ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT: KEBIJAKAN PENGATURAN BAHAN BAKU UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PRIMER
Oleh :
IMAN SANTOSO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul “ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT: KEBIJAKAN PENGATURAN BAHAN BAKU UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PRIMER” merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor,
Mei 2011
Iman Santoso NRP. A5460141814
ABSTRACT IMAN SANTOSO. Analysis of Supply and Demand of Roundwood: Raw Material Policy Arrangement for Primary Wood Industries. (RINA OKTAVIANI as Chairman, ARIEF DARYANTO and DUDUNG DARUSMAN as Member of Advisory Committee). The role of forestry sector in national economies show a declining trend. This decrease was caused by various factors. One of them is the occurrence of an imbalance between supply and demand for logs in which there is excess demand for primary wood processing industry. Many efforts have been made such as the arrangement of primary wood processing industry and implementation of a log export ban, but has not given encouraging results yet. This research is applying a simultaneous equations model of the Indonesian timber market system that are more detailed than previous studies. On the supply side, the behavioral model of timber supply from various sources (natural forests, plantation forests and community forests) is constructed. Meanwhile, on the demand side, this research constructed demand behavior of sawntimber, plywood, and pulp industries. The model developed is intended to answer questions relating to (1) the factors that influence production of roundwood production and its derivatives, (2) forms of government policies that ensure the sustainability of the forest industry (upstream-downstream), and (3) policies that can reduce the gap of supply and demand of logs. 2SLS method was used for model parameter estimation. The results show that the decision to determine the extent of timber harvesting area in natural forest and plantation forest are influenced by previous cutting experience in addition to the demand by the industrial roundwood, roundwood prices, taxes and levies and wage rates. Roundwood production from natural and plantation forests are influenced by land productivity, while for community forest production is more affected by extensive logging. Level of demand by the industry is affected by the production of primary wood processing industry, the world price of processed wood products, and the price of logs. Efforts to accelerate the decline in the gap can be done through increased productivity of natural forests through the implementation of intensive silviculture. Other efforts that could be implemented are acceleration of development of community’s plantation forests (HTR) in production forests are not burdened with rights, implementation of compensation fee for the people who developing HTR as much as their opportunity cost if they reduce cash crops in HTR area simplify the procedure so that the community can meet the required conditions, granting access to financing credit, encouraging participants to plant perennials HTR; application of multi-system silviculture. Increased production of logs per unit area as described above is expected to increase the contribution of the forestry sector, through increased taxes and charges up to certain limits. Application of the use of efficient wood processing technology, especially in the application of new industrial units, to offset rising production costs, for example increase the wage rate. Keywords:
supply, demand, syslviculture
gap,
roundwood,
simultaneous
equation,
RINGKASAN IMAN SANTOSO. Analisis Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat: Kebijakan Pengaturan Bahan Baku untuk Industri Pengolahan Kayu Primer. (RINA OKTAVIANI sebagai Ketua, ARIEF DARYANTO dan DUDUNG DARUSMAN sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Sub sektor kehutanan memberikan kontribusi pada perekonomian nasional Indonesia terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode PELITA I. Dalam perdagangan internasional, sub sektor ini pada tahun 1980-an menguasi 40% ekspor kayu dunia, terutama dalam bentuk kayu bulat. Disamping itu industri di sub sektor ini pada tahun 2005 memberikan kontribusi sebesar 3,28% dari Produk Domestik Bruto dan menyerap tenaga kerja sekitar 7,91% dari seluruh sektor industri. Mengingat pentingnya sub sektor ini, berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah diantaranya dengan kemudahan dalam membangun industri pengolahan kayu dan pelarangan ekspor kayu bulat mulai dari tahun 1985. Dalam perjalanannya pemanfaatan kapasitas terpasang industri pengolahan kayu primer terutama kayu gergajian dan kayu lapis mengalami fluktuasi yang tajam dalam periode 1980 hingga 2005. Pemanfaatan tertinggi terjadi pada 1990-an yang mencapai diatas 90%, tetapi pada tahun 2005 turun drastis sampai dibawah 50%. Hal ini menunjukkan bahwa kedua industri pengolahan kayu primer tersebut tidak cukup menerima penawaran kayu bulat atau kurang mampu menyerap ketersediaan kayu yang ada. Dari berbagai literature disebutkan bahwa terjadi ketimpangan antara penawaran dan permintaan kayu bulat, dimana terjadi kelebihan permintaan. Adanya selisih yang besar antara penawaran dan permintaan tersebut mengundang berbagai pertanyaan, diantaranya (1) seberapa jauh faktor-faktor yang berkontribusi pada tingkat produksi kayu bulat dan produk turunannya mempengaruhi tingkat produksi kayu bulat dan permintaannya oleh industri pengolahan kayu primer dan bagaimana dampaknya terhadap kinerja keduanya?; (2) Akan di arahkan kemanakah kebijakan pemerintah agar kelestarian dan kontinuitas penawaran kayu bulat terjamin dalam rangka menjaga kontinuitas dan meningkatkan kinerja industri pengolahan kayu primer?; dan (3) Faktor-faktor apakah yang secara spesifik diperkirakan akan bisa membantu meningkatkan kinerja industri pengolahan kayu primer Indonesia dalam mengatasi kesulitan pemenuhan bahan bayu kayu bulat. Dengan demikian disertasi ini mempunyai tujuan, yaitu: (1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada kinerja produksi kayu bulat dan kayu olahan primer serta permintaankayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer; (2) Mengevaluasi dampak pengurangan kapasitas terpasang industri pengolahan kayu primer dan peningkatan produktivitas kayu bulat dari hutan alam, hutan tanaman dan hutan rakyat terhadap situasi permintaan dan penawaran kayu bulat dan implikasinya kepada kinerja industri pengolahan kayu primer; (3) Meramalkan dampak kebijakan tersebut terhadap industri pada masa mendatang; dan (4) Mengidentifikasi kebijakan yang harus ditempuh serta kendala yang harus diatasi untuk meningkatkan kinerja produksi kayu bulat dan industri pengolahan kayu primer. Untuk menjawab tujuan-tujuan tersebut dikembangkan suatu model ekonometrika yang menggambarkan perilaku penawaran kayu bulat dari hutan
alam, hutan tanaman, dan hutan rakyat, permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer; dan perilaku harga di setiap pasar dan metode pendugaan yang digunakan untuk mempelajari perilaku tersebut adalah Metode Kuadrat Terkecil Dua Tahap. Hasil analisis penawaran dan permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu primer di Indonesia untuk periode 1980 hingga 2005 diperoleh beberapa hasil mengenai perilaku ekonomi, serta kecenderungan yang akan terjadi bila ada perubahan kebijakan. Keputusan produsen untuk untuk menentukan luas tebangan pada hutan alam dan hutan tanaman dipengaruhi oleh pengalaman tebangan pada tahun sebelumnya, juga sangat dipengaruhi oleh permintaan kayu bulat oleh industri, harga kayu itu sendiri, dan tingkat upah. Sedangkan pada penentu luas tebangan hutan rakyat adalah besarnya permintaan terhadap kayu mereka. Hal ini sejalan dengan perilaku produksi kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanaman yang dipengaruhi oleh produktivitas, upah dan Iuran Hasil Hutan. Sementara untuk produksi kayu dari hutan rakyat dipengaruhi oleh luas tebangan. Dari sisi harga, harga kayu bulat selain dipengaruhi harga kayu tahun sebelumnya juga dipengaruhi harga riil kayu gergajian domestik dan harga kayu bulat dunia yang menunjukkan bahwa kinerja penawaran kayu bulat lebih cenderung terkait dengan industri gergajian dan orientasi ekspor kayu bulat. Sementara tingkat harga yang diterima oleh rakyat cenderung berdasarkan pada harga kayu bulat yang diterima rakyat pada periode sebelumnya. Permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu primer cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Tingkat permintaan oleh industri dipengaruhi oleh tingkat produksi industri pengolahan kayu primer, harga produk kayu olahan dunia, dan harga kayu bulat. Ekspor kayu bulat selain dipengaruhi oleh kinerja ekspor tahun sebelumnya, juga dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dolar Amerika. Berlawanan dengan ekspor, impor kayu bulat dari luar negeri akan menurun bila nilai tukar Rupiah naik, dalam hal ini harga kayu bulat dari luar negeri menjadi lebih mahal bila dibayar dengan Rupiah. Dari berbagai skenario yang dikembangkan hasil simulasi, upaya percepatan penurunan ekses permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas hutan alam melalui implementasi SILIN yang dikombinasikan dengan penurunan kapasitas industri pengolahan kayu primer. Dari hasil proyeksi untuk periode 2006-2010 terhadap permintaankayu bulat, menunjukkan terjadinya gap antara keduanya sekitar 6 juta m3 apabila tidak ada intervensi atau business as usual. Peningkatan produktivitas hutan alam sebesar 20% disertai dengan kebijakan penurunan kapasitas industri sebesar 30% menjadikan gap menurun sebesar 32.33%; Pengurangan gap tersebut masih sangat kecil, karena besaran gap masih sekitar 4 juta m3, sehingga masih memberikan peluang terjadinya illegal logging yang merugikan kelestarian sumberdaya hutan dan keamanan lingkungan. Upaya lain untuk mengurangi gap tersebut, pemerintah dapat mengupayakannya melalui kebijakan percepatan pembangunan hutan tanaman rakyat (HTR) pada kawasan hutan produksi yang sudah tidak dibebani hak (HPH/HTI). Pola HTR ini dapat dipersamakan dengan hutan rakyat, dimana pohon berkayu merupakan sisipan diantara tanaman pangan dalam pola pemanfaatan tanah masyarakat. Dengan pola ini akan mempunyai produktivitas sebesar 0.18 m3 per hektar, sehingga bila target luas pembangunan
HTR sampai dengan tahu 2014 sekitar 5.4 juta hektar maka pola ini menyumbang penawaran kayu sekitar 1 juta m3. Upaya lain adalah dengan kebijakan memberikan kompensasi bagi peserta HTR untuk peluang ekonomi yang hilang (opportunity cost) bila mereka tidak mengurangi cash crops pada areal HTR-nya, yang sangat diperlukan bagi kehidupan mereka, menyederhanakan prosedur yang memungkinkan masyarakat bias memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan, dan pemberian akses yang memadai pada kredit pendanaan melalui berbagai skim yang tepat, termasuk memberi kemungkinan insentif pada peserta HTR yang akan menanam jenis-jenis kayu keras (hardwood). Minimalisasi gap antara penawaran dan permintaan kayu bulat juga bias ditempuh melalui penerapan multi-system silviculture yang meminimumkan biaya dan memaksimumkan produksi kayu bulat secara spesifik pada tiap areal kerja pengusahaan hutan sesuai dengan keragaman kondisi biofisik areal tersebut. Hal ini perlu karena pada kenyataannya di satu sisi keragaman lanskap areal kerja pengusahaan hutan tinggi, dan disisi lain, dengan teknologi dan situasi pasar yang ada, semua jenis kayu dapat diolah menjadi berbagai produk yang masing-masing mempunyai pasarnya sendiri. Peningkatan produksi kayu bulat per satuan luas sebagaimana diuraikan di atas diharapkan akan memungkinkan menerapkan kenaikan pajak dan pungutan sampai pada batasan tertentu. Mengingat implementasi kenaikan pajak dan pungutan (IHH/DR) ini akan menurunkan efektifitas pengurangan gap. Di sisi permintaan, pengurangan gap penawaran dan permintaan kayu bulat dapat ditempuh dengan melalui kebijakan penerapan ketentuan penggunaan teknologi pengolahan kayu yang efisien, yang diperlukan untuk mengimbangi kenaikan biaya produksi yang sangat dipengaruhi oleh tingkat upah, dan pasti akan selalu bergerak naik. Kebijakan ini perlu ditekankan pada aplikasi/permohonan unit-unit industri baru.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT: KEBIJAKAN PENGATURAN BAHAN BAKU UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PRIMER
IMAN SANTOSO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manejemen, Institut Pertanian Bogor Dr.Ir. Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manejemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: Dr. Ir. Akhmad Fauzi Mas’ud, MSc. Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi, Kementerian Kehutanan Prof. Dr.Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manejemen, Institut Pertanian Bogor
Judul Disertasi
: Analisis Penawaran Dan Permintaan Kayu Bulat: Kebijakan Pengaturan Bahan Baku Untuk Industri Pengolahan Kayu Primer
Nama Mahasiswa
: Iman Santoso Menyetujui,
Nomor Pokok
: A5460141814
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Ketua
Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec Anggota
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Tanggal Ujian :
3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas petunjuk dan rahmat-Nya
sehingga
penulis
berhasil
menyelesaikan
merampungkan penulisan hasilnya dalam disertasi ini.
penelitian
dan
Kepada Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis menghaturkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas segala fasilitas dan bimbingan teknis serta administrative terbaik yang telah diberikan hingga penulis berhasil menyelesaikan keseluruhan program doktoral di kampus tercinta ini.
Demikian pula kami
sampaikan terimakasih kepada seluruh pimpinan Departemen Kehutanan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi dan mendorong dalam penyelesaian disertasi. Secara khusus, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Komisi Pembimbing: 1. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS, selaku Ketua Komisi, yang sangat memahami kondisi penulis dan telah memberikan dorongan serta arahan yang tepat mulai dari penyusunan proposal penelitian hingga tersusunnya disertasi ini dan selalu memberikan arahan dan koreksi yang sangat konstruktif; 2. Prof. Dr. Dudung Darusman, MA, selaku Anggota Komisi yang sekaligus merupakan senior penulis di bidang kehutanan, yang telah memberikan bimbingan dan arahan, serta tidak berhenti memberikan motivasi hingga penulis dapat menyelesaikan seluruh penelitian dan penyusunan disertasi ini dengan baik; 3. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec, selaku Anggota Komisi yang sejak awal perkuliahan selalu memberikan perhatian pada kemajuan studi penulis dan seluruh kelas Program S3 Ekonomi Pertanian Angkatan 2002, yang telah banyak memberikan motivasi dan arahan kepada penulis dalam penyusunan disertasi ini.
Penulis berhutang budi dan mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Anny Ratnawati yang telah memberikan dorongan dan arahan kepada penulis mulai dari perkuliahan hingga penelitian.
Kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA,
penulis mengucapkan terimakasih atas perhatiannya yang sangat besar dalam mengikuti perkembangan studi dan memberikan motivasi penulis dalam berbagai kesempatan. Tidak lupa penulis menghaturkan terimakasih kepada Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono yang sejak awal perkuliahan memberikan semangat dan teladan dalam mengikuti perkuliahan dan pelaksanaan penelitian, serta tidak henti-henti mengikuti perkembangan studi penulis dan seluruh rekan seangkatan. Kepada seluruh rekan seangkatan yang telah bekerjasama dengan baik sampai dengan saat ini, penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi, dan berharap persahabatan ini terus berlangsung.
Kepada rekan-rekan sekerja di Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, khususnya Sdr Ir. Deden Djaenudin, M.Si., yang telah banyak memberikan bantuan tenaga dan pikirannya serta dengan kritis memberikan koreksi atas disertasi ini, dari lubuk hati terdalam penulis mengucapkan terimakasih. Terkahir, penulis bersyukur atas segala ketulusan dan kerelaan isteri serta kedua anak tercinta yang merupakan motivasi utama penulis dalam melakukan studi ini, yang dengan tekun berdoa dan mengikuti perkembangan studi penulis. Semoga apa yang telah penulis capai menjadi kenangan terindah dan motivasi keluarga untuk selalu berbuat yang terbaik untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Dengan segala kekurangannya, serta selalu mengharap ridho Allah SWT, penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bogor, Mei 2011 Penulis,
Iman Santoso
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 22 September 1953, sebagai anak keenam dari delapan bersaudara dari ayah R. Soedarso dan R.Ng.Sarmonah. Pendidikan dasar dan menengah penulis dijalani di kota Semarang, dan pada tahun 1973 penulis mulai kuliah pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1979 penulis mulai bekerja pada Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian sebagai staf perencana program pada Balai Planologi Kehutanan Wilayah V di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dan kemudian menduduki jabatan sebagai Kepala Sub Balai Tata Hutan Banjarbaru pada tahun 1983. Pada tahun 1986 penulis dimutasikan ke Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan di Jakarta sampai dengan tahun 1990, yang kemudian dilanjutkan dengan tugas belajar Strata 2 (Master of Science) di Department of Forestry, Michigan State University sampai dengan tahun 1992. Pada periode 1992 hingga 2000 penulis bekerja untuk Badan Planologi Kehutanan di Jakarta dan Kantor Wilayah Departemen Kehutanan di Jayapura. Kemudian pada tahun 2000 hingga 2004 penulis bekerja sebagai forest landuse and policy expert pada Proyek Kerjasama EU-MoF dan GTZ-MoF. Pada periode itu, tepatnya pada tahun 2002 penulis mulai mengikuti Program Doktor Ekonomi Pertanian pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2004 hingga 2008 penulis kembali bekerja untuk Departemen Kehutanan, berturut-turut sebagai Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional I Sumatera (2004-2005), Sekretaris Badan Planologi Kehutanan (2005-2007), dan Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan (2007-2008). Penulis menikah dengan Rita Zanibar pada tahun 1980 dan telah dikaruniai dua orang putera, yaitu Krisnanto Prayogo (24 tahun) dan Mohammad Anindityo (22 tahun).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................. xviii DAFTAR GAMBAR..........................................................................
xxi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xxii I. PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .....................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian .........................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................
8
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan ................................................
9
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
11
2.1. Kebijakan Umum Kehutanan .......................................................
11
2.2. Studi Global Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat ..................
14
2.3. Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat di Beberapa Negara .........................................................................................
16
2.4. Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Indonesia ..............
21
2.5. Studi Empirik ..............................................................................
24
III. KERANGKA PEMIKIRAN ..............................................................
26
3.1. Landasan Teori ............................................................................
26
3.1.1. Penawaran dan Permintaan serta Mekanisme Pasar ............
26
3.1.2. Elastisitas Permintaan dan Penawaran ................................
27
3.1.3. Penawaran dan Permintaan pada Perdagangan Internasional ......................................................................
31
3.1.4. Suku Bunga .......................................................................
32
3.1.5. Upah ..................................................................................
33
3.1.6. Nilai Tukar ........................................................................
34
3.1.7. Pajak dan Pungutan ............................................................
34
xiv
3.2. Kerangka Pelaksanaan Penelitian ................................................
36
3.2.1. Penawaran dan Permintaan pada Produksi Kayu Bulat dan Kayu Olahan......................................................................
37
3.8.2. Integrasi Vertikal ...............................................................
39
3.2.3. Permintaan Turunan ...........................................................
41
3.2.4. Kerangka Model Ekonomi .................................................
41
IV. METODE PENELITIAN...................................................................
43
4.1. Model Operasional .....................................................................
44
4.1.1. Blok Kayu Bulat ................................................................
45
4.1.2. Blok Kayu Gergajian .........................................................
50
4.1.3. Blok Kayu Lapis ................................................................
51
4.1.4. Blok Pulp ...........................................................................
52
4.1.5. Blok Penawaran dan Permintaan ........................................
53
4.2. Identifikasi Model ......................................................................
58
4.3. Simulasi Kebijakan ......................................................................
58
4.4. Sumber Data ................................................................................
60
V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT .......................................................
61
5.1. Hasil Pendugaan Model .................................................................
61
5.2. Kayu Bulat ....................................................................................
62
5.2.1. Luas Tebangan Hutan Alam ................................................
62
5.2.2. Luas Tebang Hutan Tanaman..............................................
64
5.2.3. Luas Tebang Hutan Rakyat .................................................
65
5.2.4. Produksi Kayu Bulat dari Hutan Alam ................................
67
5.2.5. Produksi Kayu Bulat dari Hutan Tanaman ..........................
68
5.2.6. Produksi Kayu Bulat dari Hutan Rakyat ..............................
69
5.2.7. Harga Riil Kayu Bulat Hutan Alam.....................................
70
5.2.8. Harga Riil Kayu Bulat Hutan Tanaman ...............................
71
5.2.9. Harga Riil Kayu Bulat Hutan Rakyat ..................................
72
5.3. Industri Pengolahan Kayu Primer .................................................
73
5.3.1. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Kayu Gergajian ..........
73
5.3.2. Produksi Kayu Gergajian .....................................................
74
xv
5.3.3. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Kayu Lapis .................
75
5.3.4. Produksi Kayu Lapis ............................................................
76
5.3.5. Permintaan Kayu Bulat Oleh Industri Pulp ...........................
78
5.3.6. Produksi Pulp .......................................................................
VI.
5.4. Ekspor-Impor ................................................................................
80
5.2.1. Ekspor Kayu Bulat ..............................................................
80
5.2.2. Impor Kayu Bulat ...............................................................
81
5.2.3. Ekspor Kayu Gergajian .......................................................
82
5.2.4. Ekspor Kayu Lapis..............................................................
83
5.2.5. Ekspor Pulp ........................................................................
85
APLIKASI MODEL UNTUK EVALUASI ALTERNATIF KEBIJAKAN ....................................................................................
87
6.1. Validasi Model Ekonometrik .......................................................
87
6.2. Proyeksi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Tahun 2006-2010 .........................................................................
89
6.2.1. Proyeksi Penawaran Kayu Bulat ..........................................
89
6.2.2. Proyeksi Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Pengolahan Kayu Primer ........................................................................
91
6.2.3. Gap antara Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat ......................
92
6.3. Simulasi Skenario Kebijakan Sebagai Upaya Penurunan Gap ........
92
6.3.1. Kenaikan Upah sebesar 5% ..................................................
92
6.3.2. Penurunan Kapasitas Terpasang Industri Pengolahan ...........
93
6.3.3. Kenaikan Suku Bunga 5% ........................................................
94
6.3.4. Kenaikan Dana Reboisasi dan Iuran Hasil Hutan .................
96
6.3.5. Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman ........................
98
6.3.6. Peningkatan Produktivitas Hutan Alam ................................
99
6.3.7. Peningkatan Luas Tebangan Hutan Rakyat .........................
101
6.3.8. Skenario Kombinasi Peningkatan Produktivitas dengan
Variasi Kebijakan Lain ........................................................ 102 6.4. Ringkasan Hasil Simulasi ....................................................................... 104
xvi
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .......................... 106 7.1. Kesimpulan ................................................................................... 106 7.2. Implikasi Kebijakan....................................................................... 109 7.3. Saran-saran .................................................................................... 113 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 115 LAMPIRAN ...................................................................................... 118
xvii
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
2.
3.
Halaman
Peran Produk Kayu Primer Indonesia di Pasar Dunia Tahun 1998-2002 ...................................................................................
3
Kayu Bulat Indonesia yang Terjual di Beberapa Negara Tujuan Tahun 1997-2005 ......................................................................
5
Deforestasi per Wilayah di Indonesia Tahun 2001-2005 ........................ 13
4 . Hasil Estimasi Persamaan Luas Tebangan Hutan Alam di Indonesia Tahun 2005 ............................................................................................ 63 5 . Hasil Estimasi Persamaan Luas Tebangan Hutan Tanaman di Indonesia Tahun 2005 ............................................................................. 65 6 . Hasil Estimasi Persamaan Luas Tebangan Hutan Rakyat di Indonesia Tahun 2005 ........................................................................................... 66 7 . Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Bulat dari Hutan Alam di Indonesia Tahun 2005 ............................................................................ 68 8 . Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Bulat Hutan Tanaman di Indonesia Tahun 2005 ............................................................................. 69 9 . Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Bulat Hutan Rakyat di Indonesia Tahun 2005 ............................................................................ 69 10.
Hasil Estimasi Persamaan Harga Kayu Bulat Alam di Indonesia Tahun 2005 ........................................................................................... 71
11.
Hasil Estimasi Persamaan Harga Kayu Bulat Tanaman di Indonesia Tahun 2005 .......................................................................................... 72
12.
Hasil Estimasi Harga Kayu Hutan Rakyat di Indonesia Tahun 2005 ...................................................................................................... 73
13.
Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Kayu Gergajian di Indonesia Tahun 2005 .............................................. 73
14.
Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Gergajian di Indonesia Tahun 2005 ........................................................................................... 75
xviii
15.
Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Kayu Bulat untuk Kayu Lapis di Indonesia Tahun 2005 ......................................................................... 76
16.
Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Lapis di Indonesia Tahun 2005 ........................................................................................... 77
17.
Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Kayu Bulat Industri Pulp di Indonesia Tahun 2005 ....................................................................... 78
18.
Hasil Estimasi Persamaan Produksi Pulp di Indonesia Tahun 2005 ....... 80
19.
Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Kayu Bulat di Indonesia Tahun 2005 ........................................................................................... 81
20.
Hasil Estimasi Persamaan Impor Kayu Bulat di Indonesia Tahun 2005 ........................................................................................... 82
21.
Hasil Estimasi Ekspor Kayu Gergajian di Indonesia Tahun 2005 .......... 83
22.
Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Kayu Lapis di Indonesia Tahun 2005 ........................................................................................... 84
23.
Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Pulp di Indonesia Tahun 2005 .......... 85
24.
Keragaan Validasi pada Model Ekonometrika Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat ......................................................................... 88
25.
Proyeksi Penawaran Kayu Bulat Produksi Sah Hutan Indonesia Tahun 2006-2010 .................................................................................... 90
26.
Proyeksi Permintaan Kayu Bulat di Indonesia Tahun 2006-2010............. 91
27.
Proyeksi selisih (gap) antara Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat di Indonesia Tahun 2006-2010 ...................................................... 92
28.
Hasil Simulasi Kebijakan Upah, Nilai Tukar, Kapasitas Industri, dan Suku Bunga .................................................................................... 95
29.
Simulasi Peningkatan Dana Reboisasi dan Iuran Hasil Hutan Tahun 2006-2010 ................................................................................. 97
30.
Simulasi Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman di Indonesia Tahun 2006-2010 ................................................................................... 98
31.
Simulasi Peningkatan Produktivitas Hutan Alam di Indonesia Tahun 2006-2010 .................................................................................... 100
xix
32.
Simulasi Peningkatan Luas Tebangan Hutan Takyat di Indonesia Tahun 2006-2010 ................................................................................... 101
33.
Ringkasan Kombinasi Skenario Peningkatan Produktivitas Hutan Alam 20%, Hutan Tanaman 30%, Penurunan Kapasitas Terpasang, Suku Bunga dan IHH/DR ..................................................... 103
xx
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Arus Kayu Bulat untuk Bahan Baku Industri ............................................
4
2.
Kurva Penawaran dan Permintaan ......................................................... 27
3.
Kurva Pergeseran Permintaan dan penawaran ........................................ 28
4.
Keseimbangan Harga Relatif Komoditi ................................................. 31
5.
Hubungan Antara Suku Bunga dan Investasi ......................................... 33
6.
Dampak Pajak dan Pungutan Terhadap Biaya dan Penerimaan .............. 36
7.
Rangkaian Produksi dan Pasar Kayu Bulat ............................................. 37
8.
Kerangka Model Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat ........................ 42
9.
Penawaran Kayu Bulat dari Produksi Sah Hutan Indonesia Tahun 2006-2010 .................................................................................. 93
10. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Pengolahan Primer di Indonesia Tahun 2006-2010 ................................................................................... 94
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Program Komputer SAS Versi 9.1 Pendugaan Model Persamaan Simultan dengan Metode Two State Least Square (2SLS) ........................ 123 2.
Hasil Estimasi dengan Metode 2SLS ........................................................ 127
xxii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode Pembangunan Lima Tahun Pertama (PELITA I). Sub sektor ini pada tahun 1980an pernah mencatat prestasi internasional yang sangat tinggi dengan menempati 40% ekspor kayu dunia, terutama dalam bentuk kayu bulat. Pada periode 19932005, kontribusi sub sektor ini pada Produk Domestik Bruto berkisar antara 1.7%–3.1%. Kinerja ini dinilai sangat bagus bila dibandingkan dengan rata-rata kontribusi kehutanan di negara-negara Asia (FAO, 2005). Di sisi industri, Departemen Perindustrian Indonesia mencatat bahwa pada tahun 2005 nilai produksi industri pengolahan hasil hutan Indonesia mencapai Rp. 89.67 trilyun atau sekitar 3.28% dari Produk Domestik Bruto, dan sekitar 11.71% dari output sektor non-migas. Nilai ekspor dari industri ini mencapai US$ 6.41 milyar atau sekitar 9.68% dari total ekspor nasional, dan sekitar 11.26% dari total ekspor industri.
Serapan tenaga kerja mencapai 921.773 orang, yang berarti
sekitar 7.91% dari penyerapan tenaga kerja seluruh sektor industri, atau 0.97% dari total angkatan kerja yang bekerja (Seno, 2008). Kondisi ini kemudian dicoba untuk lebih disempurnakan dengan membangun industri pengolahan kayu untuk meningkatkan nilai tambah ekspor produk kayu, di antaranya melalui pelarangan ekspor kayu bulat (log export ban) secara total mulai dari tahun 1985 (Sukmananto, 2007). Meskipun upaya ini telah
2
membangkitkan pertumbuhan industri pengolahan kayu primer, namun pada kenyataannya pelarangan ekspor kayu bulat tersebut dalam beberapa hal dinilai secara keseluruhan masih belum memberikan hasil yang memuaskan.
Hal
tersebut antara lain diperlihatkan oleh: masih adanya kayu bulat yang mengalir secara illegal ke luar negeri (Santoso dan Christanto, 2003), kerugian dari sisi neraca pembayaran dan
belum adanya serapan kayu maksimal oleh industri
domestik pada pertengahan tahun 1980-an (Sinaga, 1988), dan tidak sepadannya pertambahan devisa dari ekspor kayu olahan dibanding dengan hilangnya kesempatan untuk memperoleh tambahan devisa yang cukup besar dari ekspor kayu bulat (Manurung, 1995). Meskipun demikian menjelang tahun 1999 Indonesia mulai meningkatkan produksi dan ekspor produk kayu olahan primer berupa kayu gergajian, kayu lapis, dan
pulp.
Produk-produk kayu primer Indonesia ini di pasar dunia
dianggap cukup penting pada tahun 1998-2002, paling tidak bila dilihat dari sisi Indonesia.
Meskipun demikian, peran ini pada tahun 2001 dan 2002 mulai
memperlihatkan kecenderungan yang menurun, hal ini diperlihatkan oleh statistik yang dirangkum dari data yang ada pada FAO, COMTRADE, dan ITTO (Tissari dan Astana, 2004). Perkembangan peran produk kayu olahan primer Indonesia di pasar dunia menurunan secara substantial terjadi pada produksi kayu lapis yang pada tahun 2002 mengalami penurunan sebesar 14% dari tahun sebelumnya, sedangkan pada produksi kayu gergajian dan pulp masing-masing hanya turun sekitar 1% dan 6% (Tabel 1).
