ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
WULANING DIYAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PENYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
ANALISIS HUTAN
MANFAAT BERSAMA
KEM ITRAAN
DALAM
MASYARAKAT
MENGELOLA
(MHBM)
DALAM
PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2006 WULANING DIYAH NIM A155030101
ii
ABSTRAK WULANING DIYAH. Analisis Manfaat Kemitraan dalam Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri di Provinsi Sumatera Selatan (AKHMAD FAUZI sebagai Ketua dan ERNAN RUSTIADI sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Ketidaktegasan hak pemilikan dan ketidakseimbangan akses terhadap sumberdaya hutan antar pihak yang terlibat dalam pengelolaan (pemanfaatan) hutan di Provinsi Sumatera Selatan, menimbulkan ketimpangan kesejahteraan, deforestasi dan degradasi hutan. Pemberdayaan masyarakat di dalam/sekitar hutan melalui kemitraan dalam mengelola hutan (MHBM) adalah salah satu kebijakan untuk mengatasinya. Penelitian ini menganalisis manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan yang diterima masyarakat peserta kemitraan MHBM, tingkat keberhasilan tanaman dan peran kelembagaan kemitraan MHBM. Metode analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif, kesediaan membayar (willingness to pay), pembuatan petak contoh seluas 0,1 ha dan Teori Permainan (Game Theory). Temuan studi menunjukkan, bahwa pelaksanaan kemitraan MHBM masih lebih menguntungkan pihak perusahaan HTI daripada masyarakat peserta kemitraan. Agar kemitraan MHBM dapat terus berkelanjutan, maka perlu diupayakan sedemikian sehingga manfaat yang diterima masyarakat dapat lebih meningkat secara proporsional. Kata kunci : Sumberdaya hutan, masyarakat di dalam/sekitar hutan, MHBM, kelembagaan
iii
©Hak cipta milik Wulaning Diyah, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
iv
ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
WULANING DIYAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
v
vi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2005 ini adalah pengelolaan hutan tanaman, dengan judul Analisis Manfaat Kemitraan dalam Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri di Provinsi Sumatera Selatan Penulis menyadari, bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada : 1. Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) BAPPENAS yang telah memberikan kesempatan dan membiayai penulis dalam melaksanakan pendidikan 2. Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc dan Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Dosen Pembimbing. 3. Pimpinan dan staf PT. Musi Hutan Persada yang telah mengizinkan dan membantu penulis dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data 4. Teman-teman PWD’03 sebagai teman seperjuangan 5. Mas Bambang, Mbah Mulyadi, Neneng, Pak Salman, Mbak Titin, Mas Mul, Tanti dan teman-teman di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan yang membantu dalam pengumpulan data Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, eyang, suami dan anak-anak tercinta (mas Tiyok, Yayas, dan Tata) serta seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya. Semoga tesis ini bermanfaat
Bogor, Juni 2006 WULANING DIYAH
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 1967 dari ayah Soepardi K (Alm) dan ibu Tuginah. Penulis merupakan anak keenam dari delapan bersaudara. Pada tahun 1994, penulis menikah dengan Ir. Setyo Yuwono dan dikaruniai dua orang putri, yaitu Saraswati Widyasari dan Satyaning Widyarini. Pendidikan formal penulis diawali di SD Negeri Gunung 02 Jakarta dan lulus tahun 1980, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 11 Jakarta dan lulus tahun 1983. Setelah lulus dari SMA Negeri 6 Jakarta tahun 1986 penulis pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur PMDK. Penulis memilih Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan dan menamatkannya pada tahun 1991. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Magister pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan pada pergurunan tinggi yang sama pada tahun 2003. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh melalui Proyek PKMDP BAPPENAS. Penulis bekerja sebagai staf Sub Dinas Inventarisasi dan Tata Guna Hutan pada Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Seksi yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Pengolahan Data dan Sistem Informasi Kehutanan.
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………….…………………………..……………..
ix
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….
xi
DAFTAR LAMPIRAN …………...…………………………………..
xii
I
II
PENDAHULUAN ………………………………………………
1
1.1.
Latar Belakang .………………………………………….
1
1.2.
Perumusan Masalah ……………………………………...
6
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………….
7
1.4.
Batasan Operasional ……………………………………..
7
TINJAUAN PUSTAKA 2.1
III
IV.
V
10
Pengertian Sumberdaya Alam, Hak Pemilikan, dan Akses Sumberdaya ………………………………………
10
2.2
Pembangunan Hutan Tanaman …………………………..
14
2.3.
Masyarakat Desa Hutan …………………………………
19
2.4.
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat ……………….
21
2.5.
Kelembagaan Pengelolaan Hutan ……………………….
26
2.6.
Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) ……………..
31
METODOLOGI PENELITIAN …………………………………
34
3.1.
Kerangka Pemikiran ……………………………………..
34
3.2.
Model/Hipotesis …………………………………………
39
3.3.
Metode Penelitian ………………………………………..
39
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN …………………………...
53
4.1.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian …………………….
53
4.2.
Pembangunan HTI PT. Musi Hutan Persada ……………
57
4.3.
Pelaksanaan Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) …………………………………………………
59
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………….
64
5.1.
64
Karakteristik Peserta MHBM ……………………………
ix
5.2.
VI
Peranan Kehutanan terhadap Aspek Ekonomi dan Pengembangan Wilayah …………………………………
65
5.3.
Manfaat Ekonomi ………………………………………..
72
5.4.
Manfaat Sosial …………………………………………...
80
5.5.
Manfaat Lingkungan …………………………………….
90
5.6.
Keberhasilan Fisik Pembuatan Tanaman ………………..
93
5.7.
Kelembagaan MHBM …………………………………...
94
IMPLIKASI
KEBIJAKAN
MENGELOLA
HUTAN
BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) ………………………. 6.1.
Substansi
Program
Mengelola
Hutan
108
Bersama
Masyarakat ………………………………………………
108
Pemberdayaan Masyarakat ………………………………
110
VII SIMPULAN ……………………………………………………..
114
6.2.
7.1.
Simpulan …………………………………………………
114
7.2.
Saran ……………………………………………………..
116
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….
118
LAMPIRAN …………………………………………………………...
122
x
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3
4 5 6 7 8 9
10 11 12
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kondisi Penutupan Lahan Kawasan Hutan di Indonesia Berdasarkan Fungsinya ……………………………………………... …………… Kondisi Penutupan Lahan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Selatan Berdasarkan Fungsinya …………………………………….. Daftar Perusahaan Pelaksana Pembangunan Hutan Tanaman dan Realisasi Tanamannya di Provinsi Sumatera Selatan sampai dengan Tahun 2002 …………….……………………………………………. Realisasi Penanaman HTI Sesuai Kelas Perusahaan sampai dengan Tahun 2002 di Provinsi Sumatera Selatan …………….……………. Konsekuensi Pahala (Payoff) dari Permainan Pertukaran (Jasa) …… Matrik Pembahasan dalam Penelitian ………………………………. Luas Penebangan Tanaman HTI dan Jumlah Produksi Hasil Hutan Tahun 1999-2003 …………………………………………………… Produk Domestik Regional Bruto (PRDB) dari Tahun 2001-2003 … Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari Sub Sektor Kehutanan dan Industri Pengolahan Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Tahun 2001-2003 …………………………....…………….. Tingkat Kepadatan dan Distribusi Penduduk di Lokasi Penelitian …. Tingkat Kesejahteraan Penduduk di Lokasi Penelitian ………….….. Luas Areal Pencadangan PT. Musi Hutan Persada Berdasarkan Wilayah Administratif dan Penataan Ruang Sesuai Peruntukkan (Fungsi) ……….…………………………………………………….. Jumlah Responden Berdasarkan Umur …………………….……….. Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ………………. Jumlah Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga ….... Kontribusi Sub Sektor Kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Menurut Harga Berlaku (jutaan Rp) ………………………………… Hasil Perhitungan Location Quotient (LQ) …………………………. Penerimaan PSDH Kabupaten Muara Enim 2002-2005 ……………. Sebaran Tingkat Pendapatan Responden Sebelum MHBM .……….. Sebaran Tingkat Pendapatan Responden Sesudah MHBM ………… Perubahan Tingkat Pendapatan Respoden Sebelum dan Sesudah MHBM ……………………………………………………………… Hasil Penyesuaian dan Pengujian Tingkat Pendapatan Masyarakat Sebelum dan Sesudah MHBM ……………………………………… Hasil Pengujian Tingkat Pendapatan dengan Adanya MHBM …….. Hasil Wawancara Responden mengenai Manfaat Sosial MHBM ….. Hasil Analisa Regresi Berganda dari Peubah Penduga Kesediaan Membayar (Willingness to pay = WTP) Manfaat Sosial ………….… Banyaknya Responden yang Bersedia Membayar ………………….. Kesediaan Membayar Berdasarkan Tingkat Pendapatan …………… Total Kesediaan Membayar Responden …………………………….. Surplus Konsumen Responden …………………………….………... Curahan Tenaga Kerja dalam Program HTI –MHBM …….………...
2 2
4 17 30 52 54 54
54 57 57
58 64 64 65 68 68 70 73 74 74 75 76 81 82 84 84 85 86 88
xi
31 32 33 34 35
Rata-rata Peningkatan Pendapatan Desa Peserta MHBM …………... 88 Perkembangan Kejadian Kebakaran pada Hutan Tanaman PT. Musi Hutan Persada ……………………………………………………….. 91 Matrik Payoff Interaksi antara Perusahaan dengan Masyarakat ……. 100 Matrik Payoff Interaksi antara Perusahaan dengan Pemerintah .……. 101 Matrik Payoff Interaksi antara Pemerintah dengan Masyarakat ……. 101
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Alur Pikir Penelitian ……………………………………………….….
38
2 Bagan Organisasi Kelompok Tani MHBM…………………………...
61
3 Peta Lokasi Penelitian MHBM PT. Musi Hutan Persada ……… ……
63
4 Kurva Permintaan Kegiatan MHBM………………………………….
86
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
2
3
4
5
6
Hasil Pengujian Pengaruh Kegiatan MHBM terhadap Pendapatan Masyarakat ………………………………………………..……….
122
Hasil Analisa Regresi Kesediaan Membayar (WTP) Terhadap Manfaat Sosial ………………………………... …………………..
126
Tabel PDRB Kab. Muara Enim Tahun 2001-2003 atas Dasar Harga Berlaku (jutaan rupiah)……………………………………...
130
Besar Payoff Masing- masing Pihak yang Terlibat dalam MHBM ………………………………………………….. ………..
131
Rekapitulasi Prosentase Tumbuh Tanaman pada Tiap Lokasi Sampel …………………………………………... ……………… .
132
Rekapitulasi Data Responden dalam Rangka Analisis MHBM HTI PT. Musi Hutan Persada …………………………………………..
133
xiv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah sebagai negara dengan potensi sumber daya hutan yang sangat besar dan menyimpan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Berdasarkan hasil rekalkulasi penutupan lahan hutan Indonesia tahun 2005, luas kawasan hutan Indonesia seluas 133,574 juta hektar yang terbagi dalam Hutan Konservasi seluas 19,876 juta hektar, Hutan Lindung seluas 30,052 juta hektar, Hutan Produksi Tetap seluas 35,259 juta hektar, Hutan Produksi Terbatas seluas 25,656 juta hektar, dan Hutan Produksi Konversi seluas 22,732 juta hektar. (Departemen Kehutanan 2005). Sumber daya hutan tersebut sangat vital bagi perekonomian Indonesia, baik dalam penyediaan kayu untuk keperluan domestik maupun untuk ekspor yang memberikan konstribusi 3,8 - 5,95 milyar US dollar per tahun (Departemen Kehutanan 2003a) Namun demikian, paradigma
pembangunan kehutanan masa lalu yang
bersifat timber oriented itu dan telah memberikan pengelolaan hutan berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), menyebabkan pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan yang ditunjukkan denga n kapasitas industri nasional yang melebihi kemampuan pasok kayu lestari.
Fenomena yang ada saat ini adalah deforestasi dan degradasi
hutan telah terjadi di semua fungsi kawasan hutan. Berdasarkan data hasil Inventarisasi Hutan Indonesia (National Forest Inventory) tahun 1985 – 1997, total deforestasi hutan Indonesia adalah 22,46 juta hektar, yang berarti rata-rata per tahun mencapai 1,6 juta hektar. Bahkan dalam 10 tahun terakhir kerusakan hutan tersebut diperkirakan mencapai 2 juta hektar per tahunnya. Menurut hasil tata batas pengukuhan kawasan hutan sampai dengan tahun 2000, luas hutan di Provinsi Sumatera Selatan adalah 3.773.457 hektar atau 37,34% dari luas daratan. Selain itu, berdasarkan hasil interpretasi citra landsat tahun 2000 ternyata luas lahan kritis (penutupan lahan non hutan) dalam kawasan hutan tetap telah mencapai 1.871.947 hektar. Lahan kritis itu tampak lebih jelas pada areal HPH yang telah habis masa berlaku konsesinya (Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, 2002).
xv
Tabel 1 Kondisi penutupan lahan kawasan hutan di Indonesia berdasarkan fungsinya Kondisi Penutupan Vegetasi
20.852,6
KSAKPA 12.926,1
Non hutan
4.748,4
Tdk ada data Jumlah
Hutan
Sumber : Keterangan :
HL
Kawasan Hutan (ribu ha) Hutan Tetap HP HPT Jumlah
Total %
HPK
20.945,8
18.129,4
72.853,9
11.038,3
83.892,2
63,02
2.867,0
10.527,0
4.340,5
22.482,9
9.469,5
31.952,4
24,00
4.359,6
3.678,0
3.859,6
3.159,3
15.056,6
2.227,0
17.283,5
12,98
29.960,6
19.471,1
35.332,4
25.629,2
110.392,4
22.734,7
133.128,1
Badan Planologi Kehutanan (2003) (Data digital penutupan lahan skala 1:250.000 Hasil penafsiran Citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 1999/2000 HL = 29.960.600 ha; KSA-KPA = 19.471.100 ha; HP = 35.332.400 ha; HPT = 25.629.200 ha; HPK= 22.734.700 ha
Tabel 2 Kondisi penutupan lahan kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan fungsinya Kondisi Penutupan vegetasi Hutan
HL 190.684
Kawasan hutan (ha) Hutan Tetap KSA-KPA HP Jumlah 465.880 746.614 1.403.178
Non hutan
348.961
245.898
1.277.088
Jumlah
539.645
711.778
2.023.702
HPK
Total
%
--
1.403.178
37,19
1.871.947
--
1.871.947
49,61
3.275.125
498.332
3.773.457
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan (2002) Keterangan : HL = 539.645 ha; KSA-KPA = 711.778 ha; HP = 2.023.702 ha; HPK= 498.332 ha
Masalah lain yang timbul dalam pengelolaan hutan adalah kurang memperhatikan hak-hak kepemilikan (property rights) dalam sumberdaya alam (hutan). Hal ini menimbulkan ketimpangan dalam memperoleh akses masyarakat kepada sumberdaya alam (hutan) dan selanjutnya berakibat kepada munculnya ketimpangan kesejahteraan antara masyarakat lokal yang hidup di dalam atau sekitar hutan dengan pihak pengelola hutan. Hal ini mudah dipahami,
misal
dalam pembangunan HTI, karena HTI dari sejak awal akan berhadapan dengan masyarakat karena untuk memulai kegiatan penanaman HTI perusahaan harus melakukan penyiapan lahan untuk penanaman sesuai sistem silvikultur HTI, yaitu Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB). Dengan demikian, jika terjadi tumpang tindih dengan lahan hutan masyarakat, maka akan habislah tanam tumbuh milik masyarakat, habislah hutan milik masyarakat, yang pada akhirnya memicu adanya persoalan kemiskinan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat desa di dalam atau sekitar hutan. Masyarakat tersebut umumnya memiliki ketergantungan
xvi
yang tinggi terhadap hutan, mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dari aktifitas di dalam hutan dengan keanekaragaman sumber daya hayati yang menjadi sumber kehidupan mereka. Padahal masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan termasuk untuk memperoleh manfaat sosial, ekonomi dan budaya. Pada gilirannya, ketimpangan kehidupan dalam masyarakat tersebut menjadi potensi meledaknya kekecewaan dan keresahan masyarakat dan mengarah pada terjadinya kekerasan. Selain itu, sumberdaya hutan yang dikuasai oleh
pihak
pengelola
hutan
tidak
sepenuhnya
dimanfaatkan
sehingga
menimbulkan inefisiensi sekaligus menutup akses kelompok masyarakat yang lemah terhadap sumberdaya hutan tersebut dan menimbulkan kerugian sosial yang tinggi (Anwar 2005). Sebagai
respon
atas
perubahan
dan
perkembangan
tatanan
sosial
kemasyarakatan saat ini, telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan hutan yang menuju ke arah pemberdayaan masyarakat dengan memanfaatkan kapasitas masyarakat lokal (masyarakat sekitar hutan). Pada paradigma yang baru ini, masyarakat tidak hanya sebagai obyek dalam pembangunan kehutanan, namun juga dilibatkan sebagai subyek pembangunan kehutanan. Atas dasar paradigma tersebut, salah satu solusi yang diambil untuk mengurangi dan menyelesaikan konflik dan ketimpangan yang terjadi
dalam
pemanfaatan sumberdaya hutan adalah menyempurnakan program kegiatan dalam pembangunan hutan tanaman melalui redistribusi lahan (dalam hal ini pengelolaan lahan) dengan memberi kesempatan masyarakat atau kelompok masyarakat setempat sebagai mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 68 mengenai Peran serta masyarakat dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2004 tanggal 12 Juli 2004 tentang Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dalam rangka social forestry. Selain itu dari hasil Rumusan Rapat Kerja Nasional tahun 2002 di Jakarta tanggal 10-12 Juli 2002, dalam era rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan bahwa program-program kehutanan harus dilaksanakan berdasarkan pendekatan perhutanan sosial ya ng berorientasi pada
xvii
pelestarian hutan. Lestari hutan itu pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat (Haryadi 2002) Tabel 3 Daftar perusahaan pelaksana pembangunan HTI dan realisasi tanamannya di Provinsi Sumatera Selatan sampai dengan tahun 2002 No. Nama perusahaan Luas konsesi HTI Realisasi (ha) tanaman 1. PT. Musi Hutan Persada 294.600 193.500 2. PT. Pakerin 43.380 7.600 3. PT. Waihijau Hutani 21.250 17.000 4. PT. Tunas Bentala 13.288 1.750 5. PT. SBA Wood Industries 40.000 2.037 6. PT. Inhutani V (Persero) - Eks HPH 232.500 1.500 - Eks HTI PT. Rimba Jaya Borang 8.950 500 7. PT. Ciptamas Bumisubur 6.000 3.000 Jumlah 661.768 226.887 Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, 2002
Salah satu pengelola hutan (perusahaan HTI) yang melakukan redistribusi lahan di Provinsi Sumatera Selatan adalah PT. Musi Hutan Persada melalui kegiatan Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM), yang dilaksanakan mulai tahun 1999 – 2000 yang meliputi beberapa lokasi di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) nya. Tujuan dilakukannya MHBM dalam pembangunan hutan tanaman adalah untuk (PT. MHP 2004): 1.
Meningkatkan tanggung jawab perusahaan, masyarakat sekitar hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan
2.
Meningkatkan peran perusahaan, masyarakat sekitar hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan
3.
Menyelaraskan kegiatan pembangunan hutan tanaman dengan kegiatan pembangunan wilayah sesuai dengan kondisi dan dinamika sosial masyarakat sekitar hutan
4.
Meningkatkan mutu sumber daya hutan sesuai dengan karakteristik wilayah
5.
Meningkatkan pendapatan perusahaan, masyarakat sekitar hutan dan pihak yang berkepentingan secara simultan
xviii
Penerapan MHBM itu ditujukan untuk mengurangi konflik lahan dengan masyarakat, dan dalam pelaksanaan MHBM itu masing- masing pihak baik perusahaan maupun masyarakat sekitar hutan mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan, yang ditujukan untuk meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi sumber daya hutan serta peningkatan kesejahteraan mayarakat. Hak-hak dan kewajiban tersebut dituangkan dalam Akta Kesepakatan MHBM antara perusahaan dan masyarakat.
Saat ini PT. MHP telah membuat 27 (duapuluh
tujuh) Akta Kesepakatan dengan masyarakat yang tinggal di dalam/sekitar areal HPHTI PT. MHP sebanyak 25 (duapuluh lima) desa pada 12 (duabelas) kecamatan yang meliputi areal hutan seluas 39.571,536 Ha. Salah satu kegiatan yang paling penting dalam program MHBM ini adalah kegiatan pengelolaan pembangunan HTI dengan membangun kemitraan bersama kelompok masyarakat. Apabila sebelumnya komponen pekerjaan dalam pembangunan HTI dilaksanakan oleh perusahaan, maka dengan adanya MHBM komponen-komponen pekerjaan itu diserahkan pada kelompok masyarakat. Komponen pekerjaan tersebut adalah persiapan lahan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, perlindungan dari api, dan penebangan (pemanenan). Dalam beberapa tahun terakhir ini, Departemen Kehutanan telah mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi jatah produksi hasil hutan kayu nasional yang berasal dari hutan alam produksi, sehingga memberi kesempatan hutan produksi alam mampu untuk melakukan regenerasi (suksesi) alami. Departemen Kehutanan mengharapkan kekurangan bahan baku ini dapat dipenuhi dari produksi hutan rakyat, HTI, kayu dari rehabilitasi kebun dan kayu impor. Dengan adanya kebijakan itu, maka pembangunan HTI berpotensi besar untuk dapat mendukung dan berperan dalam memasok kebutuhan bahan baku industri perkayuan lokal dan nasional, yang pada akhirnya apabila industri kehutanan mampu berkembang akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
1.2. Perumusan Masalah Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu solusi yang dilakukan untuk menyelesaikan dan mengurangi konflik dan ketimpangan dalam
xix
pemanfaatan sumberdaya hutan dengan masyarakat adalah dengan melakukan MHBM. Pembangunan hutan tanaman
dengan menerapkan MHBM tersebut
diharapkan dapat : (1) Menunjang supply kebutuhan bahan baku yang berkesinambungan, (2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (3) Menunjang aspek konservasi dan perlindungan hutan, (4) Meningkatkan produktifitas lahan, dan (5) Meningkatkan peran serta masyarakat Program MHBM yang merupakan salah satu model perhutanan sosial dan baru 3-4 tahun dikembangkan oleh pihak HPHTI PT. MHP di Provinsi Sumatera Selatan, belum tersedia informasi yang lengkap menggambarkan bagaimana pelaksanaan MHBM, antara lain menyangkut seberapa besarnya keterlibatan atau peran serta masyarakat atau kelompok masyarakat di dalam atau sekitar hutan dan pemerintah atau instansi terkait dalam MHBM dan apakah MHBM yang telah diterapkan oleh perusahaan tersebut bermanfaat
oleh masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraannya serta mampu untuk mengurangi deforestasi atau luas lahan yang tidak produktif dalam
mencapai kelestarian hutan. Padahal
informasi tersebut sangat diperlukan untuk dapat menggambarkan keberhasilan MHBM. Oleh sebab itulah penelitian ini perlu dilakukan. Dari uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah : 1.
Bagaimana peranan sektor Kehutanan terhadap aspek ekonomi dan pengembangan wilayah?
2.
Seberapa besar manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan dari pelaksanaan MHBM yang diterima masyarakat?
3.
Bagaimana tingkat keberhasilan fisik tanaman HTI dengan menerapkan MHBM?
4.
Bagaimana peranan kelembagaan MHBM dalam pembangunan HTI?
1.3. Manfaat dan Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji manfaat dari penerapan MHBM dalam pembangunan HTI bagi masyarakat bagaimana peranan kelembagaan MHBM untuk mengurangi
dan mengkaji
luas lahan tidak
produktif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
xx
Sedangkan tujuan operasionalnya adalah : 1.
Mengetahui bagaimana peranan sektor Kehutanan terhadap aspek ekonomi dan pengembangan wilayah
2.
Mengetahui berapa besar manfaat ekonomi yang diterima masyarakat dari pelaksanaan MHBM
3.
Mengetahui besarnya manfaat sosial dan manfaat lingkungan yang diterima oleh masyarakat dari pelaksanaan MHBM
4.
Mengetahui tingkat keberhasilan fisik tanaman HTI dengan menerapkan MHBM
5.
Mengetahui peranan kelembagaan MHBM dalam pembangunan HTI Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1.
Memberikan informasi, sumbangan pemikiran dan masukan pemerintah
daerah, perusahaan
swasta
dan
kepada
masyarakat mengenai
pembangunan hutan tanaman dengan menerapkan MHBM sebagai salah satu bentuk upaya meningkatkan produktifitas hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan 2.
Memberikan masukan dan daerah
dan perusahaan
bahan dalam
pertimbangan
bagi
pemerintah
pengambilan keputusan pada kegiatan
pembangunan hutan tanaman untuk dapat mengurangi ketimpangan penghasilan antara pihak pengelola hutan dan masyarakat setempat
1.4. Batasan Operasional
Beberapa batasan (definisi) operasional yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a.
Hutan adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon ya ng secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan
b.
Hutan alam adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya
xxi
c.
Hutan tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif
d.
Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan adalah upaya- upaya yang ditempuh dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat
e.
Masyarakat setempat adalah kelompok-kelompok orang yang tinggal di dalam atau sekitar hutan dan yang memiliki ciri sebagai suatu komunitas, yang didasarkan pada kekerabatan, kesamaan mata pencaharian yang berkait dengan hutan (profesi), kesejahteraan, keterikatan tempat tinggal bersama serta faktor ikatan komunitas lainnya
f.
Social forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan
g.
Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) adalah konsep pengelolaan Hutan
Tanaman
Industri (HTI)
yang
dilaksanakan
bersama-sama
(kemitraan) antara perusahaan dengan masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar, atau yang terkait dengan lahan atau areal pengusahaan HTI, dengan prinsip saling menguntungkan h.
Areal kerja MHBM adalah areal yang terdapat pada/atau dalam kawasan HPHTI perusahaan pengelola HTI dalam luasan tertentu untuk dikelola oleh kelompok
i.
Jasa Kerja adalah sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak perusahaan atau
pengelola HTI kepada kelompok masyarakat atau kontraktor
(pemborong) sebagai imbalan atas hasil pelaksanaan dari setiap komponen pekerjaan pengelolaan HTI berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) j.
Jasa Manajemen adalah sejumlah uang yang disepakati berdasarkan besaran prosentase tertentu dari jasa kerja kelompok masyarakat atau kontraktor (pemborong) sebagai imbalan dari ikatan pengelolaan areal MHBM
xxii
k.
Jasa produksi adalah sejumlah uang yang diberikan oleh perusahaan pengelola HTI kepada kelompok masyarakat atas hasil panen kayu tanaman daur kedua.
l.
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.
xxiii
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Sumberdaya Alam, Hak Pemilikan, dan Akses Sumberdaya Sumberdaya alam dalam pengertian umum adalah segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Dapat pula diartikan bahwa sumberdaya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Rees (1990) dalam Fauzi (2004a) menyatakan bahwa sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumberdaya harus memiliki dua kriteria, yaitu: (1) Harus ada pengetahuan, teknologi atau keterampilan (skill) untuk memanfaatkannya, (2) Harus ada permintaan (demand) terhadap sumberdaya tersebut. Selain itu Fauzi (2004a) menyebutkan bahwa selain dua kriteria di atas, sumberdaya juga terkait pada dua aspek, yakni aspek teknis yang memungkinkan bagaimana sumberdaya dimanfaatkan, dan aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumberdaya dan bagaimana teknologi digunakan. Masalah yang sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah berbagai dampak negatif yang mengakibatkan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya sering tidak seimbang dengan bia ya sosial yang ditanggung. Pada dasarnya masalah ini timbul karena beberapa sumberdaya dikategorikan sebagai barang publik (public goods) dimana konsumsi yang berlebihan (over consumption) akan dapat terjadi. Pemanfaatan sumberdaya terkait dengan hak-hak kepemilikan (property rights). Yakin (1997), menyebutkan bahwa hak pemilikan atau status penguasaan sumberdaya sangat menentukan alokasi sumberdaya yang efisien. Bagaimana produsen dan konsumen menggunakan sumberdaya alam atau lingkungan tergantung pada hak pemilikan (pengelolaan) yang mengatur sumberdaya tersebut. Hanley et al. (1997) dalam Fauzi (2004a) dan Tietenberg (1992) dalam Yakin (1997) menyebutkan bahwa struktur hak pemilikan atau pengusahaan sumberdaya yang bisa menghasilkan alokasi yang efisien harus mempunyai empat karakteristik penting, yaitu : (1)
Universalitas (universality) bahwa semua sumberdaya adalah dimiliki secara pribadi dan seluruh hak-haknya dirinci dengan jelas dan lengkap
xxiv
(2)
Eksklusivitas (exclusivity) bahwa semua keuntungan dan biaya yang dibutuhkan sebagai akibat dari pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya itu harus dimiliki hanya oleh pemilik tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dalam transaksi atau penjualan ke pihak lain
(3)
Bisa dipindah-tangankan (transferability) bahwa seluruh hak pemilikan itu bisa dipindah-tangankan dari satu pemilik ke pihak lainnya dengan transaksi yang bebas dan jelas
(4)
Bisa dipertahankan (enforcebility) bahwa hak pemilikan tersebut harus aman (secure) dari perampasan atau pengambil-alihan secara tidak baik dari pihak lain. Jika hak kepemilikan sumberdaya tidak dimiliki oleh seseorang atau
sekelompok orang, tidak ada hak yang sah memungkinkan mereka melarang pihak lain untuk mengkonsumsi sumber daya tersebut. Menurut Gibb dan Bromley (1989) dalam Fauzi (2004a) ada beberapa hak pemilikan terhadap sumberdaya alam yang umumnya terdiri dari : (1)
State property dimana klaim pemilikan berada di tangan pemerintah,
(2)
Private property dimana klaim pemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi)
(3)
Common property atau communal property dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama. Dalam pemanfaatan sumberdaya, terdapat dua tipe akses yang berbeda, yaitu
akses terbuka (open access) dan akses terbatas (limited access). Berkaitan dengan hak pemilikan, maka Fauzi (2004a) menyatakan bahwa secara umum ada empat kemungkinan kombinasi antara hak pemilikan dan akses terhadap sumber daya, yaitu : (1)
Tipe pertama dimana hak pemilikan berada pada komunal atau negara dengan akses yang terbatas. Tipe kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari
(2)
Tipe kedua dimana sumber daya dimiliki secara individu dengan akses yang terbatas. Pada tipe ini karakteristik hak pemilikan teridentifikasi dengan jelas dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari
xxv
(3)
Tipe ketiga dimana terdapat kombinasi antara hak pemilikan komunal dengan akses yang terbuka. Tipe inilah yang dalam perspektif Hardin akan melahirkan “the tragedy of the common”. Tragedi ini terjadi karena apa yang dihasilkan dari sumber daya dalam jangka panjang tidak lagi sebanding dengan apa yang dimanfaatkan oleh pengguna.
(4)
Tipe keempat dimana kombinasi yang sebenarnya jarang terjadi dimana sumber daya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan sumber daya ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah sehingga sumber daya akan cepat terkuras habis. The tragedy of the common terjadi pada sumber daya bersama (common
resources) – biasanya mengarah sebagai a common pool resources – yang dimanfaatkan (diakses) oleh banyak pihak. Sumber daya itu bisa berupa ekosistem laut yang diambil hasilnya berupa ikan, atmosfir dengan pelepasan gas-gas ke udara atau hutan yang diambil hasilnya berupa kayu. Penggunaan (pemanfaatan) yang
berlebihan
memunculkan
permasalahan
yang
sering
mengancam
kelestariannya (sustainability). Jika setiap pihak yang memanfaatkannya dapat mengendalikan pemanfaatannya, maka sumber daya dapat lestari (Hardin 1968 dalam Ostrom et al. 2001). Lloyd (1977) dalam Ostrom et al. (2001), menyatakan bahwa pada sumberdaya yang bersifat a common pool resources akan terjadi penggunaan yang berlebihan, karena penggunaan saat ini akan memberikan keuntungan yang besar daripada biaya potensial yang akan ditanggung di masa ya ng datang dengan penggunaan yang tidak dibatasi, terutama saat para pengguna hanya menanggung sebagian biaya tetapi mengambil seluruh keuntungan saat ini. Sedangkan menurut Yakin (1997), keberadaan penggunaan sumber daya bersama (common resources) tidak me menuhi prinsip-prinsip pemilikan sumber daya yang bisa mendorong ke arah alokasi yang efisien. Oleh karena itu pihakpihak yang terlibat dalam pemanfaatannya tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas dan prospek sumber daya tersebut, sehingga tidak memiliki kendali untuk membuat keputusan investasi dan alokasi sumber daya yang efisien. Sumber daya jenis ini tidak dikuasai oleh perorangan atau agen
xxvi
ekonomi tertentu sehingga akses terhadap sumber daya ini tidak dibatasi, sehingga mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan berdampak negatif terhadap
lingkungan.
Eksploitasi
sumber
daya
bersama
ini
cenderung
menguntungkan siapa yang duluan dan mengeruk terus menerus keuntungan yang masih bisa diperoleh dengan mengabaikan pihak lain dan efek yang ditimbulkannya. Rappaport (1984) dalam Ostrom et al. (2001) menyatakan bahwa the tragedy of the common dapat dicegah melalui suatu mekanisme penggunaan sehingga tindakan yang diambil oleh para pengguna lebih mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi merupakan motivator dan mekanisme sosial berfungsi untuk mengontrol kepentingan pribadi tersebut, seperti komunikasi, kepercayaan dan kemampuan untuk menjalin kerjasama serta peraturan (rules) akan dapat mengendalikan (mengurangi) terjadinya tragedi. Menurut Wade (1988) dalam Agrawal (2001), menyebutkan ada 14 (empatbelas) kondisi penting yang dapat memfasilitasi keberhasilan pengelolaan sumber daya bersama (common resources), yaitu : 1.
Sistem karakteristik sumber daya a. Berukuran kecil b. Ditetapkan batasnya secara baik
2.
Karakteristik kelompok masyarakat a. Berukuran kecil b. Ditetapkan batasnya secara jelas c. Pengalaman keberhasilan masa lalu – kapital sosial (1 dan 2) Hubungan antara sistem karakteristik sumber daya dan karakteristik kelompok masyarakat (1) Overlap antara kelompok masyarakat lokal dan lokasi sumber daya (2) Tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sistem sumber daya oleh anggota kelompok masyarakat
3.
Pengaturan kelembagaan a. Merencanakan akses kelompok masyarakat lokal dan ketentuan pengelolaan
xxvii
b. Mudah dalam penerapan ketentuan (peraturan) c. Pengelompokan sanksi-sanksi (1 dan 3) Hubungan antara sistem sumber daya dan pengaturan kelembagaan yaitu penyesuaian dalam pembatasan pemanfaatan/pengambilan sumber daya untuk regenerasi sumber daya 4.
