ANALISA PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH DI JAWA TIMUR
Disusun oleh: MOCHAMMAD ARDI WIBOWO 0210210043
SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi
KONSENTRASI PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN JURUSAN EKONOMIKA PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2006
RIWAYAT HIDUP Nama
: Mochammad Ardi Wibowo
Tempat/Tanggal Lahir
: Belitung, 11 Mei 1984
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Status
: Belum Nikah
Alamat
: Jl. Kebun Bunga, Komp. Villa Angkasa Permai Blok D.5 Km 9, Palembang, Sumatera Selatan
Telepon
: ( 0711) 416584 / (0341) 6300900/ 081334798989
Riwayat Pendidikan 1. Sekolah Dasar Negeri 9 Tanjung Pandan, Belitung, 1990-1993 2. Sekolah Dasar Negeri 113 Palembang, 1993-1996 3. Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Palembang, 1996-1999 4. Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Palembang, 1999-2002 5. Terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Ekonomika Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya Malang, 2002.
Pengalaman Organisasi Staf Ahli Humas Seminar Nasional Diskusi Panel Keprofesian (DPK) ke-8 se-Indonesia, 2002 Panitia Dalam Kegiatan Liga Mahasiswa Fakultas Ekonomi “Economics Sport League 2003/2004” Ketua Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ – Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan), Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya Malang, 2003-2004
Staf Ahli Supervisor Orientasi Pengenalan Kampus (OPJ) Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang, 2003-2005 Staf Ahli Acara EDF (Economics Development Fair) Tingkat SMU Se-Jawa Timur, 2004 Panitia dalam Economics Saturday Coffee Morning Seminar “Cluster UKM dan Pengembangan Daya Saing Daerah”, 2005 Staf Ahli Humas EDF (Economics Development Fair) Tingkat SMU Se-Jawa Timur dan Jawa Tengah, 2006
Pengalaman Lain-lain Kuliah Praktek Kerja Selama Satu Bulan di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A Wilayah VII Juanda, Surabaya, 2005 Has Completed Special Course in The English Language For The Intermediate Level in Shailendra Institution, Palembang, 1996-2000 Peserta Pelatihan Pasar Modal Simulasi Perdagangan Saham di Pojok BEJ (JSX Corner) Gedung PPA – Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang, 2006 Peserta Pelatihan SPSS di Gedung MIPA Prodi Matematika Statistika dan Ilmu Komputer Universitas Brawijaya Malang, 2006 Peserta Pelatihan Sertifikasi Pajak B (Pajak Penghasilan Badan dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Karyawan) di Laboratorium Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2006 Peserta Dalam Seminar Pelatihan Bisnis Skala Internasional, “Comparison Entrepreneurship Educational Outcome Between Indonesia With Other Countries in Asia-Pasific” di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya, 2006 Peserta Pelatihan ISO 9001:2000 (Quality Management System Training) di Kantor Crenova (Management Consultant), Hotel Pelangi Dua Malang, 2006
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirabbilalamin Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisa Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa Timur”. Dan tidak lupa shalawat serta salam dipanjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya Penyusunan skripsi ini ditujukan untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ekonomika Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang. Penyusunan skripsi ini didasari oleh berbagai fenomena yang muncul dan terbatasnya teori mengenai hubungan desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu topik mengenai desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi masih hangat dan terus digali dan diuji pada berbagai penelitian, untuk mencari hasil yang mutlak antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi. Karena dampak yang diberikan oleh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi masih kabur, apakah dengan pengimplementasian desentralisasi fiskal akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah. Banyak pakar ekonomi meyakini bahwa desentralisasi fiskal dapat mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah melalui berbagai macam cara, salah satunya adalah dengan efisiensi pelayanan publik. Impelementasi otonomi daerah di Indonesia telah dimulai sejak 1 Januari 2001, dan salah satu desentralisasi yang paling banyak disoroti dan paling berpengaruh
i
terhadap perkembangan daerah adalah desentralisasi fiskal. Oleh karenanya penulis mencoba untuk mengkaji hubungan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia khususnya di Propinsi Jawa Timur. Setelah mengkaji beberapa teori dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi, maka penulis dapat menyusun model yang dianggap dapat menjelaskan kondisi desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Melalui penelitian ini akhirnya ditemukan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Yang berarti dengan adanya implementasi desentralisasi fiskal memang akan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Dengan selesainya penyusunan skripsi ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih serta penghargaan yang tak terhingga kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Bambang Subroto, SE., MM., Ak., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang. 2. Bapak Dr. Maryunani, SE., M.Si., selaku Ketua Jurusan dan seluruh staf administrasi Jurusan Ekonomika Pembangunan. 3. Ibu Dra. Marlina Ekawaty, M.Si., selaku Sekretaris Jurusan (Sekjur) Ekonomika Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang. 4. Bapak Dr. Moh. Khusaini, SE., M.Si., MA., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan, bimbingan, dan waktu kepada penulis, dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
ii
5. Bapak Bahtiar Fitanto, SE., MT., dan Bapak Shofwan, SE., M.Si., sebagai dosen penguji. 6. Bapak Devanto Sastra Pratomo, SE., M.Si., selaku dosen pembimbing informal yang juga telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berupa saran-saran dan masukan yang sangat membangun. 7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi khususnya Jurusan Ekonomika Pembangunan yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingan kepada penulis selama menyelesaikan studi di Jurusan Ekonomika Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. 8. Almarhum Ayahandaku Akhmad Zuhdi, SP. dan Ibundaku Arlina Zuhdi tercinta, serta adik-adikku (Dwi Jayanthi dan Dina Selastriana) yang kusayangi, terimakasih banyak atas doa restu dan dukungannya yang tak kenal lelah dan tak ternilai harganya bagi penulis. 9. Bapak Rofiq, Bapak Dim, dan Mbak Fitri yang telah membantu kelancaran kegiatan akademik selama ini. 10. Teman-teman Jurusan Ekonomika Pembangunan dan semua pihak yang telah membantu hingga selesainya penyusunan skripsi ini khususnya Biro Keuangan Pemerintah Propinsi Jawa Timur.. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga karya ini bermanfaat bagi penulis maupun para pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................................
i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR............................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................
x
ABTRAKSI.............................................................................................................. xii BAB I
: PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 13 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 13 1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 13 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 15 2.1. Desentralisasi Fiskal....................................................................... 15 2.2. Indikator Desentralisasi Fiskal ...................................................... 16 2.2.1. Penerimaan Derah ............................................................. 17 2.2.2. Pengeluaran Daerah .......................................................... 24 2.3. Pertumbuhan Ekonomi .................................................................. 27 2.3.1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi ........................................ 27 2.3.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi ............................................. 31 2.4. Variabel-Variabel Lain yang Ikut Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi ........................................................................................ 32 2.4.1. Pajak Daerah ..................................................................... 32 2.4.2. Investasi ............................................................................. 33 2.4.3. Pengangguran..................................................................... 34 2.5. Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah ............ 35
iv
2.6. Penelitian Terdahulu ..................................................................... 38 2.7. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 43 2.8. Hipotesis ........................................................................................ 44 BAB III : METODE PENELITIAN ..................................................................... 46 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. 46 3.2. Jenis Penelitian .............................................................................. 46 3.3. Jenis Data dan Sumber Data ......................................................... 47 3.4. Metode Pengumpulan Data ............................................................ 48 3.5. Definisi Operasional Variabel........................................................ 48 3.6. Metode Analisa ............................................................................. 52 3.6.1. Teknik Regressi Berganda ................................................. 52 3.6.2. Asumsi Klasik .................................................................... 52 3.7. Uji Statistik ................................................................................... 57 3.7.1. Koefisien Determinasi (R2)................................................ 57 3.7.2. Uji F (Overall Significance Test) ...................................... 58 3.7.3. Uji t (Partial Individual Test) ........................................... 59 BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 61 4.1. Gambaran Umum Lingkup Penelitian ............................................. 61 4.1.1. Kondisi Geografis ................................................................ 61 4.1.2. Demografi ............................................................................ 65 4.2. Analisa Model Regresi .................................................................. 66 4.2.1. Analisa Model Regresi Dari Sisi Penerimaan Daerah ....... 67 4.2.1.1. Hasil Estimasi Model ......................................... 68 4.2.1.2. Hasil Uji Asumsi Klasik .................................... 69 4.2.1.2.1. Uji Multikolinearitas ........................ 69 4.2.1.2.2. Uji Autokorelasi ................................ 70 4.2.1.2.3. Uji Heteroskedastisitas ..................... 71 4.2.1.2.4. Uji Normalitas .................................. 72 4.2.1.3. Hasil Uji Statisitik ............................................. 72 4.2.1.3.1. Koefisien Determinasi ...................... 72
v
4.2.1.3.2. Uji F ................................................. 73 4.2.1.3.3. Uji t .................................................. 73 4.2.2. Analisa Model Regresi Dari Sisi Pengeluaran Daerah ........ 75 4.2.2.1. Hasil Estimasi Model ......................................... 76 4.2.2.2. Hasil Uji Asumsi Klasik .................................... 77 4.2.2.2.1. Uji Multikolinearitas ........................ 77 4.2.2.2.2. Uji Autokorelasi ................................ 78 4.2.2.2.3. Uji Heteroskedastisitas ..................... 79 4.2.2.2.4. Uji Normalitas .................................. 80 4.2.2.3. Hasil Uji Statisitik ............................................. 80 4.2.2.3.1. Koefisien Determinasi ...................... 80 4.2.2.3.2. Uji F ................................................. 81 4.2.2.3.3. Uji t .................................................. 81 4.3. Pembahasan Hasil Analisa ............................................................ 83 4.3.1. Hasil Analisa Desentralisasi Fiskal Dari Sisi Penerimaan Daerah ................................................................................ 83 4.3.2. Hasil Analisa Desentralisasi Fiskal Dari Sisi Pengeluaran Daerah ................................................................................ 93 4.4. Gambaran Desentralisasi Fiskal Secara Umum di Jawa Timur ..... 108 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 112 5.1. Kesimpulan ................................................................................... 112 5.2. Saran .............................................................................................. 115 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 117 LAMPIRAN ............................................................................................................ 121
vi
DARTAR TABEL
Tabel 1.1
Tabel 1.2
Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun 2000 – 2004 .............................................................................
7
APBD Propinsi dan APBD Kabupaten/Kota di Jawa Timur Serta Peranannya Terhadap PDRB Jawa Timur, Tahun 2000-2004 ...............................................................................
9
Tabel 4.1.
Data Kependudukan di Jawa Timur Tahun 2001-2004 ................ 65
Tabel 4.2.
Hasil Estimasi Desentralisasi Penerimaan....................................... 68
Tabel 4.3.
Hasil VIF Test..................................................................................... 69
Tabel 4.4.
Hasil LM Test .................................................................................... 70
Tabel 4.5.
Hasil White Test ................................................................................ 71
Tabel 4.6.
Hasil Uji t ............................................................................................ 73
Tabel 4.7.
Hasil Estimasi Desentralisasi Pengeluaran...................................... 76
Tabel 4.8.
Hasil VIF Test..................................................................................... 77
Tabel 4.9.
Hasil LM Test ..................................................................................... 78
Tabel 4.10. Hasil White Test ................................................................................. 79 Tabel 4.11. Hasil Uji t ........................................................................................... 81 Tabel 4.12. Poporsi PAD Total Kab/Kota Terhadap Total Penerimaan Daerah .......................................................................... 85 Tabel 4.13. Poporsi DAU/DAK Total Kab/Kota Terhadap Total Penerimaan Daerah .......................................................................... 86 Tabel 4.14. Proporsi Pengeluaran Rutin Terhadap Total Pengeluaran Kab/Kota di Jawa Timur .................................................................. 97 Tabel 4.15. Proporsi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Total Pengeluaran Kab/Kota di Jawa Timur .................................................................. 98
vii
Tabel 4.16. Proporsi Pengeluaran Tak Terduga Terhadap Pengeluaran Rutin ........................................................................ ..100
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1.
Perbandingan Porsi Pengeluaran Daerah Yang Merupakan Kewenangan Daerah (Discretion) dan Diluar Kewenangan Daerah (Non Discretion) ............................................................. .. 6
Gambar 4.1.
Garis Regresi Pajak Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa Timur ................................................................. 90
Gambar 4.2.
Garis Regresi Desentralisasi Pengeluaran Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa Timur ....................... 96
Gambar 4.3.
Garis Regresi Pajak Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa Timur ............................................................... 105
ix
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 : Hasil Estimasi Desentralisasi Fiskal Dari Sisi Penerimaan Daerah Dengan Regresi Linear Berganda, Menggunakan Software EViews 3.0 ................................................................. 122 LAMPIRAN 2 : Hasil Uji VIF Pada Model Dari Sisi Penerimaan Daerah Dengan Menggunakan Software SPSS 11.5 .......................... 123 LAMPIRAN 3 : Hasil LM Test Pada Model Dari Sisi Penerimaan Daerah Dengan Menggunakan Software EViews 3.0 ......................... 124 LAMPIRAN 4 : Hasil White Test Pada Model Dari Sisi Penerimaan Daerah Dengan Menggunakan Software EViews 3.0 ......................... 125 LAMPIRAN 5 : Hasil Estimasi Desentralisasi Fiskal Dari Sisi Pengeluaran Daerah Dengan Regresi Linear Berganda, Menggunakan Software EViews 3.0 ................................................................. 126 LAMPIRAN 6 : Hasil Uji VIF Pada Model Dari Sisi Penerimaan Daerah Dengan Menggunakan Software SPSS 11.5 .......................... 127 LAMPIRAN 7 : Hasil LM Test Pada Model Dari Sisi Pengeluaran Daerah Dengan Menggunakan Software EViews 3.0 ......................... 128 LAMPIRAN 8 : Hasil White Test Pada Model Dari Sisi Pengeluaran Daerah Dengan Menggunakan Software EViews 3.0 ......................... 129 LAMPIRAN 9 : Data PDRB 37 Kab/Kota di Jawa Timur Periode 2001-2004 (Miliar Rupiah) ........................................................................ 130 LAMPIRAN 10 : Data Penerimaan Daerah 37 Kab/Kota di Jawa Timur 2001-2004 .................................................................................. 131 LAMPIRAN 11 : Data DAU, DAK 37 Kab/Kota di Jawa Timur Periode 2001-2004 (Trilyun Rupiah) .................................................... 132 LAMPIRAN 12 : Data Penerimaan Daerah-(DAU+DAK) 37 Kab/Kota di Jawa Timur Terhadap Penerimaan Nasional Periode 2001-2004 (Rasio) ....................................................................................... 133
x
LAMPIRAN 13 : Data Pengeluaran Daerah 37 Kab/Kota di Jawa Timur Terhadap Pengeluaran Nasional Periode 2001-2004 (Rasio) ..................................................................... 134 LAMPIRAN 14 : Data Pajak Daerah 37 Kab/Kota di Jawa Timar Periode 2001-2004 (Rasio) ...................................................................... 135 LAMPIRAN 15 : Data (PMA+PMDN) 37 Kota/Kab di Jawa Timur Periode 2001-2004 (Trilyun Rupiah) .................................................... 136 LAMPIRAN 16 : Data Tingkat Pengangguran 37 Kab/Kota di Jawa Timur Periode 2001-2004 (persen) ..................................................... 137
xi
ABSTRAKSI Analisa Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa Timur Pembimbing: Dr. Moh. Khusaini, SE., M.Si., MA. Isu mengenai desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah topik yang masih terus dibicarakan dan diperdebatkan oleh para pakar ekonomi. Dan juga terus diuji dalam berbagai penelitian dengan berbagai studi kasus dengan tujuan mencari hasil yang mutlak dari hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi. Karena desentralisasi fiskal dipandang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah melalui efisiensi pelayanan publik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur pada periode 2001-2004, apakah desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang positif, negatif atau malah tidak berpengaruh sama sekali terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Dalam upaya mencapai tujuan penelitian digunakan model regresi berganda dengan menganalisa 37 kota/kab di Jawa Timur selama periode 2001-2004. Pada penelitian ini desentralisasi fiskal diukur dari dua sisi yaitu sisi penerimaan (revenue side) dan sisi pengeluaran (expenditure side) yang diyakini merupakan pengukur desentralisasi fiskal yang baik. Hasil uji asumsi klasik menunjukkan bahwa tidak terjadi multikoliniearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas dalam model regresi yang digunakan. Selain itu juga uji F menunjukkan bahwa variabel desentralisasi fiskal (desentralisasi penerimaan dan desentralisasi pengeluaran), pajak daerah, investasi dan pengangguran secara serentak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Penulis mendapatkan hasil bahwa penerimaan daerah relatif terhadap penerimaan nasional tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Hal ini disebabkan oleh penggalian potensi-potensi penerimaan di Jawa Timur belum optimal dan juga beberapa sumber penerimaan yang potensial masih dikuasai oleh pusat/propinsi. Sedangkan pengeluaran daerah relatif terhadap pengeluaran nasional mempunyai pengaruh yang positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Yang berarti wewenang-wewenang pengeluaran sebagian besar telah diserahkan pemerintah pusat kepada daerah. Program-program pembangunan yang sebelumnya ditangani oleh pemerintah pusat sekarang banyak yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan secara umum efisiensi pelayanan publik telah berjalan dengan baik di Jawa Timur. Kata Kunci: Desentralisasi Fiskal, Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Penerimaan Daerah, Pengeluaran Daerah.
xii
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu di Negara kita telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan. Aspek pemerintahan yang dimaksud disini adalah aspek hubungan pemerintah pusat dengan daerah. Pada aspek ini isu yang mencuat adalah adanya tuntutan otonomi yang lebih luas dan nyata yang harus diberikan kepada daerah. Oleh karenanya sejak per 1 Januari 2001 Bangsa dan Negara Indonesia memulai babak baru penyelenggaraan pemerintahan, dimana otonomi daerah dilaksanakan di seluruh Dati II (kota dan kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336. Hampir seluruh kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah. Menurut United Nation Development Program (UNDP) bentuk-bentuk desentralisasi dalam era otonomi daerah adalah sebagai berikut; desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal, desentralisasi politik, dan desentralisasi pelayanan. Salah satu desentralisasi yang paling banyak disoroti dan paling berpengaruh terhadap perkembangan daerah adalah desentralisasi fiskal yang merupakan bagian penting dalam implementasi otonomi daerah. Kebijakan Fiskal pada dasarnya alat atau instrumen pemerintah yang sangat penting peranannya dalam sistem perekonomian. Instrumen fiskal itu berguna untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,
2
memperluas basis kegiatan ekonomi berbagai sektor, dan secara khusus memperluas lapangan usaha untuk menurunkan tingkat pengangguran. Dengan kebijakan fiskal, pemerintah dapat memanfaatkan sumber daya ekonomi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi yang dikehendakinya. Kebijakan fiskal juga sekaligus sebagai kesempatan emas untuk memberikan sinyal, baik bagi pelaku ekonomi, dunia usaha, investor, maupun yang lainnya. Selain itu juga isu desentralisasi yang dianggap sebagai jalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi telah menarik perhatian dari banyak ahli, antara lain dikemukakan oleh Tiebout, Oates, Tresch, Breton, Weingast, dan sebagaimana dikutip oleh Litvack et al dalam Sidik (2002) yang mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena : 1. Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya; 2. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat; 3. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Suatu analogi argumen lainnya yang dikenal sebagai "The Tiebout Model" yang terkenal dengan ungkapannya "Love it or leave it" yang dijabarkan oleh Sidik (2002). Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyakarat lokal dengan PEMDA-nya. Masyarakat akan memilih untuk
3
tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari PEMDA-nya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya (Hyman, dalam Sidik, 2002). Begitu juga, desentralisasi justru akan merugikan pemerintah jika kebijakan desentralisasai diimplementasikan dengan cara tergesa-gesa tanpa diimbangi kesiapan institusi baik dari aspek administrasi maupun birokrasi aparatur pemerintah. Selama beberapa dekade banyak Negara Berkembang dan Negara Maju mencoba untuk menerapkan desentralisasi fiskal dengan tujuan untuk mengatasi ketidakefektifan dan ketidakefisienan pemerintahan, ketidakstabilan makroekonomi, serta meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Sebagian ahli menyatakan bahwa sasaran utama desentralisasi fiskal adalah dapat membantu perkembangan pertumbuhan ekonomi serta merupakan sebuah solusi sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya dan sebagian ahli pula menyatakan bahwa tak satupun manfaat yang dapat diperoleh oleh suatu negara yang preferensi penduduknya tidak dapat diakomodasi oleh anggaran pemerintahan, dan sistem kelembagaan pemerintah daerah yang jelek. Sebenarnya landasan teoritis yang menyokong mengenai peranan antara desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi sampai saat ini terus dikembangkan dan permasalahan ini tetap menjadi topik perdebatan yang hangat diantara para ahli ekonomi. Bagaimanakah sebenarnya desentralisasi fiskal tersebut
4
mempengaruhi perrtumbuhan ekonomi, apakah secara langsung atau tidak langsung, hal inilah yang terus diuji secara teoritik maupun empirik oleh para pakar ekonomi. Adanya argumentasi yang menyatakan efek desentralisasi fiskal
terhadap
pertumbuhan ekonomi melalui efisiensi ekonomi, distribusi sumber daya regional dan stabilitas makroekonomi-pun tetap dipertanyakan karena terdapat banyak literatur empirik yang memberikan hasil yang berbeda didalam penelitiannya (Vazquez dan McNab, 2001). Faisal (2002) meneliti tentang pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat propinsi yang diaplikasikan di Indonesia dan menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Yang mana menurut Faisal efek negatif yang ditimbulkan ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti penggunaan dana oleh pemerintah lokal yang tidak bertanggungjawab, rendahnya skill para aparat pemerintahan, dan juga akuntabilitas politik yang labil serta sebagai tambahan bahwa kebijakan desentralisai fiskal dipandang terlalu tergesa-gesa diambil tanpa birokrasi khusus dan persiapan yang matang. Selain itu Zhang dan Zou (1998) juga meneliti tentang pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat propinsi di Cina dan menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh negatif desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengaruh negatif ini dianggap bahwa memang lebih baik
5
masalah kebijakan fiskal bangsa dengan eksternalitas yang luas ditangani langsung oleh pemerintah pusat. Disisi lain Philips dan Woller (1997) dalam penelitiannya gagal mendapatkan hasil yang diinginkan karena dalam analisa data semua variabel yang digunakan sebagai proxy desentralisasi fiskal tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yang artinya secara statistik desentralisasi fiskal tidak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Vazquez dan McNab (2001) melakukan kajian literatur dan berargumen bahwa dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dapat melalui efisiensi ekonomi. Sedangkan dalam penelitiannya Vazquez dan McNab (2005) menemukan bahwa desentralisasi fiskal muncul dalam mengurangi tingkat inflasi dan tidak ditemukannya pengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi dan mempengaruhi secara tidak langsung melalui stabilitas makroekonomi yang sebelumnya belum teridentifikasi dalam literatur yang ada. Di Indonesia sendiri pada era penerapan desentralisasi fiskal perubahan pengelolaan keuangan oleh daerah dinilai cukup fleksibel, dimana berarti terjadi diskresi (kebijakan dan kewenangan) penuh oleh daerah di Indonesia dalam pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan. Misalkan perbandingan pada tahun 1995/1996
sampai
dengan
tahun
2001,
gambaran
APBD
Provinsi
dan
Kabupaten/Kota, kontribusi sumber-sumber penerimaan daerah yang secara bebas ditentukan sepenuhnya oleh daerah (PAD Ditambah Bagi Hasil Pajak dan Bukan
6
Pajak) hanya sekitar 20%, sedangkan proporsi ini sejak diberlakukan UU Nomor 25 Tahun 1999 meningkat secara signifikan menjadi sekitar 96,7%. Seperti yang dapat dilihat pada gambar 1.1. di halaman selanjutnya : Gambar 1.1. Perbandingan Porsi Pengeluaran Daerah Yang Merupakan Kewenangan Daerah (Discretion) dan Diluar Kewenangan Daerah (Non Discretion)
Non Discretion : Pendanaan Dari Bantuan/Sumbangan dan DAK (2001) Discretion : Pendanaan Dari PAD, BHPBP dan DAU (2001) Sumber : Departemen Keuangan RI *) : Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal
Pada gambar 1.1. dapat juga kita katakan bahwa setelah diterapkannya desentralisasi fiskal di Indonesia ada peningkatan penerimaan dari sumber-sumber yang ada didaerah daripada tahun-tahun sebelumnya. Yang kemudian penerimaan tadi digunakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran daerah dalam
upaya
meningkatkan kemajuan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di daerah. Lazimnya untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah digunakan suatu indikator yang disebut dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Menurut definisi, PDRB adalah total nilai produk barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah (regional) tertentu dalam waktu tertentu tanpa melihat faktor kepemilikan.
