ANALISIS NILAI GUNA EKONOMI DAN DAMPAK PENAMBANGAN PASIR DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR
GIAN YUNIARTO WILO HARLAN
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ANALISIS NILAI GUNA EKONOMI DAN DAMPAK PENAMBANGAN PASIR DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR
GIAN YUNIARTO WILO HARLAN H44052827
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis Nilai Guna Ekonomi dan Dampak Penambangan Pasir di Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2011
Gian Y. Wilo Harlan H44052827
Judul Skripsi : Analisis Nilai Guna Ekonomi dan Dampak Penambangan Pasir di Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor Nama : Gian Yuniarto Wilo Harlan NRP : H44052827
Mengetahui, Pembimbing
Ir. Nindyantoro, MSP NIP: 19620323 199002 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP: 19660717 199203 1 003
RINGKASAN GIAN YUNIARTO WILO HARLAN. Analisis Nilai Guna Ekonomi dan Dampak Penambangan Pasir di Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh NINDYANTORO Barang tambang merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Jumlah penduduk yang semakin tinggi mengakibatkan semakin meningkatnya kebutuhan manusia akan sandang, pangan, dan papan. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dalam sektor pertambangan merupakan salah satu usaha guna memenuhi kebutuhan tersebut. Stok lahan yang tetap, mengharuskan pemanfaatan untuk pertambangan akan terbatas jumlahnya. Interaksi antara aktivitas ekonomi manusia dan sumberdaya alam yang tidak seimbang menimbulkan masalah lingkungan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah (1) menghitung nilai guna ekonomi dari aktivitas penambangan pasir (2) menelaah dan mengestimasi kerusakan yang diakibatkan kegiatan penambangan pasir. Penelitian ini dilakukan di Desa Sukaresmi Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari buku potensi desa dan kecamatan, jurnal-jurnal terkait, dan hasil penyusuran data melalui internet. Perhitungan nilai guna ekonomi dan estimasi kerusakan dilakukan dengan menggunakan microsoft excel 2007. Kegiatan penambangan pasir ini memberikan manfaat berupa pendapatan kepada pihak-pihak yang terlibat. Dari 13 pengusaha pasir dan 34 penambang diperoleh nilai manfaat sebesar Rp 1.260.000.000/tahun, dan Rp 487.500.000/ tahun dari rata-rata pendapatan 25 supir dan buruh pengangkut. Diperkirakan pasir habis dalam 2,5 tahun, sehingga total pendapatan sebagai nilai guna dari kegiatan penambangan pasir adalah Rp 4.368.750.000. Lahan sawah yang dikonversikan menjadi lahan untuk kegiatan penambangan pasir mengakibatkan hilangnya fungsi dan multifungsi lahan sawah. Manfaat yang hilang meliputi aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya. Nilai kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan pasir di desa Sukaresmi seluas 1,064 ha, diperoleh dari nilai kerugian ekologi dan nilai kerugian ekonomi, termasuk hilangnya produksi padi yaitu sebesar Rp 15.604.438.978,6. Berdasarkan total nilai guna dan estimasi nilai kerusakan, diperlukan pengendalian dari kegiatan penambangan pasir tersebut.
KATA PENGANTAR Segala puji senantiasa dipanjatkan ke khadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Sumberdaya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat erat. Interaksi yang tidak seimbang dan harmonis antara kedua aspek tersebut bisa menyebabkan terjadinya permasalahan lingkungan. Penentuan nilai ekonomi suatu sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka. Tidak ada gading yang tak retak. Skripsi ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun diperlukan untuk hal yang lebih baik. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemaslahatan umat dan bernilai ibadah dalam pandangan ALLAH SWT.
Bogor, Mei 2011
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Penyusunan skripsi ini banyak dibantu oleh berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Ir. Nindyantoro, M.SP sebagai dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, motivasi dan pengarahan kepada penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT sebagai dosen penguji utama. 3. Bapak Novindra, SP sebagai dosen penguji wakil departemen. 4. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, FEM IPB. 5. Pemerintah Kecamatan Tamansari dan Desa Sukaresmi serta pihak-pihak lainnya yang telah membantu selama penelitian. 6. Para pengusaha dan penambang pasir yang telah memberikan informasi guna penyelesaian penelitian. 7. Ibunda, Ayah, dan kakak tercinta yang telah memberikan curahan kasih sayang, inspirasi hidup dan doa yang tulus. 8. Gita Herdiani, atas semua bantuan dan dukungannya. 9. Teman-teman seperjuangan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan angkatan 42. 10. Semua pihak yang telah membantu dalam membantu penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas kebaikannya.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Juni 1987. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Dedi Hendarmawan dan Gede Aswatuti. Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Mutiara Bekasi pada tahun 1993, lalu melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri Raflesia Raya sampai kelas 2 SD, dan menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar nya di SD Negeri Bangka 3 Bogor. Pada Tahun 1999, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Bogor dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Bogor, dan masuk dalam program IPA pada tahun 2004. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan saat pemilihan jurusan diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama
mengikuti
perkuliahan,
penulis
aktif
dalam
kegiatan
kemahasiswaan yaitu sebagai staf divisi Musik Unit Kegiatan Mahasiswa Music Agriculture Expression (UKM MAX!!) periode 2005/2006 yang kemudian menjadi Manager divisi Musik Unit Kegiatan Mahasiswa Music Agriculture Expression (MAX!!) periode 2006/2007, dan staf divisi Coorporate Social Responsible (CSR), Himpunan Mahasiswa Resources and Environmental Economic Student Association (REESA) periode 2007/2008.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xii
I. PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Latar Belakang .......................................................................... Perumusan Masalah .................................................................. Tujuan Penelitian ...................................................................... Manfaat Penelitian .................................................................... Batasan Penelitian .....................................................................
1 3 6 7 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2 2.3 2.4
Pertambangan, Lingkungan, dan Kesejahteraan Masyarakat ... Pertambangan Pasir ................................................................... Dampak Kegiatan Pertambangan Pasir ..................................... Alih Fungsi Lahan..................................................................... 2.4.1 Faktor Penyebab Konversi Lahan ................................... 2.4.2 Dampak Konversi Lahan ................................................ 2.4.3 Produktifitas Lahan ......................................................... 2.5 Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam ..................................... 2.6 Metode Biaya Pengganti ........................................................... 2.7 Penelitian Terdahulu .................................................................
8 10 13 15 16 17 17 18 22 23
III. KERANGKA PEMIKIRAN ..........................................................
24
IV. METODE PENELITIAN 4.1 4.2 4.3 4.4
Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... Jenis dan Sumber Data .............................................................. Pengolahan dan Analisis Data................................................... Perhitungan Nilai Ekonomi....................................................... 4.4.1 Penilaian Pendapatan dari Kegiatan Penambangan ........ 4.4.2 Biaya Kerugian Ekologis ................................................ 4.4.3 Biaya Kerugian Ekonomi ................................................ 4.4.2 Analisis Hilangnya Produksi Padi ..................................
27 27 28 28 29 29 33 35
V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ......................................... 5.1.1 Kabupaten Bogor ............................................................ 5.1.2 Kecamatan Tamansari ..................................................... 5.1.2.1 Kondisi Geografis ............................................... 5.1.2.2 Kondisi Demografi ............................................. 5.1.2.3 Kondisi Sosial Budaya ....................................... 5.1.2.4 Kondisi Pendidikan ............................................ 5.1.2.5 Kondisi Ekonomi ................................................ 5.1.3 Desa Sukaresmi ...............................................................
36 36 37 37 39 39 41 42 45 viii
5.1.3.1 Letak dan Keadaan Geografis ............................ 5.1.3.2 Keadaan Demografi ............................................ 5.2 Karakteristik Responden ........................................................... 5.2.1 Responden Pengusaha Pasir ............................................ 5.2.2 Responden Penambang Pasir ..........................................
45 46 47 47 48
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Identifikasi Proses Pihak-Pihak Terlibat dalam Kegiatan Penambangan Pasir ................................................................... 6.2 Identifikasi Dampak Positif dan Negatif dari Kegiatan Penambangan Pasir ................................................................... 6.2.1 Identifikasi Manfaat dari Kegiatan Penambangan Pasir . 6.2.2 Identifikasi Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir ......................................................... 6.3 Penilaian Dampak Positif dan Negatif Kegiatan Penambangan Pasir ................................................................... 6.3.1 Penilaian Manfaat dari Kegiatan Penambangan Pasir .... 6.3.2 Penilaian Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir .........................................................
50 56 56 57 60 61 62
VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ................................................................................... 7.2 Saran..........................................................................................
69 70
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
71
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Nama Desa di Kecamatan Tamansari ...............................................
38
2. Jumlah Penduduk Desa di Kecamatan Tamansari ............................
39
3. Data Jumlah Sekolah .........................................................................
41
4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ...........................
45
5. Pemanfaatan/Penggunaan Lahan di Desa Sukaresmi .......................
46
6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
47
7. Karakteristik Responden Pengusaha Pasir ........................................
48
8. Karakteristik Responden Penambang Pasir ......................................
49
9. Pendapatan Pengusaha Pasir .............................................................
61
10. Pendapatan Penambang Pasir............................................................
62
x
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Nilai Ekonomi Total...........................................................................
21
2. Alur Kerangka Operasional................................................................
26
3. Proses Penambangan Pasir .................................................................
53
4. Sketsa Relief Dinding Galian yang Disyaratkan................................
55
5. Sketsa Relief Dinding Galian pada Lokasi Penelitian .......................
55
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian ........................................................................
73
2. Dokumentasi Penelitian .....................................................................
74
xii
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumberdaya alam,
baik sumberdaya alam yang dapat diperbaharui maupun sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Sumberdaya alam meliputi air, udara, tanah, tumbuhan, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan sumberdaya yang tidak saja mencukupi kebutuhan hidup manusia tetapi juga merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional. Sumberdaya alam tersebut dimanfaatkan
sebesar-besarnya
untuk
kepentingan
rakyat.
Pengelolaan
sumberdaya alam dengan baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia. Barang tambang merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Sumberdaya alam tidak dapat terbarukan atau sering juga disebut dengan sumberdaya terhabiskan (depletable) adalah sumberdaya yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis. Sumberdaya ini dibentuk melalui proses geologi yang memerlukan waktu sangat lama untuk dapat dijadikan sebagai sumberdaya alam yang siap diolah atau siap pakai (Fauzi, 2006). Sumberdaya yang memiliki jumlah stok yang tetap, seperti lahan, merupakan sumberdaya yang sangat penting karena merupakan komponen dasar dari lingkungan alam. Keseimbangan fungsi lahan perlu dilestarikan guna menjaga keseimbangan ekosistem. Pemanfaatan lahan yang tidak mengindahkan
aspek lingkungan dapat menjadi pendorong terjadinya berbagai bencana yang akan menimbulkan kerusakan lingkungan (Rani, 2004). Jumlah
penduduk
yang
semakin
tinggi
mengakibatkan
semakin
meningkatnya kebutuhan manusia akan sandang, pangan, dan papan. Peningkatan penyediaan kebutuhan manusia dipenuhi dengan mengelola sumberdaya yang ada. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dalam sektor pertambangan merupakan salah satu usaha guna memenuhi kebutuhan tersebut. Stok lahan yang tetap, mengharuskan pemanfaatan untuk pertambangan akan terbatas jumlahnya. Banyak konflik mengenai perebutan hak atas lahan menggambarkan berbagai permasalahan sumberdaya lahan akan timbul seiring pertumbuhan penduduk. Masalah lingkungan timbul dari hasil interaksi antara aktivitas ekonomi manusia dan sumberdaya alam, atau adanya mekanisme permintaan akan lingkungan dan suplai/penawaran lingkungan. Interaksi yang tidak seimbang dan harmonis antara kedua aspek tersebut bisa menyebabkan terjadinya permasalahan lingkungan. Tingginya permintaan sumberdaya alam yang tidak bisa didukung oleh ketersediaan dan suplai sumberdaya alam, akan menyebabkan terjadinya pengurasan sumberdaya alam yang akhirnya bisa mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan (Yakin, 1997). Keuntungan secara ekonomi dari upaya pelestarian dan pengendalian masalah lingkungan adalah nilai uang dari peningkatan kualitas lingkungan atau terhindarnya biaya yang besar akibat timbulnya kerusakan lingkungan. Valuasi ekonomi merupakan komponen penting dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam yang mengaitkan dimensi-dimensi ekonomi dan lingkungan secara integratif. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan atau pengelola
2
sumberdaya perlu mengetahui betapa pentingnya valuasi ekonomi sumberdaya dan lingkungan yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi (dalam jangka panjang) daerahnya dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada dan tetap menjaga kualitas lingkungan. Penentuan nilai ekonomi suatu sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka, sekaligus bermanfaat dalam menciptakan penilaian yang tepat dalam menentukan keberlanjutannya (Suparmoko 2002 dalam Ansahar U
U
2005). Berdasarkan tujuan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang mampu mencapai efisiensi dan manfaat yang maksimal, maka penambangan pasir di Kecamatan Tamansari diperlukan suatu valuasi ekonomi. 1.2
Perumusan Masalah Daya regenerasi setiap jenis sumberdaya adalah berbeda dengan jenis
sumberdaya yang lain. Laju pemanfaatan atau ekstraksi suatu sumberdaya tidak semestinya melebihi daya regenerasinya, sehingga sumberdaya tersebut dapat sustainable baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang. Perbedaan daya regenerasi sumberdaya menyebabkan harus adanya perbedaan pula dalam memperlakukan pengelolaan dan pengambilan manfaatnya. Sumberdaya yang memiliki waktu regenerasi yang lama atau tidak memiliki daya regerasi secara biologis disebut sebagai sumberdaya alam yang terhabiskan sehingga tidak boleh dimanfaatkan secara berlebihan. Belum adanya penegakkan peraturan di Indonesia yang secara tegas mengatur pemanfaatan sumberdaya terhabiskan ini, menyebabkan banyak pemanfaatan yang dilakukan secara ilegal oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
3
Jenis sumberdaya terhabiskan yang banyak dimanfaatkan secara ilegal adalah barang tambang, salah satunya yaitu pasir. Semakin meningkatnya kebutuhan bahan galian industri khususnya pasir seiring dengan meningkatnya laju pembangunan, maka kegiatan penambangan pasir ilegal semakin meluas. Hal ini juga terjadi di salah satu wilayah di Kabupaten Bogor yaitu di Kecamatan Tamansari. Kegiatan penambangan pasir memberikan dampak positif bagi masyarakat setempat dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, baik itu untuk pekerja penambangan (secara langsung) maupun sebagai supir kendaraan pengangkut pasir (secara tidak langsung). Masyarakat tidak memerlukan keahlian khusus dan hanya dengan menggunakan peralatan penggalian sederhana, mereka dapat memperoleh pendapatan dari kegiatan ini. Selain dampak positif, kegiatan pertambangan pasir juga menimbulkan dampak negatif. Pada umumnya, segala macam kegiatan pertambangan, termasuk penambangan pasir, mengakibatkan dampak
negatif
kepada
lingkungan.