Lingkungan eksternal a. Teknologi : pengeluaran teknologi biaya rendah b. Negara
:
Pemerintah
pusat
seharusnya
tidak
mengurangi
hak
(kewenangan) masyarakat lokal 2.2. Pembangunan Hutan Tanaman
Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, karena hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi manusia dan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global. Mengingat begitu besarnya manfaat dan peranan hutan maka harus dijaga kelestariannya. Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa sumber daya hutan di Indonesia mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu fungsi lindung, fungsi produksi dan fungsi konservasi, maka dalam penyelenggaraan (pengelolaan dan pemanfaatan) hutan berasaskan dimaksudkan
agar
setiap
pelaksanaan
manfaat dan lestari,
penyelenggaraan
kehutanan
memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi. Selain itu disebutkan juga bahwa penyelenggaraan hutan bertujuan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan : a.
Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
b.
Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
xxviii
c.
Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS)
d.
Meningkatkan
kemampuan
untuk
mengembangkan
kapasitas
dan
keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan e.
Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 355/Kpts-II/1997 disebutkan
bahwa hutan tanaman industri (HTI) merupakan hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan dan diharapkan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi deforestasi; yang bertujuan untuk : a.
menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa
b.
meningkatkan produktifitas lahan dan kualitas lingkungan hidup
c.
memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha HTI merupakan hutan tanaman yang dikelola dan diusahakan berdasarkan
asas manfaat yang lestari dan asas ekonomi perusahaan dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur intensif. Menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 435/Kpts-II/1997 tanggal 1 Agustus 1997 tentang Sistem Silvikultur dalam Pembangunan Hutan Tanaman maka sistem silvikultur yang dapat diterapkan, yaitu: (1) sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaaan Buatan (THPB) utamanya untuk jenis tanaman pokok, dan (2) Sistem Tebang Tanam Jalur (TPTJ) dengan berbagai modifikasi. Kartini (2002), menyatakan jika dilihat dari sistem silvikultur yang digunakan yaitu THPB, maka sistem ini mempunyai peranan yang tinggi dari dua aspek yaitu : 1.
Aspek produksi atau industri, karena : (a) operasi pemanenan terkonsentrasi pada areal yang relatif kecil dan produksinya tinggi; (b) kua litas kayu mudah ditingkatkan sesuai dengan permintaan industri; (c) peremajaan hutan dilakukan setelah pemanenan; (d) bersifat terpusat dan menghasilkan
xxix
tegakan seumur, murni (sejenis), teratur dan relatif cepat tumbuh, sehingga memperoleh kualitas kayu yang relatif seragam dan cepat dipungut hasilnya. 2.
Aspek sosial, karena : (a) pelaksanaan peranannya dapat dilakukan dengan sistem tumpangsari sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat; (b) kegiatan yang harus dilakukan dalam sistem THPB cukup banyak sehingga memerlukan banyak tenaga kerja dalam pelaksanaannya. Beberapa jenis tanaman yang ditanam dalam pembangunan HTI dengan
sistem silvilultur THPB sesuai Petunjuk Teknis Pembangunan HTI, yaitu : 1.
Tanaman pokok yang dibudidayakan adalah jenis tanaman yang cepat tumbuh, memiliki nilai ekonomis tinggi, dan memiliki prospek pasar nasional dan regional
2.
Tanaman unggulan setempat; dikembangkan untuk areal-areal tertentu dalam rangka upaya konservasi tanah maupun jenis (misalnya jenis Meranti)
3.
Tanaman campuran; dapat dikembangkan dari jenis tanaman unggulan atau andalan dan tanaman pohon kehidupan atau serba guna. Tanaman kehidupan atau unggulan ditanam pada areal yang berbatasan/ (berdekatan) dengan pemukiman, berfungsi sebagai pengamanan sekaligus sebagai media pengembangan ekonomi rakyat setempat Gagasan pembangunan hutan tanaman (HTI) yang pada awalnya ditujukan
untuk merehabilitasi lahan- lahan hutan yang kritis dan tidak produktif dan mempunyai tujuan utama untuk turut menjamin penyediaan pasokan bahan baku industri pengolahan kayu di Indonesia, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam prakteknya pembangunan HTI tidak berjalan mulus Menurut Anwar (2000) bahwa dalam pelaksanaan HTI, permasalahan yang timbul sama dengan permasalahan pada hutan secara umum, yaitu permasalahan dari dalam (intern) dan dari luar (ekstern), sebagai berikut : 1.
Permasalahan teknis; meliputi kesulitan dalam pengadaan bibit unggul yang teruji, land clearing tanpa pembakaran sulit dilakukan
2.
Permasalahan sosial budaya seperti adanya konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan pelaksana HTI, hilangnya mata pencaharian masyarakat, kebakaran hutan dan lahan akibat kebiasaaan pembukaan lahan dengan membakar
xxx
3.
Permasalahan finansial, karena sistem pendanaan HTI yang sebelumnya dilakukan yaitu melalui pinjaman Dana Reboisasi (DR) saat ini tidak lagi diberikan kepada perusahaan pelaksana HTI
4.
Permasalahan lingkungan, seperti berkurangnya keragaman hayati berupa habitat satwa dan tumbuhan
5.
Permasalahan politik, seperti terjadinya gejolak politik membuat kekacauan kebijaksanaan kehutanan terutama dalam pengelolaan hutan tanaman; dan adanya sorotan dari LSM dan lembaga pencinta lingkungan terhadap kebijakan pembangunan HTI Perusahaan HTI dalam melakukan pembangunan HTI di lapanga n
mengalami benturan-benturan dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan seperti (Kanwil Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan 1998) : a.
Adanya perambahan oleh masyarakat baik untuk motivasi untuk dapat menuntut ganti rugi ataupun untuk tujua n menguasai lahan tersebut
b.
Adanya klaim dari masyarakat yang menyebutkan bahwa didalam areal pencadangan HPHTI terdapat hak ulayat atau tanah adat mereka yang tidak boleh diganggu Tabel 4 menunjukkan realisasi penanaman HTI di Provinsi Sumatera Selatan
yang mulai dilakukan tahun 1990 sampai dengan 2002 sesuai dengan kelas perusahaan masing- masing pelaksana HTI. Tabel 4 Realisasi penanaman HTI sesuai kelas perusahaan sampai dengan tahun 2002 di Provinsi Sumatera Selatan Nama Perusahaan HTI Luas Realisasi Keadaan HPHTI penanaman perusahaan HTI Kayu Pulp/Serat PT. Musi Hutan Persada 296.400 198.000 Aktif PT. Ciptamas Bumisubur 6.000 3.000 Aktif PT. Pakerin 43.380 7.600 Tidak aktif PT. SBA Wood Industries 40.000 2.037 Aktif HTI Kayu Pertukangan PT. Inhutani V - Eks PT. Rimba Jaya Borang 8.950 500 Tidak aktif - Eks HPH 232.500 1.500 Tidak aktif PT. Waihijau Hutani 21.250 17.000 Tidak aktif PT. Tunas Bentala 13.288 1.750 Aktif Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, 2002
xxxi
Selain itu menurut Muhshi (1999), berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan LATIN, jumlah konflik yang terjadi dalam areal HPH dan HTI dari tahun 1990 – 1996 masing- masing berjumlah 8741 dan 5757.
Secara umum
hambatan yang dihadapi dalam pembangunan HTI disebabkan oleh 2 (dua) faktor yaitu : 1.
Sebagai usaha komersial belum layak secara finansial terutama oleh investor yang tidak terikat pada investasi industri. Pasokan kayu dari hutan alam terus melimpah – karena dipasok dari kayu hasil illegal logging – yang menyebabkan harga kayu HTI sangat murah, bahkan tidak ada pasarnya, maka perusahaan HTI tidak pernah diperhitungkan layak secara finansial, jika ia mandiri. Oleh sebab itu perhitungan kelayakan finansial dilakukan dengan mengkaitkan HTI dengan industri yang mengolah hasil kayunya;
2.
Konflik penggunaan lahan dengan masyarakat lokal (sekitar hutan) sebagai akibat dari peraturan perundang-undangan yang belum mengakomodir sistem dan praktek penguasaan serta pengelolaan hutan yang hidup dan berkembang di masyarakat. Oleh sebab itu berpedoman pada
Keputusan Menteri Kehutanan nomor
177/Kpts-II/2003 tanggal 12 Juni 2003 tentang Kriteria dan Indikator Usaha Pengelolaan Hutan Secara Lestari pada Unit Manajemen Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman, maka agar pengelolaan hutan dapat secara lestari maka pengelolaan hutan harus mencakup aspek ekonomi, sosial, dan ekologi antara lain meliputi: (a) kawasan hutan yang mantap; (b) produksi yang berkelanjutan; (c) manfaat sosial bagi masyarakat di sekitar hutan; dan (d) lingkungan yang mendukung sistem penyangga kehidupan. Pesan itu semakin menegaskan paradigma penyelenggaraan kehutanan secara benar dalam hal (Sutisna 2004) : 1.
Hutan fungsi manapun harus bermanfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya untuk kelompok masyarakat kaya atau sedang berkuasa, sesuai fungsi hutan tersebut (lindung, produksi, konservasi)
2.
Manfaat hutan bukan hanya dapat dinikmati masyarakat yang ada saat ini melainkan harus berkelanjutan, baik dalam hal nilai ekonomis maupun nilai- nilai lainnya (estetika, ilmiah, budaya). Artinya bila ada kawasan hutan
xxxii
yang rusak, maka generasi sekarang berkewajiban memperbaikinya sampai menjadi produktif kembali dalam fungsi utamanya 3.
Penyelenggaraan kehutanan tidak dapat ditentukan dan atau dilakukan sepihak oleh pemerintah
seperti masa lalu, melainkan harus bersama
masyarakat secara berkeadilan dan terpadu. Begitupun anggota masyarakat yang menguras manfaat hutan secara sewenang-wenang untuk kepentingan sendiri harus dihentikan demi hukum, karena manfaat hutan harus secara berkeadilan dinikmati bersama oleh masyarakat luas.
2.3. Masyarakat Desa Hutan
Menurut Soejarwo (1998), masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang pada umumnya merupakan suatu masyarakat zona sosial ekonomi yang berada di dalam kawasan hutan dan luar hutan. Masyarakat sekitar hutan pada umumnya kuat dalam menjaga adat istiadat dari berbagai pengaruh dari luar, memanfaatkan lahan hutan sebagai sumber ekonomi untuk bertani dan sumber energi. Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan merasakan betapa pentingnya hutan dalam menunjang kehidupan mereka. Hutan disamping dapat menyediakan keperluan hidup mereka sehari-hari seperti kebutuhan pangan (vitamin, protein, karbohidrat dan lain- lain), kayu bakar, kesuburan tanah, sumber air dapat juga memberikan peluang untuk meningkatkan pendapatan, seperti kayu, rotan, madu, getah-getahan dan lain- lain. Masyarakat memiliki pandangan dan persepsi tertentu mengenai hutan. Bagi mereka hutan tidak hanya mempunyai makna ekonomis, tetapi juga sosial budaya dan religius. Hutan bukan hanya dilihat sebagai sumber flora dan fauna yang beraneka ragam, tetapi mereka menganggap bahwa masyarakat dan hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan Dengan demikian, sangat jelas bahwa hutan mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat. Menurut Laksono et al. (1995) agar masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dapat hidup dengan baik, harus meliputi beberapa dimensi : 1.
Keamanan dan kecukupan akses ke sumber daya alam – baik untuk saat ini dan masa yang akan datang
xxxiii
2.
Kesempatan yang bersifat ekonomi – aktifitas yang dilakukan sebaiknya dapat memelihara atau meningkatkan kesempatan hidup
3.
Kesempatan pengambilan keputusan – aturan tentang partisipasi yang berarti dalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka
4.
Keadilan – pemecahan konflik yang fair dan distribusi keuntungan, aturan, tanggung jawab dan insentif
5.
Keaslian dan identitas – respek terhadap nilai kultural masyarakat, perilaku, penggunaan lahan dan bahan-bahan baku, baik pada saat ini dan untuk masa yang akan datang bagi kelangsungan generasi
6.
Keselamatan dan kesehatan – baik fisik dan mental Anwar (2000) menyebutkan bahwa tiadanya keseimbangan hak- hak dan
wewenang antara pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut sering menimbulkan kebocoran wilayah, terjadinya proses pemiskinan masyarakat komunal lokal serta beban-beban (social costs) yang harus ditanggung oleh masyarakat tersebut sedangkan mereka tidak memperoleh kompensasi. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa untuk mendapatkan manfaat hutan yang optimal maka harus memperhatikan kelestarian fungsi kawasannya, oleh sebab itu untuk mencapai pengelolaan hutan yang lestari adalah sangat penting untuk melaksanakan pemberdayaan masyarakat khususnya yang tinggal didalam dan disekitar hutan. Selain itu, masalah hak-hak kepemilikan merupakan faktor penentu dalam pemanfaatan sumberdaya yang efisien, merata dan berkelanjutan. Dengan adanya pengukuhan hak- hak kepemilikan, akan memperjelas posisi kepemilikan suatu pihak sehingga pihak itu dapat menjaga kelestarian (upaya konservasi) dan mempertahankan apa ya ng telah menjadi miliknya dari intervensi atau ancaman dari pihak luar (Anwar 2000) Selanjutnya
Anwar
(1995)
menyatakan
bahwa
keberhasilan
suatu
pembangunan wilayah sangat tergantung apakah masyarakat lokal diberi hak-hak bahwa mereka dapat diikut-sertakan dalam pengambilan pilihan keputusan dalam merancang dan melaksanakan proyek pembangunan yang bersangkutan.apabila masyarakat lokal dapat diikut-sertakan dan mereka mempunyai hak-hak akses kepada sumber daya proyek pembangunan wilayah maka mereka akan
xxxiv
mempunyai ‘rasa memiliki’. Tetapi jika hal ini tidak dilakukan, maka mereka akan tidak menghiraukan proyek tersebut dan mungkin bahkan sampai mencoba menentangnya atau merusaknya. Dengan demikian, maka secara umum adanya penegasan hak- hak akses atau kepemilikan merupakan aspek fundamental dalam sistem ekonomi, khususnya dalam ekonomi pertukaran (exchange economy). Hakhak tersebut mengandung arti bahwa akses dalam bentuk hak-hak pemanfaatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang terhadap sumberdaya (access to resources) menjadi sangat penting. Menurut Fuad (2001), masyarakat lokal memang mempunyai posisi sangat penting sebagai subyek pengelolaan hutan karena : 1.
Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap mereka yang sebenarnya.
2.
Masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan jika mereka merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaan. Mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki. Kepercayaan ini penting bila kehutanan memerlukan dukungan masyarakat.
3.
Merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan sebagai subyek dalam pembangunan masyarakat sendiri. Dapat dirasakan bahwa mereka pun mempunyai hak untuk ‘urun rembug’ dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah mereka. Hal ini selaras dengan konsep man centered development, yaitu bahwa pembangunan harus dipusatkan kepada kepentingan manusia – artinya suatu jenis pembangunan lebih diarahkan demi perbaikan nasib manusia dan tidak sekedar sebagai alat pembangunan itu sendiri.
2.4. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Prinsip
kelestarian
hutan
tidak
cukup
hanya
ditinjau
dari
sisi
mempertahankan – jika memungkinkan meningkatkan – daya dukung dan fungsi lingkungan (environmental sustainability) atau dari sisi produktifitas dan keuntungan ekonomi antar generasi (economic sustainability) semata, tetapi juga tidak
bisa
mengabaikan
kelestarian
ditinjau
dari
aspek
sosial
(social
xxxv
sustainability), yaitu kesesuaian pengelolaan sumber daya hutan dengan normanorma sosial setempat (Sardjono 2004). Pengelolaan hutan
berbasis masyarakat adalah salah satu prinsip
pengelolaan hutan yang seharusnya memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat yang hidupnya terga ntung pada hutan atau berbasis pada hutan. Selain itu pengelolaan hutan berbasis masyarakat mempunyai cakupan yang luas mulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan hutan, pengambilan hasil, pemasaran sampai dengan konservasi dan rehabilitasi dan sebagainya (Djogo 2004). Pengelolaan hutan berbasis masyarakat merupakan perwujudan dari berbagai bentuk pengelolaan hutan yang mengakomodasikan kepentingan dan aspirasi masyarakat secara luas. Kerjasama dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan modifikasi atau adaptasi yang diperlukan terhadap hak-hak masyarakat komunal sekitar hutan sehingga dapat dilakukan beberapa perbaikan terhadap hak-hak mereka agar dapat mengarah kepada upaya penanggulangan terjadinya degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup disekitarnya. Keterlibatan, peran serta atau kebersamaan masyarakat dalam mengelola hutan bisa dinyatakan dengan berbagai bentuk yaitu dengan memberi bantuan, mobilisasi atau menggerakkan masyarakat, instruksi, membayar masyarakat sebagai tenaga kerja, bagi hasil, bahkan eksploitasi masyarakat atau benar-benar. Ada berbagai model dan nama pengelolaan hutan yang berbasis atau berorientasi pada masyarakat di Indonesia tergantung cara pandang berbagai pihak, antara lain : HPH Bina Desa, Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), Sistem Hutan Kerakyatan (SHK), Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Disebut PHBM murni jika seluruh perencanaan, penanaman,
pemeliharaan, pengambil keputusan sampai pada peraturan
pemerintah (lokal/tradisional) dan bagi hasil dibuat sendiri oleh masyarakat tanpa ada campur tangan pihak luar. Bentuk PHBM ini disebut sebagai Sistem Hutan Kerakyatan, termasuk didalamnya Hutan Adat. Sedangkan disebut Hutan Kemasyarakatan bila kegiatan pengelolaan hutan bermitra dengan masyarakat di kawasan hutan milik negara dan disebut Hutan Rakyat jika diselenggarakan di lahan milik perorangan dan kelompok masyarakat. Namun disepakati oleh
xxxvi
pemerintah bahwa secara formal model- model pengelolaan hutan itu yang dilaksanakan baik di kawasan hutan milik negara maupun lahan milik pribadi berada di bawah payung perhutanan sosial (social forestry) (Djogo 2004). Pengembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini juga dipengaruhi oleh pengembangan model pengelolaan dari luar negeri seperti Social Forestry, Community Forestry, dan Community Based Forest Management (CBFM) (Djogo 2004). Menurut Rose (2001), CBFM merupakan pengelolaan sumber daya yang bersifat common property yang berbasis masyarakat. Di dalam CBFM ini, masyarakat lokal mempunyai psikologi, sosial dan moral yang diperlukan untuk sampai pada pengaturan kerjasama untuk kepentingan bersama. CBFM sangat adaptif terhadap perubahan sumber daya secara alami, tetapi tidak adaptif terhadap perubahan sumber daya secara (untuk) komersial. Dalam beberapa kasus, masyarakat akan mengabaikan sumber daya dan lingkungan lebih besar jika mendapat tekanan komersial dari pihak luar, tapi sayangnya institusi kemasyarakatan sering tidak mampu untuk menghadapi fenomena ini. Namun demikian, menurut Sardjono (2004) walaupun terdapat perbedaan dalam bentuk, konsep ataupun implementasinya – apakah itu didasarkan pada sistem tradisional ataupun inovasi baru – tetap prinsip-prinsip kuncinya harus terpenuhi, yaitu : 1.
Masyarakat lokal memiliki kepastian kewenangan untuk mengelola kawasan dan atau hasil hutan (kayu, non kayu, jasa lingkungan), baik secara ruang (in space) dan secara waktu (in time) agar mereka dapat memiliki keterjaminan masa depan (future security).
2.
Masyarakat lokal memiliki kepastian untuk bisa berperan-serta dalam setiap tahap kegiatan pengelolaan hutan; mereka harus terlibat aktif dalam perumusan
kebijakan
ataupun
implementasinya
(perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan operasi dan pemantauan atau penilaiannya). 3.
Masyarakat lokal memiliki kepastian untuk memperoleh keuntungan terbesar dari kegiatan pengelolaan hutan; masyarakat harus secara jelas menempatkan porsi terbesar – dari sisi finansial, khususnya pengusahaan produk hutan kayu, non kayu, tetapi juga jasa lingkungan dan /atau yang adil, terutama dalam kasus manfaat atau produk atau jasa lingkungan yang
xxxvii
non komersial seperti air minum dan bahan baku bagi kepentingan sosiokultural – pada sisi masyarakat 4.
Masyarakat lokal memiliki kepastian akan terbebas dari eksploitasi pasar dan tekanan pihak luar. Banyak alasan dapat diberikan untuk menyertakan masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya dan lingkungan. Melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan, program atau proyek, dimungkinkan untuk (1) merumuskan persoalan dengan lebih efektif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah, (3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima, dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian sehingga memudahkan penerapan (Setiawan dan Rahmi 2000). Anwar (2001), menyebutkan bahwa kemitraan merupakan suatu inovasi untuk mengatur atau mengontrol interdependensi antar partisipan dalam suatu hubungan usaha, dimana dimungkinkan semua partisipan mempunyai perasaan memiliki terhadap kelembagaan tersebut dan memiliki peran proporsional dalam mewujudkan tujuan yang hendak dicapai. Kemitraan usaha dibangun dengan tujuan saling memperkuat dan saling menguntungkan serta menghindari adanya konflik atau dominasi suatu kelompok tertentu terhadap partisipan lainnya. Kemitraan perlu memilih strategi yang tepat dan sesuai dengan kondisi usaha yang dikembangkan sehingga sistem koordinasi organisasinya lebih efisien. Dalam kemitraan dibutuhkan strategi yang mampu menekan biaya-biaya transaksi hingga ke tingkat paling minimum Smith (1982) dalam Setiawan dan Rahmi (2000), menyarankan kemitraan seharusnya dilakukan lebih awal dalam proses perencanaan sehingga anggota masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang lebih awal dan penting. Kalau tidak, masyarakat akan melihat proses partisispasi tidak jauh dari sekedar kosmetik karena banyak keputusan kunci yang diambil tanpa melibatkan masyarakat. Kemitraan dimaknai sebagai bentuk kerjasama yang mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak atau lebih secara adil dan sederajat sesuai tata nilai yang berlaku dalam rangka mencapai suatu tujuan. Sekurang-kurangnya ada
xxxviii
beberapa prasyarat dan prinsip yang harus dipenuhi untuk membangun sebuah kemitraan yang kuat. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah kemauan untuk duduk dan bicara bersama dan saling percaya, saling mengerti dan menghormati, tukar menukar impian dan bayangan, tukar menukar informasi, mencari kesamaan dan ketidak samaan secara damai, mencapai kesepakatan minimal, sering bertemau dan berbicara bersama, memantau kegiatan berdasarkan indikator yang disetujui bersama, serta memperbaiki dan memperluas kersajama (Campbell 1999 dalam Nurfatan 2005) Kelestarian barang publik seperti sumber daya hutan, hanya bisa lestari manfaatnya apabila tidak terjadi konflik penggunaan, dijaga oleh seluruh masyarakat, atau paling tidak seluruh masyarakat tidak merusaknya. Oleh karena itu, adalah salah apabila hanya mengharapkan dari petugas kehutanan berapapun jumlahnya diterjunkan ke lapangan. Kelestarian sumber daya hutan akan hanya bisa terpelihara oleh publik secara keseluruhan. Masalahnya adalah instrumen kebijakan seperti apa yang mampu menuju kearah pemahaman dan implementasi kelestarian barang publik tersebut (hutan) sesuai dengan kehendak publik (Warsito et al. 2003) Menurut Anwar (2000) konflik dapat terjadi antar kelompok masyarakat maupun antar individu didalam kelompok yang sama. Definisi konflik sangat beragam, ada yang menggambarkan bahwa konflik adalah perilaku anggota organisasi yang dicurahkan untuk beroposisi terhadap anggota yang lain. Prosensnya dimulai jika satu pihak merasa bahwa pihak lainnya telah menghalangi atau akan menghalangi sesuatu yang ada kaitannya dengan dirinya, atau jika ada kegiatan yang tidak cocok dengan kepentingan salah satu pihak. Menurut Anwar (2000) konflik punya sebab-sebab ganda, biasanya merupakan kombinasi dari masalah dalam hubungan antar pihak-pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik terbuka. Konflik yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan merupakan konflik struktural karena terjadi ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan. Pihak yang berwenang mempunyai peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Disisi lain, persoalan geografis dan faktor sejarah atau waktu seringkali jadi alasan.
xxxix
Oleh sebab itu, menurut Ostrom (1994) dalam Laksono et al. (1995) kerjasama dalam pengelolaan sumber daya alam akan efektif apabila memenuhi kondisi sebagai berikut : 1.
Memiliki batas-batas yang jelas
2.
Mempunyai kemampuan untuk melindungi sumberdaya hutan
3.
Memiliki mekanisme yang efektif dalam pengambilan keputusan dan pemecahan konflik
4.
Mempunyai kemampuan untuk memonitor kualitas sumberdaya hutan
5.
Memiliki organisasi yang efisien untuk meningkatkan efektivitas dan frekuensi komunikasi
6.
Memiliki insentif dan keuntungan untuk pengelolaan hutan yang baik
7.
Memiliki input – masyarakat sebagai tenaga kerja, teknologi, modal informasi (information capital) dan input lainnya yang diperlukan untuk pengelolaan yang berkelanjutan (sustainable)
8.
Memiliki nilai konservasi atau komitmen untuk memelihara hutan Kesuksesan kerjasama antara perusahaan dan masyarakat dalam pengelolaan
sumber daya hutan tergantung pada (Nawir et al. 2002) : 1.
Mempunyai hubungan dengan proses industri atau pasar kayu, dimana sangat penting untuk mengamankan pasar produk kayu melalui kerjasama dengan masyarakat
2.
Menghitung input dari kedua belah pihak untuk menentukan besarnya pembagian keuntungan dan harga beli kayu yang berasal dari masyarakat
3.
Pengelolaan komponen biaya krusial (seperti biaya transaksi dan biaya sosial) yang didasarkan pada biaya yang efektif pada penge lolaan kayu hutan tanaman skala kecil
4.
Mendisain mekanisme penanaman modal kembali sebagai bagian dari kerjasama
2.5.Kelembagaan Pengelolaan Hutan 2.5.1. Arti Penting Kelembagaan Peranan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya hutan sangatlah penting. Kelembagaan yang baik akan menentukan keberhasilan suatu kegiatan
xl
pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah, swasta ataupun masyarakat. Kelembagaan adalah suatu gugus aturan (rule of conduct) formal (hukum, kontrak, sistem politik organisasi, pasar dan sebagainya) serta informal (norma, kondisi, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial dan sebagainya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok (Kherallah and Kristen 2001 dalam Fauzi 2004b).
Secara lebih spesifik,
Doughlass North, ahli ekonomi kelembagaan menyatakan bahwa institusi lebih pasti terjadi pada hubungan antar manusia serta mempengaruhi perilaku dan outcomes seperti keragaan ekonomi, efisien dan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Dalam
perspektif
ekonomi
kelembagaan
baru
(New
Institutional
Economic/NIE), Williamson (2000) dalam Fauzi (2004b) misalnya melihat bahwa kelembagaan beroperasi baik pada level makro maupun level mikro. Pada tingkat makro, kelembagaan merupakan rules of the game yang mempengaruhi perilaku dan keragaan dari pelaku ekonomi, dimana organisasi dibentuk dan biaya transaksi (Coase 1937) secara embedded ada didalamnya. Doughlass North, dengan faham Neo classical Economy dan new institutional economy melihat bahwa kelembagaan tidak bisa terlepas dari konsep biaya transaksi (transaction costs) yang dicetuskan pertama kali oleh Coase tahun 1937. Dengan demikian kelembagaan tidak lain adalah transaction minimazing arrangement/kesepakatan yang meminimasi biaya transaksi. Dalam pandangan North, kelembagaan yang menurunkan biaya transaksi adalah kunci keberhasilan indikator ekonomi. Perkembangaan kelembagaan sangat bersifat path dependent Dengan kata (keterkaitan antar periode) sehingga tidak semua kelembagaan bersifat efisien dan kelembagaan yang tidak efisien. Dan lembaga yang tidak efisien inilah yang menghambat petumbuhan ekonomi. Anwar (2000) menyebutkan bahwa kelembagaan dicirikan oleh tiga komponen, yaitu : (1)
Batasan yuridiksi, diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh seseorang atau pihak tertentu terhadap sumberdaya yang menjadi faktor produksi, barang dan jasa. Selain itu ditegaskan bahwa batas kewenangan berperan untuk mengatur penggunaan
xli
sumberdaya, dana dan tenaga dalam organisasi. Batas kewenangan juga berperan dalam menentukan laju pemanfaatan sumberdaya sehingga pada gilirannya akan menentukan sifat keberlanjutan (sustainability) dan pembagian manfaat bersih dari masing- masing pihak. (2)
Hak kepemilikian, yaitu hak yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat terhadap sumberdaya atau output tertentu yang diatur oleh suatu peraturan, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan anggota masyarakat. Anwar (2000) menyatakan property rights yang paling adalah kepemilikan (ownership) terhadap lahan. Hak kepemilikan yang lebih jelas atau pasti akan menentukan bersarnya bargaining position terhadap suatu persoalan. Berkaitan dengan hak kepemilikan pengelolaan sumberdaya alam diperlukan adanya suatu aturan main yang jelas.
(3)
Aturan representasi mengatur siapa ya ng berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang akan diambil dan apa akibatnya terhadap performance ditentukan oleh kaidah perwakilan atau representasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Anwar (2000) dalam aturan perwakilan yang dipersoalkan adalah masalah sistem atau prosedur mengenai keputusan. Dalam proses ini, bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan oleh kebutuhan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat terhadap anggota yang terlibat dalam organisasi tersebut.
2.5.2. Teori Permainan (Game Theory) Sebagai program yang boleh dibilang baru dan belum stabil, pengelolaan hutan bersama masyarakat sebagai salah satu model pengelolaan hutan secara lestari belum mengarah kepada keseimbangan dalam bentuk kelembagaan yang mantap. Oleh karena itu masih mengalami interaksi menuju suatu sistem kelembagaan yang memuaskan bagi semua pihak, baik pihak pemerintah, swasta maupun masyarakat (peserta program) Terdapat berbagai cara untuk mengetahui interaksi pihak-pihak dalam melaksanakan suatu program, diantaranya dengan menggunakan model game theory. Teori Permainan (Game Theory) merupakan pendekatan matematis untuk merumuskan situasi persaingan dan konflik diantara stakeholders atas perbagai
xlii
kepentingan. Pendekatan ini dipergunakan untuk menganalisis proses pengambil keputusan dari persaingan yang berbeda-beda dan melibatkan dua atau lebih dari suatu kelompok untuk suatu kepentingan yang semuanya terlibat dalam usaha untuk memenangkan permainan. Anggapan yang mendasari Teori Permainan ini adalah bahwa setiap individu maupun kelompok mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan secara bebas dan rasional. Teori Permainan ini dimaksudkan untuk menghadapi suatu permasalahan yang memberikan suatu teori tentang perilaku strategis dan ekonomi, manakala orang saling berhubungan secara langsung dibandingkan melalui pasar. Teori Permainan berkaitan dengan aksi dari individu yang khawatir bahwa kegiatan mereka akan mempengaruhi satu dengan lainnya. Teori Permainan tidak berguna ketika keputusan yang dibuat mengabaikan reaksi yang lainnya atau memperlakukan yang lain sebagai tekanan pasar. Anwar (2001), menyebutkan bahwa bekerjasama (cooperation) diantara anggota masyarakat digambarkan dalam suatu model sederhana dari satu lain (one-shot) keadaan yang terjadi pada persoalan yang disebut Dilema Narapidana (Prisoner’s Dilemma Game) yang menggambarkan keadaan terjadinya interaksi antara dua agent atau kelompok dimana kedua kelompok masing- masing sebenarnya mempunyai kesempatan unt uk memperoleh manfaat atau keuntungan (benefit) dari adanya kerjasama yang jujur antara mereka dengan saling menguntungkan. Namun jika salah satu atau kedua pihak yang berinteraksi masing- masing secara sendiri-sendiri mencoba untuk berlaku curang kepada pihak lainnya, maka yang terjadi akan merugikan pihak lainnya. Ada beberapa unsur atau konsep dasar yang sangat penting dalam penyelesaian tiap kasus dengan Teori Permainan, yaitu : 1) jumlah pemain, 2) ganjaran (payoff), 3) jumlah strategi permainan, 4) matriks permainan. Permainan diklasifikasikan menurut jumlah kepentingan atau tujuan yang ada dalam permainan itu. Pengertian jumlah pemain tidak selalu sama dengan jumlah orang yang terlibat dalam permainan. Jumlah pemain disini berarti jumlah kelompok pemain berdasarkan masing- masing kepentingan atau tujuannya. Dengan demikian, dua orang atau lebih yang mempunyai kepentingan yang sama sebagai satu (kelompok) pemain.
xliii
Strategi menunjukkan untuk setiap situasi yang timbul dalam proses permainan, gerakan khusus mana yang harus dipilih. Ross (2004) menyebutkan strategi harus ditetapkan terlebih dahulu, untuk menentukan tindakan apa yang diambil untuk merespon setiap strategi yang dimainkan oleh pemain lainnya. Yang disebut permainan (game) adalah suatu situasi diman sedikitnya ada satu pemain yang dapat bertindak untuk memaksimalkan kegunaannya (utility) dengan cara mengantisipasi respon yang timbul akibat tindakan yang dilakukan oleh pemain tersebut. Jika semua pemain melakukan tindakan yang optimal seperti yang dilakukan oleh salah satu pemain, berarti situasi itu berada dalam kondisi kompetisi sempurna. Semua situasi kompetitif yang mempunyai ciri-ciri atau sifat-sifat berikut yang dapat disebut sebagai permainan (game), yaitu: 1) jumlah pemain terbatas, 2) untuk setiap pemain, ada sejumlah kemungkinan tindakan yang terbatas, 3) ada pertentangan kepentingan (conflict of interest) antara pemain, 4) aturan permainan yang mengatur di dalam memilih tindakan diketahui oleh setiap pemain, 5) hasil seluruh kombinasi tindakan yang mungkin dilakukan berupa bilangan yang positif, negatif atau nol. Tanda negatif merupakan simbol kekalahan, begitu permainan selesai pemain yang kalah akan membayar (mungkin dalam bentuk uang) kepada pihak pemenang sejumlah yang sudah ditentukan. Nilai pembayaran ini disebut payoff. Pilihan rasional didalam teori ekonomi neoklasik akan memaksimalkan penghargaan seseorang. Dari pandangan tersebut, hal ini merupakan masalah matematika : memilih aktifitas yang memaksimalkan penghargaan. Pilihan ekonomi yang rasional merupakan solusi bagi suatu permasalahan matematika. Dalam game theory, dimana suatu kasus menjadi lebih kompleks, hasilnya tidak tergantung hanya pada kondisi pasar, tetapi juga secara langsung pada strategi yang dipilih oleh orang la in, tetapi kita dapat berpikir tentang pilihan strategi yang rasional sebagai masalah matematika yaitu memaksimalkan penghargaan dari suatu kelompok pembuat keputusan yang saling berinteraksi. Tabel 5 Konsekuensi Pahala (Payoff) dari Permainan Pertukaran (Jasa)
Pihak agen A
Jujur Tidak jujur
Pihak agen B Jujur Tidak jujur T/2, T/2 - ß, a a, - ß - ?, - ?
xliv
Pada Tabel 5 di atas menyatakan tentang hasil- hasil pahala (payoff) yang diperoleh bagi kedua belah pihak yang bertukar barang/jasa (exchange of goods) dari suatu pertukaran yang dilaksanakan sekali (tunggal) dan hasil payoff-nya tergantung pada kombinasi dari strategi-strategi yang mereka pilih.