7
Sedangkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah diperoleh dari kenaikan PDRB Atas Dasar Harga Konstan yang mencerminkan kenaikan produksi barang dan jasa di suatu wilayah. Dalam hal ini kondisi pertumbuhan ekonomi Jawa Timur dapat diproksikan oleh PDRB Jawa Timur atas dasar harga konstan selama kurun waktu lima tahun terakhir masing-masing Rp. 56,857 miliar (2000), Rp. 58,750 miliar (2001), Rp. 60,754 miliar (2002), Rp. 63,252 miliar (2003), dan Rp. 66,690 miliar (2004). Dari angka-angka PDRB tersebut di atas, nampak PDRB Jawa Timur tiap tahun terus mengalami peningkatan, sejalan dengan proses membaiknya kondisi ekonomi. Seperti yang ditampilkan pada tabel 1.1 dibawah ini : Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun 2000 – 2004 Keterangan
2000
2001
2002
2003*)
2004
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
169.681
195.763
226.957
254.381
288.949
56.857
58.750
60.754
63.252
66.690
3,26
3,33
3,41
4,11
5,43
PDRB ADHB (Miliar Rupiah) PDRB ADHK‘93 (Miliar Rupiah) Pertumbuhan Ekonomi (%) Sumber: BPS Propinsi Jawa Timur Keterangan: * ) Angka Diperbaiki
Menurut Gubernur Bank BI, Burhannudin Abdullah, bahwa berdasarkan hasil kajian ekonomi regional yang dibuat oleh BI, Jawa Timur termasuk wilayah yang pertumbuhan ekonominya cepat tumbuh dan cepat maju, seperti halnya sektor perdagangan dan industri yang menjadi motor penggerak utama pertumbuhan itu. Dari PDRB atas dasar harga konstan 1993, diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada periode 2000-2004 adalah berturut-turut sebesar 3,26 persen (2000);
8
3,33 persen (2001); 3,41 persen (2002); 4,11 persen (2003), dan 5,43 persen (2004). Kebijakan ekonomi yang diterapkan Pemerintah Jawa Timur pada tahun 2000–2003, yang antara lain membuka peluang investasi sektor swasta yang sebesar-besarnya, ternyata sampai tahun 2004 belum memberikan dampak nyata seperti yang diharapkan pada penerapan desentralisasi fiskal. Hal ini dikarenakan masih dihantui adanya ketidak-pastian oleh keadaan politik dan keamanan yang belum stabil. Namun demikian secara sektoral di tahun 2004 seluruh sektor ekonomi Jawa Timur sudah mengalami pertumbuhan positif. Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada tahun 2004 nampak berjalan sedikit lebih cepat yaitu mencapai 5,43 persen, pada hal tahun 2003 baru mencapai 4,11 persen dan 3,41 persen pada tahun 2002. Pertumbuhan pada tahun 2004 ini lebih banyak diakibatkan oleh meningkatnya hampir semua sektor ekonomi, terutama oleh sektor perdagangan, sektor industri, sektor pengangkutan, dan sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan yang masing-masing tumbuh sebesar 8,27 persen, 4,32 persen, 6,36 persen, dan 7,32 persen. Demikian halnya dengan sektor listrik, gas dan air bersih, meskipun peranannya tidak bergitu besar pada tahun 2004 juga mampu tumbuh sebesar 12,62 persen. Sedangkan sektor lainnya rata-rata mengalami pertumbuhan sekitar 1-4 persen. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kinerja sektor ekonomi di Jawa Timur. Dengan demikian cukup beralasan jika kebijakan fiskal dewasa ini tetap lebih diarahkan pada sektor riil. Kebijakan desentralisasi fiskal berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaraan daerah sehingga kemudian disusun dalam APBD yang memuat seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, baik rutin maupun pembangunan. Semua
9
penerimaan dan pengeluaran dalam APBD akan terurai dalam berbagai pos anggaran dan pada umumnya realisasi penerimaan dan pengeluaran baik dalam APBD Pemerintah Propinsi Jawa Timur maupun APBD Pemerintah Kabupaten/Kota se Jawa Timur adalah seimbang. Tabel 1. 2. APBD Propinsi dan APBD Kabupaten/Kota di Jawa Timur Serta Peranannya Terhadap PDRB Jawa Timur, Tahun 2000-2004 Keterangan
2000
2001
2002
2003*)
2004
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
254.380.758
288.949.198
PDRB ADHB (Juta Rupiah)
169.680.628 195.762.784 226.957.307
APBD Propinsi Jatim (Juta Rp)
1.296.269
2.645.297
3.534.739
3.976.399
3.925.798
Peranan APBD (Prop & Kab/Kota) Terhadap PDRB Jatim ADHB (%)
3,20
5,51
7,30
7,41
6,08
APBD Kab/Kota (Juta Rupiah)
4.126.301
8.147.420
13.257.730
14.873.224
13.652.385
Peranan APBD Propinsi Terhadap PDRB Jatim ADHB (%)
0,76
1,35
1,55
1,56
1,36
Sumber :1. BPS Propinsi Jawa Timur. 2. Biro Keuangan Pemerintah Propinsi Jawa Timur Ket : *) Angka diperbaiki
Bila APBD merupakan besaran anggaran penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, maka PDRB merupakan nilai barang dan jasa yang diproduksi
10
oleh penduduk di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu (biasanya satu tahun). Jadi bila dibandingkan, maka besaran APBD hanya merupakan bagian kecil dari PDRB. Namun demikian, peran APBD dalam perekonomian tidak dilihat dari besar kecilnya nominal, tetapi dari nilai kebijakan yang dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi (PDRB). Untuk mengetahui seberapa besar peranan APBD terhadap PDRB, maka pada tabel 1.2. dapat diperhatikan hasil perbandingan antara APBD (Propinsi dan Kabupaten/Kota se Jawa Timur) terhadap PDRB Propinsi Jawa Timur Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB), dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004. Dari tahun ke tahun peranan APBD Propinsi dan APBD Kabupaten/Kota Jawa Timur terhadap PDRB menunjukkan peningkatan, seperti yang terlihat pada tabel 4. Tahun 2000 sebesar 3,20 persen, kemudian pada tahun 2001 meningkat menjadi 5,61 persen, dan pada tahun 2002 naik menjadi 7,30 persen. Selanjutnya pada tahun 2003 peranan APBD meningkat menjadi 7,41 persen, sedangkan pada tahun 2004 menjadi 6,08 persen. Apabila diperhatikan peranan APBD Propinsi terhadap PDRB (ADHB) dalam periode yang sama, terlihat adanya kecenderungan yang sama yaitu mengalami peningkatan setiap tahunnya, meskipun peningkatan tahun 2004 masih lebih kecil dibanding tahun 2003. Dalam tiga tahun terakhir besarnya peranan APBD mencapai 1,55 persen, 1,56 persen dan 1,36 persen. Meskipun beberapa data menggambarkan adanya kenaikan pertumbuhan sebagai akibat dari realisasi desentralisasi fiskal, tetapi sebenarnya kenaikan yang terjadi itu dapat terhitung kecil karena pada sebagian daerah di Indonesia masih sangat bergantung pada bantuan (grant) dari pemerintah pusat hal ini dapat dilihat pada tingginya proporsi DAU/DAK yang diterima oleh daerah dibandingkan
11
penerimaan yang berasal dari daerah itu sendiri. Sedangkan pada sisi lain, desentralisasi fiskal menimbulkan distorsi ekonomi pada beberapa daerah, karena salah satu cara untuk meningkatkan PAD daerah adalah dengan ekstensifikasi pajak, tetapi adanya kebijakan ini malah membuat investasi di daerah tersebut turun, sebab dengan pajak yang tinggi dan beraneka ragam membuat investor malas untuk menginvestasikan modalnya di daerah tersebut. Kondisi para birokrat daerah makin menjadi-jadi dengan adanya pelimpahan wewenang dari pusat membuat tingkat korupsi dana dari pusat semakin meningkat, sebagaimana yang telah diuraikan oleh Vazquez
and
McNab
(2001)
dalam
working
paper-nya
bahwa
dengan
pengimplementasian desentralisasi kemungkinan korupsi secara umum terjadi pada tingkat lokal karena ada kesempatan yang lebih besar dan dalil untuk kepentingan daerah, pegawai pemerintahan lokal memiliki kekuasaan yang lebih besar dan sedikitnya rintangan yang ada yang dikarenakan adanya perbedaan yang kabur antara politikus dan birokrat. Penelitian ini dianggap penting karena Indonesia telah melaksanakan desentralisasi sejak Tahun 1974 berdasarkan UU No 5 Th 1974, yang kemudian karena banyaknya tekanan dari masyarakat serta pemerintah daerah untuk lebih mempercepat proses desentralisasi di Indonesia khususnya didaerah Tingkat II, maka munculah UU yang baru yaitu UU No 22 Th 99 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Th 99 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, yang menjadi landasan yang kuat dalam pelaksanaan desentralisasi1.
1
UU No 22 Th 1999 dan UU No 25 Th 1999 yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, tetapi kemudian di era pemerintahan Presiden
12
Berangkat dari paparan fakta yang ada dan teori yang dikemukakan oleh Breton, Vazquez dan McNab, Zhang dan Zou, Litvack, Ehdaie dalam Edmiston (2000) yang mengemukakan bahwa desentralisasi dipandang sebagai suatu mekanisme dalam suatu kompetisi pemerintahan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi disintegrasi antar wilayah, dan beberapa keuntungan lainnya maka penelitian ini mengangkat permasalahan dengan judul ”Analisa Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa Timur” (Studi Kasus 37 Kota/Kabupaten Periode 2001-2004). Dengan adanya penelitian ini diharapkan hasilnya dapat ikut andil dalam menjawab
permasalahan
yang
diperdebatkan
mengenai
hubungan
antara
desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi daerah. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah daerah Jawa Timur dalam mengambil kebijakan yang akan datang. Jika memang ditemukan dampak yang positif maka desentralisasi di Jawa Timur telah berada pada jalur yang tepat, dan jika sebaliknya maka akan dapat memberikan gambaran bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki kinerjanya agar desentralisasi dapat berjalan sebagai mana mestinya di kemudian hari.
Megawati, kedua UU tersebut direvisi karena dianggap terlalu pro daerah/ terlalu banyak penyerahan kewenangan oleh pusat ke daerah, yang mana akhirnya melahirkan UU No 32 Th 2004 dan UU No 34 Th 2004 (Refly, Jawa Pos, 2005). Berdasarkan data dan periode waktu yang dipakai dalam penelitian ini yaitu Tahun 2001-2004 maka penulis masih tetap mengacu kepada UU No 25 Th 99 khususnya, karena keterbatasan data yang ada.
13
1.2. Permasalahan Sesuai dengan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Propinsi Jawa Timur pada periode 2001-2004 ?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Propinsi Jawa Timur pada periode 2001-2004.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi Penulis Menambah pengetahuan bagi penulis, dan sekaligus mempraktekkan ilmu yang sudah didapat. 2. Bagi Institusi Pemda Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menetukan kebijakan fiskal di masa mendatang serta untuk memperbaiki kinerjanya agar desentralisasi dapat berjalan sebagai mana mestinya di kemudian hari.
14
3. Bagi mahasiswa dan masyarakat Sebagai referensi dalam pembuatan karya tulis dan pengembangan penelitian selanjutnya serta sebagai upaya mendorong mahasiswa peka dan kritis terhadap permasalahan yang terjadi seperti ini dan juga ingin menumbuhkan rasa peduli bagi masyarakat tentang adanya masalah yang disampaikan dari penelitian ini. 4. Bagi Pengembangan Ilmu Sebagai bahan referensi dalam proses pengembangan ilmu, terutama dalam hal ini adalah untuk pengembangan ilmu ekonomi publik.
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Desentralisasi Fiskal Pelaksanaan desentralisasi kewenangan disertai pula dengan desentralisasi pada seluruh aspek pemerintahan termasuk dilakukannya desentralisasi di bidang fiskal. Desentralisasi fiskal dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah 2. Undang-undang tersebut bertujuan untuk mengatasi kesenjangan vertikal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta kesenjangan horisontal antar Pemerintah Daerah agar terjadi pemerataan (equality) dalam kemampuan fiskal. Kesenjangan vertikal dan horisontal tersebut terjadi sebagai kesenjangan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan adanya perbedaan potensi antar daerah. Desentralisasi fiskal merupakan salah satu kebijakan publik yang proses formulasi kebijakannya dilasanakan pada masa transisi dari pemerintahan yang otoriter (era orde baru) menuju pemerintahan yang demokratis (reformasi). Brodjonegoro dan Vazquez (2002), mengemukakan bahwa keberhasilan transisi yang terjadi di Indonesia tidak lain adalah hasil dari pengimpelementasian desentralisasi fiskal dengan berdasarkan atas UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999. 2
Pada era Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, UU No 22/99 dan UU No 25/99, direvisi dan diganti dengan UU No 32/2004 dan UU No 33/2004. Adanya revisi ini dikarenakan masih banyaknya ketimpangan dan dirasa UU yang sebelumnya terlalu pro daerah/memberikan otonomi yang berlebihan, sehingga munculah UU yang baru dengan tujuan untuk menyegarkan kembali implementasi otonomi daerah. Tapi banyak kalangan menilai era desentralisasi dan otonomi daerah telah “berakhir” dengan disahkannya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Refly, Jawa Pos, 2005).
16
Desentralisasi fiskal berisikan penyerahan kewenangan untuk mengatur dan mengelola sumber-sumber penerimaan dan pengeluaran (keuangan daerah) oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Daerah Tingkat II. Dengan mendekatkan pemerintah kepada masyarakat diharapkan desentralisasi fiskal dapat mendorong efisiensi sektor publik, yang sesuai dengan akuntabilitas dan transparansi dalam pemberian pelayanan serta kebijakan yang dibuat (De Mello, 2000). Manfaat potensial lainnya dengan adanya pengembangan tanggung jawab fiskal kepada daerah adalah untuk meningkatkan efisiensi pelayanan publik dan untuk mengurangi biaya informasi dan transaksi yang diasosiasikan dengan ketentuan barang dan jasa publik (World Bank, 1997). Meskipun kita tahu akan keuntungan-keuntungan dari desentralisasi fiskal, tapi jika tidak disertai dengan peningkatan keahlian aparatur pemerintahan yang sesuai bidangnya dan tingkat akuntabilitas yang lebih baik, maka desentralisasi fiskal juga dapat menyebabkan bencana lokal seperti pemerintahan yang buruk, korupsi, dan pelayanan publik yang buruk.
2.2. Indikator Desentralisasi Fiskal Disini penulis akan mengukur desentralisasi fiskal berdasarkan indikator yang diharapkan dapat menggambarkan desentralisasi fiskal pada wilayah tersebut. Indikator yang digunakan sebagai pengukur adalah rasio penerimaan daerah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan rasio pengeluaran daerah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Indikator ini merupakan indikator yang digunakan oleh para peneliti sebelumnya seperti Faisal (2002), Khusaini (2006),
17
Zhang dan Zou (1998), Philips dan Woller (1997), Vazquez and McNab (2001) dan lainnya. Dari variabel-variabel yang digunakan oleh peneliti terdahulu dan dasar teoritis yang ada maka penulis dapat menyimpulkan bahwa indikator desentralisasi fiskal dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. 2.2.1. Penerimaan Derah Penerapan desentralisasi sebagai wujud otonomi daerah juga menimbulkan permasalahan dalam pembagian keuangan antara pusat dan daerah, dimana pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing tingkat pemerintahan memerlukan dukungan pendanaan. Perimbangan keuangan pusat dan daerah yang ideal adalah apabila setiap tingkat pemerintahan dapat independen di bidang keuangan untuk membiayai pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing (Sidik, 2000). Hal ini berarti subsidi atau bantuan dari pemerintah pusat yang selama ini sebagai sumber utama dalam APBD, mulai kurang kontribusinya dan yang menjadi sumber utamanya adalah pendapatan dari daerah sendiri. Menurut Koswara dalam Aswarodi (2001) ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerahnya. Artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, sedangkan ketergantungan pada bantuan pemerintah pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan pembagian keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar sistem pemerintahan Negara. Adapun fungsi dari penerimaan daerah ini adalah untuk mengetahui besarnya anggaran yang tersedia untuk menutupi kebutuhan belanja daerah, yaitu dengan cara memperhatikan besarnya total penerimaan dalam satu tahun
18
anggaran yang diterima daerah, kemudian dibandingkan dengan perkiraaan kebutuhan pembiayaan dalam tahun yang bersangkutan, sehhingga nanti akan terlihat apakah anggaran yang tersedia dapat menutupi anggaran belanja daerah atau tidak. Jika ternyata rencana kebutuhan belanja lebih besar dari rencana penerimaan daerah, maka daerah harus berupaya untuk menutupi defisit yang terjadi. Dengan kata lain melihat kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut. Pada sisi penerimaan, daerah dapat melakukan dua hal: pertama, memobilisasi sumber-sumber penerimaan konvensional melalui intensifikasi dan ekstensifikasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta optimalisasi pinjaman daerah dan laba BUMD. Kedua, daerah dapat melakukan optimalisasi sumber-sumber penerimaan baru yaitu, penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan. Sesuai dengan ketentuan UU No 25 Tahun 1999 sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah : 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari ; Hasil Pajak Daerah. Hasil Retribusi Daerah. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang disahkan. Lain-lain PAD yang sah.
19
2. Dana Perimbangan yang terdiri dari ; Bagian Daerah dari perimbangan;
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Sumber Daya Alam (SDA).
Dana Alokasi Umum (DAU). Dana Alokasi khusus (DAK). 3. Pinjaman Daerah. 4. Lain-lain penerimaan yang sah. Yang penjelasannya adalah sebagai berikut : A. Pendapatan Asli Daerah. Untuk meningkatkan kemandirian daerah, pemerintah daerah haruslah berupaya secara terus-menerus menggali dan meningkatkan sumber keuangannya sendiri. Salah satunya adalah dengan upaya peningkatan penerimaan asli daerah (PAD), baik dengan meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang baru sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta memperhatikan kondisi dan potensi masyarakat. Menurut Samudra dalam Suprayogi (2004), pendapatan adalah keseluruhan yang diterima, baik dalam bentuk uang/yang diperoleh dari barang-barang yang bergerak/dari kegiatan perdagangan/pekerjan keilmuan/pekerjaan lain, baik yang dikerjakan sekali-sekali/secara kontinyu. ”Asli” berarti sumbernya adalah dari daerah itu sendiri. Sedangkan daerah berdasarkan UU No 22 Tahun 1999 yang merupakan daerah otonom adalah Kesatuan
20
masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prkarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan dari pengertian-pengertian dan penggolongan sumber-sumber PAD diatas bahwa Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah dan perundang-undangan yang berlaku untuk memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri. Adapun sumber-sumber pendapatan asli daerah adalah dijelaskan sebagai berikut : A.1. Hasil Pajak Daerah Menurut Soemahamidjaja dalam Tjahyono (1999), Pajak adalah iuran wajib berupa uang/barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh daerah seperti Propinsi, Kota Praja dan Kabupaten (Sumitro, dalam Prasetyaningrum, 2003). Secara umum dapat dikatakan bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Pajak Daerah digolongkan kedalam dua kategori menurut tingkat pemerintahan daerah, yaitu : Pajak Propinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Untuk penjelasan mengenai Pajak Daerah akan dibahas kembali pada bagian berikutnya.
21
A.2. Retribusi Daerah. Menurut Tjiptoharyanto dalam Siswaji (2004), retribusi adalah suatu pembayaran langsung oleh mereka yang menggunakan servis/pelayanan yang diberikan oleh PEMDA dan biasanya digunakan untuk menutupi seluruh atau sebagian biaya yang dikeluarkan untuk pemberian pelayanan tersebut. Retribusi daerah diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai akibat adanya kontra prestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah atau pembayaran tersebut didasarkan atas prestasi atau pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah yang langsung dinikmati secara perorangan oleh warna masyarakat dan pelaksanaannya didasarkan atas peraturan yang berlaku. A.3. Hasil Perusahaan Milik Daerah, hasil pengelolaan kekayan daerah yang dipisahkan. Pemerintah daerah juga dapat melakukan upaya peningkatan PAD melalui optimalisasi peran BUMD. Peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah diharapkan dapat berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi daerah. Dari sisi eksternal, daerah dituntut untuk menarik investasi asing agar bersama-sama swasta domestik mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan multiplier effect yang besar. Sedangkan jenis penerimaan yang termasuk hasil pengelolaaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan yaitu seluruh uang dan barang yang pengurusannya tidak termasuk dalam APBD namun dikelola oleh perusahaan daerah. Menurut UU No 25 Tahun 1999, antara lain adalah bagian laba, dividen, dan penjualan saham milik daerah.
22
A.4. Lain-Lain PAD Yang Sah Berdasarkan UU No 25 Tahun 1999, penerimaan dari lain-lain PAD yang sah antara lain adalah hasil penjualan aset tetap daerah dan jasa Giro, penerimaan berkas lelang proyek, penerimaan sebagian pendayagunaan BPD, dan peneriman dari persewaan rumah dinas. B. Dana Perimbangan. Dana perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik (PP No. 104 Tahun 2000). Henley dalam Mardiasmo (2002) mengidentifikasikan beberapa tujuan pemerintah dalam memberikan dana bantuan dalam bentuk grant kepada pemerintah daerah yaitu, untuk membantu terciptanya keadilan antar wilayah, untuk meningkatkan akuntabilitas, untuk menciptakan sistem pajak yang progresif, untuk meningkatkan keberterimaan (acceptability) pajak daerah, pemerintah pusat mensubsidi pemerintah daerah dengan tujuan mengurangi jumlah pajak total. Adapun pos-pos dana perimbangan tersebut terdiri dari : B.1. Bagian Daerah dari Penerimaan Bagi Hasil Pajak. Bagi hasil pajak dalam bentuk bagi hasil penerimaan (revenue sharing) merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi ketimpangan vertikal antara pusat dan daerah yang terdiri dari bagi hasil pajak dan bukan pajak (sumber daya
23
alam). Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil. B.2. Dana Alokasi Umum (DAU) Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Selanjutnya formula DAU yaitu berasal dari 25% penerimaan dalam negeri dalam APBN (Penerimaan dari minyak dan gas, penerimaan dari pajak serta penerimaan dari Non migas dan Non pajak), dengan pembagian 10% untuk propinsi dan 90% untuk kabupaten/kota. B.3. Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu (khusus). Kebutuhan khusus tersebut dikategorikan sebagai berikut : Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum karena sifatnya tidak sama dengan kebutuhan daerah lain. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional termasuk proyek-proyek yang dibiayai donor dan proyek-proyek kemanusiaan untuk kebutuhan dasar manusia. C. Pinjaman Daerah Pinjaman sektor publik dibutuhkan untuk membiayai berbagai kebutuhan dan penyediaan fasilitas yang diperlukan oleh sektor publik (masyarakat). Pinjaman dipergunakan untuk menutupi kekurangan peneriman yang berasal dari pajak dan
24
retribusi serta bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kegiatan-kegiatan yang dibiayai melalui pinjaman daerah pada dasarnya merupakan investasi di bidang publik berupa perbaikan dan penambahan infrastruktur sosial ekonomi. Semakin baik infrastruktur ekonomi yang disediakan pemerintah, diharapkan akan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan asli daerah. Dasar pemberian pinjaman adalah diukur dari kemampuan daerah itu sendiri dalam menghimpun penerimaan selama periode tertentu yang didasarkan atas jumlah penerimaan asli daerah D. Lain-Lain Penerimaan Yang Sah Lain-lain peneriman yang sah bersal dari hibah, dana darurat, dan penerimaan lain sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Prosedur dan tata cara penyaluran dana darurat sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi APBN (Yani, dalam Prasetyaningrum, 2003). Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa sumber pendapatan daerah yang sah bersumber dari dinas-dinas daerah serta pendapatan lainnya yang diperoleh secara sah oleh PEMDA. Penerimaan dinas-dinas daerah merupakan penerimaan yang berasal dari usaha dinas daerah yang bersangkutan bukan merupakan penerimaan pajak, retribusi ataupun laba perusahaan milik daerah. 2.2.2. Pengeluaran Daerah Selain penerimaan daerah indikator desentralisasi fiskal yang digunakan oleh penulis adalah pengeluaran daerah. Yang mana berdasarkan penelitian Due dalam Miftah (2000), perbandingan antara pengeluaran-pengeluaran pemerintah daerah terhadap pendapatan bruto cenderung berbanding linear dan positif, maksudnya adalah jika pengeluaran pemerintah daerah naik maka pendapatan bruto juga akan
25
ikut naik bersamaan dengan pembangunan ekonomi suatu daerah. Dan juga beberapa studi mengenai hubungan penerimaan daerah dan pengeluaran daerah serta dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, didapat bahwa variabel pengeluaran pemerintah daerah memberikan pengaruh yang positif. Pengeluaran pemerintah adalah konsumsi barang dan jasa yang dilakukan pemerintah serta pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah untuk keperluan administrasi pemerintahan dan kegiatan-kegiatan pembangunan (Sukirno, 1994). Secara lebih rinci pengeluaran pemerintah digunakan untuk membayar gaji pegawai pemerintah, membiayai sistem pendidikan dan kesehatan masyarakat, membiayai perbelanjaan untuk angkatan bersenjata dan membiayai berbagai jenis infrastruktur dalam proses pembangunan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan pengeluaran pemerintah daerah dan pendapatan peneriman daerah ditentukan sesuai dengan ciri-ciri daerah tersebut dan menyesuaikan perubahan-perubahan dalam perekonomian, dan pada waktu yang sama kebijaksanaan-kebijaksanaan ini dapat mempengaruhi laju dan jalannya pembangunan di daerah tersebut. Karenanya penilaian kebijaksanaan pembangunan harus memperhatikan hubungan timbal balik antara kebijaksanaan tersebut dengan laju pertumbuhan ekonomi. Semua pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang dan jasa merupakan bagian dari pendapatan daerah. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah dimasukkan kedalam pengeluaran bukan sebagi investasi. Misalnya investasi publik untuk jalan raya, rumah sakit, sekolah dan lainnya.
26
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pengeluran daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang meliputi belanja rutin (operasional), belanja pembangunan (belanja modal) serta pengeluaran tak tersangka. A. Belanja Rutin/Operasional Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak menambah aset atau kekayaan bagi daerah. Belanja rutin terdiri atas : 1. Belanja Administrasi umum, yang terdiri dari: belanja pegawai, belanja barang, belanja perjalanan dinas dan belanja pemeliharaan. 2. Belanja operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana. B. Belanja Investasi/Pembangunan Belanja investasi/modal adalah pegeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah, dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya. Belanja investasi terdiri dari : 1. Belanja publik adalah merupakan belanja modal (capital expenditure) yang berupa investasi fisik yang mempunyai nilai ekonomis lebih dari satu tahun dan mengakibatkan terjadinya penambahan aset daerah serta manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat. 2. Belanja aparatur adalah belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Belanja aparatur menyebabkan terjadinya penambahan aktiva tetap dan aktiva
27
tidak lancar lainnya. Belanja aparatur diperkirakan akan memberikan manfaat pada periode berjalan dan periode akan datang. C. Pengeluaran Tidak Tersangka Pengeluaran tidak tersangka adalah pengeluaran yang disediakan untuk pembiayaan : 1. Kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, kejadian yang dapat membahayakan daerah. 2. Tagihan tahun lalu yang belum diselesaikan dan atau tidak tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan. 3. Pengambilan penerimaan yang bukan haknya atau penerimaan yang dibebaskan (dibatalkan) dan atau kelebihan penerimaan. Setelah diuraikan masing-masing komponen pengeluaran daerah, maka dapat dikatakan bahwa pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah membawa dampak besar terhadap kegiatan ekonomi dan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Yang perlu ditekankan bahwa besar kecilnya pengeluaran daerah tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi perekonomian saja tapi juga oleh beberapa faktor yang ikut mempengaruhi.