Sifat
penambangan
yang
mengambil/mengeksploitasi menyebabkan penurunan kualitas lingkungan tidak terelakkan lagi. Lahan bekas galian pasir yang dibiarkan terlantar oleh pengusaha menjadi tidak produktif dan tanahnya rusak. Terlihat perubahan bentang lahan, perubahan iklim mikro, terutama suhu di sekitar daerah pertambangan yang dirasakan masyarakat
semakin
meningkat,
terdapat
gundukan-gundukan
batu
dan
bongkahan tanah, terdapat cekungan-cekungan sedalam 5-10 meter, hilangnya vegetasi, struktur tanah yang rusak, tanah menjadi miskin hara. Produktivitas lahan di sekitar lahan pasca pertambangan menurun akibat penurunan tingkat
4
kesuburan tanah (Rani, 2004). Tentu saja hal ini merupakan dampak negatif dari kegiatan pertambangan pasir yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan yang harus diterima oleh penduduk sekitar. Pertambangan pasir dilakukan secara terbuka. Pada tahap awal pertambangan dilakukan pembersihan lahan (land clearing) yang merupakan tahap pembersihan lahan dari semak-semak, pepohonan kemudian pembuangan lapisan top soil. Setelah lahan tersebut selesai digali, lapisan top soil tersebut tidak dikembalikan lagi ke asalnya. Hal ini menyebabkan tanah menjadi tidak subur. Tanah berpasir tidak mempunyai kemampuan menyerap air dan hara sehingga tanah berpasir tidak subur dan mudah kering. Tanah berpasir juga mengandung liat, kapasitas kation yang rendah dan miskin bahan organik atau humus (Soepardi 1983 dalam Rani 2004). U
U
Upaya menjaga kelestarian lingkungan merupakan keuntungan ekonomi, yang dapat dimoneterkan (diuangkan), dari peningkatan kualitas lingkungan atau terhindarnya biaya dalam menangani kerusakan lingkungan. Biaya untuk memperbaiki lingkungan dapat dikatakan sebagai keuntungan yang hilang. Jadi estimasi keuntungan lingkungan melibatkan penilaian moneter (uang) untuk menggambarkan nilai sosial dari perbaikan kondisi lingkungan atau biaya sosial dari kerusakan lingkungan (Ansahar, 2005). Nilai ini adalah jumlah dari nilai-nilai yang ditentukan oleh seluruh individu baik secara langsung maupun tidak langsung, namun kebanyakan masyarakat belum dapat menghargai/menilai sumberdaya alam dan lingkungan secara benar dan semestinya. Nilai yang diberikan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan hanya sebatas nilai pasarnya dan nilai pasar ini pada umumnya didasarkan atas kegunaan dari sumberdaya alam
5
dan lingkungan tersebut. Akibatnya sumberdaya alam dan lingkungan yang belum diapresiasi pasar memiliki nilai yang rendah, bahkan tidak bernilai sama sekali. Pada akhirnya masyarakat menjadi kurang peduli atas sumberdaya alam beserta lingkungannya. Penelitian ini dilakukan untuk menunjukkan secara objektif dan kuantitatif bahwa sumberdaya alam dan lingkungan merupakan modal yang memberikan nilai ekonomis. Penilaian ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan sangat penting
karena
menyangkut
keputusan
pengembangan
dan
pengaturan
pemanfaatannya bagi kepentingan peningkatan ekonomi masyarakat, daerah, maupun tingkat nasional. Dengan demikian, maka diharapkan upaya-upaya pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan akan mendapat dukungan dari berbagai pihak. Berdasarkan permasalahan yang terdapat dalam uraian di atas kemudian timbul beberapa rumusan pertanyaan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, seperti : 1.
Bagaimana proses kegiatan penambangan pasir ilegal di Kecamatan Tamansari berlangsung?
2.
Bagaimana dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan penambangan pasir?
3.
Berapa nilai guna dan nilai kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan pasir?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1.
Mendeskripsikan proses dan pihak-pihak yang terlibat dengan kegiatan penambangan pasir.
6
2.
Menelaah dampak positif dan negatif yang terjadi akibat penambangan pasir.
3.
Mengestimasi nilai guna dan nilai kerusakan lingkungan yang terjadi akibat penambangan pasir.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian mengenai dampak kegiatan
penambangan pasir ini antara lain: 1.
Memberikan informasi terhadap masyarakat sekitar serta pihak-pihak lain yang terkait mengenai dampak kegiatan pertambangan pasir, baik dampak positif maupun dampak negatif.
2.
Sebagai bahan pertimbangan dan masukkan bagi pemerintah daerah setempat dalam menerapkan kebijakan mengenai kegiatan pertambangan pasir, khususnya penambangan pasir di Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor.
3. 1.5
Sebagai rujukan bagi penelitian-penelitian lain yang sejenis. Batasan Penelitian Hal-hal yang menjadi batasan dalam penelitian ini, antara lain:
1.
Wilayah dan objek penelitian adalah kawasan penambangan pasir di Desa Sukaresmi Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor.
2.
Kerusakan lingkungan sebagai dampak negatif dari kegiatan penambangan pasir berupa rusaknya dan hilangnya fungsi dan multifungsi lahan sawah.
3.
Nilai kerusakan dilihat dari biaya kerugian ekologis dan biaya kerugian ekonomis termasuk hilangnya produktifitas lahan sawah.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pertambangan, Lingkungan, dan Kesejahteraan Masyarakat Kegiatan pertambangan adalah secara aman dan menguntungkan
mengambil bahan mineral dari dalam tanah (Acton 1973 dalam Rani 2004). U
U
Berdasarkan definisi sumber daya alam tidak terbarukan adalah sumber daya alam yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis, maka barang tambang dapat dikatakan sebagai sumber daya tidak terbarukan. Karena sifatnya yang tidak terbarukan ini, maka dalam kurun waktu tertentu cadangan sumberdayanya akan habis dan dapat menimbulkan berbagai masalah lingkungan dan lingkungan sosial. Pada dasarnya kegiatan pertambangan akan menyebabkan perubahan bentang alam sehingga berpotensi mengubah tatanan ekosistem suatu wilayah. Permasalahan pembangunan ekonomi adalah bagaimana pemenuhan kebutuhan pembangunan dapat dilakukan seiring dengan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan. Pada dasarnya kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam akan mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan ke arah yang lebih buruk, sedangkan lingkungan merupakan fondasi dasar bagi kegiatan pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan konsep keberlanjutan dalam kegiatan pembangunan. Pembangunan yang berkelanjutan merupakan upaya agar generasi saat ini dapat memenuhi kebutuhannya tanpa harus mengurangi kemampuan dan kesempatan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Haris (2000) dalam Fauzi (2006) menyatakan bahwa konsep keberlanjutan dapat U
U
diperinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu:
8
•
Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan
pemerintahan
dan
menghindari
terjadinya
ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri. •
Keberlanjutan lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi.
•
Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.
Lingkungan, sosial, dan ekonomi merupakan suatu kesatuan dan dengan pemahaman dari ketiga aspek ini maka pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Kegiatan
pertambangan,
sebagai
salah
satu
pendukung
dalam
mempertahankan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga perlu memperhatikan aspek lingkungan. Dengan terjaganya kelestarian lingkungan kegiatan pertambangan dapat berjalan secara berkelanjutan. Selain itu, pengelola harus memperhatikan tingkat ekstraksi dalam penambangannya agar kegiatan pertambangan dapat dilakukan selama mungkin. Menurut Djajadiningrat (2007) ciri-ciri praktek pertambangan yang baik, secara umum adalah sebagai berikut:
9
1. Mematuhi kaidah hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. Mempunyai perencanaan yang menyeluruh tentang teknik pertambangan dan mematuhi standar yang telah ditetapkan; 3. Menerapkan teknologi pertambangan yang tepat dan sesuai; 4. Menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan di lapangan; 5. Menerapkan
prinsip
konservasi,
peningkatan
nilai
tambah,
serta
keterpaduan dengan sektor hulu dan hilir; 6. Menjamin keselamatan dan kesehatan kerja bagi para karyawan; 7. Melindungi dan memelihara fungsi lingkungan hidup; 8. Mengembangkan potensi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat; 9. Menghasilkan tingkat keuntungan yang memadai bagi investor dan karyawannya; 10. Menjamin keberlanjutan kegiatan pembangunan setelah periode pasca tambang. 2.2
Pertambangan Pasir Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, penambangan pasir termasuk salah satu jenis pertambangan mineral. Pertambangan pasir merupakan pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak, dan gas bumi, serta air tanah.
10
Menurut Soedarmo dan Hadiyan (1980), terdapat dua pasir kwarsa, yaitu pasir kwarsa putih dan pasir kwarsa hitam. Pasir kwarsa putih, yang kita sebut sehari-hari sebagai pasir putih, adalah batuan yang terbentuk karena pengendapan dari hasil pelapukan batuan, dan akhirnya dicuci oleh alam misalnya oleh air atau angin. Oleh karena itu, pasir putih banyak terdapat di tepi sungai, pantai-pantai laut dan dasar laut. Adanya warna yang abu-abu disebabkan karena adanya kotoran: seperti oksida logam dan bahan organik. Jenis dan banyaknya kotorankotoran yang melekat pada pasir kwarsa merupakan hal yang penting untuk menentukan mutu dan tujuan pemakaiannya. Pasir kwarsa hitam adalah pasir biasa yang kita kenal sehari-hari, yang berwarna kehitam-hitaman dan biasa dipakai bahan bangunan. Pasir ini terutama terdiri dari kristal-kristal silikat (SiO2). Terbentuknya pasir ini sama dengan terbentuknya pasir kwarsa putih akan tetapi berhubung banyaknya berbagai macam kotoran-kotoran yang melekat padanya, terutama kotoran-kotoran yang terdiri dari oksida-oksida logam dan bahan organik, maka warnanya tidak putih bersih lagi, tapi menjadi kehitam-hitaman. Pasir kwarsa hitam yang terdapat di tepi-tepi sungai, danau dan laut, bentuknya agak bulat dan licin, sedangkan di daratan umumnya runcing-runcing dengan permukaan yang agak besar. Mutu dari pasir kwarsa hitam bergantung dari bentuk butiran-butiran dan banyaknya kotoran-kotoran yang melekat padanya. Kotoran-kotoran yang dianggap berbahaya untuk keperluan bangunan adalah lempung, bahan-bahan organik, dan garam sulfat. Pasir kwarsa digunakan sebagai bahan utama atau bahan pelengkap dalam industri-industri gelas, barang-barang tahan api, keramik, pengecoran logam,
11
semen, dan sebagainya. Pasir kwarsa juga digunakan sebagai bahan baku untuk “fero silicon/silicon karbit” dan bahan baku pembuatan amplas. Dalam pertambangan umum kita mengenal beberapa macam cara penambangan yaitu penambangan dalam (under-ground mining), penambangan terbuka (open-pit mining), penambangan hydrolis (hydraulic mining), dan pengerukan (dredging), yang dapat dilakukan di darat maupun di laut (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1976). Shenyakov (1970) dalam Rani (2004) U
U
menyatakan bahwa pertambangan bahan bangunan pasir dan batu menggunakan sistem pertambangan terbuka (open-cut mining). Hal ini dilakukan karena jenis bahan galian tersebut berada di permukaan tanah atau dalam kedalaman yang tidak terlalu dalam. Penambangan pasir dapat dilakukan dengan cara konvensional dan cara mekanis. Menurut Handoyo et al. (1999) dalam Rani (2004), penambangan pasir U
U
dengan alat mekanis menggunakan peralatan Back Hoe, Excavator, Loader, dan Bulldozer. Penambangan pasir secara mekanis meliputi kegiatan: 1. Pengupasan, yaitu kegiatan memindahkan lapisan tanah penutup (over burden) yang tebalnya sekitar 0,5-5 meter dengan menggunakan alat berat Back Hoe dan Excavator. 2. Penggalian dan pemuatan, yaitu kegiatan penggalian lasir dari sumber lapisan dan sekaligus memuatnya ke dalam truk. Alat yang digunakan adalah Back Hoe, Excavator, dan Wheel Loader. 3. Pengangkutan, yaitu kegiatan mengangkut/memindahkan bahan galian pasir dari tempat penggalian ke tempat penimbunan atau langsung kepada konsumen dengan menggunakan truk berkapasitas ± 6m3.
12
Cara penambangan konvensional dilakukan dengan menggunakan alat-alat sederhana seperti linggis, cangkul, dan sekop. Penambangan dilakukan dengan cara berkelompok terdiri dari 4-5 orang. 2.3
Dampak Kegiatan Penambangan Pasir Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. Kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, pengangkutan dan penjualan tidaklah menimbulkan gangguan keseimbangan lingkungan hidup yang berarti untuk dipersoalkan. Penambangan, pengolahan dan pemurnian dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan lingkungan hidup yang cukup besar, apabila tidak dilakukan pengaturan-pengaturan sebagaimana mestinya. Kegiatan penambangan dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan permukaan tanah. Usaha pengolahan dan pemurnian dapat mengakibatkan pencemaran air (sungai, danau, laut) dan pencemaran udara akibat adanya bahanbahan kimia atau kotoran-kotoran sisa yang terjadi dalam pengolahan dan pemurnian atau sebagai akibat penggunaan bahan-bahan kimia tertentu dalam proses pengolahan dan pemurnian. Beberapa cara penambangan dapat menimbulkan kerusakan lingkungan. Menurut Barrow (1991) dalam Rani (2004), pertambangan permukaan terbuka U
U
(open-cut mining) akan mengakibatkan gangguan seperti menimbulkan lubang besar pada tanah, penurunan muka tanah atau cekungan pada sisa bahan galian
13
yang
dikembalikan
ke
dalam
lubang
galian.
Bahan
galian
apabila
ditumpuk/disimpan dapat mengakibatkan bahaya longsor atau senyawa beracun tercuci ke daerah hilir, serta kebisingan suara, debu, getaran, dari mesin-mesin dan ledakan bahan peledak. Sedangkan BPHN (1976) menyatakan bahwa penambangan dalam dapat mengakibatkan tanah runtuh apabila pengisian ruang-ruang kosong di bawah tanah tidak dilakukan. Penambangan dalam dapat juga mengakibatkan turunnya permukaan air tanah (ground water level). Penambangan terbuka dapat mengakibatkan tanah longsor, genangan-genangan air, dan mengakibatkan tanah menjadi gersang sehingga sukar untuk dihijaukan kembali. Dengan demikian maka masalah lingkungan hidup di pertambangan terutama berada dalam kegiatan-kegiatan eksploitasi dan pengolahan. Dan menurut cara penambangannya, masalah yang besar akan timbul pada penambangan dalam dan penambangan terbuka, termasuk cara pengerukan (dredging), jika kegiatan penambangan ini dilakukan tanpa menerapkan prinsip konservasi dan upaya rehabilitasi lahan. Menurut Wardoyo et al. (1999) dalam Rani (2004), dampak fisik akibat U
U
pertambangan pasir adalah: 1.
