ANALISIS DAN PENGEMBANGAN POLA PEMULIAAN (Breeding Scheme) DOMBA PRIANGAN YANG BERKELANJUTAN
DEDI RAHMAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis dan Pengembangan Pola Pemuliaan (Breeding Scheme) Domba Priangan yang Berkelanjutan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi di manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2006
Dedi Rahmat Nim D 016010011
ABSTRAK DEDI RAHMAT. Analisis dan Pengembangan Pola Pemuliaan (Breeding Scheme) Domba Priangan yang Berkelanjutan Dibimbing oleh HARIMURTI MARTOJO, RONNY R NOOR, dan ASEP ANANG Domba priangan telah lama dikenal dan banyak dipelihara petani baik sebagai usaha sampingan maupun hobi. Sumbangan ternak domba terhadap produksi daging khususnya di Jawa Barat cukup tinggi. Salah satu tantangan dalam usaha peternakan domba adalah belum tersedianya suplai bibit unggul domba secara kontinyu yang produksinya tinggi dan efisien serta harganya dapat terjangkau oleh peternak. Pengadaan bibit umumnya masih merupakan hasil swadaya peternaknya sendiri. Program pemuliaan yang tepat dan terarah serta berkelanjutan belum ada. Penelitian untuk mencari pola pemuliaan domba priangan yang berkelanjutan telah dilaksanakan di Margawati dan Kelompok Peternak H Osih di Kabupaten Garut, Kelompok Peternak Jogya Grup di Kabupaten Bandung dan peternakan domba Lesan Putra di Kodya Bogor, selama satu tahun mulai Agustus 2003 sampai dengan Agustus 2004. Metode yang digunakan adalah metode survey . Data primer diperoleh dari hasil observasi dan wawancara pada inti maupun peternak anggota dengan berpedoman pada daftar pertanyaan (questioner). Pengambilan sampel peternak dilakukan dengan cara purposive sampling. Variabel amatan terdiri atas karakteristik peternak, pola pemuliaan ternak dan koefisien teknis. Analisis deskriptif digunakan untuk data variabel karakteristik demografis peternak dan model pola pemuliaan. Uji Mann-Whitney digunakan untuk membandingkan skor nilai partisipasi, pengetahuan dan motivasi antar kelompok peternak. Parameter genetik diduga dengan Animal Model Restricted Maximum Likelihood (REML). Nilai heritabilitas diduga dengan memperhitungkan maternal genetic effect (m2) dan lingkungan bersama (c2). Pola yang tepat ditentukan berdasarkan hasil Proses Hierarki Analisis terdiri atas tiga tingkat, tingkat 1 fokus yaitu pola pemuliaan yang berkelanjutan, tingkat 2 terdiri atas kriteria atau komponen yang berkontribusi terhadap program pemuliaan, tingkat 3 terdiri atas model pola pemuliaan yang akan dipilih yaitu Pola Margawati , Pola Jogya Grup dan Pola H Osih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan petani umumnya masih sekolah dasar namun memiliki pengalaman dalam beternak serta pengetahuan, motivasi dan partisipasi yang baik terhadap kegiatan pemuliaan, hal akan mendukung keberhasilan program pemuliaan berkelanjutan. Model pola pemuliaan pada ketiga lokasi penelitian berbeda yaitu pola inti terbuka dengan dua strata. Sire Reference Scheme dan Group Breeding Scheme. Kriteria seleksi pada kelompok Margawati didasarkan pada performa produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot umur enam bulan, bobot umur satu tahun dan liter size sedangkan pada kelompok H Osih dan Jogya Grup seleksi pejantan berdasarkan performa domba adu dengan kriteria seleksi sifat-sifat kualitatif seperti bentuk tanduk, telinga, warna bulu dan bentuk tubuh.Faktor penting yang perlu dipeertimbangkan dalam pola pemuliaan berkelanjutan antara lain adalah pasar, keterlibatan petani, tujuan pemuliaan, kriteria seleksi serta dukungan pemerintah. Pola yang cocok untuk digunakan sebagai pola pemuliaan domba priangan berkelanjutan adalah group breeding pola inti terbuka dengan sire reference scheme. Pola ini akan berjalan baik dengan didukung oleh kebijakan pemerintah serta dukungan sarana dan prasarana.
ABSTRACT DEDI RAHMAT. Analysis and Development of Sustainable Breeding Scheme of Priangan Sheep (under the supervisions of H Harimurti Martojo, Ronny Rachman Noor and Asep Anang). Priangan sheep have been known for a long time and there are many of them have been either as tangible benefits or intangible benefits. The sheep contribution for meat production especially in West Java is high enough. The main challenge of sheep farming is a low productivity of animal produced and there is no superior breed available yet and the affordable for the farmers. The breed suplay generally is self providing by the farmers. Proper and sustainable breeding schemes for the genetic improvement of Priangan sheep has not been conducted. The research to find out the sustainable breeding schemes of Priangan Sheep conducted at Margawati, H. Osih and Jogya Group breeder in order to analyze overall aspects, including demographic characteristics, behavior and farmer participation in breeding programs. The research method use was survey method with purposive sampling. Primary data were obtained from observation and interview to either nucleus or members which based on questionnaire. Descriptive analysis was used for demographic characteristic variable and breeding scheme. Mann-Whitney test was used for comparing participation, knowledge and motivation scores among the farmer groups. The genetics parameters were predicted by Animal Model, Restricted Maximum Likelihood (REML). The heritability was predicted with considering maternal genetic effect (m2) and common environmental effect (c2). The proper scheme was determined based on Analytical Hierarchy Proses, which consisted of three levels, the first level focused on the sustainable breeding scheme, the second level consisted of criteria or component that contributing on breeding program and the third level consisted of breeding scheme that would be selected were Margawati, Jogya Group, and H Osih schemes. The result indicated that education level of the farmer was mainly elementary graduate, however with high experience of farming and high motivation, they were able to support the success of breeding programs. Breeding scheme applied by the 3rdfarmer groups were different, mainly open nucleus with two tiers, sire reference scheme, and group breeding scheme. Selection criteria used in Margawati were mainly on meat (mutton) production performance traits such as birth weight, weaning weight, weight at 6 months, weight at one year and litter size, where as in H. Osih and Jogya Group were on fighting contest performance and qualitative traits, such as horn, ear, color and body composition, all on the male side only. The factors that should be considered for sustainable breeding scheme mainly markets, farmer’s involvement and needs for participation, appropriate breeding objectives, selection criteria and consistent and long-term support from government. The proper scheme for sustainable breeding schemes of Priangan sheep is group breeding with open nucleus sire reference scheme. This scheme will be well implemented if being supported with government policy and with good infrastructures.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya
ANALISIS DAN PENGEMBANGAN POLA PEMULIAAN (Breeding Scheme) DOMBA PRIANGAN YANG BERKELANJUTAN
DEDI RAHMAT
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Disertasi
: Analisis dan Pengembangan Pola Pemuliaan (Breeding Scheme) Domba Priangan yang Berkelanjutan
Nama
: Dedi Rahmat
NPM
: D 016010011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. H. Harimurti Martojo. M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. Anggota
Dr. Agr Ir. Asep Anang, M.Phil. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Ternak
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc.
Tanggal Ujian : 31 Juli 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi dengan judul, Analisis dan Pengembangan Pola Pemuliaan (Breeding Scheme) Domba Priangan yang Berkelanjutan. Sungguh tidak mudah untuk menyusun urutan pernyataan penghargaan dan rasa terimakasih sesuai dengan peran dan jasa masing-masing, namun penulis ingin memanfaatkan kesempatan yang baik
ini sebagai ungkapan
perasaan. Kepada Prof. Dr. Harimurti Martojo, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing,
Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, Mrur.Sc dan Dr. Agr. Ir. Asep
Anang, M.Phil masing-masing sebagai anggota komisi, penulis menyampaikan rasa terimakasih yang tidak terhingga atas kesabaran, penyediaan waktu, keikhlasan, kelembutan maupun ketegasan selama proses pembimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi Program Doktor. Kepada
Rektor Universitas Padjadjaran, Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran serta Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, penulis mengucapkan terimakasih atas kesempatan belajar, bimbingan, saran dan bantuan yang sangat berarti bagi penulis. Kepada pihak sponsor, yaitu BPPS penulis menyampaikan terimakasih atas bantuan terutama yang menyangkut pembiayaan selama mengikuti pendidikan sampai penulisan disertasi. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Kepala UPTD-BPPTD Margawati beserta staf, bapak H Osih beserta anggota peternak, bapak Oro Suhara beserta anggota kelompok Jogja Grup, bapak Ir. Ateng Sutisna serta Drh Lanlan peternak Lesan Putra, atas fasilitas serta kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian. Tidak kecil pula saham do’a ibu, ayah serta mertua yang telah menggembleng penulis agar selalu tabah dalam menghadapi kesulitan, untuk ini penulis menyampaikan sembah sujud dan cinta kasih yang mendalam. Demikian pula kepada istri tercinta Hj. Cucu Daryati L serta anak-anakku Diana Pasca Rahmawati, Muhamad Iqbal Rahmadi dan Khoerunnisa Rahmayani yang telah banyak berkorban dan ditinggalkan selama penulis mengikuti pendidikan, kesabaran dan ketabahannya patut dibanggakan, terimakasih atas segalanya. Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Dr.Ir. Indyah Wahyuni Msi, Dr. Ir. Srihartati Chandra Dewi Msi, Dr.Ir. Elis Dihansih, Dr.Ir. Harry T Uhi Msi,
Dr.Ir. Jasmal A Syamsu, Msi, Ir. Mobius Tanari, Msi, Ir. Rahmat Wiradimadja MS, Ir. Handi Burhanuddin MS serta rekan rekan dan kerabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan moril maupun materil, hanya Allah SWT yang akan membalasnya. Akhir kata semoga disertasi ini dapat berguna dan mencapai tujuannya, segala puja dan puji selalu bagi Allah SWT semata. Bogor, Juli 2006
Dedi Rahmat
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Garut tanggal 15 Juni 1958
yang merupakan anak
pertama dari ayah Iri Riyadi dan ibu Titi Maryati. Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung lulus pada tahun 1983 dan lulus Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor tahun 1989. Pada tahun 2001 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB dengan mendapat beasiswa BPPS dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran Bandung sejak tahun 1984 sampai sekarang dengan jabatan terakhir adalah Lektor Kepala pada Laboratorium Pemuliaan Ternak dan Biometrika.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
xiii
PENDAHULUAN ............................................................................................ Latar Belakang ......................................................................................... Tujuan Penelitian .................................................................................... Kegunaan Penelitian ................................................................................
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... Deskripsi Domba Priangan ..................................................................... Produksi dan Reproduksi Domba Priangan ........................................... Parameter Genetik dan Nilai Pemuliaan ................................................ Pola Pemuliaan (Breeding Scheme) ........................................................ Pola Pemuliaan Berkelanjutan ................................................................
4 4 4 6 7 9
MATERI DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... Metode Penelitian .................................................................................... Analisis Data ............................................................................................ Proses Analisis Hirarki (Analitical Hierarchy Proces ) .............................
12 12 13 16
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Peternak ............................................................................ Partisipasi dan Perilaku Peternak dalam Kegiatan Pemuliaan .............. Pola Pemuliaan Domba di Margawati .................................................... Pola Pemuliaan Domba di H Osih ........................................................... Pola Pemuliaan Domba di Kelompok Jogya Grup .................................. Keragaan Produksi dan Reproduksi Domba Priangan …………………. Persentase Tipe Beranak ................................................................... Bobot Lahir .......................................................................................... Bobot Sapih ......................................................................................... Heritabilitas ............................................................................................... Dugaan Nilai Pemuliaan ........................................................................... Dugaan Respon Seleksi Per Generasi .................................................... Pengembangan Pola Pemuliaan Berkelanjutan....................................... Pola Pemuliaan Domba Priangan Berkelanjutan .....................................
17 18 20 23 26 31 31 32 34 36 38 39 40 48
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan................................................................................................ Saran .........................................................................................................
53 53
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
54
LAMPIRAN .......................................................................................................
60
DAFTAR TABEL Halaman 1 Rataan sifat-sifat kuantitatif domba garut dewasa ...................................
4
2 Keragaan produksi domba Priangan ........................................................
5
3 Keragaan reproduksi domba garut pada pemeliharaan tradisional dan Intensif…..………………………………………………………….. ……
5
4 Skala banding berpasangan ....................................................................
16
5 Karakteristik demografis peternak ...........................................................
17
6 Skor perilaku dan partisipasi peternak tiga kelompok pembibit ………...
19
7 Sasaran peningkatan mutu genetik dan produksi ternak ........................
21
8 Urutan empat besar sifat kualitatif yang paling diperhatikan dalam seleksi ...........................................................................................
29
9 Bentuk tanduk yang disukai .....................................................................
30
10 Pola warna yang dijadikan dasar seleksi ................................................
31
11 Distribusi tipe kelahiran (%) dan rataan jumlah anak sekelahiran (ekor/kelahiran) menurut kelompok peternak............................................ 12 Rataan total bobot lahir anak (kg/induk) pada kelompok peternak ...........
32 33
13 Rataan bobot lahir berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran ……….
33
14 Rataan bobot sapih anak (kg/induk) pada kelompok peternak................
34
15 Rataan bobot sapih berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran ……
35
16 Dugaan nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih .............................
37
17 Vektor prioritas faktor yang menentukan dalam pola pemuliaan berkelanjutan . …………………………………………………………………
46
18 Vektor prioritas kelompok peternak pada masing-masing faktor yang menentukan dalam pola pemuliaan berkelanjutan....................................
47
19 Skor prioritas model pola pemuliaan .......................................................
48
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Pola pemuliaan di Margawati …............……………………………………
21
2 Pola seleksi di Margawati ………………………………….……...............
22
3 Pola pemuliaan di H. Osih ............ …………………………………………
25
4 Pola pemuliaan di kelompok Jogya Grup ...................................................
27
5 Berbagai bentuk tanduk ..............................................................................
29
6 Pola pemuliaan domba Priangan berkelanjutan .......................................
51
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Daftar pertanyaan untuk responden ……………………………………
61
2 Dugaan nilai pemuliaan bobot lahir dan bobot sapih domba priangan di kelompok Margawati, Lesan dan H. Osih …………………………………
69
3 Dugaan respon seleksi bobot lahir dan bobot sapih domba priangan di kelompok Margawati, Lesan dan H. Osih ………………………………..
71
4 Kuisioner penentuan bobot faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pola pemuliaan domba priangan berkelanjutan ………………………….
73
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebijakan
Pembangunan
Peternakan
Tahun
2000-2005,
kebijakan
operasional produksi dan faktor produksi peternakan diantaranya mencakup sumberdaya ternak. Kebijakan peningkatan populasi ternak dilakukan dengan peningkatan kelahiran, peningkatan produksi dan produktivitas, pengendalian pemotongan ternak betina produktif, pengendalian reproduksi dan penyediaan bibit ternak bermutu (Dirjen Peternakan 2000). Tiang utama dalam pembangunan peternakan adalah pembangunan ternak yang berbasis sumber daya alam lokal. Komoditi ternak utama adalah sapi potong, kambing, domba, ayam buras dan itik. Jenis ternak ini merupakan komoditi ternak asli Indonesia (ternak lokal) yang sangat potensial sebagai sumber tum puan kehidupan masyarakat pedesaan dan dianggap sebagai komoditi utama dalam memberdayakan peternak di pedesaan untuk mensejahterakan dirinya yang pada gilirannya akan mensejahterakan seluruh masyarakat dengan produk ternaknya. Kebijakan dalam pembibitan ternak dituangkan dalam visi dan misi pengembangan industri benih dan bibit di Indonesia. Visi pembibitan peternakan adalah tersedianya berbagai jenis ternak dalam jumlah dan mutu yang memadai serta mudah diperoleh, adapun misinya adalah 1). Menyediakan bibit yang berkualitas dalam jumlah cukup, 2). Mengurangi ketergantungan impor bibit ternak, 3). Melestarikan dan memanfaatkan bangsa ternak lokal, 4). Mendorong pembibitan-pembibitan pemerintah, swasta dan masyarakat. Selanjutnya untuk mencapai misi di atas dilakukan melalui strategi pengembangan industri benih dan bibit di Indonesia yaitu : 1). Strategi pengembangan pengusahaan benih/bibit dan SDM, 2). Strategi pengembangan teknologi benih/bibit unggul, 3). Strategi pengembangan kelembagaan pembibitan (Dirjen Produksi Peternakan 2003). Domba Priangan sebagai aset plasma nutfah Jawa Barat, memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai sumber daging dan cukup tanggap terhadap manajemen pemeliharaan dibandingkan domba lokal dan bangsa domba lain yang ada di Indonesia disamping itu memiliki keunggulan unik yang dapat dijadikan daya tarik parawisata daerah (Heriyadi et al. 2002). Domba sebagian besar dibudidayakan oleh petani di pedesaan dengan skala usaha yang relatif kecil (4 sampai 5 ekor), sistem pengelolaannya bersifat
semi intensif dan merupakan usaha komplementer dari usaha pokok pertanian. Tujuan pemeliharaan domba di Indonesia umumnya adalah sebagai penghasil daging kecuali di Jawa Barat khususnya di Priangan selain penghasil daging juga untuk tujuan domba tangkas/domba adu. Pola usaha ternak yang dilaksanakan peternak pada umumnya dapat digolongkan dalam pola pembesaran atau pembibitan, hasil usaha yang diharapkan adalah produksi anak untuk kemudian dibesarkan sampai umur jual. Pada usaha ternak domba, bibit berpengaruh langsung terhadap keuntungan yang diperoleh. Pengeluaran utama dari usaha peternakan sangat tergantung dari tiga parameter biologis yaitu produksi induk, reproduksi dan pertumbuhan anak. Penerimaan dari produksi induk pertahun salah satunya dapat ditingkatkan melalui pemilihan bibit ternak yang tepat sesuai dengan lokasi usaha atau dengan perbaikan mutu genetik ternak (Inounu dan Soedjana 1998). Bibit merupakan modal awal dari proses budidaya, oleh karena itu diperlukan bibit berkualitas dalam jumlah yang cukup memadai, mudah diperoleh dan terjamin kontinuitasnya. Pengadaan bibit umumnya masih merupakan hasil swadaya peternaknya sendiri. Usaha pemerintah dalam penyediaan bibit berkualitas melalui perbaikan mutu genetik domba Priangan telah banyak dilakukan baik melalui persilangan dengan domba impor maupun seleksi yang dilakukan di balai pembibitan, namun hasilnya belum memuaskan. Pola pemuliaan yang tepat dan berkelanjutan belum ada, kebijakan yang dilakukan umumnya bersifat top down, hampir tidak pernah memperhatikan aspirasi dan kemampuan peternak. Astuti (1999) mengemukakan bahwa penyusunan program pemuliaan harus bersifat spesifik terkait dengan kondisi dan kebutuhan serta sosial budaya setempat. Pilihan program pemuliaan lebih ditekankan pada seleksi di dalam populasi dan tetap melibatkan peternak sebagai pelaku utama pengembangan ternak lokal. Salah satu rekomendasi FAO (2002) pada 7th World congress on genetic applied to livestock production, untuk program pemuliaan yang berkesinambungan perlu diidentifikasi dan dievaluasi berbagai aspek yang ada dan keterlibatan peternak dalam pemuliaan tradisional. Peternak harus dilibatkan dalam kegiatan pemuliaan ternak. Sehubungan dengan maksud tersebut maka dilaksanakan penelitian untuk mengkaji lebih jauh pola pemuliaan khususnya pada domba Priangan, sehingga akan diperoleh breeding scheme yang tepat dan berkelanjutan.
Tujuan Penelitian 1. Mengkaji pola pola pemuliaan yang telah ada termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi kelebihan dan kekurangannya. 2. Menyusun
pengembangan
pola
pemuliaan
domba
Priangan
yang
berkelanjutan
Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian sebagai sumbangan terhadap ilmu pengetahuan khususnya dalam Ilmu Pemuliaan Ternak, serta diharapkan berguna dalam perencanaan pengembangan dan pelestarian domba Priangan.
TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Domba Priangan Domba Priangan atau lebih dikenal dengan nama domba Garut merupakan hasil persilangan dari tiga bangsa yaitu antara domba merino, domba kaapstad dan domba lokal. Persilangan diperkirakan mulai terjadi sekitar tahun 1864 ketika pemerintah Hindia
Belanda memasukkan domba merino sebanyak 19 ekor
betina dan seekor jantan ke Garut yang dipelihara K.F. Holle. Terbentuknya bangsa domba Priangan seperti sekarang ini merupakan hasil seleksi yang telah dilakukan selama bertahun-tahun dan adaptasinya terhadap lingkungan setempat (LIPI 1979). Mulliadi (1996) mengemukakan bahwa bentuk tubuh domba Priangan jantan : garis muka cembung, telinga rumpung (kecil) tanduk kokoh dan kuat, garis punggung cekung, dada lebar, tipe ekor sedang sampai gemuk, sedangkan betina : garis muka cembung, telinga rumpung (kecil), tanduk kecil atau benjolan, garis punggung lurus bagian dada tidak lebih besar, ekor termasuk tipe sedang. Warna sangat beragam dari putih, hitam coklat abu-abu dan kombinasi warnawarna tersebut. Rataan sifat-sifat kuantitatif domba Priangan menurut hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) terdapat pada Tabel 1. Tabel 1 Rataan Sifat-sifat Kuantitatif Domba Garut dewasa Sifat Kualitatif Jantan Betina Bobot badan (kg)
57.74 ± 11.96
36.89 ± 9.35
Panjang badan (cm)
63.41 ± 5.72
56.37 ± 4.58
Lingkar dada (cm)
88.73 ± 7.58
77.41 ± 6.74
Tinggi pundak (cm)
74.34 ± 5.84
65.61 ± 4.85
Sumber : Heriyadi et al. 2002 Produksi dan Reproduksi Domba Priangan Tujuan pemeliharaan domba di Indonesia umumnya adalah sebagai penghasil daging. Pola usaha ternak yang dilaksanakan peternak pada umumnya dapat digolongkan dalam pola pembesaran atau pembibitan, hasil usaha yang diharapkan adalah produksi anak untuk kemudian dibesarkan sampai umur jual. Pada pola usaha demikian produktivitas usaha ternak dipengaruhi oleh efisiensi reproduksi induk serta laju pertumbuhan anak (Setiadi et al. 1995). Salah satu
cara untuk meningkatkan produktivitas ternak domba adalah dengan cara meningkatkan efisiensi reproduksi ternak (Hastono & Masbulan 2001). Tolok ukur untuk menilai produktivitas domba penghasil daging diantaranya adalah berat lahir, berat sapih, berat dewasa, pertambahan berat badan dan litter size. Keragaan produksi domba Priangan berdasarkan hasil penelitian Sutedja et al. (1978) terdapat pada Tabel 2. Tabel 2 Keragaan produksi domba Priangan Keragaan Produksi
Nilai
Bobot lahir (Kg/ekor)
1.70 ± 0.22
Bobot sapih (kg/ekor)
10.00 ± 2.30
Bobot 1 tahun (kg/ekor)
31.60 ± 1.00
Rata-rata jumlah anak per kelahiran (ekor)
1.86 ± 0.11
Mortalitas rata-rata sampai dewasa (%)
8.90
Sumber : Sutedja et al. (1978) Menurut Standarisasi bibit domba Garut, bobot lahir jantan tunggal, kembar dua dan kembar tiga minimal 3.02 ± 0.40 kg, 2.72 ± 0.24, dan 2.26 ± 0.15 sedangkan rata-rata bobot sapih jantan adalah 11.50 ± 1.50 (Heriyadi et al. 2002). Pada usaha ternak domba keragaan reproduksi penting diperhatikan karena sangat menentukan banyaknya anak yang dihasilkan. Keragaan reproduksi domba Priangan yang dipeliharan pada lingkungan tradisional dan intensif terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Keragaan reproduksi domba Garut pada pemeliharaan tradisional dan intensif Tradisional Intensif Rataan 9.57
Kisaran 7 -12
Rataan 12.61
Kisaran 8 -18
Siklus berahi (hari)
19.35
14 – 30
17.92
17 - 20
Umur pertama beranak (bulan)
17.00
10 -18
19.92
12 - 40
Kawin setelah beranak (hari)
59.28
40 – 90
54.07
40 - 78
1.50
1–5
1.61
1-3
Umur Pertama kawin (bulan)
Jumlah kawin/kebuntingan (kali)
Sumber : Hastono dan Masbulan (2001).
Parameter Genetik dan Nilai Pemuliaan Parameter genetik yang penting diketahui dalam menyusun program pemuliaan diantaranya adalah nilai heritabilitas dan korelasi genetik antar sifat. Heritabilitas adalah suatu koefisien yang menggambarkan berapa bagian dari keragaman fenotipik total yang disebabkan oleh pengaruh kelompok gen yang beraksi secara aditif, sedangkan korelasi genetik adalah korelasi yang lebih banyak dipengaruhi oleh gen-gen yang beraksi secara pleiotropik (Martojo 1992), kedua nilai ini berperan di dalam pelaksanaan seleksi. Nilai heritabilitas dan korelasi genetik dapat dihitung dengan berbagai cara, rancangan untuk menghitung heritabilitas dan korelasi genetik dapat sama. Pendugaan terhadap besarnya nilai heritabilitas akan berbeda-beda tergantung pada metoda yang digunakan, ragam genetik populasi, pengambilan contoh dan banyaknya data serta kondisi populasi tempat heritabilitas dihitung (Lasley 1972; Falconer 1981; Warwick et al. 1990) Nilai heritabilitas bobot lahir, bobot sapih dan pertambahan bobot badan sampai disapih domba Priangan hasil penelitian Setiadi (1983) masing-masing 0.25 ± 0.15, 0.71 ± 0.33, dan 0.79 ± 0.36, hasil penelitian Rahmat (2000), heritabilitas bobot lahir 0.23 ± 0.13 dan bobot sapih 0.24 ± 0.16 dan hasil penelitian Dudi (2003) dengan memperhitungkan maternal genetic effect dan lingkungan bersama, nilai heritabilitas bobot lahir 0.09 ± 0.04, bobot sapih 0.13 ± 0.008 dan pertambahan bobot badan sampai sapih 0.19 ± 0.09. Korelasi genetik bobot lahir dengan bobot sapih 0.58 ± 0.27, bobot lahir dengan pertambahan bobot badan 0.34 ± 0.17 dan bobot sapih dengan pertambahan bobot badan 0.35 ± 0.02 (Rahmat 2000). Nilai pemuliaan atau Breeding Value merupakan faktor utama dalam mengevaluasi keunggulan individu dalam mengevaluasi ternak dan merupakan parameter penting dalam program pemuliaan ternak. Nilai pemuliaan pada dasarnya
merupakan
regresi
dari
nilai
fenotipik
ternak
terhadap
nilai
heritabilitasnya. Karena pentingnya nilai pemuliaan dalam pemuliaan ternak, kecermatan pendugaan nilai pemuliaan akan menentukan respon seleksi yang diperoleh. Nilai pemuliaan dapat diduga dengan berbagai cara, salah satu cara yang cukup cermat dalam menduga nilai pemuliaan adalah menggunakan Best Linear Unbiased Prediction (BLUP). Keuntungan metode BLUP adalah (1). model dapat memperhitungkan semua pengaruh lingkungan tetap dan bisa langsung
dimasukkan dalam model sehingga tidak perlu dikoreksi (2). memungkinkan untuk turut diperhitungkannya seluruh informasi kekerabatan antar ternak (3). bisa menduga nilai pemuliaan ternak yang tidak mempunyai catatan produksi asalkan mempunyai hubungan kekerabatan dengan individu yang mempunyai catatan (4). EBV yang dihasilkan lebih akurat (Anang et al. 2003) Pola Pemuliaan (Breeding Scheme) Pemuliaan ternak adalah usaha jangka panjang dengan suatu tantangan utama adalah memperkirakan ternak macam apa yang menjadi permintaan di masa mendatang serta merencanakan untuk menghasilkan ternak-ternak yang diharapkan tersebut (Warwick et al. 1990). Peran pemuliaan dalam kegiatan produksi ternak sangat penting diantaranya untuk menghasilkan ternak-ternak yang efisien dan adaptif terhadap lingkungan. Produksi ternak yang efisien bergantung pada keberhasilan memadu sistem managemen, makanan, kontrol penyakit dan perbaikan genetik. Perbaikan mutu genetik akan efektif bila telah diketahui parameter genetik sifat-sifat produksi yang mempunyai nilai ekonomis disertai dengan tujuan pemuliaan (breeding objective) dan pola pemuliaan (breeding scheme) yang jelas. Untuk keberhasilan kegiatan pemuliaan perlu biaya mahal, waktu lama serta perlu teknologi, sehingga program pemuliaan ternak di negara-negar berkembang biasanya dilakukan oleh pemerintah (Devendra & Mc Leroy 1982). Salah satu cara untuk perbaikan genetik pada domba dilakukan melalui seleksi dalam kelompok ternak lokal dengan tujuan untuk meningkatkan frekuensi gen yang diinginkan. Kegiatan seleksi akan efektif bila jumlah ternak yang diseleksi banyak, namun catatan performans individu dari jumlah yang banyak akan sangat mahal. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah, seleksi atau peningkatan mutu genetik dilakukan pada kelompok-kelompok tertentu kemudian disebarkan pada kelompok lain (Wiener 1999). Struktur ternak bibit umumnya berbentuk piramida yang terbagi menjadi tiga strata (tiers) yaitu pada puncak piramida kelompok elit (nucleus), kelompok pembiak (multiplier), dan paling bawah kelompok niaga (Nicholas 1993; Warwick et al. 1990; Wiener 1999). Pola pemuliaan pada dasarnya ada dua bentuk yaitu pola inti tertutup (Closed nucleus breeding scheme) dan pola inti terbuka (Open nucleus breeding scheme). Pada pola tertutup aliran gen hanya berlangsung satu arah dari puncak
(nucleus) ke bawah tidak ada gen yang mengalir dari bawah ke nucleus. Perbaikan genetik pada commercial stock terjadi bila ada perbaikan pada nucleus. Peningkatan mutu genetik pada nucleus tidak segera tampak pada strata dibawahnya, perlu waktu untuk meneruskan kemajuan genetik pada suatu strata ke strata berikutnya. Perbedaan performans antara dua strata yang berdekatan biasanya diekspresikan dengan jumlah tahun terjadinya perubahan genetik yang ditunjukkan oleh perbedaan performan antara strata yang berdekatan. Pola ini dalam praktek biasa digunakan dalam pemuliaan ternak tradisional, peternakan babi dan pemuliaan ayam (Nicholas 1993). Pola inti terbuka suatu sistem dimana inti (nucleus) tidak tertutup, oleh karena itu aliran gen tidak hanya dari strata atas ke bawah tetapi juga dari bawah ke atas. Karena itu setiap perbaikan genetik yang diperoleh dari hasil seleksi di tingkat dasar akan memberikan kontribusi pada peningkatan genetik di inti, besarnya kontribusi bergantung kepada laju aliran gen dari dasar ke inti. Dengan masuknya ternak bibit dari kelompok lain ke inti hubungan kekerabatan antara induk dengan jantan makin jauh sehingga laju inbreeding berkurang. James (1979) mengemukakan bahwa kemajuan genetik pada sistem terbuka lebih tinggi dibandingkan dengan sistem tertutup. Pada sistem terbuka respons seleksi meningkat 10 sampai 15%, dengan laju inbreeding lebih rendah 50% bila dibandingkan dengan sistem tertutup pada kondisi dan ukuran sama. Kosgey (2004) mengemukakan bahwa pola inti terbuka cocok digunakan untuk pemuliaan domba di negara berkembang (tropik). Selanjutnya dinyatakan bahwa pola pemuliaan yang digunakan di negara berkembang berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan dan sosial budaya setempat, pola-pola tersebut antara lain pola tiga strata terdiri atas inti (nucleus), kelompok pembiak (multiplier) dan populasi dasar, pola dua strata (inti dan peternak), hanya inti saja, program hanya menseleksi jantan saja serta program seleksi jantan dan betina. Pola pemuliaan ternak terus berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Program-program statistik yang canggih dapat digunakan untuk menilai seekor ternak, demikian juga kemajuan teknologi reproduksi seperti inseminasi buatan sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan ternak unggul, hal ini memungkinkan pada masa yang akan datang breeding scheme akan berubah (van Arendonk et al. 1998).
Dalam pola pemuliaan yang perlu mendapat perhatian adalah peningkatan genetik dan laju inbreeding (Woolliams 1998; Fimland et al. 2002). Peningkatan genetik bertujuan untuk memperoleh hasil semaksimal mungkin dari sumber genetik yang ada melalui pemuliaan dengan memanfaatkan teknologi dan keterbatasan lingkungan (Bijma et al. 2002). Selanjutnya Fimland et al. (2002) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang menentukan dalam pemuliaan berkelanjutan adalah inbreeding. Pengaruh inbreeding pada domba umumnya merugikan performan produksi. Menurut hasil-hasil penelitian yang dikumpulkan oleh Lamberson dan Thomas ( 1984 ) peningkatan 1% inbreeding menurunkan 0.017 kg wool, 0.013 kg bobot lahir 0.111 kg bobot sapih dan 0.178 kg bobot pra sapih, fertilitas induk menurun 1.4 sampai 1.16%, dan jumlah anak yang hidup sampai sapih menurun 0.7 sampai 7.2%. Pola pemuliaan yang digunakan harus sesuai dengan kondisi daerah atau negara, kepentingan petani, konsumen, pemerintah maupun politik. Kepentingankepentingan
tersebut
meliputi
keamanan
pangan,
ketahanan
pangan,
kesejahteraan ekonomi dan sosial produsen serta konsumen, produksi berkelanjutan harus sesuai dengan kondisi lingkungan. Hasil penelitian Kosgey et al. (2002) alternatif pola pemuliaan untuk domba daging di daerah tropis adalah pola satu inti (one single breeding nucleus), gabungan kelompok peternak komersial (a group of commercial flocks running a cooperative) dan pola pemuliaan dua strata (two tier breeding scheme). Program Pemuliaan Berkelanjutan Program pemuliaan ternak merupakan suatu usaha jangka panjang dengan suatu tantangan utama adalah memperkirakan ternak macam apa yang menjadi permintaan di masa mendatang serta merencanakan untuk menghasilkan ternakternak yang diharapkan tersebut, untuk itu maka perlu adanya kegiatan yang berkelanjutan. Konsep pertanian berkelanjutan menurut Technical Advisory Committee of the Consultative Group on International Agricultural Research (TAC/CGIAR) dalam Chantalakhana dan Skunmun (2002) meliputi keberhasilan dalam mengelola sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melindungi serta mengawetkan sumber daya alam. Keberhasilan berimplikasi bahwa sistem produksi harus mampu meningkatkan pendapatan dan secara ekonomis berjalan serta secara sosial dapat diterima. Sumber daya alam
termasuk sumber daya dari luar pertanian berupa produk-produk pabrik seperti pupuk, mesin dan sebagainya. Mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan berarti perubahan lingkungan atau pemanfaatan sumber daya tidak boleh menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan, maka pemenuhan kebutuhan dan produksi harus terpenuhi dengan tidak merusak keseimbangan lingkungan. Croston dan Pollot (1985) mengemukakan bahwa tiga hal penting untuk keberhasilan program pemuliaan yaitu (1). Tujuan seleksi harus jelas serta sejalan dengan yang diinginkan peternak, (2). Metode yang tepat untuk menilai genotip (3). Pola (scheme) harus praktis untuk memperoleh materi genetik yang tinggi yang akan menguntungkan untuk digunakan dalam pemuliaan. Hasil penelitian Kosgey (2004) diketahui bahwa program pemuliaan ternak ruminansia yang menggunakan pendekatan top down sering mengalami kegagalan. Tujuan pemerintah umumnya meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, disisi lain peternak lebih berorientasi sebagai mata pencaharian, lebih ditujukan untuk kepentingan mereka sendiri dibandingkan dengan untuk kepentingan nasional. (Wollny et al. 2002). Langkah pertama dalam menyusun program pemuliaan adalah menentukan tujuan pemuliaan, yang dirumuskan bersama peternak supaya bisa berhasil dan sesuai dengan kepentingan peternak. Sifat yang ditingkatkan sebaiknya bernilai ekonomis tinggi serta mudah diukur, antara lain adalah litter size, laju reproduksi, bobot lahir, bobot sapih, dan kualitas karkas. Langkah kedua bersama-sama dengan petani menentukan bangsa yang cocok untuk dikembangkan. Langkah ke tiga mengelola program pemuliaan supaya berhasil meningkatkan mutu genetik ternak serta dalam jangka panjang dapat berkelanjutan. Selain adanya partisipasi peternak untuk dapat berkelanjutan program pemuliaan harus berorientasi pasar. Philipsson dan Rege (2002), mengemukakan bahwa dalam menyusun program pemuliaan yang berkelanjutan perlu integrasi antara kebijakan pembangunan pertanian, kelengkapan prasarana, peran serta (partisipasi) masyarakat, permintaan pasar serta aspek lain yang berkaitan dengan populasi ternak. Selanjutnya dinyatakan bahwa partisipasi petani sangat menentukan keberhasilan
program
pemuliaan
yang
berkelanjutan.
Kosgey
(2004)
mengemukakan bahwa salah satu masalah dalam menjalankan program
pemuliaan adalah bagaimana mengefektifkan peran dan partisipasi petani. Program yang optimal bukan hanya berhasil dalam meningkatkan genetik ternak tetapi sesuai dengan sarana yang ada serta adanya keterlibatan peternak. Partisipasi merupakan kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan diri sendiri, partisipasi dalam pembangunan adalah peran serta seseorang atau sekelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberikan masukan
berupa
pikiran,
tenaga,
waktu,
keahlian,
materi
serta
memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan (Mubyarto 1984).
ikut
MATERI DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilakukan di empat tempat yaitu : 1. Unit Pelaksana Teknis Dinas-Balai Pembibitan dan Pengembangan Ternak Domba (UPTD-BPPTD) Margawati Kabupaten Garut 2. Kelompok peternak domba H. Osih , Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut 3. Kelompok Peternak Jogya Grup, Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung 4. Peternak domba Lesan Putra Ciomas Bogor Empat lokasi diatas dipilih sebagai lokasi penelitian berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain: (1) Sebagai sumber bibit domba Priangan. (2) Lokasi 1 dan 4 memiliki recording. (3) UPTD-BPPTD Margawati pembibitan milik Pemerintah, H. Osih peternak domba tradisional, Lesan Putera adalah pengusaha swasta pembibit domba tangkas anggota HPDKI dan Jogya Grup kelompok peternak domba tangkas (4) Kelompok Margawati, H. Osih dan Jogya Grup merupakan inti yang memiliki peternak peternak binaan sebagai kelompok pembiak (multiplier) dan atau kelompok komersil. Penelitian dilaksanakan selama satu tahun mulai Agustus 2003 sampai dengan Agustus 2004. Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode survey. Data primer diperoleh dari hasil observasi dan wawancara pada inti maupun peternak anggota dengan berpedoman pada daftar pertanyaan (questioner) di tiga kelompok yaitu Margawati, H Osih dan Jogya Grup. Pengambilan sampel peternak dilakukan dengan cara purposive sampling. Variabel amatan terdiri atas : 1. Karakteristik peternak yang diamati meliputi : umur, pengalaman beternak, tingkat pendidikan, tujuan beternak, partisipasi, pengetahuan dan motivasi peternak dalam kegiatan pemuliaan. 2. Pola pemuliaan ternak diantaranya : sistem perkawinan, sistem seleksi, tujuan seleksi, serta model pola pemuliaan.
3. Koefisien teknis diantaranya : umur pertama kali dikawinkan, lama penggunaan induk dan pejantan, umur penyapihan, jumlah anak per kelahiran, bobot lahir dan bobot sapih. 4. Parameter genetik. 5. Pengembangan pola pemuliaan. Analisis Data Analisis deskriptif digunakan untuk data variabel karakteristik demografis peternak dan model pola pemuliaan. Umur peternak, dikelompokan menjadi 3 kelompok yaitu belum produktif (kurang 15 tahun), produktif (15 sampai 50 tahun) dan tidak produktif (diatas 50 tahun). Tingkat pendidikan, adalah pendidikan formal yang diselesaikan responden, meliputi SD, SLTP, SLA, dan Perguruan Tinggi. Pengalaman beternak, dihitung berdasarkan lamanya responden beternak domba.
Pekerjaan pokok, adalah
pekerjaan yang merupakan usaha pokok responden. Partisipasi adalah keikutsertaan peternak dalam kegiatan pemuliaan baik yang dilakukan individu maupun kegiatan kelompok. Nilai partisipasi ditentukan dari jawaban responden terhadap 10 pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner. Kisaran total skor 10 sampai 50 karena setiap jawaban dinilai dengan skala 1 sampai 5. Responden yang memiliki skor total 26 sampai 33 partisipasi cukup, 34 sampai 41 tinggi, dan 42 sampai 50 sangat tinggi. Motivasi, dalam beternak domba dan dalam program pemuliaan dinilai berdasarkan jawaban responden terhadap 10 pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner. Kisaran total skor 10 sampai 50 karena setiap jawaban dinilai dengan skala 1 sampai 5. Responden yang memiliki skor total 26 sampai 33 motivasi cukup, 34 sampai 41 tinggi dan 42 sampai 50 sangat tinggi. Pengetahuan, yang diukur dengan skor adalah pengetahuan peternak tentang reproduksi, seleksi dan peningkatan mutu genetik ternak. Analisis statistik non parametrik menggunakan uji Mann-Whitney (Siegel 1977) dilakukan untuk membandingkan skor nilai partisipasi, pengetahuan dan motivasi peternak antar kelompok. Pendugaan parameter genetik dilakukan di tiga kelompok yaitu di Margawati, H. Osih dan Lesan Putra, domba yang diambil sebagai contoh adalah domba yang memenuhi syarat untuk analisa yaitu mempunyai recording yang lengkap, diantaranya: Identitas tetua, data pejantan dan induk dari ternak yang diamati.
Parameter genetik yang diduga adalah nilai hetritabilitas (h2) dan nilai pemuliaan bobot lahir dan bobot sapih. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui nilai maksimum, minimum dan rata-rata sifat yang diamati dihitung dengan menggunakan program SAS 8.0 Pengaruh jenis kelamin, tipe kelahiran, musim dan paritas sebagai efek tetap terhadap bobot lahir dan bobot sapih dianalisis menggunakan analisis ragam dengan model : Yijklm Yijklm Ti Jj Mk Pl eijklm
Keterangan :
1.
= = = = = = =
Ti + Jj + Mk + Pl + eijklm Sifat yang diamati Tipe kelahiran Jenis kelamin Musim Paritas Galat
Tipe kelahiran, terdiri atas tunggal, kembar dua, kembar tiga atau kembar empat.
