional Desentralisasi Fiskal Menurut Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, asas penyelenggaran pemerintah daerah dibagi menjadi tiga, yaitu asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Konsekwensi yang muncul dari adanya pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumberdaya manusia. Desentralisasi fiskal merupakan sebuah proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, dengan tujuan mendukung fungsi dan tugas pemerintahan serta pelayanan publik sesuai dengan pelimpahan wewenang yang diberikan. Khusaini (2006) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya terpusat 16
(tersentralisasi), baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur dan dilakukan oleh pemerintah pusat. Menurut Bahl (2000), dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal terdapat prinsip yang harus diperhatikan, yakni ”money should follow function”. Hal ini memiliki makna bahwa setiap pelimpahan wewenang pemerintahan akan terdapat konsekwensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Jika kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah adalah turunan dari kebijakan otonomi daerah, yakni melalui pelimpahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, maka ketika semakin banyak wewenang yang dilimpahkan kepada daerah hal ini akan berdampak besarnya biaya yang dibutuhkan oleh daerah untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Terdapat tiga tujuan utama dalam pemberian otonomi kepada daerah melalui desentralisasi fiskal, yaitu (Barzelay, 1991): 1. Menciptakan efisiensi dan efektifitas dalam pengelolaan sumberdaya daerah. 2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat. 3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk turut serta dalam proses pembangunan. Oates (1993), menyatakan bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena pemerintah akan lebih efisien dalam produksi dan menyediakan barang publik. Efisiensi ini dapat terjadi karena pemerintah (lokal) akan mengambil keputusan sesuai dengan keanekaragaman kebutuhan lokal. Disamping itu, desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi yang pada akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pemerintah lokal (daerah) dalam menyediakan infrastruktur dan sektor sosial akan memacu pertumbuhan ekonomi. Pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan masyarakat lokal (daerah) merupakan keuntungan yang 17
dimiliki pemerintah lokal (daerah) dalam penyusunan anggaran belanja. Indikator empiris yang dipakai untuk mewakili konsep desentralisasi fiskal pada penelitian ini adalah Dana Perimbangan pada kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah. Penggunaan data Dana Perimbangan pada penelitian ini didasarkan pada UU No 25/ 1999 pasal 6 dan UU No. 33/2004 pasal 10, yakni Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Kuncoro, 2014). Data ini dihimpun dari “Statistik Keuangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota Di Jawa Tengah” periode waktu 2004-2013, yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah.
Indeks Pembangunan Manusia Dalam laman Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id), pembangunan manusia diartikan sebagai suatu proses memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki manusia. Diantara pilihan-pilihan tersebut, beberapa pilihan penting adalah berumur panjang dan sehat, memiliki ilmu pengetahuan dan memiliki akses terhadap sumberdaya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indeks yang mengukur capaian pembangunan manusia berdasarkan sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup, maka IPM disusun melalui tiga dimensi utama, yakni meliputi umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Ketiga dimensi ini memiliki pengertian yang luas, karena berhubungan dengan banyak faktor. Oleh karenanya untuk mengukur dimensi kesehatan digunakanlah angka harapan hidup waktu lahir. Dimensi pengetahuan diukur dengan indikator melek huruf dan rata-rata sekolah. Sedangkan untuk mengukur dimensi hidup layak dipakai indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang 18
dihitung dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak. Umur Panjang dan Sehat Angka Harapan Hidup Saat Lahir
Indeks Pembangunan Manusia
Pengetahuan Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah
Kehidupan yang Layak Pengeluaran Riil Per Kapita yang Disesuaikan
Gambar 1. Indeks Pembangunan Manusia (Sumber: www.bps.go.id)
Indikator pertama yang dipakai untuk menghitung dimensi umur panjang dan sehat adalah Angka Harapan Hidup (AHH) pada waktu lahir. Angka Harapan Hidup (AHH) pada waktu lahir merupakan rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh seseorang selama hidup. Indikator kedua yang dipakai untuk menghitung dimensi pengetahuan adalah Angka Melek Huruf (AMH), adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Rata-rata Lama Sekolah (RLS), menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal di sekolah. 19
Komponen ketiga yang dipakai untuk menghitung dimensi kehidupan yang layak adalah pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan. BPS dalam menghitung dimensi kehidupan yang layak menggunakan ratarata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula Atkinson. Terdapat 27 komoditi kebutuhan pokok yang dipakai sebagai dasar penghitungan daya beli (Purchasing Power Parity – PPP), yakni beras lokal, tepung terigu, singkong, tuna/ cakalang, teri, daging sapi, ayam, telur, susu kental manis, bayam, kacang panjang, kacang tanah, tempe, jeruk, pepaya, kelapa, gula kopi, garam, merica, mie instan, rokok kretek, listrik, air minum, bensin, minyak tanah dan sewa rumah. Penelitian ini menggunakan data IPM kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah periode waktu 2004-2013, yang diunduh melalui laman BPS Provinsi Jawa Tengah (www.jateng.bps.go.id).