Perubahan bentang alam Perubahan bentang alam merupakan dampak pertambangan yang terlihat jelas. Permukaan lahan ini akan mengakibatkan tingginya run off. Kondisi bentang alam sebelum pertambangan merupakan perbukitan yang rata-rata Kemiringannya adalah 6°-16°. Setelah adanya kegiatan pertambangan kemiringan akan mencapai 45°-90° disertai lubang-lubang bekas galian.
14
2.
Perubahan iklim mikro Kegiatan pertambangan pasir akan mengakibatkan perubahan arah angin, kecepatan angin, dan suhu.
3.
Terganggunya habitat biologi Perubahan lahan dan hilangnya vegetasi akan mengakibatkan terganggu dan hilangnya habitat flora dan fauna.
4.
Terganggunya jalur akuifer air tanah Pemotongan bukit akan mengganggu jalur akuifer air tanah. Akuifer air tanah merupakan sumber air tanah bagi masyarakat.
5.
Berkurangnya produktivitas tanah Penurunan kualitas tanah akibat hilangnya lapisan top soil akan mengakibatkan kesuburan tanah berkurang.
2.4
Alih Fungsi Lahan Utomo, et al. (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya
disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan tersebut. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke penggunaan non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan pertanian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di
15
Kelurahan Mulyaharja, Sihalaho (2004) memaparkan bahwa konversi lahan dipengaruhi dua faktor utama, yakni (1) faktor pada aras makro yang meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, dan ‘marginalisasi’ ekonomi atau kemiskinan ekonomi, (2) faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga) dan strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi). 2.4.1
Faktor Penyebab Konversi Lahan Konversi lahan pada umumnya dipengaruhi oleh transformasi struktur
ekonomi yang semula bertumpu pada sektor pertanian ke sektor ekonomi yang lebih bersifat industrial, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Proses transformasi ekonomi tersebut selanjutnya mendorong terjadinya migrasi penduduk ke daerah-daerah pusat kegiatan bisnis sehingga lahan pertanian yang lokasinya mendekati pusat kegiatan bisnis dikonversi untuk pembangunan perumahan. Secara umum, pergeseran atau transformasi struktur ekonomi merupakan ciri dari suatu daerah atau negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari (Kustiawan, 1997). Konversi lahan erat kaitannya dengan kepadatan penduduk yang semakin meningkat. Rusli (1995) mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk, rasio antara manusia dan lahan menjadi semakin besar, sekalipun
16
pemanfaatan setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi taraf perkembangan kebudayaan suatu masyarakan. Pertumbuhan penduduk menyebabkan makin mengecilnya persediaan lahan rata-rata per orang. 2.4.2
Dampak Konversi Lahan Konversi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan
penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indicator kesejahteraan masyarakat desa (Furi, 2007). Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor non pertanian (sektor informal). Menurut Munir (2008), dampak konversi lahan pertanian menjadi penambangan pasir dan batu di Desa Candimulyo, Wonosobo dapat dilihat pada berbagai kehidupan masyarakat berupa dampak positif dan negatif. Dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat adalah meningkatnya kesejahteraan rumah tangga petani, tingkat keamanan yang meningkat, serta berkurangnya tingkat pengangguran karena banyaknya masyarakat yang pada awalnya menganggur ikut bekerja menjadi buruh penambangan pasir dan batu. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan adalah perubahan sikap sebagian masyarakat selalu ingin mengambil bagian keuntungan dari orang lain dan dampak lingkungan yang menyebabkan lahan pertanian menjadi rusak. 2.4.3
Produktifitas Lahan Produktifitas
lahan
sawah
menentukan
pendapatan
petani
dari
usahataninya. Semakin rendah produktifitas lahan sawah, maka produk yang
17
dihasilkan oleh lahan sawah tersebut semakin rendah dan selanjutnya pendapatan yang diterima oleh petani akan semakin rendah. Rendahnya pendapatan petani yang diakibatkan oleh rendahnya produktifitas lahan sawah akan menyebabkan petani memutuskan untuk mengkonversi lahan sawahnya dan beralih ke sektor non pertanian. Hal ini dikarenakan pekerjaan di sektor non pertanian dipandang dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi daripada pendapatan yang diperoleh dari hasil lahan sawah yang mempunyai produktifitas rendah (Utama, 2006). 2.5
Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam Indonesia memilki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, namun
bangsa Indonesia belum dapat menghargai/menilai sumberdaya alam ini secara benar dan semestinya. Nilai yang diberikan terhadap sumberdaya alam hanya sebatas nilai pasarnya dan nilai pasar ini pada umumnya didasarkan atas kegunaan dari sumberdaya alam tersebut. Akibatnya sumberdaya alam yang belum diapresiasi pasar memiliki nilai yang rendah, bahkan tidak bernilai sama sekali. Dan pada akhirnya masyarakat Indonesia menjadi kurang peduli atas sumberdaya alamnya,termasuk kondisi lingkungan. Pengelolaan sumberdaya alam selalu ditujukan untuk memperoleh manfaat, baik manfaat nyata (tangible benefits) maupun manfaat tidak nyata (intangible benefits). Untuk memahami manfaat sumberdaya alam ini, perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut. Nilai dari suatu barang atau jasa lingkungan sangat membantu seorang individu, masyarakat atau organisasi dalam mengambil keputusan (Ansahar, 2005). Sedangkan menurut Kramer et al. (1994) dalam U
U
18
Handayani (2002), penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka. Penilaian merupakan upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan tertentu manusia atau masyarakat. Penilaian mencakup kegiatan akademis untuk pengembangan konsep dan metodologi untuk menduga nilai manfaat. Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu obyek, bagi orang tertentu, pada waktu dan tempat tertentu. Persepsi tersebut berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat itu. Untuk menilai berapa besar nilai sumberdaya alam ini sangat bergantung pada sistem nilai yang dianut. Sistem nilai tersebut antara lain mencakup: apa yang dinilai, kapan dinilai, dimana dan bagaimana menilainya, kelembagaan penilai dan sebagainya (Davis dan Johnson dalam Ansahar 2005). U
U
Terdapat
hubungan
ekonomi/pembangunan
dan
timbal
balik
lingkungan.
yang Kegiatan
erat
antara
aktivitas
ekonomi/pembangunan
menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Diperlukan apresiasi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, agar daya dukung lingkungan terhadap pembangunan tidak menurun. Sumberdaya alam dan lingkungan (SDAL) menghasilkan barang yang dapat dikonsumsi langsung sebagai energi dan merupakan penyedia jasa lingkungan yang memberi bentuk manfaat lain yang berasal dari fungsi ekologis sistem lingkungan. Selain itu, SDAL memiliki manfaat potensial yang kemungkinan baru diketahui di masa yang akan datang dan perlu dipertahankan
19
keberadaannya agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang. Dengan kata lain, sumberdaya alam dan lingkungan memiliki fungsi ekonomis dan ekologis dan keduanya perlu diapresiasi untuk mencapai kesejahteraan umat manusia. Nilai dari sumberdaya alam dan lingkungan merupakan total dari barang dan jasa yang perlu diapresiasi tersebut. Untuk kemudahan dalam menentukan nilai tersebut, diperlukan tolak ukur yang relatif mudah dan relatif dapat diterima dari berbagai sudut pandang keilmuan, yaitu harga. Ada tiga langkah yang dikemukakan oleh Ruitenbeek (1991) dalam Wawo (2000) dalam menilai suatu ekosistem secara U
U
ekonomi, yaitu: (1) identifikasi manfaat dan fungsi ekosistem, (2) kuantifikasi segenap manfaat ke dalam nilai uang, dan (3) pilihan dan evaluasi kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam yang terkandung dalam ekosistem itu. Seperti dijelaskan sebelumnya, penentuan harga/nilai SDAL ini pada umumnya didasarkan pada nilai pasar. Nilai pasar untuk SDAL dapat dikatakan masih terlalu rendah. Oleh karena itu, penilaian ekonomi terhadap pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan biasanya dicerminkan dengan nilai ekonomi total. Nilai ekonomi total dianggap sama dengan manfaat bersih yang diterima individu dari sumberdaya alam dan lingkungan.
20
Nilai Ekonomi Total
Nilai Penggunaan
Nilai guna langsung
Nilai guna tidak langsung
Nilai Non-Penggunaan
Nilai pilihan
Nilai keberadaan
Nilai warisan
Gambar 1. Nilai ekonomi total Penjelasan mengenai komponen-komponen nilai ekonomi total: 1.
Nilai Kegunaan Konsumtif (use value) Merupakan nilai yang diperoleh atas pemanfaatan dari sumber daya alam.
Use value, seperti terlihat dalam gambar 1. terdiri dari : a.
Nilai guna langsung (direct use) merupakan nilai yang diperoleh individu
dari pemanfaatan langsung sumberdaya alam dimana individu tersebut berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan. b.
Nilai guna tak langsung (indirect use) merupakan nilai yang didapat atau
dirasakan secara tidak langsung dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. 2.
Nilai Kegunaan Non Konsumtif ( non-use value) Merupakan nilai sumberdaya alam dan lingkungan yang muncul karena
keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung. Nilai ini lebih sulit untuk diukur karena didasarkan pada preferensi individual terhadap sumberdaya alam dan lingkungan daripada pemanfaatan langsung. Non-use value, seperti terlihat dalam gambar terdiri dari:
21
a.
Nilai keberadaan (existence value) merupakan nilai yang didasarkan pada
terpeliharanya SDA tanpa menghiraukan manfaat dari keberadaan SDAL tersebut. b.
Nilai warisan (bequest value) merupakan nilai yang diberikan oleh
generasi saat ini terhadap SDAL agar dapat diwariskan pada generasi mendatang. Selain kedua manfaat tersebut ada juga nilai lain yaitu nilai pilihan (option value), yaitu nilai pemeliharaan SDAL untuk kemungkinan dimanfaatkan pada masa yang akan datang. Manfaat dari penentuan nilai ekonomi total adalah: (1) apresiasi yang tinggi terhadap SDAL, (2) merupakan data/informasi penting untuk menentukan kebijakan pengelolaan SDAL, (3) sebagai bahan analisis dalam menentukan proyek pemanfaatan SDAL. 2.6
Metode Biaya Pengganti (Replacement Cost Methode) Menurut Dewi (2006), metode ini didasarkan kepada biaya ganti rugi
asset
produktif
yang
rusak karena penurunan kualitas sumberdaya atau
kesalahan pengelolaan. Biaya ini diperlukan sebagai estimasi minimum dari nilai peralatan yang dapat mereduksi limbah atau perbaikan cara pengelolaan praktis sehingga dapat mencegah kerusakan. Nilai minimum ini akan dibandingkan dengan biaya peralatan yang baru. Contoh yang relevan adalah konversi hutan bakau menjadi bangunan. Kenyataan menunjukkan perubahan tersebut tidak hanya menyangkut keseimbangan rantai makanan biota-biota yang hidup dalam ekosistem tersebut, akan tetapi juga menyangkut aspek lain, misalnya pengurangan luas hutan berdampak pada pengurangan unsur hara dan penurunan nilai populasi udang tangkap sebagai akibat : • Hilangnya tempat bertelur (spaning ground)
22
• Rusaknya daerah asuhan (nursery ground) • Penurunan produktivitas primer diperairan. Setelah dihitung jumlah kerugian, serta kerugian karena unsur hara yang berkurang akibat berkurangnya luas hutan bakau dalam bentuk nilai uang, maka hasil perhitungan merupakan jumlah biaya pengganti yang harus dikeluarkan jika kebijakan pengelolaan hutan bakau tersebut dilaksanakan. 2.7
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai penambangan pasir masih relatif sedikit jumlahnya.
Penelitian yang sejenis dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Ansahar (2005), mengenai valuasi ekonomi dan dampak lingkungan pada penambangan pasir darat di Tarakan. Dalam penelitiannya, Ansahar juga mencoba mengidentifikasi dampak dari kegiatan penambangan pasir darat dan menilainya. Terdapat perbedaan komponen biaya pengganti yang digunakan sebagai penilaian kerusakan lingkungan antara penelitian yang dilakukan Ansahar dengan penelitian ini. Ansahar menggunakan tiga komponen biaya pengganti, yaitu biaya dampak kualitas udara dan partikel debu; biaya penurunan tanaman produktif; dan biaya dampak erosi tanah, sedimentasi dan kerusakan lahan. Selain itu, penambangan pada penelitian Ansahar bersifat legal, sedangkan penambangan pasir di Kecamatan Tamansari bersifat liar dan tidak memiliki izin. Hasil dari penelitian Ansahar menunjukan bahwa nilai ekonomi dari aktifitas penambangan pasir lebih besar dibandingkan nilai kerusakan lingkungannya. Penelitian yang dilakukan Rani (2004) lebih menunjukan kepada pengaruh fisik akibat penambangan pasir, yaitu bagaimana kualitas tanah dan produktivitas lahan. Nilai dampak akibat penambangan pasir tidak diperhitungkan.
23
III. KERANGKA PEMIKIRAN Terdapat hubungan timbal balik yang erat antara aktivitas ekonomi/ pembangunan dan lingkungan. Peningkatan kebutuhan bahan galian industri khususnya pasir meningkat seiring dengan laju pembangunan dan kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi, menyebabkan kegiatan penambangan pasir semakin meluas. Walaupun kegiatan pertambangan pasir memberikan dampak positif terhadap perekonomian daerah dan masyarakat setempat, tetapi dampak negatif dari kegiatan ini pun tidak bisa diabaikan terutama dampaknya terhadap penurunan kualitas lingkungan sehingga
menimbulkan masalah lingkungan
diantaranya yaitu : 1) berkurangnya atau hilangnya pasir, 2) menurunnya kualitas udara, 3) menurunnya kualitas air, 4) terjadinya erosi tanah, 5) terjadinya longsor, 6) kerusakan lahan, 7) terganggunya vegetasi dan satwa di sekitar bantaran sungai, 8) kurangnya estetika, 9) terjadi polusi akibat mobilisasi kendaraan pengangkut pasir. Tentu saja dampak negatif dari kegiatan pertambangan pasir ini harus diterima oleh penduduk sekitar. Dalam memahami manfaat sumberdaya alam ini, perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut. Nilai dari suatu barang atau jasa lingkungan sangat membantu seorang individu, masyarakat atau organisasi dalam mengambil keputusan (Ansahar, 2005). Menurut Kramer et al. 1994 dalam Handayani 2002, penentuan nilai ekonomi U
U
sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penilaian untuk mengetahui manfaat dari kegiatan penambangan pasir dengan mambandingkan nilai manfaat dari kegiatan
24
penambangan pasir dan nilai kerusakan yang ditimbulkannya untuk mengetahui apakah kegiatan penambangan pasir ini lebih banyak memberikan dampak positif ataukah dampak negatifnya. Jika berdasarkan penelitian yang dilakukan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penambangan pasir lebih besar dibandingkan dengan dampak positifnya maka penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah setempat sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan dalam kegiatan pertambangan ini. Penelitian ini dilakukan untuk menunjukkan secara objektif dan kuantitatif bahwa sumberdaya alam dan lingkungan merupakan modal yang memberikan nilai ekonomis. Penilaian ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan sangat penting
karena
menyangkut
keputusan
pengembangan
dan
pengaturan
pemanfaatannya bagi kepentingan peningkatan ekonomi masyarakat, daerah, maupun tingkat nasional. Dengan demikian, maka diharapkan upaya-upaya pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan akan mendapat dukungan dari berbagai pihak.