2.3. Pertumbuhan Ekonomi 2.3.1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai suatu ungkapan umum yang menggambarkan tingkat perkembangan suatu Negara yang diukur melalui pertambahan dari pendapatan riil. ”Economic Development is Growth Plus Change”
28
yang berarti pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan-perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi (Sukirno, 1994). Rostow dalam Suyono (2004), dalam The Stage of Economic Growth menjabarkan teorinya yang terkenal tentang tahap-tahap pertumbuhan ekonomi dari: tahap masyarakat tradisional, tahap transisional, tahap tinggal landas, tahap pemantapan (pendewasaan), dan tahap konsumsi massa tinggi. Pertumbuhan ekonomi dirumuskan sebagai proses kenaikan outpur perkapita dalam jangka panjang. Tekanannya terletak pada 3 aspek yaitu : proses, output perkapita, dan jangka panjang. Penekanan pada proses karena memiliki unsur dinamis, perubahan/perkembangan. Aspek jangka panjang maksudnya bahwa kenaikan output perkapita yang hanya terjadi selama satu atau dua tahun saja yang kemudian diikuti dengan penurunan output perkapita tidak bisa dikatakan sebagai pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai pertumbuhan ekonomi yaitu : ”Perubahan jangka panjang secara perlahan dan mantap yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan penduduk.” Schumpeter dalam Jhingan (2000). ”Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan dalam tingkat pendapatan di NegaraNegara maju.” Madison dalam Jhingan (2000). ”Pertumbuhan ekonomi (economic growth) adalah berhubungan dengan kenaikan output.” Dalam artian barang dan jasa untuk tiap-tiap anggota masyarakat. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa terdapat pertumbuhan ekonomi apabila terdapat lebih banyak output. Lewis dalam Siagian (1982).
29
”Suatu kenaikan terus-menerus dalam produk/kapita atau per pekerja, seringkali dibarengi dengan kenaikan jumlah penduduk dan biasanya dengan perubahan struktural” (Kuznets dalam Jhingan, 2000). Definisi ini mempunyai 3 (tiga) komponen: (1) pertumbuhan ekonomi suatu Negara terlihat dari meningkatnya secara terus-menerus persediaan barang; (2) teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam menyediakan berbagai barang untuk penduduk; dan (3) penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara tepat (Jhingan, 2000). Sedangkan dalam kuliahnya pada peringatan Nobel (1971), Kuznets dalam Jhingan (2000) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai, ”Kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu Negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya.” kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan oleh atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi institusional dan ideologis terhadap berbagai tuntutan yang ada. Samuelson (1986) menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi berarti pengembangan potensi output nasional suatu Negara atau potensi riel GNPnya dengan kata lain pengembangan kekuatan untuk berproduksi. Menururt Arsyad (2004) pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP/GNP tanpa memandang kenaikan itu lebih besar/kecil dari tingkat
30
pertumbuhan penduduk atau disertai dengan terjadi/tidaknya perubahan struktur ekonomi. Dari beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan kemampuan suatu perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa pada suatu Negara pada waktu tertentu. Petumbuhan ekonomi menunjukkan besaran kuantitatif dan biasanya diukur dengan menggunakan data GDP (Gross Domestic Product). GDP adalah total nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh faktor produksi di dalam batas teritori suatu Negara (perekonomian) dalam satu Tahun. Ada 3 faktor/komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu (Todaro, 1998) : 1. Akumulasi modal, yaitu meliputi semua bentuk/jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal/sumber daya manusia; 2. Pertambahan
penduduk,
yang
beberapa
Tahun
selanjutnya
akan
memperbanyak angkatan kerja; 3. Kemajuan teknologi. Sedangkan menurut Mankiw (2000), GDP dapat dipandang dalam dua cara. Yang pertama, GDP sebagai total income tiap orang dalam perekonomian. Yang kedua GDP sebagai total expenditure terhadap prosuksi barang dan jasa. Sehingga dapat disimpulkan jika GDP akan menggambarkan performa perekonomian suatu Negara. Penelitian Zhang dan Zou (1998) menggunakan tingkat pertumbuhan pendapatan propinsi pada harga konstan sebagai proxy pertumbuhan ekonomi. Philips dan Woller (1997) juga menggunakan tingkat pertumbuhan GDP sebagai proxy pertumbuhan ekonomi.
31
2.3.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi Model Pertumbuhan Harrod-Domar Untuk menggantikan barang-barang modal dalam setiap perekonomian dianjurkan untuk senantiasa menabung dari
sebagian tertentu pendapatan
nasionalnya. Namun untuk memacu pertumbuhan ekonomi dibutuhkan investasi baru yang merupakan tambahan netto terhadap cadangan atau stok modal (capital stock). Diasumsikan ada hubungan ekonomi langsung antara besarnya stok modal secara keseluruhan (K) dengan total GNP (Y). Setiap tambahan netto terhadap stok modal dalam bentuk investasi baru akan menghasilkan kenaikan arus output nasional atau GNP (Todaro, 1998). Y s = Y k
Persamaan diatas merupakan versi dari persamaan Harrod-Domar, secara jelas menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan GNP (ΔY/Y) ditentukan secara lebih spesifik, persamaan ini menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan pendapatan nasional akan secara langsung atau ”positif” berbanding lurus dengan rasio tabungan (semakin banyak GNP yang ditabung dan diinvestasikan, maka pada akhirnya nanti akan lebih besar lagi pertumbuhan GNP yang dihasilkan) dan secara ”negatif” atau perbandingan terbalik antara rasio modal-output dari suatu perekonomian (semakin besar rasio modal-output nasional atau k, maka tingkat pertumbuhan GNP akan semakin rendah). Logika ekonomi yang terkandung dari persamaan diatas ialah agar dapat tumbuh
dengan
cepat,
maka
setiap
perkonomian
harus
menabung
dan
32
menginvestasikan
sebanyak
mungkin
dari
GNP-nya.
Akan
tetapi
tingkat
pertumbuhan yang maksimal dapat dicapai pada setiap tingkat tabungan dan investasi juga tergantung pada tingkat produktivitas investasi tersebut.
2.4. Variabel-Variabel Lain yang Ikut Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, dalam analisa penulis juga menggunakan variabel-variabel lain yang secara teoritis juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah, yang tujuannya adalah untuk membatasi pertumbuhan ekonomi daerah agar bahasan yang diteliti tidak melebar dan fokus kepada desentralisasi fiskal, akan tetapi tidak semua variabel akan digunakan dalam analisa masalah. Variabel-variabel tersebut adalah : 2.4.1. Pajak Daerah Seperti halnya pada bagiannya sebelumnya telah kita bahas mengenai definisi pajak daerah. Sebagai penyegaran kembali dapat dikatakan bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Sebenarnya secara maknawi, tidak ada perbedaan pengertian antara pajak pusat dan pajak daerah. Perbedaan hanya terletak pada kewenangan pengelolaannya. Pajak pusat dikelola oleh pemerintah pusat dan pajak daerah dikelola oleh pemerintah daerah. Pajak daerah di Indonesia dapat digolongkan berdasarkan tingkatan pemerintah daerah, yaitu Pajak Daerah Tingkat Propinsi Dan Pajak Daerah Tingkat Kabupaten/Kota
33
Pada penelitian ini pajak daerah didefinisikan sebagai rasio penerimaan daerah terhadap PDRB. Variabel ini mengukur penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah daerah untuk membiayai pengeluaran daerah. Karena pajak merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang paling potensial untuk membiayai pembangunan daerah maka diharapkan pajak daerah memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Tetapi penerimaan pajak daerah juga dapat menimbulkan distorsi ekonomi. Oleh karenanya dalam kasus ini pajak daerah diharapkan memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi (Faisal, 2002). 2.4.2. Investasi ”Investment is the commitment of funds to one/more assets that will be held over some future time periods” (Jones, dalam Widiarto, 2004). Yang mana maksudnya investasi adalah sekumpulan dana yang dialokasikan untuk pembentukan aset pada periode yang akan datang. Seringkali investasi disebut sebagai penanaman modal atau pembentukan modal, yang dapat diartikan sebagai pengeluaran/pembelanjaan modal perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapanperlengkapan produksi untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian (Sukirno, 1994). Berdasarkan Prenhall (2001) investasi didefinisikan sebagai sesuatu yang digunakan untuk menciptakan masa depan. Pembelian bangunan dan peralatan baru dan tambahan persediaan oleh perusahaan yang semuanya ditambahkan pada stok modal perusahaan, atau secara lebih sederana investasi menggambarkan tambahan-tambahan terhadap stok modal dalam periode tertentu.
34
Pembentukan modal dalam perekonomian bisa berasal dari dalam negeri (PMDN) ataupun dari luar negeri (PMA). PMDN merupakan investasi yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha dalam negeri atau pengusaha nasional. Sedangkan PMA adalah investasi yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha asing. Investasi berkaitan sekali dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, yang mana investasi memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Oleh karena itu dalam hal ini investasi diharapkan memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 2.4.3. Pengangguran Pengangguran merupakan bagian dari angkatan kerja tapi yang membedakan disini, seperti yang dijelaskan dalam indikator ketenagakerjaan (2003), bahwa pengangguran adalah penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha baru atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena tidak mungkin mendapatkan pekerjaan atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja atau mempunyai pekerjaan tetapi belum bekerja (future starts). Didalam perekonomian pengangguran merupakan suatu penyakit yang harus dikurangi, karena pengangguran dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah (Mankiw, Bloom, Canning dan Malaney, 1999). Oleh karena itu dalam penelitian ini pengangguran diharapkan memberikan hubungan yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi yang artinya pertumbuhan ekonomi akan semakin meningkat seiring dengan semakin kecilnya proporsi pengangguran didaerah tersebut yang disebut dengan Hukum Okun (Mankiw, 1999).
35
2.5. Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Desentralisasi Fiskal bisa jadi memang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah secara langsung, tetapi teori-teori yang mendukung hubungan ini tetap tidak berkembang. Sehingga dengan absennya teori-teori yang cukup, membuat validitas penelitian terhadap hubungan ini menjadi berkurang (Vazquez dan McNab, 2001). Sampai saat ini dampak desentralisasi fiskal terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi masih tetap menjadi topik perdebatan dalam berbagai literatur pembangunan. Sejalan dengan meningkatnya kewenangan yang diberikan kepada daerah, melalui desentralisasi fiskal, diharapkan alokasi anggaran daerah akan semakin efisien. Melalui peningkatan efisiensi alokasi anggaran diharapkan mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi di daerah. Desentralisasi fiskal diharapkan akan berdampak besar pada berbagai sektor ekonomi, seperti meningkatnya konsumsi, kebutuhan akan jasa perencanaan dan pembangunan, penyerapan buruh dan tenaga kasar. Disamping itu juga diharapkan dapat memicu kreativitas dan ide baru oleh para pelaku di daerah. Dengan demikian desentralisasi fiskal akan memberikan dampak yang sangat positif, terutama menyangkut pemerataan PDB per kapita di Indonesia. Pemerataan pendapatan ini akan berarti meningkatnya kesempatan dan lapangan kerja di daerah, termasuk pekerjaan yang berpendapatan tinggi (high paying jobs). Menurut Oates (1993) dan Vazquez dan McNab (1997), suatu pemikiran atau usulan bahwa desentralisasi fiskal dapat mendorong efisiensi perekonomian seharusnya memiliki kebenaran/keabsahan didalam tatanan pertumbuhan ekonomi yang dinamis. Disini, Oates berargumen bahwa pengeluaran untuk infrastruktur dan
36
sektor sosial yang lebih menanggapi perbedaan-perbedaan di daerah mungkin akan lebih efektif dalam mendorong perekonomian daripada kebijakan-kebijakan dari pusat yang bisa saja mengabaikan perbedaan-perbedaan tersebut. Argumen ini mungkin ada benarnya karena pemerintah lokal lebih memahami daerahnya sendiri dengan baik daripada pemerintah pusat. Oleh karenanya, pemerintah daerah dipercaya untuk mengalokasikan dana yang ada ke tiap sektor secara lebih efisien daripada jika dilakukan oleh pemerintah pusat. Tapi bagaimanapun, hubungan langsung antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi dapat hilang jika desentralisasi fiskal tidak berfungsi secara efektif (Vazquez and McNab, 1997). Banyak peneliti yang sependapat dengan argumen yang dinyatakan oleh Oates, seperti Bird, Wallich, Bahl, Linn, Rivlin dan Gramlich dalam Zhang dan Zou (1998). Mereka berargumen bahwa keputusan peningkatan dan pengeluaran yang terdesentralisasi dilihat sebagai suatu cara untuk memperbaiki efisiensi sektor publik, mengurangi defisit anggaran, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Argumen ini berarti desentralisasi akan meningkatkan efisiensi perekonomian karena posisi pemerintah daerah yang lebih baik yang memang berada di daerah tersebut daripada pemerintah pusat dalam memberikan pelayanan jasa publik yang benar-benar sesuai dengan preferensi dan kebutuhan daerah, dan seiringnya waktu, peran peningkatan efisiensi akan membuat pertumbuhan ekonomi daerah secepat pertumbuhan ekonomi nasional (Oates, dalam Zang dan Zou, 1998). Penelitian Philips dan Woller (1997) juga mencoba menjawab apakah desentralisasi berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Mereka menemukan bahwa secara statistik ada hubungan signifikan meskipun berbanding terbalik antara
37
level penerimaan desentralisasi dan tingkat pertumbuhan ekonomi di Negara Berkembang. Tapi bagaimanapun, mereka gagal menemukan hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di beberapa Negara Berkembang. Menurut World Bank (1997), desentralisasi dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung. Ada tiga cara bagaimana desentralisasi fiskal dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Argumen pertama adalah bahwa desentralisasi akan meningkatkan efisiensi pengeluaran publik, sehingga efek dinamisnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu didapat hubungan positif antara desentralisasi dengan pertumbuhan ekonomi. Yang kedua adalah bahwa desentralisasi dapat membuat ketidakstabilan makroekonomi, yang mana akan menghalangi pertumbuhan ekonomi, oleh karenanya didapat hubungan negatif antara desentralisasi dengan pertumbuhan ekonomi. Dan yang terakhir adalah bahwa Negara-negara Sedang Berkembang memiliki sistem kelembagaan dan lingkungan perekonomian yang berbeda dengan Negara Berkembang. Sehingga Negara-Negara Sedang Berkembang tidak akan mendapatkan keuntungan dari desentralisasi. Hal ini terjadi karena susunan kelembagaan di Negara-Negara Sedang Berkembang tidak perlu memberikan insentif kepada sub-pemerintah untuk menggunakan keuntungan informasi dalam merespon tindakan yang dilakukan. Para pemimpin mungkin diangkat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Alasan lain adalah karena subpemerintah di Negara-Negara Sedang Berkembang tidak memiliki sumber daya ekonomi yang cukup seperti masyarakat yang terlatih dalam mengelola anggaran yang lebih besar.
38
2.6. Penelitian Terdahulu Ada beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan atau sedikit berhubungan dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut menjadi acuan penulis dalam menyusun penelitian ini. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Faisal (2002), yang mana penelitiannya mengenai ”Fiscal Desentralization and Economic Growth At Provincial Level”. Disini Faisal meneliti hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada tingkat Propinsi, apakah ada hubungan positif, negatif atau malah tidak ada hubungannya sama sekali, pada periode 19951999. Penelitian ini didasari dengan UU No 5 Tahun 1974 pada saat sebelum otonomi daerah dicanangkan yaitu 1 Januari 2001. Dalam pengolahan datanya menggunakan model analisa regressi berganda dengan menganalisa data 26 Propinsi selama 19951999, diharapkan dengan menggunakan model ini analisa sampel dapat reprensentatif terhadap kondisi populasi yang sebenarnya dan dapat mencapai tujuan/hasil yang diinginkan. Sedangkan variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model adalah berbentuk rasio total pengeluaran pemerintah Propinsi terhadap total pengeluaran pemerintah pusat, rasio Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) terhadap Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN), dan rasio Penerimaan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan pemerintah yang mana ketiganya merupakan indikator yang dapat menjelaskan desentralisasi fiskal. Disamping itu juga ada beberapa variabel kontrol yang digunakan yaitu Pajak Nasional, Tingkat Pajak Propinsi, Total Investasi, Tingkat pengangguran, dan Dummy, penggunaan variabel dummy disini adalah untuk menjelaskan hubungan desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi pada saat trerjadi krisis moneter pada tahun 1997. dan variabel
39
terikatnya adalah pertumbuhan ekonomi. Pemilihan keseluruhan variabel diatas didasari
dengan
pertimbangan
dari
teori-teori
yang
menguatkan.
Adapun
kesimpulan/hasil yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa secara simultan keseluruhan variabel memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan secara parsial hanya variabel rasio total pengeluaran pemerintah Propinsi terhadap total pengeluaran pemerintah pusat saja yang memberikan pengaruh negatif yang signifikan dan variabel kontrol yang lain masing-masing memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengaruh negatif dari desentralisasi fiskal mungkin dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti penggunaan dana oleh pemerintah lokal yang tidak bertanggungjawab, rendahnya skill para aparat pemerintahan, dan juga akuntabilitas politik yang labil serta sebagai tambahan bahwa kebijakan desentralisai fiskal dipandang terlalu tergesa-gesa diambil tanpa birokrasi khusus dan persiapan yang matang. Khusaini (2006) dalam desertasinya ”Kajian Desentralisasi Fiskal, Pengaruhnya Terhadap Efisiensi Ekonomi Sektor Publik, Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat” di Kab/Kota Jawa Timur, yang didalamnya juga berkaitan dengan masalah pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Beliau menggunakan metode SEM (Structural Equation Modeling) dan menggunakan data kota/kab di Jawa Timur pada periode 1999-2002. Dari hasil penelitiannya beliau mendapatkan bahwa desentralisasi fiskal diukur dari sisi penerimaan daerah tidak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah Jawa Timur yang berarti sudut pandang penerimaan desentralisasi belum terimplementasikan dengan baik di Jawa Timur. Sedangkan dari sisi pengeluaran daerah, beliau mendapatkan bahwa adanya pengaruh yang positif secara signifikan
40
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, yang berarti sejak diimplementasikannya desentralisasi fiskal, program-program pembangunan yang sebelumnya ditangani pemerintah pusat sekarang banyak yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain itu juga Zhang dan Zhou (1998) meneliti mengenai ”Fiscal Desentralization, Public Spending and
Economic Growth in China”, yang
menunjukkan bagaimana pengalokasian sumber dana fiskal antara pusat dan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi di Cina setelah berjalannya reformasi sejak tahun 1970. Zhang dan Zou juga menggunakan model analisa regressi berganda dengan pertumbuhan ekonomi sebagai fungsi dari tingkat tenaga kerja, pajak pusat, pajak propinsi, dan variabel desentralisasi fiskal, studi kasus mulai tahun 1986-1992. Dari penelitian mereka disimpulkan bahwa pertumbuhan tenaga kerja memberikan pengaruh yang positif tetapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Cina. Pajak pusat dan pajak propinsi memberikan pengaruh yang negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan variabel desentralisasi fiskal malah memberikan suatu fenomena yang mengejutkan yaitu pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi padahal desentralisasi fiskal sering diasosiasikan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Mereka melakukan berbagai percobaan dengan variabel desentralisasi fiskal yang berbedabeda, tetapi hasil yang didapat adalah sama yaitu pengaruh yang negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Cina. Selain itu juga mereka meneliti beberapa variabel yang dianggap ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi seperti tingkat investasi, derajat perekonomian terbuka, dan tingkat inflasi bersama-sama dengan variabel desentralisasi fiskal. Pengaruh negatif ini dianggap bahwa memang
41
lebih baik masalah kebijakan fiskal bangsa dengan eksternalitas yang luas ditangani langsung oleh pemerintah pusat. Penelitian Philips dan Woller (1997) juga meneliti mengenai ”Does Fiscal Desentralization Lead To Economic Growth ?”. Penelitian ini melihat hubungan desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan sampel 40 Negara-negara Berkembang. Tetapi mereka gagal mendapatkan hasil yang diinginkan karena dalam analisa data semua variabel yang digunakan sebagai proxy desentralisasi fiskal tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yang artinya secara statistik desentralisasi fiskal tidak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Vazquez dan McNab (2001) dalam working paper-nya,”Fiscal Desentralization and Economic Growth”, mencoba melihat kembali dan mengkaji ulang beberapa penelitian empiris yang telah dilakukan mengenai hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi.Misalnya, Aschauer (1989) dan Barro (1990), dalam penelitiannya mereka menemukan bahwa meningkatnya bagian konsumsi pemerintah pusat yang tercantum dalam GDP secara negatif diasosiasikan dengan tingkat pertumbuhan. Sedangkan Ram (1986) menemukan adanya hubungan yang positif antara konsumsi pemerintah pusat dengan tingkat pertumbuhan. Devarajan, Swaroop, dan Zou (1996) menjelaskan bagaimana dampak komposisi pengeluaran publik terhadap pertumbuhan ekonomi, yang mana mereka menemukan pada saat bagian pengeluaran pemerintah pusat meningkat, secara statistik dan signifikan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan komponen modal dalam artian investasi, memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Mereka menduga bahwa pemerintah di Negara Berkembang terlalu banyak mengalokasikan pada investasi modal. Dalam penelitian Ling dan Liu
42
(2000), terlihat sangat kontras akan hasil yang dicapai jika dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya, Zhang dan Zhou (1998), yang mana Ling dan Liu (2000) menemukan adanya pengaruh positif dan signifikan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi daerah di Cina. Vazquez dan McNab (2005) dalam penelitiannya ”Fiscal Desentralization, Macrostability and Growth”, mencoba menjelaskan bagaimana desentralisasi fiskal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yang difokuskan pada hubungan langsung dan tak langsung seperti pada penelitian yang ada sebelumnya. Mereka menggunakan data panel internasional, perluasan model neo klasik dengan ditambah beberapa variabel, hasil yang dicapai adalah bahwa desentralisasi fiskal muncul dalam mengurangi tingkat inflasi dan tidak ditemukannya pengaruh secara langsung. Tapi bagaimanapun
desentralisasi
fiskal
secara
tidak
langsung
mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi melalui stabilitas makroekonomi (stabilitas harga) yang sebelumnya belum teridentifikasi dalam literatur yang ada. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu dan hasil yang telah didapat dengan berbagai macam studi kasus, maka penulis ingin membuktikan pengaruh implementasi desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Propinsi Jawa Timur, dengan menggunakan beberapa variabel yang ada pada penelitian terdahulu. Akankah hasil yang didapat nanti sama dengan apa yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya yaitu dari sekian banyak yang membuahkan hasil bahwa desentralisasi fiskal memberikan efek negatif dan bahkan tidak mempengaruhi sama sekali.
43
2.7.Kerangka Pemikiran
Fenomena dan isu mengenai pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi
Implementasi Otonomi Daerah Tahun 2001
UU No 25 Tahun 1999 (UU No 33 Tahun 2004)
Desentralisasi Fiskal
Penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah
Desentralisasi Fiskal : Desentralisasi Penerimaan Desentralisasi Pengeluaran
Efisiensi Pelayanan Publik
Pertumbuhan Ekonomi Daerah
UU No 22 Tahun 1999 (UU No 32 Tahun 2004)
44
2.8. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan teori dan penelitian terdahulu yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis menarik hipotesa sebagai anggapan sementara sebagai berikut : 1. Desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 2. Variabel pajak daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 3. Variabel total investasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 4. Variabel pengangguran berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
46
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Ruang Lingkup Penelitian Sesuai dengan permasalahan dan tujuan dari penelitian ini, maka cakupan penelitian ini meliputi wilayah Jawa Timur, sebab Jawa Timur merupakan Propinsi yang memiliki jumlah kota/kabupaten yang paling banyak daripada Propinsi-Propinsi yang ada di Indonesia, yaitu sejumlah 37 (Belum termasuk Kota Batu) Kota/Kabupaten. Oleh karenanya Jawa Timur sangat cocok dalam penelitian ini dalam pengambilan sampel yang representatif terhadap populasi yang akan dibentuk menjadi sebuah model kemudian.
3.2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah explanatory reseach (penelitian penjelasan). Penelitian penjelasan merupakan penelitian yang menyoroti hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya (Singarimbun & Effendi, 1989). Oleh karenanya penelitian ini juga dinamakan penelitian pengujian hipotesis / testing research. Adapun alasan utama pemilihan jenis penelitian ini adalah untuk menguji hipotesis yang telah diajukan sebelumnya. Melalui uji hipotesis yang telah diajukan, diharapkan dapat menjelaskan hubungan dan pengaruh antara variabel bebas dan variabel terikat yang ada dalam hipotesis tersebut, yaitu untuk mengetahui apakah indikator desentralisasi fiskal yang terdiri dari penerimaan daerah dan pengeluaran daerah mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah dalam hal ini diwakilkan oleh
47
pertumbuhan PDRB di Jawa Timur, dan juga menguji pengaruh variabel pajak daerah, investasi, dan pengangguran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, yang mana fungsi dari variabel-variabel ini adalah sebagai variabel kontrol yang secara teoritis ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah.
3.3. Jenis Data dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan data yang bersifat kuantitatif. Dimana data sekunder merupakan data yang diterbitkan oleh orang yang bukan pengolahnya atau data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara. Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan / laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan (Indriantoro & Supomo, dalam Siswaji, 2004).
Sedangkan data
kuantitatif adalah data yang diukur dalam skala numerik (angka). Sumber data utama dalam penelitian ini diperoleh dari : 1. Biro Pusat Statistik (BPS) Propinsi Jawa Timur, data tersebut mengenai data PDRB, Pajak Daerah, Total Investasi, Tingkat Pengangguran, PAD, APBD, dan APBN. Semua data mencakup data seluruh kota/kabupaten di Jawa timur. 2. Biro Keuangan Propinsi Jawa Timur, data tersebut mengenai Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) seluruh kota.kabupaten di Jawa Timur termasuk didalamnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). 3. Media elektronik dan media cetak, seperti media internet dan surat kabar.
48
Metode Pengumpulan Data Teknik penumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi, yaitu dengan cara mempelajari bahan kepustakaan dan mempelajari literatur-literatur yang berkaitan (buku, artikel, maupun situs di internet yang relevan) dengan permasalahan yang akan diteliti kemudian dihubungkan satu sama lainnya sehinga dapat diperoleh hasil yang betul-betul akan membantu dalam menjawab permasalahan yang ada. Serta menggunakan teknik pengumpulan data monitorial, yaitu metode pengumpulan data permukaan dengan konsentrasi utama pada koleksi data-data yang pernah dan tengah tersaji tanpa disertai upaya penggalian berarti. Data ini diperoleh mealaui berbagai bentuk laporan pemerintah, temuan penelitian, catatan pernyataan atau sikap hingga data-data sekunder lainnya. Melalui teknik pengumpulan data monitorial, data-data sekunder tertentu dianggap telah teruji dan dipakai sebagai dasar bagi penarikan kesimpulan, seperti data-data numerik dari BPS dan Biro Keuangan Propinsi Jawa Timur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Tantangan utama teknik pengumpulan data jenis ini terletak pada tingkat ketergantungannya yang tinggi pada ketersediaan datadata sekunder di lapangan. Sedangkan keunggulannya terletak pada tingkat kepraktisannya.