3
Tabel 1. Peran Produk Kayu Primer Indonesia di Pasar Dunia Tahun 1998-2002 Unit Produk Kayu gergajian
Kayu Lapis
Pulp
1998
1999
2000
2001
2002
Juta US $
320.2
465.0
637.6
628.7
523.4
1.000 ton
742.7
984.6
1.477.7
2.188.5
1.425.5
Juta US$
1.533.2
1.924.3
1.816.1
1.560.7
1.522.6
1.000 ton
2.238.1
2.130.5
2.111.9
2.185.5
1.981.1
Juta US $
539.8
457.6
969.8
911.2
866.4
1.000 ton
1.412.1
1.063.5
1.524.2
2.275.8
2.187.7
Sumber: Tissari dan Astana, 2004 Kemampuan produksi kayu bulat dan kayu olahan tersebut ditunjang oleh melimpahnya kayu yang merupakan bagian dari sumberdaya Hutan Produksi (HP) yang ditunjuk oleh pemerintah seluas kurang lebih 60.9 juta hektar di seluruh Indonesia (Badan Planologi Kehutanan, 2005). Produksi dari kawasan ini secara insidental masih ditambah oleh produksi kayu melalui Ijin Pemanfaatan Kayu dari konversi kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) dalam rangka perluasan perkebunan pemukiman dan penggunaan kawasan lainnya, sebagaimana skema pada Gambar 1. Ketersediaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu primer di Indonesia selain berasal dari pasokan kayu bulat dari hasil tebangan Kawasan HP dan dari hasil IPK pada HPK, juga berasal dari Hutan Rakyat, dan hasil penebangan peremajaan kebun kelapa, kelapa sawit dan karet. Kesemuanya itu merupakan pasokan legal dari ijin-ijin tebangan yang sah dari pemerintah. Pasokan legal dari sumber-sumber domestik tersebut dalam beberapa kesempatan juga ditambah dengan impor.
4
Daratan Indonesia (187 juta ha)
Kawasan Hutan (133.1 juta ha)
Tanah Perkebunan dan lain-lain (54.7 juta ha)
Kawasan Konservasi (19.88 juta ha)
Kebun Karet, Kelapa dan Sawit
Hutan Lindung (30.05 juta ha) Kebun Kayu Rakyat
Hutan Produksi (60.9 juta ha) Hutan Produksi yang dapat dikonvensi (22.7 juta ha)
Ketersedian Kayu Bulat
Industri Kayu Gergajian, Kayu Lapis dan Pulp
Impor Kayu Bulat
Ekspor Kayu Bulat
Sumber: Wagener, 2004 Gambar 1. Arus Kayu Bulat untuk Bahan Baku Industri di Indonesia Selain itu, pasokan kayu bulat sebagai bahan baku industri tidak terlepas dari kemungkinan pasokan kayu-kayu tidak sah hasil dari penebangan ilegal (illegal logging) dari seluruh kategori hutan, sehingga secara keseluruhan kayukayu tersebut merupakan ketersediaan kayu bulat di Indonesia. Ketersediaan kayu bulat tersebut ternyata selain menjadi pasokan bagi industri pengolahan kayu primer, juga menuju ke pasar dunia secara ilegal, sebagaimana data yang ditunjukkan oleh Tabel 2.
Dengan adanya perdagangan yang bersifat ilegal
tersebut dikuatirkan akan semakin menurunkan jumlah kawasan hutan dan menurunkan kualitas sumberdaya hutan.
5
Tabel 2. Kayu Bulat Indonesia yang Terjual di Beberapa Nagara Tujuan Tahun 1997-2005 No
Negara Tujuan
1 2 3 4 5 6 7 8
Austria China Perancis Jerman Guatemala Irlandia Mauritius Maroko
Jumlah (m3) 24 660404 26 433 782 33 2 25
Nilai (1000$) 13 99120 54 305 465 20 1 12
No
Negara Tujuan
9 10 11 12 13 14 15 16
Norwegia Polandia Romania Singapore Afrika Selatan Inggris Amerika Serikat Tidak terspesifikasi
Jumlah (m3) 16 169 4 13036 114 327 9 22
Nilai (1000$) 18 203 3 4620 43 534 4 3
Sumber: Wagener, 2004 1.2. Perumusan Masalah Pada periode tahun 1980 hingga 2005 industri-industri pengolahan kayu primer di Indonesia mengalami dinamika produksi yang sangat luar biasa. Menurut studi yang dilakukan oleh In-house Expert Working Group, Departemen Kehutanan (2007) pemanfaatan kapasitas terpasang industri kayu gergajian yang pada tahun 1980 sekitar 86%, kemudian meningkat menjadi sekitar 97% pada tahun 1989, yang kemudian menurun dengan drastis menjadi hanya 41% pada tahun 2005. Fenomena yang sama juga terjadi pada industri kayu lapis yang pada tahun 1980 hanya memanfaatkan 51% dari kapasitasnya, yang kemudian naik dengan pesat sehingga pada tahun 1997 pemanfaatan kapasitas terpasangnya mencapai 99%, dan kemudian turun secara drastis menjadi sekitar 42% pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan bahwa kedua industri pengolahan kayu primer tersebut tidak cukup menerima pasokan kayu bulat, atau kurang mampu menyerap ketersediaan kayu yang ada. Untuk itulah maka pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pasokan dan pemanfaatan kayu oleh industri pengolahan kayu, seperti kebijakan
soft landing yaitu kebijakan pengurangan jatah produksi
6
tahunan dari hutan alam yang berimplikasi terhadap menurunnya produksi kayu dari hutan alam dan selanjutnya mengurangi pasokan kayu terhadap industri kehutanan (HPH dan industri pengolahan kayu).
Dengan kebijakan ini
diharapkan industri kehutanan dapat melakukan penyesuaian kapasitasnya, sehingga apabila terjadi penurunan pasokan bahan baku tidak mengakibatkan penurunan kinerja dari industri tersebut (Justianto, 2007). Situasi ini tidak terjadi pada industri pulp yang sejak tahun 1989 hingga tahun 2005 penyerapan bahan bakunya meningkat. Kapasitas terpasang industri ini pada tahun 1989 hanya termanfaatkan sekitar 65%, namun dari tahun ke tahun terjadi peningkatan pemanfaatan kapasitas terpasangnya, dan terakhir pada tahun 2005 pemanfaatannya meningkat sampai 85%. Fenomena di atas menunjukkan adanya perbedaan perilaku ekonomi antara industri-industri tersebut dalam menyerap bahan baku kayu bulat. Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa dari realisasi produksi industri perkayuan primer yang tercatat, maka pada tahun 1980 industri-industri itu memerlukan paling sedikit 24.1 juta m3 kayu bulat. Angka ini meningkat menjadi 42.1 m3 pada tahun 1985, dan mencapai puncaknya sebesar 52.7 juta m3 pada tahun 2003. Angka itu kemudian turun dengan drastis menjadi 44.5 juta pada tahun 2005.
Di sisi kayu bulat, produksi legal yang tercatat pada tahun 2003
hanya sekitar 11.4 juta m3 dan kemudian pada 2005 hanya mencapai 24.2 juta m3. Bila selisih antara permintaan bahan baku dengan penawaran legal diasumsikan dari produksi ilegal (In-house Experts, 2004), maka pada tahun 2003 industri pengolahan kayu primer telah mengkonsumsi sekitar 41.3 juta m3 kayu ilegal, dan sekitar 20.3 juta m3 tahun 2005.
7
Adanya selisih yang besar antara penawaran dan permintaan (supply and demand gap), dan kenyataan bahwa produksi industri pengolahan kayu primer masih relatif tinggi dibanding secara proporsional dengan jumlah bahan baku yang ditawarkan, sudah barang tentu mengundang berbagai pertanyaan yang tidak hanya diarahkan kepada mengapa hal itu terjadi, namun juga pada pertanyaan mengenai fenomena ekonomi apa yang sebetulnya terjadi pada situasi itu. Dengan demikian maka secara spesifik penelitian ini akan diarahkan untuk menjawab beberapa hal dibawah ini, yaitu: 1. Sampai seberapa jauh faktor-faktor yang berpengaruh (peubah) pada produksi kayu bulat dan kayu olahan primer mempengaruhi produksi kayu bulat dan permintaannya oleh industri pengolahan dan bagaimana dampaknya terhadap kinerja keduanya? 2. Akan diarahkan kemanakah kebijakan pemerintah agar kelestarian dan kontinuitas pasokan kayu bulat terjamin dalam rangka menjaga kontinuitas dan meningkatkan kinerja industri pengolahan kayu primer? 3. Faktor-faktor apakah yang secara spesifik diperkirakan akan bisa membantu meningkatkan kinerja industri pengolahan kayu primer Indonesia dalam mengatasi kesulitan pemenuhan bahan bayu kayu bulat? 1.3. Tujuan Penelitian Dengan memperhatikan latar belakang dan uraian permasalahan yang terjadi dalam konteks penyediaan bahan baku kayu bulat (penawaran) dan kebutuhan bahan baku tersebut untuk industri (permintaan), maka penelitian ini diarahkan untuk beberapa tujuan, yaitu :
8
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada produksi kayu bulat dan kayu olahan primer. 2. Mengevaluasi dampak pengurangan kapasitas terpasang industri pengolahan kayu primer dan peningkatan produktivitas kayu bulat dari hutan alam, hutan tanaman dan hutan rakyat terhadap situasi permintaan dan penawaran kayu bulat dan implikasinya kepada kinerja industri pengolahan kayu primer. 3. Meramalkan dampak kebijakan tersebut terhadap industri pada masa mendatang. 4. Mengidentifikasi kebijakan yang harus ditempuh serta kendala yang harus diatasi untuk meningkatkan kinerja produksi kayu bulat dan industri pengolahan kayu primer. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pada: 1. Pengkayaan dan pembaruan (up-date) hasil-hasil kajian dan pengetahuan di bidang kehutanan, khususnya yang terkait dengan ekonomi produksi kayu bulat dan kayu olahan primer, dengan mempertimbangkan peubah-peubah yang berpengaruh kepada keduanya. 2. Pertimbangan pemerintah dalam merumuskan berbagai kebijakan yang terkait dengan kelestarian produksi dan sumberdaya hutan, peningkatan kinerja industri pengolahan, serta implikasinya terhadap sumbangan ekonomi sub sektor kehutanan dalam pembangunan wilayah dan pembangunan nasional.
9
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui fenomena ekonomi dari penawaran dan permintaan kayu bulat sebagai bahan baku industri pengolahan kayu primer, berdasarkan data dari tahun 1980 hingga 2005. Adapun kayu bulat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kayu bulat tanpa dibedakan jenisnya, namun dibedakan menurut asal usul pohonnya
yaitu dari hutan alam, hutan
tanaman dan hutan rakyat. Dengan demikian maka dalam kurun waktu 1980 hingga 2005 dapat dipahami bahwa kayu dari hutan alam adalah kayu keras dan dari hutan tanaman dan hutan rakyat adalah jenis cepat tumbuh yang harga dan penggunaannya di industri berbeda. Bahan baku kayu bulat ke industri selain berasal dari tebangan hutan, juga dari hasil tebangan peremajaan kebun karet, kelapa dan kelapa sawit, maka dalam penelitian ini pasokan dari tebangan peremajaan kebun tidak secara khusus dijadikan peubah endogen.
Hal ini dikarenakan data untuk jenis-jenis kayu
tersebut kurang memadai, sementara harganya relatif sama dengan harga kayu keras, sehingga kehadiran kayu-kayu perkebunan ini dijadikan satu dengan kayukayu dari hutan alam.
Demikian pula kayu-kayu dari tebangan ilegal tidak
dimasukkan dalam analisis, di mana seluruh data yang ada diasumsikan merupakan data resmi yang tercatat sehingga tidak melibatkan data kayu ilegal. Dalam model yang dibangun pada penelitian ini, diasumsikan bahan baku kayu lapis dan pulp hanya berupa kayu, meskipun pada kenyataannya dewasa ini berbagai jenis kayu lapis sudah dicampur dengan bahan lain seperti bambu, sedangkan pulp bisa diproses dari bahan baku merang atau kertas limbah. Selain itu dari sisi produk kayu olahan primer, hanya dibatasi dengan tiga produk utama,
10
yaitu kayu gergajian, kayu lapis, dan pulp karena ketiga produk itulah yang berdasarkan volume dan nilainya mendominasi produk-produk kayu olahan primer Indonesia.
Dengan demikan selisih antara jumlah bahan baku yang
diminta industri dengan bahan baku yang diminta untuk ketiga produk itu merupakan jumlah bahan baku untuk produk-produk primer lainnya (antara lain: papan partikel papan serat, dan meubelair).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Umum Kehutanan Situasi industri kayu bulat dan industri pengolahan tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan kawasan dan sumberdaya hutan Indonesia yang mulai dilakukan sejak diterbitkannya Undang Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 dan kebijakan pengusahaan hutan pada tahun 1970-an, serta peraturanperaturan setelah itu.
Menurut Ngadiono (2004) pengelolaan kawasan dan
sumberdaya hutan di Indonesia mulai dari Orde Baru, atau lebih spesifik lagi mulai 1968,
dapat dibagi menjadi empat periode pengelolaan yang masing-
masing mempunyai penekanan yang berbeda antar yang satu dengan lainnya. Periode pertama antara tahun 1968 sampai 1980 pada saat Indonesia sedang mengejar pertumbuhan ekonomi, sumberdaya hutan dijadikan modal pembangunan
dengan
memanfaatkan
kayu
sebanyak-banyaknya
melalui
pengusahaan hutan yang difasilitasi oleh Undang-Undang No.1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal, dan Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Kehutanan.
Kondisi
ini terus
berlanjut
dengan
berbagai
penyempurnaan peraturan sampai dengan tahun 1980 di mana hampir semua kawasan Hutan Produksi (HP) dieksploitasi melalui pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di mana setiap pemegang hak dibebani kewajiban untuk membayar Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) atau license fee, Iuran Hasil Hutan (IHH), dan Dana Jaminan Reboisasi (DJR). Pada akhir periode ini kawasan HP menjadi semakin terdegradasi, dan penebangan untuk produksi kayu bulat semakin jauh
12
dari infrastruktur karena pohon-pohon terdekat sudah mulai berkurang bahkan habis, sehingga biaya dan harga kayu bulat menjadi semakin tinggi. Dengan pengalaman itu maka pada periode kedua, yaitu antara tahun 1980 dan 1990 sumberdaya hutan ditempatkan sebagai suatu ekosistem yang diperlukan untuk menunjang kehidupan (life supporting system). Dengan sistem ini tebangan dan produksi kayu bulat sangat dibatasi dengan berbagai peraturan, termasuk dengan diaplikasikannya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Periode ini ditandai dengan adanya penunjukkan kawasan hutan secara makro dan indikatif di tiap provinsi melalui Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan, atau yang biasa disebut sebagai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Pada periode ini pula pemerintah mulai memikirkan pembangunan industri pengolahan kayu primer guna memperoleh nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja, sehingga ekspor dikurangi. Pada periode ketiga, yaitu antara tahun 1990 hingga 2000 kawasan hutan dan sumberdaya yang ada di atasnya dipandang sebagai bagian dari kesatuan ruang yang harus dikelola secara lestari dengan memperhatikan keamanan dan kenyaman lingkungan hidup.
Periode ini ditandai dengan terbitnya Undang-
Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Habitatnya, serta Undang-Undang No.24 tahun 1992 mengenai Penataan Ruang. Dengan kedua Undang-Undang tersebut maka pengelolaan sumberdaya hutan menjadi semakin konservatif, sehingga target produksi kayu bulat menjadi semakin mengecil meskipun realisasinya masih tetap besar karena adanya peningkatan permintaan industri pengolahan kayu primer yang semakin berkembang.
13
Pada periode keempat yaitu antara tahun 2000 hingga sekarang, seharusnya arah pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari secara ekologis bisa dilanjutkan sehingga produksi hasil hutan merupakan bagian dari kesatuan pembangunan ruang wilayah. Namun pada periode ini terjadi perubahan politik yang besar di mana sebagian besar urusan kehutanan didesentralisasikan ke pemerintah daerah. Tabel 3. Deforestasi per Wilayah di Indonesia Tahun 2001-2005 Luas Deforestasi (hektar) per Wilayah di Indonesia Periode
Sumatera
20002001 20012002 20022003 20032004 20042005 Jml RataRata
259 500 202 600 339 000 208 700 335 700 1 345 500 269 100
Kalimntan
212 000 129 700 480 400 173 300 234 700 1 230 100 246 020
Papua
Jawa
Bali & Nusa
Indonesia
20 000
147 200
118 300
107 200
1 018 200
150 400
41 400
160 500
142 100
99 600
926 300
385 800
132 400
140 800
343 400
84 300
1 906 100
41 500
10 600
100 800
71 700
28 100
634 700
134 600
10 500
169 100
37 300
40 600
962 500
866 300
214 900
718 400
712 800
359 800
5 447 800
173 260
42 980
143 680
142 560
71 960
1 089 560
Sulawesi
Maluku
154 000
Sumber: Departemen Kehutanan, 2006 Secara khusus urusan produksi kayu menjadi wewenang dari pemerintah kabupaten, yang sayangnya pada suasana euphoria reformasi wewenang tersebut dilaksanakan secara berlebihan (excessive) sehingga menimbulkan berbagai kerusakan dan penurunan produktivitas hutan alam atau deforestasi (Barr, 2006; dan Santoso, 2008), sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3. Pada periode inilah selisih antara permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan dengan penawaran legal dari kawasan hutan sangat besar, dan tebangan illegal marak terjadi di hampir semua provinsi.
14
Ekploitasi sumberdaya hutan yang berlebihan menjadikan semakin menurunnya sumberdaya hutan yang dimiliki Indonesia.
Secara ekonomi,
eksploitasi sumberdaya hutan yang berlebihan dapat merupakan akibat dari tidak tercapainya kondisi pasar persaingan sempurna sebagai akibat dari adanya ketidaksimetrisan informasi (asymmetrical information) dalam perdagangan hasil hutan terutama kayu. Kondisi ini mendorong terjadinya kegagalan pasar, salah satu sumber terjadinya ketidaksimetrisan informasi ini adalah tingkat pengetahuan produsen dan konsumen kayu yang berbeda terhadap kualitas kayu. Faktor ini memungkinkan kayu dengan berbagai kualitas dijual pada tingkat harga yang sama dan konsumen tidak punya kemampuan untuk membedakan kualitas kayu tersebut. Sehingga pemasok kayu akan mengeksploitasi sumberdaya kayu dengan berbagai kualitas mulai dari yang paling rendah. Kaitannya dengan pencegahan pembalakan liar, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya seperti penjaminan kepastian legalitas dan asal usul kayu. Upaya yang dilakukan dengan membangun sebuah inisiatif kerjasama antara negara-negara produsen dengan konsumen untuk bekerjasama dalam pemberantasan penebangan liar. Salah satu bentuk kerjasama tersebut adalah penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Skema ini dibangun secara multipihak untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan. 2.2. Studi Global Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Adam dan Castano (2002) memberi gambaran mengenai penawaran dan permintaan kayu dunia secara umum dalam dasawarsa 1990 - 2000, dengan melihat ekspor dan impor kayu per wilayah dunia. Analisis yang mereka lakukan
15
didasarkan atas laporan-laporan dari the Intergovernmental Forum on Forests, the ITTO Libreville Action Plan, 1998-2001, dan the FAO's Strategic Plan for Forestry. Dalam analisisnya, mereka membedakan produk kayu menjadi dua kategori, yaitu produk kayu primer dan produk kayu sekunder, kemudian dari data yang ada dilihat proses-proses perluasan dan penyusutan perdagangan kedua kategori produk produk tersebut di pasar dunia (expansion or contraction processes). Studi mereka juga melihat berbagai dampak intervensi pemerintah terhadap penawaran dan permintaan produk-produk kayu di setiap negara, serta berbagai permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara tersebut.
Studi ini
melaporkan bahwa perdagangan produk kayu dunia pada periode tahun 19971998 mengalami penurunan sebesar 3.9%, dan diperkirakan akan naik kembali sebesar 5% pada tahun 1999, dan kenaikan ini merefleksikan perbaikan pada permintaan pasar Asia, perbaikan atas harga beberapa jenis produk, serta adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada negara-negara Amerika Utara dan Eropa. Produksi kayu bulat diramalkan naik 2% pada tahun 1998, hal ini terutama disebabkan oleh kenaikan produksi kayu bulat tropika, meskipun perekonomian pada negara-negara wilayah ini terkena dampak yang cukup parah oleh krisis moneter. Dilaporkan pula bahwa meskipun produksi kayu lapis dunia meningkat sekitar 2.5% dikarenakan adanya kenaikan kapasitas industri-industri baru, namun pasar untuk produk ini kurang menarik. Dalam konteks ini dicatat pula bahwa dalam jangka panjang akan ada kenaikan substitusi kayu lapis diantaranya oleh medium density fibre boards (MDFs) dan jenis-jenis panel kayu lainnya. Dalam
16
jangka panjang juga diramalkan akan ada penurunan produksi kayu lapis tropika karena adanya kesulitan bahan baku. Secara spesifik untuk situasi global penawaran dan permintaan kayu bulat diteliti oleh Multi-Client Studies pada tahun 1998. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengevaluasi kembali asumsi-asumsi dasar dalam analisis penawaran dan permintaan kayu bulat dunia. Penelitian ini ditujukan juga untuk meramalkan situasi permintaan dan penawaran kayu bulat dunia periode 1997-2030. Disamping itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk membuat ramalan baru mengenai perdagangan, investasi, dan kecenderungan harga kayu bulat dan produk-produk turunannya. Penelitian ini menyingkapkan kekeliruan ramalan studi-studi yang sebelumnya. Bila pada awal tahun 1990 beberapa studi memproyeksikan adanya defisit kayu bulat pada millenium ketiga karena eksploitasi hutan ditengarai telah melebihi batas-batas kelestarian. Namun demikian, sejak 1995 dunia dibanjiri dengan pasokan kayu yang cukup banyak yang diperoleh melalui eksploitasi yang relatif murah, sehingga harganya kurang bagus. Saat ini penawaran kayu bulat dunia diperkuat dengan perluasan hutan tanaman dan peningkatan produktivitas hutan. Permintaan kayu bulat oleh negara-negara Asia terpengaruh oleh restrukturisasi perekonomian negara-negara tersebut, serta melambatnya laju pertumbuhan perekonomian dunia. 2.3. Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat di Beberapa Negara Berbagai studi dan penelitian yang terkait dengan penawaran (supply) dan permintaan (demand) kayu bulat telah dilakukan di beberapa negara, baik yang
17
dihubungkan pada satu produk kayu olahan tertentu maupun pada berbagai produk sebagaimana dilakukan pada penelitian ini. Dari sisi metodologi, studi tersebut diantaranya menggunakan ekonometrika untuk menganalisis perilaku penawaran dan permintaan kayu bulat. Studi penawaran dan permintaan kayu bulat yang dilakukan di Amerika Serikat, diarahkan untuk mengetahui situasi sumberdaya sampai dengan tahun 2050, terutama untuk: memproyeksikan ketersediaan kayu dan faktor-faktor yang terkait dengan itu, estimasi berbagai kemungkinan perubahan penggunaan hutan dan sumberdaya hutan, melihat berbagai implikasi kebijakan dari proyeksi dan estimasi sumberdaya tersebut, dan mencari opsi-opsi logis untuk memenuhi kebutuhan kayu domestik. Studi tersebut menyimpulkan bahwa sampai dengan tahun 2050 akan ada surplus ketersediaan kayu lunak di negara-negara bagian Selatan, sedangkan untuk negara-negara di bagian utara akan cenderung akan mengalami penurun produksi kayu keras (Haynes, 2000).
Secara keseluruhan wilayah, proyeksi
ketersediaan atau penawaran kayu bulat untuk Amerika Serikat akan cukup untuk memenuhi konsumsi atau permintaan domestik negara ini pada 50 tahun ke depan. Dengan demikian tidak perlu dilakukan kebijakan untuk mengimpor atau membatasi permintaan dengan menaikkan harga kayu.
Meskipun demikian,
skenario ini hanya akan menjadi kenyataan apabila: negara-negara di bagian Selatan meneruskan upaya penanaman kayu lunak, disertai dengan kenaikan intensitas manajemen hutan tersebut, secara nasional harus ada pengurangan permintaan kayu keras secara tepat (moderat), dan penelitian dan pengembangan untuk
meningkatkan
upaya
pemulian
pohon
(tree
improvement)
dan
18
meningkatkan efisiensi input kayu bulat pada industri pengolahan kayu, termasuk pulp harus terus dilanjutkan. Skenario ini juga memberikan beberapa implikasi manajemen, diantaranya negara-negara di bagian Barat tidak perlu meningkatkan kapasitas produksi industri pulp panel kayu (kayu lapis dan lain-lain). Di Taiwan studi penawaran dan permintaan kayu dilakukan oleh Chang dan Jen pada 1986-an dengan merinci komoditi itu kedalam dua sektor, yaitu sektor kayu untuk kertas dan kayu utuh (solid wood).
Sektor solid wood
kemudian dirinci lagi menjadi industri produk-produk solid wood, dan pasar kayu keras dan kayu lunak. Melalui teori dualitas (duality theory) fungsi-fungsi biaya dan keuntungan yang terkait dengan fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan untuk menurunkan fungsi output supply dan fungsi permintaan factor input. Fungsi-fungsi ini kemudian digunakan untuk membangun model ekonometrik non-linier. Dari analisis ini diketahui bahwa sektor kertas Taiwan tidak mempunyai skala ekonomi.
Oleh karena itu biaya produksi per ton tidak akan menurun
mengikuti kenaikan produksi. Harga kertas tidak mempunyai pengaruh yang nyata kepada biaya produksinya. Baik konsumsi maupun impor kertas bersifat elastik terhadap pendapatan (income elastic) namun tidak elastik terhadap harga (price inelastic).
Untuk sektor industri solid wood,
diramalkan sudah tidak lagi
mengalami kenaikan yang pesat pada ekspor kayu furniture, oleh karena itu rencana investasi pada sektor ini harus dipertimbangkan dengan cermat. Kayu lapis mempunyai skala ekonomi yang signifikan, dimana dengan pengurangan kapasitas industri secara gradual maka akan terjadi diferensiasi harga yang tinggi antara kayu lapis produksi dalam negeri dengan kayu lapis impor. Adapun untuk
19
pasar kayu lunak dan kayu keras, produksinya tidak elastik terhadap harga (price inelastic). Dengan kebijakan kehutanan yang baru, maka produksi kayu lunak akan berkurang 15%, sedangkan produksi kayu keras akan berkurang 25%. Di Soviet, penelitian mengenai penawaran dan permintaan kayu bulat dimaksudkan untuk melihat kemampuan Soviet, khususnya Northern European Russia and Siberia memenuhi kebutuhan kayu domestik dan melayani pasar dunia (Barr, 1978). Secara lebih spesisik penelitian tersebut dilakukan untuk melihat: 1) pengaruh permintaan pasar kayu domestik dan internasional terhadap kinerja produksi dan penawaran kayu bulat di 87 wilayah Soviet, 2) Faktor-faktor yang menjamin keberlanjutan penawaran kayu bulat untuk wilayah masing-masing, dan 3) memperoleh perkiraan biaya produksi dan harga kayu yang tepat di tiap wilayah. Penelitian yang dilakukan oleh Barr ini menghasilkan kesimpulan bahwa dengan rencana pembangunan jangka menegah 15 tahun yang saat itu diberlakukan, sumberdaya yang ada mempunyai potensi untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan kayu domestik, sekaligus masih mempunyai peran yang besar pada pasar kayu internasional, bila efesiensi pemanfaatan dan pengolahan kayu ditingkatkan melalui penyempurnaan teknologi. Di Jerman penelitian-penelitian serupa telah dilaksanakan sejak tahun 1970 di negara ini, namun tidak terselenggara secara kontinu dan belum menggunakan pendekatan ekonometrika, meskipun metode itu telah banyak dikembangkan di negara-negara di Amerika Utara dan Skandinavia. Pada tahun 1980 – 1985 ekonometrik digunakan oleh Mantau (1988) untuk melihat perilaku
20
ekonomi pada industri kertas, dengan mengamati 6 peubah dan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang memuaskan bagi kalangan usaha untuk bernegosiasi harga. Mantau (1996) membangun model ekonometrik pertama untuk pasar papan kayu gergajian Jerman. Model yang dibangun digunakan untuk simulasi ex-post untuk melihat fluktuasi nilai mata uang. Rintisan ini kemudian diteruskan oleh beberapa peneliti, antara lain Bergen dan Moog yang pada tahun 1988 melakukan kajian dengan menggunakan one demand one supply equation untuk melihat elastisitas penawaran kayu bulat jenis Spruce. Model pasar kayu bulat yang paling maju kemudian dibangun oleh Flinkmann dan Baudin. Model ini didasarkan pada spesifikasi 9 sektor pengguna akhir (end users) dan 7 sektor input untuk konstruksi, dan 5 pasar lainnya. Konsumsi kayu diturunkan dari koefisien teknis, dan peramalan dilakukan melalui proses autoregresif. Ronnila (1997) dalam makalahnya yang berjudul "Consequences of structural changes in roundwood and forest product markets" (Solber dan Maiseyev, 1997) menguraikan perkembangan model-model yang digunakan untuk manganalisis penawaran dan permintaan produk-produk hasil hutan kayu Finlandia. Terkait dengan faktor tenaga kerja, penelitian yang dilakukan oleh Ronnila untuk Finlandia menemukan fakta bahwa koefisien jumlah tenaga di sektor lain yang secara tidak langsung tergantung kepada sektor kehutanan adalah 0.74, ternyata pada beberapa penelitian terakhir telah diusulkan agar koefisien tersebut disesuaikan menjadi 0.52. Faktor tenaga kerja pada fenomena penawaran dan permintaan kayu bulat juga diteliti di Portugis. Dalam penelitian ini Borges (1990) menyatakan bahwa
21
pembangunan ekonomi Portugis sampai dengan tahun 1970 sangat tergantung kepada faktor tenaga kerja yang murah, serta hubungan perdagangan negara ini dengan negara-negara bekas koloninya di Afrika. Namun saat ini semuanya telah berubah setelah Portugis bergabung dalam Uni Eropa. Meskipun kehutanan mempunyai peran ekonomi yang sangat tinggi, selama ini penelitian dan studi ekonomi kehutanan di negara ini masih bersifat deskriptif, sekedar melakukan inventarisasi data tanpa disertai dengan pemodelan. Ekonomi kehutanan belum pernah diteliti dengan menggunakan pendekatan ekonometrika.
Penelitian yang agak canggih (sophisticated) yang pernah
dilakukan adalah dalam rangka memproyeksikan tingkat pertumbuhan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan perubahan struktural di sektor kehutanan dengan menggunakan pendekatan struktur pasar (Schwarzebauer, 1966). Adapun penelitian-penelitian ekonomi kehutanan lainnya difokuskan pada decision support system lebih banyak dikonsentrasikan pada pengembangan teknik-teknik operation research. Ketersediaan data dan statistik merupakan penghambat utama mengapa pendekatan ekonometrika belum digunakan dalam penelitian-penelitian ekonomi kehutanan di negara ini. Data yang ada sangat tersebar di berbagai lembaga serta dalam format yang tidak konsisten, dan ini sangat menyulitkan dalam melakukan analisis perubahan struktural sektor kehutanan, terutama pada produksi kayu bulat. 2.4. Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Indonesia Model-model perencanaan kehutanan untuk analisis sektor kehutanan mulai dibangun sejak tahun 1970-an dan kembali disempurnakan pada awal tahun
22
1980-an. Model pertama dibangun oleh Buongiorno pada tahun 1978 (Nasendi, 1997) dan disebut Timber Supply Model for Indonesia (TSMI).