25
Pemanfaatan Sumberdaya Alam
Penambangan Pasir
Identifikasi kegiatan dan pihak-pihak dalam penambangan pasir
Tata Niaga: Produksi-Distribusi-Konsumsi
Dampak terhadap Ekonomi :
Dampak terhadap Lingkungan:
- Penyerapan tenaga kerja - Pemenuhan kebutuhan sumberdaya pasir
- Kerusakan lahan - Hilangnya sumberdaya pasir, batu, dan tanah - Hilangnya fungsi dan multifungsi sawah
Penilaian Dampak Lingkungan: Penilaian Ekonomi : - Nilai Guna Langsung - Nilai Guna Tidak Langsung
Nilai Kerusakan Lahan Pertanian - Hilangnya produksi padi - Kerugian ekologi dan kerugian ekonomi
Penentuan kebijakan penambangan pasir
Gambar 2. Alur Kerangka Operasional.
26
IV. METODE PENELITIAN 4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April 2010 dan dilaksanakan di Desa
Sukaresmi Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) karena belum pernah ada penelitian sebelumnya mengenai dampak penambangan pasir di lokasi tersebut. Wilayah ini telah cukup lama menjadi tempat penambangan pasir. Hal ini menarik perhatian peneliti untuk mencoba melakukan penelitian dan menilai sejauh mana penambangan pasir di wilayah tesebut dapat memberikan dampak terhadap perekonomian masyarakat sekitar maupun perekonomian daerah serta dampak lingkungan yang menyertainya. 4.2
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data yang dikumpulkan dari data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan pihak-pihak yang terkait kegiatan penambangan pasir dan jawaban yang bersumber dari responden melalui wawancara serta pengukuran langsung di lokasi penelitian. Wawancara dengan tokoh masyarakat mengenai pengaruh adanya kegiatan penambangan pasir terhadap kehidupan masyarakat dan terhadap lingkungan sekitar. Sedangkan jawaban yang bersumber dari responden melalui wawancara digunakan untuk memperoleh informasi mengenai nilai guna langsung dan tidak langsung yang diperoleh responden dengan adanya kegiatan penambangan pasir serta dampak yang mereka terima (baik dampak positif maupun negatif). Data sekunder adalah data yang relevan sebagai informasi tambahan untuk mendukung penelitian. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
27
meliputi data lokasi yang merupakan wilayah penambangan pasir di Kecamatan Tamansari dan jumlah penambang pasir yang relevan untuk dijadikan responden dalam penelitian ini. 4.3
Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode analasis deskriptif, kuantitatif, dan
kualitatif. Analisis deskriptif dan kualitatif digunakan untuk mengetahui sistem pengelolaan yang menunjang aktivitas penambangan pasir rakyat (tambang inkonvensional) baik termasuk lembaga pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Sementara analisis kuantitatif dilakukan untuk menghitung nilai guna langsung dan nilai guna tidak langsung serta nilai kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan pasir dengan menggunakan microsoft excel 2007. 4.4
Perhitungan Nilai Ekonomi Nilai
ekonomi
total
merupakan
konsep
yang
sesuai
untuk
memperhitungkan manfaat dari peningkatan kualitas sumberdaya alam yang merupakan barang publik atau kerusakan yang ditimbulkan oleh proyek pembangunan sebagai dampak lingkungan. Dalam penelitian ini, nilai ekonomi yang dihitung dibatasi pada nilai penggunaan (use value), yaitu hasil yang dapat dikonsumsi secara langsung, dan nilai penggunaan tidak langsung, yaitu keuntungan yang bersifat fungsional. Berdasarkan Panduan Perhitungan Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan yang disusun oleh kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup dan Institut Pertanian Bogor (2006), perhitungan ganti rugi pada kasus galian C (pertambangan batu, pasir, dan tanah) yang telah disederhanakan menggunakan dua komponen, yaitu biaya kerugian ekologis dan biaya kerugian ekonomi.
28
4.4.1 Penilaian Pendapatan dari Kegiatan Penambangan Hasil yang didapat dari aktifitas penambangan berupa pasir yang tersedia dan pasir yang dapat langsung dijual kepada konsumen disebut dengan nilai guna lansung. Nilai pasir diperoleh dari besarnya pendapatan yang diperoleh pengusaha dan panambang pasir. Dengan asumsi 300 hari kerja dalam satu tahun, maka diperoleh persamaan sebagai berikut : 300 Dimana:
NP = Nilai pasir/tahun (Rp) Pp = Pendapatan dari kegiatan penambangan pasir (Rp) Jp = Jumlah penambang
4.4.2
Biaya Kerugian Ekologis Berdasarkan KLH (2006), penambangan galian C (penambangan batu,
pasir, dan tanah) mengakibatkan kerusakan ekologis sehingga diperlukan biaya pengganti yaitu biaya pembuatan reservoir, biaya pengaturan tata air, biaya pengendalian erosi dan limpasan, biaya pembentukan tanah, biaya pendaur ulang unsur hara, biaya pengurai limbah, biaya keanekaragaman hayati, biaya sumberdaya genetik dan biaya pelepasan karbon. 1. Biaya fungsi penampungan air CR = KA x 2 x 103 (m3/ha) x CR (Rp/m3) x LA (ha) x MR (Rp/100th) Dimana : CR : Biaya pembuatan reservoar (Rp/m3) LA : Lahan yang hilang/tidak berfungsi karena dirusak (ha) MR : Biaya pemulihan reservoar (Rp/100th) KA x 2 x 103 : Kadar air x 2 x 103
29
Biaya pemeliharaan reservoir sampai lahan terdegradasi (lahan terbuka) pulih selama 100 tahun CPMR = BPMR x 100 x LA Dimana : CPMR : Biaya pemeliharaan reservoar (Rp) BPMR : Baseline biaya reservoar (Rp 200.000/ha) LA : Luas lahan yang dirambah (ha) Biaya yang dibutuhkan untuk membangun dan memelihara reservoar sebesar : CFPA = CR + CPMR 2. Biaya pengaturan tata air Biaya pengaturan tata air didasarkan kepada manfaat air untuk keperluan budi daya dalam ekosistem daerah aliran sungai (DAS) menurut Manan, Wasis, Rusdiana, Arifjaya, dan Purwowidodo (1999) dalam KLH (2006) untuk budidaya U
U
tanaman Rp 19.000.000 / ha dan penyediaan air minum (PAM) Rp 3.710.000 / ha. CTA = BTA (Rp/ha) x IHK1/IHK99 x LA CTA : Biaya pengaturan tata air BTA : Baseline biaya pengaturan tata air (Rp 22.810.000) IHK1 : Indeks harga konsumen pada tahun terjadi galian C IHK99 : Indeks harga konsumen baseline (tahun 1999) 3. Biaya pengendalian erosi dan limpasan Biaya pengendalian erosi dan limpasan dalam daerah aliran sungai (DAS) menurut Manan, Wasis, Rusdiana, Arifjaya, dan Purwowidodo (1999) dalam KLH U
U
(2006) sebesar Rp 6.000.000 / ha. CEI = BEI (Rp/ha) x IHK1/IHK99 x LA
30
CEI : Biaya erosi dan limpasan BEI : Biaya erosi dan limpasan baseline (Rp 6.000.000) IHK1 : Indeks harga konsumen pada tahun terjadi galian C IHK99 : Indeks harga konsumen baseline (tahun 1999) 4. Biaya pembentukan tanah Pembentukan tanah menurut Hardjowigeno (1993) dalam KLH (2006) U
U
sebesar 30 ton/ha sehingga biaya pembentukan tanah Rp 1.500.000 / ha dikalikan dengan solum tanah yang hilang (STH) dibagi 2,5 mm. CPT = SLH / 2,5 mm x BPT (Rp/ha) x IHK1/IHK93 x LA CPT : Biaya pembentukan tanah SLH/2,5 mm : Solum tanah yang hilang BPT : Biaya pembentukan tanah baseline (Rp 1.500.000 / ha) IHK1 : Indeks harga konsumen pada tahun terjadi galian C IHK93 : Indeks harga konsumen baseline (tahun 1993) 5. Biaya hilang unsur hara Biaya hilangnya unsur hara menurut Wasis (2005) dalam KLH (2006) U
U
akibat penambangan galian C Rp 9.548.000 / ha CUH = BUH (Rp/ha) x IHK1/IHK05 x LA CUH : Biaya hilangnya unsur hara BUH : Baseline biaya hilangnya unsur hara (Rp 9.548.000) IHK1 : Indeks harga konsumen pada tahun terjadi galian C IHK05 : Indeks harga konsumen baseline (tahun 2005)
31
6. Biaya fungsi pengurai limbah Biaya hilangnya fungsi pengurai limbah menurut Pangestu dan Achmad (1998) dalam KLH (2006) yaitu sebesar Rp 435.000 U
U
CPL = BPL (Rp/ha) x IHK1/IHK98 x LA CPL : Biaya pengurai limbah BPL : Baseline biaya pengurai limbah (Rp 435.000/ha) IHK1 : Indeks harga konsumen pada tahun terjadi galian C IHK98 : Indeks harga konsumen baseline (tahun 1998) 7. Biaya pemulihan biodiversity Biaya pemulihan biodiversity menurut Pangestu dan Achmad (1998) dalam KLH (2006) yaitu sebesar Rp 2.700.000 / ha. U
U
CPB = BPB (Rp/ha) x IHK1/IHK98 x LA Dimana : CPB : Biaya pemulihan biodiversity BPB : Baseline biaya pemulihan biodiversity (Rp 2.700.000/ha) IHK1 : Indeks harga konsumen pada tahun terjadi galian C IHK98 : Indeks harga konsumen baseline (tahun 1998) 8. Biaya pemulihan genetik Biaya pemulihan genetik menurut Pangestu dan Achmad (1998) dalam U
KLH (2006) adalah sebesar Rp 410.000 / ha.
U
Cgen = Bgen (Rp/ha) x IHK1/IHK98 x LA Dimana : Cgen : Biaya pemulihan genetik Bgen : Baseline biaya pemulihan genetik (Rp 410.000/ha)
32
IHK1 : Indeks harga konsumen pada tahun terjadi galian C IHK98 : Indeks harga konsumen baseline (tahun 1998) 9. Biaya pelepas karbon Biaya pelepas karbon menurut Pangestu dan Achmad (1998) dalam KLH U
U
(2006) adalah sebesar Rp 90.000 / ha. Ccar = Bcar (Rp/ha) x IHK1/IHK98 x LA Dimana : Ccar : Biaya pemulihan carbon Bcar : Baseline biaya pemulihan carbon (Rp 90.000/ha) IHK1 : Indeks harga konsumen pada tahun terjadi galian C IHK98 : Indeks harga konsumen baseline (tahun 1998) Total kerugian ekologis CKEg = CFPA + CTA + CEI + CPT + CUH + CPL + CPB + Cgen + Ccar Dimana : CKEg : Biaya total kerugian ekologis 4.4.3
Biaya Kerugian Ekonomi Biaya kerugian ekonomi terdiri atas 2 hal yaitu nilai batu, pasir, dan tanah
dan hilangnya umur pakai lahan. 1. Nilai batu, pasir, dan tanah Menurut Wasis (2005) dalam KLH (2006) nilai batu, pasir, dan tanah U
U
sebesar Rp 50.000/m3 CBPT = BBPT x LTH m / 0,2 m x 2.000 m3/ha x IHK1/IHK05 x LA Dimana : CBPT : Biaya batu, pasir, dan tanah
33
BBPT : Baseline biaya batu, pasir, dan tanah (Rp 50.000/m3) LTH : Lapisan tanah hilang (m) IHK1 : Indeks harga konsumen pada tahun terjadi galian C IHK05 : Indeks harga konsumen baseline (tahun 2005) 2. Umur pakai lahan Pada bagian kerusakan ekonomi ini terdapat parameter penting yang patut dipertimbangkan yaitu hilangnya umur pakai lahan selama 100 tahun. Hal ini disebabkan pemulihan fungsi lahan diperkirakan memerlukan waktu sekitar 100 tahun, walaupun pada kenyataan secara umum tidak akan kembali. Untuk itu seandainya lahan tersebut digunakan untuk budi daya tanaman. Menurut penelitian Tim Demfarm IPB (2002) pada 1 ha tanah nilai pakai lahan untuk budi daya tanaman sebesar Rp 32.000.000 / ha. CUPL = 100 x BUPL x IHK1/IHK02 x LA Dimana : CUPL : Biaya hilangnya umur pakai lahan BUPL : Baseline biaya hilangnya umur pakai lahan (Rp 32.000.000/ha) IHK1 : Indeks harga konsumen pada tahun terjadi galian C IHK02 : Indeks harga konsumen baseline (tahun 2002) Total kerugian ekonomi CKEk = CBPT + CUPL Dimana : CKEk : Biaya total kerugian ekonomi Sehingga, biaya total ganti rugi kerusakan lingkungan akibat galian C yaitu : CTGC = CKEg + CKEk
34
4.4.4
Analisis Hilangnya Produksi Padi Salah satu dampak dari konversi lahan pertanian adalah hilangnya
kesempatan memproduksi pangan dari lahan pertanian yang terkonversi dan lahan pertanian yang terganggu di sekitar lahan pertanian yang terkonversi. Hasil usahatani yang utama di lokasi penelitian adalah padi. Kehilangan produksi sebagai dampak kegiatan penambangan pasir diukur dengan menggunakan model yang digunakan oleh Utama (2006) untuk menjelaskan kehilangan produksi padi di Kabupaten Cirebon. Model tersebut kemudian diadaptasi oleh penulis dengan beberapa perubahan yang dapat menggambarkan kondisi yang terjadi pada lokasi penelitian, model tersebut dituliskan sebagai berikut:
Dimana:
Q = Produksi padi per tahun yang hilang (kg) S = Luas lahan yang terkonversi (m2) H = Produktifitas lahan rata-rata pada kawasan lahan yang terkonversi (kg per m2)
Produksi padi yang hilang sebagai dampak kegiatan penambangan pasir dihitung berdasarkan pada luas lahan dan produktifitas lahan rata-rata dari lahan pertanian di kawasan tersebut.