2.6.Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Sumber daya alam, selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung, juga menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, misalnya manfaat amenity seperti keindahan, ketenangan dan sebagainya (Fauzi 1999). Secara umum dapat didefinisikan bahwa valuasi ekonomi pada dasarnya adalah suatu upaya untuk memberikan nilai kualitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan terlepas apakah nilai pasar (market prices) tersedia atau tidak. Akar dari konsep penilaian ini sebenarnya berlandaskan pada ekonomi neo klasikal (neo classical economic theory) yang menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen (Barbier et al. 1997 dalam Fauzi 1999). Pengertian nilai (value), khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Salah satu tolok ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama berbagai disiplin ilmu adalah pemberian price tag (harga) pada barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam dan lingkungan, yang disebut nilai ekonomi sumber daya alam. Nilai ekonomi didefinisikan
sebagai
pengukuran
jumlah
maksimum
seseorang
ingin
mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya, yang secara formal disebut kesediaan membayar (willingness to pay=WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan Pengukuran nilai ekonomi dapat juga dilakukan melalui pengukuran kesediaan menerima (willingness to accept =WTA) (Fauzi 2004a). Untuk dapat dicapai suatu kesepakatan antara dua pihak yang berkeinginan untuk suatu perubahan tersebut dan pihak yang menerima terjadinya perubahan tersebut maka perbedaan antara WTP dengan WTA adalah sekecil mungkin.
xlv
Kecenderungan umum dalam suatu bidding, pihak yang menginginkan perubahan (melalui WTP) memberikan jumlah yang kecil, sebaliknya pihak yang menerima (melalui WTA) cenderung meminta jumlah yang besar (Sanim 1995). Selanjutnya Sanim (1995), menyatakan ada dua pendekatan besar untuk valuasi, dimana masing- masing pendekatan tersebut meliputi sejumlah teknikteknik pengukuran. Kedua pendekatan tersebut adalah langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Pendekatan langsung menurunkan preferensi secara langsung dengan cara survey dan teknik-teknik percobaan (experiment techniques), yaitu masyarakat akan ditanya secara langsung untuk menyatakan kekuatan atau preferensi meraka untuk suatu perubahan yang diusulkan. Sebaliknya, pendekatan tidak langsung adakah teknik-teknik yang mencari untuk menurunkan preferensi dari fakta atau informasi berdasarkan pasar yang diamati. Preferensi untuk lingkungan hidup yang baik diturunkan secara tidak langsung, ketika seseorang membeli barang yang dipasarkan (marketed good) dengan mana lingkungan hidup yang baik dihubungkan dalam jalan/kaitan dengan variabel tertentu sebagai produksi. Di dalam pengukuran WTP, Haab dan McConnel (2002) dalam Fauzi (2004a) menyatakan bahwa pengukuran WTP yang dapat diterima (reasonable) harus memenuhi syarat: (1) WTP tidak memiliki batas bawah yang negatif, (2) Batas atas WTP tidak boleh melebihi pendapatan, dan (3) Adanya konsistensi antara keacakan (randomness) pendugaan dan keacakan penghitungannya. Ada beberapa metode untuk melakukan penilaian ekonomi yaitu Hedonic Pricing, Travel Cost, Random Utility Model, Contingent Valuation dan Contingent Choice, dan yang paling populer adalah Metode Valuasi Contingent (Contingent Valuation Methode=CVM). Metode ini dianggap superior untuk mengestimasi nilai ekonomi dan perubahan kualitas lingkungan. Namun demikian, banyak potensi terjadi kesalahan estimasi terutama dalam hubungan dengan desain survey dan administrasi yang mempengaruhi akurasi metode ini. Kemampuan untuk mengurangi potensi kesalahan estimasi memungkinkan nilai lingkungan yang diberikan oleh responden akan mendekati nilai yang sebenarnya, sehingga ketika hasilnya itu diwujudkan dalam kebijakan lingkungan (melalui
xlvi
instrumen ekonomi atau mekanisme pasar) akan menjadi realistis dan bisa dipercaya (Yakin 1997). Asumsi dasar yang dipergunakan dalam CVM adalah : (1) bahwa individuindividu memahami benar pilihan-pilihan yang ditawarkan dan mereka cukup familiar atau tahu kondisi lingkungan yang dinilai, (2) bahwa apa yang dikatakan orang adalah sungguh-sungguh apa yang akan mereka lakukan jika pasar untuk barang lingkungan itu benar-benar terjadi (Yakin 1997).
xlvii
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh Indonesia baik untuk lingkup nasional
maupun
lokal
pada
dasarnya
bertujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi. Sebagai negara yang memiliki potensi sumberdaya hutan yang cukup besar maka pembangunan ekonomi bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya hutan tersebut, dimana hal ini dipengaruhi pula oleh pandangan-pandangan yang cenderung bersifat eksploitatif. Pada sisi lain, adanya permintaan yang tinggi terhadap sumberdaya hutan tersebut mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya hutan merupakan suatu hal yang tidak terelakkan. Pengelolaan sumber daya hutan yang baik akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, demikian juga sebaliknya, pengelolaan sumberdaya hutan yang tidak baik akan menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat, yang mengakibatkan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya hutan sering tidak seimbang dengan biaya sosial yang harus ditanggung. Sehingga persoalan yang mendasar dalam pengelolaan sumberdaya hutan adalah bagaimana mengelola sumberdaya itu agar dapat menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya hutan itu sendiri (Fauzi 2004a). Oleh sebab itu dalam pengelolaan (pemanfaatan) sumberdaya hutan paling tidak terdapat dua aspek penting yang terkait, yaitu aspek sumberdaya dan aspek stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan hutan. Dalam aspek sumberdaya diperlukan adanya pemahaman akan potensi, peranan dan fungsi dari suatu sumberdaya, yang secara kodrati bahwa setiap sumberdaya diciptakan dengan sejumlah manfaat, peranan dan fungsi yang penting bagi kelangsungan hidup manusia. Berdasarkan fakta-fakta yang ada, maka kondisi sumber daya hutan Indonesia dengan segala keanekaragaman hayatinya telah mengalami tekanan yang cukup berat dan akan semakin berat pada masa yang akan datang. Tekanan yang dialami itu disebabkan karena besarnya potensi hutan yang bernilai strategis dan menjadi tumpuan dan modal dasar pembangunan ekonomi nasional serta
xlviii
memberikan dampak yang positif bagi peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan industri, mendorong pertumbuhan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Kondisi seperti itu menyebabkan terjadinya degradasi sumber daya hutan hampir di seluruh kawasan hutan di Indonesia. Proses degradasi ini merubah keadaan lahan hutan menjadi lahan kritis dan semakin mengkhawatirkan karena semakin tahun mengalami peningkatan. Meningkatnya luas lahan kritis pada kawasan hutan tersebut karena telah terjadi eksploitasi hutan besar-besaran, baik yang dilakukan oleh pemegang HPH maupun akibat terjadinya penebangan liar (illegal
logging)
yang
akan
memberikan
dampak
yang
besar
kepada
keseimbangan lingkungan dan kelestarian sumber daya hutan serta tidak tercapainya ketiga fungsi kawasan hutan, yaitu fungsi : konservasi, produksi dan lindung.
Gagasan pembangunan hutan tanaman (HTI) yang pada awalnya
ditujukan untuk merehabilitasi lahan- lahan hutan yang kritis dan tidak produktif dan mempunyai tujuan utama untuk turut menjamin penyediaan pasokan bahan baku industri pengolahan kayu di Indonesia, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak berjalan mulus. Dalam aspek stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan hutan, perlu pemahaman tentang masalah hak pemilikan (negara, individu (private) dan komunal) dan akses terhadap sumber daya, yang merupakan hal pokok untuk berhasilnya efisiensi alokasi sumber daya dan bekerjanya pasar. Satu hal ya ng perlu dipahami bahwa di dalam sumber daya alam, antara sumber daya dan rezim pemilikan sumber daya harus dibedakan dengan jelas. Satu sumber daya bisa saja mempunyai berbagai hak pemilikan dan akses terhadap sumber daya (Bromley 1989 dalam Fauzi 2004a). Upaya-upaya pengelolaan (pemanfaatan) sumberdaya alam (hutan) selalu dihadapkan pada konflik dan kontroversi yang merupakan konsekuensi dari perbedaan nilai dan kepentingan yang terdapat dalam masyarakat. Konflik yang terjadi adalah konflik pemanfaatan maupun konflik kewenangan. Konflik pemanfaatan terjadi antar masyarakat, antara masyarakat dengan pemerintah, maupun antara masyarakat dengan pihak-pihak pengelola yang mendapatkan keuntungan ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya alam. Konflik kewenangan
xlix
terjadi karena adanya tumpang tindih kepentingan antara pemerintah pusat, Provinsi maupun kabupaten/kota karena tidak adanya ketidakjelasan tugas dan wewenang dalam struktur kelembagaan formal. Memperhatikan pengelolaan hutan yang telah dilaksanakan, terjadi ketidak seimbangan hak- hak dan wewenang antara pemerintah dan pihak pengelola hutan dengan masyarakat yang tinggal di dalam/sekitar hutan dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan serta ketidak seimbangan dalam akses terhadap sumberdaya hutan sehingga menyebabkan ketimpangan kesejahteraan. Padahal, hubungan saling ketergantungan manusia dengan hutan dalam suatu interaksi dalam sistem kehidupan merupakan dalil yang tidak dapat
disangkal. Maka,
untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam menjaga kelestarian hutan dan mengatasi masalah ketidak seimbangan atau ketimpangan tersebut, perlu penyempurnaan kebijakan dalam pengelolaan hutan dengan
memanfaatkan
potensi masyarakat lokal, yaitu memanfaatkan basis pengetahuan dan kearifan setempat yang mencakup aspek teknis seperti penetapan jenis unggulan setempat dan penentuan bentuk pelaksanaan sesuai kondisi lokal, sampai aspek managerial dalam bentuk pemberian prioritas pelaksana pada masyarakat setempat. Keterlibatan, peranserta atau kebersamaan masyarakat dalam mengelola hutan sangat diperlukan mengingat mereka merupakan bagian dari ekosistem hutan. Keterlibatan dan peranserta itu dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk yaitu dengan memberi bantuan, mobilisasi atau menggerakkan masyarakat, membayar masyarakat sebagai tenaga kerja, bagi hasil atau menjadikan masyarakat sebagai mitra sejajar dalam setiap pengambilan keputusan, perencanaan dan implementasinya. Diharapkan rasa ikut memiliki dan tanggung jawab atas pengelolaan bisa tumbuh dari masyarakat sekitar hutan apabila mereka diberi kepercayaan lebih besar dalam pengelolaan hutan. Penyempurnaan kebijakan itu diharapkan dapat memberikan implikasi- implikasi perbaikan perilaku baik kepada pihak pengambil keputusan, para pelaksana HTI, kinerja institusi dan masyarakat. Oleh karena itu, keberhasilan pelaksanaan
kebijakan dalam pengelolaan
hutan ini sangat tergantung apakah masyarakat lokal diberi hak-hak bahwa mereka dapat diikutsertakan/berperan serta dalam pengambilan keputusan dalam
l
merancang dan melaksanakan program pembangunan yang bersangkutan. Hakhak tersebut mengandung arti bahwa akses dalam bentuk hak- hak pemanfaatan yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang terhadap sumberdaya
menjadi sangat penting, karena jika hal itu tidak dilakukan, maka mereka akan tidak menghiraukan program/kegiatan tersebut dan bahkan sampai mencoba menentang atau merusaknya. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas, adanya model dalam perspektif pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan pembangunan hutan tanaman merupakan
dalam
upaya untuk mencapai kelestarian
fungsi kawasan hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena pengelolaan sumber daya hutan ke masa depan harus memberikan penegasan hakhak (property rights) bagi masyarakat lokal dan pembinaan organisasi kemasyarakatan komunal yang lebih transparan serta adanya pengakuan formal atas kelembagaan sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal. Alur pikir pelaksanaan penelitian ini sebagaimana Gambar 1.
li
Kebijakan Pembangunan Kehutanan (HPH dan HPHTI)
Perubahan paradigma pengelolaan hutan
Masalah Pengelolaan SDH 1. Ketidak-tegasan hak pemilikan 2. Ketidakseimbangan dalam akses terhadap sumberdaya 3. Ketimpangan dalam kesejahteraan 4. Degradasi/deforestasi
Penyempurnaan kebijakan pembangunan kehutanan: pemberdayaan masyarakat
1.Hak pemilikan 2. Akses terhadap sumberdaya
Konflik pemanfaatan & kewenaangan
Game theory Manfaat bagi masyarakat
Berhasil?
Peranserta masyarakat
Tidak
Analisis manfaat ekonomi, sosial & lingkungan
Ya
Kelestarian hutan terjaga Masyarakat sejahtera
subyek penelitian
Gambar 1. Alur Pikir Penelitian
lii
3.2. Model/Hipotesis Dari penjelasan-penjelasan di atas, hipotesis yang dapat dikemukan : 1.
Pelaksanaan pembangunan HTI akan menguntungkan dan memberikan dampak
yang
positif
antara
lain
berupa
peningkatan
pendapatan,
peningkatan pengetahuan, peningkatan lapangan kerja dan kesempatan kerja, serta peningkatan produktifitas laha n. 2.
Pembentukan kemitraan dengan masyarakat dalam mengelola hutan tanaman melalui MHBM akan merupakan solusi yang baik dalam menjaga kelestarian hutan dan pembangunan HTI ke masa depan
3.3. Metode Penelitian a.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian lapangan dilaksanakan pada HPHTI PT. Musi Hutan Persada di
Provinsi Sumatera Selatan dalam bulan Agustus – September 2005. b.
Data dan Instrumentasi Data Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang ditunjang
dengan penelitian pustaka. Dengan demikian data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder, diperoleh melalui sampling dan mengumpulkan informasi yang dilakukan dengan cara : 1.
Data primer; diperoleh
melalui observasi dan wawancara dengan para
responden (peserta MHBM) di lokasi penelitian. Selain responden, informasi juga diperoleh melalui wawancara dengan pihak perusahaan, pejabat Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, tokoh masyarakat setempat. 2.
Data sekunder; diperoleh melalui teknik pencatatan dokumen pada instansiinstansi terkait seperti Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, Pemerintah Daerah, perusahaan atau hasil penelitian/laporan diantaranya adalah data tentang luas wilayah, kependudukan, realisasi hutan tanaman dan lain- lain.
liii
Instrumentasi Instrumentasi perlu dilakukan secara jelas dan terukur sehingga pengukuran terhadap variabel bebas dapat dilakukan. Untuk mengkaji kesediaan membayar (willingness to pay=WTP) terhadap manfaat sosial yang diterima masyarakat dipergunakan model Re gresi Berganda dengan variabel dummy (boneka) karena beberapa variabel bebas yang diukur termasuk kategori jenis data kualitatif. Instrumentasi variabel- variabel bebas yang diduga mempunyai pengaruh terhadap nilai WTP adalah : a.
Umur
peserta MHBM yang dijadikan responden (X1 ) diukur pada saat
dilakukan penelitian dan dinyatakan dalam satuan tahun b.
Tingkat pendidikan responden (X2 ) diukur dengan jenis ijazah terakhir yang dimiliki dan dikategorikan sebagai berikut :
c.
1.
SD
2.
SMP
3.
SMA
Jumlah tanggungan keluarga responden (X3 ) yang diukur dengan menghitung jumlah anggota rumah tangga yang masih menjadi tanggungan dan dinyatakan dalam satuan orang
d.
e.
Jenis pekerjaan utama responden (D1 ) dan dikategorikan sebagai berikut : 1.
Pekerjaan responden sebagai buruh/petani
0.
Pekerjaan responden selain sebagai Buruh/Petani
Pendapatan rumah tangga responden (X4 ) dengan menghitung besarnya pendapatan yang diperoleh dari kegiatan MHBM dan diukur dalam satuan rupiah per bulan dengan kategori sebagai berikut :
f.
1.
< Rp. 250.000,-
2.
Rp. 250.000 – Rp. 350.000,-
3.
Rp. 350.000 – Rp. 500.000,-
4.
Rp. 500.000 – Rp. 700.000,-
5.
Rp. 700.000 – Rp. 1.000.000,-
6.
> Rp. 1.000.000,-
Jarak lokasi kegiatan MHBM dengan tempat tinggal responden (X5 ) diukur dalam satuan Km dengan kategori sebagai berikut :
liv
g.
1.
< 10 Km
2.
10 – 20 Km
3.
> 20 Km
Manfaat yang diterima/dirasakan oleh masyarakat (X6 ) diukur dengan mengetahui jumlah skor dari jawaban pertanyaan yang terkait dengan
:
peningkatan pendapatan, penyediaan lapangan pekerjaan, peningkatan pengetahuan dalam kehutanan, pertanian dan berorganisasi. Penilaiannya dengan memberi skor 1 untuk jawaban tidak setuju, skor 2 untuk jawaban kurang setuju dan skor 3 untuk jawaban setuju. Hasil penjumlahan skor dikategorikan sebagai berikut :
h.
1.
< 15
(Tidak bermanfaat)
2.
15 – 21 (Kurang bermanfaat)
3.
22 – 28 (Bermanfaat)
Sistem penyerahan pekerjaan dari perusahaan kepada masyarakat (peserta MHBM) dan pemodalan (D2 ) diukur dengan kategori sebagai berikut : 1.
Pekerjaan diserahkan langsung ke peserta MHBM dan penyediaan modal secara swadana
0.
Pekerjaan diserahkan selain ke peserta MHBM dan modal berasal dari pihak ketiga
1.
Sistem pembayaran hasil pekerjaan (D3 ) diukur dengan kategori sebagai berikut :
c.
1.
Pembayaran jasa kerja dilakukan sering terlambat
0.
Pembayaran jasa kerja dilakukan selain sering terlambat
Penarikan Contoh Obyek yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah peserta program
MHBM PT. MHP yang melingkupi 25 (duapuluh lima) desa pada 12 (duabelas) kecamatan
dengan luas areal MHBM 39.571,536 ha. Dalam penelitian ini,
dilakukan penelitian terhadap
program MHBM yang mewakili desa yang
dilakukan pada 10 (sepuluh) desa di 6 (enam) kecamatan di Kabupaten Muara Enim.
lv
Penentuan kecamatan dan desa terpilih dilakukan secara purposive sampling atau penarikan contoh yang diarahkan dengan memperhatikan beberapa kriteria : 1.
Kecamatan yang terpilih adalah kecamatan yang memiliki keseluruhan luas areal kerja MHBM yang terluas.
2.
Penentuan desa terpilih adalah desa di kecamatan terpilih yang melakukan program MHBM dengan model MHBM yang mewakili desa. Berdasarkan kriteria di atas, maka desa yang terpilih untuk dijadikan lokasi
penelitian adalah Desa Subanjeriji di Kecamatan Rambang Dangku dan Desa Gunung Megang di Kecamatan Gunung Megang. Dan yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah keluarga (rumah tangga) peserta MHBM. Dalam penentuan jumlah petani contoh (responden) untuk masing- masing desa terpilih dilakukan proporsional dengan jumlah petani peserta MHBM pada masing- masing desa terpilih tersebut. Dalam penentuan peserta MHBM yang dijadikan responden pada masing- masing desa terpilih dilakukan secara acak (random sampling). Dalam penelitian ini jumlah peserta MHBM yang menjadi responden adalah seabnyak 108 orang, yaitu untuk Desa Subanjeriji sebanyak 48 orang dan Desa Gunung Megang sebanyak 60 orang. Selain kedua desa itu, dipilih satu desa yang berada disekitar areal HTI PT. MHP yang tidak melaksanakan program MHBM sebagai desa pembanding, yaitu Desa Lecah Kecamatan Lubai. Jumlah masyarakat yang dipilih sebagai responden sebanyak 40 orang
d.
Metode Analisis
Analisis Peranan Kehutanan terhadap Ekonomi dan Pengembangan Wilayah Untuk
mengetahui
peranan
Kehutanan
terhadap
ekonomi
dan
pengembangan wilayahnya dalam penelitian ini mempergunakan (memanfaatkan) model ekonomi basis. Dalam hal ini untuk mengetahui apakah suatu kegiatan di suatu wilayah merupakan sektor basis atau bukan basis dipergunakan Analisis Location Quotient (LQ). Selanjutnya dari hasil pengolahan data dengan LQ
lvi
tersebut akan dianalisis secara deskriptif dikaitkan dengan keberadaan HTI dan pengembangannya.
Xij LQij =
Xi. X. j
……………………………………………………… (1)
X .. dimana : LQij = Indeks Quotient Location (Kuosien Lokasi) Xij = PDRB sub sektor tertentu ditingkat Kabupaten Muara Enim Xi. = Jumlah PDRB total seluruh sektor tingkat Kabupaten Muara Enim X. j = PDRB sektor tertentu tingkat Provinsi Sumatera Selatan X.. = Jumlah PDRB total seluruh sektor tingkat Provinsi Sumatera Selatan Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis dan non basis adalah jika nilai Indeks LQ lebih besar dari satu (LQ > 1) maka sektor tersebut merupakan sektor basis sedangkan jika nilai Indeks LQ lebih kecil dari satu (LQ < 1) maka sektor tersebut merupakan sektor non basis pada kegiatan perekonomian wilayah Kabupaten Muara Enim. Data yang dipergunakan untuk menghitung Koefisien Lokasi adalah total PDRB seluruh sektor dan PDRB sektor Kehutanan untuk Kabupaten Muara Enim dan Provinsi Sumatera Selatan Selain menggunakan Analisis Koefisien Lokasi, untuk menganalisis peranan Kehutanan terhadap ekonomi dan pengembangan wilayah juga dipergunakan data produksi hasil hutan pada wilayah penelitian baik yang berasal dari hutan rakyat maupun hutan negara.
Analisis Manfaat Ekonomi MHBM Analisis Deskriptif.
Dalam penelitian ini, yang diteliti adalah manfaat
ekonomis MHBM pada tingkat mikro yang kemudian dianalisis secara deskriptif, yaitu akan dilihat dari besarnya perubahan (penurunan/peningkatan) pendapatan para peserta MHBM
yang dijadikan responden dari kegiatan MHBM yang
kemudian diperbandingkan. Pendapatan yang diperhitungkan dalam analisis ini adalah pendapatan perorangan (personal income) yang merupakan jumlah pendapatan yang diterima rumah tangga (Mankiw, 2000). Perubahan pendapatan antar peserta MHBM baik dalam satu desa maupun antar desa dilakukan berdasarkan pada kondisi sebelum (before) dan sesudah (after) program MHBM
lvii
Selain itu juga dibandingkan pendapatan peserta MHBM dengan desa sekitar lokasi HTI yang tidak melakukan program MHBM. Analisis Statistik. Beberapa uji statistik yang dilakukan terkait dengan perubahan pendapatan masyarakat peserta MHBM, yaitu : (1)
Uji Dua Sampel Berhubungan (Uji Wicoxon).
Pengujian ini untuk
mengetahui sejauh mana kegiatan MHBM secara nyata berpengaruh atau tidak terhadap tingkat pendapatan peserta MHBM. Pengujian dilakukan dengan taraf uji a=5% dan menggunakan software SPSS 11.5 Hipotesis yang disusun adalah : Ho : µ1 = µ2 à artinya rata-rata pendapatan masyarakat sebelum mengikuti MHBM (tahun 2002) sama dengan rata-rata pendapatan sesudah mengikuti MHBM (2005) H1 : µ1 < µ2 à artinya rata-rata pendapatan masyarakat sebelum mengikuti MHBM lebih kecil dengan rata-rata pendapatan sesudah mengikuti MHBM Kriteria pengujian : -
Ho ditolak jika berdasarkan hasil pengujian didapat nilai Z < a (0,05)
-
Ho tidak ditolak (diterima) jika berdasarkan hasil pengujian didapat nilai Z > a (0,05)
Karena terdapat selang waktu antara sebelum mengikuti MHBM (tahun 2002) dan sesudah mengikuti MHBM sesuai pelaksanaan penelitian (tahun 2005), maka sebelum dilakukan pengujian, pendapatan masyarakat sebelum mengikuti kegiatan MHBM dikoreksi/disesuaikan terlebih dahulu dengan memasukkan angka inflasi tahun 2003 sebesar 5,06% dan inflasi 2004 sebesar 6,40%. Dengan demikian, pendapatan masyarakat sebelum MHBM (yang terkoreksi) = (I0 x inflasi) + I0 dimana I0 = pendapatan tahun 2002 (2)
Uji Dua Sampel Independen (Uji Mann Whitney). Pengujian ini untuk mengetahui : a.
Apakah terdapat perbedaan tingkat pendapatan yang nyata antar desa yang menjadi peserta MHBM sebelum kegiatan MHBM dimulai. Pengujian dilakukan dengan taraf uji a=5% dan menggunakan software SPSS 11.5
lviii
Hipotesis yang disusun adalah : Ho : µ1 = µ2 à artinya tidak terdapat perbedaan tingkat pendapatan masyarakat antar
desa yang
mengikuti MHBM
sebelum kegiatan MHBM dimulai H1 : µ1 > µ2 à artinya terdapat perbedaan tingkat masyarakat antar
pendapatan
desa yang mengikuti MHBM
sebelum kegiatan MHBM dimulai Kriteria pengujian : -
Ho ditolak jika berdasarkan hasil pengujian didapat nilai Z < a (0,05)
-
Ho tidak ditolak (diterima) jika berdasarkan hasil pengujian didapat nilai Z > a (0,05)
b. Sejauh mana kegiatan MHBM secara nyata pengaruh atau tidak terhadap tingkat pendapatan antara desa yang menjadi peserta MHBM dengan desa yang tidak melakukan MHBM. Penguj ian dilakukan dengan taraf uji a=5% dan menggunakan software SPSS 11.5 Hipotesis yang disusun adalah : Ho : µ1 = µ2 à artinya rata-rata pendapatan masyarakat di desa yang mengikuti MHBM sama dengan rata-rata pendapatan masyarakat di desa yang tidak mengikuti MHBM H1 : µ1 > µ2 à artinya rata-rata pendapatan masyarakat di desa yang mengikuti MHBM lebih besar
dengan rata-rata
pendapatan masyarakat di desa yang tidak mengikuti Kriteria pengujian : -
Ho ditolak jika berdasarkan hasil pengujian didapat nilai Z < a (0,05)
-
Ho tidak ditolak (diterima) jika berdasarkan hasil pengujian didapat nilai Z > a (0,05)
Analisis Manfaat Sosial MHBM Deskriptif. Secara deskriptif akan digambarkan persepsi atau tingkat penerimaan
masyarakat tentang manfaat sosial dari kegiatan MHBM dengan
melihat hal- hal antara lain menyangkut : penyediaan lapangan pekerjaan,
lix
peningkatan pendapatan, peningkatan pengetahuan dalam bidang kehutanan dan berorganisasi. Willingness To Pay. Metode yang dipergunakan dalam analisis nilai manfaat sosial MHBM dalam penelitian ini adalah penilaian yang menggunakan konsep kesediaan membayar (willingness to pay). Untuk mengetahui nilai kesediaan masyarakat membayar, dapat dilakukan dengan pengukuran secara langsung dan tidak langsung. Dalam penelitian ini, pengukuran nilai kesediaan masyarakat membayar Method (CVM),
dilakukan dengan pendekatan Contingent Valuation
yang secara teknis pendekatan CVM ini dilakukan dengan
melalui teknik survey. Pendekatan CVM ini hakekatnya bertujuan untuk mengetahui (1) keinginan membayar (willingness to pay atau WTP) dari sekelompok masyarakat, misalnya terhadap perubahan kualitas lingkungan; (2) keinginan menerima (willingness to accept atau WTA) dari suatu kerusakan lingkungan. Dengan menggunakan pendekatan ini, untuk mengetahui apakah masyarakat di dalam dan sekitar hutan mendapatkan manfaat dari pelaksanaan MHBM, maka responden akan diberikan pertanyaan secara langsung. Model yang akan digunakan adalah model parametrik dikotomis CVM yaitu Random Utility Model (RUM). Menurut Fauzi (2004a) maka model RUM ini dimulai dengan membangun hipotesis bahwa ada 2 (dua) kondisi alternatif sumber daya alam, yaitu : a.
kondisi i=0
yang menggambarkan kondisi masyarakat tidak merasakan
manfaat MHBM (kondisi status quo) b.
kondisi i=1 yang menggambarkan kondisi masyarakat merasakan manfaat MHBM sehingga diperoleh kondisi lingkungan yang baik (seperti yang ditawarkan dalam survey CVM). Model ini dibangun dengan asumsi bahwa utilitas bersifat linier terhadap
pendapatan, maka misalnya : Mj = pendapatan responden j pada kondisi I dan zj = karakteristik sosial responden ke-j, maka fungsi utilitas reponden terhadap MHBM dapat ditulis :
lx
uij = u M j , z j ,ε ij
...………………………………(2)
Kemudian responden diminta untuk membaya r sebesar p yang merupakan jumlah uang maksimum yang akan disumbangkan atau dibayarkan agar MHBM tetap keberadaannya. Jumlah uang yang akan dibayarkan dari setiap responden merupakan variabel terikat (dependent variable) dan akan dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas (independent variables). Penjumlahan semua kesediaan membayar maksimum dari setiap responden berdasarkan jumlah penduduk yang terkait dengan MHBM, akan mencerminkan nilai manfaat
dari MHBM. Menurut Fauzi (2004a) utilitas yang diperoleh
masyarakat setelah adanya keinginan membayar yaitu :
u1 M j − p j , z j , ε1 j > u0 M j , z j ,ε 0 j …………..(3) Namun karena, preferensi responden yang bersifat acak tidak diketahui, maka kemungkinan (probabilitas) hanya menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’. Jadi jika u1 > u0 kemungkinan responden menjawab ‘ya’ adalah :
Pr(' ya ' ) = Pr{u1 M j − p j , z j , ε1 j > u0 M j , z j ,ε 0 j } ……..…..(4) Dengan menspesifikasikan fungsi utilitas yang biasa dibuat dalam bentuk linier dan aditif sebagai berikut :
u1 M j , z j ,ε1 j = vi M j , z j + ε ij …………………….……………(5) Dimana : u1 = fungsi utilitas yang tidak teramati vi = fungsi utilitas yang teramati (indirect utility function) Didalam operasionalnya, tahapan-tahapan analisis WTP dengan pendekatan CVM yaitu : 1.
Membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi
2.
Mendapatkan nilai lelang (bids) dengan melakukan survey. Survey ini bertujuan untuk memperoleh nilai maksimum keinginan membayar (WTP) dari responden yang dilakukan dengan pertanyaan terbuka, dimana responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai rupiah agar MHBM terus diterapkan dalam pembangunan hutan tanaman
3.
Menghitung nilai rataan WTP dan WTA dari setiap individu
lxi
4.
Memperkirakan
kurva
lelang
(bid curve)
yang
diperoleh
dengan
meregresikan WTP sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa variabel bebas 5.
Mengagregatkan data rataan lelang yang diperoleh
Bentuk pendugaan WTP dalam persamaan dengan teknik regresi atau ekonometrik. Dalam penelitian ini jumlah uang yang akan dibayarkan dari setiap responden merupakan variabel terikat (dependent variable) dan akan dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas (independent variables), yaitu Umur (X1), Jumlah tanggungan keluarga (X2), Tingkat pendidikan (X3), Tingkat pendapatan (X4), Jarak
lokasi
MHBM
dengan
tempat
tinggal
(X5),
Manfaat
yang
diterima/dirasakan (X6), Pekerjaan utama (D1), Sistem penyerahan pekerjaan dan pemodalan (D2) dan Sistem pembayaran jasa kerja (D3), yang jika ditulis dalam bentuk : WTP = β0 + β1 X1 + β2 X 2 + β3 X 3 + β 4 X 4 + β 5 X 5 + β 6 X 6 + β 7 D1 + β8 D2 + β9 D3 .(6) Untuk melihat mempengaruhnya terhadap nilai WTP ini, digunakan software SPSS 11.5
Analisis Manfaat Lingkungan Dalam analisis ini, akan digambarkan manfaat lingkungan yang diterima oleh masyarakat dari kegiatan MHBM dengan melihat : peningkatan luas areal yang berpenutupan hutan dan penurunan luas kebakaran hutan tanaman. Untuk mengetahui peningkatan luas areal yang berpenutupan dengan hutan dan penurunan luas kebakaran hutan tanaman, dilakukan dengan mengumpulkan dan membandingkan data luas penanaman HTI dan laporan kejadian kebakaran hutan tanaman per tahun.
Analisis Keberhasilan Tanaman HTI Untuk mengetahui keberhasilkan fisik tanaman dilakukan dengan melihat prosentase tumbuh pembuatan tanaman di lapangan (umur > 1 tahun) yang diukur dengan menggunakan petak ukur 0,1 Ha (40 x 25 meter). Berdasarkan ha sil
lxii
sampling serta menggunakan kriteria (standard)
keberhasilan tanaman sesuai
Petunjuk Teknis Pembuatan Hutan Tanaman Industri yang ditetapkan oleh Keputusan
Menteri
Kehutanan
nomor
206/Kpts-II/1995,
maka
tingkat
keberhasilan pembuatan tanaman pokok (prosentase tanaman tumbuh) dihitung dengan rumus : Pa =
tr x100% tt
……………………………………………(7)
dimana : Pa
: prosentase tanaman tumbuh pada petak sampling ke-b
tr
: jumlah tanaman yang ada pada petak sampling ybs
tt
: jumlah tanaman yang seharusnya ada pada petak sampling ybs
b
: nomor petak sampling Selanjutnya untuk menghitung prosentase tanaman tumbuh rata-rata suatu
wilayah tanaman dikategorikan berhasil menggunakan rumus sebagai berikut : P=
1 ∑ Pa% ……………………………………………….(8) n
dimana : P : prosentase rata-rata tanaman tumbuh suatu wilayah n
:
jumlah petak sampling
Pa
:
prosentase tanaman tumbuh pada petak ke a s/d n
Penilaian keberhasilan tanaman dinyatakan dalam bentuk kategori berikut : 1) sangat baik (prosentase tumbuh 91-100%), 2) baik (prosentase tumbuh 7690%), 3) cukup (prosentase tumbuh 55-75%), dan 4) kurang (prosentase tumbuh < 55%). Dalam penelitian ini diambil sebanyak 10 (sepuluh) petak sampling pada lokasi tanaman yang telah berumur > 1 tahun pada masing- masing areal kerja MHBM. Pengambilan contoh dilakukan secara acak pada blok tanaman dengan pertimbangan kondisi lokasi penanaman (jenis tanah, topografi, curah hujan dan sebagainya) cenderung bersifat homogen dan tidak ada perbedaan cara (perlakuan) dalam pelaksanaan pekerjaan penanaman.
lxiii
Analisis Kelembagaan MHBM Dalam mengkaji peranan kelembagaan dalam pengelolaan hutan tanaman dilakukan dengan menggunakan Teori Permainan (Game Theory); salah satu pendekatan
matematis
yang
dapat
merumuskan
situasi
peranan
antar
lembaga/pihak-pihak yang terlibat, yang dalam hal ini adalah pemerintah daerah, masyarakat dan perusahaan. Model sederhana Game Theory yang digunakan dalam menganalisis interaksi antar stakeholder dapat diuraikan sebagai berikut : (1)
Player, terdiri dari pemerintah (G), perusahaan (C) dan masyarakat sekitar hutan (F)
(2)
Strategi, terdiri dari strategi untuk melakukan MHBM (A) atau tidak melakukan/menghentikan MHBM (B)
(3)
Payoff, data yang diperlukan untuk menentukan payoff tiap player adalah : (a)
Nilai pajak yang diterima oleh Pemerintah
(b)
Pendapatan masyarakat
(c)
Pendapatan perusahaan
Langkah- langkah yang dilakukan dalam analisis Game Theory sebagai berikut : b.