2. Jenis kelamin, terdiri atas jantan dan betina. 3. Musim, terdiri atas musim hujan mulai bulan November sampai Maret dan musim kemarau dari bulan April sampai September. Apabila ternak 50% hidup di musim hujan dikatagorikan ternak tersebut hidup dimusim hujan, apabila 50% hidup di musim kemarau dikategorikan ternak tersebut hidup di musim kemarau. 4. Paritas, terdiri atas kelahiran ke 1, ke2 .... ke n. Prosedur analisis menggunakan General Linear Model (GLM) dengan paket program SAS 8.0. Parameter genetik diduga dengan Animal Model Restricted Maximum Likelihood (REML). Perangkat lunak yang digunakan adalah Program VCE 4.2 (Groeneveld 1998). Nilai heritabilitas diduga dengan memperhitungkan maternal genetic effect (m2) dan lingkungan bersama (c2) dengan model matematik :
y
=
Xb = Za + Wm + Wc + e
Keterangan :
y X b Z a W
= = = = = =
m c e
= = =
Vektor catatan individu berukuran n x 1 Desain matrik untuk efek tetap Vektor untuk efek tetap Desain matrik untuk efek random Vektor untuk direct additive effect Desain matrik untuk maternal genetic effect dan lingkungan bersama Vektor untuk maternal genetic effect Vektor untuk pengaruh lingkungan bersama Vektor untuk residu
Persamaan mixed model (MME) adalah sebagai berikut : X’X
X’Z -1
Z’X
Z’Z+A aa
W’X
W’Z
W’X
W’Z
aa =
X’W
X’W
b
X’y
Z’W
Z’W
â
Z’y
W’W
m
W’W+Iam W’W
σ e2 σ a2
am =
W’W+ ?Ic
σ e2 σ m2
=
c
W’y W’y
? =
σ e2 σ c2
Heritabilitas dihitung dengan rumus :
σ a2 σ a2 = σ a2 + σ m2 + σ e2 σ 2p
2
h =
Maternal genetic effect dihitung menggunakan rumus : m2 =
σ m2 = σ a2 + σ m2 + σ e2
σ m2 σ 2p
Lingkungan bersama dihitung dengan rumus : c2 =
σ c2 = σ a2 + σ m2 + σ e2
σ c2 σ 2p
Keterangan : s 2a s 2m s 2c s 2e s 2p A-1 I
= = = = = = =
Ragam direct additive genetic effect Ragam maternal genetic effect Ragam lingkungan bersama Ragam lingkungan temporer Ragam fenotipe Invers matrix hubungan kekerabatan Matrik identitas
Pendugaan nilai pemuliaan menggunakan metode Best Linear Unbiased Prediction (BLUP) dengan Animal Model. Perangkat lunak yang digunakan
adalah program Prediction and Estimation (PEST) (Groeneveld 1998). Model linear untuk persamaan tersebut adalah : Keterangan :
Yijklm Yijklm Ti Jj Mk Pl Am eijklm
= = = = = = = =
Ti + Jj + Mk + Pl + Am +eijklm Sifat yang diamati Tipe kelahiran Jenis kelamin Musim Paritas pengaruh acak (nilai pemuliaan) ternak ke n Galat
Proses Analisis Hirarki (Analitical Hierarchy Process). Dalam merumuskan pengembangan pola pemuliaan domba priangan yang paling cocok diantara pola yang ada digunakan proses analisis hirarkhi (Analitical Hierarchy Process) menurut Saaty (1993), dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Menyusun hirarki yang terdiri dari tiga tingkat, tingkat 1 fokus yaitu pola pemuliaan yang berkelanjutan, tingkat 2 terdiri atas kriteria atau komponen yang berkontribusi terhadap program pemuliaan meliputi (1) Sumber daya manusia, (2) Sumber daya ternak, (3) Tujuan pemuliaan, (4) Parameter genetik, (5) Seleksi dan perkawinan, (6) Infrastruktur, (7) Sosial budaya, (8) Pasar dan (9) Kebijakan pemerintah, tingkat 3 terdiri atas model pola pemuliaan yang akan dipilih antara lain (1) Pola Margawati, (2) Pola H. Osih dan (3) Pola Jogya Grup. 2. Menentukan vektor prioritas kriteria dengan cara membandingkan berbagai kriteria di tingkat 2 secara berpasangan dengan mempertimbangkan penting relatif setiap kriteria. Skala banding berpasangan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Skala banding berpasangan (Saaty 1993) Intensitas Kepentingan 1
Keterangan Kedua elemen sama pentingnya
3
Elemen (x) sedikit lebih penting daripada elemen (y)
5
Elemen (x) lebih penting daripada elemen (y)
7
Elemen (x) jelas lebih penting daripada elemen (y)
9
Elemen (x) mutlak lebih penting daripada elemen (y)
2,4,6,8
Nilai-nilai diantara kedua nilai perbandingan yang berdekatan
3. Menentukan vektor prioritas untuk membandingkan model pola berkenaan dengan setiap kriteria.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Peternak Karakteristik adalah sifat-sifat yang ditampilkan oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupannya di dalam lingkungannya sendiri. Karakeristik individu diantaranya adalah umur, pendidikan, pengalaman, dan status sosial, karakteristik ini akan berpengaruh terhadap kemampuan individu untuk melaksanakan sesuatu, melakukan komunikasi dan memilih suatu kegiatan (Newcomb 1981). Keberhasilan dalam pengelolaan ternak diantaranya dipengaruhi oleh umur peternak, tingkat pendidikan dan pengalaman beternak. Data karakteristik peternak dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Karakteristik demografis peternak Kelompok Peternak Uraian
Margawati
H. Osih
Jogja Grup
Jumlah sample (n) Umur peternak (%) - 15–50 tahun - >50 tahun Tingkat pendidikan (%) - SD - SMP - SLA-PT Pengalaman beternak - < 10 tahun - > 10 tahun Pekerjaan pokok (%) - Pensiunan/pegawai - Petani - Peternak - Pedagang Tujuan pemeliharaan (%) - Usaha pokok - Usaha sambilan/tabungan - Hobby - Lain-lain
30
30
25
76.67 23.33
66 34
68 32
56.67 23.33 20
60 30 10
48 20 32
26.67 73.33
20 80
24 76
16.67 50 23.33 10
0 33.33 56.67 10
8 48 28 16
23.33 60.00 0 16.67
56.67 20.00 13.33 10
22.22 48.15 18.52 11.11
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa sebagian besar umur peternak berkisar antara 15 sampai 50 tahun, sedangkan diatas 50 tahun kurang dari 35%. Menurut Undang-undang tenaga kerja No 14 Tahun 1969 disebutkan bahwa umur kurang atau sama dengan 14 tahun termasuk belum produktif, umur
15 sampai 54 tahun termasuk produktif dan lebih dari 55 tahun tidak produktif. Banyaknya peternak usia produktif yang aktif dalam usaha pembibitan ternak akan berpengaruh terhadap pengembangan ternak domba tangkas khususnya di kabupaten Garut. Pengalaman merupakan akumulasi dari proses belajar yang dialami seseorang. Pengalaman yang dimiliki peternak menimbulkan minat dan kebutuhan untuk melakukan sesuatu. Peternak dengan rata-rata pengalaman diatas 10 tahun (73% sampai 80%), disertai umur masih produktif, keadaan tersebut memberikan gambaran bahwa pengalaman memelihara domba cukup baik dan diharapkan akan dapat menerapkan inovasi-inovasi baru dalam pengembangan domba kearah yang lebih baik. Pendidikan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu, makin tinggi pendidikan cenderung akan lebih banyak input dalam struktur kognisinya, dengan memiliki pendidikan formal lebih tinggi akan memiliki motivasi yang tinggi dan wawasan yang luas dalam menganalisis sesuatu kejadian (Rahmat 1989). Berdasarkan Tabel 5 tampak bahwa pendidikan formal peternak cukup beragam, sebagian besar masih berpendidikan SD (48 sampai 60%), SLTP (20 sampai 30%), dan SLTA-PT (10 sampai 32%). Tujuan beternak domba sebagian besar masih merupakan usaha sambilan, namun untuk peternak binaan H. Osih sudah mulai dijadikan usaha pokok (56.67%).
Partisipasi dan Perilaku Peternak dalam Kegiatan Pemuliaan Partisipasi merupakan kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan
diri
sendiri
(Mubyarto
1984).
Selanjutnya
Anchok
(1989)
mengemukakan bahwa keikutsertaan seseorang dalam suatu kegiatan erat kaitannya dengan pengetahuan, motivasi dan sikap. Adanya pengetahuan terhadap manfaat sesuatu hal akan menyebabkan orang mempunyai sikap positif terhadap hal tersebut, sikap positif selanjutnya akan mempengaruhi motivasi seseorang untuk ikut serta dalam suatu kegiatan. Adanya motivasi untuk melakukan suatu kegiatan sangat menentukan apakah kegiatan tersebut betulbetul dilakukan, kegiatan yang sudah dilakukan disebut perilaku. Skor nilai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak pada kelompok Margawati, H Osih dan Jogya Grup disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan bahwa pengetahuan peternak ke tiga model kelompok peternak memiliki
pengetahuan baik karena memiliki skor dalam kisaran antara 33 dan 41 dari skor minimum 10 dan maksimum 50. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pengetahuan peternak antara kelompok peternak yang dibentuk oleh pemerintah (UPTD) dengan kelompok peternak rakyat maupun kelompok anggota HPDKI. Umumnya peternak telah memiliki pengetahuan akan pentingnya perbaikan mutu genetik, baik melalui seleksi maupun perkawinan dengan bibit unggul, mereka juga selalu menghindari perkawinan inbreeding. Pengetahun peternak masih kurang mengenai recording, hampir seluruh responden tidak mengetahui cara dan pentingnya recording dalam kegiatan pemuliaan. Recording hanya dilakukan di UPTD-BPPTD Margawati, Pada kelompok H. Osih maupun Jogya Grup tidak ada recording namun mereka mengingat silsilah pejantan serta induk yang digunakan. Tabel 6 Skor perilaku dan partisipasi peternak tiga kelompok pembibit Kelompok Peternak Uraian
Margawati
H. Osih
Jogya Grup
Pengetahuan
33.07a ± 6.27
33.67a ± 5.39
35.84a ± 6.23
Motivasi
30.30a ± 3.82
32.83b ± 5.38
33.08b ± 3.70
Partisipasi
32.93a ± 4.50
32.87a ± 4.94
37.72b ± 6.53
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) (Mann-Whitney Test). Motivasi ke tiga model kelompok peternak termasuk katagori cukup karena memiliki skor dalam kisaran 26 sampai 33 dari skor minimum 10 dan maksimum 50. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa kelompok peternak Margawati memiliki motivasi lebih rendah dibandingkan dengan kelompok peternak H. Osih maupun kelompok peternak Jogya Grup. Rendahnya motivasi pada kelompok Margawati karena memelihara ternak merupakan paket yang telah ditentukan oleh Margawati semua kebijakan dalam pengadaan bibit, pola pemeliharaan dan penjualan hasil ternak ditentukan oleh Margawati, selain itu tujuan pemeliharaan ternak hanya merupakan usaha sambilan untuk tambahan penghasilan dari usaha tani atau usaha lain. Hal ini berbeda dengan kelompok Jogya Grup dimana peternak bebas dalam melakukan pola pemeliharaan maupun penjualan hasil. Sebagai peternak domba tangkas mereka termotivasi untuk selalu meningkatkan kualitas dombanya, dan menjaga popularitas kelompoknya. Philipsson dan Rege (2002) mengemukakan bahwa partisipasi petani memegang peranan penting dalam pengembangan program pemuliaan yang
berkelanjutan. Keberhasilan program pemuliaan tidak hanya ditentukan oleh model pola pemuliaan, tetapi kesesuaiannya dengan sistem usaha ternak dan keterlibatan peternak. Program pemuliaan yang gagal biasanya direncanakan oleh pemerintah tanpa mempertimbangkan kebutuhan peternak serta akibat jangka panjang dari kegiatan tersebut. Program yang berhasil harus sederhana, pragmatis dan biayanya murah (Kosgey 2004). Berdasarkan Tabel 6 partisipasi peternak dalam kegiatan pemuliaan untuk ketiga kelompok termasuk kategori tinggi. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa partisipasi kelompok Jogya Grup lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok Margawati maupun kelompok H. Osih. Tingginya skor partisipasi terutama pada partisipasi dalam perencanaan kegiatan, kehadiran dalam aktivitas serta pemanfaatan dan evaluasi hasil kegiatan.
Pola Pemuliaan Domba di Margawati Unit Pelaksana Teknis Dinas-Balai Pengembangan dan Pembibitan Ternak Domba (UPTD-BPPTD) Margawati Garut terletak di desa Sukanegla, kecamatan Garut kota kabupaten Garut. Pada awalnya merupakan pilot proyek pembibitan domba Priangan didirikan pada tahun 1975 berdasarkan DIP APBD No. 31523. Selanjutnya pada tanggal 12 Juli 1979 sesuai dengan Perda Dinas Peternakan Jawa Barat diubah menjadi Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT) Margawati. Berdasarkan Perda No. 5 Tahun 2002, tentang organisasi dan tata kerja sejak bulan Juni 2002 namanya diganti menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas - Balai Pengembangan dan Pembibitan Ternak Domba (UPTD-BPPTD) Margawati. Tujuan
didirikannya
UPTD-BPPTD
Margawati
antara
lain
untuk
mempertahankan dan meningkatkan populasi, kualitas dan produktivitas domba Priangan sebagai salah satu ternak khas Jawa Barat. Sesuai dengan fungsinya UPTD-BPPTD Margawati berupaya mengembangkan domba Priangan sesuai dengan pola pembibitan yang dianjurkan supaya diperoleh bibit domba Priangan berkualitas unggul untuk disebarkan ke masyarakat luas sehingga diharapkan dapat menjamin pasokan bibit domba Priangan untuk wilayah Provinsi Jawa Barat. Selain itu balai mempunyai fungsi sosial diantaranya dapat digunakan sebagai tempat pelatihan untuk meningkatkan keterampilan teknik beternak domba.
Kebijakan produksi, reproduksi dan pola pemuliaan di Margawati mengacu kepada tugas pokok dan fungsi UPTD-BPPTD yaitu : peningkatan mutu genetik dan produksi ternak dengan sasaran seperti yang tercantum dalam Tabel 7. Tabel 7 Sasaran peningkatan mutu genetik dan produksi ternak No
Sifat Produksi
1.
Bobot lahir rata-rata
2.5 kg
2.
Bobot sapih
11 kg
3.
Kematian
< 2%/th
4.
Lamb crop
150 %
5.
Prolifikasi
1.47
6.
Lambing rate
1.35
Sasaran
Sebagai UPTD Margawati berkewajiban untuk memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah, untuk itu Margawati membentuk kelompokkelompok peternak sebagai plasma, setiap kelompok memelihara 10 ekor induk dengan satu ekor jantan. Ternak yang dipelihara di plasma merupakan hasil seleksi dari ternak di Margawati. Hubungan antara Margawati sebagai inti dengan kelompok peternak sebagai plasma berdasarkan model pola pemuliaan dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.
Margawati (Inti) ?/? ?/?
Kelompok peternak (Plasma)
Peternak lain bukan kelompok
Gambar 1 Pola pemuliaan di Margawati Berdasarkan Gambar 1 tampak bahwa pola pemuliaan di Margawati menggunakan pola inti terbuka (Open Nucleus Systems), dua tingkat yaitu tingkat pertama Margawati sebagai inti dan tingkat ke dua peternak (plasma). Plasma berperan sebagai kelompok pembiak (multiplier), semua kebijakan di
plasma baik untuk penentuan induk maupun pejantan yang digunakan ditentukan oleh Margawati demikian pula untuk penjualan ternak. Pola seleksi yang dilakukan di Margawati disajikan pada Gambar 2. Ternak-ternak terseleksi dari plasma masuk ke inti, sebagian dijual ke peternak lain sebagai bibit, sedangkan ternak-ternak yang tidak terpilih dijual sebagai ternak pedaging. Sebagai sumber bibit unggul Margawati tidak hanya menggunakan hasil seleksi dari plasma ataupun Margawati sendiri tetapi juga mengambil bibit-bibit unggul dari peternak diluar kelompok. Kriteria seleksi yang digunakan oleh Margawati meliputi ; bobot lahir, bobot sapih, bobot enam bulan, bobot satu tahun dan litter size. Pola pemuliaan lebih ditekankan kepada tidak terjadinya perkawinan sedarah (Inbreeding). Jantan >< Betina Keturunan Jantan 50%
Betina 50%
Diseleksi sesuai dengan ternak unggul yang diinginkan 10% calon pejantan
Diseleksi sesuai dengan ternak unggul yang diinginkan
90% bakalan
10% bakalan
90% calon bibit
digemukkan Ternak yang terus dikembangkan guna menghasilkan bibit unggul Gambar 2 Pola seleksi di Margawati Van Arendonk et al. (1998) mengemukakan bahwa dalam program pemuliaan dua aktivitas perlu diperhatikan, pertama hasil seleksi dari populasi dasar berdasarkan nilai pemuliaan sifat-sifat yang relevan, kedua penyebaran ternak hasil peningkatan genetik ke kelompok komersial. Di negara-negara berkembang dengan jumlah ternak yang dipelihara sedikit, sumber daya terbatas, perbaikan mutu genetik lebih tepat dilakukan pada inti (Nucleus). Semua sifat dicatat dan di evaluasi di inti, hasilnya disebarkan ke kelompok komersial melalui jantan/inseminasi yang dikoordinir oleh inti. Ternak di inti harus merupakan kumpulan ternak unggul. Masalah utama dan penting untuk
keberhasilan implementasi pola pemuliaan pada peternak, harus ada interaksi antar inti dengan kelompok peternak baik dalam masalah teknik maupun sosial ekonomi. Harus selalu diingat bahwa tujuan pemuliaan (breeding objective) pada inti akan berpengaruh keseluruh pola (scheme). Tujuan pemuliaan pada inti harus didasarkan pada apa yang diharapkan peternak. Oleh karena itu Margawati sebagai stasiun pembibitan domba tidak hanya sebagai penghasil bibit tetapi harus mampu berinteraksi dengan peternak dalam meningkatkan produktivitas ternak.
Pola Pemuliaan Domba di H. Osih H. Osih merupakan penghasil bibit domba Priangan khususnya domba tangkas yang cukup terkenal di Garut, meskipun pada awalnya domba yang dipelihara dan dijual untuk bibit merupakan hasil dari perkawinan yang tidak terencana namun dalam perjalanan selanjutnya H. Osih melakukan kegiatan pemuliaan melalui perkawinan bibit-bibit unggul yang dihasilkan dari seleksi yang ketat dan terarah. Sistem perkawinan menggunakan kawin alam, seluruh responden telah mengetahui gejala-gejala berahi ternaknya dan kapan waktu yang tepat untuk dikawinkan sehingga keberhasilan perkawinan cukup tinggi. Mereka tidak mengawinkan ternak yang kekerabatannya dekat sehingga kemungkinan inbreeding kecil. Tujuan pemuliaan di kelompok ini adalah menghasilkan domba tangkas unggul melalui seleksi individu. Kriteria seleksi terutama didasarkan pada performa lomba ketangkasan, sifat-sifat yang diseleksi lebih banyak sifat kualitatif, diantaranya pola warna, bentuk tanduk, bentuk telinga, dan bentuk badan. Sifat kuantitatif yang paling diperhatikan adalah bobot lahir, bobot sapih dan bobot umur satu tahun. Silsilah juga menjadi pertimbangan seleksi, untuk jantan lebih disukai berasal dari kelahiran tunggal dan turunan ternak juara. Kelompok peternak H. Osih sangat fanatik dengan pola warna hitam dan atau belang hitam (warna baralak dan baracak), sehingga pola warna jantan dan induk yang dipilih adalah warna-warna tersebut. Bentuk tanduk diarahkan bentuk gayor dan leang, untuk bentuk tanduk tidak jadi kriteria utama, bentuk telinga harus rumpung. Bentuk badan harus nyinga (seperti singa) besar pada bagian depan (dada). Kriteria seleksi berdasarkan sifat kualitatif, urutan pertama bentuk telinga, kedua warna bulu ketiga bentuk tanduk, dan yang terakhir bentuk badan.
Seleksi domba jantan untuk bibit maupun tangkas dilakukan beberapa tahap yaitu pada umur sapih (4 bulan), umur 7 sampai 9 bulan, dan umur 1,5 tahun (gigi seri tanggal 2). Pada umur sapih kriteria seleksi terutama melihat postur tubuh secara umum, diutamakan dari kelahiran tunggal, tidak terlihat cacat tubuh, kecepatan pertumbuhan, dan kesehatan ternak. Pada umur ini pemeliharaan masih disatukan jantan dan betina. Umur 7 sampai 9 bulan sering disebut domba galingan dilakukan seleksi khusus, mulai diperhatikan bagian kepala meliputi raut muka, sorot mata, daun telinga, dan tanduk, postur tubuh, kaki, ekor, serta warna bulu. Pada umur ini domba mulai dikandang pada kandang individu. Pada umur 1,5 tahun dilakukan seleksi terakhir terhadap sifatsifat yang diseleksi pada umur sebelumnya, pada umur ini keserasian antara bentuk tanduk, muka, postur tubuh, warna bulu, serta karakteristik lainnya sudah dapat dilihat dengan jelas. Seleksi domba betina lebih diarahkan pada pola warna bulu, tidak terlihat cacat tubuh, kecepatan pertumbuhan, dan kesehatan ternak. Sama seperti jantan, untuk betina seleksi dimulai sejak lahir namun tidak harus dari kelahiran tunggal, bisa berasal dari kelahiran kembar dua. Sifat kuantitatif yang diperhatikan bobot lahir, pertumbuhan sampai sapih dan pertumbuhan pasca sapih, sampai menjelang dikawinkan. Domba betina dikawinkan pertama kali pada umur satu tahun, biasanya digunakan rata-rata sampai 7 kali beranak. Kegiatan seleksi seluruhnya dilakukan oleh H. Osih dan pak Ade (putra H. Osih), untuk jantan diseleksi 20% terbaik dan betina 70% terbaik. Domba terseleksi dipelihara di kelompok, yang tidak terseleksi dijual untuk domba potong atau sebagai bibit di peternak lain. Domba jantan seluruhnya dimiliki H.Osih, betina disebar ke peternak penggarap angota kelompok H. Osih. Pola pemuliaan yang dilakukan H. Osih dapat dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 3. Berdasarkan hasil pengamatan pola tersebut sesuai dengan pola ram circle. Peternak anggota hanya memelihara betina, pejantan ditentukan oleh H. Osih berdasarkan hasil seleksi di kelompok. Pejantan tersebut kemudian digilir untuk digunakan anggota kelompok. Kosgey ( 2004) mengemukakan bahwa pada pola ram circle ukuran inti dan ratio jantan betina berpengaruh terhadap kemajuan genetik (∆G) dan koefisien inbreeding (F). Semakin besar ukuran inti ∆G meningkat dan koefisien inbreeding (F) menurun.
?
Peternak ?
Peternak
Peternak
? ? ?
? ?
H. Osih ?
? ?
Peternak
Peternak ?
Peternak
?
