ANALISIS KURVA PERTUMBUHAN DOMBA PRIANGAN DAN PERSILANGANNYA DENGAN ST. CROIX DAN MOUTON CHAROLLAIS
Oleh : Dadan Mauluddin D14101024
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
RINGKASAN DADAN MAULUDDIN. D14101024. 2005. Analisis Kurva Pertumbuhan Domba Priangan dan Persilangannya dengan St. Croix dan Mouton Charollais. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Ismeth Inounu, MS. Data bobot badan domba Priangan (PP) dan Persilangannya dengan St Croix (HH) dan Mouton Charollais (MM) sebanyak 488 ekor yang terdiri dari domba Priangan 149 ekor, St. Croix X Priangan (HP) 115 ekor, Mouton Charollais X Priangan (MP) 68 ekor, MP X HP (MHP) 101 ekor dan HP X MP (HMP) 55 ekor yang dikoleksi dari Stasiun Percobaan Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Data tersebut digunakan untuk membandingkan tiga model kurva pertumbuhan non linear yaitu model Logistik, Gompertz dan Von Bertalanffy serta pengaruh genotipe dan lingkungan dalam keakuratan penjelasan data lapangan dan parameter kurva pertumbuhan dari model tersebut. Perbandingan antara genotipe, pengaruh interse mating dan efek heterosis dari parameter kurva pertumbuhan dilakukan berdasarkan rataan kuadrat terkecil dari parameter kurva pertumbuhan individu tiap model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model Von Bertalanffy merupakan model yang mempunyai keakuratan yang lebih baik dibandingkan model lainnya diikuti model Gompertz dan logistik berdasarkan jumlah kuadrat sisa, kuadrat tengah sisa dan koefisien determinasi, namun model Von Bertalanffy merupakan model yang relatif lebih sulit dalam proses penghitungan diikuti model Gompertz dan Logistik berdasarkan jumlah iterasinya. Model Logistik mempunyai Standar error parameter yang lebih rendah untuk parameter yang mempunyai interpretasi biologis yang sama yaitu Bobot dewasa (A) dan Laju pertumbuhan menuju dewasa (k) dibandingkan model lainnya yang berhubungan dengan kemudahan dalam proses penghitungan. Bobot dewasa (A) pada semua model dipengaruhi sangat nyata (p<0,01) oleh genotipe ternak, tahun kelahiran, jenis kelamin dan tipe lahir sapih, kecuali untuk model logistik yang dipengaruhi secara nyata (p<0,05) oleh tipe lahir sapih. Laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) dipengaruhi sangat nyata (p<0,01) oleh tahun kelahiran pada semua model. Parameter B/M (konstanta integrasi/shape parameter) dari semua model dipengaruhi oleh tahun kelahiran, jenis kelamin, paritas dan tipe lahir sapih kecuali parameter B dari model Von Bertalanffy dipengaruhi secara nyata (p<0,05) oleh jenis kelamin. Persilangan mampu meningkatkan bobot dewasa (A) domba Priangan yang ditunjukkan dari keunggulan relatif berdasarkan model Logistik, Gompertz dan Von Bertalanffy secara berurutan adalah sebagai berikut: MP = 20,06;19,4 dan 19,26% HP=8,6; 8,17 dan 8,08% MHP=18,23; 16,92 dan 16,94% HMP = 20,21; 19,54 dan 19,51%. Persilangan menyebabkan penurunan dari laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) dari domba Persilangan kecuali MHP yang ditunjukkan dengan keunggulan relatif berdasarkan model Logistik, Gompertz dan Von Bertalanffy
i
secara berurutan sebagai berikut: MP= -7,08;-4,42 dan -4,91% HP= -1,39; -0,73 dan -1,34% MHP= 6,28; 9,64 dan 7,18% HMP= -1,58; -0,39 dan -1,68%. Bobot dewasa (A) cenderung menurun pada domba Persilangan akibat dari proses interse mating yang juga menyebabkan terjadinya penurunan keunggulan relatif dari domba persilangan pada generasi selanjutnya. Sedangkan rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) mengalami perubahan yang sulit untuk diinterpretasikan karena jumlah data yang kurang yang juga menyebabkan pendugaan efek heterosis mempunyai bias yang besar selain karena pengaruh induk (maternal effect) serta kemungkinan adanya pengaruh maternal heterosis. Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan bahwa dalam studi pertumbuhan domba Priangan dan Persilangannya model Von Bertalanffy merupakan model paling utama yang disarankan untuk digunakan walaupun relatif lebih sulit dalam proses penghitungan. Berdasarkan kurva pertumbuhan domba MHP merupakan domba yang mempunyai prospek untuk dikembangkan lebih lanjut. Kata–kata kunci: kurva pertumbuhan, domba Priangan, persilangan, keunggulan relatif, heterosis
ii
ABSTRACT Growth Curve Analysis of Priangan Sheep and Crossbreds with St. Croix and Mouton Charollais Mauluddin D., R.R. Noor., I. Inounu Body weight data of Priangan (PP) and crossbreds with St. Croix (HH) and Mouton Charollais sheep (MM) (totally 488 heads, consisted of 149 Priangan Sheep, 115 St. Croix X Priangan (HP), 68 Mouton Charollais X Priangan (MP), 101 MP X HP (MHP) and 55 HM X HP (HMP) heads) were collected at Experimental Station in Indonesian Research Institute for Animal Production. The data were utilized for comparing three non linear growth curve models, i.e Logistic, Gompertz and Von Bertalanffy and the effect of genotype and environment on the goodness of fit, computational simplicity and growth curve parameters. Comparison of genotype, effect interse mating and estimate of heterosis effect were done using Least Square Means methods from growth curve parameter for each models. The results show that the Von Bertalanffy model had better goodness of fit when compared to Gompertz and Logistic models based on the value of Sum Squares Error, Mean Square Error and coefficients of determination, but the model more complicate to compute than the Gompertz and Logistic models regarding on iteration process. Logistic models had smaller standard error for the parameter that have biological interpretation mature size (A) and rate of maturing (k) than others in regard of it’s simplicity in computation. Mature size (A) in all models affected significantly (P<0.01) by genotype, year of birth, sex and type birth and rearing, except in logistic models affected significantly (P<0.05) by type of birth and rearing. Rate of maturing (k) was affected significantly (P<0.01) by year of birth in all models. B/M parameter (integration constant/shape parameter) in all models affected significantly (P<0.01) by year of birth, sex, parity and type of birth and rearing except for the B parameter in Von Bertalanffy model affected significantly (p<0.05) by sex. Crossbreeding increased the mature size (A) compared with Priangan sheep. Relative superiority of mature size (A) of the crossbreds sheep in Logistic, Gompertz and Von Bertalanffy models for MP = 20.6, 19.4 and 19.26 % for HP = 8.6, 8.17 and 8.08 % for MHP = 18.23, 16.92 and 16.94 % for HMP = 20.21, 19.54 and 19.51%, respectively. Crossbreeding decreased rate of maturing (k) of when compared to Priangan sheep. Relative superiority of rate of maturing (k) of the crossbreds sheep in Logistic, Gompertz and Von Bertalanffy models for MP= -7.08, -4.42 and -4.91% for HP =- 1.39, -0.73 and -1.34% for MHP = 6.28, 9.64 and 7.18% for HMP = -1.58, -0.39 and -1.68%, respectively. Mature size (A) tend to decrease in crossbreds sheep because of the interse mating process that make decreased in relative superiority of mature size (A) in the next generation. Rate of maturing (k) fluctuated heavily make it very difficult in biological interpretation because of small sample size that resulted large deviation in predicted heterosis values due to maternal effect and maternal heterosis. Based on this result, it is recommended that Von Bertalanffy model can be used to describe the growth curve model in Priangan sheep and the crossbreds although the model more complicate to compute. It’s indicated that MHP sheep has good prospect to develop further based on growth curve. Keywords: growth curve, Priangan sheep, crossbreeding, relative superiority, heterosis iii
ANALISIS KURVA PERTUMBUHAN DOMBA PRIANGAN DAN PERSILANGANNYA DENGAN ST. CROIX DAN MOUTON CHAROLLAIS
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Oleh : Dadan Mauluddin D14101024
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
Judul : ANALISIS KURVA PERTUMBUHAN DOMBA PRIANGAN DAN PERSILANGANNYA DENGAN ST. CROIX DAN MOUTON CHAROLLAIS Nama : Dadan Mauluddin NRP : D14101024
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Ronny. R. Noor, M.Rur.Sc NIP.131 624 188
Dr. Ir. Ismeth Inounu, MS NIP. 080 056 205
Mengetahui, Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ronny. R. Noor, M.Rur.Sc NIP.131 624 188
Tanggal Lulus : 27 September 2005
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Januari 1983 di Cianjur, Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Cucu Wiharna dan Ibu Ooy Roqayah. Pendidikan dasar diselesaikan Penulis pada tahun 1994/1995 di SDN Tegalsari yang dilanjutkan di bangku SMPN I Cikalongkulon yang diselesaikan pada tahun 1997/1998, kemudian jenjang pendidikan selanjutnya dijalani di SMUN I Cianjur yang diselesaikan pada tahun 2000/2001. Penulis pada tahun 2001 melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh kuliah di IPB penulis pernah mengikuti beberapa organisasi diantaranya di Himaproter sebagai staf bidang Kewirausahaan tahun 2002, serta pada tahun 2003 sebagai ketua Animal Breeding Club. Penulis mendapatkan penghargaan Genetic Award 2002 yang memberi kesempatan penulis untuk menjadi asisten mata kuliah Dasar Ilmu Genetika Ternak tahun 2003/2004 dan 2004/2005 yang diasuh oleh Pembimbing utama. Penulis juga menjadi asisten pada beberapa mata kuliah diantaranya: Reproduksi Ternak dan Inseminasi Buatan 2003/2004 dan 2004/2005, Ilmu Pemuliaan Ternak tahun 2003/2004, Teknik Laboratorium Ilmu Pemuliaan dan Genetika Ternak tahun 2004/2005, Budidaya Marmot dan Kelinci 2004/2005 dan Manajemen Produksi Ternak Ruminansia Kecil tahun 2004/2005. Pada tahun 2005 kemudian penulis diperbantukan menjadi asisten di Laboratorium Ternak Ruminansia Kecil.
vi
KATA PENGANTAR Segala Puji bagi Alloh SWT yang telah memberi saya kesempatan untuk belajar di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi diantara begitu banyak orang yang hanya bisa berharap untuk memperolehnya. Sholawat dan Salam semoga terus tercurah kepada contoh dan panutan kita yang aplikatif dalam setiap segmen kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW. Skripsi ini hanya merupakan karya kecil dari seorang manusia yang tidak tahu apa-apa yang mencoba mengambil atom-atom dari setitik ilmu Alloh Yang Maha Mengetahui. Skripsi ini pun tidak akan ada tanpa bantuan dari banyak tangan karena tulisan ini hanya merupakan kajian dari proses pertumbuhan dari data yang berasal dari program persilangan yang panjang dan melelahkan. Mengolah ribuan data dari ratusan ternak memang melelahkan tetapi sangat jauh lebih melelahkan dibandingkan proses pemeliharaan, penimbangan dan pengumpulan data selama bertahun-tahun. Penghargaan dan rasa hormat bagi seluruh staf dari mulai tingkat bawah sampai pejabat teras Balai Penelitian Ternak Ciawi terutama yang berkaitan dengan proyek pembentukan bangsa domba komposit ini. Karya ini bukan merupakan sesuatu yang baru untuk dunia peternakan di luar negeri namun kajian ini relatif langka di Indonesia. Semoga karya ini bukan merupakan karya terakhir dari penulis dan semoga dapat bermanfaat bagi pengembangan peternak domba dan dunia peternakan Indonesia pada umumnya. Sebagai karya seorang manusia yang mempunyai banyak keterbatasan skripsi ini pasti banyak kekurangan dan kesalahan oleh sebab itu saran dan kritik bagi perbaikan untuk karya selanjutnya sangat diharapkan.
Bogor, September 2005
Dadan Mauluddin
vii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN……………………………………………………………
i
ABSTRACT……………………………………………………………...
iii
RIWAYAT HIDUP………………………………………………………
vi
KATA PENGANTAR…………………………………………………...
vii
DAFTAR ISI…………………………………………………………….
viii
DAFTAR TABEL……………………………………………………….
x
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………
xii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….
xiii
PENDAHULUAN……………………………………………………….
1
Latar Belakang…………………………………………………… Tujuan…………………………………………………………..... Manfaat………………………………………………………….. Hipotesis……………………………………………………….... TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….... Domba Priangan………………………………………………..... Persilangan……………………………………………………..... Domba St. Croix………………………………………………..... Domba Mouton Charollais………………………………………. Evaluasi Hasil Persilangan……………………………………..... Pertumbuhan Domba…………………………………………….. Evaluasi Sifat Pertumbuhan……………………………………... Kurva Pertumbuhan Non Linear…………………………………. Model Logistik…………………………………………………... Model Gompertz………………………………………………… Model Von Bertalanffy………………………………………….. Proses Pendugaan Parameter Kurva Pertumbuhan........................ Pengaruh Genotipe dan Lingkungan terhadap Parameter Kurva Pertumbuhan……………………………………………………..
1 3 3 4 5 5 7 8 9 10 11 13 14 16 17 18 19 20
METODE PENELITIAN………………………………………………..
22
Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………. Ternak Penelitian………………………………………………... Pemberian Pakan………………………………………………... Penanganan Anak……………………………………………….. Bagan Analisis Data…………………………………………….. Analisis Data……………………………………………………. Data yang Digunakan……………………………………. Analisis Kurva Pertumbuhan………………………….... Interpretasi Biologis Parameter Kurva Pertumbuhan……
22 22 23 23 24 27 27 27 28 viii
Penentuan Titik Infleksi…………………………………. Penggunaan Program Komputer…………..…………….. Turunan Parsial Parameter Kurva Pertumbuhan…………
29 29 30
Metode Pendugaan Parameter Kurva Pertumbuhan Dengan Proses Iterasi dalam Penelitian yang Dilakukan…………………
31
Metode Perbandingan Model Non Linear……………………….. Jumlah Iterasi……………………………………………. Standard Error Parameter.................................................. Jumlah Kuadrat Sisa……………………………………… Kuadrat Tengah Sisa……………………………………... Koefisien Determinasi…………………………………….
32 32 32 33 33 33
Pengaruh Genotipe dan Lingkungan Terhadap Simpangan Baku, Tingkat Keakuratan dan Parameter Kurva Pertumbuhan…………
34
Perbandingan Antar Parameter Kurva Pertumbuhan………...……
35
Metode Perbandingan Parameter Kurva Pertumbuhan antar Genotipe Ternak………………………………………………….
36
Perbandingan Parameter Kurva Pertumbuhan antar Generasi yang Berbeda…………………………………………………….. Pendugaan Efek Heterosis Berdasarkan Performans Ternak Persilangan Beda Generasi..…………..………………………….
38
HASIL DAN PEMBAHASAN...…………………………………...........
39
37
Perbandingan Antar Model……………………………………….. Tingkat Kemudahan Penghitungan……………………….. Perbandingan Model dalam Tingkat Keakuratan………….
39 39 41
Perbandingan Antar Model dalam Estimasi Parameter Kurva Pertumbuhan……………………………………….
47
Karakteristik Pertumbuhan Domba Priangan dan Persilangannya..
52
Perbandingan Parameter Kurva Pertumbuhan Domba Persilangan pada Generasi yang Berbeda……………………………………… Perbandingan Keunggulan Relatif Domba Persilangan pada Generasi yang Berbeda….…………………………... Pendugaan Efek Heterosis Berdasarkan Perbandingan antar Generasi Domba Persilangan..……………………….
71
KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………........
75
UCAPAN TERIMAKASIH……………………………………………….
77
DAFTAR PUSTAKA…..………………………………………………….
78
LAMPIRAN……………………………………………………………….
82
60 68
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Model Matematik Kurva Pertumbuhan………………………….
28
2. Titik Infleksi Tiap Model Non Linear…………………………....
29
3. Turunan Parsial Model Logistik………………………………......
31
4. Turunan Parsial Model Gompertz………………………………..
31
5. Turunan Parsial Model Von Bertalanffy………………………….
31
6. Rataan Jumlah Iterasi Tiap model…………………………………
39
7. Rataan Nilai Korelasi Antar Parameter Tiap Model………………
41
8. Rataan Kuadrat Tengah Terkecil Standard Error Parameter……..
41
9. Pengaruh Genotipe dan Lingkungan Terhadap Standard Error Parameter………………………………………………………....
43
10. Rataan Kuadrat Terkecil Tingkat Keakuratan dalam Penjelasan Data Lapangan……………………………………………………
44
11. Pengaruh Genotipe dan Lingkungan Terhadap Keakuratan Model…………………………………………………………….
46
12. Perbandingan Rataan Kuadrat Terkecil Parameter Kurva Pertumbuhan …………………………………………………….
47
13. Pengaruh Genotipe dan Lingkungan Terhadap Parameter Kurva Model Logistik…………………………………………………. .
48
14. Pengaruh Genotipe dan Lingkungan Terhadap Parameter Kurva Model Gompertz .……………………………………………….
49
15. Pengaruh Genotipe dan Lingkungan Terhadap Parameter Kurva Model Von Bertalanffy………………………………………….
50
16. Parameter Kurva Pertumbuhan Menggunakan Model Logistik...
52
17. Keunggulan Relatif Domba Persilangan dengan Menggunakan Model Logistik………………………………………………….
53
18. Parameter Kurva Pertumbuhan dengan Menggunakan Model Gompertz………………………………………………………..
54
19. Keunggulan Relatif Domba Persilangan dengan Menggunakan Model Gompertz………………………………………………...
55
20. Parameter Kurva Pertumbuhan dengan Menggunakan Model Von Bertalanffy…………………………………………………
56
21. Keunggulan Relatif Domba Persilangan dengan Menggunakan Model Von Bertalanffy…..……………………………………..
57
x
Nomor
Halaman
22. Parameter Kurva Pertumbuhan pada Berbeda Generasi Menggunakan Model Logistik…………………………………..
60
23. Parameter Kurva Pertumbuhan pada Berbagai Generasi Menggunakan Model Gompertz .....…………………………….
62
24. Parameter Kurva Pertumbuhan pada Berbagai Generasi Menggunakan Model Von Bertalanffy………………………….
65
25. Fluktuasi Keunggulan Relatif Parameter A (Bobot Dewasa) dan k (Rataan Laju Pertumbuhan Menuju Bobot Dewasa) pada Tiga Generasi Menggunakan Model Logistik………………….
68
26. Fluktuasi Keunggulan Relatif Parameter A (Bobot Dewasa) dan k (Rataan Laju Pertumbuhan Menuju Bobot Dewasa) pada Tiga Generasi Menggunakan Model Gompertz………………..
69
27. Fluktuasi Keunggulan Relatif Parameter A (Bobot Dewasa) dan k (Rataan Laju Pertumbuhan Menuju Bobot Dewasa) pada Tiga Generasi Menggunakan Model Von Bertalanffy..………..
70
28. Efek Heterosis Berdasarkan Generasi Pembanding yang Berbeda Menggunakan Model Logistik……………………….
71
29. Efek Heterosis Berdasarkan Generasi Pembanding yang Berbeda Menggunakan Model Gompertz……………………..
72
30. Efek Heterosis Berdasarkan Generasi Pembanding yang Berbeda Menggunakan Model Von Bertalanffy…..…………..
73
xi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Skema Pembentukan Bangsa Komposit…………………………….
22
2. Diagram Alir Metode Analisis Data………………………………...
24
3. Grafik Rataan Simpangan Data Tiap Model………………………... 45 4. Kurva Pertumbuhan Domba Priangan dan Persilangannya Menggunakan Model Logistik……………………………………..
52
5. Kurva Pertumbuhan Domba Priangan dan Persilangannya Menggunakan Model Gompertz……….…………………………..
54
6. Kurva Pertumbuhan Domba Priangan dan Persilangannya Menggunakan Model Von Bertalanffy....…………………………..
56
7. 8. 9.
Kurva Pertumbuhan Domba Persilangan pada Generasi yang Berbeda Menggunakan Model Logistik…………………………….
61
Kurva Pertumbuhan Domba Persilangan pada Generasi yang Berbeda Menggunakan Model Gompertz ….……………………...
64
Kurva Pertumbuhan Domba Persilangan pada Generasi yang Berbeda Menggunakan Model Von Bertalanffy………………..….
66
xii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2. 3.
Halaman
Program Untuk Analisis Data Kurva Pertumbuhan Model Logistik Melalui Program Proc NLIN SAS...………………
82
Program Untuk Analisis Data Kurva Pertumbuhan Model Gompertz Melalui Program Proc NLIN SAS...…………….
83
Program Untuk Analisis Data Kurva Pertumbuhan Model Von Bertalanffy Melalui Program Proc NLIN SAS …………..
84
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Peternakan domba sebagai salah satu komoditi penghasil pangan berupa daging mempunyai peluang yang sangat besar menjadi produk unggulan untuk memenuhi permintaan daging dalam negeri maupun ekspor. Usaha peternakan domba mempunyai keistimewaan yaitu kestabilan dari segi ekonomi karena input yang digunakan berasal dari sumberdaya lokal diantaranya pakan dan bibit. Indonesia memiliki bangsa domba lokal yang mempunyai keistimewaan yang luar biasa diantaranya domba Priangan, Ekor Gemuk dan domba Ekor Tipis. Domba Priangan merupakan domba yang memiliki keistimewaan diantaranya daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan, jumlah anak sekelahiran yang banyak, kawin sepanjang tahun dan memiliki bobot yang relatif lebih besar dibandingkan domba lokal lainnya (Mason, 1980., Gatenby, 1991 dan Inounu, 1993). Keistimewaan yang dimiliki domba Priangan menjadikan domba tersebut perlu untuk dipertahankan sebagai plasma nutfah peternakan Indonesia. Selain memiliki keistimewaan domba Priangan juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya jumlah anak yang banyak selalu diikuti dengan kematian yang tinggi sehingga pemasukan ekonomi peternak menjadi berkurang. Bobot badan domba Priangan juga relatif kecil sehingga mengakibatkan belum dapat memenuhi standar domba untuk pasar non tradisional dan ekspor disamping itu kelemahan lainnya adalah pertumbuhannya yang lambat. Penyebab kelemahan tersebut dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor genetik dari domba tersebut. Upaya perbaikan genetik dapat dilakukan dengan cara seleksi dan persilangan. Upaya seleksi harus terus dilaksanakan akan tetapi usaha tersebut memerlukan waktu yang relatif lama dalam meningkatkan produktifitas domba, selain itu ada beberapa sifat yang kurang menunjukkan respon terhadap seleksi karena nilai heritabilitas yang rendah. Persilangan apabila dilakukan dengan benar dapat menjadi cara yang cepat untuk meningkatkan mutu genetik karena dapat mengintroduksi gen yang diinginkan dari ternak lainnya dan membentuk nilai dari kombinasi gen-gen yang berasal dari bangsa murni (breed complementary) dan efek heterosis. Persilangan ternak lokal dengan ternak luar harus dilakukan secara hati-hati jangan sampai ternak lokal 1
Indonesia punah. Hasil persilangan tersebut juga harus diuji terlebih dahulu dalam skala laboratorium sebelum diterapkan ke masyarakat. Balai Penelitian Ternak telah melakukan persilangan domba Priangan dengan domba St. Croix dan Mouton Charollais. Tujuan dari persilangan tersebut adalah untuk dapat memperbaiki kualitas genetik domba yang dihasilkan. Domba Priangan yang memiliki kematian anak yang tinggi diharapkan dengan dimasukkannya gen dari domba Mouton Charollais yang membawa sifat produksi susu yang tinggi sehingga dapat meningkatkan daya hidup anak. Daya tahan terhadap panas juga diinginkan dari domba hasil persilangan tersebut dengan cara disilangkan dengan domba St. Croix yang mempunyai bulu yang pendek sehingga mudah melepaskan panas. Bobot badan dan pertumbuhan yang cepat juga diharapkan dapat meningkat karena gen dari kedua domba bangsa eksotis ini (Inounu, 1996). Evaluasi genetik dan perbandingan domba persilangan tersebut telah banyak dilakukan namun evaluasi terhadap kurva pertumbuhan belum banyak dilakukan. Kemajuan ilmu statistik membuat sebuah model matematika telah terbukti dapat menggambarkan model dari suatu pertumbuhan. Model kurva pertumbuhan yang digambarkan dalam bentuk persamaan matematik hubungan antara pertumbuhan dengan waktu yang menggambarkan kemampuan suatu ternak atau genotipe ternak untuk tumbuh dalam suatu lingkungan. Model yang baik selain akurat secara statistik juga mempunyai interpretasi secara biologis yang bermanfaat dalam studi bidang peternakan. Model persamaan yang sering digunakan dalam hubungan pertumbuhan dengan waktu diantaranya yaitu model Brody, Gompertz ,Von Bertalanffy, logistik dan Richards (Brown et al., 1976) . Model Logistik, Gompertz dan Von Bertalanffy sering digunakan sebagai model pertumbuhan karena mempunyai kelebihan dalam tingkat keakuratan dan mempunyai interpretasi biologis yang baik dalam menjelaskan fenomena biologis, diantaranya umur titik infleksi dan bobot pada saat titik infleksi walaupun tidak seakurat model Richards dan semudah model Brody. Perbandingan antar model perlu dilakukan untuk mengevaluasi kemudahan proses penghitungan dan tingkat keakuratan dari model tersebut untuk menggambarkan hubungan antara pertumbuhan dan waktu karena hal tersebut sangat dipengaruhi oleh spesies, bangsa dan kondisi lingkungan ternak. Model kurva pertumbuhan tersebut 2
mempunyai manfaat diantaranya dapat memperkirakan umur pada saat bobot potong optimal serta bisa digunakan sebagai parameter dalam metode seleksi pada waktu pra sapih dan berguna untuk menganalisa efisiensi produksi ternak tersebut selama hidup (Lifetime production efficiency). Perbandingan parameter dalam kurva pertumbuhan non linear dari domba hasil persilangan bertujuan untuk mengevaluasi salah satu keberhasilan dari tujuan persilangan tersebut yaitu untuk mempercepat pertumbuhan dan tercapainya standar bobot domba untuk pasar non tradisional lokal dan ekspor. Perbandingan parameter kurva pertumbuhan dari domba persilangan pada generasi yang berbeda menjadi hal perlu untuk dikaji, sehingga bisa dianalisis pengaruh dari proses interse mating yang bertujuan untuk membuat mantap komposisi genetik dari domba hasil persilangan tersebut. Tujuan Penelitian ini bertujuan membandingkan beberapa model kurva pertumbuhan non linear berdasarkan kemudahan dan tingkat keakuratan dalam menggambarkan data di lapangan pada domba Priangan dan persilangannya. Perbandingan parameter antar bangsa domba juga dilakukan untuk mengevaluasi keberhasilan persilangan yang dilakukan. Pengaruh interse mating dari domba persilangan juga dipelajari pengaruhnya terhadap parameter kurva pertumbuhan. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai acuan model terbaik yang bisa digunakan untuk menggambarkan hubungan proses pertumbuhan pada domba Priangan dan persilangannya serta evaluasi hasil persilangan.