35
V. GAMBARAN UMUM 5.1
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Sukaresmi Kecamatan Tamansari
Kabupaten Bogor. Penambangan pasir juga dilakukan di beberapa desa di Kecamatan Tamansari, namun penambangan pasir dengan skala terbesar dilakukan di Desa Sukaresmi. 5.1.1. Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang terletak antara 6o18’ – 6o47’10 LS dan 106o23’45 – 107o13’30 BT. Ibukotanya adalah Cibinong. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Tangerang (Banten), Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi di utara; Kabupaten Karawang di timur; Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi di selatan; serta Kabupaten Lebak (Banten) di barat. Kabupaten Bogor memiliki luas wilayah sebesar 2.237,09 Km2 dan merupakan salah satu wilayah administratif terluas (ke – 6) di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bogor terdiri atas 40 kecamatan dengan jumlah total desa/kelurahan terbanyak di Provinsi Jawa Barat yaitu berjumlah 428 desa/kelurahan (200 desa/kelurahan termasuk dalam klasifikasi perkotaan sedangkan 228 desa lainnya berstatus perdesaan. Sumber : BPS Tahun 2008). Kecamatan-kecamatan tersebut dibagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten Bogor terletak di kecamatan Cibinong, yang berada di sebelah utara Kota Bogor (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bogor) diakses HU
pada 17 Maret 2011.
UH
Wilayah
Timur
Kabupaten
Bogor
merupakan
kawasan
favorit
pengembangan wilayah pemukiman Jakarta saat ini. Alasan utama hal tersebut adalah karena telah dibukanya jalur jalan baru dari Cibubur menuju Bandung melewati Gunung Putri dan Cileungsi. Jalur ini belum memiliki nama resmi, sedangkan nama yang secara umum digunakan masyarakat adalah Jalan Alternatif Cibubur-Cileungsi. Sejak dibukanya Jalan Alternatif tersebut, kompleks pemukiman modern dengan skala besar segera bermunculan sehingga harga tanah di kawasan ini menjadi salah satu yang termahal di daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Kemunculan kompleks-kompleks pemukiman ini menyebabkan sangat banyak penduduk Kabupaten Bogor yang memiliki pekerjaan di Jakarta. 5.1.2 Kecamatan Tamansari Berdasarkan hasil wawancara, nama Tamasari memiliki arti sebagai sebuah tempat atau taman yang indah dalam artian kerajaan. Tamansari merupakan tempat sakral bagi kerajaan Padjajaran dengan legenda gunung Salak. Dalam geografis kewilayahan, Kecamatan Tamansari merupakan suatu daerah yang berada di wilayah perbukitan dengan karakteristik wilayah dataran tinggi yang terkenal dengan keindahan alam serta udaranya yang sangat sejuk. Wilayah ini merupakan hasil pemekaran dengan Kecamatan Ciomas pada tahun 2001. 5.1.2.1 Kondisi Geografis Wilayah Kecamatan Tamansari berada pada ketinggian 700 meter diatas permukaan laut, merupakan kawasan yang berbukit di bawah kaki Gunung Salak, kondisi ini menyebabkan udara sejuk dengan suhu rata-rata 25oC – 30oC, luas lahan Wilayah Kecamatan Tamansari 2630,963 Ha. Kecamatan Tamansari
37
berbatasan dengan Kecamatan Ciomas dan Bogor Selatan di sebelah utara, Gunung Salak di sebelah selatan, Kecamatan Tenjolaya dan Kecamatan Dramaga di sebelah barat, dan Kecamatan Cijeruk di sebelah Timur. Kecamatan Tamansari terdiri dari delapan desa, 25 lingkungan/dusun, 88 RW, 358 RT. Jarak kantor Kecamatan Tamansari ke Ibukota Kabupaten Bogor adalah 27,5 km, ke Ibukota Provinsi Jawa Barat adalah 130 km, sedangkan ke Ibukota Negara adalah 65 km. Tabel 1. Nama Desa di Kecamatan Tamansari No Nama Desa Luas Wilayah (Ha) 1 Sirnagalih 200,592 2 Pasireurih 210,88 3 Sukamantri 639 4 Sukaresmi 306,31 5 Tamansari 181,2 6 Sukaluyu 301 7 Sukajaya 288,65 8 Sukajadi 503,304 Jumlah 2630,936 Sumber: Laporan Tahunan Kecamatan Tamansari, 2009
Persentase (%) 7,62 8,02 24,29 11,64 6,89 11,44 10,97 19,13 100
Dalam program Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor dengan mempertimbangkan wilayah karakteristik dan pola interaksi dan eksternal yang didukung oleh jaringan infrastruktur pelayanan baik lokal maupun regional, Kecamatan Tamansari termasuk ke dalam Wilayah Pembangunan selatan (Zona 3) yang merupakan kawasan penyangga resapan air dan kawasan hijau dengan mengintensifkan dan melestarikan tanaman tahunan dan mengadakan gerakan rehabilitasi lahan kritis (penanaman pohon). Sebagai Wilayah pengembangan pertanian dan wisata Kecamatan Tamansari yang menonjol produksi pertaniannya adalah padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, dan sayur-sayuran, disamping itu juga
38
sebagai sentra tanaman hias yang pemasarannya telah memasuki pangsa lokal, regional, dan mancanegara. Pengembangan lainnya adalah industri sedang berjumlah 27 buah dengan tenaga kerja 77 orang, industri kecil 400 buah dengan pekerja 1200 orang, dan industri rumah tangga 74 buah dengan pekerja 400 orang. Masalah perdagangan sangat dipengaruhi oleh perkembangan Kota Bogor karena berbatasan langsung. 5.1.2.2 Kondisi Demografi Secara administratif kependudukan per bulan Desember 2009 jumlah penduduk Kecamatan Tamansari sebanyak 84.539 jiwa yang terdiri dari laik-laki 42.467 jiwa dan perempuan 42.072 jiwa. Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa di Kecamatan Tamansari Jenis Kelamin No Desa Laki-Laki Perempuan 1 Sukajadi 3.944 3.743 2 Sukaluyu 4.102 4.304 3 Sukajaya 4.571 4.519 4 Sukaresmi 5.437 5.247 5 Pasireurih 5.525 5.536 6 Tamansari 5.448 5.410 7 Sukamantri 6.779 6.697 8 Sirnagalih 6.661 6.616 Jumlah 42.467 42.072 Sumber: Laporan Tahunan Kecamatan Tamansari, 2009
Jumlah KK 1.786 1.721 1.693 2.853 2.282 2.859 3.388 3.231 19.813
5.1.2.3 Kondisi Sosial Budaya Pembangunan daerah bidang sosial budaya dan kehidupan beragama berkaitan dengan kualitas manusia dan masyarakat Kabupaten Bogor. Kondisi tersebut tercermin pada kuantitas dan kualitas penduduk seperti pendidikan, kesehatan, pemberdayaan perempuan, pemuda, olah raga, seni budaya, dan keagamaan.
39
Berkenaan dengan pembangunan kualitas hidup penduduk Kabupaten Bogor, perkembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) Kabupaten Bogor menunjukkan kondisi yang semakin membaik. Hal tersebut antara lain ditunjukan dengan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dihitung berdasarkan tiga indikator, yaitu Indeks Pendidikan, Indeks Kesehatan, dan Indeks Daya Beli. Pada tahun 2007, IPM Kabupetan Bogor meningkat sebesar 2,37 dari angka 67,81 pada tahun 2003 menjadi 70,18 pada tahun 2009. Kondisi pemberdayaan perempuan dan penanggulangan masalah sosial di Kabupaten Bogor sebagai berikut: (1) masih kurangnya pemahaman di semua kalangan akan konsep dan kesetaraan gender; (2) masih adanya tindak kekerasan terhadap perempuan, perdagangan dan eksploitasi perempuan dan anak; (3) belum optimalnya fasilitas dan bantuan untuk pemenuhan kebutuhan dasar bagi perempuan lansia, perempuan penyandang cacat, dan Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) lainnya; (4) masih tingginyajumlah fakir miskin. Pada bidang olah raga, Kecamatan Tamansari belum memiliki sarana olah raga terpadu dan memadai. Dalam bidang kebudayaan di Kecamatan Tamansari ditujukan untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah serta mempertahankan jati diri dan nilai-nilai budaya daerah di tengah-tengah semakin derasnya arus informasi dan pengaruh negatif budaya global. Pengembangan seni dan budaya di Kecamatan Tamansari diselenggarakan secara terintegrasi dengan pembangunan kepariwisataan. Pada tahun 2009 telah dilakukan berbagai macam kegiatan untuk melestarikan dan mengaktualisasikan seni dan budaya daerah sebagai upaya mengelola kekayaan dan keragaman budaya serta mempromosikan,
40
menjalin kemitraan dan mengembangkan destinasi pariwisata di Kecamatan Tamansari. 5.1.2.4 Kondisi Pendidikan Minat dan tingkat kesadaran masyarakat terhadap pendidikan usia sekolah sudah cukup tinggi. Hal ini ditunjang oleh keberadaan dan peran Program Kejar Paket, program beasiswa bagi siswa berprestasi, PKBM yang sudah cukup mampu memberikan andil dalam penanganan masalah pendidikan. Bahkan di beberapa sekolah, daya tampung murid telah melampaui batas, sehingga ditanggulangi dengan sistem shift. Namun dari hasil pendataan penduduk yang dilakukan oleh UPTK Pendidikan diketahui bahwa ternyata angka drop out usia sekolah tingkat sekolah dasar masih ada. Hal ini cukup menghambat penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun. Sarana prasarana pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM mempunyai peran yang cukup penting. Sarana dan prasarana pendidikan di Kecamatan Tamansari keadaan Desember 2009 dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3. Data Jumlah Sekolah No Nama Sekolah 1 PAUD 2 Taman Kanak-kanak 3 Sekolah Dasar Negeri 4 Sekolah Dasar Swasta 5 SMP Negeri 6 SMP Swasta 7 SMA Negeri 8 SMA/K Swasta 9 Perguruan Tinggi Sumber: Laporan Tahunan Kecamatan Tamansari, 2009
Jumlah 17 Buah 5 Buah 29 Buah 3 Buah 2 Buah 5 Buah 1 Buah 5 Buah 1 Buah
41
5.1.2.5 Kondisi Ekonomi Perekonomian Kecamatan Tamansari didukung oleh saran dan prasarana wilayah yang ada, yang merupakan aspek pendukung utama dalam pembangunan yang secara tidak langsung akan berpengaruh kepada tingkat perekonomian masyarakat. Sarana prasarana tersebut dalam pengembangan pembangunan berperan sebagai pengarah pembentukan tata ruang kota, pemenuhan kebutuhan infrastruktur, pemicu pertumbuhan wilayah. Sarana dan prasarana yang mendukung
pengembangan
perkotaan
diantaranya
adalah
keterbatasan
transportasi, pengairan, jaringan listrik, telekomunikasi, dan pemukiman. 1.
Jaringan Transportasi Jaringan transportasi di Kecamatan Tamansari cukup baik, kondisi jalan
relatif baik, sebagian besar telah beraspal dan seluruh wilayah dapat dilalui oleh kendaraan beroda empat. Kondisi lalu lintas di Kecamatan Tamansari cukup padat pada saat menjelang jam masuk kantor dan sekolah serta pada saat usai kantor dan sekolah. Titik kemacetan tersebar terutama pada lingkungan sekolah, ditambah pula adanya ketidak disiplinan para pengguna jalan umum yang sering berhenti pada tempat rawan macet. 2.
Jaringan Air Bersih/Irigasi Masyarakat Kecamatan Tamansari memanfaatkan air bawah tanah berupa
sumur gali dan pembuatan jet pump dalam pemenuhan kebutuhan air bersih. Ketersediaan air tanah sejauh ini dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. 3.
Jaringan Listrik dan Telekomunikasi Pelayanan jaringan listrik PLN telah menjangkau seluruh wilayah yang
dimanfaatkan untuk kebutuhan pemukiman, perkantoran, sekolah, industri,
42
perdagangan dan jasa. Sebagian besar wilayah Tamansari telah dilengkapi dengan Penerangan Jalan Umum (PJU) dan setiap tahun selalu diadakan penambahan untuk peningkatan sarana umum perlistrikan. Beberapa lokasi pemukiman dan perindustrian memanfaatkan jaringan listrik dari genset untuk mengimbangi tingginya penggunaan daya listrik PLN. Prasarana telekomunikasi masyarakat mayoritas dilayani oleh PT. Telkom sebagian dengan sarana handphone yang dimiliki oleh masyarakat. Keperluan pos dan giro dilayani langsung oleh Kantor Pos dan Giro Ciomas. 4.
Perekonomian Masyarakat Krisisi ekonomi telah membawa dampak yang cukup serius bagi Laju
Pertumbuhan Ekonomi (LPE) masyarakat. Kondisi ini berpengaruh terhadap perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat yang ditandai dari menurunnya kemampuan menyekolahkan anak usia sekolah, menurunnya derajat kesehatan masyarakat dan jumlah penduduk miskin meningkat dengan tajam, daya beli masyarakat menurun dan pengengguran meningkat mewarnai pelaksanaan penyelenggaraan tugas pemerintah. Berbagai kebijakan dari pemerintah untuk memberdayakan perekonomian masyarakat telah banyak dilakukan seperti penciptaan lapangan kerja baru dan pemberian
Bantuan
Langsung
Tunai
(BLT).
Selain
itu,
pembangunan
perekonomian di Kecamatan Tamansari diarahkan secara merata pada setiap bidang pembangunan penyebarannya. Perencanaan pembangunan yang ditetapkan dan upaya pengembangan infrastruktur senantiasa diarahkan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan konsep pengembangan potensi yang dimiliki wilayah.
43
Kecamatan Tamansari memiliki wilayah yang sangat potensial untuk dijadikan sebagai kawasan wisata. Di kawasan tersebut terdapat berbagai objek, baik wisata alam ataupun wisata lainnya yang tak kalah indahnya dengan objek wisata Puncak, Cisarua seperti Bumi Perkemahan (Buper) yang berada di Desa Sukamantri, Kampung Budaya Sunda yang ada di Desa Pasireurih, Pura Jagatkartta yang berlokasi di Desa Tamansari, dan keberadaan 57 situs peninggalan kerajaan Padjajaran yang tersebar di seluruh wilayah Tamansari. Kecamatan Tamansari juga merupakan pintu gerbang bagi wisatawan yang akan berkunjung ke objek wisata alam Curug Nangka yang masuk dalam teritori Kecamatan Tenjolaya. Maka dari itu berdasarkan informasi yang diperoleh dari wawancara pemerintah Tamansari, wilayah ini masuk program visit Bogor 2011. Hal ini perlu diterapkan, karena wilayah Kecamatan Tamansari berada di kaki gunung Salak yang kaya akan potensi alamnya. Sebagai contoh lain, adanya potensi alam berupa situ-situ tentunya akan mendukung pula potensi pengembangan wilayah Kecamatan Tamansari di bidang Pariwisata. Potensi alam tersebut adalah Situ Taman di Desa Tamansari (luas 2,4 ha) dan Situ Jadi di Desa Sukajadi (luas 1,5 ha). Berdasarkan pekerjaan, penduduk Kecamatan Tamansari mempunyai pekerjaan yang beraneka ragam. Secara garis besar sebagian penduduk bekerja sebagai petani, peternak, pengusaha/wiraswasta, karyawan swasta, PNS, Polri, dan buruh. Tabel 4 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kecamatan Tamansari bermata pencaharian buruh.