Gambar 3 Pola pemuliaan di H. Osih Apabila pada kelompok ini dilengkapi dengan catatan performa (recording) dan inti mampu menseleksi jantan sebagai reference sire, pola ini akan sesuai dengan model sire reference scheme. Anang (2003) mengemukakan bahwa model sire reference scheme cocok digunakan untuk model pola pemuliaan domba priangan. Dengan adanya genetic links antar kelompok, evaluasi genetik antar kelompok dan antar tahun bisa dilakukan dengan mempertimbangkan kelompok sebagai efek tetap, sehingga nilai pemuliaan dan performa ternak antar kelompok dapat diperbandingkan. Peran inti adalah mengelola dan menseleksi jantan yang akan digunakan sebagai reference sire. Parameter genetik dan fenotip dapat dihitung menggunakan restricted maximum likelihood (REML) dan nilai pemuliaan dapat diduga menggunakan best linear unbiased prediction (BLUP). Pendugaan nilai pemuliaan pada sire reference scheme menggunakan BLUP akan lebih akurat, sebagai akibat dari lebih efektifnya pemisahan pengaruh genetik dan non genetik serta informasi dari kerabat (Simm dan Wray 1991). Selanjutnya Lewis dan Simm (2002) mengemukakan bahwa kemajuan genetik akan meningkat sejalan dengan peningkatan intensitas seleksi serta peningkatkan jumlah induk dalam kelompok yang dikawinkan dengan reference sire.
Pola Pemuliaan di Kelompok Jogya Grup Sekretariat Kelompok Jogya Grup berlokasi di Desa Laksana Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung. Kelompok ini merupakan kelompok peternak domba tangkas dikukuhkan pada tanggal 18 Agustus 1996, diketuai oleh Oro Suhara, sekretaris Iin Risnawati dan bendahara Erna Erfiana dengan anggota tetap pada saat ini 25 orang. Fungsi kelompok untuk membangun dan mengembangkan potensi kemampuan ekonomi anggota khususnya dan masyarakat umumnya melalui ternak domba, untuk itu kelompok berperan aktif dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas ternak domba, memperkokoh perekonomian melalui agribisnis bibit domba, penyediaan pakan, pelayananan kesehatan ternak serta mengadakan kemitraan dengan dinas peternakan, perguruan tinggi, BUMN maupun usahausaha swasta lainnya. Kegiatan utama kelompok melakukan pembinaan terhadap anggota melalui pertemuan-pertemuan rutin mingguan, tukar menukar pengalaman beternak antar sesama anggota, mengikuti kegiatan kontes dan ketangkasan domba baik tingkat regional maupun nasional. Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anggota kelompok sering mendatangkan ahli untuk memberikan ceramah maupun pelatihan. Kegiatan perekonomian kelompok diantaranya membentuk koperasi simpan pinjam, dibidang agribisnis sebagai usaha pokok menjual bibit ternak, mengusahakan pengadaan pakan terutama konsentrat, bekerjasama dengan Perum Perhutani menanam hijauan pakan ternak dilahan kehutanan sebagai tanaman sela. Anggota kelompok adalah pemilik dan sekaligus pengguna jasa, mereka mempunyai wewenang penuh dalam memelihara ternaknya, namun demikian mereka berpartisipasi dalam kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh kelompok, mengembangkan dan memelihara kebersamaan berdasarkan azas kekeluargaan serta menanggung kerugian kelompok sesuai yang diatur dalam kesepakatan. Ketua kelompok lebih berperan dalam mengkoordinasikan kegiatan kelompok, serta memberikan arahan dalam kegiatan usaha ternak terutama dalam seleksi bibit, menentukan pejantan yang digunakan dan penjualan ternak. Populasi ternak yang dimiliki kelompok pada bulan September 2003 sebanyak 756 ekor, rata-rata pemilikan 30 ekor/anggota dengan sex ratio jantan : betina yaitu 1 : 5.
Anggota kelompok peternak umumnya mempunyai peternak
penggarap atau peternak lain yang menjadi mitra dalam kegiatan pemuliaan,
kelompok melakukan seleksi bibit unggul baik pejantan maupun induk, hasil seleksi tetap dipelihara oleh peternaknya. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan ketua serta anggota kelompok model pola pemuliaan di kelompok Jogya Grup termasuk Model Group Breeding Scheme. Model pola pemuliaan kelompok Jogya Grup disajikan pada Gambar 4.
Anggota Anggota
?
?
? Anggota
Anggota
? Anggota
?
? Anggota
Gambar 4 Pola pemuliaan di kelompok Jogya Grup Pola ini hampir sama dengan pola yang dilakukan Chagunda dan Wollny (2005) dalam konservasi sumber genetik ternak lokal di Malawi. Adanya kerjasama dalam kelompok memungkinkan untuk mendapatkan ternak yang memiliki performa baik, dari sekian banyak ternak yang dimiliki kelompok. Kriteria seleksi ditentukan bersama oleh kelompok sesuai dengan kebutuhan. Ternak terpilih tetap dipelihara oleh pemiliknya, peternak berkontribusi dalam program dengan membolehkan ternaknya untuk digunakan dalam kelompok atau menjual ternak terseleksi kepada peternak lain sesama anggota kelompok. Keuntungan pola ini antara lain adalah: inbreeding akan rendah, meningkatkan partisipasi peternak karena peternak berperan langsung dalam program pemuliaan, peternak dapat memelihara/mengontrol ternak unggulnya, dan prasarana yang ada dapat dimanfaatkan bersama. Di New Zealand grup breeding Scheme pertama kali dikembangkan tahun 1967, selanjutnya berkembang sangat pesat (Peart 1979). Pembibit membentuk
kerjasama untuk memanfaat keunggulan ternak yang ada, pengalaman peternak serta prasarana yang dimiliki. Ternak dengan performa baik sesuai dengan yang diharapkan kelompok dipilih dan dipelihara di inti. Recording dilakukan di inti untuk sifat-sifat yang mempunyai nilai ekonomis selanjutnya seleksi didasarkan atas sifat-sifat tersebut, ternak pengganti untuk kelompok anggota umumnya berasal dari inti sehingga perbaikan akan cepat menyebar ke seluruh kelompok. Keberhasilan grup sangat bergantung kepada efektifitas organisasi, partisipasi peternak serta pola pemuliaan yang digunakan. Tujuan seleksi di kelompok Jogya Grup adalah menghasilkan domba tangkas unggul atau domba dengan berat badan tinggi. Kriteria seleksi meliputi : sifat sifat kualitatif diantaranya adalah bentuk badan, warna bulu, bentuk tanduk, serta bentuk telinga. Sifat Kuantitatif terutama adalah bobot lahir, bobot sapih, bobot tujuh bulan, dan bobot satu tahun. Seleksi betina pada umumnya sama dengan jantan, untuk tanduk dicari betina yang memiliki tanduk meskipun kecil (betina bertanduk). Perkawinan menggunakan kawin alam, peternak telah mengetahui gejala-gejala berahi ternaknya dan kapan waktu yang tepat untuk dikawinkan
sehingga
keberhasilan
perkawinan
cukup
tinggi
dan
tidak
mengawinkan ternak yang kekerabatannya dekat sehingga kemungkinan inbreeding kecil. Rata-rata domba jantan pertama kali dikawinkan pada umur 18 bulan dan domba betina 12 bulan. Umumnya pejantan digunakan sampai umur 7 tahun sedangkan induk digunakan rata-rata sampai 10 kali beranak. Seleksi domba jantan untuk bibit maupun tangkas dilakukan beberapa tahap yaitu pada umur 4 bulan (umur sapih), umur 7 sampai 9 bulan, dan umur 1.5 tahun (gigi seri tanggal 2). Pada umur sapih kriteria seleksi terutama melihat postur tubuh secara umum, diutamakan dari kelahiran tunggal, tidak terlihat cacat tubuh, kecepatan pertumbuhan, dan kesehatan ternak. Pada umur ini pemeliharaan masih disatukan jantan dan betina. Umur 7 sampai 9 bulan sering disebut domba galingan dilakukan seleksi khusus, mulai diperhatikan bagian kepala meliputi raut muka, sorot mata, daun telinga, dan tanduk. Postur tubuh yaitu kaki, ekor, serta warna bulu. Pada umur ini domba mulai di kandang pada kandang individu. Pada umur 1.5 tahun dilakukan seleksi terakhir terhadap sifatsifat yang diseleksi pada umur sebelumnya, pada umur ini keserasian antara bentuk tanduk, muka, postur tubuh, warna bulu, serta karakteristik lainnya sudah dapat dilihat dengan jelas. Sifat kualitatif paling diperhatikan peternak dalam seleksi dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Urutan empat besar sifat kualitatif yang paling diperhatikan dalam seleksi No
Sifat Kualitatif
Urutan
1
Tanduk
I
2
Bentuk badan
II
3
Bulu
III
4
Telinga
IV
Berdasarkan Tabel 8 semua responden menjadikan tanduk urutan pertama sebagai dasar seleksi. Pada domba tangkas tanduk merupakan komponen utama kegagahan dan sangat menentukan nilai ternak. Bentuk tanduk yang dikenal diantaranya adalah golong tambang, bendo, gayor, leang, jamplang, sogong, hamin lebe. Istilah bentuk tanduk belum ada kesepakatan yang jelas, masih banyak bentuk sama beda daerah beda istilahnya, namun Mulliadi (1996) mengidentifikasikan bentuk tanduk kedalam empat golongan yaitu (1) golong tambang, (2) Bendo, (3) Sogong, dan (4) Leang. Seleksi tanduk tidak saja bentuknya tetapi unsur keserasian, simetris, dan jenisnya. Jenis tanduk didasarkan pada kekuatan tanduk pada dasarnya ada tiga jenis yaitu (1) porslen, (2) gebog, dan (3) surat. Model bentuk tanduk disajikan pada Gambar 5.
Tanduk Gayor
Tanduk Ngabendo
Tanduk Japlang
Tanduk Golong Tambang
Tanduk Leang Gambar 5 Berbagai bentuk tanduk domba priangan
Kelompok peternak Jogya grup tidak fanatik terhadap bentuk tanduk namun bentuk tanduk yang disukai dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Bentuk tanduk yang disukai No
Bentuk Tanduk
Persentase
1
Gayor
37.04
2.
Golong tambang
18.52
3
Leang
14.81
4
Ngabendo
22.22
5
Japlang
7.41
Berdasarkan Tabel 9, bentuk tanduk yang paling disukai berturut-turut adalah bentuk gayor (37.04%), ngabendo (22.22%), golong tambang (18.52%), leang (14.81%), dan japlang (7.41%). Martojo (1990) mengemukakan bahwa sifat bertanduk atau tidak bertanduk dipengaruhi oleh satu pasang gen, sedang besar dan bentuknya ditentukan oleh beberapa pasang gen. Sifat pertandukan domba jantan dipengaruhi gabungan tiga alel p, P’ dan P yang mempunyai kombinasi genotipe yaitu pp, pP, pP’, PP, PP’ dan P’P’, maka penampilan fenotip yang dihasilkan kemungkinan variasinya besar. Frekuensi bentuk tanduk domba tangkas hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) adalah gayor (51.65%), ngabendo (17.36%), leang (16.53%), golong tambang (9.09%), hamin lebe (3.31%), japlang (1.24%), dan sogong (0.83%). Urutan kedua yang diperhatikan peternak sebagai dasar seleksi adalah bentuk badan. Bentuk badan dikenal tiga bentuk yaitu ngabonteng (badan lurus bulat seperti mentimun), ngabuah randu
(seperti buah randu, lonjong
kebelakang), nyinga (seperti tubuh singa, dada besar kebelakang kecil). Seluruh responden menyukai bentuk tubuh seperti singa (nyinga). Pola warna bulu pada domba priangan sangat beragam, putih polos, coklat polos, hitam polos, dan gabungan dari warna-warna tersebut Kombinasi warna hitam-putih di peternak dikenal dengan istilah baracak, baralak, belang batu, belang sapi, riben, sambung, pelong, sotong, laken, dan tablo. Kombinasi coklatputih, dikenal kondang dan sambung sedangkan kombinasi hitam-putih-coklat dikenal istilah warna jogja: jogja gelosor dan jogja genjong. Selain istilah-istilah tersebut masih banyak lagi istilah lokal.
Tidak seperti pada kelompok peternak H. Osih yang fanatik dengan warna bulu, pola warna bulu yang disukai kelompok peternak Jogya Grup beragam. Pola warna bulu yang dijadikan dasar seleksi disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Pola warna yang dijadikan dasar seleksi No
Pola Warna
1.
Hitam polos
25.93
2.
Putih polos
11.11
3.
Kombinasi hitam-putih
59.25
4.
Persentase
-
Baracak
21.95
-
Sambung
13.16
-
Riben
10.97
-
Laken
8.78
-
Warna lain
4.38
Warna lain
3.71
Pola warna paling disukai peternak berturut turut adalah kombinasi warna hitam-putih (59.25%), hitam polos (25.93%), putih polos (11.11%), dan warna lain (3.71%). Berdasarkan kombinasi warna hitam-putih, pola warna yang sering dijadikan dasar seleksi adalah baracak (21.95%), sambung (13.16%), riben (10.97%), laken (8.78%) dan warna lain (4.38%). Pola warna coklat dan kombinasinya kurang diminati, peternak yang menyukai pola warna coklat dan kombinasinya, mereka yang pernah memiliki domba juara dengan pola warna coklat. Tipe telinga domba Priangan tangkas yang paling disukai dan merupakan ciri khas domba Priangan adalah telinga rumpung. Tipe lain yang disukai adalah ngadaun hiris dan rubak. Tipe telinga rumpung dipengaruhi oleh sepasang gen dalam keadaan homozigot resesif (tt), ngadaun hiris (medium) dalam keadaan heterozigot (Tt) dan telinga panjang dalam keadaan homozigot dominan (TT) (Dwiyanto 1982). Hasil perkawinan domba jantan bertelinga rumpung dengan betina rumpung pasti akan menghasilkan anak bertelinga rumpung.
Keragaan Produksi dan Reproduksi Domba Priangan Persentase tipe beranak Berdasarkan banyaknya anak yang dilahirkan seekor induk domba, dapat dikelompokkan kedalam empat tipe beranak yaitu, tunggal (single), kembar dua
(twin), kembar tiga (triple) dan kembar empat (quartet). Pada penelitian ini tidak didapat kelahiran kembar empat. Distribusi tipe kelahiran dan rataan jumlah anak sekelahiran menurut kelompok peternak disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Distribusi tipe kelahiran (%) dan rataan jumlah anak sekelahiran (ekor/kelahiran) menurut kelompok peternak Kelompok Peternak
Jumlah Kelahiran
Tunggal
Tipe kelahiran Kembar Dua
Kembar Tiga
Jumlah Anak Sekelahiran
Margawati 640 39.38 55.16 5.47 1.66a±0.62 Lesan Putra 122 40.16 50.82 9.02 1.69a±0.63 H. Osih 98 47.96 46.94 5.10 1.57b±0.59 Keterangan : huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05 Tabel 11 memperlihatkan bahwa distribusi tipe kelahiran bervariasi antar kelompok peternak. Proporsi kelahiran tunggal tertinggi terdapat pada kelompok peternak domba tangkas yaitu di kelompok H. Osih (47.96%) sehingga menghasilkan jumlah anak sekelahiran (1.57±0.59) lebih rendah (p<0.05) dari kelompok Lesan maupun Margawati. Tingginya persentase kelahiran tunggal pada kelompok domba tangkas disebabkan peternak domba tangkas lebih menyukai jantan maupun induk berasal dari kelahiran tunggal sebagai bibit. Sejalan dengan pendapat Bennet et al. (1991) bahwa induk yang berasal dari kelahiran kembar akan menurunkan anak kembar lebih banyak dibandingkan dengan induk yang berasal dari kelahiran tunggal, demikian juga pejantan yang berasal dari kelahiran kembar akan menurunkan anak kembar yang lebih banyak dibandingkan dengan pejantan yang berasal dari kelahiran tunggal. Jumlah anak sekelahiran domba priangan pada kelompok Margawati, Lesan Putra dan H. Osih lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Nafiu (2003), jumlah anak sekelahiran domba Priangan 1.91±0.02, hasil penelitian Tiesnamurti (2002) yaitu 1.98±0.94 dan hasil penelitian Inounu et al. (1998) sebesar 1.77±0.64. Bradford et al. (1991) memperlihatkan bahwa sifat beranak banyak secara genetis diatur aditif oleh gen major FecJF . Segregasi gen FecJF dalam suatu populasi akan mengelompokkan ternak kedalam tiga galur laju kesuburan yaitu: (1) FecJF FecJF induk domba mempunyai kemampuan beranak =4 ; (2) FecJF FecJ+ induk domba mampu mempunyai rataan anak =1.7 dan (3) FecJ+ FecJ+ induk domba mampu mempunyai rataan anak =1.7.
Bobot lahir Bobot lahir merupakan faktor yang sangat menentukan bagi kelangsungan usaha peternakan domba, karena bobot lahir berkorelasi positif yang nyata dengan pertumbuhan dan perkembangan ternak setelah lahir. Hasil perhitungan dan analisis data total bobot lahir per induk dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Rataan total bobot lahir anak (kg/induk) pada kelompok peternak Kelompok Peternak
Jumlah Pengamatan
Bobot Lahir
640 122
Margawati Lesan Putra H. Osih
98
Standar Deviasi
Koefisien Keragaman (%)
3.39a
0.62
18.29
b
1.07
27.22
c
1.23
27.52
(kg) 3.93 4.47
Keterangan : huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05 Rataan bobot lahir per induk antar kelompok peternak sangat bervariasi dengan bobot lahir tertinggi di kelompok H. Osih (4.47±1.23 kg/induk) kemudian berturut turut di kelompok Lesan Putra (3.93±1.07 kg/induk) dan kelompok Margawati (3.39±0.62 kg/induk). Kondisi pakan, jenis kelamin anak, tipe kelahiran serta kondisi induk merupakan penyebab tingginya variasi rataan bobot lahir anak. Rataan bobot lahir anak per induk pada kelompok Margawati, Lesan Putra maupun H. Osih lebih rendah dari hasil penelitian Nafiu (2003) yaitu 4.72±0.06. Rataan bobot lahir berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran disajikan pada Tabel 13. Bedasarkan Tabel 13 tampak bahwa pada semua kelompok peternak bobot lahir jantan lebih tinggi dibandingkan dengan bobot lahir betina baik pada tipe kelahiran tunggal maupun kembar. Perbedaan pertumbuhan antara ternak betina dengan jantan diantaranya disebabkan pengaruh hormonal. Hormon
androgen
yang
merupakan
hormon
kelamin
yang
mengatur
pertumbuhan lebih tinggi pada ternak jantan menyebabkan pertumbuhannya lebih cepat dari ternak betina (Gatenby 1986; Nalbandov 1990). Perbedaan bobot lahir jantan dan betina pada penelitian ini sebesar 12.45% ; 9.84%; 7.11 %; dan 12.46% pada kelompok Margawati, H. Osih, Jogya Grup dan Lesan putra lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Nafiu (2003) dan Tiesnamurti (2002) masing-masing 4.7% dan 4%.
Tabel 13 Rataan bobot lahir berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran Kelompok Peternakan
Jantan
Betina
Tunggal
Kembar
Triplet
Tunggal
Kembar
Triplet
Margawati
2.81a±0.54
1.90a±0.25
1.40a±0.15
2.49a±0.47
1.61a±0.27
1.25a±0.15
Lesan Putra
2.76a±0.43
1.95a±0.26
1.87b±0.27
2.47b±0.38
1.76b±0.26
1.55b±0.15
b
H. Osih
3.59 ±0.57
b
2.98 ±0.45
b
1.99 ±0.27
b
3.09 ±0.32
b
1.88b±0.22
2.68 ±0.35
Keterangan : huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05
Tipe kelahiran berpengaruh terhadap bobot lahir baik jantan maupun betina, bobot lahir pada tipe kelahiran tunggal baik jantan maupun betina lebih tinggi bila dibandingkan dengan bobot lahir pada tipe kelahiran kembar. Makin banyak anak yang dilahirkan makin ringan rata-rata bobot lahir anak yang dicapai (Ramsay et al. 2000). Keadaan tersebut terjadi karena volume uterus induk terbatas, sehingga bila di dalam uterus terdapat lebih dari satu fetus, maka pertumbuhannya akan terganggu karena keterbatasan jumlah makanan dan ruang yang tersedia. Tabel 13 memperlihatkan bahwa bobot lahir domba di kelompok H. Osih lebih tinggi dibandingkan dengan dikelompok-kelompok lainnya demikian juga koevisien variasi dikelompok itu kurang dari 15%. Hal ini sesuai dengan pola pemuliaan yang dilakukan oleh ke dua kelompok peternak tersebut yaitu menghasilkan domba-domba tangkas dengan bobot badan tinggi dan seragam.