3
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini yaitu : 1. Model kurva pertumbuhan yang berbeda akan memberikan tingkat keakuratan dan kemudahan yang berbeda dalam menggambarkan data lapang dari domba Priangan dan Persilangannya dengan St. Croix dan Mouton Charollais. 2. Parameter kurva pertumbuhan antar Genotipe akan memberikan nilai yang berbeda
dan
terdapat
keunggulan
performans
domba
Persilangan
dibandingkan domba Priangan 3. Parameter kurva pertumbuhan domba Persilangan akan mempunyai nilai berbeda pada generasi yang berbeda selama proses interse mating.
4
TINJAUAN PUSTAKA Domba Priangan Menurut Mason (1980) dan Gatenby (1991) di Indonesia ada tiga bangsa domba utama yaitu domba Ekor Tipis (Javanese Thin Tailed), domba Ekor Gemuk (East Java Fat Tailed) dan Priangan, domba-domba tersebut telah beradaptasi sejak lama terhadap lingkungan dan manajemen tradisional. Domba di Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa (Mason, 1980). Dombadomba tersebut sudah diakui mempunyai kelebihan dari segi genetik dan menjadi sumber plasma nutfah yang sangat berharga. Kelebihan yang sudah terkenal pada domba tersebut adalah mempunyai daya reproduksi yang tinggi di lingkungan yang marginal dan manajemen tradisional yang tidak bisa ditunjukkan oleh domba lainnya (Mason, 1980). Performans tersebut salah satunya disebabkan faktor mayor gen FecJ yang secara nyata berpengaruh terhadap performans reproduksi (Inounu et al., 1993). Domba Priangan merupakan domba lokal Indonesia yang mempunyai ciri-ciri bobot badan yang relatif lebih besar dari pada domba lokal lainnya, bentuk muka yang cembung (konveks), sebagian besar mempunyai telinga yang rumpung (rudimenter), tanduk yang besar dan melingkar, warna yang bervariasi, terdapat bulu pada leher sampai dada dan perbedaan dengan domba ekor tipis yaitu pangkal ekor yang terdapat deposit lemak (Mason, 1980). Profil tersebut menyerupai dengan catatan sejarah dalam prasasti candi Prambanan pada tahun 800 M telah terdapat di Indonesia (Riwantoro, 2005). Sedangkan Merkens dan Soemirat (1926) menyatakan bahwa Domba Priangan merupakan hasil Persilangan antara domba Lokal, Merino dan domba dari Afrika yang kemungkinan besar domba bangsa ekor gemuk Afrikander yang terjadi pada tahun 1864 ketika pemerintahan Belanda mengimpor domba Merino dari Australia. Domba tersebut dipelihara oleh K.F. Holle dan pada tahun 1886 disebarluaskan ke masyarakat di Garut dan sekitarnya. Sebagian ahli membedakan antara domba Garut dan Priangan berdasarkan ada atau tidaknya daun telinga. Para ahli tersebut menyatakan domba Garut lebih sering mempunyai telinga rumpung (rudimenter) atau pendek dibandingkan domba Priangan, namun sebagian besar ahli tidak mempermasalahkannya dan menyatakan sama antara domba Garut dan Priangan (Mason, 1980).
5
Domba Priangan merupakan salah satu domba prolifik tropis yang tetap bisa menunjukkan keistimewaannya tersebut walaupun dipelihara di lingkungan manajemen tradisional dengan pertumbuhan yang relatif baik (Mason, 1980). Menurut laporan yang diberikan oleh Subandriyo (1990) jumlah anak sekelahiran dari domba tersebut dilingkungan pedesaan di Garut sebesar 1,81 ekor anak per sekelahiran dengan total bobot anak untuk kelahiran tunggal 3,1 kg; kembar dua 5,1 kg dan kembar tiga 5,5 kg, laporan lain menyebutkan bahwa jumlah anak sekelahiran pada kondisi pedesaan di kecamatan Sukawargi, Garut mempunyai rataan 1,92±0,53 ekor per sekelahiran (Bell et al., 1983). Dalam laporan lain Subandriyo et al.(1985) melaporkan di lingkungan pedesaan bobot lahir domba Priangan adalah 4,6 kg dengan bobot sapih 17,9 kg. Menurut Merkens dan Soemirat (1926) dalam laporannya mengungkapkan bahwa bobot badan betina dewasa dari Domba Priangan adalah 30-40 kg sedangkan jantan dewasa 60-80 kg yang relatif lebih besar dibandingkan domba lokal lainnya di Indonesia. Subandriyo (1986) melakukan penelitian terhadap domba Priangan di beberapa desa di Garut menemukan bahwa domba betina saat kawin pertama mempunyai rataan 25,7 kg untuk kecamatan Wanaraja dan 25,4 kg untuk kecamatan Cisurupan. Bobot badan domba Priangan masih sangat beragam bila dilihat dari berbagai laporan hal tersebut bisa disebabkan faktor genetik yang masih beragam (karena belum terseleksi dengan baik) juga adanya perbedaan perlakuan yang sangat mencolok (Mason, 1980). Kelebihan yang dimiliki oleh domba Priangan tersebut menjadikan domba tersebut harus terus dijaga kelestariannya demi terjaganya ketahanan pangan hewani. Pencegahan terhadap kepunahan domba Priangan tersebut tidak menjadikan upaya untuk meningkatkan produktifitas domba tersebut harus terhenti begitu saja (Inounu et al., 1998). Domba Priangan mempunyai beberapa kelemahan diantaranya jumlah anak yang banyak selalu diikuti dengan jumlah kematian yang tinggi yang disebabkan produksi susu induk yang rendah serta bobot badan yang relatif lebih kecil dan pertumbuhan yang lambat dibanding domba temperate sehingga belum mampu mencapai bobot standar yaitu 35 kg secara cepat (standar 9 bulan) (Inounu et al., 1998).
6
Perbaikan produksi dari domba Priangan tersebut dapat dilakukan melalui perbaikan lingkungan seperti kualitas pakan namun hal tersebut akan menjadi sia-sia apabila perbaikan tersebut dibatasi oleh kapasitas genetik yang tidak memungkinkan tercapainya target tersebut, sehingga upaya perbaikan genetik pun harus dilakukan. Upaya Perbaikan genetik seperti yang telah diketahui dapat dilakukan dengan dua cara yaitu seleksi dan persilangan (Bourdon, 1997., Noor, 2000). Upaya seleksi dalam bangsa merupakan metode yang paling aman untuk meningkatkan kualitas genetik tanpa takut akan punahnya ternak lokal (terutama untuk daerah tropis yang kebanyakan negara berkembang) karena pencemaran genetik demi terjaganya sumber plasma nutfah ternak lokal (Kogsey, 2004) termasuk pada domba Priangan. Metode tersebut memerlukan waktu yang lama dan tidak semua sifat mempunyai respon yang tinggi terhadap seleksi, tetapi metode tersebut harus terus dilakukan. Upaya Persilangan
yang
dilakukan
secara
hati-hati
menjadi
cara
yang
perlu
dipertimbangkan untuk meningkatkan produktifitas domba Priangan (Inounu et al., 1998). Persilangan Salah satu metode untuk meningkatkan mutu genetik ternak selain seleksi adalah dengan persilangan yaitu dengan mengawinkan ternak dari bangsa yang berbeda (Bourdon, 1997., Noor, 2000). Keuntungan yang diperoleh dari persilangan yaitu mendapatkan efek yang saling melengkapi (breed complementary) untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang dimiliki bangsa murni sehingga ternak yang dihasilkan diharapkan memiliki kelebihan dari bangsa berbeda yang terkumpul dalam satu bangsa dan kekurangannya ditutupi oleh kelebihan bangsa lain (Bourdon, 1997). Keuntungan lain dari persilangan adalah efek heterosis atau hybrid vigor yaitu perbedaan rataan performans ternak persilangan dengan rataan performans kedua tetua. Efek tersebut kemungkinan disebabkan oleh efek gen non aditif yang timbul karena adanya kombinasi genetik (Genetic Combination Value) yaitu efek dominan, overdominan dan epistasis (Bourdon, 1997). Persilangan juga digunakan dalam metode untuk pembentukan bangsa baru. Setelah melalui persilangan pertama yang akan menghasilkan generasi pertama biasanya performans ternak akan melebihi rataan performans tetua karena efek 7
heterosis (Leymaster, 2003), namun dalam pembentukan bangsa baru domba persilangan tersebut harus dimantapkan dahulu komposisi genetiknya dengan cara perkawinan dalam satu genotipe ternak persilangan dalam satu generasi (interse mating) yang akan mengurangi efek heterosis karena akan semakin homogennya komposisi gen domba persilangan tersebut (Bourdon, 1997). Persilangan bangsa domba luar dengan domba lokal yang telah dilakukan di Indonesia diantaranya persilangan domba Sumatera dengan St. Croix dan Barbados Blackbelly yang bertujuan membentuk bangsa baru (Subandriyo et al.,1996) dan persilangan Domba Priangan dengan St. Croix dan Mouton Charollais (Inounu et al., 1998) domba-domba Persilangan tersebut diharapkan memiliki performans yang lebih baik dibanding domba lokal. Domba St. Croix St. Croix atau disebut juga White Virgin Island Sheep dikenal sebagai hair sheep (domba berambut), sehingga memiliki daya adaptasi terhadap panas yang baik karena kemudahan dari rambutnya untuk melepaskan panas (Mason, 1980). Menurut Mason (1980) Domba tersebut banyak terdapat di daerah kepulauan Virginia Amerika Serikat (U.S Virgins Islands) maupun kepulauan Virgin milik Inggris (British Virgins Islands). Menurut standar dari breeder domba St. Croix mempunyai berat lahir 6-7 pon (3,5 kg), dewasa jantan bisa mencapai 200 pon (100 kg) sedangkan betina dewasa 150 pon (75 kg) (St. Croix Hair Sheep International Society, 2005), tetapi Thomas (1991) menyatakan bahwa domba St croix mempunyai bobot dewasa untuk jantan 45 kg dan betina 35 kg. Dijelaskan pula bahwa domba St. Croix mempunyai bulu warna putih namun Thomas (1991) menyatakan
sebagian ada yang berwarna cokelat
kemerahan (tan), coklat, hitam dan putih berbintik coklat atau hitam. Domba ini memiliki laju fertilitas 150-200% meskipun kelahiran dua kali dalam setahun jarang (Thomas, 1991). Domba tersebut juga termasuk domba prolifik dengan jumlah anak sekelahiran 1,44-1,84 dengan bobot lahir 2,6-2,9 kg rataan bobot sapih 12 kg (Fahmy, 1996) standar yang tidak terlalu beda juga diberikan oleh St. Croix Hair Sheep International Society (2005). Umur domba St. Croix mencapai pubertas ditempat asalnya antara 6 sampai 9 bulan tergantung nutrisi dan musim beranak (Wildeus, 1997). 8
Domba St. Croix sering digunakan sebagai tetua dalam persilangan untuk menghasilkan domba yang lebih tahan terhadap penyakit internal (St. Croix Hair Sheep International Society, 2005) seperti dalam pembentukan domba bangsa Katahdin yang juga diseleksi untuk domba prolifik, karkas domba dewasa yang lebih baik dan tahan lingkungan panas (Wildeus, 1997). Sehingga St. Croix digunakan untuk persilangan dengan domba Priangan untuk membentuk bangsa domba yang lebih tahan panas dan bobot yang lebih besar (Nafiu, 2003). Domba Mouton Charollais Domba Mouton Charollais dikembangkan oleh Benoit D’azy di daerah Nievre, Perancis pada tahun 1825 merupakan hasil persilangan antara Leicester Longwool dengan domba lokal Landrace. Dinamakan Charollais pada tahun 1963 dan diakui sebagai bangsa pada tahun 1974 (Farid and Fahmy, 1996). Charollais termasuk ternak domba yang besar, domba jantan mempunyai bobot badan 100-150 kg dan betina 75-95 kg, jumlah anak sekelahiran 1,37-1,72 ekor per induk pada paritas pertama tergantung umur induk sedangkan pada induk dewasa rata-rata 1,85 ekor per induk bahkan dalam kondisi manajemen yang baik dapat mencapai 2,23 ekor per induk. Persentase tipe kelahiran yang terjadi pada domba Mouton Charollais adalah 60 % anak lahir kembar, 30% tipe kelahiran tunggal dan 10% tipe kelahiran triplet dan quadruplet dengan bobot umur 70 hari secara berurutan 26,5; 24,9; 22,3 dan 21,2 kg (Farid and Fahmy, 1996). Menurut Charollais Sheep Breeder Society (2005) bobot badan saat dewasa mengungkapkan data yang mirip yaitu bobot dewasa untuk jantan 110-165 kg sedangkan betina 90 kg, jumlah anak sekelahiran domba 1,8-2,0 ekor per induk tergantung paritas. Pada anak tunggal bobot badan anak rata-rata 5 kg per ekor sedangkan untuk tipe kelahiran kembar dua 4 kg per ekor dan kembar tiga 3,5 kg per ekor. Domba Mouton Charollais walaupun termasuk domba pedaging namun domba tersebut mempunyai jumlah anak sekelahiran yang banyak (Prolifik) dan produksi susu yang tinggi sehingga domba tersebut sering dikategorikan tipe dwiguna. Semen dan embrio domba tersebut telah diekspor berbagai negara diantaranya ke Jerman, Swiss, Spanyol, Portugal, Inggris, Canada, China, termasuk Indonesia (Farid and Fahmy, 1996). Menurut Farid dan Fahmy (1996) Charollais 9
sering digunakan dalam program persilangan untuk memperbaiki mutu genetik domba agar dapat menghasilkan bobot standar pasar. Selain itu anak domba hasil persilangan tersebut bisa lebih meningkat dari segi kualitas karkas, perlemakan yang lebih lean dan lebih bernilai berdasarkan potongan komersial (Charollais Sheep Breeder Society, 2005). Dimasukannya gen dari domba Mouton Charollais dengan persilangan performa domba komposit yang dihasilkan akan mempunyai performa yang lebih dibanding domba lokal (Priangan) yaitu meningkatnya daya hidup anak karena meningkatnya produksi susu dan pertumbuhan yang lebih cepat (Inounu et al., 1998). Evaluasi Hasil Persilangan Tujuan utama dari program persilangan yaitu meningkatnya performans produksi dari ternak murni. Menurut Bourdon (1997) keuntungan dari persilangan dapat diperoleh melalui efek heterosis dan efek komplemen (saling melengkapi). Evaluasi efek heterosis biasanya dilakukan oleh banyak peneliti namun dalam program persilangan di daerah tropis yang kebanyakan negara berkembang efek tersebut sulit dan jarang dievaluasi karena tidak diketahuinya performans salah satu tetua pada lingkungan yang sama (karena hanya mengimpor semennya saja) atau jumlah yang sangat terbatas (Wiener, 1994). Menurut Leymaster (2003) evaluasi sederhana dapat dilakukan dengan membandingkan ternak persilangan dengan salah satu tetuanya. Nafiu (2003) melakukan metode perbandingan yang sama yaitu dengan menggunakan konsep keunggulan relatif. Konsep Keunggulan relatif tersebut pada dasarnya merupakan gabungan antara efek komplemen (saling melengkapi) yang disebabkan oleh efek gen aditif dari tiap bangsa dan heterosis yang dapat ditampilkan dalam lingkungan tersebut. Keunggulan relatif tersebut bisa dijadikan acuan keberhasilan persilangan dalam meningkatkan performans ternak lokal. Proses interse mating merupakan upaya untuk memantapkan komposisi genetik ternak hasil persilangan. Proses tersebut merupakan perkawinan antar ternak persilangan tersebut. Komposisi genetik yang lebih seragam biasanya akan menurunkan efek heterosis yang diperoleh ternak persilangan pada generasi pertama karena efek heterosis dihasilkan karena efek gabungan antara efek dominan, over dominance dan epistasis (Noor, 2000., Bourdon, 1997). 10
Heterosis merupakan selisih antara rataan ternak persilangan dibandingkan dengan rataan tetua (Noor, 2000., Bourdon, 1997). Pendugaan nilai tersebut jika performans salah satu tetua tidak diketahui dapat dilakukan berdasarkan konsep penurunan efek heterosis akibat proses interse mating (Wiener, 1994). Penurunan efek heterosis akibat interse mating dengan kombinasi 2 bangsa akan menurunkan efek heterosis sebesar 1/2 efek heterosis sedangkan bila menggunakan 3 bangsa komposit akan menurunkan 1/3 efek heterosis pada generasi selanjutnya (Bourdon, 1997). Metode pendugaan nilai 100% heterosis dapat dilakukan dengan proses penghitungan sederhana berdasarkan penurunan performans ternak persilangan pada generasi selanjutnya yang diasumsikan karena efek heterosis (Wiener, 1994). Metode tersebut bahkan mempunyai kelebihan (daripada hanya membandingkan dengan salah satu tetua) karena biasanya didaerah tropis (termasuk Indonesia) walaupun ternak persilangan meningkat dari segi genetik namun perlakuan manajemen dan kebutuhan pakannya tidak berubah sama dengan ternak lokal sehingga performans ternak tersebut tidak maksimum sesuai kemampuan genetiknya (Wiener, 1994). Evaluasi persilangan domba Priangan dengan St Croix dan Mouton Charollais telah dilakukan dalam beberapa aspek diantaranya Reproduksi, Produksi maupun aspek genetik (Inounu, 2001 dan Nafiu, 2003). Evaluasi dalam proses pertumbuhan juga telah dilakukan namun belum mencakup proses pertumbuhan sampai dewasa atau seumur hidup domba persilangan tersebut. Pertumbuhan Domba Proses pertumbuhan merupakan hal sangat penting dalam tujuan produksi dari ternak pedaging karena dalam proses pertumbuhan termasuk diantaranya proses deposisi lemak dalam otot yang menjadi penting yang sangat berpengaruh secara ekonomis (Owens et al.,1993). Studi dalam proses pertumbuhan ternak menjadi bahan kajian dari berbagai bidang ilmu diantaranya biokimia, fisiologi, endokrinologi, genetika, nutrisi dan manajemen ternak (Owens et al.,1993). Pertumbuhan secara sederhana biasanya didefinisikan sebagai proses penambahan sel. Menurut Owens et al.(1993) pertumbuhan bukan hanya penambahan sel (Hiperplasia) karena pengukuran pertumbuhan berdasarkan bobot jadi pertumbuhan juga terdapat pembesaran sel (Hipertropi) dan integrasi bahanbahan dari lingkungan melalui pakan. Lebih jelas lagi pertumbuhan menurut Brody 11
(1945) adalah suatu sintesis biologis, produksi dari unit biokimia yang mengandung aspek perkembangan substansi basal kehidupan yang meliputi satu atau semua dari tiga proses biologis diantaranya adalah (1) perbanyakan sel (2) perbesaran dan pemanjangan sel dan (3) Integrasinya bahan-bahan yang berasal dari lingkungan. Pertumbuhan mempunyai perbedaan dengan perkembangan, Pertumbuhan didefinisikan secara sederhana oleh Butterfield (1988) sebagai terjadinya perubahan ukuran dalam organisme sebelum mencapai dewasa, sedangkan perkembangan adalah produk hasil perbedaan pertumbuhan dari masing-masing bagian dalam suatu organisme. Perbedaan pertumbuhan di setiap bagian sangat tergantung pada fungsi dari bagian tersebut (Brody, 1945). Menurut Brody (1945) fase pertumbuhan suatu ternak mempunyai dua fase yaitu (1) fase sebelum puber (pre pubertal) (2) fase sesudah puber sampai dewasa (post pubertal). Pada fase self-accelerating phase (percepatan pertumbuhan) yaitu pada saat pre pubertal pertumbuhan mengalami percepatan dalam pertumbuhan berbeda setelah proses pertumbuhan mengalami titik infleksi (biasanya ternak pada saat puber) pertumbuhan mengalami proses self-inhibiting phase (perlambatan pertumbuhan). Titik peralihan dari proses tersebut dinamakan titik infleksi. Titik tersebut mengindikasikan beberapa hal yaitu (1) titik terdapatnya pertumbuhan maksimal dari ternak (2) umur pada saat pubertas (3) titik terendah dalam mortalitas; dan (4) titik tersebut bisa digunakan dalam determinasi geometris dalam perbandingan antar spesies (Brody, 1945). Pernyataan berbeda diungkapkan oleh Pittrof et al., (1999) yang melakukan penelitian pada domba dengan perlakuan pakan yang berbeda memberikan titik yang berbeda antara titik infleksi pertumbuhan dan titik pada saat estrus pertama / pubertas (yang diindikasikan oleh level progesteron dalam darah). Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa titik infleksi sangat membingungkan untuk dijadikan indikasi titik terjadinya pubertas karena terlalu banyak faktor yang mempengaruhi (Pittrof et al., 1999) Domba Priangan dilaporkan oleh Merkens dan Soemirat (1926) mempunyai bobot lahir yang relatif rendah yaitu 2 kg, dan secara biologis memiliki laju pertumbuhan yang lambat dan berjalan dalam waktu yang relatif lama dibandingkan domba Eropa. Domba Priangan masih menunjukkan adanya pertumbuhan sampai 12
ternak mencapai 2 tahun sedangkan domba Eropa hanya sampai 18 bulan. Upaya perbaikan genetik pun perlu dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan pada ternak lokal tersebut termasuk dengan cara persilangan dengan tetap menjaga keberadaan domba tersebut. Evaluasi Sifat Pertumbuhan Proses Pertumbuhan seekor ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang mempengaruhi proses pertumbuhan pada seekor ternak terdiri dari gen aditif dan non aditif (Arango dan Van Vleck, 2002). Kombinasi genetik tersebut berinteraksi dengan keadaan lingkungan seperti iklim, nutrisi dan manajemen. Faktor intrinsik ternak tersebut juga berpengaruh seperti jenis kelamin, umur dan status fisiologis selain itu faktor ekstrinsik seperti faktor induk dan faktor acak dari lingkungan lainnya juga berpengaruh terhadap ekspresi fenotipik dari pertumbuhan (Arango dan Van Vleck, 2002). Metode evaluasi sifat pertumbuhan lebih lanjut menurut Fitzhugh (1976) berdasarkan keadaan data dibagi menjadi 3 tipe dasar yaitu: tipe static, CrossSectional dan Longitudinal. Evaluasi metode static merupakan metode yang paling sering digunakan untuk evaluasi sifat pertumbuhan oleh peneliti peternakan. Metode tersebut
merupakan
metode
membandingkan
sifat
pertumbuhan
dengan
menggunakan data tunggal dalam satu waktu yang sama pada semua ternak seperti bobot lahir, sapih, bobot 1 tahun maupun bobot kawin (Fitzhugh, 1976). Metode tersebut sering digunakan karena kemudahan dalam evaluasi, namun metode tersebut hanya sedikit menggambarkan pola pertumbuhan maupun perkembangan dari ternak. Metode Cross-Sectional merupakan metode evaluasi pertumbuhan dengan menggunakan data tunggal yang berbeda-beda umurnya dari individu yang berbeda dalam suatu populasi. Metode tersebut digunakan untuk evaluasi pola pertumbuhan dari suatu populasi. Kualitas hasil dari metode tersebut sangat tergantung pada sampel yang digunakan dalam merepresentasikan keadaan dari populasi tersebut (Fitzhugh, 1976). Metode data longitudinal merupakan metode evaluasi proses pertumbuhan terhadap data bobot badan yang tersedia dari setiap individu pada berbagai umur serta informasi lain yang dibutuhkan. Data tersebut bisa digunakan secara akurat untuk mengevaluasi proses pertumbuhan baik dalam tingkat individu maupun 13