Pertumbuhan Ekonomi Salah satu indikator tercapainya pembangunan ekonomi adalah adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tolok ukur keberhasilan ekonomi akan terlihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor (Kuncoro, 2004). Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai proses kenaikan output per kapita (Boediono, 1985). Menurut Sukirno (2002), tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai negara itu. Secara tradisional, pembangunan ekonomi ditujukan untuk peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (Saragih 2003, Kuncoro 2004). Pertumbuhan ekonomi dihitung dengan rumus: gt = ((PDB Riilt – PDB Riilt-1)/PDB Riilt-1) x 100%
20
Disamping penggunaan PDB Riil atau PDRB Riil untuk menghitung pertumbuhan ekonomi, terdapat indikator yang lain, yaitu pendapatan riil per kapita. Pendapatan riil per kapita dihitung dari PDB Riil atau PDRB Riil dibagi dengan jumlah penduduk. Pendapatan riil per kapita digunakan sebagai indikator untuk mendorong negara/ daerah agar berupaya meningkatkan tingkat pertumbuhan PDB Riil atau PDRB Riil melebihi tingkat pertumbuhan penduduk. Data Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan digunakan dalam penelitian ini untuk menghitung pertumbuhan ekonomi. Data ini diambil dari “Jawa Tengah Dalam Angka” periode waktu 2004-2013, yang diterbitkan oleh BPS Provinsi Jawa Tengah.
Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah Kesenjangan ekonomi merupakan salah satu hal yang umum ditemui jika dihubungkan dengan pembangunan ekonomi suatu daerah. Kesenjangan ini terjadi karena perbedaan faktor endowment (sumberdaya alam dan kondisi demografi) yang dimiliki oleh suatu daerah. Kondisi demografis ini meliputi tingkat pertumbuhan dan struktur penduduk, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, dan perbedaan kondisi ketenagakerjaan termasuk didalamnya adalah tingkat pengangguran (Sjafrizal, 2012). Lesmaan (2006) menambahkan bahwa tingkat penggangguran yang tinggi berhubungan dengan semakin tingginya kesenjangan antar daerah. Hal inilah yang menjadikan kemampuan suatu daerah untuk mendorong proses pembangunan menjadi berbeda pula. Pada pelaksanaan desentralisasi fiskal, konsekwensi yang muncul adalah adanya keberagaman anggaran antar daerah. Daerah dengan penerimaan besar tentunya akan memiliki pengeluaran yang besar pula, sebaliknya daerah dengan penerimaan kecil akan memiliki pengeluaran yang kecil. Perbedaan inilah yang mengakibatkan perbedaan pada output yang dihasilkan antara daerah yang kaya dengan daerah yang miskin. Pemberlakuan desentralisasi 21
menyebabkan daerah kaya akan memiliki sumber penerimaan pajak lebih banyak (Prud’homme, 1995). Kesenjangan ekonomi antar daerah dapat diukur dengan Indeks Williamson. Indeks ini dihitung berdasarkan total nilai PDRB Riil per kapita dan total jumlah penduduk per kabupaten/ kota. Nilai Indeks Williamson berkisar antara 0 dan 1. Semakin mendekati 0 berarti kesenjangan ekonomi antar daerah semakin kecil, sedangan jika mendekati 1 berarti kesenjangan ekonomi antar daerah semakin besar. Berikut ini rumus dari Indeks Williamson:
Keterangan: WI = Indeks Williamson yi = Pendapatan per kapita daerah dalam kesatuan wilayah Y = Pendapatan per kapita wilayah fi = Jumlah penduduk daerah dalam kesatuan wilayah N = Jumlah penduduk wilayah
Data Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan dan Jumlah Penduduk pada kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah, dipakai untuk menghitung Indeks Williamson. Data ini dihimpun dari “Jawa Tengah Dalam Angka” periode waktu 2004-2013, yang diterbitkan oleh BPS Provinsi Jawa Tengah.