44
Tabel 4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian No Mata Pencaharian 1 Karyawan swasta 2 PNS 3 TNI/Polri 4 Pengusaha/Wiraswasta 5 Petani/Peternak 6 Buruh Sumber: Data Monografi Kecamatan Tamansari, 2009
Jumlah 6.762 1.102 124 2.102 5.886 11.402
Mayoritas perekonomian warga kecamatan Tamansari sekarang ini lebih cenderung kepada pengrajin sepatu dan petani. Sebagai wilayah hasil pemekaran dari Kecamatan Ciomas yang terkenal sebagai penghasil sepatu sandal, sebagian warga Tamansari juga handal membuat sepatu sandal dengan kualitas yang tak jauh berbeda dengan produk buatan Ciomas, namun keberadaan para perajin sepatu dan sandal belum terkoordinir dan masih bersifat sendiri-sendiri. Tapi secara alamiah, para pengrajin membentuk kelompok dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhan pasar. 5.1.3 Desa Sukaresmi Penambangan pasir di Kecamatan Tamansari dengan skala terbesar terjadi di Desa Sukaresmi. Penambangan ini dilakukan diatas lahan pertanian (sawah) sedangkan penambangan di desa lainnya sebagian besar dilakukan di sungai dengan skala yang lebih kecil. 5.1.3.1 Letak dan Keadaan Geografis Desa Sukaresmi merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Tamansari
Kabupaten
Bogor.
Kelurahan
Sukaresmi
berbatasan
dengan
Kecamatan Ciomas di sebelah utara, Kelurahan Tamansari di sebelah selatan, Kelurahan Sukaluyu di sebelah barat, dan Kelurahan Pasireurih di sebelah Timur. Kelurahan Sukaresmi memiliki luas areal sebesar 306,310 ha terbagi dalam tiga
45
dusun, 13 Rukun Warga (RW) dan 52 Rukun Tetangga (RT). Jarak kantor desa ke Ibukota Kecamatan Tamansari adalah dua km, Ibukota Kabupaten Bogor adalah 29,5 km, Ibukota Provinsi Jawa Barat adalah 132 km, sedangkan Ibukota Negara adalah 67 km. Persentase pemanfaatan lahan di Desa Sukaresmi paling banyak terlihat pada penggunaan ladang (53,21%) dan sawah (26,12%). Hal ini dikarenakan mayoritas mata pencaharian penduduk Sukaresmi adalah petani. Persentase penggunaan lahan untuk bangunan pendidikan hanya sebesar 0,65%, ini merupakan indikasi rendahnya tingkat pendidikan penduduk Sukaresmi. Tabel 5. Pemanfaatan/Penggunaan Lahan di Desa Sukaresmi No Penggunaan Lahan Luas (Ha) 1 Pemukiman dan Pekarangan 42 2 Sawah 80 3 Ladang/Huma 163 4 Jalan 8,31 5 Pemakaman/Kuburan 2 6 Perkantoran 2 7 Lapangan Olah Raga 1 8 Tanah/Bangunan Pendidikan 2 9 Tanah/Bangunan Peribadatan 3 10 Kolam 3 Jumlah 306,31 Sumber: Laporan Akhir Tahun Desa Sukaresmi, 2010
Persentase (%) 13,71 26,12 53,21 2,71 0,65 0,65 0,33 0,65 0,98 0,98 100
5.1.3.2 Keadaan Demografi Jumlah penduduk desa akhir Desember 2010 tercatat 11467 jiwa terdiri dari laki-laki 5768 jiwa dan perempuan 5701 jiwa dengan 3203 jumlah kepala keluarga. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 6.
46
Tabel 6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Kelompok Umur No Total (orang) (Tahun) Laki-Laki Perempuan 1 0-4 581 582 1.163 2 5-9 468 464 932 3 10-14 444 444 888 4 15-19 435 429 864 5 20-24 434 427 861 6 25-29 396 392 788 7 30-34 387 384 771 8 35-39 373 364 737 9 40-44 337 333 670 10 45-49 331 321 652 11 50-54 316 316 632 12 55-59 299 299 598 13 60-64 280 289 569 14 65-69 269 257 526 15 70-74 248 239 487 16 ≥75 168 161 329 Total (orang) 5.766 5.701 11.467 Sumber: Laporan Akhir Tahun Desa Sukaresmi, 2010 5.2
Karakteristik Responden Responden dibagi menjadi dua kelompok, yaitu responden pengusaha
pasir dan responden penambang pasir. Data responden diperoleh dengan cara wawancara langsung para penambang dan pangusaha pasir. Data responden merupakan karakteristik umum seperti jenis kelamin, usia, dan pendidikan formal. 5.2.1 Responden Pengusaha Pasir Pengusaha pasir adalah orang yang meyewa lahan dari pemilik lahan, kemudian memanfaatkan lahan tersebut untuk penambangan pasir. Terdapat 13 pengusaha pasir pada lokasi penelitian. Mayoritas pengusaha pasir berjenis kelamin laki-laki, hanya satu pengusaha pasir berjanis kelamin perempuan. Berdasarkan tabel terlihat bahwa sebagian besar pengusaha pasir berumur antara 41-50 tahun (84,62%). Tingkat pendidikan responden pengusaha pasir
47
bervariasi, mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai dengan jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), tetapi terdapat satu responden yang tidak bersekolah. Sebagian besar responden menempuh pendidikan sampai jenjang SD yaitu sebanyak 8 responden (61,54%). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran mereka akan pendidikan tergolong rendah, selain itu faktor lemahnya kondisi ekonomi juga menjadi alasan sehingga tidak ada biaya untuk sekolah. Mengenai status kepemilikan lahan, hampir seluruh responden pengusaha pasir menggunakan lahan sewaan sebagai usaha mereka. Berdasarkan hasil wawancara, pemilik lahan dengan sengaja memyewakan lahannya kepada beberapa pengusaha dengan alasan pemerataan pembagian karena banyak orang yang bergantung pada usaha ini untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Tabel 7. Karakteristik Responden Pengusaha Pasir Karakteristik Responden
Kategori
Kurang dari 40 Usia (tahun) 41-50 51-60 Tidak tamat SD SD Tingkat Pendidikan SMP SMA Pemilik Status Lahan Sewa Sumber: Data Primer, diolah Maret 2011
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 11 1 1 8 3 1 1 12
7,69 84,62 7,69 7,69 61,54 23,08 7,69 7,69 92,31
5.2.2 Responden Penambang Pasir Penambang pasir merupakan orang yang dipekerjakan oleh pengusaha pasir. Pada lokasi penelitian terdapat 34 orang penambang yang keseluruhannya berjenis kelamin laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang tidak cocok dilakukan oleh gender perempuan, karena berdasarkan 48
observasi lapang, pekerjaan menambang pasir memang tidak memerlukan keahlian khusus tetapi memerlukan kekuatan fisik. Berdasarkan tabel, sebagian besar penambang berumur antara 51-60 tahun (44,12%) dan hanya terdapat 3 orang penambang yang berumur antara 61-70. Sedikitnya penambang yang berusia lanjut juga menunjukkan bahwa pekerjaan menambang memerlukan kekuatan fisik. Tingkat pendidikan tertinggi penambang pasir hanya sebatas jenjang Sekolah Dasar (SD), tetapi sebagian besar responden penambang tidak tamat SD atau dapat dikatakan tidak menempuh pendidikan formal. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan ini diminati oleh orang yang memiliki tingkat pendidikan rendah, karena pekerjaan ini tidak memerlukan keahlian khusus. Tingkat pendidikan yang rendah dari para penambang juga menyebabkan kurangnya perhatian mereka terhadap dampak lingkungan akibat kegiatan penambangan pasir ini. Tabel 8. Karakteristik Responden Penambang Pasir Karakteristik Responden
Kategori
Kurang dari 40 41-50 Usia (tahun) 51-60 61-70 Tidak tamat SD Tingkat Pendidikan Tamat SD Sumber: Data Primer, diolah Maret 2011
Jumlah (orang)
Persentase (%)
7 9 15 3 25 9
20,59 26,47 44,12 8,82 73,53 26,47
49
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1
Identifikasi Proses dan Pihak-Pihak Terlibat dalam Kegiatan Penambangan Pasir Kegiatan penambangan galian C di Kecamatan Tamansari sudah
berlangsung sejak sekitar 50 tahun yang lalu. Pada tahun 1960-an, pembangunan di daerah Ancol, Jakarta Utara, menggunakan pasir dan batu sebagai bahan dasar pembangunan yang berasal dari Kecamatan Tamansari. Semakin meningkatnya kebutuhan akan pasir dan batu sebagai bahan dasar pembangunan, menyebabkan terus meningkatnya kegiatan penambangan galian C. Saat ini, Desa Sukaresmi menjadi salah satu lokasi penambangan pasir dengan skala terbesar dibandingkan dengan lokasi penambangan di desa lainnya di Kecamatan Tamansari. Penambangan pasir di Desa Sukaresmi sudah dilakukan sejak tahun 1970-an yang pada awalnya merupakan perusahaan pemecah batu milik swasta. Setelah perusahaan
tersebut
ditutup,
masyarakat
sekitar
melanjutkan
kegiatan
penambangan pasir dan batu. Penambangan pasir yang dikelola masyarakat ini merupakan penambangan pasir ilegal karena tidak adanya izin atas kegiatan tersebut. Lahan yang digunakan untuk usaha ini merupakan lahan milik warga. Sebagian besar lahan yang dijadikan usaha penambangan pasir pada awalnya merupakan lahan persawahan. Para penambang tidak mengurus izin usaha dengan alasan pajak pemerintah yang harus mereka tanggung atas usaha tersebut dapat mempengaruhi pendapatan. Pemilik lahan, penyewa lahan/pengusaha pasir, penambang pasir, supir truk pengangkut pasir, dan buruh pengangkut pasir merupakan pihak yang terlibat secara langsung dalam kegiatan penambangan pasir ini. Pemerintah sebagai pihak luar tidak banyak terlibat dalam kegiatan penambangan dikarenakan kegiatan
50
tersebut bersifat ilegal/tidak memiliki izin. Berdasarkan wawancara dengan pemerintah setempat, upaya penutupan kegiatan penambangan ini telah dilakukan namun selalu gagal. Masalah ekonomi selalu dijadikan alasan para penambang untuk tetap melakukan kegiatannya. Pelatihan dan pembinaan keterampilan sebagai alternatif pengganti mata pencaharian juga tidak mampu menghentikan kegiatan penambangan tersebut. Pemberian izin usaha penambangan memang sengaja tidak diberikan dikarenakan wilayah Kecamatan Tamansari tidak diperuntukkan sebagai wilayah pertambangan, selain itu untuk menghindari eksploitasi
sumberdaya
yang
berlebih.
Jika
izin
diberikan,
maka
perusahaan/badan/perorangan sebagai pemegang izin usaha cenderung melakukan kegiatan penambangan dengan orientasi keuntungan semaksimal mungkin yang berimplikasi pada eksploitasi sumberdaya pasir secara berlebihan, dan pada akhirnya kerusakan lingkungan menjadi lebih besar. Penambangan pasir ilegal ini dapat dikategorikan sebagai pertambangan rakyat dengan cara konvensional, dengan anggapan kerusakan lingkungan lebih minimal sebagai dampak dari kegiatan penambangan tersebut. Berikut ini merupakan penjelasan dari pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam kegiatan penambangan pasir ilegal di Desa Sukaresmi, Kecamatan Tamansari: a.
Pemilik lahan adalah tuan tanah dimana usaha penambangan pasir ini dilakukan. Lahan yang mereka miliki berupa lahan sawah dan kebun. Lahan- lahan dalam lokasi penelitian merupakan milik warga sekitar desa. Lahan tersebut disewakan dengan harga Rp 40.000/m2 kemudian dialih fungsikan menjadi lahan untuk usaha penambangan pasir. Masa sewa
51
habis jika seluruh luasan lahan yang disewa telah digarap sampai kedalaman dua belas meter. b.
Penyewa lahan dalam penelitian ini merupakan para pengusaha pasir. Mereka
menyewa
memanfaatkan
lahan
lahan
pertanian
tersebut
dengan
kepada cara
pemilik
lahan
dan
mengeksploitasi
atau
mengambil pasir. Luasan lahan yang disewa para pengusaha pasir bervariasi, tetapi pada umumnya setiap pengusaha pasir menyewa antara 100 m2 sampai 300 m2 karena alasan saling berbagi dengan pengusaha pasir lainnya. Kedalaman lahan garapan untuk eksploitasi pasir adalah 12 meter. Dapat disimpulkan, setiap meter persegi lahan yang disewa dengan harga Rp 40.000 sama dengan 12 m3 lahan garapan dan setiap pengusaha pasir menyewa lahan sebesar luasan dikalikan kedalaman setinggi 12 meter. Luasan permukaan tebing dengan tinggi 12 meter dan lebar 7 meter disebut ‘1 kobak’, dan setiap pengusaha pasir memiliki jumlah ‘kobak’ yang bervariasi. c.
Penambang pasir merupakan orang yang dipekerjakan oleh pengusaha pasir. Tugas mereka adalah mengambil pasir. Satu pengusaha pasir biasanya mempekerjakan dua penambang. Satu penambang bertugas mengeruk tanah dengan cara konvensional dengan menggunakan linggis, penambang yang lain mecuci runtuhan tanah untuk memisahkan pasir dari batu dan kerikil.
d.
Buruh merupakan ‘kenek’ pengangkut pasir atau disebut juga ‘kadal’. Mereka diberikan upah atas jasanya yaitu menaikan pasir ke dalam truk pasir.
52
Penyewa lahan/pengusaha pasir, penambang pasir, dan buruh pengangkut pasir merupakan pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam kegiatan produksi pasir. Sedangkan supir pengangkut pasir merupakan pembeli pertama. Setiap supir datang ke lokasi penelitian untuk membeli pasir. Ukuran truk pasir terbagi dua yaitu, truk ‘engkel’ berukuran 2,5 m3 dan truk ‘dobel’ berukuran 5 m3. Pembelian pasir untuk truk ‘engkel’ dikenakan biaya Rp 170.000, sedangkan Truk ‘dobel’ Rp 340.000.