populasi secara lebih akurat. Penggunaan model matematik dari kurva pertumbuhan menjadi pilihan yang menarik dalam evaluasi proses pertumbuhan berdasarkan data longitudinal
untuk
membuat
lebih
sederhana
untuk
mengevaluasi
proses
pertumbuhan individu maupun populasi ternak yang sangat kompleks (Fitzhugh, 1976). Metode campuran Cross-Sectional (mixed cross sectional) merupakan metode analisis pertumbuhan yang berasal dari data ternak yang tidak diketahui umur atau keadaan ternak (Fitzhugh, 1976). Penggunaan metode tersebut karena sangat sulitnya memperoleh informasi umur/keadaan ternak seperti dalam studi hewan liar atau studi karkas pada ternak komersial (Fitzhugh, 1976). Metode tersebut kurang lebih baik bahkan dibandingkan metode data Static dan Cros-Sectional. Metode campuran longitudinal (Mixed longitudinal) merupakan metode evaluasi pertumbuhan terhadap data pada suatu populasi ternak yang tidak semua data ternak tersedia pada setiap umur (Fitzhugh, 1976). Metode tersebut merupakan metode yang terbaik dalam evaluasi pertumbuhan terhadap pencatatan performans ternak yang tidak lengkap (Fitzhugh, 1976). Kurva Pertumbuhan Non Linear Kurva Pertumbuhan merupakan pencerminan kemampuan suatu individu atau populasi
untuk
mengaktualisasikan
diri
sekaligus
sebagai
ukuran
akan
berkembangnya bagian-bagian tubuh sampai mencapai ukuran maksimal (dewasa) pada kondisi lingkungan yang ada (Fitzhugh, 1976). Lingkungan tersebut bisa berupa level produksi individu, kuantitas dan kualitas pakan, lokasi dan lingkungan secara umum (Fitzhugh, 1976). Tujuan utama dalam pembuatan model kurva pertumbuhan ada dua macam yaitu tujuan untuk deskripsi dan prediksi. Tujuan deskripsi merupakan upaya untuk bisa mempermudah interpretasi dari proses pertumbuhan dari ternak menjadi hanya beberapa parameter, sedangkan tujuan prediksi lebih fokus bagaimana metode untuk memprediksi dari beberapa parameter diantaranya rataan pertumbuhan, kebutuhan pakan, respon terhadap seleksi dan banyak parameter lainnya (Fitzhugh, 1976). Beberapa alasan dalam membandingkan metode dan model kurva pertumbuhan diantaranya adanya interpretasi biologis dari parameter kurva pertumbuhan dan pengaruh dari genetik dan lingkungan terhadap parameter kurva 14
pertumbuhan yang menjadikan perbedaan dalam keakuratan dan estimasi dari parameter kurva pertumbuhan untuk tiap spesies bangsa dan lingkungan (Fitzhugh, 1976). Beberapa parameter yang sering menjadi kajian menarik yaitu bobot dewasa, rataan pertumbuhan dan ratan kecepatan menuju dewasa. Perbandingan metode dan model pertumbuhan juga dilakukan berdasarkan tingkat keakuratan dan kemudahan dalam proses penghitungan parameter dari kurva pertumbuhan (Fitzhugh, 1976). Kurva Pertumbuhan memiliki model yang bermacam diantaranya yang paling sederhana yaitu kurva regresi linear. Model tersebut mempunyai kelemahan yaitu adanya salah penafsiran seolah-olah pertumbuhan domba linear dan positif, model tersebut tidak mengenal laju pertumbuhan yang akan mulai berkurang setelah mengalami titik infleksi yang biasanya terdapat pada waktu pubertas (Brody, 1945). Kurva non linear kemudian diajukan sebagai model matematik yang menjelaskan hubungan pertumbuhan dengan waktu untuk mengatasi permasalahan fenomena biologis yang mempunyai norma-norma tersendiri. Penggunaan model polinomial menjadi alternatif pertama namun parameter dari model polinomial walaupun secara statistik baik bahkan lebih untuk jangka pendek namun parameter dari model tersebut tidak mempunyai interpretasi biologis tertentu (Fitzhugh, 1976). Model yang dibuat oleh peneliti kemudian mulai mempertimbangkan aspek fungsi fisiologis dan metabolis. Diantara model kurva model non linear tersebut yang paling sering digunakan dalam studi pertumbuhan ternak diantaranya model Brody, Logistik, Gompertz, Von Bertalanffy, Richards (Brown et al., 1976). Kurva Pertumbuhan tersebut mempunyai kelebihan selain secara statistik mampu menduga bobot data lapangan secara akurat parameter dari kurva pertumbuhan tersebut juga mempunyai arti biologis yang penting dalam menilai efisiensi ternak pedaging (Fitzhugh, 1976). Model Logistik, Gompertz dan Von Bertalanffy merupakan model yang mempunyai tiga parameter (A, B/M dan k) yang sering digunakan dalam studi pertumbuhan ternak karena model tersebut relatif lebih mudah dalam proses penghitungan dibandingkan model lainnya terutama Richards tetapi mempunyai kemampuan yang baik dalam penjelasan data lapangan dengan akurat dan mempunyai kemampuan dalam menjelaskan waktu yang penting dari ternak (titik
15
infleksi) yang lebih baik daripada model lainnya terutama Brody (Brown et al., 1976). Model Logistik Kurva Pertumbuhan model Logistik yang digunakan oleh Brown et al. (1976) untuk membandingkan lima model kurva pertumbuhan non linear adalah menggunakan model yang telah dimodifikasi oleh Nelder (1961) dari model logistik secara umum. Model tersebut menggunakan parameter mirip seperti model Richards yang mempunyai empat parameter (A, B, k dan M) sebagai fungsi penentu titik infleksi serta membuat tetap parameter b (konstanta integral) yaitu 1 (Brown et al., 1976). Hassen et al. (2004) melakukan penelitian membandingkan antara kurva non linear model Brody, Von Bertalanffy, Logistik dan Gomez untuk membandingkan hubungan bobot badan dan waktu pada anak dan dara sapi Angus. Hasilnya untuk perbandingan antar kurva pertumbuhan dalam individu ternak hanya model logistik merupakan sartu-satunya model yang mencapai konvergen pada 98% dari individu yang diteliti. Mazzini et al. (2003) pada sapi Hereford menyimpulkan bahwa model Logistik merupakan model yang paling mudah dalam proses mencapai konvergen. Laporan tersebut didasari pada persentase konvergen yang mencapai 100% lebih baik dibandingkan model Gompertz, Von Bertalanffy, Brody dan Richards. McManus et al. (2003) membandingkan tingkat keakuratan dari kurva pertumbuhan model Brody, Richards dan Logistik untuk menjelaskan hubungan bobot badan terkoreksi dan waktu pada domba Bergamasca dalam manajemen semi ekstensif di Brasil yang merekomendasikan kurva model logistik sebagai model terbaik berdasarkan koefisien determinasi tertinggi untuk menjelaskan hubungan bobot badan dan waktu pada domba Bergamasca di daerah Brasillia. Model logistik juga digunakan juga oleh Camdeviren dan Tasdelen (2002) untuk menjelaskan pola pertumbuhan dari puyuh yang telah terseleksi. Model logistik dapat dengan baik menjelaskan pola pertumbuhan puyuh yang dibuktikan dengan nilai jumlah kuadrat sisa yang kecil serta koefisien determinasi yang tinggi.
16
Model Gompertz Kurva Pertumbuhan Model Gompertz dibuat oleh Gompertz pada tahun 1825 untuk menjelaskan pertumbuhan pada situasi yang tidak menguntungkan telah banyak digunakan dalam studi hubungan pertumbuhan dengan waktu pada berbagai jenis mahluk hidup dan bidang penelitian diantaranya dalam studi populasi, model tersebut sangat bermanfaat dalam studi pertumbuhan pada ternak yang mempunyai titik infleksi tidak simetris (Ismail et al., 2003). Sengul dan Kiraz (2005) membandingkan kurva pertumbuhan model Gompertz, Logistik, Morgan-Mercer-Flodin (MMF) dan Richards dalam proses pertumbuhan kalkun hasilnya model Gompertz merupakan model yang terbaik untuk menjelaskan hubungan pertumbuhan dan waktu dibandingkan model lainnya pada kalkun. Kesimpulan tersebut berdasarkan keakuratan penjelasan hubungan pertumbuhan dengan waktu yang dapat dibuktikan dari koefisien determinasi tertinggi (Sengul dan Kiraz, 2005). Blasco et al. (2003) menggunakan kurva pertumbuhan model Gompertz untuk menggambarkan proses pertumbuhan kelinci. Parameter kurva pertumbuhan dari model Gompertz dijadikan parameter untuk melihat efek seleksi terhadap rataan pertumbuhan dari kelinci dengan metode Bayes (Blasco et al., 2003). Model Gompertz juga digunakan oleh Mignon-Grasteau et al. (2000) untuk membandingkan antara line yang berbeda dan jenis kelamin yang berbeda pada ayam dalam penelitian aspek genetik dari kurva pertumbuhan dengan menggunakan metode Bayes. Mignon-Garasteau dan Beaumont (2002) juga melaporkan parameter genetik dari model Gompertz pada ayam yang mempunyai pertumbuhan yang lebih lambat. Menurut Aranggo dan VanVleck (2002) kurva pertumbuhan model Gompertz telah banyak digunakan oleh peneliti ternak besar terutama sapi untuk menggambarkan hubungan pertumbuhan dengan waktu seperti yang dilakukan oleh Kratochvilova et al. (2002) yang melakukan penelitian untuk menganalisa kurva pertumbuhan pada bobot badan serta ukuran tubuh pada sapi Holstein. Menurut Aranggo dan VanVleck (2002) kelebihan dari model Gompertz adalah dalam pendugaan dari nilai asimtot atau bobot dewasa dengan bias yang rendah.
17
Model
Gompertz
bahkan
digunakan
untuk
membandingkan
kurva
pertumbuhan dari anjing penjaga ternak. Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan antara bangsa dan jenis kelamin anjing. Penelitian tersebut berguna dalam pendugaan bobot dewasa dari anjing muda yang berperan penting dalam teknik pelatihan anjing serta keputusan pemuliaan dari anjing (Helmink et al., 2000). Model Von Bertalanffy Model Von Bertalanffy merupakan model yang paling menarik peneliti untuk dibandingkan dengan model lainnya (Aranggo dan VanVleck, 2002) diantaranya dilakukan oleh Lopez de Torre et al. (1992), Mazzini et al. (2003) dan Brown et al. (1976) pada sapi, Sengul dan Kiraz (2005) pada kalkun, Blasco dan Gomez (1993) pada kelinci, Yakopoglu dan Atil (2001) pada ayam Broiler serta Suparyanto (1999) pada domba. Model Von Bertalanffy telah banyak digunakan oleh para peneliti peternakan sebagai model untuk menjelaskan hubungan pertumbuhan dan waktu diantaranya dilakukan oleh Carrijo dan Duarte (1999) yang menggunakan model tersebut untuk membandingkan aspek genetik dalam parameter kurva pertumbuhan dari bangsa sapi Chianina dan Nellore. Menurut Carrijo dan Duarte (1999) alasan dari penggunaan model tersebut adalah relatif lebih mudahnya model tersebut dalam proses penghitungan dan secara keakuratan model tersebut masih memiliki standar konvensional dalam kurva pertumbuhan seperti titik infleksi (yang tidak dimiliki oleh model Brody). Wada dan Nishida (1987) juga menggunakan model yang sama dalam penelitian aspek genetik dari sapi Japanese Black karena dalam penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa model tersebut merupakan model terbaik dalam tingkat keakuratan tingkat penggambaran data sapi tersebut. Mazzini et al. (2003) pada sapi jantan Hereford membandingkan model Logistik, Gompertz, Von Bertalanffy, Brody dan Richards melaporkan bahwa model Von Bertalanffy mempunyai tingkat keakuratan terbaik dibandingkan model lainnya walaupun dalam kemudahan penghitungan kalah dengan model Logistik dan Gompertz. Suparyanto (1999) melakukan penelitian untuk membandingkan tiga model kurva non linear yaitu model Von Bertalanffy, Gompertz dan Logistik pada data 18
populasi domba St. Croix, Sumatera, Barbados Blackbelly dan Persilangannya. Kesimpulan dari penelitian tersebut model Von Bertalanffy merupakan model yang paling baik dalam menjelaskan hubungan pertumbuhan dengan waktu berdasarkan rendahnya jumlah kuadrat sisa. Proses Pendugaan Parameter Kurva Pertumbuhan Proses pendugaan parameter kurva pertumbuhan tersebut sebelum digunakan program komputer relatif lebih sulit karena tidak semua model non linear bisa diduga secara analitis. Dalam pendugaan parameter kurva pertumbuhan biasanya menggunakan metode grafik skala logaritma (Blasco et al., 2003 ) dengan cara transformasi, namun metode tersebut memerlukan waktu lama dan tidak semua model non linear dapat ditransformasi (model Richards dan Gompertz) dari proses tersebut juga tidak bisa dihasilkan standar error dari parameter kurva pertumbuhan. Kelemahan lainnya seperti metode yang digunakan dalam penyelesaian model yang paling mudah yaitu model Brody (Brown, 1971) memerlukan metode pendugaan terlebih dahulu dengan menentukan nilai asimtot (bobot dewasa) yang bisa berasal dari literatur kemudian dilanjutkan dengan regresi biasa (dengan terlebih dahulu ditransformasi) selanjutnya dievaluasi dengan menggunakan grafik anti logaritma sampai memperoleh garis lurus pada grafik anti logaritma (Brody, 1945). Proses tersebut terus diulang-ulang sampai diperoleh nilai yang tepat. Metode tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh faktor ketelitian dari peneliti yang akan meningkatkan kesalahan oleh faktor manusia (human error). Metode yang lebih baik selanjutnya adalah metode Ricklefs yang sangat rumit karena membutuhkan banyak proses differensial dalam proses penghitungan (Brisbin et al., 1987). Proses iterasi (Fekedulegn et al., 1999) dapat menggantikan proses penghitungan dengan metode grafik. Proses tersebut dapat dilakukan menggunakan program komputer untuk mengurangi faktor kesalahan manusia. Proses iterasi pada dasarnya adalah proses pencarian parameter (dengan merubah komposisi nilai parameter) model non linear berdasarkan nilai awal yang ditentukan (starting value) untuk mengurangi jumlah kuadrat sisa sampai relatif tetap (konvergen). Kriteria konvergen yang digunakan adalah suatu nilai positif yang sangat kecil, yang menggambarkan nilai selisih jumlah kuadrat sisa pada iterasi ke-n dibanding jumlah kuadrat sisa iterasi sebelumnya (n-1). 19
Proses iterasi dapat dijadikan sebagai salah satu metode untuk menentukan tingkat kemudahan pendugaan nilai parameter model non linear. Jumlah iterasi dari setiap model dipengaruhi oleh nilai awal (starting value) dari tiap parameter, oleh sebab itu untuk menghindari pengaruh nilai awal tersebut maka digunakan nilai antara dengan kecermatan yang sama. Metode tersebut menjadikan proses penghitungan oleh komputer lebih lama karena mencari nilai awal yang paling baik. Proses penentuan nilai awal inilah yang menjadi kelemahan dalam pendugaan dari parameter kurva pertumbuhan non linear yang menyulitkan peneliti, terutama yang belum berpengalaman. Pengetahuan tentang interpretasi biologis dari kurva pertumbuhan dan berdasarkan laporan penelitian sebelumnya dapat mempermudah kesulitan tersebut (Ismail et al., 2003). Pengaruh Genotipe dan Lingkungan Terhadap Parameter Kurva Pertumbuhan Analisis pertumbuhan antara domba Ekor Gemuk (DEG) dan Ekor Tipis (DET) pada kondisi lingkungan yang berbeda (stasiun percobaan Bogor) telah dilakukan Subandriyo et al. (1985) menunjukkan hasil kurva yang berbeda, anak domba Domba Ekor Tipis yang dipelihara di stasiun percobaan memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi (Bobot = 6,959 * umur0,405) dibanding dengan pertumbuhan domba Domba Ekor Tipis yang dipelihara oleh peternak di pedesaan dengan kurva pertumbuhan bobot = 6,110 * umur0,385. Sandelin et al. (2002) melakukan penelitian untuk mengamati interaksi genotipe dan lingkungan sifat bobot dewasa dengan menggunakan model Brody pada sapi Brahman, Angus dan persilangannya. Penelitian tersebut membuktikan bahwa terdapat interaksi yang nyata pada bobot dewasa, sedangkan pada laju pertumbuhan menuju bobot dewasa tidak ada interaksi yang nyata. Penelitian tersebut membuktikan bahwa ada interaksi antara genotipe dan lingkungan untuk proses pertumbuhan pada ternak termasuk domba. Pengetahuan tentang hubungan pertumbuhan selama ternak hidup dan hubungan antara bobot dewasa, bobot lahir, kecepatan pertumbuhan dan titik infleksi bangsa ternak menjadi penting untuk membuat program persilangan yang terbaik dalam hal efisiensi pertumbuhan yang sangat penting secara ekonomis (Nadarajah et al., 1984). Model matematik dari kurva pertumbuhan sangat membantu untuk 20
menjelaskan hubungan parameter tersebut selama ternak tersebut hidup dan menduga titik yang secara biologis sulit untuk diduga keberadaannya seperti titik infleksi (Fitzhugh, 1976). Jenkins et al. (1991) melakukan penelitian terhadap tingkat variasi gen aditif antar bangsa dan dalam bangsa pada beberapa bangsa sapi. Hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tingkat variasi antar bangsa lebih besar daripada dalam bangsa sendiri, sehingga nilai heritabilitas antar bangsa menjadi lebih besar daripada dalam bangsa itu sendiri. Hasil tersebut mengindikasikan persilangan menjadi teknik yang lebih cepat untuk menambah variasi dalam parameter kurva pertumbuhan. Saran yang sama diungkapkan oleh Fitzhugh (1976) bahwa cara persilangan merupakan metode yang paling cepat untuk merubah bentuk kurva pertumbuhan. Persilangan yang secara ekonomis dibutuhkan adalah persilangan antara ternak yang mempunyai bentuk kurva pertumbuhan yang secara genetik berlawanan yaitu ternak yang cepat dalam pertumbuhan dan ukuran kecil (tetap memenuhi standar pasar) yang membutuhkan biaya kecil dalam pemeliharaan pejantan. Stewart dan Martin (1981) melaporkan adanya efek heterosis yang nyata pada bobot dewasa baik yang telah dikoreksi dengan kondisi tubuh pada sapi Angus dan Shorthorn, baik pada data yang dikoreksi dengan kondisi badan maupun tidak, sedangkan rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) mempunyai efek heterosis yang tidak nyata. Pengaruh bangsa juga mempunyai pengaruh nyata terhadap persilangan baik pada bobot dewasa maupun pada rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) dalam persilangan sapi Angus dan Shorthorn tersebut.
21
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dikoleksi dari Stasiun Percobaan Balai Penelitian Ternak Ciawi yang berada di dalam kompleks kantor Puslitbang Peternakan, Jl. Raya Padjajaran, Bogor. Rataan suhu udara di lokasi ini adalah 250 C dengan rataan curah hujan 4.320 mm per tahun. Sebanyak 8 unit kandang digunakan untuk berbagai ukuran dengan luas total ±782 m2 yang dilengkapi mesin pencacah rumput (Chopper). Rumput raja ditanam di sekitar lokasi penelitian seluas 1,80 ha. Penelitian ini dimulai pada bulan Mei sampai Agustus 2005. Ternak Penelitian Program persilangan yang dilakukan Balitnak dimulai ketika pada tahun 1995 dikawinkannya 34 betina domba Priangan dengan pejantan St. Croix (HH) dan 33 ekor lainnya dikawinkan dengan sesama Priangan (PP) sebagai kontrol. Pada tahun 1996 didatangkan semen beku Mouton Charollais (MM) dan dengan teknik inseminasi buatan dikawinkan dengan 100 ekor domba Priangan. Perkawinan kemudian dilanjutkan untuk membentuk bangsa komposit untuk memperoleh kombinasi gen yang menguntungkan dengan menyilangkan pejantan MP (Mouton Charollais X Priangan) dengan betina HP (St. Croix X Priangan) dan pejantan HP dengan betina MP (Gambar 1). Selama persilangan tersebut dilakukan juga perkawinan sesama (interse mating) dari setiap hasil persilangan sehingga terbentuk F2 dan F3. ♂M X ♀P
♂H X ♀P
♂H X ♀P
♂M X ♀P
♂MP
♀HP
♂HP
♀MP
MHP
HMP
Gambar 1. Skema perkawinan pembentukan domba komposit 50% Priangan : 25% St. Charollais : 25% Mouton Charollais
22
Perkawinan dilakukan secara Inseminasi Buatan yang diawali dengan penyerentakan birahi dengan menggunakan spons intra vaginal Chronogest yang dimasukkan dalam vagina dan dibiarkan selama 14 hari. Daftar Perkawinan dibuat dengan menggunakan komputer program “R Base” dan diupayakan agar tidak terjadi inbreeding. Pemberian Pakan Pemberian pakan berupa hijauan yaitu rumput raja yang telah dicacah dengan ukuran 2,5-3,0 cm sebanyak 3-4 kg/ekor/hari atau sekitar 10 % dari bobot badan ternak. Pakan konsentrat juga diberikan sekitar 2,0-2,5 % dari bobot badan, tergantung fase fisiologis ternak. Pakan konsentrat yang digunakan adalah ransum komersial “GT 03” yang mengandung protein kasar 16% dan TDN 68%, atau menggunakan LS 10 dengan kandungan protein kasar 14% dan TDN 68%. Pada saat kebuntingan mencapai 14 minggu pakan konsentrat ditambah 110 g/ekor/hari. Setelah 4 minggu melahirkan untuk memperbaiki kondisi tubuh induk dan produksi susu tetap terjaga maka pemberian konsentrat ditingkatkan menjadi 2,5% dari bobot badan. Pada saat yang sama anak domba dibiasakan untuk makan konsentrat 2,5% dari bobot badannya. Penanganan Anak Setelah kelahiran anak dan induk ditempatkan dalam sekat 1 x 1 m2 dan dibiarkan selama tiga hari agar mendapat kolostrum yang cukup. Identifikasi anak langsung dilakukan diantaranya pencatatan jumlah anak lahir, pemberian nomor, pencatatan bobot lahir baik individual maupun sekelahiran, pencatatan pola warna dan data lainnya yang diperlukan. Penimbangan anak setelah dilahirkan dilakukan setelah anak tersebut mampu untuk berdiri. Penimbangan dilakukan menurut jadwal yang telah ditentukan, sehingga umur penimbangan tidak semuannya sama, namun jarak penimbangan biasanya dilakukan setiap dua minggu tetapi setelah domba disapih penimbangan dilakukan setiap satu bulan. Alat timbangan yang digunakan adalah timbangan dengan merk Salter dengan kapasitas 5 dan 100 kg dengan menggunakan kain yang telah dimodifikasi sehingga bisa digunakan sebagai alat timbang domba.