Model ini
kemudian diikuti dengan pembangunan model kedua oleh Buongiorno (1979), dengan mengkaitkan produksi kayu bulat dengan kapasitas pelabuhan dan pasar internasional.
Buongiorno (1980) kembali menyempurnakan model-modelnya
dengan mengkaitkan rencana perluasan industri dan pemenuhan kebutuhan kayu domestik dan pasar internasional. Model-model tersebut kemudian disempurnakan lagi dengan dibangunnya the Indonesian Forestry Optimization Model (INDOFOM) oleh Nasendi (1982), yang bila dilihat dari sifat dan strukturnya termasuk dalam kategori model optimalisasi, dengan metode linear programming, goal programming, separable programming dan integer programming. Sinaga (1989) membangun model ekonometrika untuk menjelaskan hubungan antara penawaran, permintaan, dan harga produk kayu keras Indonesia, dengan kebijakan dan intervensi pemerintah.
Secara khusus dalam studi ini
Sinaga melakukan simulasi untuk mengetahui dampak larangan ekspor kayu bulat yang dilakukan oleh Indonesia maupun Malaysia dan Filipina yang saat itu merupakan pesaing dagang Indonesia. Selain itu dilakukan pula simulasi untuk mengetahui dampak kenaikan pajak ekspor kayu bulat, kayu gergajian, dan kayu lapis, serta diuji pula dampak perubahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap kinerja industri kayu bulat dan pengolahan kayu primer. Hubungan-hubungan ekonomi dalam sistem produksi kayu bulat dan kayu olahan Indonesia tersebut dirumuskan dalam model ekonometrika melalui persamaan simultan yang melibatkan 18 persamaan perilaku (behavioral equation), 3 persamaan hubungan harga, 3 persamaan teknis produksi, serta 7
23
persamaan identitas. Analisis dilakukan dengan menggunakan metoda Two-stage Least Square (2SLS) untuk mengestimasi parameter tiap persamaan perilaku. Dalam penelitian ini diantaranya diperoleh kesimpulan bahwa sektor kayu bulat domestik, luas tebangan, dan ekspor kayu bulat Indonesia dalam jangka panjang maupun pendek tidak elastik terhadap harga (price inelastic). Sementara itu konsumsi kayu bulat oleh industri kayu lapis lebih responsif terhadap perubahan nilai tukar dan harga bahan baku dan produk, dibanding industri kayu gergajian. Selain itu disimpulkan pula adanya kecenderungan menurunnya luas tebangan dan ekspor kayu bulat, sementara permintaan kayu bulat oleh industri penggergajian semakin meningkat. Dalam jangka panjang maupun pendek, ekspor kayu bulat secara elastik sangat sensitif terhadap produksi kayu bulat itu sendiri. Pada sektor kayu olahan, ekspor kayu gergajian elastik terhadap harga dalam jangka pendek maupun panjang, sedangkan ekspor kayu lapis hampir unitary price elastic pada jangka pendek dan kemudian akan menjadi elastik pada jangka panjang. Dari temuan-temuan di atas serta temuan lainnya, direkomendasikan bahwa kebijakan pembatasan ekspor kayu bulat secara umum merupakan kebijakan yang kurang menguntungkan, khusunya dalam menjaga neraca pembayaran. Kebijakan ini akan dipandang tepat bila industri pengolahan kayu domestik telah siap menyerap seluruh produksi kayu bulat Indonesia. Sementara itu, penghapusan pajak espor bagi kayu gergajian dan kayu lapis akan menjadi insentif harga yang akan merangsang pertumbuhan industri pengolahan kayu domestik, meskipun akan sedikit mengurangi pendapatan pajak.
24
Hasil penelitian di atas ditindak lajuti oleh penelitian Manurung (1995) yang kurang lebih menyatakan bahwa larangan ekspor kayu bulat akan berdampak pada meningkatnya pertumbuhan dan kinerja ekspor industri kayu lapis dan kayu gergajian, namun perolehan devisa dari kebijakan ini ternyata lebih kecil dibanding bila tidak ada larangan ekspor kayu gergajian. Pencabutan larangan ekspor kayu bulat akan meningkatkan penerimaan rata-rata 14% selama periode 1981-1989, namun larangan tersebut akan mengurangi tenaga kerja yang lebih besar dari pada peningkatan tenaga karena adanya pertumbuhan industri kayu lapis dan kayu gergajian. Selain kedua penelitian di atas, Sukmananto (2007) dalam mengkaji kinerja ekspor produk kayu olahan memperoleh temuan umum mengenai peubahpeubah yang berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan bahan baku kayu untuk industri pengolahan yang berorientasi ekspor. Dalam penelitiannya, Sukmananto (2007) menemukan bahwa peubah suku bunga pinjaman, tingkat upah dan pengalaman produksi tahun sebelumnya mempunyai pengaruh terhadap produksi kayu bulat. Namun pengaruh tersebut tidak dibedakan berdasarkan asal usul kayu, di mana untuk konteks Indonesia kayu bulat bisa berasal dari hutan alam, hutan tanaman, maupun hutan rakyat, yang masing-masing mempunyai pertimbangan dan perhitungan produksi yang berbeda. 2.5. Studi Empirik Dari studi dan penelitian diberbagai negara maupun di Indonesia, sebagaimana di uraikan di atas dapat ditarik pelajaran bahwa kajian-kajian tentang penawaran dan permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu selalu menyentuh beberapa hal penting, antara lain yang terkait dengan: volume
25
produksi kayu bulat dan komponen-komponen biaya produksi kayu bulat, jumlah kayu bulat yang dibutuhkan oleh tiap industri pengolahan, produksi kayu olahan, harga kayu olahan, jumlah kayu olahan yang dijual, dan peubah-peubah eksogen seperti nilai mata uang, tingkat suku bunga pinjaman, bahkan pendapatan nasional bruto. Selain itu, studi-studi tersebut menyatakan bahwa untuk dapat melakukan analisis ekonomi dengan metode ekonometrika maka perlu dilakukan beberapa asumsi perubahan, terutama yang terkait dengan: 1) perubahan situasi fiskal dan moneter, 2) produktivitas unti-unit produksi yang ada dalam model analisis, 3) adanya kemungkinan perbedaan biaya produksi maupun harga produk karena adanya perbedaan lokasi (pertimbangan spasial), 4) adanya berbagai teknologi, dan 5) pentingnya ketersediaan dan konsistensi data dan statistik. Karena informasi mengenai fenomena penawaran dan permintaan kayu bulat tersebut sangat penting untuk pengaturan kelestarian sumber daya hutan Indonesia, maka hasil–hasil penelitian yang pernah dilakukan pada masa lalu perlu di mutakhirkan dengan penelitian yang menggunakan data yang telah berkembang hingga kini. Bila penelitian-penelitian terkini lebih telah difokuskan pada perdagangan kayu olahan ke luar negeri, maka penelitian ini yang lebih difokuskan pada pemenuhan bahan baku industri primer dalam negeri.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Landasan Teori Landasan teori mengenai penawaran dan permintaan barang dan jasa serta elastisitas harga dan mekanisme keseimbangan pasar secara umum berlaku sebagai landasan untuk analisis penawaran dan permintaan kayu bulat untuk pasokan industri pengolahan kayu primer. Di samping itu, teori yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh seperti suku bunga, pungutan, dan upah perlu juga untuk diperhatikan dalam melihat perilaku ekonomi dari fenomena ini. Dalam kaitannya dengan permintaan dan penawaran kayu bulat dan kayu olahan primer dari dan ke luar negeri, dipandang perlu juga untuk melihat basis teori perdagangan internasional yang terkait dengan perdagangan komoditi tersebut. Kemudian, untuk memfokuskan penelitian ini, maka perlu juga dilihat hasil-hasil empirik penelitian tentang penawaran dan permintaan kayu bulat yang pernah dilakukan sebelumnya, baik untuk Indonesia maupun negara-negara lain. Dari studi empirik ini bisa dilihat hal-hal yang perlu dilakukan dalam penelitian ini. 3.1.1. Penawaran dan Permintaan serta Mekanisme Pasar. Marshall, dalam Nicholson (2000), menyatakan bahwa kurva permintaan mempunyai slope negatif yang merefleksikan prinsip marginalis dimana pembeli cenderung tidak berkeinginan menambah jumlah barang atau jasa yang dibelinya, kecuali bila harga barang atau jasa tersebut turun. Sebaliknya, kurva penawaran mempunyai slope positif yang memperlihatkan bahwa produsen hanya akan menaikkan produksinya bila harga produk itu naik, karena adanya kecenderungan
27
kenaikan biaya produksi per unit barang atau jasa, untuk setiap kenaikan produksi barang atau jasa tersebut. Bila kurva penawaran diletakkan bersama dengan kurva permintaan pada gambar yang menghubungkan harga barang dengan jumlah yang dibeli atau yang diproduksi, dan
asumsikan semua faktor tetap (ceteris paribus), maka akan
diperoleh keseimbangan harga dan barang sebagaimana terlukis pada Gambar 2 berikut. Harga (P)
Permintaan (D)
Penawaran (S)
Surplus
E
P1 P0 P2
Shortage
Q0
Jumlah (Q)
Sumber: Nicholson,2000 Gambar 2. Kurva Penawaran dan Permintaan Pada Gambar 2, terlihat bahwa mekanisme pasar mengarahkan harga suatu barang atau jasa untuk berubah sedemikian rupa sehingga terjadi keseimbangan (equal) pada titik E dimana jumlah barang yang ditawarkan sama dengan jumlah yang diminta (Q 0 ) pada harga P 0 .
Pada titik keseimbangan ini, tidak ada
kekurangan (shortage) maupun kelebihan (surplus) atas jumlah barang yang ditawarkan di pasar (Pindyck and Rubinfeld, 2009).
28
Kedua kurva pada Gambar 2 akan bergeser apabila faktor-faktor di luar harga mengalami perubahan dan menghasilkan keseimbangan harga dan jumlah barang yang baru. Misalkan, apabila di suatu saat upah buruh turun maka kurva penawaran akan bergeser ke kanan, sedangkan bila ada peningkatan permintaan rumah baru maka akan terjadi peningkatan permintaan kayu sehingga kurva permintaan komoditi ini juga akan bergeser ke kanan, sebagaimana nampak pada Gambar 3. Pergeseran kedua kurva tersebut mengakibatkan kesimbangan baru E 2 dimana harga dan jumlah kesimbangan yang lama (P1 dan Q 1 ) bergeser ke harga dan jumlah keseimbangan baru (P2 dan Q 2 ). Harga (P) S1 S2
P2
E2 E1
D2
P1 D1 Q1
Q2
Jumlah (Q)
Sumber: Pindyck and Rubinfeld, 2009 Gambar 3. Kurva Pergeseran Permintaan dan Penawaran 3.1.2. Elastisitas Permintaan dan Penawaran Permintaan akan kayu bulat tidak hanya tergantung pada harga kayu itu sendiri, namun dipengaruhi juga oleh peubah (variable) lain seperti daya beli industri yang menggunakan kayu itu sebagai bahan baku.
Demikian pula
penawaran kayu bulat tidak hanya dipengaruhi oleh harga kayu itu di pasar namun juga oleh biaya tebangan di hutan, atau peubah lainnya. Kepekaan suatu peubah
29
terhadap perubahan peubah lain dalam permintaan maupun penawaran barang atau jasa diukur dengan nilai elastisitas. Elastisitas permintaan terhadap harga (price elasticity), didefinisikan sebagai persentase perubahan permintaan yang disebabkan oleh kenaikan satu persen atas harga barang atau jasa itu. Secara matematis konsep itu dituliskan sebagai: Ep = (% ∆Q) / (% ∆P) atau Ep = (∆Q/Q) / (∆P/P), sehingga Ep = P. ∆Q / Q.∆P Elastisitas permintaan biasanya negatif, hal ini memberikan gambaran bahwa kenaikan harga selalu mengakibatkan penurunan permintaan, namun besaran elastisitas (magnitude) selalu dinyatakan secara absolut. Bila elastisitas harga suatu barang lebih dari 1 (Ep>1) maka perubahan permintaan akan barang tersebut lebih besar dibanding dari perubahan harganya, sehingga permintaan barang ini dinyatakan elastis terhadap harga (price elastic).
Sebaliknya bila
besaran elastisitas barang itu kurang dari satu (Ep<1), maka permintaan barang tersebut kurang elastis terhadap harga (price inelastic) karena perubahan permintaan atas barang itu tidak sebesar perubahan harganya. Elastisitas permintaan biasanya ditentukan oleh keberadaan barang substitusi. Dalam hal ini bila harga suatu barang naik, sementara itu di pasar ada substitusi untuk barang itu, maka konsumen akan cenderung beralih membeli barang substitusi tersebut, sehingga permintaan akan barang tersebut menjadi sangat elastis (highly price elastic).
Sebaliknya bila di pasar tidak tersedia
substitusi atas barang tersebut, maka permintaannya menjadi tidak elastik (price inelastic).
30
Dengan cara yang sama elastisitas penawaran didefiniskan sebagai persentase perubahan jumlah yang diminta terhadap 1 persen perubahan harga. Elastisitas ini biasanya positif, dimana setiap kenaikan harga suatu barang atau jasa akan cenderung meningkatkan jumlah penawaran barang atau jasa tersebut. Namun bila penawaran dikaitkan dengan peubah lain seperti tingkat suku bunga, upah, dan harga faktor produksi lainnya maka elastisitasnya menjadi negatif karena kenaikan harga faktor produksi akan cenderung menurunkan produksi dan menurunkan jumlah penawaran (Pindyck and Rubinfeld, 2009). Dalam berbagai kasus perubahan harga suatu barang tidak segera diikuti oleh perubahan permintaan secara substansial atau tidak elastis dalam jangka pendek (short run). Perubahan permintaan secara nyata baru terjadi setelah beberapa waktu, atau elastis dalam jangka panjang (long run). Sebagai contoh, kenaikan harga kayu bulat secara praktis tidak segera diikuti oleh penurunan jumlah permintaan oleh industri kayu primer, karena peralatan dan mesin yang ada di industri masih sama sehingga jumlah pasokan kayu bulat yang dibutuhkan untuk bahan baku industri relatif sama.
Namun demikian, pada saat umur
peralatan dan mesin sudah terlampaui, industri akan membeli peralatan dan mesin baru yang efisien dalam penggunaan bahan baku, sehingga mengurangi permintaan kayu bulat. Dalam kasus lain suatu barang permintaannya elastis pada jangka pendek, namun kurang elastis pada jangka panjang. Permintaan kayu lapis oleh industri packaging segera meningkat pada saat harga barang itu turun, namun secara gradual tambahan permintaan itu akan menurun setelah industri itu mempunyai stok yang cukup.
31
3.1.3. Penawaran dan Permintaan pada Perdagangan Internasional Perdagangan barang antarnegara, termasuk kayu bulat dan olahan, terjadi karena adanya perbedaan harga relatif komoditi yang diperdagangkan. Dalam analisis keseimbangan parsial, keseimbangan harga relatif komoditi (the quilibrium-relative commodity price) pada perdagangan tersebut terjadi melalui proses (Gambar 4). Pada Panel I, negara 1 memproduksi komoditi X dan konsumsinya sebesar A dengan harga relatif P 1 ; sementara itu negara 3 pada Panel II memproduksi dan mengkonsumsi komoditi yang sama sebanyak A’ pada harga P 3 . Bila kedua negara melakukan perdagangan, maka harga relatif komoditi itu berada di antara P 1 dan P 3 . Pada harga di atas P 1 produksi komoditi itu pada negara 1 melebihi yang dibutuhkan, dan akan mengekspor kelebihan itu (excess supply) ke negara 2. Di lain pihak, di negara 2 pada saat harga berada di bawah P 3 , permintaan komoditi itu akan melebihi produksi domestiknya (excess demand), sehingga negara 2 akan mengimpor dari negara 1. Panel I Pasar Komoditi X Pada Negara 1 Ekspor
P3
B
P2
A”
Sx
A’ B’
E’
E* Dx
0
Sx
B*
E A
P1
Panel II Pasar Internasional Komoditi X S
X
A* 0
Impor X
0
X Dx
Sumber: Salvatore, 2004 Gambar 4. Keseimbangan Harga Relatif Komoditi Pada saat harga komoditi P 1 terjadi di negara 1, maka terjadi kesimbangan antara produksi dan penawaran di negara itu dan negara tersebut tidak melakukan ekspor, sehingga pada Panel II jumlah komoditi yang ditawarkan di pasar
32
internasional berada di titik A*. Bila harga komoditi berada pada P 2 maka negara 1 mengalami kelebihan penawaran (excess supply) sebesar BE yang dapat di tawarkan atau diekspor ke pasar internasional, sehingga pada Panel II jumlah yang ditawarkan itu sebesar B*E*. Dengan demikian titik A* dan E* membentuk kurva penawaran pada pasar international di Panel II. Di sisi lain, Pada Panel III, pada saat harga komoditi berada pada P 3 , negara 2 berada dalam keseimbangan antara penawaran dan permintaan sehingga tidak perlu melakukan impor dan hal ini diposisikan sebagai titik A” pada Panel II yang menginformasikan bahwa pada harga P 3 , tidak ada jumlah yang diminta di pasar internasional. Pada saat harga komoditi berada di P 2 , negara 2 mengalami kelebihan permintaan (excess demand) sebanyak B’E’ dibanding produksi domestiknya, sehingga jumlah itu perlu dipenuhi melalui impor dari pasar internasional. Jumlah B’E’ yang diminta di pasar internasional tersebut sama dengan jumlah B*E* pada Panel II, sehingga garis A”E* membentuk kurva permintaan pada panel ini.
Dengan demikian harga P 2 merupakan harga
keseimbangan relatif pada pasar internasional. 3.1.4. Suku Bunga Bunga pinjaman mengkait dengan investasi dalam rangka pembelian barang modal baru seperti mesin dan peralatan, baik investasi untuk pengusahaan kayu bulat maupun untuk industri kayu olahan. Tingkat suku bunga biasanya ditentukan oleh Bank Sentral yang kemudian diikuti sebagai pedoman oleh bankbank lainnya. Pergerakan tingkat suku bunga dari r 1 ke r 2 , dan dampak negatifnya (berlawanan) terhadap investasi dimana pada saat tingkat suku bunga
33
sebesar r 1 maka minat investasi sebesar I 1 , namun bila suku bunga naik menjadi r 2 maka minat investasi akan turun menjadi I 2 (Gambar 5). Suku bunga
r2 r1
I2
I1
Investasi
Gambar 5. Hubungan Antara Suku Bunga dan Investasi 3.1.5. Upah Sektor produksi kayu bulat maupun kayu olahan merupakan sektor yang padat pekerja, sehingga tingkat upah tenaga kerja menjadi faktor produksi yang sangat penting. Gregory (1987) mendefiniskan upah (wage) sebagai pembayaran dalam bentuk apapun atas jasa yang diberikan oleh seorang tenaga kerja. Oleh karena itu, secara keseluruhan upah bisa juga meliputi gaji, asuransi, tunjangan dalam bentuk barang (in natura), dan bahkan termasuk layanan kesehatan dan rekreasi. Dalam penelitian ini upah hanya dibatasi pada pembayaran atas tenaga yang dicurahkan dalam proses produksi. Upah sering menjadi subyek kebijakan pemerintah untuk menjaga kesejahteraan buruh di satu sisi, dan menjaga daya saing produk di sisi lain. Secara umum kenaikan tingkat upah akan berdampak pada penurunan produksi namun akan menaikkan harga produk kayu bulat maupun kayu olahan.
34
3.1.6. Nilai Tukar Nilai tukar mata uang suatu negara pada hakekatnya menunjukan daya beli uang tersebut di pasar internasional. Nilai mata uang suatu negara juga akan menentukan daya saing produk negara itu di pasar internasional. Mata uang yang mempunyai nilai tinggi akan menurunkan daya saing produk negara tersebut, sementara nilai yang rendah akan mengakibatkan produk-produk itu lebih menguasai pasar. Sebelum Perang Dunia I nilai kebanyakan mata uang diperbandingkan dengan nilai emas (Krugman dan Obstfeld, 1997). Dewasa ini nilai mata uang Dollar Amerika (US$) merupakan acuan dominan dalam perdagangan internasional karena nilainya lebih stabil (Salvatore, 2004). Pergerakan nilai tukar ini bisa diatur atau ditetapkan oleh pemerintah, atau diserahkan kepada pasar sehingga bersifat
mengambang. Sejak krisis ekonomi, Bank Indonesia
menggunakan sistem mengambang, oleh karena itu pergerakan nilai tukar menjadi salah satu hal yang diperhitungkan dalam pengusahaan kayu bulat maupun kayu olahan pada penelitian ini. 3.1.7. Pajak dan Pungutan Pada hakekatnya pajak dan pungutan merupakan dana yang dikumpulkan untuk membiayai pembangunan (Gregory, 1987).
Di bidang kehutanan dan
perdagangan hasil hutan pajak yang dikenakan pada produsen adalah Pajak Pendapatan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Adapun iuran yang dikenakan dalam pengusahaan hutan adalah Iuran Hasil Hutan (IHH), dan Dana Reboisasi (DR). Pajak dan pungutan tersebut ditarik untuk membiayai pembangunan daerah, pembangunan kehutanan, dan sebagai salah satu
35
kontribusi untuk pembangunan nasional secara umum, namun dalam penelitian ini PBB tidak dijadikan sebagai salah satu peubah permintaan dan penawaran kayu, karena datanya tidak cukup tersedia. IHH atau yang sekarang disebut sebagai Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Adapun DR adalah dana yang dipungut dari Pemegang Hak Pengusahaan Hutan, Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Pemegang Ijin Pemanfaatan Kayu, atas hasil hutan yang dipungut dari hutan alam. Besarnya pungutan bervariasi tergantung pada jenis kayunya dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Meskipun IHH dan DR dalam administrasi kehutanan disebut sebagai pungutan, namun pada hakekatnya kedua pungutan tersebut merupakan pajak untuk hasil yang diterima dari pengoperasian pengusahaan hutan atau yield tax sebagaimana dinyatakan oleh Gregory (1987) karena kedua jenis pajak ini didasarkan atas nilai kayu yang diproduksi dari hutan. Pajak dan pungutan sebagaimana dimaksud di atas pada hakekatnya adalah ad valorem tax yang dikenakan berdasarkan nilai hasil hutan yang mempunyai dampak pada pengambilan keputusan produksi (Gambar 6). Bila pajak dan pungutan dipandang sebagai pengurang atas penerimaan pada pihak perusahaan maka kurva TR sebagaimana Gambar 6 (a) akan bergeser ke bawah, dan berdampak pada berkurangnya keuntungan perusahaan, sedangkan bila pajak dan pungutan dipandang sebagai bagian dari biaya variabel, maka kurva TC pada gambar 6 (b) akan bergerak ke atas.
36
Biaya dan Penerimaan
Biaya dan Penerimaan
TR TC’
TC TR
TC
TR’
Biaya Tetap
Biaya Tetap Q’ Q
Q’ Q
Output
(a)
Output
(b)
Gambar 6. Dampak Pajak dan Pungutan Terhadap Biaya dan Penerimaan 3.2. Kerangka Pelaksanaan Penelitian Penawaran dan permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu primer dalam penelitian ini merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponenkomponen yang saling terkait.
Kaitan-kaitan tersebut dimulai dari hutan di
Indonesia yang menghasilkan kayu bulat untuk digunakan secara domestik, dan hutan di luar negeri yang kayu bulatnya diimport oleh Indonesia untuk kebutuhan yang sama, hingga ke proses pengolahan di kilang-kilang industri pengolahan primer dan industri pengolahan kayu lanjutan.
Menurut Sinaga (1989),
keseluruhan komponen sistem tersebut beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya
dapat
dilihat
sebagai
rangkaian
produksi
dan
pasar,
yang
menggambarkan penawaran output dan permintaan input, sebagaimana Gambar 7. Pada gambar tersebut kegiatan dimulai dari produksi kayu bulat melalui penebangan dengan permintaan input berupa batang pohon berdiri di hutan (stumpage). Tahap ini kemudian diteruskan dengan penawaran output ke pasar kayu bulat, sebagai input industri pengolahan kayu gergajian, kayu lapis, pulp dan
37
industri kayu olahan lainnya.
Beberapa industri terintegrasi dengan usaha
penebangan, sehingga permintaan input dilakukan langsung ke usaha penebangan. Terakhir, hasil olahan kayu bulat tersebut menjadi output yang ditawarkan ke industri pengolahan lanjutan. Pasar Domestik Kayu Olahan
Pasar Dunia Kayu Olahan
Industri Kayu Gergajian, Kayu Lapis, dan Pulp
Penebangan di Indonesia (Hutan Alam, Hutan Tanaman dan Hutan Rakyat) dan di Luar Negeri
Industri Kayu Olahan Lainnya
Pasar Kayu Bulat di Indonesia dan di Luar Negeri
Keterangan: Pohon di hutan Indonesia dan Luar Negeri
= Permintaan input = Penawaran output
Gambar 7. Rangkaian Produksi dan Pasar Kayu Bulat 3.2.1. Penawaran dan Permintaan pada Produksi Kayu Bulat dan Kayu Olahan Produksi kayu bulat maupun kayu olahan primer pada hakekatnya diarahkan untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Selain itu, dalam setiap analisis selalu diasumsikan bahwa dalam memaksimalkan produksi, maka produsen dihadapkan pada pasar bahan baku (input) maupun pasar produk (output) kompetitif olahan adalah :
sehingga, jika fungsi produksi kayu bulat maupun kayu
38
Q i = q (L, X) ………………………………………………………… (3.1) dimana: Qi
: kuantita output (produksi kayu bulat, gergajian, lapis, atau pulp)
L
: input pohon atau kayu bulat
X
: inputs lainnya
apabila: P
: harga output per unit
Pb : harga input pohon atau kayu bulat per unit Pc
: harga input lainnya per unit
Maka fungsi tujuan perusahaan adalah: Maksimalkan π = P a q (L, X) – (P b L + P c Xi)
…………………… (3.2)
yaitu keuntungan perusahaan (π ) adalah total penerimaan P a q (L, X) dikurangi dengan total biaya (P b L + P c X), yang harus dimaksimalkan. Fungsi tersebut akan maksimal bila turunan pertama dari fungsi (3.2.) terhadap L dan X adalah nol, sehingga: P a q x = P c …………………………………………………………. Paql
=
(3.3)
P b ………………………………………………………….
(3.4) dimana q x adalah turunan parsial pertama fungsi produksi terhadap input pohon atau kayu bulat (L) dan q l adalah turunan parsial pertama fungsi produksi terhadap inputs lainnya (X). Dari dua persamaan (3.3) dan (3.4) yang mengandung dua peubah endogen L dan X, serta tiga peubah, yaitu P a , P b , dan P c secara simultan dapat ditentukan
39
fungsi permintaan terhadap input terhadap pohon atau kayu bulat (L), dan permintaan inputs lainnya (X) sebagai berikut: L
=
l (P a , P b , P c)……………………………………………………
X
=
l (P a , P b , P c)……………………………………………………
(3.5)
(3.6) Bila kedua persamaan di atas di substitusikan ke fungsi produksi (3.1) maka akan diperoleh fungsi penawaran: Q = q (P a , P b, P c) ............................................................................ (3.7) 3.2.2. Integrasi Vertikal Pada beberapa kasus, industri pengolahan kayu primer terintegrasi dengan usaha kayu bulat, dimana kayu bulat hasil tebangan digunakan secara langsung oleh industri pengolahan dalam satu perusahaan yang sama. Untuk kasus seperti ini maka fungsi produksi kayu bulat dimasukkan ke fungsi produksi kayu olahan primer. Bila fungsi produksi kayu olahan primer adalah: Q = q (L, X) ........................................................................................ (3.8) dimana: Q : jumlah output kayu olahan (kayu gergajian, kayu lapis, atau pulp) L : jumlah input kayu bulat X : jumlah inputs lainnya ; dan fungsi produksi kayu bulat adalah: R= r (S, Y)........................................................................................... (3.9) dimana : R : jumlah output kayu bulat
40
S : jumlah stumpage Y : jumlah input lainnya maka fungsi produksi perusahaan terintegrasi itu adalah : P = p (r (S, Y), X) .............................................................................. (3.10) dan fungsi tujuan perusahaan menjadi: Masimalkan π = P p p(r (S, Y), X) – (P sS + P y Y + P x X) ..................... (3.11) Sehingga kondisi untuk memaksimalkan keutungan dari perusahaan ini adalah: P p = Fp s = P s P p = Fp y = P y P p = Fp x = P x dimana : Fp s , Fp y Fp x berturut-turut adalah turunan parsial pertama dari fungsi produksi pada persamaan (3.10) terhadap input stumpage (S), input lain dalam produksi kayu bulat (Y), dan input lain dalam produksi kayu olahan (X). Dengan tiga kondisi di atas, terbentuk suatu sitem persamaan tiga persamaan dengan tiga peubah endogenus (S, Y, dan X) dan empat peubah eksogenus (P p , P s , P y dan P x ) yang dapat diselesaikan secara simultan untuk memperolah fungsi permintaan perusahaan ini, yaitu : S = S*(Pp , Ps , Py, Px)..................................................................... (3.12) Y = Y*(Pp , Ps , Py, Px) .................................................................... (3.13) X = X*(Pp , Ps , Py, Px) ................................................................... (3.14) Ketiga persamaan di atas merupakan fungsi permintaan turunan untuk stumpage, input lain dalam produksi kayu bulat, dan input lain dalam produksi kayu olahan. Bila ketiganya disubstitusikan ke dalam persamaan (3.10) maka penawaran output dari perusahaan ini menjadi:
41
P = P*(P p , P s , P y , P x) ....................................................................... (3.15) dimana jumlah kayu olahan yang ditawarkan oleh perusahaan ini merupakan fungsi dari harga kayu olahan itu sendiri (P p ), harga stumpage (P s ), harga input lain dalam produksi kayu bulat (P y ), dan harga input lain dalam produksi kayu olahan (P x ). 3.2.3. Permintaan Turunan Pada hakekatnya dengan adanya hubungan penawaran dan permintaan pada keseluruhan industri perkayuan yang saling terkait, maka fungsi permintaan kayu bulat merupakan gabungan dari fungsi-fungsi permintaan yang diturunkan dari hubungan-hubungan pasar produk-produk kayu olahan primer.