Produksi: pengusaha, panambang pasir
Distribusi: supir truk pengangkut pasir/pembeli pertama
Konsumsi: pembeli kedua
Buruh/’kadal’ Gambar 3. Proses Penambangan Pasir Lahan sawah yang telah disewa oleh pengusaha pasir dialih fungsikan menjadi lahan penambangan pasir dengan bentuk tebingan. Setiap pengusaha memiliki luasan tebing/’kobak’ yang bervariasi tetapi pada umumnya setiap pengusaha hanya memiliki 1 ‘kobak’ yaitu luasan tebing dengan lebar 7 meter dan tinggi 12 meter. Setiap harinya, 1 ‘kobak’ rata-rata menghasilkan 5 m3 pasir dengan pekerja penambang sebanyak 2 orang. Penambang merupakan orang yang menghasilkan/memproduksi pasir. Proses produksi pasir dari setiap ‘kobak’ biasanya dilakukan oleh 2 orang penambang dan rata-rata per hari menghasilkan 5 m3 pasir. Setelah pasir terkumpul, buruh pengangkut pasir atau yang mereka sebut ‘kadal’ bertugas memindahkan pasir tersebut kedalam truk pasir. Supir truk merupakan pembeli pertama. Terdapat dua jenis truk di lokasi penelitian, yaitu
53
truk berukuran 2,5 m3 yang disebut truk ‘engkel’ dan truk berukuran 5 m3 yang disebut truk ‘dobel’. Supir harus membayar sebesar Rp 170.000 untuk mendapatkan pasir sebanyak 2,5 m3 atau Rp 340.000 untuk pasir sebanyak 5 m3. Uang tersebut kemudian dibagikan kepada pengusaha pasir, penambang, dan buruh pengangkut. Setiap 2,5 m3 pasir, pengusaha mendapatkan bagian sebesar Rp 60.000, penambang Rp 60.000 (dibagikan dengan jumlah penambang), dan buruh pengangkut Rp 50.000 (dibagikan dengan jumlah buruh). Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43 Tahun 1996 mengenai kriteria kerusakan lingkungan bagi usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran, dinding galian adalah pinggiran lubang secara menyeluruh dari permukaan sampai dasar lubang dan untuk menjaga stabilitas dinding galian, kemiringan lereng dinding galian secara umum dibatasi maksimum 50% dan harus dibuat berteras-teras. Setiap teras terdiri dari tebing teras dan dasar teras sebagai parameter yang diamati. Batas tinggi tebing teras adalah maksimun 3 meter sebagai batas toleransi bagi keamanan lingkungan disekitarnya, sedangkan lebar batas teras minimum 6 meter untuk mempertahankan agar kemiringan dinding galian tidak lebih curam dari 50%. Pada lokasi penelitian, batas tinggi tebing maksimun tidak berlaku karena tinggi tebing teras galian mencapai 12 meter. Hal ini terjadi karena para penambang tidak mengetahui tata cara dan batas maksimun yang ditetapkan, selain itu mereka hanya memikirkan keuntungan sebesar-besarnya. Semakin tinggi tebing galian, semakin besar volume pasir yang diperoleh dan semakin besar juga keuntungan yang diperoleh.
54
Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43, 1996 Gambar 4. Sketsa Relief Dinding Galian yang Disyaratkan
permukaan tanah
12 M
dasar galian
Gambar 5. Sketsa Relief Dinding Galian pada Lokasi Penelitian Menurut Mangkoesoebroto (2001), terdapat beberapa faktor yang menjadi sumber timbulnya kegagalan pemerintah: 1.
Campur tangan pemerintah terkadang menimbulkan dampak yang tidak diperkirakan terlebih dahulu.
55
2.
Campur tangan pemerintah memerlukan biaya yang tidak murah, oleh karena itu campur tangan pemerintah harus dipertimbangkan manfaat dan biayanya secara cermat.
3.
Adanya kegagalan dalam pelaksanaan program pemerintah.
4.
Perilaku pemegang kebijakan pemerintah yang bersifat mengejar keuntungan pribadi atau rent seeking behaviour.
Berdasarkan hal diatas, dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Kecamatan Tamansari mengalami kegagalan dalam menangani kegiatan penambangan pasir. Program-program penyuluhan untuk menggantikan kegiatan penambangan tersebut belum berhasil dilakukan. 6.2
Identifikasi Dampak Positif dan Negatif dari Kegiatan Penambangan Pasir Kegiatan penambangan pasir memberikan dampak terhadap masyarakat
dan lingkungan. Dampak yang diterima berupa dampak positif dan negatif. Penyediaan mata pencaharian dan penyerapan tenaga kerja merupakan manfaat yang diterima masyarakat yang diidentifikasi sebagai dampak positif. Kerusakan lingkungan yang terdiri dari hilangnya lahan sawah, pencemaran air sungai, longsor, estetika lingkungan, rusaknya jalan yang mengakibatkan pencemaran udara dianggap sebagai dampak negatif. 6.2.1
Identifikasi Manfaat dari Kegiatan Penambangan Pasir Kegiatan penambangan pasir memberikan dampak positif bagi masyarakat
setempat dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, baik itu untuk pekerja penambangan (secara langsung) maupun sebagai supir kendaraan pengangkut pasir (secara tidak langsung). Masyarakat tidak memerlukan keahlian khusus dan
56
hanya dengan menggunakan peralatan penggalian sederhana, mereka dapat memperoleh pendapatan dari kegiatan ini. Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan penambangan pasir yang merasa diuntungkan, baik pihak yang terlibat secara langsung dalam proses penambangan maupun pihak diluar kegiatan penambangan seperti penjaga pos pungutan tidak resmi sepanjang jalan yang dilewati truk pengangkut pasir. Sumber penghasilan harian dinikmati oleh masyarakat dengan adanya kegiatan penambangan pasir ini. Pendapatan harian yang diperoleh penambang, pengusaha pasir, buruh pengangkut, dan supir truk pengangkut pasir sangat membantu dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka sehari-hari. Pos pintu gerbang tidak resmi di sepanjang jalan menuju lokasi penambangan secara langsung juga mendapatkan keuntungan berupa pungutan-pungutan. Berdasarkan wawancara dengan supir truk pasir, pungutan tidak resmi yang harus mereka bayar mencapai Rp 32.000. 6.2.2
Identifikasi Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir Penambangan yang bersifat mengambil atau eksploitatif menyebabkan
penurunan kualitas lingkungan tidak terelakkan lagi. Terutama kegiatan penambangan pasir yang dilakukan dengan cara mengkonversi lahan pertanian. Alih fungsi lahan pertanian menjadi penambangan pasir akan memberikan dampak negatif bagi lingkungan, seperti hilangnya lahan resapan air yang akan mengakibatkan terjadinya banjir, berkurangnya aliran air dalam tanah, erosi dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil wawancara responden bahwa dampak lingkungan seperti banjir dan erosi sering terjadi setelah turun hujan. Pengalihfungsian lahan pertanian menjadi bentuk lainnya merupakan salah satu masalah yang dihadapi dalam sektor pertanian. Kegiatan penambangan pasir
57
yang dilakukan di atas lahan pertanian sawah menyebabkan hilangnya kesempatan lahan pertanian tersebut untuk memproduksi pangan sebagai komoditas utama. Lokasi penambangan pasir terletak di perbatasan Kecamatan Tamansari dan Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor yang merupakan daerah pemukiman warga. Akses untuk menuju lokasi penambangan pasir melewati pemukiman warga. Perumahan Alam Tirta merupakan salah satu pemukiman penduduk dan memiliki jarak terdekat dengan lokasi penambangan pasir. Setiap harinya tidak kurang dari 25 truk pengangkut pasir melintasi jalan perumahan yang menyebabkan kualitas udara menurun. Kendaraan berukuran besar seperti truk pengangkut pasir juga menyebabkan rusaknnya jalan perumahan. Kualitas aspal yang digunakan untuk jalan umum dan jalan perumahan berbeda. Jalan perumahan tidak seharusnya dilalui oleh kendaraan berukuran besar. Berdasarkan hasil pengamatan, kerusakan jalan perumahan Alam Tirta sebagian besar disebabkan oleh truk pengangkut pasir. Padi
merupakan
komoditas
penting
di
Indonesia
yang
mampu
mampengaruhi ekonomi bahkan keadaan politik negara. Pengalihfungsian lahan pertanian merupakan salah satu masalah yang dihadapi sektor pertanian saat ini. Konversi
lahan
pertanian
menyebabkan
hilangnya
kesempatan
untuk
memproduksi padi. Setelah terjadi alih fungsi lahan pertanian, hampir tidak mungkin dilakukan proses pengembalian fungsi lahan tersebut. Kegiatan penambangan pasir yang dilakukan di lahan persawahan ini menyebabkan hilangnya fungsi dan multifungsi sawah. Perubahan paradigma pembangunan yang mengemuka sejak periode 1980an telah melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan, dimana aspek distribusi
58
dan kelestarian lingkungan maupun sosial-budaya memperoleh perhatian yang proporsional
seiring
dengan
upaya
peningkatan
pertumbuhan
ekonomi
(Munasinghe, 1993 dalam Rahmanto, 2006). Kaitannya dengan hal itu, berbagai U
U
klasifikasi mengenai nilai ekonomi lahan pertanian telah dikemukakan, di antaranya oleh Munasinghe (1992), Callaghan (1992), dan Sogo Kenkyu (1998). Meskipun terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi manfaat lahan pertanian yang dikemukakan oleh narasumber tersebut, tetapi secara garis besar penilaian ekonomi lahan pertanian harus dilihat berdasarkan manfaat penggunaan (use values) dan manfaat bawaannya (intrinsic values). Kedua manfaat tersebut meliputi aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya. Manfaat langsung lahan sawah dapat dikaitkan dengan sepuluh unsur berikut (Nasoetion dan Winoto, 1996 dalam Rahmanto, 2006): (1) penghasil U
U
bahan pangan, (2) penyedia kesempatan kerja pertanian, (3) sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak lahan, (4) sumber PAD melalui pajak lainnya, (5) mencegah urbanisasi melalui kesempatan kerja yang diciptakan, (6) sebagai sarana bagi tumbuhnya kebudayaan tradisional, (7) sebagai sarana tumbuhnya rasa kebersamaan atau gotongroyong, (8) sebagai sumber pendapatan masyarakat, (9) sebagai sarana refreshing, dan (10) sebagai sarana pariwisata. Manfaat tidak langsung mencakup fungsi-fungsi pelestarian lingkungan yang terdiri dari unsur-unsur berikut (Nasoetion dan Winoto, 1996 dalam U
U
Rahmanto, 2006): (1) mengurangi peluang banjir, (2) mengurangi peluang erosi, (3) mengurangi peluang tanah longsor, (4) menjaga keseimbangan sirkulasi air, terutama di musim kemarau, (5) mengurangi pencemaran udara akibat polusi industri, dan (6) mengurangi pencemaran
lingkungan melalui pengembalian
59
pupuk organik pada lahan sawah. Sementara itu, manfaat bawaan terdiri dari dua unsur berikut: (1) sebagai sarana pendidikan, dan (2) sebagai sarana untuk mempertahankan keragaman hayati. 6.3
Penilaian Dampak Positif dan Negatif Kegiatan Penambangan Pasir Penilaian merupakan upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari
suatu barang atau jasa untuk kepentingan tertentu manusia atau masyarakat. Penilaian mencakup kegiatan akademis untuk pengembangan konsep dan metodologi untuk menduga nilai manfaat. Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu obyek, bagi orang tertentu, pada waktu dan tempat tertentu. Persepsi tersebut berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat itu. Untuk menilai berapa besar nilai sumberdaya alam ini sangat bergantung pada sistem nilai yang dianut. Sistem nilai tersebut antara lain mencakup: apa yang dinilai, kapan dinilai, dimana dan bagaimana menilainya, kelembagaan penilai dan sebagainya (Davis dan Johnson dalam Ansahar 2005). U
U
Penilaian dampak positif dari kegiatan penambangan merupakan penilaian manfaat yang diterima pihak-pihak dalam kegiatan penambangan pasir di lokasi penelitian, yaitu berupa besaran rupiah yang diterima dengan adanya kegiatan tersebut. Sedangkan penilaian dampak negatif merupakan penilaian kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan pasir. Kerusakan lingkungan dalam penelitian ini berupa hilangnya fungsi dan multifungsi sawah. Padi yang merupakan hasil utama dari sawah dinilai uangkan agar diperoleh besaran nilai yang hilang akibat adanya kegiatan penambangan pasir.
60
6.3.1
Penilaian Manfaat dari Kegiatan Penambangan Pasir Hasil dari penelitian menunjukan manfaat atau dampak positif dari
kegiatan penambangan pasir ini berupa penyerapan tenaga kerja dan pemenuhan kebutuhan sumberdaya pasir sebagai bahan dasar untuk pembangunan. Manfaat dari kegiatan penambangan pasir ini dapat dievaluasikan kedalam nilai ekonomi sebagai nilai pendapatan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan penambangan pasir. Terdapat 13 responden pengusaha pasir dan 34 penambang pasir dalam lokasi penelitian. Dari 13 pengusaha pasir, 8 orang yang masing-masing memiliki 1 ‘kobak’ menghasilkan pendapatan sebesar Rp 120.000/orang per hari, 4 orang masing-masing memiliki 2 ‘kobak’ dan menghasilkan Rp 240.000/orang per hari, dan 1 orang memiliki 3 ‘kobak’ yang menghasilkan Rp 360.000 per hari. Diasumsikan 300 hari kerja dalam satu tahun. Tabel 9. Pendapatan Pengusaha Pasir Pendapatan (Rp)
Jumlah responden (orang)
8 120.000 4 240.000 1 360.000 Total Sumber: Data primer, diolah Maret 2011
Pendapatan/hari (Rp) 960.000 960.000 360.000 2.280.000
Pendapatan/tahun (Rp) 288.000.000 288.000.000 108.000.000 684.000.000
Dari 34 penambang pasir di lokasi penelitian, 28 penambang masingmasing memiliki penghasilan Rp 60.000/hari dan 6 penambang lainnya masingmasing berpenghasilan Rp 40.000/hari. Diasumsikan dalam satu tahun adalah 300 hari kerja. Penghasilan total penambang pasir dapat dilihat pada tabel 10.