23
Data penimbangan bobot badan dari lahir sampai selama ternak hidup dikoleksi
Data yang kurang dari 2 tahun (730 hari) tidak digunakan
Data dikoreksi dengan cara ekstrapolasi untuk mendapatkan umur penimbangan sama
Data kemudian dianalisis kurva pertumbuhan non linear (model Logistik, Gompertz dan Von Bertalanffy) secara individu melalui proses iterasi
Data yang dikoleksi tiap individu ternak berdasarkan pengolahan program komputer tersebut adalah : a. Parameter kurva pertumbuhan (A, b/M dan k). b. Standard error parameter kurva pertumbuhan c. Karelasi antar parameter dalam proses penghitungan d. Jumlah Kuadrat Sisa, Kudrat Tengah Sisa, Jumlah Kuadrat Total Terkoreksi e. Jumlah proses Iterasi yang digunakan Dilanjutkan pada halaman berikutnya
Metode Ekstrapolasi Wti = Wtj + (ti – tj) * (Wtk – Wtj) / (tk – tj) Keterangan: Wti : Bobot ternak pada penimbangan hari ke-ti, dimana ti = 14, 28, 32…. 120,150, 180 dst. Wtj : Bobot ternak pada penimbangan hari ke-tj, dimana tj < ti Wtk : Bobot ternak pada penimbangan hari ke tk, diman tk > tj (Nafiu, 2003 dan Tiesnamurti, 2002) Menggunakan program SAS 6.12 Proc NLIN ( SAS Institute Inc, 1985) Parameter kurva Pertumbuhan tersebut mempunyai beberapa interpretasi biologis terutama untuk parameter A (bobot dewasa) dan k (kecepatan menuju dewasa), selain itu bisa digunakan untuk mencari bobot titik infleksi (Ui*A) dan umur infleksi (ti) Standar error parameter kurva pertumbuhan menjelaskan tingkat keakuratan dari pendugaan parameter kurva pertumbuhan Korelasi antar parameter kurva pertumbuhan menjelaskan hubungan antar parameter kurva pertumbuhan dalam proses penghitungan Jumlah Kuadrat Sisa dan Kuadrat Tengah Sisa bisa menjelaskan keakuratan model tersebut dalam penjelasan data lapangan. Jumlah Kuadrat Total Terkoreksi bisa digunakan untuk mencari koefisien determinasi. Jumlah iterasi menjelaskan tingkat kemudahan dalam proses penghitungan parameter model kurva pertumbuhan (semakin banyak proses iterasi menjelaskan semakin sulit model tersebut dihitung) 24
Lanjutan halaman sebelumnya
Perbandingan antar model untuk tingkat kemudahan yaitu berdasarkan jumlah proses iterasi dilakukan menggunakan uji t student (p<0,05)
Perbandingan antar model dilakukan dalam keakuratan dan nilai parameter dan standard error yang mempunyai interpretasi yang sama dengan metode Least Square Means perbedaan antar fixed effect berdasarkan probability different (PDIFF) menggunakan prosedur GLM dari SAS 6.12 ( SAS
Data dari parameter kurva pertumbuhan (A, B/M dan k), Standard Error tiap parameter, Jumlah Kuadrat sisa, Kuadrat Tengah Sisa dan Koefisien determinasi tiap individu dari tiap model kemudian dianalisis pengaruh dari efek genotipe dan lingkungan prosedur GLM dari SAS 6.12 ( SAS Institute Inc, 1985)
Perbandingan antar Genotipe ternak dilakukan pada parameter kurva pertumbuhan yang mempunyai interpretasi biologis yang sama (A, k, U*A dan ti) dengan metode Least Square Means perbedaan antar fixed effect berdasarkan probability different (PDIFF) menggunakan prosedur GLM dari SAS 6.12 ( SAS Institute Inc, 1985)
Model yang digunakan adalah : Yxijk = µ + Mx + Gi + Tj + Pk + Sl + Bm + X1+Exijklm µ = rataan umum Yxijk = Nilai A, k, JKS, KTS dan R2. Mx = Pengaruh Model Gi ,Tj, Pk,Sl dan Bm merupakan efek tetap yang lain yaitu genotipe, tahun kelahiran, paritas, jenis kelamin dan tipe lahir sapih. X1 = peragam umur terakhir Parameter SE A dan SE k tidak menggunakan peragam umur terakhir (DeNise dan Brinks, 1985).
Model yang digunakan adalah : Yxijk = µ + Gi + Tj + Pk + Sl + Bm + X1+Exijklm µ = rataan umum Yxijk = Nilai A, b/M, k, U*A, ti, JKS, KTS dan R2. Gi ,Tj, Pk,Sl dan Bm merupakan efek tetap yaitu genotipe, tahun kelahiran, paritas, jenis kelamin dan tipe lahir sapih. X1 = peragam umur terakhir Parameter SE A, SE B/M dan SE k tidak menggunakan peragam umur terakhir (DeNise dan Brinks, 1985 ).
Dilanjutkan pada halaman berikutnya 25
Lanjutan halaman sebelumnya
Keunggulan RelatifXP (%) = XP − PP×100% PP
Analisis Keunggulan Relatif dari domba Persilangan dibandingkan domba Priangan dilakukan untuk parameter kurva pertumbuhan yang mempunyai interpretasi biologis
Perbandingan parameter kurva pertumbuhan dari domba persilangan dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh dari interse mating. Perbandingan keunggulan relatif dalam berbeda generasi dilakukan untuk bobot dewasa(A) dan rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k)
Pendugaan efek heterosis berdasarkan perbandingan antara ternak persilangan generasi pertama dengan generasi pertama atau kedua. Asumsi pendugaan efek heterosis tersebut adalah adanya penurunan dari performa ternak persilangan pada generasi kedua (F2) dan ketiga (F3) akibat proses interse mating yang kemungkinan disebabkan penurunan efek heterosis sebesar 1/2 (dua bangsa) dan 1/3 (tiga bangsa) dari total efek heterosis yang terdapat pada ternak generasi pertama (F1)
(Nafiu, 2003) Keterangan : XP = Rataan Kuadrat Terkecil Parameter kurva pertumbuhan (A dan k) domba hasil persilangan (MP, HP, MHP dan HMP) PP = Rataan Kuadrat Terkecil Parameter kurva pertumbuhan (A dan k) domba Priangan. Model yang digunakan adalah : Yxijk = µ + Gi + Tj + Pk + Sl + Bm + X1+Exijklm µ = rataan umum Yxijk = Nilai A, b/M, k, U*A, ti, JKS, KTS dan R2. Gi = Domba Persilangan dibedakan berdasarkan generasi (MP1, MP2, MP3… dl). Tj, Pk,Sl dan Bm merupakan efek tetap yang lain yaitu tahun kelahiran, paritas, jenis kelamin dan tipe lahir sapih. X1 = peragam umur terakhir (DeNise dan Brinks, 1985).
Efek Heterosis = (F1-F2) × B Keterangan: F1=Ternak Persilangan generasi pertama F2= Ternak Persilangan generasi kedua B = konstanta efek total heterosis B = 2 untuk kombinasi 2 bangsa B = 3 untuk kombinasi 3 bangsa (Wiener, 1994 dan Bourdon, 1997)
Gambar 2. Diagram Alir Metode Analisis Data
26
Analisis Data Data yang Digunakan Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil penimbangan bobot badan dari domba Priangan (PP) dan Persilangannya dengan St Croix (HH) dan Mouton Charollais (MM) sebanyak 488 ekor yang terdiri dari domba Priangan 149 ekor, St. Croix X Priangan (HP) 115 ekor, Mouton Charollais X Priangan (MP) 68 ekor, MP X HP (MHP) 101 ekor dan HP X MP (HMP) 55 ekor yang dikoleksi dari tahun 1995-2005. Data yang digunakan adalah yang berasal dari ternak yang minimal mempunyai catatan penimbangan sampai umur 2 tahun (730 hari) untuk menghindari bias dari pendugaan parameter kurva pertumbuhan karena menurut Merkens dan Soemirat (1926) domba Priangan mencapai pertumbuhan sampai umur 2 tahun sedangkan domba Eropa sampai umur 18 bulan. Analisis Kurva Pertumbuhan Sebelum data penimbangan dari lapangan yang telah dilakukan pada jadwal tertentu diolah, terlebih dahulu dilakukan ekstrapolasi untuk mendapatkan data bobot badan berdasarkan umur yang ditetapkan. Metode ekstrapolasi tersebut mengacu pada laporan penelitian yang telah dilakukan oleh Nafiu (2003) dan Tiesnamurti (2002) dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Wti = Wtj + (ti – tj) * (Wtk – Wtj) / (tk – tj) Keterangan: Wti : Bobot ternak pada penimbangan hari ke-ti, dimana ti = 14, 28, 32…. 120,150, 180 dst. Wtj : Bobot ternak pada penimbangan hari ke-tj, dimana tj < ti Wtk : Bobot ternak pada penimbangan hari ke tk, diman tk > tj Perbandingan tiga kurva pertumbuhan non linear digunakan untuk mencari model yang terbaik dalam menjelaskan hubungan antara pertumbuhan dengan waktu pada domba Priangan dan persilangannya. Perbandingan tersebut dilakukan dalam individu dan tidak dilakukan koreksi untuk data bobot badan ternak. Model yang digunakan adalah model Gompertz, Von Bertalanffy dan Logistik. Alasan dari pemilihan model kurva pertumbuhan ini karena model tersebut telah banyak digunakan dalam berbagai studi kurva pertumbuhan pada ternak dan mempunyai kelebihan pada tingkat kemudahan dalam proses penghitungan 27
dibanding model lainnya (terutama model Richards) walaupun tidak semudah model Brody dan mempunyai tingkat keakuratan yang baik dan kemampuan dalam menjelaskan titik dan bobot infleksi dibanding model lainnya (model Brody) walaupun tidak seakurat model Richards serta adanya keterbatasan waktu. Bentuk persamaan, parameter dan beberapa kaidah matematik dijelaskan pada Tabel 1. Tabel 1. Model Matematik Kurva Pertumbuhan Model
Persamaan
M
Ut
Sumber Pustaka
Gompertz
Y = A exp(-Be-kt)
∞
exp(-Be-kt)
Blasco et al. (2002)
Von Bertalanffy
Y = A (1-Be-kt)3
3
(1-Be-kt)3
Brown et al. (1976)
-kt -M
Brown et al. (1976)
Logistik
-kt -M
Y = A (1+e )
variabel (1+e )
Keterangan: A = Bobot badan dewasa (Asimtot) B = Nilai Skala Parameter (konstanta Integrasi) e = Bilangan natural (e = 2,718282) k = Rataan laju pertumbuhan menuju dewasa tubuh M = Nilai yang berfungsi dalam pencarian titik infleksi (bentuk kurva) Ut = Y/A = Proporsi kedewasaan ternak dibandingkan dengan bobot dewasa.
Interpretasi Biologis Parameter Kurva Pertumbuhan Fitzhugh (1976) memberi penjelasan tentang interpretasi biologis parameter dalam kurva pertumbuhan sebagai berikut: A− Nilai asimtot merupakan nilai untuk t → ∞; secara umum dapat diinterpretasikan sebagai rataan bobot badan pada saat ternak telah mencapai dewasa tubuh terlepas dari fluktuasi karena faktor lingkungan. Ut−Merupakan nilai proporsi bobot badan dibandingkan dengan bobot badan dewasa pada umur tersebut. B− Skala Parameter (konstanta integrasi) digunakan untuk menggambarkan hubungan Y0 (bobot awal) dengan t lebih khusus untuk model Brody namun untuk model lain hanya berfungsi sebagai konstanta integral. k − Parameter yang menunjukkan rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa. Ternak dengan nilai k besar cenderung mempunyai bobot dewasa dini (cepat mencapai bobot dewasa). t − Umur ternak dalam satuan waktu M – Parameter yang mempunyai fungsi sebagai penentu bentuk dari kurva untuk membantu penentuan titik infleksi. 28
Penentuan Titik Infleksi Titik Infleksi merupakan titik maksimum pertumbuhan bobot badan, pada titik tersebut terjadi peralihan perubahan yang asalnya percepatan pertumbuhan menjadi perlambatan pertumbuhan. Pada titik tersebut menurut Brody (1945) saat dimana ternak tersebut mengalami pubertas. Waktu titik infleksi tercapai adalah saat yang paling ekonomis dari ternak karena pada waktu tersebut tingkat mortalitas ternak berada pada titik terendah dan pertumbuhan paling cepat. Penentuan titik infleksi secara biologis sulit untuk ditentukan namun dengan bantuan kurva pertumbuhan non linear masalah tersebut dapat dipecahkan. Nilai parameter M dalam kurva pertumbuhan sangat berperan dalam penentuan titik terjadinya infleksi. Model Brody yang mempunyai nilai M=1 tidak mempunyai titik infleksi, sedangkan kurva model Von Bertalanffy dan Gompertz mempunyai titik infleksi yang tetap. Namun hal tersebut kurang dapat diterima berdasarkan biologis lalu diformulasikan kurva model logistik yang dimodifikasi oleh Nelder (1961) yang mempunyai nilai M (yang juga terdapat pada model Richards) berupa angka dan berbeda untuk setiap individu atau setiap populasi dan lebih dapat diterima dari segi biologis. Tabel 2. menjelaskan waktu infleksi dan bobot infleksi untuk berbagai model (Brown et al., 1976 dan Suparyanto, 1999). Tabel. 2 Titik Infleksi Tiap Model Non Linear Model
Bobot Infleksi (UI)
Waktu Infleksi (tI)
Gompertz
e-1 = 0,368
(ln B) / k
Von Bertalanffy
8/27=0,296
(ln 3B) / k
Logistik
(M / M+1)M
(ln M) / k
keterangan : B = Nilai Skala Parameter (konstanta Integrasi) e = Bilangan natural (e = 2,718282) k = Rataan laju pertumbuhan menuju dewasa tubuh M = Nilai yang berfungsi dalam pencarian titik infleksi (bentuk kurva)
Penggunaan Program Komputer Proses pendugaan parameter dalam model non linear relatif lebih sulit dibandingkan model linear, bahkan sebagian besar model non linear tidak bisa diduga secara analitis sehingga dalam metode perhitungan proses iterasi diperlukan (Ismail et al., 2003). Prinsip dasar dari proses tersebut adalah pendugaan parameter 29
untuk mendapatkan kuadrat sisa terkecil dari beberapa kombinasi yang diawali dari nilai yang telah ditentukan yang sebaiknya berdasarkan penelitian sebelumnya. Proses tersebut berhenti saat jumlah kuadrat sisa pada proses iterasi selanjutnya relatif sama atau sering disebut telah mengalami konvergen. Program komputer sangat diperlukan dalam pendugaan parameter-parameter dalam model non linear. Paket program SAS (SAS Institute Inc, 1985) menyediakan program khusus untuk mencari parameter dalam model non linear yaitu dengan menggunakan prosedur NLIN (Non Linear). Kriteria konvergen dalam program SAS 6.12, yaitu jika telah memenuhi kriteria sebagai berikut : (SSE i-1 − SSE i) / (SSEi + 10-6) < 10-8 SSEi merupakan jumlah kuadrat sisa pada iterasi ke-i . Secara sistematis Ismail et al (2003) menyarankan beberapa tahap dalam menganalisis model non linear sebagai berikut : •
Penentuan nama dan nilai awal parameter
•
Penulisan model (menggunakan satu variabel tak bebas)
•
Penurunan parsial terhadap setiap parameter (kecuali metode DUD)
•
Penulisan turunan kedua terhadap setiap parameter yang akan diduga (hanya untuk metode Newton) Paket SAS menyediakan lima alternatif metode iterasi yang sudah sahih yaitu
Steepest descent atau gradient method (Gradient), Newton Method (Newton), Modified Gauss-Newton (Gauss) Multivariate secant or false position method atau Doesn’t Use Derivate (DUD) dan Marquardt method (Marquardt). Metode Marquardt merupakan metode penggabungan antara metode Gardient dan metode Gauss-Newton. Metode iterasi tersebut sangat berguna untuk pendugaan parameter yang mempunyai korelasi sehingga menyulitkan untuk mencapai konvergen. Pada kurva pertumbuhan beberapa penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa terdapat korelasi yang nyata antar parameter, sehingga metode iterasi yang digunakan adalah metode Marquardt.
30
Turunan Parsial Parameter Model yang Digunakan Program komputer paket SAS dalam proses iterasi dengan menggunakan metode Marquardt memerlukan penurunan parsial terhadap parameter yang akan diduga. Berikut ini adalah turunan parsial tiap model kurva pertumbuhan non linear yang digunakan. Tabel 3. Turunan Parsial Model Logistik Penurunan parsial terhadap beberapa Parameter
Model Y = A(1+ e-kt)-M
dY/dA
(1+ e-kt)-M
dY/dk
A M t (1 + e-kt)-(M+1)(e-kt)
dY/dM
(-A ) ( ln(1+e-kt) ) ( (1+e-kt)-M )
Tabel 4. Turunan Parsial Model Gompertz Penurunan parsial terhadap beberapa Parameter
Model Y = A exp(-Be -kt)
dY/dA
exp(-Be-kt)
dY/dB
-A exp(-Be-kt) (e-kt)
dY/dK
A b t exp(-Be-kt) (e-kt)
Tabel 5. Turunan Parsial Model Von Bertalanffy Penurunan parsial terhadap beberapa Parameter
Model Y = A (1-Be-kt)3
dY/dA
(1-Be-kt)3
dY/dB
-3A e-kt
dY/dK
3 A B t (e-kt)(1-B e-kt)2
31
Metode Pendugaan Parameter Kurva Pertumbuhan dengan Menggunakan Proses Iterasi dalam Penelitian yang Dilakukan Proses iterasi yang dilakukan dalam penelitian ini maksimum 100 kali dengan menggunakan nilai awal parameter (starting value) yaitu nilai yang mempunyai selang dengan ketepatan yang sama untuk tiap model. Dengan demikian perbandingan jumlah iterasi dari tiap model dapat dilakukan dengan tidak bias. Metode iterasi yang digunakan adalah metode Marquardt yang membutuhkan penurunan parsial terhadap parameter kurva pertumbuhan yang ditunjukkan pada Tabel 4, 5 dan 6, sedangkan kriteria konvergen yang digunakan tidak dilakukan pengaturan lagi. Metode Perbandingan Antar Model Non Linear Perbandingan model pertumbuhan non linear biasanya berdasarkan dua kriteria yaitu kemudahan dalam penghitungan dan ketepatan dalam penggambaran data lapangan. Parameter yang digunakan untuk mengevaluasi kriteria tersebut adalah: Jumlah Iterasi Jumlah iterasi merupakan salah satu parameter yang dapat dijadikan acuan dalam perbandingan antara model. Semakin banyak iterasi yang dilakukan berarti model tersebut semakin sulit untuk mencapai konvergen. Metode yang dilakukan dalam perbandingan jumlah iterasi yaitu dengan uji t student berdasarkan rataan jumlah iterasi dari berbagai model dari keseluruhan data dan dari masing-masing genotipe. Standard Error Parameter Standard error tiap parameter merupakan salah satu output dari pendugaan dari parameter kurva pertumbuhan dengan metode iterasi. Standard error yang diperoleh menggambarkan tingkat keakuratan dalam mengeistimasi parameter kurva pertumbuhan dari setiap model (bukan penggambaran data). Perbandingan standard error dilakukan pada parameter yang mempunyai interpretasi biologis yang sama yaitu bobot dewasa (A) dan laju pertumbuhan menuju dewasa (k).
32
Nilai Jumlah Kuadrat Sisa Jumlah kuadrat sisa dan Kuadrat tengah sisa kurva pertumbuhan tiap individu juga dicari untuk dibandingkan antar model. Rumus dari kuadrat sisa adalah sebagai berikut: JKS= ∑ (Y– f(ti,B)2 f(ti,B) = Data dugaan dari model yang digunakan Y
= Data lapangan bobot badan.
Kuadrat Tengah Sisa Rumus kuadrat tengah sisa : KTS = JKS/dfs JKS = Jumlah kuadrat sisa dfs = Derajat bebas sisa yang diperoleh dari (n-p) n = jumlah data pengamatan p = jumlah parameter Koefisisen Determinasi Koefisien determinasi merupakan koefisien yang menggambarkan tingkat variasi dari data lapangan yang dapat dijelaskan oleh suatu model. Koefisien determinasi tiap individu tiap model dicari dan dibandingkan untuk mencari model terbaik dalam hal keakuratannya. Rumus koefisien determinasi yang diperoleh dari pengolahan program SAS 6.12 Proc NLIN adalah: R2 = (1 − JKS) JKTT
R2 = Koefisien Determinasi (%) JKS = Jumlah Kuadrat Sisa (Residual Sum Squares) JKTT= Jumlah Kuadrat Total Terkoreksi (Corrected Total Sum Squares)
33
Pengaruh Genotipe dan Lingkungan Terhadap Standard Error, Tingkat Keakuratan dan Parameter Kurva Pertumbuhan. Berdasarkan kurva pertumbuhan ternak secara individu, diamati pengaruh genotipe dan lingkungan terhadap standard error, tingkat keakuratan dan parameter kurva pertumbuhan. Model statistik sesuai dengan petunjuk SAS 6.12 proc GLM yang dapat dijelaskan melalui model matematis sebagai berikut: Yijklmn = µ + Gi + Tj + Pk + Sl + Bm + X1+ Eijklmn Yijklmn = Parameter kurva pertumbuhan (A,k dan B/ M) serta tingkat keakuratan (JKS,MS, R2) pada Genotipe ke-i, Tahun kelahiran ke-j, Paritas ke-k, Jenis kelamin ke-k, Pengaruh tipe lahir-sapih ke-m, ternak ke-n dan pengaruh peragam umur terakhir penimbangan. µ
= Rataan Umum
Gi
= Pengaruh Genotipe ke-i (i = Priangan, MP, HP, MHP, HMP)
Tj
= Pengaruh Tahun kelahiran ke-j (j = 1996,1997…, 2002)
Pk
= Pengaruh Paritas ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5)
Sl
= Pengaruh Jenis kelamin (k = 1, 2)
Lm X1
= Pengaruh Tipe lahir Sapih (11, 21, 22, 31, 32, 33) = Peragam umur terakhir penimbangan
Eijklm = Pengaruh Sisa (Error) Tipe-lahir yang digunakan adalah: Tipe 11 = Lahir 1 sapih 1 Tipe 21 = Lahir 2 sapih 1 Tipe 22 = Lahir 2 sapih 2 Tipe 31 = Lahir ≥3 sapih 1 Tipe 32 = Lahir ≥3 sapih 2 Tipe 33 = Lahir ≥3 sapih ≥3 Analisis pengaruh genotipe dan lingkungan terhadap standard error parameter kurva pertumbuhan, digunakan model yang sama tetapi tidak disesuaikan (Covariate) dengan data terakhir penimbangan, kerena menurut DeNise dan Brinks (1985) nilai tersebut telah disesuaikan oleh model non linear. Perbandingan antar efek tetap (fixed effect) dilakukan dengan Least Square Means dengan uji perbedaan dengan Probability Different (PDIFF) sesuai dengan petunjuk SAS 6.12 proc GLM. 34
Perbandingan Antar Parameter Kurva Pertumbuhan Perbandingan juga dilakukan untuk parameter kurva pertumbuhan untuk parameter yang mempunyai interpretasi biologis yang sama yaitu bobot dewasa (A) dan rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k). Untuk perbandingan model, digunakan model statistik sesuai dengan petunjuk SAS 6.12 proc GLM dengan digunakan efek tetap yang kemungkinan mempengaruhi. Model yang digunakan adalah sebagai berikut: Yxijklmn = µ + Mx + Gi + Tj + Pk + Sl + Bm + X1n +Exjklmn Yijklmn = Parameter kurva pertumbuhan (A dan k) serta tingkat keakuratan (JKS,MS, R2) pada model ke-x, Genotipe ke-i, Tahun kelahiran ke-j, Paritas ke-k, Jenis kelamin ke-k, Pengaruh tipe lahir-sapih ke-m, pada ternak ke-n dan pengaruh peragam umur terakhir penimbangan. µ
= Rataan Umum
Mx
= Pengaruh Model ke-x (Logistik, Gompertz dan Von Bertalanffy)
Gi
= Pengaruh Genotipe ke-i (i = Priangan, MP, HP, MHP. HMP)
Tj
= Pengaruh Tahun kelahiran ke-j (j = 1996,1997…, 2002)
Pk
= Pengaruh Paritas ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5)
Sl
= Pengaruh Jenis kelamin (k = 1, 2)
Lm
= Pengaruh Tipe lahir Sapih (11, 21, 22, 31, 32, 33)
X1n
= Peragam umur terakhir penimbangan pada ternak ke-n
Eijklm = Pengaruh Sisa (Error) Perbandingan yang dilakukan hanya pada parameter dan standard error parameter yang mempunyai interpretasi biologis yang sama (A,k, Sd A dan Sd k), sedangkan untuk parameter yang lainnya hanya ditampilkan rataannya saja. Perbandingan antar model dalam standard error parameter tidak digunakan peragam umur karena sudah dilakukan dalam model non linear (DeNise dan Brinks, 1985). Perbandingan antar efek tetap (fixed effect) atau tipe dilakukan dengan Least Square Means dengan uji perbedaan menggunakan Probability Different (PDIFF) sesuai dengan petunjuk SAS 6.12 proc GLM.
35
Metode Perbandingan Parameter Kurva Pertumbuhan Antar Genotipe Ternak Perbandingan parameter kurva pertumbuhan antar genotipe ternak dilakukan berdasarkan hasil pengolahan dari metode Least Square Means untuk tiap model. Nilai tersebut telah terkoreksi dengan menggunakan model yang memasukkan beberapa efek lingkungan (fixed effect). Evaluasi keberhasilan persilangan dapat dilakukan dengan membandingkan hasil persilangan dengan salah satu tetua bangsa murni yang merupakan akumulasi dari breed complementary dan heterosis (Leymaster, 2003) atau dalam penelitian ini disebut keunggulan relatif (Nafiu, 2003). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut : Keunggulan RelatifXP (%) = XP − PP × 100% PP Keterangan : XP
= Rataan Performans domba hasil persilangan (MP, HP, MHP dan HMP)
PP
= Rataan Performans domba Priangan.
Performans ternak yang dibandingkan merupakan parameter kurva pertumbuhan yang memiliki interpretasi biologis yaitu
bobot dewasa (A) dan rataan laju
pertumbuhan menuju bobot dewasa (k).