Adapun
fungsi-fungsi permintaan produk olahan primer itu sendiri diturunkan dari hubungan-hubungan pasar pada produk kayu lanjutan. Dengan demikian permintaan kayu bulat merupakan ‘turunan dualangkah’ yang berujung pada hubungan-hubungan pasar pada produk kayu olahan lanjutan (Sinaga, 1989). Permintaan kayu bulat merupakan fungsi dari harga input dan output industri pengolahan kayu primer dan lanjutan. Dengan kata lain, permintaan kayu bulat selain dipengaruhi oleh harga kayu bulat itu sendiri, juga dipengaruhi oleh harga kayu olahan primer dan harga kayu olahan lanjutan. 3.2.4. Kerangka Model Ekonomi Keterkaitan antara kayu bulat dengan industri pengolahan kayu yang dipengaruhi oleh peubah-peubah endogen dan eksogen secara skematik dapat dilihat pada Gambar 8. Pada gambar tersebut produksi kayu bulat, dan kayu olahan berhubungan dengan berbagai peubah yang secara keseluruhan
42
menentukan perilaku ekonomi pengambil keputusan produsen masing-masing komoditi dalam memproduksi dan menjual.
Impor
DR
IHH
Kayu
Total Permintaan Kayu Bulat
GDP Ind.
Luas Tebangan Hutan Alam
Luas Tebangan Hutan Tanaman
Prod. Kayu Bulat Ht.Alam
Prod.Kayu Bulat Ht.Tanaman
Upah Luas Tebangan Hutan Rakyat Nilai Tukar Rupiah
Suku Bunga
Harga Dom. KB HA
Harga Dom. Kayu
Harga Dom pulp
Permintaan KB Ind. KG
Harga Dom H.Rakyat
Kapasi tas Ind. KG
Produksi KG
Ekspor KG
Ekspor KL Harga dunia KG Kapasita
Ind KL
Produksi Kayu Lapis Impor KL
Harga Dunia KL
Ekspor Pulp
Prod. Kayu Bulat IPK Impor Kayu Bulat
Pajak Ekspor
Harga Dunia KB
Permintaan KB Ind KL Prod. Kayu Bulat Ht.Rakyat
Ekspor Kayu Bulat
GDP Dunia
Total Penawaran Kayu Bulat
Harga Dom. KG Harga pulp dunia
Kapa sitas Ind Pulp
Produksi Pulp
Impor Pulp
Permintaan KB Ind. Pulp
Harga Dom. KL
42
Gambar 8. Kerangka Model Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat
43
IV. METODE PENELITIAN
Perilaku pasokan dan permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu, dengan kerangka pemikiran sebagaimana diuraikan pada Bab III, dianalisis dengan menggunakan model ekonometrika. Pilihan atas model ini didasarkan atas pertimbangan bahwa hubungan kayu bulat dengan seluruh industri pengolahan merupakan hubungan yang sangat kompleks dan tidak terlepas dari pengaruh pasar kayu bulat itu sendiri maupun pasar kayu olahan. Kompleksitas hubungan-hubungan
tersebut
menjalin
suatu
sistem,
sehingga
model
ekonometrika yang dipandang tepat untuk merepresentasikan fenomena itu adalah suatu sistem persamaan simultan, dimana suatu peubah endogen di satu persamaan bisa menjadi peubah penjelas pada persamaan yang lain. Dengan menggunakan model sistem persamaan simultan dimungkinkan untuk dipelajari perilaku hubungan antara kayu bulat dengan kayu olahan dan pasar masing-masing secara serentak.
Dengan kata lain model persamaan
simultan ini dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku pasar, dan menganalisis kebijakan-kebijakan komoditi.
Selain itu dengan model ini dapat dilakukan
peramalan-peramalan melalui simulasi kebijakan, sehingga sangat membantu dalam perumusan kebijakan komoditi ke masa depan. Pendugaan model persamaan simultan bisa dilakukan dengan baik dengan menggunakan teknik 2SLS atau 3SLS. Seperti disimpulkan oleh Koutsoyiannis (1977) bahwa metode 3SLS terlalu sensitif terhadap kesalahan spesifikasi model. Dalam praktek, spesifikasi model dalam persamaan simultan ini akan tergantung pada ketersediaan dan kualitas data. Dalam kondisi keterbatasan dan kualitas data
44
yang ada, maka teknik 2SLS dipandang paling realistis untuk digunakan dalam penelitian ini. Lebih lanjut, untuk melengkapi pendugaan perilaku ekonomi pada model ini akan dimasukkan pula peubah yang berupa pengalaman tahun sebelumnya (lagged variable) untuk memperoleh gambaran pengaruh kinerja ekonomi sebelumnya terhadap kinerja tahun berjalan. Dengan demikian model ini merupakan suatu model dinamis. 4.1. Model Operasional Dari uraian di atas, maka model ekonometrika yang dibangun akan berupa suatu sistem persamaan simultan yang dinamis. Model ini terdiri atas 5 (lima) blok, yaitu: 1) Blok Kayu Bulat, 2) Blok Kayu Gergajian, 3) Blok Kayu Lapis, 4) Blok Pulp, dan 5) Blok Pasokan-Permintaan.
Setiap blok akan terdiri atas
beberapa persamaan yang secara keseluruhan akan berjumlah 28 persamaan di mana 23 diantaranya berupa persamaan struktural, sedangkan 5 persamaan lainnya merupakan persamaan identitas. Lebih lanjut dalam setiap blok persamaan akan dibangun persamaanpersamaan yang menggambarkan perilaku penawaran, permintaan dan harga. Berdasarkan
kerangka
pemikiran,
bahwa
persamaan-persamaan
tersebut
menggunakan asumsi bahwa semua pelaku ekonomi bertindak secara rasional sehingga akan memaksimumkan keuntungan. Dengan demikian semua perilaku dari pelaku ekonomi akan dipengaruhi oleh dinamika perubahan dari harga-harga input dan output serta kebijakan yang berlaku. Selain itu dalam setiap blok juga dikembangkan persamaan harga yang bertujuan untuk mempelajari selain integrasi antara pasar domestik dan internasional juga untuk mempelajari integrasi
45
antara pasar bahan baku dengan pasar produk hilirnya.
Secara operasional
persamaan-persamaan tersebut adalah sebagai berikut. 4.1.1. Blok Kayu Bulat 4.1.1.1. Luas Tebangan Hutan Alam LUASA = a 0 + a 1 QDKB + a 2 RPKBA + a 3 RDRBS + a 4 RIHH + a 5 UPAH + a 6 INTR + a 7 LUAS -1 + u 1 .............................................. (1) dimana: LUASA : luas tebangan hutan alam QDKB
: permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu
RPKBA : harga riil kayu bulat hutan alam RDRBS : dana reboisasi riil RIHH
: iuran hasil hutan riil
UPAH
: upah riil
INTR
: suku bunga
LUASA-1 : luas tebangan hutan alam tahun lalu u1
: error term
Diharapkan: a 1 , a 2 > 0; a 3 , a 4 , a 5 , dan a 6 < 0 ; 0 < a 7 < 1 4.1.1.2. Luas Tebangan Hutan Tanaman LUAST = b0 + b 1 QDKB + b 2 RPKBT + b 3 RIHH + b 4 UPAH + b 5 INTR + b6 LUAST -1 + u 2 ............................................................. (2) dimana: LUAST
: luas tebangan hutan tanaman
QDKB
: permintaan kayu bulat industri pengolahan kayu
RPKBT
: harga riil kayu bulat dari hutan tanaman
46
RIHH
: iuran hasil hutan riil
UPAH
: upah riil
INTR
: suku bunga
LUAST-1 : luas tebangan hutan tanaman tahun lalu u2
: error term
Diharapkan : b 1 , b2 > 0; b 3 , b4 , dan b 5 < 0 ; 0 < b6 < 1 4.1.1.3. Luas Tebangan Hutan Rakyat LUASR = c 0 + c 1 QDKB + c 2 RPKBR + c 3 UPAH + c 4 LUASR -1 +u 3 ... (3) dimana: LUASR : luas tebangan hutan rakyat QDKB
: permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu
RPKBR : harga riil kayu bulat dari hutan rakyat UPAH
: upah riil
LUASR-1 : luas tebangan hutan rakyat tahun lalu : error term
u3
Diharapkan : c 1 , c 2 > 0; c 3 < 0; dan 0 < c 4 < 1 4.1.1.4. Total Luas Tebangan Hutan LUASTOT = LUASA + LUAST + LUASR ........................................ (4) dimana: LUASTOT: total luas tebangan hutan LUASA : luas tebangan hutan alam LUAST
: luas tebangan hutan tanaman
LUASR : luas tebangan hutan rakyat
47
4.1.1.5. Produksi Hutan Alam QKBA =
d 0 + d 1 RPKBA + d 2 PRODVA + d 3 UPAH + d 4 RIHH + d 5 RDRBS + d 6 T + d 7 QKBA -1 + u 4 ............................... (5)
dimana : QKBA
: produksi kayu bulat hutan alam
PRODVA : produktivitas hutan alam RPKBA : harga riil kayu bulat dari hutan alam UPAH
: upah riil
RIHH
: iuran hasil hutan riil
RDRBS : dana reboisasi riil T
: trend
QKBA -1 : produksi kayu bulat hutan alam tahun sebelumnya : error term
u4
Diharapkan : d 1 , d 2 , d 6 > 0 ; d 3 , d 4 , d 5 < 0 ; 0 < d7 < 1 4.1.1.6. Produksi Hutan Tanaman QKBT = e 0 + e 1 RPKBT + e 2 PRODVT + e 3 RIHH + e 4 UPAH + e 5 T + e6QKBT -1 + u 5 ............................................................... (6) dimana : RPKBT
: harga riil kayu bulat hutan tanaman
PRODVT : produktivitas hutan tanaman RIHH
: iuran hasil hutan riil
UPAH
: upah riil
T
: trend
48
QKBT-1 : produksi kayu bulat hutan tanaman tahun lalu u5
: error term
Diharapkan : e 1 , e 2 , e 5 > 0 ; e 3 , e 4 < 0 ; 0 < e 6 < 1 4.1.1.7. Produksi Hutan Rakyat QKBR = f0 + f1 RPKBR + f2 LUASR+ f3 UPAH+ f 4 T + f5 QKBR -1 + u 6 (7) dimana: QKBR
: produksi kayu bulat hutan rakyat
RPKBR : harga riil kayu bulat hutan rakyat LUASR : luas tebangan hutan rakyat UPAH
: upah riil
T
: trend
QKBR-1 : produksi kayu bulat hutan rakyat tahun lalu : error term
u6
Diharapkan : f1 , f2 , f4 > 0 ; f3 < 0; dan 0 < f5 < 1 4.1.1.8. Total Produksi Kayu Bulat QKBTOT = QKBA + QKBT + QKBR ............................................. (8) QKBTOT : total produksi kayu bulat QKBA
: produksi kayu bulat dari hutan alam
QKBT
: produksi kayu bulat dari hutan tanaman
QKBR
: produksi kayu bulat dari hutan rakyat
4.1.1.9. Harga Riil Kayu Bulat dari Hutan Alam RPKBA = g 0 + g 1 RPWKB + g 2 QSL + g 3 RPPP + g 4 RPKL + g 5 RPKG + g 6 T + g 7 RPLBA -1 + u 7 ................................................... (9) dimana :
49
RPKBA : harga riil kayu bulat dari hutan alam RPWKB : harga riil kayu bulat dunia QSL
: total pasokan kayu bulat
RPPP
: harga riil pulp
RPKL
: harga riil kayu lapis
RPKG
: harga riil kayu gergajian
T
: trend
RPKBA-1: harga Riil Bulat Tahun Lalu : error term
u7
Diharapkan : g 1 , g 3 , g 4 , g 5 , g 6 > 0; g 2 < 0; dan 0 < g 7 < 1 4.1.1.10. Harga Riil Kayu Bulat dari Hutan Tanaman RPKBT = h0 + h1 RPWKB+ h2 QKBT+ h 3 EXCR+ h4 RPKBT -1 + u 8 (10) dimana : RPKBT
: harga riil kayu bulat dari hutan tanaman
RPWKB : harga riil kayu bulat hutan tanaman EXCR
: nilai rupiah terhadap US$
RPKBT-1 : harga riil kayu bulat dari hutan tanaman tahun lalu : error term
u8
Diharapkan : h 1 , h2 , h 3 > 0; dan 0 < h4 < 1 4.1.1.11. Harga Riil Kayu Bulat dari Hutan Rakyat RPKBR = i0 + i1 QKBR + i2 RPKBR -1 + u 9 ................................... (11) dimana : RPKBR : harga riil kayu bulat dari hutan rakyat QKBR
: produksi kayu bulat hutan rakyat
50
RPKBR-1 : harga riil kayu bulat dari hutan rakyat tahun lalu u9
: error term
Diharapkan : i1 < 0 sedangkan 0 < i2 < 1 4.1.2. Blok Kayu Gergajian 4.1.2.1. Produksi Kayu Gergajian QKG = j0 + j1 RPKG+ j2 RPKBA+ j3 INTR+ j4 KTKG+ j5 QKG -1 + u 10 (12) dimana : QKG
: produksi kayu gergajian
RPKG
: harga riil kayu gergajian
RPKBA : harga riil kayu bulat hutan alam INTR
: suku bunga
KTKG
: kapasitas terpasang industri kayu gergajian
QKG-1
: produksi kayu gergajian tahun lalu : error term
u 10
Diharapkan : j1 , j4 > 0; j2 , j3 < 0; dan 0 < j5 < 1 4.1.2.2. Harga Riil Kayu Gergajian RPKG = k 0 + k 1 RPWG + k 2 T + k 3 RPKG -1 + u 11 dimana : RPKG
: harga riil kayu gergajian
RPWG
: harga riil kayu gergajian dunia
T
: trend
RPKG-1 : harga riil kayu gergajian tahun lalu u 11
: error term
Diharapkan : k 1 , k 2 > 0 dan 0 < k 3 < 1
......................... (13)
51
4.1.3. Blok Kayu Lapis 4.1.3.1. Produksi Kayu Lapis QKL
=
l0 + l1 RPKL + l2 RPKBA + l3 INTR + l4 KTKL + l5 T + l6 QKL -1 + u 12 ............................................................... (14)
dimana : QKL
: produksi kayu lapis
RPKL
: harga riil kayu lapis
RPKBA : harga riil kayu bulat hutan alam INTR
: suku bunga
KTKL
: kapasitas terpasang industri kayu lapis
T
: trend
QKL-1
: produksi kayu lapis tahun lalu : error term
u 12
Diharapkan : l1 , l4 , l5 > 0 ; l2 , l3 < 0; 0 < l6 < 1 4.1.3.2. Harga Riil Kayu Lapis RPKL = m0 + m1 RWPKL + m2 T + m3 RPKL -1 + u 13 ..................... (15) dimana : RPKL
: harga riil kayu lapis
RWPKL : harga riil kayu lapis dunia T
: trend
RPKL-1 : harga riil kayu lapis tahun lalu u 13
: error term
Diharapkan m1 , m2 > 0 ; 0 < m3 < 1
52
4.1.4. Blok Pulp 4.1.4.1. Produksi Pulp QPP
=
n 0 + n1 RPPP + n2 RPKBT + n3 INTR + n 4 KTPP + n5 T + n6 QPP -1 + u 14 ............................................................... (16)
dimana: QPP
: produksi pulp
RPPP
: harga riil pulp
RPKBT
: harga riil kayu bulat hutan tanaman
INTR
: suku bunga
KTPP
: kapasitas terpasang industri pulp
T
: trend
QPP-1
: produksi pulp tahun lalu : error term
u 14
Diharapkan : n 1 , n4 , n 5 > 0; n 3 < 0; 0 < n6 < 1 4.1.4.2. Harga Riil Pulp RPPP
= o 0 + o 1 RPWP + o 2 T + o 3 RPPP -1 + u 15 ..................... (17)
dimana: RPPP
: harga riil pulp and paper
RPWP
: harga riil pulp and paper dunia
T
: trend
RPPP-1
: harga riil pulp and paper tahun lalu
u 15
: error term
Diharapkan : o 1 , o 2 > 0; 0 < o 3 < 0
53
4.1.5. Blok Penawaran-Permintaan 4.1.5.1. Penawaran Kayu Bulat Legal QSL = QKBA + QKBT + QKBR + QIPK ....................................... (18) dimana: QSL
: pasokan kayu bulat legal
QKBA
: produksi kayu bulat dari hutan alam
QKBT
: produksi kayu bulat dari hutan tanaman
QKBR
: produksi kayu bulat dari hutan rakyat
QIPK
: produksi kayu bulat dari ijin pemanfaatan kayu
4.1.5.2. Permintaan Kayu Bulat untuk Industri Kayu Gergajian DIKG
= p 0 + p 1 RPKG + p 2 RPKBA + p 3 RPWKG + p 4 T + p 5 QKG + p 6 DIKG -1 + u 16 ............................................................. (19)
dimana: DIKG
: permintaan kayu bulat oleh industri kayu gergajian
RPK
: harga riil kayu gergajian
RPKBA : harga riil kayu bulat dari hutan alam RPWKG : harga riil kayu gergajian dunia T
: trend
QKG
: produksi kayu gergajian
DIKG-1
: permintaan kayu bulat tahun lalu
u 16
: error term
Diharapkan: p 1 , p 3 , p 4 , p 5 > 0, p 2 < 0 ; 0 < p 6 <1
54
4.1.5.3. Permintaan Kayu Bulat untuk Industri Kayu Lapis DIKL
= q 0 +q 1 RPKL + q 2 RPKBA + q 3 RPWKL + q 4 T + q 5 QKL + q 6 DKL -1 + u 17 .............................................................. (20)
dimana: DIKL
: permintaan kayu bulat oleh industri kayu lapis
RPKL
: harga riil kayu lapis
RPKBA : harga riil kayu bulat dari hutan alam RPWKL : harga riil kayu lapis dunia T
: trend
QKL
: produksi kayu lapis
DIKL-1
: permintaan kayu bulat oleh industri kayu lapis tahun lalu : error term
u 17
Diharapkan : q 1 , q 3 , q 4 , q 5 > 0; q 2 < 0; 0 < q 6 < 1 4.1.5.4. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Pulp and Paper DIPP =
r 0 + r 1 RPPP + r 2 RPKBA + r 3 RPWPP + r 4 T + r 5 QPP + r 6 DIPP -1 + u 18 .............................................................. (21)
dimana: DIPP
: permintaan kayu bulat oleh industri pulp and paper
RPPP
: harga riil pulp and paper
RPKBA : harga riil kayu bulat dari hutan alam RPWPP : harga riil pulp and paper dunia T u 18
: trend : error term
Diharapkan: r 1 , r 3 , r 4 , r 5 >0; r 2 < 0; 0 < r 7 < 1
55
4.1.5.5. Total Permintaan Kayu Bulat QDKB
= DIKG + DIKL + DIPP ................................................... (22)
dimana : QDKB
: permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu
DIKG
: permintaan kayu bulat oleh industri kayu gergagian
DIKL
: permintaan kayu bulat oleh industri kayu lapis
DIPP
: permintaan kayu bulat oleh industri pulp and paper
4.1.5.6. Gap antara Total Permintaan Kayu dengan Total Penawaran GAP
= QSL – QDKB .................................................................. (23)
dimana : GAP
: perbedaan
QSL
: penawaran kayu bulat ke industri pengolahan kayu
QDKB
: permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu
4.1.5.7. Ekspor Kayu Bulat QXKB
= s 0 + s 1 RPWKB + s 2 RPKBA + s 3 RGDPW + s 4 EXCR + s 5 T + s 6 QXKB -1 + u 19
................................................... (24)
dimana : QXKB
: ekspor kayu bulat
RPWKB : harga riil kayu bulat dunia RPKBA : harga riil kayu bulat dari hutan alam RGDPW : real gross domestic product dunia EXCR
: nilai tukar rupiah terhadap US$
T
: trend
QXKB-1 : ekspor kayu bulat tahun lalu u 19
: error term
Diharapkan : s 1 , s 3 , s 4 , s 5 > 0 ; s 2 < 0; 0 < s 6 < 1
56
4.1.5.7. Impor Kayu Bulat QMKB = t 0 + t 1 RPWKB + t 2 PKBA + t 3 QDKB + t 4 RGDPINA + t 5 EXCR + t 6 T + t 7 QMKB -1 + u 20 ................................. (25) dimana : QMKB
: impor kayu bulat
RPWKB : harga riil kayu bulat dunia RPKBA : harga riil kayu bulat dari hutan alam QDKB
: permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu
RGDPINA: real gross domestic product indonesia EXCR
: nilai tukar rupiah terhadap US$
T
: trend : error term
u 20
QMKB-1 : impor kayu bulat tahun lalu Diharapkan: t 2 , t 3 , t 4 , t 6 > 0; t 1 , t 5 < 0; 0 < t 7 < 1 4.1.5.8. Ekspor Kayu Gergajian XKG
= v0 + v1 RPWKG + v 2 RPKBA + v3 EXCR + v4 T + v5 TXKG + v6 XKG -1 + u 21 ......................................................... (26)
dimana: XKG
: ekspor kayu gergajian
RPWKG : harga dunia kayu gergajian RPKBA : harga riil kayu bulat hutan alam EXCR
: nilai tukar rupiah tergadap US$
T
: trend
TXKG
: pajak ekspor kayu gergajian
57
XKG-1
: ekspor kayu gergajian tahun lalu
u 21
: error term
Diharapkan : v1 , v3 , v 4 > 0; v2 , v5 < 0; 0 < v6 < 1 4.1.5.9. Ekspor Kayu Lapis XKL
= w 0 + w 1 RPXKL + w 2 RPKBA + w 3 EXCR + w 4 T + w 5 XKL -1 + u 22 ............................................................. (27)
dimana : XKL
: ekspor kayu lapis
RPXKL : harga riil kayu lapis RPKBA : harga riil kayu bulat dari hutan tanaman EXCR
: nilai tukar rupiah terhadap US$
T
: trend
XKL-1
: ekspor kayu lapis tahun lalu : error term
u 22
Diharapkan : w 1 , w 3 , w 4 > 0; w 2 , w 4 < 0; 0 < w 5 < 1 4.1.5.10. Ekspor Pulp XPP
=
x0 + x1 RPWPP + x2 RPKBA + x 3 EXCR + x 4 t + x5 XPP -1 + u 23 .............................................................. (28)
dimana: XPP
: ekspor pulp
RPWPP : harga riil pulp dunia RPKBA : harga riil kayu bulat dari hutan alam EXCR
: nilai tukar rupiah terhadap US$
T
: trend
58
XPP-1
: impor pulp tahun lalu
u 23
: error term
Diharapkan : x 1 , x3 , x 4 > 0; x2 < 0; 0 < x5 < 1 4.2. Identifikasi Model Untuk menentukan metode pendugaan yang tepat, dilakukan identifikasi model dengan memperhatikan jumlah total persamaan (G), jumlah total variabel dalam model (K), dan jumlah variabel dalam persamaan yang diidentifikasi (M); serta dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: Jika : (K-M) < (G-1), maka persamaan under identified (K-M) = (G-1), maka persamaan exactly identified (K-M) > (G-1), maka persamaan over identified Model yang dibangun dengan G sebanyak 28 persamaan yang terdiri atas 23 persaman struktural dan 5 persamaan identitas sebagaimana diuraikan di atas, mengandung peubah endogen sebanyak 29, peubah eksogen sebanyak 42 sehingga K=71, sedangkan nilai M setiap persamaan berkisar 3 sampai 8. Dengan demikian maka model yang akan dibangun memenuhi kriteria sebagai model yang over identified. Dengan kriteria itu maka metode pendugaan model yang paling tepat digunakan pada penelitian ini adalah model pendugaan Two-Stage Least Squares atau 2SLS. 4.3. Simulasi Kebijakan Perbedaaan yang mencolok antara pasokan dengan permintaan kayu bulat untuk industri mengarah pada perlunya mengurangi kapasitas industri, terutama melalui pengurangan industri-industri yang sudah tidak efisien (dengan peralatan
59
tua), dan meningkatkan produktivitas hutan tanaman. Disamping itu juga upaya peningkatan pasokan kayu melalui peningkatan pemanfaatan kayu dari hutan rakyat. Hal ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk merestrukturisasi industri sektor kehutanan. Sudah barang tentu upaya ini tidak akan terlepas dari kemungkinan perubahan faktor-faktor eksogenus lainnya, seperti tingkat upah, bunga pinjaman, dan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar Amerika. Berdasarkan hal itu, pada model yang dibangun akan dilakukan simulasi untuk mengetahui dampak kebijakan pemerintah terhadap situasi permintaan dan pasokan kayu bulat bagi industri pengolahan kayu di Indonesia, yang terkait dengan: 1. Kebijakan Pemerintah untuk menurunkan kapasitas industri sebesar 20%. 2. Kebijakan Pemerintah untuk menaikkan upah sebesar 5%. 3. Kebijakan Pemerintah untuk menaikkan suku bunga pinjaman sebesar 5 %. 4. Adanya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap US$ sebesar 10%. 5. Penerapan peningkatan produktivitas melalui SILIN 50% dan penggunaan bibit yang telah dimuliakan (improved) yang memungkinkan untuk peningkatan produktivitas hutan tanaman hingga 30%. 6. Perluasan luas tebangan hutan rakyat. Simulasi di atas dilakukan setelah hasil validasi model menyatakan bahwa cukup baik untuk simulasi, evaluasi, dan peramalan dampak kebijakan. Validasi dimaksud dilakukan dengan menggunakan metode GAUSS-Seidel.
Dengan
metode ini akan dilakukan penghitungan Mean Percentage Error (MPE), Root
60
Mean Square Percentage Error (RMSPE), dan Koefisien U-Theil dengan kriteria sebagaimana dispesifikasikan oleh metode ini. 4.4. Sumber Data Data untuk membangun model pada penelitian merupakan hal yang paling vital, namun demikian pada kenyataannya mutu data yang dimaksud masih jauh dari memuaskan. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan overlay beberapa sumber data dari tahun 1980 hingga 2005, untuk memperoleh data yang dipandang paling mendekati kebenaran baik dari aspek dan logika statistik mapun dari sisi logika ekonomi kehutanan. Beberapa sumber data yang akan dirujuk antara lain adalah: 1) Badan Pusat Statistik, 2) Bank Indonesia, 3) Departemen Kehutanan, 4) Departemen Perdagangan, 5) Food and Agricultural Organization (FAO), 6) the International Tropical Timber Organization (ITTO), 7) COMTRADE, 8) laporan-laporan dari Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di dalam negeri, dan 9) laporan lembaga-lembaga riset kehutanan international (CIFOR dan ICRAF).
V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT
Data untuk membangun model ekonomi sebagaimana diuraikan pada Bab IV dianalisis untuk mendapatkan konfirmasi mengenai kualitas model yang dibangun, serta untuk menduga seluruh persamaan dalam sistem model tersebut. Untuk melihat sampai seberapa jauh peubah penjelas yang digunakan berpengaruh terhadap kinerja atau perilaku penawaran, permintaan dan harga dilakukan pengujian dengan uji student (t-test). Meskipun demikian informasi statistik yang digunakan adalah nilai peluang (p-value) yang menunjukkan tingkat kesalahan yang dapat ditolerir.
Sesuai dengan spesifikasi model, dimana
pengaruh yang diharapkan dari setiap peubah penjelas sudah jelas, maka pengujian yang dilakukan, terutama untuk arah pengaruh (positif atau negatif), dilakukan adalah satu arah.
Lebih jauh
respon peubah endogen terhadap
perubahan peubah penentu juga diperlihatkan melalui nilai elastisitasnya pada jangka pendek maupun jangka panjang. 5.1. Hasil Pendugaan Model Proses penyusunan model melalui spesifikasi, pengujian dan re-spesifikasi yang berulang-ulang (iterative) telah menghasilkan model penawaran dan permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu yang yang dinilai baik dan memuaskan. Hal ini ditunjukkan oleh kesesuaian pengaruh peubah dengan teori ekonomi, yang diperlihatkan dari tanda tiap koefisien peubah di tiap perasamaan (plus atau minus), yang mempunyai kesamaan dengan tanda yang diharapkan dalam tiap persamaan.
62
Selain itu, dari hasil uji statistik terlihat bahwa dari 23 persamaan struktural hanya 4 persamaan yang terindikasi mempunyai masalah otokorelasi, sedangkan 4 persamaan lainnya tidak dapat dipastikan apakah ada masalah otokorelasi atau tidak, persamaan selebihnya secara tegas dinyatakan tidak ada masalah otokorelasi. Hasil identifikasi masalah otokorelasi dapat dilihat pada Lampiran 5. Dengan demikian maka model persamaan simultan yang dibangun merupakan model yang baik.
Model ini juga dipandang sangat memuaskan
karena dari hasil analisis diketahui bahwa seluruh peubah eksogen dapat menjelaskan perilaku peubah endogen dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien determinasi atau nilai R2, pada seluruh persamaan yang berkisar antara 70.57% hingga 99.59%. 5.2. Kayu Bulat 5.2.1. Luas Tebangan Hutan Alam Luas tebangan hutan alam (LUASA) dalam produksi kayu bulat selain dipengaruhi secara nyata pada taraf nyata 5% oleh pengalaman tebangan pada tahun sebelumnya (LUASA -1 ), juga sangat dipengaruhi oleh: 1) total permintaan kayu bulat hutan alam (QDKB), 2) harga kayu itu sendiri (RPKBA), dan 3) tingkat upah (UPAH) berpengaruh secara nyata pada taraf 10%.
Namun
demikian, respon produsen dalam menyikapi perubahan ketiga peubah itu tidak elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Apabila terjadi kenaikan 1% atas total permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan, maka dalam jangka pendek akan terjadi penambahan tebangan 0.22%, sedangkan dalam jangka panjang kenaikannya bisa mencapai 0.88% (Tabel 4). Adapun kenaikan harga kayu tersebut 1% akan meningkatkan luas
63
tebangan 0.14% pada jangka pendek dan 0.58% pada jangka panjang. Rendahnya respon tersebut (inelastic) dikarenakan adanya ketentuan mengenai jatah maksimal
luas tebangan per
tahun.
Penambahan
luas tebangan
yang
mengakibatkan terlewatinya batas maksimal tahunan, akan dikenakan hukum pidana karena dianggap telah melakukan tindakan illegal logging. Dengan demikian meskipun terjadi dorongan pasar berupa kenaikan permintaan dan kenaikan harga, maka dorongan ini hanya direspon dengan penambahan luas tebangan sampai pada jatah tebangan yang telah ditentukan. Tabel 4. Hasil Estimasi Persamaan Luas Tebangan Hutan Alam di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
P-value
Elastisitas Jk Pendek
Total Permintaan Kayu Bulat (QDKBA)
Jk. Panjang
0.007
0.0024
0.217
0.880
Harga kayu bulat alam (RPKBA)
44.966
0.0471
0.143
0.581
Dana reboisasi (RDRBS)
-0.015
0.6038
-0.018
-0.073
Iuran hasil hutan riil (RIHH)
-0.187
0.1469
-0.068
-0.277
Upah riil (UPAH)
-0.011
0.0691
-0.002
-0.007
Suku bunga (INTR)
-0.114
0.9539
-0.003
-0.013
0.754
0.0001
Luas Tebangan HA sebelumnya
Dari Tabel 4 juga terlihat bahwa respon negatif oleh kenaikan tingkat upah ternyata sangat kecil, dimana dengan kenaikan upah 1% hanya mengakibatkan penurunan luas tebangan sebesar 0.002% pada jangka pendek, dan sebesar 0.007% pada jangka panjang. Hal ini mungkin disebabkan karena perluasan tebangan akan mengakibatkan penambahan jaringan jalan sarad dan jalan angkutan kayu yang dalam biaya eksploitasi hutan merupakan komponen biaya terbesar, yaitu antara 30-60% (Ellias, 2008), sehingga pengaruh komponen upah per satuan luas tebangan menjadi kurang signifikan.