Membuat tabel pay off dari masing- masing pihak yang terlibat Pemerintah dan perusahaan
Masyarakat
c.
A
B
A
AA
AB
B
BA
BB
Menetapkan besarnya pay off (nilai keuntungan atau kerugian) dari masingmasing pihak/player apabila memilih apakah ‘A’ atau ‘B’ sebagai opsi strategi dalam pengelolaan hutan tanaman
d.
Menetapkan kriteria/konsekuensi yang akan diperoleh oleh masing- masing pihak apabila memilih ‘A’ atau ‘B’ sebagai opsi strategi dalam pengelolaan hutan tanaman
lxiv
Kriteria strategi ‘A’ : 1.
Tidak terjadi klaim penggunaan lahan sehingga perusahaan dapat melakukan penanaman HTI
2.
Distribusi sumberdaya hutan merata dan proporsional dalam masyarakat sekitar hutan (akses masyarakat atas lahan menjadi terbuka)
3.
Sumber pendapatan Pemerintah Daerah menjadi bertambah dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
4.
Produktifitas lahan menjadi optimal
5.
Membuka kesempatan kerja baru
6.
Konservasi tanah dan air menjadi terjamin
7.
Tingkat pendapatan masyarakat meningkat
8.
Menurunkan tingkat degradasi lahan
9.
Penyelesaian permasalahan dalam pemanfaatan sumber daya hutan dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan dengan mekanisme kelembagaan
Kriteria strategi ‘B’ : 1.
Berpotensi terjadi klaim penggunaan lahan sehingga perusahaan tidak dapat melakukan penanaman HTI
2.
Distribusi sumberdaya tidak merata dan tidak proporsional dalam masyarakat sekitar hutan (tertutupnya akses masyarakat atas lahan)
3.
Sumber pendapatan daerah dari PBB dan PSDH menjadi rendah
4.
Produktifitas lahan menjadi rendah
5.
Kesempatan kerja baru tidak tercipta
6.
Konservasi tanah dan air tidak terjamin karena sifatnya open access
7.
Tingkat pendapatan masyarakat akan statis bahkan bisa turun
8.
Semakin terjadinya degradasi lahan akibat dari open access
9.
Penyelesaian permasalahan dalam pemanfaatan sumber daya hutan hanya dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan tanpa mediasi kelembagaan
lxv
Tabel 6. Matrik Pemb ahasan dalam Penelitian Tujuan Mengetahui peranan kehutanan terhadap aspek ekonomi dan pengembangan wilayah
Mengetahui manfaat ekonomis MHBM yang diterima masyarakat
Mengetahui manfaat Sosial yg diterima masyarakat a. Persepsi masyarakat
b. Kesediaan membayar (WTP)
c. Faktor-faktor yg mempengaruhi WTP Mengetahui manfaat lingkungan yg diterima masyarakat
Metode Analisis
Peubah / parameter
LQ
PDRB sektor kehutanan
Deskriptif
Produksi hasil hutan
- Deskripsi - Uji 2 sampel berhub - Uji 2 sampel independen
Deskripsi
a. Pendapatan masy desa yg menjadi peserta (mengikuti) MHBM b. Pendapatan masy desa yg tdk mengikuti MHBM
a. Peningkatan pendapatan b. Peningkatan pengetahun (budidaya & organisasi) c. Peningkatan lap. Kerja
WTP dgn Umur, pendidikan, jml pendekatan tanggungan, pek.utama, CVM pendapatan, jarak rumahlokasi MHBM, sist penyerahan pek& pemodalan, sist pmbayaran jasa kerja, manfaat yg diterima/dirasakan Regresi -sdaberganda
Deskripsi
a.Peningkatan luas areal yg berpenutupan hutan
b.Penurunan luas kebakaran hutan Mengetahui tingkat keberhasilan tanaman
Mengetahui peranan kelembaga-an MHBM
Random sampling dgn luas petak sampling 0,1 ha sebanyak 10 petak Teori Permainan
Jml tanaman yg hidup per ha
Pendptn pemda, pendptn perush & pendapatan masy
Data dan Sumber data Data PDRB th 20022003 sumber : buku statisitik & laporan Realisasi produksi hsl htn berupa kayu & olahan Sumber : buku statisitik & laporan Data primer, kuesioner
Output yang Diharapkan Sektor basis/non basis
Perubahan pendapatan seblm & sesdh ikut MHBM, serta pdptn yg ikut dan tdk ikut MHBM
Kuesioner, data sekunder & wawancara di Ds. Sbjrj & Ds.Gn. Megang Kuesioner, wawancara di Ds. Sbjrj & Ds. Gn. Megang
Manfaat yang diterima/dira sakan masyarakat Rata-rata WTP
Kuesioner
Persamaan WTP
Data sekunder : laporan hasil penanaman di areal MHBM Ds. Sbjrj & Ds. Gn.Megang Data sekunder : laporan kejadian kebakaran hutan Data primer; lokasi blok Caban (Ds.Gn. Megang) & blok Subanjeriji (Ds. Sbjrj)
Fungsi lindung hutan
Data primer : pendptn masy data sekunder : luas & produksi tebangan, PBB, PSDH
Interaksi antar stakeholder
Prosentase tumbuh tanaman per ha
lxvi
IV. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
4.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian Menurut letak geografis, Kabupaten Muara Enim berada antara 4° - 6° Lintang Selatan dan 104°- 106° Bujur Timur dan merupakan daerah agraris dengan luas wilayah 923.877 ha atau 9.238,77 km2. Wilayah kabupaten itu terbagi dalam 19 kecamatan, 257 desa dan 16 kelurahan. Jumlah penduduknya 628.634 jiwa. Bentang wilayah berbatasan dengan sebelah Utara berbatas dengan Kabupaten Musi Banyuasin, sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten Ogan Komering Ulu, sebelah Timur berbatas dengan Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kota Palembang, sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten Musi Rawas dan Lahat Kondisi topografi wilayah Kabupaten Muara Enim cukup beragam dengan tingkat kemiringan tanahnya pada umumnya cenderung landai dan tingkat ketinggiannya relatif rendah (< 100 m dpl), yaitu 75 % dari luas wilayah kabupaten mempunyai kemiringan < 12%, 9,4 % mempunyai kemiringan antara 12 – 40% dan sisanya yaitu 14,9% mempunyai kemiringan terjal atau > 41%. Wilayah yang landai dan merupakan dataran rendah tersebut meliputi 11 kecamatan sedangkan sisanya mempunyai ketinggian > 100 m dpl Suhu udara rata-rata 23o – 24 o C dengan curah hujan dipengaruhi keadaan iklim, topografi dan pertemuan arus udara. Jumlah curah hujan beragam berkisar antara 50 mm sampai 350 mm. Selain itu hampir 51,6% dari wilayah Kabupaten Muara Enim jenis tanahnya termasuk jenis podzolik merah – kuning, diikuti jenis asosiasi podzolik coklat kekuning-kuningan dan hidromorf kelabu sebanyak 15%, jenis latosol 7,6%, asosiasi gley 6,8 % dan sisanya (5,5%) termasuk jenis andosol. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Selatan, luas kawasan hutan di Kabupaten Muara Enim seluas 383.078 ha, yang terdiri atas Hutan Suaka Alam 10.191 ha, Hutan Produksi Terbatas 94.813 ha, Hutan Produksi Tetap 168.782 ha dan Hutan Konversi 72.497 ha. Tabel 7 menunjukkan luas penebangan tanaman HTI dan hasil hutan yang diproduksi di Kabupaten Muara Enim .
lxvii
Tabel 7 Luas tebangan dan jumlah produksi hasil hutan tanaman HTI tahun 1999-2003 Luas penebangan Produksi per jenis Tahun tanaman HTI (ha) Kayu log (m3) Kayu olahan (ton) 1999 17.500 536.675,81 31.711,950 2000 17.500 1.621.013,28 294.385,836 2001 17.500 1.764.931,20 448.993,016 2002 5.315 675.152,35 392.041,309 2003 2.920 479.293,26 395.254,331 Sumber : Muara Enim Dalam Angka, 2004 Catatan : - Kayu log berasal dari tebangan pohon Akasia; kayu olahan berupa pulp - Untuk hasil hutan non kayu seperti : rotan dan bambu dari luasan areal tersebut tidak ada Kemampuan Kabupaten Muara Enim untuk mengelola dan mengembangkan sumberdaya
alam dan
faktor- faktor
produksi
lainnya
dalam
rangkaian
kegiatan/aktifitas seluruh sektor ekonomi dapat digambarkan melalui data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan penjumlahan dari nilai tambah bruto (gross added value) yang diciptakan dari seluruh sektor perekonomian suatu daerah. Tabel 8 menunjukkan PDRB Kabupaten Muara Enim atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan tahun 1993 Tabel 8 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari tahun 2001-2003 PDRB (Rp. Juta) Berdasarkan Harga Berlaku Berdasarkan Harga konstan 1993 Dgn migas Tanpa migas Dgn migas Tanpa migas 2001 5.574.620 3.350.179 1.649.680 1.204.975 2002 6.135.409 3.874.362 1.692.593 1.243.657 2003 6.862.395 4.405.696 1.773.602 1.319.809 Sumber : Muara Enim Dalam Angka, 2004 Tahun
Sedangkan Tabel 9 menunjukkan PDRB yang didapat dari sub sektor kehutanan dan industri barang kayu dan hasil hutan lainnya Tabel 9 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sub sektor kehutanan dan industri pengolahan barang kayu dan hasil hutan lainnya Tahun 2001-2003 (Rp. Juta) Tahun
2001 2002 2003
Berdasarkan Harga Berlaku Kehutanan Industri % dari hasil PDRB Kab. hutan 93.124 70.119 2,93% 102.934 76.819 2,93% 122.770 85.444 3,03%
Berdasarkan Harga Konstan 1993 Kehutanan Industri % dari hasil PDRB Kab hutan 28.818 23.190 3,15% 31.112 24.524 3,29% 34.506 26.670 3,45%
Sumber : Muara Enim Dalam Angka, 2004
lxviii
Kecamatan Rambang Dangku Kecamatan Rambang Dangku sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Muara Enim dan merupakan lokasi pene litian terletak membentang membujur dari Utara ke Selatan, berada di daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 10 – 100 meter dari atas permukaan laut dengan bentuk permukaan umumnya datar. Bentangan wilayah kecamatan ini berbatasan dengan : sebelah Utara dengan Kecamatan Talang Ubi dan Kecamatan Tanah Abang, sebelah Selatan dengan Kecamatan Rambang Lubai dan Kabupaten Ogan Komering Ulu, sebelah Timur dengan Kota Prabumulih dan Kecamatan Rambang Lubai serta sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gunung Megang dan Kecamatan Lawang Kidul. Luas wilayah Kecamatan Rambang Dangku adalah 862 km2 atau 86.200 ha yang terbagi atas 25 desa. Jumlah penduduk di Kecamatan Rambang Dangku sebanyak 45.281 orang yang terdiri atas jenis kelamin laki- laki 22.235 orang dan jenis kelamin perempuan 23.046 orang, dengan tingkat kepadatan penduduk 52,53 orang per km2 . Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Rambang Dangku dibagi menjadi beberapa jenis penggunaannya sesuai dengan potensi daerah yaitu : a.
Lahan basah atau sawah seluas 2.493,25 ha; digunakan untuk komoditi padi sawah, padi lebak dan tempat memelihara ikan serta rawa tidak produktif
b.
Lahan kering seluas 83.706,75 ha; digunakan untuk komoditi palawija, hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan dan lain- lainnya Desa Subanjeriji sebagai lokasi penelitian terletak didalam kawasan Hutan
Produksi Subanjerji dan lokasi areal MHBM nya terletak di HP Subanjerji (Register 37 Rambang Dangku). Sebelum dilaksanakannya pembangunan HTI oleh PT. MHP tahun 1989-1990, pada kawasan hutan tersebut terdapat proyek reboisasi Departemen Kehutanan
Kecamatan Gunung Megang Kecamatan Gunung Megang terletak membentang membujur dari Utara ke Selatan, berada di daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 10 – 100 meter dari atas permukaan laut dengan bentuk permukaan umumnya datar. Bentangan wilayah berbatasan sebelah Utara dengan Kecamatan Talang Ubi dan Kecamatan
lxix
Benakat, sebelah Selatan dengan Kecamatan Lawang Kidul dan Kecamatan Tanjung Agung, sebelah Timur dengan Kecamatan Rambang Dangku, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ujan Mas. Luas wilayah Kecamatan Gunung Megang adalah 631,73 km2 atau 63.173 ha yang terbagi atas 21 desa. Jumlah penduduk di Kecamatan Gunung Megang sebanyak 49.389 orang yang terdiri atas jenis kelamin laki- laki 25.063 orang dan jenis kelamin perempuan 24.326 orang, dengan tingkat kepadatan penduduk 78,20 orang per km2 . Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Gunung Megang dibagi menjadi beberapa jenis penggunaannya sesuai dengan potensi daerah, yaitu : a.
Lahan basah/sawah seluas 2.485 ha; digunakan untuk komoditi padi sawah, padi lebak dan tempat memelihara ikan
b.
Lahan kering seluas 60.817 ha; digunakan untuk komoditi palawija, hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan dan sektor lainnya Lokasi Desa Gunung Megang sebagai lokasi penelitian terletak di luar
kawasan Hutan Produksi Subanjerji tetapi lokasi areal MHBM nya terletak di HP Subanjerji (Register 27 Caban). Sebelum dilaksanakannya pembangunan HTI oleh PT. MHP tahun 1989-1990,
pada kawasan hutan tersebut terdapat proyek
reboisasi Departemen Kehutanan Kecamatan Lubai Kecamatan Lubai terletak membentang membujur dari Barat ke Timur, berada di daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 10 – 100 meter dari atas permukaan laut dengan bentuk permukaan umumnya datar. Bentangan wilayah berbatasan dengan : sebelah Utara dengan Kecamatan Rambang Dangku, sebelah Selatan dengan Kecamatan Lubuk Batang serta sebelah Timur dengan Kecamatan Prabu Menang serta sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Lawang Kidul. Luas wilayah Kecamatan Lubai adalah 889,08 km2 atau 88.908 ha yang terbagi atas 17 desa. Jumlah penduduk di Kecamatan Lubai sebanyak 39.405 orang yang terdiri atas jenis kelamin laki- laki 19.039 orang dan jenis kelamin perempuan 20.366 orang, dengan tingkat kepadatan penduduk 42,00 orang per km2 . Desa Lecah sebagai lokasi penelitian terletak di luar kawasan Hutan Produksi Subanjerji
lxx
Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Lubai dibagi menjadi beberapa jenis penggunaannya sesuai dengan potensi daerah, yaitu : a.
Lahan basah/sawah seluas 5.875 ha; digunakan untuk komoditi padi sawah, padi lebak dan tempat memelihara ikan
b.
Lahan kering seluas 83.033 ha; digunakan untuk komoditi palawija, hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan dan sektor lainnya Tabel 10 Tingkat kepadatan dan distribusi penduduk lokasi penelitian Nama kecamatan Kepadatan per km2 Distribusi Lubai 42,00 10,10 Gunung Megang 78,20 6,84 Rambang Dangku 52,53 9,33 Sumber : Kabupaten Muara Enim dalam Angka, 2004
Persentase 6,27 7,86 7,20
Adapun Tabel 11 menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk dari ketiga kecamatan berdasarkan standard BKKBN. Tabel 11 Tingkat Kesejahteraan Penduduk di Lokasi Penelitian (Standard BKKBN) Tahapan kesejahteraan keluarga Kecamatan
Pra Sjhtr Ek
Lubai
Non Ek
KS I Ek
Non Ek
KS II
KS III
KS III+
655
111
596
915
5.291
1.100
117
Gunung Megang
1.556
243
1.936
2.492
2.000
2.394
--
Rambang Dangku
892
--
1.111
2.165
3.814
3.022
--
354
3.643
5.572
11.105
6.516
117
Jumlah
3.103
Sumber : Kabupaten Muara Enim dalam Angka, 2004 Keterangan : Pra Sjhtr = 3.457 KK; KS I = 9.215 KK; KS II = 11.105 KK KS III = 6.516 KK; KS III+ = 117 KK
4.2. Pembangunan HTI PT. Musi Hutan Persada (MHP) Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 38/KptsII/1996 tanggal 29 Januari 1996 PT. MHP yang merupakan perusahaan patungan antara PT. Inhutani V (BUMN Departemen Kehutanan) dan PT. Enim Musi Lestari (Barito Pacific Group) yang berusaha dibidang pengusahaan hutan atau pengembangan HTI, memiliki luas pengelolaan areal HTI sebesar 296.400 ha. Misinya adalah untuk menghutankan kembali lahan tidak produktif menjadi hutan tanaman yang tinggi produktifitasnya secara berkelanjutan guna menghasilkan bahan baku kayu industri. Areal HTI PT. MHP meliputi lima kabupaten di
lxxi
Provinsi Sumatera Selatan, yaitu Kabupaten Muara Enim (161.400 ha), Kabupaten Ogan Komering Ulu (15.000 ha), Kabupaten Lahat (28.000 ha), Kabupaten Musi Rawas (70.000 ha) dan Kabupaten Musi Banyuasin (22.000 ha) dan terbagi kedalam tiga kelompok hutan yaitu Benakat (198.741 ha), Subanjeriji (87.354 ha) dan Martapura (10.305 ha). Adapun areal hutan yang akan dibangun oleh PT. MHP menjadi areal HTI tersebut sebelumnya berupa padang alang-alang (70.563 ha), belukar (59.891 ha) dan lahan tidak produktif (63.046 ha). Sesuai dengan peruntukkannya, dengan berpedoman pada Surat Keputusan Menteri
Kehutanan
Nomor
235/KPts-II/2000
tentang
Petunjuk
Teknis
Pembangunan HTI, PT. MHP membagi areal menjadi beberapa bagian dan sebagian besar diperuntukkan untuk tanaman HTI yaitu 193.500 ha (65,30%), dimana dari luas tanaman HTI tersebut seluas 96.840 ha (50,05%) berada di dalam wilayah Kabupaten Muara Enim. Luasan terbesar kedua diperuntukkan bagi kawasan konservasi seluas 80.372 ha (27,10%) dan dari luas kawasan konservasi tersebut, seluas 50.415 ha (62,73%) juga berada di wilayah Kabupaten Muara Enim. Tabel 12 Luas areal pencadangan PT. Musi Hutan Persada berdasarkan wilayah administratif dan penataan ruang sesuai peruntukkan (fungsi) Peruntukkan Lahan M.Enim 96.840
Wilayah Administratif (Ha) OKU Lahat MURA 8.624 27.225 44.161
Total MUBA 16.650
Lahan efektif/ produktif 193.500 (Tanaman Pokok HTI) Lahan tidak efektif/ 64.560 6.376 775 25.839 5.350 102.900 tidak produktif 1. Kawasan Lindung a. Sempadan sungai 3.824 315 136 1.470 331 6.076 b. Hutan Konservasi 50.415 5.236 20.519 4.202 80.372 2. Sarana dan prasarana 5.599 465 367 2.170 551 9.152 3. Tanaman kehidupan 2.741 210 192 980 177 4.300 4. Tanaman unggulan lokal 1.981 150 80 700 89 3.000 Jumlah 161.400 15.000 28.000 70.000 22.000 296.400 Sumber : Pengelolaan Hutan Tanaman Berkelanjutan PT. MHP, 2004 Keterangan : M.Enim = 161.400 ha; OKU = 15.000 ha; Lahat = 28.000 ha; MURA = 70.000 ha; MUBA = 22.000 ha
Untuk penanaman daur pertama yang dimulai pada tahun 1989/1990, PT. MHP telah melakukan menanami seluruh lahan lahan yang efektif (dapat ditanami) seluas 193.500 ha dengan jenis tanaman yang cepat tumbuh ya ng cocok
lxxii
untuk bahan kertas (pulp) berupa Acacia mangium (95%) sisanya tanaman Eucalyptus urophylla, Pinus merkusii, Paraserianthes falcataria, Gmelina arborea, Shorea sp sedangkan kegiatan penanaman daur kedua yang dilaksanakan sejak tahun 2001, realisasinya sampai dengan tahun 2005 adalah seluas 88.175,033 ha dengan jenis tanaman akasia (Acacia mangium), yang dilaksanakan di wilayah kelompok hutan Subanjeriji seluas 85.443,143 ha dan wilayah kelompok hutan Benakat seluas 2.731,89 ha. Kayu-kayu yang dihasilkan dari hutan tanaman (daur pertama) menjadi bahan baku untuk industri pabrik pulp (bubur kertas) PT. Tanjung Enim Lestari (TEL) yang berada di Kabupaten Muara Enim. Target produksi kayu log A. mangium yang dikirim ke PT. TEL rata-rata 2.400.000 m3 per tahun (setara dengan 2.200.000 ton per tahun).
4.3. Pelaksanaan Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) Program
Membangun
Hutan
Bersama
Masyarakat
(MHBM)
yang
dilaksanakan oleh PT. Musi Hutan Persada (PT. MHP) merupakan salah satu bentuk dari kegiatan perhutanan sosial. Program MHBM ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh PT. MHP untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial yang terjadi antara masyarakat setempat dengan pihak pengelola hutan (PT. MHP) yang sering timbul dalam kaitannya dengan pelaksanaan pengelolaan hutan. Permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi antara masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dengan PT. MHP tersebut terjadi dalam kurun waktu cukup lama, yaitu sejak dilakukannya kegiatan pembangunan HTI di wilaya h tersebut pada tahun 1996. Untuk menghindari dampak negatif yang seringkali merugikan pihak PT. MHP akibat terjadinya permasalahan tersebut, seperti pendudukan wilayah hutan yang akan dibangun HTI, perusakan dan pembakaran tanaman HTI serta perusakan sarana dan prasarana milik perusahaan, maka PT. MHP berusaha merangkul masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dengan berusaha untuk meningkatkan kerjasama dan membantu mensejahterakan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan lokasi HTI PT. MHP, melalui pola perhutanan sosial yang saling menguntungkan antara masyarakat dan perusahaan, dan model perhutanan sosial yang diterapkan adalah Program MHBM
lxxiii
Prinsip-prinsip Program MHBM antara lain : (1) pemberdayaan warga masyarakat sebagai kelompok-kelompok dengan mengikutsertakan dalam setiap proses kegiatan pembangunan HTI dalam suatu kerjasama (kemitraan) yang saling menguntungkan; (2) masyarakat memperoleh manfaat secara kontinyu dan berlanjut berupa jasa kerja, jasa manajemen sebesar 1% dari jasa kerja, dan jasa produksi sebesar Rp. 2500,- per m3; dan (3) Program MHBM dilaksanakan pada lahan/areal konsesi HPHTI PT. MHP berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 38/Kpts-II/1996 dan lahan tersebut sudah atau pernah dikelola perusahaan (daur kedua). Dengan adanya MHBM, maka masyarakat akan ditempatkan sebagai subjek dalam pengelolaan HTI, memperoleh kemanfaatan finansial, peluang agribisnis Trisula dan peluang kerja atau usaha jangka pendek, menengah dan panjang. Sedangkan bagi perusahaan, akan tersedia lahan usaha yang tidak bermasalah, lebih terjaminnya pelaksanaan kegiatan usaha, dan tercipta hubungan yang harmonis antara perusahaan- masyarakat. Berdasarkan Petunjuk Teknis yang telah disusun, Program MHBM dilaksanakan melalui beberapa tahapan kegiatan, yaitu sosialisasi, pembentukan kelompok kerja, penentuan lokasi MHBM, pembuatan Akta Kesepakatan, pelaksanaan pekerjaan, penunjukan pihak ketiga, program penunjang serta pembinaan dan pelatihan Untuk melaksanakan kegiatan MHBM, masyarakat yang menjadi peserta MHBM akan dibentuk suatu organisasi Kelompok Tani (KT) MHBM yang terbagi menjadi beberapa unit kelompok kerja. Setiap unit kelompok kerja terdiri dari beberapa kelompok kerja yang anggotanya berkisar antara 20 – 25 petani. Sampai saat ini sudah dibuat 27 (duapuluh tujuh) Akta Kesepakatan dengan 27 KT MHBM meliputi luasan 39.260,79 ha. Jenis pekerjaan dalam pengelolaan HTI di areal HPHTI PT. MHP yang akan dikerjakan oleh KT MHBM meliputi : persiapan lahan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan (penyiangan, penebasan, penunggalan), pencegahan dan pengendalian api atau kebakaran dan penebangan atau pemanenan kayu. Dengan dilaksanakannya MHBM, masyarakat akan mendapatkan manfaat dalam jangka pendek, menengah dan jangka. Dalam jangka pendek dan menengah, masyarakat akan mendapatkan jasa kerja dan jasa manajemen. Sedangkan dalam jangka panjang, masyarakat akan mendapatkan
lxxiv
jasa produksi untuk setiap meter kubik kayu yang dihasilkan pada panenan atau tebangan akhir daur. Jasa kerja merupakan sejumlah uang yang dibayarkan oleh PT. MHP kepada Kelompok Tani (KT) MHBM atau pihak ketiga sebagai imbalan atas hasil pelaksanaan dari setiap komponen pekerjaan pengelolaan HTI berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) dan Berita Acara Pemerikanaan (BAP). Jasa kerja akan dibayarkan setelah 22 (duapuluh dua) hari sesudah BAP ditandatangani oleh pemeriksa dari PT. MHP. Besarnya jasa kerja untuk setiap jenis pekerjaan dalam pengelolaan HTI yaitu : (1) persiapan lahan Rp. 800.000,- per ha; (2) penanaman Rp. 250.000,- per ha; (3) pemeliharaan I, II dan III Rp. 75.000,- per Ha. Modal kerja untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan HTI harus disediakan sendiri oleh masing- masing kelompok kerja pemegang SPK. Apabila kelompok kerja tersebut tidak memiliki modal kerja, maka modal dapat diperoleh melalui pinjaman atau melibatkan pihak ketiga dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Pelindung Camat Penasehat Kades
Ketua Umum Ketua I Sekretaris I
Ketua Unit Kel. Kerja
Ketua Kel. Kerja
Ketua II Sekretaris II
Ketua Unit Kel. Kerja
Ketua Kel. Kerja
Ketua Kel. Kerja
Ketua Kel. Kerja
Bendahara
Ketua Unit Kel. Kerja
Ketua Kel. Kerja
Ketua Kel .Kerja
Gambar 2 Bagan organisasi kelompok tani MHBM
lxxv
Jasa manajemen adalah sejumlah uang yang disepakati, berdasarkan besaran persentase tertentu dari jasa kerja yaitu sebesar 1% sebagai imbalan dari ikatan kerjasama dalam pengelolaan areal HTI melalui Program
MHBM. Pada
prinsipnya jasa manajemen ini merupakan potongan terhadap jasa kerja yang diterima oleh kelompok kerja atau pihak ketiga untuk kepengurusan KT MHBM. Jasa produksi adalah sejumlah uang yang diberikan oleh PT. MHP kepada KT MHBM atas hasil panen kayu tanaman HTI (daur kedua), berdasarkan hasil timbangan pembeli, yaitu pabrik pulp dan kertas PT. Tanjung Enim Lestari. Jasa produksi ini akan dibayarkan kepada kelompok kerja MHBM setelah PT. MHP menerima pembayaran dari hasil penjualan kayu dari pembeli atau
akan
dibayarkan paling lambat 30 hari setelah kayu diterima oleh pembeli. Sebaga i program penunjang, masyarakat diperbolehkan untuk melakukan kegiatan pertanian berupa kegiatan agribisnis Trisula cepat,
dengan konsep “sayur
ikan cepat dan ternak sehat” dan tumpangsari secara mandiri. Secara
teknis, kegiatan agribisnis trisula adalah kombinasi usaha yang saling menunjang dan saling membutuhkan sehingga ikatan usaha itu tangguh dan efisien. Secara finansial-ekonomis, kegiatan tersebut diusahakan mampu menghasilkan uang harian- mingguan-bulanan. Pendapatan harian didapat dari bertanam sayur cepat yaitu menanam kangkung cabut dengan menggunakan teknologi bokasi dan penggunaan bibit unggul. Pendapatan mingguan didapat dari penjualan ikan lele dumbo karena jenis yang mudah cocok dengan lingkungan, cepat besar dan sumber pakannya dapat diduk ung oleh potensi alam sekitar. Pendapatan bulanan didapat dengan bisa memelihara ternak berkaki empat atau bebek. Dalam pelaksanaannya, PT. MHP sengaja membangun demplot. Pada awal dimulainya program MHBM PT. MHP memberikan penyuluhan dan pelatihan agribisnis trisula tersebut, sehingga masyarakat dapat belajar dan melakukan kegiatan itu serta diharapkan mereka dapat mengembangkannya sendiri.
lxxvi
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.Karakteristik Peserta MHBM Kepala keluarga yang menjadi responden dalam penelitian ini seluruhnya berjumlah 148 orang berasal dari 3 desa dalam 3 kecamatan yang berbeda, masing- masing desa mempunyai kondisi masyarakat yang hampir sama. Masyarakat di lokasi penelitian pada umumnya bekerja sebagai petani dan buruh. Luas lahan yang dimiliki kepala keluarga (peserta MHBM) yang menjadi responden dalam penelitian ini sangat sempit dengan kondisi yang sudah marjinal (tidak produktif) sehingga sangat tergantung pada pekerjaan di lokasi pembangunan HTI PT. MHP, sedangkan untuk kepala keluarga (non peserta MHBM) disamping sebagai tenaga kerja HTI, ada yang memiliki lahan/kebun karet yang luasnya bervariasi antara 1 - 10 Ha, namun sebagian besar merupakan kebun karet tua yang sudah kurang produktif. Tabel 13 menunjukkan hasil pengumpulan data umur responden Tabel 13 Jumlah responden berdasarkan umur Kategori < 30 30 – 50 >50 Jumlah
Jumlah responden per desa Subanjeriji Gn. Megang Lecah 4 48 8 60
4 39 5 48
7 28 5 40
Sedangkan Tabel 14 menunjukkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti kepala keluarga yang menjadi responden dalam penelitian ini Tabel 14 Jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan Jumlah responden per desa Kategori Gn. Megang Subanjeriji Lecah SD SMP SMA Jumlah
21 16 11 48
20 27 13 60
22 14 4 40
lxxvii
Sedangkan Tabel 15 merupakan jumlah tanggungan keluarga dari responden pada masing- masing desa yang menjadi lokasi penelitian. Tabel 15 Jumlah responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga Jumlah responden per desa Kategori Gn. Megang Subanjeriji Lecah 7 < 3 orang 5 9 33 3 – 4 orang 25 21 20 >= 5 orang 18 10 Jumlah
48
60
40
5.2. Peranan Kehutanan terhadap Ekonomi dan Pengembangan Wilayah Sumberdaya adalah segala bentuk-bentuk input yang dapat menghasilkan utilitas (kemanfaatan) proses produksi/penyediaan barang dan jasa. Sumberdaya selalu memiliki sifat kelangkaan (scarcity) dan memiliki kegunaan (utility) melalui suatu aktifitas produksi atau melalui penyediaan berupa barang dan jasa. Selain itu, keberadaan sumberdaya tersebar tidak merata, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Oleh sebab itu, evaluasi terhadap sumberdaya merupakan pilar yang paling utama dalam perencanaan dan pengembangan wilayah. Evaluasi sumberdaya merupakan proses untuk menduga potensi sumberdaya untuk berbagai penggunaan. Hasil dari suatu evaluasi sumberdaya menjadi suatu dasar bagi tahap-tahap selanjutnya dalam perencanaan dan pengembangan wilayah. Mengingat keterbatasan atau kelangkaan dan ketidak- merataan, maka setiap potensi sumberdaya yang ada harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Hal ini mengandung arti bahwa setiap sumberdaya harus dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin (Rustiadi et al. 2003). Kunci utama keberhasilan pengelolaan sumberdaya yang open access seperti sumberdaya hutan sebenarnya adalah adanya kesadaran dan kemauan dari berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) untuk dapat memanfaatkan sumberdaya secara lestari. Selain itu, pembangunan yang bersifat sektoral harus dilengkapi dengan pertumbuhan regional atau faktor lokasi. Faktor lokasi yang dimaksud harus memperhatikan sektor unggulan pada suatu daerah. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa setiap daerah mempunyai karakteristik
lxxviii
tersendiri, dimana karakteristik fisik dan non fisik lingkungan suatu daerah berbeda dengan daerah lain. Seperti yang dikemukakan oleh Azis (1985) dalam Attar (2000) bahwa perencanaan pembangunan daerah haruslah merupakan gabungan dari perencanaan sektoral dan regional. Artinya harus melibatkan aspek tata ruang dalam perencanaan. Karakteristik fisik lingkungan menjadi sangat penting artinya bagi pembangunan karena alam dan lingkungan menjadi modal yang penting dalam pengetahuan tentang kontribusi sektoral yang dikaitkan dengan pemanfaatan potensi sumberdaya alam pada masing- masing wilayah sebagai dasar perumusan strategi perencanaan pembangunan wilayah. Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Muara Enim mempunyai kawasan hutan seluas 383.078 ha, yang terdiri atas Hutan Suaka Alam 10.191 ha, Hutan Produksi Terbatas 94.813 ha, Hutan Produksi Tetap 168.782 ha dan Hutan Konversi 72.497 ha. Selain itu kondisi topografinya cukup beragam dengan tingkat kemiringan tanahnya pada umumnya cenderung landai (kemiringan < 12%) dan tingkat ketinggiannya relatif rendah (< 100 m dpl) serta jumlah curah hujan beragam berkisar antara 50 mm sampai 350 mm. Dengan karakteristik fisik lingkungan seperti itu menjadikan Kabupaten Muara Enim sebagai daerah pertanian (agararis). Metode Location Quotient (LQ) merupakan pendekatan yang dipergunakan untuk melihat suatu kegiatan basis atau bukan basis pada suatu wilayah. Dalam penelitian ini aktifitas kegiatan yang ditelaah adalah sub sektor Kehutanan. Hal ini mudah dipahami mengingat wilayah Kabupaten Muara Enim seluas 923.877 ha memiliki kawasan hutan produksi seluas 263.595 ha, termasuk seluas 161.400 ha yang merupakan areal HPHTI PT. MHP (seluas 96.840 ha berupa tanaman HTI PT. MHP). Dengan ketersediaan sumberdaya lahan hutan tersebut maka Kabupaten Muara Enim memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengembangkan sektor kehutanan ke masa depan, karena ketersediaan lahan merupakan prasyarat utama yang harus ada dalam sektor kehutanan. Dalam tahun 2004 Departemen Kehutanan telah menetapkan jatah produksi hasil hutan kayu yang berasal dari pemanfaatan hutan alam produksi secara nasional sebesar 5.743.759 m3, dan untuk tahun 2005 sebesar 5.456.570 m3 dengan kebutuhan bahan baku industri perkayuan di dalam negeri sebesar 42,5
lxxix
juta m3. Kekurangan pasokan bahan baku kayu itu dapat menggunakan produksi dari hutan rakyat, HTI, kayu dari rehabilitasi kebun, dan kayu impor. Dengan adanya kebijakan Departemen Kehutanan tersebut, maka pembangunan HTI di Kabupaten Muara Enim mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan dan dapat berperan untuk memasok kebutuhan industri perkayuan dalam negeri. Sesuai dengan Bagan Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Tanaman (IUPHHT) tahun 2004, PT. Musi Hutan Persada memproduksi kayu bulat hasil tanaman HTI di wilayah Kabupaten Muara Enim sebanyak 602.304 m3 sedangkan untuk tahun 2005 direncanakan sebanyak 273.625,4 m3 Tabel 16 Produksi hasil hutan menurut wewenang pengelolaannya dan jenis komoditi yang dihasilkan tahun 2002-2004 Hutan Rakyat Tahun
Kayu
Kayu
Bulat
Olahan
Hutan Negara Cerucuk
Kayu Bulat
Kayu Olahan
Cerucuk
2002
-
-
-
675.152,35
392.041,039
-
2003
2.943,30
1.471,650
37.612
476.293,26
395.254,331
-
2004
10.863,51
1.526,756
3.361
602.303,17
454.125,419
-
Total
13.806,81
2.997,406
40.973
1.753.748,78 1.241.420,789
-
Sumber : Muara Enim Dalam Angka, 2004 Catatan : Kayu bulat berasal dari tanaman A.mangium (m3 ) Kayu olahan berupa pulp (ton) Pembangunan kehutanan selain secara mikro memberikan manfaat positif bagi ekonomi masyarakat di dalam/sekitar hutan, secara makro regional memberikan dampak positif terhadap ekonomi wilayah Kabupaten Muara Enim, baik secara langsung melalui penciptaan nilai tambah maupun tidak langsung melalui keterkaitannya dengan sektor ekonomi lainnya. Untuk melihat atau mengetahui pengaruh pembangunan kehutanan terhadap ekonomi wilayah Kabupaten Muara Enim, salah satunya dengan melihat kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten. PDRB adalah salah satu indikator
untuk
mengukur
pertumbuhan
perekonomian
suatu
wilayah.