Bobot sapih Bobot sapih adalah bobot pada saat anak dipisahkan pemeliharaannya dari induknya. Penyapihan pada keempat kelompok peternak yang diamati dilakukan pada umur 4 bulan. Rataan bobot sapih anak per induk di kelompok Margawati, Lesan Putra dan H. Osih masing terdapat pada Tabel 14. Tabel 14 Rataan bobot sapih anak (kg/induk) pada kelompok peternak Kelompok Peternak Margawati Lesan Putra H. Osih
Jumlah Pengamatan
Bobot Sapih
640 122 98
standar Deviasi
Koefisien Keragaman (%)
14.31a
3.71
25.92
b
2.88
17.84
b
4.37
28.13
(kg) 16.14 16.81
Keterangan : huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05 Tabel 14 memperlihatkan bahwa bobot sapih pada kelompok domba tangkas yaitu pada kelompok Lesan Putra dan H. Osih nyata lebih tinggi (p<0.05)
dibandingkan dengan kelompok Margawati, sedangkan pada kelompok Lesan Putra dan H. Osih tidak berbeda nyata. Bobot sapih hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Nafiu (2003) yang memperoleh bobot sapih domba priangan per ekor induk adalah 17.09 ± 0.33 kg, namun lebih tinggi dari hasil penelitian Inounu et al. (1998) bobot sapih domba Priangan peridi adalah 13.12±4.33 kg dan hasil penelitian Iniguez et al. (1991) pada domba lokal Sumatera diperoleh bobot sapih per induk 11.45 kg. Rata-rata bobot sapih berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Rataan bobot sapih berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran Kelompok Peternakan Margawati
Jantan Tunggal a
10.81 ±1.30 b
Kembar a
8.51 ±1.35 c
Betina Triplet a
6.78 ±1.04 a
Tunggal a
9.97 ±1.25 b
Kembar
Triplet
a
6.56a±0.52
b
8.00 ±1.36
Lesan Putra
11.63 ±1.19
8.51 ±1.35
6.78 ±1.04
9.96 ±1.25
8.00 ±1.36
6.56b±0.52
H. Osih
12.22b±1.96
11.64b±1.68
8.75b±0.79
10.95b±0.67
10.61b±1.42
8.48b±0.63
Keterangan : Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P<0.05
Berdasarkan Tabel 15 tampak bahwa kelompok Margawati memiliki bobot sapih paling rendah dibandingkan dengan kelompok lainnya, sementara bobot sapih kelompok H. Osih dengan Lesan Putra tidak berbeda nyata. Tinggi bobot sapih pada kelompok H. Osih dan Lesan Putra diantaranya karena induk dan jantan domba tangkas merupakan hasil seleksi dengan bobot induk rata-rata di atas 35 kg dan jantan di atas 40 kg. Tipe kelahiran berpengaruh terhadap bobot sapih, bobot sapih pada tipe kelahiran tunggal lebih tinggi dibandingkan dengan kelahiran kembar maupun kembar tiga. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Subandriyo dan Vogt (1995) pada domba Suffolk dan Dorset serta hasil penelitian Nafiu (2003) pada domba Priangan dan hasil persilangannya dengan domba St. Croix dan Moulton Charollais. Anak domba jantan memiliki bobot sapih lebih tinggi dibandingkan betina, seperti terlihat pada hasil penelitian ini rata-rata bobot sapih jantan tungal 11.53% lebih tinggi dari bobot sapih betina sedangkan bobot sapih jantan kembar dan kembar tiga masing-masing 8.57% dan 3.88% lebih tinggi dari bobot sapih betina kembar dan betina kembar tiga. Hasil penelitian Nafiu (2003) rataan bobot sapih jantan 11% lebih tinggi dari bobot sapih betina, sementara hasil penelitian Tiesnamurti (2002) diperoleh perbedaan bobot sapih jantan 24% lebih tinggi dari
bobot sapih betina. Bobot sapih domba jantan lebih tinggi dari betina karena adanya keterlibatan hormon kelamin dalam pengaturan pertumbuhan. Hormon androgen yang merupakan hormon kelamin yang mengatur pertumbuhan lebih tinggi pada ternak jantan menyebabkan pertumbuhannya lebih cepat dari betina (Gatenby 1986; Nalbandov 1990).
Heritabilitas Salah satu parameter penting dalam pemuliaan adalah nilai heritabilitas, karena nilai ini menunjukkan berapa besar kekuatan suatu sifat diturunkan dari tetua kepada anaknya. Nilai heritabilitas dapat digunakan untuk menduga nilai pemuliaan serta menduga respon seleksi. Nilai heritabilitas tidak tetap bergantung kepada bangsa ternak, jumlah cuplikan data, waktu dan tempat penelitian, metode analisis yang digunakan, ukuran populasi yang digunakan, jumlah pejantan yang diamati dan cara pengambilan sampel (Hardjosubroto 1994; Anang 1992). Pendugaan nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih domba Priangan telah dilakukan beberapa peneliti terdahulu antara lain Siregar (1981) memperoleh hasil masing–masing 0.43 ± 0.02 dan 0.35 ± 0.25, hasil penelitian Setiadi (1983) 0.21 ± 0.15 dan 0.71 ± 0.33 serta hasil penelitian Nafiu (2003) adalah 0.36 ± 0.08 dan 0.22 ± 0.07. Nilai heritabilitas tersebut diduga tanpa memasukkan pengaruh maternal (m2) dan lingkungan bersama (c 2) dalam model analisisnya. Schuler et al. (2001) menyatakan bahwa dalam analisis heritabilitas perlu dipisahkan ragam yang timbul karena pengaruh maternal dan lingkungan bersama, dugaan nilai heritabilitas yang tidak memisahkan pengaruh maternal dan lingkungan bersama memiliki peluang bias yang besar mengingat keragaman pada induk banyak berpengaruh terhadap keragaman anak yang dibesarkan. Pengaruh induk terhadap keragaman genetik anak terjadi sebelum dan sesudah kelahiran. Sebelum kelahiran keragaman terjadi karena perbedaan lingkungan uterus, setelah kelahiran bisa terjadi karena perbedaan produksi susu dan tingkah laku menyusu. Nilai heritabilitas bobot lahir hasil penelitian berkisar antara 0.05 sampai 0.15 sedangkan bobot sapih berkisar antara 0.06 sampai 0.21 termasuk katagori rendah. Dengan memisahkan pengaruh maternal dan lingkungan bersama ke dalam analisis nilai dugaan heritabilitas yang diperoleh lebih kecil dibandingkan
hasil penelitian sebelumnya yang tidak memisahkan pengaruh maternal dan lingkungan bersama (Siregar 1981; Setiadi 1983; Nafiu 2003). Dugaan nilai heritabilitas yang memisahkan pengaruh maternal dan lingkungan bersama pada kelompok Margawati, H. Osih dan Lesan Putra disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Dugaan nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih Kelompok
Bobot lahir
Bobot sapih
h ±SE
m ±SE
c ±SE
h ±SE
m2±SE
c 2±SE
Margawati
0.05±0.03
0.17±0.07
0.72±0.14
0.06±0.04
0.14±0.08
0.66±0.16
H. Osih
0.12±0.05
0.43±0.10
0.32± 0.14
0.13±0.05
0.38±0.11
0.36± 0.17
Lesan Putra
0.15±0.07
0.11±0.07
0.59± 0.18
0.21±0.09
0.08±0.07
0.50± 0.19
Peternak
2
2
2
2
Nilai heritabilitas bobot lahir di kelompok Margawati 0.05 hampir sama dengan hasil penelitian Dudi (2003) dengan menggunakan metode yang sama yaitu sebesar 0.09 namun lebih rendah dari hasil penelitian Nafiu (2003) yang mendapatkan nilai heritabilitas bobot lahir domba Priangan 0.12. Hasil penelitian Nafiu mendekati nilai heritabilitas bobot lahir di kelompok H Osih dan Lesan Putra. Untuk bobot sapih nilai heritabilitas terendah di kelompok Margawati yaitu 0.06 dan heritabilitas tertinggi di kelompok Lesan Putra yaitu 0.21. Hasil penelitian Dudi (2003) diperoleh nilai heritabilitas bobot sapih domba Priangan 0.13 sedangkan Nafiu (2003) mendapatkan 0.08.
Dengan memisahkan
pengaruh maternal dan lingkungan bersama Broomley et al. (2001) mendapatkan heritabilitas bobot sapih domba Columbian, Polipay, Rambouillet, dan Targhee masing-masing sebesar 0.02 ; 0.10 ; 0.11 dan 0.08. Hasil penelitian Jara et al. (1998) heritabilitas bobot lahir, bobot sapih dan bobot umur 14 bulan domba corriedale masing masing adalah 0.24±0.06 , 0.38±0.08 dan 0.09±0.03. Bobot lahir dan bobot sapih merupakan sifat-sifat yang dipengaruhi komponen genetik induk (maternal genetic effect). Maternal genetic effec, yaitu pengaruh gen yang mempengaruhi kondisi lingkungan pada induk yang berpengaruh terhadap performa individu (Bourdon 1997). Pendugaan parameter genetik untuk sifat tersebut perlu memisahkan pengaruh maternal (BIF 1996; Jara et al. 1998). Pengaruh maternal genetic terhadap program seleksi antara lain adalah berpengaruh terhadap respon seleksi, bila pengaruh maternal diabaikan respon seleksi dapat menurun tapi biasanya pengaruhnya tidak besar (Haley 1994 dalam Anang 1995).
Pengaruh maternal (m2 ) hasil penelitian berkisar 0.11 sampai 0.43 untuk bobot lahir dan bobot sapih 0.08 sampai 0.38. Hasil ini lebih tinggi dari hasil Nafiu (2003), m2 domba priangan dan persilangan berkisar 0.00 sampai 0.19 untuk berat lahir dan 0.00 sampai 0.22 untuk berat sapih. Hasil penelitian Maria et al. (1993) pada domba romanov pengaruh maternal bobot lahir 0.10 dan bobot sapih 0.00. Pengaruh maternal bobot lahir dan bobot sapih domba targhee adalah 0.20 dan 0.11 (Van Vleck et al. 2003). Pada Tabel 16 terlihat c2 untuk bobot lahir berkisar sekitar 0.32 sampai 0.72 dan untuk bobot sapih berkisar 0.36 sampai 0.66. Nilai c2 baik untuk bobot lahir maupun bobot sapih tertinggi terdapat di kelompok Margawati, masingmasing 0.72 dan 0.66. Nilai c2 bobot lahir dan bobot sapih di kelompok H. Osih dan Lesan Putra sesuai dengan hasil yang diperoleh Nafiu (2003), nilai c2 untuk bobot lahir berkisar 0.41 sampai 0.53 dan bobot sapih berkisar 0.33 sampai 0.47, namun lebih tinggi dari hasil yang dilaporkan Anang (1995) pada domba temperate, nilai c2 bobot lahir berkisar 0.10 sampai 0.41 dan bobot sapih 0.00 sampai 0.18. Pada semua kelompok m2 bobot sapih lebih rendah dibandingkan dengan m 2 bobot lahir, demikian juga untuk pengaruh lingkungan bersama (c2 ). Sejalan dengan hasil penelitian Anang (1995) dan Jara et al. (1998) untuk bobot hidup pengaruh maternal dan pengaruh lingkungan bersama akan menurun sesuai dengan bertambahnya umur ternak. Nilai Pemuliaan Dugaan Pendugaan nilai pemuliaan merupakan salah satu faktor penting dalam mengevaluasi keunggulan genetik ternak, terutama untuk ternak-ternak yang akan
digunakan
untuk
bibit.
Besarnya
nilai
pemuliaan
seekor
ternak
menunjukkan keunggulan potensi genetik yang dimiliki oleh ternak tersebut dari rata-rata populasinya. Johansson dan Rendell (1969) mengemukakan bahwa ternak yang mempunyai nilai pemuliaan lebih besar akan lebih baik bila dijadikan bibit atau ternak pengganti dibandingkan dengan ternak yang mempunyai nilai pemuliaan rendah. Pejantan, induk dan anak yang memiliki nilai pemuliaan bobot lahir di atas rata-rata pada kelompok Margawati masing-masing adalah 41.67% ; 46.99%; dan 44.39%, pada kelompok H. Osih masing-masing 42.86%; 41.18%; dan 33.09% serta pada kelompok Lesan masing-masing 61%; 50.92%; dan 39.41%.
Dugaan nilai pemuliaan pejantan di atas nilai rata-rata dan sepuluh ekor terbaik untuk induk dan anak pada masing-masing kelompok berdasarkan bobot lahir dapat dilihat pada Lampiran 2. Persentase pejantan, induk dan anak yang memiliki nilai pemuliaan untuk bobot sapih di atas rata-rata pada kelompok Margawati masing-masing 37.5%; 36.28%; dan 30.94%, kelompok H. Osih masing masing 5%; 32.56%; dan 33.33% serta pada kelompok Lesan Putra masing-masing 50% ; 48.72% ; dan 36.11%. Dugaan nilai pemuliaan jantan di atas rata-rata dan sepuluh ekor terbaik untuk induk dan anak berdasarkan bobot sapih untuk pejantan, induk, dan anak pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada Lampiran 2.
Dugaan Respon Seleksi Per Generasi Martojo (1990) mengemukakan bahwa rataan nilai pemuliaan ternak terseleksi di atas seluruh ternak yang tersedia untuk diseleksi tergantung pada tiga faktor yaitu keragaman genetik, intensitas seleksi dan ketepatan pendugaan nilai pemuliaan. Anang et al. (2003) mengemukakan bahwa besarnya kemajuan genetik yang diperoleh sebagai akibat adanya seleksi, dapat diduga dengan menghitung besarnya dugaan respon seleksi. Dugaan nilai respon seleksi sebanding dengan nilai heretabilitas (h2), Intensitas seleksi (i) dan simpangan baku fenotip (σp). Respon seleksi yang optimal dapat diperoleh dengan menstimulasi besarnya nilai intensitas seleksi baik jantan maupun betina yang akan digunakan sebagai tetua pada generasi berikutnya. Umumnya di dalam suatu peternakan jumlah pejantan dan induk berbeda, sehingga intensitas seleksi jantan dan betina akan berbeda pula. Menurut Hardjosubroto (1994), besarnya intensitas rata-rata merupakan jumlah intensitas seleksi jantan dan intensitas seleksi betina dibagi dua atau (ij + ib)/2. Dugaan respon seleksi bobot lahir dan bobot sapih pada berbagai intensitas seleksi di kelompok Margawati, H. Osih dan Lesan Putra dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan Lampiran 3, dugaan respon seleksi bobot lahir dan bobot sapih domba di kelompok Margawati apabila dilakukan seleksi 10% jantan terbaik dengan 60% betina akan diperoleh peningkatan bobot lahir sebesar 0.04 kg per generasi dan peningkatan bobot sapih sebesar 0.18 kg per generasi. Rata-rata bobot lahir dan bobot sapih di Margawati sebesar 1.93 kg dan 8.39 kg, dengan kemajuan seleksi sebesar 0.04 kg bobot lahir dan 0.18 kg bobot sapih
sasaran Margawati untuk mendapatkan bobot lahir sebesar 2.5 kg dengan bobot sapih 11 kg akan sulit dicapai. Rendahnya respon seleksi disebabkan karena rendahnya nilai dugaan heritabilitas untuk sifat-sifat tersebut. Dugaan respon seleksi bobot lahir dan bobot sapih untuk kelompok H. Osih dan Lesan putra secara optimum yang menghasilkan kemajuan tertinggi yaitu pada penggunaan proporsi pejantan terseleksi sebesar 5 sampai 20% dan untuk betina sebesar 5 sampai 60%. Pada proporsi tersebut peningkatan bobot lahir dan bobot sapih per generasi masing-masing sebesar 0.30 kg sampai 0.60 kg dan 0.90 kg sampai 1.81 kg pada kelompok Lesan Putra serta 0.11 kg sampai 0.23 kg dan 0.30 kg sampai 0.61 kg. Harjosubroto (1994), mengemukakan semakin sedikit jumlah ternak yang digunakan pada kegiatan seleksi, kemajuan genetiknya akan semakin tinggi.
Pengembangan Pola Pemuliaan Berkelanjutan Strategi pengembangan pola pemuliaan merupakan proses berlanjut dimulai dari perencanaan awal, kemudian pelaksanaan strategi diantaranya mencakup penentuan tujuan pemuliaan, kegiatan recording, pendugaan nilai pemuliaan, optimalisasi struktur pemuliaan, dan evaluasi untuk mengetahui hasil yang dicapai. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk menyempurnakan perencanaan dan pelaksanaan berikutnya (Groen 2000). Keberhasilan program pemuliaan sangat ditentukan oleh kejelasan tujuan pemulian serta peran peternak yang terlibat dalam kegiatan pemuliaan (Philippson & Rage 2002; Croston & Pollot 1985; Olivier et al. 2002; Kosgey, 2004). Phillipson dan Rege (2002), mengemukakan bahwa dalam membuat program pemuliaan harus dipertimbangkan kebijakan pembangunan pertanian, sistem produksi, pasar, lingkungan, bangsa ternak, prasarana (infrastruktur) serta peran serta peternak. Selanjutnya dinyatakan dalam pengembangan program pemuliaan harus mencakup komponen: breeding strategis, recording dan data processing, metode reproduksi, analisis parameter genetik dan pendugaan nilai pemuliaan, seleksi dan perkawinan, monitoring kemajuan genetik, kebijakan pembangunan pertanian dan pasar, nilai-nilai sosial dan budaya, sistem produksi, karakteristik populasi, dan infrastruktur. Berdasarkan kerangka di atas komponen yang harus diperhatikan dalam pengembangan program pemuliaan dapat dikelompokkan menjadi dua faktor yaitu faktor internal yaitu faktor-faktor yang langsung terlibat dalam pola
pemuliaan dan faktor eksternal yaitu faktor pendukung dalam pola pemuliaan. Faktor internal antara lain sumber daya manusia, sumber daya ternak, tujuan pemuliaan, parameter genetik, seleksi, dan perkawinan, sedangkan faktor eksternal antara lain adalah sarana dan prasarana (infrastruktur), kebijakan pemerintah, pasar, dan sosial budaya. Sumber daya manusia, peternak yang tergabung dalam model Margawati, H. Osih maupun Jogya Grup sebagian besar termasuk dalam usia produktif dengan pengalaman beternak lebih dari 10 tahun.