36
Perbandingan Parameter Kurva Pertumbuhan antar Generasi yang berbeda Perbandingan
parameter
kurva
pertumbuhan
antar
generasi
domba
persilangan dilakukan untuk membandingkan parameter tersebut dalam generasi yang berbeda akibat pengaruh interse mating. Model statistik yang digunakan sesuai dengan petunjuk SAS 6.12 proc GLM yang dapat dijelaskan melalui model matematis sebagai berikut: Yijklmn = µ + Gi + Tj + Pk + Sl + Bm + X1+ Eijklmn Yijklmn = Parameter kurva pertumbuhan (A,k dan B/M) serta tingkat keakuratan (JKS,MS, R2) pada Genotipe ke-i, Tahun kelahiran ke-j, Paritas ke-k, Jenis kelamin ke-k, Pengaruh tipe lahir-sapih ke-m, ternak ke-n dan pengaruh peragam umur terakhir penimbangan. µ
= Rataan Umum
Gi
= Pengaruh Genotipe ke-i (i = Priangan, MP1, MP2, MP3, HP1, HP2, HP3, MHP1, MHP2, MHP3, HMP1, HMP2 dan HMP3)
Tj
= Pengaruh Tahun kelahiran ke-j (j = 1996,1997…, 2002)
Pk
= Pengaruh Paritas ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5)
Sl
= Pengaruh Jenis kelamin (k = 1, 2)
Lm
= Pengaruh Tipe lahir Sapih (11, 21, 22, 31, 32, 33)
X1n
= Peragam umur terakhir penimbangan pada ternak ke-n
Eijklm = Pengaruh Sisa (Error) Evaluasi keunggulan relatif dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Keunggulan RelatifXP (%) = XP − PP × 100% PP Keterangan : XP
= Rataan Performans domba hasil persilangan (MP1, MP2, MP3, HP1, HP2, HP3, MHP1, MHP2, MHP3, HMP1,HMP2 dan HMP3)
PP
= Rataan Performans domba Priangan.
Performans ternak yang dibandingkan merupakan parameter kurva pertumbuhan yang memiliki interpretasi biologis yaitu bobot dewasa (A) dan rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k).
37
Pendugaan Efek Heterosis Berdasarkan Perbedaan Performans Ternak Persilangan Beda Generasi Pendugaan efek heterosis jarang dievaluasi dalam program persilangan di daerah tropis karena tidak adanya performans salah satu tetua di lingkungan tersebut atau jumlah sampel yang terlalu sedikit (Wiener, 1994). Pendugaan efek heterosis dapat dilakukan melalui perbedaan performans ternak antar generasi (yang diadaptasi menurut Wiener, 1994 dan Bourdon, 1997). Asumsi pendugaan efek heterosis tersebut adalah adanya penurunan dari performa ternak persilangan pada generasi kedua (F2) dan ketiga (F3) akibat proses interse mating yang kemungkinan disebabkan penurunan efek heterosis sebesar 1/2 (dua bangsa) dan 1/3 (tiga bangsa) dari total efek heterosis yang terdapat pada ternak generasi pertama (F1). Asumsi lainnya yang paling berperan efek dominan sedangkan efek epistasis dan over dominan dianggap berperan kecil dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Efek Heterosis = (F1-F2) × B Keterangan: F1 = Ternak Persilangan generasi pertama F2 = Ternak Persilangan generasi kedua B = konstanta efek total heterosis B = 2 untuk kombinasi 2 bangsa B = 3 untuk kombinasi 3 bangsa (Wiener, 1994 dan Bourdon, 1997).
38
HASIL DAN PEMBAHASAN Perbandingan Antara Model Tingkat Kemudahan Penghitungan Perbandingan antar model pada tingkat kemudahan dapat dilakukan berdasarkan jumlah proses iterasi yang dilakukan oleh program komputer. Semakin banyak proses iterasi yang dilakukan menggambarkan semakin sulit model tersebut mencapai konvergen artinya model tersebut lebih sulit dalam proses penghitungan. Tabel. 6. Rataan Jumlah Iterasi Tiap Model Rataan jumlah iterasi
Model
Seluruh Priangan
MP
HP
MHP
HMP
------------------------kali----------------------Logistik
5,74
a
5,41ab
5,62a
5,71a
6,06a
6,24a
Gompertz
7,04b
5,00a
5,38a
12,37b
5,81a
5,69a
Von Bertalanffy
21,56c
22,75b
19,44b
19,99c
22,78b
21,98b
Keterangan: Angka yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) MP = Mouton Charollais X Priangan MHP = MP X HP HP = St Croix X Priangan HMP = HP X MP
Berdasarkan Tabel 6. terlihat bahwa model Von Bertalanffy memerlukan proses iterasi yang lebih banyak (p<0,05) dibandingkan model lainnya baik dalam data keseluruhan maupun dalam setiap genotipe, diikuti Model Gompertz kemudian logistik merupakan model yang paling sedikit proses iterasi. Hasil tersebut sesuai dengan
hasil
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Suparyanto
(1999)
yang
membandingkan model yang sama pada domba Sumatera dan Persilangannya dengan menggunakan data populasi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Lopez de Torre et al. (1992) yang membandingkan model Von Bertalanffy dibandingkan dengan model Richards dan Brody pada data individu sapi Retinta, dilaporkan bahwa model Von Bertalanffy dan Brody memerlukan proses iterasi yang sedikit. Perbedaan tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh perbedaan spesies yang menyebabkan perbedaan proses pertumbuhan, karena proses pertumbuhan sangat berpengaruh terhadap perbedaan
39
tingkat kemudahan estimasi parameter kurva pertumbuhan non linear (Carrijo dan Duarte, 1999). Hasil proses iterasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa model Von Bertalanffy merupakan model yang paling sulit untuk mencapai kriteria konvergen, diikuti oleh Model Gompertz dan Logistik. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mazzini et al. (2003) yang membandingkan model Brody, Gompertz, Logistik, Richards dan Von Bertalanffy pada sapi jantan Hereford. Persentase konvergen model Von bertalanffy merupakan model yang persentase konvergennya paling kecil setelah model Richards. Model Logistik merupakan model yang paling mudah mencapai konvergen yaitu sebesar 100% (seluruh data) yang diikuti oleh model Gompertz. Tingkat kemudahan dalam pendugaan nilai parameter kurva pertumbuhan juga sangat dipengaruhi oleh nilai korelasi negatif yang besar antara parameter kurva pertumbuhan dalam proses penghitungan seperti nilai korelasi antara nilai B dan M dalam model Richards yang menyebabkan model tersebut merupakan model yang paling sulit untuk mencapai konvergen selain karena adanya empat parameter (Fitzhugh,1976). Nilai korelasi dalam proses penghitungan tersebut merupakan nilai yang lebih bermakna matematis dibandingkan biologis apalagi bila menggunakan data populasi atau rataan untuk lebih memberi makna biologis harus dilihat dari nilai kurva pertumbuhan individu. Tabel 7. Rataan Nilai Korelasi antar Parameter Tiap Model Rataan Nilai Parameter
Model A*k
A*B
B*k
A*M
M*k
Logistik
-0,583
-
-
Gompertz
-0,615
-0,163
0,665
-0,114 -
0,637 -
Von Bertalanffy
-0,687
-0,081
0,382
-
-
Keterangan : A*k A*b B*k A*M M*k
= korelasi antara parameter A dengan k = korelasi antara parameter A dengan B = korelasi antara parameter B dengan k = korelasi antara parameter A dengan M = korelasi antara parameter M dengan k
Penyebab proses iterasi yang lebih banyak pada model Von Bertalanffy kemungkinan disebabkan nilai korelasi negatif relatif lebih besar dibandingkan
40
model lainnya antara bobot dewasa (A) dan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) yang ditunjukkan pada Tabel 7. Kesulitan yang dialami model Von Bertalanffy tersebut kemungkinan disebabkan kurang sesuainya proses pertumbuhan dari domba untuk bisa mengestimasi parameter kurva pertumbuhan (dibanding Gompertz dan Logistik) dengan interpretasi model Von Bertalanffy untuk menentukan parameter kurva pertumbuhan terutama bobot dewasa (A) dan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k). Hasil korelasi dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suparyanto (1999) dan Subandriyo et al. (2000) walaupun bukan merupakan nilai rataan korelasi. Perbandingan Model dalam Tingkat Keakuratan Perbandingan antara model dalam tingkat keakuratan bisa ada dua interpretasi yaitu (1) keakuratan estimasi dari parameter kurva pertumbuhan dan (2) keakuratan dalam pendugaan data lapangan. Keakuratan estimasi parameter kurva pertumbuhan adalah dalam menentukan keabsahan dari nilai parameter yang tidak berhubungan dengan keakuratan dalam pendugaan data lapangan ketika dibuat grafik kurva pertumbuhan. Tabel 8. Rataan Kuadrat Terkecil Standard Error Parameter Standard Error Parameter Kurva Pertubuhan Model
Logistik
SE A ± SE
SE k ± SE
-------kg-------
------%/hari------
SE (B/M) ± Sd ** (rataan) ------unit------
1,334 ± 0,07a
0,00056a ± 0,000033
0,256 ± 0,13
Gompertz
1,406 ± 0,07
a
a
0,00053 ± 0,000033
0,198 ± 0,11
Von Bertalanffy
1,542 ± 0,71a
0,00124b ± 0,000033
0,012 ± 0,01
Keterangan: Angka yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) **M khusus untuk model logistik SE A = Standard Error Parameter A SE k = Standard Error Parameter k SE (B/M) = Standard Error Parameter (B/M)
Perbandingan tingkat keakuratan yang dilakukan berdasarkan standar error dari tiap parameter yang diuji dengan metode perbedaan rataan kuadrat terkecil untuk standar error parameter tiap model yang mempunyai interpretasi biologis yang sama yaitu bobot dewasa (A) dan rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k).
41
Sedangkan untuk parameter B/M hanya ditampilkan berupa rataan saja tanpa dibandingkan. Berdasarkan nilai standar error dari parameter kurva pertumbuhan tiap model non linear diperoleh bahwa standar error dari parameter bobot dewasa menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p>0,05) untuk bobot dewasa (A), walaupun model Von Bertalanffy mempunyai kecenderungan rataan yang lebih besar dibandingkan model lainnya (Tabel 8). Hasil tersebut juga sesuai dengan yang yang dilaporkan oleh Suparyanto (1999) dan Subandriyo et al. (2000) pada berbagai genotipe. Standar error dari rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) menunjukkan bahwa model Von Bertalanffy mempunyai standar error yang lebih tinggi dibandingkan model lainnya (p<0,05). Perbandingan untuk standar error parameter lainnya tidak dilakukan karena adanya perbedaan dari interpretasi parameter masing-masing model kurva pertumbuhan tersebut. Standar error dari parameter kurva pertumbuhan non linear dipengaruhi oleh tingkat kemudahan model untuk mengestimasi parameter kurva pertumbuhan. Semakin sulit model tersebut mencapai kriteria konvergen maka nilai standar error dari parameter tersebut semakin besar. Hubungan tersebut dijelaskan oleh DeNise dan Brinks (1985) yang membandingkan model Brody dan Richards dan melaporkan bahwa model Brody yang mempunyai tingkat kesulitan yang rendah dalam proses penghitungan, serta mempunyai nilai rataan standar error yang lebih kecil dibandingkan model Richards. Hasil proses estimasi model non linear dalam penelitian ini juga menunjukkan hasil yang sama (Tabel 6). Model Von Bertalanffy yang mempunyai tingkat kesulitan yang lebih tinggi dalam proses mencapai kriteria konvergen ternyata mempunyai rataan standard error parameter yang lebih besar dibandingkan model lainnya dalam parameter yang mempunyai interpretasi yang sama (A dan k) sedangkan kecilnya parameter lain yaitu dalam nilai konstanta integral (B) tidak bisa dijadikan acuan karena interpretasi dan nilai parameter yang berbeda. Hasil yang sama juga diperoleh oleh Suparyanto (1999) dan Subandriyo et al. (2000). DeNise dan Brinks (1985) melakukan perbandingan pengaruh genotipe dan lingkungan terhadap standar error parameter kurva pertumbuhan Richards dan Brody pada sapi. Perbandingan tersebut dapat memperlihatkan pengaruh dari genotipe dan 42
lingkungan terhadap keakuratan dalam penentuan parameter kurva pertumbuhan yang juga berhubungan dengan tingkat kesulitan dalam pendugaan parameter kurva pertumbuhan. Analisis tersebut tidak menggunakan peragam umur terakhir penimbangan karena standar error tersebut telah disesuaikan oleh model non linear (DeNise dan Brinks, 1985). Analisis terhadap pengaruh faktor genotipe dan lingkungan terhadap standar error bobot dewasa (A) dalam penelitian ini menghasilkan pengaruh yang sama pada semua model. Standar error bobot dewasa (A) dipengaruhi sangat nyata (p<0,01) oleh faktor lingkungan baik internal ataupun eksternal yaitu jenis kelamin dan tahun kelahiran, sedangkan genotipe tidak berpengaruh nyata (p>0,05). Hasil tersebut menggambarkan bahwa tingkat kemudahan dalam pendugaan bobot dewasa (A) tidak dipengaruhi secara nyata (p>0,05) oleh genotipe tetapi lebih dipengaruhi oleh lingkungan (Tabel 9). Hasil tersebut berbeda dengan yang dilaporkan oleh DeNise dan Brinks (1985) karena fluktuasi lingkungan yang besar terutama faktor pakan dalam penelitian ini, sehingga lingkungan merupakan sumber variasi terbesar dalam standard error bobot dewasa (A). Tabel 9. Pengaruh Genotipe dan Lingkungan Terhadap Standard Error Parameter Kurva Pertumbuhan Model Logistik
Model Gompertz
Model Von Bertalanffy
Pengaruh
db
SE A
Genotipe ternak
4
ns
ns
**
ns
ns
**
ns
ns
ns
Tahun Kelahiran
7
**
**
**
**
**
**
**
**
**
Jenis Kelamin
1
**
ns
**
**
ns
**
**
ns
**
Paritas
4
ns
ns
ns
ns
ns
*
ns
ns
ns
Tipe lahirsapih
5
ns
*
*
ns
**
*
ns
**
**
0,31
0,18
0,25
0,32
0,19
0,29
0,24
R2
SE k
SE M
SE A
SE k
SE B
SE A
SE k
SE B
0,15 0,25
Keterangan : ** p<0,01 * p<0,05 ns tidak nyata (p>0,05) db = derajat bebas
SE A = Standard Error Parameter A SE k = Standard Error Parameter k SE B = Standard Error Parameter B SE M = Standar Error Parameter M
43
Standard error dari laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) juga menunjukkan hasil yang sama yaitu lingkungan berperan lebih penting terhadap variasi standard error laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k). Peran genotipe ternak mempunyai sangat penting terhadap variasi standar error parameter B/M kecuali pada model Von Bertalanffy (Tabel 9). Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa standar error parameter kurva pertumbuhan dan kemudahan dalam estimasi kurva pertumbuhan tidak dipengaruhi secara nyata (p>0,05) oleh genotipe ternak tetapi oleh faktor lingkungan. Hasil tersebut juga berbeda dengan laporan dari DeNise dan Brinks (1985) yang menyatakan faktor genetik lebih berperan dalam standar error laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k). Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan adanya fluktuasi kualitas dan kuantitas pakan dari tahun ke tahun dalam penelitian ini. Perbandingan tingkat keakuratan antar model dalam penjelasan data lapangan dapat dilakukan dengan evaluasi perbedaan secara keseluruhan antara data lapangan dengan data yang dihasilkan oleh parameter model kurva pertumbuhan. Perbandingan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan parameter simpangan data secara keseluruhan yaitu Jumlah Kuadrat Sisa, Kuadrat Tengah Sisa dan Koefisien Determinasi. Tabel 10. Rataan Kuadrat Terkecil Tingkat Keakuratan dalam Penjelasan Data Lapangan Parameter Tingkat Keakuratan Model
Jumlah Kuadrat Sisa ± SE
Kuadrat Tengah Sisa ± SE
Koefisien Determinasi ± SE
Logistik
639,561a ± 27,59
10,64 a ± 0,42
0,919 a ± 0,003
Gompertz
635,637 a ± 27,56
10,53 a ± 0,42
0,920 a ± 0,003
Von Bertalanffy
635,429 a ± 27,56
10,52 a ± 0,42
0,920 a ±0,003
Keterangan: Angka yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) SE = Standard Error
Perbandingan yang dilakukan menggunakan peragam umur terakhir penimbangan karena baik Jumlah Kuadrat Sisa, Kuadrat Tengah Sisa maupun Koefisisen Determinasi sangat dipengaruhi oleh umur data terakhir penimbangan. Berdasarkan parameter tingkatan keakuratan dari model secara keseluruhan 44
menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05), walaupun model Von Bertalanffy cenderung mempunyai tingkat keakuratan yang lebih tinggi baik dari segi Jumlah Kuadrat Sisa dan Kuadarat Tengah Sisa yang lebih kecil maupun Koefisien determinasi yang lebih besar (Tabel 10). Hasil tersebut sesuai dengan hasil yang diperoleh Suparyanto (1999) yang menyimpulkan bahwa model Von Bertalanffy mempunyai Jumlah Kuadrat Sisa yang paling rendah berdasarkan data populasi pada domba Sumatera dan Persilangannnya. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Mazzini et al. (2003) yang membandingkan antara model Brody, Logistik, Gompertz, Richards dan Von Bertalanffy pada sapi jantan Hereford disimpulkan bahwa model Von Bertalanffy merupakan model terbaik dalam keakuratan penjelasan data sebenarnya. Perbandingan keakuratan antara model juga dapat dilakukan berdasarkan simpangan antara data lapangan dengan estimasi dari model dalam berbagai umur untuk melihat kecenderungan simpangan dari tiap model dalam penggambaran data lapangan (Gambar 3). Simpangan antara data simulasi dengan lapangan dari lahir sampai 720 hari pada semua model terlihat overestimate pada awal pertumbuhan. Model Von Bertalanffy merupakan model yang paling mendekati data lapangan. Simpangan pada umur mendekati dewasa juga mengalami pendugaan yang terlalu besar dan model Von Bertalanffy cenderung mempunyai simpangan terkecil, namun pada data tengah pertumbuhan (200-300) model Gompertz dan Logistik cenderung
simpangan (kg)
lebih tepat dalam penggambaran data lapangan. 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 -0.5 0 -1 -1.5 -2
200
400
600
800
umur (hari)
Keterangan :
Logistik
Gomp ertz
Von Bertalanffy
Gambar 3. Grafik Rataan Simpangan Data Model Dibandingkan Data Lapangan dari Tiap Model 45
Evaluasi terhadap pengaruh genotipe dan lingkungan dilakukan untuk melihat pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap tingkat keakuratan tiap model dalam penggambaran data lapangan. Evaluasi tersebut juga telah dilakukan oleh DeNise dan Brinks (1985). Berdasarkan analisis tersebut didapatkan bahwa hampir semua pengaruh genotipe dan lingkungan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat keakuratan penggambaran data lapangan dari tiap model kecuali paritas pada kuadrat tengah sisa untuk setiap model (Tabel 11). Hasil tersebut sesuai dengan laporan dari DeNise dan Brinks (1985) yang melakukan penelitian pengaruh genetik dan lingkungan terhadap kurva pertumbuhan sapi. Laporan tersebut menjelaskan bahwa Jumlah kuadrat sisa dari model Brody dan Richards sangat dipengaruhi oleh Genotipe (line pejantan) dan tahun kelahiran ternak. Tabel 11. Pengaruh Genotipe dan Lingkungan Terhadap Keakuratan Model Model Logistik
Model Von Bertalanffy
Model Gompertz
Pengaruh
db
JKS
KTS
KD
JKS
KTS
KD
JKS
KTS
KD
Genotipe ternak
4
**
**
**
**
**
**
**
**
**
Tahun kelahiran
7
**
**
**
**
*
**
**
**
**
Jenis Kelamin
1
**
**
**
**
**
**
**
**
**
Paritas
4
*
ns
*
*
ns
*
*
ns
*
Tipe lahirsapih
5
ns
ns
*
ns
ns
**
ns
ns
**
Pengaruh Peragam
1
**
**
**
**
**
**
**
**
**
0,61
0,38
0,47
0,62
0,39
0,49
0,62
0,40
0,49
R2
Keterangan ** Pengaruh sangat nyata (P<0,01) * Pengaruh nyata (P<0,05) ns Pengaruh tidak nyata (P>0,05) JKS = Jumlah Kuadrat Sisa KTS = Kuadrat Tengah Sisa KD = Koefisien Determinasi
Hasil-hasil
yang
diperoleh
db = derajat bebas
mengindikasikan
bahwa
model
kurva
pertumbuhan mempunyai tingkat keakuratan yang berbeda selain pada tingkat spesies tapi juga dalam tingkat genotipe dan lingkungan yang berbeda, sehingga 46
penentuan model terbaik pada spesies, genotipe dan lingkungan ternak yang berbeda perlu dievaluasi secara cermat, kesimpulan tersebut sesuai dengan yang disarankan oleh Brown et al. (1976). Perbandingan Antar Model dalam Estimasi Parameter Kurva Pertumbuhan Uji terhadap parameter kurva Pertumbuhan dilakukan terhadap parameter kurva pertumbuhan untuk melihat perbedaan yang mungkin terjadi dari model yang berbeda. Perbandingan dilakukan terhadap parameter yang mempunyai interpretasi biologis yang sama yaitu bobot dewasa (A) dan rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini (Tabel 12) menunjukkan bahwa model Von Bertalanffy cenderung memberikan estimasi yang lebih tinggi terhadap nilai bobot dewasa (A) kemudian diikuti oleh model Gompertz dan Logistik perbedaan tersebut secara Statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05). Sedangkan untuk estimasi parameter laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) model kurva pertumbuhan memberikan estimasi yang sebaliknya, yaitu model Von Bertalanffy cenderung mengestimasi lebih rendah diikuti oleh model Gompertz dan Logistik (p<0,05). Tabel 12. Perbandingan Rataan Kuadrat Terkecil Parameter Kurva Pertumbuhan Model Logistik
Nilai Parameter Kurva Pertumbuhan A ± SE k ± SE B (M*) ± SE a a 40,69 ± 0,43 0,0059 ± 0,00016 2,032 ± 0,46
Gompertz
41,01a ± 0,43
0,0051b± 0,00016
2,762 ± 0,59
Von Bertalanffy
41,47a ± 0,43
0,0043c± 0,00016
0,516 ± 0,08
Keterangan: Angka yang berbeda (p<0,05) A = Bobot dewasa B = Konstanta integral
pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata SE = Standard Error k = Laju pertumbuhan menuju bobot dewasa M* = Parameter penentu titik infleksi (khusus model logistik)
Pola perbedaan tersebut kemungkinan karena adanya korelasi dalam proses penghitungan dari parameter A dengan k. Perbedaan dalam parameter kurva pertumbuhan tidak menjadikan interpretasi secara biologis berkurang. Hasil dengan pola yang serupa juga diperoleh Suparyanto (1999) yang melaporkan model Von Bertalanffy cenderung memberikan estimasi yang lebih tinggi pada parameter bobot
47
dewasa (A) dan estimasi yang lebih rendah pada parameter rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) yang juga dilaporkan dari Brown et al. (1976). Perbedaan estimasi parameter kurva pertumbuhan yang nyata juga dilaporkan oleh beberapa peneliti diantaranya DeNise dan Brinks (1985) pada sapi antara model Richards dan Brody dan Brown et al. (1976) pada lima model kurva pertumbuhan dan hampir semua laporan memberikan hasil serupa. Perbedaan pada parameter kurva pertumbuhan (Brown et al., 1976) tidak menjadi masalah apabila tidak sampai berpengaruh pada urutan (baik antar genotipe maupun line) dalam penelitian yang dapat merubah kesimpulan. Perbedaan perbandingan pada setiap model sangat dipengaruhi oleh beberapa asumsi fisiologis dan metabolis yang digunakan (Brody, 1945). Analisis pengaruh faktor genotipe dan lingkungan dilakukan pada setiap model untuk melihat bagaimana efek dari masing-masing faktor terhadap variasi dari nilai parameter kurva pertumbuhan. Metode tersebut juga dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya DeNise dan Brinks (1985) pada sapi Hereford serta oleh McManus et al. (2003) pada domba Bergamasca. Tabel 13. Pengaruh Genotipe dan Lingkungan terhadap Parameter Kurva Pertumbuhan Model Logistik Nilai Parameter Kurva Pertumbuhan Pengaruh
db
A
k
M
Ui *A
Ti
Genotipe Ternak Tahun Kelahiran Jenis Kelamin
4
**
ns
**
**
ns
7
**
**
**
**
**
1
**
ns
**
**
*
Paritas
4
ns
ns
**
ns
ns
Tipe lahir-sapih
5
*
ns
**
**
**
Pengaruh peragam R2
1
**
*
*
**
ns
0,51
0,21
0,55
0,48
0,27
Keterangan ** Pengaruh sangat nyata (P<0,01) db = derajat bebas * Pengaruh nyata (P<0,05) ns Pengaruh tidak nyata (P>0,05) A = Bobot dewasa M = Parameter penentu titik infleksi Ti = Titik infleksi U*A = Bobot pada titik infleksi k = Rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa
48
Pengaruh faktor genotipe dan lingkungan terhadap nilai parameter kurva pertumbuhan bobot dewasa (A) dari tiap model memberikan pengaruh yang nyata (p<0,01) kecuali untuk paritas (tipe-lahir sapih pada model logistik, p>0,05) (Tabel 13, Tabel 14 dan Tabel 15). Hasil tersebut sesuai dengan laporan dari McManus et al. (2003) yang membandingkan 3 model (Logistik, Brody dan Richads) untuk menduga parameter kurva pertumbuhan domba Bergamasca di Brasil, bahwa pada model logistik pengaruh jenis kelamin, tahun kelahiran serta paritas merupakan sumber variasi pada bobot dewasa (A). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa bobot dewasa (A) yang merupakan sifat yang sangat dipengaruhi oleh faktor genetik (Brody, 1945) ternyata dipengaruhi juga oleh lingkungan. DeNise dan Brinks (1985) juga melaporkan pada sapi Hereford dengan menggunakan model Brody bobot dewasa dipengaruhi secara nyata oleh tahun kelahiran. Laporan dari Wada dan Nishida (1987) mengungkapkan bahwa bobot dewasa pada sapi Japanese black juga sangat dipengaruhi oleh tahun kelahiran. Tabel 14. Pengaruh Genotipe dan Lingkungan terhadap Parameter Kurva Pertumbuhan Model Gompertz Nilai Parameter Kurva Pertumbuhan Pengaruh
db
A
k
b
Ui*A
Ti
Genotipe Ternak Tahun Kelahiran Jenis Kelamin
4
**
ns
**
**
ns
7
**
**
**
**
**
1
**
ns
ns
**
*
Paritas
4
ns
ns
**
ns
ns
Tipe lahir-sapih
5
**
ns
**
**
**
Pengaruh peragam R2
1
**
ns
*
**
ns
0,508
0,200
0,537
0,508
0,341
Keterangan ** Pengaruh sangat nyata (P<0,01) db = derajat bebas * Pengaruh nyata (P<0,05) B = Konstanta integral ns Pengaruh tidak nyata (P>0,05) U*A = Bobot pada titik infleksi A = Bobot dewasa Ti = Titik infleksi k = Rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa
Pada ketiga model dalam penelitian laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) ternyata tidak dipengaruhi secara nyata (P>0,05) oleh genotipe. Laju 49
pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) lebih dipengaruhi oleh tahun kelahiran (P<0,01) (Tabel 13, Tabel 14 dan Tabel 15). Hasil yang diperoleh menjelaskan bahwa rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) belum berhasil ditingkatkan. Salah satu dari tujuan persilangan yang dilakukan adalah meningkatkan bobot badan dewasa, namun menurut Lopez de Torre et al. (1992) nilai laju pertumbuhan menuju dewasa (k) merupakan nilai yang sangat berhubungan erat dengan produktifitas dari induk pada sapi potong. Tahun kelahiran merupakan faktor paling penting dalam tingkat variasi nilai rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) (P<0,01) yang sesuai dengan laporan McManus et al. (2003). Sedangkan pengaruh lain seperti jenis kelamin, tipe lahir dan paritas tidak berpengaruh nyata. Laporan dari DeNise dan Brinks (1985) juga mengungkapkan bahwa rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) sangat dipengaruhi oleh tahun kelahiran pada model Brody dan Richards, sedangkan Wada dan Nishida (1987) menyatakan tahun kelahiran, umur induk, musim beranak sangat berpengaruh terhadap rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) pada sapi Japanese Black dengan menggunakan model Von Bertalannfy. Tabel 15. Pengaruh Genotipe dan Lingkungan terhadap Parameter Kurva Pertumbuhan Model Von Bertalanffy Pengaruh Genotipe Ternak Tahun Kelahiran
Nilai Parameter Kurva Pertumbuhan db 4 7
A
k
B
Ui*A
Ti
**
ns
**
**
ns
**
**
**
**
**
Jenis Kelamin
1
**
ns
*
**
*
Paritas Tipe LahirSapih Pengaruh Peragam R2
4
ns
ns
**
ns
ns
**
ns
**
**
**
*
**
**
*
ns
0,499
0,188
0,538
0,499
0,296
5 1
Keterangan ** Pengaruh sangat nyata (P<0,01) db = derajat bebas * Pengaruh nyata (P<0,05) B = Konstanta integral ns Pengaruh tidak nyata (P>0,05) U*A = Bobot pada titik infleksi A = Bobot dewasa Ti = Titik infleksi k = Rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa
50
Bobot pada saat terjadinya titik infleksi (Ui*A) dipengaruhi oleh faktor yang juga mempengaruhi bobot dewasa (A), karena bobot saat infleksi didapatkan melalui perkalian persentase dewasa pada titik infleksi (Ui) dengan bobot dewasa (A). Sedangkan umur saat infleksi (Ti) sangat dipengaruhi (P<0,01) oleh lingkungan yaitu tahun kelahiran, tipe lahir-sapih dan jenis kelamin (Tabel 13, Tabel 14 dan Tabel 15). Hasil tersebut sesuai dengan laporan dari Wada dan Nishida (1987) yang mengungkapkan bahwa tahun kelahiran, umur induk dan musim beranak sangat berpengaruh terhadap titik infleksi (umur pubertas). Umur pada saat titik infleksi pertumbuhan merupakan titik yang paling ekonomis pada ternak, titik tersebut mengindikasikan beberapa hal yaitu (1) titik terdapatnya pertumbuhan maksimal dari ternak (2) umur pada saat pubertas (3) titik terendah dalam mortalitas; dan (4) titik tersebut bisa digunakan dalam determinasi geometris pada perbandingan antar spesies (Brody, 1945). Pengaruh peragam dalam penelitian ini ternyata menunjukkan peran yang sangat nyata (p<0,01) terhadap Bobot dewasa (A) pada pada semua model kurva pertumbuhan. Pengaruh peragam umur terakhir untuk model Logistik, Gompertz dan Von Bertalanffy ternyata menambah bobot dewasa 0,86 kg; 0,71 kg dan 0,56 kg setiap penambahan 1 tahun umur ternak dengan rataan umur terakhir 1522 hari. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa domba Priangan dan Persilangannya mempunyai waktu tumbuh lebih dari 2 tahun, yang memperkuat laporan bahwa domba di Indonesia mempunyai pertumbuhan yang lama untuk mencapai bobot dewasa (Merkens dan Soemirat., 1926). Sedangkan rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) juga nyata (p<0,05) dipengaruhi peragam umur terakhir pada model logistik, sedangkan untuk model Gompertz dan Von Bertalanffy tidak nyata (p>0,05). Semakin bertambah data ternak selama 1 tahun ternyata mengurangi nilai k pada model logistik sebesar -0,21.10-3.%/hari. Pengaruh peragam terhadap parameter B/M juga nyata (p<0,05) untuk setiap model. Pengaruh peragam dengan bertambahnya umur penimbangan selama 1 tahun akan meningkatkan parameter B(M) pada model logistik dan Von Bertalanffy sebesar 0,0361 dan 0,004 unit dan mengurangi nilai B pada model Gompertz sebesar 0,022 unit.