Berdasarkan harga berlaku, terdapat tiga sektor yang dominan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap PDRB Kabupaten Muara Enim yaitu
lxxx
Pertambangan dan Penggalian; Pertanian (masuk didalamnya sub sektor Kehutanan) dan Perdagangan dan Hotel. Tabel 17 Kontribusi sub sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Muara Enim menurut harga berlaku (jutaan Rp) PDRB
PDRB Kehutanan
Tahun
Kontribusi Kehutanan
Pertanian
Kab.ME
Prop.SS
Prop.SS
Kab.ME
Kabupaten
2002
1.034.745
6.135.409
49.297.459
840.219
102.934
1,68%
2003
1.184.690
6.862.395
55.248.758
901.976
122.770
1,79%
Sumber : Muara Enim Dalam Angka, 2004 Dengan menggunakan data PDRB Kabupaten Muara Enim dan Provinsi Sumatera Selatan untuk sektor Kehutanan, Tabel 18 menunjukkan hasil penghitungan Koefisien Lokasi. Tabel 18 Hasil Penghitungan Location Quotient (LQ) Tahun 2002 2003
Nilai LQ 0,984345 1,095832
Hasil penghitungan nilai LQ pada Tabel 18 terlihat bahwa pada tahun 2003 sub sektor kehutanan mempunyai nilai LQ > 1 yaitu 1,095832. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa sub sektor kehutanan mulai mempunyai peran penting sebagai sektor basis dalam perencanaan pembangunan di Kabupaten Muara Enim dan dapat diharapkan akan mampu memberikan kontribusi pendapatan yang memadai terhadap PDRB
sehingga mampu mendorong
pertumbuhan perekonomian daerah. Selain itu, juga menunjukkan bahwa Kabupaten Muara Enim merupakan lokasi pusat (sentra) produksi dalam sektor kehutanan. Dalam Teori Basis Ekonomi, berarti
sektor kehutanan mampu
memenuhi kebutuha n dalam wilayah sendiri dan berpotensi untuk mengeluarkan produksi ke luar wilayah. Dengan kata lain, kehutanan merupakan sektor yang hasil produksinya dapat dipasarkan untuk pasar lokal dan di luar pasar lokal dan sebaiknya memperoleh perhatian dalam perencanaan pembangunan wilayah. Oleh karena itu pihak pemerintah daerah harus mempersiapkan upaya- upaya untuk lebih memajukan dan mengembangkan sektor kehutanan.
lxxxi
Sektor yang menjadi basis diharapkan menjadi penggerak dan pendorong bagi perekonomian wilayah dan diharapkan akan menimbulkan dampak positif bagi sektor perekonomian bukan basis dan perekonomian kabupaten secara keseluruhan. Pemerintahan di tingkat desa dapat
mengakomodasi sektor
kehutanan sebagai sektor yang dikembangkan dengan memasukkannya didalam perencanaan pembangunan wilayah dan kemudian diusulkan di tingkat kecamatan dan kabupaten. Seperti yang disampaikan Soekartawi dalam Attar (2000), dalam penyusunan perencanaan pembangunan, dimulai dari tahap musyawarah pembangunan tingkat desa yang dimasukkan dalam musyawarah tingkat kecamatan, dimana di tingkat kecamatan tersebut menentukan skala prioritas pembangunan di desa-desa dalam wilayah kecamatan. Dengan dimasukkannya sektor kehutanan sebagai sektor yang penting untuk dikembangkan dan kemudian masuk ke dalam perencanaan pembangunan wilayah melalui Musyawarah Pembangunan Kehutanan (MUSBANGHUT) dan Rapat Kerja Daerah Kehutanan (RAKERDAHUT) baik tingkat kecamatan maupun tingkat kabupaten dan tingkat provinsi diharapkan pengelolaan kehutanan menjadi lebih baik. Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi (Rustiadi et al. 2003). Ada beberapa indikator yang menjadi tolok ukur pembangunan wilayah, salah satunya adalah keterkaitan (linkages) dan yang menjadi ukurannya adalah keterkaitan ke depan (forward linkages) dan keterkaitan kebelakang (backward linkages) baik langsung maupun tidak langsung, serta efek pengganda (multiplier effects). Keterkaitan ke depan ditunjukkan dengan adanya perkembangan aktifitas ekonomi yang memanfaatkan output dari aktifitas yang sudah ada, sedangkan keterkaitan ke belakang ditunjukkan dengan adanya perkembangan aktifitas ekonomi yang memberikan bahan input untuk aktifitas ekonomi yang sudah ada. Kriteria keterkaitan itu dipergunakan untuk mengetahui sejauhmana pertumbuhan sektor dipengaruhi dan mempengaruhi pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Untuk wilayah Kabupaten Muara Enim, sektor kehutanan (dalam hal ini pembangunan HTI dan termasuk didalamnya program kegiatan MHBM), kurang memiliki keterkaitan langsung ke depan. Hal ini menunjukkan bahwa ouput dari
lxxxii
pembangunan HTI kurang berperan didalam menyediakan input bagi sektorsektor perekonomian di Kabupaten Muara Enim. Ouput dari pembangunan HTI berupa kayu jenis Acacia mangium hampir seluruhnya dikirim ke pabrik pulp dan kertas PT. Tanjung Enim Lestari dan sangat sedikit digunakan (dikonsumsi) untuk masyarakat lokal. Dengan demikian tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan industri atau sektor lain yang memanfaatkan output dari pembangunan HTI didalam wilayah tersebut. Demikian juga untuk keterkaitan langsung ke belakang. Pembangunan HTI kurang mempunyai kaitan dengan sektor atau industri lainnya. Hal ini berarti bahwa untuk menghasilkan output, pembangunan HTI kurang memerlukan input dari sektor lain karena dalam pembangunan HTI output didapat dari hasil kegiatan penanaman, bukan berasal dari sektor atau industri lain. Namun demikian, pembangunan HTI mempunyai keterkaitan tidak langsung baik ke depan maupun ke belakang terhadap masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar areal HTI. Masyarakat dapat menjadi tenaga kerja dalam pelaksanaan pembangunan HTI, selain itu terbuka kesempatan berusaha melalui usaha rumah makan, tempat tinggal dan menyediakan kebutuhan karyawan/pekerja sehari- hari. Seperti disebutkan di atas, bahwa sub sektor kehutanan mampu memberikan kontribusi pendapatan yang memadai terhadap PDRB kabupaten. Kontribusi pendapatan itu antara lain didapat dari penerimaan yang berasal dari Iuran Hasil Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Dalam tahun 2002, penerimaan Kabupaten Muara Enim yang berasal dari IHPH sebasar Rp. 382.933.406,- sedangkan penerimaan yang berasal dari PSDH dalam periode 2002-2005 sebesar Rp. 8.594.149.098,- Pembayaran PSDH didasarkan atas jumlah produksi hasil hutan yang dihasilkan. Tabel 19 Penerimaan PSDH Kabupaten Muara Enim 2002-2005 Tahun Jumlah Pene rimaan (Rp) 2002 3.305.958.986 2003 2.996.457.691 2004 1.525.799.568 2005*) 765.932.853 Jumlah 8.594.149.098 Catatan : *) Data s.d. Agustus 2005 Sumber : Dinas Kehutanan Muara Enim, 2005
lxxxiii
Namun demikian, tampaknya pemerintah daerah harus menghadapi kendala yang cukup berat dalam mempersiapkan upaya- upaya untuk lebih memajukan dan mengembangkan sektor kehutanan. Padalah telah diketahui bahwa kunci utama keberhasilan pengelolaan sumberdaya bersama (common resources) yang open access karena cukup banyak pihak yang memanfaatkannya dan sering terjadi pemanfaatan yang berlebihan (overuse) seperti sumberdaya hutan, sebenarnya adalah
adanya
kesadaran
dan
kemauan
dari
berbagai
pihak
yang
berkepentingan/stakeholders untuk dapat memanfaatkan sumberdaya secara lestari. Akibat terjadi kesenjangan yang cukup besar antara kemampuan sumberdaya hutan untuk menyediakan dan permintaan bahan baku untuk industri menyebabkan kondisi hutan semakin memprihatinkan dan terdegradasi akibat illegal logging. Karena adanya praktik illegal logging ini, baik IHPH, PSDH maupun Dana Reboisasi (DR) tidak dapat dipungut sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar. Padahal, IHPH dan PSDH merupakan sumber penerimaan daerah dari sub sektor kehutanan yang akan dipergunakan untuk pembangunan dan pengembangan wilayah. Menurut data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan diperkirakan hampir 2,28 juta ha kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan dalam kondisi kritis. Seluas 1,8 juta ha sudah tidak ada vegetasinya dan satu juta ha lagi terdegradasi akibat marak illegal logging. Akibat praktik illegal logging ini diperkirakan Sumatera Selatan mengalami kerugian berkisar Rp. 10 milyar per tahun
(Republika 2005). Jika
diperbandingkan, kerugian akibat illegal logging tersebut ternyata jumlahnya lebih besar daripada sumbangan PSDH dan IHH terhadap penerimaan Kabupaten Muara Enim. Selain itu akibat adanyan kesenjangan yang cukup besar antara jatah produksi hasil hutan dari pemanfaatan hutan alam produksi dengan kebutuhan bahan baku industri perkayuan, maka beberapa pihak berpendapatan bahwa kondisi seperti itu mendorong semakin berkembangnya illegal logging. WALHI menyatakan bahwa setiap menitnya hutan Indonesia seluas 7,2 ha musnah akibat destructive logging (penebangan yang merusak), dan Departemen Kehutanan menyatakan bahwa kerugian akibat pencurian kayu dan peredaran hasil hutan illegal senilai 30,42 triliun rupiah per tahun. Pihak lain (Bank Dunia)
lxxxiv
memperkirakan jumlah kerugian akibat illegal logging di Indonesai yaitu US$ 600 juta per tahun, sama dengan empat kali APBN untuk sektor kehutanan (Dephut 2005)
5.3.Manfaat Ekonomi Dalam penelitian mengenai manfaat ekonomi, yang diteliti adalah besarnya perubahan pendapatan yang diterima masyarakat dari pelaksanaan MHBM di Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang, yang berasal dari kegiatan pokok yaitu pembangunan HTI (berupa jasa kerja, jasa produksi) yang terdiri atas pekerjaan penyiapan lahan (manual), penanaman, pemeliharaan dan pemanenan; dan yang berasal dari kegiatan penunjang berupa tumpangsari atau agro trisula.
Pendapatan Masyarakat dari Kegiatan Pokok Jasa Kerja Untuk mengetahui perubahan pendapatan karena kegiatan MHBM ini telah dilakukan penelitian pada 2 (dua) desa yang mengikuti kegiatan MHBM yang berada disekitar lokasi pembangunan HTI yaitu Desa Subanjeriji (Kecamatan Rambang Dangku) dan Desa Gunung Megang (Kecamatan Gunung Megang). Berdasarkan hasil penelitian terhadap tingkat pendapatan responden sebelum dilakukannya kegiatan MHBM,
masyarakat pada kedua desa itu mempunyai
pendapatan rata-rata berada diantara Rp. 350.000,- - Rp. 500.000,-, yaitu di Desa Subanjeriji sebesar Rp. 475.000,-, dan di Desa Gunung Megang sebesar Rp. 485.416,66. Pada umumnya masyarakat pada Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang bekerja sebagai tenaga kerja pada kegiatan pembangunan HTI. Dalam melakukan pengujian untuk melihat apakah ada perbedaan tingkat pendapatan yang nyata antara Desa Subanjeriji dan Gunung Megang sebelum dilakukan kegiatan MHBM dipergunakan Uji Dua Sampel Independen (Uji Mann Whitney). Hipotesis (Ho) yang disusun adalah
tidak terdapat perbedaan
pendapatan antara kedua desa tersebut sebelum dilakukannya MHBM. Hipotesis itu ditolak apabila didapat nilai signifikan (Z) < a (0,05). Berdasarkan hasil uji didapat nilai signifikan (Z) > a (0,05) yaitu 0,388 dan ini berarti hipotesis (Ho)
lxxxv
diterima. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapatan yang nyata dari kedua desa tersebut sebelum mengikuti Program MHBM atau dengan kata lain kedua desa itu memiliki tingkat pendapatan yang sama. Sebaran tingkat pendapatan rata-rata responden pada kedua desa tersebut terlihat pada Tabel 20. Kegiatan pembangunan HTI yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan melalui Program MHBM yang dimulai pada tahun 2002 – 2003 memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penyediaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja lokal di wilayah tersebut. Melalui kegiatan MHBM,
masyarakat akan melakukan pekerjaan seperti
penyiapan
lahan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan tahun ke-I, ke-II dan ke-III, dan perlindungan hutan serta penebangan/pemanenan kayu. Kebutuhan bibit, pupuk, ajir dan peralatan disediakan oleh PT.MHP. Sesuai dengan Akta Kesepakatan MHBM, dari hasil pelaksanaan pekerjaan tersebut jasa kerja yang akan diterima oleh peserta adalah Rp. 750.000,- per ha untuk penyiapan lahan (secara manual), Rp. 550.000,- per ha untuk penanaman dan pemupukan, Rp. 80.000,- per ha untuk pemeliharaan tahun ke-I, ke-II dan ke-III. Untuk jasa manajemen, kepengurusan MHBM masing- masing desa akan mendapatkan 1% dari jasa kerja, sedangkan jasa produksi dari kegiatan pemanenan yang diterima adalah Rp. 2.500,- per m3. Tabel 20 memperlihatkan sebaran tingkat pendapatan responden sebelum dilakukannya kegiatan MHBM Tabel 20 Sebaran tingkat pendapatan responden sebelum MHBM Pendapatan
Subanjeriji Gn. Megang org % Org % < 250.000 250.000 – 350.000 5 10,42 3 5,00 350.001 – 500.000 30 62,50 37 61,67 500.001 – 700.000 10 20,83 18 30,00 700.000 – 1.000.000 3 6,25 2 3,33 > 1.000.000 Sumber : Hasil kuisioner dan pengolahan data Berdasarkan hasil penelitian terhadap tingkat pendapatan masyarakat peserta MHBM yang menjadi responden di Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang setelah dilakukannya kegiatan MHBM, rata-rata tingkat pendapatan rumah tangga responden Desa Subanjeriji sebesar Rp. 541.145,83 sedangkan rata-rata tingkat
lxxxvi
pendapatan responden Desa Gunung Megang
sebesar Rp. 550.833,33,-.
Pendapatan yang diterima oleh kelompok kerja MHBM tersebut ini berasal dari jasa kerja dari kegiatan pokok. Ternyata rata-rata pendapatan responden Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang mengalami peningkatan
masing-
masing sebesar Rp. 66.145,83 dan Rp. 65.416,67. Tabel 21 menunjukkan sebaran tingkat pendapatan rata-rata responden sesudah dilakukannya kegiatan MHBM dan tingkat pendapatan responden pada desa (Desa Lecah) yang tidak mengikuti MHBM, sedangkan Tabel 22 memperlihatkan sebaran perubahan tingkat pendapatan responden sebelum dan sesudah dilakukannya Program MHBM. Tabel 21 Sebaran tingkat pendapatan responden sesudah MHBM Ikut MHBM Subanjeriji Gn. Megang Org % Org % < 250.000 250.000 – 350.000 1 2,08 350.001 – 500.000 23 47,92 29 48,33 500.001 – 700.000 18 37,50 26 43,33 700.000 – 1.000.000 6 2,50 5 8,33 > 1.000.000 Sumber : Hasil kuisioner dan pengolahan data Pendapatan
Tidak ikut MHBM Lecah Org % 8 20,0 21 52,5 10 25,0 1 2,5 -
Tabel 22 Perubahan tingkat pendapatan responden sebelum dan sesudah MHBM Pendapatan Subanjeriji Gn. Megang Tetap Meningkat Tetap Meningkat < 250.000 250.000 – 350.000 1 4 3 350.001 – 500.000 19 11 26 11 500.001 – 700.000 7 3 15 3 700.000 – 1.000.000 3 2 > 1.000.000 Jumlah 30 18 43 17 Sumber : Hasil pengolahan data Sebelum dilakukan pengujian untuk mengetahui pengaruh Program MHBM terhadap peningkatan pendapatan
masyarakat peserta MHBM tersebut,
peningkatan pendapatan ini dikoreksi/disesuaikan terlebih dahulu dengan tingkat inflasi yang terjadi pada tahun 2003 (5,06%) dan 2004 (6,40%) (BPS, 2006). Hasil penyesuaian tingkat pendapatan masyarakat terlihat pada Tabel 23, Selanjutnya baru dilakukan pengujian dengan menggunakan Uji
Sampel
lxxxvii
Berhubungan (Uji Wilcoxon) untuk mendapatkan nilai signifikannya. Hipotesis (Ho) yang disusun adalah
tidak terdapat perbedaan pendapatan di Desa
Subanjeriji dan Desa Gunung Megang antara sebelum dan sesudah dilakukannya MHBM. Hipotesis itu ditolak apabila didapat nilai signifikan (Z) < a (0,05). Berdasarkan hasil uji didapat nilai signifikan (Z) > a (0,05) berarti hipotesis (Ho) diterima. Tabel 23 Hasil Penyesuaian dan Pengujian Tingkat Pendapatan Masyarakat Sebelum dan Sesudah MHBM Nama Desa Subanjeriji Gn. Megang
Jumlah responden 48
Sebelum MHBM 475.000,-
Hasil koreksi 529.435,-
Sesudah MHBM 541.145,83
Perubahan +11.710,83
Nilai sign 0,250
60
485.416,66
541.045,42
550.833,33
+ 9.787,91
0,330
Sumber : Hasil pengolahan data Hal ini menunjukkan bahwa walaupun terjadi peningkatan pendapatan pada kedua desa itu setelah mengikuti Program MHBM, tetapi tidak terjadi perbedaan yang nyata dengan pendapatan sebelum mengikuti Program MHBM, atau dengan kata lain pendapatan masyarakat sebelum MHBM sama
dengan pendapatan
sesudah MHBM. Seperti disebutkan di atas, bahwa dengan adanya Program MHBM ternyata telah meningkatkan pendapatan masyarakat peserta MHBM. Untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan pendapatan antara mengikuti MHBM
desa yang
dengan desa yang tidak mengikuti MHBM dilakukan
pengumpulan data di desa yang tidak melaksanakan Program MHBM untuk mengetahui tingkat pendapatan rata-ratanya. Berdasarkan hasil pengumpulan data di Desa Lecah, Kecamatan Lubai, pendapatan rata-rata masyarakat adalah sebesar Rp. 454.375,-. Untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan pendapatan antara Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang dengan Desa Lecah, dilakukan pengujian dengan Uji Dua Sampel Independen (Uji Mann Whitney). Hipotesis (Ho) yang disusun adalah tidak terdapat perbedaan pendapatan antara ketiga desa dengan adanya/dilakukannya MHBM. Hipotesis itu ditolak apabila didapat nilai signifikan (Z) < a (0,05). Berdasarkan hasil uji didapat nilai signifikan (Z) < a (0,05) berarti hipotesis (Ho) ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat
perbedaan pendapatan yang nyata antara ketiga desa tersebut atau dengan kata lain dengan adanya/dilakukannya Program MHBM terdapat perbedaan tingkat
lxxxviii
pendapatan antara ketiga desa tersebut. Hasil pengujian tingkat pendapatan ketiga desa itu dengan adanya MHBM seperti pada Tabel 24. Tabel 24 Hasil pengujian tingkat pendapatan dengan adanya MHBM Lokasi Desa Subanjeriji – Lecah Subanjeriji – Gunung Megang Gunung Megang – Lecah
Jumlah responden 88 108 100
Penduduk rata-rata (KK) 892 1472 1096
Nilai signifikan 0,04 0,415 0,000
Jasa Produksi Dalam pembangunan HTI PT. MHP, penanaman tanaman pokok dilakukan dengan jarak tanam 3 x 3 meter sehingga jumlah tanaman per ha sebanyak 1.110 batang per ha. Bibit A.mangium yang digunakan berasal dari benih dan diproduksi dari persemaian benih unggul hasil pemuliaan pohon yang dilakukan oleh perusahaan. Hasil kayu dari kegiatan pembangunan HTI PT. MHP merupakan pemasok utama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp dan kertas PT. Tanjung Enim Lestari di Muara Enim. Berdasarkan pengalaman pemanenan tanaman daur pertama, diperkirakan potensi tegakan pada akhir daur kedua (8 tahun) adalah 200 m3 per ha, sehingga taksiran volume total yang akan didapat dari areal kerja MHBM Desa Subanjeriji seluas 5.737,88 ha sebanyak 1.147.576 m3 dan dari areal MHBM Desa Gunung Megang seluas 4.063,13 ha sebanyak 812.626 m3. Jika jasa produksi yang diterima masyarakat Rp. 2.500,- per m3, maka pada pemanenan atau penebangan akhir daur kedua, masyarakat Desa Subanjeriji akan mendapat pendapatan sebesar Rp. 2.868.894.000,- dan untuk Desa Gunung Megang sebesar Rp. 2.031.565.000,- Jumlah sebesar itu merupakan simpanan kekayaan bagi masyarakat yang merupakan aset di masa akan datang. Namun, yang menjadi
potensi permasalahan adalah pembayaran jasa
produksi untuk masing- masing kelompok kerja MHBM pada akhir daur. Dalam program MHBM, lokasi dan luas areal kerja masing- masing kelompok kerja telah ditetapkan dalam Akta Kesepakatan, dan pada saat kegiataan pemanenan (penebangan) dilakukan, kayu-kayu hasil tebangan yang berasal dari berbagai petak areal kerja MHBM itu akan dikumpulkan pada satu lokasi. Hal ini berpotensi terjadi kesalahan dalam penentuan jumlah produksi dan asal kayu.
lxxxix
Pendapatan Masyarakat dari Kegiatan Penunjang Di dalam Akta Kesepakatan disebutkan bahwa bahwa masyarakat diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan penunjang yang dilakukan secara mandiri, tetapi kegiatan itu tidak mereka lakukan. Dengan demikian, masyarakat tidak memperoleh tambahan pendapatan dari kegiatan penunjang ini. Untuk kegiatan penunjang, pihak perusahaan
telah menyelenggarakan
pelatihan/penyuluhan pada awal-awal kegiatan MHBM, yaitu pada tahun 20022003 yang diikuti oleh perwakilan masing- masing kelompok kerja MHBM sebagai kader dan membangun demplot kegiatan agribisnis trisula. Mulai tahun 2004 sampai penelitian dilakukan, pihak perusahaan tidak menyelenggarakannya lagi karena pihak perusahaan mengharapkan melalui kader itu akan terjadi transformasi informasi dan pengetahuan mengenai tumpangsari dan agro trisula kepada anggota kelompok kerja MHBM lainnya. Sedangkan bagi masyarakat, alasan tidak melakukan tumpangsari atau agro trisula karena belum paham dalam prosedur perizinan atau pengurusannya, terbatasnya modal, sulitnya melakukan pengawasan dan penjagaan tanaman tumpangsari dari gangguan binatang serta mereka harus menyediakan dana dan sarana transportasi untuk mengangkut produk dari areal MHBM ke luar (pasar). Selain itu mereka khawatir akan mengalami kesulitan dalam pemasaran hasilnya nanti akibat produksi sayuran yang melimpah. Khusus mengenai modal untuk melaksanakan kegiatan penunjang, pihak perusahaan tela h menawarkan fasilitas bantuan bibit yang bersifat pinjaman dengan pengembalian, tetapi masyarakat kurang berminat untuk memanfaatkannya. Menurut Suharjito (2004), bahwa dalam pengelolaan hutan kemitraan dengan masyarakat (kolaboratif) masih akan menghadapi kendala-kendala sebagai berikut (penelitian terhadap hasil pelaksanaan di PT. Wira Karya Sakti di Jambi dan PT. Arara Abadi di Riau) : (1)
Menunjukkan adanya kecenderungan hubungan yang asimetrik, dimana posisi perusahaan lebih kuat dalam segala hal (modal, teknologi, manajemen) dibandingkan posisi masyarakat (petani). Distribusi keuntungan dan resiko antara pihak perusahaan dan masyarakat (rumah tangga petani).
xc
Perusahaan lebih banyak memperoleh keuntungan (finansial, dukungan sosial, jaminan bahan baku), sebaliknya rumah tangga petani lebih banyak menanggung resiko. Model pengelolaan ini akan mengalami kesulitan mewujudkan fairness, keadilan dan keseimbangan. (2)
Model kolaboratif yang dikembangkan belum menjadi media suatu proses belajar (a learning process) dan peningkatan kapasitas bagi rumah tangga petani secara individual maupun kolektif dalam pengelolaan sumber daya hutan.
(3)
Sistem kolaboratif yang dikembangkan menimbulkan ketergantungan pihak petani terhadap pihak perusahaan; pasar kayu akasia masih terbatas yaitu perusahaan industri pulp dan kertas sebagai penampung tunggal sedangkan tingkat harga ditetapkan sepihak oleh perusahaan industri. Jika dilihat kendala-kendala tersebut di atas maka hal yang serupa terjadi
dalam pelaksanaan program MHBM PT. MHP ini. Walaupun terjadi peningkatan pendapatan di Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang, ternyata lebih kecil bila dibandingkan dengan peningkatan yang seharusnya didapatkan mereka. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa untuk melaksanakan kegiatan MHBM sesuai SPK dan SOP yang diterima, masing- masing kelompok kerja MHBM harus menyediakan sendiri modal kerjanya. Pada umumnya mereka mengalami kesulitan dan tidak mempunyai modal yang cukup. Oleh sebab itu, mereka harus mencari pihak ketiga (kontraktor atau pemborong) yang bersedia membantu mereka dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Namun konsekuensinya, nilai jasa kerja yang akan mereka terima akan lebih kecil dari nilai jasa kerja yang seharusnya, yaitu untuk penanaman dan pemupukan Rp.300.000,- - Rp. 450.000,- per Ha, penyiapan lahan (secara manual) Rp. 600.000 – Rp. 650.000,- per Ha, pemeliharaan tahun ke-I, ke-II dan ke-III Rp. 35.000,- - Rp. 45.000,- per Ha dengan sistem kerja borongan. Mereka tidak bisa menolak dengan sistem kerja dan nilai jasa kerja seperti itu, karena jika mereka tidak mampu melaksanakannya maka perusahaan (PT. MHP) menganggap masyarakat tidak mampu untuk melaksanakan pekerjaan membangun HTI yang diserahkan kepada mereka dan akan mengambil alih pekerjaan tersebut serta menyerahkannya kepada pihak ketiga (kontraktor) yang perusahaan anggap
xci
mampu baik dalam permodalan, skill, peralatan, dan mudah diarahkan. Mereka khawatir untuk selanjutnya PT. MHP tidak memberikan SPK kegiatan HTI kepada mereka. Jika hal ini terjadi, maka kelompok kerja MHBM akan mengalami kerugian karena mereka tidak akan menerima jasa kerja dan jasa manajemen MHBM. Pada akhirmya, kelompok kerja MHBM mau tidak mau akan menerima sehingga pada akhirnya mereka tetap berperan sebagai tenaga kerja dari pihak ketiga (kontraktor) tersebut, sama seperti ketika program MHBM belum ada. Permasalahan mengenai modal ini sebenarnya telah disampaikan kepada pihak
perusahaan
untuk
dapat
dicari
alternatif
pemecahannya.
Mereka
mengharapkan agar mereka diberikan modal awal berupa pinjaman ya ng nantinya akan diperhitungkan apabila mereka mendapatkan jasa kerja. Alternatif lainnya adalah agar pembayaran jasa kerja diberikan secara bertahap sesuai dengan perkembangan pelaksanaan pekerjaan. Kelompok Tani MHBM juga pernah mengajukan permohonan peminjaman dana kepada lembaga keuangan/bank setempat tetapi tidak berhasil mengingat kegiatan HTI merupakan kegiatan yang memerlukan waktu yang lama dan mengandung resiko yang cukup tinggi. Tetapi sampai saat dilakukan penelitian, ketiga alternatif itu belum dapat disetujui baik oleh pihak perusahaan maupun pihak bank. Berbeda dengan kelompok kerja MHBM yang memiliki modal kerja, maka jasa kerja yang akan diterima sesuai dengan yang tercantum dalam SPK sehingga nilai jasa kerja yang diterima akan lebih besar. Untuk Desa Subanjeriji, walaupun SPK langsung mereka terima dari PT. MHP tetapi karena sebagian besar kelompok kerja MHBM
tidak mempunyai modal kerja, sehingga harus
bekerjasama dengan pihak ketiga. Sedangkan untuk Desa Gunung Megang, kelompok kerja MHBM menerima SPK tidak langsung dari PT. MHP tetapi melalui pihak ketiga sehingga mereka tidak mempunyai pilihan lain selain bekerjasama dengan pihak ketiga. Sebelumnya telah disebutkan bahwa dengan keikut-sertaannya masyarakat dalam program MHBM, pendapatan rata-rata yang diterima oleh masyarakat Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang mengalami peningkatan yaitu masingmasing menjadi sebesar Rp. 541.145,83 dan Rp. 550.833,33,-. Sehingga
xcii
pendapatan per kapita per tahun masyarakat Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang
masing- masing sebesar Rp. 1.372.029,- dan Rp. 1.429.696,-,
Berdasarkan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani yang dinilai dari total pendapatan per kapita dalam satu tahun yang dihubungkan dengan garis kemiskinan, Sajogyo (1977) dalam Cahya t (2004) menyatakan bahwa suatu penduduk di pedesaan dikatakan berada di atas garis kemiskinan apabila pendapatan perkapitanya senilai dengan beras lebih dari 320 kg. Jika harga beras pada saat penelitian di lokasi penelitian Rp. 2.900,- per kg, dikatakan miskin bila pendapatan per kapita per tahun dibawah Rp. 928.000,-. Berdasarkan hasil penelitian pendapatan masyarakat Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang lebih besar dari Rp. 928.000,- sehingga masyarakatnya tidak termasuk kategori miskin. Demikian pula jika menggunakan dasar perhitungan BPS Tahun 2004 bahwa garis kemiskinan untuk perkotaan adalah Rp. 143.000,- per kapita per bulan atau Rp. 1.716.000,- per kapita per tahun; sedangkan untuk penduduk yang tinggal dipedesaan adalah Rp. 109.000,- per kapita per bulan atau Rp. 1.308.000,per kapita per tahun. Untuk penduduk yang mempunyai pendapatan per kapita per tahun di atas nilai itu, maka akan masuk dalam kategori penduduk tidak miskin dan bila pendapatannya kurang dari nilai tersebut, maka akan masuk dalam kategori miskin. Pendapatan per kapita per tahun masyarakat Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang lebih besar dari Rp. 1.308.000,-,- sehingga masyarakat kedua desa itu tidak termasuk dalam kategori miskin.