Definisi Operasional Variabel Definisi operasional merupakan batasan dalam menjelaskan beberapa variabel yang
ada,
sehingga
penyusunan
skripsi
ini
dapat
terarah
pada
pokok
permasalahannya. Untuk lebih mempertegas makna dan arah dari penyusunan skripsi ini maka perlu diuraikan terlebih dahulu arti dari beberapa unsur kata yang akan
49
dipakai dalam pembahasan skripsi ini serta pengertian-pengertian lain yang masih ada hubungan/berkaitan dengan pokok bahasan, yaitu : 1. Pertumbuhan ekonomi daerah dalam penelitian ini dilihat dari pertumbuhan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Jawa Timur yang berupa persentase sebagaimana lazimnya sering digunakan oleh peneliti sebelumnya. Definisi PDRB itu sendiri adalah total nilai produk barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah (regional) tertentu dalam waktu tertentu tanpa melihat faktor kepemilikan. Sedangkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah diperoleh dari
kenaikan PDRB
Atas
Dasar Harga
Konstan
yang
mencerminkan kenaikan produksi barang dan jasa di suatu wilayah. 2. Desentralisasi Penerimaan disini maksudnya adalah sebagai indikator yang digunakan untuk mengukur desentralisasi fiskal. Adapun pengukuran yang digunakan adalah berupa rasio total penerimaan kabupaten/kota (APBD) terhadap total penerimaan nasional (APBN). Penerimaan daerah ini terdiri dari PAD, Bagi Hasil Pajak dan SDA, Pinjaman Daerah, dan Penerimaan lainlain yang sah tanpa memasukkan unsur dana perimbangan yang berupa DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) karena keduanya merupakan unsur bantuan (grant) dari pemerintah pusat dan akan mengurangi ketepatan hasil yang ingin dicapai dalam penelitian ini. 3. Desentralisasi
Pengeluaran
Desentralisasi
Penerimaan
disini yaitu
maksudnya sebagai
adalah
indikator
sama
untuk
dengan
mengukur
desentralisasi fiskal. Yaitu rasio total pengeluaran kabupaten/kota (APBD)
50
terhadap total pengeluaran nasional (APBN). Pengeluaran yang diukur terdiri dari Belanja Rutin, Belanja Pembangunan, dan Pengeluaran Tidak Tersangka.. Selain mengukur desentralisasi fiskal menggunakan indikator dari sisi penerimaan dan pengeluaran, peneliti juga menggunakan beberapa variabel kontrol yang secara teoritis diyakini ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Variabelvariabel tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pajak Daerah yang dimaksudkan adalah sebagai rasio dari total penerimaan pajak tiap daerah terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kota/Kab Jawa Timur. 2. Investasi yang digunakan adalah investasi yang dilakukan oleh pihak swasta yaitu PMA (Penanaman Modal Asing) atau PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri). Dalam penelitian ini ukuran yang dipakai adalah total investasi tiap daerah sampel yang diambil dalam bentuk trilyun. 3. Tingkat pengangguran maksudnya adalah persentase pengangguran yang merupakan wakil dari variabel tenaga kerja, tetapi dalam hal ini tingkat pengangguran diharapkan memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam setiap penelitian penjelasan, variabel penelitian merupakan hal yang tidak dapat ditinggalkan. Variabel merupakan konsep yang mempunyai lebih dari satu nilai. Variabel diartikan sebagai segala sesuatu yang akan menjadi obyek pengamatan penelitian. Sering pula dinyatakan bahwa variabel penelitian sebagai faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti. Apa yang merupakan
51
variabel dalam suatu penelitian ditentukan oleh landasan teoritisnya dan ditegaskan oleh hipotesis penelitiannya (Singarimbun dan Effendi, 1995). Dari pengertian variabel di atas, dapat diketahui adanya dua variabel, yaitu variabel bebas (independent variabel) dan variabel terikat (dependent variabel). Adapun kedua variabel tersebut adalah: I. Variabel dependen
: Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Growth Rate).
II. Variabel Independen
:Desentralisasi Penerimaan, Desentraliasi Pengeluaran, Pajak Daerah, Investasi, dan Tingkat Penganguran.
Dari Variabel Dependen dan Independen tersebut dapat dirumuskan menjadi model regresi yaitu :
Y 0 FD X 1 X 1 2 X 2 3 X 3 u Y 0 FD X 1 X 1 2 X 2 3 X 3 u Dimana : Y
: Variabel Pertumbuhan Ekonomi Daerah (PDRB).
Α
: Konstanta atau intersep.
Β
: Koefisien regresi dari setiap variabel yang digunakan.
FDx
: Variabel Desentralisasi Penerimaan, yaitu rasio total penerimaan daerah (APBD) terhadap total penerimaan nasional (APBN).
FDy
: Variabel Desentralisasi Pengeluaran, yaitu rasio total pengeluaran daerah (APBD) terhadap total pengeluaran nasional (APBN).
X1
: Variabel Total Pajak Daerah
X2
: Variabel Total Investasi
X3
: Variabel Tingkat Pengangguran
u
: Error/Residual (Kesalahan Pengganggu).
52
Metode Analisa Teknik Regressi Berganda Didalam penelitian ini, teknik yang digunakan adalah regresi berganda dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Metode OLS diperkenalkan pertama kali oleh Carl Friedrich Gauss, seorang ahli matematika dari Jerman (Gujarati, 2003). Inti metode OLS adalah mengestimasi suatu garis regresi dengan jalan meminimalkan jumlah dari kuadrat kesalahan setiap observasi terhadap garis tersebut. Asumsi Klasik Menurut teorema Gauss-Markov untuk mengetahui apakah parameter yang dihasilkan oleh model regresi yang diperoleh dari metode ordinary least square bersifat BLUE (best linear unbiased estimator) digunakan uji asumsi klasik (Gujarati, 2003). Uji asumsi klasik yang digunakan terdiri dari: A. Multikolinearitas Bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan yang sempurna atau mendekati sempurna antara semua atau beberapa variabel bebas yang digunakan dalam persamaan regresi ini. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearitas, khususnya dalam model regresi linear yang mencakup lebih dua variabel bebas, salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode VIF (Variance Inflating Factor). VIF menunjukkan bagaimana varian dari suatu estimator dilambungkan oleh adanya keberadaan multikolinearitas, maksudnya disini adalah jika koliniearitas suatu variabel bebas dengan variabel bebas lainnya meningkat, maka VIF juga ikut meningkat dengan limit tak terhingga. Beberapa peneliti menggunakan VIF sebagai
53
suatu indikator multikoliniearitas. Sedangkan suatu model dikatakan bebas dari multikolinearitas jika memenuhi asumsi yaitu VIF kurang dari 10 (Gujarati, 2003). B. Autokorelasi Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain (Hanke & Reitsch, dalam Kuncoro, 2004). Masalah ini timbul karena residual tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya, yang mana sering ditemukan pada data time series. Menurut Kendall dan Buckland dalam Gujarati (2003), autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data time series) atau ruang (seperti dalam data cross-sectional). Salah satu metode yang digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi adalah dengan menggunakan metode Breusch-Godfrey LM (Lagrange Multiplier) test. Metode ini sering digunakan pada ukuran sampel yang besar biasanya diatas 100 observasi (Kuncoro, 2004). Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:
H 0 : 1 2 ... p 0 ; tidak terdapat autokorelasi di dalam model yang digunakan. LM Test diawali dengan melakukan estimasi pada model regresi yang digunakan. Setelah diperoleh nilai residual dari model regresi yang digunakan, dilakukan regresi dengan model tambahan untuk mendeteksi adanya autokorelasi: Menurut Gujarati (2003), jika model yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yi i 2 X t u t
54
Maka regresi tambahannya adalah sebagai berikut: uˆt a1 a2 X t ˆ1uˆt 1 ˆ 2uˆt 2 ... ˆ puˆt p vi
Di mana:
uˆ t = residual hasil estimasi a1 = konstanta regresi ˆ1 , ˆ 2 ,..., ˆ p = koefisien regresi untuk variabel lag dari residual hasil estimasi Setelah itu, peroleh nilai R2 dari model di atas. Jika jumlah sampel (observasi) besar, Breusch dan Godfrey menunjukkan: (n p ) R 2 X p2 (Gujarati, 2003). Karena itu, nilai (n p) R 2 yang diperoleh dari model regresi di atas mengikuti distribusi 2 dengan derajat bebas sebesar p. Dengan membandingkan antara nilai 2 hitung yang diperoleh melalui persamaan di atas dan nilai 2 tabel pada tingkat signifikansi 10% dilakukan pengambilan keputusan. Ketentuan pengambilan keputusan tersebut adalah sebagai berikut:
H 0 akan ditolak jika 2 hitung > 2 tabel, berarti terdapat autokorelasi di dalam model regresi yang digunakan.
H 0 akan diterima jika 2 hitung < 2 tabel, berarti tidak terdapat autokorelasi di dalam model regresi yang digunakan.
C. Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas berarti varians tiap unsur pengganggu, ui , dalam model tidak sama (Gujarati, 2003). Menurut Mirer (1995), Heteroskedastisitas berarti situasi dimana standar deviasi dari penganggu adalah tidak sama pada semua observasi. Hal
55
ini sering muncul pada analisis data cross-section, dan mungkin juga muncul pada data yang berbentuk time-series. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat dilakukan pengujian White (White test). Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:
H 0 : tidak
terdapat
heteroskedastisitas
di
dalam
model
yang
digunakan
(homoskedastisitas). Uji White diawali dengan melakukan estimasi pada model regresi yang digunakan. Setelah diperoleh nilai residual dari model regresi yang digunakan, dilakukan regresi tambahan untuk mendeteksi heteroskedastisitas: Menurut Gujarati (2003), jika model yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yi i 2 X 2i 3 X 31 ui Maka regresi tambahannya adalah sebagai berikut: uˆi a1 a2 X 2i a3 X 3i a4 X 22i a5 X 32i a6 X 2i X 3i vi
Di mana:
uˆi a1 vi a1 , a 2 ,..., a6
= residual hasil estimasi = konstanta regresi = error term = koefisien regresi
Setelah diperoleh nilai R2, kemudian dikalikan dengan jumlah observasi (n). Hasil perkalian antara jumlah observasi (n) dan R2 ini mengikuti distribusi 2 dengan derajat bebas k - 1 yang dapat dinyatakan sebagai berikut:
n R 2 df2
56
Dengan membandingkan antara nilai 2 yang diperoleh melalui persamaan di atas ( n R 2 ) dan nilai 2 tabel pada tingkat signifikansi 10% dilakukan pengambilan keputusan. Ketentuan pengambilan keputusan tersebut adalah sebagai berikut:
H0 akan ditolak jika n R 2 > 2 tabel, berarti terdapat heteroskedastisitas di dalam model regresi yang digunakan.
H0 akan diterima jika n R 2 < 2 tabel, berarti tidak terdapat heteroskedastisitas di dalam model regresi yang digunakan.
D. Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Sebuah teori yang dikemukakan mengenai normalitas yaitu “Suatu distribusi sampling dari sebuah estimator akan mencapai distribusi normal seiring dengan semakin besarnya ukuran sampel“ (Ramanathan, 1992). Teori tersebut dikenal sebagai teori CLT (Central Limit Theorem). Mirer (1995) dalam bukunya Economics Statistics and Econometrics juga menjelaskan bahwa salah satu karakteristik dari distribusi sampling adalah bentuk distribusi sampling yang normal dengan asumsi jika ukuran sampel n semakin besar yang disebut juga Central Limit Theorem. Beliau juga menyatakan bahwa ukuran besarnya sampel biasanya 15-20 cukup untuk dikatakan berdistribusi normal. CLT ini sifatnya sangat kuat karena meskipun distribusi dari observasi tidak normal, tetapi jika ukuran sampelnya besar maka data tersebut tetap dapat dipakai dan diasumsikan berdistribusi normal.
57
3.7. Uji Statistik Uji statistik digunakan untuk mengetahui apakah variabel rasio penerimaan daerah, rasio pengeluaran daerah, rasio pajak, investasi dan tingkat pengangguran mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Adapun pengujian yang digunakan adalah : 3.7.1. Koefisien Determinan (R2) Menurut Gujarati (2003), koefisien determinasi majemuk adalah besaran yang memberikan informasi proporsi variasi variabel terikat yang dijelaskan oleh variabelvariabel bebas secara bersama-sama. Untuk memperoleh koefisien determinasi dari suatu model regresi digunakan rumus sebagai berikut:
R2
b1 X 1Y b2 X 2 Y .... bn X n Y
Y
2
Nilai koefisien determinasi terletak antara 0 dan 1 (0 < R2 < 1). Ini berarti, bila koefisien determinasi semakin mendekati nilai 1, maka semakin besar variasi variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang digunakan. 3.7.2. Uji F (Overall Significance Test) Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah seluruh variabel bebas berpengaruh secara simultan atau serentak terhadap variabel terikat. Langkah pertama dalam melakukan uji F adalah dengan merumuskan hipotesis berupa: H 0 : 1 2 ... n 0 , berarti bahwa variabel-variabel bebas secara serentak tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat.
58
H i : minimal ada satu i yang 0, berarti bahwa variabel-variabel bebas secara serentak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat. Untuk menentukan apakah hipotesis di atas diterima atau ditolak dilakukan dengan membandingkan Fhitung dengan Ftabel. Fhitung diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
R 2 /( k 1) F (1 R 2 ) /( n k ) Di mana: R2 k n
= koefisien determinasi. = banyaknya parameter total yang diperkirakan, termasuk konstanta. = jumlah total observasi dalam sampel.
Dalam menentukan Ftabel, tingkat signifikansi yang digunakan adalah sebesar 10% dengan derajat bebas pembilang = k-1 dan penyebut = n-k. Kemudian dilakukan pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan nilai Fhitung dengan Ftabel. Ketentuan pengambilan keputusan tersebut adalah sebagai berikut:
H0 akan ditolak jika Fhitung > Ftabel, artinya variabel-variabel bebas berpengaruh signifikan secara serentak terhadap variabel terikat.
H0 akan diterima jika Fhitung Ftabel, artinya variabel-variabel bebas tidak berpengaruh signifikan secara serentak terhadap variabel terikat.
59
3.7.3. Uji t (Partial Individual Test) Uji t digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara parsial mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Karena uji t yang digunakan bersifat one tail (sisi kanan atau right tail), maka hipotesis yang diuji dinyatakan sebagai berikut: H 0 : i 0 , berarti variabel bebas ke-i berpengaruh negatif dan signifikan atau tak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap variabel terikat. H i : i 0 , berarti variabel bebas ke-i berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap variabel terikat. Di mana:
= nilai koefisien regresi populasi Untuk menentukan apakah hipotesis di atas diterima atau ditolak dilakukan
dengan membandingkan thitung dengan ttabel. thitung diperoleh dengan rumus: t hitung
b Sb
Di mana: b
= nilai koefisien regresi sample
Sb
= standar error dari koefisien regresi sampel Dalam menentukan ttabel, pada penelitian ini, tingkat signifikansi yang digunakan
adalah sebesar 10% dengan derajat bebas = n-k dimana k merupakan banyaknya parameter total yang diperkirakan, termasuk konstanta, sedangkan n adalah jumlah total observasi dalam sampel.
60
Ketentuan pengambilan keputusan tersebut adalah sebagai berikut:
H0 akan ditolak jika thitung > ttabel, artinya variabel bebas ke-i berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap variabel terikat.
H0 akan diterima jika thitung ttabel, artinya variabel bebas ke-i berpengaruh negatif dan signifikan atau tak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap variabel terikat.
61
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lingkup Penelitian 4.1.1. Kondisi Geografis Letak Wilayah Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu propinsi yang terletak di Pulau Jawa selain Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jawa Timur sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia memiliki bentuk pemerintahan yang didasarkan pada Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pokok-pokok pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang - undang tersebut daerah ini disebut daerah otonom. Artinya bahwa Jawa Timur merupakan satu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berhak dan berwenang serta berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Indonesia sesuai Undang-undang yang berlaku . Sehubungan dengan hal tersebut, Propinsi Jawa Timur secara umum dapat diuraikan sebagai berikut : Luas Wilayah Daerah Tingkat I Jawa Timur adalah 157.922 Km2 yang terdiri atas : 1. Wilayah a. Luas Daerah: 47.042,17 Km2 Terdiri dari : -
Persawahan : 12.483,66 Km2
-
Pertanian Tanah Kering : 11.619,32 Km2
62
-
Kebun Campur : 613,36 Km2
-
Perkebunan : 1.518,39 Km2
-
Hutan : 12.251,24 Km2
-
Padang Rumput/Tanah kosong : 236,82 Km2
-
Rawa/Danau/Waduk : 88,75 Km2
-
Tambak/Kolam : 705,82 Km2
-
Tanah Tandus/Rusak/Alang-alang : 1.323,53 Km2
-
Lain-lain : 798,14 Km2
b. Luas Lautan : 110.000,00 Km2 c. Jumlah Pulau dan Pulau kecil : 74 Pulau 2. Propinsi Dati I Jawa Timur terletak pada 110°54BT Sampai 115°57BT 5° 371 LS sampai 8°48LS. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Bali dan Selat Bali, Sebelah Barat berbatasan dengan propinsi Jawa Tengah dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia . Berdasarkan karakteristik fisik secara umum, Jawa Timur terbagi atas 4 (empat) Karakteristik wilayah yaitu : a. Wilayah I mencakup dataran tinggi bagian tengah merupakan wilayah subur dan berkembang b. Wilayah II mencakup dataran rendah bagian utara merupakan wilayah dengan kesuburan sedang dan tingkat perkembangan sedang. c. Wilayah III mencakup wilayah Pegunungan kapur Selatan merupakan wilayah tandus, tidak subur dan belum begitu berkembang.
63
d. Wilayah IV merupakan wilayah kepulauan, masih merupakan wilayah yang kemudahan hubungannya kurang dan belum berkembang. Toporafi dan Iklim Topografi Jawa Timur berdasarkan karakteristik tinggi tempat diatas permukaan laut ( dpl ), terbagi atas 3 kelompok wilayah yaitu :
0 – 500 m (dpl ), meliputi 83 % dari luas wilayah darat Jawa Timur dan morfologinya relatif datar.
500 - 1.000 m ( dpl ), meliputi sekitar 11% dari luas wilayah darat Jawa Timur dengan morfologi berbukit dan bergunung - gunung .
1.000 m (dpl), meliputi sekitar 6 % dari luas wilayah darat Jawa Timur dengan morpologi terjal.
Dilihat dari segi Topografis, sebagian besar wilayah daratan di Jawa Timur (39,89 %) tergolong berpermukaan datar dengan tingkat kemiringan 0 – 2 %. Sedangkan ketinggian tanah sebagian besar wilayah pada posisi 0 – 100 M diatas permukaan laut dengan jumlah mencapai 41,39 % dari total wilayah Jawa Timur. Dengan kondisi tersebut dapat dinyatakan bahwa sebagian besar wilayah berupa dataran rendah. Struktur Geologi Jawa Timur di dominasi oleh Alluvium dan bentukan hasil gunung api kwarter muda, keduanya meliputi 44,5 % dari luas wilayah darat , sedangkan bantuan yang relatif juga agak luas persebarannya adalah miosen sekitar 12,33 % dan hasil gunung api kwarter tua sekitar 9,78 % dari luas total wilayah daratan. Sementara itu batuan lain hanya mempunyai proporsi antara 0 - 7% saja. Batuan sedimen Alluvium tersebar disepanjang sungai Brantas dan Bengawan Solo yang merupakan daerah subur. Batuan hasil gunung api kwater muda tersebar
64
dibagian tengah wilayah Jawa Timur membujur kearah timur yang merupakan daerah relatif subur. Batuan Miosen tersebar disebelah selatan dan utara Jawa Timur membujur kearah Timur yang merupakan daerah kurang subur Bagi kepulauan Madura batuan ini sangat dominan dan utamanya merupakan batuan gamping. Dari beragamnya jenis batuan yang ada, memberikan banyak kemungkinan mengenai ketersediaan bahan tambang di Jawa Timur. Atas dasar struktur, sifat dan persebaran jenis tanah diidentifikasi karakteristik wilayah Jawa Timur menurut kesuburan tanah: a. Jawa Timur bagian Tengah merupakan daerah subur , mulai dari daerah kabupaten Banyuwangi. Wilayah ini dilalui sungai - sungai Madiun, Brantas, Konto, Sampean. b. Jawa Timur bagian Utara merupakan daerah relatif tandus dan merupakan daerah yang persebarannya mengikuti alur pegunungan kapur utara mulai dari daerah Bojonegoro , Tuban kearah Timur sampai dengan pulau Madura. Berdasarkan sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson sebagian wilayah besar wilayah (52%) Jatim mempunyai iklim tipe D. Keadaan maksimum suhu maksimum rata - rata mencapai 33°C sedangkan suhu minimum rata - rata mencapai 22°C. Keadaan curah hujan pertahun di Jawa Timur mempunyai karakteristik sebagai berikut : a. < 1.750 mm ; meliputi 35,54% b. 1.750 - 2.000 mm ; meliputi 44,00% c. > 2.000 mm ; meliputi 20,46%
65
4.1.2. Demografi Penduduk merupakan asset pembangunan bila mereka dapat diberdayakan secara optimal, kendati begitu mereka juga bias menjadi beban pembangunan jika pemberdayaan tidak dibarengi dengan sumber daya manusia (SDM) yang memadai pada wilayah atau daerah bersangkutan. Jumlah penduduk Jawa Timur dari tahun ke tahun mengalami kenaikkan. Kenaikkan tertinggi memasuki tahun 2004 yaitu sebesar 0,93%. Angka tersebut dipastikan akan terus meningkat seiring dengan semakin besarnya jumlah penduduk usia produktif dan laju urbanisasi dari daerah-daerah di propinsi lain menuju kota-kota besar di Jawa Timur diantaranya Surabaya, Malang, Sidoarjo. Tabel 4.1. Data Kependudukan di Jawa Timur Tahun 2001-2004 Keterangan
Th 2001
Th 2002
Th 2003
Th 2004
Satuan
35.633.395,00
35.930.460,00
36.199.078,00
36.535.527,00
Orang
a. Laki-laki
17.497.501,00
17.468.108,00
17.930.967,00
18.052.364,00
Orang
b. Perempuan
18.135.894,00
18.462.352,00
18.268.078,00
18.483.163,00
Orang
a. 0 - 4 tahun
2.920.034,00
2.863.300,00
2.717.220,00
2.873.437,00
Orang
b. 5 – 19 tahun
9.624.468,00
9.451.232,00
9.358.467,00
9.345.668,00
Orang
c. 20 – 59 tahun
19.528.913,00
19.991.725,00
20.530.907,00
20.574.611,00
Orang
d. 60 tahun plus
3.559.980,00
3.624.203,00
3.592.484,00
3.741.811,00
Orang
767,00
774,00
780,00
787,00
Org/km2
0,76
0,76
0,76
0,77
% / th
66,25
66,50
66,80
1. Jumlah penduduk
2. Usia
3. Kepadatan penduduk Rata-rata 4. Laju pertumbuhan penduduk 5. Rata-rata angka harapan hidup
Sumber : Dinas Tenaga Kerja Prop. Jatim, Tahun 2004
Tahun
66
Rata-rata tingkat kepadatan penduduk Jawa Timur pada tahun 2001 sebesar 767 orang/km dan cenderung meningkat hingga sampai tahun 2003 mencapai 780 orang/km dan tahun 2004 mencapai 787 orang/km. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Jawa Timur semakin padat penduduknya dari tahun ketahun. Kepadatan penduduk yang terus menunjukkan kenaikan ini banyak ditentukan oleh faktor laju pertumbuhan penduduk, sementara luas wilayah Jawa Timur tidak berubah. Dari Angka Harapan Hidup menunjukkan bahwa pembangunan manusia mengalami perkembangan membaik. Hal ini dapat dilihat dengan semakin meningkatnya Angka Harapan Hidup dari 66,5 tahun pada 2002 menjadi 66,4 tahun. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pembangunan manusia pada aspek kesehatan semakin menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, disamping faktor ekonomi juga berperan terhadap peningkatan usia harapan hidup.
4.2. Analisa Model Regresi Untuk menguji pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur, digunakan analisis regresi berganda, apakah sebenarnya desentralisasi fiskal berpengaruh secara signifikan positif, negatif ataupun tidak berpengaruh sama sekali terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Pada penelitian ini akan digunakan dua model regresi desentralisasi fiskal, yaitu model regresi desentralisasi fiskal yang diukur dari sisi penerimaan daerah dan model regresi desentralisasi fiskal yang diukur dari sisi pengeluaran daerah. Dimana antara kedua model tadi akan dianalisa secara terpisah dan melalui beberapa tahapan yang
67
kemudian hasilnya dapat dibandingkan untuk melihat model regresi mana yang paling representatif dalam menjelaskan hubungan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. 4.2.1. Analisa Model Regresi Dari Sisi Penerimaan Daerah Model pertama mengestimasi variabel desentralisasi penerimaan, pajak daerah, investasi dan pengangguran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur, yang mana modelnya adalah sebagai berikut :
Y 0 FD X 1 X 1 2 X 2 3 X 3 u Ket :
: Konstanta
: Koefisien Regresi dari setiap variabel yang digunakan
Y
: Variabel Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Growth Rate)
FDx
: Variabel Desentralisasi Penerimaan (Rasio Penerimaan Daerah dikurangi (DAU+DAK) terhadap penerimaan nasional)
X1
: Variabel Pajak Daerah ( Rasio Pajak Daerah/PDRB)
X2
: Variabel Investasi
X3
: Variabel Pengangguran
u
: Error/kesalahan penganggu
68
4.2.1.1. Hasil Estimasi Model Dengan menggunakan software EViews 3.0, pada tabel 4.2. dibawah ini disajikan hasil estimasi regresi linear berganda untuk model dari sisi penerimaan daerah : Tabel 4.2. Hasil Estimasi Desentralisasi Penerimaan Variabel
Koefisien
Probabilitas
Konstanta
0,0313
0,00
FDx
1,2231
0,69
X1
1,2038
0,00
X2
0,0052
0,18
X3
0,0392
0,17
2
R
= 0,21
Fhitung
= 7,84
Prob. (Fhitung)
= 0,00
Ftabel
= 1,99
Sumber: lampiran 1
Dari hasil estimasi pada tabel 4.2. dapat disusun persamaan regresi dari sisi penerimaan daerah sebagai berikut:
Y 0,031 1,223FD X 1,203 X 1 0,005 X 2 0,039 X 3 Dari tabel 4.2. tersebut juga tampak bahwa, variabel pajak daerah (X1) menunjukkan angka yang signifikan. Sebaliknya, variabel desentralisasi penerimaan (FDx), investasi (X2) dan pengangguran (X3) tidak menunjukkan angka yang signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 10%.