51
Karakteristik Pertumbuhan Domba Priangan dan Persilangannya Persilangan merupakan metode yang paling cepat merubah bentuk kurva pertumbuhan. Perubahan dari kurva pertumbuhan akan memberi gambaran pada tingkat efisiensi dari ternak hasil persilangan untuk mencapai bobot potong optimal. Tabel 16. Parameter Kurva Pertumbuhan Menggunakan Model Logistik Genotipe Ternak
Nilai Parameter Kurva Pertumbuhan A ± SE
k ± SE
M ± SE
Ui*A ± SE
Ti ± SE
--Kg--
--10-3. %/hari--
--unit--
--Kg--
--hari--
Priangan
35,88a ± 0,71
5,81a ± 0,30
2,70 ab ± 0,04
15,38 a ± 0,3
208,2 a± 7,7
MP
43,08c± 1,09
5,40a ± 0,46
2,81abc ± 0,07
18,45 c ± 0,5
234,7b±11,9
HP
38,97b± 0,88
5,74a ± 0,37
2,72 ab ± 0,05
16,69 b ± 0,4
211,2ab±9,6
MHP
42,42c ± 0,98
6,20a ± 0,41a
2,99 c ± 0,06
18,02 c ± 0,4
227,4 ab±10,6
HMP
43,13c±1,20
5,72a± 0,51a
2,79 abc ± 0,07
18,43 c ± 0,5
222,0ab±13,1
Keterangan : Angka yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) SE = Standard Error A = Bobot dewasa U*A = Bobot pada titik infleksi k = Rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa Ti = Titik infleksi (umur pubertas) M = Parameter penentu titik infleksi MP = Mouton Charollais X Priangan MHP = MP X HP HP = St Croix X Priangan HMP = HP X MP
52
50 45 40 bobot (kg)
35 30 25 20 15 10 5
Keterangan :
Priangan
MP
HP
MHP
24 00
18 00
13 80
umur (hari)
12 30
10 80
93 0
78 0
63 0
48 0
33 0
18 0
70
35
0
0
HMP
Gambar 4. Kurva Pertumbuhan Domba Priangan dan Persilangannya Menggunakan Model Logistik. Berdasarkan hasil rataan kuadrat terkecil parameter kurva pertumbuhan dapat dilihat bahwa persilangan dengan Mouton Charollais dan St. Croix dapat meningkatkan secara nyata (p<0,05) bobot dewasa (A) dari domba persilangan apabila dibandingkan dengan bobot dewasa (A) domba Priangan murni (Tabel 16). Keunggulan relatif dari domba Persilangan dibandingkan domba Priangan murni dengan menggunakan model Logistik tersebut cukup besar. Domba HMP memiliki keunggulan relatif domba bobot dewasa (A) yang paling besar yang diikuti oleh MP, MHP dan HP (Tabel 17). Tabel 17. Keunggulan Relatif Domba Persilangan dengan Menggunakan Model Logistik Keunggulan Relatif Parameter Kurva Pertumbuhan Bobot Dewasa (A)
Rataan Laju Pertumbuhan Menuju Bobot Dewasa (k)
-----%-----
-----%-----
MP
20,06
-7,08
HP
8,6
-1,39
MHP
18,23
6,68
Genotipe Ternak
53
HMP
20,21
Keterangan : MP = Mouton Charollais X Priangan HP = St Croix X Priangan
-1,58 MHP = MP X HP HMP = HP X MP
Keunggulan Relatif domba Persilangan dibandingkan dengan domba Priangan murni dalam rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) menunjukkan penurunan (negatif) kecuali pada domba MHP (Tabel 17). Faktor penyebab dari hasil tersebut adalah adanya korelasi genetik dan fenotip dari parameter bobot dewasa dengan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) (DeNise dan Brinks, 1985 serta Wada dan Nishida, 1987). Keunggulan relatif dalam laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) dari domba Persilangan dibandingkan dengan domba Priangan dengan menggunakan model Logistik menunjukkan bahwa domba MHP mempunyai keunggulan relatif terbesar dibandingkan domba Persilangan lainnya (Tabel 17). Berdasarkan
kurva
pertumbuhan
model
Logistik
(Gambar
4)
jika
diasumsikan standar bobot potong pasar sebesar 35 kg, maka persilangan telah mempercepat waktu tercapainya bobot tersebut yaitu yang semula pada domba Priangan dicapai pada umur 915 hari (30,5 bulan) dapat dipercepat pada domba MP 476 hari (15,87 bulan), HP 560 (18,67 bulan), MHP 438 hari (14,6 bulan) dan HMP 447 (14,9 bulan). Tabel 18. Parameter Kurva Pertumbuhan Menggunakan Model Gompertz Genotipe Ternak
Nilai Parameter Kurva Pertumbuhan A ± SE
k ± SE
B ± SE
Ui*A ± SE
Ti ± SE
---Kg---
--10-3. %/hari--
--unit--
--Kg--
---hari---
Priangan
36,23 a±0,71
5,05 a ±0,57
1,98a±0,03
13,33 a±0,26
163,14 a ± 6,3
MP
43,29 c±1,10
4,83a±0,42
2,07ab±0,05
15,93 c±0,41
177,55 a ± 9,8
HP
39,19 b±0,89
5,01a±0,34
1,99a±0,04
14,42 b±0,33
161,68 a ± 7,8
MHP
42,36 c±0,99
5,54a±0,37
2,20b±0,05
15,59 bc±0,36
177,79 a ± 8,7
HMP
43,31c±1,21
5.03a±0,46
2,05ab±0,06
15,94c±0,45
174,28 a ± 10,7
Keterangan: angka yang berbeda padak kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) SE = Standard Error A = Bobot dewasa U*A = Bobot pada titik infleksi k = Rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa Ti = Titik infleksi B = Konstanta integral MP = Mouton Charollais X Priangan MHP = MP X HP HP = St Croix X Priangan HMP = HP X MP
54
50 45 40
bobot (kg)
35 30 25 20 15 10 5
Keterangan :
28 00
22 00
18 00
14 10
12 90
11 70
10 50
93 0
81 0
69 0
57 0
45 0
33 0
21 0
98
56
28
0
0
umur (hari)
Priangan
MP
HP
M HP
HM P
Gambar 5. Kurva Pertumbuhan Domba Priangan dan Persilangannya Menggunakan Model Gompertz. Berdasarkan rataan kuadrat terkecil parameter kurva pertumbuhan model Gompertz juga memberikan hasil yang serupa dengan model lainnya (Tabel 18) urutan dari antar genotipe juga tidak berbeda. Hasil tersebut menurut Brown et al. (1976) menandakan bahwa dugaan menurut kurva pertumbuhan tersebut telah sesuai dengan kenyataan data lapangan. Tabel 19.
Keunggulan Relatif Domba Persilangan Menggunakan Model Gompertz Keunggulan Relatif Parameter Kurva Pertumbuhan Bobot Dewasa (A)
Rataan Laju Pertumbuhan Menuju Bobot Dewasa (k)
-----%-----
-----%-----
MP
19,4
-4,42
HP
8,17
-0,73
MHP
16,92
9,64
HMP
19,54
-0,39
Genotipe Ternak
Keterangan : MP = Mouton Charollais X Priangan HP = St Croix X Priangan
MHP = MP X HP HMP = HP X MP
55
Keunggulan relatif bobot dewasa (A) domba Persilangan dibandingkan domba Priangan murni juga memberikan hasil yang hampir sama dengan model lainnya dengan urutan yang tidak berbeda (Tabel 19). Keunggulan relatif laju percepatan menuju bobot dewasa (k) domba Persilangan dibandingkan dengan domba Priangan murni pada model Gompertz juga menunjukkan urutan yang sama dengan model lainnya (Tabel 19). Urutan dalam kecepatan menuju bobot standar pasar menggunakan model Gompertz (Gambar 5) juga tidak berbeda yaitu yang semula pada domba Priangan dicapai pada umur 807 hari (26.9 bulan) dapat dipercepat pada domba MP 472 hari (15,73 bulan), HP 539 (17,97 bulan), MHP 456 hari (15,2 bulan) dan HMP 455 (15,16 bulan). Nilai estimasi parameter kurva pertumbuhan model Von Bertalanffy memang memberikan nilai yang lebih tinggi dibandingkan model lainnya dalam estimasi nilai bobot dewasa (A) dan lebih rendah dalam estimasi nilai laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) (Tabel 20). Perbedaan tersebut ternyata tidak mengubah urutan dari parameter kurva pertumbuhan dari genotipe. Hasil tersebut menjadikan nilai dugaan dari parameter kurva pertumbuhan dari berbagai model yang digunakan mempunyai interpretasi biologis yang masih dapat diterima (Brown et al., 1976). Tabel 20. Parameter Kurva Pertumbuhan Menggunakan Model Von Bertalanffy Genotipe Ternak
Nilai Parameter Kurva Pertumbuhan A ± SE
k ± SE
b ± SE
Ui*A ± SE
Ti ± SE
---kg---
--10-3.%/hari--
--unit--
--kg--
--hari--
Priangan
37,01 a±0,71
4,40a±0,24
0,50a±0,0061
10,97 a±0,22
117,13a±5,5
MP
44,14 c±1,16
4,18a±0,37
0,52ab±0,0094
13,08 c±0,34
133,45ab±8,5
HP
40,00 b±0,93
4,34a±0,30
0,51a±0,0076
11,85 b±0,28
117,21ab±6,9
MHP
43,28 c±1,04
4,72a±0,33
0,54 b±0,0084
12,83 c±0,31
135,56 b±7,6
HMP
4,33a±0,41 0,51a±0,0103 13,11c±0,38 125,56ab±9,4 44,42 c±1,28 Keterangan: Angka yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) SE = Standard Error A = Bobot dewasa U*A = Bobot pada titik infleksi k = Rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa Ti = Titik infleksi B = Konstanta integral MP = Mouton Charollais X Priangan MHP = MP X HP HP = St Croix X Priangan HMP = HP X MP
56
50 45 40
bobot (kg)
35 30 25 20 15 10 5
24 00
18 00
13 80
umur (hari)
12 30
10 80
93 0
78 0
63 0
48 0
33 0
18 0
70
35
0
0
Priangan MP HP M HP HM P Keterangan : Gambar 6. Kurva Pertumbuhan Domba Priangan dan Persilangannya Menggunakan Model Von Bertalanffy
Berdasarkan rataan kuadrat terkecil parameter kurva pertumbuhan model Von Bertalanffy keunggulan relatif domba Persilangan dibandingkan dengan domba Priangan murni mempunyai urutan dan nilai yang serupa dengan model lainnya (Tabel 21) begitu juga dengan keunggulan relatif dari laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k). Hasil yang serupa juga dihasilkan dalam perbandingan waktu tercapainya standar pasar dengan menggunakan model kurva pertumbuhan model Von Bertalanffy (Gambar 6.) jika diasumsikan standar bobot potong pasar sebesar 35 kg maka persilangan telah mempercepat waktu tercapainya bobot tersebut, yaitu yang semula pada domba Priangan dicapai pada umur 752 hari (25,07 bulan) dapat dipercepat pada domba MP 467 hari (15,67 bulan), HP 567 (18,9 bulan), MHP 440 hari (14,67 bulan) dan HMP 445 (14,83 bulan). Tabel 21. Keunggulan Relatif Domba Persilangan Menggunakan Model Von Bertalanffy Keunggulan Relatif Parameter Kurva Pertumbuhan Genotipe Ternak MP
Bobot Dewasa (A)
Rataan Laju Pertumbuhan Menuju Bobot Dewasa (k)
-----%-----
-----%-----
19,26
-4,91
57
HP
8,08
-1,34
MHP
16,94
7,18
HMP
19,51
-1,68
Keterangan : MP = Mouton Charollais X Priangan HP = St Croix X Priangan
MHP = MP X HP HMP = HP X MP
Berdasarkan pada pendugaan parameter kurva pertumbuhan dari berbagai model yang digunakan ternyata nilai interpretasi biologis dari parameter tersebut dapat diterima. Pada pendugaan bobot dewasa urutan dari genotipe dari berbagai model tersebut tidak jauh berbeda dengan yang diteliti oleh Nafiu (2003) pada bobot kawin pertama domba Priangan dan persilangannya yaitu untuk domba Priangan sebesar 29,04 kg, MP = 35,24 kg, HP = 32,74 kg, MHP = 34,51 kg dan HMP = 34.54. Perbedaan yang ada dikarenakan bobot tersebut belum mencapai dewasa dan tidak dimasukkan data pejantan. Umur infleksi menurut Brody (1945) merupakan umur ternak saat mencapai pubertas. Umur infleksi yang diperoleh dalam penelitian ini secara biologis dapat diterima karena menurut Gatenby (1991) umur dewasa kelamin dari domba di daerah tropis adalah 5-6 bulan. Model yang berbeda mempunyai kecenderungan berbeda pula dalam pendugaan titik infleksi model Von Bertalanffy memberikan nilai yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan model lainnya diikuti model Gompertz dan logistik (Tabel 16, 18 dan 20). Pendugaan titik infleksi tersebut memang tiap model berbeda perbedaan tersebut sangat ditentukan oleh nilai dari parameter M. Parameter M dari model Von Bertalanffy dan Gompertz (Von bertalanffy M=3, Gompertz M=∞) mempunyai nilai yang tetap, sehingga bobot persentase kedewasan (Ui) pada waktu infleksi yang menentukan dalam pencarian titik infleksi pun tetap. Sedangkan model Logistik yang dimodifikasi oleh Nelder (1961) mempunyai titik infleksi berupa variabel yang dicari model. Model tersebut hampir sama dengan Richards tetapi nilai b dari model logistik dibuat tetap yaitu 1 sehingga tidak menyulitkan model tersebut dalam proses penghitungan pendugaan parameter kurva pertumbuhan tersebut. Titik infleksi dari tiap model mempunyai urutan yang tidak terlalu berbeda yang menjadikan interpretasi dari model tersebut cukup dapat diterima. Persilangan dari terhadap domba Priangan ternyata cenderung meningkatkan titik infleksi (umur pubertas) dari hasil persilangan tersebut terutama domba yang mengandung darah 58
(gen aditif) domba Mouton Charollais yang memang mempunyai umur dewasa kelamin yang lama di tempat asalnya yaitu 12-13 bulan (Farid dan Fahmy, 1996). Tujuan persilangan dalam ternak pedaging termasuk domba adalah meningkatkan efisiensi ternak dalam memanfaatkan pakan serta standar bobot yang sesuai dengan pasar. Kurva pertumbuhan bisa menggambarkan kebutuhan pakan dari ternak yang secara biologis maupun ekonomis bisa menduga tingkat efisiensi ternak tersbut. Ternak yang mempunyai bobot yang besar belum tentu mempunyai efisiensi yang tinggi dari segi biologis maupun ekonomis karena bobot yang besar juga membutuhkan kuantitas dan kualitas pakan yang besar pula (Aranggo dan VanVleck, 2002). Salah satu tujuan dari persilangan yang dilakukan adalah meningkatkan bobot badan dan tercapainya bobot standar pasar yang lebih cepat. Hasil yang diperoleh antar model memberikan urutan yang sama dalam kecepatan tercapainya standar bobot pasar (35 kg) dengan urutan yang paling cepat mencapai standar tersebut yaitu domba MHP yang diikuti domba HMP, MP, HP dan Priangan. Berdasarkan keunggulan relatif parameter kurva pertumbuhan ternyata persilangan telah meningkatkan bobot dewasa (A) yang lebih besar dibandingkan domba Priangan namun berdasarkan laju percepatan menuju bobot dewasa (k) memiliki nilai yang rendah (kecuali domba MHP). Hal tersebut disebabkan oleh korelasi negatif dari bobot dewasa dan parameter rataan kecepatan menuju dewasa. Domba MHP memberikan hasil yang berbeda, domba tersebut mempunyai bobot dewasa yang lebih besar dibandingkan domba Priangan yang cukup signifikan selain itu rataan kecepatan menuju dewasa dari domba tersebut juga merupakan yang terbaik diantara domba lainnya sehingga domba tersebut bisa diharapkan untuk menjadi domba yang efisien secara biologis dan ekonomis. Kesimpulan tersebut juga di dukung dengan hasil penggambaran kurva pertumbuhan dari tiap model yang menunjukkan bahwa domba MHP merupakan domba yang paling cepat mencapai standar pasar non konvensional (35 kg). Domba MHP merupakan domba yang dapat dikembangkan lebih baik dengan cara dimantapkan terlebih dahulu komposisi genetiknya dengan disertai seleksi. Hasil penelitian Nafiu (2003) juga merekomendasikan domba MHP sebagai domba yang mempunyai prospek untuk dikembangkan menjadi bibit unggul karena
59
mempunyai kelebihan-kelebihan baik dari segi reproduksi dan pertumbuhan baik pada kondisi pakan baik maupun pakan kurang baik.