5.4.Manfaat Sosial Kesediaan Membayar (Willingness to pay) Masyarakat Sumber daya hutan hasil kegiatan MHBM dapat bersifat barang publik (public good) dan dapat sebagai barang privat (private good), dimana masingmasing barang tersebut mempunyai kurva permintaan yang berbeda. Selain itu, juga telah diketahui sumberdaya hutan memiliki nilai ekonomis dan ekologis bagi masyarakat. Kedua fungsi tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat dan dirasakan langsung oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.
xciii
Oleh sebab itu, meskipun masyarakat memiliki pandangan yang sama tentang manfaat dari kegiatan MHBM, namun jika dikaitkan secara moneter, akan memiliki penilaian
yang berbeda terhadap manfaat tersebut. Melalui metode
Analisis Willingness to Pay selain memberikan gambaran manfaat kegiatan MHBM sekaligus dapat dijadikan tolak ukur bagi kerugian masyarakat apabila kegiatan tersebut ditiadakan. Sebelum diberikan pertanyaan mengenai berapa besarnya jumlah kesediaan membayar, para responden diberikan pertanyaan mengenai manfaat sosial yang diterima oleh mereka apakah telah sesuai dengan harapan/keinginan mereka antara lain menyangkut : penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, peningkatan pengetahuan dalam bidang kehutanan dan pertanian serta peningkatan pengetahuan dalam berorganisasi. lapangan terhadap 108
Berdasarkan wawancara di
responden, sebanyak 32 orang (29,63%) menyatakan
bermanfaat, 70 orang (64,81%) menyatakan kurang bermanfaat dan sebanyak 6 orang (5,56%) menyatakan tidak bermanfaat. Alasan mereka yang menjawab tidak, lebih didasarkan pada manfaat langsung yang mereka terima berupa peningkatan pendapatan, yaitu mereka merasa kehidupan mereka sebelum adanya program MHBM tidak ada bedanya atau sama dengan kehidupan mereka saat ini (sesudah adanya program MHBM). Secara lengkap pernyataan mereka tentang manfaat sosial yang diterima terlihat pada Tabel 25. Selanjutnya berdasarkan wawancara besarnya Willingness to Pay responden berkisar antara 0 – Rp. 500.000,- dengan rata-rata WTP sebesar Rp. 158.333,33. Bila rata-rata tersebut dikalikan dengan jumlah peserta MHBM pada kedua desa itu (diperkirakan 1.698 orang) maka total WTP peserta MHBM mencapai Rp. 268.849.994,30 Tabel 25 Hasil wawancara responden mengenai manfaat sosial MHBM Lokasi Desa
Jawaban Hasil Wawancara Ya Kurang Tidak Jumlah Subanjeriji 20 26 2 48 Gunung Megang 12 44 4 60 Jumlah 32 70 6 108 Dari 108 orang tersebut, responden mengatakan bahwa kegiatan tersebut bermanfaat melalui penyediaan lapangan kerja, peningkatan kualitas produktifitas lahan, peningkatan pengetahuan tentang kehutanan dan berorganisasi, walaupun
xciv
demikian mereka merasa bahwa manfaat yang diterima tidak sesuai dengan yang diharapkan dan seharusnya bisa lebih dari itu, dan sebanyak 11 orang tidak menyatakan tidak bersedia membayar. Alasan mereka tidak bersedia membayar adalah karena mereka merasakan manfaat yang mereka terima tidak sesuai dengan yang diharapkan. Apabila dikaji korelasi antara nilai WTP (Y) sebagai variabel tak bebas (dependent variable)dan varabel- veriabel bebas (independent variable) seperti : karakteristik sosial responden (yang meliputi : usia (X1 ), tingkat pendidikan (X2 ) dan jumlah tanggungan keluarga (X3 ), dan pekerjaan utama (D1 ); pendapatan (X4 )), jarak antara tempat tinggal dengan lokasi MHBM (X5 ), sistem penyerahan/pelaksanaan pekerjaan dan pemodalan (D2 ), sistem pembayaran jasa kerja (D3 ) dan manfaat sosial yang diterima/dirasakan (X6 ) maka nilai WTP ini dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas tersebut pada tingkat selang kepercayaan 95 % dan didapat persamaan berikut hasil analisa regresinya pada Tabel 26 : WTP (Y) = -86357,057 + 12300,314X2 + 0,179X4 + 58802,525X6 + (1,675)
(2,092)
79026,113D2 +
46341,835D3
(4,057)
(3,696)
R2 = 0,672
(3,755)
(5,201)
R2 adj = 0,642
Bilangan didalam ( ) adalah nilai t-hitung Tabel 26 Hasil Analisa Regresi Berganda dari Peubah Penduga terhadap Kesediaan Membayar (Willingness to pay=WTP) Manfaat Sosial Peubah (Constant) Umur (X1) Jumlah tanggungan (X2) Pendidikan (X3) Pekerjaan utama (D1) Pendapatan (X4) Jarak rumah-lokasi MHBM (X5) Penyerahan pekerjaan dan pemodalan (D2) Pembayaran jasa kerja (D3) Manfaat diterima (X6)
Beta (ß)
Std.Err ß
-86357,057 -466,347 12300,314
51543,436 851,706 5878,384
-3041,924 11848,364
ß
t Sign (?)
Korelasi
-0,043 0,162
-1,675 -0,548 2,092
0,097 0,585 0,039*)
0,021 0,270
7875,078 29888,867
-0,025 0,024
-0,386 0,396
0,700 0,693
0,193 0,068
0,179 -977,528
0,048 7611,269
0,257 -0,009
3,755 -0,128
0,000*) 0,898
0,516 -0,297
79026,113
19478,125
0,304
4,057
0,000*)
0,603
-46341,835
12537,794
-0,233
-3,696
0,000*)
-0,467
58802,525
11306,368
0,345
5,201
0,000*)
0,597
*: nyata pada tingkat kepercayaan 95%
xcv
Berdasarkan hasil analisa regresi di atas, variabel bebas yang berpengaruh terhadap nilai WTP yaitu jumlah tanggungan keluarga, pendapatan, sistem penyerahan pekerjaan dan pemodalan, sistem pembayaran jasa kerja dan manfaat yang diterima/dirasakan oleh responden. Hal itu ditunjukkan dengan nilai signifikan yang nyata pada tingkat kepercayaan 95% (taraf uji 5%). Jika seorang responden mempunyai jumlah tanggungan keluarga yang banyak dan pendapatan yang diterima dari kegiatan MHBM semakin besar (terjadi peningkatan pendapatan) responden akan dapat memberikan nilai WTP yang besar. Demikian juga jika pekerjaan langsung diserahkan kepada peserta MHBM dan pemodalan secara swadana dan manfaat yang diterima/dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, responden akan memberikan nilai WTP yang besar. Sebaliknya jika seorang responden, pendapatan yang diterima dari kegiatan MHBM tidak mengalami perubahan
(tidak terjadi peningkatan pendapatan)
responden akan memberikan nilai WTP yang kecil. Dari data responden, ternyata dari 108 orang responden sebanyak 35 orang (32,41%) yang mengalami peningkatan pendapatan dan sisanya yaitu 73 orang (67,59%) tidak mengalami peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan ini sangat terkait dengan sistem pelaksanaan pekerjaan. Hampir sebagian besar (85,18%) pelaksanaan pekerjaan melalui pihak ketiga, sehingga nilai jasa kerja yang mereka terima lebih kecil dari yang seharusnya yang tercantum dalam SPK. Demikian juga jika pekerjaan HTI diserahkan kepada peserta MHBM melalui pihak ketiga dan pemodalan berasal dari pihak ketiga dan pembayaran jasa kerja dilakukan tidak tepat waktu (berbelitbelit) serta manfaat yang diterima/dirasakan tidak sesuai dengan yang diharapkan, responden akan memberikan nilai WTP yang kecil atau nol bahkan dapat pula responden tidak mau menjawab. Dalam sistem pembayaran jasa kerja, sesuai SPK jasa kerja akan dibayarkan 22 hari setelah BAP ditandatangani. Kenyataannya, berdasarkan hasil wawancara dengan kelompok kerja MHBM pembayaran sering memakan waktu sampai 3 bulan walaupun BAP sudah ditandatangani. Hal ini terkait dengan sistem birokrasi yang dilakukan di PT. MHP yang dianggap oleh mereka terlalu berbelitbelit.
xcvi
Selain itu jarak lokasi MHBM dan tempat tinggal responden sebenarnya juga mempengaruhi nilai kesediaan membayar responden walaupun demikian dalam persamaan WTP mempunyai nilai tidak signifikan (t-hitung = 0,128 yang lebih kecil dari t tabel). Untuk Desa Subanjeriji, sebanyak 9 orang (18,75%) berjarak kurang dari 5 km, 24 orang (50%) berjarak 5-10 km, 15 orang (31%) berjarak 10-20 km, sedangkan untuk Desa Gunung Megang, sebanyak 12 orang (20%) berjarak 10-20 km, 17 orang berjarak 20-30 km dan 31 orang (51,67%) berjarak lebih dari 30 km. Jauh jarak tempat tinggal dengan areal MHBM merupakan permasalahan yang dilontarkan oleh kelompok kerja MHBM Desa Gunung Megang karena
untuk mencapai lokasi MHBM mereka memerlukan
waktu perjalanan lebih dari 1,5 jam selain itu mereka harus menyiapkan sarana transportasi bahkan harus sampai menginap di lokasi MHBM. Namun demikian, permasalahan itu umumnya mereka abaikan mengingat kehidupan mereka tergantung pada kegiatan HTI atau MHBM Dari variabel-variabel bebas yang mempengaruhi nilai WTP, berdasarkan hasil pengujian denga n memperhatikan besarnya nilai koefisien determinasi (R2 ) dan nilai koefisien relasi antar variabel (r2 ), tidak terjadi saling mempengaruhi (multi collinearity) antar variabel bebas karena didapat nilai R2 (0,672) dan r2 yang tidak terlalu besar. Suatu persamaan akan terjadi multi kolinearitas, jika didapat nilai R2 dan r2 yang hampir sempurna yaitu antara 0,7 – 1,0. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 108 orang responden tentang jumlah kesediaan membayar, jumlah maksimum yang bersedia dibayar oleh responden adalah sebesar Rp. 500.000,- sedangkan yang terendah adalah sebesar Rp. 100.000,-
Sebanyak 1 orang ( 0,01%) bersedia membayar
maksimum Rp. 500.000,- dan sebanyak 25 orang (23,15%) bersedia membayar maksimum Rp. 100.000,- selain itu sebanyak 11 orang (10,18%) dari responden tidak bersedia membayar. Hasil lengkap kesediaan membayar disajikan pada Tabel 27 dan Tabel 28.
xcvii
Tabel 27 Banyaknya responden yang bersedia membayar Besar WTP (Rp) Rp. 0,Rp. 100.000,Rp. 125.000,Rp. 150.000,Rp. 175.000,Rp. 200.000,Rp. 250.000,Rp. 300.000,Rp. 350.000,Rp. 400.000,Rp. 500.000,Jumlah
Frekuensi (org) 11 25 11 20 14 5 11 5 3 2 1 108
Prosentase (%) 10,18 23,15 10,18 18,52 12,96 4,63 10,18 4,63 2,78 1,85 0,01 100
Tabel 28 Kesediaan membayar berdasarkan tingkat pendapatan Besar WTP Rp. 0,Rp. 100.000,Rp. 125.000,Rp. 150.000,Rp. 175.000,Rp. 200.000,Rp. 250.000,Rp. 300.000,Rp. 350.000,Rp. 400.000,Rp. 500.000,Jumlah Keterangan :
Y1 -
Y2 1 1
Tingkat pendapatan Y3 Y4 Y5 9 2 19 5 4 5 1 11 7 1 6 8 2 2 1 5 6 1 3 1 3 2 1 52 42 11
Jumlah Y6 -
11 25 10 19 14 5 11 5 3 2 1 108
Y1 = pendapatan < Rp. 250.000,Y2 = pendapatan Rp. 250.000,- – Rp. 350.000,Y3 = pendapatan Rp. 350.000,- - Rp. 500.000,Y4 = pendapatan Rp. 500.000,- - Rp. 700.000,Y5 = pendapatan Rp. 700.000 – Rp. 1.000.000,Y6 = pendapatan > Rp. 1.000.000,Tujuan analisis WTP ini adalah untuk melihat gambaran seberapa besar manfaat sosial kegiatan MHBM yang diterima oleh masyarakat. Berdasarkan data jumlah responden dan jumlah maksimum kesediaan membayar pada setiap nilai WTP serta jumlah seluruh peserta MHBM pada kedua lokasi tersebut sebanyak
xcviii
1698 orang, maka dapat diperoleh total kesediaan membayar dari kegiatan MHBM di lokasi penelitian sebagaimana terlihat pada Tabel 29. Tabel 29 Total kesediaan membayar (WTP) responden Besar WTP Rp. 0,Rp. 100.000,Rp. 125.000,Rp. 150.000,Rp. 175.000,Rp. 200.000,Rp. 250.000,Rp. 300.000,Rp. 350.000,Rp. 400.000,Rp. 500.000,Jumlah
Ni 11 25 11 20 14 5 11 5 3 2 1 108
Total WTP Rp. 0,Rp. 2.500.000,Rp. 1.375.000,Rp. 3.000.000,Rp. 2.625.000,Rp. 1.000.000,Rp. 2.750.000,Rp. 1.500.000,Rp. 1.050.000,Rp. 800.000,Rp. 500.000,Rp. 17.100.000,-
Berdasarkan besarnya kesediaan membayar responden untuk manfaat sosial dari kegiatan MHBM dibuat kurva permintaan kegiatan MHBM. Sebagaimana lazimnya kurva permintaan maka kurva permintaan kegiatan MHBM mempunyai kemiringan (slope) negatif. Kurva permintaan yang didapat sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Selanjutnya adalah melakukan perhitungan surplus konsumen yang dapat dilakukan dengan menderivasi fungsi permintaan terhadap kegiatan MHBM tersebut. Untuk itu diasumsikan bahwa : 1.
Jumlah responden yang bersedia membayar sama dengan jumlah permintaan (Qd)
2.
Nilai nominal yang bersedia dibayar oleh responden sam dengan harga kegiatan MHBM (P) Berdasarkan derivasi dan asumsi yang dikemukan, maka diperoleh fungsi
permintaan untuk peserta MHBM yang dijadikan responden keseluruhan sebagai berikut : P = 370.840,9 – 3.436,517 Qd. Selanjutnya diperoleh nilai surplus konsumen seperti terlihat pada Tabel 30. Berdasarkan data pada Tabel 30 terlihat bahwa total surplus konsumen yang diperoleh adalah sebesar Rp. 51.925.000,dan dibentuk grafik hubungan antara kuantitas permintaan (Qd) dan harga (P) yang merupakan kurva permintaan kegiatan MHBM. Surplus kons umen dalam hal ini berupa daerah yang diarsir. Angka yang ditunjukkan oleh surplus konsumen
xcix
tersebut menunjukkan besarnya manfaat MHBM yang seharusnya mereka nikmati dalam kapasitas responden sebagai peserta MHBM. Tabel 30 Surplus konsumen responden Jml Responden 11 25 11 20 15 5 11 5 3 2 1 Jumlah
Qd 108 97 72 61 41 26 21 10 5 3 1
P 0,100.000,125.000,150.000,175.000,200.000,250.000,300.000,350.000,400.000,500.000,-
Surplus Konsumen (Rp) 0,9.700.000,9.000.000,9.150.000,7.175.000,5.200.000,5.250.000,3.000.000,1.750.000,1.200.000,500.000,51.925.000,-
P 600000
500000
400000
300000 200000
100000
0
Observed
-100000
Linear 0
20
40
60
80
100
120
QD
Gambar 4. Kurva Permintaan Kegiatan MHBM Hal yang sangat diharapkan dari dilakukannya suatu kegiatan adalah dapat menghasilkan manfaat baik terhadap sumber daya lingkungan maupun terhadap sosial, ekonomi dan budaya masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi kegiatan. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa untuk mengetahui manfaat sosial MHBM yang diterima masyarakat dalam penelitian ini adalah dengan melihat
c
indikator penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, peningkatan pengetahuan dalam bidang kehutanan dan peningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam berorganisasi
Penyediaan Lapangan Kerja Telah disebutkan pekerjaan
persiapan
bahwa kegiatan dalam program MHBM meliputi lahan,
penanaman,
pemeliharaan
tanaman,
perlindungan/pencegahan dari kebakaran hutan sampai penebangan/ pemanenan kayu. Bila pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan memerlukan tenaga kerja yang cukup banyak. Dengan adanya program MHBM, pihak PT. MHP telah menyerahkan pekerjaan pembangunan HTI selama 1 (satu) daur tanaman kepada masyarakat peserta MHBM di wilayah Desa Subanjeriji seluas 5.737,93 ha dan Desa Gunung Megang seluas 4.063,13 ha. Jumlah peserta MHBM untuk kedua desa itu sebanyak 1698 orang dan mereka seluruhnya terlibat dalam kegiatan membangun hutan tanaman. Berdasarkan SOP yang telah ditetapkan oleh perusahaan, dalam kegiatan HTI
mulai dari penyiapan lahan (manual), penana man, pemupukan dan
pemeliharaan, curahan tenaga kerjanya mencapai 45 HOK per ha. Secara rinci untuk setiap jenis pekerjaan terlihat pada Tabel 31. Apabila dijumlahkan untuk seluruh areal kerja MHBM Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang, mulai dari kegiatan persiapan lahan sampai pemeliharaan tanaman, maka kegiatan pembangunan HTI (daur tanaman 8 tahun) dengan program MHBM didapatkan curahan tenaga kerja sebesar 441.045,45 HOK atau sebesar 55.130 HOK per tahun
ci
Tabel 31 Curahan tenaga kerja dalam program HTI MHBM Jenis kegiatan
Curahan Tenaga Kerja/Ha Pembibitan 1100 bibit Persiapan lahan 10 HOK Pengadaan ajir 1 HOK Pemancangan ajir 4 HOK Pembuatan jalur tanaman 6 HOK Pembuatan lempeng tanaman 5 HOK Pembuatan lubang tanaman 6 HOK Penanaman 5 HOK Pemupukan 4 HOK Pemeliharaan 4 HOK Jumlah 45 HOK Sumber : Standard Operation Procedure (SOP) MHBM
Peningkatan Pendapatan Masyarakat Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa secara umum rata-rata pendapatan masyarakat desa yang menjadi peserta MHBM meningkat sesudah adanya kegiatan MHBM. Peningkatan pendapatan saat ini diperoleh oleh para peserta baru dari jasa kerja dalam kegiatan MHBM. Tabel 32 memperlihatkan rata-rata peningkatan respoden peserta MHBM. Tabel 32 Rata-rata peningkatan pendapatan desa peserta MHBM Lokasi desa Subanjeriji Gunung Megang
Rata-rata pendapatan masyarakat Kenaikan (Rp) Sebelum Sesudah MHBM MHBM 475.000,00 541.145,83 66.145,83 (13,92%) 485.416,66 550.833,33 66.583,34 (13,30%)
Peningkatan Pengetahuan Masyarakat. Adanya kegiatan MHBM disertai kegiatan penyuluhan (formal maupun informal) banyak menambah pengetahuan masyarakat baik menyangkut kegiatan kehutanan, pelestarian lingkungan, maupun berorganisasi. Sesuai dengan prinsipnya, program MHBM ditujukan untuk warga masyarakat secara kolektif (komunal) dan bukan untuk individu (personal) sehingga warga masyarakat yang akan ikut serta dalam program ini harus membentuk suatu kelompok dan terhimpun dalam suatu wadah atau organisasi yang jelas dan mewakili aspirasi seluruh warga masyarakat tersebut. Pembentukan kelompok masyarakat tersebut
cii
harus self legitimate yaitu dibentuk berdasarkan kemauan atau aspirasi oleh, dari dan untuk warga masyarakat itu sendiri baik bentuk lembaga, nama, pengurus, Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) dan sebagainya ditentukan oleh warga masyarakat itu sendiri. Saat ini dengan adanya wadah (organisasi) MHBM yang mereka bentuk, para peserta MHBM sering mengadakan rapat dan pertemuan untuk saling bertukar informasi dan untuk mengetahui perkembangan organisasi MHBM serta mengupayakan pemecahan permasalahan jika terjadi konflik. Dengan demikian, dengan adanya program MHBM, pengetahuan masyarakat tentang bagaimana berorganisasi bertambah. Sedangkan untuk pengetahuan bidang pertanian, pada awal-awal tahun pelaksanaan MHBM, pihak perusahaan menyelenggarakan pelatihan (kursus) tentang kegiatan budidaya tumpangsari atau agro trisula bagi peserta MHBM dengan tenaga penyuluh atau pembimbing berasal dari perusahaan sendiri. Materi yang diberikan terkait dengan kegiatan agribisnis trisula yaitu sayur cepat, ikan cepat dan ternak sehat.
5.5. Manfaat Lingkungan Sebelumnya telah disebutkan bahwa keberhasilan kegiatan MHBM selain dapat memberikan manfaat ekonomis dan manfaat sosial, juga memberikan manfaat lingkungan. Dalam penelitian ini, manfaat lingkungan yang diterima masyarakat adalah dengan melihat indikator : peningkatan luas areal yang berpenutupan hutan dan penurunan kebakaran hutan tanaman
Peningkatan Luas Areal yang Berpenutupan Hutan Yang dimaksud dengan areal yang berpenutupan hutan disini adalah kawasan hutan bekas tebangan tanaman daur pertama
yang ditanami dengan
jenis tanaman pokok HTI akasia (Acacia mangium) dan diharapkan pada akhir daur (tanaman berumur 7-8 tahun) dapat memberikan hasil baik berupa kayu maupun jasa. Berrdasarkan hasil pengumpulan data, luas kawasan hutan bekas tebangan yang menjadi areal MHBM telah direalisasikan kegiatan penanamannya
di
lingkup wilayah pene litian sejak tahun 2001 – 2005 adalah seluas 7.701,843 ha.
ciii
Sedangkan secara keseluruhan areal HPHTI, PT. MHP telah memanen dan menanam kembali untuk daur tanaman kedua dengan jenis A.mangium seluas 137.594,9 ha sampai dengan tahun 2002. Penanaman tersebut dilakukan pada areal eks tebangan tanpa merubah kondisi areal. Dengan dilakukannya kegiatan penanaman, areal MHBM yang semula berupa areal kosong atau terbuka menjadi areal yang berpenutupan hutan tanaman kembali.
Penurunan Kebakaran Hutan Tanaman Berdasarkan hasil pengumpulan data, pada tahun 1997 telah terjadi kebakaran hutan yang cukup besar seluas 1.133,23 ha yang menurut pihak PT. MHP dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam berupa panjangnya musim kemarau yang terjadi. Pada saat musim kemarau, tanaman akasia umumnya menggugurkan daunnya akibatnya lantai hutan akan ditutupi oleh daun-daun akasia yang sudah kering dan mengandung bahan sejenis resin yang mudah terbakar. Dengan kondisi seperti itu, pada musim kemarau yang panjang tanaman akasia sangat rentan terbakar. Walaupun faktor alam memiliki potensi penyebab terjadinya kebakaran, namun tanpa adanya faktor manusia (sengaja maupun tidak sengaja) sebagai pemicu yang membawa sumber api ke dalam kawasan hutan, maka peluang terjadinya kebakaran cukup kecil. Dengan adanya kegiatan MHBM di wilayah tersebut, maka selama kurun waktu pelaksanaan MHBM, terjadi penurunan intensitas terjadinya kebakaran hutan.
Perkembangan intensitas terjadinya
kebakaran hutan pada Tabel 33. Tabel 33 Perkembangan kejadian kebakaran PT. Musi Hutan Persada Tahun Luas kebakaran Keterangan 1997 4.688,37 1998 -Tidak ada laporan 1999 -Tidak ada laporan 2000 -Tidak ada laporan 2001 -Tidak ada laporan 2002 5.138 2003 0 2004 0 2005 0 Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, 2005
civ
Penurunan intensitas kebakaran tersebut dikarenakan kepedulian masyarakat yang semakin tinggi terhadap keberhasilan tanaman HTI dan adanya rasa memiliki terhadap tanaman yang sudah ada. Dengan adanya program MHBM di wilayah tersebut, masyarakat bersama dengan pihak PT. MHP bersama-sama melakukan kegiatan pencegahan dan pengendalian terhadap terjadinya kebakaran hutan. Rendahnya intensitas kebakaran hutan tanaman di wilayah itu juga disebabkan adanya kewajiban yang harus dipenuhi oleh masyarakat peserta MHBM sesuai dengan yang tercantum dalam Akta Kesepakatan. Sebagai insentif kepada masyarakat kelompok tani MHBM, dalam upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran dalam musim kemarau tahun 2005, PT. MHP memberikan insentif kepada masyarakat Desa Subanjeriji sebesar Rp. 200.000,per bulan selama 3 (tiga) bulan. Menurut Society American Forester dalam Affianto (2004), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohon-pohon/tumbuhan berkayu lainnya secara predominan menempati wilayah yang luas dan keadaannya cukup rapat sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan iklim mkiro yang berbeda dengan iklim yang berada di luarnya. Selain itu menurut Brown (1995) dalam Affianto (2004), aktifitas manusia di sektor kehutanan mempunyai dampak yang nyata terhadap konsentrasi CO2 di atmosfir. Hutan berperan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan (reservoir) karbon melalui penyimpanan sejumlah besar karbon pada pohon, tumbuhan bawah, lantai hutan dan tanah. Perubahan pada hutan seperti pertumbuhan pohon akan mengurangi CO2 di atmosfir. Karbon ini umumnya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil pada sektor industri, transportasi dan rumah tangga. Saat ini di dunia internasional telah berkembang trend baru melalui perdagangan karbon (CO2 ). Perdagangan karbon diawali dengan disepakatinya Kyoto Protocol 1997 bahwa negara-negara penghasil emisi karbon harus menurunkan tingkat emisinya dengan menerapkan teknologi tinggi dan juga menyalurkan dana kepada negara- negara yang memiliki potensi sumberdaya alam untuk mampu menyerap emisi karbon secara alami, misalnya melalui vegetasi (hutan) melalui penyerapan karbon (carbon sink) (Suryatmojo 2005). Menurut Upik di dalam Kompas (2005) disebutkan bahwa jenis kegiatan penyerapan
cv
karbon hutan berdasarkan definisi reforestasi dan aforestasi (upaya mengonversi lahan bukan hutan sejak 50 tahun lalu menjadi hutan), masing- masing adalah : penghutana n kembali (reforestasi), penanaman hutan atau hutan tanaman industri, hutan kemasyarakatan, perhutanan sosial (agroforestri dan penanaman jenis pohon serba guna), reboisasi/penghijauan, hutan rakyat, dan perubahan lahan pertanian menjadi hutan. Atas dasar kemampuan yang dimiliki hutan itu, maka negaranegara maju yang menghasilkan karbon dari kegiatan industri dan transportasi dinegaranya tetapi
tidak mempunyai hutan untuk menyerap limbah karbon
tersebut, bersedia menyalurkan dana kepada negara yang memp unyai potensi sumberdaya yang mampu menyerap karbon secara alami. Kemampuan hutan Indonesia menyerap karbon 1.238,525 Gt (Giga ton) per tahun. Saat ini harga karbon di pasar berkisar US$ 1 sampai US$ 30 per ton CO atau US$ 0,3 sampai US$ 8,0 per ton C (Kompas 2003). Hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan Pematangsiantar dapat diketahui bahwa tanaman Acacia mangium mampu meyerap 133,39 ton C per hektar. Jika per ton C dapat laku US$ 10 per ton maka rehabilitasi HTI bisa mendapatkan dana sebesar US$ 1.333,9 per hektar ( Kompas 2003) Dari uraian di atas, maka dengan adanya peningkatan luas berpenutupan hutan
melalui kegiatan penanaman serta
areal yang
penurunan kebakaran
hutan karena dilakukannya MHBM maka hutan mempunyai kemampuan untuk menjalankan fungsi perlindungan lingkungan yang mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari mengatur tata air, mengendalikan banjir dan mencegah erosi karena terserapnya air hujan dengan baik, menciptakan udara bersih dan segar, melindungi habitat flora dan fauna serta terbentuknya kembali lapisan humus yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Namun selain memberikan fungsi perlindungan, ternyata bila dana sebesar US$ 1.333,9 per hektar itu dikalikan dengan luas hutan yang ada dan dijaga kelestariannya, maka akan diperole h keuntungan pengolahan sumber daya hutan yang cukup besar.
5.6. Keberhasilan Fisik Pembuatan Tanaman Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 265/Kpts-II/2000 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan HTI, bahwa suatu kegiatan penanaman HTI
cvi
dinyatakan
sangat baik jika mempunyai prosentase tumbuh di atas 91%.
Berdasarkan hasil penghitungan jumlah tanaman akasia (Acacia mangium) yang hidup di lapangan dan dibandingkan dengan jumlah tanaman yang seharusnya ada (tumbuh) dari setiap petak contoh seluas 0,1 ha, menunjukkan bahwa kisaran prosentase tumbuh tanaman HTI di areal kerja MHBM rata-rata 91,44% dan termasuk dalam kategori sangat baik. Tingginya persentase tumbuh tanaman HTI di wilayah itu, selain disebabkan karena masyarakat kelompok tani MHBM dalam melakukan kegiatan harus sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) yang ditetapkan oleh PT. MHP atas setiap komponen pekerjaan, sesuai dengan yang tercantum dalam Akta Kesepakatan yang telah ditandatangani bersama antara masyarakat dan PT. MHP.. Hasil pekerjaan sesuai dengan SOP sangat perlu dilakukan oleh masyarakat karena nantinya akan terkait dengan besarnya nilai jasa kerja yang akan diterima oleh masyarakat pada akhir pelaksanaan pekerjaan.
5.7. Kelembagaan MHBM Beberapa
tulisan
menyimpulkan
bahwa,
kelembagaan
(institution)
mempunyai dua pengertian, yaitu: 1) kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi inter personal. Dalam hal ini kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya, menyangkut hak-hak dan tanggung jawabnya; 2) kelembagaan sebagai suatu organisasi yang mempunyai hierarki. Kelembagaan sebagai suatu organisasi dalam pengertian ekonomi menggamb arkan aktifitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh sistem harga melainkan oleh mekanisme administratif dan kewenangan. Anwar (2001) menyatakan bahwa penentuan pilihan kelembagaan yang tepat akan dapat mengatur penggunaan dan alokasi sumberdaya atau input ke arah efisiensi yang tinggi, keadilan (fairness) dan aktifitas ekonomi dalam pembangunan wilayah yang berkesinambungan (sustainable). Langkah awal guna mencapai efisiensi dalam alokasi sumberdaya secara optimal dapat melalui pembagian pekerjaan sehinggan setiap pekerjaan dapat dilaksanakan secara profesional. Peningkatan pembagian kerja selanjuntnya akan mengarah ke
cvii
spesialisasi ekonomi yang akan berimplikasi pada peningkatan efisiensi dan produktifitas yang tinggi. Kelembagaan
muncul
sebagai
upaya
untuk
memecahkan
berbagai
permasalahan yang semakin komplek dalam kehidupan masyarakat. Pada dasarnya kelembagaan mengatur tiga hal pokok dalam konteks eksploitasi sumberdaya yaitu : pengaturan, pemanfaatan, transfer serta distribusi sumber daya. Penanganan terhadap ketiga hal pokok tersebut akan meningkatkan sifat keragaman dan dinamika dari kelembagaan. Agar dapat berfungsi dengan baik, kelembagaan haruslah mapan (solid and survive) selama periode waktu tertentu yang ditunjukkan oleh dinamikanya yang terus berlangsung berdampingan dengan teknnologi dan pola kehidupan masyarakat, sehinggsa interaksi kelembagaan dengan kedua komponen tersebut mampu menciptakan kelembagaan dan teknologi baru yang sustanainable terhadap sumberdaya. Selain itu supaya institusi dapat berjalan dan ditaati oleh para anggotanya maka dalam institusi tersebut harus ada struktur insentif yang mengandung rewards dan sanksi sehingga masyarakat akan mentaatinya. Menurut Pakpahan (1991) ada tiga komponen utama kelembagaan yaitu : 1.
Batas kewenangan (yuridictional boundary), yang diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki seorang atau pihak tertentu terhadap sumberdaya faktor produksi, barang dan jasa. Oleh karena sumberdaya harus dikonsumsi secara bersama, maka batas kewenangan menjadi penting dalam merefleksikan keinginan para pengguna sumber daya tersebut dalam aturan pengambilan keputusan.
2.
Hak kepemilikan (property right) adalah hak yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat terhadap sumberdaya atau output tertentu yang diatur oleh suatu peraturan, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur interaksi/hubungan anggota masyarakat. Dengan demikian tidak ada seorang pun yang dapat menyatakan hak milik atau hak penguasaaan apabila tanpa pengesahan dari masyarakat sekitarnya. Implikasinya adalah : (1) Hak individu merupakan kewajiban orang lain, dan (2) kepemilikan yang jelas dapat memudahkan individu/masyarakat untuk mengakses dan mengkontrol terhadap sumberdaya.
cviii
3.
Aturan representasi (rule of representation) adalah aturan representasi yang mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Untuk memahami tentang kinerja dari kelembagaan MHBM, dengan
mengacu pada tiga komponen utama kelembagaan tersebut di atas, maka : 1.
Dalam konteks MHBM, indikator batas kewenangan mencakup luas dan letak kawasan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat. Batas kewenangan ini tercantum dalam Akta Kesepakatan MHBM.
2.
Dalam program MHBM, masyarakat diberikan hak untuk melakukan penanaman HTI pada areal yang ditetapkan sebagai areal kerja MHBM dan mendapatkan imbalan (upah/jasa kerja) dan bahan-bahan yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan tersebut. Selain itu, masyarakat mendapat hak untuk melakukan kegiatan tumpangsari/agro trisula. Namun demikian, masyarakat mempunyai kewajiban untuk : (1) menjaga dan mengamankan areal HPHTI dan/atau areal kerja MHBM berikut seluruh aset lainnya yang berada didalamnya; (2) mencegah dan mengendalikan api (kebakaran hutan); (3) memelihara dan merawat alat-alat kerja dan pelengkapan; (4) menjaga ketentraman, ketertiban dan suasana kondusif bagi kelancaran dan kenyamana n pelaksanaan pekerjaan, kelangsungan usaha dan kehidupan bermasyarakat; (5) menyelesaikan perselisihan yang timbul akibat adanya keberatan/klaim atas areal kerja MHBM dari pihak lain.
3.
Dalam konteks MHBM, keputusan yang diambil/disepakati dalam hasil musyawarah misalnya dalam kegiatan patroli keamanan hutan, penegakan hukum bila terjadi masalah atau perselisihan antar anggota MHBM.
Untuk menganalisis apakah kesepakatan dalam pengelolaan hutan yang bekerjasama dengan masyarakat dapat terus berlanjut, maka dilakukan analisis Game Theory. Pada Game Theory, digunakan asumsi rasionalitas dimana tiap orang
akan
memaksimumkan
pahalanya
(rewards)
berupa
keuntungan,
cix
pendapatan, atau keuntungan subyektifnya, dalam lingkungan keadaan dimana dia menghadapinya (Anwar 2002). Dalam analisis Game Theory ini digunakan model interaksi yang sederhana antara 2 stakeholder (player), dimana yang menjadi player adalah pemerintah daerah (G), masyarakat peserta MHBM (F), perusahaan HTI PT. MHP (C) Pemilihan strategi dan interaksi antara 2 player didasarkan pada issue riil serta kondisi yang relevan di lapangan.
Sebelum menetapkan strategi yang akan
digunakan, perlu dijelaskan apa yang mendasari penetapan strategi tersebut baik oleh pihak pemerintah daerah, perusahaan maupun masyarakat. Pihak Pemerintah Daerah a. Secara hukum, kawasan hutan produksi Subanjeriji merupakan bagian dari kawasan hutan yang ditetapkan sebagai areal HPHTI PT.Musi Hutan Persada yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan No. 38/KptsII/1996 tanggal 29 Januari 1996 b.
Bahwa dari kawasan hutan produksi di Kabupaten Muara Enim, berdasarkan hasil citra landsat tahun 2000 seluas 153.822 ha kondisi penutupan vegetasinya adalah non hutan/tidak produktif. Diharapkan dengan adanya pembangunan HTI akan mengurangi luas hutan yang tidak produktif.
c.
