ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA POLITIK UANG DALAM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF (Studi Kasus di Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran) (Jurnal)
Oleh: SARAH FURQONI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2015
ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA POLITIK UANG DALAM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF (Studi Kasus Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran) Sarah Furqoni, Maroni, A.Irzal Fardiansyah email:
[email protected] Abstrak Tindak pidana money politik dalam Pemilihan Umum Legislatif pada tahun 2014 terjadi di Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran, proses penegakan hukumnya tidak ditindak lanjuti sebagaimana penegak hukum dijalankan secara integral, dikarenakan adanya sudut pandang yang berbeda terhadap Panwaslu dan pihak kepolisian. Bila dilihat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 301 yang menjelaskan bahwa setiap pelaksanaan kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya dipidana dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00. Seharusnya dijalannkan seperti undang-undang yang telah ada tetapi dalam kasus politik uang yang terjadi di setiap kabupaten terhadap pelaku tindak pidana money politik dalam pemilu bahwa adanya limit waktu yang disediakan dalam proses tindak pidana pemilu sehingga aparat dituntut waktu yang sangat cepat untuk prosesnya. Sehinga apabila kasus yang diselsaikan banyak tetapi sudah melebihi batas waktu yang ada maka disebut daluwarsa dan tidak bisa ditindak lanjuti lagi kasus terharap tindak pidana pemilu. Saran penulis yaitu proses penegakan hukum pidana pemilu harus diajalankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan agar terwujudnya suatu kepastian hukum, seharusnya aparat penengak hukum saling bersinergi untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang oleh undang-undang dan disertai sanksi agar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh undang-undang. Kata kunci: Penegakan Hukum, Tindak Pidana Pemilu, Politik Uang
ANALYSIS OF CRIMINAL LAW ENFORCEMENT OF MONEY POLITICS CRIME IN LEGISLATIVE ELECTION (A Case Study of South Lampung Regency and Pesawaran Regency) Sarah Furqoni, Maroni, A.Irzal Fardiansyah email:
[email protected] Abstract The criminal acts of money politics in the Legislative Election in 2014 occurred in South Lampung Regency and Pesawaran Regency, law enforcement process was not followed up as an integral law enforcement run, due to the different viewpoints of the Election Supervisory Committee and the police. When viewed from the Law No. 8 of 2012 Article 301 which explains that each execution of the election campaign that intentionally promising or giving money or other material shall be punished with imprisonment not exceeding two (2) years and a fine of Rp 24,000,000.00. It supposed to be run based on the laws that already exist, but in the case of money politics that occur in every district towards the criminal of politics of money in elections that any time limit provided in the criminal election process that forces a very fast time required for the process. So that if there are a lot of cases resolved and it exceeded the time limit, so it’s considered as expired and can not be followed up again the case against to the crime of election. Suggestions of author is that the election criminal law enforcement process must be executed in accordance with legislation for the realization of the rule of law, law enforcement officers should synergize to each others to determine which actions are prohibited by law and accompanied by sanctions to fit the purpose of law. Keywords: Law Enforcement, Crime Election, Money Politic
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pemilu, yaitu semua tindak pidana berkaitan dengan penyelengaraan pemilu yang diatur di dalam UU pemilu. Tindak pidana yang terjadi pada masa pemilu, tetapi tidak diatur dalam UU pemilu tidak digolongkan sebagai tindak pidana pemilu. Adapun subyek tindak pidana pemilu adalah manusia sebagai pribadi.1 Untuk menjamin pemilu yang free and fair yang sangat penting bagi negara demokrasi diperluakan perlindungan bagi para pemilih, bagi setiap pihak yang mengikuti pemilu maupun bagi rakyat umumnya dari segala ketakutan, intimidasi, penyuapan, penipuan, dan berbagai pihak curang lainnya, yang akan mempengaruhi kemurnian hasil pemilihan umum. Jika pemilihan dilakukan dengan curang sulit dikatakn bahwa pemimpin atau para legisiator yang terpilih di parlmen merupakan wakilwakil rakyat.2 Dalam sistem pemilihan umum legislatif secara langsung tahun 2014 membuka maraknya praktik money politic di Provinsi Lampung, dalam situasi yang serba sulit seperti saat ini, uang merupakan alat kampanye yang cukup ampuh untuk mempengaruhi masyarakat guna memilih calon legislatif tertentu. Praktik-praktik kecurangan tersebut menimbulkan 1