64
5.2.2. Luas Tebangan Hutan Tanaman Estimasi persamaan luas tebangan pada hutan tanaman (LUAST) sebagaimana terlihat pada Tabel 5 menunjukkan bahwa keputusan mengenai luas tebangan pada hutan tanaman sangat dipengaruhi oleh: 1) total permintaan kayu bulat, 2) harga riil kayu bulat dari hutan tanaman, dan 3) tingkat suku bunga pinjaman. Meskipun demikian semua peubah penjelas tersebut berpengaruh nyata pada taraf nyata 40%, kecuali untuk peubah total permintaan kayu yang berpengaruh nyata pada taraf 5%. Respon positif pengusaha hutan tanaman dalam menanggapi kenaikan permintaan kayu bulat tidak elastis dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang respon tersebut elastis. Dalam hal ini apabila total permintaan kayu bulat naik 1% maka dalam jangka pendek hal ini hanya direspon dengan penambahan luas tebangan hutan tanaman sebesar 0.37%, sedangkan pada jangka panjang hal ini direspon dengan kenaikan sebesar 1.20%. Elastisitas pada jangka panjang tersebut terjadi karena investasi pada hutan tanaman sangat tinggi dan melibatkan jangka waktu yang relatif panjang, sehingga setiap perubahan baru akan direspon secara nyata dalam jangka panjang. Respon positif luas tebangan hutan tanaman juga akan terjadi apabila ada kenaikan harga kayu bulat hutan tanaman, meskipun respon ini tidak elastis baik pada jangka pendek maupun panjang. Dalam hal ini apabila harga kayu naik 1% maka dalam jangka pendek akan direspon dengan penambahan luas tebangan sebanyak 0.09%, sedangkan dalam jangka panjang penambahan tersebut bisa mencapai 0.29%. Peningkatan respon yang terjadi pada jangka panjang ini menjelaskan sifat dari usaha hutan tanaman yang berjangka panjang, dimana
65
respon penambahan luas tebangan hutan baru terjadi setelah tanaman berumur minimal 7 tahun. Respon negatif akan terjadi apabila ada perubahan tingkat suku bunga, meskipun respon tersebut tidak elastis pada jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini bisa dipahami karena berbeda dengan usaha pada hutan alam, maka pada hutan tanaman dana pinjaman lebih diperlukan pada saat mereka mulai menanam pohon. Oleh karena itu meskipun terjadi kenaikan suku bunga pinjaman, maka hal itu tidak mengurangi minat pengusaha untuk menebang. Dalam hal ini apabila terjadi kenaikan atas suku bunga pinjaman sebesar 1%, dalam jangka pendek pengurangan luas tebangan hutan tanaman hanya sebesar 0.11%; sedangkan dalam jangka panjang kenaikan suku bungan pinjaman tersebut akan direspon dengan pengurangan luas tebangan sebesar 0.36%. Tabel 5. Hasil Estimasi Persamaan Luas Tebangan Hutan Tanaman di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
Elastisitas
P-value Jk Pendek
Jk. Panjang
Total Permintaan Kayu Bulat
0.003
0.0288
0.368
1.196
Harga kayu bulat tanaman
8.576
0.3471
0.090
0.293
-0.018
0.8674
-0.022
-0.072
Upah riil
-0.001
0.7683
-0.026
-0.083
Suku bunga
-1.188
0.47
-0.112
-0.363
0.693
0.0001
Iuran hasil hutan riil
Luas tebangan HT sebelumnya
5.2.3. Luas Tebangan Hutan Rakyat Estimasi luas tebangan hutan rakyat (LUASR) terlihat bahwa penentuan luas tebangan selain dipengaruhi secara nyata oleh pengalaman panen tahun sebelumnya pada taraf nyata 10%, ternyata juga sangat dipengaruhi secara nyata oleh total permintaan kayu bulat dengan taraf nyata 5% (Tabel 6).
66
Respon positif rakyat dalam menanggapi kenaikan permintaan kayu bulat (QDKB) tidak elastis dalam jangka pendek, dimana apabila terjadi kenaikan permintaan sebesar 1%, maka perubahan ini hanya ditanggapi dengan kenaikan luas tebangan sebesar 0.65%. Pada jangka panjang, respon ini elastis, dimana kenaikan 1% pada total permintaan akan diikuti dengan kenaikan luas tebangan sebesar 1 % pula. Respon yang signifikan ini hanya terjadi pada jangka panjang karena biasanya rakyat mempunyai hutan dalam luasan yang relatif kecil, sedangkan masa yang diperlukan untuk penanaman hingga penebangan (time lag) sangat panjang, sehingga kenaikan permintaan kayu bulat dapat tidak dapat direspon secara dengan cepat. Tabel 6. Hasil Estimasi Persamaan Luas Tebangan Hutan Rakyat di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
Elastisitas
P-value Jk Pendek
Jk. Panjang
Total Permintaan Kayu Bulat
0.001
0.0312
0.649
1.005
Harga kayu bulat rakyat
0.463
0.9063
0.022
0.035
-0.000
0.9659
-0.007
-0.012
0.355
0.0971
Upah riil Luas tebangan HR sebelumnya
Berbeda dengan fenomena yang terjadi pada hutan tanaman, maka pada hutan rakyat, harga riil kayu bulat hutan rakyat kurang berpengaruh pada keputusan luas penebangan. Hal terjadi karena alasan yang sama dengan uraian di atas, serta adanya kenyataan bahwa secara umum masyarakat kurang mendapat akses informasi pasar, sehingga tidak seluruh kejadian perubahan harga di pasar terpantau oleh mereka. Mereka hanya terpengaruh oleh kenaikan permintaan, yang secara nyata mereka ketahui dari adanya peningkatan permintaan atas kayu mereka.
67
Rakyat juga kurang responsif terhadap perubahan upah karena secara umum sebagian besar dari mereka menggunakan tenaganya sendiri dalam penebangan di samping dalam mengelola hutan mereka.
Kemungkinan lain
adalah adanya penggunaan sistem bagi hasil dengan para buruh yang membantu penanaman, pemeliharaan dan penebangan. 5.2.4. Produksi Kayu Bulat dari Hutan Alam Estimasi produksi kayu bulat dari hutan alam (QKBA), dimana produksi kayu bulat dari hutan ini mempunyai kecenderungan atau trend (T) yang positif. Selain terpengaruh oleh produksi tahun sebelumnya (QKBA -1 ) dan produktivitas hutan alam (PRODVA) yang berpengaruh nyata pada taraf 5%. Produksi kayu bulat dari hutan ini juga sangat dipengaruhi terutama oleh: 1) upah riil (RUPAH), dan 2) iuran hasil hutan riil (RIHH) dimana kedua peubah tersebut ini berpengaruh nyata pada taraf 1% (Tabel 7). Upah riil sangat berpengaruh terhadap produksi kayu bulat dari hutan alam, dimana perubahan upah akan direspon secara negatif dan elastis pada jangka pendek maupun jangka panjang.
Setiap kenaikan upah 1% akan
mengakibatkan pengurangan produksi sebesar 1.31% pada jangka pendek, dan pada jangka panjang akan menurunkan produksi sebesar 2.10%. Respon produksi terhadap perubahan Iuran Hasil Hutan juga bersifat negatif meskipun tidak elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dimana apabila terjadi kenaikan besarnya Iuran Hasil Hutan sebesar 1%, maka dalam jangka pendek kenaikan tersebut akan menurunkan produksi sekitar 0.26%, sedangkan dalam jangka panjang pengurangnnya mencapai sekitar 0.41%.
68
Tabel 7.
Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Bulat dari Hutan Alam di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
Elastisitas
P-value
Jk Pendek Harga kayu bulat alam Produktivitas hutan alam Upah riil Iuran hasil hutan riil Dana reboisasi T Produksi kayu bulat HA sebelumnya
Jk. Panjang
1095.563
0.0272
0.201
0.322
395.273
0.0018
0.775
1.239
-3.383
0.0003
-1.306
-2.090
-12.162
0.0054
-0.256
-0.409
-0.342
0.9457
-0.024
-0.038
963.734
0.0156
1.184
1.895
0.375
0.0158
5.2.5. Produksi Kayu Bulat dari Hutan Tanaman Estimasi produksi kayu bulat dari hutan tanaman (QKBT), dimana produksi kayu bulat dari hutan tanaman, mempunyai kecenderungan positif meningkat, terpengaruh produksi tahun sebelumnya (QKBT -1 ) serta produktivitas hutan tanaman (PRODVT). Dimana peubah produktivitas nyata pada taraf 5%. Selain itu produksi kayu ini sangat dipengaruhi oleh besarnya iuran hasil hutan riil (RIHH) yang nyata pada taraf 1%. Sementara harga kayu bulat hutan tanaman berpengaruh nyata pada taraf lebih besar dari 20% (Tabel 8). Respon produksi hutan tanaman terhadap perubahan Iuran Hasil Hutan bersifat negatif meskipun tidak elastis pada jangka pendek maupun jangka panjang, dimana apabila terjadi kenaikan Iuran Hasil Hutan sebesar 1% maka dalam jangka pendek produksi kayu bulat dari hutan ini hanya berkurang 0.005%, dan pada jangka panjang sekitar 0.008%.
Respon produksi akan berbeda
terhadap perubahan harga riil kayu, dimana kenaikan harga kayu akan cenderung menaikkan produksi, meskipun respon ini tidak elastis. Dalam jangka pendek apabila ada kenaikan harga kayu bulat sebesar 1%. akan meningkatkan produksi
69
kayu bulat dari hutan tanaman sebesar 0.176%; dalam jangka panjang kenaikkan tersebut bisa mencapai 0.299%. Tabel 8. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Bulat Hutan Tanaman di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
P-value
Elastisitas Jk Pendek
Harga kayu bulat tanaman
Jk. Panjang
289.399
0.2528
0.176
0.299
Produktivitas hutan tanaman
55.510
0.0001
0.397
0.674
Iuran hasil hutan riil
-7.558
0.0003
-0.005
-0.008
Upah riil T Produksi kayu bulat HT sebelumnya
-0.391
0.9607
0.000
0.000
146.239
0.0333
0.089
0.151
0.411
0.0462
5.2.6. Produksi Kayu Bulat dari Hutan Rakyat Produksi Kayu Bulat dari Hutan Rakyat (QKBR) selain ditentukan oleh luas tebangan (LUASR) yang berpengaruh nyata pada taraf 1%, juga ditentukan oleh: permintaan kayu bulat rakyat (DKBR), dan upah riil (RUPAH), meskipun pengaruh dari kedua peubah tersebut nyata pada taraf nyata lebih besar dari 40%. Permintaan kayu bulat rakyat berpengaruh secara positif terhadap produksi kayu ini, meskipun responnya tidak elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tabel 9.
Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Bulat Hutan Rakyat di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
P-value
Elastisitas Jk Pendek
Jk. Panjang
INTERCEP
28.501
0.7817
Harga kayu bulat rakyat ril
31.870
0.4547
0.015
0.016
Luas hutan rakyat
12.485
0.0001
1.085
1.186
Upah ril
-0.784
0.4976
-0.157
-0.172
0.086
0.1716
Produksi kayu HR sebelumnya
70
Kenaikan permintaan sebesar 1% dalam jangka pendek hanya direspon dengan kenaikan produksi sebesar 0.015%, sedangkan dalam jangka panjang hanya menaikkan produksi sebesar 0.016%. Respon produksi terhadap perubahan tingkat upah juga tidak elastis pada jangka pendek maupun jangka panjang, dimana kenaikan upah sebesar 1% akan mengurangi produksi sebesar 0.157% dalam jangka pendek, dan sekitar 0.172% pada jangka panjang. 5.2.7. Harga Riil Kayu Bulat Hutan Alam Pendugaan koefisien peubah untuk persamaan harga kayu bulat dari hutan alam (RPKBA), dimana harga riil kayu ini selain dipengaruhi harga kayu tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata pada 1%. Perilaku harga riil kayu bulat hutan alam juga dipengaruhi secara nyata pada taraf 1% oleh: harga riil kayu gergajian domestik (RPKG) dan
harga kayu bulat dunia (RPWKB), seperti
terlihat pada Tabel 10. Perubahan harga kayu gergajian mempengaruhi harga kayu bulat hutan alam secara positif, meskipun respon harga kayu bulat tidak elastis pada jangka pendek mapun jangka panjang. Setiap kenaikan harga kayu gergajian sebanyak 1% akan meningkatkan harga kayu bulat hutan alam sebesar 0.47% pada jangka pendek, sedangkan pada jangka panjang akan meningkatkan harga tersebut 0.82%. Harga kayu bulat dunia juga direspon secara positip oleh harga riil kayu bulat domestik, dimana dalam jangka pendek respon ini tidak elastik, namun dalam jangka panjang menjadi elastik. Apabila terjadi kenaikan harga kayu bulat dunia sebesar 1% maka dalam jangka pendek akan berdampak pada kenaikan harga domestik kayu bulat hutan alam sebesar 0.90%, dan dalam jangka panjang
71
akan menaikkan harga tersebut sebesar 1.55%. Perbedaan tersebut menunjukkan adanya pengaruh kuat harga pasar dunia terhadap harga domestik. Tabel 10. Hasil Estimasi Persamaan Harga Kayu Bulat Alam di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
P-value
Elastisitas Jk Pendek
INTERCEP
Jk. Panjang
-0.803
0.1738
Harga dunia kayu bulat
0.295
0.0061
0.893
1.550
Total penawaran kayu bulat
0.000
0.1989
-0.157
-0.273
Harga pulp
-0.010
0.351
-0.069
-0.120
Harga kayu lapis
-0.071
0.2756
-0.415
-0.721
Harga kayu gergajian
0.219
0.001
0.474
0.823
Tren waktu
0.031
0.1578
0.209
0.364
Harga kayu bulat alam sebelumnya
0.424
0.0013
Harga riil kayu bulat hutan alam dipengaruhi secara negatif oleh harga pulp meskipun respon harga kayu bulat terhadap perubahan harga pulp tidak elastik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Setiap kenaikan harga pulp and paper sebesar 1% dalam jangka pendek akan berdampak pada penurunan harga kayu bulat hutan alam sebesar 0.07%, dan pada jangka panjang pengaruh penurunan ini akan mencapai 0.12% (Tabel 10). 5.2.8. Harga Riil Kayu Bulat Hutan Tanaman Kenyataan bahwa harga riil kayu bulat dunia lebih berpengaruh terhadap harga riil kayu bulat dari hutan tanaman, dibanding pengaruh peubah lainnya dalam persamaan tersebut. Harga kayu bulat dunia tersebut berpengaruh nyata pada taraf 1% (Tabel 11). Pengaruh produksi kayu itu sendiri serta nilai tukar mata uang Rupiah bahkan dikatakan sangat tidak berarti. Kenyataan ini membuktikan adanya keinginan para pengusaha kayu bulat hutan tanaman untuk mengekspor produknya ke luar negeri, dan ini sesuai dengan dugaan adanya
72
kegiatan eskpor illegal kayu bulat dari Indonesia pada periode 2000-2005, karena ekpor kayu bulat baru dibuka kembali setelah tahun 2007. Tabel 11. Hasil Estimasi Persamaan Harga Kayu Bulat Tanaman di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
P-value
Elastisitas Jk Pendek
INTERCEP
Jk. Panjang
-0.741
0.1089
0.157
0.0071
0.475
1.704
Produksi hutan tanaman
1.983E-05
0.5243
0.033
0.117
Nilai tukar Rupiah
3.111E-05
0.4364
0.061
0.218
0.721
0.0001
Harga dunia kayu bulat
Harga kayu hutan tanaman sebelumnya
Apabila terjadi kenaikan harga riil kayu bulat dunia sebesar 1%, maka dalam jangka pendek akan direspon dengan kenaikan sebesar 0.475.
Dalam
jangka panjang respon tersebut bersifat sangat elastis, dimana kenaikan 1% harga riil kayu bulat dunia akan direspon dengan kenaikan harga riil kayu bulat hutan tanaman sebesar 1.70%. 5.2.9. Harga Riil Kayu Bulat Hutan Rakyat Harga riil kayu bulat dari tanaman rakyat pada dasarnya ditetapkan dengan mempertimbangkan harga kayu tersebut pada tahun sebelumnya, sebagaimana nampak dalam estimasi koefisien persamaan pada Tabel 12. Hasil analisis sebagaimana pada tabel di bawah menjelaskan bahwa harga kayu bulat dari tanaman rakyat dipengaruhi secara nyata pada taraf 1% oleh jumlah produksi kayu tersebut, meskipun pengaruh ini sangat kecil sebagaimana diindikasikan oleh elstisitasnya dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kenaikan produksi kayu ini sebesar 1 % (yang berarti tambahan penawaran) dalam jangka pendek hanya mengakibatkan penurunan harga 0.01%, sedangkan dalam jangka panjang kenaikan produksi tersebut hanya menurunkan harga kayu sebesar 0.05%.
73
Fenomena ini meperlihatkan bahwa usaha kayu rakyat masih belum merupakan usaha utama, namun merupakan usaha sampingan dari usaha tanaman pangan. Tabel 12. Hasil Estimasi Harga Kayu Hutan Rakyat di Indonesia Tahun 2005 Peubah INTERCEP Produksi kayu HR Harga kayu bulat rakyat sebelumnya
Koefisien
P-value
0.222
0.1908
-4.26E-05
0.8254
0.799
0.0001
Elastisitas Jk Pendek Jk. Panjang -0.010
-0.051
5.3. Industri Pengolahan Kayu Primer 5.3.1. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Kayu Gergajian Permintaan kayu bulat untuk industri kayu gergajian cenderung naik dari waktu ke waktu dan terpengaruh oleh pengalaman permintaan pada tahun sebelumnya. Berdasarkan tingkat pengaruhnya secara statistik, permintaan kayu bulat oleh industri gergajian secara berturut-turut dipengaruhi oleh: 1) produksi kayu gergajian, 2) harga kayu gergajian dunia, dan 3) harga riil kayu bulat hutan alam. Tabel 13. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Kayu Gergajian di Indonesia Tahun 2005
Peubah INTERCEP
Koefisien
Pvalue
Elastisitas Jk Pendek
Jk. Panjang
-9472.533282
0.1039
26.952483
0.9388
0.023
0.040
Harga kayu bulat alam riil
-554.786367
0.4526
-0.217
-0.382
Harga dunia kayu gergajian
264.262631
0.0743
0.965
1.699
Tren waktu
296.920353
0.1274
0.775
1.366
Produksi kayu gergajian
0.000622
0.0092
0.844
1.486
Permintaan kayu bulat IKG sebelumnya
0.432236
0.0266
Harga kayu gergajian riil
74
Produksi kayu gergajian sangat jelas berpengaruh positif pada jumlah kayu bulat yang dibutuhkan oleh industri ini, karena kayu bulat merupakan satusatunya bahan baku bagi industri ini. Secara khusus kayu bulat dari hutan alam merupakan bahan baku utama, karena sebagian besar terdiri atas kayu keras, sedangkan kayu bulat dari hutan tanaman sebagian besar merupakan kayu dari jenis cepat tumbuh yang kurang cocok untuk kayu gergajian. Oleh karena itu elastisitas permintaan kayu bulat dari hutan alam cukup tinggi dalam jangka panjang, yaitu sekitar 1.49 meskipun dalam jangka pendek elastisitasnya 0.84 dan termasuk dalam kategori inelastik. Pengaruh positif juga diberikan oleh harga kayu gergajian dunia dimana setiap terjadi kenaikan harga kayu dunia sebesar 1% dalam jangka pendek akan di respon dengan kenaikan permintaan kayu bulat hutan alam sebesar 0.97, dan dalam jangka panjang respon ini menjadi sekitar 1.70. Tingginya tingkat elastisitas ini sekali lagi menunjukkan bahwa pasar produk kayu dunia masih sangat mempengaruhi industri perkayuan Indonesia. 5.3.2. Produksi Kayu Gergajian Dari hasil estimasi persamaan produksi kayu gergajian sebagaimana terinci pada Tabel berikut, terlihat bahwa produksi kayu olahan ini selain terpengaruh oleh pengalaman produksi tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata pada taraf 1%, juga dipengaruhi secara berturut-turut oleh: kapasitas terpasang industri kayu gergajian, dan harga kayu gergajian itu sendiri, meskipun dalam jangka panjang maupun pendek respon produksi terhadap kedua peubah tersebut tidak elastis.
75
Apabila terjadi penurunan kapasitas terpasang sebesar 1% pada industri kayu gergajian, maka pada jangka pendek produksi industri ini diperkirakan akan menurun sekitar 0.14%, sedangkan pada jangka panjang diperkirakan akan terjadi pengurangan sekitar 0.53%.
Adapun apabila terjadi kenaikan harga kayu
gergajian sebesar 1% maka pada jangka pendek produsen kayu gergajian cenderung menaikkan produksinya sebesar 0.14%, dan apabila kenaikan harga ini terjadi terus menerus, maka pada jangka panjang penurunan ini diperkirakan akan mencapai 0.69% sesuai dengan yang terlihat pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Gergajian di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
P-value
Elastisitas Jk Pendek
Jk. Panjang
Harga kayu gergajian
217306.000
0.5177
0.136
0.688
Harga kayu bulat alam
-112135.000
0.8956
-0.032
-0.164
-5728.677
0.8717
-0.015
-0.075
104771.000
0.4995
0.104
0.527
0.803
0.0003
Suku bunga Kapasitas terpasang kayu gergajian Produksi kayu gergajian sebelumnya
5.3.3. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Kayu Lapis Permintaan kayu bulat industri kayu lapis ini dipengaruhi nyata pada taraf 10% oleh realisasi tingkat produksi kayu lapis dan dipengaruhi secara nyata pada taraf 20% oleh harga kayu bulat hutan alam. Sementara peubah-peubah yang lain memberikan pengaruh nyata pada taraf lebih besar dari 20%, sesuai dengan yang terlihat pada Tabel 15. Pengaruh produksi kayu lapis terhadap kebutuhan kayu bulat secara logis bersifat positif dan seharusnya elastik, namun kenyataannya tabel di atas menyatakan apabila ada kenaikan produksi kayu lapis sebesar 1 %, maka dalam
76
jangka pendek akan peningkatan permintaan kayu bulat hanya sebesar 0.36%, sedangkan dalam jangka panjang peningkatan ini hanya sekitar 0.49%. Tabel 15. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Kayu Bulat untuk Kayu Lapis di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
P-value
Elastisitas Jk Pendek
INTERCEP
Jk. Panjang
-1919.765877
0.7187
198.90145
0.6652
0.253
0.339
Harga kayu bulat alam
-3034.010472
0.1668
-0.662
-0.889
Harga dunia kayu lapis
495.749745
0.4245
0.835
1.122
Tren waktu
118.059857
0.555
0.172
0.231
Produksi kayu lapis
0.000496
0.0953
0.361
0.485
Permintaan kayu bulat IKL sebelumnya
0.255666
0.2296
Harga kayu lapis domestik
Kemungkinan, besarnya kenaikan produksi yang kurang sepadan dengan kenaikan pasokan bahan baku kayu adalah dikarenakan adanya penurunan efisiensi penggunaan bahan baku kayu bulat, diantaranya mesin dan peralatan yang ada sudah mulai usang, tanpa ada peremajaan atau moderenisasi yang berarti. 5.3.4. Produksi Kayu Lapis Hasil estimasi persamaan produksi kayu lapis. Dari tabel tersebut terlihat bahwa perilaku produksi kayu lapis dipengaruhi secara nyata oleh harga kayu lapis pada taraf nyata 5%, harga riil kayu bulat dari hutan alam pada taraf nyata 15% dan harga kayu lapis periode sebelumnya pada taraf nyata 1% (Tabel 16). Secara umum dari pengamatan periode 1980 hingga 2005 produksi kayu lapis mengalami kecenderungan menurun, dan hal itu ditunjukkan oleh nilai T yang negatif. Namun demikian kecenderungan ini secara relatif terhadap total produksi kurang signifikan, hal ini diindikasikan oleh p-value yang relatif besar,
77
yaitu sekitar 0.85 serta elastisitasnya yang sangat kecil yaitu 0.018 pada jangka pendek, dan sekitar 0.120 pada jangka panjang. Tabel 16. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Lapis di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
Elastisitas
P-value
Jk Pendek
Jk. Panjang
Harga kayu lapis dunia
178884.000
0.0411
0.312
2.039
Harga kayu bulat alam
-450001.000
0.1451
-0.135
-0.881
Suku bunga
3914.424
0.8585
0.011
0.069
Kapasitas terpasang industri
4128.935
0.9707
0.005
0.036
-9175.044
0.8472
-0.018
-0.120
0.847
0.0001
Tren waktu Harga kayu lapis tahun sebelumnya
Harga kayu bulat dari hutan alam merupakan peubah yang signifikan terhadap permintaan bahan baku kayu lapis, meskipun respon permintaan bahan baku terhadap perubahan harga tidak elastik. Perubahan harga kayu bulat dari hutan alam sebesar 1% dalam jangka pendek direspon dengan pengurangan permintaan kayu sebesar 0.662%, sedangkan dalam jangka panjang kenaikan harga kayu ini akan mengurangi permintaan sebesar 0.889%.
Meskipun respon
permintaan kayu bulat dari hutan alam terhadap harga kayu tersebut inelastik, namun dari angka elastisitas tersebut terlihat bahwa produsen sangat terpengaruh dengan harga kayu ini, karena bahan baku kayu bulat menempati proporsi 60% hingga 70% dari total biaya produksi. Harga kayu lapis dunia berpengaruh positif terhadap permintaan bahan bahan baku kayu bulat. Apabila terjadi kenaikan harga kayu lapis dunia sebesar 1% maka kejadian ini dalam jangka pendek akan direspon dengan peningkatan permintaan bahan baku kayu bulat sebesar 0.835%, dan dalam jangka panjang sebesar 1.122%. Hal ini sekali lagi memperlihatkan pentingnya pasar dunia bagi
78
industri kayu lapis Indonesia, dimana pasar dunia untuk produk ini masih cukup bagus bagi kayu lapis Indonesia. Namun demikian, peubah yang sangat nyata berpengaruh terhadap produksi kayu lapis adalah harga riil domestik kayu lapis itu sendiri dan harga kayu bulat dari hutan alam. Respon produksi terhadap perubahan harga kayu lapis dalam jangka pendek tidak elastik yaitu 0.312, namun dalam jangka panjang respon ini sangat elastik yaitu mencapai 2.039. Hal ini berarti apabila terjadi kenaikan harga kayu lapis sebesar 1%, maka dalam jangka pendek akan direspon dengan peningkatan produksi sebesar 0.312%, dan dalam jangka panjang peningkatan ini bisa lebih dari dua kali lipat, yaitu sekitar 2.309%. Lambatnya respon ini berarti bahwa produksi kayu lapis saat ini belum dapat secara maksimal memanfaatkan kemungkinan kenaikan harga produk ini, namun apabila terjadi kecenderungan kenaikan harga produk yang secara-terus menerus berlangsung, maka industri akan berusaha meningkatkan produksinya. Kecenderungan menurunnya produksi kayu lapis dan ketidakmampuan industri dalam menangkap keuntungan secara maksimal dari kemungkinan kenaikan harga produk ini, sebagaimana uraian di atas, sekali lagi menjelaskan bahwa kilang-kilang kayu lapis sudah dalam kondisi tidak efisien, dan pembaruan peralatan dan mesin-mesin yang selama ini dipergunakan. 5.3.5. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Pulp Besarnya permintaan kayu bulat oleh industri pulp selain merujuk pengalaman pada permintaan tahun sebelumnya, juga dipengaruhi oleh: 1) harga bahan baku kayu bulat dari hutan alam pada taraf 20%, 2) jumlah produksi dari industri ini pada taraf 16%, dan 3) harga pulp itu sendiri.
79
Pengaruh harga kayu bulat dari hutan alam terhadap permintaan kayu bulat untuk industri ini adalah negatif, meskipun respon yang terjadi tidak elastik. Perubahan harga kayu bulat hutan alam sebesar 1% direspon dengan penurunan total permintaan kayu bulat sebesar 0.507%, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
Pengaruh dari harga kayu bulat dari hutan alam ini sangat
dominan terhadap permintaan kayu bulat. Tabel 17. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Kayu Bulat Industri Pulp di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
Elastisitas
P-value
Jk Pendek INTERCEP Harga pulp domestik Harga kayu bulat alam Harga dunia pulp dunia Tren waktu Produksi pulp and paper Permintaan kayu bulat industry pulp sebelumnya
Jk. Panjang
3341.155351
0.6859
70.756984
0.6025
0.156
0.156
-1529.455325
0.1831
-0.507
-0.507
53.608693
0.7312
0.165
0.165
-191.499031
0.6867
-0.424
-0.424
0.00115
0.1575
0.352
0.352
0.764104
0.0011
5.3.6. Produksi Pulp Dalam periode 1980 - 2005 produksi pulp cenderung meningkat, meskipun peningkatan ini tidak terlalu besar. Tabel 18 menyajikan hasil estimasi untuk perilaku produksi pulp. Diantara peubah yang berpengaruh pada peningkatan produksi tersebut adalah kapasitas industri itu sendiri pada taraf 10% serta tingkat suku bunga pinjaman pada taraf 10%. Suku bunga pinjaman berpengaruh negatif terhadap produksi dimana respon produksi terhadap perubahan suku bunga tidak elastik pada jangka pendek, namun menjadi elastik pada jangka panjang.
Pada
tabel dapat dilihat bahwa apabila terjadi kenaikan suku bunga pinjaman sebesar 1% maka pada jangka pendek akan terjadi penurunan produksi sekitar 0.42%, dan pada jangka panjang penurunan ini akan mencapai sekitar 1%.
80
Tabel 18. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Pulp di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
P-value
Elastisitas Jk Pendek
Harga pulp Harga kayu bulat tanaman
4069.224
0.8421
0.029
Jk. Panjang 0.070
82905.000
0.6387
0.090
0.216
Suku bunga
-43201.000
0.0083
-0.419
-1.009
Kapasitas terpasang pulp and paper
429839.000
0.0564
0.641
1.543
20106.000
0.6868
0.146
0.350
0.585
0.0001
Tren waktu Produksi pulp and paper sebelumnya
Pengaruh kapasitas terpasang industri terhadap produksi pulp and paper juga tidak elastik dalam jangka pendek, sedangkan pada jangka panjang menjadi elastik. Pada jangka pendek, kenaikan kapasitas industri sebesar 1% akan mengakibatkan kenaikan produksi sekitar 0.64%, sedangkan pada jangka panjang kenaikan tersebut dapat mencapai 1.54% . 5.4.