69
4.2.1.2. Hasil Uji Asumsi Klasik 4.2.1.2.1. Uji Multikolinearitas Dengan menggunakan software SPSS 11.5 dan diuji dengan menggunakan metode VIF (Variance Inflating Factor), pada tabel 4.3. dibawah ini disajikan nilai VIF masing-masing variabel desentralisasi penerimaan (FDx), pajak daerah (X1), investasi (X2) dan penganguran (X3): Tabel 4.3. Hasil VIF Test Variabel
VIF
FDx
1,379
X1
1,388
X2
1,206
X3
1,065
Sumber : Lampiran 2
Adapun asumsi yang harus dipenuhi dalam uji VIF yaitu nilai VIF masing-masing variabel independen harus kurang dari 10 yang menandakan bahwa tidak terdapat multikoliniearitas di dalam model, nilai ini merupakan batasan yang menunjukkan hubungan multiko yang semakin kuat jika nilai VIF makin besar dari 10 (Gujarati, 2003). Dari tabel 4.3. dapat dilihat bahwa masing-masing nilai VIF variabel desentralisasi penerimaan (FDx), pajak daerah (X1), investasi (X2) dan pengangguran (X3) adalah 1,379; 1,388; 1,206; 1,065, yang berarti tidak ada hubungan yang kuat diantara variabel independen sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat multikoliniearitas didalam model regresi yang digunakan.
70
4.2.1.2.2. Uji Autokorelasi Untuk mendeteksi adanya autokorelasi di dalam model digunakan BreuschGodfrey LM test. Dengan menggunakan sofware Eviews 3.0, hasil proses uji ini ditampilkan pada tabel 4.4. dibawah ini : Tabel 4.4. Hasil LM Test Variabel
Koefisien
Konstanta
0,0009
FDx
0,1061
X1
-0,0960
X2
-0,0006
X3
-0,0069
uˆ 1
0,0298
uˆ 2
0,2807
R2
= 0,0778
(n p) R 2
= 11,5
2 tabel
= 12,50
(n p) R 2 < 2 Sumber: Diolah dari lampiran 3
Dari tabel 4.4. dapat dilihat bahwa nilai (n p) R 2 lebih kecil dari nilai 2 tabel. Dari hasil tersebut dapat diambil keputusan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat autokorelasi di dalam model regresi yang digunakan.
71
4.2.1.2.3. Uji Heteroskedastisitas Dengan menggunakan software EViews 3.0, dan diuji dengan uji White, perincian hasil uji disajikan pada tabel 4.5. di bawah ini. Tabel 4.5. Hasil White Test Variabel
Koefisien
Konstanta
0,0001
FDX
0,4842
FDX^2
-67,635
FDX*X1
13,730
FDX*X2
0,1676
FDX*X3
-7,5630
X1
-0,0389
X1^2
1,8945
X1*X2
-0,0388
X1*X3
0,0388
X2
-0,0004
X2^2
0,0002
X2*X3
0,0066
X3
0,0003
X3^2
0,0028
R2
= 0,033
n R2
= 4,92
2 tabel
= 22,31
n R2 < 2 Sumber: Lampiran 4
Dari tabel 4.5. dapat dilihat bahwa nilai n R 2 lebih kecil dari nilai 2 tabel. Dari hasil tersebut dapat diambil keputusan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti
72
tidak terdapat heteroskedastisitas di dalam model regresi yang digunakan atau terjadi homoskedastisitas. 4.2.1.2.4. Normalitas Dengan mengacu kepada teori Central Limit Theorem (CLT) yang dikemukakan oleh Mirer (1995) dalam bukunya Economics Statistics and Econometrics bahwa salah satu karakteristik dari distribusi sampling adalah bentuk distribusi sampling yang normal dengan asumsi jika ukuran sampel n semakin besar. Beliau juga menyatakan bahwa ukuran besarnya sampel biasanya 15-20 cukup untuk dikatakan berdistribusi normal. CLT ini sifatnya sangat kuat karena meskipun distribusi dari observasi tidak normal, tetapi jika ukuran sampelnya besar maka data tersebut dapat dipakai. Maka peneliti juga mengasumsikan bahwa data residual pada model berdistribusi normal karena jumlah observasi yang dipakai adalah sebesar 148 observasi. 4.2.1.3. Hasil Uji Statistik 4.2.1.3.1. Koefisien Derterminasi Dari hasil pengolahan data didapat nilai R2 sebesar 0,21, yang berarti proporsi pertumbuhan ekonomi daerah (Y) dapat dijelaskan oleh variabel desentralisasi penerimaan (FDx), pajak daerah (X1), investasi (X2), dan pengangguran (X3) sebesar 21% dan 79% lainnya dijelaskan oleh variabel-variabel diluar model. Mirer (1995) menjelaskan bahwa taksiran mengenai besarnya R2 tergantung pada kealamian analisa proses ekonominya. Pada kasus time series R2 biasanya tinggi karena antara variabel Y dan variabel X memiliki trend yang umum, sedangkan pada cross section
73
cenderung rendah karena tidak ada trend dan kuatnya variasi natural pada indiviualnya. Tetapi walaupun begitu R2 yang rendah dengan sampel yang besar sudah dapat dikatakan memiliki good fit. Dalam penggunaan data gabungan jika bentuk datanya lebih dominan cross section daripada time series maka R2 yang dihasilkan akan cenderung rendah. 4.2.1.3.2. Uji F Dari tabel 4.2., dapat dilihat bahwa nilai Fhitung adalah sebesar 7,84 yang lebih besar dari nilai Ftabel pada tingkat signifikansi 10% sebesar 1,99. Ini berarti, dari sisi penerimaan daerah, variabel desentralisasi penerimaan (FDx), pajak daerah (X1), investasi (X2) dan pengangguran (X3) berpengaruh signifikan secara serentak terhadap variabel pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur (Y). Selain itu, ini juga dapat dilihat dari tingkat signifikansi F yang diperoleh sebesar 0,00 yang lebih kecil dari 0,1. 4.2.1.3.3. Uji t Berikut ini disajikan tabel 4.6. yang menunjukkan hasil uji t. Tabel 4.6. Hasil Uji t Variabel
thitung
Probabilitas
FDx
0,39
0,69
X1
3,54
0,00
X2
1,35
0,18
X3
1,37
0,17
ttabel Sumber: Lampiran 1
= 1,645
74
Hasil dari uji t akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Desentralisasi Penerimaan (FDx) Dari tabel 4.6., dapat dilihat bahwa
variabel Desentralisasi Penerimaan
memiliki nilai thitung sebesar 0,39. Nilai thitung tersebut lebih kecil dari nilai ttabel pada tingkat signifikansi 10% sebesar 1,645. Selain itu, nilai probabilitas t yang diperoleh adalah sebesar 0,69 yang lebih besar dari 0,1. Ini berarti H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti Desentralisasi Penerimaan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. 2. Pajak Daerah (X1) Dari tabel 4.6., dapat dilihat bahwa variabel Pajak Daerah (X1) memiliki nilai thitung sebesar 3,54. Nilai thitung tersebut lebih besar dari nilai ttabel pada tingkat signifikansi 10% sebesar 1,645. Selain itu, nilai probabilitas t yang diperoleh adalah sebesar 0,00 yang lebih kecil dari 0,1. Ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti Pajak Daerah signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. 3. Investasi (X3) Dari tabel 4.6., dapat dilihat bahwa variabel investasi memiliki nilai thitung sebesar 1,34. Nilai thitung tersebut lebih kecil dari nilai ttabel pada tingkat signifikansi 10% sebesar 1,645. Selain itu, nilai probalitas t yang diperoleh adalah sebesar 0,18 yang lebih besar dari 0,1. Ini berarti H0 diterima dan H1
75
ditolak yang berarti investasi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. 4. Pengangguran Dari tabel 4.6., dapat dilihat bahwa pengangguran memiliki nilai thitung sebesar 1,37. Nilai thitung tersebut lebih kecil dari nilai ttabel pada tingkat signifikansi 10% sebesar 1,645. Selain itu, nilai probalitas t yang diperoleh adalah sebesar 0,17 yang lebih besar dari 0,1. Ini berarti H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti pengangguran tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur, 4.2.2. Analisa Model Regresi Dari Sisi Pengeluaran Daerah Model kedua mengestimasi variabel Desentralisasi Pengeluaran, Pajak Daerah, Investasi dan Pengangguran terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah, yang mana modelnya adalah sebagai berikut : Y 0 FD y 1 X 1 2 X 2 3 X 3 u
Ket :
: Konstanta
: Koefisien Regresi dari setiap variabel yang digunakan
Y
: Variabel Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Growth Rate)
FDy
: Variabel Desentralisasi Pengeluaran (Rasio Pengeluaran Daerah terhadap pengeluaran nasional )
X1
: Pajak daerah (Rasio Pajak Daerah/PDRB)
X2
: Variabel Investasi
X3
: Variabel Pengangguran
u
: Error/Kesalahan Penganggu
76
4.2.2.1. Hasil Estimasi Model Dengan menggunakan software EViews 3.0, pada tabel 4.7. dibawah ini disajikan hasil estimasi regresi linear berganda untuk model dari sisi pengeluaran daerah : Tabel 4.7. Hasil Estimasi Desentralisasi Pengeluaran Variabel
Koefisien
Probabilitas
Konstanta
0,0285
0,00
FDy
2,5794
0,07
X1
1,0209
0,01
X2
0,0040
0,28
X3
0,0535
0,06
2
R
= 0,23
Fhitung
= 8,80
Prob. (Fhitung)
= 0,00
Ftabel
= 1,99
Sumber: lampiran 5
Dari hasil estimasi pada tabel 4.7. dapat disusun persamaan regresi dari sisi pengeluaran daerah sebagai berikut: Y 0,0285 2,57 FD y 1,02 X 1 0,004 X 2 0,053 X 3
Dari tabel 4.7. tersebut juga tampak bahwa, baik variabel desentralisasi pengeluaran (FDy), pajak daerah (X1), dan pengangguran (X3) menunjukkan angka yang signifikan. Sebaliknya, variabel investasi (X2) tidak menunjukkan angka yang signifikan pada tingkat signifikansi 10%.
77
4.2.2.2. Hasil Uji Asumsi Klasik 4.2.2.2.1. Uji Multikolinearitas Dengan menggunakan software SPSS 11.5 dan diuji dengan menggunakan metode VIF (Variance Inflating Factor), pada tabel 4.8. dibawah ini disajikan nilai VIF masing-masing variabel desentralisasi pengeluaran (FDy), rasio pajak(X1), investasi (X2) dan penganguran (X3) : Tabel 4.8. Hasil VIF Test Variabel
VIF
FDy
1,356
X1
1,381
X2
1,178
X3
1,153
Sumber : Lampiran 6
Adapun asumsi yang harus dipenuhi dalam uji VIF adalah nilai VIF masing-masing variabel independen harus kurang dari 10 yang menandakan bahwa tidak terdapat multikoliniearitas di dalam model. Nilai ini adalah batasan yang menunjukkan hubungan multiko yang semakin kuat jika nilai VIF makin besar dari 10 (Gujarati, 2003). Dari tabel 4.8. dapat dilihat bahwa masing-masing nilai VIF variabel desentralisasi pengeluaran (FDy), pajak daerah (X1), investasi (X2) dan pengangguran (X3) adalah 1,356; 1,381; 1,178; 1,153, yang berarti tidak ada hubungan yang kuat diantara variabel independen sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat multikoliniearitas didalam model regresi yang digunakan.
78
4.2.2.2.2. Uji Autokorelasi Untuk mendeteksi adanya autokorelasi di dalam model digunakan BreuschGodfrey LM test. Dengan menggunakan sofware Eviews 3.0, hasil proses uji ini ditampilkan pada tabel 4.9. dibawah ini : Tabel 4.9. Hasil LM Test Variabel
Koefisien
Konstanta
-0,0147
Fdy
-0,0883
X1
-0,0008
LnX2
-0,0085
X3
0,0010
uˆ 1
0,0301
uˆ 2
0,2712
R2
= 0,0722
(n p) R 2
= 10,69
2 tabel
= 12,50
(n p) R 2 < 2 Sumber: Diolah dari lampiran 7
Dari tabel 4.9. dapat dilihat bahwa nilai (n p) R 2 lebih kecil dari nilai 2 tabel. Dari hasil tersebut dapat diambil keputusan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat autokorelasi di dalam model regresi yang digunakan.
79
4.2.2.2.3. Uji Heteroskedastisitas Dengan menggunakan software EViews 3.0, dan diuji dengan uji White, perincian hasil uji disajikan pada tabel 4.10. di bawah ini.: Tabel 4.10. Hasil White Test Variabel
Koefisien
Konstanta
0,0002
FDY
0,0011
FDY^2
-16,730
FDY*X1
17,496
FDY*LnX2
0,2230
FDY*X3
-2,5457
X1
-0,0506
X1^2
1,1804
X1*LnX2
-0,0706
X1*X3
0,1649
LnX2
-0,0002
LnX2^2
-0,0000
LnX2*X3
0,0067
X3
0,0010
X3^2
0,0023
R2
= 0,0448
n R2
= 6,64
2 tabel
= 22,31
n R2 < 2 Sumber: Lampiran 8
Dari tabel 4.10. dapat dilihat bahwa nilai n R 2 lebih kecil dari nilai 2 tabel. Dari hasil tersebut dapat diambil keputusan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak yang
80
berarti tidak terdapat heteroskedastisitas di dalam model regresi yang digunakan atau terjadi homoskedastisitas. 4.2.2.2.4. Normalitas Dengan mengacu kepada teori Central Limit Theorem (CLT) yang dikemukakan oleh Mirer (1995) dalam bukunya Economics Statistics and Econometrics bahwa salah satu karakteristik dari distribusi sampling adalah bentuk distribusi sampling yang normal dengan asumsi jika ukuran sampel n semakin besar. Beliau juga menyatakan bahwa ukuran besarnya sampel biasanya 15-20 cukup untuk dikatakan berdistribusi normal. CLT ini sifatnya sangat kuat karena meskipun distribusi dari observasi tidak normal, tetapi jika ukuran sampelnya besar maka data tersebut dapat dipakai. Maka peneliti juga mengasumsikan bahwa data residual pada model berdistribusi normal karena jumlah observasi yang dipakai adalah sebesar 148 observasi. 4.2.2.3. Hasil Uji Statistik 4.2.2.3.1. Koefisien Derterminasi Dari hasil pengolahan data didapat nilai R2 sebesar 0,23, yang berarti proporsi pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur (Y) dapat dijelaskan oleh variabel desentralisasi pengeluaran (FDy), pajak daerah (X1), investasi (X2), dan pengangguran (X3) sebesar 23% dan 77% lainnya dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model. Mirer (1995) menjelaskan bahwa taksiran mengenai besarnya R 2 tergantung pada kealamian analisa proses ekonominya. Pada kasus time series R2 biasanya tinggi karena antara variabel Y dan variabel X memiliki trend yang umum, sedangkan pada cross section cenderung rendah karena tidak ada trend dan kuatnya
81
variasi natural pada individualnya. Tetapi walaupun begitu R2 yang rendah dengan sampel yang besar sudah dapat dikatakan memiliki good fit. 4.2.2.3.2. Uji F Dari tabel 4.7., dapat dilihat bahwa nilai Fhitung adalah sebesar 8,80 yang lebih besar dari nilai Ftabel pada tingkat signifikansi 10% sebesar 1,99. Ini berarti, dari sisi pengeluaran daerah, variabel desentralisasi pengeluaran (FDy), pajak daerah (X1), investasi (X2) dan pengangguran (X3) berpengaruh signifikan secara serentak terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Selain itu, ini juga dapat dilihat dari tingkat signifikansi F yang diperoleh sebesar 0,00 yang lebih kecil dari 0,1. 4.2.2.3.3. Uji t Berikut ini disajikan tabel 4.11. yang menunjukkan hasil uji t. Tabel 4.11. Hasil Uji t Variabel
thitung
Probabilitas
FDy
1,82
0,070
X1
3,04
0,002
X2
1,07
0,285
X3
1,83
0,069
ttabel
= 1,645
Sumber: Lampiran 5
Hasil dari uji t akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Desentraliasi Pengeluaran (FDy) Dari tabel 4.11., dapat dilihat bahwa
variabel desentralisasi pengeluaran
(FDy) memiliki nilai thitung sebesar 1,819. Nilai thitung tersebut lebih besar dari
82
nilai ttabel pada tingkat signifikansi 10% sebesar 1,645. Selain itu, nilai probabilitas t yang diperoleh adalah sebesar 0,00 yang lebih kecil dari 0,1. Ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti desentralisasi pengeluaran signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. 2. Pajak Daerah (X1) Dari tabel 4.11., dapat dilihat bahwa variabel pajak daerah (X1) memiliki nilai thitung sebesar 3,04. Nilai thitung tersebut lebih besar dari nilai ttabel pada tingkat signifikansi 10% sebesar 1,645. Selain itu, nilai probabilitas t yang diperoleh adalah sebesar 0,0028 yang lebih kecil dari 0,1. Ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti pajak daerah signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. 3. Investasi (X3) Dari tabel 4.11., dapat dilihat bahwa variabel investasi memiliki nilai thitung sebesar 1,07. Nilai thitung tersebut lebih kecil dari nilai ttabel pada tingkat signifikansi 10% sebesar 1,645. Selain itu, nilai probalitas t yang diperoleh adalah sebesar 0,285 yang lebih besar dari 0,1. Ini berarti H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti investasi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. 4. Pengangguran Dari tabel 4.11., dapat dilihat bahwa pengangguran memiliki nilai thitung sebesar 1,82. Nilai thitung tersebut lebih besar dari nilai ttabel pada tingkat
83
signifikansi 10% sebesar 1,645. Selain itu, nilai probalitas t yang diperoleh adalah sebesar 0,06 yang lebih kecil dari 0,1. Ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti pengangguran signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur.
4.3. Pembahasan Hasil Analisa 4.3.1. Hasil Analisa Desentralisasi Fiskal Dari Sisi Penerimaan Daerah Melalui hasil perhitungan analisa regresi untuk model pertama yang menjelaskan desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan daerah (desentralisasi penerimaan), diperoleh nilai R2 sebesar 0,21 atau 21%. Ini berarti 21% variasi pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur dapat dijelaskan oleh variasi desentralisasi penerimaan, pajak daerah, investasi dan pengangguran. Selain itu, melalui uji F diperoleh tingkat signifikansi dibawah 0,1 yaitu 0,00. Yang berarti variabel desentralisasi penerimaan, pajak daerah, investasi dan pengangguran secara serentak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Berikut
ini
adalah
penjelasan
mengenai
bagaimana
variabel-variabel
independen secara individual mempengaruhi variabel dependen : 1.Variabel Desentralisasi Penerimaan Berdasarkan uji t, koefisien regresi variabel desentralisasi penerimaan adalah sebesar 1,22 dan secara statistik tidak nyata karena probabilitasnya lebih
84
besar dari tingkat signifikansi 10%, yang berarti variabel desentralisasi penerimaan secara parsial tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Sidik (2000), menjelaskan bahwa perimbangan keuangan pusat dan daerah yang ideal adalah apabila setiap tingkat pemerintahan dapat independen di bidang keuangan untuk membiayai pelaksanaan tugas dan wewenang masingmasing. Serta teori yang diungkapkan Koswara dalam Aswarodi (2001) ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerahnya. Artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, sedangkan ketergantungan pada bantuan pemerintah pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan pembagian keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar sistem pemerintahan Negara. Sedangkan di Jawa Timur pemerintah daerah belum dapat mengoptimalkan penggalian potensi-potensi yang ada pada daerahnya dan proporsi bantuan (subsidi) pemerintah masih sangat mendominasi keuangan daerah di Jawa Timur. Hal ini tercermin dari besarnya rata-rata bantuan (subsidi) pemerintah daerah daripada besarnya PAD yang dapat dikumpulkan oleh daerah di Jawa Timur. Pengimplementasian desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan daerah di Jawa Timur masih belum terasa manfaatnya dan masih banyak aspek-aspek penerimaan yang masih menjadi wewenang pemerintah pusat. Misalkan dari sektor pajak daerah, pemungutan-pemungutan pajak seperti pemungutan pajak bumi dan bangunan
85
dan berbagai sumber pajak berpotensi lainnya masih dikuasai oleh propinsi/pusat. Sehingga dari sisi penerimaan dapat dikatakan bahwa pengimplementasian desentralisasi fiskal masih belum berjalan dengan baik di Jawa Timur. Dewasa ini pengukuran kinerja keuangan daerah yang banyak dilakukan antara lain dengan melihat rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Prinsipnya, semakin besar sumbangan
PAD
kepada
APBD
akan
menunjukkan
semakin
kecil
ketergantungan daerah kepada pusat. Selain itu, adanya perkembangan peningkatan pendapatan dari pos PAD di suatu daerah, juga dapat memberikan gambaran bahwa daerah tersebut memiliki kinerja fiskal yang semakin baik. Satu hal yang perlu dicatat adalah peningkatan PAD bukan berarti daerah harus berlomba-lomba membuat pajak-pajak baru, tetapi lebih pada upaya memanfaatkan potensi daerah secara optimal (Khusaini, 2006). Besarnya proporsi PAD total kab/kota terhadap total penerimaan daerah di Jawa Timur dapat dilihat pada tabel 4.12. Tabel 4.12. Poporsi PAD Total Kab/Kota Terhadap Total Penerimaan Daerah Tahun
Total PAD Kab/Kota (Milyar Rupiah)
Total Penerimaan Daerah (Milyar Rupiah)
%
2001
809,4
10658,87
7,5
2002
1196,65
11232,57
10,6
2003
1485,27
12502,34
11,0
2004
1401,95
13475,90
10,5
Sumber : Data APBD Jawa Timur (diolah)
86
Dari tabel 4.12 dapat kita simpulkan bahwa proporsi PAD total Kab/Kota di Jawa Timur terhadap total penerimaan daerah secara rata-rata adanya peningkatan pada periode 2001-2003, hanya saja pada tahun 2004 peningkatannya tidak sebesar pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh gejolak politik yang melanda Indonesia pada tahun 2004 dibawah kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, yang menyebabkan distorsi ekonomi sehingga kondisi perekonomian menjadi labil. Meskipun tampaknya secara nominal PAD total kab/kota di Jawa Timur meningkat tapi sebenarnya secara riil peningkatan tersebut masih tergolong kecil, hal ini tercermin dari proporsi PAD yang dikontribusikan terhadap total penerimaan yang masih rendah ratarata per tahun hanya sebesar 8 persen saja dari total penerimaan. Sehingga jika pembiayaan pengeluaran daerah baik rutin maupun untuk pembangunan hanya berasal dari PAD saja tidaklah cukup. Sedangkan unsur lain yang sangat mendominasi total penerimaan adalah peranan dana perimbangan yaitu yang berupa bantuan (subsidi) pemerintah pusat. Besarnya proporsi bantuan (subsidi) pemerintah pusat dapat dilihat pada tabel 4.13. di bawah ini.. Tabel 4.13. Poporsi DAU/DAK Total Kab/Kota Terhadap Total Penerimaan Daerah Tahun
Total DAU/DAK Kab/Kota (Milyar Rupiah)
Total Penerimaan Daerah (Milyar Rupiah)
%
2001
8487,34
10658,87
79,6
2002
8501,26
11232,57
75,6
2003
9332,70
12502,34
74,6
2004
10011,53
13475,90
74,2
Sumber : Data APBD Jawa Timur (diolah)
87
Berdasarkan tabel 4.13., tampak bahwa bantuan (subsidi) dari pemerintah pusat sangat mendominasi penerimaan daerah di Jawa Timur. Mungkin secara proporsional terhadap total penerimaan adanya penurunan dari tahun ke tahun tapi penurunan tersebut nilainya kecil sekali sehingga tidak terlalu besar pengaruhnya dan secara nominal besarnya bantuan (subsidi) dari pemerintah pusat dari tahun ke tahun malah meningkat yang berarti pembiayaan yang bersumber dari pemerintah pusat terus meningkat yang juga berarti menunjukkan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat masih cukup tinggi. Pada penelitian ini pengukuran desentralisasi penerimaan menggunakan rasio penerimaan daerah yang sudah dikurangi dengan bantuan dari pemerintah pusat (Grant) yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap total penerimaan nasional, dengan maksud agar hasil yang dicapai merupakan bentukan dari desentralisasi fiskal yang benar-benar berasal dari penerimaan daerah itu sendiri tanpa ada unsur bantuan dari pemerintah. Dari hasil pengolahan data sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dari sisi penerimaan daerah desentralisasi fiskal belum dapat dikatakan berjalan dengan sebagaimana mestinya karena meskipun adanya peningkatan PAD tapi sebenarnya peningkatan bantuan (subsidi) pemerintah pusat juga meningkat yang besarnya melebihi peningkatan PAD. Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Faisal (2002) yang meneliti mengenai hubungan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat propinsi di Indonesia dari tahun 1995-1999, hasil
88
penelitian ini sama dengan hasil yang diperoleh oleh Faisal (2002), yaitu pada penelitiannya beliau gagal memperoleh pengaruh desentralisasi fiskal yang diukur dari sisi penerimaan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dalam artian dari sisi penerimaan, desentralisasi fiskal tidak ada pengaruhnya sama sekali dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Menurut Faisal (2002) hasil yang kurang memuaskan ini bisa saja disebabkan oleh guncangan stabilitas politik di Indonesia pada periode tersebut dan juga krisis ekonomi yang masih terasa pengaruhnya terhadap perekonomian, sehingga dampak dari implementasi desentralisasi fiskal belum terasa. Khusaini (2006) dalam desertasinya ”Kajian Desentralisasi Fiskal, Pengaruhnya terhadap Efisiensi Ekonomi Sektor Publik, Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat”, juga mendapatkan hasil bahwa pada aspek penerimaan (revenue side), penerimaan relatif pemerintah daerah terhadap penerimaan nasional relatif tidak mengalami perubahan yang signifikan baik sebelum maupun setelah penerapan desentralisasi fiskal. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi desentralisasi penerimaan di Indonesia masih semu, artinya masih banyak aspek-aspek penerimaan yang masih menjadi wewenang pemerintah pusat. Oleh karena itu, dari sudut pandang tersebut revenue decentralization sebenarnya masih belum terimplementasikan dengan baik di Indonesia khususnya di Jawa Timur. Dan juga hasil penelitian ini sejalan dengan hasil-hasil yang diperoleh oleh para peneliti terdahulu yang juga meneliti mengenai pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, seperti Zhang dan Zou
89
(1998) menemukan bahwa desentralisasi fiskal tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Cina. Philips dan Woller (1997) gagal mendapatkan pengaruh desentralisasi fiskal yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara berkembang. Akan tetapi penelitian ini berlainan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ling and Liu (2000) dalam Vasquez dan McNab (2001) yang mana hasil penelitiannya adalah bahwa desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Cina, yang berarti pada saat Ling dan Liu melakukan penelitian pada periode tersebut peningkatan pertumbuhan ekonomi di Cina juga dipengaruhi oleh adanya implementasi desentralisasi fiskal. 2. Pajak Daerah Berdasarkan uji t, dapat dilihat bahwa variabel pajak daerah secara parsial mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Koefisien regresi variabel pajak daerah yang bertanda positif mempunyai arti bahwa kenaikan pajak daerah relatif terhadap PDRB akan diikuti pula oleh kenaikan pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur, demikian pula sebaliknya, kenaikan pajak daerah relatif terhadap PDRB akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Nilai koefisien regresi yang diperoleh adalah sebesar 1,2 yang menunjukkan bahwa setiap kenaikan pajak daerah relatif terhadap PDRB sebesar 1 persen maka akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi daerah rata-rata sebesar 1,2 persen atau sebaliknya, dengan asumsi variabel yang lain tidak berubah atau konstan (ceteris paribus). Garis regresi dari pajak daerah terhadap pertumbuhan
90
ekonomi daerah di Jawa Timur (dengan asumsi nilai variabel bebas yang lain adalah sebesar 0) dapat dilihat pada gambar 4.1. di bawah ini. Gambar 4.1. Garis Regresi Pajak Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa Timur 0.5 0.45
Pertumbuhan Ekonomi Daerah
0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
Pajak Daerah
Sesuai dengan persamaan regresi dari sisi penerimaan daerah slope dari garis regresi tersebut adalah sebesar 1,2 dengan intercept pada sumbu Y pada titik 0,03. Pada penelitian ini pajak daerah relatif terhadap PDRB berbanding lurus terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur, yaitu memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Dari sisi penerimaan, pajak daerah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam peningkatan PAD. Karena salah satu upaya dalam peningkatan PAD adalah dengan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, akan tetapi harus terkendali dengan baik karena jika tidak malah akan menyebabkan
91
distorsi ekonomi. Dengan meningkatnya penerimaan dari sektor pajak daerah berarti mencerminkan tingkat pendapatan masyarakat juga meningkat yang juga berarti peningkatan produksi barang dan jasa yang kemudian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Dari penerimaan yang didapat dari pajak daerah juga dapat digunakan untuk membiayai perbaikan dan penambahan infrastruktur daerah dalam menunjang perekonomiannya. Hasil mengenai pajak daerah pada penelitian ini sama dengan pada penelitian faisal (2002), pajak daerah memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, yang berarti pajak daerah
memang
dapat
memberikan
kontribusi
untuk
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 3. Variabel Investasi Berdasarkan uji t, koefisien regresi variabel investasi adalah sebesar 0,005 dan secara statistik tidak nyata karena probabilitasnya lebih besar dari tingkat signifikansi 10%, yang berarti variabel investasi secara parsial tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Hasil pengolahan data investasi yang didapat tidak bersesuaian dengan teori-teori yang menjelaskan bahwa investasi seharusnya sangat berkaitan dalam menunjang pertumbuhan ekonomi. Sukirno (1994) menyatakan bahwa investasi merupakan penanaman modal atau pembentukan modal, yang dapat diartikan pengeluaran/pembelanjaan modal yang digunakan untuk memproduksi ataupun memperbaiki infrastruktur yang ada didalam suatu perekonomian, yang kemudian diharapkan dengan adanya pembelanjaan modal ini akan sangat
92
mempengaruhi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dengan tingginya investasi yang ditanamkan didaerah tersebut maka daerah tadi dapat berkembang lebih pesat dalam memproduksi barang dan jasa yang kemudian meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah serta akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Tidak signifikannya investasi pada penelitian ini adalah karena penyebaran penanaman modal (investasi) tidak merata yaitu hanya pada beberapa daerah saja di Jawa Timur yang memiliki investasi, khususnya daerah kawasan industri dan daerah-daerah pada sepanjang garis pantai, seperti Surabaya, Sidoarjo, Gresik dll. Sangat kurangnya investasi di Jawa Timur juga dapat disebabkan oleh peraturan-peraturan daerah (birokrasi) seperti lamanya proses perizinan, pungutan serta inkonsistensi kebijakan yang sangat memberatkan bagi para investor baik dalam negeri maupun luar negeri. Iklim investasi di Jawa Timur termasuk suram karena pemerintah daerahnya gagal dalam mengembangkan strategi investasi yang andal sehingga kalah bersaing dalam memperebutkan investasi dengan daerah lainnya seperti Jawa Barat, DKI Jakarta dan Kalimantan Timur (Kompas, 2003). 4.Pengangguran Berdasarkan uji t, koefisien regresi variabel pengangguran adalah sebesar 0,03 dan secara statistik tidak nyata karena probabilitasnya lebih besar dari tingkat signifikansi 10%, yang berarti variabel pengangguran secara parsial tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur.