Perbandingan Parameter Kurva Pertumbuhan Domba Persilangan pada Generasi yang Berbeda Perbandingan antar generasi yang berbeda dari domba Persilangan dilakukan untuk mempelajari pengaruh interse mating terhadap parameter kurva pertumbuhan dari berbagai model yang digunakan. Tabel 22. Parameter Kurva Pertumbuhan pada Generasi yang Berbeda Menggunakan Model Logistik Genotipe Ternak MP Generasi 1 Generasi 2 Generasi 3
Nilai Parameter Kurva Pertumbuhan N
68 46 18 4
A ± SE
k ± SE
M ± SE
Ui*A ± SE
Ti ± SE
---kg---
--10-3. %/hari--
---unit---
----kg----
----hari----
43,51a±1,69 44,06a±1,75 37,20a±4,18
6,61a±0,71 3,50b±0,73 7,53c±1,74
2,79±0,10 2,79±0,11 2,95±0,26
18,61±0,74 18,93±0,76 15,82±1,81
218,2±18,3 267,1±18,9 165,7±45,2 60
HP 115 Generasi 1 60 40,81a±1,91 Generasi 2 48 38,45a±1,26 Generasi 3 7 37,73a±2,71 MHP 101 Generasi 1 54 42,23a±1,35 Generasi 2 40 42,37a±1,37 Generasi 3 7 41,69a±2,90 HMP 55 Generasi 1 26 44,04a±1,77 Generasi 2 18 42,69a±1,87 Generasi 3 11 40,21a±2,44 Keterangan: Angka yang berbeda
6,01a±0,80 5,73a±0,53 5,06a±1,13
2,65±0,12 2,76±0,08 2,60±0,17
17,53±0,82 199,67±20,6 16,43±0,55 215,36±13,7 16,24±1,18 238,2±29,4
6,34a±0,56 5,48a±0,57 6,16a±1,20
3,04±0,08 2,93±0,08 3,03±0,17
17,89±0,59 225,96±14,6 18,04±0,59 241,38±14,8 17,67±1,26 238,10±31,3
4,68a±0,74 6,63ab±0,78 5,62b±1,01
2,76±0,11 2,78±0,12 2,89±0,15
18,78±0,77 248,36±19,1 18,29±0,81 214.1±20,2 17,15±1,06 199,8±26,3
pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) SE = Standard Error A = Bobot dewasa U*A = Bobot pada titik infleksi k = Rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa Ti = Titik infleksi B = Konstanta integral MP = Mouton Charollais X Priangan MHP = MP X HP HP = St Croix X Priangan HMP = HP X MP
Pengaruh proses interse mating terhadap bobot dewasa (A) dari semua model kurva pertumbuhan memberikan hasil yang sama yaitu cenderung menurunkan nilai dari parameter tersebut pada ternak persilangan pada generasi dua dan tiga walaupun secara statistik tidak nyata (p>0,05) yang lebih disebabkan oleh faktor jumlah sampel yang sedikit (Tabel 22, Tabel 23 dan Tabel 24). Hasil tersebut menggambarkan terjadinya penurunan bobot badan dari ternak persilangan karena proses interse mating. Penurunan performans tersebut disebabkan adanya kehilangan efek heterosis dari ternak persilangan. Kehilangan efek heterosis tersebut disebabkan karena semakin homogennya komposisi genetik dari domba persilangan.
61
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0 35 70 1 80 3 30 4 80 6 30 7 80 93 1 08 0 1 23 0 1 38 0 1 80 0 2 40 0 0
0 35 70 1 80 3 30 4 80 6 30 7 80 93 1 08 0 1 23 0 1 38 0 1 80 0 2 40 0 0
b o b o t (k g )
b o b o t (k g )
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Keterangan : Domba MP
umur (hari)
Gen 1
Gen 2
Gen 3
Keterangan : Domba HP
umur (hari)
Gen 1
Gen 2
Gen 3
50
45
45
40
40
35
35
b o b o t (k g )
b o b o t (k g )
30 25 20
30 25 20
15
15
:10 :
10
0
0
Keterangan : Domba MHP
umur (hari) Gen 1 Gen 2
Gen 3
0 35 70 18 0 33 0 48 0 63 0 78 0 93 10 0 8 12 0 30 13 8 18 0 0 24 0 00
5
0 35 70 1 80 3 30 4 80 6 30 7 80 93 1 08 0 1 23 0 1 38 0 1 80 0 2 40 0 0
5
Keterangan : Domba HMP
umur (hari)
Gen 1
Gen 2
Gen 3
Gambar 7. Kurva Pertumbuhan Domba Persilangan pada Generasi yang Berbeda Menggunakan Model Logistik Pola perubahan pada rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) terjadi fluktuasi yang kurang teratur (Tabel 22, Tabel 23 dan Tabel 24), karena parameter tersebut lebih dipengaruhi oleh lingkungan terutama pakan (yang diwakili tahun kelahiran) walaupun telah dimasukkan sebagai efek tetap tetapi kemungkinan masih sangat berpengaruh karena jumlah populasi yang sedikit sehingga
62
memperbesar error dari penelitian, selain itu ada korelasi antara bobot dewasa (A) dengan rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k). Tabel 23. Parameter Kurva Pertumbuhan pada Generasi yang Berbeda Menggunakan Model Gompertz Genotipe Ternak
Nilai Parameter Kurva Pertumbuhan N
MP 68 Generasi 1 46 Generasi 2 18 Generasi 3 4 HP 115 Generasi 1 60 Generasi 2 48 Generasi 3 7 MHP 101 Generasi 1 54 Generasi 2 40 Generasi 3 7 HMP 55 Generasi 1 26 Generasi 2 18 Generasi 3 11 Keterangan:
A ± SE
k ± SE
B ± SE
Ui*A ± SE
Ti ± SE
---kg---
--10-3. %/hari--
---unit---
---kg---
----hari----
43,94a±1,70 43,59a±1,82 41,32a±3,75
5,79ab±0,64 3,28a±0,69 5,73b±1,40
2,05a±0,08 2,08a±0,88 2,04a±0,18
16,17a±0,63 16,03a±0,67 15,20a±1,38
176,6a±15,0 189,9a±16,2 176,6a±15,0
41,24a±1,93 38,66a±1,38 37,91a±2,74
5,17a±0,72 5,10a±0,48 4,45a±1,02
1,93a±0,09 2,04a±0,06 1,94a±0,13
15,17a±0,71 14,22a±0,47 13,95a±1,01
154,39a±16,9 166,37a±11,2 184,81a±24,1
42,49a±1,36 42,63a±1,38 38,59a±2,93
5,60a±0,51 4,81a±0,52 6,29a±1,09
2,25a±0,07 2,17a±0,07 2,14a±0,14
15,63a±0,5 15,68a±0,5 14,20a±1,1
179,87a±12,0 190,98a±12,2 150,22a±25,8
44,28a±1,78 42,73a±1,89 40,88a±2,46
4,12a±0.66 5,84b±0,71 4,79ab±0,92
2,03a±0,08 2,05a±0,09 2,11a±0,12
16,29a±0,66 15,72a±0,70 15,04a±0,91
194,09a±15,7 166,57a±16,7 159,28a±21,7
Angka yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) SE = Standard Error A = Bobot dewasa U*A = Bobot pada titik infleksi k = Rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa Ti = Titik infleksi B = Konstanta integral MP = Mouton Charollais X Priangan MHP = MP X HP HP = St Croix X Priangan HMP = HP X MP
Perubahan nilai laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) yang sangat drastis terjadi pada domba dengan genotipe MP pada generasi kedua yang disebabkan oleh terjadinya penurunan kuantitas dan kualitas pakan pada waktu kelahiran domba tersebut yaitu pada tahun 2001 (Nafiu, 2003). Pengaruh tahun kelahiran tersebut walaupun sudah dimasukkan sebagai efek tetap karena data yang kurang ternyata masih sangat berpengaruh. Penurunan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) pada domba MP membuktikan bahwa domba tersebut yang mengandung darah (gen aditif) 50% domba Charollais yang merupakan domba yang
63
berasal dari temperate (iklim sedang) ternyata lebih tidak tahan terhadap pakan yang kurang baik. Fluktuasi bobot dewasa (A) pada domba kemungkinan juga dipengaruhi oleh pengaruh induk yang kemungkinan disebabkan efek dari maternal heterosis. Hasil tersebut bisa dilihat pada berbagai domba Persilangan. Domba MP generasi pertama mempunyai nilai bobot dewasa (A) yang lebih kecil daripada domba MP generasi kedua (untuk model logistik) atau hampir sama untuk model lainnya. Menurut teori persilangan pengaruh interse mating akan menurunkan performa ternak persilangan sebesar 50% dari efek heterosis secara keseluruhan yang diperoleh pada ternak persilangan generasi pertama hal sebaliknya terjadi pada domba MP yang kemungkinan disebabkan oleh pengaruh induk (maternal effect) dan maternal heterosis (heterosis dari induk) yang mempengaruhi bobot dewasa (A) faktor tersebut kesulitan dihitung karena persilangan tidak dilakukan dengan metode resiprocal. Domba MP generasi pertama yang merupakan keturunan induk domba Priangan yang mempunyai produksi susu lebih sedikit dan bobot badan yang lebih kecil dibandingkan dengan induk dari MP generasi kedua yaitu domba MP generasi pertama yang kemungkinan mempunyai produksi susu yang lebih tinggi dan bobot badan yang lebih besar dibandingkan domba Priangan dan kemungkinan adanya efek dari maternal effect dan maternal heterosis dari induk MP. Bobot dewasa (A) domba HP generasi pertama ternyata menunjukkan performa yang lebih besar daripada generasi kedua dan ketiga pada berbagai model kurva pertumbuhan. Penurunan tersebut kemungkinan disebabkan oleh proses interse mating yang akan menurunkan efek heterosis. Kemungkinan pengaruh efek induk agak kecil karena tipe biologis yang sama antara domba Priangan dan St. Croix sehingga produksi susu yang hampir sama. Laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) domba HP pada generasi selanjutnya juga mengalami penurunan yang gradual yang kemungkinan karena penurunan efek heterosis. Kemungkinan pengaruh induk terhadap bobot badan dewasa (A) dari domba MHP juga terjadi. Domba MHP generasi pertama yang seharusnya mempunyai bobot badan dewasa yang lebih besar karena mempunyai efek heterosis yang maksimum ternyata mempunyai bobot dewasa lebih rendah dibandingkan generasi kedua. Efek induk tersebut kemungkinan disebabkan karena induk dari domba MHP generasi 64
pertama (HP) kemungkinan mempunyai produksi susu yang lebih kecil dibandingkan induk domba MHP generasi kedua yaitu MHP generasi pertama. 50
45
45 40
40
35
35 30
25
25
b o b o t (k g )
b o b o t (k g )
30 20
20
15
15
10
10
5
5
0
0 35 70 1 80 3 30 4 80 6 30 7 80 93 1 08 0 1 23 0 1 38 0 1 80 0 2 40 0 0
0
Keterangan : Domba MP
umur (hari) Gen 1
Gen 2
Gen 3
0
4 2 9 8 2 70 4 5 0 6 30 8 10 9 9 0 1 7 0 35 0 80 0 5 0 0 1 1 1 2 umur (hari) Keterangan : Domba HP
Gen 1
Gen 2
Gen 3
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
45 40 35 25 20 15 10 5
0 35 70 18 0 33 0 48 0 63 0 78 0 93 0 10 80 12 30 13 8 18 0 00 24 00
0
Keterangan : Domba MHP
umur (hari)
Gen 1
Gen 2
Gen 3
0 35 70 1 80 3 30 4 80 6 30 7 80 93 1 08 0 1 23 0 1 38 0 1 80 0 2 40 0 0
b o b o t (k g )
b o b o t (k g )
30
Keterangan : Domba HMP
Gen 1
umur (hari)
Gen 2
Gen 3
Gambar 8. Kurva Pertumbuhan Domba Persilangan pada Generasi yang Berbeda Menggunakan Model Gompertz Introduksi gen dari domba Charollais yang mempunyai produksi susu yang tinggi diduga sebagai penyebab naiknya produksi susu tersebut serta kemungkinan adanya pengaruh maternal effect dan maternal heterosis yang terdapat pada MHP yang lebih besar dibandingkan domb HP pada sifat produksi susu. Laju pertumbuhan 65
menuju bobot dewasa (k) dari domba MHP mempunyai nilai yang berlawanan dengan parameter A (bobot dewasa) yang kemungkinan disebabkan adanya korelasi negatif dari kedua parameter tersebut. Tabel 24. Parameter Kurva Pertumbuhan pada Generasi yang Berbeda Menggunakan Model Von Bertalanffy Genotipe Ternak
Nilai Parameter Kurva Pertumbuhan N
A ± SE
k ± SE
B ± SE
Ui*A ± SE
Ti ± SE
---kg---
--10-3. %/hari--
---unit---
---kg---
----hari----
MP 68 44,83a±1,8 Generasi 1 46 44,53a±1,9 Generasi 2 18 41,63a±3,9 Generasi 3 4 HP 115 Generasi 1 60 41,99a±2,0 Generasi 2 48 39,56a±1,3 Generasi 3 7 38,84a±2,9 MHP 101 a Generasi 1 54 43,47 ±1,44 a Generasi 2 40 43,71 ±1,45 38,91a±3,08 Generasi 3 7 HMP 55 a Generasi 1 26 45,37 ±1,87 a Generasi 2 18 43,62 ±1,99 a Generasi 3 11 41,60 ±2,59 Keterangan: Angka yang berbeda
5,09a±0,57 2,74ab±0,61 5,07b±1,25
0,52a±0,01 0,52a±0,03 0,53a±0,03
13,28a±0,53 136,5a±13,1 13,19a±0,57 139,2a±14,1 12,33a±1,17 101,8a±28,9
4,58a±0,64 4,30a±0,43 3,80a±0,91
0,51a±0,02 0,51a±0,01 0,49a±0,02
12,43a±0,60 115,1a±14,8 11,72a±0,40 120,8a±9,8 11,51a±0,90 129,1a±21,1
4,71a±0,45 4,09a±0,46 5,47a±0,97
0,55a±0,01 0,54a±0,01 0,53a±0,03
12,88a±0,43 133,3a±10,5 12,95a±0,43 149,1a±10,7 11,53a±0,91 108,5a±22,5
3,52a±0.60 5,07a±0.63 4,01a±0.82
0,51a±0,02 0,51a±0,02 0,52a±0,02
13,44a±0,55 140,4a±13,7 12,92a±0,59 118,2a±14,6 12,33a±0,77 113,0a±18,9
pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) SE = Standard Error A = Bobot dewasa U*A = Bobot pada titik infleksi k = Rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa Ti = Titik infleksi B = Konstanta integral MP = Mouton Charollais X Priangan MHP = MP X HP HP = St Croix X Priangan HMP = HP X MP
Penurunan yang cukup besar dari bobot dewasa (A) pada generasi kedua dari domba HMP relatif lebih besar dibandingkan domba MHP yang mempunyai darah (gen aditif yang sama). Penurunan tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh efek induk (maternal effect) yaitu produksi susu yang lebih tinggi dari induk domba HMP generasi pertama yang yaitu domba MP yang mempunyai darah (gen aditif) dari domba Charollais sebesar 50% dibandingkan domba HMP yang mendapatkan 25% darah Charollais serta kemungkinan efek maternal heterosis dari induk persilangan. Dugaan tersebut diperkuat dengan relatif samanya bobot dewasa (A) domba HMP 66
dan MHP pada generasi kedua karena efek induk (produksi susu) relatif sama karena gen aditif dari induk yang sama serta kemungkinan disebabkan dari maternal heterosis yang relatif sama pula. 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
50 45 40 b o b o t (k g )
b o b o t (k g )
35 30 25 20 15 10 5
0 35 70 18 0 33 0 48 0 63 0 78 0 93 10 0 8 12 0 3 13 0 8 18 0 00 24 00
0 35 70 1 80 33 0 4 80 6 30 7 80 93 10 0 8 1 23 0 13 0 8 1 80 0 24 0 00
0
Keterangan : Domba MP
Keterangan : Domba HP
umur (hari)
Gen 1
Gen 2
Gen 3
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
umur (hari)
Gen 1
Gen 2
Gen 3
0 35 70 1 80 3 30 4 80 6 30 7 80 9 1 08 30 1 23 0 1 38 0 1 80 0 2 40 0 0
0 49 1 50 3 60 5 70 7 80 99 1 20 0 1 41 0 0 2 10 0
b o b o t (k g )
b o b o t (k g )
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Keterangan : Domba MHP
umur (hari)
Gen 1
Gen 2
Gen 3
Keterangan : Domba HMP
umur (hari)
Gen 1
Gen 2
Gen 3
Gambar 9. Kurva Pertumbuhan Domba Persilangan pada Generasi yang Berbeda Menggunakan Model Von Bertalanffy Pendugaan
dari
parameter
kurva
pertumbuhan
dari
semua
model
menghasilkan nilai yang tidak terlalu berbeda yang menandakan bahwa pendugaan
67
dari parameter kurva pertumbuhan tersebut cukup baik dalam menjelaskan pola pertumbuhan dari ternak persilangan dalam berbagai generasi. Berdasarkan nilai dari parameter kurva pertumbuhan yang mempunyai interpretasi biologis yaitu bobot dewasa (A) dan rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) mempunyai nilai yang belum stabil sehingga pemantapan dari domba persilangan tersebut harus terus dilakukan yang diiringi dengan seleksi dan jumlah yang lebih besar untuk menghindari inbreeding. Berdasarkan kurva pertumbuhan terjadi perubahan bentuk dari ternak persilangan hampir pada semua semua model kurva pertumbuhan akibat proses interse mating (Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9). Hasil yang agak berbeda ditunjukkan oleh domba MHP pada model logistik yang ternyata mempunyai bentuk yang agak berhimpit (Gambar 7) yang berbeda dengan model lainnya. Perbedaan tersebut kemungkinan adanya perbedaan nilai dari model non linear juga karena jumlah sampel yang sedikit sehingga terjadi perbedaan rataan dari parameter kurva pertumbuhan tersebut. Kurva pertumbuhan dari ternak persilangan menunjukkan bahwa ternak pada generasi pertama merupakan ternak yang paling cepat mencapai bobot potong standar (35 kg) dibandingkan generasi selanjutnya. Hasil tersebut menggambarkan bahwa ternak persilangan pada generasi pertama lebih efisien dalam penggunaan waktu untuk mencapai standar bobot badan. Hasil yang diperoleh juga mengindikasikan perlunya dilakukannya perkawinan yang hati-hati antar ternak persilangan karena kemungkinan adanya efek heterosis individu maupun efek maternal heterosis yang cukup besar, sehingga kelebihan dari ternak persilangan bisa terus terjaga bahkan ditingkatkan dengan meningkatkan kedua efek heterosis tersebut.
Perbandingan Keunggulan Relatif Domba Persilangan pada Generasi yang Berbeda 68
Keunggulan Relatif merupakan perbandingan antara domba Persilangan dengan salah satu tetua (dalam penelitian ini domba Priangan) pada kondisi lingkungan yang sama. Perbandingan keunggulan relatif pada generasi berbeda dari ternak persilangan menjadi kajian yang menarik untuk melihat pengaruh proses interse mating terhadap keunggulan relatif parameter kurva pertumbuhan yang mempunyai interpretasi biologis yaitu bobot dewasa (A) dan rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k). Tabel 25. Fluktuasi Keunggulan Relatif Parameter A (Bobot Dewasa) dan k (Rataan Laju Pertumbuhan Menuju Bobot Dewasa) pada Tiga Generasi Menggunakan Model Logistik Generasi Genotipe
Pertama
Kedua
Ketiga
---------------------------%---------------------------Parameter A MP
21,26
22,80
3,68
HP
13,74
7,17
3,82
MHP
17,68
18,11
16,18
HMP
22,74
18,97
12,07
MP
13,80
-40,50
29,67
HP
3,37
-1,43
-12,99
MHP
9,08
-5,76
6,04
HMP
-19,51
13,99
-3,30
Parameter k
Keterangan: MP = Mouton Charollais X Priangan HP = St Croix X Priangan
MHP = MP X HP HMP = HP X MP
Keunggulan relatif bobot dewasa (A) dari domba MP pada generasi pertama dan kedua mempunyai nilai yang besar yang hampir sama untuk setiap model kurva pertumbuhan (Tabel 25, Tabel 26 dan Tabel 27), namun mengalami penurunan yang sangat drastis pada generasi ketiga yang kemungkinan disebabkan pengaruh lingkungan yang masih dapat berpengaruh walaupun telah dimasukkan efek tetap, tetapi karena data yang sedikit kemungkinan masih berpengaruh seperti yang juga ditunjukkan oleh keunggulan relatif rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) domba MP generasi kedua yang kemungkinan turun drastis karena adanya krisis
69
pakan pada tahun kelahiran domba tersebut yaitu tahun 2001 (Tabel 25, Tabel 26 dan Tabel 27). Tabel 26. Fluktuasi Keunggulan Relatif Parameter A (Bobot Dewasa) dan k (Rataan Laju Pertumbuhan Menuju Bobot Dewasa) pada Tiga Generasi Menggunakan Model Gompertz Generasi Genotipe
Pertama
Kedua
Ketiga
---------------------------%---------------------------Parameter A MP
21,28
20,30
19,39
HP
13,83
6,69
4,62
MHP
17,28
17,67
6,51
HMP
22,21
17,94
12,82
MP
14,61
-35,15
13,47
HP
2,36
-0,83
-11,98
MHP
10,95
-4,67
24,59
HMP
-18,26
15,82
-5,25
Parameter k
Keterangan: MP = Mouton Charollais X Priangan HP = St Croix X Priangan
MHP = MP X HP HMP = HP X MP
Pola penurunan yang berbeda ditunjukkan oleh domba HP yang mengalami penurunan keunggulan relatif secara gradual baik untuk bobot dewasa (A) dan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) (Tabel 25, Tabel 26 dan Tabel 27). Pola yang berbeda tersebut kemungkinan karena adanya pengaruh efek induk dari domba persilangan lainnya (MP dan HMP kecuali MHP) pada generasi pertama cenderung negatif namun pada domba HP justru faktor induk dari ternak murni (Priangan) cenderung sama atau bahkan lebih baik daripada domba HP. Pola penurunan keunggulan relatif bobot dewasa (A) dari domba MHP serupa dengan yang ditunjukkan oleh domba MP yaitu keunggulan relatif bobot dewasa (A) MHP generasi pertama hampir sama dengan generasi kedua bahkan kurang (Tabel 25, Tabel 26 dan Tabel 27) karena adanya pengaruh efek dari induk yang kurang baik dari generasi pertama (induk HP) dibandingkan generasi dua (induk MHP generasi pertama). Pola pada laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) penurunan
70
yang drastis karena adanya kekurangan pakan pada tahun kelahiran domba tersebut (2001). Tabel 27. Fluktuasi Keunggulan Relatif Parameter A (Bobot Dewasa) dan k (Rataan Laju Pertumbuhan Menuju Bobot Dewasa) pada Tiga Generasi Menggunakan Model Von Bertalanffy Generasi Genotipe
Pertama
Kedua
Ketiga
---------------------------%---------------------------Parameter A MP
21,12
20,30
12,46
HP
13,38
6,89
4,94
MHP
17,43
18,10
5,12
HMP
22,57
17,84
12,39
MP
15,84
-37,61
15,14
HP
4
-2,34
-13,59
MHP
7,09
-7,02
24,34
HMP
-19,91
15,25
-8,80
Parameter k
Keterangan: MP = Mouton Charollais X Priangan HP = St Croix X Priangan
MHP = MP X HP HMP = HP X MP
Pola penurunan keunggulan relatif bobot dewasa (A) yang terjadi pada domba HMP (Tabel 25, Tabel 26 dan Tabel 27) hampir sama dengan domba HP yang kemungkinan disebabkan oleh kelebihan efek induk dari tetua domba HMP generasi pertama yaitu domba MP yang kemungkinan mempunyai produksi susu yang lebih baik daripada domba persilangan HMP generasi pertama sebagai induk domba HMP generasi kedua. Pola perubahan keunggulan relatif rataan Laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) pada domba HMP tidak teratur bahkan cenderung berlawanan dengan pola pada domba persilangan lainnya (Tabel 25, Tabel 26 dan Tabel 27). Penyebab hasil tersebut kemungkinan karena error dari penelitian karena jumlah data yang sedikit (paling sedikit dibanding data genotipe yang lain) sehingga terjadi bias dalam analisis statistik.