Banyaknya peternak usia
produktif serta berpengalaman yang aktif dalam usaha pembibitan ternak akan berpengaruh terhadap pengembangan ternak domba khususnya di kabupaten Garut. Peternak model Jogya Grup sebagian besar (52%) berpendidikan cukup yaitu SMP keatas sedangkan model Margawati dan model H. Osih masih berpendidikan rendah. Berdasarkan tingkat pendidikan model Jogya Grup dapat dipilih untuk dikembangkan, peternak pada model ini selain berpendidikan cukup juga memiliki pengetahuan, motivasi tinggi, dan partisipasi baik dalam kegiatan pemuliaan. Sumber daya ternak. Domba yang dipelihara di kelompok H. Osih, Jogya Grup dan Lesan Putra adalah domba priangan tipe tangkas. Induk dan jantan yang digunakan untuk bibit hasil seleksi cukup ketat, yaitu jantan 20% terbaik dan betina 70% terbaik. Berdasarkan hasil pendugaan nilai pemuliaan, persentase ternak yang memiliki nilai pemuliaan bobot lahir di atas rata-rata untuk pejantan, induk dan anak masing-masing adalah 41.67% ; 46.99%; dan 44.39%, pada kelompok Margawati, 42.86%; 41.18%; dan 33.09% kelompok H. Osih serta pada kelompok Lesan masing-masing 61%; 50.92%; dan 39.41%. Persentase ternak yang memiliki nilai pemuliaan bobot sapih diatas rata-rata untuk pejantan, induk dan anak masing-masing adalah, 37.5%; 36.28%; dan 30.94% pada kelompok Margawati, 5%; 32.56%; dan 33.33% kelompok H. Osih serta pada kelompok Lesan masing-masing 50% ; 48.72% ; dan 36.11% Tujuan pemuliaan, salah satu komponen yang sangat penting merupakan langkah awal dalam kegiatan program pemuliaan adalah menetapkan tujuan pemuliaan (breeding objective). Gibson (2005) mengemukakan bahwa tujuan pemuliaan merupakan keseluruhan sasaran dalam peningkatan mutu genetik ternak,
tujuan
tersebut
harus
dapat
meningkatkan
pendapatan
atau
meningkatkan efisiensi ekonomi atau mengurangi resiko ekonomi. Tujuan pemuliaan pada tingkat makro harus sejalan dengan kebijakan pembangunan
pertanian, pasar, sistem produksi serta hasil (out put) yang diinginkan sesuai dengan kondisi lingkungan dan sumber daya setempat, pada tingkat mikro tujuan pemuliaan meningkatkan sifat-sifat produksi yang mempunyai nilai ekonomi penting. Tujuan pemuliaan harus dibuat pada tingkat nasional, daerah atau lokal dan peternak harus dilibatkan (Groen 2000; Olivier et al. 2002). Sebagai UPTD tujuan pemuliaan di Margawati selain menghasilkan dombadomba unggul juga melestarikan plasma nuftah domba Priangan, namun akibat adanya
kebijakan
otonomi
daerah
yang
mewajibkan
Margawati
untuk
menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) tujuan pemuliaan hampir tidak tercapai, Margawati lebih menitik beratkan untuk dapat memenuhi kewajiban PAD sehingga pemeliharaan domba lebih mengarah komersial. Pada pola H. Osih tujuan pemuliaan jelas yaitu untuk menghasilkan domba tangkas unggul dengan bobot badan tinggi sekurang kurangnya 60 kg, sedangkan untuk kelompok Jogya Grup tujuan pemuliannya selain untuk menghasilkan domba tangkas juga menghasilkan domba potong. Parameter genetik, peningkatan mutu genetik ternak dapat dilakukan melalui seleksi dan persilangan. Program seleksi akan efektif bila diketahui nilai parameter genetik terutama nilai heritabilitas, korelasi genetik dan nilai pemuliaan sifat-sifat yang mempunyai nilai ekonomis penting (Martojo 1990). Salah satu kelemahan dalam kegiatan pemuliaan domba di Jawa Barat tidak ada recording. Kegiatan recording di Margawati, masih terbatas hanya mencatat bobot lahir, bobot sapih, tipe kelahiran, paritas, serta pejantan dan induk. Kegiatan recording di Margawati hanya dilakukan di inti sedangkan di kelompok plasma tidak dilakukan. Untuk pola H. Osih maupun Jogya Grup catatan tertulis belum ada, namun silsilah induk dan jantan terutama untuk domba juara diketahui peternak. Berdasarkan hasil observasi sebagian besar peternak tidak tahu pentingnya recording. Akibat tidak ada recording, pendugaan parameter genetik dan nilai pemuliaan di kelompok H. Osih dan Jogya grup tidak bisa dilakukan. Penilaian ternak lebih didasarkan pada penampilan fenotip dan silsilah yang diketahui peternak. Pada Margawati dan Lesan Putra recording sudah dilakukan namun parameter yang dicatat masih terbatas yaitu hanya bobot lahir dan bobot sapih. Seleksi dan perkawinan, dua aktivitas penting dalam pengembangan pemuliaan adalah seleksi dan memperbanyak serta menyebarkan hasil seleksi (Kosgey 2004). Seleksi di kelompok peternak H. Osih dan Jogja Grup diarahkan
untuk mendapatkan domba tangkas unggul. Seleksi masih berdasarkan penampilan fenotip, sifat-sifat yang diseleksi lebih banyak sifat kualitatif, diantaranya pola warna, bentuk tanduk, bentuk telinga, dan bentuk badan. Sifat kuantitatif yang paling diperhatikan adalah bobot lahir, bobot sapih, dan bobot umur satu tahun. Silsilah juga menjadi pertimbangan seleksi, untuk jantan lebih disukai berasal dari kelahiran tunggal. Seleksi pada kelompok Margawati dilakukan di inti (UPTD BPPTD Margawati), berdasarkan pada bobot sapih. Jantan diambil 10% terbaik sedang betina 90% terbaik. Sarana dan Prasarana (Infrastruktur), sarana dan prasarana merupakan salah satu elemen penting dalam keberhasilan program pemuliaan ternak, termasuk kedalam sarana dan prasarana diantaranya adalah fasilitas untuk pembibitan dan penyebaran bibit, peralatan dan metode untuk recording, pengelolaan data dan evaluasi ternak, ketersediaan dana serta tenaga ahli. Berkaitan dengan tenaga ahli, tenaga penyuluh dan petugas kesehatan hewan merupakan prasyarat penting untuk keberhasilan program pemuliaan. Penyuluh atau mantri hewan dapat membantu peternak diataranya dalam memilih bibit unggul, mengarahkan dalam menjual ternak serta memelihara kesehatan ternak, namun tenaga tersebut masih merupakan masalah di Indonesia. Sarana dan prasarana yang dimiliki H. Osih, paling minim dibandingkan dengan sarana dan prasarana kelompok lainnya. Lokasi anggota kelompok peternak terpencar di sekitar daerah perkebunan, sarana jalan jelek, transportasi dan sarana komunikasi terbatas menyebabkan sulitnya koordinasi antar peternak maupun antara peternak dengan inti. Kandang dan sarana produksi lainnya masih sederhana. Sosial budaya, ternak domba memiliki peran penting baik secara ekonomis maupun sosial bagi petani. Domba sebagai penghasil daging, penghasil pupuk sumber pendapatan tunai bahkan sebagai tabungan dan status sosial. Budaya masyarakat secara turun temurun terbiasa memelihara domba merupakan salah satu kekuatan dalam pengembangan usaha ternak domba. Adanya kontes domba baik yang diselenggarakan oleh Dinas Peternakan atau organisasi HPDKI merupakan faktor pendorong bagi peternak untuk meningkatkan kualitas dombanya baik melalui tatalaksana pemeliharaan maupun pembibitan. Pasar, pemasaran ternak dan hasil ternak merupakan salah satu faktor pembatas dalam peningkatan genetik domba dan kambing di daerah tropik
(Gatenby 1986). Pasar untuk ternak domba masih heterogen antara lain untuk kebutuhan daging, kebutuhan qurban dan hobi (domba tangkas). Untuk kebutuhan tersebut diperlukan domba yang berbeda. Beragamnya ternak yang dibutuhkan diperlukan ternak yang multiguna dengan demikian tujuan pemuliaanpun harus beragam. Masalah dalam pemasaran domba diantaranya kurangnya fasilitas seperti pasar ternak dan kebijakan pemerintah dalam mengatur pemasaran ternak. Harga ternak sangat bervariasi bergantung pada kondisi ternak, untuk daging variasinya tidak terlalu tinggi tapi untuk qurban dan domba tangkas variasinya cukup tinggi. Cara menjual ternak umumnya dilakukan langsung dari peternak ke konsumen atau melalui bandar. Penjualan ternak melalui bandar sering merugikan peternak, bandar membeli dari peternak dengan harga murah sementara menjualnya dengan harga tinggi. Masalah lain adalah sebagian konsumen terutama pedagang sate dan penjual daging domba menginginkan domba dengan berat hidup tidak lebih dari 25 kg. Kebutuhan domba tertinggi biasanya terjadi pada hari raya qurban, umumnya diperlukan domba jantan umur di atas satu tahun dengan bobot badan yang tidak terlalu tinggi. Kedua hal ini merupakan dilema bagi pemulia, disatu sisi tujuan pemuliaan meningkatkan produktivitas ternak melalui peningkatan mutu genetik tetapi disisi lain dibatasi oleh permintaan konsumen, migrasi ternak yang tinggi yaitu penjualan ternak bibit keluar daerah menyebabkan terkurasnya bibit unggul di penangkar bibit, oleh karena itu sasaran pemuliaan harus selalu berorientasi pasar, memenuhi kebutuhan pangan dengan harga yang sesuai dengan kemampuan konsumen. Kelompok Margawati, H. Osih dan Jogya Grup tidak terlalu bermasalah dalam pemasaran ternak, inti berperan dalam kegiatan pemasaran. Ternak yang dijual pada kelompok H. Osih dan Jogya Grup adalah ternak bakalan domba tangkas, domba tangkas dewasa dan domba tangkas afkir untuk dijadikan daging. Penjualan bibit dilakukan atas pertimbangan inti, sedangkan untuk domba afkir bisa dilakukan langsung oleh peternak anggota. Penjualan ternak di kelompok Margawati dilakukan langsung oleh peternak anggota setelah bagi hasil dan ternak yang baik dipilih untuk ternak pengganti di Margawati. Kebijakan pemerintah, program pemuliaan ternak merupakan kegiatan jangka panjang untuk menghasilkan pangan asal ternak serta hasil produk ternak lainnya sekaligus meningkatkan pendapatan peternak, oleh karena itu program
pemuliaan ternak harus merupakan bagian yang terintegrasi dari kebijakan pembangunan pertanian nasional. Kebijakan pemerintah dalam perbibitan diarahkan melalui tiga alternatif yaitu pemurnian, persilangan dan penciptaan bibit baru. Visi perbibitan peternakan adalah tersedianya berbagai jenis bibit ternak dalam jumlah dan mutu yang memadai serta mudah diperoleh. Strategi pengembangan industri bibit antara lain meliputi : - Pengembangan usaha melalui pembibitan ternak rakyat (Village Breeding Centre) yang merupakan andalan dalam meningkatkan kemampuan penyediaan bibit ternak di pedesaan. Pengusahaan ini dilakukan oleh petani peternak anggota kelompok penangkar yang terkonsentrasi disuatu kawasan. - Menumbuh kembangkan kemitraan usaha antara penghasil bibit unggul dengan kelompok petani di lokasi pengembangan dalam memproduksi dan pemanfaatan bibit unggul. - Pengembangan SDM melalui, pengembangan kemampuan penguasaan teknologi dan pengetahuan, kewirausahaan, dan team work. - Pengembangan teknologi, antara lain meliputi : menumbuhkembangkan penelitian dan pengembangan oleh pihak swasta bekerjasama dengan pemerintah (Litbang dan Perguruan Tinggi), perbanyakan varietas unggul sebagai bibit dasar dilakukan di UPT atau swasta yang memenuhi syarat, memanfaatkan varietas unggul. - Pengembangan
kelembagaan
meliputi
memperbaiki
kinerja
UPT
Pembibitan ke arah komersialisasi dan privatisasi, mengembangkan kelembagaan penangkar bibit ternak rakyat (VBC). Adanya kebijakan pemerintah diharapkan peran Margawati sebagai UPTD akan dapat berperan maksimal dalam penyediaan bibit unggul domba priangan demikian pula kelompok-kelompok penangkar bibit ternak rakyat seperti kelompok H. Osih, Jogya Grup dan Lesan Putra akan mendapat perhatian pula terutama dari segi permodalan dan pembinaan teknologi. Sejalan dengan pendapat Kosgey (2004) bila peternak terorganisasi kegiatan Village Breeding Centre (VBC) akan dapat berjalan dengan baik dengan biaya yang relatif murah.
Urutan faktor-faktor yang menentukan dalam pola pemuliaan berkelanjutan ditentukan berdasarkan vektor prioritas hasil proses hirarki analisis, disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Vektor prioritas faktor yang menentukan dalam pola pemuliaan berkelanjutan Faktor
Vektor Prioritas
Pasar
0.21
Tujuan pemuliaan
0.17
Sumber daya ternak
0.14
Parameter genetik
0.12
Seleksi dan perkawinan
0.09
Sumber daya manusia
0.07
Infrastruktur
0.07
Kebijakan Pemerintah
0.07
Sosial budaya
0.06
Tabel 17 memperlihatkan bahwa pasar menduduki urutan pertama yang harus dipertimbangkan, urutan ke dua dan ke tiga masing-masing adalah tujuan pemuliaan dan sumber daya ternak. Parameter genetik menduduki urutan ke empat dan urutan berikutnya adalah seleksi dan perkawinan, sumber daya manusia, kebijakan pemerintah, infrastruktur dan sosial budaya. Groen (2000) mengemukakan bahwa tujuan pemuliaan diantaranya menghasilkan generasi ternak yang mampu berproduksi lebih efisien pada kondisi ekonomi dan sosial mendatang, sehingga sasaran pemuliaan harus mencakup perhitungan ekonomis untuk sifat-sifat yang berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan peternak. Program pemuliaan berkelanjutan harus berorientasi pasar yang menguntungkan. Program pemuliaan akan berhasil bila kondisi sosial budaya peternak dipertimbangkan dalam tujuan pemuliaan. Kegagalan program perbaikan mutu genetik ternak di negara-negara berkembang umumnya karena direncanakan oleh pemerintah tanpa melibatkan dan mempertimbangkan apa yang diperlukan oleh peternak (Wollny et al. 2002). Program pemuliaan yang berhasil adalah yang
dilakukan
oleh
kelompok
peternak
dengan
mendapat
dukungan
pemerintah. Perlu dikembangkan ternak yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan sosial ekonomi peternak (Ramsay et al. 2000).
Perbandingan ke tiga pola pemuliaan berkenaan dengan setiap faktor yang menentukan pola pemuliaan berkelanjutan disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Vektor prioritas kelompok peternak pada masing-masing faktor yang menentukan dalam pola pemuliaan berkelanjutan Margawati
Pola pemuliaan Jogya Grup
H. Osih
Sumber daya manusia
0.49
0.31
0.20
Sumber daya ternak
0.14
0.43
0.43
Tujuan pemuliaan
0.20
0.49
0.31
Parameter genetik
0.41
0.33
0.26
Seleksi dan perkawinan
0.14
0.53
0.33
Infrastruktur
0.53
0.33
0.14
Sosial budaya
0.14
0.43
0.43
Pasar
0.16
0.54
0.30
Kebijakan Pemerintah
0.54
0.30
0.16
Faktor
Pada Tabel 18 menunjukkan bahwa pola Margawati unggul dalam sumber daya manusia, infrastruktur dan parameter genetik dibandingkan dengan model lainnya. Sebagai pusat pembibitan milik pemerintah dilengkapi dengan infrastruktur yang cukup diantaranya fasilitas kandang, kebun rumput serta prasarana lainnya, sumber daya manusia terdiri atas sarjana dan tenaga teknisi dari D3 dan SNAKMA. Kebijakan pemerintah sangat menentukan pada pola Margawati, dengan dilaksanakannya otonomi daerah UPTD-BPPTD Margawati diharuskan menyumbang terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Jawa Barat, sebagai konsekuensinya Margawati harus juga melaksanakan usaha komersil, akibatnya tujuan Margawati sebagai pusat pembibitan sulit dicapai. Tujuan pemuliaan dengan skor tertinggi terdapat pada pola Jogya Grup kemudian berturut-turut, H. Osih dan Margawati. Pada kelompok Jogya Grup tujuan pemuliaan selain menghasilkan domba tangkas juga menghasilkan domba daging dan selalu memperhatikan permintaan pasar. Pada model H. Osih tujuan pemuliaan jelas yaitu menghasilkan domba tangkas dengan pola warna bulu hitam atau baracak. Salah satu usaha pokok dalam kegiatan agribisnis kelompok Jogya Grup adalah menjual domba baik bibit domba tangkas maupun pedaging, oleh karena itu pemasaran bagi kelompok ini tidak menjadi masalah. H. Osih merupakan penghasil bibit domba tangkas cukup terkenal, sehingga pemasaran ternak tidak
menghadapi masalah bahkan jumlah permintaan bibit lebih banyak dari yang bisa dihasilkan. Keunggulan lain yang dimiliki model H. Osih dan Jogya Grup dibandingkan dengan model Margawati adalah sumber daya ternak dan sosial budaya. Domba yang dipelihara di Jogya grup dan H. Osih adalah bibit unggul domba tangkas hasil seleksi yang cukup ketat. Berdasarkan Tabel 18, pola Margawati lebih unggul dalam faktor eksternal atau faktor-faktor pendukung untuk keberhasilan pola pemuliaan antara lain sumber daya manusia, kebijakan pemerintah dan infrastruktur. Pola Jogya Grup dan H. Osih unggul dalam faktor-faktor internal yang langsung berperan dalam pola pemuliaan atara lain sumber daya ternak, tujuan pemuliaan, seleksi dan perkawinan serta pemasaran. Untuk mengetahui pola terbaik dari tiga pola ditentukan berdasarkan hasil perkalian vektor prioritas pada Tabel 17 dengan vektor prioritas pada Tabel 18 (Saaty 1993), hasilnya disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Skor prioritas model pola pemuliaan Model Pola Pemuliaan
Skor Prioritas
Margawati
0.27
Jogya Grup
0.43
H. Osih
0.30
Pada Tabel 19 tampak bahwa skor tertinggi adalah pola Jogya Grup, kemudian berturut-turut pola H. Osih dan pola Margawati. Berdasarkan skor tersebut maka pola Jogya Grup merupakan pola terbaik untuk dikembangkan menjadi model pola pemuliaan yang berkelanjutan. Hasil ini sejalan dengan Kosgey (2000), program yang optimal bukan hanya berhasil dalam meningkatkan mutu genetik ternak tetapi sesuai dengan sarana yang ada serta adanya keterlibatan peternak, serta program pemuliaan berkelanjutan harus berorientasi pasar.
Pola Pemuliaan Domba Priangan Berkelanjutan. Phillipsson
(2003)
mengemukakan
bahwa
komponen
yang
harus
diperhatikan dalam program pemuliaan untuk negara berkembang antara lain adalah peran ternak, tujuan pemuliaan, recording serta membangun infrastruktur. Ternak domba mempunyai peran penting bagi petani antara lain sebagai salah satu sumber penghasilan, sebagai tabungan, sumber pupuk, dan prestise. Pola pemeliharaan bersifat semi intensif dan merupakan usaha komplementer dari
usaha pokok pertanian. Sumbangan ternak domba terhadap produksi daging khususnya di Jawa Barat cukup tinggi. Tantangan utama dalam usaha peternakan domba adalah rendahnya produktivitas ternak yang dihasilkan, sehingga tidak mampu bersaing di pasaran domestik maupun internasional, selain itu belum tersedianya suplai bibit unggul domba secara kontinyu yang produksinya tinggi dan efisien serta harganya dapat terjangkau oleh peternak. Pengadaan bibit umumnya masih merupakan hasil swadaya peternaknya sendiri. Program pemuliaan yang tepat dan terarah serta berkesinambungan belum ada. Program pemuliaan ternak merupakan kegiatan jangka panjang untuk menghasilkan pangan asal ternak serta hasil produk ternak lainnya sekaligus meningkatkan pendapatan peternak, oleh karena itu program pemuliaan ternak harus merupakan bagian yang terintegrasi dari kebijakan pembangunan pertanian nasional. Model pola pemuliaan bergantung pada sistem produksi, pola recording, kemajuan genetik yang diharapkan serta banyaknya ternak unggul yang akan dihasilkan (Kosgey 2004). Salah satu komponen yang sangat penting dan merupakan langkah awal dalam kegiatan program pemuliaan adalah menetapkan tujuan pemuliaan (breeding objective). Keberhasilan program pemuliaan sangat ditentukan oleh kejelasan tujuan pemuliaan serta peran peternak yang terlibat dalam kegiatan pemuliaan (Philipsson & Rege 2002; Croston & Pollot 1985; Olivier et al. 2002; Kosgey 2004). Tujuan pemuliaan harus merupakan bagian dari kebijakan pembangunan pertanian, sesuai dengan keinginan
peternak,
direncanakan
untuk
jangka
panjang
serta
harus
mencerminkan kebutuhan pasar di masa depan. Umumnya peternak domba priangan tidak memiliki tujuan yang jelas dalam pemuliaan dombanya namun pada dasarnya peternak ingin memperoleh domba dengan nilai jual tinggi baik sebagai domba tangkas maupun sebagai penghasil daging. Tujuan pemuliaan pola Jogya grup ditentukan bersama oleh kelompok yaitu menghasilkan domba tangkas unggul dengan bobot badan yang tinggi. Supaya pola pemuliaan yang diterapkan dapat berkelanjutan pemerintah bersama-sama peternak menentukan tujuan pemuliaan domba priangan sehingga diperoleh titik temu antara tujuan pemerintah meningkatkan produksi ternak untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat dengan tujuan peternak memelihara ternak sebagai sumber penghasilan. Pola pemuliaan yang optimal bukan hanya berhasil dalam meningkatkan mutu genetik ternak tetapi harus sesuai dengan sarana yang ada serta adanya
keterlibatan peternak (Kosgey 2000). Pola Jogya grup (group breeding scheme) merupakan salah satu pola pemuliaan yang keterlibatan peternaknya cukup tinggi karena peternak berperan langsung dalam program pemuliaan, peternak membentuk kerjasama untuk memanfaatkan keunggulan ternak yang ada, pengalaman peternak serta prasarana yang dimiliki. Adanya kerjasama dalam kelompok memungkinkan untuk mendapatkan ternak memiliki performan baik, dari sekian banyak ternak yang dimiliki kelompok. Kriteria seleksi ditentukan bersama oleh kelompok sesuai dengan kebutuhan. Pola Jogya grup merupakan model pola pemuliaan tanpa inti, ternak terpilih tetap dipelihara oleh pemiliknya, peternak berkontribusi dalam program dengan membolehkan ternaknya untuk digunakan dalam kelompok atau menjual ternak terseleksi kepada peternak lain sesama anggota kelompok. Pola pemulian dengan inti (Nucleus breeding scheme) cocok digunakan pada peningkatan mutu genetik domba pada peternakan rakyat di negara berkembang, pola ini dapat mengatasi hambatan sosial ekonomi, dana dan infrastruktur (Mason & Buvanendran 1982; Kosgey 2004).
Pola pemuliaan
dengan inti pada dasarnya ada dua bentuk yaitu pola inti tertutup (Closed nucleus breeding scheme) dan pola inti terbuka (Open nucleus breeding scheme). Pada pola tertutup aliran gen hanya berlangsung satu arah dari inti (nucleus) ke luar tidak ada gen yang mengalir dari luar ke nucleus. Pola inti terbuka suatu sistem dimana inti (nucleus) tidak tertutup, oleh karena itu aliran gen tidak hanya dari inti ke luar tetapi juga dari luar ke inti. Kosgey (2004) mengemukakan bahwa pola inti terbuka cocok digunakan untuk pemuliaan domba di negara berkembang (tropik), keuntungan pola ini antara lain adalah mengurangi inbreeding, diperoleh ternak unggul hasil seleksi dari populasi yang lebih besar diluar inti, pola inti terbuka dua strata menghasilkan kemajuan 10% sampai 15% lebih cepat dibanding pola inti tertutup, sedangkan kerugiannya perlu recording pada plasma yang akan memerlukan biaya tinggi, beresiko tinggi masuknya penyakit dari luar ke inti, recording yang kurang lengkap pada kelompok plasma menurunkan kemajuan genetik. Supaya pola pemuliaan Jogya Grup optimal untuk digunakan sebagai pola pemuliaan domba priangan yang berkelanjutan perlu dikembangkan menjadi pola pemuliaan group breeding inti terbuka dua strata. Hubungan antara inti dengan kelompok peternak pada pola pemuliaan domba Priangan berkelanjutan disajikan pada Gambar 6. Peran inti yang terpenting adalah menghasilkan pejantan
pejantan unggul sebagai reference sire yang akan digunakan secara bergilir di kelompok peternak. Margawati yang memiliki sumber daya manusia serta infrastruktur lengkap dapat bertindak sebagai inti dan anggota kelompok sebagai penangkar bibit. Kelompok Peternak
? rs
? rs ? rs
? rs Kelompok Peternak
??
?? ? rs
? rs
? rs
? rs Kelompok Peternak
? rs INT I
? rs ? ?