Secara hidrologis, kawasan hutan produksi Subanjeriji dan sekitanya merupakan sumber air, juga menjaga tata air yang amat vital bagi kehidupan masyarakat.
d.
Perlu dihindari adanya anggapan bahwa kawasan hutan setiap saat dapat diubah status fungsinya dan dapat diberikan kepada masyarakat. Apabila hal ini terjadi, maka kelompok masyarakat lain akan melakukan hal yang sama (serupa).
Pihak Perusahaan a. Secara hukum, kawasan hutan produksi Subanjeriji merupakan bagian dari kawasan hutan yang ditetapkan sebagai areal HPHTI PT.Musi Hutan Persada yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan No. 38/KptsII/1996 tanggal 29 Januari 1996
cx
b.
Produksi hasil hutan (kayu) dari
areal HPHTI khususnya dari kawasan
hutan produksi Subanjeriji me njadi terjamin c.
Memperbaiki hubungan dengan masyarakat yang tidak harmonis
Pihak Masyarakat Kawasan hutan produksi Subanjeriji yang ditetapkan sebagai areal HPHTI PT. MHP merupakan tempat berladang/berkebun karet bagi masyarakat yang ada di sekitar kawasan tersebut. Strategi yang Ditempuh Pihak Pemerintah Daerah A.
Cooperatif
Koordinasi dengan instansi terkait (sampai dengan tingkat desa) dan lembaga non pemerintah lainnya (LSM, Perguruan Tinggi, tokoh masyarakat) untuk mencari solusi dalam upaya pemecahan masalah B.
Non Cooperatif
1.
Melarang masyarakat untuk melakukan aktifitas apa pun di dalam kawasan hutan (menutup akses masyarakat terhadap kawasan hutan)
2.
Mengeluarkan perambah hutan dari kawasan hutan yang telah dirambahnya atau mengupayakan program lainnya yang dapat mengakomodasikan keinginan dari masyarakat
3.
Meminta perusahaan dan masyarakat tidak melakukan kegiatan sebelum ada penyelesaian masalah
Pihak Perusahaan A.
Cooperatif
1.
Menawarkan program MHBM kepada masyarakat pada kawasan hutan yang menjadi konflik/berpotensi terjadi konflik
2.
Koordinasi dengan instansi terkait (sampai dengan tingkat desa) dan lembaga non pemerintah lainnya (LSM, Perguruan Tinggi, tokoh masyarakat) untuk mencari solusi dalam upaya pemecahan masalah
cxi
B.
Non Cooperatif 1. Melarang masyarakat untuk melakukan aktifitas apa pun di dalam kawasan hutan (menutup akses masyarakat terhadap kawasan hutan) 2. Tidak melakukan pembangunan HTI pada areal yang menjadi sengketa
Pihak Masyarakat A. 1.
Cooperatif Masyarakat
menerima
berladang/berkebun
bahwa
lahan
yang
dijadikan
tempat
karet merupakan kawasan hutan produksi dan telah
ditetapkan sebagai areal HPHTI PT. MHP 2.
Menerima dan ikut serta dalam
program MHBM
yang ditawarkan
perusahaan B.
Non Cooperatif
Masyarakat tidak mengakui bahwa tempat berladang atau berkebun karet sebagai kawasan hutan sehingga mereka tetap berusaha membuka atau mengusahakannya. Jika memungkinkan akan mengupayakan memilikinya. Adapun yang menjadi pay off dari permainan ini adalah : 1.
Pihak masyarakat
a.
Akses masyarakat atas lahan hutan menjadi terbuka
b.
Produktifitas
lahan
menjadi
optimal
(sudah
ditanami
dan
akan
menghasilkan) sehingga dapat mengurangi tingkat degradasi lahan c.
Terciptanya lapangan kerja dan kesempatan kerja bagi masyarakat
d.
Tingkat pendapatan dan kesejahteraan ma syarakat meningkat
e.
Redistribusi (dalam arti pengelolaan) kepada nasyarakat berjalan dengan baik
2.
Pihak perusahaan
a.
Luas tanaman HTI menjadi meningkat
b.
Terjaminnya produksi hasil hutan untuk sumber bahan baku industri
c.
Supremasi hukum dihargai karena kawasan tersebut menurut aspek legal formal merupakan kawasan hutan
d.
Terjaminnya fungsi produksi, hidrologi dan ekologi hutan
cxii
3.
Pihak pemerintah daerah (kehutanan)
a.
Luas hutan yang produktif menjadi meningkat
b.
Supremasi hukum dihargai karena kawasan tersebut menurut aspek legal formal merupakan kawasan hutan
c.
Menghilangkan anggapan bahwa kawasan hutan dapat diubah setiap saat menjadi tempat berladang dan berkebun karet oleh masyarakat
d.
Bertambahnya sumber pembiayaan daerah yang berasal dari lahan dan hasil hutan
e.
Terjaminnya fungsi produksi, hidrologi dan ekologi hutan
Jika secara ekonomi, besarnya payoff pemerintah daerah didasarkan pada pajak yang diterima per tahun berupa pembayaran Pajak Bumi Bangunan (PBB) yaitu sebesar Rp. 2.480,- per ha (untuk areal hutan yang ditanami dan berumur 1-3 tahun) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar Rp. 3.000,- per m3 , yang berdasarkan perhitungan Rp. 234.541.271,- per tahun atau Rp 401.432,- per ha per tahun.
Payoff
perusahaan
didasarkan
pada
pendapatan
yang
diterima
(berdasarkan perhitungan mencapai Rp. 6.379.631.815,- per tahun atau Rp. 12.106.328,- per ha per tahun) atau kerugian yang ditanggung bila tidak melakukan penebangan (perusahaan telah melakukan investasi dalam HTI sebesar Rp. 7.633.520,- per ha yang dipergunakan untuk kegiatan persemaian, penanaman, pemeliharaan dan pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan). Sedangkan payoff masyarakat didasarkan pada pendapatan rata-rata per tahun yaitu sebesar Rp. 6.551.868,-. Jika dibuatkan dalam matrik pay off untuk setiap pihak ya ng terlibat terlihat pada Tabel 34, 35 dan 36 Tabel 34 Matriks pay off interaksi antara perusahaan dan masyarakat
Perusahaan
Cooperatif (A) Non cooperatif (B)
Cooperatif (A)
Masyarakat Non cooperatif (B)
(12.106.328) (6.551.868) ( 0 ) (6.551.868)
(12.106.328) ( 0 ) ( 0 ) (-791.868 )
cxiii
Tabel 35 Matriks payoff interaksi antara pemerintah dengan perusahaan Perusahaan Cooperatif (A) Non cooperatif (B) Pemerintah
Cooperatif (A) Non cooperatif (B)
(401.432) (12.106.328) (-400.952) (12.106.328)
(401.432) ( 0 ) (-400.952) ( 0 )
Tabel 36 Matriks payoff interaksi antara pemerintah dengan masyarakat Masyarakat Cooperatif (A) Non cooperatif (B) Pemerintah
Cooperatif(A) Non cooperatif (B)
(401.432) (6.551.868) (-400.952) (6.551.868)
(401.432) (-791.868) (-400.952) (-791.868 )
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa areal hutan yang dijadikan areal kerja Program MHBM adalah areal hutan konsesi HPHTI yang disengketakan/diklaim oleh masyarakat dan areal-areal yang memiliki potensi konflik seperti areal yang diakui sebagai lahan adat, marga, desa dan sebagainya. Dengan demikian, adanya kelembagaan MHBM dapat mencegah dan mengurangi terjadinya konflik penggunaan lahan dengan masyarakat sekaligus me ningkatkan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dengan menjadikan masyarakat sebagai subyek dalam pengelolaan HTI. Peranan kelembagaan MHBM itu juga didukung dari hasil pengolahan dengan game theory tersebut, yaitu ternyata tidak ada pilihan strategi lain bagi semua pihak yang terlibat selain mereka harus melakukan strategi yang bersifat cooperatif yaitu terus melaksanakan program MHBM dalam pengelolaan hutan (HTI) karena
memberikan solusi yang optimum bagi semua pihak.
Pemerintah daerah menyadari bahwa apabila tidak dilakukannya pembangunan HTI pada areal tersebut, akan mengalami kerugian berupa penurunan besarnya PSDH dan PBB yang diterima. Selain itu pemerintah daerah juga ingin menghindari atau menghilangkan adanya anggapan bahwa kawasan hutan setiap saat dapat diubah status fungsinya dan dapat diberikan kepada masyarakat. Karena apabila hal ini terjadi, maka kelompok masyarakat lain akan melakukan hal yang sama (serupa). Demikian pula pada interaksi antara pemerintah dengan perusahaan. Perusahaan menginginkan perlu ada kejelasan mengenai areal hutan yang mereka
cxiv
kelola untuk membangun HTI. Mereka khawatir jika tidak melakukan program MHBM dalam pembangunan HTI akan mengalami kerugian yang lebih besar. Pihak perusahaan menyadari bahwa pembangunan HTI merupakan program jangka panjang dan memiliki resiko yang cukup tinggi, apalagi bila tidak ada jaminan keamanan dalam pelaksanaan di lapangan dan tidak tercipta hubungan harmonis dengan masyarakat di dalam/sekitar hutan. Pada interaksi antara perusahaan dengan masyarakat, solusi yang optimum adalah baik perusahaan maupun masyarakat memilih strategi cooperatif yaitu meneruskan program MHBM. Oleh karena itu, untuk menjalankan strategi tersebut seperti yang terjadi di lapangan, perusahaan berupaya menciptakan kondisi untuk meningkatkan tingkat acceptability masyarakat dengan melibatkan peranan tokoh masyarakat dan melakukan sosialisasi kepada mereka sejak awal kegiatan MHBM akan dilakukan. Selain itu diciptakan program penunjang berupa kegiatan tumpangsari dan agro trisula yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat. Upaya-upaya tersebut perlu dilakukan agar masyarakat mau untuk berpartisipasi dalam kegiatan MHBM. Slamet (1990) dalam Winarto (2003) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat sangatlah mutlak demi berhasilnya suatu program pembangunan. Dapat dikatakan bahwa tanpa adanya partisipasi masyarakat maka setiap pembangunan akan kurang berhasil. Oleh sebab itu perlu dipahami baik oleh pemerintah daerah maupun perusahaan, bahwa dalam mengelola hutan, kawasan hutan tidak hanya dipandang untuk menghasilkan (produksi) hasil hutan saja, tetapi perlu dipandang sebagai suatu ekosistem dimana yang terdiri dari sub-sub ekosistem baik yang bersifat hayati maupun non hayati, yang diantaranya adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan yang jumlahnya cukup banyak dan tidak mungkin dipindahkan/dikeluarkan dari kawasan hutan. Berdasarkan hasil pengumpulan data (wawancara) dengan pengurus dan anggota kelompok MHBM serta pihak PT. MHP
terhadap kele mbagaan MHBM,
pelaksanaan MHBM di lapangan belum sepenuhnya sesuai dengan Akta Kesepakatan MHBM, yaitu dalam hal pembayaran jasa kerja yang terlambat dan penyerahan pekerjaan HTI yang tidak langsung ke kelompok kerja MHBM. Selain itu ada beberapa hal yang menjadi permasalahan menyangkut : 1) ketersediaan
cxv
modal kerja kelompok MHBM, 2) Komunikasi antara anggota, dan 3) Kemampuan SDM pengurus dan anggota kelompok MHBM. Ketersediaan modal kerja kelompok MHBM Seperti disebutkan sebelumnya bahwa untuk melaksanakan pekerjaan sesuai SPK yang mereka terima dari PT. MHP, masing- masing kelompok MHBM harus menyediakan modal kerja. Tujuannya adalah diharapkan dengan adanya modal dan tenaga kerja yang berasal dari kelompok MHBM itu sendiri maka akan terjadi peredaran ua ng yang berasal dari berbagai pekerjaan dalam pembangunan HTI (upah kerja dan nilai borongan) dalam wilayah kelompok MHBM itu bermukim. Sehingga diharapkan peredaran uang ini akan menggerakkan perekonomian masyarakat dalam skala yang lebih luas. Namun kenyataannya sebagian besar kelompok MHBM menghadapi permasalahan keterbatasan modal sehingga timbul distribusi pendapatan yang tidak merata. Kelompok MHBM yang tidak mempunyai modal kerja dan berperan sebagai pekerja akan memperoleh pendapatan yang lebih kecil. Kondisi ini akan semakin tidak menyenangkan apabila modal kerja diperoleh dari pihak luar kelompok MHBM atau luar desa. Uang yang diperoleh sebagai hasil pembayaran pekerjaan dalam kegiatan HTI sebagian besar akan tersedot keluar sehingga pihak kelompok MHBM hanya memperoleh sedikit. Selain itu, apabila pihak pemberi modal berasal dari luar kadang-kadang mereka menyediakan sendiri para tenaga kerjanya yang mereka kenal sebelumnya daripada anggota kelompok MHBM itu sendiri. Permasalahan mengenai modal kerja ini sebenarnya telah disampaikan oleh kelompok kerja MHBM yang tidak mempunyai modal kerja kepada pihak perusahaan untuk dapat dicari alternatif pemecahannya. Mereka mengharapkan agar mereka diberikan modal awal berupa pinjaman yang nantinya akan diperhitungkan apabila mereka mendapatkan jasa kerja. Alternatif lainnya adalah agar pembayaran jasa kerja diberikan secara bertahap sesuai dengan perkembangan pelaksanaan pekerjaan, bukan pada saat pekerjaan selesai 100% dilaksanakan. Kelompok kerja MHBM juga pernah mengajukan permohonan peminjaman dana kepada lembaga keuangan/bank setempat tetapi tidak berhasil mengingat kegiatan HTI merupakan kegiatan yang memerlukan waktu yang lama
cxvi
dan mengandung resiko yang cukup tinggi. Tetapi, ketiga alternatif itu belum dapat disetujui baik oleh pihak perusahaan maupun pihak bank. Komunikasi antara anggota kelompok MHBM Dari hasil wawancara didapatkan
bahwa antara anggota kelompok dan
pengurus MHBM terjadi kurang komunikasi sehingga menimbulkan rasa curiga dan salah pengertian, misalnya dalam hal penerimaan dan penggunaan jasa manajemen yang besarnya adalah 1% dari nilai jasa kerja yang diperuntukkan bagi organisasi MHBM. Para anggota kelompok MHBM mencurigai pengurus MHBM telah menggunakan jasa manajemen itu untuk kepentingan pribadi. Selain itu rasa curiga juga timbul dalam penyampaian kesempatan kerja yang tertuang dalam Rencana Operasional (RO) kepada para kelompok MHBM. Para anggota kelompok MHBM merasa bahwa pengurus MHBM tidak menyampaikan secara jujur kompone n-komponen pekerjaan apa saja yang terdapat didalam RO. Akibat kurangnya komunikasi, salah pengertian pun juga timbul antara pengurus dan kelompok MHBM dengan pihak PT. MHP. Salah persepsi yang timbul diantaranya adalah : a.
Pihak perusahaan kadangkala menganggap para pengurus MHBM setiap datang ke kantor perusahaan hanya menanyakan tentang jasa manajemen saja
b.
Pihak perusahaan merasa ruang geraknya menjadi terbatas. Jika saat program MHBM belum dilaksanakan, perusahaan bebas memilih kontraktor (pemborong) yang dianggap mampu (capable) dalam permodalan, skill, mudah diarahkan dan sebagainya. Tetapi dengan diterapkannya program MHBM, semua pekerjaan pembangunan HTI harus diserahkan dahulu kepada kelompok kerja MHBM, setelah kelompok kerja merasa tidak mampu/tidak sanggup melaksanakan pekerjaan itu, pihak perusahaan baru dapat mencari kontraktor/pemborong. Itupun tetap harus seizin pengurus MHBM
c.
Dengan dilaksanakannya program MHBM, para petugas perusahaan yang berkompeten merasa memperoleh tambahan pekerjaan, misalnya menghadiri
cxvii
berbagai pertemuan dengan masyarakat, memilah- milahkan jasa manajemen, merekapitulasi data dan sebagainya Sebaliknya, para pengurus MHBM menganggap pihak perusahaan masih memiliki kekurangan, diantaranya : a. Pihak perusahaan tidak serius dalam melaksanakan kerjasama MHBM, diantaranya ada beberapa areal HTI yang ketika diserahkan kepada kelompok kerja MHBM sudah tidak ada lagi pekerjaan, yang ada tinggal pekerjaan perlindungan dari api dan agen perusak lainnya b.
Batas waktu yang diberikan perusahaan kepada kelompok kerja MHBM sangat sempit, sehingga jika sampai pada batas waktu yang diberikan oleh perusahaan tidak bisa dipenuhi oleh kelompok kerja, maka pekerjaan HTI tersebut diambil alih oleh perusahaan untuk diserahkan/dicarikan ke kontraktor/pemborong lainnya.
Pengetahuan atau Kemampuan pengurus dan anggota kelompok Tidak dapat dipungkiri bahwa pengurus dan anggota
dalam kelompok
MHBM kurang memiliki pengetahuan atau kemampuan dalam berorganisasi, pembukuaan dan pengetahuan-pengetahuan la in yang diperlukan untuk dapat memajukan organisasi. Namun sejalan dengan dilakukannya kegiatan MHBM, dengan adanya penyuluhan dan berbagai pertemuan yang diikuti, telah mendidik mereka untuk memahami masalah organisasi, belajar mendengarkan pendapat orang lain, mengerti tentang akuntabilitas dan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Namun demikian, masih diperlukan bantuan dari pihak-pihak lain untuk pembelajaran kepara anggota kelompok MHBM sehingga mereka memiliki keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan agar pelaksanaan MHBM berhasil. Selain permasalahan yang dihadapi antara pengurus/anggota kelompok MHBM dengan PT. MHP, berdasarkan hasil pengumpulan data di Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten, ternyata kegiatan MHBM PT. MHP yang dimulai tahun 2002 ini terkesan berjalan sendiri, kurang komunikasi dan koordinasi. Hal ini menyebabkan kurangnya data dan informasi mengenai
perkembangan
pelaksanaan
MHBM
dan
keterlibatan
instansi
cxviii
pemerintah dalam kegiatan MHBM PT. MHP ini. Baik Dinas Kehutanan Provinsi maupun Dinas Kehutanan Kabupaten belum pernah menerbitkan surat keputusan peraturan/ketentuan yang berkaitan dengan program MHBM PT. MHP ini, namun secara insidentil melakukan monitoring ke lapangan. Walaupun demikian, pemerintah sangat menduk ung dan membantu kelancaran aktifitas kelembagaan MHBM tersebut terutama untuk pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Kabupaten Muara Enim berupaya membantu menyelesaikan permasalahan para KT MHBM dengan mengadakan pertemuan dengan PT. MHP, yang salah satu hasilnya adalah akan membentuk suatu organisasi/forum/wadah bagi seluruh KT MHBM sehingga akan efisien dan efektif apabila ada permasalahan dengan PT. MHP. Sedangkan untuk Pemerintah Provinsi mulai tahun 2005, program MHBM PT. MHP akan dikaitkan dengan rencana pembangunan hutan campuran pangan (HCP) untuk mendukung Sumatera Selatan sebagai lumbung pangan, yaitu dengan melakukan penanaman padi, jagung, kedelai, kacang tanah, semangka dan cabe di areal MHBM. Sebenarnya permasalahan yang dihadapi dalam MHBM mudah dipahami. Para pengusaha hutan (termasuk pekerjanya) dapat dikatakan sebagian besar berasal dari luar kawasan hutan yang diusahakan. Sardjono (2004) menyatakan bahwa konsep perusahaan konsesi hutan sebagai organisasi sekaligus institusi merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat lokal atau sangat berbeda dengan organisasi/institusi tradisional yang mereka kenal dan miliki. Hal ini terkait dengan aspek fisik, teknik/cara dan aturan main. Berbagai perbedaan ini tentu saja memperbesar prasangka dan menuntut adanya toleransi yang tinggi dan penghargaan budaya atas dasar keterbukaan dan kesetaraan. Dalam hal ini perlu inisiatif aktif untuk melakukan sosialisasi dan asimilasi dari pihak luar/pengusaha hutan. Menurut Sardjono (2004), ada beberapa penting yang seharusnya dilakukan terkait dengan kelembagaan adalah : (1)
Upaya untuk mempelajari budaya dan adat istiadat lokal (termasuk norma dan pantangan serta peran kepala adat)
(2)
Melakukan komunikasi yang intens guna mempercepat terjadinya asimilasi
cxix
(3)
Sedapat mungkin memberikan kesempatan yang besar bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam kegiatan (keterbukaan). Kesemuanya merupakan pendekatan sosiologis yang merupakan syarat penting bagi terjadinya proses dan bentuk interaksi yang positif. Sardjono (2004) juga menyatakan bahwa sejujurnya bila tidak diliputi
dengan prasangka negatif seperti bahwa masyarakat lokal itu ’pemalas’, tidak memiliki kualitas yang memadai untuk berperan serta dan bahkan menganggap mereka hanya sebagai faktor penghambat dalam berusaha, maka interaksi yang positif antara pengusaha hutan dan masyarakat bisa digalang. Masyarakat lokal juga merupakan aset berharga karena merupakan sumber tenaga kerja, penyedia jasa dan mitra berusaha yang potensial. Sebagai contoh, dalam aspek pengamanan kawasan dari gangguan penebang liar, perambah hutan dan penanggulangan kebakaran, dapat berjalan efisien dan efektif jika masyarakat lokal dilibatkan. Dengan demikian, apabila masyarakat diikutsertakan dalam pengelo laan hutan maka
tujuan
pembangunan
kehutanan
untuk
melestarikan
hutan
dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai.
cxx
VI. IMPLIKASI KEBIJAKAN MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT
6.1. Substansi Program Mengelola Hutan Bersama Masyarakat Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI)
merupakan hutan yang
dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi yang tidak produktif dengan menerapkan sistem silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Namun, karena dalam proses pembangunannya lebih didasarkan pada aspek legalitas (ijin perusahaan yang diperoleh dari Pemerintah atau Departemen Kehutanan), maka dalam pelaksanaan kegiatannya banyak mengorbankan hutan alam, realisasi penanaman tidak sesuai dengan target, penanaman dilakukan pada kawasan hutan produksi yang masih produktif, penunjukkan kawasan hutan yang akan dibangun hutan tanaman sangat bersifat makro dan tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Selain itu kegiatannya kurang melibatkan kelembagaan lokal/belum memanfaatkan kapasitas masyarakat lokal sehingga tumpang tindih dengan kepentingan masyarakat. Pihak pemegang HPHTI juga kurang melakukan pendekatan terhadap masyarakat lokal sehingga sebagian
dari
mereka
beranggapan
bahwa
HTI
dikembangkan
untuk
menghabiskan kayu dari areal-areal hutan yang masih potensial. Oleh sebab itu, dengan dilakukannya penyempurnaan kebijakan dalam pembangunan HTI melalui program Mengelola Hutan Bersama Mayarakat (MHBM) diharapkan memberi kesempatan masya rakat atau kelompok masyarakat setempat sebagai mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Dalam penelitian ini, kegiatan MHBM oleh PT. MHP di Provinsi Sumatera Selatan pada dasarnya berawal dari inisiatif pemerintah cq Departemen Kehutanan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan kawasan hutan. Inisiatif itu merupakan tindak lanjut dengan berubahnya paradigma pengelolaan hutan, yaitu
dalam era rehabilitasi dan konservasi
sumberdaya hutan bahwa program-program kehutanan harus dilaksanakan berdasarkan pendekatan perhutanan sosial yang berorientasi pada pelestarian hutan. Lestari hutan itu pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Bagi pihak PT. MHP, pelaksanaan
cxxi
kegiatan MHBM adalah sebagai upaya untuk mengurangi/meredam konflik/klaim masyarakat dan memperbaiki ketidakharmonisan hubungan antara masyarakat sekitar areal HTI. Dalam kegiatan MHBM ini masyarkat akan melakukan pengelolaan hutan, mulai dari penyiapan lahan, penanaman tanaman pokok jenis Acacia mangium yang dikembangkan untuk bahan baku industri pulp, pemeliharaan tanaman, pencegahan kebakaran hutan dan pemanenan/penebangan. Dari pelaksanaan seluruh kegiatan itu, masyarakat akan mendapatkan jasa kerja, jasa manajemen (1% dari jasa kerja) dan jasa produksi (Rp. 2.500,-/m3). Guna mengefektifkan pemanfaatan lahan dan membantu meningkatkan pendapatan, masyarakat yang ikut kegiatan MHBM diperbolehkan melakukan penanaman tanaman pangan (tumpangsari) di antara sela-sela tanaman kehutanan secara mandiri. Tanaman pangan adalah tanaman semusim yang ditanam secara tumpangsari seperti padi, cabe, jagung dan kacang tanah. Kombinasi jenis tanaman yang dibudidayakan dalam program MHBM ini dimaksudkan agar masyarakat peserta MHBM mendapatkan pendapatan secara kontinyu dari jenis-jenis tanaman yang ada. Dalam jangka pendek (1-3 tahun), yaitu sebelum tanaman kehutanan membentuk tajuk dan dapat menghasilkan, masyarakat akan mendapat tambahan pendapatan dari hasil panen tanaman tumpangsari. Selain kegiatan tumpangsari, masyarakat juga diperbolehkan untuk melakukan kegiatan pertanian berupa kegiatan agribisnis Trisula dengan konsep “sayur cepat, ikan cepat dan ternak sehat”. Kegiatan tersebut diharapkan ma mpu menghasilkan tambahan pendapatan harian- mingguan-bulanan. Pendapatan harian didapat dari bertanam sayur cepat yaitu menanam kangkung cabut. Penanaman dilakukan secara bertahap sehingga panen bisa dilakukan tiga hari sekali setelah hari ke-21 (masa panen) karena menggunakan teknologi bokasi dan penggunaan bibit unggul. Pendapatan mingguan didapat dari penjualan ikan lele dumbo karena jenis yang mudah cocok dengan lingkungan, cepat besar dan sumber pakannya dapat didukung oleh potensi alam sekitar. Panen ikan lele dumbo misalnya dapat dilakukan setiap 1 minggu sekali setelah 2 bulan 10 hari penebaran pertama dan kemudian seminggu sekali. Pendapatan bulanan didapat dengan bisa memelihara ternak berkaki empat atau bebek. Dalam pelaksanaannya, PT. MHP sengaja
cxxii
membangun Demplot Trisula dengan tujuan : (1) sebagai ajang dan sarana riset sebelum suatu paket kegiatan agribisnis Trisula dianggap layak terap; (2) sebagai ajang dan sarana percontohan untuk menarik perhatian dan minat masyarakat setempat maupun sekitar. Untuk itu, PT. MHP memberikan penyuluhan dan pelatihan sehingga masyarakat dapat belajar dan melakukan kegiatan itu serta dapat mengembangkannya sendiri.
6.2. Pemberdayaan Masyarakat Menurut Gardner and Stern (1996) dalam Sardjono (2004), bahwa keberhasilan dalam pengembangan sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat agar dapat berlangsung lama dan lestari sangat tergantung pada : (1) Karakteristik dari sumberdaya; (2) Kelompok masyarakat dalam menggunakan sumberdaya; (3) Aturan main yang dikembangkan oleh mereka; dan (4) Aksi pemerintah, baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Dalam Sarjono (2004), berdasarkan studi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD Paris), bahwa elemen kunci dalam pembangunan partisipatif (participatory development) dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu : (1) Pelibatan penuh, integrasi dan partisipasi dari seluruh kelompok dalam proses pembangunan; (2) Memperkuat modal manusia (human capital). Konsepsi tersebut berlaku juga bagi kegiatan pembangunan kehutanan. Penguatan modal manusia diperlukan agar partisipasi dan kerjasama yang dibangun bersifat setara/tidak ada dominasi/penguasaan salah stau pihak kepada pihak yang lain. Mengingat dalam kehutanan, pihak masyarakat lokal yang hingga saat ini dalam kenyataannya dari sisi kapasitas tawar (bargaining power) akibat keterbatasan finansial, pendidikan dan wawasan adalah paling lemah, maka kapasitas ini harus ditingkatkan. Masyarakat yang berdaya adalah yang memiliki kapasitas dalam menentukan prioritas dan pengendalian atas sumberdaya hutan yang sangat penting bagi upaya menentukan nasib mereka sendiri. Dengan keberdayaan tinggi, masyarakat tidak saja akan mampu mempertahankan hakhaknya (termasuk dalam pengambilan keputusan) terutama yang berhub ungan dengan pihak lu luar (misal : pemerintah atau pengusaha )
cxxiii
Dalam pengembangan model pengelolaan hutan kolaboratif atau bersama dengan masyarakat menghadapi kendala-kendala yaitu : 1.
Masing- masing pihak yang bekerjasama/berkolaborasi harus mempunyai pemahaman yang jelas tentang tanggung jawab, resiko dan keuntungan. Tetapi dalam pengalaman penelitian menunjukkan adanya kecenderungan hubungan yang asimetris, dimana posisi perusahaan lebih kuat dalam modal, teknologi dan manajemen dibandingkan posisi masya rakat sehingga sulit mewujudkan fairness, keadilan dan keseimbangan. Masyarakat belum terbiasa dan belum memiliki kemampuan cara berproduksi modern. Bahaya yang muncul adalah ketergantungan terus menerus pihak masyarakat pada pihak perusahaan dan hubungan ekslpoitatif oleh perusahaan kepada masyarakat
2.
Pihak perusahaan belum mampu membangun kemampuan masyarakat dalam kegiatan kerjasama (kolaborasi). Masyarakat harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan administrasi keuangan, analisis finansial dan ekonomi suatu pengusahaan hutan sehingga dapat melakukan negosiasi dalam berkolaborasi/bekerjasama dengan perusahaan HPHTI
3.
Sampai saat ini peran pemerintah (Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan dan dinas terkait) belum memadai dalam pemberdayaan masyarakat lokal melalui pengelolaan hutan bersama/kolaborasi dengan masyarakat Memperhatikan hal- hal di atas, beberapa implikasi kebijakan yang dapat
dilakukan terkait pengelolaan hutan bersama dengan masyarakat, yaitu :
Aspek Sumberdaya Manusia Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia lokal (local human capital) merupakan landasan utama bagi penguatan masyarakat dalam mendukung pengelolaan sumberdaya, yaitu : a.
Memberi
kesempatan
dan
mendorong
masyarakat
untuk
dapat
mengidentifikasi dan mengetahui permasalahan sendiri serta memecahkan permasalahan sendiri dengan bekerjasama melalui suatu tindakan kolektif. b.
Memberi kesempatan dan mengajak masyarakat untuk ikut terlibat langsung dalam pengelolaan yang dimulai sejak tahap perencanaan
cxxiv
c.
Memberi kesempatan yang lebih luas dalam menuntut pendidikan formal dan pengelolaan sumberdaya alam (hutan) bagi generasi muda melalui pemberian beasiswa, khususnya dari dana-dana yang berasal dari pemanfaatan sumberdaya hutan setempat
d.
Memberikan kesempatan yang lebih banyak pada masyarakat lokal untuk dapat ikut serta dalam kegiatan pelatihan dan forum diskusi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan
e.
Melaksanakan secara intensif program pelatihan/penyuluhan di lapangan mengenai kelestarian lingkungan
f.
Menyediakan pendidikan publik pada tingkat desa terhadap penggunaan sumber daya yang berkelanjutan secara praktis
g.
Memberikan pendidikan konservasi untuk dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat dan memberikan bimbingan etika konservasi kepada masyarakat agar mampu bertanggung jawab sebagai pengelola sumber daya alam
h.
Meningkatkan kerjasama antara pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat dalam pengelolaan hutan
Aspek Perekonomian Upaya untuk menyempurnakan perekonomian lokal dapat dikatakan sebagai inti dari cita-cita memakmurkan masyarakat yang kehidupannya secara langsung dan tidak langsung tidak bisa dipisahkan dari sumberdaya hutan, yaitu : a.
memprioritaskan alokasi dana yang berasal dari sumberdaya hutan bagi sebesar-besarnya pembangunan masyarakat lokal/pedesaan sekitar hutan. Prioritas utamanya yaitu untuk pangan, kesehatan dan pendidikan
b.
perusahaan membantu akses masyarakat pada dana pinjaman (loan)
Aspek Kelembagaan Pembenahan kelembagaan dipertimbangkan sangat berperan dalam rangka menyinambungkan upaya- upaya yang dilakukan dalam rangka kelestarian sumber daya hutan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat, yaitu :
cxxv
a.
mendorong keiikutsertaan lembaga lokal dalam proses penyusunan kebijakan/peraturan yang terkait dengan perlindungan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya hutan
b.
mendampingi kelembagaan lokal khususnya kelompok swadaya masyarakat untuk tahu dan mampu menyusun usulan- usulan (proposal) kegiatan terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan kepada sumber-sumber pendanaan
c.
diperlukan peran pemerintah untuk: (1) membangun kebijakan untuk mendorong upaya pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat; (2) mengontrol pola hubungan antara perusahaan dan masyarakat agar tidak terbentuk pola hubungan yang tidak asimetris dan eksploitatif.
d.
Menjadi penengah konflik-konflik yang mungkin muncul dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat. Peranan tersebut menuntut peningkatan kapasitas pemerintah juga
e.