Ekspor-Impor
5.4.1. Ekspor Kayu Bulat Ekspor kayu bulat selain dipengaruhi oleh kinerja ekspor tahun sebelumnya, sesuai dengan teori yang ada, sangat dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah terhadap mata uang dollar Amerika pada taraf 10% (Tabel 19). Dalam hal ini apabila nilai tukar Rupiah meningkat, maka produsen kayu bulat cenderung meningkatkan ekspor, karena harga kayu bulat di pasar luar negeri menjadi lebih tinggi apabila dibayar dengan mata uang Rupiah. Apabila terjadi kenaikan 1% atas nilai tukar Rupiah, maka dalam jangka pendek akan terjadi kenaikan ekspor sekitar 0.46%, dan dalam jangka panjang kenaikan itu akan mencapai sekitar 0.71%.
81
Tabel 19. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Kayu Bulat di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
Elastisitas
P-value Jk Pendek
INTERCEP
-850545.000
Jk. Panjang
0.5313
Harga dunia kayu bulat
62465.000
0.672
0.245
0.376
Harga kayu bulat alam
121820.000
0.8096
0.158
0.242
0.552
0.6352
0.311
0.477
183.169
0.0693
0.463
0.712
-671033.000
0.2807
0.349
0.0016
RGDPW Nilai tukar Rupiah Dummy larangan ekspor Ekspor kayu bulat sebelumnya
Ekspor kayu bulat akan meningkat apabila secara umum terjadi perbaikan ekonomi dunia. Dalam hal ini apabila ada kenaikan 1% atas Gross Domestic Bruto dunia (rata-rata) maka dalam jangka pendek ekspor kayu bulat Indonesia bisa ditingkatkan 0.31%, dan dalam jangka panjang peningkatan ini bisa mencapai sekitar 0.48%. 5.4.2. Impor Kayu Bulat Berlawanan dengan ekspor, maka impor kayu bulat dari luar negeri akan menurun apabila nilai tukar Rupiah naik, dalam hal ini harga kayu bulat dari luar negeri menjadi lebih mahal apabila dibayar dengan Rupiah (Tabel 20). Dari Tabel 20 juga dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi kenaikan nilai Rupiah sebanyak 1% maka dalam jangka pendek impor kayu bulat akan turun sebanyak 0.62%, sedangkan dalam jangka panjang penurun ini akan mencapai sekitar 1.37% (elastik). Harga domestik kayu bulat dari hutan alam juga mempengaruhi impor kayu bulat, dimana apabila harga meningkat maka ada kecenderungan meningkatkan jumlah impor kayu bulat dari luar negeri.
Respon pengusaha
pengolahan kayu dalam impor kayu bulat dengan adanya kenaikan harga kayu domestik tidak elastik, dalam hal ini apabila terjadi kenaikan 1% atas harga
82
domestik kayu bulat dari hutan alam, maka dalam jangka pendek impor akan meningkat sekitar 0.382%, dan dalam jangka panjang akan meningkat sekitar 0.853%. Tabel 20. Hasil Estimasi Persamaan Impor Kayu Bulat di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
Elastisitas
P-value Jk Pendek
RPWKB Harga domestik kayu bulat alam
Jk. Panjang
-2262.351
0.8604
-0.177
-0.395
14760.000
0.4219
0.382
0.853
0.207
0.9494
0.054
0.121
GDP Indonesia
-12.564
0.5423
-0.628
-1.403
Nilai tukar Rupiah
-12.174
0.2946
-0.615
-1.374
8459.926
0.2175
1.463
3.266
0.552
0.0385
Total Permintaan Kayu Bulat
Tren Impor kayu bulat sebelumnya
5.4.3. Ekspor Kayu Gergajian Ekspor kayu gergajian Indonesia cenderung meningkat dan dipengaruhi oleh kinerja ekspor tahun sebelumnya pada taraf 1% (Tabel 21).
Namun
demikian peubah yang secara nyata dalam mempengaruhi kinerja ekspor kayu gergajian adalah: 1) harga riil kayu gergajian dunia pada taraf 5%, 2) harga domestik riil kayu bulat dari hutan alam pada taraf 5%, dan 3) pajak ekspor kayu bulat pada taraf 20%. Harga riil kayu gergajian dunia berpengaruh sangat positif terhadap ekspor kayu gergajian Indonesia, namun secara negatif sangat dipengaruhi oleh harga domestik riil kayu bulat hutan alam serta pajak ekspor. Hal ini sesuai dengan teori yang berlaku, bahwa kenaikan harga akan mendorong jumlah penawaran, sedangkan kenaikan biaya produksi akan mengurangi volume produksi yang pada akhirnya mengurangi jumlah produk yang ditawarkan.
83
Tabel 21. Hasil Estimasi Ekspor Kayu Gergajian di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
P-value
Elastisitas Jk Pendek
Harga riil kayu gergajian dunia Harga riil kayu bulat hutan alam
6607.027
Jk. Panjang
0.013
3.404
6.635
-29986.000
0.0129
-1.654
-3.223
0.948
0.8112
0.102
0.199
1831.940
0.4636
0.675
1.316
-2706.050
0.1941
-2.018
-3.933
0.487
0.0063
Nilai Tukar Rupiah Trend Pajak Ekspor Kayu Bulat Ekspor Kayu Bulat tahun sebelumnya
Setiap kenaikan 1% atas harga kayu gergajian dunia dalam jangka pendek akan direspon dengan peningkatan ekspor sekitar 3.40%, dan dalam jangka panjang peningkatan ini bisa mencapai 6.64%. Sebaliknya apabila harga domestik riil kayu bulat dari hutan alam meningkat 1%, maka dalam jangka pendek kinerja ekspor kayu gergajian akan turun sekitar 1.65%, dan dalam jangka panjang penurunan tersebut bisa mencapai 3.23%. Adapun kenaikan 1% atas pajak ekspor dalam jangka pendek akan menyebabkan penurunan volume ekspor sekitar 2.02%, sedangkan pengaruhnya dalam jangka panjang penurunan ini bisa mencapai 3.93%. 5.4.4. Ekspor Kayu Lapis Ekspor kayu lapis dipengaruhi oleh kinerja ekspor produk ini pada tahun sebelumnya pada taraf 1%, namun dalam periode 1980–2005 ada kecenderungan menurun, meskipun dalam jangka pendek penurunan tersebut belum begitu nyata, namun dalam jangka panjang tingkat penurunan ini akan menjadi cukup besar. Secara struktural kinerja ekspor kayu lapis dipengaruhi oleh harga ekspor riil produk ini pada taraf 10% (Tabel 22).
84
Tabel 22.
Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Kayu Lapis di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
P-value
Elastisitas Jk Pendek
Harga riil ekspor kayu lapis Harga domestik riil kayu bulat alam Nilai Tukar Rupiah Trend Harga ekspor sebelumnya
kayu
Jk. Panjang
62279920.000
0.051
0.108
2.028
56354.000
0.6472
0.020
0.371
23.075
0.8723
0.016
0.296
-30879.000
0.6787
-0.073
-1.357
0.947
0.0001
lapis tahun
Respon ekspor terhadap perubahan harga ekspor kayu lapis tidak elastik pada jangka pendek, namun menjadi elastik pada jangka panjang. Kenaikan 1% atas harga ekspor kayu lapis akan mendorong peningkatan volume ekspor produk ini sekitar 0.11% dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang kenaikan kinerja ekspor ini bisa mencapai 2.03%. Kurangnya respon ekspor kayu lapis dalam jangka pendek dalam menanggapi perbaikan harga ekspor sangat dimungkinkan karena industri kayu lapis di satu sisi kilang-kilangnya dalam kondisi tua dan tidak efisien dalam penggunaan bahan baku, di sisi lain bahan baku kayu bulat dari hutan alam semakin sulit diperoleh karena hutan produksi telah banyak mengalami deforestasi. Kondisi ini mengakibatkan respon produksi kayu lapis atas kenaikan harga produk ini kurang memadai. Dalam jangka panjang, apabila harga ekspor kayu lapis tetap mempunyai kecenderungan semakin membaik, maka industri akan terinsentif untuk meremajakan dan memodernkan mesin dan peralatannya, sehingga penggunaan bahan baku kayu bulat menjadi semakin efisien, dan kilang kayu lapis bisa memanfaatkan berbagai jenis dan ukuran kayu bulat. Dengan kondisi seperti itu maka dalam jangka panjang respon ekspor terhadap perbaikan harga ekspor kayu lapis akan semakin elastik.
85
5.4.5. Ekspor Pulp Sesuai dengan teori perdagangan, ekspor pulp akan dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah dan harga pulp dunia, dimana nilai tukar Rupiah nyata pada taraf 10% dan harga pulp dunia nyata pada taraf 14%.
Respon ekspor terhadap
perubahan nilai tukar tidak elastik. Kenaikan 1% atas nilai tukar Rupiah dalam jangka pendek akan menaikkan ekspor produk ini sekitar 0.45%, sedangkan dalam jangka panjang kenaikan ekspor bisa mencapai 0.82% (Tabel 23). Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya pengaruh negatif peubah harga riil pulp dunia dan harga kayu bulat hutan alam terhadap kinerja ekspor produk ini, serta hubungan positif antara harga kayu bulat hutan alam dengan kinerja ekspor pulp. Kenaikan 1% atas harga riil pulp dunia akan mengakibatkan penurunan ekspor produk ini sekitar 0.44% pada jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang penurunan ini sekitar 0.79%. Hal ini bisa terjadi karena adanya fenomena sentimen pasar dunia terhadap produk pulp Indonesia yang dituduh: 1) melakukan dumping, 2) melanggar prinsip-prinsip lingkungan, dan 3) terkait dengan pelanggaran hak azasi manusia dalam perluasan hutan tanaman untuk peningkatan pasokan bahan baku. Tabel 23. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Pulp di Indonesia Tahun 2005 Peubah
Koefisien
P-value
Elastisitas Jk Pendek
Harga riil pulp dunia Harga kayu bulat dari hutan alam Nilai tukar Rupiah Trend Harga riil pulp dunia tahun sebelumnya
Jk. Panjang
-16536.000
0.134
-0.438
-0.786
97201.000
0.3118
0.278
0.499
81.311
0.103
0.454
0.815
16951.000
0.2227
0.324
0.581
0.443
0.0377
86
Kenaikan 1% atas harga baku kayu bulat dari hutan alam akan meningkatkan ekspor pulp sekitar 0.28% pada jangka pendek, dan pada jangka panjang kenaikan ini akan mencapai sekitar 0.50%.
Hal ini bisa terjadi karena
kecenderungan kenaikan ekspor sebagaimana ditunjukan oleh pengaruh peubah trend, tidak terhambat oleh pasokan kayu bulat hutan alam karena bahan baku industri ini juga dipasok oleh kayu bulat hutan tanaman dan hutan rakyat, serta kertas daur ulang.
VI. APLIKASI MODEL UNTUK EVALUASI ALTERNATIF KEBIJAKAN
Model ekonometrika yang telah dibangun kemudian digunakan untuk mengevaluasi alternatif kebijakan, untuk maksud itu maka model tersebut perlu divalidasi terlebih dahulu dengan melakukan simulasi dasar pada seluruh data periode 1980-2005. Hasil validasi tersebut akan menjelaskan apakah model yang terbangun dapat cukup memadai untuk digunakan dalam simulasi kebijakan. 6.1. Validasi Model Ekonometrika Dalam penelitian ini, validasi model dilakukan dengan menggunakan Theil’s inequality coefficient dan nilai koefisien determinasi (R2). Menurut H. Theil (1966), sebagaimana dinyatakan oleh Koutsoyiannis (1977), daya ramal model ekonometrik dapat dilihat dari besaran inequality coefficient-nya. Dengan kata lain, Theil’s inequality coefficient dapat dipakai untuk menunjukkan kemampuan model dalam menjelaskan perilaku data aktual. Nilai koefisien ini dapat menjelaskan galat sistematis (Um dan Ur) dan galat non sistematis (Ud), dimana Um + Ur + Ud = 1. Nilai galat sistematis diharapkan mendekati nol, sementara nilai Ud diharapkan mendekati 1 dan diharapkan nilai Theil’s Inequality nilai mendekati nol.
Adapun nilai R2 menjelaskan seberapa kuat
model yang telah terbangun dapat menjelaskan perilaku peubah dalam suatu model Keragaan validasi model, dimana dari tabel, terlihat bahwa nilai Um dan Ur mendekati nol dan nilai Ud mendekati 1 (Tabel 24). Dari semua pendugaan persamaan struktural, hanya 3 persamaan (LUASR, QKBR, dan XKG) yang
88
mempunyai nilai Theil’s Inequality yang lebih besar 0.2. Demikian juga halnya dengan nilai koefisien determinasi, dimana kisaran nilai koefisien determinasinya (R Square) berada di antara 60% – 98%. Oleh karena itu, model ekonometrika yang telah terbangun ini dapat dinyatakan memadai untuk digunakan dalam simulasi untuk melalukan peramalan dan analisis kebijakan. Tabel 24.
Keragaan Validasi pada Model Ekonometrika Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Theil Decomposition
Variabel
UD
UR
Theil’s inequality
UU
R-Square
LUASA
0.00200
0.00000
0.99800
0.03610
0.97670
LUASR
0.00400
0.00100
0.99400
0.26320
0.78190
LUAST
0.00200
0.00000
0.99800
0.11260
0.67550
QKBA
0.02300
0.01800
0.95900
0.05840
0.92250
QKBR
0.00400
0.00800
0.98800
0.27970
0.95240
QKBT
0.00200
0.00200
0.99600
0.07090
0.95180
QKG
0.00200
0.03000
0.96800
0.07250
0.65410
QKL
0.00500
0.03400
0.96100
0.04560
0.92840
QPP
0.00000
0.00100
0.99900
0.07700
0.95470
DIKG
0.00600
0.00000
0.99400
0.10430
0.64060
DIKL
0.03700
0.00600
0.95700
0.09380
0.62870
DIPP
0.00700
0.00000
0.99300
0.14460
0.71460
QXKB
0.00100
0.00300
0.99600
0.11450
0.93040
QMKB
0.00200
0.00100
0.99700
0.18930
0.72860
XKG
0.02300
0.01000
0.96600
0.21920
0.60170
XKL
0.00100
0.00300
0.99600
0.04890
0.93810
XPP
0.00100
0.00100
0.99900
0.10990
0.91890
RPKBA
0.11700
0.00200
0.88000
0.07590
0.92230
RPKBR
0.00000
0.00000
1.00000
0.07090
0.92910
RPKBT
0.00000
0.00000
1.00000
0.05460
0.95770
RPKG
0.00000
0.00000
1.00000
0.09190
0.90610
RPKL
0.00000
0.00000
1.00000
0.05810
0.89800
RPPP
0.00000
0.00000
1.00000
0.14020
0.83620
89
6.2. Proyeksi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Tahun 2006-2010 Proyeksi berikut merupakan pendugaan atas besarnya penawaran dan permintaan kayu bulat pada periode 2006-2010 apabila tidak ada perubahan pada besaran peubah-peubah eksogen (business as usual) 6.2.1. Proyeksi Penawaran Kayu Bulat Apabila situasi penawaran dan permintaan yang terjadi pada periode 1980 sampai dengan 2005 dibiarkan seperti apa adanya hingga tahun 2010 dan tidak ada perubahan atas peubah-peubah eksogen, maka volume produksi sah kayu bulat total, termasuk ramalan produksi dari Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), diproyeksikan akan mengalami penurunan dari 17.133 ribu m3 pada tahun 2006 menjadi 15.233.04 ribu m3 pada tahun 2010 atau menurun sebesar 2.85%. Tabel 25. Proyeksi Penawaran Kayu Bulat Produksi Sah Hutan Indonesia Tahun 2006-2010 (ribu m3) TAHUN
Peubah LUASA (Luas tebangan hutan alam) LUASR (Luas tebangan hutan rakyat) LUAST (Luas tebangan hutan tanaman) LUASTOT (Total luas tebangan) QKBA (Produksi kayu bulat hutan alam) QKBR (Produksi kayu bulat hutan rakyat) QKBT (Produksi kayu bulat hutan tanaman) QSL* (Total produksi kayu sah)
2006
2007
2008
2009
2010
198.43
242.39
278.08
308.32
335.13
49.84
48.33
46.79
33.31
39.88
182.08
198.03
211.34
215.93
213.08
430.36
488.75
536.21
557.56
588.09
3881.98
4299.20
4755.88
5212.01
5607.95
609.01
580.49
555.78
385.54
468.22
8110.30
6249.35
5099.54
4381.06
3936.35
17133.00
15929.62
15401.99
15103.94
15233.04
Catatan: * termasuk ramalan jumlah produksi dari Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) per tahun berturut-turut sepanjang tahun 2006-2010 sebesar: 4151.63, 4531.71, 4800.59, 4990.79, dan 5125.34
90
Proyeksi
penawaran kayu bulat dari produksi sah hutan alam, hutan
tanaman dan hutan rakyat Indonesia. Kecenderungan penurunan total produksi kayu bulat merupakan akibat dari penurunan produksi kayu bulat hutan rakyat sebesar 4.53% yang secara langsung disebabkan oleh penurunan luas tebangan hutan tanaman dan hutan rakyat, meskipun di sisi lain terjadi peningkatan luas tebangan hutan alam dan produksi kayu bulat hutan alam (Tabel 25). Perkiraan perubahan penawaran kayu bulat dari hutan alam, hutan tanaman, dan hutan rakyat dari tahun 2006 hingga 2010, dimana penawaran kayu yang berasal dari hutan tanaman dan hutan rakyat cenderung menurun, sedangkan penawaran dari hutan alam cenderung meningkat. Kecenderungan penurunan produksi ini ternyata tidak searah dengan perilaku luas tebangan hutan secara total, total luas tebangan menunjukkan kecenderungan yang meningkat 8.18 % (Gambar 9). 9000,00 8000,00
Jumlah (X 1000 M3)
7000,00 6000,00 5000,00 4000,00 3000,00 2000,00 1000,00 0,00 2006 Hutan Alam
2007
2008
Hutan Rakyat
2009
2010
Hutan Tanaman
Gambar 9. Penawaran Kayu Bulat dari Produksi Sah Hutan Indonesia Tahun 2006-2010
91
6.2.2. Proyeksi Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Pengolahan Kayu Primer Total volume permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Peningkatan ini lebih disebabkan oleh terjadinya peningkatan permintan kayu bulat oleh industri kayu gergajian dan kayu lapis.
Sementara permintaan kayu bulat oleh industri pulp dan paper
cenderung menurun, sebagaimana terlihat pada Tabel 26 dan Gambar 10. Tabel 26. Proyeksi Permintaan Kayu Bulat di Indonesia Tahun 2006-2010 Peubah DIKG (Permintaan kayu bulat oleh industri gergajian) DIKL (Permintaan kayu bulat oleh industri kayu lapis) DIPP (Permintaan kayu bulat oleh industri pulp & paper)
2006 2285.47
2007 3256.21
TAHUN 2008 3812.56
2009 4101.2
2010 4228.23
6923.75
7268.31
7605.62
7912.53
8207.08
12932.29
10895.46
9581.95
8757.52
8267.74
14000,00 12000,00
Jumlah (X 1000 M3)
10000,00 8000,00 6000,00 4000,00 2000,00 0,00 2006 Kayu Gergajian
2007
2008 Kayu Lapis
2009
2010
Pulp & Paper
Gambar 10. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Pengolahan Primer di Indonesia Tahun 2006-2010
92
6.2.3. Gap antara Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Dari proyeksi kebutuhan kayu bulat untuk industri pengolahan dan pasokan kayu bulat, terlihat adanya gap antara keduanya yang berfluktuasi antara tahun 2006 – 2010 yang besarnya kurang lebih sekitar 6 juta m3 (Tabel 27). Tabel 27. Proyeksi Selisih (Gap) antara Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat di Indonesia Tahun 2006-2010 2006
2007
TAHUN 2008
2009
2010
22141.51 17133.00 1037.47 150.25
21419.98 15929.62 1104.62 137.04
21000.13 15401.99 1109.14 126.58
20771.25 15103.94 1077.31 118.36
20703.05 15233.04 1024.98 111.81
16245.79
14962.04
14419.43
14144.99
14319.87
-5895.72
-6457.94
-6580.70
-6626.26
-6383.18
Peubah QDKB (Total permintaan kayu bulat) QSL (Total produksi kayu sah) QXKB (Ekspor kayu bulat) QMKB (Impor kayu bulat) PENAWARAN (Penawaran kayu bulat domestik) GAP (Selisih antara penawaran dan total permintaan)
6.3. Simulasi Skenario Kebijakan Sebagai Upaya Penurunan Gap Simulasi skenario kebijakan difokuskan pada dampak dari berbagai alternatif kebijakan di luar sub sektor kehutanan yang mungkin terjadi pada beberapa tahun mendatang, serta kebijakan di bidang kehutanan yang diperkirakan akan mampu memperbaiki situasi industri pengolahan kayu primer, terutama dari sisi penyeimbangan jumlah penawaran dan permintaan kayu bulat sebagai pasokan bahan baku untuk industri tersebut. 6.3.1. Kenaikan Upah sebesar 5% Secara umum kenaikan upah sebesar 5% akan berpengaruh negatif terhadap kinerja pasar kayu bulat Indonesia. Kenaikan upah ini berakibat pada penurunan luas tebangan, terutama pada hutan alam yang menurun 1.60%, sedangkan pada hutan rakyat luas penurunannya sebesar 0.55%, dan pada hutan tanaman penurunannya sebesar 0.50%. Penurunan luas tebangan ini berakibat
93
pada penurunan produksi kayu bulat, dimana total penurunan produksi mencapai 8.59%, yang terdiri atas penurunan pada produksi hutan alam sekitar 28.27%, hutan rakyat sekitar 1.51%, dan pada hutan tanaman sekitar 0.04% sebagaimana terlihat pada Tabel 28. Penurunan penawaran kayu bulat ini mengakibatkan kenaikan harga kayu bulat di pasar domestik sampai dengan 2.51%.
Kondisi ini menjadikan
permintaan terhadap kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer mengalami penurunan sampai 0.74%.
Lebih lanjut, penurunan penawaran dan kenaikan
harga kayu bulat tersebut berakibat pada penurunan produksi industri kayu gergajian dan kayu lapis, sedangkan industri pulp and paper cenderung tidak terpengaruh. Pada industri kayu gergajian, penurunan produksi mencapai 0.06%, sedangkan pada industri kayu lapis penurunan produksi mencapai 0.25%. Skenario kenaikan upah sebesar 5 % ini pada akhirnya mengakibatkan selisih antara penawaran dan permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan (timber supply and demand gap) mengalami peningkatan sampai dengan 21.96 %. 6.3.2. Penurunan Kapasitas Terpasang Industri Pengolahan Penurunan kapasitas terpasang industri pengolahan sebesar 20% akan menurunkan permintaan kayu bulat oleh industri sebesar 3.73%.
Industri
pengolahan pulp and paper akan menurunkan permintaan kayu bulat untuk bahan bakunya sebesar 6.63%, sedangkan industri kayu gergajian menurunkan permintaannya sebesar 3.28%, dan industri kayu lapis mengalami penurunan sebesar 0.08%. Penurunan permintaan terhadap kayu bulat ini ternyata tidak berakibat pada penurunan harga kayu bulat, hal ini diduga sebagai akibat dari
94
permintaan yang masih lebih besar dari pada penawaran (excess demand); sehingga masih terjadi kenaikan harga kayu bulat sebesar 0.03%. Penurunan permintaan terhadap kayu bulat juga berakibat pada penurunan luas tebangan, yang secara keseluruhan menurun sekitar 1.74%. Penurunan luas tebangan di hutan rakyat adalah yang terbesar, yaitu sebesar 2.40%, kemudian diikuti oleh hutan alam sekitar 1.94%, dan hutan tanaman sekitar 1.34%. Dari situasi ini terlihat bahwa perilaku harga kayu bulat lebih didominasi oleh perubahan yang terjadi pada sisi pasokan kayu bulat, dimana penurunan pasokan kayu bulat mendorong terjadinya kenaikan harga kayu tersebut. Skenario penurunan kapasitas industri pengolahan kayu hingga 20% akhirnya berakibat pada menurunnya gap antara penawaran dan permintaan kayu bulat sekitar 14.28%. 6.3.3. Kenaikan Suku Bunga 5% Dari hasil simulasi diperoleh kenyataan bahwa kenaikan suku bunga sebesar 5% berdampak pada penurunan permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer dan penawaran kayu bulat ke industri tersebut. Permintaan terhadap kayu bulat akan mengalami penurunan sebesar 1.21% dengan perincian, permintaan oleh industri kayu gergajian menurun sebesar 0.51%, industri pulp and paper sebesar 2.47%, kondisi sebaliknya untuk industri kayu lapis permintaan kayu bulat meningkat sebesar 0.13%. Dilihat dari sisi pasokan kayu bulat, secara total pasokan kayu bulat akan menurun sebesar 0.03 %. Skenario ini akan menurunkan gap antara pasokan dan permintaan kayu sebesar 4.64 %.
95
Tabel 28. Hasil Simulasi Kebijakan Upah, Nilai Tukar, Kapasitas Industri, dan Suku Bunga Persentase perubahan
Peubah Endogen
Kenaikan upah 5%
Depresiasi nilai tukar10%
Penurunan kapasitas 20%
Kenaikan suku bunga 5%
(1)
(2)
(3)
(4)
Kombinasi
(1)+(3)
(2)+(3)
(3)+(4)
(1)+(2) + (3)+(4)
LUASA
-1.60
0.01
-1.94
-0.84
-3.54
-1.94
-2.78
-4.37
LUASR
-0.55
0.01
-2.40
-0.78
-2.94
-2.39
-3.18
-3.71
LUAST
-0.50
0.10
-1.34
-3.34
-1.83
-1.23
-4.68
-5.07
QKBA
-28.27
0.00
0.02
0.02
-28.27
0.02
0.02
-28.27
QKBR
-1.51
0.01
-2.51
-0.82
-4.03
-2.50
-3.33
-4.83
QKBT
-0.04
0.13
0.00
0.00
-0.04
0.13
0.00
0.09
QKG
-0.06
0.00
-3.58
-0.55
-3.64
-3.58
-4.13
-4.20
QKL
-0.25
0.00
-0.21
0.37
-0.46
-0.21
0.16
-0.09
QPP
0.00
0.05
-13.77
-5.12
-13.77
-13.73
-18.89
-18.84
DIKG
-0.51
0.00
-3.28
-0.51
-3.79
-3.28
-3.76
-4.30
DIKL
-1.24
0.01
-0.08
0.13
-1.33
-0.07
0.04
-1.20
DIPP
-0.45
0.02
-6.63
-2.47
-7.07
-6.60
-9.09
-9.52
QXKB
0.33
12.95
0.00
0.00
0.33
12.95
0.00
13.28
QMKB
0.31
-7.16
-0.12
-0.04
0.18
-7.28
-0.16
-7.01
XKG
-2.91
2.41
-0.03
-0.01
-2.94
2.38
-0.04
-0.54
XKL
0.04
0.45
0.00
0.00
0.04
0.45
0.00
0.49
XPP
0.16
3.50
0.00
0.00
0.16
3.50
0.00
3.66
RPKBA
2.51
-0.01
0.03
0.01
2.53
0.02
0.03
2.52
RPKBR
0.04
0.00
0.05
0.02
0.08
0.05
0.07
0.10
RPKBT
-0.01
2.05
0.00
0.00
-0.01
2.05
0.00
2.04
RPKG
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
RPKL
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
RPPP LUAS TOT
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
-1.08
0.04
-1.74
-1.82
-2.82
-1.70
-3.56
-4.59
QSL
-8.59
0.04
-0.08
-0.03
-8.67
-0.04
-0.11
-8.65
QDKB
-0.74
0.01
-3.73
-1.21
-4.47
-3.71
-4.94
-5.67
GAP
21.96
-0.07
-14.28
-4.64
7.67
-14.36
-18.93
2.97
96
Dari simulasi gabungan tersebut di atas nampak bahwa pilihan terbaik untuk mendekatkan jumlah penawaran dengan permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu primer adalah dengan mengurangi kapasitas industri sebesar 20%, dan meningkatkan suku bunga sebesar 5%. Dari kebijakan ini diharapkan gap antara penawaran dan permintaan kayu bulat akan berkurang sekitar 18.93%. 6.3.4. Kenaikan Dana Reboisasi dan Iuran Hasil Hutan Berbagai wacana berkembang untuk meningkatkan pungutan atas produksi kayu bulat, dalam rangka meningkatkan pendapatan negara. Salah satu ide untuk itu adalah melalui penaikkan tingkat/tarif Dana Reboisasi (DR) dan Iuran Hasil Hutan (IHH). Dengan simulasi berikut, apabila pungutan Dana Reboisasi dan Iuran Hasil Hutan dinaikkan 20%, maka luas tebangan pada hutan alam akan menurun sekitar 3.49%, sedangkan pada hutan tanaman, kenaikan pungutan IHH tersebut akan menurunkan luas tebangan sekitar 0.59%. Penurunan luas tebangan ini berkonsekuensi pada penurunan produksi kayu bulat sekitar 5.35, sehingga gap antara permintaan kayu bulat oleh industri dengan jumlah kayu bulat yang ditawarkan dari produksi yang legal membesar sekitar 13.68%, sebagaimana terlihat pada Tabel 29 berikut.