?? ? rs ? rs
Kelompok Peternak Keterangan : ? rs
:
reference sire
Gambar 6. Pola pemuliaan domba Priangan berkelanjutan Perbaikan mutu genetik melalui seleksi akan efektif bila telah diketahui nilai parameter genetik diantaranya adalah nilai heritabilitas, korelasi genetik dan nilai pemuliaan sifat sifat yang mempunyai nilai ekonomis penting. Pada umumnya peternak domba priangan tidak memiliki catatan tertulis (recording), namun silsilah induk dan pejantan terutama untuk domba juara diketahui peternak. Akibat tidak ada recording pendugaan parameter genetik dan nilai pemuliaan tidak bisa dilakukan, sehingga seleksi ternak lebih didasarkan pada penampilan fenotip dengan kriteria seleksi berdasarkan sifat-sifat kualitatif dan silsilah yang diketahui peternak. Recording merupakan salah satu prasarat untuk keberhasilan program pemuliaan yang berkelanjutan dengan adanya recording peternak akan memiliki informasi mengenai ternaknya, hal ini akan berguna untuk managemen ternak maupun untuk tujuan pemuliaan. Mason dan Buvanendran (1982) mengemukakan bahwa model recording yang cocok bergantung kepada prasarana dan sumber daya manusia yang ada serta sistem produksi, pada kondisi pengetahuan petani masih rendah dan prasarana kurang recording sebaiknya dilakukan untuk sifat-sifat penting yang mudah diukur serta bernilai
ekonomis. Supaya recording efektif harus memenuhi kriteria antara lain, sistem harus sederhana, tidak banyak yang harus dicatat oleh peternak sehingga tidak mengganggu kegiatan peternak, sifat yang dicatat sebaiknya memiliki nilai ekonomis dan berguna dalam manajemen ternak, harus efisien terutama dalam penggunaan waktu dan biaya. Sejalan dengan pendapat Mason dan Buvanendran (1982) untuk memperoleh jantan dan betina yang akan masuk ke inti, perlu recording sederhana di tingkat peternak antara lain membuat catatan silsilah, tipe kelahiran, menimbang bobot badan atau ukuran-ukuran tubuh ( lingkar dada dan atau panjang badan) pada saat peternak biasa melakukan seleksi yaitu pada umur sapih (4 bulan), umur 7 bulan, umur 9 bulan dan umur 1,5 tahun. Recording di inti harus lebih lengkap dan teliti, sesuai dengan peran inti yang terpenting adalah mengelola dan menseleksi jantan yang akan digunakan sebagai reference sire. Penggunaan jantan dilakukan secara bergilir diantara anggota kelompok. Adanya genetic links antar kelompok, evaluasi genetik antar kelompok dan antar tahun bisa dilakukan dengan mempertimbangkan kelompok sebagai efek tetap, sehingga nilai pemuliaan dan performa ternak antar kelompok dapat diperbandingkan. Dengan dilakukan pergiliran pejantan jumlah betina yang dapat dikawini akan lebih banyak. Lewis dan Simm (2002) mengemukakan bahwa kemajuan genetik akan meningkat sejalan dengan peningkatan intensitas seleksi serta peningkatkan jumlah induk dalam kelompok yang dikawinkan dengan reference sire. Salah satu tantangan dalam pola grup breeding adalah bagaimana mengefektifkan partisipasi peternak dalam program pemuliaan. Keberhasilan kelompok sangat bergantung kepada efektifitas organisasi, ketua kelompok berperan penting dalam keberhasilan program pemuliaan. Kelompok akan bisa berjalan selama masih mampu memenuhi harapan anggotanya, oleh karena itu perlu dibuat aturan yang jelas mengenai hak dan kewajiban anggota kelompok dalam bentuk anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan azas koperasi. Peternak yang terlibat dalam kelompok harus mengerti operasional program, keuntungan yang akan diperoleh atas keterlibatannya dalam kelompok baik dari segi finansial maupun keuntungan dari peningkatan mutu genetik ternaknya. Program pemuliaan akan berhasil bila ada dukungan pemerintah, bentuk dukungan dapat berupa kebijakan maupun pembangunan infrastruktur. Sarana
fisik yang sangat mendukung berhasilnya program pemuliaan berkelanjutan antara lain adalah sarana transportasi, sarana komunikasi, sarana produksi serta pemasaran hasil produksi. Sarana jalan dan komunikasi yang telah ada sebaiknya lebih ditingkatkan, demikian pula pasar ternak. Salah satu resiko pola inti terbuka adalah masuknya penyakit dari luar ke inti, kalau hal ini terjadi dapat menyebabkan kegagalan. Oleh sebab itu pemerintah perlu meningkatkan peran tenaga kesehatan hewan (dokter hewan) untuk dilibatkan dalam kegiatan pemuliaan. Dukungan dana dalam bentuk bantuan atau kredit lunak akan sangat membantu peternak dalam meningkatkan usahanya .
KESIMPULAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis, keberhasilan pola pemuliaan berkelanjutan ditentukan oleh pertimbangan utama yaitu pasar, partisipasi petani, tujuan pemuliaan, kriteria seleksi serta dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan, sarana dan prasarana.
Pola yang cocok untuk digunakan sebagai pola
pemuliaan domba Priangan berkelanjutan adalah grup breeding pola inti terbuka, pejantan yang digunakan digilir antarkelompok anggota dengan pola sire reference scheme. Saran Unit Pelaksana Teknis Dinas-Balai Pengembangan dan Pembibitan Ternak Domba (UPTD-BPPTD) Margawati Garut, sebaiknya dijadikan sebagai inti untuk kelompok pembibit. Margawati perlu dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang cukup, serta dibebaskan dari kewajiban memenuhi pendapatan asli daerah (PAD).
DAFTAR PUSTAKA Anang A. 1992. Deskripsi Domba Priangan. [laporan penelitian]. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung. Anang A. 1995. Genetic study of scottish blackface ewes produced by sires divergently selected for leanness. [thesis]. Institute of Cell, Animal and Population Biology the University of Edinburgh. Anang A, Dudi and D Heriyadi. 2003. Characteristics and Proposed Genetic Improvement of Priangan Sheep in Small Holders. [research report]. Faculty of Animal Husbandry, Padjadjaran University Jatinangor, West Java. Indonesia. Ancok J. 1989. Validitas dan Reabilitas Instrumen Penelitian, Di dalam: Singaribun M, editor. Metode Penelitian Survei. LP3ES Jakarta. Astuti JM. 1999. Pemuliaan Ternak Pengembangan dan Usaha Perbaikan Genetik Ternak Lokal. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Pemuliaan Ternak. Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta. Bennett GL, AH Kirton, DL Johnson, H Carter. 1991. Genetic and environmental effect on carcass characteristic of Southdown x Romney lambs: (1) Growth rate, sex, rearing effects. J Anim Sci 69:1858-1863. [BIF] Beef Improvement Federation.1996. Guidelines for Improvement Programs. http://www.beefimprovement.org//guidelines/chap5.pdf. [5 Pebruari 2006] Bijma P, THE Meuwissen, JA Woolliams. 2002. Design of sustainable breeding programs in developed countries. Di dalam: Proceedings of the Seventh World Congress on Genetics Applied to Livestock Production; vol 33. Montpellier France 19-23 August 2002. Session 24(01) Bourdon RM. 1997. Understanding Animal Breeding. Prentice Hall. Upper Saddle River, NJ 07458. Bradford,GE, I Inounu, LC Iniguez, B Tiesnamurti and DL Thomas. 1991. The prolificacy gene of Javanese sheep. Di dalam: JM Elsen et al. editor: Major genes for reproduction in sheep. 2 nd International Workshop, Toulose, France. Broomley MLD, Van Vleck, GD Snowder. 2001. Genetic correlations for litter weight weaned with growth, prolificacy and wool traits in Columbia, Polypay, Rambouillet, and Targhee sheep. J Anim Sci 79:339-346. Budinuryanto DC. 1991. Karakteristik domba Priangan tipe adu ditinjau dari eksterior dan kebiasaan peternak dalam pola pemeliharaannya [tesis] Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Chagunda MGG and Wollny CBA. 2005. A Concept note on interactive processes and technologies to conserve indigenous farm animal genetic resources in Malawi. Department of Animal Science, Bunda College of Agriculture University of Malawi. http://www.fao.org//DOCREP006/ Y3970E /y3970e0c.htm. [10 Maret 2006] Chantalakhana C and P Skunmun. 2002. Sustainable Smallholder Animal Systems in the Tropic. Kasetsart University Press. Croston D. and Pollot G. 1985. Planned Sheep Production. Collins, London.
[Deptan] Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Produksi Peternakan. 2000. Kebijaksanaan Pembangunan Peternakan Tahun 2000-2005. [Deptan] Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2003. Pengembangan Industri Benih dan Bibit Peternakan di Indonesia. Direktorat Perbibitan. Devendra C and GB Mc Leroy. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. Intermediate Tropical Agriculture Series. Longman Group Ltd. Essex. UK. Diwyanto K dan I Inounu. 2001. Ketersediaan teknologi dalam pengembangan ruminansia kecil. Makalah pada Seminar Domba Kambing di IPB, 22 September 2001. Dudi. 2003. Pendugaan nilai pemuliaan bobot badan prasapih domba priangan dengan model yang memperhitungkan direct additive genetic effect, maternal and common environmental effect, dan catatan berulang. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [FAO] Food and Agriculture Organisation. 2002. Contributions to sustainable livelihood and development: realizing sustainable breeding programmes in livestock production. Di dalam: Proceedings of the Seventh World Congress on Genetics Applied to Livestock Production; vol 33. Montpellier France 1923 August 2002. Session 01(01) Falconer, D.S., TFC MacKay. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Fourth ed. Longman, Harlow, England. Fimland E et al. 2002. What is sustainable farm animal breeding. Di dalam: Proceeding of the Seventh World Congress on Genetics Applied to Livestock Production; vol 33. Montpellier France 19-23 August 2002. Session 24(03) Gatensby RM. 1986. Sheep Production in the Tropics and Sub Tropics. Longman Inc. New York. Gibson, J. 2005. Breeding Objectives. Armidale Animal Breeding Summer Course. Groen AF. 2000. Breeding goal definition. Di dalam: Galal S, Boyazoglu J, Hammond K, editor. Proceedings of the Workshop on Developing Breeding Strategies for Lower Input Animal Production Environments, Bella, Italy, 2225 September 1999. Hal 25-101 Groeneveld E. 1998. VCE User’s Guide and Reference Manual Version 4.2. Institute of Animal Husbandry and Animal Behaviour, Federal Agricultural Research Centre. Germany. Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Hastono dan E. Masbulan. 2001. Keragaan reproduksi domba rakyat di Kabupaten Garut. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Heriyadi D, A Anang, DC Budinuryanto dan H Hadiana. 2002. Standarisasi mutu bibit domba Garut. [laporan penelitian]. Kerjasama Penelitian Antara Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat dengan Universitas Padjadjaran. Bandung.
Iniquez, L.C. M.Sanches, and S.P. Ginting. 1991. Productivity of Sumatran sheep in a system integrated with rubber plantation. Small Ruminant Res 5:303309. Inounu I dan TD Soedjana. 1998. Produktivitas ternak domba prolifik: analisis ekonomi. Journal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(4): 215-224. James JW. 1979. The theory behind breeding schemes. Di dalam: Tomes GL, DE Robertson, RJ Lightfoot, editor. Sheep Breeding. Muresk and Perth,Western Australia. Hlm 205-213 Jara A, H Montaldo and N Barria. 1998. Direct and maternal genetic effects for birth, weaning and 14-month weights of creedal breed in Magallenes. Di dalam: Bennet et al. editor. Proceedings of the Sixth World Congress on Genetics Applied to Livestock Production, vol 25, Armidale NSW Australia 11-16 January 1998. Hal 181-184 Johansson LA and I Rendel. 1969. Genetics and Animal Breeding. W.H. Freeman Co. San Fransisco Korpiaho P, I Stranden and EA Mantysaari. 2002. Mating strategies in a small nucleus scheme. Di dalam: Proceedings of the Seventh World Congress on Genetics Applied to Livestock Production; vol 33. Montpellier France 19-23 August 2002. Session 23(08) Kosgey IS, van der Werf JHJ, Kinghorn BP, van Arendonk JAM, Baker RL. 2002. Alternative breeding schemes for meat sheep in the tropics. Di dalam: Proceedings of the Seventh World Congress on Genetics Applied to Livestock Production; vol 33. Montpellier France 19-23 August 2002. Session 23(14) Kosgey IS. 2004. Breeding objective and breeding strategies for small ruminants in the tropics [Ph.D. thesis], Animal Breeding and Genetics Group. Wageningen University. Lamberson,W.R and D.L. Thomas. 1984. Effects of inbreeding in sheep: a review. University of Nebraska. Lincoln, Nebraska 68583. USA and University of Illinois. Urbana.Illinois 61801. USA. Animal Breeding Abstracts 52(5):287-29. Lasley JF. 1972. Genetics of Livestock Improvement. Second Ed., Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Lewis RM and G. Simm. 2002. Small ruminant breeding programs for meat: progress and prospects breeding ruminant for meat production. Di dalam: Proceeding of the Seventh World Congress on Genetics Applied to Livestock Production; vol 33. Montpellier France 19-23 August 2002. Session 02(01) [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1979. Domba dan Kambing. Terjemahan Karangan Mengenai Domba dan Kambing di Indonesia. Maria GA. 1993. Estimates of variance due to direct and maternal effects for growth traits of Romanov sheep. J Anim Sci 71:845-849. Martojo H. 1990. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.
Mason, I I and V Buvanendran. 1982. Breeding plans for ruminant livestock in the tropics. FAO Animal Production and Health Paper 34. Mikkelsen B.1999. Metode Penelitian Partisipatoris Pemberdayaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
dan
Upaya-Upaya
Mubyarto .1984. Strategi Pembangunan Pedesaan. Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan. Universitas Gajah Mada Jogyakarta. Mulliadi D. 1996. Sifat fenotipik domba Priangan di Kabupaten Pandeglang dan Garut. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nafiu La Ode. 2003. Evaluasi Genetik Domba Priangan dan Persilangannya dengan St.Croix dan Moulton Charollais. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Cetakan pertama Edisi ketiga. UI Press Jakarta. Natasasmita A. 1969. Pedoman Beternak Domba. Direktorat. Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Jakarta. Newcomb, TM, RH Turner and PE Converse. 1981. Social Psychology. Diterjemahkan oleh team Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Nicholas FW. 1993. Veterinary Genetics. Department of Animal Science, University of Sydney. Clarendon Press.Oxford. Olivier JJ et al. 2002. Integrating genetic improvement into livestock development in medium to low input production systems., Di dalam: Proceeding of the Seventh World Congress on Genetics Applied to Livestock Production; Montpellier France 19-23 August 2002. Session 25(15) Parker.A.G.H.. 1979. Advantages of Group Breeding Schemes. Di dalam: Tomes GL, DE Robertson, RJ Lightfoot, editor. Sheep Breeding. Muresk and Perth,Western Australia. Hlm 231-234 Peart GR. 1979. Sociological, Economic, Business and Genetic Aspects of Sheep Group Breeding Scheme. Di dalam: Tomes GL, DE Robertson, RJ Lightfoot, editor. Sheep Breeding. Muresk and Perth,Western Australia. Hlm 221-229 Phillipsson J and JEO Rege. 2002. Sustainable breeding programs for tropical farming systems. Animal Genetics Training Resource. ILRI-SLU. Phillipsson J. 2003. How to make breeding programs for tropical farming systems sustainable. ILRI-SLU-Sida Training Course. Bangkok, Jan 7-25, 2003. Raadsma HW et al. 2002. Towards molecular genetic characterization of high resistance to internal parasites in Indonesian thin tail sheep. Di dalam: Proceeding of the Seventh World Congress on Genetics Applied to Livestock Production; vol 33. Montpellier France 19-23 August 2002. Session 13(19) Rahmat D. 2000. Perbandingan kecermatan antara catatan tunggal dan catatan berulang pada seleksi individu dan uji zuriat berdasarkan catatan bobot badan pra sapih domba Priangan. Jurnal Peternakan dan Lingkungan 6(2):1-9.
Ramsay K, D Swart, B Oliver and G Hallowell. 2000. An evaluation of the breeding strategies used in the development of the Dorper sheep and the improved Boer goat of South Africa. Di dalam: Galal S, Boyazoglu J, Hammond K, editor. Proceedings of the Workshop on Developing Breeding Strategies for Lower Input Animal Production Environments; Bella, Italy, 2225 September 1999. Hal 339-345. Saaty T L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Liana Setiono, penerjemah; Kirti Peniwati, editor. Jakarta: Cetakan ke 2 PT Pustaka Binaman Pressindo. Terjemahan dari: Decisions Making for Leaders. The Analytical Hierarchy Process for Decisions in Complex World. Schüler J, H Swalve and K.U. Gulz. 2001. Grunlagen der quantitativen genetik. Verlag Eugen Ulmer Stutt Gart. Hal 2002-2004. Setiadi R. 1983. Pengamatan fenotipik dan genetik sifat pertumbuhan domba Priangan sebagai dasar seleksi dan kaitannya dengan prolifikasi domba Priangan. [tesis]. Bogor: Program Pascas arjana, Institut Pertanian Bogor. Setiadi B, Subandriyo dan Dwi Priyanto. 1995. Keragaan produktivitas biologi usaha ternak domba melalui pendekatan kontrol genetik prolifikasi. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengambangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Siegel S. 1977. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Simm G and NR Wray. 1991. Sheep sire referencing schemes – new opportunities for pedigree breeders and lamb producers. The Scottish Agricultural College Edinburgh, Scotland. Siregar AR. 1981. Parameter Fenotipik dan Genetik Sifat Pertumbuhan serta Pengamatan Beberapa Sifat Kuantitatif Domba Priangan. [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sölkner J, Nakimbugwe H, Zarate AV. 1998. Analysis of determinants for success and failure of village breeding programs. Di dalam: Proceeding of the Sixth World Congress on Genetics Applied to Livestock Production; vol 25, Armidale, NSW, Australia, 11-16 January 1998. Hal 273-280. Subandriyo, DW Vogt. 1995. Adjustment factors of birth weight and four postnatal weight for type of birth and rearing, sex of lamb and dam age. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 1(1):1-10. Sugiyono, E. Wibowo. 2002. Statistika untuk Penelitian. Cet. Ke-4. Penerbit CV. Alfabeta. Bandung. Sutama IK. 1992. Reproductive development and performance of small ruminant in Indonesia, Di dalam: P Ludgate S Scholz, editor. New Program for Small Ruminant Production in Indonesia. Sutedja D, Nasipan dan M P Rukmana. 1978. Kemampuan produksi daging pada ternak domba Priangan. Proceeding Seminar Ruminansia. Bogor. Tiesnamurti B. 2002. Kajian genetik terhadap induk domba Priangan peridi ditinjau dari aspek kuantitatif dan molekuler. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Van Arendonk JAM, RS Spelman, EH. Van der Waaij, P Bijma, Bovenhuis.1998 Livestock breeding schemes: challenges, opportunities. Bennet et al. editor. Proceeding of the Sixth World Congress on Genetics Applied to Livestock Production, vol 25, Armidale, NSW, Australia, 11-16 January 1998. Hal 407414 Van Vleck LD, GD Snowder and KJ Hanford. 2003. Models with cytoplasm effects for birth, weaning and fleece weights and litter size at birth for a population of Tar ghee sheep. J Anim Sci 81:61-67 Warwick, E.J, J.Maria Astuti dan W. Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wollny CBA, Banda JW, Mlewah TFT, Phoya, RKD. 2002. The lesson of livestock improvement failure : revising breeding strategies for indigenous Malawi sheep. Di dalam: Proceeding of the Seventh World Congress on Genetics Applied to Livestock Production; Montpellier France 19-23 August 2002. Session 25(10) Woolliams JA. 1998. A recipe for the design of breeding schemes. Bennet et al. editor. Proceeding of the Sixth World Congress on Genetics Applied to Livestock Production, vol 25, Armidale, NSW, Australia, 11-16 January 1998. Hal 427-430 Wiener G. 1999. Animal Breeding. Centre for Tropical Veterinary Medicine University of Edinburgh. First Published 1994 by Mac Millan Education Ltd.
Lampiran 1. Daftar pertanyaan untuk responden IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama
:...............................
2. Jenis Kelamin
: Laki-laki/Perempuan
3. Lokasi Usaha
: a. Kabupaten
4. Nama Kelompok
:..................
b. Kecamatan
:..................
c. Desa
:..................
:.................................
KARAKTERISTIK RESPONDEN 1. Umur
:.................
2. Pendidikan Formal
: a. SD
Tahun
b. SLTP c. SLTA
d. P T
e. Tidak Sekolah 3. Pendidikan Non Formal : a. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . b. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . c. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4. Pekerjaan Utama/Pokok : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5. Pekerjaan Sampingan
:.................................
6. Lama Beternak Domba : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7. Jumlah Pemilikan Ternak Domba Status 0–1 a. Milik : Jantan Betina b. Gaduhan/Bagi hasil Jantan Betina c. …………. Jantan Betina
1 – 1.5
Umur
(tahun)
1.5- 2
2 – 2.5
2.5 - 3
>3
8. Pemilikan Lahan/Tanah Macam
Luas (m2)
Status*
Keterangan
Tegalan
…………….
……………
…………………….
Pekarangan
…………….
……………
…………………….
Sawah
…………….
……………
…………………….
……………………
…………….
……………
…………………….
……………………
…………….
……………
…………………….
* Milik sendiri, sewa, garapan 9. Tujuan beternak
: a. Sebagai tabungan b. Penggemukan c. Mendapatkan pupuk d. Sebagai aduan (domba tangkas) e. Hobi
10. POLA PEMULIAAN TERNAK 1. Bibit domba yang dipelihara bapak diperoleh melalui : a. Sumbangan dari pemerintah b. Kridit lunak dari koperasi c. Titipan dari peternak inti/Ketua kelompok d. Mendapatkan di pasar hewan 2. Siapa yang menentukan calon pejantan untuk mengawini bibit domba yang dipelihara : a. Ketua kelompok/Inti b. Ditentukan oleh peternak sendiri c. Dikawinkan dengan pejantan hasil sumbangan dari pemerintah d. Tidak diprogram 3. Sistem seleksi dilakukan dengan melihat : a. Keturunan dari pejantan b. Keturunan dari bibit/ induk c. Keturunan dari pejantan dan induk d. Kualitas anak yang dihasilkan. 4. Hasil anak yang memiliki kualitas baik, pemeliharaannya dilakukan oleh a. Peternak sendiri b. Diambil alih oleh pihak inti c. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5. Bila diambil alih oleh pihak inti, pengambil alihan perawatan dilakukan pada umur : a. lepas sapih b. menjelang umur 1 tahun c. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6. Tujuan seleksi dari usaha ternak domba ini adalah : a. Mendapatkan anak yang memiliki bobot lahir yang tinggi b. Mendapatkan anak yang memiliki kriteria calon domba aduan c. Mendapatkan jumlah kelahiran anak lebih dari satu. d. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7. Faktor-faktor yang diperhatikan dalam seleksi bibit : Uraian
Tangkas Jantan Betina
1. Bentuk tubuh 2. Tanduk 3. Warna bulu 4. Bentuk telinga 5. Bentuk ekor 6. Karakter 7. Laju pertumbuhan 8. Kesuburan/fertilitas 9. Tahan terhadap penyakit 10. ………………………… Keterangan : 1. Sangat diperhatikan 2. Diperhatikan 3. Kurang diperhatikan 4. Tidak diperhatikan 8. Tanduk a. Jenis tanduk (
) porslen
(
) gebog
(
) ………
(
) ………….