Data Penelitian ini akan menggunakan data sekunder yang disediakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah. Data meliputi 35 kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah dan runtut waktu (time series) yang dipakai dalam penelitian ini, dimulai dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2013. 22
Teknik Analisis Untuk menganalisis pengaruh masing-masing variabel, teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Ordinary Least Square (OLS) Data Panel (Apriesa, 2013) dipadukan dengan Path Analysis (Sasana, 2009). Sedangkan untuk menghitung Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah digunakan Indeks Williamson (Rochana, 2013 dan Efriza, 2014). Pengolahan data panel pada penelitian ini menggunakan program STATA versi 11.
Path Analysis atau analisis jalur merupakan pengembangan model regresi. Analisis jalur digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas (Desentralisasi Fiskal) memiliki pengaruh terhadap variabel tak bebas (Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah), dan seberapa jauh variabel bebas tersebut mempengaruhi variabel tak bebas dalam penelitian ini (Ghozali, 2009). Model analisis jalur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Jalur Dekomposisi, yakni model yang menekankan pada pengaruh yang bersifat kausalitas antar variabel, baik pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung. Analisis dalam model ini dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Pengaruh Kausal Langsung (Direct Causal Effects), adalah pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas, yang terjadi tanpa melalui variabel tak bebas lainnya dalam model yang sedang dianalisis. 2. Pengaruh Kausal Tidak Langsung (Indirect Causal Effects), adalah pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas, yang terjadi melalui variabel tak bebas lainnya dalam model yang sedang dianalisis. 3. Pengaruh Kausal Total (Total Causal Effects), adalah jumlah dari pengaruh kausal langsung dan pengaruh kausal tidak langsung.
23
Model Penelitian Berdasarkan studi literatur, maka kerangka hubungan antar variabel yang akan diteliti digambarkan dalam model sebagai berikut:
Desentralisasi Fiskal
IPM
Pertumbuhan Ekonomi
Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah
Gambar 2. Model Penelitian
Pada model diatas terdapat, dapat dijelaskan hubungan antar variabel sebagai berikut: 1. Variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah. 2. Variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel IPM. 3. Variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel Pertumbuhan Ekonomi. 4. Variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel IPM dan variabel Pertumbuhan Ekonomi.
Hasil dan Pembahasan Langkah pertama yang dilakukan sebelum pengolahan data panel adalah pengujian stasioneritas masing-masing variabel. Dari hasil uji stasioneritas dengan menggunakan Levin-Lin-Chu unit-root test, dapat diketahui bahwa data panel untuk semua variabel pada 24
penelitian ini, dalam kondisi stasioner (lihat Lampiran). Langkah kedua, adalah menyiapkan data hat (^)/ fitted, yang akan dipakai untuk regresi antar variabel dalam model. Data yang diperlukan adalah data IPM dan Pertumbuhan Ekonomi (PE^). Langkah ketiga, setelah data hat (^)/ fitted tersedia, barulah proses regresi antar variabel dijalankan sesuai dengan model yang sudah ditentukan. Regresi data panel ini menggunakan program STATA versi 11. Hasil olahan data panel tersebut (dapat dilihat dalam lampiran) digambarkan dalam model berikut:
2.17e -06
7.21e -06
Desentralisasi Fiskal
-1.67e-06
IP M
0.300 2978
Pertumbuhan Ekonomi
-0.668811
Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah
-0.2401741
Gambar 3. Model Penelitian Dengan Koefisien Jalur
Pada model tersebut, variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh langsung, negatif dan signifikan pada tingkat kepercayaan satu persen, terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, dengan nilai koefisien jalur sebesar -1,67e-06. Hal ini menunjukkan bahwa ketika ada peningkatan pada variabel Desentralisasi Fiskal akan terjadi penurunan pada variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah. Variabel Desentralisasi Fiskal diukur dengan Dana Perimbangan yang diterima kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah, sedangkan variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah diukur dengan Indeks Williamson. Nilai koefisien jalur sebesar -1,67e-06 dimaknai, jika variabel Desentralisasi Fiskal meningkat 1% maka akan mengakibatkan penurunan sebesar 1,67e-06% pada variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah. 25
Variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung, negatif dan signifikan pada tingkat kepercayaan satu persen, terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel IPM, dengan nilai koefisien jalur sebesar -1,73e-06, yang diperoleh dari 7.21e-06 x -0.2401741. Hal ini berarti bahwa ketika ada peningkatan pada variabel Desentralisasi Fiskal akan terjadi pengurangan pada variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel IPM. Nilai koefisien jalur sebesar -1,73e-06 memberikan makna, bila variabel Desentralisasi Fiskal meningkat 1% maka akan mengakibatkan penurunan sebesar 1,73e-06% pada variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel IPM. Jika dibandingkan dengan hasil sebelumnya, yakni jalur Variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, maka jalur variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah melalui variabel IPM, memiliki nilai koefisien jalur lebih besar. Variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung, negatif dan signifikan pada tingkat kepercayaan satu persen, terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel Pertumbuhan Ekonomi, dengan nilai koefisien jalur sebesar -1,45e-06, diperoleh dari perkalian 2.17e-06 dengan -0.668811. Hal ini berarti bahwa ketika ada peningkatan pada variabel Desentralisasi Fiskal akan terjadi pengurangan pada variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel Pertumbuhan Ekonomi. Nilai koefisien jalur sebesar -1,45e-06 dimaknai, bila variabel Desentralisasi Fiskal meningkat 1% maka akan mengakibatkan penurunan sebesar 1,45e06% pada variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel Pertumbuhan Ekonomi. Memperhatikan jalur variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah melalui variabel IPM, dan jalur variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung terhadap Kesenjangan Ekonomi 26
Antar Daerah melalui variabel Pertumbuhan Ekonomi, maka jalur variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah melalui variabel IPM mempunyai nilai koefisien jalur lebih besar. Variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung, negatif dan signifikan pada tingkat kepercayaan satu persen, terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel IPM dan variabel Pertumbuhan Ekonomi, dengan nilai koefisien jalur sebesar -1,44e-06, yang diperoleh dari 7.21e-06 x 0.3002978 x 0.668811. Hal ini menunjukkan bahwa ketika ada peningkatan pada variabel Desentralisasi Fiskal akan terjadi pengurangan pada variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel IPM dan variabel Pertumbuhan Ekonomi. Nilai koefisien jalur sebesar -1,44e-06 memberikan makna, bila variabel Desentralisasi Fiskal meningkat 1% maka akan mengakibatkan penurunan sebesar 1,44e-06% pada variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel IPM dan variabel Pertumbuhan Ekonomi. Jika membandingkan jalur variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah melalui IPM, dengan jalur variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah melalui variabel IPM dan variabel Pertumbuhan Ekonomi, maka jalur variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah melalui variabel IPM memiliki nilai koefisien jalur lebih besar. Memperhatikan model hasil olahan data panel tersebut, maka jika dibandingkan dengan penelitian Sasana (2009) yang juga menggunakan Path Analysis, terdapat beberapa perbedaan, yakni: Pertama, variabel antara yang digunakan Sasana (2009) pada model penelitiannya adalah variabel Pertumbuhan Ekonomi, Tenaga Kerja Terserap, dan Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah. Sedangkan penelitian ini, dimasukkannya variabel IPM sebagai variabel antara (baru) selain variabel Pertumbuhan Ekonomi. 27
Kedua, pada penelitian Sasana (2009), variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, baik secara langsung dengan nilai koefisien jalur sebesar -0,494 maupun tidak langsung melalui variabel Pertumbuhan Ekonomi dengan koefisien jalur sebesar -0,043952 yang diperoleh dari 0,268 x -0,164. Sedangkan pada penelitian ini variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, baik langsung dengan koefisien jalur sebesar -1,67e-06 maupun tidak langsung melalui variabel IPM dengan koefisien jalur sebesar -1,73e-06. Pada penelitian Sasana (2009) tampak bahwa variabel Desentralisasi Fiskal akan efektif jika mempengaruhi langsung variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, sedangkan pada penelitian ini, variabel Desentralisasi Fiskal akan efektif mempengaruhi variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah jika melalui variabel IPM. Oleh karenanya, untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antar daerah, pemerintah kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah dapat menggunakan variabel