Topo Santoso, S.H., M.H, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta, hlm v 2 Ibid, hlm v
paradigma bagi masyarakat bahwa kecerdasan intelektual tidak menjadi penentu pemenang dalam pemilu. Adalnya faktor kekayaan finansial bagi calon legislatif dan sikap apatis masyarakat terhadap proses pemilu diamana masyarakat lebih bersikap respect terhadap para calon legislatif yang memberikan sejumlah uang dan sembako untuk dipilih, hal ini memberikan ruang celah bagi para calon legislatif untuk memanfaatkan keadaan tersebut secara melawan hukum, pelanggaran terkait penemuan gula di Kabupaten Pesawaran yang terdapat kartu nama Calon Anggota DPRD Provinsi Lampung JS, dapil 3 Nomor urut 1 dari PKS dan pembagian sembako yang dilakukan oleh Caleg GAF&KAR di Desa Banjar Agung Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan yang tertangkap tangan melakukan money politic dan telah di laporkan ke Panwaslu kabupaten masing-masing tetapi pada kenyataanya penegakan hukumnya tidak berjalan sesuai dengan undang-undang yang berlaku dalam Undang-Undang nomor 8 Tahun 2012, secara rinci undangundang nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu telah mengatur mengenai proses pelaksanaan pemilu beserta pelanggaran-pelanggaran dan sanksinya termasuk pelanggaran mengenai money politic. Di dalam pasal 301 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, menjelaskan bahwa setiap pelaksanaan kampanye pemilu yang disengaja menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dipidana denga penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan pasal 261 yang mengatur penyelesaian terhadap tindak pidana Pemilu, yang sudah mengatur mengenai semua pelaksanaan Pemilu, namun dalam pelaksanaanya proses penegakan hukum terhadap pelanggran tersebut tidaklah berjalan sebagaimana mestinya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana money politic pemilihan umum calon legislatif (2) Apakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana money politic dalam pemilihan umum calon legislatif C. Metode Penelitian Pendekatan masalah yang digunakan untuk menjawab permasalahan di atas yaitu pendekatan yuridis normatif, dan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer, dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan, dan studi lapangan. Data-data tersebut lalu dilakukan pengolahan melalui tahap seleksi data, klasifikasi data, dan
sistematisasi data. Data yang sudah diolah tersebut kemudian disajikan dalam bentuk uraian, yang lalu diinterpretasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan. II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Money Politic dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif Penegakan hukum pidana apabila dilihat sebagai bagian dari mekanisme penegakan hukum (pidana), maka “pemidanaan” yang biasa juga diartikan “pemberian pidana” tidak lain merupakan suatu proses kebijakan yang sengaja direncanakan. Artinya pemberian pidana itu untuk benar-benar dapat terwujud direncanakan melalui beberapa tahap yaitu: 1. Tahap penetapan pidana pembuat undang-undang; 2. Tahap pemberian pidana badan yang berwenang; dan 3. Tahap pelaksanaan pidana instansi pelaksana berwenang.
oleh oleh oleh yang
Tahap pertama sering juga disebut tahap pemberian pidana “in abstracto”, sedangkan tahap kedua dan ketiga disebut tahap pemberian pidana“in Concreto”. Dilihat dari suatu proses mekanisme penegakan hukum pidana, maka ketiga tahapan itu diharapkan merupakan satu jalinan mata rantai yang saling
berkaitan sistem.3
dalam
satu
kebulatan
Sistem penegakan hukum pidana adalah sistem kekuasaan/kewenangan menegakan hukum pidana yang diwujudkan/diimplementasikan dalam 4 (empat) sub-sistem dalam proses peradilan pidana, yaitu : 1. Kekuasaan penyidikan (oleh badan/lembaga penyidik); 2. Kekuasaan penuntutan (oleh badan/lembaga penuntut umum); 3. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana (oleh badan/lembaga pengadilan); 4. Kekuasaan pelaksana putusan/pidana (oleh badan/aparat pelaksana/eksekusi). Keempat tahap/subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan sistem peradilan pidana terpadu.4Sistem peradilan di Indonesia pada hakikatnya identik dengan penegakan hukum karena proses peradilan pada hakikatnya suatu proses menegakan hukum. Perbuatan pelaku yang dalam hal ini sebagai dalang atau orang yang mengatur dan menyuruh lakukan 3
Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni,1992, hlm.91. 4 Barda Nawawi Arief, Pembahruan Sistem Penegakan Hukum dengan Pendekatan Religius dalam Konteks Siskumas dan Bangkumas, dalam buku Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius dalam Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) Di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang 2011, hlm.41
perampokan merupakan kejahatan atau tindak pidana berupa turut serta melakukan pencurian dengan kekerasan disertai pemberatan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 365 Ayat (1), dan (2) ke 1 dan 2 KUHP Jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHP yang obyek kejahatannya adalah bank BRI Unit Rawajitu Menggala. Berdasarkan hal tersebut maka menurut hasil penelitian dan pengamatan yang penulis lakukan klasifikasi dari perbuatan pelaku tersebut merupakan kejahatan atau tindak pidana di bidang perbankan bukan suatu tindak pidana perbankan, karena pelaku dalam melakukan perbuatannya hanya menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the bank) dan sasaran tindak pidana itu (crimes against the bank) dan bukan suatu kejahatan atau tindak pidana perbankan yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku intelektual (intellectual dader) dalam perkara ini yaitu Syahrudin Yandri Lingga yang selanjutnya disebut pelaku intelektual berdasarkan pengamatan dan penelitian yang dilakukan oleh penulis telah menggunakan sistem peradilan pidana terpadu atau sistem penegakan hukum pidana yang integral, yaitu sistem kekuasaan/kewenangan menegakan hukum pidana yang diwujudkan/diimplementasikan dalam 4 (empat) sub-sistem dalam proses peradilan pidana, yaitu : 1. Kekuasaan penyidikan (oleh badan/lembaga penyidik); 2. Kekuasaan penuntutan (oleh badan/lembaga penuntut umum);
3. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana (oleh badan/lembaga pengadilan); 4. Kekuasaan pelaksana putusan/pidana (oleh badan/aparat pelaksana/eksekusi). Penegakan hukum Pidana yang dilakukan dalam perkara tindak pidana ini yaitu sudah dilakukan secara integral, yaitu brupa adanya keterjalinan yang erat (keterpaduan/integralitas) atau satu kesatuan dari berbagai sub-sistem (komponen) yang terdiri dari substansi hukum (legal structure), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Khususnya mengenai substansi jenis tindak pidana yang dijatuhkan kepada Pelaku Intelektual tersebut yaitu, tindak pidana pencurian dengan kekerasan, serta sebagai orang yang menyuruh lakukan sebagaimana diaturPasal 365 Ayat (1), Ayat (2) ke 1, 2 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.
B. Faktor-Faktor Penghambat Upaya Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Money Politic dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif Seabagaiaman diketahui bahwa salah satu masalah penting yang berhubungan dengan permasalahan Pemilu adalah Pengawasan. Dalam bahsa hukum adalah penegakan peraturan perundangan yang berkenaan dengan pemilu. Misalnya jelas, pemilu yang melibatkan seluruh rakyat yang jumlahnya puluhan juta yang sangat luas ini
mengandung potensi penyimpangan hal itu terjadi karena ketidakpahaman.5 Penegakan hukum terhadap tindak pidana money politic dalam Pemilu masih terus menemui hambatan. Terhabatnya upaya penegakan hukum terhadap money politic ini disebabkan oleh beberapa kelemahan-kelemahan, untuk membahas lebih dalam faktor penghambat dari penegakan hukum terhadap money politic menurut undang-undang penulis merujuk pada pendapat Soerjono Soekanto mengenai masalah pokok penegakan hukum, ia menyatakan sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu: 1. Faktor hukumnya sendiri yang dalam penelitian ini akan berada pada undang-undang saja. 2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum itu sendiri. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung dalam penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang mendasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPD, DPRD, DPR, secara substansial telah mengatur penjelasan sanksi bagi pelaku tindak pidana Pemilu namun berdasarkan pendapat para ahli dan juga responden yang berkompenten, undang-undang ini memiliki 5
Samsul Wahidin, Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Pestaka pelajar, Yogyakarta, 2008, hlm 181