61
Tabel 10. Pendapatan Penambang Pasir Pendapatan (Rp)
Jumlah responden (orang)
6 40.000 28 60.000 Total Sumber: Data primer, diolah Maret 2011
Pendapatan/hari (Rp) 240.000 1.680.000 1.920.000
Pendapatan/tahun (Rp) 72.000.000 504.000.000 576.000.000
Berdasarkan pendapatan dari 13 pengusaha pasir dan 34 penambang pasir, penilaian manfaat dari kegiatan penambangan pasir menghasilkan angka Rp.1.260.000.000/tahun. Pendapatan pengusaha dan penambang pasir merupakan nilai guna langsung dari kegiatan penambangan pasir. Hasil yang didapatkan dari wawancara dan pengamatan lapang, rata-rata 25 supir mendapatkan keuntungan masing-masing Rp 40.000 per harinya sebagai pembeli pertama. Sementara itu, buruh pengangkut pasir setiap hari memperoleh pendapatan Rp 25.000. Rata-rata dalam satu hari diperoleh estimasi nilai guna tidak langsung sebesar Rp 1.625.000. Asumsi hari kerja dalam satu tahun adalah 300 hari kerja, sehingga nilai guna tidak langsung dari kegiatan penambangan pasir di Desa Sukaresmi Kecamatan Tamansari adalah sebesar Rp 487.500.000 per tahun. Nilai guna (langsung dan tidak langsung) dari kegiatan penambangan pasir adalah Rp 1.747.500.000 per tahun. Penambangan pasir di lokasi penelitian diperkirakan akan habis dalam 2,5 tahun, sehingga total nilai guna dari kegiatan penambangan pasir adalah sebesar Rp 4.368.750.000. 6.3.2
Penilaian Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir Berdasarkan panduan perhitungan ganti kerugian akibat pencemaran dan
atau perusakan lingkungan, terdapat dua komponen konsep ganti rugi pada kasus 62
galian C (penambangan batu, pasir, dan tanah) yaitu biaya kerugian ekologis dan biaya kerugian ekonomi. Biaya pada panduan perhitungan merupakan biaya yang ditetapkan pada tahun 2006, sedangkan penelitian dilakukan pada tahun 2010 sehingga tetapan biaya yang digunakan untuk menilai kerusakan lingkungan disesuaikan dengan konsep future value. F = P (1 + i)n Dimana:
F : biaya di tahun 2010 P : tetapan biaya di tahun 2006 i : suku bunga yang digunakan pada saat penelitian, yaitu 6,5% n : lama waktu, yaitu 4 tahun
1. Biaya kerugian ekologi a. Biaya pembuatan reservoir Lahan sawah yang dialih fungsikan menjadi pertambangan pasir mengakibatkan hilangnya fungsi tanah sebagai penyimpan air. Pembangunan tempat penyimpanan air buatan diperlukan untuk menggantikan fungsi tanah yang hilang tersebut. Menurut BPT Bogor (2005) dalam KLH (2006), diketahui bahwa U
U
lahan sawah dapat menyerap air sekitar 900 m3 (900 ribu liter) per hektar, sehingga reservoir tersebut harus memiliki kapasitas air sebanyak 900 m3. Untuk menampung air sebanyak 900 m3 diperlukan reservoir berukuran lebar 15 m, panjang 20 m, dan tinggi 3 m. Biaya pembangunan diasumsikan Rp 100.000 per m2 (pada tahun 2006), dengan konsep future value, asumsi biaya pada tahun 2010 adalah Rp 129.000. Per hektar lahan sawah yang rusak diperlukan biaya :
63
= {(2 x 3 x 15) + (2 x 3 x 20) + (15 x 20)} x Rp 129.000/m2 = 510 m2 x Rp 129.000/m2 = Rp 65.790.000 Luas lokasi penambangan adalah 1,064 ha, maka biaya pembuatannya (CR) adalah : = 1,064 ha x Rp 65.790.000/ha = Rp 70.000.560 Biaya pemeliharaan reservoir sampai lahan terdegradasi pulih (CPMR) yaitu selama 100 tahun dengan biaya Rp 200.000 per tahun (pada tahun 2006) atau Rp 258.000 (pada tahun 2010): = Rp 258.000/th/ha x 100 th x 1,064 ha = Rp 27.451.200 Biaya yang dibutuhkan untuk membangun dan memelihara reservoir buatan untuk 1,064 ha (CFTA) adalah sebesar Rp 97.451.760 b. Pengaturan tata air Biaya pengaturan tata air didasarkan kepada manfaat air untuk keperluan budi daya dalam ekosistem daerah aliran sungai (DAS) menurut Manan, Wasis, Rusdiana, Arifjaya, dan Purwowidodo (1999) dalam KLH (2006) untuk tanaman U
U
budidaya Rp 19.100.000/ha (Rp 24.639.000/ha di tahun 2010) dan penyediaan air minum (PAM) Rp 3.710.000/ha (Rp 4.785.900/ha di tahun 2010), sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk pengaturan tata air untuk luas 1,064 ha dengan asumsi perbaikan lahan selama 100 tahun sebesar : CTA = 1,064 ha x (Rp 24.639.000 + Rp 4.785.900) x 100 th = Rp 3.130.809.400 c. Pengendalian erosi dan limpasan Biaya pengendalian erosi dan limpasan akibat konversi hutan alam menjadi hutan sekunder dan tanah terbuka dengan pembuatan teras dan rorak
64
didasarkan perhitungan Manan et al (1998) dalam KLH (2006) yaitu sebesar Rp U
U
6.000.000 per ha (Rp 7.740.000 per ha di tahun 2010). Biaya yang dibutuhkan untuk pengendalian erosi dan limpasan seluas 1,064 ha adalah : CEL = 1,064 ha x Rp 7.740.000/ha = Rp 8.235.360 d. Pembentukan tanah Biaya pembentukan tanah menurut Hardjowigeno (1993) dalam KLH U
U
(2006) adalah sebesar Rp 1.500.000/ha (Rp 1.935.000 di tahun 2010) dikalikan dengan solum tanah yang hilang dibagi 2,5 mm. Tanah yang hilang adalah 50 cm dan luas lahan penambangan 1,064 ha. CPT = 500 mm/2,5 mm x Rp 1.935.000/ha x 1,064 ha = Rp 411.768.000 e. Pendaur ulang unsur hara Biaya hilangnya unsur hara menurut Wasis (2005) dalam KLH (2006) U
U
akibat penambangan galian C adalah Rp 9.548.000/ha (Rp 12.316.920 di tahun 2010), sehingga dengan lokasi penambangan seluas 1,064 ha diperlukan biaya sebesar : CUH = 1,064 ha x Rp 12.316.920/ha = Rp 13.105.203 f. Pengurai limbah Biaya pengurai limbah yang hilang karena kerusakan lahan menurut perhitungan Pangestu dan Ahmad (1998) dalam KLH (2006) yaitu sebesar Rp U
U
435.000 per ha (Rp 561.150 di tahun 2010). Biaya yang dibutuhkan untuk pengurai limbah pada lahan seluas 1,064 ha adalah: CPL = 1,064 ha x Rp 561.150/ha = Rp 597.063,6
65
g. Pemulihan biodiversity Biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan keanekaragaman hayati yang hilang akibat rusaknya lahan karena galian C menurut perhitungan Pangestu dan Ahmad (1998) dalam KLH (2006) yaitu sebesar Rp 2.700.000/ha (Rp 3.483.000 U
U
pada tahun 2010), sehingga untuk lahan seluas 1,064 ha adalah : CPB = 1,064 ha x Rp 3.483.000/ha = Rp 3.705.912 h. Sumberdaya genetik Biaya pemulihan akibat hilangnya sumberdaya genetik adalah sebesar Rp 410.000/ha (Pangestu dan Ahmad, 1998 dalam KLH, 2006), dengan konsep future U
U
value maka pada tahun 2010 biaya pemulihan adalah sebesar Rp 528.900/ha, sehingga untuk lahan seluas 1,064 ha biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan adalah sebesar: Cgen = 1,064 ha x Rp 528.900/ha = Rp 562.749,6 i. Pelepasan karbon Biaya pelepasan karbon menurut Pangestu dan Ahmad (1998) dalam KLH U
U
(2006) adalah sebesar Rp 90.000/ha (Rp 116.100/ha di tahun 2010). Biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan lahan seluas 1,064 ha adalah sebagai berikut: Ccar = 1,064 ha x Rp 116.100/ha = Rp 123.530,4 Total biaya ekologi (CKEg) : CKEg = CFTA + CTA + CEL + CPT + CUH + CPL + CPB + Cgen + Ccar = Rp 97.451.760 + Rp 3.130.809.400 + Rp 8.235.360 + Rp 411.768.000 + Rp 13.105.203 + Rp 597.063,6 + Rp 3.705.912 + Rp 562.749,6 + Rp 123.530,4 = Rp 3.666.358.978,6
66
2. Biaya Kerugian Ekonomi a. Nilai batu, pasir, dan tanah Akibat adanya pengambilan tanah dan batu di penambangan pasir Desa Sukaresmi pada lahan seluas 1,064 ha dengan kedalaman 12 m (volume = 127.680 m3), dimana nilai batu, pasir, dan tanah sebesar Rp 50.000/m3 (KLH, 2006) atau Rp 64.500/m3 pada saat penelitian, maka biaya kerusakan akibat pengambilan batu dan pasir adalah sebesar : CBPT = 127.680 m3 x Rp 64.500/m3 = Rp 8.235.360.000 b. Umur pakai lahan Pada bagian kerusakan ekonomi ini terdapat parameter penting yang patut dipertimbangkan yaitu hilangnya umur pakai lahan selama 100 tahun. Alih fungsi lahan dari sawah menjadi penambangan pasir menyebabkan hilangnya fungsi lahan tersebut dalam memproduksi padi. Penilaian hilangnya produksi padi dilakukan untuk mengetahui berapa besar kerugian yang diterima akibat alih fungsi lahan tersebut. Luas lahan persawahan yang dikonversi menjadi panambangan pasir adalah sebesar 1,064 ha. Produksi rata-rata padi di lokasi penelitian adalah 12 ton/ha/tahun, sehingga padi yang seharusnya dihasilkan adalah 12,768 ton/tahun. Harga yang diterima petani setempat adalah Rp 2.900/kg padi. Sehingga perhitungan hilangnya penerimaan petani akibat hilangnya produksi padi adalah sebesar Rp 37.027.200/tahun atau selama 100 tahun sebesar Rp 3.702.720.000. Estimasi biaya total kerugian ekonomi pada lokasi penambangan seluas 1,064 ha adalah Rp 11.938.080.000.
67
Dengan menjumlahkan biaya total kerugian ekologi dan biaya total kerugian ekonomi, maka diperoleh estimasi nilai kerusakan lingkungan akibat adanya kegiatan penambangan pasir seluas 1,064 ha yaitu Rp 15.604.438.978,6. Nilai ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan nilai guna yang diperoleh dari kegiatan penambangan pasir. Berdasarkan nilai tersebut maka diperlukan pengendalian kegiatan penambangan pasir di Desa Sukaresmi. Pengendalian tersebut seharusnya juga diterapkan di desa-desa lainnya, meskipun kegiatan penambangan yang dilakukan memiliki skala yang lebih kecil.
68
VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1
Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut : 1. Pengusaha pasir, penambang pasir, supir truk pengangkut pasir, dan buruh pengangkut pasir merupakan pihak yang terlibat secara langsung dalam kegiatan penambangan pasir ini. Pemerintah sebagai pihak luar tidak banyak terlibat dalam kegiatan penambangan dikarenakan kegiatan tersebut bersifat ilegal/tidak memiliki izin. 2. Lahan sawah yang dikonversikan menjadi lahan untuk kegiatan penambangan pasir mengakibatkan hilangnya fungsi dan multifungsi lahan sawah. Manfaat yang hilang meliputi aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya. 3. Total nilai guna dari kegiatan penambangan pasir adalah sebesar Rp 4.368.750.000. Terdiri dari nilai guna langsung (pendapatan pengusaha pasir dan penambanga pasir) dan nilai guna tidak langsung (pendapatan supir dan buruh pengangkut pasir). 4. Nilai kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan pasir diperoleh dari nilai kerugian ekologi dan nilai kerugian ekonomi, termasuk hilangnya produksi padi yaitu sebesar Rp 15.604.438.978,6.
69
7.2
Saran 1. Diperlukan peran pemerintah sebagai pihak yang berwenang dalam pengendalian kegiatan pasir tersebut. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai penilaian ekonomi total dari kegiatan penambangan pasir agar estimasi nilai guna dan nilai kerusakan akibat kegiatan tersebut lebih akurat.
70
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Geografi Kabupaten Bogor. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bogor. diakses pada tanggal 17 Maret 2011. U
U
______. 2010. Laporan Pertanggung Jawaban Akhir Tahun Kepala Desa Sukaresmi Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor. ______. 2009. Data Monografi Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor Tahun 2009. ______. 2009. Laporan Tahunan Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor Tahun 2009. ______. 1996. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43 Tahun 1996 Mengenai Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha Penambangan Bahan Galian Golongan C. Ansahar. 2005. Valuasi Ekonomi dan Dampak Lingkungan pada Penambangan Pasir Darat di Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Timur. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1976. Segi-segi Hukum dari Pengelolaan Lingkungan Hidup. Binacipta. Champ, P. A., K. J. Boyle & T. C. Brown. 2003. A Primer Non-market Valuation. Kluwer Academic Publisher, New York. Dewi, E. S. 2006. Analisis Ekonomi Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Ternate Provinsi Maluku Utara. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Djajadiningrat, S. T. 2007. Paper Seminar Nasional “Pertambangan, Lingkungan, dan Kesejahteraan Masyarakat”. Universitas Sam Ratulangi, Manado. Fachruddin, K. 2004. Pendekatan Analisa Cost Benefit sebagai Alat Pengambilan Keputusan dalam Menentukan Konservasi Daerah Lahan Basah. Pengantar ke Falsafah Sains Sekolah Pasca Sarjana IPB. Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Furi, D. R. 2007. Implikasi Konversi Lahan Terhadap Aksesibilitas Lahan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa (Kasus Pembangunan Perumahan Dramaga Pratama di Desa Cibadak, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
71
Handayani, T. 2002. Nilai Ekonomi dan Strategi Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kementerian Lingkungan Hidup 2006. Panduan Perhitungan Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan. KLH, Jakarta. Kustiawan, I. 1997. Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara dalam Prisma No.1. Pustaka LP3ES, Jakarta. Mangkoesoebroto, G. 2001. Ekonomi Publik Edisi Ketiga. BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta Munir, M. 2008. Pengaruh Konversi Lahan Pertanian Terhadap Tingkat Kesejarteraan Rumahtangga Petani (Kasus: Desa Candimulyo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah). Skripsi pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahmanto, B., Irawan B., Agustin N. K. 2006. Persepsi Mengenai Multifungsi Lahan Sawah dan Implikasinya Terhadap Alih Fungsi ke Penggunaan Non Pertanian, Bogor. Rani, I. 2004. Pengaruh Kegiatan Pertambangan Pasir Terhadap Kualitas Tanah, Produktivitas Lahan, dan Vegetasi serta Upaya Rehabilitasinya. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rusli, S. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. PT Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta. Sihaloho, M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria (Kasus di Kelurahan Mulyaharjo, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat). Tesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soedarmo dan Hadiyan. 1980. Petunjuk Bahan Praktek Galian. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Utama, D. F. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah di Kabupaten Cirebon. Skripsi pada Departemen Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Utomo, et al. 1992. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung, Lampung. Wawo, M. 2000. Penilaian Ekonomi Terumbu Karang : Studi Kasus di Desa Ameth Pulau Nusalaut Propinsi Maluku. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yakin, A. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan : Teori dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan. Akademika Presindo, Jakarta. 72
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
73
Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian
74