IPM, sebagai variabel antara yang dapat meningkatkan efektifitas pengaruh tidak alngsung variabel Desentralisasi Fiskal terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah. Temuan lain dari penelitian ini adalah pengaruh variabel Desentralisasi Fiskal, baik langsung maupun tidak langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, dari semua jalur, memiliki pengaruh yang negatif. Temuan ini didukung hasil penelitian Akai dan Sakata (2005) dan Sasana (2005), yang menyatakan bahwa Desentralisasi Fiskal akan mengurangi Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah. Implikasi dari temuan empiris ini adalah, bahwa desentralisasi fiskal dapat dipakai sebagai alat dari kebijakan pemerintah untuk memperkecil kesenjangan ekonomi antar daerah, baik pengaruhnya secara langsung maupun tidak langsung. 28
Kesimpulan, Keterbatasan dan Saran Kesimpulan Dari hasil pengolahan data panel untuk variabel Desentralisasi Fiskal, IPM, Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, diperoleh temuan sebagai berikut: pertama, jika diban-dingkan koefisien jalur, baik langsung maupun tidak langsung dari variabel Desentralisasi Fiskal terhadap Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, maka temuan pada penelitian ini adalah bahwa variabel De-sentralisasi Fiskal memiliki koefisien pengaruh yang besar terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, jika melalui variabel IPM. Kedua, dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2014), Provinsi Jawa Tengah, pada pelaksanaan Desentralisasi Fiskal melalui variabel Pertumbuhan Ekonomi sudah dapat mengurangi Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah. Hal ini didukung teori Simon Kuznets, yang menyatakan bahwa pada awal pertumbuhan ekonomi akan diikuti kesenjangan ekonomi antar daerah yang semakin besar, namun dengan berjalannya waktu, pada satu titik pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi akan diikuti dengan penurunan kesenjangan ekonomi antar daerah (Kuncoro, 2014). Lebih lanjut, temuan ini juga didukung teori Arthur Lewis yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses yang tidak menyeluruh dan tidak seimbang. Bahwa dalam proses pertumbuhan akan muncul dampak negatif, yakni ketimpangan pendapatan. Pada awal pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya terjadi pemerataan pembangunan di seluruh daerah, namun pada tahap tertentu, ketimpangan pendapatan yang kemudian menjadi ketimpangan wilayah, akan berangsur-angsur berkurang (Apriesa, 2013).
Keterbatasan Walaupun penelitian ini berhasil menghadirkan temuan baru, namun harus diakui terdapat beberapa keterbatasan, pertama, Dana 29
Perimbangan terdiri dari beberapa item, yakni Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil non Pajak/ Sumber Daya Alam. Ketidaktersediaan data pada masing-masing item mengakibatkan data yang digunakan pada penelitian ini hanyalah Dana Perimbangan. Kedua, IPM terdiri dari tiga dimensi utama, yakni meliputi (1) umur panjang dan sehat, (2) pengetahuan serta (3) kehidupan yang layak. Keterbatasan waktu penelitian mengakibatkan peneliti tidak dapat menggunakan tiga dimensi tersebut dalam penelitian ini. Data tiga dimensi dalam IPM tersebut dapat diperoleh pada data IPM untuk masing-masing kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah. Ketiga, hasil analisis bisa saja berbeda ketika menggunakan model yang berbeda (misalnya, menggunakan model persamaan regresi berganda). Oleh karenanya peneliti mengakui jika hasil temuan pada penelitian ini bisa saja berbeda jika menggunakan model yang berbeda.
Saran Pertama, penelitian ini dapat dilanjutkan dengan data yang lebih lengkap, sehingga akan diketahui dengan lebih jelas, bagian mana dari Dana Perimbangan dan dimensi IPM apa yang lebih berpengaruh dalam model penelitian ini. Kedua, perlunya penggunaan berbagai model untuk mengkaji temuan maupun variabel-variabel yang diuji dalam penelitian ini dibutuhkan, agar temuan pada penelitian ini dapat menjadi masukan yang berharga pada pengambilan kebijakan pembangunan pada kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah. Ketiga, dari hasil temuan, peneliti merekomendasikan kepada kepala daerah, baik Gubernur Provinsi Jawa Tengah, maupun Bupati dan Walikota di kabupaten/ kota di provinsi Jawa Tengah, lebih memperhatikan peningkatan IPM, khususnya melalui Dana Alokasi Khusus untuk Bidang Pendidikan dan Kesehatan. Karena penelitian ini 30
membuktikan bahwa melalui variabel IPM, kesenjangan ekonomi antar daerah dapat berkurang. Sebagai contoh, bila variabel Desentralisasi Fiskal meningkat 1% maka akan mengakibatkan penurunan sebesar 1,73e-06% pada variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel IPM.