93
Hal ini berbeda dengan teori yang dikemukakan oleh Mankiew (1999) yang dikenal dengan hukum Okun, bahwa pertumbuhan ekonomi akan semakin meningkat seiring dengan semakin kecilnya proposi pengangguran di daerah tersebut. Akan tetapi tidak signifikannya pengangguran pada penelitian ini karena dari sisi penerimaan daerah, pengangguran merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja, yang berarti pengangguran tidak memberikan kontribusi yang dapat dianggap sebagai penerimaan dan juga pengangguran tidak menghasilkan/memproduksi barang dan jasa yang kemudian tidak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. 4.3.2. Hasil Analisa Desentralisasi Fiskal Dari Sisi Pengeluaran Daerah Melalui Hasil Perhitungan analisa regresi pada model yang kedua yaitu yang menjelaskan desentralisasi fiskal dari sisi pengeluaran daerah, diperoleh nilai R 2 sebesar 0,23 atau 23%. Ini berarti hanya 23% variasi pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur yang dapat dijelaskan oleh variasi desentralisasi pengeluaran, pajak daerah, investasi dan pengangguran, sedangkan 77% variasi pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model. R2 mencerminkan sejauh mana data yang digunakan dalam estimasi regresi dapat menjelaskan kondisi data yang sebenarnya. Dengan R2 sebesar 23% berarti ada beberapa variabel lain yang pengaruhnya sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi, adapun beberapa variabel lain diluar model yang dinilai pengaruhnya cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi daerah adalah seperti jumlah tenaga kerja, teknologi, tabungan dan konsumsi rumah tangga (Jhingan, 2000). Menurut beliau teknologi memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pertumbuhan
94
ekonomi karena dengan adanya kemajuan teknologi maka proses produksi dalam menghasilkan suatu produk akan menjadi lebih efisien dan minimalisasi biaya dapat tercapai dengan hasil yang optimal. Besarnya nilai R2 pada model yang kedua ini tidaklah berbeda jauh dengan nilai R2 yang diperoleh pada model yang pertama, karena sama-sama menghasilkan nilai R2 yang cukup rendah, walaupun begitu berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Thad W. Mirer (1995) nilai R 2 yang rendah bukan hanya disebabkan oleh pengaruh yang kuat dari variabel lain diluar model yang tidak dimasukkan kedalam model, tetapi bisa terjadi pada kasus dimana data yang digunakan sangat banyak (large) sehingga tidak memiliki trend yang umum dan kuatnya variasi natural pada individualnya. Sehingga dengan R2 yang cenderung rendah bukan berarti kita tidak dapat menyimpulkan atau menjelaskan sesuatu dari analisa model tersebut. Mirer (1995) pernah melakukan penelitian yang hasilnya mirip dengan penelitian ini, dimana pada penelitiannya beliau melihat hubungan antara pendapatan keluarga (family income) terhadap tabungan keluarga (family saving) dan hasil dari analisa regresinya hanya diperoleh nilai R2 sebesar 0,44 atau 44%, dan beliau tetap menggunakan model tersebut untuk menjelaskan pengaruh pendapatan keluarga (family income) terhadap tabungan keluarga (family saving). Insukindro (1999), juga menjelaskan bahwa R2 hanyalah salah satu dari kriteria goodness of fit dan bukan merupakan satu-satunya kriteria dalam pemilihan model, dan juga dijelaskan bahwa dalam penggunaan data gabungan memang R2 yang didapat cenderung kecil apalagi jika bentuk datanya lebih dominan berbentuk crosssection. Selain itu, melalui uji F diperoleh tingkat signifikansi dibawah 0,1 yaitu 0,00. Yang berarti variabel desentralisasi pengeluaran, pajak daerah, investasi dan
95
pengangguran secara serentak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Berikut
ini
adalah
penjelasan
mengenai
bagaimana
variabel-variabel
independen secara individual mempengaruhi variabel dependen : 1. Variabel Desentralisasi Pengeluaran Bedasarkan uji t, dapat dilihat bahwa variabel desentralisasi pengeluaran secara parsial mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Koefisien regresi variabel desentralisasi pengeluaran bertanda positif yang berarti kenaikan pengeluaran daerah relatif terhadap pengeluaran nasional akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur, atau sebaliknya penurunan pengeluaran daerah relatif terhadap pengeluaran nasional akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Nilai Koefisien regresi yang diperoleh adalah sebesar 2,57. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan pengeluaran daerah relatif terhadap pengeluaran nasional sebesar 1 persen akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur rata-rata sebesar 2,57 persen atau sebaliknya dengan asumsi variabel yang lain tidak berubah atau konstan (ceteris paribus). Garis regresi dari desentralisasi pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur (dengan asumsi nilai variabel bebas yang lain adalah sebesar 0) dapat dilihat pada gambar 4.2. di bawah halaman selanjutnya.
96
Gambar 4.2. Garis Regresi Desentralisasi Pengeluaran Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa Timur 0.3
Pertumbuhan Ekonom Daerah
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0 0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
0.09
0.1
Desentralisasi Pengeluaran
Sesuai dengan persamaan regresi dari sisi pengeluaran daerah slope dari garis regresi tersebut adalah sebesar 2,57 dengan intercept pada sumbu Y pada titik 0,028. Jika kita perhatikan antara penerimaan daerah dan pengeluaran daerah relatif terhadap penerimaan dan pengeluaran nasional, yang merupakan pengukur (measurement) desentralisasi fiskal yang baik adalah dari sisi pengeluaran daerah karena memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Due (1998) dalam Miftah (2000) bahwa perbandingan antara pengeluaran-pengeluaran pemerintah daerah terhadap pendapatan bruto cenderung berbanding linear dan positif, maksudnya adalah jika pengeluaran pemerintah daerah naik maka pendapatan bruto juga akan ikut naik bersamaan
97
dengan pembangunan ekonomi suatu daerah. Dan juga beberapa studi mengenai hubungan penerimaan daerah dan pengeluaran daerah serta dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, didapat bahwa variabel pengeluaran pemerintah daerah memberikan pengaruh yang positif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Desentralisasi Pengeluaran diukur dari pos pengeluaran rutin, pengeluaran pembangunan dan pengeluaran tidak tersangka. Berdasarkan pengolahan data porporsi pos pengeluaran rutin terhadap total pengeluaran di Kab/Kota Jawa Timur dijelaskan pada tabel 4.14. di bawah ini. Tabel 4.14. Proporsi Pengeluaran Rutin Terhadap Total Pengeluaran Kab/Kota di Jawa Timur Tahun
Pengeluaran Rutin (Rp. Milyar)
Total Pengeluaran (Rp. Milyar)
%
2001
7133,49
9309,68
7,6
2002
8298,16
11286,74
7,4
2003
9581,29
13342,43
7,2
2004
9718,59
15494,79
6,3
Sumber : Data APBD Diolah
Dari tabel 4.14. diatas dapat kita lihat bahwa proporsi pengeluaran rutin terhadap total pengeluaran sejak diimplementasikan desentralisasi fiskal terlihat menurun dari tahun ke tahun. Sedangkan secara nominal terjadi peningkatan pengeluaran rutin yang cukup signifikan dari tahun ke tahun, hal ini disebabkan oleh adanya pelimpahan pegawai dan pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah pada era desentralisasi, sehingga membutuhkan pembiayaan
98
pegawai yang cukup besar. Walaupun begitu porsi pengeluaran rutin masih tetap lebih besar dibandingkan dengan porsi pengeluaran pembangunan Tabel 4.15. Proporsi Pengeluaran Pembangunan Terhadap Total Pengeluaran Kab/Kota di Jawa Timur Tahun
Pengeluaran Pembangunan (Rp. Milyar)
Total Pengeluaran (Rp. Milyar)
%
2001
2130,16
9309,68
2,3
2002
2855,36
11286,74
2,5
2003
3605,12
13342,43
2,7
2004
5681,22
15494,79
3,6
Sumber : Data APBD Diolah
Dari pos pengeluaran pembangunan, tampak pada tabel 4.15. diatas bahwa baik secara nominal maupun proporsional pengeluaran pembangunan terhadap total pengeluaran Kab/Kota di Jawa Timur menunjukkan kecenderungan yang meningkat, hal ini mencerminkan bahwa pada masa desentralisasi fiskal alokasi dana yang berkaitan langsung dengan kepentingan publik telah dialokasikan dengan baik, misalkan saja dengan adanya perbaikan dan penambahan infrastruktur yang lebih memadai bagi masyarakat di Jawa Timur. Akan tetapi perlu dicermati pada tahun 2004 terjadi peningkatan yang sangat signifikan daripada tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan ini terjadi karena adanya perubahan penyusunan APBD yang berbasis kinerja, sehingga tidak ada pemisahan yang jelas antara pengeluaran rutin dan pengeluaran untuk pembangunan, dibandingkan dengan penyusunan APBD yang berbasis anggaran berimbang. Misalkan saja masih banyak daerah yang memasukkan pos belanja pegawai kedalam pos belanja publik bukan pada pos belanja
99
aparatur. Pos belanja pegawai yang paling sering dimasukkan kedalam pos belanja publik adalah belanja pegawai dinas kesehatan dan pendidikan. Beberapa daerah memasukkan pos belanja kedua departemen tadi kedalam pos belanja publik atas dasar bahwa pegawai kedua satuan kerja tadi memang digaji untuk melakukan kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat.
Hal ini berarti peningkatan pengeluaran
pembangunan di tahun 2004 yang cukup tinggi ini bukan berarti anggaran belanja sudah dialokasikan sepenuhnya untuk proyek-proyek pembangunan yang pro rakyat, tetapi sebagian besar untuk membayar gaji pegawai. Berdasarkan penelitian JPIP (2005), daerah yang paling tinggi alokasi belanja publiknya adalah Kabupaten Jember, yaitu sebesar Rp 501,98 Milyar atau sekitar 86,64 persen sedangkan untuk belanja aparatur Kabupaten Jember hanya mengalokasikan sebesar Rp 51,68 Milyar atau sekitar 8,92 persen. Dari data diatas terlihat sangat kontras sekali antara alokasi dana untuk belanja publik dan belanja aparatur, sehingga terkesan tidak efektif dalam pengelolaan keuangan daerahnya, dalam artian pemerintah daerah Kabupaten Jember belum dapat menerapkan good governance yang baik. Dan juga dicurigai pada beberapa daerah di Jawa Timur, pada era desentralisasi pelimpahan wewenang pengelolaan keuangan oleh pusat kepada daerah masih terjadi praktik-praktik korupsi yang membengkakkan anggaran belanja, karena Jawa Timur saat ini menempati peringkat pertama kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat daerah. Selain kedua pos pengeluaran tadi ada juga pengeluaran yang dilakukan untuk hal-hal yang tidak terduga, yang tercantum pada tabel 4.16. di halaman selanjutnya.
100
Tabel 4.16. Proporsi Pengeluaran Tak Terduga Terhadap Pengeluaran Rutin Tahun
Pengeluaran Tak Terduga (Rp. Milyar)
Pengeluaran Rutin (Rp. Milyar)
%
2001
46,02
7133,49
0,6
2002
133,20
8298,16
1,6
2003
156,01
9581,29
1,6
2004
195,41
9618,59
2,0
Sumber : Data APBD Diolah
Pada Tabel 4.16. diatas terlihat bahwa baik secara nominal dan proporsi pengeluaran tak terduga cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun, padahal pada era desentralisasi fiskal hal ini seharusnya tidak terjadi karena pengelolaan keuangan publik harus sesuai dengan porsi yang telah ditentukan (efektif) agar mencapai tujuan kepentingan publik. Dengan adanya peningkatan pengeluaran tak terduga berarti anggaran pengeluaran yang telah disiapkan sebelumnya tidak mencukupi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang ada. Secara umum desentralisasi pengeluaran di Jawa Timur telah berjalan dengan baik meskipun masih perlu adanya perbaikan skill para aparatur pemerintahan demi terwujudnya efektifitas dan efisiensi pelayanan publik di era desentralisasi fiskal ke depan. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh JPIP ((Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi, 2005), yang mengevaluasi kinerja pemerintah daerah dilihat dari pembangunan infrastruktur, dan proyek-proyek yang didanai oleh APBD, dengan respondennya adalah masyarakat daerah itu
101
sendiri dan penilaian dalam skala 1-4, hasil yang didapat adalah bahwa rata-rata Kab/Kota di Jawa Timur mendapatkan skor 4, malahan sebagian besar responden untuk Kabupaten Blitar, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Ponorogo, dan Kabupaten Gresik memberikan nilai 5. Hal ini berarti masyarakat merasa program-program pembangunan telah terlaksana dengan baik yang kemudian memberikan efek positif dan bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Fakta ini merupakan salah satu hakekat desentralisasi yang mana didalam kelangsungannya peran serta masyarakat itu sendiri sangat dibutuhkan dalam mencapai tujuan otonomi daerah. Jika dibandingkan dengan penelitian para peneliti terdahulu seperti, Faisal (2002), yang didalam penelitiannya beliau juga menggunakan pengeluaran daerah sebagai salah satu indikator untuk mengukur desentralisasi fiskal, beliau memperoleh hasil bahwa desentralisasi pengeluaran memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Menurut beliau pengaruh yang negatif ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti, pertama, pengimplementasian UU No 5 Tahun 1974 yang belum relevan sehingga tidak optimal, karena pemerintah pusat masih enggan untuk mendelegasikan kekuasaan yang lebih kepada pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah merasa kesulitan untuk menjalankan otonomi daerah di lapangan. Kedua, desentralisasi yang dicanangkan dirasa belum diikuti oleh peningkatan skill para aparatur pemerintahan dan akuntabililitas politik yang lebih baik, serta
102
penggunaan dana oleh pemerintah lokal yang tidak bertanggung jawab, kebijakan desentralisasi yang diambil terlalu terburu-buru tanpa persiapan yang matang seperti belum dibentuknya birokrasi yang dikhususkan untuk desentralisasi. Yang ketiga, efek negatif desentralisasi pengeluaran bisa juga disebabkan oleh
guncangan krisis ekonomi tahun 1997 yang masih
mengganggu jalannya perekonomian di Indonesia. Zhang dan Zou (1998) dalam penelitiannya yang memfokuskan desentralisasi fiskal diukur dari sisi pengeluaran pemerintah juga memperoleh pengaruh yang negatif dan signifikan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi di Cina. Menurut Zhang and Zou, memang sepertinya untuk kondisi seperti di Cina, lebih baik masalah kebijakan fiskal bangsa dengan eksternalitas yang luas langsung ditangani oleh pemerintah pusat. Aschauer (1989) dan Barro (1990), dalam penelitiannya mereka menemukan bahwa meningkatnya bagian konsumsi pemerintah pusat yang tercantum dalam GDP secara negatif diasosiasikan dengan tingkat pertumbuhan. Penelitian ini hasilnya hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Khusaini (2006) yang juga meneliti mengenai desentralisasi fiskal yang diukur dari sisi pengeluaran daerah yang mendapatkan hasil bahwa desentralisasi pengeluaran memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur yang ditandai dengan terjadinya peningkatan pengeluaran daerah yang cukup besar relatif terhadap
103
pengeluaran nasional, yang berarti pengimplementasian desentralisasi fiskal di Jawa Timur dipandang telah berjalan dengan baik, program-program pembangunan yang sebelumnya ditangani oleh pemerintah pusat kini banyak yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah pada periode penelitian. Ram (1986) juga menemukan adanya hubungan yang positif antara konsumsi pemerintah pusat dengan tingkat pertumbuhan. Devarajan, Swaroop, dan Zou (1996) menjelaskan bagaimana dampak komposisi pengeluaran publik terhadap pertumbuhan ekonomi, yang mana mereka menemukan pada saat bagian pengeluaran pemerintah pusat meningkat, secara statistik dan signifikan akan memberikan
pengaruh
yang
positif
terhadap
pertumbuhan
ekonomi.
Berdasarkan penelitian Ram (1986) dan Devarajan, Swaroop Zou (1996), dan Khusaini (2006) maka dapat dikatakan desentralisasi pengeluaran di Jawa Timur sudah berjalan sebagaimana mestinya pada periode penelitian, maksudnya adalah dengan adanya desentralisasi pengeluaran di Jawa Timur maka kewenangan dan kewajiban pemerintah daerah seperti menambah dan memperbaiki infrastruktur dapat terlaksana dengan baik, adanya penambahan anggaran untuk proyek pembangunan di Jawa Timur, serta penambahan anggaran untuk kebutuhan publik tanpa adanya intervensi yang berlebihan dari pemerintah pusat yang kemudian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur.
104
2.Pajak Daerah Berdasarkan uji t, dapat dilihat bahwa variabel pajak daerah pada model yang kedua sama dengan pada model yang pertama yaitu secara parsial mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa timur. Koefisien regresi variabel pajak daerah yang bertanda positif mempunyai arti bahwa peningkatan pajak daerah relatif terhadap PDRB akan diikuti pula oleh kenaikan pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur, demikian pula sebaliknya, kenaikan pajak daerah relatif terhadap PDRB akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa timur. Nilai koefisien regresi yang diperoleh adalah sebesar 1,02 yang menunjukkan bahwa setiap kenaikan pajak daerah relatif terhadap PDRB sebesar 1 persen maka akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi daerah rata-rata sebesar 1,02 persen, atau sebaliknya, dengan asumsi variabel yang lain tidak berubah atau konstan (ceteris paribus). Garis regresi dari pajak daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur (dengan asumsi nilai variabel bebas yang lain adalah sebesar 0) dapat dilihat pada gambar 4.3. di halaman selanjutnya.