97
Tabel 29. Simulasi Peningkatan Dana Reboisasi dan Iuran Hasil Hutan Tahun 2006-2010 DR & IHH Naik
(a) + Produksi naik 30%
(a)
(b)
(a) + Prodva naik 30% (b)
(a) + Kap turun 30%
(a) + Kenaikan upah dan suku bunga
(d)
(e)
(a) + (b) + (c) + (d) + (e)
LUASA
-3.49
-3.51
-3.63
-5.43
-5.34
-7.44
LUASR
-0.30
-0.17
0.40
-2.70
-1.08
-2.64
LUAST
-0.59
-0.48
-0.20
-1.92
-2.09
-2.93
QKBA
-10.73
-10.92
31.13
-10.73
-39.02
2.67
QKBR
-0.31
-0.18
0.42
-2.83
-2.07
-3.71
QKBT
-5.96
0.74
-5.96
-5.96
-6.01
0.70
QKG
-0.04
-0.02
0.05
-3.62
-0.27
-3.74
QKL
-0.15
-0.09
0.21
-0.37
-0.29
-0.07
QPP
-0.01
0.00
-0.01
-13.79
-1.55
-15.31
DIKG
-0.34
-0.20
0.42
-3.59
-0.99
-3.36
DIKL
-0.78
-0.44
1.07
-0.86
-1.98
0.11
DIPP
-0.28
-0.16
0.37
-6.91
-1.46
-7.32
QXKB
0.21
0.12
-0.28
0.21
0.54
-0.04
QMKB
0.19
0.11
-0.26
0.07
0.49
-0.17
XKG
-1.81
-1.03
2.47
-1.84
-4.73
0.31
XKL
0.03
0.01
-0.04
0.03
0.07
0.00
XPP
0.10
0.06
-0.14
0.10
0.26
-0.02
RPKBA
1.57
0.89
-2.12
1.58
4.07
-0.27
RPKBR
0.01
0.01
-0.01
0.06
0.04
0.08
RPKBT
-0.57
0.07
-0.57
-0.57
-0.57
0.06
RPKG
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
RPKL
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
RPPP
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
LUASTOT
-2.08
-2.04
-1.94
-3.83
-3.71
-5.27
QSL
-5.35
-3.04
7.29
-5.43
-13.95
0.93
QDKB
-0.47
-0.26
0.63
-4.19
-1.57
-4.00
GAP
13.68
7.78
-18.65
-0.61
34.24
-18.27
98
6.3.5. Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman Kebijakan yang diarahkan untuk meningkatan produktivitas hutan tanaman sebesar 30% akan meningkatkan produksi kayu hutan tanaman sebesar 6.70% sehingga secara total penawaran kayu bulat akan meningkat sebesar 2.32%.
Peningkatan penawaran ini akan mendorong harga kayu bulat turun
sebesar 0.67% sebagaimana terlihat pada Tabel 30. Tabel 30.
Peubah endogen LUASA LUASR LUAST QKBA QKBR QKBT QKG QKL QPP DIKG DIKL DIPP QXKB QMKB XKG XKL XPP RPKBA RPKBR RPKBT RPKG RPKL RPPP LUASTOT QSL QDKB GAP
Simulasi Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman di Indoneisa Tahun 2006-2010
Produktivitas hutan tanaman naik 30 % (a) -0.02 0.13 0.10 -0.17 0.14 6.70 0.02 0.07 0.01 0.14 0.34 0.13 -0.09 -0.08 0.78 -0.01 -0.04 -0.67 0.00 0.64 0.00 0.00 0.00 0.04 2.32 0.20 -5.89
Persentase perubahan (a) + Upah dan suku (a)+ Upah dan suku (a)+ Upah naik; bunga naik; bunga naik Kapasitas Suku bunga Kapasitas terpasang terpasang industry turun naik turun 30% 20% -2.46 -4.40 -3.75 -1.19 -3.59 -2.79 -3.74 -5.08 -4.63 -28.46 -28.44 -28.44 -2.19 -4.71 -3.87 6.66 6.66 6.66 -0.60 -4.18 -2.99 0.19 -0.02 0.05 -5.10 -18.88 -14.28 -0.88 -4.16 -3.05 -0.78 -0.87 -0.84 -2.78 -9.41 -7.20 0.24 0.25 0.24 0.18 0.06 0.10 -2.14 -2.16 -2.15 0.03 0.03 0.03 0.12 0.12 0.12 1.84 1.87 1.86 0.04 0.10 0.08 0.63 0.63 0.63 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -2.85 -4.60 -4.02 -6.30 -6.38 -6.36 -1.75 -5.48 -4.23 11.42 -2.86 1.91
99
Penurunan harga kayu bulat ini akan meningkatkan permintaan terhadap kayu bulat oleh industri pengolahan sebesar 0.20%. Seiring dengan itu, permintaan kayu bulat tersebut akan meningkatkan produksi kayu olahan, dimana produksi kayu gergajian bertambah sekitar 0.02%, peningkatan produksi kayu lapis sekitar 0.07%, sedangkan produksi pulp and paper akan meningkat sebesar 0.01%. Dengan kebijakan ini, maka gap antara penawaran dan permintaan kayu bulat bisa dikurangi sekitar 5.89%. 6.3.6. Peningkatan Produktivitas Hutan Alam Peningkatan produktivitas hutan alam melalui penyempurnaan teknik silvikultur diharapkan akan mendorong peningkatkan produksi kayu dari hutan alam sebagaimana terlihat pada Tabel 31. Peningkatan yang terjadi diduga sebagai akibat dari adanya penurunan kelas diameter kayu yang diperbolehkan ditebang. Sistem TPTI batas minimum diameter yang boleh ditebang sebesar 50 cm sedangkan pada sistem TPTII (silvikultur intensif) batas minimum diameter adalah 40 cm. Skenario ini meningkatkan produktivitas hutan alam sebesar 41.86%; adapun produksi kayu bulat hutan rakyat naik sebesar 0.74%, dan produksi kayu dari hutan tanaman relatif tidak terpengaruh. Peningkatan produktivitas hutan alam ini, disertai dengan penurunan luas tebangan dari hutan alam sebesar 0.14%. Sebaliknya, luas tebangan dari hutan rakyat dan hutan tanaman meningkat masing-masing sebesar 0.70% dan 0.39% (Tabel 31). Peningkatan pasokan kayu bulat ini akan menekan harga kayu bulat dari hutan alam sebesar 3.68% dan kayu dari hutan rakyat sebesar 0.01%. Sementara harga kayu hutan tanaman tidak berubah. Selanjutnya, penurunan harga kayu
100
bulat tersebut akan meningkatkan permintaan terhadap kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer, yaitu sekitar 0.74% pada industri kayu gergajian, dan sekitar 1.85% pada kayu lapis, sedangkan pada industri pulp and paper hanya sekitar 0.64%. Tabel 31. Simulasi Peningkatan Produktivitas Hutan Alam di Indonesia Tahun 2006-2010
Peubah
Produktivitas hutan alam naik 20% (a)
Persentase Perubahan (a) + Upah dan suku bunga naik, (a)+ Upah naik, Kapasitas Suku bunga naik terpasang turun 20%
(a)+ Upah dan suku bunga naik Kapasitas terpasang indstri turun 20%
LUASA
-0.14
-2.57
-4.51
-3.87
LUASR
0.70
-0.62
-3.02
-2.22
LUAST
0.39
-3.45
-4.79
-4.34
QKBA
41.86
13.60
13.60
13.60
QKBR
0.74
-1.59
-4.11
-3.27
QKBT
0.00
-0.04
-0.04
-0.04
QKG
0.09
-0.52
-4.10
-2.91
QKL
0.37
0.49
0.27
0.35
QPP
0.00
-5.12
-18.89
-14.30
DIKG
0.74
-0.28
-3.53
-2.43
DIKL
1.85
0.73
0.63
0.66
DIPP
0.64
-2.26
-8.89
-6.68
QXKB
-0.49
-0.16
-0.15
-0.15
QMKB
-0.45
-0.19
-0.31
-0.27
XKG
4.28
1.36
1.33
1.34
XKL
-0.06
-0.02
-0.02
-0.02
XPP
-0.24
-0.08
-0.07
-0.07
RPKBA
-3.68
-1.17
-1.15
-1.15
RPKBR
-0.01
0.04
0.08
0.07
RPKBT
0.00
-0.01
-0.01
-0.01
RPKG
0.00
0.00
0.00
0.00
RPKL
0.00
0.00
0.00
0.00
RPPP
0.00
0.00
0.00
0.00
LUASTOT
0.14
-2.75
-4.49
-3.91
12.65
4.03
3.95
3.97
1.09
-0.86
-4.59
-3.35
-32.33
-15.00
-29.28
-24.53
QSL QDKB GAP
101
Skenario peningkatan produksi kayu dan pemanfaatan kayu dalam sistem silvikultur intensif pada hutan alam ini menjadikan gap antara penawaran dan permintaan kayu oleh industri pengolahan akan menurun sebesar 32.33%. Penurunan gap ini merupakan penurunan yang terbesar dibandingkan dengan apaapabila peningkatan produksi kayu hutan alam ini dikombinasikan dengan skenario yang lain. 6.3.7. Peningkatan Luas Tebangan Hutan Rakyat Secara umum peningkatan luas tebangan hutan rakyat sebesar 10% akan meningkatkan produksi kayu bulat hutan rakyat sebesar 9.27%, dan secara total (Tabel 32). Namun, peningkatan pasokan ini akan menurunkan harga kayu bulat, meskipun penurunan ini hanya sekitar 0.09% untuk harga kayu dari hutan alam, dan sekitar 0.18% untuk kayu dari hutan rakyat. Sementara harga kayu bulat dari hutan tanaman tidak terpengaruh. Tabel 32.
Variabel LUASA
Simulasi Peningkatan Luas Tebangan Hutan Rakyat di Indonesia Tahun 2006-2010 Persentase Perubahan
Variabel
Persentase Perubahan
0.00
XKG
LUASR
20.0
XKL
0.00
LUAST
0.01
XPP
-0.01
QKBA
-0.02
RPKBA
-0.09
QKBR
9.27
RPKBR
-0.18
QKBT
0.00
RPKBT
0.00
QKG
0.00
RPKG
0.00
QKL
0.01
RPKL
0.00
QPP
0.00
RPPP
0.00
DIKG
0.00
LUASTOT
0.74
DIKL
0.05
QSL
0.30
DIPP
0.02
QDKB
0.03
QXKB
-0.01
QMKB
-0.01
GAP
0.10
-0.77
102
Penurunan harga kayu bulat ini akan meningkatkan permintaan terhadap kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer sebesar 0.03%, dengan perincian permintaan oleh industri kayu lapis meningkat 0.05%, dan kenaikan permintaan oleh industri pulp and paper sebesar 0.02%. Sementara untuk industri kayu gergajian tidak mengalami perubahan. Skenario ini dapat menurunkan gap antara pasokan dan permintaan kayu bulat sebesar 0.77%. Efektifitas yang rendah dari peran hutan rakyat tersebut belum mencerminkan kondisi yang sebenarnya sebagai akibat dari data produksi kayu dan luasan hutan rakyat yang tidak tercatat dengan baik. 6.3.8. Skenario Kombinasi Peningkatan Produktivitas dengan Variasi Kebijakan lain. Dampak skenario kebijakan yang diuraikan di atas terlihat bahwa penurunan gap tersebut akan lebih efektif apabila ada upaya yang lebih dalam peningkatan produksi kayu bulat dari berbagai sumber. Di samping itu juga pendekatan penurunan gap melalui perbaikan industri pengolahan kayu primer sebagai konsumen utama kayu bulat. Untuk mempercepat penurunan gap tersebut maka dikembangkan skenario yang menggabungkan dari sisi penawaran dan permintaan kayu bulat, dampak skenario tersebut disajikan pada Tabel 33. Dari sisi permintaan, penurunan kapasitas industri pengolahan mampu menurunkan
kesenjangan
penawaran
dan
permintaan
kayu
bulat,
tapi
efektifitasnya lebih rendah dibandingkan dengan skenario dari sisi penawaran. Efektifitas skenario ini akan menurun apabila dikombinasikan dengan skenario yang lain, yaitu penurunan suku bunga dan IHH/DR tetap. Hal ini tidak sesuai dengan harapan, yang diakibatkan antara lain oleh pengaruh yang tidak nyata dari
103
suku bunga. Di samping itu adanya pengaruh besaran magnitud dari peubah endogen yang disimulasikan dalam sistem persamaan simultan. Tabel 33. Ringkasan Kombinasi Skenario Peningkatan Produktivitas Hutan Alam 20%, Hutan Tanaman 30%, Penurunan Kapasitas Terpasang, Suku Bunga dan IHH/DR.
Variable
Suku bunga turun 5% IHH/DR tetap
Kapasitas Terpasang Turun 30% Suku bunga turun Suku bunga tetap 5% IHH/DR naik 10%
IHH/DR naik 10%
Suku bunga tetap IHH/DR tetap
LUASA
-1.04
-2.71
-3.46
-1.80
LUASR
-0.70
-0.85
-1.59
-1.44
LUAST
2.70
2.39
-1.19
-0.83
QKBA
36.11
31.04
31.04
36.11
QKBR
-0.72
-0.86
-1.62
-1.48
QKBT
7.55
4.27
4.27
7.55
QKG
-2.95
-2.97
-3.51
-3.49
QKL
-0.15
-0.23
0.12
0.20
QPP
-8.66
-8.67
-14.17
-14.16
DIKG
-2.00
-2.17
-2.68
-2.51
DIKL
1.83
1.44
1.56
1.95
DIPP
-3.23
-3.38
-5.92
-5.77
QXKB
-0.62
-0.50
-0.50
-0.62
QMKB
-0.64
-0.53
-0.58
-0.68
XKG
6.43
5.19
5.18
6.42
XKL
-0.07
-0.05
-0.05
-0.07
XPP
-0.30
-0.24
-0.24
-0.30
RPKBA
-4.51
-3.64
-3.63
-4.50
RPKBR
0.01
0.02
0.04
0.03
RPKBT
0.68
0.39
0.39
0.68
LUASTOT
0.29
-0.77
-2.51
-1.45
QSL
14.24
11.50
11.48
14.21
QDKB
-1.13
-1.37
-2.58
-2.34
-49.56
-41.94
-46.88
-54.50
GAP
104
Kombinasi skenario sisi penawaran dan permintaan mampu meningkatkan efektifitas penurunan kesenjangan antara penawaran dan permintaan, seperti disajikan pada Tabel 33.
Terlihat bahwa kesenjangan antara penawaran dan
permintaan akan menurun dengan tajam apabila skenario sisi penawaran dan permintaan digabung.
Lebih jauh, efektifitas penurunan gap akan menurun
apabila Iuran Hasil Hutan (IHH)/ Dana reboisasi (DR) dinaikan. Seperti diuraikan pada bagian sebelumnya, bahwa kenaikan IHH/DR justru malah meningkatkan kesenjangan antara penawaran dan permintaan kayu bulat, sebagai akibat dari penurunan produksi kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanaman. 6.4. Ringkasan Hasil Simulasi Berdasarkan hasil simulasi tersebut di atas, upaya penurunan kesenjangan antara penawaran dan permintaan kayu, dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu dari sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran upaya penurunan kesenjangan dapat dilakukan melalui peningkatan produktifitas hutan alam dan hutan tanaman serta perluasan luas tebangan hutan rakyat. Sementara dari sisi permintaan, kesenjangan penawaran dan permintaan dapat dikurangi dengan penurunan kapasitas pabrik dari industri primer hasil hutan. Dari sisi penawaran, peningkatan produktivitas hutan alam sebesar 20% mampu menurunkan gap sebesar 32.33%.
Efektifitas kebijakan ini akan
berkurang apabila dikombinasikan dengan skenario lain seperti kenaikan upah dan tingkat suku bunga. Dimana pengaruh dari upah dan tingkat suku bunga justru menurunkan kemampuan produksi dari hutan alam, hutan tanaman dan hutan rakyat.
Meskipun dari sisi industri, kenaikan upah dan suku bunga juga
105
menurunkan produksi industri, tetapi penurunannya tersebut relatif lebih kecil dibandingkan dengan penurunan produksi kayu bulat. Sejalan dengan dampak peningkatan produktifitas hutan alam, peningkatan produktifitas hutan tanaman juga menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu berdampak pada semakin kecilnya kesenjangan antara penawaran dan permintaan kayu bulat, meskipun penurunannya lebih kecil dibandingkan dengan hutan alam. Kombinasi dengan skenario lain, kenaikan upah dan tingkat suku bunga menurunkan efektifitas penurunan kesenjangan penawaran dan permintaan. Peningkatan luas tebangan hutan rakyat juga mampu menurunkan kesenjangan penawaran permintaan kayu bulat, tetapi dampaknya masih sangat kecil. Hal ini dimungkinkan oleh masih sedikitnya volume kayu yang berasal dari hutan rakyat yang tercatat dan digunakan oleh industri pengolahan kayu primer. Disamping itu sistem pencatatan atau penatausahaan kayu rakyat belum tertata dengan baik, sehingga memungkinkan lebih banyaknya produksi kayu rakyat yang tidak tercatat. Efektifitas penurunan gap akan semakin meningkat apabila kebijakan peningkatan produksi kayu bulat dilakukan secara simultan atau dengan mengkombinasikan peningkatan produksi kayu dari hutan alam, hutan tanaman dan hutan rakyat dengan: 1) penurunan kapasitas industri primer pengolahan kayu, 2) suku bunga tetap, dan 3) IHH/ DR tetap.
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Hasil analisis penawaran dan permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu primer di Indonesia untuk periode 1980 hingga 2005 diperoleh beberapa kesimpulan mengenai perilaku ekonomi, serta kecenderungan yang akan terjadi bila ada perubahan kebijakan.
Perubahan kebijakan dimaksud adalah
kebijakan di bidang kehutanan dan industri pengolahan kayu primer, maupun kebijakan lain yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kinerja penawaran dan permintaan kayu bulat. 7.1. Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang terkait dengan perilaku penawaran dan permintaan kayu bulat untuk bahan baku industri pengolahan kayu primer adalah sebagai berikut: 1. Keputusan produsen untuk menentukan luas tebangan pada hutan alam untuk produksi kayu bulat selain dipengaruhi oleh pengalaman tebangan pada tahun sebelumnya, juga sangat dipengaruhi oleh permintaan kayu bulat oleh industri, harga kayu itu sendiri, dan tingkat upah.
Namun
demikian, respon produsen terhadap perubahan pada ketiga peubah itu tidak elastis. Pada hutan tanaman penentuan luas tebangan dipengaruhi oleh total permintaan kayu bulat, harga riil kayu bulat dari hutan tanaman, dan tingkat suku bunga pinjaman. Sedangkan pada penentu luas tebangan hutan rakyat adalah besarnya permintaan terhadap kayu mereka. 2. Produksi kayu bulat dari hutan alam selain terpengaruh oleh produksi
107
tahun sebelumnya, produktivitas hutan alam, upah riil dan iuran hasil hutan riil.
Produksi kayu bulat dari hutan tanaman dipengaruhi oleh
produksi tahun sebelumnya, produktivitas hutan tanaman dan besarnya Iuran Hasil Hutan. Sementara untuk produksi kayu dari hutan rakyat dipengaruhi oleh luas tebangan. 3. Dari sisi harga, harga kayu bulat hutan alam selain dipengaruhi harga kayu tahun sebelumnya juga dipengaruhi harga riil kayu gergajian domestik dan harga kayu bulat dunia. Hal ini menunjukkan bahwa kayu bulat hutan alam lebih cenderung terkait dengan industri gergajian dan orientasi ekspor kayu bulat. Preferensi untuk ekspor ini juga terjadi dengan kayu bulat dari hutan tanaman.
Sementara tingkat harga yang diterima oleh rakyat
cenderung berdasarkan pada harga kayu bulat yang diterima rakyat pada periode sebelumnya. 4. Permintaan kayu bulat untuk industri kayu gergajian cenderung naik dari waktu ke waktu dan terpengaruh oleh pengalaman permintaan pada tahun sebelumnya, produksi kayu gergajian, harga kayu gergajian dunia, dan harga kayu bulat hutan alam. Pengaruh dari peubah-peubah tersebut dalam jangka pendek tidak elastis, tetapi dalam jangka panjang mempunyai respon yang elastis. 5. Permintaan kayu bulat oleh industri kayu lapis selain dipengaruhi oleh realisasi permintaan tahun sebelumnya, juga sangat dipengaruhi oleh harga kayu bulat dari hutan alam dan harga kayu lapis dunia. Sedangkan permintaan kayu bulat oleh industri pulp selain merujuk pada pengalaman
108
permintaan periode sebelumnya, juga dipengaruhi oleh harga bahan baku kayu bulat hutan alam dan harga pulp sendiri. 6. Ekspor kayu bulat selain dipengaruhi oleh kinerja ekspor tahun sebelumnya, juga dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika. Berlawanan dengan ekspor, impor kayu bulat dari luar negeri akan menurun apabila nilai tukar Rupiah naik, dalam hal ini harga kayu bulat dari luar negeri menjadi lebih mahal apabila dibayar dengan Rupiah. 7. Dari hasil simulasi, kenaikan upah sebesar 5% mengakibatkan penurunan luas tebangan secara total sebesar 0.36% dan dampak ini paling terasa pada hutan alam.
Dampak penurunan luas tebangan tersebut adalah pada
penurunan produksi kayu bulat sebesar 3.68%. Lebih lanjut penurunan total produksi ini berdampak pada penambahan selisih atau gap penawaran dan permintaan kayu bulat sampai dengan 37.51%. 8. Kebijakan penurunan kapasitas industri sebesar 20% akan menekan permintaan terhadap kayu bulat sebesar 2.66%. Penurunan permintaan ini berakibat pada penurunan pasokan kayu bulat sebesar 0.55%, dan pada akhirnya gap penawaran dan permintaan berkurang sebesar 32.81%. 9. Kebijakan moneter untuk menaikan suku bunga sebesar 5 %, akan berdampak pada penurunan aktivitas produksi di industri pengolahan kayu primer. Hal ini diindikasikan oleh penurunan permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer sebesar 1.19 %, yang pada akhirnya mengurangi gap penawaran dan permintaan sebesar 14.69 %.
109
10. Jika terjadi kenaikan upah sebesar 5% dan penurunan kapasitas industri, akan terjadi penurunan produksi industri pengolahan kayu primer. Industri gergajian menurunkan produksinya sebesar 3.54%, industri pulp menurunkan produksinya sebesar 30.22%, sementara industri kayu lapis menaikan produksinya sebesar 0.12%. Penurunan produksi tersebut berakibat pada berkurangnya gap penawaran dan permintaan sebesar 47.52%. 11. Apabila pemerintah mendorong peningkatan produktivitas hutan alam sebesar 20% melalui implementasi SILIN, maka kebijakan tersebut akan mendorong pasokan kayu bulat dari hutan alam sebesar 15.92%. Secara total produksi kayu bulat akan meningkat sebesar 8.54%. Peningkatan produktivitas ini mengurangi gap penawaran dan permintaan sebesar 86.95%. Apabila kebijakan tersebut dikombinasikan dengan pengurangan kapasitas industri sebesar 30% serta upah dan suku bunga masing-masing naik 5 %, gap penawaran dan permintaan akan menurun sebesar 96.98%. 7.2. Implikasi Kebijakan Dari hasil proyeksi untuk periode 2006-2010 terhadap kebutuhan kayu bulat untuk industri dan pasokan kayu bulat menunjukkan terjadinya gap antara keduanya sekitar 6 juta m3 apabila tidak ada intervensi atau business as usual. Dampak beberapa skenario kebijakan adalah sebagai berikut: 1. Apabila terjadi kenaikan upah sebesar 5% akan menambah besaran gap sebesar 21.96%. Implikasi yang harus dipersiapkan kebijakan untuk
110
meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan atau mengefisienkan biaya operasional, baik di hulu maupun hilir. 2. Apabila
ada kebijakan pengurangan kapasitas terpasang
industri
pengolahan kayu primer sebesar 20% akan menurunkan permintaan kayu bulat oleh industri sebesar 3.73% yang akan mengecilkan gap penawaran dan permintaan sebesar 14.28%. Hal ini mengindikasikan diperlukannya optimalisasi pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam, hutan tanaman dan hutan rakyat. Dalam jangka panjang, untuk dapat mempertahankan kapasitas terpasang yang ada maka diperlukan percepatan pembangunan hutan tanaman, hutan rakyat dan silvikultur intensif. 3. Kebijakan yang diarahkan untuk meningkatkan produktivitas hutan tanaman sebesar 30% akan meningkatkan produksi kayu hutan tanaman sebesar 6.70% sehingga secara total penawaran kayu bulat akan meningkat sebesar 2.32%.
Dengan kebijakan ini, gap antara penawaran dan
permintaan kayu bulat berkurang sebesar 5.89%. digunakan
untuk
perluasan
industri
primer
Kebijakan ini dapat dan
lanjutan
yang
memanfaatkan kayu dari hasil hutan tanaman. 4. Peningkatan produktivitas hutan alam mendorong peningkatan produksi kayu dari hutan alam sebesar 41.86%.
Kebijakan untuk mendukung
peningkatan produktivitas hutan alam ini apabila disertai dengan kebijakan penurunan kapasitas industri sebesar 30% aka menjadikan gap menurun sebesar 32.33%, meskipun terjadi kenaikan suku bunga dan tingkat upah masing-masing sebesar 5%. Pengurangan gap tersebut masih sangat kecil, karena besaran gap masih sekitar 4 juta m3, sehingga masih
111
memungkinkan terjadinya illegal logging yang merugikan kelestarian sumberdaya hutan dan keamanan lingkungan. 5. Untuk terus mengurangi gap tersebut, pemerintah dapat mengupayakannya melalui kebijakan percepatan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pada kawasan hutan produksi yang sudah tidak dibebani hak (HPH/HTI).
Pola HTR ini dapat dipersamakan dengan hutan rakyat,
dimana pohon berkayu merupakan sisipan di antara tanaman pangan dalam pola pemanfaatan tanah masyarakat. Upaya pengembangan hutan rakyat ini diharapkan dapat mempercepat upaya penurunan gap penawaran dan permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer. Kebijakan pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dapat dilakukan pada kawaan hutan produksi yang sudah tidak dibebani hak HPH/HTI. Pola HTR ini apabila dipersamakan dengan hutan rakyat, dimana pohon berkayu merupakan tanaman sisipan diantara tanaman pangan dalam pola pemanfaatan lahan oleh masyarakat. Dengan pola ini akan mempunyai produktivitas sebesar 0.18 m3 per hektar, sehingga apabila target luas pembangunan HTR sampai dengan tahu 2014 sekitar 5.4 juta hektar, maka pola ini menyumbang pasokan kayu sekitar 1 juta m3.
Penambahan
pasokan ini masih kurang memadai dalam menyelesaikan masalah gap antara penawaran dan permintaan kayu bulat, apalagi apabila hal ini dihubungkan dengan adanya kecenderungan meningkatnya minat investasi di pulp and paper dan wood working. Untuk itu perlu ditempuh kebijakan untuk mengutamakan tanaman berkayu pada areal HTR dan untuk itu perlu dihitung kemungkinan memberikan kompensasi bagi peserta HTR untuk
112
peluang ekonomi yang hilang (opportunity cost) apabila mereka tidak mengurangi cash crops pada areal HTR-nya, yang sangat diperlukan bagi kehidupan mereka. 6. Kebijakan lain yang diperlukan dalam mendorong pembangunan HTR adalah a) menyederhanakan prosedur yang memungkinkan masyarakat bisa memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan, dan b) pemberian akses yang memadai pada kredit pendanaan melalui berbagai skim yang tepat, termasuk memberi kemungkinan insentif pada peserta HTR yang akan menanam jenis-jenis kayu keras (hardwood), dimana saat ini Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan Tanaman baru yang memprioritaskan pada kredit pembangunan hutan tanaman jenis fast growing species dengan menggunakan PPPH. 7. Minimalisasi gap antara penawaran dan permintaan kayu bulat dapat tercapai melalui silvikultur intensif. Hal ini dapat dikembangkan dalam bentuk penerapan multi-system silviculture yang akan meminimumkan biaya dan memaksimumkan produksi kayu bulat secara spesifik pada tiap areal kerja pengusahaan hutan sesuai dengan keragaman kondisi biofisik areal tersebut. 8. Peningkatan produksi kayu bulat per satuan luas sebagaimana diuraikan di atas diharapkan akan memungkinkan menerapkan kenaikan pajak dan pungutan.
Namun demikian penerapan kenaikan pajak dan pungutan
harus dalam batas-batas yang tidak mengganggu sistem produksi.
113
9. Di sisi permintaan, pengurangan gap penawaran dan permintaan kayu bulat dapat ditempuh melalui kebijakan penerapan ketentuan penggunaan teknologi pengolahan kayu yang efisien, yang diperlukan untuk mengimbangi kenaikan biaya produksi yang sangat dipengaruhi oleh tingkat upah yang cenderung selalu bergerak naik. Kebijakan ini perlu ditekankan pada aplikasi/permohonan unit-unit industri baru. 10. Efektifitas kebijakan penurunan kesenjangan penawaran dan permintaan akan meningkat apabila kebijakan yang diimplementasikan adalah melihat secara komprehensif, baik sisi penawaran maupun permintaan. Selain itu kebijakan yang berkaitan dengan kenaikan upah, penurunan suku bunga, dan
kenaikan
IHH/DR
akan
menurunkan
efektifitas
penurunan
kesenjangan penawaran dan permintaan kayu bulat. 8.3. Saran-saran 1. Penelitian sebagaimana dilaporkan pada disertasi ini akan lebih sempurna apabila diteruskan dengan penelitian lanjutan yang melibatkan hal-hal yang belum tercakup pada penelitian ini, sebagaimana diuraikan pada sub bab 1.5.
hal penting yang perlu dicakup antara lain produksi wood
working, meubelair, dan jenis-jenis panel kayu lainnya selain kayu lapis (meskipun berbagai pendapat menyatakan bahwa industri panel kayu sedang mengalami sunset). 2. Pada
penelitian
lanjutan
perlu
dipertimbangkan
pula
adanya
kecenderungan pemasukan bahan-bahan komplementer selain kayu pada
114
komposisi bahan baku industri pengolahan kayu primer, terutama pada kayu lapis dan pulp and paper. 3. Untuk mendukung penelitian lanjutan diperlukan pembenahan pangkalan data di setiap unit kerja pemerintah maupun perusahaan swasta, baik melalui kegiatan pembaruan dan penyempurnaan (up dating), maupun validasi dan rekonsiliasi data yang ada.
115
DAFTAR PUSTAKA
Adams, M., and J. Castano. 2002. World Timber Supply and Demand Scenario, Government Interventions, Issues and Problems. FAO Proceeding of the International Conference on the Timber Plantation Development, Rome. Badan Planologi Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia 2006. Departemen Kehutanan, Jakarta. Barr, B.M. 1979. Soviet Timber: Regional Supply and Demand 1970-1990. ARCTIC, 32(4): 308-328. Barr, C., I.A. Resosudarmo, A. Dermawan and J. McCarthy. 2006. Decentralization of Forest Administration in Indonesia: Implication for Forest Sustainability, Economic Development and Community Livelihood. Center for international Forestry Research (CIFOR), Bogor. Brown, K. and D. W. Pearce. 1994. The Cause of Tropical Deforestatation: The Economic and Statistical Analysis of Factors Giving Rise to The Loss of Tropical Forests. University College London Press Ltd, London. Chang, J.S. and I. Jen. 1986. An Analysis of the Timber Suuply and Demand Situation in Taiwan. Taiwan Journal of Forest Science,Taipei. Food and Agriculture Organization. 2005. State of the Forest 2005. Food and Agricultural Organization. Rome. _____________________________. 2008. FAOSTAT Database. http://faostat.fao.org/site/628/ Desktop Default.aspx?PageID=628 Gadas, S.R. 2002. Restructuring the Forest Industry in Indonesia. Center for Social Economic Research in Forestry, Bogor. Gregory, G.R. 1987. Resource Economics for Foresters. John Wiley and Sons Inc, Canada. In-House Experts Working Group. 2007. Roadmap to Revitalization of Indonesian Forest Industry. Ministry of Forestry, Jakarta. ITTO’s national Counsultant and Researchers. 2005. Strategies for the Development of Sustainable Wood-Based Industries in Indonesia: Integrated Strategies and Action. Ministry of Forestry, Jakarta.