Referensi Adi, Priyo Hari. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali). Jurnal Interdisipliner Kritis UKSW. Apriesa, Lintantia Fajar dan Miyasto. 2013. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Dan Ketimpangan Pendapatan (Studi Kasus: Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah). Diponegoro Journal of Economics. Vol. 2, No. 1, Tahun 2013. Bahl, Roy W., 2000. China: Evaluating the Impact of Intergovernmental Fiscal Reform dalam Fiscal Decentralization in Developing Countries. Edited by Richard M. Bird and Francois Vaillancourt, United Kingdom: Cambridge University Press. Barzelay, M. 1991. Managing Local Development: Lesson from Spain. Policy Sciences. 24. 271-290. Dhyatmika, Ketut Wahyu dan Hastarini Dwi Atmanti. 2013. Analisis Ketimpangan Pembangunan Provinsi Banten Pasca Pemekaran. Diponegoro Journal of Economics. Vol. 2, No. 2, Tahun 2013, hal. 18. Efriza, Ulfie. 2014. Analisis Kesenjangan Pendapatan Antar Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Timur di Era Desentralisasi Fiskal (Jurnal Ilmiah). Universitas Brawijaya Malang. Ghozali, Imam. 2009. Ekonometrika: Teori, Konsep dan Aplikasi Dengan SPSS 17. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Kaloh, J. 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta: PT Rineka Cipta. Khusaini, Muhamad. 2006. Ekonomi Publik: Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah, Malang: BPFE UNBRAW. Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Penerbit Erlangga. Kuncoro, Mudrajat. 2014. Otonomi Daerah: Menuju Era Baru Pembangunan Daerah. Edisi 3. Penerbit Erlangga. Lessman, Christian. 2006. Fiscal Decentralization and Regional Disparity: A Panel Data Approach for OECD countries. Ifo Working Papers. Mankiw, N. Gregory. 2012. Macroeconomics. Worth Publishers. 8 edition.
31
Noegraha, Sinung Yoenanto dan Lana Soelistianingsih. 2007. Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/ Kota Di Propinsi Jawa Tengah Dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional. Parallel Session IVA: Urban & Regional. 13 Desember 2007. Wisma Makara, Kampus UI – Depok. Oates, Wallace E. 1993. Fiscal Decentralizationn and Economic Development. National Tax Journal. XLVI. 237-243. Prud’homme, Remy. 1995. The Danger of Decentralization. The World Bank Research Observer 10(2): 201-220. Rochana, Siti Herni. 2013. Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Pada Era Otonomi Daerah Di Indonesia. Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus. 2006. Ilmu Makroekonomi (Edisi Bahasa Indonesia). Salemba Empat. Jakarta. Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi. Penerbit Ghalia Indonesia. Sasana, Hadi. 2009. Analisis Dampak Pertumbuhan Ekonomi, Kesenjangan Antar Daerah dan tenaga Kerja Terserap Terhadap Kesejahteraan Di Kabupaten/ Kota Provinsi Jawa Tengah Dalam Era Desentralisasi Fiskal. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Maret 2009, Hal. 50-69. Sjafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Sukirno, Sadono. 2004. Makroekonomi Teori Pengantar. Rajawali Press. Jakarta. Sultan dan Jamzani Sodik. 2010. Analisis Ketimpangan Pendapatan Regional di DIY-Jawa Tengah Serta Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Periode 2000-2004. Buletin Ekonomi Vol. 8, No. 1, April 2010, Hal. 1-70. Wahyuni, I Gusti Ayu Putri, Made Sukarsa dan Nyoman Yuliarmi. 2014. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Investasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Pendapatan Kabupaten/ Kota di Provinsi Bali. E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana 3.8 (2014):458-477.
32