kelemahan yang menjadi penghambat penegkan hukum itu sendiri seperti adanya limitasi waktu yang diatur dalam proses penegakan hukum pidana itu sendiri yang menjadikan prosesnya dilakukan secara terburu-buru dan apabila sudah lewat dari masa tenggang waktu maka akan kadaluarsa, walaupun secara faktual terbukti adanya pelanggaran tersebut. Selain itu pasal yang terdapat pada undangundang ini masih bersifat secara universal apabila dilihat dari kejelasan kata-katanya tidak secara spesifik. Wawasan dan sumber daya manusia dalam menanganai kasus pidana pemilu khususya money politic benar-benar dibutuhkan mengingat bentuk dari tindak pidana money politic itu sendiri berubahubah sehingga diperlukan wawasan yang luas dalamdiri para penegak hukum di indonesia. Harus diakui faktor ini juga mendorong terhambatnya penegakan hukum terhadap tindak pidana money politic dalam Pemilu, mengingat negara indonesia merupakan negara dengan luas wilayah yang panjang dan juga pertumbuhan penduduk yang sangat pesat maka kualitas aparat penegak hukum yang menetukan dilihat tidak semua penegak hukum sendiri memahami tindak pidana Pemilu. Masyarakat yang tidak kondusif dan adanya indikasi dari luar juga menjadi faktor penghambat untuk menjalankan pemilihan umum, masih banyaknya masyarakat yang mengangap money politic adalah hal yang biasa dalam setiap pemilhan umum yang mengakibatkan proses penegakan hukum itu sendri tidak berjalan sebagai mana yang telah diatur dalam undang-undang.
Menurut Dedi Fernando6 dalam penegakan hukum terhadap tindak pidan Pemilu ini fasillitas yang dimiliki oleh para penegak hukum masih dirasa kurang Seperti yang dilihat bahwa banyak kejadian tindak pidana Pemilu yang secara geografis letaknya sangat jauh sehingganya menjadikan susahnya para pelapor untuk melapor adanya temuan money politic. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang menjadi landasan hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak menagani apa yang diangap baik (sehingga dianut) apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari) nilai-nilai tersebut biasayanya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang seharusnya diserasikan. Hal itulah yang menjadi pokok pembicaraan didalam bagian mengenai faktor penghambat dari segi budaya. III.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai proses penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana Money Politic dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana money politic dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif belum berjalan dengan baik, normanorma dalam regulasi pemilu tidak diaplikasikan sebagaimana mestinya oleh aparat penegak hukum khususnya lembaga kepolisian yang 6
Hasil Wawancara Tanggal 18 November 2014
merupakan garda terdepan dalam peroses penyidikan. adanyanya unsur-unsur perbuatan pidana yang ditemukan oleh Bawaslu tetapi tidak ditindak lanjuti ke tahap penyidikan oleh aparat penyidik. Faktor penghambat dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana money politic dalam Pemilihan Umum yakni undang-undang yang mengatur tentang Pemilu di anggap terlalu sumir yang mengakibatkan banyaknya penafsiran-penafsiran yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Norma-norma yang terkandung dalam undang-undang tidak menjerat aktor-aktor intelektual dan hanya menjerat pelaku-pelaku atau penyelenggara di tingkat bawah. Banyaknya laporan yang masuk kedalam gakumdu dan dikaji bersama aparat penegak hukum itu sendiri, tetapi masih banyaknya kasus yang tidak pernah diteruskan ke tahap selanjutnya dikarenakan beda pandangan dari setiap aparat penegak hukum itu sendiri untuk menetukan bahwa kasus tersebut adalah memenuhi unsur tindak pidana. Ditinjau dari sarana dan prasarana bahwasanya keadaan geografis Provinsi Lampung yang masih banyak daerah-daerah terpencil yang menyulitkan aparat penegak hukum dalam proses penyidikan dan penyelidikan, sifat masyarakat yang apatis juga menjadi faktor penghambat dalam perosos penegakan hukum. Pengecualian hukum beracara untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu yang diatur berbeda dengan KUHP. Sesuai dengan sifat yang cepat, maka proses penyelesaian pelanggaran pidana pemilu paling lama 67 hari sejak terjadinya pelanggaran sampai dengan pelaksanaan putusan.
DAFTAR PUSTAKA Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni,1992 Nawawi Arief, Barda, Pembahruan Sistem Penegakan Hukum dengan Pendekatan Religius dalam Konteks Siskumas dan Bangkumas, dalam buku Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius dalam Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) Di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang 2011 Santoso Topo, S.H., M.H, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta Wahidin Samsul , Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Pestaka pelajar, Yogyakarta, 2008