Perlu adanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dapat berperan sebagai pendamping masyarakat untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, misalnya dalam pengetahuan dan keterampilan administrasi keuangan, analisis finansial, ekonomi suatu pengusahaan hutan sehingga mempunyai posisi tawar yang seimbang. LSM yang terlibat juga dapat berperan sebagai kontrol dan mediator jika terjadi konflik dalam hubungan kerjasama perusahaan dan masyarakat sehingga terjalin saling kontrol, saling mengingatkan dan saling belajar antar lembaga
cxxvi
VII. SIMPULAN
7.1 Simpulan Permasalahan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya hutan adalah bagaimana mengelola sumberdaya hutan itu agar dapat menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat dengan tidak mengorbankan kelestarian hutan itu sendiri. Agar dapat tercapai pengelolaan sumberdaya hutan yang baik dan efisien harus memahami dua aspek yang terkait yaitu aspek sumberdaya dan aspek stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan hutan. Aspek sumberdaya diperlukan untuk memahami akan potensi, peranan dan fungsi dari sumberdaya hutan serta bagaimana sumberdaya dimanfaatkan, sedangkan aspek stakehoder diperlukan untuk memahami hak-hak pemilikan dan akses terhadap sumberdaya sehingga dapat diketahui siapa yang mengendalikan sumberdaya dan bagaimana teknologi digunakan. Berdasarkan hasil penghitungan nilai Koefisien Lokasi untuk sub sektor Kehutanan, yang dalam perhitungannya berdasarkan kontribusinya terhadap PDRB
kabupaten dan
didukung dengan potensi sumberdaya hutan yang
dimiliki, ternyata sub sektor kehutanan di Kabupaten Muara Enim pada tahun 2003
telah
menjadi
sektor
basis
sehingga
mempunyai
potensi
untuk
dikembangkan dan memperoleh perhatian dalam perencanaan pembangunan wilayah. Oleh karena itu pihak pemerintah daerah harus mempersiapkan upayaupaya untuk lebih memajukan dan mengembangkan sektor kehutanan dengan memperhatikan faktor- faktor yang mendukung dan yang menghambat (seperti illegal logging) Pengelolaan sumberdaya hutan yang baik akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sedangkan pengelolaan sumberdaya hutan yang tidak baik akan menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat, yang mengakibatkan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya hutan tidak seimbang dengan biaya sosial yang harus ditanggung. Pelaksanaan MHBM dalam pembangunan HTI di Kabupaten Muara Enim belum memberikan manfaat dari aspek ekonomi dan sosial bagi masyarakat yang menjadi peserta MHBM. Walaupun setelah menjadi peserta MHBM
cxxvii
mengalami peningkatan pendapatan rata-rata per bulan, yaitu masyarakat di Desa Subanjeriji meningkat dari Rp. 475.000,- menjadi Rp. 541.145,83 dan di Desa Gunung Megang meningkat dari Rp. 485.416,66 menjadi Rp. 550.833,33,- tetapi. berdasarkan pengujian secara statitistik (Uji Wilcoxon) peningkatan pendapatan tersebut menunjukkan hasil uji tidak berbeda nyata. Hal ini berarti pendapatan mereka
setelah mengikuti program MHBM tersebut tidak berbeda atau sama
dengan pendapatan sebelum ikut dalam MHBM. Hal ini disebabkan antara lain ketidak tersediaan modal kerja dan penyerahan pekerjaan yang tidak langsung kepada mereka. Pendapatan yang mereka terima hanya berasal dari kegiatan pokok berupa pembayaran jasa kerja sedangkan pendapatan dari kegiatan penunjang tidak ada. Pendapatan masyarakat yang menjadi peserta MHBM
lebih besar dari
masyarakat desa yang tidak mengikuti program MHBM (pendapatan rata-rata per bulan Rp. 454.375,-). Hal ini ditunjukan dari hasil pengujian secara statisitik (Uji Mann Whitney) memberikan hasil uji yang berbeda nyata. Pada akhir daur, diperkirakan dari kegiatan MHBM Desa Subanjeriji dan Desa Gunung Megang dapat memasok bahan baku industri kertas sebesar 1.960.202 m3 kayu A.mangium Dengan demikian, jasa produksi yang akan diterima masyarakat saat akhir daur Rp 2.868.894.000,- (Desa Subanjeriji) dan Rp. 2.031.565.000 (Desa Gunung Megang) Berdasarkan standar garis kemiskinan,
pendapatan per kapita per tahun
masyarakat kedua desa itu lebih besar dari garis kemiskinan tahun 2004 sehingga tidak termasuk kategori miskin. Dari aspek manfaat sosial yang diterima masyarakat
dengan indikator
peningkatan lapangan/kesempatan kerja, peningkatan pendapatan, peningkatan pengetahuan, sebagian besar masyarakat menilai pelaksanaan MHBM belum memberikan manfaat bagi mereka. Total WTP peserta MHBM (1698 orang) mencapai Rp. 268.849.994,30 dan
surplus
konsumen
dengan rata-rata WTP sebesar Rp. 158.333,33,-
sebesar
mempengaruhi nilai WTP adalah
Rp.
51.925.000,-.
Faktor-faktor
jumlah tanggungan keluarga,
yang
pendapatan
peserta MHBM, manfaat yang diterima/dirasakan, sistem penyerahan pekerjaan dan pemodalan, dan sistem pembayaran jasa kerja.
cxxviii
Sedangkan dari aspek manfaat lingkungan dengan indikator peningkatan luas lahan berpenutupan hutan (hasil penelitian tingkat keberhasilan tanaman HTI yang menerapkan MHBM memiliki prosentase tumbuh tanaman rata-rata 91,44% dan tergolong sangat baik) dan penurunan kebakaran hutan memberikan kemampuan bagi hutan untuk menjalankan fungsi perlindungan lingkungan yang mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari mengatur tata air, mengendalikan banjir dan mencegah erosi karena terserapnya air hujan dengan baik, menciptakan udara bersih dan segar, melindungi habitat flora dan fauna serta terbentuknya kembali lapisan humus yang dapat meningkatkan kesuburan tanah, reservoir karbon dan akan mengurangi CO2 di atmosfir. Selain itu, juga memberikan peluang untuk mendapatkan
keuntungan finansial yang cukup besar dari
penyerapan karbon. Pelaksanaan kemitraan dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dalam pengelolaan hutan melalui kelembagaan MHBM sangat berperan dalam mencegah dan mengurangi konflik penggunaan lahan dengan masyarakat sekaligus juga berperan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Berdasarkan hasil game theory, strategi cooperatif yang diambil oleh semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan merupakan solusi yang optimum untuk dapat mencapai kelestarian hutan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Dengan kondisi pelaksanaan MHBM seperti saat ini, kelembagaan MHBM belum mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat peserta MHBM dalam hal penyediaan modal kerja dan penyerahan pekerjaan dalam pembangunan HTI. Kondisi ini juga didorong oleh pelaksanaan program MHBM yang terkesan berjalan sendiri, kurang komunikasi dan koordinasi dengan berbagai instansi terkait.
7.2. Saran Hasil analisis ini belum menyeluruh dan sempurna, selain itu analisis ini lebih bersifat evaluasi tahap awal untuk melihat manfaat dan keberhasilam program MHBM dalam mencapai tujuannya yaitu melestarikan hutan dan sekaligus mensejahterakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Beberapa usulan atau saran yang dapat melengkapi kajian ini antara lain : Kajian prospek
cxxix
program MHBM dalam meningkatkan perekonomian lokal dan regional dan Kajian kelembagaan MHBM secara lebih detil sekaligus mencari alternatif pemecahan masalah khususnya terkait dengan penyediaan modal kerja Untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi masyarakat, perlu diadakan upaya yang
melibatkan seluruh stakeholder dalam pelaksanaan
MHBM. Disamping itu, dalam pelaksanaan kegiatan MHBM khususnya kegiatan penunjang, penentuan kegiatan yang akan dilaksanakan harus sudah dikenal masyarakat setempat dan tidak bertentangan dengan kebiasaan masyarakat setempat serta pemberdayaan masyarakat lokal untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat. Guna peningkatan kinerja dan optimalisasi pendapatan masyarakat, penggunaan LSM pendamping sebaiknya dilaksanakan bila masyarakat memang betul-betul membutuhkan LSM Peningkatan kesejahteraan masyarakat diupayakan dengan penguatan kelembagaan, selain itu kebijakan pemerintah harus dapat mendorong untuk mensejahterakan masyarakat
cxxx
DAFTAR PUSTAKA Affianto, A. 2004. Potensi dan skema mekanisme pembangunan bersih untuk rehabilitasi sumberdaya hutan. Jurnal Hutan Rakyat Nomor 3 Tahun 2004. Yogyakarta Agrawal, A. 2001. Common Resources and Institutional Sustainability. Di dalam: Ostrom E, Dietz T, Dolsak N, Stern PC, Stonich S, Weber EU, editor. The Drama of the Commons. National Research Council. Washington, DC Anwar, A. 1995. Analisis ekonomi sumberdaya alam: Hubungan antara hak-hak kepemilikan, kegagalan pasar dan eksternalitas. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam. Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Anwar, A. 2000. Masalah dan kendala pembangunan hutan tanaman industri. Makalah pada Diskusi Panel Membangun Industri Kehutanan Bersaing dan Berkelanjutan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Direktorat Pengembangan Hutan Tanaman Departemen Kehutanan. Bogor Anwar, A. 2000. Masalah pengelolaan sumberdaya alam dan kebijaksanaan pengendalian terhadap kerusakannya. Malakah pada Pertemuan Forum Diskusi Pembahasan RPP tentang Kewenangan Daerah di Wilayah Laut dan RPP Pedoman Daerah dalam Pengelolaan Sumberdaya Nasional, 21 Desember 2000. Jakarta Anwar, A. 2001. Beberapa konsepsi alokasi sumberdaya alam bagi penentuan kebijakan ekonomi ke arah pembangunan yang berkelanjutan. Makalah Perbaikan yang Disajikan pada Seminar Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Anwar, A. 2002. Teori permainan (game theory) dan aplikasinya dalam analisis ekonomi dan kelembagaan. Bahan Kulian Program Studi Pascasarjana PWD. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Anwar, A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan : Tinjauan Kritis. P4Wpress. Bogor Attar, M. 2000. Hutan Rakyat : Kontribusi Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani dan Perannya dalam Perekonomian Desa (Kasus di Desa Sumberejo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah). Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Biro Pusat Statistik. 2006. Data Statistik per Provinsi. http:/www.bps.go.id
cxxxi
Cahyat, A. 2004. Governance Brief : Bagaimana Kemiskinan Diukur? Beberapa Model Penghitungan Kemiskinan di Indonesia. Forest and Governance Programme. CIFOR. Bogor Departemen Kehutanan. 1995. Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 206/Kpts-II/1005. tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Jakarta Departemen Kehutanan. 1997. Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 435/Kpts-II/1997 tentang Sistem Silvikultur dalam Pembangunan Hutan Tanaman. Jakarta Departemen Kehutanan. 1999. Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta Departemen Kehutanan. 2000. Statistik Departemen Kehutanan dan Perkebunan Tahun 1999/2000. Jakarta Departemen Kehutanan. 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 177/Kpts-II/2003 tentang Kriteria dan Indikator Usaha Pengelolaan Hutan Secara Lestari pada Unit Manajemen Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman. Jakarta Departemen Kehutanan. 2003a. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kehutanan. Makalah Presentasi Menteri Kehutanan pada Kursus Reguler Angkatan XXXVI Lemhanas. Jakarta Departemen Kehutanan. 2004. Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau Sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry. Jakarta Departemen Kehutanan. 2005. Statistik Departemen Kehutanan dan Perkebunan Tahun 2004. Jakarta Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. 2002. Rencana Strategis Pembangunan Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan Tahun Dinas 2000 – 2004. Palembang Djogo, T. 2004. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat; Wacana dan Pelaksanaannya. http://www.beritabumi.htm Fauzi, A. 1999. Teknik valuasi sumberdaya alam dan lingkungan. Makalah dalam Pelatihan Manajemen Lingkungan Kawasan Segara Anakan di Cilacap 9 – 21 Agustus 1999, kerjasama antara Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan dengan PMO-SACDP Pemerintah Daerah Tingkat II Cilacap. Cilacap
cxxxii
Fauzi, A. 2004a. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Fauzi, A. 2004b. Pengembangan kelembagaan kelautan dan perikanan : perspektif ekonomi kelembagaan. Makalah dalam Seminar Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Perikanan dan Kelautan Perikanan dalam Mewujudkan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Bagi Kesejahteraan Bangsa. Bogor Fuad, F.H. 2001. Kajian kasus konflik penjarahan hutan di KPH Randublatung. Jurnal Hutan Rakyat Volume 3 Nomor 2 Tahun 2001. Yogyakarta Haryadi, H. 2002. Rumusan Hasil Rakernas Kehutanan 2002. Departemen Kehutanan. Jakarta Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. 1998. Laporan Tahunan Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan Tahun 1998. Palembang Kartini, N. 2002. Kajian Kinerja dan Organisasi Pengusahaan Hutan Tanaman Industri di Provinsi Kalimantan Selatan [tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Kompas. 2003. “Carbon Trading” Membisniskan Hutan Tanpa Merusaknya. http:/www.kompas.co.id Kompas. 2005. Potensi Karbon Kehutanan 33 Juta Ton per Tahun. http:/www.kompas.co.id Laksono, P.M., Heleen van Haaften, Ahui Anvo and Jan Kressin, 1995. Social Sustainability in the Forest. CIFOR. Bogor Muhshi, A. M. 1999. Hambatan dan tantangan pembangunan hutan tanaman industri. Makalah dalam Pertemuan Tahunan 1999 Jaringan Kerja Litbang Terpadu Perusahaan HTI Patungan Lingkup PT. Inhutani II 18-20 Oktober 1999. Yogyakarta Musi Hutan Persada. 2004. Pola MHBM (Mengelola Hutan Bersama Masyarakat) dan MHR (Mengelola Hutan Rakyat) sebagai salah satu sumbangan PT. MHP bagi pembangunan masyarakat sekitar. Makalah dalam Forum Sarasehan/Lokakarya Kerjasama Penelitian Levelling in Playing Field antara CIFOR-Fakultas Kehutanan UGM-PT.MHP-Pemda Kabupaten Muara Enim. Muara Enim
cxxxiii
Nawir, A.A dan T. Gumartini, 2002. Company – Community Partnership Outgrowers Schemes in Forestry Plantation in Indonesia: An Alternatif to Conventional Rehabilitation Programe; Bringing Back the Forest : Policies and Practicies for Degradated Land and Forest. Proceeding of an International Conference, 7-10 October 2002. Kuala Lumpur. Malaysia Nurfatan, A. 2005. Prakarsa dalam Kemitraan dalam Program Konservasi di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. PTF ECML-II CARE International Indonesia Central Sulawesi. Palu Ostrom, E., T. Dientz, N. Dolsak, P.C. Stern. 2001. The Drama of the Commons. Di dalam: Ostrom E, Dietz T, Dolsak N, Stern PC, Stonich S, Weber EU, editor. The Drama of the Commons. National Research Council. Washington, DC. Pakpahan, A. 1991. Kerangka Analitik untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Institusi. Jakarta. Republika. 2005. 2,28 Juta http:/www.republika.co.id
Ha
Hutan
di
Palembang
Kritis.
Rose, C.M. 2001. Common property, regulatory property, and environmental protection: Comparing community-based management to tradable environmental allowances. Di dalam: Ostrom E, Dietz T, Dolsak N, Stern PC, Stonich S, Weber EU, editor. The Drama of the Commons. National Research Council. Washington, DC. Ross, D. 2004. Game Theory. Di dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy.
[email protected] Rustiadi, E., S. Saefulhakim, D. Panuju. 2003. Perencanaan Pengembangan Wilayah : Konsep Dasar dan Teori. Fakultas Pertanian IPB. Bogor Sanim, B. 1995. Metoda valuasi ekonomi sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir. Materi Pelatihan pada Kursus Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu, 3-26 April 1995 . PPLHIPB. Bogor Sardjono, M.A. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan : Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press. Yogyakarta Setiawan, B. dan D.H. Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan, penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Resource and Environmental Management. First edition Soejardwo. 1998. Membangun Hutan Indonesia Lestari. Pusat Penyuluhan Departemen Kehutanan. Jakarta.
cxxxiv
Suharjito, D. 2004. Pengelolaan Hutan Kolaboratif. Otonomi Kehutanan. Debut Press. Yogyakarta Suryatmojo, H. 2005. Peran Hutan Sebagai Penyedia Jasa Lingkungan. http:/www.mayong.staff.ugm.ac.id Sutisna, M. 2004. Peningkatan produktifitas hutan alami melalui silvikultur tepatguna. Makalah dalam Seminar Nasional Visi Silvikulturis Indonesia Menyongsong Kehutanan 2045, 4-5 Maret 2004, Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta Warsito, S. P., Sumardi., S. A. Awang. 2003. Meningkatkan peranan sumberdaya hutan dalam pembangunan nasional. Makalah pada Seminar Panca Windu Fakultas Kehutanan UGM, 19 September 2003. Yogyakarta Winarto, H. 2003. Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestry [tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Yakin, A. 1997. Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan : Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Akademika Presindo. Jakarta
cxxxv
Lampiran 1. Hasil Pengujian Pengaruh Kegiatan MHBM terhadap Pendapatan Masyarakat
PENGUJIAN PENGARUH KEGIATAN MHBM PENDAPATAN MASYARAKAT DESA GN. MEGANG
TERHADAP
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
SESDH - SEBLM
Negative Ranks Positive Ranks Ties Total
N 39(a) 21(b) 0(c) 60
Mean Rank 20.10 49.81
Sum of Ranks 784.00 1046.00
a SESDH < SEBLM b SESDH > SEBLM c SESDH = SEBLM Test Statistics(b) SESDH SEBLM -.974(a) .330
Z Asymp. Sig. (2-tailed) a Based on negative ranks. b Wilcoxon Signed Ranks Test
1. Hipotesis : Ho : Pendapatan sebelum = sesudah MHBM Ha : Ada perbedaan pendapatan sebelum dan sesudah MHBM 2. Statistik Uji Wilcoxon 3. a = 0,05 4. Daerah kritis : Ho ditolak jika sign < a (0,05) 5. Dari hasil pengolahan data diperoleh sign = 0,330 6. Karena sign > a (0,330 > 0,05) maka Ho diterima (Ha ditolak) 7. Kesimpulan : Tidak terjadi perbedaan pendapatan sebelum dan sesudah dilakukannya MHBM di Desa Gn. megang
cxxxvi
PENGUJIAN PENGARUH KEGIATAN MHBM PENDAPATAN MASYARAKAT DESA SUBANJERIJI
TERHADAP
Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks
SESDH - SEBLM
N 30(a) 18(b) 0(c) 48
Negative Ranks Positive Ranks Ties Total
Mean Rank Sum of Ranks 15.90 477.00 38.83 699.00
a SESDH < SEBLM b SESDH > SEBLM c SESDH = SEBLM Test Statistics(b) SESDH - SEBLM Z -1.149(a) Asymp. Sig. (2-tailed) .250 a Based on negative ranks. b Wilcoxon Signed Ranks Test
PENGUJIAN PENDAPATAN MASYARAKAT SEBELUM MHBM Mann-Whitney Test Ranks LOKASI PNDPTN sbjrj gn.megang Total
N 48 60 108
Mean Rank 51.99 56.51
Sum of Ranks 2495.50 3390.50
Test Statistics(a) PNDPTN Mann-Whitney U 1319.500 Wilcoxon W 2495.500 Z -.864 Asymp. Sig. (2-tailed) .388 a Grouping Variable: LOKASI
cxxxvii
Ranks
PNDPTN
LOKASI sbjrj lecah Total
N
Mean Rank 46.03 42.66
48 40 88
Sum of Ranks 2209.50 1706.50
Test Statistics(a) PNDPTN Mann-Whitney U 886.500 Wilcoxon W 1706.500 Z -.693 Asymp. Sig. (2-tailed) .488 a Grouping Variable: LOKASI
Ranks LOKASI PNDPTN gn.megang lecah Total
N 60 40 100
Mean Rank 53.63 45.81
Sum of Ranks 3217.50 1832.50
Test Statistics(a) PNDPTN Mann-Whitney U 1012.500 Wilcoxon W 1832.500 Z -1.492 Asymp. Sig. (2-tailed) .136 a Grouping Variable: LOKASI
PENGUJIAN PENDAPATAN MASYARAKAT SESUDAH MHBM Ranks
PNDPTN
LOKASI LECAH sbjrj Total
N 40 48 88
Mean Rank 45.00 44.08
Sum of Ranks 1800.00 2116.00
cxxxviii
Test Statistics(a)
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) a Grouping Variable: LOKASI
PNDPTN 940.000 2116.000 -.171 .864
Ranks LOKASI PNDPTN LECAH gn.megang Total
N 40 60 100
Mean Rank 48.35 51.93
Sum of Ranks 1934.00 3116.00
Test Statistics(a) PNDPTN Mann-Whitney U 1114.000 Wilcoxon W 1934.000 Z -.622 Asymp. Sig. (2-tailed) .534 a Grouping Variable: LOKASI
cxxxix
Lampiran 2. Hasil Analisa Regresi Kesediaan Membayar (WTP) Terhadap Manfaat Sosial Descriptive Statistics
wtp umur jml_tg pnddkn pek_ut pndptn jarak sist_pek sist_upah manfaat
Mean 156851.8519 39.8704 3.9630 1.8241 .9630 546527.7778 2.1389 .1481 .6852 2.2407
Std. Deviation 92921.41337 8.55995 1.22227 .75910 .18973 133538.22361 .85880 .35690 .46661 .54465
N 108 108 108 108 108 108 108 108 108 108 Correlations
wtp Pearson umur Correlation
sist_ pek
jarak
sist_ upah
jml_tg
Pndd kn
pek_ ut
pndptn
manfaat
.021
.270
.193
.068
.516
-.297
.603
-.467
.597
1.000
.601
-.140
.101
-.005
.154
-.055
.058
-.019
.270
.601
1.000
.003
.034
.066
-.093
.120
-.152
.126
pnddkn
.193
-.140
.003
1.000
-.046
.370
-.005
.063
-.105
.216
pek_ut
.068
.101
.034
-.046
1.000
-.042
-.140
-.056
-.027
.178
pndptn
.516
-.005
.066
.370
-.042
1.000
-.075
.364
-.198
.294
jarak
-.297
.154
-.093
-.005
-.140
-.075
1.000
-.464
.040
-.272
sist_pek
.603
-.055
.120
.063
-.056
.364
-.464
1.000
-.279
.344
-.467
.058
-.152
-.105
-.027
-.198
.040
-.279
1.000
-.214
.597
-.019
.126
.216
.178
.294
-.272
.344
-.214
1.000
.
.415
.002
.022
.244
.000
.001
.000
.000
.000
umur
.415
.
.000
.074
.150
.481
.056
.286
.277
.421
jml_tg
.002
.000
.
.488
.362
.247
.169
.108
.058
.097
pnddkn
.022
.074
.488
.
.319
.000
.479
.260
.140
.012
pek_ut
.244
.150
.362
.319
.
.333
.074
.282
.389
.033
pndptn
.000
.481
.247
.000
.333
.
.220
.000
.020
.001
jarak
.001
.056
.169
.479
.074
.220
.
.000
.340
.002
sist_pek
.000
.286
.108
.260
.282
.000
.000
.
.002
.000
.000
.277
.058
.140
.389
.020
.340
.002
.
.013
wtp
sist_ upah manfaat N
.021
umur
jml_tg
sist_ upah manfaat Sig. (1tailed)
wtp 1.00 0
.000
.421
.097
.012
.033
.001
.002
.000
.013
.
wtp
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
umur
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
jml_tg
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
pnddkn
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
pek_ut
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
pndptn
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
cxl
jarak
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
sist_pek
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
108
sist_ upah manfaat
Variables Entered/Removed(b) Variables Entered
Model 1
Variables Removed
manfaat, umur, pek_ut, sist_upah, pnddkn, jarak, pndptn, sist_pek, jml_tg(a)
Method
.
Enter
a All requested variables entered. b Dependent Variable: wtp Model Summary(b) Adjusted Std. Error of the Model R R Square R Square Estimate 1 .820(a) .672 .642 55600.03002 a Predictors: (Constant), manfaat, umur, pek_ut, sist_upah, pnddkn, jarak, pndptn, sist_pek, jml_tg b Dependent Variable: wtp Coefficients(a) Unstandardized Coefficients Model 1
Variable (Constant)
B -86357.057
umur
Std. Error 51543.436
Standardi zed Coefficie nts Beta
Collinearity Statistics
Correlations t
Sig.
-1.675
.097
Zeroorder
Partial
Part
Toler an-ce
VIF
-466.347
851.706
-.043
-.548
.585
.021
-.055
-.032
.544
1.840
jml_tg
12300.314
5878.384
.162
2.092
.039
.270
.207
.121
.560
1.787
pnddkn
-3041.924
7875.078
-.025
-.386
.700
.193
-.039
-.022
.808
1.237
pek_ut
11848.364
29888.867
.024
.396
.693
.068
.040
.023
.898
1.113
pndptn
.179
.048
.257
3.755
.000
.516
.355
.217
.717
1.395
jarak
-977.528
7611.269
-.009
-.128
.898
-.297
-.013
-.007
.676
1.479
sist_pek
79026.113
19478.125
.304
4.057
.000
.603
.379
.235
.598
1.673
sist_upah
-46341.835
12537.794
-.233
-3.696
.000
-.467
-.350
-.214
.844
1.185
58802.525
11306.368
.345
5.201
.000
.597
.465
.301
.762
1.313
manfaat
a Dependent Variable: wtp
cxli
Collinearity Diagnostics(a) Mod el 1
Dim ensio n
Eigenva lue
Condition Index
umur .00
jml_t g .00
Variance Proportions pndd pek_ pndp jarak kn ut tn .00 .00 .00 .00
1
8.367
1.000
(Consta nt) .00
sist_ pek .00
sist_ upah .00
manfaat
2
.932
2.996
.00
.00
.00
.00
.00
.00
.00
.47
.02
.00
3
.284
5.428
.00
.00
.00
.02
.00
.00
.02
.08
.77
.00
4
.144
7.619
.00
.02
.05
.55
.00
.01
.02
.01
.02
.00
5
.108
8.816
.00
.00
.07
.01
.01
.00
.60
.22
.00
.02
6
.069
11.014
.00
.02
.22
.19
.12
.01
.01
.03
.02
.13
7
.037
15.110
.00
.00
.00
.18
.14
.82
.06
.16
.00
.00
8
.033
15.937
.00
.01
.02
.01
.30
.06
.04
.01
.02
.76
9
.018
21.716
.00
.91
.62
.03
.10
.01
.10
.00
.05
.01
10
.009
30.326
.99
.04
.01
.01
.34
.09
.15
.01
.09
.08
a Dependent Variable: wtp
Casewise Diagnostics(a) Case Std. Number Residual 11 3.097 38 -3.353 a Dependent Variable: wtp
wtp 300000.0 .00
Residuals Statistics(a) Predicted Value Residual Std. Predicted Value Std. Residual
Minimum 3815.7156 -186446.3594 -2.009 -3.353
Maximum 369392.9063 172175.2344 2.790 3.097
Mean 156851.8519 .0000 .000 .000
Std. Deviation 76177.73257 53210.35729 1.000 .957
N 108 108 108 108
a Dependent Variable: wtp
cxlii
.00
Histogram Dependent Variable: wtp 20
Std. Dev = .96 Mean = 0.00 N = 108.00
0 5 2.7 5 2.2 5 1.7 5 1.2 .75
.25
5 -.2 5 -.7
25 -1. .75 -1 .25 -2
75 -2. .25 -3
Regression Standardized Residual
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Dependent Variable: wtp 1.00
.75
Expected Cum Prob
Frequency
10
.50
.25
0.00 0.00
.25
.50
.75
1.00
Observed Cum Prob
cxliii
Lampiran 3 Tabel PDRB Kab. Muara Enim Thn 2001 – 2003 Atas dasar Harga Berlaku (Jutaan Rupiah)
Lapangan Usaha
2001
2002
2003
Total
1. Pertanian - Tan bahan makanan - Tan Perkebunan - Peternakan & hasil lainnya - Kehutanan - Perikanan 2. Pertambangan & Penggalian - Minyak & gas bumi - Non Migas - Penggalian 3. Industri Pengolahan - Industri migas - Industri tanpa migas 4. Listrik, gas dan air bersih - Listrik - Gas - Air bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel & restoran - Perdag. Besar & eceran - Hotel - Restoran/rumah makan 7. Pengangkutan & Komunikasi - Pengangkutan - Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan - Bank - Lembaga Keuangan bukan bank - Jasa penunjang keuangan - Sewa Bangunan - Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa - Pemerintahan umum - Jasa Sosial Kemasyarakatan - Jasa Hiburan dan Kebudayaan - Jasa Perorangan dan RT
902,917.00 279,120.00 389,425.00 64,128.00 93,124.00 77,120.00 3,765,161.00 2,404,441.00 1,294,177.00 66,543.00 138,117.00 138,117.00 47,784.00 46,732.00 1,052.00 210,391.00 295,007.00 255,755.00 1,131.00 38,121.00 105,632.00 92,381.00 13,251.00 70,482.00
1,034,745.00 331,526.00 437,998.00 72,632.00 102,934.00 89,655.00 3,823,316.00 2,261,047.00 1,482,054.00 80,215.00 153,666.00 153,666.00 54,139.00 52,948.00 1,191.00 237,765.00 358,188.00 312,894.00 1,284.00 44,010.00 130,000.00 114,041.00 15,959.00 84,529.00
1,184,690.00 367,470.00 501,210.00 85,913.00 122,770.00 107,327.00 4,212,887.00 2,456,699.00 1,668,247.00 87,941.00 169,467.00 169,467.00 59,331.00 57,930.00 1,401.00 282,981.00 417,658.00 366,226.00 1,449.00 49,983.00 159,805.00 139,446.00 20,359.00 95,198.00
3,122,352.00 978,116.00 1,328,633.00 222,673.00 318,828.00 274,102.00 11,801,364.00 7,122,187.00 4,444,478.00 234,699.00 461,250.00 461,250.00 161,254.00 157,610.00
1,120.00
1,417.00
1,774.00
3,191.00
1,012.00 64,487.00 3,863.00 219,129.00 189,142.00 15,498.00 212.00 14,277.00
1,149.00 77,894.00 4,069.00 259,061.00 226,528.00 16,828.00 234.00 15,471.00
1,246.00 87,760.00 4,418.00 280,378.00 245,485.00 17,804.00 252.00 16,837.00
2,395.00 165,654.00 8,487.00 758,568.00 661,155.00 50,130.00 698.00 46,585.00
TOTAL PDRB
5,754,620.00
6,135,409.00
6,862,395.00
18,752,424.00
3,644.00 731,137.00 775,846.00 679,120.00 2,733.00 93,993.00 395,437.00 345,868.00 49,569.00 179,727.00
cxliv
Lampiran 4. Besarnya Payoff masing-masing Pihak yang Terlibat dalam MHBM
No.
Data per tahun
URAIAN 2003
2004
Total
Rata-rata/thn
2005
A. Wilayah MHBM Ds. Subanjeriji (luas 5.737,88 ha) 1 Produksi dari kegiatan pemanenan HTI a.1. Dalam m3
51,338.00
49,303.00
12,251.40
112,892.40
37,630.80
a.2. Dalam ton
47,949.69
46,049.00
11,442.81
105,441.50
35,147.17
326.00
340.10
107.90
774.00
258.00
431,547,228.00
414,441,018.00
102,985,268.40
948,973,514.40
316,324,504.80
b. Luas (Ha) Pendapatan perusahaan 2 (Rp) a. dari kulit kayu b. dari kayu
3,970,994,300.00 3,813,587,050.00
Pembayaran Provisi SDH 3 (Rp) 4 Pembayaran PBB atas areal MHBM (Rp)
947,645,790.00 8,732,227,140.00 2,910,742,380.00
143,746,400.00
138,048,400.00
36,754,200.00
318,549,000.00
106,183,000.00
14,229,942.40
14,229,942.40
14,229,942.40
42,689,827.20
14,229,942.40
6,493,740.00
6,493,740.00
6,493,740.00
19,481,220.00
6,493,740.00
a.1. Dalam m3
39,386.00
54,129.00
16,771.10
110,286.10
36,762.03
a.2. Dalam ton
36,786.52
50,556.49
15,664.21
103,007.22
34,335.74
293.00
398.80
115.10
806.90
268.97
331,078,716.00
455,008,374.00
140,977,866.60
927,064,956.60
309,021,652.20
Pendapatan masyarakat 5 dari kegiatan MHBM (jumlah peserta 675 org) (Rp/org/thn)
B. Wilayah MHBM Desa Gn. Megang (luas 4.063,13 ha) Produksi dari 1 pemanenan HTI
kegiatan
b. Luas (Ha) Pendapatan perusahaan 2 (Rp) a. dari kulit kayu b. dari kayu
3,046,507,100.00 4,186,878,150.00 1,297,244,585.00 8,530,629,835.00 2,843,543,278.33
Pembayaran Provisi SDH 3 (Rp) 4 Pembayaran PBB atas areal MHBM (Rp)
5 Pendapatan
masyarakat
110,280,800.00
151,561,200.00
50,313,300.00
312,155,300.00
104,051,766.67
10,076,562.40
10,076,562.40
10,076,562.40
30,229,687.20
10,076,562.40
6,609,996.00
6,609,996.00
6,609,996.00
19,829,988.00
6,609,996.00
cxlv
Rata2/ha/thn
rata-rata dari kegiatan MHBM (peserta 1.023 org) (Rp/org/thn)
C
Total Payoff Perusahaan kegiatan
1 Produksi dari pemanenan HTI a.1. Dalam m3
90,724.00
103,432.00
29,022.50
223,178.50
74,392.83
a.2. Dalam ton
84,736.22
96,605.49
27,107.02
208,448.72
69,482.91
619.00
738.90
223.00
1,580.90
526.97
762,625,944.00
869,449,392.00
243,963,135.00 1,876,038,471.00
625,346,157.00
b. Luas (Ha) 2 Pendapatan perusahaan a. dari kulit kayu b. dari kayu
7,017,501,400.00 8,000,465,200.00 2,244,890,375.00 17,262,856,975.00 5,754,285,658.33
Jumlah pay off
7,780,127,344.00 8,869,914,592.00 2,488,853,510.00 19,138,895,446.00 6,379,631,815.33
Payoff Pemerintah Daerah Pembayaran Provisi SDH 3 (Rp) 4 Pembayaran PBB atas areal MHBM (Rp)
Jumlah pay off
12,106,328.96 254,027,200.00
289,609,600.00
87,067,500.00
630,704,300.00
210,234,766.67
24,306,504.80
24,306,504.80
24,306,504.80
72,919,514.40
24,306,504.80
278,333,704.80
313,916,104.80
111,374,004.80
703,623,814.40
234,541,271.47
398,952.69 2480
Payoff Masyarakat 5 Pendapatan masyarakat Jumlah pay off
401,432.69 13,103,736.00
13,103,736.00
13,103,736.00
39,311,208.00
13,103,736.00
13,103,736.00
13,103,736.00
13,103,736.00
39,311,208.00
13,103,736.00
Kesimpulan : a. Payoff perusahaan : Rp. 12.106.328,66/ha/thn b. Payoff pemerintah : Rp 401.432,69/ha/thn c. Payoff masyarakat : Rp
6.551.868,00/thn
Keterangan : 1.
PSDH thn 2003 & 2004 = Rp. 2800/m3 PSDH thn 2005
= Rp. 3000/m3
2.
PBB (Areal yg ditanami & umur tanaman 1-3 th = Rp. 2480/ha
3. 4.
PBB (Areal yg tidak ditanami/tidak produktif Harga kayu HTI Acacia mangium = Rp. 85.000/m3 Harga kulit kayu A. mangium = Rp. 100000/ton
5.
Volume 1 m3 kayu = 0,85 ton kayu
6.
Volume kulit kayu = 8 - 10% volume kayu
= Rp. 480/ha
cxlvi
Lampiran 5 Rekapitulasi Prosentase Tumbuh Tanaman pada Tiap Lokasi Sampel
No.
1
2
Jumlah tanaman yang seharusnya hidup (btg)
Jumlah tanaman hidup dilapangan (btg)
Tinggi rata-rata (cm)
Prosen tumbuh (%)
Blok Caban Utara Petak 1 Petak 2 Petak 3 Petak 4 Petak 5
111 111 111 111 111
109 97 105 106 97
52 55 55 55 50
98.20 87.39 94.59 95.50 87.39
Blok Subanjeriji Petak 6 Petak 7 Petak 8 Petak 9 Petak 10
111 111 111 111 111
102 103 102 98 96
52 52 55 54 54
91.89 92.79 91.89 88.29 86.49
Lokasi / nomor petak sampel
Prosen tumbuh ratarata Sumber : Hasil pengolahan data
91.44
cxlvii