116
Justianto, A. 2005. Dampak Kebijakan Pembangunan Kehutanan Terhadap Pendapatan Masyarakat Miskin di Kalimantan Timur: Suatu Pendekatan Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Koutsoyianis. 1978. Theory of Econometric. 2nd edition. The McMillan Press Ltd, London. Krugman, P.R. and Obsfeld. 1991. International Economics: Theory and Policy. 2nd edition. Harper and Collins Publisher, New York. Manurung, E.G.T. 1995. Economic Impacts of the Log Export Ban Policy on the Development of Forest Product Industry in Indonesia. PhD Dissertation. University of Wisconsin, Madison. Multi-Client Studies. 1998. The Global of Timber Supply or Demand Balance to 2030: Has the Equation Change?. Wood Resources International Ltd. Bothell. Nasendi, B.D.1997. Modelling the Demand and Supply Balance in Tropical Timber Towards Sustainable Forest Development: an Indonesian Model. Forest Product and Forestry Socio-Economic Research and Development Center, Bogor. Ngadiono. 2004. 35 Tahun Pengelolaan Hutan di Indonesia: Refleksi dan Prospek. Yayasan Adi Sanggoro, Bogor. Pindyck, R.S. and Rubinfeld, D.L.2001. Micro Economics. 5th Edition. Prentice Hall International Inc, London. Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan. 2005. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2005. Badan Planologi Kehutanan, Jakarta. Richard, H., D. Adam, R. Alig, D. Brooks, I. Durbak, J. Howard, P. Ince, D. McKeever, J. Mills, K. Skog and X. Zhou. 2000. Projection of the US Timber Supply and Demand Situation to 2050-Draft Findings from USDA Forest Service 2000 Timber Assessment. Proceedings Society of American Foresters 2000 National Convention, Washington, DC. Salvatore, D. 2004. International Economics. 8th Edition. John Wiley and Sons Inc, New York. Santoso, I. dan Christanto. 2003. Study on Discrepancy of Forest: Product Trade Statistic in Indonesia. Forestry Booklet 2003. Ministry of Forestry, Jakarta. _____________________. 2008. Perjalanan Desentralisasi Urusan Kehutanan di Indonesia. the International Seminar on Decentralization of Natural Resource Management in Indonesia, Universitas Katholik Atma Jaya, Jakarta.
117
Seno, A. 2008. Profil Industri Hasil Hutan Indonesia. Departemen Perindustrian Republik Indonesia, Jakarta. Sinaga, B.M. 1989. Econometric Model of the Indonesian Hardwood Product Industry: a Policy Simulation Analysis. Dissertation. University of the Philippines Los Banos, Los Banos. Solberg, B. and Moiseyev, A. 1997. Demand and Supply Analyses of Roundwood and Forest Products Market in Europe - Overview of Present Studies. Proceedings of the 1st Workshop on the Concerted Action project AIR3CT942288, Helsinki. Sukmananto, B. 2007. Dampak Kebijakan Perdagangan Terhadap Kinerja Ekspor Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tissari, Y. and S. Astana. 2004. Strategies for the Development of Sustainable Wood-Based Industries in Indonesia: Technical Report International Market Analysis. Ministry of Forestry, Jakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 .1990. Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Jakarta ____________________________________ Tanaman, Jakarta
24.
1992.
Sistem
Budidaya
Waggener, T. 2004. Strategies for the Development of Sustainable Wood-Based Industries in Indonesia: Log Supply Capacity. Ministry of Forestry, Jakarta.
Lampiran 1. Data-data Dalam Proses Estimasi Model Ekonometrika Tahun 1980-2005 Tahun
Kayu Bulat (000 m3)
Luas tebangan (000 Ha) LUASA
LUAST
LUASR
QKBA
QKBT
QKBR
QIPK
QKBTOT
QXKB
QMKB
1980 1981
1205.55 1139.05
219.41 207.30
52.68 33.37
14950.90 9469.20
2291.61 1451.40
658.53 417.08
7289.38 4616.75
25190.43 15954.43
16313.80 6956.90
0.00 0.00
1982 1983
1076.21 1016.83
195.86 185.06
27.98 31.81
7939.16 9026.53
1216.88 1383.55
349.69 397.59
3870.77 4400.93
13376.51 15208.59
3523.70 3490.20
0.00 0.00
1984
960.74
174.85
33.37
9471.10
1451.69
417.17
4617.68
15957.64
2020.50
0.00
1985
907.73
165.20
30.43
8636.77
1323.81
380.42
4210.90
14551.89
197.70
0.00
1986
857.66 810.34 730.89
156.09
41.32
11726.85
1797.44
516.52
5717.48
19758.29
225.40
0.00
147.48 139.34
57.65 58.06
16360.44 16476.10
2507.66 2525.39
720.62 725.71
7976.61 8033.00
27565.32 27760.20
208.90 168.60
0.00 6.00
726.10
131.66 169.87
46.67 54.64
13244.77 15507.29
2030.10 2376.89
583.38 683.04
6457.55 7560.65
22315.80 26127.87
67.90 45.68
10.00 61.23
1987 1988 1989 1990 1991
722.88 690.83
213.99
49.80
14131.46
2166.01
622.44
6889.86
23809.76
135.95
31.21
1992 1993
730.42 720.56
234.85 373.61
54.48 56.15
15460.78 15934.70
2369.76 2442.40
680.99 701.87
7537.97 7769.04
26049.50 26848.01
121.84 42.52
67.95 59.42
1994
672.57
296.79
11.05
17308.74
1871.74
138.11
4708.70
24027.28
44.87
89.09
1995
680.41 728.38
326.45
9.99
16943.93
2383.05
124.88
5398.20
24850.06
30.00
145.10
390.04 272.38
54.56 101.32
15268.13 15597.55
2097.81 2247.19
682.01 1266.46
8021.33 10038.23
26069.28 29149.42
20.20 45.10
127.90 119.00
1996 1997 1998
634.25 511.80
50.31
10179.41
2162.55
628.82
6056.17
19026.94
125.10
165.00
138.66
71.63
10373.93
2078.73
895.37
7271.91
20619.94
264.70
322.00
2000
82.32
39.11
3450.43
5294.61
488.91
4564.59
13798.54
1608.70
186.70
2001
60.00
67.47
0.00
1809.10
7022.69
0.00
2323.61
11155.40
1469.60
116.00
2002
118.51
0.00
3019.84
5801.56
0.00
182.71
9004.11
1003.10
2003
102.77 117.61
124.69
4.76
4104.91
6302.58
59.54
956.47
11423.50
801.51
106.49 108.58
2004 2005
115.19 141.84
131.91 163.13
12.29 104.93
3510.75 5720.52
8252.66 13576.19
153.64 1311.58
1631.89 3614.35
13548.94 24222.64
935.50 687.48
151.97 155.88
1999
119
180.51
341.23 108.31
Lampiran 1. Lanjutan Tahun
Demand kayu bulat (000 m3)
Produksi kayu olahan (000) QKG (m3)
QKL (m3)
Expor kayu olahan (000) QPP (Ton)
DIKL
DIPP
XKG ( m3)
XKL ( m3)
XPP (ton)
1980
2756.32
4837.07
2415.03
4800.25
1011.00
46.00
10.80
245.00
0.00
1981
2606.89
4574.84
2284.10
5253.25
1552.00
50.00
10.80
759.50
0.00
1982
2797.67
4909.64
2451.26
6801.25
2487.00
55.00
19.80
1232.30
0.00
1983
3337.51
5857.00
2924.26
6299.25
3138.00
69.00
5.20
2106.10
0.00
1984
3893.65
6832.97
3411.54
6603.25
3600.00
100.00
11.30
3021.00
0.00
1985
3993.71
7008.56
3499.21
7068.25
4615.00
137.00
47.60
3963.90
0.00
1986
5426.73
9523.37
4754.79
7445.25
5750.00
137.00
99.40
4606.90
0.00
1987
7574.22
13292.02
6636.38
9753.25
6400.00
108.00
129.10
5648.40
0.00
1988
7606.84
13349.26
6664.96
10176.25
7733.00
108.00
99.80
6371.90
0.00
1989
6129.03
10755.85
5370.14
10238.00
8784.00
417.00
107.80
8038.80
87.00
1990
7196.35
12628.89
6305.30
9007.50
8250.00
702.00
22.40
8243.70
130.00
1991
6559.15
11510.66
5746.99
8500.00
9600.00
751.00
9.90
8635.30
128.60
1992
7174.95
12591.33
6286.55
8300.00
10100.00
1034.00
25.33
9761.00
115.56
1993
7395.24
12977.91
6479.56
8200.00
10050.00
1259.00
33.40
9627.00
109.18
1994
6619.53
11616.62
5799.90
6700.00
9836.00
1696.00
60.80
8223.00
123.59
1995
6848.01
12017.58
6000.09
6500.00
9500.00
1933.00
25.00
8376.00
565.59
1996
7183.90
12607.04
6294.39
7200.00
9575.00
2482.00
50.00
8564.00
1127.20
1997
8136.08
14278.03
7128.67
7100.00
9600.00
2900.00
22.40
8500.00
1284.70
1998
5251.44
9215.77
4601.21
7000.00
7800.00
1816.00
5.50
7424.00
1655.60
1999
5608.38
9842.16
4913.95
6500.00
7500.00
1646.00
28.90
6290.80
1196.90
2000
3691.10
6477.52
3234.07
6500.00
8200.00
3626.00
20.30
5154.00
1356.30
2001
2706.97
4750.47
2371.79
6750.00
7300.00
5482.00
41.00
6336.00
1699.20
2002
4809.60
8440.37
4214.07
6230.00
7550.00
5482.00
16.36
5826.00
2003
5169.91
8418.59
16219.10
7620.00
6111.00
5482.00
20.17
5091.93
2245.17 2375.09
2004
2937.76
6218.54
16219.10
4330.00
4514.00
5482.00
8.00
4004.60
1677.36
2005
998.70
6246.09
16219.10
1472.00
4534.00
5482.00
21.14
3406.00
2493.34
120
DIKG
Lampiran 1. Lanjutan Tahun
Harga KB (US$/m3) PKBA
PWKB
Harga kayu olahan (US$/Unit) PKG
PKL
Harga Dunia Kayu Olahan (US$/Unit)
PPP
PWKG
PWKL
PWPP
61.00
142.00
110.76
205.00
276.90
389.22
409.00
460.51
1981
62.00
102.00
137.06
207.00
315.86
400.70
379.00
457.72
1982
58.00
102.00
142.56
214.00
613.93
412.17
385.00
433.40
1983
42.00
91.00
113.78
222.00
434.52
423.65
336.00
397.13
1984 1985
43.00 41.00
113.00 82.00
106.30 107.64
205.00 202.00
402.11 387.51
435.12 446.59
306.00 316.00
427.47 362.31
1986 1987
30.00 36.00
97.00 167.00
97.71 72.16
213.00 295.00
356.46 294.76
458.07 469.54
305.00 358.00
376.96 561.64
1988
43.00
167.00
73.74
327.00
306.11
481.02
372.00
705.44
1989 1990
42.00 43.00
167.00 160.00
93.11 92.43
325.00 325.00
325.67 323.15
492.49 466.30
365.00 371.00
667.42 531.37
1991 1992
46.00 47.00
180.00 177.00
95.38 90.11
330.00 340.00
309.32 312.81
477.86 461.23
391.00 397.00
504.42 466.21
1993 1994
47.00 50.00
229.00 216.00
93.36 98.41
439.00 430.00
346.45 348.18
571.73 628.71
456.00 454.00
385.40 476.03
1995
59.00
218.00
164.05
410.00
346.62
593.23
487.00
479.97
1996 1997
65.00 62.51
204.00 242.44
195.43 96.79
418.00 460.38
350.40 185.85
646.67 649.21
523.00 499.14
485.20 446.86
1998 1999
66.62 71.11
255.61 269.33
75.08 121.27
480.50 500.99
111.46 130.39
553.96 553.96
515.75 532.99
448.72 447.97
2000
75.98
283.58
106.84
521.85
99.86
608.85
550.85
667.42
2001 2002
81.23 86.87
298.39 313.73
158.12 121.30
543.09 564.71
96.60 114.81
577.01 657.77
569.34 588.45
2003 2004
88.92 91.02
330.62 348.41
126.18 131.26
593.73 624.25
113.93 113.06
675.48 693.66
599.58 610.92
461.41 436.88 443.15 449.51
2005
93.16
367.16
136.55
656.34
112.20
712.32
622.48
455.96
121
1980
Lampiran 1. Lanjutan Tahun
DRBS
IHH
UPAH
INTR
EXCR
GDPINA
GDPW
CPI
KTKL
KTKG
KTPP
2528.00
1939.67
847.59
14.20
632.00
58821.13
17683284.06
10.04
5.60
2.00
0.00
1981
2546.32
1993.73
1093.85
15.00
636.58
63613.98
18010822.77
11.27
5.60
2.00
0.00
1982
2665.60
2175.99
1182.97
15.00
666.40
64316.33
18048678.26
12.34
5.60
2.00
0.00
1983
3577.16
2503.69
1272.16
15.00
894.29
69751.01
18529858.89
13.79
5.60
2.00
0.00
1984
4120.32
2759.46
1432.15
16.00
1030.08
74753.65
19381720.47
15.24
5.60
2.00
0.00
1985
4459.32
2756.18
1618.00
18.00
1114.83
77353.24
20097722.07
15.96
8.80
6.30
0.90
1986
5131.40
2923.88
1720.00
14.60
1282.85
81966.98
20767963.73
16.89
8.80
6.30
0.90
1987
6610.40
3606.19
1767.00
17.62
1652.60
86311.23
21517937.65
18.45
8.80
6.30
0.90
1988
7106.00
4507.79
1870.00
17.76
1776.50
91796.90
22516178.99
19.94
8.80
6.30
0.90
1989
26582.10
4508.36
2013.50
17.06
1772.14
100136.39
23360881.18
21.22
10.60
10.10
2.20
1990
27749.85
4869.88
2473.50
21.00
1849.99
109150.24
24037347.99
22.88
10.80
10.20
2.70
1991
29880.00
5524.09
2764.50
21.88
1992.00
118894.94
24428132.88
25.03
8.20
7.70
2.70
1992
30930.00
5838.32
2979.50
16.72
2062.00
127479.76
24967798.30
26.91
8.20
7.70
2.70
1993
31650.00
5985.01
3348.00
11.79
2110.00
136727.24
25403354.42
29.52
8.20
7.70
2.70
1994
33000.00
6621.84
3458.00
14.27
2200.00
147036.57
26253734.15
32.04
8.20
7.70
2.70
1995
34620.00
8875.11
3769.00
17.15
2308.00
159382.27
27007458.94
35.06
8.20
7.70
2.70
1996
35745.00
8875.11
4270.00
17.15
2383.00
171563.53
27902329.67
37.85
8.20
7.70
2.70
1997
69750.00
8823.75
5298.88
17.03
4650.00
179626.79
28927089.82
40.40
11.60
9.80
4.30
1998
120375.00
16111.90
6500.00
23.92
8025.00
156047.67
29611914.31
63.68
11.00
9.40
4.30
1999
106500.00
32385.49
6743.99
49.23
7100.00
157282.22
30545579.51
76.63
11.00
9.40
4.50
2000
20525.48
34209.13
7701.74
12.95
9595.00
165020.53
31800266.45
80.09
11.00
9.40
5.20
2001
22326.90
37211.51
8000.00
20.50
10266.00
171033.15
32295023.55
89.71
11.00
9.40
5.60
2002
20961.45
34935.76
8097.99
20.50
9290.00
178728.60
32888556.50
100.00
11.00
9.40
2003
162475.23
116691.01
8992.37
17.04
8571.00
187272.56
33795807.82
279.59
11.00
9.40
6.10 6.10
2004
175193.82
6078.12
9985.52
14.67
8985.00
196694.00
35191624.91
113.25
11.00
9.40
6.10
2005
104780.86
1742.86
11088.36
14.20
9750.00
207872.07
36424963.95
141.48
9.10
3.50
5.30
122
1980
123
Lampiran 2.
Program Komputer SAS Versi 9.1 Pendugaan Model Persamaan Simultan dengan Metode Two State Least Square (2SLS)
SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: LUASA Dependent variable: LUASA Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
7 2615578.7448 373654.10641 17 57580.53247 3387.09015 24 2673159.2773 Root MSE Dep Mean C.V.
58.19871 612.18379 9.50674
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
110.317
0.0001
0.9785 0.9696
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP QDKB RPKBA RDRBS RIHH RUPAH INTR LUASA1
1 1 1 1 1 1 1 1
-52.698916 0.005815 30.885415 -0.024751 -0.211050 -0.032336 -0.780885 0.872942
123.937264 0.002746 24.575033 0.035822 0.151002 0.961943 2.239176 0.081601
-0.425 2.118 1.257 -0.691 -1.398 -0.034 -0.349 10.698
0.6760 0.0492 0.2258 0.4989 0.1802 0.9736 0.7316 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.753 25 0.110
124
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: LUAST Dependent variable: LUAST Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error C Total
8 122758.92918 16 43647.35287 24 166406.28205 Root MSE Dep Mean C.V.
F Value
Prob>F
15344.86615 2727.95955
5.625
0.0017
R-Square Adj R-SQ
0.7377 0.6066
52.22987 191.52055 27.27116
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP QDKB RPKBT RDRBS RIHH RUPAH INTR T LUAST1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
-166.630519 0.004802 21.210020 -0.031231 -0.035191 0.990891 -0.391466 2.769771 0.635621
159.453862 0.002519 22.094160 0.036320 0.140954 0.902351 2.048546 3.276614 0.191960
-1.045 1.906 0.960 -0.860 -0.250 1.098 -0.191 0.845 3.311
0.3116 0.0747 0.3513 0.4026 0.8060 0.2884 0.8509 0.4104 0.0044
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.060 25 -0.031
125
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: LUASR Dependent variable: LUASR Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error U Total
5 20 25
47944.98259 13006.87346 60951.85605
Root MSE Dep Mean C.V.
25.50184 41.42665 61.55901
F Value
Prob>F
9588.99652 650.34367
14.745
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.7866 0.7333
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates Variable QDKB RPKBR RUPAH T LUASR1
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1 1 1
0.001324 -2.498789 0.153719 -0.562084 0.301352
0.000879 6.296037 0.320610 0.891788 0.248477
1.507 -0.397 0.479 -0.630 1.213
0.1474 0.6957 0.6368 0.5356 0.2393
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.430 25 0.071
126
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: QKBA Dependent variable: QKBA Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
8 3470122240.0 433765280.01 17 74065843.201 4356814.3060 25 3544188083.2 Root MSE Dep Mean C.V.
2087.29833 10826.89525 19.27883
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
99.560
0.0001
0.9791 0.9693
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates Variable RPKBA LUASA RUPAH RIHH RDRBS EXCR INTR QKBA1
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1 1 1 1 1 1
-2631.942480 9.124117 40.029214 -4.226248 -0.802107 -0.143031 87.573599 0.606320
814.228824 4.582759 33.344183 6.361959 1.485784 0.309408 81.114242 0.183949
-3.232 1.991 1.200 -0.664 -0.540 -0.462 1.080 3.296
0.0049 0.0628 0.2464 0.5154 0.5963 0.6497 0.2954 0.0043
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.717 25 0.121
127
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: QKBT Dependent variable: QKBT Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
7 469799002.58 67114143.226 18 12284443.839 682469.10219 25 482083446.42 Root MSE Dep Mean C.V.
826.11688 3365.37325 24.54756
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
98.340
0.0001
0.9745 0.9646
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates Variable DPKBT PRODVT RIHH RUPAH INTR EXCR QKBT1
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1 1 1 1 1
-150.587102 49.827496 -6.693447 10.076366 9.283872 0.139490 0.666389
405.080285 13.813865 2.053394 4.884568 29.021943 0.111724 0.151923
-0.372 3.607 -3.260 2.063 0.320 1.249 4.386
0.7144 0.0020 0.0044 0.0539 0.7527 0.2278 0.0004
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.248 25 -0.255
128
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: QKBR Dependent variable: QKBR Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
4 9202939.0805 2300734.7701 21 146829.81543 6991.89597 25 9349768.8960 Root MSE Dep Mean C.V.
83.61756 501.14981 16.68514
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
329.057
0.0001
0.9843 0.9813
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates Variable DPKBR LUASR RUPAH QKBR1
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1 1
29.225004 12.471241 -0.487503 0.083127
39.820824 0.690596 0.405414 0.058405
0.734 18.059 -1.202 1.423
0.4711 0.0001 0.2426 0.1693
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.322 25 -0.087
129
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: QKG Dependent variable: QKG Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
5 5.328254E13 1.0656508E13 19 2.7581008E13 1.451632E12 24 8.0863548E13 Root MSE1204836.91026 Dep Mean7101900.00000 C.V. 16.96499
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
7.341
0.0006
0.6589 0.5692
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPKG RPKBA INTR KTKG QKG1
1 1 1 1 1 1
-1766371 274842 -48587 6746.841600 173643 0.893403
1680113 333641 843704 36879 165452 0.202574
-1.051 0.824 -0.058 0.183 1.050 4.410
0.3063 0.4203 0.9547 0.8568 0.3071 0.0003
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.786 25 0.051
130
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: QKL Dependent variable: QKL Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
5 1.4942989E14 2.9885977E13 19 9.0824643E12 478024437046 24 1.5851235E14 Root MSE 691393.11325 Dep Mean6963160.00000 C.V. 9.92930
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
62.520
0.0001
0.9427 0.9276
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPKL RPKBA INTR KTKL QKL1
1 1 1 1 1 1
58326 189036 -477988 4485.688742 -16851 0.836704
1502561 62147 309108 21492 126922 0.082465
0.039 3.042 -1.546 0.209 -0.133 10.146
0.9694 0.0067 0.1385 0.8369 0.8958 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.359 25 -0.184
131
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: QPP Dependent variable: QPP Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
5 9.6300866E13 1.9260173E13 19 4.4232703E12 232803700772 24 1.0072414E14 Root MSE 482497.35831 Dep Mean1937440.00000 C.V. 24.90386
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
82.731
0.0001
0.9561 0.9445
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPPP RPKBT INTR KTPP QPP1
1 1 1 1 1 1
-228610 9300.994118 106656 -39372 542102 0.581731
655299 22795 184058 15109 166716 0.122087
-0.349 0.408 0.579 -2.606 3.252 4.765
0.7310 0.6878 0.5691 0.0174 0.0042 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.554 25 0.221
132
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: RPKBA Dependent variable: RPKBA Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error C Total
8 16 24
33.08120 0.70348 33.78468
Root MSE Dep Mean C.V.
0.20968 1.86164 11.26348
F Value
Prob>F
4.13515 0.04397
94.050
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.9792 0.9688
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPWKB QKBA DPPP DPKL DPKG EXCR T RPKBA1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
-0.311082 0.142498 -0.000014710 0.007885 0.025288 0.130494 0.000006385 0.004604 0.718519
0.535436 0.068148 0.000028236 0.008621 0.033419 0.048977 0.000060288 0.029793 0.078111
-0.581 2.091 -0.521 0.915 0.757 2.664 0.106 0.155 9.199
0.5693 0.0528 0.6095 0.3739 0.4602 0.0170 0.9170 0.8791 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.310 25 -0.179
133
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: RPPP Dependent variable: RPPP Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error C Total
3 21 24
2960.78215 579.81067 3540.59283
Root MSE Dep Mean C.V.
5.25452 12.85212 40.88450
F Value
Prob>F
986.92738 27.61003
35.745
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.8362 0.8128
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPWPP T RPPP1
1 1 1 1
20.911620 0.046915 -0.948442 0.315436
15.719724 0.286080 0.644356 0.224445
1.330 0.164 -1.472 1.405
0.1977 0.8713 0.1559 0.1745
134
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: RPKG Dependent variable: RPKG Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error C Total
3 21 24
209.44809 21.70279 231.15089
Root MSE Dep Mean C.V.
1.01660 4.11130 24.72689
F Value
Prob>F
69.81603 1.03347
67.555
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.9061 0.8927
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPWKG T RPKG1
1 1 1 1
-3.815117 0.178875 0.124725 0.652856
3.959225 0.117186 0.143448 0.146535
-0.964 1.526 0.869 4.455
0.3462 0.1418 0.3944 0.0002
135
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: RPKL Dependent variable: RPKL Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error C Total
3 21 24
443.51854 50.35435 493.87289
Root MSE Dep Mean C.V.
1.54849 11.41012 13.57121
F Value
Prob>F
147.83951 2.39783
61.656
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.8980 0.8835
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPWKL T RPKL1
1 1 1 1
3.508097 0.198856 -0.070742 0.497549
4.344584 0.134038 0.147282 0.174712
0.807 1.484 -0.480 2.848
0.4285 0.1528 0.6360 0.0096
136
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: RPKBT Dependent variable: RPKBT Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error C Total
4 20 24
32.32826 1.45642 33.78468
Root MSE Dep Mean C.V.
0.26985 1.86164 14.49551
F Value
Prob>F
8.08207 0.07282
110.985
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.9569 0.9483
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPWKB QKBT EXCR RPKBT1
1 1 1 1 1
-0.740506 0.157188 0.000019828 0.000031112 0.720944
0.441274 0.052463 0.000030598 0.000039170 0.052532
-1.678 2.996 0.648 0.794 13.724
0.1089 0.0071 0.5243 0.4364 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.274 25 -0.198
137
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: RPKBR Dependent variable: RPKBR Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error C Total
2 22 24
31.41725 2.36743 33.78468
Root MSE Dep Mean C.V.
0.32804 1.86164 17.62109
F Value
Prob>F
15.70862 0.10761
145.977
0.0001
R-Square Adj R-SQ
0.9299 0.9236
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP QKBR RPKBR1
1 1 1
0.221758 -0.000042581 0.799325
0.164273 0.000191 0.047805
1.350 -0.223 16.720
0.1908 0.8254 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.189 25 -0.137
138
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: QXKB Dependent variable: QXKB Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
7 5.7275269E13 8.1821813E12 17 4.3361732E12 255069011130 24 6.1611442E13 Root MSE 505043.57350 Dep Mean 969666.28000 C.V. 52.08427
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
32.078
0.0001
0.9296 0.9006
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPXKB RPKBA QKBTOT RGDPW EXCR D1 QXKB1
1 1 1 1 1 1 1 1
-1103483 65084381 164030 -32.051496 1.012985 168.172473 55474 0.340503
1695508 77409089 480822 24.444778 1.490042 112.610704 469548 0.094004
-0.651 0.841 0.341 -1.311 0.680 1.493 0.118 3.622
0.5239 0.4121 0.7372 0.2072 0.5058 0.1537 0.9073 0.0021
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.082 25 -0.044
139
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: QMKB Dependent variable: QMKB Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
6 278489062204 46414843701 19 43773775705 2303882931.8 25 322262837909 Root MSE Dep Mean C.V.
47998.78052 81180.92000 59.12569
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
20.146
0.0001
0.8642 0.8213
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
DPWKB DPKBA QDKB RGDPINA EXCR QMKB1
1 1 1 1 1 1
-7105.239257 4085.703439 2.864939 -9.163983 0.531180 0.684279
7184.903089 28732 1.562980 7.285234 5.379358 0.214883
-0.989 0.142 1.833 -1.258 0.099 3.184
0.3351 0.8884 0.0825 0.2237 0.9224 0.0049
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.148 25 -0.076
140
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: QSL Dependent variable: QSL Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error U Total
6 5641312370.9 940218728.48 19 186179677.18 9798930.3780 25 5827492048.1 Root MSE Dep Mean C.V.
3130.32432 14693.41831 21.30426
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
95.951
0.0001
0.9681 0.9580
NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates Variable DPKBA RPWKB RUPAH INTR T QSL1
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
1 1 1 1 1 1
915.339224 949.934731 -1.261422 -42.589127 257.754514 0.461121
1641.708529 577.432010 46.058289 88.755114 130.378475 0.234529
0.558 1.645 -0.027 -0.480 1.977 1.966
0.5837 0.1164 0.9784 0.6368 0.0627 0.0641
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.505 25 0.061
141
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: QIL Dependent variable: QIL Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
5 310542519.53 62108503.906 19 288533134.08 15185954.425 24 599075653.61 Root MSE Dep Mean C.V.
3896.91601 -857.80187 -454.29092
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
4.090
0.0109
0.5184 0.3916
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP DKAP DPKBA EXCR T QIL1
1 1 1 1 1 1
3084.217870 -2903.364758 1586.180494 0.048147 -250.351206 0.434209
3242.987116 3203.059861 2302.344619 0.560778 330.949059 0.195341
0.951 -0.906 0.689 0.086 -0.756 2.223
0.3535 0.3761 0.4992 0.9325 0.4586 0.0386
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.203 25 0.278
142
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: DIKG Dependent variable: DIKG Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
5 67116216.072 13423243.214 19 27667669.706 1456193.1424 24 94783885.778 Root MSE Dep Mean C.V.
1206.72828 5266.13265 22.91489
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
9.218
0.0001
0.7081 0.6313
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPKG RPKBA RPWKG T DIKG1
1 1 1 1 1 1
1504.905584 -116.534394 -685.898672 118.404072 -38.605960 0.734091
4789.877900 404.948922 851.973518 153.846904 172.393347 0.172624
0.314 -0.288 -0.805 0.770 -0.224 4.253
0.7568 0.7766 0.4307 0.4510 0.8252 0.0004
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.037 25 -0.071
143
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: DIKL Dependent variable: DIKL Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
5 184143600.75 36828720.150 19 52779328.675 2777859.4040 24 236922929.42 Root MSE Dep Mean C.V.
1666.69115 9437.64357 17.66003
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
13.258
0.0001
0.7772 0.7186
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPKL RPKBA RPWKL T DIKL1
1 1 1 1 1 1
-1964.139827 414.725780 -3396.898024 433.055449 176.413185 0.448266
5527.974722 458.547713 2208.545652 638.181073 203.856289 0.183408
-0.355 0.904 -1.538 0.679 0.865 2.444
0.7263 0.3771 0.1405 0.5056 0.3976 0.0244
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.326 25 -0.171
144
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: DIPP Dependent variable: DIPP Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
5 263011757.15 52602351.430 19 129443564.24 6812819.1707 24 392455321.39 Root MSE Dep Mean C.V.
2610.13777 6241.21969 41.82096
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
7.721
0.0004
0.6702 0.5834
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP RPPP RPKBA RPWPP T DIPP1
1 1 1 1 1 1
-3572.519655 144.847015 -1155.678747 87.029887 333.485817 0.685719
6843.173364 127.425650 1108.032331 156.623160 311.819474 0.195902
-0.522 1.137 -1.043 0.556 1.069 3.500
0.6077 0.2698 0.3100 0.5849 0.2983 0.0024
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.749 25 0.105