105
Gambar 4.3. Garis Regresi Pajak Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa Timur 0.2
0.18
Pertumbuhan Ekonomi Daerah
0.16
0.14
0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0 0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
0.09
0.1
Pajak Daerah
Sesuai dengan persamaan regresi dari sisi pengeluaran daerah slope dari garis regresi tersebut adalah sebesar 1,02 dengan intercept pada sumbu Y pada titik 0,028. Untuk pembahasan pajak daerah dari sisi pengeluaran daerah sama dengan pembahasan sebelumnya yaitu pajak daerah dari sisi penerimaan daerah karena sama-sama memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. 3. Variabel Investasi Berdasarkan uji t, Koefisien regresi variabel investasi adalah sebesar 0,004 dan secara statistik tidak nyata karena probabilitasnya lebih besar dari
106
tingkat signifikansi 10%, yang berarti variabel investasi secara parsial tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Untuk pembahasan investasi dari sisi pengeluaran daerah sama dengan pembahasan sebelumnya yaitu pada model desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan daerah, karena pada kedua model, investasi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. 4. Pengangguran Berdasarkan uji t, dapat dilihat bahwa variabel pengangguran pada model yang kedua secara parsial mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa timur. Koefisien regresi variabel pengangguran yang bertanda positif mempunyai arti bahwa peningkatan pengangguran akan seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur, demikian pula sebaliknya. Nilai koefisien regresi yang diperoleh adalah sebesar 0,03 yang menunjukkan bahwa secara rata-rata setiap kenaikan pengangguran sebesar 1 persen maka seiring dengan itu juga pertumbuhan ekonomi daerah meningkat sebesar 0,03 persen, begitu juga sebaliknya dengan asumsi variabel yang lain tidak berubah atau konstan (ceteris paribus). Hal ini berbeda dengan teori yang dikemukakan oleh Mankiw (1999) yang dikenal dengan hukum Okun, bahwa pertumbuhan ekonomi akan semakin meningkat seiring dengan semakin kecilnya proporsi pengangguran di daerah tersebut. Akan tetapi pada kasus ini pertumbuhan ekonomi daerah yang meningkat malah memberikan dampak yang berupa peningkatan pada tingkat
107
pengangguran di Jawa Timur. Yang berarti asumsi dengan tingkat pengangguran yang rendah akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah menjadi tidak sahih pada kasus ini. Hal ini terjadi karena pengeluaranpengeluaran
pembangunan
yang
digunakan
untuk
memperbaiki
dan
menciptakan sarana dan prasarana pelayanan publik (proyek pembangunan) lebih bersifat padat modal daripada padat karya, sehingga penyerapan tenaga kerja yang diharapkan dari proyek-proyek pembangunan yang dilakukan tidak dapat mengurangi pengangguran, dengan alasan efektifitas dan efisiensi biaya jika menggunakan teknologi, selain itu juga yang menyebabkan tingkat pengangguran yang masih tinggi adalah karena minimnya investasi/investasi yang belum merata di Jawa Timur sehingga penciptaan lapangan kerja baru belum meluas. Argumen ini didasari oleh fakta yang menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah Jawa Timur terus meningkat tapi selain itu juga tingkat penganggurannya pun ikut meningkat karena beberapa hal yang telah dijelaskan diatas (d-infokom-jatim.go.id, 2005). Pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur yang terus meningkat meskipun tingkat penganggurannya juga meningkat dipengaruhi oleh faktor konsumsi rumah tangga dan pemerintah, yang menandakan bahwa rumah tangga di Jawa Timur rata-rata berpendapatan cukup tinggi sehingga konsumsi yang dilakukan juga cukup besar dan mempengaruhi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Konsumsi tersebut misalkan saja dari penjualan makanan dan minuman, tembakau, peralatan rumah tangga, bahan konstruksi, alat tulis, bahan kimia, bahan bakar dan suku cadang. Pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur
108
juga ikut dilambungkan oleh meningkatnya kinerja sektor pedagangan, sektor industri, sektor keuangan, sektor sewa dan jasa perusahaan (BPS Jatim, 2005). 4.4. Gambaran Desentralisasi Fiskal Secara Umum di Jawa Timur Pokok tujuan dalam penelitian ini adalah melihat bagaimana pengaruh implementasi desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur pada periode 2001-2004 yang diukur dari sisi penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Karena dampak yang diberikan oleh desentralisasi fiskal terhadap
pertumbuhan
ekonomi
masih
kabur,
apakah
sebenarnya
dengan
pengimplementasian desentralisasi fiskal akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah. Banyak pakar ekonomi yang berargumen bahwa desentralisasi fiskal dapat membantu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, selain merupakan alat yang efektif dalam meningkatkan efisiensi pengeluaran publik dan efisiensi alokasi sumber daya pada sektor publik, desentralisasi juga dapat dipandang sebagai jalan untuk menggebrak kekuasaan pemerintah pusat yang terlalu mendominasi dan mendelegasikan kekuasaan pemerintah pusat kepada sub-pemerintahan. Oleh karenanya topik mengenai desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi sampai saat ini masih terus digali dan diuji pada berbagai penelitian, untuk mencari hasil yang mutlak antara pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. Desentralisasi fiskal merupakan suatu permasalahan yang multidimensi sehingga hasil yang didapat akan berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya (Vazquez and McNab, 2001). Oates, Bird, Bird dan Wallich, Bahl dan Linn, dan Gramlich dalam Khusaini (2006) menyatakan bahwa desentralisasi pendapatan dan
109
pengeluaran (desentralisasi fiskal) dapat meningkatkan efisiensi dari sektor publik, mengurangi defisit anggaran, dan mendorong pertumbuhan dan pengembangan ekonomi daerah. Dengan adanya desentralisasi penerimaan dan pengeluaran akan membuat tiap-tiap pemerintah daerah berkompetisi untuk memenuhi kebutuhan publik masyarakatnya sehingga memungkinkan masyarakat untuk memilih barang dan jasa publik yang sesuai dengan preferensinya masing-masing, hal ini tidak akan terjadi jika pemenuhan kebutuhan publik dilakukan oleh pemerintah pusat secara seragam, Tiebout dalam Khusaini (2006). Oleh karenanya digunakan dua model untuk mengukur desentralisasi fiskal yaitu model desentralisasi penerimaan dan model desentralisasi pengeluaran yang diyakini para peneliti sebelumnya merupakan indikator yang sesuai jika kita ingin mengukur desentralisasi fiskal. Setelah dilakukan pengolahan data dan analisa yang mendalam antara desentralisasi penerimaan dan desentralisasi pengeluaran ternyata desentralisasi pengeluaran merupakan pengukur (measurement) yang lebih baik untuk menjelaskan desentralisasi fiskal, karena desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur, sedangkan dari sisi penerimaan (desentralisasi penerimaan), penulis tidak menemukan adanya hubungan yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, yang menandakan bahwa dari sudut pandang penerimaan daerah, desentralisasi fiskal belum terimplementasikan dengan baik di Jawa Timur, masih banyak kewenangan aspek penerimaan yang seharusnya dikelola oleh pemerintah
110
daerah yang masih dikuasai oleh pusat/propinsi. Implementasi desentralisasi fiskal sudah berjalan sebagaimana mestinya dari sudut pandang desentralisasi pengeluaran. Sejak diimplementasikan desentralisasi fiskal pada tahun 2001 telah terjadi peningkatan pengeluaran daerah yang cukup besar secara nominal. Fenomena ini mengindikasikan bahwa sejak otonomi daerah wewenang-wewenang pengeluaran sebagian besar telah diserahkan pemerintah pusat kepada daerah. Program-program pembangunan yang sebelumnya ditangani oleh pemerintah pusat sekarang banyak yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebelum desentralisasi fiskal, proses pembangunan daerah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan monitoring sangat kental dengan intervensi pemerintah pusat. Setelah desentralisasi fiskal terlihat bahwa pemerintah pusat sudah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mendesain dan merencanakan pembangunan di daerah sesuai dengan potensi dan karakteristik yang dimilikinya. Fakta menjelaskan bahwa dalam hal pelayanan publik, Jawa Timur merupakan etalase dan ukuran pemberian pelayanan publik bagi Indonesia, karena Jawa Timur mendapatkan
11
penghargaan
di
bidang
pelayanan
publik
dari
Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara tahun 2004, yang menjadi bukti bahwa Jawa Timur setidaknya telah menjadi garda terdepan dalam hal pelayanan publik, selain itu juga setelah diimpelentasikan desentralisasi fiskal pertumbuhan ekonomi Jatim telah berhasil melampaui batas pertumbuhan ekonomi nasional yaitu sekitar 7,5 persen (MediaJatim.go.id, 2005).
111
Sesuai dengan teori-teori yang diungkapkan oleh berbagai pakar ekonomi, bahwa dengan adanya desentralisasi fiskal, berarti kewenangan untuk mengelola dan mengatur keuangan daerahnya sendiri memang lebih baik dilakukan oleh pemerintah daerah masing-masing, karena pemerintah daerah setempat lebih mengetahui kondisi dan karakteristik daerahnya dan lebih memiliki informasi yang lebih baik mengenai daerahnya daripada pemerintah pusat, sehingga efisiensi dan efektifitas dalam pemenuhan kebutuhan barang dan jasa publik dapat tercapai yang kemudian pertumbuhan ekonomi pada daerah tersebut akan secepat pertumbuhan ekonomi nasional. Yang berarti dalam penelitian ini, adanya implementasi desentralisasi fiskal telah memberikan pemerintah daerah Jawa Timur kewenangan yang lebih baik dalam mengatur dan mengelola keuangan daerahnya, dapat dikatakan demikian karena dengan adanya implementasi desentralisasi fiskal sangat mempengaruhi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur daripada sebelum adanya implementasi desentralisasi fiskal.
112
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa mengenai pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur, yang diukur dari sisi penerimaan dan pengeluaran daerah, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Dilihat dari analisa masing-masing model yang sama-sama menjelaskan pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur, maka dapat dikatakan bahwa pengukur (measurement) desentralisasi fiskal yang lebih baik adalah desentralisasi pengeluaran karena dilihat dari koefisien regresinya mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur, sedangkan desentralisasi penerimaan tidak memberikan pengaruh yang positif dan signifikan. 2. Dari sisi penerimaan daerah, variasi pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur yang dapat dijelaskan oleh variasi desentralisasi penerimaan, pajak daerah, investasi dan pengangguran tidak terlalu berbeda jauh/relatif hampir sama dengan analisa dari sisi pengeluaran daerah yang dijelaskan oleh variasi desentralisasi pengeluaran, pajak daerah, investasi dan pengangguran. 3. Baik dari sisi penerimaan daerah dan sisi pengeluaran daerah, variabel desentralisasi penerimaan, desentralisasi pengeluaran, pajak daerah, investasi dan pengangguran secara serentak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur.
113
4. Dari sisi penerimaan daerah, variabel desentralisasi penerimaan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Yang juga berarti implementasi desentralisasi fiskal dari sudut pandang penerimaan daerah belum berjalan dengan baik, masih banyak aspek-aspek penerimaan yang masih dikuasai oleh pusat/propinsi. 5. Dari sisi pengeluaran daerah, variabel desentralisasi pengeluaran berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Ini berarti, dengan meningkatnya pengeluaran daerah akan menyebabkan meningkatnya pula pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa di Jawa Timur anggaran yang dialokasikan untuk pengeluaran daerah sangat mempengaruhi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerahnya. Oleh karenanya hipotesis pertama dari sisi pengeluaran daerah diterima. 6. Berdasarkan pembahasan yang ada dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak diimplementasikannya desentralisasi fiskal di Indonesia khususnya di Jawa Timur, wewenang yang diberikan oleh pusat kepada pemerintah daerah Jawa Timur untuk mengelola keuangan daerahnya sendiri sudah dapat dilaksanakan dengan cukup baik oleh pemerintah daerah, seperti pengalokasian anggaran belanja khususnya anggaran belanja untuk kepentingan publik yang meningkat demi terwujudnya efektifitas dan efisiensi pelayanan yang diberikan kepada masyarakat yang kemudian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. 7.
Baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran daerah, pajak daerah berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di
114
Jawa Timur. Hal ini berarti, adanya peningkatan pajak daerah akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Yang berarti hipotesis kedua diterima. 8. Baik dari sisi penerimaan dan sisi pengeluaran daerah, investasi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Yang disebabkan oleh penyebaran investasi yang tidak merata di Jawa Timur, hanya pada beberapa daerah saja yang memperoleh investasi, yaitu daerah yang memang sudah giffen dan daerah yang dilaui garis pantai seperti Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan lainnya. Pemerintah Jawa Timur belum dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi Jawa Timur. Oleh karenanya hipotesis ketiga ditolak. 9. Pada model pertama pengangguran tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur, karena pengangguran tidak memberikan kontribusi yang dapat digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Sedangkan pada model yang kedua, pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, yang berarti seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur maka pengangguran akan meningkat pula. Yang disebabkan oleh pengeluaran pembangunan yang lebih bersifat padat modal daripada padat karya, sehingga penyerapan tenaga kerja tidak dapat maksimal, selain itu juga pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti konsumsi rumah tangga yang ikut meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa Timur. Oleh karenanya hipotesis keempat ditolak.
115
5.2. Saran Saran-saran yang dapat dikemukakan berdasarkan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Karena pada penelitian ini nilai koefisien determinasi hasil estimasi begitu kecil, bagi peneliti yang ingin meneliti mengenai topik yang sama, sebaiknya menambah variabel-variabel bebas yang digunakan atau menggunakan variabelvariabel di luar model penelitian ini yang relevan. Misalkan seperti perubahan teknologi dan konsumsi masyarakat yang diduga sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. 2. Meskipun hasil yang didapat dari penelitian ini cukup menggembirakan bagi daerah Jawa Timur khususnya mengenai implementasi desentraliasi fiskal dari sisi pengeluaran, akan tetapi masih perlu adanya perbaikan dalam penerapan good governance didalam tubuh pemerintah daerah, perbaikan skill aparatur pemerintah daerah, dan koordinasi yang baik antar instansi. 3. Dari sisi penerimaan daerah, diharapkan pemerintah masing-masing Kota/Kab di Jawa Timur agar dapat lebih menggali dan mengolah serta mengelola sumbersumber penerimaan yang potensial dalam upaya peningkatan PAD dan meminimalkan bantuan (grant) dari pemerintah pusat sehingga implementasi desentralisasi fiskal dapat berjalan sebagaimana mestinya yang sesuai dengan hakekat desentralisasi fiskal itu sendiri. 4. Dalam upaya meningkatkan penyebaran investasi di Jawa Timur, pemerintah daerah harus merevitalisasi birokrasi yang berhubungan dengan iklim investasi seperti perda, perbaikan infrastruktur, dan proses perijinan, sehingga menciptakan
116
suasana yang kondusif bagi para investor misalkan kondisi yang aman dan keuntungan-keuntungan yang menjanjikan jika menanamkan modalnya di Jawa Timur. Selain itu juga pemerintah daerah hendaknya lebih mempromosikan lagi daerah-daerah yang potensial baik dari segi sumber daya alamnya ataupun keindahan wisatanya ke dunia luar agar lebih dapat dikenal oleh para investor asing serta membuat suatu strategi investasi yang andal agar tidak kalah bersaing dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. 5. Upaya yang harus dilakukan pemerintah daerah dalam mengatasi pengangguran yang terus meningkat di Jawa Timur adalah dengan cara menarik investasi sebanyak-banyaknya ke Jawa Timur agar lapangan kerja baru dapat tercipta dan diharapkan kemudian menyerap tenaga kerja di Jawa Timur. Selain itu pemerintah daerah harus berupaya meningkatkan kualitas tenaga kerja di Jawa Timur agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi yang ada, salah satunya dengan memberikan arahan dan pelatihan. Pemberian insentif kepada usaha kecil dan menengah (UKM) serta mencanangkan program padat karya. 6. Bagi pemerintah daerah Jawa Timur khususnya pemerintah propinsi agar menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah kota/kab yang ada di Jawa Timur dan instansi-instansi yang ada di Propinsi, agar kinerja yang dihasilkan dapat maksimal, dan tidak perlu terjadi missunderstanding.
117
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1999, Undang-Undang Otonomi Daerah 1999, Sinar Grafika, Jakarta. Anonim, 1997, Pedoman Penulisan Skripsi dan Laporan Praktek Kerja Nyata, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang. Anonim, 2006, http://www.bapepprop.go.id Anonim, 2006, http://www.disnakertrans.go.id Anonim, 2005, http://www.mediajatim.go.id Anonim, 2005, http://www.d-infokom-jatim.go.id Anonim, 2003, http://www.kompas.com Arsyad, Lincoln, 2004, Ekonomi Pembangunan, UPP YKPN, Yogyakarta. Aswarodi, 2001, Analisis Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebelum dan Setelah Pemberlakuan UU No 25 Tahun 1999 di Kabupaten Lampung Selatan, dalam Abdul Halim (ed), Bunga Rampai (Manajemen Keuangan Daerah), UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Brodjonegoro, B. and Vasquez, Jorge M., 2002, An Analysis of Transfer System: Recent Performance and Future Prospects, Paper for Can Desentralization Help Rebuild Indonesia Conference, May. Bloom, David E, Canning, David and Malaney, Pia N., 2000, Population Dynamics and Economic Growth in Asia, Working Paper, Vol 26. Case, Karl E. and Fair, Ray C., 2001, Principles of Economics, Fifth Edition, Prentice Hall, Inc., New Jersey. De Mello, Luiz R., 2000, Fiscal Desentralization and Intergovermental Fiscal Relations, (A Cross Country Analysis), World Development, Vol. 28, No. 2. Edmiston, Kelly, 2000, Fostering Subnational Autonomy and Accountability in Decentralized Developing Countries (Lessons From the Papua New Guinea Experince), Working Paper, No.00/5, August. Faisal, 2002, Fiscal Desentralization and Economic Growth at Provincial Level in Indonesia, Thesis (S2), School Of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, Georgia.
118
Gujarati, Damodar N., 1999, Ekonometrika Dasar, Terjemahan, Sumarno Zain, Erlangga, Jakarta. Gujarati, Damodar N., 2003, Basic Econometrics, Fourth Edition, The McGraw-Hill Companies, New York Hogendorn, Jan S., 1992, Economic Development, Second Edition, Harper Collins, Inc., New York. Insukindro, 1999, Pemilihan dan bentuk Fungsi Model Empirik: Studi Kasus permintaan Uang Kartal Riil di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 14, 49-61. Jhingan, M.L., 2000, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Rajawali Press, Jakarta. Khoeruddin, Miftah, 2000, Analisa Pengaruh Penerimaan Pajak dan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Studi Kasus 1969-1989, Skripsi (S1), Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang. Khusaini, M., 2006, Kajian Desentralisasi Fiskal, Pengaruhnya terhadap Efisiensi Ekonomi Sektor Publik, Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat, Desertasi (S3), Program Studi Ilmu Ekonomi Kekhususan Studi Pembangunan, Program Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya, Malang. Kuncoro, Mudrajad, 2004, Metode Kuantitatif : Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis dan Ekonomi, Edisi Kedua, Penerbit dan Percetakan AMP YKPN, Yogyakarta. Mankiw, N. Gregory, 2000, Macroeconomics, 4th Edition, Worth Publisher, Madison Avenue, New York. Mardiasmo, 2004, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta. McEachern, William A., 2000, Ekonomi Makro Pendekatan Kontemporer, Terjemahan, Sigit triandaru, Salemba Empat, Jakarta. Mirer, Thad W., 1995, Economic Statistics and Econometrics, Third Edition, Prentice Hall International, New Jersey. Philips, Kerk and Woller, Gary M., 1998, Fiscal Desentralization and LDC Economic Growth (An Empirical Investigation), The Journal of Development Studies, Vol. 34, No. 4, April.
119
Prasteyaningrum, Triesse J., 2005, Analisa Penerimaan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Penerimaan Lain-Lain dan Penerimaan Perusahaan Milik Daerah Kontribusinya Terhadap Penerimaan Daerah, Skripsi (S1), Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang. Ramanathan, Ramu, 1992, Intoductory Econometrics With Applications, Second Edition, Harcourt Brace Jovanovich Inc, Orlando, Florida. Samuelson, Paul A dan Nordhaus, William D., 1986, Ekonomi, Terjemahan,. Khalid, Edisi Kedua belas, Erlangga, Jakarta. Sanusi, Anwar, 2003, Sumber Dana Pembangunan Daerah, Buntara Media, Jakarta. Sidik, Machfud, 2002, Kebijakan, Implementasi, Pandangan Kedepan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Makalah Dalam Seminar Nasional, Yogyakarta. Sidik, Machfud, 2000, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal (Antara Teori dan aplikasinya Di Indonesia), Makalah Dalam Seminar Nasional, Yogyakarta. Singarimbun dan Effendi (ed), 1989, Metode Penelitian Survai, LP3ES, Jakarta. Singarimbun dan Effendi (ed), 1995, Pedoman Praktis Membuat Usulan Skripsi, LP3ES, Jakarta. Siswaji, 2004, Analisa Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Upaya Peningkatan PAD Kabupaten Pasuruan, Skripsi (S1), Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya Sugiyono, 2005, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Jakarta. Sukirno, Sadono, 1994, Ekonomi Pembangunan (Proses, Masalah, dan Dasar Kebijaksanaan), Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI dengan Bima Grafika, Jakarta. Suprayogi, Roy, 2004, Analisis pengaruh PAD dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Terhadap PDRB di Kabupaten Pasuruan, Skripsi (S1), Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya. Todaro, Michael P., 1999, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Terjemahan, Haris Munandar, Erlangga, Jakarta.
120
Todaro, Michael P., 1995, Ekonomi Untuk Negara Berkembang (Suatu Pengantar Tentang Prinsip-Prinsip, Masalah dan Kebijakan Pembangunan), Terjemahan, Agustinus Subekti, Edisi Ketiga, Bumi Aksara, Jakarta. .Vasquez, Jorge M. and McNab, Robert, 2005, Fiscal Desentralization, Macrostability and Growth, Working Paper, No. 05/06, February. Vasquez, Jorge M. and McNab, Robert, 2001, Fiscal Desentralization and Growth, Working Paper, No. 01/1, January. Wibowo, Tri, 2004, Potret Fiskal Daerah Sebelum dan Pada Era Desentralisasi Fiskal, Bunga Rampai Hasil Penelitian Widiarto, Stefanus S., 2004, Analisa Pengaruh Penanaman Modal Asing dan Inflasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Skripsi (S1), Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya. World Bank, 1997, On Line Sourcebook on Desentralization and Rural Development, Desentralization Thematic Team, SDA. Zhang, Tao and Zou, Heng Fu, 1998, Fiscal Desentralization, Public Spending and Economic Growth in China, Journal of Public Economics, Vol. 67.
121
LAMPIRAN
122 LAMPIRAN 1: Hasil Estimasi Desentralisasi Fiskal Dari Sisi Penerimaan Daerah Dengan Regresi Linear Berganda, Menggunakan Software EViews 3.0
Dependent Variable: PERTUMBUHAN Method: Least Squares Date: 08/12/06 Time: 18:58 Sample: 1 148 Included observations: 148 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
FDX PAJAK INV
1.223141 1.203841 0.005213
3.078222 0.340009 0.003867
0.397353 3.540612 1.348203
0.6917 0.0005 0.1797
PENG C
0.039258 0.031271
0.028476 0.002127
1.378646 14.70407
0.1702 0.0000
R-squared Adjusted R-squared
0.209903 0.176963
Mean dependent var S.D. dependent var
0.040527 0.010536
S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.009673 0.013381 479.0191
Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic
-6.405664 -6.304407 7.842380
Durbin-Watson stat
1.913542
Prob(F-statistic)
0.000010
Estimation Command: ===================== LS PERTUMBUHAN FDX PAJAK INV PENG C Estimation Equation: ===================== PERTUMBUHAN = C(1)*FDX + C(2)*PAJAK + C(3)*INV + C(4)*PENG + C(5) Substituted Coefficients: ===================== PERTUMBUHAN = 1.223141106*FDX + 1.203840703*PAJAK + 0.005213419154*INV + 0.03925783809*PENG + 0.031271375
123 LAMPIRAN 2 : Hasil Uji VIF Pada Model Dari Sisi Penerimaan Daerah Dengan Menggunakan Software SPSS 11.5
Coefficients(a) M o d e l
Unstandardized Coefficients
B 1 (Consta nt)
Std. Error
.031
.002
1.223
3.078
1.204
Standar dized Coefficie nts
T
Sig.
Beta
Collinearity Statistics
Correlations
Zeroorder
Partial
Part
Toler ance
VIF
14.704
.000
.035
.397
.692
.229
.033
.030
.725
1.379
.340
.316
3.541
.001
.394
.284
.268
.720
1.388
.005
.004
.112
1.348
.180
.236
.112
.102
.829
1.206
.039
.028
.108
1.379
.170
.194
.115
.104
.939
1.065
FDX
PAJAK
INV
PENG
a Dependent Variable: PERTUMBN
124 LAMPIRAN 3 : Hasil LM Test Pada Model Dari Sisi Penerimaan Daerah Dengan Menggunakan Software EViews 3.0
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
5.948102 11.51525
Probability Probability
0.003311 0.003159
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 08/12/06 Time: 20:35 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
FDX PAJAK
0.106181 -0.096096
3.017728 0.330195
0.035186 -0.291028
0.9720 0.7715
INV PENG C
-0.000664 -0.006906 0.000917
0.003790 0.027999 0.002088
-0.175147 -0.246669 0.439069
0.8612 0.8055 0.6613
RESID(-1) RESID(-2)
0.029874 0.280778
0.084258 0.081980
0.354552 3.424970
0.7235 0.0008
R-squared Adjusted R-squared
0.077806 0.038563
Mean dependent var S.D. dependent var
-2.41E-17 0.009541
S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.009355 0.012340 485.0131
Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic
-6.459636 -6.317876 1.982701
Durbin-Watson stat
2.015246
Prob(F-statistic)
0.071994
125 LAMPIRAN 4 : Hasil White Test Pada Model Dari Sisi Penerimaan Daerah Dengan Menggunakan Software EViews 3.0
White Heteroskedasticity Test: F-statistic
0.326954
Probability
0.989556
Obs*R-squared
4.924127
Probability
0.986841
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 08/12/06 Time: 20:37 Sample: 1 148 Included observations: 148 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
0.000168
0.000168
1.002966
0.3177
FDX
0.484292
0.495753
0.976881
0.3304
FDX^2
-67.63532
228.3817
-0.296150
0.7676
FDX*PAJAK
13.73031
43.42176
0.316208
0.7523
FDX*INV
0.167686
0.462282
0.362736
0.7174
FDX*PENG
-7.563044
8.196002
-0.922772
0.3578
PAJAK
-0.038922
0.038041
-1.023161
0.3081
PAJAK^2
1.894517
2.588109
0.732008
0.4655
PAJAK*INV
-0.037965
0.061882
-0.613504
0.5406
PAJAK*PENG
0.038873
0.308284
0.126096
0.8998
INV
-0.000432
0.000661
-0.653083
0.5148
INV^2
0.000217
0.000375
0.579783
0.5630
INV*PENG
0.006679
0.007989
0.836033
0.4046
PENG
0.000300
0.004088
0.073323
0.9417
PENG^2
0.002809
0.024763
0.113431
0.9099
R-squared
0.033271
Mean dependent var
9.04E-05
-0.068490
S.D. dependent var
0.000266
S.E. of regression
0.000275
Akaike info criterion
-13.46344
Sum squared resid
1.01E-05
Schwarz criterion
-13.15967
Log likelihood
1011.294
F-statistic
0.326954
Durbin-Watson stat
1.451351
Prob(F-statistic)
0.989556
Adjusted R-squared
126 LAMPIRAN 5 : Hasil Estimasi Desentralisasi Fiskal Dari Sisi Pengeluaran Daerah Dengan Regresi Linear Berganda, Menggunakan Software EViews 3.0
Dependent Variable: PERTUMBUHAN Method: Least Squares Date: 08/12/06 Time: 20:42 Sample: 1 148 Included observations: 148 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
FDY
2.579461
1.417663
1.819516
0.0709
PAJAK
1.020906
0.335432
3.043557
0.0028
INV
0.004050
0.003781
1.071371
0.2858
PENG
0.053564
0.029298
1.828278
0.0696
C
0.028506
0.002603
10.94979
0.0000
R-squared
0.227574
Mean dependent var
0.040527
Adjusted R-squared
0.195129
S.D. dependent var
0.010536
S.E. of regression
0.009569
Akaike info criterion
-6.427448
Sum squared resid
0.013093
Schwarz criterion
-6.326191
Log likelihood
480.6311
F-statistic
8.802410
Durbin-Watson stat
1.924717
Prob(F-statistic)
0.000002
Estimation Command: ===================== LS PERTUMBUHAN FDY PAJAK INV PENG C Estimation Equation: ===================== PERTUMBUHAN = C(1)*FDY + C(2)*PAJAK + C(3)*INV + C(4)*PENG + C(5) Substituted Coefficients: ===================== PERTUMBUHAN = 2.579460824*FDY + 1.020906347*PAJAK + 0.004050359781*INV + 0.05356413252*PENG + 0.02850577262
127 LAMPIRAN 6 : Hasil Uji VIF Pada Model Dari Sisi Pengeluaran Daerah Dengan Menggunakan Software SPSS 11.5
Coefficients(a) M o d e l
Unstandardize d Coefficients
B 1 (Consta nt)
Std. Error
.029
.003
2.579
1.418
1.021
Standard ized Coefficie nts
t
Sig.