Daging Jantan Betina
b. Bentuk tanduk (
) gayor
(
) golong tambang
(
) leang
(
) ngabendo
(
) hamin lebe
(
) japlang
9 . Warna ( beri rangking 1 untuk yang paling disukai …… dst Warna hitam polos putih polos Coklat polos Hitam putih Baracak Baralak Belang batu Belang Sapi Riben Sambung Pelong Sotong Laken Tablo Coklat putih Kondang Sambung Hitam-putih-coklat jogja jogja gelosor Jogja genjong Hitam coklat
Tangkas Daging Jantan Betina Jantan Betina
10. Bentuk tubuh calon bibit: Tangkas Jantan Betina Bobot badan
Daging Jantan Betina
(kg)
Tinggi pundak (cm) Lingkar dada
(cm)
Panjang badan (cm) Garis muka ( a. cembung b. agak lurus) Garis punggung ( a. cekung b. cembung c.lurus ) 11. Apakah jantan yang digunakan dalam perkawinan merupakan hasil seleksi ? Jika ya, bagaimana cara menilai pejantan tersebut. 12. Apakah induk yang digunakan dalam perkawinan merupakan hasil seleksi? Jika ya, bagaimana cara menilai induk tersebut. 11. KOEFISIEN TEKNIS 1. Umur pertama kali dikawinkan :
Jantan : ………… bulan Betina : ………… bulan
2. Sampai bunting biasanya butuh ……….. kali kawin. 3. Jika kawin alam apakah pejantan : a. Milik sendiri b. Milik sesama anggota kelompok (tidak bayar) c. Milik sesama anggota kelompok (dengan cara bayar) Rp.……….. d. dll ………. Sebutkan. 4. Batas umur pemeliharaan : a. Jantan : ………….bulan/tahun b. Betina : ………… bulan/tahun (beranak …………kali) 5. Umur domba betina pertama kali beranak : ……………… tahun/bulan 6. Jarak antara dua kali kelahiran biasanya : ………………… bulan 7. Bobot anak waktu lahir ………………. Kg 8. Penyapihan dilakukan pada umur : …………………… bulan
9. Induk dikawinkan lagi setelah beranak a. Antara 1 sampai 2 bulan sesudah melahirkan b. Antara 2 sampai 3 bulan sesudah melahirkan. c. Antara 3 sampai 4 bulan sesudah melahirkan 10. Harapan hidup bagi turunan : a. . . . . . . . % mati lahir b. . . . . . . . % mati sebelum mencapai umur 1 tahun c. . . . . . . . % mati antar I - 3 tahun 11. Pejantan yang digunakan a. 1 sampai 2 tahun tetap b. 2 sampai 3 tahun tetap c. 4 sampai 5 tahun tetap d. diatas 5 tahun tetap 12. Ratio pejantan dan betina dewasa yang dipelihara ……………. 13. Ratio jantan dan betina yang lahir : . . . . . . . . . . 14. Apakah Bapak mengetahui tanda-tanda berahi domba : Ya/Tidak. Bila "Ya” sebutkan : . . . . . . . . . . . . 15. Berapa lama tanda-tanda berahi kelihatan : . . . . . . . . . . . . 16. Dari pengalaman, umur pertama kali melahirkan sebaiknya : ………………tahun 17. Apakah bapak mengetahui tanda-tanda induk yang dapat melahirkan kembar : . . . . 18. Pejantan yang digunakan dalam 1 tahun terakhir : a. Pejantan milik sendiri hasil seleksi di peternakan b. Pejantan milik sendiri hasil membeli dari luar c. Pejantan milik tetangga d. Pejantan milik kelompok e. ……………………………….
12. Identifikasi pengetahuan peternak dalam kegiatan pemuliaan Sangat baik sangat jelek 5 4 3 2 1 1.
Mengetahui gejala-gejala berahi domba
(
) ( )
( )
( )
( )
2.
Peternak tahu mengawinkan domba harus dilakukan pada waktu berahi Peternak tahu mengawinkan ternak yang berkerabat dekat (inbreeding) dapat menghasil-kan keturunan yang jelek Mengetahui tujuan pemuliaan
(
) ( )
( )
( )
( )
(
) ( )
( )
( ) ( )
(
) ( )
( )
( )
(
(
) ( )
( )
( )
( )
6.
Langkah/kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan mutu genetik ternak Mengetahui cara dan manfaat seleksi
(
) ( )
( )
( )
( )
7.
Kriteria seleksi untuk pejantan
(
) ( )
( )
( )
( )
8
Kriteria seleksi untuk induk
(
) ( )
( )
( )
( )
9.
Mengetahui cara dan manfaat recording
(
) ( )
( )
( )
( )
(
) ( )
( )
( )
( )
3. 4. 5.
10 Catatan yang dilakukan peternak
)
13. Identifikasi motivasi peternak dalam kegiatan pemuliaan 1.
Tujuan beternak domba
Sangat baik sangat jelek 5 4 3 2 1 ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
2.
Pengalaman beternak domba
(
) ( )
( )
( ) ( )
3.
Tujuan meningkatkan mutu genetik domba
(
) ( )
( )
( ) ( )
4.
Apakah dengan memiliki ternak unggul akan memiliki keuntungan materi maupun non materi Apa yang mendorong peternak ikut kelompok
(
) ( ) ( )
( ) ( )
(
) ( )
( )
( ) ( )
( ) ( )
( )
( ) ( )
( )
( ) ( ) ( )
5.
Apakah ikut kelompok atas keinginan sendiri atau dorongan dari orang lain 7. Apakah dengan mengikuti kelompok peternak mendapat keuntungan sehingga lebih meningkatkan minat usaha ternak domba Apakah dengan mengikuti kelompok 8 mendapatkan kemajuan dalam usaha ternak domba 9. Untuk mendapatkan informasi, pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan beternak domba peternak aktif mencari dari berbagai sumber tidak hanya dri kelompok 10 Menurut peternak apakah dengan mengikuti kelompok akan mendapat failitas yang dibutuhkan untuk kegiatan beternak 6.
( )
(
) ( )
( )
( ) ( )
(
) ( )
( )
( ) ( )
(
) ( )
( )
( ) ( )
14. Identifikasi Partisipasi peternak dalam kegiatan pemuliaan Sangat baik sangat jelek 5 4 3 2 1 Apakah peternak berperan aktif dalam kegiatan kelompok 2. Apakah peternak sering menghadiri pertemuan kelompok 3. Dalam pertemuan kelompok apakah sering memberikan ide untuk kemajuan kelompok 4. Apakah peternak ikut dalam merencanakan kegiatan kelompok. 5. Apakah peternak ikut menentukan dalam pemasaran hasil usaha ternak 6. Berapa jauh peternak memanfaatkan hasil kegiatan kelompok 7. Apakah peternak melaporkan kemajuan usahanya dan mengevalusi hasil kegiatan kelompok Berapa jauh peternak memberikan 8 kontribusi terhadap kelompok, termasuk ternak bibit atau fasilitas yang dimilikinya untuk digunakan bersama 9. Apakah peternak memberikan kontribusi dalam pembiayaan kelompok 10 Apakah peternak ikut menyebarluaskan informasi yang dimilikinya kepada sesama anggota kelompok atau peternak lain diluar kelompok 1.
(
)
( )
( )
( )
( )
(
)
( )
( )
( )
( )
(
)
( )
( )
( )
( )
(
)
( )
( )
( )
( )
(
)
( )
( )
( )
( )
(
)
( )
( )
( )
( )
(
)
( )
( )
( )
( )
(
)
( )
( )
( )
( )
(
)
( )
( )
( )
( )
(
)
( )
( )
( )
( )
15. Daftar pertanyaan untuk inti 1. Pengadaan bibit 2. Pengadaan input 3. Penentuan kualifikasi peternak plasma 4. Sistem penjaminan 5. Pembinaaan terhadap plasma, terutama dalam breeding 6. Sistem informasi dan monitoring terhadap plasma 7. Kebijakan produksi, reproduksi dan Pola pemuliaan 8. Pola dan kriteria seleksi 9. Wilayah kerja, sebaran geografis dan jumlah anggota plasma 10. Tujuan usaha 11. Klaim dari inti terhadap plasma. 12. Produk yang dihasilkan
13. Kesepakatan bagi hasil
Lampiran 2 Dugaan nilai pemuliaan bobot lahir dan bobot sapih domba Priangan di kelompok Margawati, Lesan dan H. Osih. Nilai pemuliaan bobot lahir domba Priangan di kelompok Margawati Nilai Pemuliaan
No Induk
Nilai Pemuliaan
No Anak
No Jantan
Nilai Pemuliaan
941 962 951 961 952
0.24 0.21 0.20 0.18 0.16
135 5078 1552 257 3944 251 482 328 6466 9738
1.53 1.46 1.43 1.43 1.42 1.41 1.25 1.22 1.17 1.09
1193 1228 896 218 677 679 1087 666 1178 1182
0.30 0.30 0.29 0.28 0.28 0.27 0.26 0.24 0.24 0.23
Nilai pemuliaan bobot lahir domba Priangan di kelompok Lesan No Jantan MS11 MS1 MS20 MS8 MS6 MS19 MS2 MS3 MS10 MS7
Nilai Pemulian
No Induk
0.41829 0.39329 0.36722 0.27637 0.16279 0.16057 0.13756 0.10191 0.09300 0.02954
9403 3810 3944 3987 3894 3928 3812 9036 9291 9789
Nilai Pemuliaan 1.1832 1.1777 1.1777 1.0663 1.0633 0.9164 0.9135 0.9114 0.9114 0.8868
No Anak 494 218 301 180 367 65 760 572 98041 20136
Nilai Pemuliaan 0.22772 0.19498 0.15088 0.14616 0.13367 0.13361 0.13151 0.13129 0.12714 0.12527
Nilai pemuliaan bobot lahir domba Priangan di kelompok H. Osih No Jantan Wisnu A Wisnu Kapal Meong Dasi Balak
Nilai Pemuliaan 0.13 0.10 0.06 0.02 0.02 0.02
No Induk Mawar V2 Mawar A Ad3 KN2 J1 Toblo B1 Ad1 Ay2
Nilai Pemuliaan 2.49 2.26 2.11 1.54 1.40 1.39 1.38 1.25 1.09 1.09
No Anak XX48 z63 z11 z26 z78 XX39 XX41 z51 z55 z17
Nilai Pemuliaan 0.49 0.17 0.15 0.14 0.13 0.12 0.12 0.11 0.11 0.09
Nilai pemuliaan bobot sapih domba Priangan di kelompok Margawati Nilai Pemuliaan
No Induk
Nilai Pemuliaan
No Anak
No Jantan
Nilai Pemuliaan
962 952 951
0.6846 0.2791 0.1952
322 251 2067 1989 1552 3082 359 257 1893 5078
5.0964 5.0435 5.0001 4.8653 4.8205 4.8176 4.6867 4.5626 4.4182 4.3998
426 569 566 572 557 301 14 567 20 202
2.0035 1.3204 1.0686 0.9219 0.8202 0.8177 0.8139 0.7938 0.7894 0.7354
Nilai pemuliaan bobot sapih domba Priangan di kelompok H. Osih No Jantan Wisnu A wisnu* balak Macan Meong Kapal
Nilai Pemuliaan 0.19 0.18 0.04 0.02 0.02 0.02
No Induk KN2 V2 Ad3 B1 J1 Ay2 Ad1 E2 Ay3 Hy
Nilai Pemuliaan 5.69 5.57 4.40 3.78 3.61 3.04 3.00 2.93 2.85 2.21
No Anak XX48 XX4 z63 XX41 XX39 z26 z55 z16 z96 z58
Nilai Pemuliaan 1.27 1.02 0.42 0.40 0.33 0.28 0.27 0.26 0.25 0.24
Nilai pemuliaan bobot sapih domba Priangan di kelompok Lesan No Jantan MS11 MS20 MS13 MS19 MS6 MS16 MS17 MS4 MS3
Nilai Pemuliaan 1.9680 1.4896 1.1104 0.9427 0.6563 0.6121 0.4074 0.0964 0.0045
No Induk 2069 375 2063M 3059M 137 2039 1893 9505 9068 9062
Nilai Pemuliaan 4.2031 4.1372 3.8975 3.8975 3.6372 3.3749 3.3257 3.3246 3.3098 3.2476
No Anak 519 431 594 566 572 392 559 428 446 556
Nilai Pemuliaan 0.68739 0.66442 0.63745 0.61616 0.61214 0.50733 0.49870 0.47622 0.47237 0.46536
Lampiran 3. Dugaan respon seleksi bobot lahir dan bobot sapih domba Priangan di kelompok Margawati, Lesan dan H. Osih Respon seleksi bobot lahir domba Priangan di Margawati
Proporsi betina terseleksi (%)
Proporsi Jantan terseleksi (%) 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
0.07 0.07 0.06 0.06 0.06 0.06 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05
0.07 0.06 0.06 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.04 0.04 0.04 0.04
0.06 0.06 0.05 0.05 0.05 0.05 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
0.06 0.05 0.05 0.05 0.05 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.03
0.06 0.05 0.05 0.05 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.03 0.03
0.06 0.05 0.05 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.03
0.05 0.05 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03
0.05 0.05 0.04 0.04 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03
0.05 0.04 0.04 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03
0.05 0.04 0.04 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.02
0.05 0.04 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.02 0.02
0.05 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.02 0.02 0.02
Respon seleksi bobot lahir domba Priangan di Lesan
Proporsi betina terseleksi (%)
Proporsi Jantan terseleksi (%) 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
0.60 0.56 0.53 0.51 0.49 0.47 0.46 0.44 0.43 0.42 0.41 0.40
0.56 0.51 0.48 0.46 0.44 0.43 0.41 0.40 0.39 0.37 0.36 0.35
0.53 0.48 0.45 0.43 0.41 0.40 0.38 0.37 0.36 0.34 0.33 0.32
0.51 0.46 0.43 0.41 0.39 0.37 0.36 0.35 0.33 0.32 0.31 0.30
0.49 0.44 0.41 0.39 0.37 0.36 0.34 0.33 0.31 0.30 0.29 0.28
0.47 0.43 0.40 0.37 0.36 0.34 0.32 0.31 0.30 0.29 0.27 0.26
0.46 0.41 0.38 0.36 0.34 0.32 0.31 0.30 0.28 0.27 0.26 0.25
0.44 0.40 0.37 0.35 0.33 0.31 0.30 0.28 0.27 0.26 0.25 0.24
0.43 0.39 0.36 0.33 0.31 0.30 0.28 0.27 0.26 0.25 0.23 0.22
0.42 0.37 0.34 0.32 0.30 0.29 0.27 0.26 0.25 0.23 0.22 0.21
0.41 0.36 0.33 0.31 0.29 0.27 0.26 0.25 0.23 0.22 0.21 0.20
0.40 0.35 0.32 0.30 0.28 0.26 0.25 0.24 0.22 0.21 0.20 0.19
Respon seleksi bobot lahir domba Priangan di H. Osih Proporsi Betina Terseleksi (%)
Proporsi Jantan Terseleksi (%) 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
0.23 0.21 0.20 0.19 0.18 0.18 0.17 0.17 0.16 0.16 0.15 0.15
0.21 0.19 0.18 0.17 0.17 0.16 0.16 0.15 0.15 0.14 0.14 0.13
0.20 0.18 0.17 0.16 0.16 0.15 0.14 0.14 0.13 0.13 0.13 0.12
0.19 0.17 0.16 0.15 0.15 0.14 0.14 0.13 0.13 0.12 0.12 0.11
0.18 0.17 0.16 0.15 0.14 0.13 0.13 0.12 0.12 0.11 0.11 0.11
0.18 0.16 0.15 0.14 0.13 0.13 0.12 0.12 0.11 0.11 0.10 0.10
0.17 0.16 0.14 0.14 0.13 0.12 0.12 0.11 0.11 0.10 0.10 0.09
0.17 0.15 0.14 0.13 0.12 0.12 0.11 0.11 0.10 0.10 0.09 0.09
0.16 0.15 0.13 0.13 0.12 0.11 0.11 0.10 0.10 0.09 0.09 0.08
0.16 0.14 0.13 0.12 0.11 0.11 0.10 0.10 0.09 0.09 0.08 0.08
0.15 0.14 0.13 0.12 0.11 0.10 0.10 0.09 0.09 0.08 0.08 0.08
0.15 0.13 0.12 0.11 0.11 0.10 0.09 0.09 0.08 0.08 0.08 0.07
Respon seleksi bobot sapih domba Priangan di Margawati
Proporsi Betina Terseleksi (%)
Proporsi Jantan (%) 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
0.32 0.29 0.28 0.26 0.26 0.25 0.24 0.23 0.23 0.22 0.21 0.21
0.29 0.27 0.25 0.24 0.23 0.22 0.22 0.21 0.20 0.20 0.19 0.18
0.28 0.25 0.24 0.23 0.22 0.21 0.20 0.19 0.19 0.18 0.17 0.17
0.26 0.24 0.23 0.21 0.20 0.20 0.19 0.18 0.17 0.17 0.16 0.16
0.26 0.23 0.22 0.20 0.19 0.19 0.18 0.17 0.16 0.16 0.15 0.15
0.25 0.22 0.21 0.20 0.19 0.18 0.17 0.16 0.16 0.15 0.14 0.14
0.24 0.22 0.20 0.19 0.18 0.17 0.16 0.15 0.15 0.14 0.14 0.13
0.23 0.21 0.19 0.18 0.17 0.16 0.15 0.15 0.14 0.13 0.13 0.12
0.23 0.20 0.19 0.17 0.16 0.16 0.15 0.14 0.13 0.13 0.12 0.12
0.22 0.20 0.18 0.17 0.16 0.15 0.14 0.13 0.13 0.12 0.12 0.11
0.21 0.19 0.17 0.16 0.15 0.14 0.14 0.13 0.12 0.12 0.11 0.10
0.21 0.18 0.17 0.16 0.15 0.14 0.13 0.12 0.12 0.11 0.10 0.10
Respon seleksi bobot sapih domba Priangan di Lesan
Proporsi Betina Terseleksi
Proporsi Jantan Terseleksi (%) 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
1.81 1.67 1.58 1.52 1.46 1.41 1.37 1.33 1.29 1.25 1.22 1.19
1.67 1.54 1.45 1.38 1.33 1.28 1.23 1.19 1.15 1.12 1.08 1.05
1.58 1.45 1.36 1.29 1.24 1.19 1.14 1.10 1.07 1.03 1.00 0.96
1.52 1.38 1.29 1.23 1.17 1.12 1.08 1.04 1.00 0.96 0.93 0.90
1.46 1.33 1.24 1.17 1.11 1.06 1.02 0.98 0.94 0.91 0.87 0.84
1.41 1.28 1.19 1.12 1.06 1.02 0.97 0.93 0.89 0.86 0.82 0.79
1.37 1.23 1.14 1.08 1.02 0.97 0.93 0.89 0.85 0.81 0.78 0.75
1.33 1.19 1.10 1.04 0.98 0.93 0.89 0.85 0.81 0.77 0.74 0.71
1.29 1.15 1.07 1.00 0.94 0.89 0.85 0.81 0.77 0.74 0.70 0.67
1.25 1.12 1.03 0.96 0.91 0.86 0.81 0.77 0.74 0.70 0.66 0.63
1.22 1.08 1.00 0.93 0.87 0.82 0.78 0.74 0.70 0.66 0.63 0.60
1.19 1.05 0.96 0.90 0.84 0.79 0.75 0.71 0.67 0.63 0.60 0.56
Proporsi Betina Terseleksi (%)
Respon seleksi bobot sapih domba Priangan di H. Osih
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
5
10
15
20
0.61 0.57 0.54 0.51 0.49 0.48 0.46 0.45 0.44 0.42 0.41 0.40
0.57 0.52 0.49 0.47 0.45 0.43 0.42 0.40 0.39 0.38 0.37 0.36
0.54 0.49 0.46 0.44 0.42 0.40 0.39 0.37 0.36 0.35 0.34 0.33
0.51 0.47 0.44 0.41 0.40 0.38 0.36 0.35 0.34 0.33 0.31 0.30
Proporsi Jantan Terseleksi (%) 25 30 35 40 0.49 0.45 0.42 0.40 0.38 0.36 0.34 0.33 0.32 0.31 0.29 0.28
0.48 0.43 0.40 0.38 0.36 0.34 0.33 0.31 0.30 0.29 0.28 0.27
0.46 0.42 0.39 0.36 0.34 0.33 0.31 0.30 0.29 0.27 0.26 0.25
0.45 0.40 0.37 0.35 0.33 0.31 0.30 0.29 0.27 0.26 0.25 0.24
45
50
55
60
0.44 0.39 0.36 0.34 0.32 0.30 0.29 0.27 0.26 0.25 0.24 0.23
0.42 0.38 0.35 0.33 0.31 0.29 0.27 0.26 0.25 0.24 0.22 0.21
0.41 0.37 0.34 0.31 0.29 0.28 0.26 0.25 0.24 0.22 0.21 0.20
0.40 0.36 0.33 0.30 0.28 0.27 0.25 0.24 0.23 0.21 0.20 0.19
Lampiran 4 Kuisioner penentuan bobot faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pola pemuliaan domba priangan berkelanjutan. KUISIONER PENENTUAN BOBOT FAKTOR-FAKTOR YANG BERKONTRIBUSI TERHADAP POLA PEMULIAAN DOMBA PRIANGAN BERKELANJUTAN. Nama Responden
:
Umur
:
Pendidikan terakhir
:
Pekerjaan/Jabatan
:
Alamat
:
Penjelasan : 1. Penentuan bobot dilakukan dengan penerapan Metode Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Prosess). 2. Pertanyaan yang diajukan berbentuk perbandingan antara elemen baris dengan elemen kolom pada tabel yang disediakan. 3. Masing-masing kotak dalam tabel diberikan nilai oleh responden berdasarkan tingkat kepentingan dari elemen-elemen yang dibandingkan secara berpasangan. 4. Responden hanya mengisi kotak dalam tabel yang berwarna putih saja dengan salah satu nilai skala yang disediakan. 5. Nilai komparasi yang diberikan mempunyai skala 1 sampai 9 dan kebalikannya (1, 1/2, 1/3 ……1/9) yang didefinisikan seperti tabel berikut. Skala banding berpasangan (Saaty, 1993) Intensitas Keterangan Kepentingan 1 Kedua elemen sama pentingnya 3
Elemen (x) sedikit lebih penting daripada elemen (y)
5
Elemen (x) lebih penting daripada elemen (y)
7
Elemen (x) jelas lebih penting daripada elemen (y)
9
Elemen (x) mutlak lebih penting daripada elemen (y)
2,4,6,8
Nilai-nilai diantara kedua nilai perbandingan yang berdekatan
Penentuan Bobot Faktor Faktor
A
B
A B C D E F G H I Keterangan : A. Sumber daya manusia B. Sumber daya ternak C. Tujuan pemuliaan D. Parameter genetik E. Seleksi dan perkawinan F. Infrastruktur G. Sosial budaya H. Pasar I. Kebijakan pemerintah
C
D
E
F
G
H
I