71
Pendugaan Efek Heterosis Berdasarkan Perbandingan antar Generasi Pendugaan efek heterosis dalam program persilangan di daerah tropis jarang dilakukan karena biasanya tidak diketahuinya performans salah satu tetua pada lingkungan setempat atau jumlah yang terlalu sedikit (Wiener, 1994). Pendugaan efek heterosis berdasarkan perbandingan antara ternak persilangan generasi pertama (F1) dengan ternak persilangan generasi kedua (F2) atau generasi selanjutnya bisa digunakan dengan asumsi penurunan performa yang terjadi disebabkan oleh penurunan efek heterosis. Penurunan yang terjadi untuk ternak dengan kombinasi 2 bangsa adalah 50% efek heterosis dan 33,33% untuk kombinasi 3 bangsa. Nilai tersebut diperoleh dengan asumsi pengaruh gen dominan yang paling berperan dan menganggap kecil pengaruh gen epistasis dan over dominan. Tabel 28. Efek Heterosis Berdasarkan Generasi Pembanding yang Berbeda Menggunakan Model Logistik Generasi Pembanding Genotipe Parameter A
Generasi 2
Generasi 3
---------------------------kg----------------------------
MP
-1,65
12,62
HP
7,08
6,16
MHP
-0,42
1,62
HMP Parameter k
4,04 11,48 3 ----------------------10 . %/hari----------------------
MP
6,22
-1,84
HP
0,56
1,90
MHP
2,58
0,54
HMP
-5,85
-2,82
Keterangan: Parameter A = Bobot dewasa Parameter k = Laju pertumbuhan menuju bobot dewasa MP = Mouton Charollais X Priangan MHP = MP X HP HP = St Croix X Priangan HMP = HP X MP
Pendugaan efek heterosis dengan membandingkan antar generasi pada bobot dewasa (A) menunjukkan hasil yang memang sesuai dengan yang diungkapkan oleh Wiener (1994) tentang kesulitan pendugaan efek heterosis dengan membandingkan antar generasi dari ternak persilangan. Kesulitan tersebut adalah: 1) adanya pengaruh
72
efek induk (maternal effect) dan maternal heterosis , 2) pengaruh epistasis dan overdominan dan 3) diperlukannya jumlah sampel yang banyak. Hasil pendugaan efek heterosis dari bobot dewasa pada domba Persilangan yang diteliti juga menunjukkan adanya kesulitan dalam pendugaan efek tersebut seperti pada domba MP dan MHP yang mempunyai bobot dewasa (A) yang kecil pada generasi pertama sehingga sama atau lebih kecil dibandingkan generasi kedua karena pengaruh induk yang kemungkinan disebabkan juga maternal effect dan maternal heterosis (Tabel 28, Tabel 29 dan Tabel 30). Tabel 29. Efek Heterosis Berdasarkan Generasi Pembanding yang Berbeda Menggunakan Model Gompertz Generasi pembanding Genotipe Parameter A
Generasi 2
Generasi 3
---------------------------kg----------------------------
MP
0,70
5,24
HP
5,16
6,62
MHP
-0,42
11,7
HMP Parameter k
4,65 10,2 3 ----------------------10 . %/hari----------------------
MP
5,02
0,12
HP
0,32
1,50
MHP
2,37
-2,07
HMP
-5,16
-1,89
Keterangan: Parameter A = Bobot dewasa Parameter k = Laju pertumbuhan menuju bobot dewasa MP = Mouton Charollais X Priangan MHP = MP X HP HP = St Croix X Priangan HMP = HP X MP
Efek heterosis bobot dewasa (A) hasil pendugaan dengan metode perbandingan dengan generasi ketiga menjadi bias karena selain jumlah sampel yang sedikit. Efek heterosis yang diperoleh tersebut menjadi cenderung overestimate karena adanya penurunan bobot dewasa (A) dari domba Persilangan pada generasi ketiga. Persoalan tersebut sudah menjadi masalah yang sering ditemui dalam program persilangan di daerah tropis (Wiener, 1994., Mason dan Buvanendran ,1980).
73
Pendugaan efek heterosis dari laju petumbuhan menuju bobot dewasa (k) mengalami kesulitan yang lebih besar daripada pendugaan bobot dewasa (A). Pengaruh dari lingkungan yang sebenarnya sudah dimasukkan dalam efek tetap yang seharusnya dapat mengkoreksi secara langsung nilai pendugaan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) ternyata masih sangat berpengaruh karena jumlah sampel yang sedikit (Tabel 22, Tabel 23 dan Tabel 24). Tabel 30. Efek Heterosis Berdasarkan Generasi Pembanding yang Berbeda Menggunakan Model Von Bertalanffy Generasi Pembanding Genotipe Parameter A
Generasi 2
Generasi 3
---------------------------kg----------------------------
MP
0,60
6,40
HP
4,87
6,31
MHP
-0,72
13,68
HMP
5,25
Parameter k
11,31 3
----------------------10 . %/hari----------------------
MP
4,70
0,06
HP
0,56
1,55
MHP
1,24
-2,28
HMP
-3,10
-1,48
Keterangan: Parameter A = Bobot dewasa Parameter k = Laju pertumbuhan menuju bobot dewasa MP = Mouton Charollais X Priangan MHP = MP X HP HP = St Croix X Priangan HMP = HP X MP
Pendugaan efek heterosis yang dilakukan menunjukkan bahwa pada domba HP merupakan domba yang memiliki efek heterosis yang besar pada bobot dewasa (A) yang mungkin disebabkan karena domba St. Croix dan Priangan merupakan domba yang secara kekerabatan cukup jauh. Domba St. Croix merupakan domba tipe rambut sedangkan domba Priangan merupakan domba bulu kasar yang bercampur dengan wool yang mungkin relatif lebih dekat dibandingkan domba Mouton Charollais dibandingkan domba St. croix walaupun sama-sama dari daerah tropis. Hasil tersebut juga didukung dengan hasil penelitian dari Suparyanto (1999) yang melakukan penelitian pada domba St. Croix di Indonesia yang menghasilkan bahwa bobot dewasa pada domba betina bangsa tersebut hanya sekitar 31 kg untuk 74
semua model yang lebih kecil dibandingkan bobot domba Priangan pada penelitian ini yaitu 35-37 kg (Tabel 17, 18 dan 19), yang apabila dihitung efek heterosis dengan metode yang biasa dengan memperhitungkan pengaruh jenis kelamin maka hasilnya tidak jauh berbeda. Pendugaan efek heterosis dengan metode perbandingan antar generasi hanya merupakan metode yang digunakan karena adanya keterbatasan yaitu tidak diketahuinya performans salah satu tetua. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini harus diinterpretasikan secara hati-hati karena metode tersebut kurang ideal dibandingkan dengan metode perbandingan dengan rataan tetua, selain itu jumlah sampel yang terbatas juga kemungkinan menimbulkan bias yang besar. Pendugaan efek heterosis bukanlah persoalan yang perlu diperdebatkan dalam evaluasi hasil persilangan (Martojo, 2005 komunikasi langsung) karena pengaruh tersebut relatif kecil (Bourdon, 1999). Perbandingan dengan ternak lokal lebih bermanfaat dilakukan dengan menggunakan konsep keunggulan relatif dalam program persilangan di daerah tropis apalagi untuk ternak yang performansnya jauh berbeda (Martojo, 2005), sebab efek dari gen aditif relatif lebih berpengaruh.
75
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Model Logistik merupakan model yang paling mudah dalam proses penghitungan, sedangkan Model Von Bertalanffy merupakan model yang terbaik dalam penjelasan hubungan antara bobot badan dengan waktu pada domba Priangan dan persilangannya, sehingga model Von Bertalanffy bisa menjadi pilihan utama sebagai model dalam penjelasan hubungan antara waktu dan bobot badan walaupun relatif lebih sulit dalam proses penghitungan. Keunggulan relatif dari domba Persilangan dibandingkan domba Priangan dalam bobot dewasa (A) berdasarkan model Logistik, Gompertz dan Von Bertalanffy secara berurutan adalah sebagai berikut: MP = 20,06; 19,4 dan 19.26% HP= 8,6; 8,17 dan 8,08% MHP=18,23; 16.92 dan 16,94% HMP = 20,21; 19,54 dan 19,51%. Sedangkan keunggulan relatif rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa (k) secara berurutan sebagai berikut : MP= -7,08;-4,42 dan -4,91% HP= -1,39; -0,73 dan -1,34% MHP= 6,28; 9,64 dan 7,18% HMP= -1,58; -0,39 dan -1,68%. Berdasarkan nilai keunggulan relatif dari parameter A (bobot dewasa) dan k (rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa) domba MHP merupakan hasil silangan yang mempunyai performans terbaik dari segi pertumbuhan karena memiliki bobot dewasa yang lebih besar serta kecepatan menuju bobot dewasa yang cepat dibanding domba persilangan lainnya dan domba Priangan sehingga domba tersebut dianggap lebih efisien dari segi biologis dan kemungkinan ekonomis. Domba tersebut juga domba yang paling cepat mencapai bobot potong standar (35 kg) dibandingkan domba lainnya Perbandingan
parameter
kurva
pertumbuhan
menunjukkan
beberapa
perbedaan dan mempunyai kecenderungan penurunan dari bobot dewasa. Sedangkan pendugaan efek heterosis dengan membandingkan performa antar generasi harus diinterpretasikan secara hati-hati karena terlalu banyak faktor yang mempengaruhi sehingga menimbulkan bias yang besar.
76
Saran Berdasarkan hasil dan proses dalam penelitian ini disarnakan beberapa hal yang dianggap perlu: 1. Metode Penelitian : Perbandingan antara data penimbangan bobot badan yang dikoreksi dengan efek lingkungan dan tanpa dikoreksi untuk dibandingkan pengaruhnya terhadap parameter kurva pertumbuhan 2. Manfaat Hasil Penelitian: Pemanfaatan domba hasil Persilangan yang baik terutama MHP sebaiknya diikuti perbaikan manajemen yang baik pula, sehingga bisa diketahui performans maksimal dari ternak tersebut. 3. Penyempurnaan Hasil Penelitian: Penelitian terhadap domba Priangan baik tipe peridi maupun laga terhadap pola tumbuh seumur hidup perlu dilakukan dengan data yang lebih banyak dan model yang ditambah serta ditinjau dengan parameter genetik dari kurva pertumbuhan tersebut.
77
UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan syukur bagi Alloh SWT yang telah membimbing Penulis sehingga mampu menyelesaikan karya kecil ini. Ucapan terimakasih terucap untuk kedua Orang tua tercinta yang dengan sabar mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang dan tidak henti-hentinya terus berdo’a untuk kebaikan anaknya walaupun sering sang anak membuat air matanya menetes, semoga Alloh SWT membalas segala jasajasanya. Teruntuk adik-adikku tersayang terimakasih atas kesabarannya melihat kakaknya terus menyita perhatian dan keuangan keluarga yang terbatas selama kuliah semoga Alloh SWT terus membimbing kejalan yang lurus dan menjadikan kalian lebih baik daripada kakaknya dalam segala hal. Ucapan terimakasih diucapkan kepada Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc yang telah membimbing saya tidak saja dalam menyelesaikan tugas akhir ini tetapi juga telah membimbing saya dengan sabar selama kuliah di Fapet dan selalu memberikan inspirasi kepada saya terus menggali ilmu serta Dr. Ir. Ismeth Inounu, MS yang telah membimbing dengan segala keikhlasannya disela-sela kesibukannya yang bersedia diganggu waktu istirahat beliau. Kepada Prof. Dr. Harimurti Martojo terimakasih banyak atas petuah dan selalu menjawab dengan sabar rasa ingin tahu saya serta mengajarkan bukan hanya tentang ilmu tetapi bagaimana mengamalkan ilmu tersebut dengan bijaksana (kebijaksanaan ilmiah), juga kepada keluarga beliau atas perhatiannya saya merasa menemukan keluarga baru sementara saya jauh dari keluarga. Terimakasih kepada Prof. Dr. Rachmat Herman yang mengenalkan kurva pertumbuhan non linear dan Dr. Ir Subandriyo, MSc yang bersedia membagi pengalaman ilmiahnya dalam studi pertumbuhan dan saran-sarannya dalam skripsi ini, Dr. Ir Rudi Priyanto yang mengenalkan sampai meminjamkan buku program SAS dan kesediannya berdiskusi tentang model statistik. Dr. Ir. Tantan Wiradarya yang selalu memberi semangat untuk cepat menyelesaikan studi saya dan selalu membagi pengalaman ilmiahnya yang dipadukan dengan keadaan lapangan serta Dr. Ir. Cece Sumantri dan Ir. Maman Duldjaman, MS serta Ibu Tuti Suryati, SPt, MSi sebagai pembimbing akademik serta seluruh Staf Fapet yang telah mendidik penulis selama kuliah dan semua pihak yang penyelesaian skripsi ini terutama seluruh staf Balai Penelitian Ternak Ciawi mulai dari tingkat bawah sampai pejabat teras. 78
DAFTAR PUSTAKA Aranggo, J.A dan Van Vleck, L. D. 2002. Size of beef cows: early ideas, new developments. Genet. Mol.Res.1(1): 51-63. Bell, F.L., I. Inounu, B. Tiesnamurti dan Subandriyo. 1983. Variability in Reproductive performance of sheep among twenty farms in Tenjonegara and Sindangratu villages, district of Garut, West Java. Working Paper No. 18, SR-CRSP Balai Penelitian Ternak. Bourdon, R.M. 1997. Understanding Animal Breeding. Prentice Hall, Inc. Upper Suddle River, New Jersey. USA. Blasco, A dan E. Gomez. 1993. A note on growth curve of rabbit lines selected on growth rate or litter size. Anim. Prod. 57:332-334. Blasco,A ., M. Piles dan L.Varona. 2003. A Bayesian analysis of the effect of selection for growth rate on growth curves in rabbits. Genet. Sel. Evol. 35: 21-41 Brisbin Jr, I.L., C. T Colins., G. C Wigite dan D. A McMallum. 1987. A new paradigm for the analysis and interpretation of growth data: The shape of things come. Auk. 104 : 552-554. Brody, S. 1945. Bioenergetics and Growth. Reinhold Publishing Corporation. New York. USA. Brown, J.E., H.A. Fitzhugh, Jr., dan T. C. Cartwright. 1976. A comparison of non linear models for describing weight-age relationship of cattle. J. Anim. Sci. 42:810-811. Butterfield, R.M. 1988. New Concepts of Sheep Growth. Published by Departement of Veterinary Anatomy University of Sidney. Camdeviren, H dan Tasdelen, B. 2002. Mono and muliphasic analysis of growth curves selected of a japanese quail line at 5-week’s body weight. J. Turk. Vet. Anim. Sci. 26: 421-427. Carrijo, S.M dan F. A. M. Duarte. 1999. Description and comparison of growth parameters in Chianina and Nellore cattle breeds. Genetics and Molecular. Biology. 22(2): 187-196. Charollais Sheep Breeder Society. 2005. Breed http://www.charollaissheep.com/pdf. [7 april 2005].
characteristic.
DeNise, R. S. K dan J. S. Brinks. 1985. Genetic and environmental aspects of the growth curve parameters in beef cows. J. Anim. Sci. 61:1431-1440. Fahmy, M.H. 1996. The Americas Sheep. Dalam : M.H. Fahmy (Ed.). Prolific Sheep. CAB International. Pp: 47-72. Farid, A.H dan M.H. Fahmy. 1996. The East Friesian and Other Europian Breeds. Dalam : M.H. Fahmy (Ed.). Prolific Sheep. CAB International. Pp:93-108. Fekedulegn, D., Siurtain, M. P., dan Colbert, J.J. 1999. Parameter estimation of nonlinear growth models in forestry. Silva Fennica. 33(4):327-336.
79
Fitzhugh Jr, H.A.1976. Analysis of growth curves and strategies for altering their shape. J. Anim. Sci. 42 (4) : 1036-1051. Gatenby, R.M. 1991. Sheep. The Tropical Agriculturalist McMillan Education Ltd. London. UK. Cooperation with CTA Wageningen, Netherlands. Hassen, A ., D.E. Wilson., G. H. Rouse dan R.G. Tait. 2004. Use of linear and non linear growth curves to describe body weight changes of young Angus and heifers. Iowa State University Animal Industry Report. Helmink, S.K., Shanks, R.D dan Leighton, E.A. 2000. Breed and sex differences in growth curves for two breeds in two dog guides. J. Anim. Sci. 78:27-32. Inounu,I ., L. Iniguez., G.E. Bradford., Subandriyo dan B. Tiesnamurti. 1993. Production performance of prolific Javanese ewes. Small Ruminant Research 12: 243-257. Inounu, I. 1996. Keragaan produksi ternak domba prolifik. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Inounu, I., E, Handiwirawan., B. Tiesnamurti dan A. Priyanti. 1998. Peningkatan produktivitas domba melalui pembentukan domba komposit (JIT × M. Charollais × St. Croix). Laporan Penelitian Balai Penelitian Ternak. Ciawi-Bogor. Ismail, Z., A. Khamis dan M. Y. Jaafar. 2003. Fitting nonlinear gompertz curve to tobacco growth data. Pak. J. Agron. 2(4):233-236. Jackson, W.G dan W.A. Brown. 1995. Ewe productivity and subsequent preweaning lamb performance in St. Croix sheep bred at different times during the year. J. Anim. Sci. 73:1258-1263. Jenkins, T.G., Kaps, M, Cundiff, V dan Ferrel, C.L. 1991. Evaluation of between and within breed variation in measures of weight-age relationships. J. Anim. Sci. 69:3118-3128. Kogsey, I. S. 2004. Breeding objectives and breeding strategies for small ruminant in tropics. Thesis of Ph.D. Wageningen University. Netherlands. Kratochvilova, M., L. Hyankova., H. Knizetova., J. Fiedler dan F. Urban. 2002. Growth curve analysis in cattle from early maturity and mature body size viewpoints. Czech. J. Anim. Sci. 47(4): 125-132. Leymaster, K. A. 2003. Fundamental aspects of crossbreeding of sheep: Use of breed diversity to improve efficiency of meat production. Revised of article in Sheep and Goat Journal Vol. 17, No. 3. 2002. USDA, ARS, U.S. Meat Animal Research Center. Lopez de Torre,. G, Candotti., A. Reverter., M. M. Bellido., P. Vasco., Garcia., L. J. dan J. S. Brinks. 1992. Effects of growth curve parameters on cow efficiency. J. Anim. Sci. 70:2668-2672. Mason, I.L. 1980. Tropical prolific sheep. FAO Animal Production and Health Paper No. 17. Rome. Mason, I.L dan V Buvanendran.1982. Breeding plans for ruminant livestock in the tropics. FAO Animal Production and Health Paper No. 34. Rome. 80
Mazzini, A. R. A., J. A. Muniz., L. H. D. Aquino dan . F. F. E Silva. 2003. Growth curve analysis for Hereford cattle males. Cienc. Agrotec. Lavras. 27(5): 1105-1112. Mc Manus, C., C. Evangelista., L. Augusto., C. Fernandes., M. D. Miranda., F. E. M. Bernal dan N. R. dos Santos. 2003. Parameters for three growth curves and factors that influence them for Bergamasca sheep in the Brasillia region. R. Bras. Zootec. 32(2):1207-1212. Merkens, J dan R. Soemirat. 1926. Sumbangan pengetahuan tentang peternakan domba di Indonesia. Terjemahan oleh: R. Oetojo. Dalam: Domba dan Kambing. LIPI. pp: 7-24. Mignon-Grasteau. S, Piles., Varona, L., DeRochambeau, H., Poivey, J.P., Blasco, A dan Beaumont, C. 2000. Genetic analysis of growth curve parameter for male and female chickens resulting form selection on shape of growth curve. J. Anim. Sci. 78:2515-2524. Mignon-Garasteau, S dan Beaumont, C. 2002. Genetic parameters of growth curve in chickens .(Abstr). Proceeding 7th World Conggress on Genetics Applied to Livestock Production Montpelier. France. Nadarajah, K., T.J. Malowe dan D.R. Notter. 1984. Growth paterns of Angus, Charolais, Charolais X Angus and Holstein X Angus cows from Birth to maturity. J. Anim Sci. 59 (4):957-966. Nafiu, L. O. 2003. Evaluasi genetik domba Priangan dan persilangannya dengan St. Croix dan Moulton Charollais. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nelder, J. A. 1961. The fitting of a generalization of logistic curve. Biometrics. 17:89. Noor, R.R. 2000. Genetika Ternak. Cetakan II. Penebar Swadaya. Jakarta. Notter, D.R., 1999. Potential for hair sheep in United States. Proc. American. Soc. Animal Science. Owens F. N., P. Dubeski, dan C. F. Hansont. 1993 Factors that alter the growth and development of ruminants. J. Anim . Sci. 71:3138-3150 Pittrof, W., V. LaVoie, D. Keisler, H. Blackburn dan J. Stellflug. 1999. Effect of genetic group and dietary treatment on initial reproductive performance of Targhae ewe lambs. J. Anim. Sci. 77 (Suppl.1): 230 (Abstract). Pittroff, W dan T.C. Cartwright. 2002. Modeling livestock system .II. Understanding the relevant biology. Arch. Latinoam. Prod. Anim. 10(3): 206-218. Riwantoro. 2005. Konservasi plasma nutfah domba Garut dan strategi pengembangannya secara berkelanjutan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sandelin, B. A., A. H. Brown Jr., M. A. Brown., Z. B. Johnson., D. W. Kellogg dan A. M. Stelzleni. 2002. Genotype × environmental interaction for mature size and rate of maturing for Angus, Brahman, and reciprocal-cross cows grazing bermudagras or endophyte infected fescue. J. Anim. Sci.. 80:3073–3076. 81
SAS Institute Inc. 1985. SAS/STAT User’s Guide: Statistics, Version 5 edition : SAS Institute Inc., Cary, NC. Sengul, T dan S. Kiraz. 2005. Non-linear models for growth curve in large white turkeys. Turk. J. Vet. Anim. Sci. 29:331-337. St Croix Hair Sheep International Breeder Society. 2005. Breeder handbook (general characteristic).http://www.stcroixsheep.org/pdf. [ 7 April 2005]. Stewart, T. S dan Martin, T.G. 1981. Mature weight, maturation rate, maternal performance and their interrelationships in purebred and crossbred cows of Angus and Milking Shorthorn parentage. J. Anim. Sci. 52:51-56. Suparyanto,A .1999. Analisis kurva pertumbuhan Von Bertalanffy, Logistic, dan Gompertz pada domba St. Croix (H), Sumatera (S), St. Croix X Sumatera(HS), Barbados Blackbelly X Sumatera (BC) dan Komposit (K). Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Subandriyo., P. Sitorus., G.E. Bradford., R. L Blackwell. 1985. Growth characteristic of Indonesian sheep. SR-CRSP Working paper No. 44. Subandriyo.1986. Sheep production in villages of Garut, West Java. SR-CRSP Working paper No. 83. Subandriyo.1990. Ewe productivity in village. Ilmu dan Peternakan.(3):307-310. Subandriyo., B. Setiadi., M. Rangkuti., K. Diwyanto., E. Handiwirawan., E. Romjali., M. Doloksaribu., S. Eliaser dan L. Batubara. 1996. Pemuliaan Bangsa Domba Sintetis Hasil Persilangan Antara Domba Lokal sumatera dengan Domba Bulu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Subandriyo, B. Setiadi., E. Handiwirawan dan A. Suparyanto. 2000. Performa domba Komposit hasil persilangan antara domba lokal Sumatera dengan domba Rambut pada kondisi dikandangkan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 5(2): 73-83. Tiesnamurti, B. 2002. Kajian genetic terhadap induk domba Priangan peridi ditinjau asapek kuantitatif dan molekuler. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Bogor Thomas, D.L. 1991. Hair sheep genetic resource of the Americas. Dalam: S. Wildeus (Ed.) Proc. Hair Sheep Res. Symp University of the Virgin Islands. Wada, Y dan Nishida, A. 1987. Genetics aspect of the Growth curve characteristics in Japanese Black cows. Jpn. J. Zootech. Sci. 58(12):1078-1085. Weiner, G. 1994. Animal Breeding. MacMillan Education Ltd. London. Wildeus, S. 1997. Hair sheep genetic resource and their contribution to diversified small ruminant production in the United States. J. Anim. Sci. 75: 630-640. Yakupoglu, C dan Atil, H. 2001. Comparision of growth curve models on Broilers growth curve I: Parameters estimation. Online J. Bio. Sci. 1(7): 680-681.
82
Lampiran 1. Program Untuk Analisis Data Kurva Pertumbuhan Model Logistik Melalui Program Proc NLIN SAS
Data Dadan; input x y; cards; (isi dengan Data) ; proc nlin best=50 MAXITER=100 method=marquardt; parms B0=35 to 45 by 1 B1=0.0009 to 0.01 by 0.0001 B2=1 to 6 by 0.1; Model Y=b0*(1+exp(-B1*x))**-B2; der.B0=(1+exp(-B1*x))**-B2; der.B1=exp(-b1*x)*B0*B2*x*(1+exp(-B1*x))**-(B2+1); der.B2=-B0*(1+exp(-B1*x))**-B2*log (1+exp(-B1*x)); OUTPUT OUT=D P=YHAT R=YRESID; PROC PLOT DATA=D; PLOT Y*X='a' YHAT*X='P'; run;
83
Lampiran 2. Program Untuk Analisis Data Kurva Pertumbuhan Model Gompertz Melalui Program Proc NLIN SAS
Data Dadan; input x y; cards; (isi dengan Data) ; proc nlin best=50 MAXITER=100 method=marquardt; parms B0=35 to 45 by 1 B1= 1 to 5 by 0.1 B2= 0.0009 to 0.02 by 0.0001; Model Y=b0*exp(-b1*exp(-b2*x)); der.B0=exp(-b1*exp(-b2*x)); der.B1=-B0*exp(-b1*exp(-b2*x))*exp(-b2*x); der.B2=B0*b1*x*exp(-b1*exp(-b2*x))*exp(-b2*x); OUTPUT OUT=D P=YHAT R=YRESID; PROC PLOT DATA=D; PLOT Y*X='a' YHAT*X='P'; run;
84
Lampiran 3. Program Untuk Analisis Data Kurva Pertumbuhan Model Von Bertalanffy Melalui Program Proc NLIN SAS
Data Dadan; input x y; cards; (isi dengan Data) ; proc nlin best=50 maxiter=100 method=marquardt; parms B0=35 TO 45 BY 1 B1=0.1 to 1.5 by 0.1 B2=0.0001 to 0.02 by 0.0001; Model Y=b0*(1-b1*exp(-b2*x))**3; der.B0=(1-b1*exp(-b2*x))**3; der.B1=-3*B0*exp(-b2*x); der.B2=B0*B1*x*exp(-b2*X)*(1-b1*exp(-b2*x))**2; OUTPUT OUT=D P=YHAT R=YRESID; PROC PLOT DATA=D; PLOT Y*X='a' YHAT*X='P'; run;
85
Gambar Ternak dari Lahir sampai Dewasa