Zeroorder
Beta
Collinearity Statistics
Correlations
Partial
Part
Toler ance
VIF
10.950
.000
.159
1.820
.071
.271
.150
.136
.737
1.356
.335
.268
3.044
.003
.394
.247
.228
.724
1.381
.004
.004
.087
1.071
.286
.236
.089
.080
.849
1.178
.054
.029
.147
1.828
.070
.194
.151
.137
.868
1.153
FDY
PAJAK
INV
PENG
a Dependent Variable: PERTUMBN
128 LAMPIRAN 7 : Hasil LM Test Pada Model Dari Sisi Pengeluaran Daerah Dengan Menggunakan Software EViews 3.0
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic
5.489440
Probability
0.005061
Obs*R-squared
10.69145
Probability
0.004768
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 08/12/06 Time: 21:00 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
FDY
-0.014704
1.380942
-0.010648
0.9915
PAJAK
-0.088363
0.326464
-0.270668
0.7870
INV
-0.000803
0.003708
-0.216599
0.8288
PENG
-0.008508
0.028895
-0.294461
0.7688
C
0.001008
0.002546
0.395836
0.6928
RESID(-1)
0.030174
0.083838
0.359911
0.7195
RESID(-2)
0.271265
0.082374
3.293096
0.0013
R-squared
0.072240
Mean dependent var
-2.10E-17
Adjusted R-squared
0.032760
S.D. dependent var
0.009438
S.E. of regression
0.009282
Akaike info criterion
-6.475403
Sum squared resid
0.012147
Schwarz criterion
-6.333642
Log likelihood
486.1798
F-statistic
1.829813
Durbin-Watson stat
2.009949
Prob(F-statistic)
0.097400
129 LAMPIRAN 8 : Hasil White Test Pada Model Dari Sisi Pengeluaran Daerah Dengan Menggunakan Software EViews 3.0
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.446559 6.644587
Probability Probability
0.955948 0.947546
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 08/12/06 Time: 21:02 Sample: 1 148 Included observations: 148 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
0.000285
0.000227
1.252979
0.2124
FDY FDY^2
0.001130 -16.73005
0.192965 61.28596
0.005855 -0.272983
0.9953 0.7853
FDY*PAJAK FDY*INV
17.49669 0.223036
27.66316 0.284223
0.632491 0.784722
0.5282 0.4340
FDY*PENG
-2.545779
2.977069
-0.855129
0.3940
PAJAK PAJAK^2 PAJAK*INV
-0.050666 1.180464 -0.070627
0.049096 2.547600 0.085476
-1.031968 0.463363 -0.826283
0.3040 0.6439 0.4101
PAJAK*PENG INV INV^2
0.164957 -0.000286 7.85E-05
0.343097 0.000595 0.000323
0.480788 -0.480724 0.243313
0.6315 0.6315 0.8081
INV*PENG PENG PENG^2
0.006783 0.001072 -0.002308
0.007940 0.005310 0.026747
0.854336 0.201799 -0.086275
0.3945 0.8404 0.9314
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression
0.044896 -0.055641 0.000269
Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion
8.85E-05 0.000262 -13.50624
9.64E-06
Schwarz criterion
-13.20247
1014.462 1.584739
F-statistic Prob(F-statistic)
0.446559 0.955948
130 LAMPIRAN 9 : Data PDRB 37 Kab/Kota di Jawa Timur Periode 2001-2004 (Miliar Rupiah) Kabupaten 1. Pacitan 2. Ponorogo 3. Trenggalek 4. Tulungagung 5. Blitar 6. Kediri 7. Malang 8. Lumajang 9. Jember 10. Banyuwangi 11. Bondowoso 12. Situbondo 13. Probolinggo 14. Pasuruan 15. Sidoarjo 16. Mojokerto 17. Jombang 18. Nganjuk 19. Madiun 20. Magetan 21. Ngawi 22. Bojonegoro 23. Tuban 24. Lamongan 25. Gresik 26. Bangkalan 27. Sampang 28. Pamekasan 29. Sumenep Kotamadya 30. Kediri 31. Blitar 32. Malang 33. Probolinggo 34. Pasuruan 35. Mojokerto 36. Madiun 37. Surabaya
2001
2002
2003
2004
401.34 705.26 421.07 1265.55 818.54 1461.34 2316.37 956.36 1951.45 1797.17 626.29 754.91 1241.53 2654.42 4930.69 1139.59 1013.81 791.77 531.58 607.61 693.89 904.03 1666.85 966.95 3451.41 647.97 658.91 498.36 854.95
413.27 728.97 437.42 1313.43 850.46 1512.08 2406.7 985.57 2044.63 1858.17 647.33 775.28 1290.25 2758.14 5155.92 1182.66 1053.14 823.02 552.66 629.69 720.18 936.95 1730.73 1005.07 3621.55 670.02 681.69 515.63 885.73
426.02 757.12 450.92 1362.85 883.91 1566.94 2494.42 1021.73 2129.05 1926.84 667.23 805.16 1338.68 2879.94 5374.18 1226.48 1085.61 854.38 574.2 649.88 747.4 972.23 1803.38 1042.93 3798.94 692.21 705.03 533.76 914.43
443.89 789.28 470.96 1424.29 922.23 1644.44 2621.81 1072.98 2234.12 2029.14 696.49 838.71 1402.7 3039.12 5697.98 1288.64 1138.39 896.61 603.53 678.79 777.71 1015.3 1900.78 1096.87 4032.34 725.9 7396.85 560.52 959.04
4949.5 264.41 2188.68 529.39 345.37 317.04 428.43 12821.97
4702.19 275.78 2260.42 552.65 361.62 330.87 444.87 13445.04
4862.44 286.77 2347.55 577.29 375.63 343.97 461.3 14107.53
5124.42 303.32 2481.72 606.64 397.95 361.51 480.77 14975.24
131 LAMPIRAN 10 : Data Penerimaan Daerah 37 Kab/Kota di Jawa Timur 20012004
Kabupaten 1. Pacitan 2. Ponorogo 3. Trenggalek 4. Tulungagung 5. Blitar 6. Kediri 7. Malang 8. Lumajang 9. Jember 10. Banyuwangi 11. Bondowoso 12. Situbondo 13. Probolinggo 14. Pasuruan 15. Sidoarjo 16. Mojokerto 17. Jombang 18. Nganjuk 19. Madiun 20. Magetan 21. Ngawi 22. Bojonegoro 23. Tuban 24. Lamongan 25. Gresik 26. Bangkalan 27. Sampang 28. Pamekasan 29. Sumenep
2001 226752702000 280472119000 252153162000 278836693000 321165334000 344746914000 495405453000 284605848000 480901802000 348912715000 285895012000 238123885000 257061178000 463578458000 402007058000 300967435000 288036571000 280714420000 216777774000 262469218000 246052871000 276624387000 285917877000 288941561000 263150566000 213567957000 204849486000 229536269000 455514012000
2002 246416309000 278512915000 267642611000 295306639000 301460678000 387322913000 495423551000 298260993000 508141145000 387867206000 250675431000 282792159000 286123437000 450961971000 438912629000 296638819000 310930667000 300149762000 238871229000 267060000000 277174446000 298215220000 285717599000 298657575000 264987161000 228664373000 205474376000 229317074000 374203965000
2003 256099820500 342013166000 317017272200 377383560500 322758648600 452124839000 314861143486 324248800000 481959914744 466368917414 309673366801 253194291201 326521120000 502594087090 529494413800 306298031500 363364784100 373222070000 280632528297 321245500000 315490866100 374717893394 314861143486 346125023600 311823861000 261603771792 244800149400 233417951600 496876121158
2004 252311804400 371075983000 322666665300 252311804500 390545998604 447873243200 601278947000 345100482650 581459993000 493914676897 295517935514 263476776580 337637652000 513501668386 585692178860 319651856200 397355100535 385293112000 309744186783 328056462056 354430786634 389030300003 360918810360 390271707000 379156427000 297096181300 267155201220 286498408012 453651630825
Kotamadya 30. Kediri 31. Blitar 32. Malang 33. Probolinggo 34. Pasuruan 35. Mojokerto 36. Madiun 37. Surabaya
164045277000 102168622000 246706613000 112977155000 143695356000 122699496000 234916168000 757927348000
147529417000 145470352000 256278851000 127350798000 174461793000 125194332000 272607853000 931794480000
188905589100 144135148513 308854148734 151129997500 157936452416 143690953700 243910587000 1042987195000
188666719600 148558058551 331372457719 160788360722 143131348800 153464569700 243219288000 1134027004965
132 LAMPIRAN 11 : Data DAU, DAK 37 Kab/Kota di Jawa Timur Periode 20012004 (Trilyun Rupiah)
Kabupaten 1. Pacitan 2. Ponorogo 3. Trenggalek 4. Tulungagung 5. Blitar 6. Kediri 7. Malang 8. Lumajang 9. Jember 10. Banyuwangi 11. Bondowoso 12. Situbondo 13. Probolinggo 14. Pasuruan 15. Sidoarjo 16. Mojokerto 17. Jombang 18. Nganjuk 19. Madiun 20. Magetan 21. Ngawi 22. Bojonegoro 23. Tuban 24. Lamongan 25. Gresik 26. Bangkalan 27. Sampang 28. Pamekasan 29. Sumenep
2001 DAU DAK 197.36 0.0000 222.71 0.0103 212.78 0.0000 234.66 0.0000 264.02 0.0118 290.31 0.0002 435.23 0.0000 235.01 0.0000 418.29 0.0000 297.76 0.0000 251.72 0.0000 206.73 0.0000 209.84 0.0095 378.25 0.0034 248.14 0.0000 257.22 0.0000 229.91 0.0000 240.20 0.0000 176.95 0.0086 218.14 0.0000 208.00 0.0000 230.95 0.0000 213.71 0.0000 246.83 0.0000 173.81 0.0000 178.34 0.0071 178.80 0.0000 200.30 0.0000 363.41 0.0000
2002 DAU DAK 197.36 0.0000 250.78 0.0000 223.89 0.0000 254.00 0.0000 275.79 0.0000 310.21 0.0000 441.29 0.0000 235.00 0.0000 423.65 0.0000 317.28 0.0000 200.89 0.0000 206.73 0.0000 247.14 0.0000 302.74 0.0000 266.00 0.0000 257.22 0.0000 239.00 0.0000 258.06 0.0039 208.50 0.0000 217.35 0.0000 231.35 0.0000 259.28 0.0000 213.71 0.0000 246.83 0.0000 173.80 0.0000 196.19 0.0000 179.14 0.0000 192.56 0.0000 220.31 0.0000
2003 DAU DAK 221.35 3.3000 268.35 8.2500 247.66 5.7000 300.15 6.7000 283.98 0.0000 347.73 7.2000 234.28 0.0000 275.10 5.0000 423.65 0.0000 356.26 6.1000 234.02 1.0000 206.73 5.0000 254.50 5.4000 399.99 0.0000 330.93 0.0000 257.22 0.0000 267.00 6.5000 253.28 9.8675 223.03 0.0000 242.98 5.2000 253.00 5.9000 314.99 7.7000 234.28 0.0000 262.71 6.3000 199.74 5.1000 219.49 8.1000 214.64 6.5000 202.95 0.0000 312.23 0.0000
2004 DAU DAK 204.94 0.0000 295.13 7.6500 252.00 9.7400 204.94 0.0000 308.85 9.8800 358.23 0.0000 485.00 0.0000 265.66 9.5400 472.43 5.0000 372.02 6.1000 251.00 0.0000 203.56 2.0300 262.26 8.8500 394.38 0.0000 343.08 5.0000 250.38 5.0000 314.70 5.0000 300.45 8.4955 230.12 7.1600 253.13 6.5800 272.49 10.3100 320.02 7.2500 269.14 0.0000 298.57 9.0700 235.13 5.0000 241.14 6.3300 225.27 6.8100 230.95 8.7300 378.31 0.0000
Kotamadya 30. Kediri 31. Blitar 32. Malang 33. Probolinggo 34. Pasuruan 35. Mojokerto 36. Madiun 37. Surabaya
107.73 80.77 173.31 84.38 125.07 103.57 207.32 331.37
107.73 96.91 180.07 96.53 125.07 103.57 207.32 332.08
118.74 111.77 204.79 108.51 120.82 109.54 207.32 369.07
119.26 113.60 211.63 112.52 120.82 109.54 207.32 342.17
0.0036 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0020 0.0000 0.0000 0.0000
3.6000 5.9000 6.1000 3.9000 1.7000 3.9000 0.0000 0.0000
5.6600 5.7200 5.5000 5.5000 0.0000 9.5000 0.0000 0.0000
133 LAMPIRAN 12 : Data Penerimaan Daerah-(DAU+DAK) 37 Kab/Kota di Jawa Timur Terhadap Penerimaan Nasional Periode 2001-2004 (Rasio)
Kabupaten 1. Pacitan 2. Ponorogo 3. Trenggalek 4. Tulungagung 5. Blitar 6. Kediri 7. Malang 8. Lumajang 9. Jember 10. Banyuwangi 11. Bondowoso 12. Situbondo 13. Probolinggo 14. Pasuruan 15. Sidoarjo 16. Mojokerto 17. Jombang 18. Nganjuk 19. Madiun 20. Magetan 21. Ngawi 22. Bojonegoro 23. Tuban 24. Lamongan 25. Gresik 26. Bangkalan 27. Sampang 28. Pamekasan 29. Sumenep
2001 0.0000976191 0.0001575662 0.0001307839 0.0001467124 0.0001507262 0.0001800076 0.0001998766 0.0001647142 0.0002079549 0.0001699071 0.0001135154 0.0001042615 0.0001252563 0.0002721029 0.0005110560 0.0001453051 0.0001930657 0.0001345734 0.0001038196 0.0001472295 0.0001263974 0.0001517092 0.0002398270 0.0001398834 0.0002967231 0.0000935222 0.0000865193 0.0000971059 0.0003059045
2002 0.0001607607 0.0000908989 0.0001433801 0.0001353645 0.0000841407 0.0002527039 0.0001773991 0.0002073103 0.0002768829 0.0002313188 0.0001631500 0.0002492507 0.0001277512 0.0004857329 0.0005666457 0.0001291802 0.0002357214 0.0001250225 0.0000995285 0.0001629028 0.0001501696 0.0001275932 0.0002359692 0.0001698423 0.0002988262 0.0001064206 0.0000862994 0.0001204460 0.0005043204
2003 0.0000935455 0.0001945920 0.0001893685 0.0002098242 0.0001153593 0.0002891365 0.0002397139 0.0001313345 0.0001734611 0.0003094072 0.0002220799 0.0001233395 0.0001981854 0.0003052280 0.0005906921 0.0001459980 0.0002673310 0.0003274514 0.0001713568 0.0002173563 0.0001683473 0.0001547751 0.0002397139 0.0002294028 0.0003182571 0.0001011846 0.0000703845 0.0000906365 0.0005492878
2004 0.0001353737 0.0001951684 0.0001740977 0.0001353737 0.0002052417 0.0002561721 0.0003323028 0.0001997535 0.0002972934 0.0003308960 0.0001272182 0.0001654221 0.0001901150 0.0003404121 0.0006790349 0.0001836687 0.0002219188 0.0002181774 0.0002070683 0.0001953126 0.0002046982 0.0001764914 0.0002622749 0.0002361353 0.0003972936 0.0001418160 0.0001002475 0.0001337922 0.0002153026
Kotamadya 30. Kediri 31. Blitar 32. Malang 33. Probolinggo 34. Pasuruan 35. Mojokerto 36. Madiun 37. Surabaya
0.0001752540 0.0000710600 0.0002437720 0.0000949765 0.0000618721 0.0000635395 0.0000916589 0.0014167530
0.0001304358 0.0001591354 0.0002497413 0.0001010017 0.0001553059 0.0000708671 0.0002139525 0.0019652878
0.0001980202 0.0000787289 0.0002914251 0.0001151848 0.0001053573 0.0000899910 0.0001088502 0.0020047781
0.0001821680 0.0000835446 0.0003264689 0.0001222088 0.0000637588 0.0000983745 0.0001025885 0.0022628830
134 LAMPIRAN 13: Data Pengeluaran Daerah 37 Kab/Kota di Jawa Timur Terhadap Pengeluaran Nasional Periode 2001-2004 (Rasio)
Kabupaten
2001
2002
2003
2004
1. Pacitan 2. Ponorogo 3. Trenggalek 4. Tulungagung 5. Blitar 6. Kediri 7. Malang 8. Lumajang 9. Jember 10. Banyuwangi 11. Bondowoso 12. Situbondo 13. Probolinggo 14. Pasuruan 15. Sidoarjo 16. Mojokerto 17. Jombang 18. Nganjuk 19. Madiun 20. Magetan 21. Ngawi 22. Bojonegoro 23. Tuban 24. Lamongan 25. Gresik 26. Bangkalan 27. Sampang 28. Pamekasan 29. Sumenep
0.000580285 0.000790042 0.000675729 0.000789432 0.000920936 0.000902241 0.001350357 0.000744564 0.001268760 0.001007621 0.000652957 0.000497531 0.000701602 0.000934825 0.001038052 0.000717568 0.000776520 0.000729711 0.000617553 0.000717347 0.000681036 0.000769712 0.000773666 0.000771979 0.000603238 0.000546166 0.000423209 0.000611940 0.001022558
0.000682422 0.000875611 0.000760576 0.000887111 0.001005594 0.001050857 0.001467728 0.000859778 0.001425097 0.001075016 0.000914775 0.000713436 0.000802257 0.001391315 0.001261879 0.000847134 0.000949195 0.000847369 0.000703308 0.000790322 0.000787337 0.000861403 0.000869750 0.000885661 0.000876945 0.000604567 0.000545938 0.000632585 0.001639866
0.000774050 0.001017296 0.000876263 0.001106329 0.001056194 0.001360221 0.001692745 0.000938114 0.001590603 0.001335064 0.000867446 0.000847047 0.000941107 0.001450846 0.001597231 0.001095729 0.001157499 0.001071009 0.000837284 0.000913954 0.000713188 0.001088591 0.001065402 0.001048127 0.001055866 0.000816025 0.000704980 0.000782897 0.001282491
0.000719475 0.000990308 0.000882211 0.001227187 0.001024378 0.001263869 0.001600523 0.000928101 0.001657873 0.001287246 0.000835932 0.000763513 0.000932489 0.001549977 0.001631250 0.001023090 0.001028064 0.001002202 0.000847050 0.000922812 0.000758438 0.001110395 0.001125559 0.001108743 0.001171206 0.001018210 0.000790421 0.000816554 0.001370878
Kotamadya 30. Kediri 31. Blitar 32. Malang 33. Probolinggo 34. Pasuruan 35. Mojokerto 36. Madiun 37. Surabaya
0.000376030 0.000251200 0.000677443 0.000284194 0.000334066 0.000339878 0.000407357 0.001837107
0.000546142 0.000316771 0.000758229 0.000374622 0.000386202 0.000354105 0.000634422 0.002651223
0.000589227 0.000438930 0.000890880 0.000452626 0.000480260 0.000391654 0.000935279 0.002991666
0.000578040 0.000466952 0.000967474 0.000479967 0.000446629 0.000422313 0.000742671 0.003113330
135 LAMPIRAN 14 : Data Pajak Daerah 37 Kab/Kota di Jawa Timar Periode 20012004 (Rasio)
Kabupaten
2001
2002
2003
2004
1. Pacitan 2. Ponorogo 3. Trenggalek 4. Tulungagung 5. Blitar 6. Kediri 7. Malang 8. Lumajang 9. Jember 10. Banyuwangi 11. Bondowoso 12. Situbondo 13. Probolinggo 14. Pasuruan 15. Sidoarjo 16. Mojokerto 17. Jombang 18. Nganjuk 19. Madiun 20. Magetan 21. Ngawi 22. Bojonegoro 23. Tuban 24. Lamongan 25. Gresik 26. Bangkalan 27. Sampang 28. Pamekasan 29. Sumenep
0.003129302 0.003972267 0.004102705 0.002753367 0.003092532 0.003839154 0.006125962 0.004394351 0.003670340 0.003363596 0.002690819 0.003392267 0.003043815 0.009329712 0.005714875 0.007799653 0.004266303 0.003481338 0.003473135 0.003632992 0.003171676 0.002655739 0.011472557 0.005422015 0.005278781 0.002461257 0.001052107 0.003350748 0.003477951
0.003016943 0.003299982 0.004099035 0.003171086 0.002728523 0.000303767 0.004495783 0.004482685 0.003093714 0.003942589 0.002911642 0.005893019 0.002408448 0.006544265 0.005450046 0.007038540 0.003743092 0.002591675 0.003551008 0.006543005 0.002984643 0.003166064 0.011995805 0.004268146 0.005204678 0.003847373 0.001148425 0.003404573 0.001574972
0.005054502 0.004616177 0.006479952 0.003734820 0.004991458 0.004123323 0.009607845 0.005431963 0.003500646 0.004496819 0.003330096 0.003985207 0.003802253 0.008876921 0.007891436 0.008528472 0.005345382 0.004032305 0.006438523 0.004967840 0.004525771 0.003584888 0.013289490 0.005358941 0.005168810 0.004689762 0.002448123 0.005534323 0.002585572
0.006162794 0.006016243 0.008044611 0.001920678 0.006750160 0.005058257 0.007313650 0.007534157 0.004221797 0.006052849 0.003654697 0.004600742 0.004234690 0.009449610 0.009431413 0.011574412 0.007558122 0.005768524 0.007741952 0.005858218 0.005531625 0.004914880 0.013542655 0.006567323 0.005759931 0.005528876 0.000290668 0.006137158 0.003005427
Kotamadya 30. Kediri 31. Blitar 32. Malang 33. Probolinggo 34. Pasuruan 35. Mojokerto 36. Madiun 37. Surabaya
0.000659573 0.005010106 0.006069839 0.004225741 0.005026803 0.006217834 0.006000955 0.009050319
0.000658629 0.004836283 0.005224693 0.004110251 0.006215088 0.006622238 0.004764021 0.009631805
0.001146400 0.005893225 0.008350195 0.005598027 0.007252447 0.007282612 0.007184793 0.015427222
0.001402890 0.006831069 0.010017163 0.006836641 0.008604544 0.011241736 0.009327679 0.014075089
136 LAMPIRAN 15 : Data (PMA+PMDN) 37 Kota/Kab di Jawa Timur Periode 2001-2004 (Trilyun Rupiah)
Kabupaten
2001
2002
2003
2004
1. Pacitan 2. Ponorogo 3. Trenggalek 4. Tulungagung 5. Blitar 6. Kediri 7. Malang 8. Lumajang 9. Jember 10. Banyuwangi 11. Bondowoso 12. Situbondo 13. Probolinggo 14. Pasuruan 15. Sidoarjo 16. Mojokerto 17. Jombang 18. Nganjuk 19. Madiun 20. Magetan 21. Ngawi 22. Bojonegoro 23. Tuban 24. Lamongan 25. Gresik 26. Bangkalan 27. Sampang 28. Pamekasan 29. Sumenep
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00875 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 1.50000 0.00010 0.05412 0.41547 0.09721 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00050 0.00120 0.04726 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.02960 0.00000 0.00000 0.00124 0.00000 0.00000 0.00006 0.09276 0.00421 0.10081 0.00267 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.02403 0.00000 0.02907 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.07149 0.10589 0.00012 0.00000 0.00000 0.00030 0.00451 0.14155 0.38026 0.06336 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.30202 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.02742 0.00000 0.00000 0.03108 0.00000 0.00247 0.00227 1.64748 0.71787 0.48889 0.00972 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.12500 0.00375 0.76324 0.00000 0.00000 0.00000 0.00242
Kotamadya 30. Kediri 31. Blitar 32. Malang 33. Probolinggo 34. Pasuruan 35. Mojokerto 36. Madiun 37. Surabaya
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.21344 0.69932
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.12940 0.50905
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.29402 0.62638
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.34332 0.24811
137 LAMPIRAN 16 : Data Tingkat Pengangguran 37 Kab/Kota di Jawa Timur Periode 2001-2004 (persen)
Kabupaten
2001
2002
2003
2004
1. Pacitan 2. Ponorogo 3. Trenggalek 4. Tulungagung 5. Blitar 6. Kediri 7. Malang 8. Lumajang 9. Jember 10. Banyuwangi 11. Bondowoso 12. Situbondo 13. Probolinggo 14. Pasuruan 15. Sidoarjo 16. Mojokerto 17. Jombang 18. Nganjuk 19. Madiun 20. Magetan 21. Ngawi 22. Bojonegoro 23. Tuban 24. Lamongan 25. Gresik 26. Bangkalan 27. Sampang 28. Pamekasan 29. Sumenep
1.44 3.84 3.58 4.71 4.69 4.84 4.43 4.24 3.88 3.41 3.02 2.29 2.77 3.43 5.24 4.52 6.15 4.85 8.38 4.19 4.8 3.94 3.16 2.77 3.84 4.15 3.1 3.52 2.07
1.62 4.93 3.6 5.2 7.68 4.67 4.14 3.98 2.89 4.25 2.42 2.13 3.49 3.37 7.05 5.03 7.6 6.22 7.79 5.38 4.84 3.92 3.46 2.99 5.17 5.97 2 4.83 1.62
1.65 4.91 2.73 4.44 4.94 5.52 5.46 3.12 3.09 3.06 1.55 3.11 2.56 3.81 7.41 4.69 7.44 6.67 8.54 3.66 5.53 4.53 5.83 3.31 4.51 3.24 1.11 3.22 2
2.14 6.6 5.53 6.97 5.79 5.45 6.67 4.42 3.65 4.65 1.73 2.86 5.12 5.01 8.15 7.28 8.01 6.22 10.41 5.08 3.5 6.65 4.05 3.52 9.12 6.73 2.62 3.28 1.05
Kotamadya 30. Kediri 31. Blitar 32. Malang 33. Probolinggo 34. Pasuruan 35. Mojokerto 36. Madiun 37. Surabaya
8.36 7.19 8.43 7.38 6.26 7.57 11.2 6.18
13.24 10.14 10.74 9.01 7.32 9.4 13.88 7.11
13.77 12.09 11.63 8.13 7.82 10.6 13.16 6.88
10.53 9.34 11.25 10.52 7.67 10.13 12.96 7.16